DARI RIS MENJADI NEGARA RI: PERUBAHAN BENTUK NEGARA INDONESIA PADA TAHUN 1950 Haryono Rinardi*) Abstract By using historical method, this article attempts to explain the change of state formation in Indonesia in early 1950. From political perspective, the change asserts that support to union state form in Indonesia was strong. However, the new country was questionable in terms of legality. Many people were thus questioning whether federal state was dispersed after the negotiation amongst leaders of NST, NIT, and RIS. In fact, the change of formation state in Indonesia, on the way of its constitution, l used many articles of RIS Constitution. Keywords: Union State, legality aspect, and state formation Abstrak Dengan mempergunakan metode sejarah, artikel ini mencoba menjelaskan perubahan dalam pembentukan negara di Indonesia sejak awal tahun 1950. Dari perspektif politik, perubahan tersebut menegaskan bahwa dukungan terhadap bentuk negara kesatuan di Indonesia cukup kuat. Secara legalitas negara baru ini dapat dipertanyakan, pada akhirnya banyak pihak kemudian mempertanyakan apakah negara federal telah dihapuskan setelah negosiasi antara pemimpin NST, NIT dan RI. Dalam kenyataannya, perubahan dalam pembentukan negara di Indonesia dari sisi konstitusional, saya banyak menggunakan artikel dari konstitusi RIS. Kata kunci: negara kesatuan, aspek legalitas, pembentukan negara PENGANTAR Salah satu periode yang paling krusial dalam bidang politik ketatanegaran Indonesia adalah tahun 1950. Secara resmi Indonesia saat itu berbentuk federal, sesuai dengan hasil KMB. Akan tetapi realita di lapangan, muncul tuntutan perubahan bentuk negara karena tidak sesuai dengan amanat proklamasi dan UUD 1945. Kondisi itu semakin kuat, ketika kaum republiken yang menghendaki bentuk negara kesatuan memperoleh banyak momentum
*)
menguntungkan bagi tuntutan mereka. Peluang mereka semakin besar, ketika kaum federalis banyak melakukan gerakan politik dalam upaya mempertahankan bentuk negara federal yang sesuai dengan Konstitusi RIS, undang-undang dasar yang resmi digunakan oleh Bangsa Indonesia saat itu. Pada akhirnya bentuk negara federal secara resmi kemudian diubah menjadi kesatuan pada 17 Agustus 1950. Dengan demikian, secara resmi berakhir berbagai macam pergolakan politik
Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, email:
[email protected].
181
Dari RIS Menjadi Negara RI
tentang bentuk negara yang digunakan Bangsa Indonesia. Hal itu sekaligus juga menandai kemenangan kaum republiken atas federalis, dalam perjuangan selama 5 tahun. Walaupun demikian, masih muncul berbagai macam pergolakan di daerah yang pada intinya sebetulnya menolak pemaksaan kehendak oleh Jakarta terhadap daerah. Manifestasinya adalah pemberontakan Republik Maluku Selatan. Pada sisi yang lain, muncul pertanyaan dasar tentang masalah perubahan bentuk ketatanegaraan itu, dengan cara bagaimana perubahan itu terjadi. Pertanyaan kritis yang kemudian muncul adalah apakah penguasa di I n d o n e s i a s a a t i t u b e n a r- b e n a r membubarkan RIS dan menggantinya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga berubah pula bentuk negara dari federal menjadi kesatuan. Selanjutnya, berkaitan dengan pertanyaan pertama muncul pertanyaan kedua, apakah Konstitusi RIS secara resmi diganti oleh UUDS 1950, sebagai akibat perubahan bentuk negara itu. Dua pertanyaan itu akan dapat digunakan sebagai bahan analisis untuk menentukan jawaban atas pertanyaan pokok di atas. Satu persoalan yang ikut diuraikan adalah, bagaimana situasi sosial dan politik di Indonesia saat itu. Hal ini penting untuk dibahas karena munculnya berbagai perubahan dalam sistem ketatanegaraan selalu berhubungan dengan kondisi sosial dan politik yang ada pada suatu negara, tidak terkecuali dengan Indonesia. KONDISI SOSIAL & POLITIK INDONESIA Sistem pemerintahan federal sesuai dengan KMB ternyata tidak berumur
