BULETIN DISCIPLES Menganggap bahwa Alkitab hanyalah kitab suci yang berisi kabar baik tentang kasih dan kepedulian Allah untuk menyelamatkan “jiwa-jiwa” atau “roh” manusia supaya masuk sorga merupakan tindakan eklektik-sempit yang mengabaikan dan mengorbankan esensi utama dari berita Alkitab tentang rencana Allah yang utuh dan penuh bagi seisi dunia lewat karya penciptaan, penebusan, dan pemuliaan (Ef. 1:9-10 dan Kol. 1: 19-20). Kekeliruan ini bisa berujung pada anggapan bahwa roh/ jiwa manusia lebih penting bagi Allah daripada dunia fisik. Dualisme sempit ini tidaklah berasal dari Alkitab. Reinhold Niebuhr seorang teolog Protestan kontemporer terkenal mengatakan bahwa dualisme yang meninggikan roh/jiwa (Yun. noûs) dan merendahkan dunia fisik sebenarnya berasal dari filsafat Yunani (Plato, Aristoteles, dan Stoikisme). Meskipun secara teknis terdapat perbedaan konsep noûs dalam
1
ketiganya, namun bagi Niebuhr ketiganya mengakibatkan konsekuensi yang sama, konsekuensi yang berbeda dengan berita Alkitab dan sangat berpengaruh hingga saat ini: The dualism has the consequence for the doctrine of man of identifying the body with evil and of assuming the essential goodness of mind and spirit. This body-mind dualism and the value judgments passed upon both body and mind stand in sharpest contrast to the Biblical view of man and achieve a fateful influence in all subsequent theories of human nature. The Bible knows nothing of a good mind and an evil body.1
Sebaliknya Alkitab memandang bahwa seluruh alam semesta ini dan semua bidang kehidupan di 1
The Nature and Destiny of Man, Vol. I: Human Nature (New York: Charles Scribner’s Son, 1964) 7. Penekanan oleh penulis.
2
EDITORIAL
dalamnya (tidak hanya manusia): darat dan bebatuan, laut dan sungai-sungai, tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis binatang, matahari, bulan dan bintang— juga bidang-bidang kehidupan manusia seperti seni, politik, ekonomi, pendidikan, dsb, dicipta Allah baik adanya (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Sebab semesta ini dan semua keindahan, keteraturan dan harmoni yang terjadi di antara penghuni-penghuninya, ada demi satu tujuan yakni memancarkan kemuliaan Tuhan. Konsep Alkitabiah yang utuh dan terintegrasi ini haruslah mempengaruhi pola pikir orang Kristen dalam bermisi dan berkarya di tengah-tengah dunia milik Allah yang baik ini, namun telah dirusak oleh dosa, kefasikan dan kelaliman—dosa yang telah menimbulkan kesombongan dalam hati manusia yang merasa tidak butuh Allah, kefasikan yang melahirkan kemunafikan, kerohanian semu, kehidupan agamawi yang egostik, self-centered serta pembiaran dan pendiaman terhadap berbagai realitas dunia yang
menyedihkan; serta kelaliman yang mengakibatkan kebijakan publik yang opresif terhadap rakyat kecil, penindasan terhadap kaum lemah, kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Runtuhnya moralitas masyarakat, meningkatnya angka penangguran dan kemiskinan, bencana kelaparan dan gizi buruk, pendidikan yang tetap berpihak pada kaum “the have” dan makin kapitalis, dan semua realitas kekinian yang tidak menjadikan dunia ini memancarkan kemuliaan Allah, semestinya mendorong tangisan yang sama dari orang-orang Kristen sebagaimana mereka sering menangisi diri dan keselamatan kekal mereka. Buletin Disciples edisi ini mencoba mengangkat sisi-sisi pengajaran Alkitabiah yang terkadang diabaikan dan kurang diperhatikan oleh kaum Injili. Artikel-artikel yang dihadirkan diharapkan dapat membawa setiap pembaca masuk dalam kehidupan Kristen yang lebih utuh dan lebih integratif dalam melihat dunia dan semua realitas di dalamnya. Selamat membaca!
