DAMPAK INVESTASI MODAL MANUSIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
TOMMY HADIYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Tommy Hadiyanto NRP. H151104464
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT TOMMY HADIYANTO. The Impact of Human Capital Investment on Indonesia‟s Economic Growth. Under direction of RINA OKTAVIANI and ALLA ASMARA. Many studies of economic growth in advanced countries confirm the importance of human capital investment. These statistical investigations indicate that output has increased at a higher rate than can be explained by only the inputs of labor and physical capital. The purpose of this study is to analyze the impact of human capital investment on the Indonesian macro economics and sectoral performances by using the Computable General Equilibrium (CGE) model. The results show that an increase in human capital investment by government (both capital and non-capital expenditures) will have positive effects on several economic indicators such as real GDP, household consumption, and real wage. While in sectoral performances, it will increase all sectoral output and labor demand. Keywords: human capital, economic growth, government expenditures, cge
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN TOMMY HADIYANTO. Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan ALLA ASMARA. Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat tergantung pada ketersediaan faktor-faktor produksi yaitu modal fisik dan tenaga kerja. Dalam perkembangan literatur ekonomi pembangunan, selain faktor-faktor produksi tersebut, modal manusia juga terbukti merupakan faktor yang sangat penting dan memainkan peranan kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Modal manusia sangat dipengaruhi oleh permasalahan pendidikan dan kesehatan. Hal ini dikarenakan pendidikan dan kesehatan memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia tentunya memiliki potensi modal manusia yang sangat besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Namun jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, proporsi terbesar dari keseluruhan penduduk yang bekerja didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Sedangkan jika ditinjau berdasarkan tingkat kesehatan dengan menggunakan indikator angka harapan hidup, Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang lain. Kondisi modal manusia Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah dalam mengalokasikan anggaran di bidang pendidikan dan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 dan 34. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dampak investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam indikator makro ekonomi di Indonesia dan (2) mengidentifikasi dampak investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan terhadap kinerja ekonomi sektoral di Indonesia. Penelitian ini menggunakan Model Keseimbangan Umum/Computable General Equilibrium (CGE) dari INDOMINI (Oktaviani 2011) yang berinduk pada MINIMAL (Horridge 2001). Terdapat 15 blok persamaan yang digunakan dalam model INDOMINI. Pada penelitian ini, yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan dibedakan menurut jenis belanja, yaitu belanja modal dan bukan modal (belanja rutin). Dengan demikian diharapkan dapat dilakukan perbandingan efektivitas kebijakan pemerintah pada kedua jenis belanja tersebut. Perbedaan lainnya adalah disagregasi Tabel I-O updating tahun 2008 pada sektor jasa sosial kemasyarakatan dan disagregasi upah menurut tingkat pendidikan. Perbedaan juga terdapat pada spesifikasi model dengan menambahkan variabel produktivitas tenaga kerja ke dalam model INDOMINI. Closure simulasi peningkatan belanja modal pemerintah yang dipakai adalah dengan memberikan shock pada peubah eksogen produktivitas tenaga kerja (a1lab) sebesar 0,77% yang diakibatkan oleh peningkatan belanja modal, sedangkan simulasi peningkatan belanja rutin pemerintah dilakukan dengan
memberikan shock pada peubah produktivitas tenaga kerja (a1lab) sebesar 0,68% yang diakibatkan oleh peningkatan belanja rutin. Simulasi kebijakan investasi modal manusia terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia menunjukkan bahwa secara umum, dampak yang dihasilkan oleh investasi modal manusia melalui belanja modal pemerintah memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan investasi modal manusia melalui belanja rutin pemerintah. Investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah, baik melalui belanja modal maupun belanja rutin menyebabkan peningkatan PDB riil. Peningkatan output yang terjadi akibat investasi modal manusia akan berdampak pada penawaran/supply barang dan jasa yang ada di pasar. Sesuai dengan mekanisme pasar yang kompetitif, penambahan supply barang dan jasa yang tersedia semakin mendorong turunnya harga barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar (supply-side deflation). Penurunan variabel indeks harga konsumen dan deflator PDB menunjukkan indikasi terjadinya deflasi yang diakibatkan oleh investasi modal manusia. Dampak simulasi terhadap ketenagakerjaan dapat ditinjau melalui perubahan upah tenaga kerja yang terjadi. Peningkatan belanja modal pemerintah untuk investasi modal manusia (simulasi 1) mengakibatkan upah tenaga kerja di semua tingkat pendidikan mengalami peningkatan. Peningkatan upah yang terjadi disebabkan karena peningkatan output agregat yang mengakibatkan permintaan faktor input komposit oleh produsen juga meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja sebagai salah satu faktor input akan mengakibatkan peningkatan upah baik secara nominal dan riil dalam jangka panjang. Secara sektoral, investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah baik melalui belanja modal maupun belanja rutin berdampak terhadap peningkatan output dan penurunan tingkat harga, dimana belanja modal memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan belanja rutin. Sedangkan pada penyerapan tenaga kerja sektoral, dari 31 sektor penelitian terdapat 8 sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja. Investasi modal manusia juga mengakibatkan bergesernya komposisi tenaga kerja dari tenaga kerja berpendidikan rendah ke tenaga kerja berpendidikan tinggi pada jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan yang dapat disarankan, adalah: (1) Pemerintah perlu melakukan peningkatan anggaran pada sektor pendidikan dan kesehatan. Tetapi mengingat pengaruh dari belanja modal lebih baik dibandingkan dengan belanja rutin, maka pemerintah harus lebih memfokuskan pada peningkatan anggaran untuk belanja modal. (2) Pemerintah perlu merumuskan suatu kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja baru dengan mempertimbangkan peningkatan penyerapan tenaga kerja menurut tingkat pendidikan yang diakibatkan oleh investasi modal manusia. (3) Saran untuk penelitian selanjutnya adalah pada spesifikasi model penelitian dibedakan produktivitas tenaga kerja (a1lab) dan elastisitas faktor primer (SIGMA1PRIM) menurut tingkat pendidikan sehingga dapat lebih menggambarkan perubahan permintaan tenaga kerja menurut tingkat pendidikan. Kata Kunci: modal manusia, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah, cge
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAMPAK INVESTASI MODAL MANUSIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
TOMMY HADIYANTO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Judul Penelitian Nama NRP Program Studi
: Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia : Tommy Hadiyanto : H151104464 : Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Ketua
Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 1 September 2012
Tanggal Lulus:
Halaman ini sengaja dikosongkan
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim M.Ec. selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada istri tercinta Vina Eka Andriyani, S.ST., kedua buah hati penulis: Farah Nabila Hadiyanto dan Rafif Zaidan Hadiyanto, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan do‟a dan dukungan yang tak terkira sejak awal perkuliahan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Kiranya hanya Allah SWT yang akan memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan penelitian.
Bogor, September 2012 Tommy Hadiyanto
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan pada tanggal 12 Juli 1977 dari pasangan Bapak Soeroto (Alm) dan Ibu Djamainah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis diterima menjadi mahasiswa Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta pada tahun 1995 dan menyelesaikan pendidikan Diploma III pada tahun 1998. Selesai pendidikan Diploma III, penulis menjalani ikatan dinas pada BPS Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2001, penulis mendapatkan kesempatan untuk tugas belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dalam rangka menyelesaikan pendidikan Diploma IV. Setelah lulus Diploma IV pada tahun 2002, penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara pada Bidang Statistik Distribusi. Pada tahun 2003, penulis dipindahtugaskan ke BPS Kota Padangsidimpuan Provinsi Sumatera Utara. Terhitung sejak tahun 2010, setelah menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui program beasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiii I.
PENDAHULUAN ............................................................................................1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 8 1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................................ 9
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................11 2.1 Tinjauan Teori ......................................................................................... 11 2.1.1 Konsep Modal Manusia .............................................................. 11 2.1.2 Investasi Modal Manusia ............................................................ 11 2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar ............................. 13 2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow ........................................... 17 2.1.5 Teori Pertumbuhan Baru: Pertumbuhan Endogen ...................... 19 2.1.6 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian .................................. 22 2.1.7 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ........................... 23 2.1.8 Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium) ....... 25 2.2 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 31 2.3 Kerangka Pemikiran................................................................................ 34 2.4 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 35 III. METODE PENELITIAN ................................................................................37 3.1 Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 37 3.2 Metode Analisis ...................................................................................... 37 3.2.1 Model Computable General Equilibrium (CGE) ........................ 37 3.2.2 Sistem Persamaan Model INDOMINI ........................................ 39 3.3 Simulasi Kebijakan ................................................................................. 53 IV. GAMBARAN UMUM ...................................................................................59 4.1 Modal Manusia ....................................................................................... 59 4.2 Investasi Modal Manusia ........................................................................ 64 4.3 Kondisi Perekonomian ............................................................................ 69 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................75 5.1 Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Kinerja Ekonomi Makro ...................................................................................................... 75 5.2 Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ................................................................................................... 78 5.2.1 Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Output Domestik dan Tingkat Harga Sektoral ........................................ 79
xviii
5.2.2 Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ................................................................. 82 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 87 6.1 Kesimpulan .............................................................................................. 87 6.2 Saran ........................................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 89
DAFTAR TABEL Halaman 1
Persentase penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia tahun 2006-2011 ...............................................3
2
Angka harapan hidup Negara-negara ASEAN tahun 2006-2011 .....................4
3
Produktivitas menurut lapangan usaha Indonesia tahun 2011 ..........................7
4
Peubah eksogen yang digunakan dalam model INDOMINI ..........................53
5
Pengeluaran pemerintah pusat pada sektor pendidikan dan kesehatan serta peningkatannya di Indonesia tahun 2011-2012 (milyar rupiah).............56
6
Besaran shock investasi modal manusia pendekatan produktivitas tenaga kerja .....................................................................................................57
7
Perkembangan struktur umur penduduk Indonesia tahun 1971-2010 (persen)............................................................................................................59
8
Human Development Index (HDI) negara-negara ASEAN tahun 20072011 .................................................................................................................62
9
Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan 31 sektor di Indonesia tahun 2008 ......................................................................................71
10 Dampak investasi modal manusia terhadap beberapa variabel indikator makroekonomi ................................................................................................76 11 Dampak investasi modal manusia terhadap output domestik dan tingkat harga sektoral ..................................................................................................80 12 Dampak investasi modal manusia melalui belanja modal terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral ....................................................................84 13 Dampak investasi modal manusia melalui belanja rutin terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral ....................................................................85 14 Dampak investasi modal manusia terhadap tingkat upah tenaga kerja sektoral menurut pendidikan ...........................................................................86
xx
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Hubungan antara rata-rata lama sekolah (tahun) dan angka harapan hidup (tahun) dengan PDB per kapita (juta rupiah) Indonesia tahun 2010. ..................................................................................................................2
2
Pengeluaran fungsi pendidikan dan kesehatan pemerintah pusat dan daerah tahun 2007-2011. ...................................................................................5
3
Trade-off keuangan dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan sekolah. ...........................................................................................................13
4
Investasi aktual dan break-even. .....................................................................19
5
Diagram Edgeworth Box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi. ..........................................................................................................27
6
Production Possibility Curve (PPC). ..............................................................28
7
Diagram Edgeworth Box untuk kasus dua komoditas dan dua individu.........29
8
Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi. ...............................................31
9
Kerangka pemikiran penelitian. ......................................................................34
10 Aliran database INDOMINI ............................................................................38 11 Struktur produksi berjenjang. ..........................................................................43 12 Struktur permintaan konsumen berjenjang. ....................................................47 13 Persentase penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia tahun 2011.......................................................60 14 Angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah di Indonesia tahun 2006 – 2010. ....................................................................................................61 15 Peringkat daya saing serta indikator kesehatan dan pendidikan dasar beberapa negara tahun 2011. ...........................................................................64 16 Proporsi anggaran pendidikan terhadap total APBD per provinsi di Indonesia tahun 2010. .....................................................................................65 17 Persentase pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan terhadap PDB negara-negara ASEAN tahun 2010. ................................................................66
xxii
18 Proporsi anggaran kesehatan terhadap total APBD per provinsi di Indonesia tahun 2010. ..................................................................................... 67 19 Persentase Pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan terhadap PDB negara-negara ASEAN tahun 2009. ............................................................... 68 20 Laju pertumbuhan PDB Indonesia menurut lapangan usaha tahun 20052011. ............................................................................................................... 69 21 Pembagian kelompok sektor-sektor ekonomi menurut indeks daya penyebaran (forward linkages) dan indeks derajat kepekaan (backward linkages) di Indonesia tahun 2008. ................................................................. 74
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Set header array pada Model INDOMINI .....................................................93
2
Klasifikasi 31 sektor penelitian .......................................................................94
3
Blok persamaan pada file input tablo Model CGE INDOMINI .....................96
4
Hasil estimasi persamaan fungsi produktivitas menggunakan Eviews 6.0 ..................................................................................................................109
5
Dampak investasi modal manusia terhadap stok modal dan biaya produksi per unit ...........................................................................................110
6
Dampak investasi modal manusia melalui belanja modal terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral ..................................................................111
7
Dampak investasi modal manusia melalui belanja rutin terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral ..................................................................112
xxiv
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat tergantung pada ketersediaan
faktor-faktor produksi yaitu modal fisik (physical capital) serta tenaga kerja (labor). Semakin tinggi investasi yang dilakukan pada modal fisik dengan dukungan tenaga kerja yang memadai akan meningkatkan output suatu negara. Konsep
tersebut
kemudian
dikembangkan
oleh
Solow
(1956)
dengan
menambahkan faktor kemajuan teknologi sebagai bagian dari faktor produksi. Konsep yang dikenal dengan model pertumbuhan Solow ini menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal fisik, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian. Namun dalam perkembangan literatur ekonomi pembangunan, selain faktorfaktor produksi yang dinyatakan dalam model pertumbuhan Solow, modal manusia (human capital) juga terbukti merupakan faktor yang sangat penting dan memainkan peranan kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Schultz (1961), Romer (1986), serta Mankiew et al. (1992) menunjukkan bahwa modal manusia merupakan faktor produksi yang terpisah dan sejajar dengan modal fisik serta berbeda dengan tenaga kerja. Modal manusia juga dapat membantu menjelaskan mengapa tingkat pengembalian investasi modal fisik tidak setinggi yang diprediksi model Solow pada negara-negara yang miskin (Ray 1998). Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa modal manusia sangat dipengaruhi oleh permasalahan pendidikan dan kesehatan. Hal ini dikarenakan pendidikan dan kesehatan memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Pendidikan dan kesehatan disamping berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi juga memiliki hubungan yang erat di antara keduanya. Di satu sisi, modal kesehatan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian investasi yang dicurahkan untuk pendidikan, karena kesehatan merupakan faktor penting agar seseorang bisa hadir di sekolah. Di sisi lain, modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kesehatan, karena banyak program kesehatan bergantung pada keterampilan dasar yang dipelajari di
2
sekolah, termasuk kesehatan pribadi dan sanitasi, juga melek huruf dan melek angka. Hayami dan Godo (2005), dalam mengukur modal manusia dengan menggunakan rata-rata lamanya sekolah sebagai pendekatan pendidikan dan angka harapan hidup sebagai pendekatan kesehatan, menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara modal manusia dengan PDB per kapita. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dimana investasi pada sektor pendidikan dan kesehatan meningkatkan produktivitas manusia, sehingga menghasilkan output per orang yang lebih tinggi. Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa dengan menggunakan pendekatan yang sama seperti yang dilakukan Hayami dan Godo (2005), modal manusia di Indonesia juga memiliki korelasi yang positif dengan PDB per kapita. 78
11
Angka harapan hidup (tahun)
Rata-rata lama sekolah (tahun)
Ln PDB = -9,82 + 0,17 AHH (t=3,491)
76
74
72
70
68
66
Ln PDB = -1,03 + 0,37 RLS (t=3,532)
10
9
8
7
6 0
10
20
30
40
PDB per kapita (juta rupiah)
50
0
10
20
30
40
50
PDB per kapita (juta rupiah)
Sumber: BPS, 2011 (diolah). Gambar 1 Hubungan antara rata-rata lama sekolah (tahun) dan angka harapan hidup (tahun) dengan PDB per kapita (juta rupiah) Indonesia tahun 2010. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat (Population Reference Bereau 2011) tentunya memiliki potensi modal manusia yang sangat besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia lebih dari 237 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 170,66 juta penduduk termasuk usia kerja (15 tahun ke atas), sedangkan jumlah
3
yang bekerja adalah sebanyak 111,28 juta jiwa. Namun jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, proporsi terbesar dari keseluruhan penduduk yang bekerja didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Dari Tabel 1 dapat dilihat, bahwa walaupun terjadi tren yang menunjukkan pergeseran komposisi dari tenaga kerja berpendidikan rendah ke tenaga kerja berpendidikan tinggi dari tahun 2006 sampai 2011, namun kondisi ini tetap menunjukkan dengan jelas adanya ketimpangan antara ketersediaan tenaga kerja terdidik dengan yang tidak terdidik. Persentase tenaga kerja berpendidikan rendah (lulusan SLTP ke bawah) mencapai 68,27 persen, sedangkan lulusan SLTA ke atas hanya sebesar 31,73 persen. Dengan kata lain, jumlah tenaga kerja yang berpendidikan rendah masih menjadi mayoritas penyumbang tenaga kerja di Indonesia. Tabel 1 Persentase penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia tahun 2006-2011 Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan (1) Tidak/Belum Tamat SD SD
2006
2007
2008
2009
2010
2011
(2) 17,90
(3) 18,42
(4) 18,42
(5) 24,37
(6) 21,43
(7) 20,56
38,06
37,99
35,84
28,27
28,94
28,84
SLTP
20,01
18,84
18,57
18,49
19,07
18,87
SLTA
18,79
18,55
20,63
21,76
22,91
23,68
5,57
6,20
6,58
7,10
7,64
8,05
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
PT Jumlah Sumber: BPS, 2011.
Menurut Card (1999), pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam pasar tenaga kerja modern. Beberapa penelitian di banyak negara dan periode waktu yang berbeda telah memastikan bahwa orang yang berpendidikan lebih baik akan mendapatkan upah yang lebih tinggi, peluang kerja yang lebih besar, dan pekerjaan yang lebih bergengsi dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah. Oleh karena itu, investasi pendidikan sangat diperlukan sehingga selain untuk meningkatkan ketersediaan modal manusia
4
dalam meningkatkan proses produksi, juga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan tenaga kerja secara langsung. Ditinjau berdasarkan tingkat kesehatan dengan menggunakan indikator angka harapan hidup (life expectancy at birth), Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang lain. Menurut United Nation Development Programme (2011b), angka harapan hidup masyarakat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei, Vietnam, Malaysia, dan Thailand sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel 2 Angka harapan hidup Negara-negara ASEAN tahun 2006-2011 No. Negara (1) (2) 1. Singapura
2006 (3) 80,3
2007 (4) 80,5
2008 (5) 80,7
2009 (6) 80,8
2010 (7) 81,0
2011 (8) 81,1
2. Brunei
77,3
77,5
77,6
77,7
77,9
78,0
3. Vietnam
74,1
74,3
74,5
74,7
75,0
75,2
4. Malaysia
73,1
73,3
73,5
73,7
74,0
74,2
5. Thailand
73,4
73,5
73,6
73,8
74,0
74,1
6. Indonesia
67,4
67,8
68,1
68,5
68,9
69,4
7. Filipina
67,6
67,8
68,0
68,2
68,5
68,7
8. Laos
65,1
65,7
66,2
66,7
67,1
67,5
9. Myanmar
63,2
63,5
63,8
64,2
64,7
65,2
10. Kamboja
60,7
61,2
61,7
62,2
62,7
63,1
Sumber: UNDP, 2011b. Kondisi modal manusia Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah dalam mengalokasikan anggaran di bidang pendidikan dan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 dan 34. Pergeseran komposisi dari tenaga kerja berpendidikan rendah ke tenaga kerja berpendidikan tinggi (Tabel 1), serta semakin membaiknya angka harapan hidup (Tabel 2) turut dipengaruhi oleh anggaran pemerintah yang semakin meningkat untuk bidang pendidikan dan kesehatan dari tahun ke tahun. Perkembangan pengeluaran di bidang pendidikan dan kesehatan pemerintah pusat dan daerah selama periode 2007-2011 dapat dilihat pada Gambar 2. Pada tahun 2007, pengeluaran pendidikan adalah sebesar 124,03 triliun rupiah dan terus meningkat
5
menjadi 247,66 triliun rupiah pada tahun 2011. Sedangkan pengeluaran pendidikan juga turut mengalami peningkatan dari sebesar 41,30 triliun rupiah pada tahun 2007 menjadi 62,27 triliun rupiah pada tahun 2011. 300 Pendidikan
Triliun rupiah
250
247.66
Kesehatan 196.52
200 150
207.87
146.97 124.03
100 50
41.30
46.75
59.27
53.54
62.27
0 2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2007-2011 (diolah). Gambar 2 Pengeluaran fungsi pendidikan dan kesehatan pemerintah pusat dan daerah tahun 2007-2011. Banyak bukti empiris yang mendukung hubungan positif antara pengeluaran pemerintah, baik di bidang pendidikan maupun kesehatan, terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Angelopoulos et al. (2007) yang menemukan bahwa dengan menggunakan modal manusia sebagai faktor produksi, maka pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat juga diartikan bahwa kemampuan produktivitas tenaga kerja di Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh akses untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan, oleh karena itu kebijakan pemerintah untuk menyediakan akses tersebut perlu mendapat perhatian yang serius dalam perencanaan pembangunan di masa mendatang. 1.2
Perumusan Masalah Modal manusia merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki peran
tak kalah penting dengan faktor produksi lainnya seperti modal fisik dan tenaga kerja dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Investasi terhadap
6
modal fisik tanpa disertai oleh investasi terhadap modal manusia akan menjadi kurang produktif. Jhingan (2007) menyatakan bahwa di negara-negara yang mencoba mempercepat pembangunan ekonominya menggunakan pabrik-pabrik modern serta metode dan mesin mutakhir dari negara industri yang paling maju sering tidak menghasilkan volume dan kualitas produksi yang diharapkan. Hal ini disebabkan banyak hal, misalnya manajemen dan pekerja tidak cukup terlatih, kurang pengalaman, dan juga kesehatan pekerja. Indonesia sebagai negara yang termasuk mengalami surplus tenaga kerja, memiliki potensi untuk mentransformasi kelebihan tenaga kerja tersebut menjadi modal manusia. Tetapi, jika dilihat dari ranking kualitas manusia yang diukur melalui HDI terhadap 187 negara yang diteliti, Indonesia pada tahun 2011 termasuk pada kategori menengah dan berada di posisi 124. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, maka ranking Indonesia tersebut berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina (UNDP 2011a). Kondisi saat ini, tenaga kerja berpendidikan rendah memiliki porsi yang sangat besar dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia. Hal ini ditambah dengan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia yang juga masih tergolong rendah tentu saja memengaruhi produktivitas perekonomian baik secara sektoral maupun keseluruhan. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa produktivitas (output per pekerja) menurut sektor (lapangan usaha) di Indonesia sangat bervariasi, dimana sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor dengan produktivitas yang sangat rendah. Padahal jika dilihat dari output yang dihasilkan, sektor tersebut merupakan sektor ketiga yang memberikan output terbesar. McNamara et al. (2010), menekankan bahwa peningkatan produktivitas pada sektor pertanian memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian, dimana peningkatan produktivitas pada sektor pertanian akan menghasilkan output berbiaya rendah yang dapat digunakan oleh sektor perekonomian lainnya. McNamara et al. (2010) juga menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas suatu perekonomian selalu diiringi oleh meningkatnya modal manusia di sektor pertanian, dimana investasi modal manusia di bidang pendidikan memiliki pengaruh yang lebih besar untuk sektor pertanian dibandingkan dengan investasi
7
modal manusia di bidang kesehatan. Dengan demikian, modal manusia memegang peranan yang penting dalam peningkatan produktivitas di sektor pertanian yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Tabel 3 Produktivitas menurut lapangan usaha Indonesia tahun 2011 No.
Lapangan Usaha
(1) 1.
PDB1)
Tenaga ProdukKerja2) tivitas3) (4) (5) 39.328.915 7,98
(2) (3) Pertanian, Peternakan, Kehutanan 313,73 dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 189,18 1.465.376 3. Industri Pengolahan 634,25 14.542.081 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 18,92 239.636 5. Konstruksi 160,09 6.339.811 6. Perdagangan, Hotel, & Restoran 437,25 23.396.537 7. Pengangkutan dan Komunikasi 241,28 5.078.822 8. Keuangan, Real Estate, & Jasa 236,08 2.633.362 Perusahaan 9. Jasa-jasa 232,46 16.645.859 Keterangan: 1) Angka sangat sementara (triliun rupiah) 2) Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja (orang) 3) Output per Tenaga Kerja (juta rupiah per orang) Sumber: BPS, 2011.
129,10 43,61 78,96 25,25 18,69 47,51 89,65 13,97
Untuk menghasilkan ketersediaan modal manusia tersebut, maka peran pemerintah sangat penting dalam mengalokasikan anggaran di bidang pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan, pengetahuan, dan kesehatan tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian Indonesia. Pengeluaran pemerintah Indonesia dapat dibedakan menjadi dua jenis pengeluaran yaitu belanja rutin dan belanja modal. Belanja rutin merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk belanja pegawai (gaji, upah, dan sebagainya) serta untuk belanja barang-barang lainnya yang habis pakai dalam proses produksi pemerintah. Sedangkan belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk melakukan pembangunan fisik, seperti jalan, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya.