panjang. Pengakuan kedaulatan yang dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949, itu justru mendorong gerakan persatuan yang bukan saja muncul di kalangan elit Indonesia, tetapi juga di kalangan masyarakat bawah sendiri. Gerakan ini menghendaki diubahnya bentuk federalis menjadi bentuk negara kesatuan. Oleh banyak pengamat luar negeri, gerakan persatuan itu dianggap terlalu dini, tergesa-gesa, tidak perlu, dan agak angkuh, karena tidak memperhatikan semangat dan segala fasilitas dari persetujuan KMB. Akan tetapi, apabila diperhatikan lebih jauh lagi, gerakan persatuan itu bukan saja tampak kuat, tetapi juga sehat. Secara politik dan sosial, Indonesia akan berada dalam keadaan yang buruk jika tidak ada perkembangan ini. Bagi kebanyakan orang Indonesia, sistem federal dianggap sebagai warisan kolonial sehingga harus segera diganti. Dalam pandangan rakyat Indonesia, sistem federal dipandang sebagai alat pengawasan Belanda, sehingga sistem federal merupakan halangan bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia. Mempertahankan sistem federal berarti mempertahankan warisan penjajahan masa lampau yang tidak disukai. (Kahin, 1955:571). Adanya halangan psikologis yang seperti itu di kalangan masyarakat Indonesia terhadap bentuk negara federal, ternyata masih ditambah realitas politik yang terjadi pada saat itu. Dalam federasi RIS, Republik Indonesia yang lama pada dasarnya tetap otonom. Tidak hanya administrasinya yang tidak tergantung pada ibukota federasi di Jakarta, tetapi banyak pegawai negeri sipil dalam negaranegara bagian seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pasundan lebih taat kepada
182
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 aturan-aturan dari ibukota RI Yogyakarta, daripada Jakarta. Kondisi itu seringkali menimbulkan administrasi ganda yang membingungkan, dengan dua kelompok pegawai negeri sipil berusaha mengatur teritorial yang sama dengan dua aturan yang mungkin berbeda. Keadaan itu sesungguhnya merupakan bentuk manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan negara-negara bagian di berbagai wilayah Indonesia oleh Belanda serta eksistensinya tidak pernah diakui oleh RI di Yogyakarta. Pemerintah RI untuk mempertahankan eksistensi di daerah-daerah yang sudah didirikan negara bagian itu, kemudian ganti mendirikan pemerintahan daerah bayangan, mulai dari desa sampai ke p ro v in s i. B uka n i t u s aj a dal am menunjukkan eksistensinya di daerahdaerah yang kemudian dikenal sebagai daerah BFO itu, Pemerintah RI juga mengirim uang-uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Hal itu dilakukan untuk menunjukkan eksistensi RI baik secara politis maupun ekonomis. (Swasono, 1980:184-187). Faktor lainnya adalah prestise RI yang besar karena dianggap sebagai pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat dengan terjaminnya law and order di wilayahnya, kelancaran administrasi pemerintahan, korupsi yang relatif tidak ada jika dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya. (Moedjanto, 1988:70). Dengan kondisi itu, tidak heran banyak pejabat-pejabat daerah atau negara bagian yang lebih berkiblat kepada Yogyakarta daripada ke Jakarta. Pada sisi yang lain juga patut untuk diperhatikan bahwa Presiden RIS yaitu Soekarno dan
183
Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta tidak pernah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden dan Perdana Menteri RI, dan mereka yang menggantikan, yaitu Mr. As s at dan Dr. A. Ha li m hanya menjalankan tugasnya sebagai pejabat presiden dan perdana menteri. (Kahin, 1995:571). Dengan demikian lengkap sudah alasan terjadinya administrasi ganda di kalangan para pegawai negeri sipil di daerah. Kondisi itu semakin diperparah dengan kuatnya kelompok republiken di tubuh kabinet Perdana Menteri Moh. Hatta. Soekarno dan kaum republiken lainnya dalam tubuh pemerintahan RIS banyak memberikan dorongan semangat kepada gerakan penyatuan di berbagai daerah atau negara bagian. Kondisi itu dapat berjalan dengan tanpa gangguan, karena dalam susunan anggota kabinet Hatta didominasi kaum republiken. Dalam susunan kabinet itu anggota yang berasal dari kaum federalis hanya lima orang, yaitu: Anak Agung Gde Agung sebagai menteri dalam negeri, Kosasih sebagai menteri sosial, Arnold Monomutu sebagai menteri penerangan, Sultan Hamid II dan S up ar m o s e ba ga i m e nt e ri t a np a portofolio. Hal itu masih ditambah catatan, bahwa meskipun Arnold Monomutu berasal dari kelompok BFO, akan tetapi dalam parlemen Negara Indonesia Timur, Arnold merupakan ketua kelompok pro-republik, sehingga dia dipandang lebih republiken daripada federalis. (Kahin, 1995: 569) Sesungguhnya dari seluruh anggota kabinet Moh. Hatta yang sungguhsungguh mendukung bentuk negara federal hanyalah Sultan Hamid II dan Anak Agung Gde Agung. (Faith,
Dari RIS Menjadi Negara RI