BULETIN DISCIPLES
3
4
Merenung Makna Kebangkitan
Oleh: Perdian Tumanan, S.T., M.Div. Penulis adalah Pimpinan Cabang Perkantas Jawa Timur.
Perihal kebangkitan tidak dapat dilepaskan dari perihal kematian sebagai negasinya. Perjanjian Baru (PB) berulang-ulang menegaskan kematian adalah musuh utama umat manusia (Ro. 5:12, 14; 1Kor.15:26;). Namun yang dimaksud dengan kematian oleh Alkitab bukanlah sekadar soal kehilangan nafas hidup dan jantung berhenti berdetak; dalam makna fisikal belaka. Kematian utamanya bicara soal mati, hilang dan sirnanya fungsi kita sebagai manusia yang seutuhnya, manusia yang semestinya dicipta mulia dan bermartabat; manusia yang harusnya hidup dalam nurani dan
akhlak; manusia yang sejatinya dipanggil untuk selaras dan harmonis dengan Allah, sesama dan alam (bdk. Kej. 2:17; 3:10-19; Ef. 2:1-3, 5; Kol. 2:13). Melihat realitas dunia dan bangsa yang carut-marut, rusak serta korup ini, tidak ada alasan lain yang tepat untuk menggambarkan akar masalah semua ini selain kematian umat manusia dan berujung pada kematian dunia. Matinya hati nurani, matinya moral dan etika serta matinya perikemanusiaan dan bela rasa. Dengan demikian kebangkitan, tidak seperti pandangan kebanyakan orang Kristen sekarang, bukanlah sekadar bicara soal ”kepastian” dan jaminan keselamatan setelah kematian (fisik) di surga kelak. Sebaliknya kebangkitan juga bukan sekadar kabar baik bagi kaum agamis. Ia bukan pula wangsit abstrak bagi kaum spiritualis. Kebangkitan adalah kabar baik yang konkret sekaligus suara kontroversial buat seluruh semesta dan seisi dunia hari ini dan kini! Bahwa di tengah suramnya dunia, maraknya kemunafikan, meningkatnya angka kriminalitas
BULETIN DISCIPLES dan genocide, ramainya retorika dan pepesan kosong dari para penguasa politik-oportunis yang memperkosa slogan ”demi rakyat”, dunia punya harapan dan optimisme baru. Itulah sebabnya mengapa gereja mula-mula di tengah berbagai ancaman dan hambatan dari pemerintah politik kafir saat itu, tidak berdoa agar mereka dilepaskan dari semua bahaya itu dan segera pergi ke surga. Sebaliknya mereka berdoa agar mereka tetap di dalam dunia dan diberikan keberanian untuk memberitakan tentang Yesus yang bangkit (Kis. 4:24-31; bdk. 10:4042; 17:3; 26:22-23; 2Tim. 2:8). Saya yakin itulah yang membuat Yesus tidak berdoa agar murid-murid-Nya tidak diambil dari dalam dunia tetapi supaya mereka tetap ada di dalam dunia (Yoh. 17:15), tentu agar mereka menjadi alat Allah di tengahtengah dunia yang tanpa harapan ini. Tapi bagaimana hal itu dapat terjadi di dalam Yesus? Dan bagaimana orang yang percaya dan dibangkitkan bersama Yesus adalah orang-orang yang dapat menjadi agen pembaruan dunia
5
ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat sebentar perihal Kerajaan Allah yang sangat dekat dengan ide kebangkitan. Dalam PB Kerajaan Allah (atau pemerintahan Allah yang dinamis atas semesta ini) adalah sesuatu yang sangat misterius dan terdengar aneh bagi orang-orang pada masa Yesus. Mengapa misterius dan aneh? Sebab bertolak belakang dari konsep ”kerajaan” menurut dunia, Kerajaan Allah tidaklah didirikan di atas dasar kekuatan politik, milliter, uang (ekonomi), dan pengaruh. Sebaliknya Kerajaan Allah didirikan di atas dasar kemiskinan, kehinaan, kelemahan, dan ketidakberdayaan! Berulang-ulang ayat-ayat dalam Injil menggemakan hal tersebut. ”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat. 5:3); ” Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:10); ”... lalu berkata: ’Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi se-