8
Beberapa penelitian menekankan pentingnya belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perekonomian. Sebagai contoh, salah satu penelitian menyimpulkan bahwa peranan belanja modal pemerintah sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia (Indrawati 2011). Walaupun demikian, belanja rutin pemerintah juga memiliki peranan yang tidak kalah penting. Tanpa adanya tenaga pengajar, tenaga kesehatan, dan juga alat-alat penunjang dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dan kesehatan yang dibiayai melalui belanja rutin pemerintah, maka sekolah dan rumah sakit pemerintah yang dibangun juga tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana dampak investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam indikator makro ekonomi?
2.
Bagaimana dampak investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan terhadap kinerja ekonomi sektoral di Indonesia?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1.
Menganalisis dampak investasi
modal
manusia
melalui
kebijakan
pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam indikator makro ekonomi di Indonesia. 2.
Mengidentifikasi dampak investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan terhadap kinerja ekonomi sektoral di Indonesia.
Hasil analisis dampak kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1.
Mengidentifikasi dampak dan efektivitas kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan dalam menggerakkan perekonomian domestik, baik dari sisi ekonomi makro (PDB riil, penyerapan tenaga kerja,
9
konsumsi rumahtangga, dan lain-lain) maupun ekonomi sektoral (output, harga, dan penyerapan tenaga kerja). 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atas kebijakan pengeluaran pendidikan dan kesehatan yang dilaksanakan pemerintah dan juga bermanfaat sebagai bahan kajian/penelitian selanjutnya.
1.4
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan model computable general equilibrium (CGE)
Indomini sebagai alat analisis utama. Model ini menggunakan model dasar Minimal (Horridge 2001), yang dikembangkan dengan cara menambahkan sejumlah sektor ekonomi (komoditi) sesuai dengan tujuan penelitian. Fokus penelitian adalah kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan sebagai faktor-faktor yang memengaruhi ketersediaan modal manusia dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Penelitian ini memiliki dua keterbatasan utama, yaitu dari sisi model CGE yang digunakan dan dari sisi cakupan penelitiannya. Dari sisi modelnya, model CGE Indomini merupakan model CGE sederhana yang belum memasukkan unsur dinamis dalam analisisnya, sehingga analisis pada penelitian ini masih bersifat statis komparatif (Oktaviani 2011). Model CGE Indomini juga mengasumsikan pada jangka panjang terjadi full employment, sehingga penelitian ini tidak menganalisis permasalahan surplus tenaga kerja maupun pengangguran. Sementara dari sisi cakupannya, penelitian ini dibatasi pada kinerja ekonomi makro dan ekonomi sektoral secara nasional, dampak terhadap perekonomian regional tidak dianalisis. Investasi modal manusia pada penelitian ini hanya dilihat dari sisi pemerintah, sedangkan investasi modal manusia yang dilakukan oleh pihak swasta maupun rumahtangga tidak diteliti. Analisis juga tidak dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga dan pengurangan kemiskinan.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 Konsep Modal Manusia Konsep modal manusia (human capital) telah dikenal dalam ilmu ekonomi lebih dari 40 tahun yang lalu (Schultz 1961; Becker 1962). Bahkan beberapa penelitian menelusuri kembali ke karya Adam Smith di abad ke-18. Schultz (1961) menekankan pentingnya konsep modal manusia, dengan menolak kritik bahwa terminologi tersebut merendahkan martabat manusia dengan menyamakan orang dengan sekumpulan pengetahuan dan keterampilan, yang berarti hanya memiliki sedikit perbedaan dari komponen-komponen mesin. Konsep modal manusia sebaliknya secara kuat menekankan bagaimana seseorang menjadi penting, dalam hal ekonomi yang berbasis pengetahuan dan persaingan. Todaro dan Smith (2006) membedakan konsep antara modal manusia dengan sumber daya manusia. Dimana modal manusia adalah keterampilan, kecakapan, cita-cita, kesehatan, dan sebagainya yang merupakan hasil pengeluaran atau pembelanjaan di bidang pendidikan, penyediaan serta pengembangan program pelatihan kerja, program perawatan dan pemeliharaan kesehatan, dan sebagainya. Sedangkan sumber daya manusia adalah kuantitas dan kualitas dari angkatan kerja di sebuah negara. Modal manusia dapat didefinisikan ke dalam banyak arti, namun secara umum modal manusia memiliki pengertian pengetahuan, keahlian, kompetensi, dan sifat-sifat lainnya yang dimiliki manusia yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi (OECD 1998). Oleh karena itu, modal manusia harus diperlakukan sebagai faktor produksi yang sejajar dengan modal fisik dan dipisahkan dari tenaga kerja. 2.1.2 Investasi Modal Manusia Menurut Becker (1962), investasi modal manusia berhubungan dengan seluruh kegiatan yang memengaruhi pendapatan riil seseorang di masa yang akan datang melalui peningkatan sumberdaya manusia. Banyak cara untuk melakukan investasi modal manusia termasuk sekolah, on-the-job training, perawatan kesehatan, konsumsi vitamin, dan mendapatkan informasi tentang sistem
12
ekonomi. Pengaruh dari cara-cara investasi tersebut berbeda dalam hal pendapatan dan konsumsi, banyaknya sumberdaya yang diinvestasikan, serta tingkat pengembalian investasi. Namun semua cara investasi tersebut meningkatkan kemampuan manusia baik secara fisik maupun mental sehingga meningkatkan prospek pendapatan riil. Investasi modal manusia yang dikemukakan Becker dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu pendidikan dan kesehatan. Organisation for Economic Co-operation and Development (2011) dalam laporannya menyatakan bahwa dengan melakukan investasi modal manusia di bidang pendidikan maka secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada tingkat kesehatan. Pandangan tersebut didasari oleh bukti-bukti dan penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang lebih berpendidikan cenderung akan lebih sehat. Salah satu penyebabnya adalah orang yang berpendidikan mampu memahami dan memproses lebih banyak informasi tentang kesehatan dibandingkan dengan orang yang kurang berpendidikan. Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa dampak investasi dalam modal manusia di negara-negara berkembang sangat besar. Gambar 3 memperlihatkan suatu representasi skematis dari trade-off yang terkandung dalam keputusan untuk melanjutkan sekolah. Skema ini mengasumsikan bahwa seseorang bekerja dari saat ia lulus sekolah hingga ia tidak mampu bekerja lagi atau meninggal. Dua profil golongan pencari nafkah disajikan di sini, yaitu orang-orang yang lulus pendidikan dasar namun tidak melanjutkan ke pendidikan tingkat atas, dan orangorang yang lulus pendidikan tingkat atas (atau pendidikan sekunder) namun tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Lulusan sekolah dasar diasumsikan mulai bekerja pada usia 13 tahun, dan lulusan sekolah tingkat atas diasumsikan mulai bekerja pada usia 17 tahun. Bagi seseorang di negara berkembang yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat atas akan mengorbankan 4 tahun pendapatan yang tidak akan diperolehnya karena bersekolah. Hal ini adalah biaya tidak langsung, seperti yang dilihatkan dalam gambar. Di samping itu, juga terdapat biaya langsung seperti biaya sekolah, seragam sekolah, buku-buku, dan pengeluaran lain yang tidak akan dikeluarkan jika anak tersebut tidak melanjutkan sekolah begitu lulus
13
dari sekolah dasar. Selama sisa hidupnya, dia akan memperoleh penghasilan lebih besar setiap tahunnya daripada jika ia bekerja dengan berbekal ijazah SD saja. Perbedaan ini disebut “Manfaat” dalam Gambar 3. Pendapatan
Lulusan Sekolah Atas
Lulusan Sekolah Dasar
Manfaat
Biaya Tidak Langsung 13
17
66
Umur
Biaya Langsung
Biaya Langsung
Sumber: Todaro dan Smith (2006). Gambar 3 Trade-off keuangan dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan sekolah. 2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negara-negara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan (Jhingan 2007).
14
Menurut Todaro dan Smith (2006), setiap perekonomian pada dasarnya harus mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal yang telah susut atau rusak. Tetapi untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock). Jika diasumsikan bahwa ada hubungan ekonomi langsung antara besarnya stok modal, atau K, dengan GDP total, atau Y, maka artinya setiap tambahan neto terhadap stok modal dalam bentuk investasi baru akan menghasilkan kenaikan arus output nasional atau GDP. Jika hubungan tersebut, yang dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai rasio modal-output (capital-output ratio), ditetapkan sebagai k, dan rasio tabungan nasional (national saving ratio), yang ditetapkan sebagai s, merupakan persentase atau bagian tetap dari output nasional yang selalu ditabung, serta jumlah investasi baru ditentukan oleh jumlah tabungan total (S), maka secara sederhana, kaitan pertumbuhan ekonomi, tabungan, dan investasi dalam versi model HarrodDomar dapat dinyatakan sebagai berikut: i)
Tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau s, dari pendapatan nasional (Y). Hubungan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk persamaan yang sederhana : S = sY
(2.1)
ii) Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili oleh ∆K, sehingga persamaan sederhana yang kedua dapat dituliskan sebagai berikut: I = ∆K
(2.2)
Akan tetapi, karena jumlah stok modal, K, mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output, Y, seperti yang ditunjukkan oleh rasio modal-output, k, yaitu: K/Y = k atau ∆K/∆Y = k atau, akhirnya ∆K = k∆Y
(2.3)
15
iii) Terakhir, mengingat tabungan nasional neto (S) harus sama dengan investasi neto (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut: S=I
(2.4)
Dari persamaan (2.1) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (2.2) dan (2.3), juga telah diketahui bahwa: I = ∆K = k∆Y Dengan demikian, „identitas‟ tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (2.4) adalah sebagai berikut: S = sY = k∆Y = ∆k = I
(2.5)
atau dapat diringkas menjadi sY = k∆Y
(2.6)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (2.6) dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian dengan k, maka akan didapat: ∆Y/Y = s/k
(2.7)
dimana : (∆Y/Y)
= pertumbuhan ekonomi
s
= tingkat tabungan nasional
k
= ICOR (incremental capital output rasio, ∆K/∆Y atau I/∆Y) Persamaan (2.7), yang merupakan versi sederhana dari persamaan terkenal
dalam teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, secara jelas menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GDP (∆Y/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional, s, serta rasio modal-output nasional, k. Secara lebih spesifik, persamaan itu menyatakan bahwa tanpa adanya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional akan secara langsung atau secara positif berbanding lurus dengan rasio tabungan (semakin banyak bagian GDP yang ditabung dan diinvestasikan, maka akan lebih besar lagi pertumbuhan GDP yang dihasilkan) dan secara negatif atau berbanding terbalik terhadap rasio modaloutput dari suatu perekonomian. Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan
menjadi
pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth =
∆𝑌 𝑌
) adalah laju pertumbuhan
sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan
16 ∆𝐾
rasio tambahan kapital output ( ∆𝑌 ). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai guna menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan antara permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju pertumbuhan ini, permintaan agregat dianggap cukup tinggi, sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas produksi yang ada. Dengan kata lain, output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai bila output aktual, output potensial, permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama (Mankiw 2007). Perekonomian dalam keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian mengalami kelebihan kapasitas yang dapat menciptakan depresi jangka panjang. Sebaliknya jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian mengalami inflasi jangka panjang. Harrod juga menyimpulkan teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan keseimbangan (equilibrium). Kesimpulan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kondisi keseimbangan jarang terjadi. Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang dapat memperbaiki kondisi penyimpangan tersebut kembali menjadi stabil atau mencapai keseimbangan. Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat dicapai melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang dapat meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas
17
kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. 2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Model pertumbuhan neoklasik Solow merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yaitu tenaga kerja, serta memperkenalkan variabel independen ketiga, yaitu teknologi, ke dalam persamaan pertumbuhan (growth equation). Tetapi, berbeda dari model HarrodDomar yang mengasumsikan constant return to scale dengan koefisien baku, model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah. Sedangkan jika kedua input tersebut dianalisis secara bersamaan, Solow juga menggunakan asumsi constant return to scale. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi-rendahnya pertumbuhan teknologi itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Karena kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen, model neoklasik Solow juga disebut sebagai model pertumbuhan eksogen (Todaro & Smith 2006). Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi antar faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi. Asumsiasumsi tersebut mengantarkan kepada pemahaman bahwa perekonomian akan mencapai keseimbangan dan stabilitas pertumbuhan dalam jangka panjang. Solow menekankan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam setiap proses produksi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi juga diasumsikan terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja efektif (effective labor) atau labor augmenting. Dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama jika kapital dan tenaga kerja
18
digandakan. Dari anggapan tersebut, model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: 𝑦=𝑓 𝑘
(2.8)
Dimana: y = Output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = Kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = Total output K = Kapital L = Tenaga kerja A = Efektivitas tenaga kerja (teknologi) AL = Tenaga kerja efektif (labor augmented) Menurut Solow, output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even. Investasi break-even adalah investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan teknologi serta menggantikan penyusutan sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap. Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 4, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, maka investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok capital per tenaga kerja efektif keseimbangan. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja
19
keseimbangan. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu
Investasi, Investasi break-even
konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*.
Investasi break-even
Investasi
k*
Modal per pekerja, k
Sumber: Mankiw, 2007. Gambar 4 Investasi aktual dan break-even. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan teknologi. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan teknologi. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. 2.1.5 Teori Pertumbuhan Baru: Pertumbuhan Endogen Menurut Todaro dan Smith (2006), kinerja teori neoklasik yang tidak memuaskan dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang telah menyebabkan kekecewaan yang meluas terhadap teori
20
pertumbuhan tradisional. Bahkan, menurut teori tradisional, tidak terdapat karakteristik intrinsik dari perekonomian yang dapat menyebabkannya tumbuh dalam jangka panjang. Sebaliknya, literatur tersebut malah membahas proses dinamis yang membuat rasio modal-tenaga kerja mendekati tingkat keseimbangan jangka panjang. Jika tidak ada “guncangan” eksternal atau perubahan teknologi, yang tidak dijelaskan dalam model neoklasik, semua perekonomian akan menuju kepada pertumbuhan nol. Oleh karena itu, peningkatan GNP per kapita dianggap merupakan fenomena sementara saja, yang bersumber dari perubahan teknologi atau proses penyeimbangan jangka pendek selama perekonomian mendekati keseimbangan jangka panjangnya. Tidak mengherankan, teori ini gagal memberikan penjelasan yang memuaskan atas terjadinya pertumbuhan ekonomi yang berlangsung dengan kecepatan yang luar biasa konsisten di seluruh dunia. Setiap peningkatan GNP yang bukan berasal dari penyesuaian jangka pendek dalam cadangan tenaga kerja maupun modal, dianggap bersumber dari kategori ketiga, yaitu yang biasa disebut sebagai residu Solow (Solow residual). Residu ini, tidak seperti namanya, bertanggung jawab atas sekitar 50 persen pertumbuhan yang terjadi di banyak negara industri. Dengan kata lain, teori neoklasik menyebutkan bahwa sebagian besar sumber pertumbuhan ekonomi merupakan faktor eksogen atau proses yang sama sekali independen dari kemajuan teknologi. Meskipun hal ini mungkin terjadi, pendekatan ini paling tidak mempunyai dua kelemahan. Pertama, dengan menggunakan kerangka neoklasik, adalah tidak mungkin untuk menganalisis penentu kemajuan teknologi karena kemajuan tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh berbagai lembaga ekonomi. Dan kedua, teori tersebut gagal menjelaskan besarnya perbedaan residu yang terdapat di antara negara yang mempunyai teknologi yang serupa. Dengan kata lain, keyakinan yang besar ditempatkan pada proses eksternal yang kurang dipahami, dan kurang didukung oleh teori maupun bukti empiris. Menurut teori neoklasik, rasio modal-tenaga kerja yang rendah pada negara-negara berkembang menjanjikan tingkat pengembalian investasi yang luar biasa tinggi, bahkan setelah menerapkan liberalisasi dalam perdagangan dan pasar
21
domestik, banyak negara berkembang yang tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit dan gagal menarik investasi asing, atau gagal mencegah larinya modal domestik ke luar negeri. Perilaku aliran modal negara-negara berkembang yang aneh (dari negara miskin ke negara kaya) turut memicu munculnya konsep pertumbuhan endogen (endogenous growth) yang lebih sederhana kita kenal dengan teori pertumbuhan baru (new growth theory). Teori pertumbuhan baru tersebut memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis pertumbuhan endogen, yaitu pertumbuhan GNP yang persisten, yang ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi dan bukan oleh kekuatan-kekuatan di luar sistem. Berlawanan dengan teori neoklasik tradisional, model-model ini menganggap bahwa pertumbuhan GNP merupakan konsekuensi alamiah dari keseimbangan jangka panjang. Motivasi utama dari teori pertumbuhan baru ini adalah untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antarnegara maupun faktor-faktor yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang diobservasi. Teori pertumbuhan endogen berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan GNP yang tidak dijelaskan dan dianggap sebagai variabel eksogen dalam perhitungan teori pertumbuhan neoklasik Solow (Solow residual). Salah satu model pertumbuhan endogen adalah model pertumbuhan endogen Romer yang merupakan pengembangan dari model Solow. Dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diketahui bahwa output merupakan fungsi dari kapital (K), stok human capital (H), dan jumlah tenaga kerja (L). Fungsi produksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Romer 1990a): 𝑌 𝑡 = 𝐾 𝑡 𝛼𝐻 𝑡
𝛽
𝐴 𝑡 𝐿 𝑡
1−𝛼−𝛽
(2.9)
Dimana α > 0, β > 0 dan α + β < 1. H adalah stok human capital, L merupakan jumlah pekerja, sehingga keahlian tenaga kerja disediakan dari 1 unit L dan beberapa jumlah H. Persamaan di atas mengimplikasikan bahwa constant return to scale terhadap K, H dan L secara bersama-sama. Dengan membuat asumsi tentang dinamika K dan L, maka: 𝐾 𝑡 = 𝑠𝐾 𝑌 𝑡
(2.10)
𝐿 𝑡 = 𝑛𝐿 𝑡
(2.11)
dan
22
Dimana sK adalah fraksi dari output dari physical capital accumulation, untuk penyederhanaan diasumsikan tidak ada depresiasi. Selanjutnya model Solow diasumsikan konstan dan kemajuan teknologi eksogen, maka: 𝐴 𝑡 = 𝑔𝐴 𝑡
(2.12)
Dan persamaan yang terakhir untuk penyederhanaan, human capital accumulation di modelkan dengan cara yang sama dengan physical capital accumulation, sebagai berikut: 𝐻 𝑡 = 𝑠𝐻 𝑌 𝑡
(2.13)
Dimana sH adalah fraksi modal manusia dari human capital accumulation. Model ini dapat digeneralisasi dalam beberapa cara tanpa mempengaruhi maknanya. Fungsi Cobb-Douglas dapat digantikan dengan fungsi produksi umum sebagai berikut: Y = F(K, H, AL)
(2.14)
Persamaan diatas menyatakan bahwa output suatu perekonomian merupakan fungsi dari kapital, human capital, produktivitas tenaga kerja. 2.1.6 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Menurut Stiglitz (2000), peranan pemerintah dalam perekonomian adalah: (1) menyediakan suatu sistem hukum, yang merupakan persyaratan untuk menjamin berfungsinya suatu perekonomian; (2) menghasilkan barang dan jasa serta menyediakan pinjaman, jaminan hutang, dan asuransi; (3) memengaruhi produksi sektor swasta, melalui subsidi, pajak, kredit, dan peraturan; (4) membeli barang dan jasa dari sektor swasta, yang kemudian disuplai oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan dan rumahtangga; dan (5) redistribusi pendapatan, mentransfer pendapatan dari beberapa individu ke individu lainnya. Selaras dengan pendapat Keynes, Musgrave menyatakan bahwa fungsi pemerintah dalam perekonomian modern adalah untuk memenuhi tiga fungsi, yaitu pertama, fungsi alokasi, pemerintah harus mengupayakan pengalokasian sumberdaya ekonomi secara efisien. Kedua, fungsi distribusi, pemerintah harus menjamin terciptanya distribusi pendapatan yang merata dan terwujudnya keadilan sosial. Ketiga, fungsi stabilisasi, pemerintah berkewajiban menjaga kondisi perekonomian dalam keadaan full employment dan menjalankan kebijakan
23
ekonomi makro. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya. Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Stiglitz 2000). 2.1.7 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para
ahli
ekonomi
dan
dapat
digolongkan
menjadi
tiga
golongan
(Mangkoesoebroto 2001), yaitu: 1.
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model
ini
dikembangkan
oleh
Rostow
dan
Musgrave
yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahaptahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-
24
pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2.
Hukum Wagner yang mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB.
Wagner
mengemukakan
pendapatnya
bahwa
dalam
suatu
perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3.
Teori Peacock dan Wiseman didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori ini merupakan dasar teori pemungutan pajak. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat memiliki suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dengan demikian masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka memiliki tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.
25
Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Menurut Mangkoesoebroto (2001), perkembangan belanja pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain perubahan permintaan atas barang publik, perubahan aktifitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik dan perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik, dan perubahan harga faktor produksi. 2.1.8 Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium) Dalam suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar yang saling terkait satu dengan lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan menyebabkan pasar lainnya juga ikut berubah. Suatu keseimbangan umum akan tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar, baik pasar faktor produksi maupun pasar komoditas, berada dalam keseimbangan. Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian yang terdiri dari semua pasar dan semuanya dalam keseimbangan disebut dengan model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam model CGE ini terdapat sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas maupun faktor produksi. Dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian. Pengembangan model keseimbangan umum dipelopori oleh Leontief, Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven dan Whalley (Dixon et al. 1992). Menurut mereka model ini dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari suatu kebijakan secara kuantitatif. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa kebijakan pajak, hambatan perdagangan, perubahan belanja pemerintah, harga komoditas, teknologi dan kebijakan di bidang lingkungan. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat industri, jenis pekerjaan, rumahtangga,
26
pemerintah dan wilayah serta berbagai peubah ekonomi makro, seperti inflasi, neraca perdagangan, investasi dan sebagainya (Sahara 2003). Model keseimbangan umum memandang perekonomian sebagai suatu sistem yang lengkap. Model ini tidak hanya dibangun pada tingkat agregat, tetapi dapat pula dibangun sampai dengan tingkat mikro secara rinci, yang menyatakan saling ketergantungan dari berbagai komponen ekonomi di dalamnya, yaitu antar industri, komoditas, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar yang berbeda. Keseimbangan umum dapat tercapai bila perekonomian diasumsikan dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan tidak terdapat kondisi increasing returns to scale (Sudarsono 1995). Asumsi-asumsi lain yang mendorong terciptanya kondisi keseimbangan umum adalah (1) pada pasar komoditas dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawarannya; (2) pada tingkat harga keseimbangan keuntungan perusahaan sama dengan nol; (3) pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluarannya; dan (4) penerimaan pemerintah sama dengan pengeluarannya. Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras yang menyatakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila tidak ada excess demand pada semua vektor harga. Konsep dasar keseimbangan umum sesungguhnya didasarkan pada kondisi pareto optimum pada setiap pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen, investor dan pemerintah. Pareto optimum adalah suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan kepuasaannya (better off) tanpa mengurangi kepuasan pihak lainnya (worse off). Nicholson (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi pareto optimum dalam keseimbangan umum, yaitu keseimbangan produksi, keseimbangan konsumsi dan keseimbangan simultan. 2.1.8.1 Keseimbangan Produksi (Production Efficiency) Kondisi keseimbangan produksi ini dapat tercapai apabila substitusi teknik marginal atau Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) untuk pasangan input adalah sama untuk produksi dua barang yang menggunakan dua jenis input, yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K). Untuk kasus dua input (K dan L) dan dua barang (X1 dan X2) tingkat MRTS input L dan K dalam memproduksi barang X1
27 harus sama dengan MRTS input L dan K dalam memproduksi barang X2 atau 𝑋
𝑋
𝑀𝑅𝑇𝑆𝐿𝐾1 = 𝑀𝑅𝑇𝑆𝐿𝐾2 . Teori produksi menyatakan bahwa produsen berada dalam 𝑤
keseimbangan tercapai bila 𝑀𝑅𝑇𝑆𝐿𝐾 = 𝑤 1 , dimana W1 adalah harga faktor L dan 2
W2 adalah harga faktor K. Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang berbeda, yaitu X1 dan X2, keseimbangan simultan yang terjadi bisa dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk X1 dan X2 tercapai pada saat isoquant X1 bersinggungan dengan isoquant X2 pada berbagai tingkat output. Titik singgung tersebut membentuk yang disebut dengan Kurva Kotrak atau Contract Curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor produksi.
Sumber: Nicholson, 2002. Gambar 5 Diagram Edgeworth Box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi. Dalam ekonomi pertukaran, semua alokasi yang efisien terletak di sepanjang kurva kontrak. Titik yang berada selain di kurva kontrak adalah tidak efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika berpindah dari titik tersebut ke kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak preferensi individu bersaing satu dengan lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lain. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut:
28 𝑋
𝑋
𝑤
𝑀𝑅𝑇𝑆𝐿𝐾1 = 𝑀𝑅𝑇𝑆𝐿𝐾2 = 𝑤 1
(2.15)
2
MRTS adalah slope dari isokuan. Persamaan (2.15) menyatakan bahwa keseimbangan umum di sektor produksi tercapai pada saat MRTS untuk semua output adalah sama (Gambar 5). Jika harga faktor diketahui maka jumlah output X1 dan X2 yang harus diproduksi agar keuntungan maksimum dapat tercapai dapat ditentukan. Tingkat output X1 dan X2 yang harus diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang X1 dan X2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif P1 dan P2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan, dibutuhkan konsep Kurva Kemungkinan Produksi atau Production Possibility Curve (PPC).