1962:47). Pada sisi yang lain, tidak dapat disangkal bahwa ambisi politik untuk menciptakan sebuah negara kesatuan tetap terpelihara dalam tubuh Negara RI. Hal itu terlihat dengan ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai negara kesatuan yang meliputi seluruh Kepulauan Indonesia dalam program kabinet Dr. A. Halim, Perdana Menteri Negara RI. (Kedaulatan Rakyat, 21 Januari 1950) Dorongan semangat yang lebih besar lagi datang dengan ditariknya kekuasaan polisi dan militer Belanda dari negara atau daerah bagian ciptaan Belanda, dan dengan dibebaskannya beberapa ribu tahanan politik yang sangat pro-republik dari penjara-penjara Belanda. Dengan kondisi itu, maka kekuatan gerakan persatuan menjadi begitu besar dan hanya mendapat perlawanan nyata di tempat-tempat dimana sejumlah besar pasukan kolonial, KNIL, belum dimobilisasi dan menentangnya. (Kahin, 1995:572). Dengan kondisi sosial politik yang seperti itu, membuat sejumlah daerah atau negara bagian mulai muncul berbagai macam gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerah atau negara bagiannya dan menggabungkan daerah atau negara bagiannya dengan RI. Daerah atau negara bagian yang masyarakatnya memelopori tindakan semacam itu adalah Negara Bagian Pasundan. Di daerah itu muncul resolusi untuk menggabungkan wilayahnya dengan Negara RI. Kondisi itu sebagian besar disebabkan oleh kurang mampunya Pemerintah Pasundan untuk memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Keadaan itu mendorong munculnya
resolusi dari daerah Indramayu yang ditujukan kepada Presiden RI, UNCI, dan Ketua KNIIP. Isi resolusinya adalah mendesak (pemerintah RIS) supaya sebelum pengakuan kedaulatan selekas mungkin mengubah status Jawa Barat untuk dijadikan daerah RI, dengan menghapus Negara Pasundan. Tindakan ini dilakukan supaya keadaan di Jawa Barat aman dan tenteram. Resolusi muncul didasarkan atas kejadian-kejadian di desa-desa berkaitan dengan masalah keamanan yang tidak terjamin. Hal itu membuktikan bahwa Negara Pasundan tidak dapat menjamin keamanan dan ketenteraman rakyat. Pada umumnya Rakyat Indramayu menaruh kepercayaan besar kepada TNI untuk melindungi mereka dan mengembalikan keamanan dan ketenteraman. (Kedaulatan Rakyat, 17 Desember 1949). Adanya resolusi itu terus bergulir dengan memberikan efek yang semakin lama semakin besar, karena banyak masyarakat bawah Jawa Barat yang tidak mendukung Negara Pasundan, dan ingin bergabung dengan RI. ( Kedaulatan Rakyat, 19 Januari 1950). Secara riil kehendak masyarakat Jawa Barat untuk bergabung dengan Negara RI dimanifestasikan oleh tindakan para kepala desa di Tasikmalaya yang memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pasundan dan bergabung dengan Negara RI. Lebih jauh lagi, tindakan ini juga didukung oleh sebelas anggota Dewan Perwakilan Kabupaten Tasikmalaya. (Kedaulatan Rakyat, 20 Desember 1949). Dukungan rakyat Jawa Barat dan masyarakat di berbagai negara bagian untuk menggabungkan daerahnya dengan Negara Bagian RI semakin besar
184
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 ketika terjadi peristiwa pemberontakan Westerling. Kondisi itu merusak kedudukan dan reputasi golongan federalis. Apalagi sejak adanya peristiwa itu timbul keyakinan di kalangan masyarakat bahwa beberapa pejabat tertentu dari Pemerintah Pasundan telah mengadakan “perjanjian” dengan Westerling dan adanya kenyataan sejumlah anggota Pemerintah Pasundan yang berkebangsaan Belanda (dari Polisi dan militer yang sebagian besar masih dipimpin oleh perwira Belanda), membelot kepada Westerling. (Kahin, 1995:578). Kondisi itu semakin memperkuat posisi kaum republiken di parlemen Pasundan. Dengan dimotori oleh Oli Setiadi, Dr. Hasan Nata Negara, Daruji, Suparno, dan anggota lainnya, mereka ini mendesak kepada seluruh Bangsa Indonesia di Pasundan supaya Negara Pasundan dibubarkan saja. (Sewaka, 1955:171). Dengan keadaan politik yang seperti itu, akhirnya melalui keputusan Parlemen Pasundan tanggal 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan untuk menggabungkan Negara Pasundan ke dalam Negara Republik Indonesia. (Suherly, 1970) Keputusan itu kemudian d i sa hk a n d e nga n lahi rnya S urat Keputusan RIS no 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan bahwa wilayah Pasundan termasuk wilayah Negara R e p u b l i k I nd one s i a . P e m e r i nt a h Komisaris RIS di Jawa Barat diganti
1)
dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Gubernurnya dijabat oleh M. Sewaka.1) (Sjamsuddin et. al., 1992:82). Meskipun masyarakat Negara Pasundan termasuk yang terdepan dalam upaya untuk menolak bentuk negara federasi dan memilih bergabung dengan Negara RI, tetapi daerah atau negara bagian yang pertama kali membubarkan diri adalah negara bagian Sumatera Selatan. Pada tanggal 10 Februari 1950, Dewan Perwakilan Negara bagian Sumatera Selatan mengadakan pemungutan suara untuk menyerahkan kekuasaan negara bagian itu kepada Pemerintah RIS. Yang terjadi kemudian bagaikan efek bola salju yang semakin lama semakin besar, karena apa yang terjadi di Sumatera Selatan segera diikuti oleh hampir semua negara bagian. Namun demikian, ada kecenderungan umum untuk membubarkan negara-negara bagian itu dengan digabungkan ke dalam Negara Bagian RI, bukan dibubarkan untuk digabungkan dengan RIS. Formula ini tidak ditentang oleh kebanyakan pemimpin RIS. Adanya gelombang pasang semangat nasionalis yang besar agaknya telah mendorong sebagian besar anggota senat RIS, termasuk kaum federalis yang kuat, untuk percaya bahwa baik tujuan kebijaksanaan atau kepentingan-kepentingan politik masa depan mereka sendiri harus dikorbankan sehingga mereka bisa menggikuti Majelis Permusyawaratan dan Pemerintah RIS
Sewaka ini sebelumnya menjabat sebagai Komisaris RIS di Negara Pasundan dengan tugas menyelenggarakan pemerintahan Negara Pasundan. Pengangkatan Sewaka ini disebabkan oleh terjadinya kekisruhan dalam Parlemen Pasundan, yang mengakibatkan Wali Negara Pasundan menyerahkan mandatnya kepada Parlemen Pasundan. Kondisi itu menyebabkan Pemerintah segara Pasundan mengajukan permohonan kepada Pemerintah RIS untuk memberikan bantuan sehubungan dengan kesulitan yang dialami pemerintahan Pasundan.
185
Dari RIS Menjadi Negara RI
dalam mengeluarkan suatu undangundang darurat berdasarkan Pasal 130 Konstitusi RIS, yang meresmikan pembubaran negara-negara bagian itu seperti yang diharapkan, dan digabungkan ke dalam Republik Indonesia. Undangundang itu dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1950, dan dua hari kemudian, setelah pemungutan suara untuk persetujuan dari Majelis RIS,2) permintaan Pemerintah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura untuk bergabung ke dalam Republik Indonesia disetujui. Setelah daerah atau negara-negara bagian yang lainnya juga mengajukan permintaan dan dengan segera disetujui. Menjelang akhir Bulan Maret, tinggal empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu: Kalimantan Barat (dipimpin oleh Sultan Hamid II), Sumatera Timur, Indonesia Timur, dan Republik Indonesia yang wilayahnya menjadi jauh lebih luas, (Kahin, 1995:579) oleh karena hampir semua negara bagian RIS memilih dibubarkan dan bergabung dengan RI. Dengan demikian luas negara bagian RI wilayahnya hingga saat itu jauh melebihi daerah RI yang sesuai dengan Perjanjian Renville. Gerakan penyatuan di Negara Bagian Kalimantan Barat berjalan semakin cepat setelah Sultan Hamid II disingkirkan.3) Kaum republiken mulai mengajukan tuntutan untuk membubarkan negara bagiannya untuk digabungkan dengan Republik Indonesia. Melihat besarnya tuntutan dari kaum republiken,
Pemerintah RIS kemudian mengirimkan sebuah komisi untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya di Kalimantan Barat. Berdasarkan anjuran komisi itu, akhirnya sidang gabungan DPR-RIS dengan Senat RIS pada tanggal 22 April 1950 menyetujui dengan suara 50 banding satu menolak, untuk menerima tuntutan masyarakat Kalimantan Barat, agar daerahnya digabungkan dengan RI. Pada akhirnya negara bagian dalam tubuh RIS tinggal 3 buah, yaitu RI, Negara Sumatera Timur (NST) , dan Negara Indonesia Timur (NIT) . Hal itu mendorong perwakilan dua negara bagian yang tersisa, yaitu NST dan NIT untuk melakukan pertemuan dengan pimpinan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari tanggal 3 sampai 5 Mei 1950 diadakan perundingan antara PM RIS M. Hatta, Presiden NIT Sukawati, dan PM NST Dr. Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian, Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran RIS dengan syarat NST dileburkan ke dalam RIS bukan ke dalam RI. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar penduduk Sumatera Timur, tetapi PM Hatta mendukung Dewan N S T. Keputusan Hatta itu didasari situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan RI. Hatta berpikir bahwa apabila diambil jalan penggabungan N S T langsung ke dalam
2)
Sidang gabungan DPR – RIS dengan Senat RIS. Sultan Hamid II terlibat dalam gerakan Westerling, terutama dalam upayanya menyerang Jakarta yang bertujuan untuk menangkap dan membunuh beberapa anggota Kabinet Hatta yang dedang melakukan sidang kabinet. 3)
186