6
Merenung Makna Kebangkitan
perti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga’” (Mat. 18:3-4). Kerajaan Allah Yesus sangat misterius dan aneh karena banyak orang yang menganggap ide Yesus tidak masuk akal dan konyol. Itulah sebabnya banyak orang pada akhirnya menolak, kecewa, dan meninggalkan Dia (Yoh. 6:66). Itulah sebabnya pula Yesus mengutarakan banyak perihal Kerajaan Allah dalam perumpamaan yang maknanya tersembunyi bagi banyak orang. Bukan karena mereka tidak mengerti tapi karena mereka ”tidak mau dan tidak suka” untuk mengerti (Mat. 13:13-15). Kerajaan Allah seperti ini tidak mungkin diterima oleh mereka yang suka akan kemegahan dan kejayaan eksternal. Kerajaan Allah seperti ini hanya diterima oleh mereka yang diamdiam melihatnya dengan mata iman (Mat. 13:16-17). Saya yakin inilah yang menginsipirasi Paulus untuk mengatakan, ”Tetapi jawab
Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:9-10). Tapi muncul satu pertanyaan penting yang perlu kita ajukan, ”Mengapa Yesus menghadirkan Kerajaan Allah melalui kelemahan, kemiskinan, kehinaan, dan ketidakberdayaan; bukan lewat uang, kekuatan serta senjata?” Jawabannya sederhana. Lewat kerinduan akan kuasalah orang memanipulasi dan menghisap orang lain, uanglah yang menjadi biang dari semua kejahatan dan kekuatan militer ”atas nama kebenaranlah” yang telah menghancurkan hidup dan masa depan umat manusia di sepanjang sejarah. Artinya, merupakan utopia dan mimpi di siang bolong
BULETIN DISCIPLES untuk menghadirkan damai dan kesejahteraan lewat kuasa politik, uang dan kekuatan militer sebab justru karena semua itulah dunia ini kehilangan damai dan sejahtera. Itulah sebabnya Yesus mengatakan dalam Matius 20:25-27,”Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: ”Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.” Dan ia menutup bagian ini dengan rahasia sejati untuk menghadirkan Kerajaan Allah di atas bumi ini, ”sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Kebenaran inilah yang diberitakan dan
7
dihidupi oleh Yesus, Kerajaan Allah hanya akan hadir lewat kelemahan, ketidakberdayaan, kemiskinan dan kehinaan. Namun Yesus tidak sekadar mengatakan berita itu tapi di dalam tubuhNya, Ia mengaktualisasikan berita itu, tubuh yang akhirnya mengalami penindasan, kesesakan, kemiskinan, ketidakberdayaan dan kehinaan akibat dosa-dosa dunia. Boleh dikata, di dalam Yesus Kerajaan Allah menjelma menjadi daging seperti kata Marcion, ”In evangelio est Dei regnum Christus ipse.” Di dalam tubuh kemanusiaan-Nya, Ia turut merasakan getirnya akibat dosa yang dirasakan umat manusia oleh karena orang-orang yang haus dan takut kehilangan kekuasaan serta bertangan besi (seperti prajurit Romawi dan Pilatus), haus akan uang (Yudas dan orang-orang Herodian), mengejar pengaruh dan popularitas (para imam Bait Allah dan tua-tua). Artinya di dalam tubuh-Nya, Yesus merasakan seluruh penderitaan yang diakibatkan oleh hal-hal pokok yang justru dianggap mampu memberikan jalan keluar atas berbagai problem yang dihadapi
8
Merenung Makna Kebangkitan