Sumber: Nicholson, 2002. Gambar 6 Production Possibility Curve (PPC). PPC diturunkan dari CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi X1 dan X2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi produksi. Slope dari PPC disebut marginal rate of product transformation 𝑑𝑋
(MRPT). Berdasarkan definisi, 𝑀𝑅𝑃𝑇𝑥 1 ,𝑥 2 = − 𝑑𝑋1 dan secara matematis dapat 2
𝑃
𝑑𝐶
𝑑𝐶
dibuktikan bahwa 𝑀𝑅𝑃𝑇𝑥 1 ,𝑥 2 = 1 . Dimana 𝑀𝐶1 = − 1 dan 𝑀𝐶2 = − 2 ; 𝑃 𝑑𝑋 𝑑𝑋 2
1
2
𝐷𝐶
𝐷𝐶
1
2
Diferensiasi total dari fungsi biaya adalah: 𝐷𝐶 = 𝑑𝑋 𝑑𝑋1 + 𝑑𝑋 𝑑𝑋2 . Dimana MC
29 = biaya marjinal dan C = biaya total. Untuk setiap perubahan X1 dan X2 di sepanjang PPC, dimanipulasi menjadi:
𝑀𝐶𝑋 1 𝑀𝐶𝑋 2
𝑑𝑋
= − 𝑑𝑋1 = 𝑀𝑅𝑃𝑇𝑥 1 ,𝑥 2 . Pada pasar 2
persaingan sempurna didapatkan: 𝑃
𝑀𝐶𝑋1 = 𝑃1 dan 𝑀𝐶𝑋2 = 𝑃2 , jadi 𝑀𝑅𝑃𝑇𝑥 1 ,𝑥 2 = 𝑃1 . 2
Daerah batas PPC memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan L dan K yang efisien untuk menghasilkan X dan Y. Kurva tersebut ditransfer dari lokus titik-titik efisien pada Gambar 6. Slope PPC menunjukkan bahwa output X dapat ditukarkan terhadap output Y dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya yang sama. 2.1.8.2 Keseimbangan Konsumen (Exchange Efficiency) Kondisi keseimbangan konsumen tercapai jika tingkat substitusi marginal atau Marginal Rate of Substitution (MRS) untuk dua barang adalah sama untuk dua individu yang mengkonsumsi barang tersebut. MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya untuk mencapai kepuasan yang optimal (Oktaviani 2011).
Sumber: Nicholson, 2002. Gambar 7 Diagram Edgeworth Box untuk kasus dua komoditas dan dua individu. Untuk kasus dua barang (X1 dan X2) dan dua individu (U dan V), MRS individu U dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2 harus sama dengan MRS individu V dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2. Keseimbangan di sektor
30
konsumsi adalah kondisi pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimum dengan kendala pendapatan. Berdasarkan Gambar 7, Uv menggambarkan kurva indiferen individu V, sedangkan Uu menggambarkan kurva indiferen individu U. Semakin jauh dari titik asal masing-masing individu tersebut, tingkat kepuasan yang diperoleh semakin tinggi. Titik-titik di sepanjang kurva Ou dan Ov adalah efisien. Dengan kata lain, individu U tidak dapat menjadi lebih baik tanpa membuat individu V menjadi lebih buruk dan sebaliknya. Di sepanjang kurva Ou– 𝑋 ,𝑋2
Ov, MRS individu U sama dengan MRS individu V, sehingga 𝑀𝑅𝑆𝑈 1 𝑋 ,𝑋2
𝑀𝑅𝑆𝑉 1
=
.
Secara teoritis kepuasan maksimum konsumen U atau V tercapai pada saat MRS antara dua komoditas sama dengan harga relatifnya. Jika P1 harga komoditas X1 dan P2 adalah harga komoditas X2, pembuktian matematis kepuasan konsumen adalah sebagai berikut: Fungsi kepuasan U = f(X) dengan pendapatan I. 1.
𝑀𝑎𝑥𝑈 = 𝑓 𝑋1 , 𝑋2 dengan kendala 𝑃1 𝑋1 + 𝑃2 𝑋2 = 𝐼. 𝛾 = 𝑓 𝑋1 , 𝑋2 + 𝜆 𝐼 − 𝑃1 𝑋1 − 𝑃2 𝑋2 𝜕𝛾 𝜕𝑋1 𝜕𝛾 𝜕𝑋2 𝜕𝛾 𝜕𝜆
𝑀𝑈1
= 𝑀𝑈2 − 𝜆𝑃2 = 0 atau 𝜆 =
𝑀𝑈2
𝑃1 𝑃2
= 𝐼 − 𝑃1 𝑋1 − 𝑃2 𝑋2 = 0
𝑀𝑈1 𝑀𝑈2
2.
= 𝑀𝑈1 − 𝜆𝑃1 = 0 atau 𝜆 =
𝑃
= 𝑃1
(2.16)
2
Diferensiasi total di sepanjang kurva indefenren 𝑈 = 𝑓 𝑋1 , 𝑋2 𝑑𝑈 =
𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝑑𝑋1 + 𝑑𝑋 = 0 𝜕𝑋1 𝜕𝑋2 2
𝑀𝑈1 𝑑𝑋1 + 𝑀𝑈2 𝑑𝑋2 = 0 𝑀𝑈1 𝑀𝑈2
𝑑𝑋
= 𝑑𝑋1 = 𝑀𝑅𝑆𝑋1 ,𝑋2
(2.17)
2
𝑃
Dari persamaan (2.5) dan (2.6) terbukti bahwa 𝑀𝑅𝑆𝑋1 ,𝑋2 = 𝑃1 . 2
2.1.8.3 Keseimbangan Simultan (Production-mix Efficiency) Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi (keseimbangan simultan) 𝑃
tercapai pada saat 𝑀𝑅𝑃𝑇12 = 𝑀𝑅𝑆12 = 𝑃1 . MRPT menunjukkan tingkat 2
31
transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan tingkat kesediaan konsumen dalam mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat substitusi konsumsi atau MRPT = MRS.
Sumber: Nicholson, 2002. Gambar 8 Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi. Pengertian ekonomi dari keseimbangan simultan ini adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2 harus optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan ini diilustrasikan pada Gambar 8. Keseimbangan simultan harus terpenuhi dengan adanya keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi. Keseimbangan ini tercipta melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian. 2.2
Penelitian Terdahulu Pentingnya pendidikan dalam hubungannya dengan modal manusia telah
banyak menjadi bahan penelitian untuk menjelaskan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Jung dan Thorbecke (2003), melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan terhadap modal manusia, pertumbuhan, dan kemiskinan di Tanzania dan Zambia. Dengan menggunakan model CGE yang berfokus pada pendidikan, mereka menyimpulkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
32
Fu et al. (2007) dengan menggabungkan model Lucas dan Model InputOutput meneliti kontribusi modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi Cina. Penelitian tersebut dilakukan dalam dua tahap: pertama dengan menggunakan analisis regresi data panel, output per sektor diregresikan terhadap tenaga kerja, modal fisik, dan modal manusia. Tahap kedua meneliti pengaruh tidak langsung pertumbuhan yang didapatkan dari masing-masing variabel eksogen pada tahap pertama terhadap masing-masing sektor perekonomian menggunakan model input-output. Hasil dari penelitian ini adalah peningkatan modal manusia secara khusus akan meningkatkan output di sektor industri. Bloom et al. (2004), melakukan penelitian dengan menggunakan analisis regresi data panel mengenai pengaruh kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil dari penelitian tersebut adalah kesehatan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi. Bloom et al. (2004) menyatakan kenaikan 1 tahun angka harapan hidup akan meningkatkan output sebesar 4 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pengeluaran di bidang kesehatan berpengaruh secara langsung terhadap produktivitas tenaga kerja, dengan kata lain mendukung pendapat bahwa investasi di bidang kesehatan merupakan suatu bentuk dari modal manusia. Pengaruh secara langsung dan tidak langsung kebijakan pemerintah di bidang kesehatan dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi di Nigeria dilakukan oleh Odior (2011). Penelitian tersebut bertujuan untuk melakukan simulasi apakah pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan akan meningkatkan kinerja perekonomian Nigeria pada jangka panjang. Metodologi yang digunakan adalah CGE dengan menggunakan data social accounting matrix (SAM) Nigeria tahun 2004. Hasil dari penelitian tersebut adalah realokasi pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan signifikan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Oleh karena itu, Odior menyarankan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi pada pelayanan kesehatan harus mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah Nigeria. Penelitian tentang investasi modal manusia di Indonesia dilakukan oleh Sitepu et al. (2009) yang berjudul “Dampak Investasi Sumber Daya Manusia terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia”. Penelitian tersebut
33
menggunakan model CGE yang dikombinasikan dengan fungsi distribusi beta dan model Foster-Greer-Thorbecke, sedangkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan digunakan sebagai pendekatan investasi modal manusia. Kesimpulannya adalah peningkatan investasi modal manusia secara langsung berdampak pada peningkatan produktivitas tenaga kerja yang mendorong pada peningkatan produk domestik bruto riil, yang ditunjukkan oleh peningkatan stok, neraca perdagangan, dan konsumsi rumahtangga. Oktaviani et al. dalam Oktaviani (2011) juga melakukan penelitian menggunakan model CGE tentang dampak kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan terhadap ekonomi Indonesia dan distribusi pendapatan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa GDP riil akan lebih baik jika pengeluaran pemerintah diberikan secara langsung kepada keluarga miskin, dibandingkan pemerintah meningkatkan pengeluaran di sektor pendidikan. Penelitian lainnya tentang modal manusia di Indonesia dilakukan oleh Duflo (2004). Duflo meneliti tentang pengaruh jangka menengah dari peningkatan laju akumulasi modal manusia di Indonesia. Menggunakan data pembangunan sekolah, metode 2SLS menyimpulkan bahwa laju akumulasi modal manusia di Indonesia yang mengalami peningkatan lebih pesat tidak dapat diimbangi oleh investasi modal fisik. Berdasarkan beberapa penelitian tentang modal manusia yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa pembahasan tentang investasi modal manusia oleh pemerintah lebih menekankan kepada pengeluaran secara total baik di sektor pendidikan (Jung & Thorbecke 2003; Oktaviani 2011), sektor kesehatan (Odior 2011), maupun pada kedua sektor (Sitepu et al. 2009). Pada penelitian ini, yang membedakan adalah pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan dibedakan menurut jenis belanja, yaitu belanja modal dan bukan modal (belanja rutin). Dengan demikian diharapkan dapat dilakukan perbandingan efektivitas kebijakan pemerintah pada kedua jenis belanja tersebut. Perbedaan lainnya adalah disagregasi Tabel I-O updating tahun 2008 pada sektor jasa sosial kemasyarakatan dan disagregasi upah menurut tingkat pendidikan. Perbedaan juga terdapat pada spesifikasi model dengan menambahkan variabel produktivitas tenaga kerja ke dalam model INDOMINI.
34
2.3
Kerangka Pemikiran Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa analisis
penelitian ini dimulai dari kondisi dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh modal manusia yang dimilikinya. Struktur ketenagakerjaan Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja dengan pendidikan dan kesehatan yang rendah diduga akan melemahkan kinerja perekonomian Indonesia. Pemerintah Investasi Modal Manusia
Kesehatan
Pendidikan
Belanja Modal
Belanja Rutin
Belanja Modal
Belanja Rutin
OLS
Produktivitas
CGE Harga
Output
Tenaga Kerja
Perekonomian Sektoral Indikator Makroekonomi Implikasi Kebijakan
Gambar 9 Kerangka pemikiran penelitian. Untuk meningkatkan ketersediaan modal manusia maka peran pemerintah sangat diperlukan melalui kebijakan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam bentuk belanja modal dan belanja bukan modal (rutin).
35
Kebijakan pemerintah tersebut akan memengaruhi produktivitas tenaga kerja sehingga mengakibatkan perubahan pada output pada sektor-sektor ekonomi yang berdampak pada penawaran/supply barang dan jasa. Sesuai mekanisme pasar, perubahan penawaran akan menyebabkan terjadinya perubahan tingkat harga. Perubahan output yang terjadi juga akan berdampak kepada penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor ekonomi. Kondisi ini akan berdampak pada kinerja perekonomian sektoral yang pada akhirnya akan memengaruhi kinerja perekonomian secara makro. Ilustrasi kerangka pemikiran pada penelitian ini secara sederhana ditunjukkan pada Gambar 9. 2.4
Hipotesis Penelitian Pengeluaran pemerintah pada bidang pendidikan dan kesehatan yang
berdampak pada ketersediaan modal manusia, diharapkan dapat meningkatkan daya persaingan dan kemampuan tenaga kerja Indonesia. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan mengalami peningkatan dan perbaikan standar hidup masyarakat juga akan tercipta. Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1.
Investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan memiliki pengaruh positif terhadap kinerja indikator makro ekonomi di Indonesia.
2.
Investasi modal manusia melalui kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan memiliki pengaruh positif terhadap kinerja ekonomi sektoral di Indonesia.
36
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
utamanya adalah Tabel Input Output (I-O) updating tahun 2008. Data pendukung lainnya adalah Tabel I-O tahun 2005, Survei sosial ekonomi nasional (Susenas), Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang bersumber dari Kementerian Keuangan. Disamping itu digunakan juga parameter-parameter dugaan pada sistem persamaan yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya serta data pendukung lainnya yang relevan. 3.2
Metode Analisis
3.2.1 Model Computable General Equilibrium (CGE) Model Ekonomi Keseimbangan Umum/Computable General Equilibrium (CGE) menjelaskan bahwa perekonomian sebagai suatu sistem yang mengaitkan antara pelaku ekonomi seperti industri, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, dan eksportir serta antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada dalam keadaan keseimbangan dan mempunyai struktur yang spesifik dalam mencapai keseimbangan. Beberapa model ekonomi keseimbangan umum untuk perekonomian Indonesia antara lain model WAYANG, INDOGEM, INDOF, INDORANI, dan INDOMINI. Penelitian ini menggunakan model CGE dari INDOMINI (Oktaviani, 2011) yang berinduk pada MINIMAL (Horridge 2001). Database yang digunakan berasal dari Tabel Input-Output (Tabel I-O) tahun 2008. Seluruh data dalam Tabel I-O dihitung dalam bentuk nilai ribuan rupiah. Struktur Tabel I-O diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan model INDOMINI seperti yang terlihat pada Gambar 10. Gambar 10 berisi matriks penyerapan setiap industri dan matriks pajak impor. Kolom dari matriks penyerapan terdiri dari 6 pelaku ekonomi yaitu produsen domestik (1), investasi (2), rumahtangga (3), agregat dari pembelian produk ekspor lainnya (4), pengeluaran modal pemerintah (5), dan pengeluaran
38
rutin pemerintah (6). Baris pada database INDOMINI menunjukkan asal pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom yang meliputi aliran domestik, aliran impor, tenaga kerja, modal, dan pajak output. Masing-masing komoditi C di dalam model merupakan komoditi yang berasal dari domestik dan impor. Komoditi tersebut digunakan oleh industri sebagai input produksi dan pembentukan modal. Kolom ekspor hanya berisi komoditi produksi domestik. Pada baris terakhir dari database INDOMINI berisi pajak impor baik untuk barang domestik maupun impor. Absorption Matrix
Size
1
2
3
4
5
6
Prod
Inv
Household
Export
GovCap
GovRtn
I
1
1
1
1
1
Domestic Flows
C
USE(commodity,"dom",user)
Imported Flows
C
USE(commodity,"imp",user)
Labour SD
1
Labour SLTP
1
Labour SLTA
1
Labour PT
1
Capital
1
Output tax
1
FACTOR (labour SD) FACTOR (labour SLTP) FACTOR (labour SLTA) FACTOR (labour PT) FACTOR (capital)
Total Sales
C = Number of Commodities = 31 I = Number of Industries = 31
V1PTX
Tax on imports Size
1
C
V0MTX
Sumber: Horridge, 2001; Oktaviani, 2011 (dimodifikasi). Gambar 10 Aliran database INDOMINI Pengguna barang dan jasa (USER) dikelompokkan menjadi 2 yaitu pengguna antara (intermediate product) dan pengguna akhir (final demand). Selain input antara, produksi diasumsikan menggunakan lima faktor primer yaitu
39
pekerja berpendidikan SD ke bawah, pekerja tamat SLTP, pekerja tamat SLTA, pekerja tamat PT, serta modal. Pengguna antara meliputi sektor (1) sampai sektor (31) sedangkan pengguna akhir terdiri dari (32) Investasi, (33) Rumahtangga, (34) Ekspor Barang, (35) Pengeluaran Modal Pemerintah, serta (36) Pengeluaran Rutin Pemerintah. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi format Header Array dalam database model INDOMINI seperti terlihat pada Lampiran 1. 3.2.2 Sistem Persamaan Model INDOMINI Seluruh persamaan yang terdapat dalam model CGE INDOMINI yang menunjukkan model ekonomi makro diimplementasikan dalam Gempack dan dikumpulkan ke dalam file input tablo. File input tablo menjabarkan spesifikasi aljabar dari model dalam bentuk linier dan persamaan-persamaan tersebut dikumpulkan ke dalam sejumlah blok persamaan. Masing-masing pernyataan persamaan dimulai dengan nama yang umumnya mengacu pada peubah di sisi kiri. Semua peubah dinyatakan dalam bentuk perubahan persentase (percentage change). Peubah ditulis dengan huruf kecil dan koefisien ditulis dengan huruf kapital (besar). Terdapat 15 (lima belas) set persamaan dalam file input tablo, yaitu: 1.
Keseimbangan pasar untuk setiap komoditi
2.
Substitusi antara komoditi impor dan domestik
3.
Struktur produksi
4.
Permintaan untuk faktor primer
5.
Permintaan untuk industri di level atas
6.
Permintaan rumah tangga
7.
Permintaan ekspor
8.
Keseimbangan pasar domestik dan harga
9.
Harga impor
10. GDP dari sisi penerimaan 11. GDP dari sisi pengeluaran 12. Persamaan yang berkaitan dengan peubah makroekonomi lainnya 13. Peubah pasar faktor produksi 14. Pembaharuan (update) aliran data 15. Ringkasan data.
40
3.2.2.1 Keseimbangan Pasar untuk Setiap Komoditi Persamaan yang menunjukkan penjumlahan permintaan seluruh komoditi dari masing-masing sumber oleh semua pengguna pada model INDOMINI tertuang dalam Blok persamaan 3 file Input Tablo. Beberapa kode penulisan menunjukkan hal-hal sebagai berikut, antara lain: c=”i” menunjukkan komoditi ke-i, s=”dom” menunjukkan sumber domestik dari komoditi i. Dengan aturan c dan s ini, persamaan E_x0 menghitung permintaan total untuk komoditi i yang diproduksi secara domestik dengan menjumlahkan permintaan dari masingmasing pengguna. Pengguna adalah 31 industri yang menggunakan komoditi i yang diproduksi secara domestik sebagai input antara untuk berproduksi, ditambah permintaan akhir yang dibuat oleh investasi, rumahtangga, ekspor, pemerintah untuk bidang selain pendidikan dan kesehatan, pengeluaran modal pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, serta pengeluaran rutin pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan. Persamaan E_x0 memasukkan peubah-peubah dalam bentuk perubahan persentase. Mula-mula persamaannya adalah: 𝑋0 𝑐, 𝑠 =
𝑢∈𝑈𝑆𝐸𝑅 𝑋(𝑐, 𝑠, 𝑢)
(3.1)
Penulisan dengan huruf besar memiliki arti yang berbeda dengan huruf kecil. X0(c,s) adalah jumlah seluruh komoditi c yang diminta dari sumber s sedangkan x0(c,s) adalah persentase perubahan seluruh permintaan untuk komoditi c dari sumber s. X(c,s,u) adalah jumlah komoditi c yang diminta oleh pengguna u dari sumber s, sedangkan x(c,s,u) dalam bentuk perubahan persentase. Aturan penulisan dalam kode Tablo adalah dengan menggunakan huruf besar untuk level, dan huruf kecil untuk perubahan persentase. Persamaan (3.1) kemudian diubah kedalam bentuk linier menjadi: 𝑋0 𝑐, 𝑠 𝑥0(𝑐, 𝑠) =
𝑢∈𝑈𝑆𝐸𝑅 𝑋
𝑐, 𝑠, 𝑢 𝑥(𝑐, 𝑠, 𝑢)
(3.2)
Langkah selanjutnya adalah mengubah persamaan (3.2) kedalam nilai database. Diasumsikan bahwa semua pengguna membayar dengan harga yang sama sehingga P(c,s) (harga pengguna komoditi c yang bersumber dari s) tidak perlu identifikasi pengguna. Kemudian mengalikan kedua sisi dari persamaan (3.2) dengan P(c,s), maka diperoleh: 𝑃 𝑐, 𝑠 𝑋0 𝑐, 𝑠 𝑥0(𝑐, 𝑠) =
𝑢∈𝑈𝑆𝐸𝑅 𝑃
𝑐, 𝑠 𝑋 𝑐, 𝑠, 𝑢 𝑥(𝑐, 𝑠, 𝑢)
(3.3)
41
Gambar 10 menunjukkan adanya aliran nilai USE(c,s,u) yang terkait dengan bentuk P(c,s)X(c,s,u) pada sisi kanan persamaan (3.3). USE(c,s,u) merupakan notasi yang dapat digunakan pada file Input Tablo. Kode s=”dom” artinya berada pada blok database aliran domestik dan kode s=”imp” artinya berada dalam blok aliran impor. Bentuk P(c,s)X0(c,s) pada sisi kiri persamaan (3.3) adalah penjumlahan antar pengguna USE(c,s,u). Penjumlahan ini disebut SALES(c,s) yang dalam Gambar 10 merupakan total penjualan. Dengan mengganti peubahpeubah yang menggunakan huruf besar di sisi kiri dan kanan persamaan (3.3) dengan bentuk lain yang dapat dibaca Tablo, maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut: 𝑆𝐴𝐿𝐸𝑆 𝑐, 𝑠 𝑥0 𝑐, 𝑠 =
𝑢∈𝑈𝑆𝐸𝑅 𝑈𝑆𝐸
𝑐, 𝑠, 𝑢 𝑥 𝑐, 𝑠, 𝑢
(3.4)
COM adalah seluruh set komoditi dan SRC adalah sumber. Perintah (all,c,COM) dan (all,s,SRC) dalam file input Tablo pada persamaan E_x0 menyatakan bahwa software GEMPACK mengevaluasi sisi kiri persamaan (3.4) untuk seluruh komoditi dan seluruh sumber. Notasi Σ tidak tersedia pada komputer sehingga pada sisi kanan persamaan (3.4) diganti dengan bahasa Tablo menjadi: sum{u,USER,USE(c,s,u)*x(c,s,u)}
(3.5)
3.2.2.2 Substitusi Antara Komoditi Impor dan Domestik Masing-masing industri dan masing-masing permintaan akhir melakukan substitusi diantara komoditi yang diproduksi secara domestik dan impor. Rasio pembelian impor dan domestik pada masing-masing komoditi dan pengguna merupakan fungsi dari harga relatif (komoditi) dari dua sumber. Bentuk fungsi yang sama diterapkan pada semua kasus. Fungsi tersebut diturunkan dari fungsi produksi CES (constant elasticity of substitution) yang secara luas digunakan dalam pemodelan CGE. Misalnya rumah tangga yang menggunakan sektor industri manufaktur, tiga persamaan perubahan persentase berikut menentukan rasio impor/domestik untuk barang dan pengguna tertentu: p = Sdpd + Smpm
: harga rata-rata komoditi manufaktur domestik dan impor
xd = x – σ(pd – p)
: permintaan manufaktur domestik
xm = x – σ(pm – p) : permintaan manufaktur impor
(3.6) (3.7a) (3.7b)
42
Keenam peubah tersebut (x, xd, xm, p, pd, pm) sudah dalam bentuk perubahan persentase. xd dan xm adalah permintaan untuk manufaktur domestik dan impor sedangkan pd dan pm menunjukkan harga masing-masing komoditi manufaktur domestik dan impor. x adalah seluruh permintaan terhadap manufaktur dan p adalah rata-rata harga domestik dan impor. x dan p kadang-kadang disebut juga permintaan dan harga gabungan (composite) komoditi manufaktur. Simbol σ adalah elastisitas substitusi antara komoditi manufaktur impor dan domestik yang dikenal sebagai elastisitas Armington, biasanya nilainya antara 0,5 dan 3,0. Tiga persamaan sebelumnya menentukan peubah [p, x d dan xm] sedangkan peubah sisanya [x, pd dan pm] ditentukan ditempat lain dalam model. Persamaan 3.6, 3.7a dan 3.7b untuk masing-masing komoditi dan pengguna dirumuskan dalam Blok persamaan 4 pada file input Tablo. Hubungan dalam Blok persamaan 4 tersebut adalah: a.
Jika rasio harga impor dan domestik tidak berubah maka x d dan xm akan mengikuti permintaan untuk komposit x.
b.