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 RI, mungkin dapat mendorong para bekas K N I L yang saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan N S T untuk memberontak sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya diAmbon. Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai tindak lanjut diadakan perundingan antara PM-RIS Hatta yang mewakili N I T beserta dengan N S T di satu pihak dan PM-RI A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk NKRI. Persoalannya adalah bagaimana cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana yang dikenhendaki seluruh rakyat Indonesia. Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi RIS. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur ke dalam RIS (RI akan menjadi satu-satunya negara bagian dari RIS, sehingga RIS akhirnya terlikuidasi) akan menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas anggota K N I L. Di samping itu ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar negeri. Jika seluruh negara bagian bergabung dengan RI, maka akan timbul kesulitan. Persoalannya adalah RI yang masih eksis adalah RISebagai negara bagian RIS (sebagai akibat persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah RIS yang telah dilikuidasi. Dengan perkataan lain proses kembali dari RIS ke NKRI melalui cra ini berarti peleburan negara yang telah mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah negara
187
baru. Oleh karena itu agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secarayuridis, maka pembubaran RIS harus dihindari. Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi RIS. Jadi secara yuridis NKRI adalah perubahan dari RIS sebagai negara federal menjadi negara berbentuk kesatuan. Melalui cara itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional.Apabila RIS dibubarkan dan digantikan oleh RI sebagai negara bagian dalam tubuh RIS, maka negara baru yang muncul itu tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis formal. Hal itu disebabkan RI sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan internasional. Akan lain persoalannya apabila RIS berganti menjadi negara kesatuan. Secara yuridis tidak akan ada permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya konstitusinya saja, bukan negaranya. PERUBAHAN BENTUK NEGARA Setelah tercapainya persetujuan 19 Mei 1950, kemudian dibentuklah sebuah Panitia Persiapan UUD Negara Kesatuan yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo (saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman RIS) dengan wakilnya A. Halim (saat itu sebagai pejabat Perdana Menteri RI). Sebagaimana namanya tugas panitya ini adalah menyusun sebuah rancangan UUD bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUD ini harus disusun dengan cara mengubah Konstitusi RIS sedemikian rupa sehingga sehingga esential dari UUD 1945 dapat masuk ke dalamnya. Esesitial itu adalah pasal 27, 28,
Dari RIS Menjadi Negara RI
29, dan 33 ditambah dengan bagianbagian yang baik dari Konstitusi RIS. Pada kenyataannya esential UUD 1945, buat sebagian (Pasal 27) sudah termuat dalam konstitusi RIS dengan lebih tegas. Maka yang diambil adalah redaksi Konstitusi RIS. Demikian juga apa yang ditentukan dalam Pasal 29 UUD 1945 sudah termuat dalam Konstitusi RIS dengan lebih jelas. Hanya Ayat 1 dari Pasal 29 UUD 1945 belum termuat dalam Konstitusi RIS, dan dalam UUDS 1950 dimasukkan dalam Pasal 43 Ayat 1. Sedangkan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 belum termuat dalam Konstitusi RIS. Dalam UUDS 1950 perlu ketentuan-ketentuan itu dimasukkan (ada dalam pasal 38); pasal ini mengandung arti antara lain bahwa seluruh barang-barang yang diusahakan dan dihasilkan, baik produksi pertanian maupun produksi industri terutama dipergunakan untuk memenuhi keperluan hidup rakyat; dalam hal ini perlu ditegaskan, bahwa yang diartikan dengan cabang-cabang produksi bukan hanya produksi di dalam arti kata mewujudkan sesuatu barang, tetapi meliputi juga pengangkutan, peredaran, dan perdagangan, baik dalam negeri maupun dengan luar negeri; di dalam arti kata “dikuasai” termasuk pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggikan produksi, dengan mengutamakan bangunan koperasi. (Yamin, 1982:74). Persyaratan lain yang penting dari persetujuan yang bertalian dengan negara kesatuan dan penyusunan rancangan undang-undang dasar bagi negara baru itu adalah sebagai berikut: (1) Senat dihapuskan; (2) Dewan Perwakilan Rakyat sementara terdiri atas gabungan