umat manusia (trias kekuatan sebuah bangsa: ekonomi, politik dan militer). Di dalam tubuh-Nya yang ditelanjangi, Yesus justru sedang menelanjangi secara bulatbulat segala bentuk kemunafikan, kebohongan, sikap koruptif dan manipulasi busuk yang telah berabad-abad dipraktikkan para penguasa, tokoh agama, elite politik yang sebenarnya hanya mencari kepentingan pribadi dengan menawarkan janji-janji palsu dengan embel-embel ”demi rakyat” dan ”demi kebenaran.” Di dalam tubuh-Nya, Yesus sedang memperhadapkan para pemimpin sekaligus pemimpin dunia terhadap optimisme dan utopia semu yang mereka tawarkan lewat jalan-jalan mereka sekaligus menyadarkan mereka akan kematian mereka di tengah berbagai prestasi dan prestise hidup yang mereka nikmati. Inilah cara Allah, Sang Empunya langit dan bumi menyelesaikan masalahmasalah dunia dan mendirikan Kerajaan-Nya di atas bumi ini-Kerajaan yang penuh dengan damai dan keadilan (Yes. 11:69)-yakni lewat jalan penderitaan
dan salib. Salib menjadi simbol dari matinya keakuan cinta diri, matinya arogansi, sumpah serapah, benci dan dendam, matinya hasrat untuk kuasa dan keinginan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, matinya hasrat untuk menjadi terkenal dan populer, simbol dari kerinduan untuk hidup bagi Allah dan mati bagi dunia. Bukankah ini cara yang misterius dan sulit diterima akal sehat oleh dunia? Setelah Yesus mati, banyak orang berpikir bahwa itu merupakan kekalahan Yesus sekaligus gugurnya semua asumsi Yesus tentang Kerajaan Allah versi-Nya. Dia yang sudah mengajarkan dan menghidupi apa yang dikatakanNya sebagai kebenaran Allah, mentaati Allah sebulat-bulat hati dihabisi dan tak berdaya dihadapan orang-orang jahat. Dan banyak orang yang akhirnya menganggap pada akhirnya kebenaran pasti kalah oleh kejahatan. Namun fakta kebangkitan menyangkal semua tuduhan itu. Kurang lebih 500 orang saksi siap dikonfirmasi untuk kebenaran kejadian itu (1Kor. 15:6).
BULETIN DISCIPLES Orang-orang Yahudi sendiri umumnya percaya akan fakta kebangkitan. Bagi komunitas Yahudi kebangkitan tidak sekadar dikaitkan dengan ”jaminan” keselamatan individual. Kebangkitan bicara soal harapan kebangkitan bagi Israel-bangsa yang dipilih Allah untuk keselamatan dunia, yang terpuruk dan mati karena dosa dan pelanggaran mereka, yang sekaligus sebagai pertanda bahwa dunia pun akan dipulihkan dengan sempurna melalui pemulihan umat Allah (bdk. Yeh. 37, Dan. 12). Inilah yang juga digemakan oleh penulis PB. Paulus melihat kebangkitan Yesus (yang adalah the new Israel) sebagai awal dari rencana pemulihan Allah bagi dunia baru yang akan Allah hadirkan. Jadi kebangkitan bukan sekadar pembaruan pribadi tapi erat dengan transformasi holistik dari semesta ini (Rm. 6; 1Kor. 15:24-28; Kol. 1:15-23; 3). Menarik sekali apa yang dikemukakan N. T. Wright, ”For renewed bodies we need a renewed cosmos , including a renewed earth. That is what the New Testament promises.”
9
Namun, sesuai Daniel 12:13, orang-orang Yahudi percaya bahwa kebangkitan tidak akan terjadi sekarang (here and now, in the middle of history). Itu akan terjadi pada masa akhir zaman (bdk. perkataan Maria dalam Yoh. 11:24). Namun dalam kasus Yesus itu berbeda. Yesus dibangkitkan ”in the middle of history”! Apa artinya ini? Jelas, sebuah transformasi holistik Allah bagi dunia tidak perlu menunggu sampai akhir zaman. Allah secara mengejutkan berintervensi langsung dalam sejarah dan memulai suatu zaman yang baru! Zaman yang penuh harapan. Kerajaan Allah atau pemerintahan Allah yang akan menghadirkan damai dan sukacita kekal itu, sudah dan sedang terjadi saat ini! Dan itu hadir lewat karya Yesus yang melayani dunia dengan cinta dan dalam kemiskinan, kelemahan, kehinaan dan keterbatasan. Kebangkitan menjadi bukti sah bahwa seluruh karya Yesus diperkenan dan dimuliakan oleh Allah. Kebangkitan juga menegaskan bahwa jalan Yesuslah satu-satunya jalan yang konkret dan utuh menuju transformasi itu.