Jika harga impor (pm) meningkat secara relatif terhadap harga domestik (p d), maka rasio input domestik yang diimpor akan turun (dan sebaliknya jika harga domestik meningkat).
3.2.2.3 Struktur Produksi Output masing-masing industri dalam model INDOMINI adalah fungsi dari input yang digunakan. output = F(input) =
F(tenaga kerja SD, tenaga kerja SLTP, tenaga kerja SLTA, tenaga kerja PT, modal, barang domestik 1-31, barang impor 1-31)
(3.8)
Sehingga fungsi F diasumsikan: output = F(komposit faktor primer, barang komposit 1-31)
(3.9)
Komposit faktor primer dari masing-masing industri merupakan fungsi produksi agregat CES untuk modal dan tenaga kerja yang ditulis: komposit faktor primer =
CES (tenaga kerja SD, tenaga kerja SLTP, tenaga kerja SLTA, tenaga kerja PT, modal)
(3.10)
Sedangkan fungsi agregat CES dari barang-barang komposit yang diproduksi secara domestik dan impor adalah:
43
barang komposit (i) = CES [barang domestik(i), barang impor(i)]
(3.11)
Asumsi ini menggambarkan bahwa permintaan input industri memiliki struktur yang berjenjang seperti pada Gambar 11. Kombinasi komposit komoditi dan komposit faktor primer pada level atas menggunakan fungsi produksi Leontief. Konsekuensinya adalah bahwa seluruhnya merupakan permintaan yang langsung digunakan untuk output (X1TOT). Meski semua pangsa industri tersebut memiliki struktur produksi yang umum namun proporsi input dan parameter perilaku dimungkinkan berbeda antar industri.
Key:
OUTPUT Functional Form
Inputs or Outputs
Leontif
Good 1
up to
Good 31
Primary Factors
CES
CES
CES
Domestic Good 1
Imported Good 1
Domestic Good 31
Imported Good 31
Labour SD
Labour SLTP
Labour SLTA
Labour PT
Capital
Sumber: Horridge, 2001; Oktaviani 2011 (dimodifikasi). Gambar 11 Struktur produksi berjenjang. 3.2.2.4 Permintaan untuk Faktor Primer Persamaan mengenai permintaan modal dan tenaga kerja ditunjukkan pada Blok persamaan 5 dalam file input Tablo. Persamaan tersebut diperoleh melalui masalah optimalisasi pada masing-masing industri i, yaitu:
44
Pemilihan input modal [X1CAP(i)], tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah [X1LABSD(i)], tenaga kerja tamat SLTP [X1LABSLTP(i)], tenaga kerja tamat SLTA [X1LABSLTA(i)], dan tenaga kerja tamat PT [X1LABPT(i)]. Minimisasi biaya inputnya adalah: P1CAP(i)*X1CAP(i)
+
P1LABSD(i)*X1LABSD(i)
+
P1LABSLTP(i)*X1LABSLTP(i) + P1LABSLTA(i)*X1LABSLTA(i) + P1LABPT(i)*X1LABPT(i) dengan X1PRIM(i) = CES[X1LABSD(i),
X1LABSLTP(i),
X1LABSLTA(i),
X1LABPT(i), X1CAP(i)] dianggap sebagai peubah eksogen untuk masalah P1LABSD(i), P1LABSLTP(i), P1LABSLTA(i), P1LABPT(i), P1CAP(i), dan X1PRIM(i). Masalah tersebut diformulasikan dalam peubah level sehingga penulisan nama peubah mengunakan huruf besar. Notasi CES[ ] mewakili fungsi CES yang mendefinisikan semua peubah yang ada dalam tanda kurung. Sedangkan tenaga kerja (tingkat upah) tidak dibedakan menurut industri. Hal ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja bergerak (mobile) antar industri. Bentuk perubahan persentase untuk solusi masalah minimisasi biaya ditunjukkan dalam persamaan E_x1labsd, E_x1labsltp, E_x1labslta, E_x1labpt, E_x1cap dan E_p1prim. Penggunaan fungsi permintaan dalam bentuk perubahan persentase untuk fungsi produksi berjenjang CES modal-tenaga kerja yang serupa seperti sebelumnya karena secara aljabar sama dengan fungsi produksi berjenjang CES impor-domestik. Persamaan E_x1labsd, E_x1labsltp, E_x1labslta, dan E_x1labpt menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja adalah proporsional terhadap seluruh pengguna faktor primer [X1PRIM(i)] dan harga. Harga relatif untuk rata-rata biaya faktor primer diperoleh dari elastisitas substitusi [SIGMA1PRIM(i)] dikalikan dengan rasio harga [p1labsd-p1prim(i)], [p1labsltpp1prim(i)],
[p1labslta-p1prim(i)],
dan
[p1labpt-p1prim(i)]
dalam
bentuk
perubahan persentase. Upah yang tinggi menyebabkan adanya substitusi terhadap modal. Persamaan E_x1cap memiliki bentuk dan interpretasi yang serupa. Rata-
45
rata biaya faktor primer diubah kedalam bentuk perubahan persentase [p1prim(i)] sehingga persamaan E_p1prim dapat ditulis: p1prim(i) =
S1LABSD(i)*p1labsd
+
S1LABSLTA(i)*p1labslta
S1LABSLTP(i)*p1labsltp
+
S1LABPT(i)*p1labpt
+
+
S1CAP(i)*p1cap(i)
(3.12)
S1LABSD(i), S1LABSLTP(i), S1LABSLTA(i), S1LABPT(i) dan S1CAP(i) adalah nilai pangsa (share) biaya tenaga kerja SD ke bawah, tenaga kerja SLTP, tenaga kerja SLTA, tenaga kerja PT, dan biaya modal terhadap biaya faktor primer. Dengan kata lain, p1prim(i) adalah biaya rata-rata terboboti untuk harga modal dan tenaga kerja. Jika masing-masing kedua sisi persamaan E_x1labsd, E_x1labsltp, E_x1labslta, E_x1labpt, dan E_x1cap dikalikan dengan nilai pangsanya masingmasing [S1LABSD(i), S1LABSLTP(i), S1LABSLTA(i), S1LABPT(i) dan S1CAP(i)]. Kemudian kelima persamaan tersebut ditambahkan secara bersamasama, dan semua bentuk harga dihilangkan, maka persamaan dalam bentuk perubahan persentase dari fungsi produksi CES adalah: x1prim(i) =
S1LABSD(i)*x1labsd(i)
+
S1LABSLTA(i)*x1labslta(i)
S1LABSLTP(i)*x1labsltp(i) +
S1LABPT(i)*x1labpt(i)
S1CAP(i)*x1cap(i)
+ +
(3.13)
Sehingga persamaan permintaan tenaga kerja menurut sektor, misalnya untuk tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah [x1labsd(i)], dalam bentuk perubahan persentase menjadi: x1labsd(i) =
x1prim(i) + a1lab(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1labsd - p1prim(i)]
dimana: x1prim(i)
= perubahan persentase penggunaan komposit faktor primer
a1lab(i)
= perubahan produktivitas tenaga kerja.
SIGMA1PRIM(i) = subtitusi CES untuk faktor primer. p1labsd
= biaya pekerja berpendidikan SD.
p1prim(i)
= biaya komposit faktor primer
Karena keterbatasan data, maka produktivitas tenaga kerja (a1lab) tidak dibedakan menurut tingkat pendidikan. Substitusi CES untuk faktor primer (SIGMA1PRIM) juga tidak dibedakan menurut tingkat pendidikan melainkan
46
menggunakan nilai yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Sehingga pada penelitian ini, perubahan persentase penggunaan tenaga kerja menurut tingkat pendidikan lebih dipengaruhi kepada faktor upah tenaga kerja daripada tingkat elastisitas atau substitusi faktor primer. 3.2.2.5 Permintaan Industri di Level Atas Komposit
komoditi
dan
komposit
faktor
primer
dikombinasikan
menggunakan fungsi produksi Leontief. Fungsi tersebut dapat dituliskan sebagai: 𝑋1𝑇𝑂𝑇 𝑖 = 𝑀𝐼𝑁
𝑋1𝑃𝑅𝐼𝑀(𝑖)
𝑋_𝑆(𝑐,𝑖)
. 𝐴𝑙𝑙. 𝑐. 𝐶𝑂𝑀: 𝐴_𝑆(𝑐,𝑖) ; 𝑖 ∈ 𝐼𝑁𝐷 𝐴1𝑃𝑅𝐼𝑀(𝑖)
(3.14)
Industri diasumsikan akan meminimumkan biaya sehingga penggunaan input oleh industri dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Kasus ini dapat ditulis dalam persamaan: X_S(c,i) = A_S(c,i) X1TOT(i); i ϵ IND, c ϵ COM
(3.15)
X1PRIM(i) = A1PRIM(i) X1TOT(i); i ϵ IND
(3.16)
Artinya kedua kategori input yang berada pada level atas merupakan permintaan langsung terhadap X1TOT(i). Blok persamaan 6 pada file input Tablo berisi sebagian besar permintaan input yang berjenjang seperti hubungan persamaan E_x1 dan E_x1prim. Hubungan tersebut diilustrasikan pada Gambar 11. A1PRIM (i) diinterpretasikan sebagai koefisien input-output, yaitu jumlah komposit faktor primer yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. A_S(c,i) adalah jumlah komoditi komposit c yang digunakan per unit output. Secara sederhana diasumsikan bahwa A_S(c,i) tidak berubah sehingga peubah perubahan persentase dalam persamaan E_x1 tidak ada hubungan. Namun pada model INDOMINI, A1PRIM(i) dibiarkan berubah seperti yang ditunjukkan dalam persamaan E_x1prim. Hal ini berarti bahwa penurunan 1 persen A1PRIM berarti produktivitas meningkat 1 persen. Persamaan terakhir dari Blok 6 file input tablo tersebut menunjukkan bahwa perubahan nilai output [V1TOT(i)] adalah total pengeluaran bahan baku dan faktor primer. Pada sisi kanan dari masing-masing bentuk persamaan menunjukkan 100 kali perubahan pengeluaran beberapa input sedangkan pada sisi kiri menunjukkan 100 kali perubahan total biaya. Persamaan ini sering disebut
47
zero pure profits (laba nol), dimana laba/keuntungan sudah tidak lagi kemasukkan input lain. Model juga mengasumsikan bahwa teknologi dalam kondisi constant return to scale (skala pengembalian konstan). Hal ini berimplikasi bahwa jika tidak ada perubahan teknologi maka harga output merupakan fungsi dari harga input. 3.2.2.6 Permintaan Rumah Tangga Rumah tangga diasumsikan memaksimumkan utilitas dengan kendala anggaran dalam memilih sekumpulan barang untuk dikonsumsi. Utilitas diasumsikan menggunakan fungsi kepuasan berjenjang, dimana jenjang terluar merupakan kombinasi komoditi komposit dengan fungsi agregat Cobb-Douglas dan jenjang dibawahnya merupakan komoditi komposit dari berbagai sumber domestik dan impor yang menggunakan fungsi agregat CES pada masing-masing komoditi komposit seperti terlihat pada Gambar 12.
Key:
UTILITY Functional Form
Cobb Douglas
Good 1
up to
Good 31
CES
Domestic Good 1
CES
Imported Good 1
Domestic Good 31
Sumber: Horridge, 2001; Oktaviani, 2011. Gambar 12 Struktur permintaan konsumen berjenjang.
Imported Good 31
Inputs or Outputs
48
Barang yang dikonsumsi rumah tangga hanya terdiri dari 31 komoditi komposit. Konsumen memaksimumkan utilitas dengan anggaran tertentu dan diasumsikan bahwa masing-masing komoditi yang dikonsumsi menghasilkan biaya minimum. Melalui fungsi CES, preferensi yang berlaku merupakan konsumsi antara komoditi yang berasal dari impor dan domestik. Konsumen diidentifikasi sebagai pengguna, dimana u = “rumahtangga atau household”. Persamaan E_x dalam Blok 3 file input Tablo, didahului dengan memberikan instruksi (all,c,COM), (all,s,SRC) dan (all,u,LOCALUSER). Pada LOCALUSER telah memasukkan semua pengguna, kecuali ekspor. Sehingga komposisi Armington pada masing-masing komoditi komposit yang digunakan konsumen sudah ditentukan dalam Blok 3 file input Tablo tersebut. Struktur permintaan konsumen dijelaskan pada Blok 7 dalam persamaan file input Tablo. Kendala anggaran yang dihadapi rumahtangga menyatakan bahwa nilai total pembelian rumahtangga merupakan peubah eksogen bagi rumahtangga. Model CGE INDOMINI tidak menghubungkan antara pengeluaran rumahtangga, artinya tidak ada keputusan menabung/mengonsumsi. Kesediaan anggaran untuk dikonsumsi dinyatakan dalam bentuk nominal W3TOT. 3.2.2.7 Permintaan Ekspor Fungsi permintaan dari luar negeri (ekspor) untuk komoditas yang diproduksi secara domestik adalah: 𝑋 𝑐, "𝑑𝑜𝑚", "𝐸𝑋𝑂𝑡𝑒𝑟𝑠" = 𝐹4𝑄(𝑐)
𝑃(𝑐,"𝑑𝑜𝑚 "
−𝐸𝑋𝑃_𝐸𝐿𝐴𝑆𝑇(𝑐)
𝑃𝐻𝐼×𝑃𝑊𝑂𝑅𝐿𝐷(𝑐)
(3.17)
keterangan: EXP_ELAST (c) = elastisitas permintaan ekspor P(c,”dom”)/PHI
= harga domestik relatif terhadap harga dunia
PWORLD(c)
= harga dunia
PHI
= nilai tukar (konversi mata uang lokal ke mata uang asing)
F4Q(c)
= peubah shifter.
3.2.2.8 Keseimbangan Pasar Domestik dan Harga Persamaan yang menghubungkan harga pengguna barang domestik [P(c,”dom”)] dengan biaya produksi [P1TOT(c)] dan tingkat pajak output [PTXRATE(c)] adalah:
49
P(c,”dom”) = P1TOT(c) * [1 + PTXRATE(c)]
(3.18)
PTXRATE tidak memiliki satuan unit dan tandanya dapat berubah (positif berarti pajak dan negatif berarti subsidi), sehingga ditransformasikan ke peubah ordinal (bukan persentase) menjadi: 𝑝 𝑐,dom = 𝑝1𝑡𝑜𝑡 𝑐 + 0,01 ×
𝑃1𝑇𝑂𝑇(𝑐) 𝑃(𝑐,"𝑑𝑜𝑚 ")
× 𝐷𝑒𝑙𝑝𝑡𝑥𝑟𝑎𝑡𝑒
(3.19)
Kemudian rasio harga dalam tanda kurung adalah pangsa biaya produksi dalam harga pengguna dengan pangsa yang sama
𝑉𝐼𝑇𝑂𝑇 (𝑐) 𝑉𝐼𝑇𝑂𝑇 𝐶 +𝑉1𝑃𝑇𝑋(𝑐)
.
Persamaan keseimbangan pasar komoditi domestik terdapat pada Blok persamaan 9 file input Tablo yang ditunjukkan dalam set peubah E_x1tot. Set persamaan tersebut diartikan sebagai output masing-masing industri [X1TOT(i)] sama dengan permintaan total untuk komoditi yang diproduksi secara domestik [X0(c,”dom”)]. GEMPACK sangat sensitif membandingkan elemen dari set yang berbeda, bahkan untuk kasus COM dan IND yang memiliki elemen yang sama. Oleh karena itu, Tablo memerlukan pernyataan subset yang menunjukkan bahwa set COM dan IND memiliki anggota yang sama. 3.2.2.9 Harga Impor Blok persamaan 10 file input Tablo adalah persamaan yang menghubungkan harga pengguna barang impor [P(c,”imp”)] dengan harga mata uang lokal [PHI*PWORLD(c)] serta tingkat pajak impor [MTXRATE(c)] yang dijelaskan melalui persamaan E_pB, dimana hubungannya adalah: P(c,”imp”) = PHI*PWORLD(c) * [1 + MTXRATE(c)] Rasio harga
𝑉0𝐶𝐼𝐹(𝑐) 𝑆𝐴𝐿𝐸𝑆(𝑐,"𝑖𝑚𝑝 ")
(3.20)
diinterpretasikan sebagai pangsa (share) biaya dalam
harga pengguna. 3.2.2.10 GDP dari Sisi Pendapatan GDP dari sisi pendapatan merupakan penjumlahan biaya faktor primer dan pajak tidak langsung yang diformulasikan dengan koefisien V0GDPINC yang dijelaskan pada Blok persamaan 11 file input Tablo melalui persamaan E_w0gdpinc. Persamaan berikut merupakan pajak penerima produksi, dimana bentuk pertama merupakan tingkat pajak sedangkan bentuk kedua merupakan
50
perubahan pajak dasar yang proporsional terhadap penerimaan pajak [V1PTX(i)] dengan persentase perubahan pajak dasar. 100*V1TOT(c)*Delptxrate(c) + V1PTX(c)*[x1tot(c)+p1tot(c)]
(3.21)
3.2.2.11 GDP dari Sisi Pengeluaran Penghitungan perubahan persentase GDP nominal dari sisi pengeluaran adalah dengan membagi perubahannya ke dalam komponen harga dan kuantitas yang dapat dilihat pada Blok persamaan 12 file input Tablo. Formula pada V0GDPEXP menunjukkan bahwa GDP merupakan jumlah permintaan akhir (dinilai pada harga pengguna) dikurangi nilai impor (C+I+G+X-M). Persamaan E_w0gdpexp adalah bentuk perubahan dari formula tersebut. Nilai GDP dari sisi pengeluaran dan dari sisi penerimaan harus sama, baik dalam bentuk level maupun dalam persentase perubahan: V0GDPEXP ≡ V0GDPINC, dan w0gdpexp ≡ w0gdpinc
(3.22)
Persamaan E_p0gdpexp sama dengan persamaan E_w0gdpexp, kecuali bentuk harga yang digunakan. Persamaan E_p0gdpexp mendefinisikan p0gdpexp sebagai rata-rata terboboti permintaan akhir untuk harga lokal dikurangi perubahan ratarata harga impor. Sedangkan pada persamaan E_x0gdpexp, p0gdpexp digunakan sebagai GDP deflator untuk memperoleh ukuran perubahan GDP riil. Persamaan E_x0gdpexp dalam bentuk level adalah: V0GDPEXP = P0GDPEXP * X0GDPEXP
(3.23)
3.2.2.12 Persamaan yang Berkaitan dengan Peubah Makro Lainnya Blok persamaan 13 dalam file input Tablo berisi 5 persamaan peubah makro yang sangat berguna. Empat persamaan yang pertama mendefinisikan harga dan volume, dimana E_x4totl dapat ditulis: sum[c,COM,USE(c,”dom”,”ekspor”)]*x4tot= sum[c,COM,USE(c,”dom”,”ekspor”)] *x(c,”dom”,”ekspor”) x4tot adalah rata-rata terboboti perubahan volume ekspor yang menggunakan nilai ekspor sebagai pembobot. Persamaan terakhir pada file Tablo tersebut berisi penghitungan neraca perdagangan. Neraca perdagangan dihitung sebagai perubahan level bukan perubahan persentase karena adanya perubahan tanda
51
(positif-negatif). Hindari penggunaan unit dalam menggunakan perubahan sebagai bagian dari GDP. 3.2.2.13 Peubah Pasar Faktor Produksi Blok persamaan 14 dari file input Tablo berisi peubah-peubah yang terdapat pada pasar faktor produksi. Persamaan pertama mendefinisikan upah riil, yaitu upah nominal dibagi indeks harga konsumen (p3tot). Persamaan pada level menjadi: 𝑅𝐸𝐴𝐿𝑊𝐴𝐺𝐸𝑆𝐷 =
𝑃1𝐿𝐴𝐵𝑆𝐷 𝑃3𝑇𝑂𝑇
𝑅𝐸𝐴𝐿𝑊𝐴𝐺𝐸𝑆𝐿𝑇𝑃 =
𝑃1𝐿𝐴𝐵𝑆𝐿𝑇𝑃
𝑅𝐸𝐴𝐿𝑊𝐴𝐺𝐸𝑆𝐿𝑇𝐴 =
𝑃1𝐿𝐴𝐵𝑆𝐿𝑇𝐴
𝑅𝐸𝐴𝐿𝑊𝐴𝐺𝐸𝑃𝑇 =
𝑃3𝑇𝑂𝑇 𝑃3𝑇𝑂𝑇
𝑃1𝐿𝐴𝐵𝑃𝑇 𝑃3𝑇𝑂𝑇
(3.24a) (3.24b) (3.24c) (3.24d)
Pemodelan pasar tenaga kerja yang bersifat sticky (kaku) adalah dengan menjaga upah riil tetap konstan. Persamaan selanjutnya mendefinisikan indeks perubahan persentase pekerja agregat yang dihitung dengan upah terboboti yang merefleksikan produk marginal relatif pekerja pada industri yang berbeda. Sehingga jika tingkat upah berbeda antar sektor, peubah “employ” mungkin tidak akurat untuk mewakili jumlah jam kerja. Persamaan terakhir pada bentuk level adalah: 𝐺𝑅𝐸𝑇(𝑖) =
𝑃1𝐶𝐴𝑃(𝑖) 𝑃2𝑇𝑂𝑇
(3.25)
Tingkat pengembalian kotor pada unit modal baru adalah penerimaan tahunan [P1CAP(i)] dibagi dengan biaya untuk menghasilkannya (P2TOT). Dalam keseimbangan jangka panjang diharapkan adanya penyesuaian perilaku investor untuk menstabilkan rasio tersebut. Harus diingat bahwa pada simulasi jangka pendek, GRET adalah tingkat pengembalian modal. 3.2.2.14 Pembaharuan Aliran Data Solusi GEMPACK memerlukan prosedur dalam menggunakan hasil simulasi (bentuk perubahan persentase) untuk menghasilkan pascasimulasi atau pembaharuan database seperti terlihat pada Blok persamaan 15 file input Tablo. Terdapat dua jenis pernyataan pembaharuan. Jenis pertama menunjukkan bahwa
52
masing-masing sel berada dalam matrik aliran USE. Jenis kedua terdapat dalam tiga baris pertama yang disebut sebagai pembaharuan produk. Masing-masing sel dalam matrik aliran USE adalah harga dan kuantitas produk yang diformulasikan sebagai: USE(c,s,u) = P(c,s) * X(c,s,u); c ϵ COM, s ϵ SRC, u ϵ USER GEMPACK kemudian memperbaharui USE menjadi: USE(c,s,u) → USE(c,s,u) * [1+0,01*p(c,s) + 0,01*x(c,s,u)]
(3.26)
Dua baris terakhir dari pernyataan pembaharuan tersebut
adalah
pembaharuan perubahan. Pada kasus ini, model menawarkan formula secara eksplisit yang berisi nilai koefisien dan peubah sebagai perubahan biasa dalam nilai data dasar. Perubahan penerimaan pajak impor (V0MTX) dibagi menjadi dua bagian yaitu: a.
V0CIF(c) * Delmtxrate(c), yaitu perubahan tingkat pajak dikali dengan nilai pajak (nilai impor diperbatasan) atau bea masuk.
b.
0,01*V0MTX(c)*[x0(c,”imp”)+pworld(c)+phi],
merupakan
penerimaan
pajak dikali dengan proporsi perubahan nilai dasar. 3.2.2.15 Ringkasan Data Blok persamaan 16 dan 17 pada file input Tablo berisi ringkasan data untuk memeriksa apakah input data telah melakukan penjumlahan dengan baik dan membantu menjelaskan hasilnya. Pangsa modal pada Blok persamaan 17 dihitung secara terbalik dan dihubungkan dengan elastisitas penawaran jangka pendek. Pangsa impor yang tinggi menunjukkan adanya persaingan komoditi impor yang signifikan terhadap industri domestik. 3.2.3 Penutup Model Peubah pada model INDOMINI lebih banyak dibandingkan persamaannya. Peubah dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu peubah endogen (dijelaskan didalam model) dan peubah eksogen (nilainya ditentukan oleh pengguna model). Peubah-peubah yang dipilih dan didefinisikan ke dalam peubah eksogen disebut closure atau penutup model. Penetuan closure sesuai keinginan pengguna tetapi harus mengikuti hukum matematika, yaitu: Jumlah peubah endogen = Jumlah persamaan
53
Masing-masing persamaan hanya mampu menjelaskan satu peubah. Perubahan closure dapat dilakukan untuk merubah jenis peubah eksogen menjadi peubah endogen atau sebaliknya dan biasa dikenal dengan sebutan swap. Closure pada model INDOMINI yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 4. Pemilihan closure mempunyai beberapa strategi diantaranya adalah: 1.
Masing-masing persamaan menjelaskan identifikasi peubah yaitu peubah endogen dan peubah eksogen.
2.
Peubah yang tidak secara otomatis dijelaskan di dalam persamaan disebut peubah eksogen dan tidak dapat dijadikan endogen.
3.
Penggantian peubah-peubah yang di swap harus memiliki ukuran matriks yang sama.
4.
Pemakaian swap harus memperhatikan adanya kedekatan hubungan antar peubah yang ditukar.