DPR – RIS dan BPKNP. Tambahan anggota atas penunjukkan presiden dipertimbangkan lebih jauh oleh kedua pemerintah; (3) Dewan Perwakilan Rakyat Sementara bersama-sama dengan KNIP, disebut Majelis Perubahan undangu n d a n g d a s a r, m e m p u n y a i h a k mengadakan perubahan-perubahan dalam undang-undang dasar yang baru; (4) Konstituante terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dengan mengadakan pemilihan umum “berdasarkan atas satu orang anggota untuk tiap-tiap 300.000 penduduk, dengan memperhatikan perwakilan yang pantas bagi golongan minoritas”, akan merancang undangundang dasar yang final; (5) Soekarno diangkat menjadi presiden negara kesatuan yang baru; (6) Dewan Menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen (kabinet parlementer); (7) Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, maka undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada tetap berlaku, tetapi di mana mungkin diusahakan supaya perundang-undang Republik Indonesia berlaku; (Kahin, 1995:587-588); (8) Dalam UUD yang baru dimasukkan pokok pikiran: “hak milik adalah suatu fungsi social; (9) DPA dihapuskan. (Moedjanto, 1988:73). Keputusan untuk merubah Konstitusi sedemikian rupa itu diambil, karena hanya dengan cara perubahan konstitusi itu maka pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menggantikan RIS akan berjalan mulus. Dengan demikian dapat dikatakan kalau UUD ini penting karena akan menjadi landasan bagi perubahan status Indonesia dari sebuah negara federal menjadi negara kesatuan. Setelah bekerja selama hampir
188
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 dua bulan lamanya, pada tanggal 20 Juli 1950 panitia itu dapat menyusun sebuah rancangan UUD untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Wilopo, 1979:98; Joeniarto, 1996:71). Meskipun secara resmi dikatakan bahwa UUD yang baru bagi negara kesatuan itu adalah mengubah Konstitusi RIS dan kemudian memasukkan pasalpasal 27, 28, 29, dan 33 dari UUD 1945, akan tetapi pada kenyataannya panitya itu mengganti sama sekali isi Konstitusi RIS, baik itu mukaddimahnya maupun ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh undang-undang dasar, (Pringgadigdo, 1981:18-20) bahkan lebih daripada itu adalah mengubah bentuk susunan negara. Perubahan itu terlihat jelas dari Pasal 1 UUD S yang jelas-jelas menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Sementara pada Pasal Konstitusi RIS disebutkan bentuk negara adalah federasi. (Pasal 1 ayat 1 UUD S 1950: Pasal 1 ayat 1 Konstitusi RIS). Oleh karena itu, pada hakekatnya adalah penggantian dari Konstitusi RIS, hanya prosedurnya saja ditempuh prosedur perubahan, yaitu melalui pasal 190, 127a dan pasal 191 Konstitusi RIS. (Joeniarto, 1996: 73-74). Tindakan itu merupakan cara formal konstitusional yang dapat dilakukan saat itu. Sebab apabila ditempuh cara penggantian undangundang dasar sebagaimana yang ditentukan dalam Konstitusi RIS, yaitu melalui pasal 186 jelas membutuhkan waktu yang lama di samping juga pasti 4)
lebih rumit, atau dapat dikatakan tidak mungkin dapat dilakukan pada saat itu dengan waktu yang singkat.4) Sedangkan dalam Pasal 190 Kontitusi RIS disebutkan bahwa untuk mengubah Konstitusi RIS harus dilakukan dengan undang-undang federal. Dalam hal ini oleh karena ada dua macam undang-undang federal yaitu undang-undang federal yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 127a Konstitusi RIS) dan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR saja tanpa Senat (Pasal 127b Konstitusi RIS). Oleh karena perubahan undangundang dasar apalagi menyangkut bentuk dan susunan negara, maka sudah barang tentu harus dilakukan dengan undangundang yang dimaksud dalam pasal 127a. (Joeniarto, 1996:74). Dengan demikian untuk mengubah Konstitusi RIS menjadi sebuah undang-undang dasar yang selaras dengan negara kesatuan diperlukan sebuah undang-undang federal yang d i pa ka i s e ba ga i l a nda s a n un t uk memberlakukan undang-undang dasar RI itu. Sebagaimana yang telah disebutkan di muka bahwa panitya persiapan undangundang dasar telah mampu menyelesaikan sebuah rancangan undang-undang dasar pada tanggal 20 Juli 1950. Rancangan itu itu kemudian diajukan kepada DPR dan Senat RIS, serta badan pekerja KNP untuk dimintakan persetujuan. Sebelumnya telah disetujui bahwa badanbadan tersebut tidak dapat mengubah konsep itu, tetapi hanya dapat menyetujui
Penggunaan Pasal 186 dihindari karena pada saat itu belum ada konstituante, padahal dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk menetapkan konstitusi yang berwenang adalah Konstituante bersama-sama dengan pemerintah.