10
Merenung Makna Kebangkitan
Kini kita sedang hidup dalam zaman baru itu; zaman di mana kelak, ”Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersamasama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya.Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan samasama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu.Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak” (Yes. 11:68). Hadirnya damai yang radikal, yang utuh dan penuh, sebab ”... seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9). Inilah panggilan buat kita yang rindu melihat hadirnya zaman baru yang Tuhan sedang hadirkan. Panggilan yang melintasi sekat-sekat agama dan asumsi teologi, pandangan politik, status sosial dan suku bangsa akan hadirnya zaman tanpa kemuna-
fikan dan retorika politikus busuk, zaman tanpa air mata penindasan dan kesengsaraan akibat sengsara dan pemiskinan. Zaman di mana Allah akan menjadikan segalanya baru, di mana Ia yang jadi pemimpin kita. Namun Ia memanggil kita bukan hanya untuk menyaksikan dan menantikan masa itu. Ia juga memanggil kita untuk menjadi bagian dari rencana-Nya itu. Ia memanggil kita untuk menjadi agen-agen-Nya, demi menyaksikan kebesaran-Nya bukan lewat kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan militer; melainkan lewat kehinaan, kemiskinan, kerendahan dan keterbatasan. Memang panggilan itu berat dan sulit, penuh dengan pengorbanan. Itulah sebabnya Yesus sudah mengingatkan sejak awal bahwa panggilan Kerajaan ini hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang siap dan rela untuk menyangkal diri [menanggalkan agenda-agenda pribadi], memikul salib [lambang hina dan cela, rela dianggap aneh oleh dunia] dan mengikut Yesus [mengikut cara Yesus] (Mrk.8:34). Panggilan itu memang membuat
BULETIN DISCIPLES seseorang mati untuk dirinya, keakuannya, agenda-agendanya; namun seperti yang terjadi pada Yesus, kematian itulah awal dari kehidupan bagi dunia ini. Inilah yang dikatakan dalam Yohanes 12:24-25, ”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia
11
akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” Panggilan ini hanyalah bagi mereka yang mau bergumul secara serius, mempertimbangkan masak-masak, percaya dan akhirnya beriman secara diamdiam dalam hati bahwa memang hanya lewat dan melalui jalan salib Yesus yang hina dan miskinlah ada jalan dan pengharapan satu-satunya buat transformasi diri saya, sesama, alam ciptaan dan dunia ini. Maukah Anda mempertimbangkan-Nya?
12
Perbedaan Untuk Dirayakan
BULETIN DISCIPLES
13
gender yang berbeda, di situ ada kesejahteraan.
Penulis adalah penerjemah dan pengadaptasi untuk Lembaga Alkitab Indonesia dalam projek Pedoman Penafsiran Alkitab (2008-sekarang).
Kita bisa memahami ras menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia: “golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa.”1 Sedang gender bisa kita pahami menurut pengertian Lampiran Inpres nomor 9 tahun 2000: “Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.”2
Ras dan gender telah menjadi topik hangat di dunia mutakhir dalam era globalisasi. Keduanya makin sering dibincangkan seiring pembangunan masyarakat sejagat secara umum beralih dari pendekatan keamanan kepada pendekatan kesejahteraan. Sebagai kenyataan perbedaan yang lekat pada setiap masyarakat, ras dan gender selalu dikaitkan dengan keadilan sosial. Artinya, di mana masyarakat (“sosial”) berlaku adil terhadap ras dan
Kalau pengertian-pengertian itu kita tinjau secara Kristiani, kita maklum bahwa perbedaan golongan/rumpun bangsa serta laki-laki dan perempuan digariskan Allah sendiri. Perbedaan itu seharusnya dirayakan—disyukuri dan dijadikan pangkal sukacita—oleh setiap masyarakat di bumi sebagai anugerah Allah yang unik dan indah. Namun, karena dosa telah merasuki bumi, perbedaan justru kerap jadi pencetus pertikaian atau penindasan. Masyarakat berlaku tak
Oleh: Samuel Tumanggor, S.T.