Tabel 4 Peubah eksogen yang digunakan dalam model INDOMINI No
Peubah
Keterangan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
phi x_s(COM,”Invstock”) x_s(COM,”Govcapital”) x_s(COM,”Govroutine”) gret employsd employsltp employslta employpt delB a1prim a1lab Pworld f4q Delmtxrate Delptxrate
Nilai tukar Rp/USD Permintaan investasi Pengeluaran modal pemerintah Pengeluaran rutin pemerintah Tingkat pengembalian modal Pekerja tamatan SD ke bawah Pekerja tamat SLTP Pekerja tamat SLTA Pekerja tamat PT Neraca perdagangan/PDB Perubahan teknis penggunaan faktor produksi Perubahan teknis penggunaan tenaga kerja Harga dunia (USD) Shifter permintaan ekspor Tingkat pajak impor Tingkat pajak produksi
3.3
Simulasi Kebijakan Simulasi dalam CGE dapat dilakukan secara jangka pendek maupun jangka
panjang. Hayami dan Godo (2005) menyatakan bahwa tingkat pengembalian investasi modal manusia baru dapat dirasakan pada jangka panjang. Oleh karena
54
itu, simulasi yang dilakukan pada penelitian ini hanya untuk melihat pengaruh investasi modal manusia yang dilakukan oleh pemerintah pada jangka panjang. Simulasi yang akan dilakukan berhubungan dengan: 1.
Peningkatan belanja modal pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan.
2.
Peningkatan belanja rutin pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Simulasi pada penelitian ini dilakukan secara tidak langsung melalui
peningkatan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut dikarenakan penyusunan Tabel I-O di Indonesia dilakukan melalui pendekatan produksi, sehingga belanja modal pemerintah merupakan sisa output yang tidak terserap sebagai input antara dan permintaan akhir. Sehingga nilai belanja modal pemerintah tersebut belum dapat menunjukkan investasi modal manusia di sektor pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, simulasi kebijakan pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan simulasi peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai hasil dari investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Menurut Meager dan Speckesser (2011), secara teori mikroekonomi, produktivitas akan memengaruhi tingkat upah. Dimana ketika produktivitas tenaga kerja meningkat, sementara upah tetap, akan meningkatkan permintaan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan peningkatan produksi yang lebih tinggi akan meningkatkan keuntungan perusahaan atau produsen. Pada jangka panjang, dengan suplai tenaga kerja yang tetap, peningkatan permintaan tenaga kerja akan mengakibatkan upah yang lebih tinggi. Walaupun demikian, menurut teori pertumbuhan endogen, tingkat upah juga dapat memengaruhi produktivitas. Model Solow (1956) pada persamaan (2.8) menunjukkan bahwa produktivitas atau output per tenaga kerja efektif merupakan fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif. Persamaan (2.8) tersebut menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh variabel eksogen perubahan teknologi. Pada teori pertumbuhan endogen, perubahan teknologi bukan variabel eksogen melainkan dipengaruhi oleh investasi modal di tingkat perusahaan (Romer 1990a). Oleh karena itu, untuk memaksimisasi keuntungan, perusahaan
dalam
mengantisipasi peningkatan upah pada jangka panjang akan memiliki insentif untuk melakukan investasi modal yang dapat meningkatkan produktivitas atau
55
akan tersingkir dari pasar. Hal ini dikarenakan, secara teori, upah dan produktivitas akan sejalan pada jangka panjang. Sehingga perusahaan yang peningkatan produktivitasnya dibawah peningkatan tingkat upah pada akhirnya tidak mampu membayar upah tersebut dan mengalami kebangkrutan. Menurut Meager dan Speckesser (2011), hal inilah yang menyebabkan pada jangka panjang produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah dan investasi modal. Investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu belanja rutin dan belanja modal. Untuk dapat membandingkan efektifitas antara kedua jenis belanja tersebut, maka besaran produktivitas tenaga kerja yang digunakan sebagai shock dibedakan berdasarkan pengaruh dari belanja modal dan belanja rutin pemerintah. Sehingga persamaan fungsi produktivitas tenaga kerja adalah sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌𝑖 = 𝑎 + 𝑏 𝐿𝑛𝑊𝑎𝑔𝑒𝑖 + 𝑐 𝐿𝑛𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖 + 𝑑 𝐿𝑛𝑅𝑜𝑢𝑡𝑖𝑛𝑒𝑖 + 𝜀𝑖 Dimana :
Yi
=
(3.27)
Produktivitas tenaga kerja provinsi ke-i (rupiah per orang)
Wagei
=
Capitali =
Rata-rata tingkat upah provinsi ke-i (rupiah) Pengeluaran modal pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan provinsi ke-i (rupiah)
Routinei =
Pengeluaran rutin pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan provinsi ke-i (rupiah)
a
=
intercept
b, c, d
=
koefiesien parameter rata-rata upah (b), pengeluaran modal pemerintah (c), dan pengeluaran rutin pemerintah (d)
Hipotesis c, d > 0; dimana c dan d merupakan koefisien parameter yang menunjukkan produktivitas tenaga kerja dari adanya investasi modal manusia yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengeluaran modal dan rutin. Pendugaan fungsi dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Data yang digunakan adalah data produktivitas tenaga kerja (PDRB per tenaga kerja), tingkat upah tenaga kerja, belanja modal di sektor pendidikan dan kesehatan, serta belanja rutin di sektor pendidikan dan kesehatan menurut provinsi tahun 2008. Data merupakan cross section dari 33 provinsi di
56
Indonesia. Hasil estimasi persamaan fungsi produktivitas (3.27) adalah sebagai berikut: LnYi = -13,537 + 1,597 LnWagei + 0,154 LnCapitali + 0,136 LnRoutinei + εi (-1,465)
(2,561)
(2,372)
(2,386)
R2 = 0,522
Prob(F-Statistic) = 0,000
Angka dalam kurung adalah nilai uji-t sedangkan semua variabel penjelas signifikan secara statistik dengan α=5%. Nilai R2 yang relatif rendah dikarenakan selain dipengaruhi oleh investasi modal manusia oleh pemerintah, produktivitas tenaga kerja juga dipengaruhi oleh variabel lain seperti investasi modal manusia oleh pihak swasta atau rumahtangga yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil estimasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 5 Pengeluaran pemerintah pusat pada sektor pendidikan dan kesehatan serta peningkatannya di Indonesia tahun 2011-2012 (milyar rupiah) Tahun
Fungsi
2011 (1) (2) Pendidikan 91.001,3 Kesehatan 13.986,6 Total 104.987,9 Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2012.
2012 (3) 95.599,6 14.693,3 110292,9
Peningkatan (%) (4) 5 5 5
Untuk menghitung peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan digunakan data pengeluaran pemerintah pusat di kedua sektor tersebut. Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase peningkatan pengeluaran pemerintah pusat di sektor pendidikan sama dengan sektor kesehatan yaitu sebesar 5%. Perkalian antara koefisien parameter c dan d dengan peningkatan
persentase
pengeluaran
pemerintah
menghasilkan
besaran
produktivitas yang akan digunakan sebagai shock dalam simulasi penelitian untuk melihat dampak belanja modal dan belanja rutin pemerintah di kedua sektor (Tabel 6). Besaran persentase peningkatan yang sama untuk kedua jenis belanja, selain untuk melihat dampaknya terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral juga supaya dapat membandingkan hasil simulasi antara kedua jenis belanja pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan tersebut sehingga dapat diketahui, di antara belanja modal dengan belanja rutin, jenis belanja apakah yang lebih efektif.
57
Tabel 6 Besaran shock investasi modal manusia pendekatan produktivitas tenaga kerja Jenis Belanja Pemerintah
Koefisien Parameter
(1)
(2) 0,154 0,136
Modal Rutin
Peningkatan Pengeluaran (%) (3) 5 5
Shock Simulasi Kebijakan (%) (4) 0,77 0,68
58
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. GAMBARAN UMUM 4.1
Modal Manusia Konsep modal manusia secara relatif memiliki arti yang lebih penting pada
negara-negara yang mengalami surplus tenaga kerja. Surplus tenaga kerja tersebut merupakan tersedianya sumberdaya manusia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan sumber modal fisik. Sumberdaya manusia tersebut dapat ditransformasi menjadi modal manusia melalui input secara efektif di bidang pendidikan, kesehatan, dan nilai-nilai moral. Transformasi sumberdaya manusia yang tersedia menjadi sumberdaya manusia yang memiliki produktivitas tinggi merupakan proses pembentukan modal manusia. Permasalahan kelangkaan modal fisik pada negara-negara yang mengalami surplus tenaga kerja dapat diselesaikan dengan meningkatkan laju pembentukan modal manusia melalui investasi di sektor pendidikan dan kesehatan baik oleh swasta maupun pemerintah. Tabel 7 Perkembangan struktur umur penduduk Indonesia tahun 1971-2010 (persen) Kelompok Umur
1971
1980
1990
2000
2010
(1) 0 – 14
(2) 44,00
(3) 40,90
(4) 36,50
(5) 30,70
(6) 28,87
15 – 64
53,50
55,80
59,60
64,60
66,09
65 +
2,50
3,30
3,90
4,70
5,04
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Jumlah
Sumber: Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000, 2010. Indonesia dengan jumlah penduduk hampir mencapai 238 juta jiwa memiliki potensi modal manusia yang sangat besar sebagai salah satu input produksi dari kegiatan perekonomian. Berdasarkan struktur umur, penduduk Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga kelompok umur, yaitu kelompok umur muda (dibawah 15 tahun), kelompok umur produktif (15-64 tahun), dan kelompok umur tua (di atas 64 tahun) (Tjiptoherijanto 2001). Perkembangan dalam struktur umur menunjukkan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami transisi demografi dimana penduduk kelompok umur produktif terus mengalami peningkatan. Tabel
60
7 menunjukkan bahwa proporsi kelompok umur produktif mengalami peningkatan dari 53,50% pada tahun 1971 menjadi 66,09% pada tahun 2010. Transisi demografi yang sedang terjadi di Indonesia merupakan suatu kesempatan yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Menurut Bloom et al. (2003), terdapat tiga mekanisme penting dalam transisi demografi yang memberikan manfaat bagi perekonomian. Pertama adalah peningkatan suplai tenaga kerja. Peningkatan proporsi kelompok umur produktif (15-64 tahun), jika mampu diserap oleh pasar tenaga kerja, akan mengurangi angka ketergantungan dan meningkatkan output per kapita. Mekanisme kedua adalah peningkatan tabungan. Sejalan dengan penurunan angka ketergantungan, maka orang dapat menabung lebih banyak. Kondisi ini akan menghasilkan akumulasi modal yang dapat digunakan dalam perekonomian. Mekanisme ketiga adalah modal manusia. Penurunan tingkat kelahiran mengakibatkan alokasi pendapatan orangtua untuk investasi per anak lebih besar, sehingga menghasilkan tingkat kesehatan dan pendidikan yang lebih baik.
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 23.68%
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 18.87%
Perguruan Tinggi 8.05%
Tidak sekolah/belum tamat SD 20.56%
Sekolah Dasar 28.84%
Sumber: BPS, 2011. Gambar 13 Persentase penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia tahun 2011. Modal manusia sangat dipengaruhi oleh permasalahan pendidikan dan kesehatan karena output yang dihasilkan oleh seorang pekerja turut dipengaruhi
61
oleh kemampuan, keterampilan, pengetahuan serta kesehatan pekerja tersebut. Barro dan Lee (2000) menyatakan bahwa akumulasi modal manusia, terutama yang diperoleh melalui pendidikan, juga akan membantu penyerapan teknologi dari negara-negara maju. Berdasarkan data BPS, walaupun komposisi pekerja menurut tingkat pendidikan terus mengalami pergeseran dari pekerja berpendidikan rendah menjadi pekerja berpendidikan tinggi, kondisi saat ini pekerja berpendidikan rendah masih memiliki persentase yang sangat besar. Gambar 13 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 penduduk yang bekerja dengan pendidikan SLTP ke bawah mencapai lebih dua pertiga (68,27%) dari keseluruhan pekerja di Indonesia. Pekerja yang berpendidikan SLTA hanya sebesar 23,68%, sedangkan pekerja dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi memiliki persentase
69.5
8
69.0
7.9
68.5
7.8
68.0
7.7
67.5
7.6
67.0
7.5
66.5
7.4 2006
2007 Angka Harapan Hidup
2008
2009
Tahun
Tahun
yang jauh lebih kecil yaitu sebesar 8,05%.
2010
Rata-rata Lama Sekolah
Sumber: UNDP, 2011b; BPS, 2011. Gambar 14 Angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah di Indonesia tahun 2006 – 2010. Pendidikan memiliki hubungan yang saling terkait dengan kesehatan dalam pembangunan ekonomi. Harapan hidup yang lebih panjang dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan, sedangkan pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi kesehatan (Todaro & Smith 2006). Harapan hidup juga dapat diartikan bahwa semakin lama umur seorang
62
pekerja maka output yang dihasilkan juga akan lebih banyak. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Bloom et al. (2003) yang menyimpulkan bahwa angka harapan hidup, struktur umur, dan kepadatan penduduk memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Angka harapan hidup Indonesia selama periode 2006-2010 terus mengalami peningkatan, yaitu dari 67,4 tahun menjadi 68,9 tahun. Hal ini berarti bahwa dengan asumsi tidak ada perubahan pada pola mortalitas, rata-rata bayi yang dilahirkan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai umur 68,9 tahun. Sejalan dengan peningkatan angka harapan hidup, angka rata-rata lama sekolah juga terus meningkat dari 7,4 tahun pada tahun 2006 menjadi 7,9 tahun pada tahun 2010. Angka ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk yang berumur 15 tahun ke atas pada tahun 2010 memiliki tingkat pendidikan mencapai sekolah lanjutan pertama (Gambar 14). Tabel 8 Human Development Index (HDI) negara-negara ASEAN tahun 20072011 No. Negara (1) (2) 1. Singapura
2007 (3) 0,850
2008 (4) 0,855
2009 (5) 0,856
2010 (6) 0,864
2011 (7) 0,866
2. Brunei
0,835
0,834
0,835
0,837
0,838
3. Vietnam
0,746
0,750
0,752
0,758
0,761
4. Malaysia
0,670
0,672
0,673
0,680
0,682
5. Thailand
0,630
0,635
0,636
0,641
0,644
6. Indonesia
0,591
0,598
0,607
0,613
0,617
7. Filipina
0,575
0,580
0,584
0,590
0,593
8. Laos
0,500
0,507
0,514
0,520
0,524
9. Myanmar
0,508
0,513
0,513
0,518
0,523
10. Kamboja
0,459
0,468
0,474
0,479
0,483
Sumber: UNDP, 2011b. Walaupun dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pada indikator pendidikan dan kesehatan di Indonesia, namun jika dibandingkan dengan negara lain, pencapaian tersebut masih termasuk rendah. Hal ini dapat ditunjukkan oleh indikator HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan setiap tahun oleh
63
UNDP, dimana pendidikan dan kesehatan merupakan dua dari tiga dimensi yang diukur secara agregat untuk mengetahui pembangunan manusia di suatu negara. Menurut UNDP (2011b), Indonesia berada pada urutan ke 124 dari 187 negara yang diukur HDI-nya pada tahun 2011. HDI Indonesia tercatat sebesar 0,617, angka tersebut memiliki selisih yang relatif cukup besar jika dibandingkan dengan Norwegia yang berada di urutan pertama dengan HDI sebesar 0,943. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, pencapaian HDI Indonesia masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, dimana dari 10 negara anggota ASEAN, Indonesia tercatat pada urutan keenam. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa HDI Indonesia dari tahun 2007 ke tahun 2011 selalu berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Kualitas pendidikan dan kesehatan sebagai faktor yang memengaruhi modal manusia memiliki peran yang sangat penting dalam era globalisasi saat ini. Salah satu manfaat dari globalisasi adalah semakin terbukanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Menurut Todaro dan Smith (2006), melalui berbagai jenis interaksi dengan orang-orang di negara lain, globalisasi berpotensi memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang secara langsung dan tidak langsung melalui pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebaran ide-ide produktif yang lebih cepat, seperti waktu yang lebih singkat antara inovasi dan penerapan teknologi baru di seluruh dunia, akan membantu negara-negara berkembang lebih cepat dalam menyusul ketertinggalan. Ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan salah satu pondasi kekayaan negara maju, dapat diserap dan diterapkan secara lebih efektif dengan dukungan modal manusia yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan daya saing Indonesia terhadap negara-negara lainnya. Menurut World Economic Forum (2011b), indeks daya saing Indonesia pada tahun 2011 berada pada peringkat 44 dari 139 negara atau mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat Indonesia pada peringkat 54. Hal ini turut dipengaruhi oleh kondisi kualitas modal manusia sebagaimana ditunjukkan oleh indikator kesehatan dan pendidikan dasar yang juga mengalami peningkatan dari peringkat 82 pada tahun 2010 menjadi peringkat 62 pada tahun 2011. Gambar 15 menunjukkan kondisi kesehatan dan pendidikan dasar Indonesia saat ini mengakibatkan daya saing
64
Indonesia berada di bawah beberapa negara ASEAN seperti: Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. 3 3
Singapura
6
Jepang
9 16 13
Australia
22 21
Korea Selandia Baru
23
5
Malaysia
26
China
27
Brunei Darussalam
28
34 37 32 38
Thailand
80 44
Indonesia
62 51
India
104 59
Vietnam
65 85
Filipina
90 109 110
Kamboja 0
20 Indeks Daya Saing
40
60
80
100
120
Kesehatan dan Pendidikan Dasar
Sumber: World Economic Forum, 2011b. Gambar 15 Peringkat daya saing serta indikator kesehatan dan pendidikan dasar beberapa negara tahun 2011. 4.2
Investasi Modal Manusia Peran pemerintah sangat penting dalam melakukan investasi modal
manusia, terutama di negara yang sedang berkembang dimana peran pihak swasta dalam melakukan investasi modal manusia masih relatif rendah. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan investasi modal manusia dapat terlihat dari semakin meningkatnya anggaran untuk pendidikan dan kesehatan.
65
Anggaran untuk pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui APBN selama periode 2007-2010 mengalami peningkatan sebesar 78,62% yaitu dari 50,843 triliun rupiah pada tahun 2007 menjadi 90,818 triliun rupiah pada tahun 2010. Jika ditinjau berdasarkan jenis belanja, belanja rutin di bidang pendidikan meningkat sebesar 74,31% dari 3,571 triliun rupiah menjadi 8,417 triliun rupiah. Sedangkan belanja modal di bidang pendidikan mengalami peningkatan dari 47,272 triliun rupiah menjadi 82,401 triliun rupiah atau sebesar 135,69%. Anggaran pendidikan pemerintah pusat tahun 2010 memiliki porsi terbesar kedua setelah anggaran pelayanan umum, yaitu 13,04% dari total APBN. Hal ini merupakan bentuk implementasi dari UUD 45 yang mengamanatkan alokasi anggaran untuk pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN.
10,00% - 19,99%
20,00% - 29,99%
30,00% - 39.99%
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2010 (diolah). Gambar 16 Proporsi anggaran pendidikan terhadap total APBD per provinsi di Indonesia tahun 2010. Pada era desentralisasi saat ini, investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah tidak hanya berasal dari alokasi anggaran pendidikan pada APBN tetapi juga pada APBD yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan sebagian anggaran pendidikan pada APBN ditransfer ke daerah melalui mekanisme seperti Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan (APBN 2011). Jika dilihat dari proporsi anggaran pendidikan terhadap total APBD, maka Provinsi Jawa Tengah
66
merupakan provinsi yang memiliki proporsi terbesar yaitu 37,04%. Sedangkan provinsi yang memiliki proporsi anggaran pendidikan terendah adalah provinsi Papua Barat sebesar 12,96% (Gambar 16). Pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan juga dapat digunakan sebagai ukuran yang menggambarkan komitmen pemerintah di bidang pendidikan. Dengan membandingkan bagaimana pemerintah di berbagai negara melakukan investasi di bidang pendidikan, maka dapat diperoleh suatu gambaran mengenai peranan pemerintah di bidang pendidikan. Salah satu ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia dalam mengukur peranan pemerintah di bidang pendidikan adalah persentase pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan terhadap PDB. Gambar 17 menunjukkan bahwa dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya (kecuali Myanmar), pengeluaran pemerintah Indonesia di bidang pendidikan (sebagai persentase dari PDB) masih berada di bawah Malaysia, Vietnam, Thailand, Laos, dan Singapura.
Malaysia 1)
5.79
Vietnam 2)
5.32
Thailand
3.75
Laos
3.27
Singapura
3.26
Indonesia
3.01
Filipina 1)
2.65
Kamboja
2.60
Brunei Darussalam
2.05 0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Persen
Keterangan: (1) Data Tahun 2009 (2) Data Tahun 2008. Sumber: Bank Dunia, 2011. Gambar 17 Persentase pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan terhadap PDB negara-negara ASEAN tahun 2010. Berbeda dengan anggaran pendidikan, walaupun secara rata-rata terjadi peningkatan, perkembangan anggaran kesehatan pemerintah pusat mengalami fluktuasi selama periode 2007-2010. Penurunan anggaran sempat terjadi dari
67
16,005 triliun rupiah pada tahun 2007 menjadi 14,039 triliun rupiah pada tahun 2008. Pada tahun 2009 anggaran kesehatan pemerintah pusat kembali meningkat menjadi 15,743 triliun rupiah, hingga akhirnya terus meningkat menjadi 18,793 triliun rupiah pada tahun 2010. Menurut jenis belanja, jika dibandingkan antara tahun 2007 dengan 2010, belanja rutin untuk anggaran kesehatan pemerintah pusat mengalami peningkatan dari 12,141 triliun rupiah menjadi 15,973 triliun rupiah. Sedangkan belanja modal mengalami penurunan dari 3,864 triliun rupiah menjadi 2,820 triliun rupiah atau sebesar 27,01%.
6,00% - 7,99%
8,00% - 9,99%
10,00% - 11.99%
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2010 (diolah). Gambar 18 Proporsi anggaran kesehatan terhadap total APBD per provinsi di Indonesia tahun 2010. Proporsi anggaran bidang kesehatan pemerintah pusat pada tahun 2010 adalah 2,70% dari keseluruhan APBN. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka proporsi tersebut mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2009 proporsi anggaran bidang kesehatan pemerintah pusat adalah sebesar 2,50%. Jika ditinjau menurut pemerintah daerah, maka rata-rata proporsi anggaran kesehatan terhadap total APBD adalah sebesar 9,17%. Proporsi anggaran pemerintah daerah untuk bidang kesehatan yang terendah adalah Provinsi Riau sebesar 6,23% dan proporsi terbesar dialokasikan oleh Provinsi Jawa Timur sebesar 11,61% (Gambar 18).
68
World Economic Forum (2011a) menyatakan bahwa sehubungan dengan modal manusia, kondisi kesehatan Indonesia yang relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya menahan peningkatan daya saing Indonesia. Angkatan kerja yang sehat merupakan hal yang penting untuk daya saing dan produktivitas suatu negara. Kesehatan yang buruk akan mengakibatkan biaya yang signifikan untuk perekonomian, hal ini karena pekerja yang sakit akan sering tidak masuk kerja atau bekerja dengan tingkat efisiensi yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang khusus dalam kebijakan pengeluaran di bidang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kondisi kesehatan di Indonesia.
Thailand
3.27
Vietnam
2.79
Brunei Darussalam
2.63
Malaysia
2.15
Kamboja
1.62
Singapura
1.61
Filipina
1.33
Indonesia
1.22
Laos
0.78
Myanmar
0.20 0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
Persen
Sumber: Bank Dunia, 2011. Gambar 19 Persentase Pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan terhadap PDB negara-negara ASEAN tahun 2009. Untuk mengukur pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan, salah satu ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia adalah persentase pengeluaran kesehatan terhadap PDB. PDB mengukur output suatu perekonomian selama periode waktu tertentu, misalnya satu tahun. Pada tingkat agregat, dan secara umum, nilai output suatu perekonomian juga merupakan pendapatan yang dihasilkan oleh perekonomian tersebut. Alasan inilah yang menjadikan persentase pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan terhadap PDB menggambarkan bagian dari
69
pendapatan yang tersedia untuk digunakan pada bidang kesehatan (Bank Dunia 2011). Persentase pengeluaran pemerintah Indonesia di bidang kesehatan terhadap PDB jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya masih sangat rendah. Pada tahun 2009, persentase pengeluaran kesehatan terbesar di kawasan ASEAN dilakukan oleh Thailand sebesar 3,27% dari total PDB. Indonesia tercatat berada pada urutan ke-8 dari 10 negara ASEAN dengan pengeluaran kesehatan sebesar 1,22% dari PDB, hanya berada di atas Laos (0,78%) dan Myanmar (0,20%). 4.3
Kondisi Perekonomian Menurut Mankiw (2007), Produk Domestik Bruto (PDB) sering dianggap
sebagai ukuran terbaik untuk mengetahui kondisi perekonomian. Hal ini dikarenakan PDB dipandang sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa dalam suatu perekonomian, sehingga perekonomian dengan output barang dan jasa yang besar dapat dengan lebih baik memenuhi permintaan para pelaku
Laju Pertumbuhan (%)
ekonomi seperti rumahtangga, pemerintah, dan perusahaan. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
1 2
3 4 5 6 7 2005
2006
2007
2008 Tahun
2009
2010
2011
8 9
Keterangan:
(1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan (2) Pertambangan dan Penggalian (3) Industri Pengolahan (4) Listrik, Gas, dan Air Bersih (5) Konstruksi (6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran (7) Pengangkutan dan Komunikasi (8) Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan (9) Jasa-jasa, Sumber: BPS, 2011. Gambar 20 Laju pertumbuhan PDB Indonesia menurut lapangan usaha tahun 2005-2011.