189
Dari RIS Menjadi Negara RI
atau menolaknya. Setelah diadakan pembicaraan selama lebih dari tiga minggu, akhirnya tercapai persetujuan umum. Pada tanggal 14 Agustus 1950, Senat RIS menerima konsep itu dengan suara bulat. Sedangkan DPR – RIS menerimanya dengan 90 suara setuju melawan 18 suara menolak. Badan Pekerja KNIP meratifikasi dokumen itu dengan suara 31 setuju melawan 2 menolak dan 7 suara abstain. (Kahin, 1995) UU FEDERAL NO. 7 TAHUN 1950 Meskipun demikian masih diperlukan sebuah jalan agar perubahan bentuk negara dapat berjalan mulus tanpa halangan. Dalam hal ini, dipikirkan bagaimana cara menjalankan secara resmi rancangan UUD yang baru dibuat tanpa harus menimbulkan permasalahan dengan berbagai pihak. Pada akhirnya disepakati bahwa rancangan UUD yang baru itu diberlakukan melalui cara memasukkannya dalam suatu paket undang-undang yang berjalan dalam kerangka konstitusi lama. Dengan demikian, tidak akan bertentangan dengan konstitusi RIS yang masih berlaku. Pemerintah RIS kemudian merancang sebuah undang-undang yangberfungsi menjadi jalan agar rancangan konstitsusi yang baru dapat secara legal dan resmi berlaku di Indonesia menggantikan Konstitusi RIS. Dengan jalan itu, tidak perlu mengubah bentuk negara, tetapi cukup mengganti konstitusi atau undang-undang dasarnya, karena dalam undang-undang dasar yang baru dicantumkan pasal tentang bentuk negara. Untuk itu kemudian dikeluarkan sebuah Undang-Undang Federal No 7
tahun 1950, nama lengkap ialah UndangUndang tentang perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara. (Joeniarto, 1996:75). Undang-Undang Federal No 7 itu ditandangani oleh Presiden RIS Soekarno dan Menteri Kehakiman RIS Prof. Soepomo pada tanggal 15 Agustus 1950. Dengan demikian saat undang-undang federal tersebut resmi berlaku, otomatis secara remi dan legal mulai diberlakukan pula UUD S negara kesatuan atau yang dikenal sebagai UUD S 1950 menggantikan Konstitusi RIS. Undang-Undang Federal No 7 tahun 1950 menjadi penting bagi pemberlakuan UUDS 1950 karena sesungguhnya UUDS 1950 terdapat dalam undang-undang federal itu. Apabila kita melihat ke dalam isi Undang-Undang Federal No 7 tahun 1950, maka isinya hanya terdiri dari dua pasal saja. Pasal 1 menentukan tentang diubahnya Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 dan setelah itu dimuat selengkapnya naskah undangundang dasar sementara itu, yaitu Mukaddimah beserta dengan 146 pasalpasalnya. Sedangkan Pasal 2 menentukan tentang mulai diberlakukannya undangundang dasar sementara itu. Dengan di m uat nya unda ng-undang d a sa r sementara di dalam Pasal 1 UndangUndang Federal No 7 tahun 1950, secara formal undang-undang dasar yang baru itu (UUDS 1950) merupakan bagian dari Undang-Undang Federal No 7 tahun 1950, khususnya pasal 1 undang-undang federal tersebut. Dengan demikian fungsi UU Federal No 7 tahun 1950 adalah hanya memberlakukan UUDS 1950 atau lebih tegasnya hanya mengubah Konstitusi RIS
190