14
Perbedaan Untuk Dirayakan
adil terhadap ras dan gender yang berbeda, maka sejahtera pun luput darinya. Sebagai bagian dari masyarakat dunia dan bangsa, umat Kristen atau “Gereja” tak boleh abai terhadap isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. Sesungguhnya, isu-isu sosial memberi kita peluang untuk menjajalkan fungsi “garam dan terang” lewat sumbangan pikiran atau kiprah kita. Dalam hal ras dan gender, Gereja Indonesia dapat mengerahkan fungsinya dengan menyambut tiga tantangan besar untuk: 1) memahami isu ras dan gender sesuai dengan konteks Indonesia; 2) memperkembangkan wawasan Alkitabiah tentang isu ras dan gender; dan 3) menerapkan wawasan Alkitabiah tersebut dalam praktik. Tantangan Pertama: Memahami Isu Ras dan Gender Sesuai dengan Konteks Indonesia Tantangan ini saya taruh di tempat pertama sebab sepasti kata atau konsep ras dan gender kita impor dari luar negeri (dalam hal
ini, Barat), sudut pandang atau konteks luar negeri (Barat) pun tak pelak lagi menjadi muatannya. Dan sayangnya, kita acap kali malas atau lalai menapis dan mengolahnya supaya lebih tepat guna bagi masyarakat kita. Jadi, penting sekali kita cermati secara arif duduk perkara isu ras dan gender dalam masyarakat Indonesia. Secara umum dapat kita katakan bahwa masyarakat Indonesia tidak dibebani masalah ras dan gender yang akut. Bukannya tidak ada masalah, tetapi secara umum tidak akut. Hal ini menjadi terang sewaktu kita cerminkan masalah ras dan gender di Indonesia terhadap masalah ras dan gender di dunia Barat. Dalam hal ras, sejak dulu penduduk Nusantara dikenal sebagai orang yang sangat terbuka kepada bangsa lain. “Rumpun bangsa” tak pernah jadi masalah bagi kita. Leluhur kita, para saudagar-pelaut yang makmur itu, bergaul dan berdagang dengan semua bangsa—dari Asia (Tenggara, Timur, Selatan, Barat), Afrika, Eropa—secara seharkat
BULETIN DISCIPLES dan semartabat. Sejarawan Asia Tenggara, Anthony Reid, menulis, “Budaya Melayu maritim pesisir Asia Tenggara sangat beragam secara etnis, sangat terbuka terhadap pengaruh eksternal, sehingga membuatnya menjadi tidak eksklusif.”3 Justru gaya monopoli dagang ala Eropalah yang merusak keseharkatan itu dan memancang rasisme di Nusantara dengan menjadikan leluhur kita warga kelas tiga di tanah air sendiri (warga kelas satu adalah orang Barat, warga kelas dua adalah orang Timur lain seperti Cina, Arab, India). Rasisme era penjajahan adalah beban bangsa-bangsa Barat sampai hari ini. Setelah sukses menaklukkan banyak wilayah di bumi, mereka mulai berpikir serong tentang keunggulan bangsa-bangsa kulit putih atas bangsa-bangsa kulit “berwarna.” Ini menetaskan rasisme ilmiah (atau, rasisme biologis) yang mengerahkan berbagai metode dan temuan ilmiah untuk mengesahkan cara pandang rasis. Wujudnya kentara dalam propaganda Nazi di Jerman,
15
“hukum Jim Crow” tentang pemisahan ras di AS Selatan, politik apartheid di Afrika Selatan, atau “kebijakan kulit putih Australia.” Ide-ide gila macam itu tak pernah terlintas dalam pikiran orang Indonesia.Memang di Indonesia masalah ras sesekali meletup, baik antara warga pribumi dengan non-pribumi maupun antara sesama warga pribumi. Tetapi alasannya bukanlah rasisme ala Barat. Di sini tak pernah digubah teori (dan dipercayai) bahwa suku atau etnis tertentu kalah unggul secara alami sehingga perlu dibasmi atau dipinggirkan, atau bahwa warna kulit tertentu menandakan kemuliaan atau kutukan. Kalaupun ada sengketa akibat dominannya suku(-suku) tertentu atas suku(-suku) lain di tingkat nasional atau daerah, “ciri-ciri fisik” bukanlah pencetusnya. Isu Melayu versus Melanesia diembuskan sebagian warga Papua yang ingin lekang dari Indonesia, tetapi orang Alor dan Ambon yang juga Melanesia tenang-tenang saja berbakti kepada ibu pertiwi Indonesia. Orang Ambon malah menjadi salah satu sokoguru penting yang mendiri-