70
Perekonomian Indonesia pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 6,46%. Hal ini berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,20%. Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun 2011 adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,69%. Sektor pertambangan dan penggalian tercatat sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan terendah sebesar 1,36%, Sedangkan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang pada tahun sebelumnya mengalami pertumbuhan terendah, tahun ini mengalami pertumbuhan sebesar 2,95%. Laju pertumbuhan PDB Indonesia menurut lapangan usaha diilustrasikan pada Gambar 20. Dalam proses produksi suatu perekonomian, output yang dikeluarkan oleh suatu lapangan usaha dapat memengaruhi output lapangan usaha lainnya. Keterkaitan antar lapangan usaha/antar sektor tersebut dapat dibedakan menjadi keterkaitan ke depan (forward linkage) melalui penghitungan indeks daya penyebaran dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) melalui indeks derajat kepekaan. Indeks daya penyebaran memberikan indikasi bahwa, sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran lebih besar dari 1, berarti daya penyebaran sektor tersebut di atas rata-rata daya penyebaran secara keseluruhan. Pengertian yang sama juga berlaku untuk indeks derajat kepekaan. Sektor yang memiliki daya penyebaran tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut memiliki keterkaitan ke depan atau daya dorong yang cukup kuat terhadap sektor lainnya. Sebaliknya sektor yang memiliki derajat kepekaan tinggi berarti sektor tersebut memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor lain (BPS 2008). Tabel 9 menunjukkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan untuk 31 sektor penelitian. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa sektor yang memiliki indeks daya penyebaran tertinggi di Indonesia adalah jasa kesehatan swasta sebesar 1,2808. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan 1 unit output sektor tersebut akan mengakibatkan kenaikan output sektor-sektor lainnya (termasuk sektor itu sendiri) secara keseluruhan sebesar 1,2808 unit. Sektor yang memiliki indeks daya penyebaran tertinggi kedua setelah sektor jasa kesehatan swasta adalah industri makanan, minuman, dan rokok yaitu sebesar 1,2244.
71
Sedangkan sektor yang tercatat memiliki indeks daya penyebaran terendah adalah sektor sayuran dan buah-buahan sebesar 0,7232. Tabel 9 Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan 31 sektor di Indonesia tahun 2008 Indeks Daya Penyebaran (1) (2) (3) 1. Padi 0,8209 2. Palawija 0,7946 3. Sayur dan buah-buahan 0,7232 4. Perkebunan 0,9439 5. Tanaman lainnya 0,8917 6. Peternakan 1,1732 7. Kehutanan 0,8211 8. Perikanan 0,8520 9. Pertambangan dan Penggalian 0,7612 10. Industri makanan, minuman, dan rokok 1,2244 11. Industri tekstil pakaian, kulit, dan pemintalan 1,1858 12. Industri bambu, kayu, rotan, dan kertas 1,1606 13. Industri pupuk, pestisida, dan kimia 1,0440 14. Pengilangan minyak bumi 0,7832 15. Industri karet, plastik, dan bukan logam 1,1280 16. Industri semen 1,0810 17. Industri logam 1,0092 18. Industri mesin, alat-alat listrik, dan angkutan 1,0465 19. Industri lainnya 1,1430 20. Listrik, gas, dan air 1,1278 21. Bangunan 1,1390 22. Perdagangan, hotel, dan restoran 1,0790 23. Angkutan 1,0777 24. Komunikasi 0,8020 25. Lembaga keuangan, real estat, dan jasa perush 0,8942 26. Pemerintah umum dan pertahanan 1,0057 27. Jasa pendidikan pemerintah 0,9834 28. Jasa kesehatan pemerintah 0,9723 29. Jasa pendidikan swasta 1,0336 30. Jasa kesehatan swasta 1,2808 31. Jasa lain 1,0168 Rata-rata 1,0000 Sumber: Tabel Input-Output, 2008 (diolah). No.
Sektor
Indeks Derajat Kepekaan (4) 0,8748 0,7552 0,8556 0,9553 0,7762 1,1288 0,7316 0,8068 2,0894 1,3793 0,9021 1,0953 1,5992 1,2924 0,9006 0,6449 0,9135 1,1962 0,6511 0,9356 0,9092 1,8437 1,1727 0,8323 1,5291 0,6533 0,6194 0,6247 0,6588 0,6328 1,0404 1,0000
Sektor-sektor yang berhubungan dengan investasi modal manusia yang dilakukan oleh pemerintah ternyata memiliki indeks daya penyebaran yang termasuk rendah. Sektor jasa pendidikan pemerintah memiliki indeks daya
72
penyebaran sebesar 0,9834 sedangkan jasa kesehatan pemerintah memiliki indeks sebesar 0,9723. Kondisi tersebut menunjukkan belum efektifnya pelaksanaan kebijakan pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah, mengingat investasi modal manusia yang dilakukan oleh swasta yaitu sektor jasa pendidikan swasta dan sektor jasa kesehatan swasta termasuk sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran yang tinggi. Berdasarkan indeks derajat kepekaan, dari 31 sektor penelitian, terdapat 11 sektor yang memiliki indeks derajat kepekaan di atas rata-rata. Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa sektor yang memiliki ketergantungan tertinggi terhadap sektor lainnya adalah sektor pertambangan, yaitu sebesar 2,0894. Hal ini berarti bahwa jika output sektor pertambangan meningkat sebesar 1 unit, maka output yang dihasilkan oleh sektor-sektor lainnya (termasuk sektor pertambangan sendiri), yang digunakan sebagai input produksi sektor pertambangan, secara keseluruhan akan meningkat sebesar 2,0894 unit. Sektor jasa pendidikan pemerintah dan sektor jasa kesehatan pemerintah mencatat indeks derajat kepekaan di bawah rata-rata. Bahkan dari 31 sektor penelitian, kedua sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki indeks derajat kepekaan yang terendah yaitu jasa pendidikan pemerintah sebesar 0,6194 dan jasa kesehatan pemerintah sebesar 0,6247. Hal ini dapat diartikan bahwa, dibandingkan dengan sektor lainnya, peningkatan investasi modal manusia yang dilakukan oleh pemerintah kurang berpengaruh dalam meningkatkan output sektor-sektor yang digunakan sebagai input sektor jasa pendidikan dan kesehatan pemerintah. Menurut BPS (2008), berdasarkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan, sektor-sektor ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok sebagai berikut: -
Kelompok I adalah sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan yang relatif tinggi (di atas rata-rata), yaitu: Sektor peternakan, sektor industri makanan, minuman, dan rokok, sektor industri bambu, kayu, rotan, dan kertas, sektor industri pupuk, pestisida, dan kimia, sektor industri mesin, alat-alat listrik, dan angkutan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor angkutan, serta sektor jasa lain.
73
-
Kelompok II adalah sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran yang rendah (di bawah rata-rata) tetapi indeks derajat kepekaannya tinggi (di atas rata-rata), yaitu: Sektor pertambangan, sektor pengilangan minyak bumi, serta sektor lembaga keuangan, real estat, dan jasa perusahaan.
-
Kelompok III adalah sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan yang relatif rendah (di bawah rata-rata), yaitu: Sektor padi, sektor palawija, sektor sayur dan buah-buahan, sektor perkebunan, sektor tanaman lainnya, sektor kehutanan, sektor perikanan, sektor komunikasi, sektor jasa pendidikan pemerintah, serta sektor jasa kesehatan pemerintah.
-
Kelompok IV adalah sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran yang tinggi (di atas rata-rata) tetapi indeks derajat kepekaannya rendah (di bawah rata-rata), yaitu: Sektor industri tekstil, pakaian, kulit, dan pemintalan, sektor industri karet, plastik dan bukan logam, sektor industri semen, sektor industri logam, sektor industri lainnya, sektor listrik, gas, dan air, sektor bangunan, sektor pemerintahan umum dan pertahanan, sektor jasa pendidikan swasta, serta sektor jasa kesehatan swasta.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pembagian serta posisi masing-masing sektor penelitian, secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 21.
74
Sumber: Tabel Input-Output, 2008 (diolah). Gambar 21 Pembagian kelompok sektor-sektor ekonomi menurut indeks daya penyebaran (forward linkages) dan indeks derajat kepekaan (backward linkages) di Indonesia tahun 2008.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Simulasi kebijakan investasi modal manusia oleh pemerintah pada penelitian ini dilakukan secara tidak langsung melalui guncangan (shock) peningkatan produktivitas tenaga kerja. Guncangan dibedakan ke dalam 2 skenario, yaitu (1) peningkatan belanja modal pada sektor jasa pendidikan pemerintah dan sektor jasa kesehatan pemerintah serta (2) peningkatan belanja rutin pada sektor jasa pendidikan pemerintah dan sektor jasa kesehatan pemerintah. Closure simulasi peningkatan belanja modal pemerintah yang dipakai adalah dengan memberikan shock pada peubah eksogen produktivitas tenaga kerja (a1lab) yang diakibatkan oleh peningkatan belanja modal, sedangkan simulasi peningkatan belanja rutin pemerintah dilakukan dengan memberikan shock pada peubah produktivitas tenaga kerja (a1lab) yang diakibatkan oleh peningkatan belanja rutin. Besaran dari masing-masing guncangan (shock) disajikan oleh Tabel 6 pada Bab 3. 5.1
Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Kinerja Ekonomi Makro Mankiw (2007) menyatakan bahwa kinerja suatu perekonomian secara
makro dapat ditinjau dari tiga variabel utama, yaitu PDB, ketenagakerjaan, dan inflasi. Variabel PDB digunakan dalam analisis makroekonomi untuk mengukur aktivitas suatu perekonomian yang ditunjukkan oleh output perekonomian secara agregat. Variabel ketenagakerjaan dapat memberikan indikasi apakah suatu perekonomian telah menggunakan sumberdaya manusia secara efisien atau tidak. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi menunjukkan bahwa suatu perekonomian dapat secara efisien memanfaatkan sumberdaya manusia yang tersedia. Sedangkan variabel inflasi termasuk variabel utama dalam makroekonomi karena inflasi dapat memengaruhi distribusi pendapatan masyarakat di suatu negara. Hal ini disebabkan tidak semua harga dan upah meningkat secara proporsional ketika terjadi inflasi. Suatu perekonomian dinilai berhasil jika perekonomian tersebut dapat mengombinasikan laju pertumbuhan PDB yang tinggi, penyerapan tenaga kerja yang tinggi, serta tingkat inflasi yang rendah.
76
Tabel 10 Dampak investasi modal manusia terhadap beberapa variabel indikator makroekonomi Variabel Makroekonomi (1) PDB Riil Indeks Harga Konsumen Deflator PDB Konsumsi Riil Rumahtangga Upah nominal Tenaga Kerja SD ke bawah Upah nominal Tenaga Kerja SLTP Upah nominal Tenaga Kerja SLTA Upah nominal Tenaga Kerja PT Upah riil Tenaga Kerja SD ke bawah Upah riil Tenaga Kerja SLTP Upah riil Tenaga Kerja SLTA Upah riil Tenaga Kerja PT Indeks Harga Investasi Indeks Harga Ekspor Impor Ekspor
Dampak (%) Simulasi 1 Simulasi 2 (2) (3) 0,957 0,844 -0,160 -0,142 -0,212 -0,187 1,461 1,289 0,561 0,495 0,461 0,407 0,454 0,401 0,016 0,014 0,722 0,637 0,622 0,549 0,616 0,543 0,176 0,155 -0,148 -0,130 -0,166 -0,147 0,621 0,548 0,796 0,702
Dampak simulasi kebijakan investasi modal manusia terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil simulasi menunjukkan bahwa secara umum, dampak yang dihasilkan oleh investasi modal manusia melalui belanja modal pemerintah (simulasi 1) memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan investasi modal manusia melalui belanja rutin pemerintah (simulasi 2). Investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah, baik melalui belanja modal maupun belanja rutin menyebabkan penurunan biaya produksi per unit pada seluruh sektor perekonomian. Penurunan biaya produksi ini akan disikapi oleh perusahaan atau produsen dengan meningkatkan produksi barang/jasa sehingga menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan PDB riil. PDB riil mengalami kenaikan sebesar 0,957% untuk simulasi 1, sedangkan simulasi 2 menghasilkan peningkatan PDB riil sebesar 0,844%. Secara empiris, hasil simulasi ini sejalan dengan hasil penelitian Angelopoulos et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan penelitian Bloom et al. (2004) yang
77
menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan akan meningkatkan output perekonomian secara agregat. Menurut Ebeling (2003), penurunan tingkat harga dapat menyertai peningkatan output yang diakibatkan oleh peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya. Peningkatan output yang terjadi akibat investasi modal manusia akan berdampak pada penawaran/supply barang dan jasa yang ada di pasar. Sesuai dengan mekanisme pasar yang kompetitif, penambahan supply barang dan jasa yang tersedia semakin mendorong turunnya harga barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar (supply-side deflation). Penurunan variabel indeks harga konsumen dan deflator PDB menunjukkan indikasi terjadinya deflasi yang diakibatkan oleh investasi modal manusia. Berdasarkan perubahan indeks harga konsumen dapat dilihat bahwa simulasi 1 menyebabkan deflasi sebesar 0,160% sedangkan simulasi 2 menyebabkan deflasi sebesar 0,142%. Penurunan harga yang terjadi pada jangka panjang tersebut turut memengaruhi konsumsi riil rumahtangga yang mengalami peningkatan sebesar 1,461% untuk simulasi 1 dan 1,289% pada simulasi 2. Dampak simulasi terhadap ketenagakerjaan dapat ditinjau melalui perubahan upah tenaga kerja yang terjadi. Peningkatan produktivitas tenaga kerja, sementara upah tetap, akan meningkatkan permintaan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan peningkatan produksi yang lebih tinggi akan meningkatkan keuntungan perusahaan atau produsen. Pada jangka panjang, dengan suplai tenaga kerja yang tetap, peningkatan permintaan tenaga kerja akan mengakibatkan upah yang lebih tinggi. Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal pemerintah untuk investasi modal manusia (simulasi 1) mengakibatkan upah tenaga kerja di semua tingkat pendidikan mengalami peningkatan. Peningkatan upah riil tertinggi dialami oleh tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 0,722% sedangkan peningkatan upah riil terendah dialami oleh tenaga kerja berpendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebesar 0,176%. Dampak peningkatan belanja rutin pemerintah untuk modal manusia juga mengakibatkan tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah mengalami peningkatan upah riil tertinggi yaitu sebesar 0,637%, sedangkan upah yang mengalami peningkatan terendah adalah upah tenaga kerja Perguruan Tinggi, yaitu sebesar 0,155%.
78
Kontribusi investasi pemerintah untuk modal manusia terhadap kinerja ekonomi makro juga terlihat dari semakin efisiennya proses produksi domestik. Peningkatan output yang terjadi akan mendorong harga ekspor produk domestik turun dibandingkan komoditas luar negeri, yaitu turun sebesar 0,166% (simulasi 1) dan 0,147% (simulasi 2). Rendahnya harga komoditas domestik yang diakibatkan investasi modal manusia, mampu meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Membaiknya daya saing domestik ini menyebabkan indeks volume ekspor Indonesia meningkat sebesar 0,796% (simulasi 1) dan sebesar 0,702% (simulasi 2). Peningkatan volume ekspor juga diimbangi oleh peningkatan indeks volume impor untuk memenuhi permintaan rumahtangga yang semakin meningkat. Indeks volume impor yang diakibatkan investasi modal manusia melalui belanja modal sebesar 0,621% sedangkan peningkatan indeks volume impor yang diakibatkan investasi modal manusia melalui belanja rutin adalah sebesar 0,548%. Semakin membaiknya indikator-indikator makroekonomi akibat investasi modal manusia yang disertai oleh peningkatan produktivitas menjadi salah satu bukti empiris yang mendukung teori pertumbuhan endogen. Hasil ini sesuai dengan teori dan bukti empiris yang dinyatakan oleh Romer (1990b), bahwa peranan pemerintah dan modal manusia memiliki peranan yang penting dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 5.2
Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral Pembahasan dampak investasi modal manusia terhadap kinerja ekonomi
sektoral akan dibedakan menurut 2 kelompok, yaitu (1) dampak investasi modal manusia terhadap output domestik dan tingkat harga serta (2) dampak investasi modal manusia terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral menurut tingkat pendidikan. Menurut BPS (2008), output disebut sebagai output domestik karena hanya mencakup produksi dalam suatu wilayah, tanpa melihat pelaku ekonominya. Produksi itu sendiri pada dasarnya dapat dibedakan antara produksi barang dan jasa. Sektor-sektor yang wujud produksinya berupa barang adalah sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) dan sektor sekunder (industri, listrik, gas, dan air minum). Sedangkan sektor-sektor yang produksinya berwujud jasa
79
sebagai sektor tersier yang mencakup kegiatan usaha perdagangan, pengangkutan, bank dan lembaga keuangan lainnya, pemerintah, jasa pendidikan, jasa kesehatan, serta jasa-jasa lainnya. 5.2.1 Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Output Domestik dan Tingkat Harga Sektoral Akumulasi modal manusia akibat kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan mengakibatkan peningkatan output yang ditunjukkan oleh peningkatan PDB riil. Sedangkan peningkatan PDB yang terjadi tersebut merupakan agregasi dari peningkatan output secara sektoral yang diakibatkan oleh peningkatan produktivitas tenaga kerja. Peningkatan produktivitas tenaga kerja selain berdampak pada peningkatan output sektoral juga dapat menurunkan harga output sektoral. Penurunan tingkat harga sektoral akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga meningkatkan permintaan barang dan jasa di pasar, yang pada akhirnya akan semakin meningkatkan agregat output perekonomian. Dampak investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah terhadap peningkatan produktivitas ekonomi sektoral tersebut menunjukkan peran penting modal manusia dalam menstimulus perekonomian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai kinerja perekonomian di Indonesia secara sektoral yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Hasil simulasi membuktikan bahwa investasi modal manusia yang dilakukan baik melalui belanja modal maupun belanja rutin mengakibatkan peningkatan output pada semua sektor perekonomian, dimana peningkatan output sektoral yang diakibatkan investasi modal manusia melalui belanja modal lebih besar dibandingkan dengan investasi modal manusia melalui belanja rutin. Perbedaan ini dikarenakan produktivitas yang dihasilkan oleh belanja modal lebih besar dibandingkan dengan produktivitas yang terjadi akibat belanja rutin walaupun besaran belanja modal yang dialokasikan pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan jauh lebih kecil dibandingkan alokasi belanja rutin pada sektor yang sama. Hasil simulasi terhadap output sektoral secara lengkap disajikan pada Tabel 11.
80
Tabel 11 Dampak investasi modal manusia terhadap output domestik dan tingkat harga sektoral Sektor (1)
Output (%) Sim 1 Sim 2 (2) (3) 1,336 1,179 1,537 1,356 1,405 1,239 1,262 1,114 1,209 1,067 1,401 1,236 0,596 0,526 1,437 1,267 0,659 0,581 1,362 1,202
Harga (%) Sim 1 Sim 2 (4) (5) -0,157 -0,139 -0,158 -0,139 -0,165 -0,145 -0,168 -0,148 -0,169 -0,150 -0,173 -0,153 -0,167 -0,147 -0,165 -0,145 -0,175 -0,154 -0,170 -0,150
1. Padi 2. Palawija 3. Sayur-sayuran dan buah-buahan 4. Kebun 5. Tanaman lainnya 6. Peternakan 7. Kehutanan 8. Perikanan 9. Penggalian dan pertambangan 10. Industri makanan, minuman, dan rokok 11. Industri tekstil, pakaian, kulit, 1,270 1,120 -0,165 -0,146 dan pemintalan 12. Industri bambu, kayu, rotan, dan 0,863 0,761 -0,167 -0,148 kertas 13. Industri pupuk, pestisida, dan 1,321 1,165 -0,145 -0,128 kimia 14. Pengilangan minyak bumi 0,954 0,842 -0,150 -0,133 15. Industri karet, plastik, dan bukan 1,018 0,898 -0,150 -0,133 logam 16. Industri semen 0,108 0,095 -0,179 -0,158 17. Industri logam 0,709 0,625 -0,157 -0,138 18. Industri mesin, alat-alat listrik, 1,094 0,965 -0,130 -0,115 dan angkutan 19. Industri lainnya 1,160 1,024 -0,155 -0,137 20. Listrik, gas, dan air 1,161 1,024 -0,169 -0,149 21. Bangunan 0,071 0,063 -0,167 -0,148 22. Perdagangan, hotel, dan restoran 1,078 0,951 -0,187 -0,165 23. Angkutan 1,091 0,962 -0,174 -0,153 24. Komunikasi 1,208 1,066 -0,182 -0,161 25. Lembaga keuangan, real estat, 1,150 1,015 -0,219 -0,193 dan jasa perusahaan 26. Pemerintahan dan pertahanan 0,147 0,129 -0,303 -0,267 keamanan 27. Jasa pendidikan pemerintah 0,103 0,090 -0,308 -0,272 28. Jasa kesehatan pemerintah 0,114 0,100 -0,323 -0,285 29. Jasa pendidikan swasta 1,515 1,336 -0,278 -0,245 30. Jasa kesehatan swasta 1,393 1,229 -0,201 -0,178 31. Jasa lainnya 1,078 0,951 -0,191 -0,168 Keterangan: Sim 1: Peningkatan belanja modal pemerintah dalam investasi modal manusia. Sim 2: Peningkatan belanja rutin pemerintah dalam investasi modal manusia.
81
Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 31 sektor penelitian, 7 sektor yang mengalami peningkatan output terbesar akibat investasi modal manusia, baik secara belanja modal (simulasi 1) maupun belanja rutin (simulasi 2), masingmasing adalah sektor palawija, sektor jasa pendidikan swasta, sektor perikanan, sektor sayur-sayuran dan buah-buahan, sektor peternakan, sektor jasa kesehatan swasta, serta sektor industri makanan, minuman, dan rokok. Hasil ini mengindikasikan bahwa output ketujuh sektor tersebut memiliki keterkaitan yang erat terhadap investasi modal manusia oleh pemerintah. Selain itu, peningkatan output yang terjadi juga disebabkan karena pengaruh peningkatan stok modal fisik (kapital) sebagai dampak dari penurunan harga investasi. Lampiran 5 menunjukkan bahwa ketujuh sektor tersebut juga merupakan sektor-sektor yang mengalami peningkatan stok modal fisik terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya. Peningkatan output domestik yang didorong oleh peningkatan produktivitas mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat harga domestik. Tingkat harga dalam model CGE merupakan peubah endogen yang terbentuk dalam keseimbangan permintaan dan penawaran output. Peningkatan output akan berdampak pada peningkatan penawaran output, sedangkan permintaan output ditunjukkan oleh permintaan pelaku-pelaku ekonomi terhadap berbagai komoditas. Permintaan output oleh konsumen ditentukan oleh tingkat pendapatan yang diperoleh dari balas jasa atas penggunaan faktor produksi. Dengan kata lain, dari sisi penawaran perubahan harga terkait dengan perubahan output. Peningkatan produktivitas ekonomi sektoral berdampak pada peningkatan output sekaligus supply domestik. Peningkatan produksi dan penawaran output domestik akan mendorong penurunan harga, jika tidak ada tekanan permintaan. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan harga output di seluruh sektor perekonomian. Pada simulasi 1, penurunan tingkat harga sektoral berkisar antara 0,130% (sektor industri mesin, alat-alat listrik, dan angkutan) sampai 0,323% (sektor jasa kesehatan pemerintah). Sedangkan pada simulasi 2, penurunan tingkat harga sektoral berkisar antara 0,115% (sektor industri mesin, alat-alat listrik, dan angkutan) sampai 0,285% (sektor jasa kesehatan pemerintah). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan investasi modal manusia yang
82
dilakukan pemerintah, baik melalui belanja modal maupun belanja rutin, menghasilkan peningkatan efisiensi dan produktivitas yang mengakibatkan biaya produksi setiap sektor menurun dan pada akhirnya menurunkan tingkat harga. Kondisi tersebut juga menunjukkan bahwa perubahan tingkat harga pada kedua simulasi lebih ditentukan melalui sisi penawaran daripada sisi permintaan. Peningkatan efisiensi dan produktivitas tersebut ditunjukkan pada Lampiran 5, dimana biaya produksi per unit pada seluruh sektor mengalami penurunan. 5.2.2 Dampak Investasi Modal Manusia terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral Investasi modal manusia diharapkan dapat meningkatkan kondisi modal manusia yang tersedia sehingga mampu untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan daya saing perekonomian Indonesia. Investasi modal manusia, menurut teori, dapat menciptakan tenaga kerja berpendidikan tinggi yang diharapkan mampu menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah yang mendominasi struktur ketenagakerjaan di Indonesia pada saat ini. Dampak investasi modal manusia melalui belanja modal terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral memberikan hasil yang bervariasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel tersebut menunjukkan bahwa peningkatan output di setiap sektor ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan permintaan tenaga kerja. Menurut Stein (2008), input yang digunakan sebagai faktor produksi dapat bersifat substitusi dan komplemen. Jika faktor produksi bersifat substitusi, maka peningkatan harga suatu faktor produksi akan menyebabkan peningkatan permintaan pada faktor produksi lainnya. Sedangkan jika faktor produksi bersifat komplemen, maka peningkatan harga suatu faktor produksi akan menyebabkan penurunan permintaan faktor produksi lainnya. Sektor yang peningkatan outputnya diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksinya. Peningkatan penyerapan tenaga kerja suatu sektor juga dapat terjadi ketika peningkatan nilai output sektoral yang dihasilkan lebih besar dibandingkan penurunan harga output sektor tersebut. Pada simulasi 1, sektor yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar adalah sektor jasa pendidikan swasta. Sektor ini mengalami
83
peningkatan penyerapan tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah sebesar 0,57%, SLTP sebesar 0,61%, SLTA sebesar 0,61%, dan Perguruan Tinggi sebesar 0,81%. Dari Tabel 12 dapat dilihat bagaimana tingkat pendidikan tenaga kerja memengaruhi output suatu perekonomian. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tujuh sektor yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja berpendidikan perguruan tinggi terbesar juga merupakan tujuh sektor yang mengalami peningkatan output terbesar, yaitu: sektor jasa pendidikan swasta, sektor palawija, sektor peternakan, sektor perikanan, sektor jasa kesehatan swasta, sektor sayursayuran dan buah-buahan, serta sektor industri makanan, minuman, rokok, dan tembakau. Di lain pihak, terdapat juga sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja walaupun output sektor tersebut mengalami peningkatan. Sektorsektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja adalah sektor bangunan, sektor industri semen, sektor jasa pendidikan pemerintah, sektor jasa kesehatan pemerintah, sektor pemerintahan dan pertahanan keamanan, sektor kehutanan, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri logam. Simulasi
1
menunjukkan
bahwa
penurunan
penyerapan
tenaga
kerja
berpendidikan SD ke bawah, SLTP, dan SLTA terbesar dialami oleh sektor jasa pendidikan pemerintah. Penurunan tersebut masing-masing adalah sebesar 0,81% (SD ke bawah), 0,76% (SLTP), dan 0,76% (SLTA). Sedangkan penurunan penyerapan tenaga kerja berpendidikan Perguruan Tinggi terbesar terjadi pada sektor bangunan sebesar 0,70%. Hal ini menunjukkan bahwa pada sektor-sektor tersebut faktor produksi yang digunakan bersifat substitusi. Secara agregat telah dijelaskan bahwa upah tenaga kerja mengalami peningkatan sedangkan penurunan indeks harga investasi menunjukkan biaya pengadaan modal semakin murah (Tabel 10). Sehingga, untuk mendapatkan keuntungan maksimum, peningkatan upah tenaga kerja yang terjadi disikapi oleh sektor-sektor tersebut dengan mengurangi permintaan tenaga kerja dan menambah modal fisik yang semakin murah. Lampiran 5 menunjukkan bahwa seluruh sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja ternyata mengalami peningkatan stok modal fisik.