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 menjadi UUDS 1950. Oleh karena itu, begitu berlaku UUDS 1950, maka selesailah tugas UU Federal No 7 tahun 1950 itu. Dengan kata lain undang-undang federal itu hanya berlaku satu kali saja. (Joeniarto, 1996:75). Berdasarkan keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa pemerintah di Indonesia tidak pernah secara resmi membubarkan negara RIS. Negara federal ini tidak pernah dibubarkan oleh siapapun, tidak oleh RI yang ada di Yogya maupun pemerintah federal yang ada di Jakarta. Bentuk negara berubah karena undangundang dasar yang berlaku mengalami perubahan. Konstitusi RIS yang secara resmi menjadi dasar atas legalitas negara federal RIS diubah menjadi undangundang dasar sementara. Satu faktor yang lebih penting lagi adalah dalam perubahan undang-undang yang baru itu, bentuk negara federal diubah menjadi negara kesatuan. Dengan demikian, perubahan bentuk negara Indonesia dapat dimungkinkan karena konstitsusi resmi yang berlaku diubah oleh rezim yang berkuasa. S a t u h a l y a ng t i d a k k a l a h pentingnya adalah, Konstitusi RIS sesungguhnya tidak diganti oleh siapapun. Pen gu as a saat i tu menggunakan perubahan undang-undang memakai fasilitas yang ada dalam Konstitusi RIS. Perubahan Konstitsusi RIS menjadi sebuah UUD yang baru itu dilakukan dengan menggunakan ketentuan yang dimungkinkan dalam kerangka hukum ketatanegaraan RIS. Penguasa federal RIS saat itu menggunakan Pasal 190 dan 191 Konstitusi RIS. Pada kedua pasal itu dimungkinkan terjadinya perubahan konstitusi atau undang-undang atas
191
persetujuan DPR maupun Senat RIS. Berdasarkan keterangan di atas dapat dikatakan bahwa Konstitusi RIS tidak pernah diganti oleh sebuah UUD yang baru. Konstitusi RIS berubah melalui UU Federal No. 7 menjadi sebuah undangundang baru. Hal yang lebih penting adalah, dalam undang-undang baru itu bentuk negara federal diubah menjadi kesatuan dan diikuti oleh beragam perubahan penting lainnya. SIMPULAN Negara federal RIS sesungguhnya tidak pernah secara resmi dibubarkan oleh penguasa di Indonesia. Terjadinya perubahan dari negara federal menjadi negara kesatuan, karena konstitusi yang ada diubah menjadi sebuah undangundang dasar yang sama sekali baru. Perubahan itu dilakukan dalam kerangkan sistem ketatanegaraan menurut Konstitusi RIS. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Konstitusi RIS sama sekali tidak pernah diganti oleh UUD S 1950. Peristiwa sesungguhnya adalah Konstitusi RIS ini diubah menjadi sebuah undang-undang dasar baru yang diberi nama UUDS 1950. DAFTAR PUSTAKA Kedaulatan Rakyat, 21 Januari 1950. Kedaulatan Rakyat, 17 Desember 1949. Kedaulatan Rakyat, 19 Januari 1950. Kedaulatan Rakyat, 20 Desember 1949. Indonesia Timur 24 Januari 1950 Faith, Herbert, 1962. The Decline of
Dari RIS Menjadi Negara RI
Constitutional Democracy in Indonesia, New York: Ithaca. Joeniarto, 1996. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, Kahin, George McTurnan, 1955. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Sebelas Maret University Press. Moedjanto, G, 1988. Indonesia Abad ke20 II, Yogyakarta: Kanisius. Nasution, A.H., 1983. Memenuhi Panggilan Tugas II , Jakarta: GunungAgung. Sewaka, 1955. Tjorat-Tjoret dari Jaman ke Jaman, Bandung: Visser. Pringgadigdo, H.A.K., 1981. Tiga
Undang-Undang Dasar, Jakarta: Pembangunan. Sjamsuddin, Helius et al., 1992 Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. S u he r l y, Ta n u, “ S ek i t a r N e g a r a Pasundan”, Naskah Seminar Sejarah Nasional II, Yogyakarta: 26-29Agustus 1970 Swasono, Meutia Farida, 1980. Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan, Jakarta: Sinar Harapan. Wilopo, , 1979. Wilopo 70 Tahun, Jakarta: GunungAgung. Yamin, M., 1982. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
192