16
Perbedaan Untuk Dirayakan
kan negara ini. Warga minoritas non-pribumi di Indonesia pun umumnya hidup mapan, berbeda dengan warga minoritas kulit hitam dan (pribumi!) kulit merah di AS. Kalaupun orang non-pribumi Indonesia terkadang dipersulit memasuki bidang tertentu, mereka juga terkadang mempersulit karir orang pribumi di perusahaan atau pabrik mereka atau di gereja tempat suku mereka dominan. Jadi, ada diskriminasi yang timbal balik. Sebagai tambahan, sebagian orang non-pribumi bahkan merasa lebih tinggi kelasnya dari orang pribumi—terima kasih kepada penjajah Belanda yang telah menata kelas-kelas di masa lampau! Ya, rasisme ada di Indonesia, tetapi tak pernah sampai membuat toilet atau tempat duduk kendaraan umum yang terpisah berdasarkan ras ala AS Selatan masa “Jim Crow.” Tak pernah sampai membiakkan, katakanlah, Klan Kulit Coklat atau Bangsa-bangsa Melayu yang anti suku atau etnis lain seperti Ku
Klux Klan, Aryan Nations, dan sederet kelompok supremasi kulit putih lainnya. Tak pernah sampai membangkitkan Martin Luther King, Jr. versi Indonesia yang berjuang dan mati demi persamaan hak ras minoritas. George Fredrickson, profesor AS perintis studi rasisme, menganalisis dengan tepat, “Rasisme mempunyai lintasan historis dan terutama, kalau bukan secara eksklusif, merupakan produk Barat” (tekanan oleh saya).4 Dalam hal gender, yang lazimnya lebih menyoroti soal peran kaum wanita, para srikandi Indonesia seperti R.A. Kartini dan Maria Walanda-Maramis diberkati ideide Barat yang menjebol tradisi pengungkung wanita. Feodalisme di Indonesia, bahkan tafsiran agama, memang kerap memasung kaum perempuan, tetapi bukan berarti sejarah perempuan Nusantara melulu seperti itu. Jejak-jejak penghargaan tinggi kepada wanita dan perannya masih mudah dilacak. Ambil contoh kata “perempuan.” St. Mohammad Zain, tokoh ka-
BULETIN DISCIPLES mus Indonesia, menerangkannya berasal dari kata empu, “tuan.” Per-empu-an berarti “bangsa empu-empu = pertuanan, bangsa tuan-tuan,”5 dan ini mengisyaratkan takzim besar kepada kaum wanita. Tentulah budaya Minangkabau yang matrilineal (“garis ibu,” menunjukkan penghormatan kepada per-empu-an) serta budaya Alor dan Wemale-Seram yang mengandung unsur matrilineal bersulang girang di depan makna itu. Lembar sejarah Nusantara pun bertutur tentang para pemimpin wanita yang mashur di masa silam: Tumanurunga ri Tamalate, penguasa Gowa yang mulamula; Ratu Sima dari Kalingga; Ratu Ilah Nur dari Pasai; keempat sultanah Aceh (Safiatuddin, Nakiatuddin, Zakiatuddin, Zainatuddin) dan para pemimpin barisan tempur Aceh (Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, dll); serta ratu-ratu Bone dan Luwu, di antaranya I Maneng Arung Data yang memimpin negaranegara Bugis berperang melawan Belanda. Presiden Megawati di masa kini, dan juga Menteri Sri
17
Mulyani, Laksamana Pertama Christina Rantetana, dan Gubernur Ratu Atut Chosiyah, hanyalah penerus dari tradisi Nusantara yang tak segan memercayakan kepemimpinan kepada wanita. (Sebagai catatan, dalam 230 tahun lebih sejarahnya, negara AS belum pernah sekali pun dipimpin per-empu-an.) Betul, ketidakadilan terhadap wanita ada di Indonesia. Budaya feodal, wawasan patriarki yang kaku, poligami, kawin kontrak, tindak kekerasan, dsb banyak merintangi peran wanita Indonesia. Namun, dapat kita nilai pula, bahkan secara Kristiani, bahwa pada umumnya pola dan pandangan tentang hubungan pria-wanita di Indonesia masih sehat. Di sini peran pria sebagai kepala rumah tangga masih dijunjung tinggi dan perbedaan fungsi pria-wanita masih diakui secara wajar. Tidak marak tuntutan untuk menghapuskan setiap perbedaan antara pria dan wanita ala feminisme Barat yang radikal. Tidak ramai anjuran agar wanita