84
Tabel 12 Dampak investasi modal manusia melalui belanja modal terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral Sektor (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Padi Palawija Sayur-sayuran dan buah-buahan Perkebunan Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan penambangan Industri makanan, minuman, & rokok Industri tekstil, pakaian, kulit, & pemintalan Industri bambu, kayu, rotan, & kertas Industri pupuk, pestisida, & kimia Pengilangan minyak bumi Industri karet, plastik, & bukan logam Industri semen Industri logam Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri lainnya Listrik, gas, & air Bangunan Perdagangan, hotel, & restoran Angkutan Komunikasi Lemb. keuangan, real estat, & jasa perusahaan Pemerintahan & pertahanan keamanan Jasa pendidikan pemerintah Jasa kesehatan pemerintah Jasa pendidikan swasta Jasa kesehatan swasta Jasa lainnya
Penyerapan Tenaga Kerja (%) SD SLTP SLTA PT (4) (5) (2) (3) 0,26 0,45 0,33 0,24 0,16 0,38 -0,46 0,37 -0,43 0,31 0,47 0,07 0,52 0,15 0,22 -0,68 -0,09 0,30 0,36 0,36 -0,72 0,28 0,11 0,17 0,10 -0,75 -0,81 -0,78 0,57 0,39 0,08
0,31 0,50 0,38 0,29 0,21 0,43 -0,41 0,42 -0,38 0,36 0,47 0,07 0,52 0,16 0,23 -0,68 -0,08 0,30 0,37 0,36 -0,71 0,28 0,15 0,21 0,14 -0,71 -0,76 -0,74 0,61 0,43 0,12
0,31 0,50 0,39 0,30 0,21 0,43 -0,41 0,42 -0,38 0,37 0,47 0,07 0,52 0,16 0,23 -0,68 -0,08 0,30 0,37 0,36 -0,71 0,28 0,16 0,22 0,14 -0,71 -0,76 -0,74 0,61 0,44 0,12
0,53 0,72 0,61 0,52 0,43 0,65 -0,19 0,64 -0,16 0,59 0,49 0,09 0,54 0,18 0,24 -0,66 -0,07 0,32 0,39 0,38 -0,70 0,30 0,35 0,41 0,34 -0,52 -0,57 -0,55 0,81 0,63 0,32
Jika ditinjau dari tingkat pendidikan tenaga kerja, Tabel 12 menunjukkan bahwa secara umum, investasi modal manusia melalui belanja modal mengakibatkan penyerapan tenaga kerja terdidik (tamatan SLTA dan Perguruan Tinggi) lebih besar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada tingkat pendidikan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah melalui belanja modal mengakibatkan terjadi pergeseran komposisi struktur tenaga kerja dari tenaga kerja yang berpendidikan rendah menjadi tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.
85
Tabel 13 Dampak investasi modal manusia melalui belanja rutin terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral Sektor (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Padi Palawija Sayur-sayuran dan buah-buahan Perkebunan Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan penambangan Industri makanan, minuman, & rokok Industri tekstil, pakaian, kulit, & pemintalan Industri bambu, kayu, rotan, & kertas Industri pupuk, pestisida, & kimia Pengilangan minyak bumi Industri karet, plastik, & bukan logam Industri semen Industri logam Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri lainnya Listrik, gas, & air Bangunan Perdagangan, hotel, & restoran Angkutan Komunikasi Lemb. keuangan, real estat, & jasa perusahaan Pemerintahan & pertahanan keamanan Jasa pendidikan pemerintah Jasa kesehatan pemerintah Jasa pendidikan swasta Jasa kesehatan swasta Jasa lainnya
Penyerapan Tenaga Kerja (%) SD SLTP SLTA PT (4) (5) (2) (3) 0,23 0,39 0,29 0,22 0,14 0,33 -0,40 0,32 -0,38 0,28 0,41 0,06 0,46 0,14 0,20 -0,60 -0,08 0,26 0,32 0,31 -0,63 0,25 0,10 0,15 0,09 -0,67 -0,71 -0,69 0,50 0,34 0,07
0,27 0,44 0,34 0,26 0,18 0,38 -0,36 0,37 -0,34 0,32 0,42 0,06 0,46 0,14 0,20 -0,60 -0,07 0,26 0,32 0,32 -0,63 0,25 0,13 0,19 0,12 -0,63 -0,67 -0,65 0,54 0,38 0,11
0,28 0,44 0,34 0,26 0,19 0,38 -0,36 0,37 -0,33 0,33 0,42 0,06 0,46 0,14 0,20 -0,60 -0,07 0,26 0,32 0,32 -0,63 0,25 0,14 0,19 0,13 -0,62 -0,67 -0,65 0,54 0,39 0,11
0,47 0,63 0,54 0,46 0,38 0,57 -0,17 0,57 -0,14 0,52 0,43 0,08 0,48 0,15 0,21 -0,59 -0,06 0,28 0,34 0,33 -0,62 0,27 0,31 0,36 0,30 -0,46 -0,50 -0,48 0,71 0,56 0,28
Dampak investasi modal manusia melalui belanja rutin pemerintah (simulasi 2) menghasilkan pola perubahan yang sama dengan belanja modal (simulasi 1). Tetapi jika dilihat dari besaran perubahan, dampak yang dihasilkan belanja rutin lebih rendah dibandingkan dengan belanja modal. Pola perubahan penyerapan tenaga kerja secara sektoral yang disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13 terkait erat dengan perubahan tingkat upah tenaga kerja menurut tingkat pendidikan sebagai dampak dari investasi modal manusia. Efek substitusi faktor produksi mengakibatkan peningkatan harga suatu faktor produksi akan mengurangi penggunaan faktor tersebut sebagai input. Untuk
86
menjaga tingkat output maka digunakan faktor produksi lainnya yang lebih murah. Jika dibandingkan, pada investasi modal manusia baik melalui belanja modal maupun belanja rutin, peningkatan permintaan dan penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja berpendidikan rendah. Hal ini disebabkan oleh peningkatan upah nominal tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan upah nominal tenaga kerja berpendidikan rendah (Tabel 14). Tabel 14 Dampak investasi modal manusia terhadap tingkat upah tenaga kerja sektoral menurut pendidikan Tenaga Kerja (1) Sekolah Dasar ke bawah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Perguruan Tinggi
Perubahan Upah (%) Simulasi 1 Simulasi 2 (2) (3) 0,561 0,495 0,461 0,407 0,454 0,401 0,016 0,014
Perubahan penyerapan tenaga kerja ini dapat menjelaskan mengapa output yang dihasilkan oleh investasi modal manusia melalui belanja modal, baik secara makro maupun secara sektoral, lebih besar dibandingkan belanja rutin. Dengan melakukan investasi modal manusia melalui belanja modal, maka penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih banyak jika dibandingkan dengan belanja rutin. Dengan didukung oleh tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi, maka output perekonomian juga akan mengalami peningkatan yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gyimah-Brempong et al. (2005), yang menghasilkan kesimpulan bahwa modal manusia dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Afrika. Bahkan penelitian tersebut menyimpulkan modal manusia yang berpendidikan yang lebih tinggi memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan investasi modal fisik.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan merujuk
pada tujuan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah baik melalui belanja modal maupun belanja rutin berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro di Indonesia. Investasi modal manusia akan menyebabkan terjadinya peningkatan PDB riil, deflasi, dan kenaikan upah tenaga kerja pada semua tingkatan pendidikan. Tetapi walaupun belanja modal dan belanja rutin menghasilkan dampak positif terhadap kinerja makroekonomi, dampak yang ditimbulkan oleh belanja modal lebih besar dibandingkan belanja rutin.
2.
Secara sektoral, investasi modal manusia yang dilakukan pemerintah baik melalui belanja modal maupun belanja rutin berdampak terhadap peningkatan output dan penurunan tingkat harga, dimana belanja modal memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan belanja rutin. Sedangkan pada penyerapan tenaga kerja sektoral, dari 31 sektor penelitian terdapat 8 sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja. Investasi modal manusia juga mengakibatkan bergesernya komposisi tenaga kerja dari tenaga kerja berpendidikan rendah ke tenaga kerja berpendidikan tinggi pada jangka panjang.
6.2
Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya,
maka beberapa saran yang dapat diberikan menyangkut penelitian ini adalah: 1.
Pemerintah perlu melakukan peningkatan anggaran pada sektor pendidikan dan kesehatan. Tetapi mengingat pengaruh dari belanja modal lebih baik dibandingkan dengan belanja rutin, maka pemerintah harus lebih memfokuskan pada peningkatan anggaran untuk belanja modal. Dengan kata lain, peningkatan anggaran belanja modal di kedua sektor harus lebih besar dibandingkan belanja rutin. Hal ini dapat dilakukan dengan realokasi
88
anggaran, sehingga peningkatan anggaran belanja modal di kedua sektor lebih besar dibandingkan peningkatan belanja rutin. 2.
Pemerintah perlu merumuskan suatu kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja baru dengan mempertimbangkan peningkatan penyerapan tenaga kerja menurut tingkat pendidikan yang diakibatkan oleh investasi modal manusia.
3.
Mengingat investasi modal manusia yang dilakukan pihak swasta lebih tinggi pengaruhnya, maka pemerintah juga perlu memberikan keleluasaan serta menciptakan iklim investasi yang lebih baik untuk pihak swasta di sektor pendidikan dan kesehatan.
4.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah pada spesifikasi model penelitian dibedakan produktivitas tenaga kerja (a1lab) dan elastisitas faktor primer (SIGMA1PRIM) menurut tingkat pendidikan sehingga dapat lebih menggambarkan perubahan permintaan tenaga kerja menurut tingkat pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA Angelopoulos K, Malley J, Philippopoulos A. 2007. Public Education Expenditure, Growth and Welfare. CESifo Working Paper No. 2037. Bank
Dunia. 2011. World Bank Public http://web.worldbank.org/ [7 Mei 2012]
Expenditures
Database.
Barro RJ, Lee JW. 2000. International Data on Educational Attainment Updates and Implications. NBER Working Paper No. 7911. Becker GS. 1962. Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis. The Journal of Political Economy 70(5):65-94. Becker GS, Murphy KM, Tamura R. 1990. Human Capital, Fertility, and Economic Growth. NBER Working Paper No. 3414. Bloom DE, Canning D, Sevilla J. 2003. The Demographic Dividend: A New Perspective on The Economic Consequences of Population Change. Santa Monica: RAND. Bloom DE, Canning D, Sevilla J. 2004. The Effect of Health on Economic Growth: A Production Function Approach. World Development 32(1):113. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta: CV. Putra Sejati Raya. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS. Card D. 1999. Handbook of Labor Economics, Volume 3. Amsterdam: Elsevier Science. Dixon PB, Parmenter BR, Powell A, Wilcoxen PJ. 1992. Notes and Problems in Applied General Equilibrium Economics. Amsterdam: North Holland. Duflo E. 2004. The Medium Run Effects of Education Expansion: Evidence from a Large School Construction Program in Indonesia. Journal of Development Economics 74(1):163-197. Ebeling RM. 2003. The Hubris of the Central Banker and the Ghosts of Deflation Past, Part 1. http://www.fff.org/freedom/ [15 Agustus 2012]. Fu X, Dietzenbacher E, Los B. 2007. The Contribution of Human Capital to Economic Growth: Combining the Lucas Model with the Input-Output Model. 16th International Input-Output Conference Istanbul. Gymah-Brempong K, Paddison O, Mitiku W. 2006. Higher Education and Economic Growth in Africa. Journal of Development Studies 42(3):509529. Horridge M. 2001. Minimal: A Simplified General Equilibrium Model. Australia: Monash University.
90
Indrawati T. 2011. Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal sebagai Investasi Pemerintah dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun 20052009 [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jhingan ML. 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Jung H, Thorbecke E. 2003. The Impact of Public Education Expenditure on Human Capital, Growth, and Poverty in Tanzania and Zambia: A General Equilibrium Approach. Journal of Policy Modeling 25(8):701725. Kementerian Keuangan RI. 2011. Data Pokok APBN 2005-2011. Jakarta: Kementerian Keuangan RI. Kementerian Keuangan RI. 2012. Data Pokok APBN 2006-2012. Jakarta: Kementerian Keuangan RI. Mangkusoebroto G. 2001. Ekonomi Publik. Ed ke-3. Yogyakarta: BPFE. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Ed ke-6. Jakarta: Erlangga. Mankiw NG, Romer D, Weil DN. 1992. A Contribution to the Empirics of Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics 107(2):407-437. McNamara PE, Ulimwengu JM, Leonard KL. 2010. Do Health Investments Improve Agricultural Productivity? IFPRI Discussion Paper No. 01012. Meager N, Speckesser S. 2011. Wages, Productivity and Employment: A Review of Theory and International Data. Brighton: Sovereign House. Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Ed ke-8. Jakarta: Erlangga. Odior ES. 2011. Government Expenditure on Health, Economic Growth and Long Waves in A CGE Micro-Simultan Analysis: The Case of Nigeria. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences Issue 31. [OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 1998. Human Capital Investment An International Comparison. Perancis: OECD Publication. [OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2011. Education at a Glance 2011: OECD Indicators. OECD Publishing. Oktaviani R. 2011. Model Keseimbangan Umum (Teori dan Aplikasinya di Indonesia). Bogor: IPB Press. Population Reference Bureau. 2011. 2011 World Population Data Sheet. Washington DC: PRB. Ray D. 1998. Development Economics. New Jersey: Princeton University Press. Romer PM. 1986. Increasing Returns and Long-Run Growth. The Journal of Political Economy. 94(5):1002-1037.
91
Romer PM. 1990a. Endogenous Technological Change. The Journal of Political Economy. 98(5):S71-S102. Romer PM. 1990b. Human Capital and Growth: Theory and Evidence. CarnegieRochester Conference Series on Public Policy. 32:251-286 Sahara. 2003. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik, Tarif Telephon dan Penyaluran Dana Kompensasi terhadap Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sahara, Oktaviani R. 2008. Penggunaan Program GEMPACK untuk Membangun Data Dasar dan Simulasi Model CGE. Bogor: FEM IPB. Schultz TW. 1961. Invesment in Human Capital. The American Economic Review 51(1):1-17. Sitepu RK, Sinaga BM, Oktaviani R, dan Tambunan M. 2009. Dampak Investasi Sumber Daya Manusia terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Forum Pascasarjana 32(2):117-127. Solow RM. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics 7(1):65-94. Stein L. 2008. Economics 202N: Comparative Statics. California: Stanford University. Stiglitz JE. 2000. Economics of the Public Sector. Ed ke-3. New York: W. W. Norton & Company, Inc. Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: LPPPES. Tjiptoherijanto P. 2001. Proyeksi Penduduk, Angkatan Kerja, Tenaga Kerja, dan Peran Serikat Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 23. Todaro PM dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid I. Ed ke-9. Jakarta: Erlangga. [UNDP] United Nation Development Programme. 2011a. Human Development Report 2011. Sustainability and Equity: A Better Future for All. New York: Palgrave Macmillan. [UNDP] United Nation Development Programme. 2011b. International Human Development Indicator: Life expectancy at birth (years). http://hdrstats.undp.org/en/indicators/69206.html. [6 Mei 2012] World Economic Forum. 2011a. The Indonesia Competitiveness Report 2011. Jakarta: WEF. World Economic Forum. 2011b. The Global Competitiveness Index 2010-2011 Ranking. http://www.weforum.org/gcr. [7 Mei 2012] Hayami Y, Godo Y. 2005. Development Economics from The Poverty to The Wealth of Nations. Ed ke-3. New York: Oxford University Press.
92
Halaman ini sengaja dikosongkan
93
Lampiran 1 Set header array pada Model INDOMINI Set Header Row COM (c)
IND (i)
SRC (s)
Keterangan Komoditas: (1) Padi, (2) Palawija, (3) Sayur-sayuran dan buah-buahan, (4) Perkebunan, (5) Tanaman lainnya, (6) Peternakan, (7) Kehutanan, (8) Perikanan, (9) Pertambangan dan penggalian, (10) Industri makanan, minuman, dan rokok, (11) Industri tekstil, pakaian, kulit, dan pemintalan, (12) Industri bambu, kayu, rotan, dan kertas, (13) Industri pupuk, pestisida, dan kimia, (14) Pengilangan minyak bumi, (15) Industri barang karet, plastik, dan bukan logam, (16) Industri semen, (17) Industri logam, (18) Industri mesin, alat listrik, dan angkutan, (19) Industri lainnya, (20) Listrik, gas, dan air bersih, (21) Bangunan, (22) Perdagangan, hotel, dan restoran, (23) Angkutan, (24) Komunikasi, (25) Lembaga keuangan, real estat, dan jasa perusahaan, (26) Pemerintahan umum dan pertahanan, (27) Jasa pendidikan pemerintah, (28) Jasa kesehatan pemerintah, (29) Jasa pendidikan swasta, (30) Jasa kesehatan swasta, (31) Jasa lainnya. Industri: (1) Padi, (2) Palawija, (3) Sayur-sayuran dan buah-buahan, (4) Perkebunan, (5) Tanaman lainnya, (6) Peternakan, (7) Kehutanan, (8) Perikanan, (9) Pertambangan dan penggalian, (10) Industri makanan, minuman, dan rokok, (11) Industri tekstil, pakaian, kulit, dan pemintalan, (12) Industri bambu, kayu, rotan, dan kertas, (13) Industri pupuk, pestisida, dan kimia, (14) Pengilangan minyak bumi, (15) Industri barang karet, plastik, dan bukan logam, (16) Industri semen, (17) Industri logam, (18) Industri mesin, alat listrik, dan angkutan, (19) Industri lainnya, (20) Listrik, gas, dan air bersih, (21) Bangunan, (22) Perdagangan, hotel, dan restoran, (23) Angkutan, (24) Komunikasi, (25) Lembaga keuangan, real estat, dan jasa perusahaan, (26) Pemerintahan umum dan pertahanan, (27) Jasa pendidikan pemerintah, (28) Jasa kesehatan pemerintah, (29) Jasa pendidikan swasta, (30) Jasa kesehatan swasta, (31) Jasa lainnya. Sumber Komoditas: (1) domestik dan (2) impor.
USER (u)
Pengguna; Pengguna antara ditambah dengan pengguna akhir, terdiri dari: (1) Padi, (2) Palawija, (3) Sayur-sayuran dan buah-buahan, (4) Perkebunan, (5) Tanaman lainnya, (6) Peternakan, (7) Kehutanan, (8) Perikanan, (9) Pertambangan dan penggalian, (10) Industri makanan, minuman, dan rokok, (11) Industri tekstil, pakaian, kulit, dan pemintalan, (12) Industri bambu, kayu, rotan, dan kertas, (13) Industri pupuk, pestisida, dan kimia, (14) Pengilangan minyak bumi, (15) Industri barang karet, plastik, dan bukan logam, (16) Industri semen, (17) Industri logam, (18) Industri mesin, alat listrik, dan angkutan, (19) Industri lainnya, (20) Listrik, gas, dan air bersih, (21) Bangunan, (22) Perdagangan, hotel, dan restoran, (23) Angkutan, (24) Komunikasi, (25) Lembaga keuangan, real estat, dan jasa perusahaan, (26) Pemerintahan umum dan pertahanan, (27) Jasa pendidikan pemerintah, (28) Jasa kesehatan pemerintah, (29) Jasa pendidikan swasta, (30) Jasa kesehatan swasta, (31) Jasa lainnya, (32) Investasi, (33) Rumahtangga, (34) Ekspor, (35) Pengeluaran modal pemerintah, serta (36) Pengeluaran rutin pemerintah.
FAC (f)
Faktor produksi: (1) tenaga kerja SD, (2) tenaga kerja SLTP, (3) tenaga kerja SLTA, (4) tenaga kerja PT, dan (5) kapital.
94
Lampiran 2 Klasifikasi 31 sektor penelitian Kode (1)
66 Sektor (2)
Kode (3)
31 Sektor (4)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Padi Tanaman kacang-kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil tanaman serat Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan Penambangan batubara & bijih logam Penambangan migas & panas bumi Penambangan & penggalian lainnya Industri pengolahan & pengawetan makanan Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenis Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Industri pemintalan Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas & karton Industri pupuk dan pestisida Industri kimia
1 2 2 2 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 8 9 9 9 10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 12 12 13 13
Padi Palawija Palawija Palawija Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman lainnya Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Tanaman lainnya Tanaman lainnya Tanaman lainnya Peternakan Peternakan Peternakan Kehutanan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Pertambangan dan penggalian Pertambangan dan penggalian Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri makanan, minuman, & rokok Industri tekstil, pakaian, kulit , & pemintalan Industri tekstil, pakaian, kulit , & pemintalan Industri bambu, kayu, rotan, dan kertas Industri bambu, kayu, rotan, dan kertas Industri pupuk, pestisida, dan kimia Industri pupuk, pestisida, dan kimia
95
Lampiran 2 Lanjutan Kode (1)
66 Sektor (2)
Kode (3)
31 Sektor (4)
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 64 64 64 64 64 65 66
Pengilangan minyak bumi Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral bkn logam Industri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat & perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain yang belum digolongkan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Real estat dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tak jelas batasannya
14 15 15 16 17 17 17 18 18 19 20 21 22 22 23 23 23 23 23 24 25 25 26 27 28 31 29 30 31 31 31
Pengilangan minyak bumi Industri brg karet, plastik, & bkn logam Industri brg karet, plastik, & bkn logam Industri semen Industri logam Industri logam Industri logam Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Perdagangan, hotel, dan restoran Angkutan Angkutan Angkutan Angkutan Angkutan Komunikasi Lembaga keu, real estate, & jasa perush. Lembaga keu, real estate, & jasa perush. Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa pendidikan pemerintah Jasa kesehatan pemerintah Jasa lainnya Jasa pendidikan swasta Jasa kesehatan swasta Jasa lainnya Jasa lainnya Jasa lainnya
96
Lampiran 3 Blok persamaan pada file input tablo Model CGE INDOMINI ! INDOMINI model: IO 2008 ! ! Excerpt 1 of TABLO input file: ! ! Sets and flows data! Set ! User categories: IO table columns ! IND # Industries # (padi, palawija, sayurbuah, kebun, tanlain, ternak, hutan, ikan, tambang, indmakmr, indtekspkp, indbambukrk, indppkimia, kilang, indkaretpbl, indsemen, indlogam, indmesinla, indlain, lisgasair, bangunan, daganghr, angkutan, komunikasi, lemkeurj, pemerintah, jpendpem, jkespem, jpendswa, jkesswa, jasalain); ! subscript i ! FINALUSER # Final demanders # (invstok, household, ekspor, govcapital, govroutine); USER # All users #= IND union FINALUSER; ! subscript u ! IMPUSER # Non-export demanders: users of imports # (padi, palawija, sayurbuah, kebun, tanlain, ternak, hutan, ikan, tambang, indmakmr, indtekspkp, indbambukrk, indppkimia, kilang, indkaretpbl, indsemen, indlogam, indmesinla, indlain, lisgasair, bangunan, daganghr, angkutan, komunikasi, lemkeurj, pemerintah, jpendpem, jkespem, jpendswa, jkesswa, jasalain, invstok, household, govcapital, govroutine); Subset IMPUSER is subset of USER; IND is subset of IMPUSER; Set ! Input categories: IO table rows ! COM # Commodities # (padi, palawija, sayurbuah, kebun, tanlain, ternak, hutan, ikan, tambang, indmakmr, indtekspkp, indbambukrk, indppkimia, kilang, indkaretpbl, indsemen, indlogam, indmesinla, indlain, lisgasair, bangunan, daganghr, angkutan, komunikasi, lemkeurj, pemerintah, jpendpem, jkespem, jpendswa, jkesswa, jasalain); ! subscript c ! SRC # Source of commodities # (dom,imp); ! subscript s ! FAC # Primary factors # (Laborsd, Laborsltp, Laborslta,
97
Laborpt, Capital); ! subscript f ! LAB # Type of Labors # (Laborsd, Laborsltp, Laborslta, Laborpt); Subset LAB is subset of FAC; Coefficient (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,USER) USE(c,s,u) #; (all,f,FAC)(all,i,IND) FACTOR(f,i) profits #; (all,f,LAB)(all,i,IND) LABOR(f,i) Labor by Education #; (all,i,IND) V1PTX(i) tax revenue #; (all,c,COM) V0MTX(c) revenue #; File BASEDATA # Flows Read USE from file FACTOR from file V0MTX from file V1PTX from file
# USE matrix # Wages and # Wages of # Production # import tax
Data File #; BASEDATA BASEDATA BASEDATA BASEDATA
header header header header
"USE"; "1FAC"; "0TAR"; "1PTX";
! Excerpt 2 of TABLO input file: ! ! Useful aggregates of the base data ! Coefficient (all,c,COM)(all,u,USER) together#; (all,u,USER) expenditure on goods #; (all,c,COM)(all,s,SRC) #; (all,i,IND) (all,f,LAB) Labor types #; #; (all,i,IND)
USE_S(c,u)
# USE matrix, dom+imp
USE_CS(u)
# Total user
SALES(c,s)
# Total value of sales
V1PRIM(i) # Wages plus profits #; V1LAB_LL(f) # Total wages by each V1LAB
# Total wages by Labor
V1TOT(i)
# Industry Costs #;
98
(all,c,COM) border prices #; Formula (all,c,COM)(all,u,USER) sum{s,SRC,USE(c,s,u)}; (all,u,USER) sum{c,COM,USE_S(c,u)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) sum{u,USER,USE(c,s,u)}; (all,i,IND) sum{f,FAC,FACTOR(f,i)}; (all,f,LAB) sum{i,IND,FACTOR(f,i)}; sum{f,LAB,V1LAB_LL(f)}; (all,i,IND) sum{c,COM,USE_S(c,i)}; (all,c,COM) V0MTX(c);
V0CIF(c)
# Aggregate imports at
USE_S(c,u)
=
USE_CS(u)
=
SALES(c,s)
=
V1PRIM(i)
=
V1LAB_LL(f) = V1LAB
=
V1TOT(i)
= V1PRIM(i) +
V0CIF(c)
= SALES(c,"imp") -
! Excerpt 3 of TABLO input file: ! ! Total demands for commodities ! Variable (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,USER) x(c,s,u) # Demand by user u for good c, source s #; (all,c,COM)(all,s,SRC) x0(c,s) # Total demand for good c, source s #; Equation E_x0 (all,c,COM)(all,s,SRC) SALES(c,s)*x0(c,s)= sum{u,USER,USE(c,s,u)*x(c,s,u)}; ! Excerpt 4 of TABLO input file: ! ! Import/Domestic sourcing decision for all non-export users! Variable (all,c,COM)(all,s,SRC) source s #;
p(c,s) # User price of good c,
99
(all,c,COM)(all,u,IMPUSER) p_s(c,u) # User price of composite good c #; (all,c,COM)(all,u,IMPUSER) x_s(c,u) # Use of composite good c #; Coefficient (all,c,COM) SIGMA(c) # elasticity of substitution: domestic/imported #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,IMPUSER) SRCSHR(c,s,u) # imp/dom shares #; Read SIGMA from file BASEDATA header "ARM"; Formula (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,IMPUSER) SRCSHR(c,s,u) = USE(c,s,u)/USE_S(c,u); Equation E_x (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,IMPUSER) x(c,s,u) = x_s(c,u) SIGMA(c)*[p(c,s) - p_s(c,u)]; Equation E_p_s (all,c,COM)(all,u,IMPUSER) p_s(c,u) = sum{s,SRC, SRCSHR(c,s,u)*p(c,s)}; ! Excerpt 5 of TABLO input file: ! ! Demands for capital and labour ! Variable (all,i,IND) x1prim(i) factor composite #; (all,i,IND) p1prim(i) composite #; (all,i,IND) x1labsd(i) (all,i,IND) x1labsltp(i) (all,i,IND) x1labslta(i) (all,i,IND) x1labpt(i) p1labsd employment #; p1labsltp employment #;
# Industry demand for primary# Price of primary factor # # # # #
SD Employment by industry #; SLTP Employment by industry #; SLTA Employment by industry #; PT Employment by industry #; Economy-wide wage rate for SD
# Economy-wide wage rate for SLTP
100
p1labslta employment #; p1labpt employment #; (all,i,IND) x1cap(i) (all,i,IND) p1cap(i) (all,i,IND) a1lab(i)
# Economy-wide wage rate for SLTA # Economy-wide wage rate for PT # Current capital stock #; # Rental price of capital #; # Labor Augmenting tech change #;
Coefficient (all,i,IND) SIGMA1PRIM(i) # CES substitution, primary factors #; Read SIGMA1PRIM from file BASEDATA header "P028"; Equation E_x1labsd (all,i,IND) x1labsd(i) = x1prim(i) + a1lab(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1labsd-p1prim(i)]; Equation E_x1labsltp (all,i,IND) x1labsltp(i) = x1prim(i) + a1lab(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1labsltp-p1prim(i)]; Equation E_x1labslta (all,i,IND) x1labslta(i) = x1prim(i) + a1lab(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1labslta-p1prim(i)]; Equation E_x1labpt (all,i,IND) x1labpt(i) = x1prim(i) + a1lab(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1labpt-p1prim(i)]; Equation E_x1cap (all,i,IND) x1cap(i) = x1prim(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1cap(i)p1prim(i)]; Equation E_p1prim (all,i,IND) V1PRIM(i)*p1prim(i) = FACTOR("Laborsd",i)*p1labsd + FACTOR("Laborsltp",i)*p1labsltp + FACTOR("Laborslta",i)*p1labslta + FACTOR("Laborpt",i)*p1labpt + FACTOR("Capital",i)*p1cap(i);
101
! Excerpt 6 of TABLO input file: ! ! Demands for composite inputs to production ! Variable (all,i,IND) x1tot(i) # Industry output #; (all,i,IND) a1prim(i) # All primary-factor augmenting technical change #; (all,i,IND) p1tot(i) # Unit cost of production #; Equation E_x1 # demand for commodity composites # (all,c,COM)(all,i,IND) x_s(c,i)= x1tot(i); Equation E_x1prim # demand for primary-factor composites # (all,i,IND) x1prim(i) = a1prim(i) + x1tot(i); Equation E_p1tot # cost of production = cost of all inputs # (all,i,IND) V1TOT(i)*[p1tot(i)+ x1tot(i)] = sum{c,COM,sum{s,SRC, USE(c,s,i)*[p(c,s) + x(c,s,i)]}} + FACTOR("Laborsd",i)*[p1labsd + x1labsd(i)] + FACTOR("Laborsltp",i)*[p1labsltp + x1labsltp(i)] + FACTOR("Laborslta",i)*[p1labslta + x1labslta(i)] + FACTOR("Laborpt",i)*[p1labpt + x1labpt(i)] + FACTOR("Capital",i)*[p1cap(i)+ x1cap(i)]; ! Excerpt 7 of TABLO input file: ! ! Household demands ! Variable p3tot # Consumer price index #; x3tot # Real household consumption #; w3tot # Nominal total household consumption #; Equation E_x3 (all,c,COM) x_s(c,"Household") + w3tot;
p_s(c,"Household") =
Equation E_x3tot USE_CS("Household")*x3tot = sum{c,COM, USE_S(c,"Household")*x_s(c,"Household")};
102
Equation E_p3tot USE_CS("Household")*p3tot = sum{c,COM, USE_S(c,"Household")*p_s(c,"Household")}; ! Excerpt 8 of TABLO input file: ! ! Export demands ! Variable (all,c,COM) pworld(c) # World prices, measured in foreign currency #; (all,c,COM) f4q(c) # Quantity shift in foreign demand #; phi # Exchange rate, (local $)/(foreign $) #; Coefficient (all,c,COM) EXP_ELAST(c) # Export demand elasticities #; Read EXP_ELAST from file BASEDATA header "P018"; Equation E_x4a (all,c,COM) x(c,"dom","Ekspor") = f4q(c)EXP_ELAST(c)*[{p(c,"dom")-phi}- pworld(c)]; Equation E_x4b (all,c,COM) x(c,"imp","Ekspor") = 0; ! Excerpt 9 of TABLO input file: ! ! Market clearing and prices for domestic commodities ! Subset COM is subset of IND; Equation E_x1tot (all,c,COM) x1tot(c) = x0(c,"dom"); Variable (change)(all,c,COM) Delptxrate(c) rate of domestic tax #;
# Ordinary change in
Equation E_pA !Prices for domestic commodities ! (all,c,COM) p(c,"dom") = p1tot(c) + 100*[V1TOT(c)/(V1TOT(c)+V1PTX(c))]*Delptxrate(c);
103
! Excerpt 10 of TABLO input file: ! ! Prices for imported commodities ! Variable (change)(all,c,COM) Delmtxrate(c) rate of import tax #;
# Ordinary change in
Equation E_pB !Prices for import commodities ! (all,c,COM) p(c,"imp") = pworld(c)+phi + 100*[V0CIF(c)/SALES(c,"imp")]*Delmtxrate(c); ! Excerpt 11 of TABLO input file: ! ! GDP from income side ! Variable w0gdpinc # Nominal GDP from income side #; Coefficient V0GDPINC # GDP from income side #; Formula V0GDPINC = sum{i,IND, sum{f,FAC, FACTOR(f,i)}} + sum{c,COM, V1PTX(c) + V0MTX(c)}; Equation E_w0gdpinc V0GDPINC*w0gdpinc = sum{i,IND, FACTOR("Laborsd",i)*[p1labsd + x1labsd(i)]} +sum{i,IND, FACTOR("Laborsltp",i)*[p1labsltp + x1labsltp(i)]} +sum{i,IND, FACTOR("Laborslta",i)*[p1labslta + x1labslta(i)]} +sum{i,IND, FACTOR("Laborpt",i)*[p1labpt + x1labpt(i)]} +sum{i,IND, FACTOR("Capital",i)*[p1cap(i) + x1cap(i)]} +sum{c,COM, 100*V1TOT(c)*Delptxrate(c) + V1PTX(c)*[x1tot(c)+ p1tot(c)]} +sum{c,COM, 100*V0CIF(c)*Delmtxrate(c) + V0MTX(c)*[x0(c,"imp")+pworld(c)+phi]}; ! Excerpt 12 of TABLO input file: ! ! Expenditure-side GDP measures ! Variable w0gdpexp p0gdpexp x0gdpexp
# Nominal GDP from expenditure side #; # GDP price index, expenditure side #; # Real GDP from expenditure side #;
104
Coefficient V0GDPEXP # GDP from expenditure side #; Formula V0GDPEXP = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{u,FINALUSER, USE(c,s,u)}} - V0CIF(c)}; Equation E_w0gdpexp V0GDPEXP*w0gdpexp = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{u,FINALUSER, USE(c,s,u)*[p(c,s)+x(c,s,u)]}} - V0CIF(c)*[x0(c,"imp")+ pworld(c)+phi]}; Equation E_p0gdpexp V0GDPEXP*p0gdpexp = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{u,FINALUSER, USE(c,s,u)*p(c,s)}} V0CIF(c)*[pworld(c)+phi]};
-
Equation E_x0gdpexp x0gdpexp = w0gdpexp - p0gdpexp; ! Excerpt 13 of TABLO input file: ! ! More macro variables ! Variable x4tot # p4tot # p2tot # x0cif_c (change)
Export volume index #; Export price index #; Investment price index #; # Import volume index, CIF prices #; delB # (Balance of trade)/GDP #;
Equation E_x4tot sum{c,COM, USE(c,"dom","Ekspor")*[x4tot x(c,"dom","Ekspor")]} = 0; Equation E_p4tot sum{c,COM, USE(c,"dom","Ekspor")*[p4tot - p(c,"dom")]} = 0; Equation E_p2tot sum{c,COM, sum{s,SRC, USE(c,s,"Invstok")*[p2tot p(c,s)]}} = 0;
105
Equation E_x0cif_c sum{c,COM, V0CIF(c)*[x0cif_c
- x0(c,"imp")]}=0;
Equation E_delB 100*V0GDPEXP*delB= sum{c,COM, USE(c,"dom","Ekspor")*[p(c,"dom")+x(c,"dom","Ekspor")w0gdpexp] - V0CIF(c)*[x0(c,"imp")+ pworld(c)+phi-w0gdpexp]}; ! Excerpt 14 of TABLO input file: ! ! Variables to assist factor market closure ! Variable
realwagesd realwagesltp realwageslta realwagept employsd employsltp employslta employpt (all,i,IND) gret(i)
Equation E_realwagesd
# # # # # # # # #
SD wage rate deflated by CPI #; SLTP wage rate deflated by CPI #; SLTA wage rate deflated by CPI #; PT wage rate deflated by CPI #; Aggregate SD employment #; Aggregate SLTP employment #; Aggregate SLTA employment #; Aggregate PT employment #; Gross rate of return #;
realwagesd = p1labsd - p3tot;
Equation E_realwagesltp
realwagesltp = p1labsltp - p3tot;
Equation E_realwageslta
realwageslta = p1labslta - p3tot;
Equation E_realwagept
realwagept = p1labpt - p3tot;
Equation E_employsd sum{i,IND, FACTOR("Laborsd",i)*[employsd x1labsd(i)]}=0; Equation E_employsltp sum{i,IND, FACTOR("Laborsltp",i)*[employsltp x1labsltp(i)]}=0; Equation E_employslta sum{i,IND, FACTOR("Laborslta",i)*[employslta -
106
x1labslta(i)]}=0; Equation E_employpt sum{i,IND, FACTOR("Laborpt",i)*[employpt x1labpt(i)]}=0; Equation E_gret
(all,i,IND) gret(i) = p1cap(i) - p2tot;
! Excerpt 15 of TABLO input file: ! ! Updating rules ! Update (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,USER) USE(c,s,u) = p(c,s)*x(c,s,u); (all,i,IND) FACTOR("Laborsd",i) = p1labsd*x1labsd(i); (all,i,IND) FACTOR("Laborsltp",i) = p1labsltp*x1labsltp(i); (all,i,IND) FACTOR("Laborslta",i) = p1labslta*x1labslta(i); (all,i,IND) FACTOR("Laborpt",i) = p1labpt*x1labpt(i); (all,i,IND) FACTOR("Capital",i) = p1cap(i)*x1cap(i); (change)(all,c,COM) V0MTX(c) = V0CIF(c)*Delmtxrate(c) + 0.01*V0MTX(c)*[x0(c,"imp")+ pworld(c)+phi]; (change)(all,c,COM) V1PTX(c) = V1TOT(c)*Delptxrate(c) + 0.01*V1PTX(c)*[x1tot(c)+ p1tot(c)]; ! Excerpt 16 of TABLO input file: ! ! Summarize and check data ! File (new) SUMMARY # output file for summary data #; Coefficient (all,c,COM) CHECK(c) # (costs + tax) - sales : should = 0 #; Formula (all,c,COM) CHECK(c) = V1TOT(c) + V1PTX(c) SALES(c,"dom");
107
Set COSTCAT # cost categories # = SRC union FAC; Coefficient (all,c,COSTCAT)(all,i,IND) COSTMAT(c,i) # Summary of industry costs #; Formula (all,i,IND)(all,s,SRC) COSTMAT(s,i) = sum{c,COM,USE(c,s,i)}; (all,i,IND)(all,f,FAC) COSTMAT(f,i) = FACTOR(f,i); Write CHECK COSTMAT SALES V1PRIM V1TOT V0CIF V0GDPEXP V0GDPINC
to to to to to to to to
file file file file file file file file
SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY SUMMARY
header header header header header header header header
"CHEK"; "COST"; "SALE"; "1PRM"; "1TOT"; "0CIF"; "GDPE"; "GDPI";
! Excerpt 17 of TABLO input file: ! ! More summary data ! Set MAINUSER # broad user groups # (Intermediate, Invstok, Household, Ekspor, Govcapital, GovRoutine); Subset FinalUser is subset of MAINUSER; Coefficient (all,c,COM)(all,u,MAINUSER) MAINSALES(c,u) # Summary of sales #; Formula (all,c,COM) MAINSALES(c,"Intermediate") = sum{i,IND,USE(c,"dom",i)}; (all,c,COM)(all,u,FINALUSER) MAINSALES(c,u) = USE(c,"dom",u); Coefficient (all,i,IND) CAPSHR(i) # Share of capital in primary factor costs #; Formula (all,i,IND) CAPSHR(i) = FACTOR("capital",i)/V1PRIM(i); Coefficient (all,c,COM) IMPSHR(c) # Share imports in local
108
purchases #; Formula (all,c,COM) IMPSHR(c) = sum{u,IMPUSER,USE(c,"imp",u)}/sum{u,IMPUSER,USE_S(c,u)}; Write MAINSALES to file SUMMARY header "MSAL"; CAPSHR to file SUMMARY header "KSHR"; IMPSHR to file SUMMARY header "MSHR"; ! end of file !
109
Lampiran 4 Hasil estimasi persamaan fungsi produktivitas menggunakan Eviews 6.0 Dependent Variable: LOG(PROD) Method: Least Squares Date: 08/18/12 Time: 12:52 Sample: 1 33 Included observations: 33 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(WAGE) LOG(CAPITAL) LOG(ROUTINE)
-13.53733 1.596810 0.153910 0.136078
9.239495 0.623554 0.064895 0.057033
-1.465159 2.560821 2.371667 2.385938
0.1536 0.0159 0.0246 0.0238
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.522443 0.473040 0.519203 7.817568 -23.06276 10.57523 0.000073
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
16.56852 0.715234 1.640167 1.821562 1.701201 1.457665
110
Lampiran 5 Dampak investasi modal manusia terhadap stok modal dan biaya produksi per unit Sektor (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Padi Palawija Sayur-sayuran dan buah-buahan Perkebunan Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan pertambangan Industri makanan, minuman, & rokok Industri tekstil, pakaian, kulit, & pemintalan Industri bambu, kayu, rotan, & kertas Industri pupuk, pestisida, & kimia Pengilangan minyak bumi Industri karet, plastik, & bukan logam Industri semen Industri logam Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri lainnya Listrik, gas, & air Bangunan Perdagangan, hotel, & restoran Angkutan Komunikasi Lemb. keuangan, real estat, & jasa perusahaan Pemerintahan & pertahanan keamanan Jasa pendidikan pemerintah Jasa kesehatan pemerintah Jasa pendidikan swasta Jasa kesehatan swasta Jasa lainnya
Stok Modal (%) Sim 1 Sim 2 (2) (3)
Biaya Produksi (%) Sim 1 Sim 2 (4) (5)
1,395 1,583 1,470 1,379 1,290 1,514 0,670 1,504 0,700 1,451
1,231 1,396 1,297 1,217 1,138 1,336 0,591 1,326 0,617 1,280
-0,157 -0,158 -0,165 -0,168 -0,169 -0,173 -0,167 -0,165 -0,175 -0,170
-0,139 -0,139 -0,145 -0,148 -0,150 -0,153 -0,147 -0,145 -0,154 -0,150
1,277
1,127
-0,165
-0,146
0,870
0,767
-0,167
-0,148
1,328 0,959 1,027
1,172 0,846 0,906
-0,145 -0,150 -0,150
-0,128 -0,133 -0,133
0,115 0,717 1,101
0,101 0,632 0,972
-0,179 -0,157 -0,130
-0,158 -0,138 -0,115
1,170 1,163 0,080 1,085 1,199 1,261 1,188
1,033 1,026 0,071 0,958 1,058 1,112 1,048
-0,155 -0,169 -0,167 -0,187 -0,174 -0,182 -0,219
-0,137 -0,149 -0,148 -0,165 -0,153 -0,161 -0,193
0,329
0,290
-0,303
-0,267
0,276 0,299 1,663 1,483 1,168
0,243 0,264 1,467 1,309 1,030
-0,308 -0,323 -0,278 -0,201 -0,191
-0,272 -0,285 -0,245 -0,178 -0,168
111
Lampiran 6 Dampak investasi modal manusia melalui belanja modal terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral Sektor (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Padi Palawija Sayur-sayuran dan buah-buahan Perkebunan Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan penambangan Industri makanan, minuman, & rokok Industri tekstil, pakaian, kulit, & pemintalan Industri bambu, kayu, rotan, & kertas Industri pupuk, pestisida, & kimia Pengilangan minyak bumi Industri karet, plastik, & bukan logam Industri semen Industri logam Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri lainnya Listrik, gas, & air Bangunan Perdagangan, hotel, & restoran Angkutan Komunikasi Lemb. keuangan, real estat, & jasa perusahaan Pemerintahan & pertahanan keamanan Jasa pendidikan pemerintah Jasa kesehatan pemerintah Jasa pendidikan swasta Jasa kesehatan swasta Jasa lainnya
Penyerapan Tenaga Kerja (%) SD SLTP SLTA PT (4) (5) (2) (3) 0,26 0,45 0,33 0,24 0,16 0,38 -0,46 0,37 -0,43 0,31 0,47 0,07 0,52 0,15 0,22 -0,68 -0,09 0,30 0,36 0,36 -0,72 0,28 0,11 0,17 0,10 -0,75 -0,81 -0,78 0,57 0,39 0,08
0,31 0,50 0,38 0,29 0,21 0,43 -0,41 0,42 -0,38 0,36 0,47 0,07 0,52 0,16 0,23 -0,68 -0,08 0,30 0,37 0,36 -0,71 0,28 0,15 0,21 0,14 -0,71 -0,76 -0,74 0,61 0,43 0,12
0,31 0,50 0,39 0,30 0,21 0,43 -0,41 0,42 -0,38 0,37 0,47 0,07 0,52 0,16 0,23 -0,68 -0,08 0,30 0,37 0,36 -0,71 0,28 0,16 0,22 0,14 -0,71 -0,76 -0,74 0,61 0,44 0,12
0,53 0,72 0,61 0,52 0,43 0,65 -0,19 0,64 -0,16 0,59 0,49 0,09 0,54 0,18 0,24 -0,66 -0,07 0,32 0,39 0,38 -0,70 0,30 0,35 0,41 0,34 -0,52 -0,57 -0,55 0,81 0,63 0,32
112
Lampiran 7 Dampak investasi modal manusia melalui belanja rutin terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral Sektor (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Padi Palawija Sayur-sayuran dan buah-buahan Perkebunan Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan penambangan Industri makanan, minuman, & rokok Industri tekstil, pakaian, kulit, & pemintalan Industri bambu, kayu, rotan, & kertas Industri pupuk, pestisida, & kimia Pengilangan minyak bumi Industri karet, plastik, & bukan logam Industri semen Industri logam Industri mesin, alat listrik, & angkutan Industri lainnya Listrik, gas, & air Bangunan Perdagangan, hotel, & restoran Angkutan Komunikasi Lemb. keuangan, real estat, & jasa perusahaan Pemerintahan & pertahanan keamanan Jasa pendidikan pemerintah Jasa kesehatan pemerintah Jasa pendidikan swasta Jasa kesehatan swasta Jasa lainnya
Penyerapan Tenaga Kerja (%) SD SLTP SLTA PT (4) (5) (2) (3) 0,23 0,39 0,29 0,22 0,14 0,33 -0,40 0,32 -0,38 0,28 0,41 0,06 0,46 0,14 0,20 -0,60 -0,08 0,26 0,32 0,31 -0,63 0,25 0,10 0,15 0,09 -0,67 -0,71 -0,69 0,50 0,34 0,07
0,27 0,44 0,34 0,26 0,18 0,38 -0,36 0,37 -0,34 0,32 0,42 0,06 0,46 0,14 0,20 -0,60 -0,07 0,26 0,32 0,32 -0,63 0,25 0,13 0,19 0,12 -0,63 -0,67 -0,65 0,54 0,38 0,11
0,28 0,44 0,34 0,26 0,19 0,38 -0,36 0,37 -0,33 0,33 0,42 0,06 0,46 0,14 0,20 -0,60 -0,07 0,26 0,32 0,32 -0,63 0,25 0,14 0,19 0,13 -0,62 -0,67 -0,65 0,54 0,39 0,11
0,47 0,63 0,54 0,46 0,38 0,57 -0,17 0,57 -0,14 0,52 0,43 0,08 0,48 0,15 0,21 -0,59 -0,06 0,28 0,34 0,33 -0,62 0,27 0,31 0,36 0,30 -0,46 -0,50 -0,48 0,71 0,56 0,28