18
Perbedaan Untuk Dirayakan
merdeka dari agama dan pranata pernikahan (yang dicap melestarikan budaya patriarki penindas wanita—sampai-sampai kata ganti Inggris he, “dia” maskulin, untuk Allah pun diganti dengan she, “dia” feminin, sebagai tanda berontak terhadap budaya patriarki). Tidak gaduh seruan kebebasan seksual dan hak aborsi untuk kaum wanita dan tidak riuh penistaan terhadap peran mulia ibu rumah tangga. Jadi, selepas mencermati keadaan di Indonesia, kita dapat melucuti muatan-muatan asing dalam konsep ras dan gender yang tidak baik atau tidak kenamengena dengan masyarakat kita. Seperti R.A. Kartini, kita harus tetap terbuka terhadap ide-ide luar negeri sambil celik akan keadaan dalam negeri. Saya kira sudah waktunya kita ramu sendiri konsep ras dan gender menurut potensi-potensi baik yang kita miliki (seperti terpapar di atas), alih-alih terus mengutip atau membebek konsep asing. Sungguh rancak, bukan, jika kita bisa menyumbangkan
kepada dunia ide-ide bagus untuk menyikapi isu ras dan gender berdasarkan pengalaman baik masyarakat kita? Masyarakat Barat, yang dibebani rasisme dan feminisme radikal, pasti bisa diberkati pula olehnya. Tantangan Kedua: Memperkembangkan Wawasan Alkitabiah Tentang Isu Ras dan Gender Setelah konteks Indonesia kita kuasai, kita harus memperkembangkan—mengajukan dan memajukan—wawasan Alkitabiah di tengah wawasan-wawasan lain tentang ras dan gender yang bersemi di Indonesia. Tantangan kedua ini pada hakikatnya untuk membuktikan bahwa wawasan Alkitabiah baik bagi umat manusia. Wawasan Alkitabiah selalu mendorong kita merayakan perbedaan ras dan gender. Batin kita bergemar, misalnya, mendengar doa khidmat pemazmur di masa Perjanjian Lama: “Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu”
BULETIN DISCIPLES dan “Semoga anak-anak lelaki kita seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya; dan anak-anak perempuan kita seperti tiangtiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan istana!” (Mzm. 67:4; 144:12, penekanan oleh saya). Hati kita pun tergetar mendengar ajaran luhur Rasul Paulus di masa Perjanjian Baru: “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka” dan “Dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah” (Kis. 17:26; 1 Kor. 11:10-11, tekanan oleh saya). Kita segera paham bahwa perbedaan golongan atau rumpun bangsa serta laki-laki dan perem-
19
puan berasal dari Allah, ada oleh Allah, dan diperuntukkan bagi Allah. Genaplah apa yang biasa saya sebut “Lingkaran Tuhan”: “Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rom. 11:36). Perbedaan itu baik, harus diterima dan disyukuri, dan ada untuk saling melengkapi. Sebagai contoh, dalam hal ras, kita lihat betapa semarak dan lengkapnya dunia karena bangsa Kanaan/Fenisia menyumbangkan abjad (a,b,c,d, dst berakar dari abjad Kanaan); bangsa Hindu dan Arab menyumbangkan angka (0,1,2,3, dst); bangsa Cina menyumbangkan kompas dan kertas; bangsa Yunani menyumbangkan filsafat; bangsa-bangsa Eropa menyumbangkan teknologi mutakhir; bangsa-bangsa kulit hitam menyumbangkan musik yang “hidup”; bangsa Indonesia menyumbangkan batik dan ikat; dan seterusnya. Dalam hal gender, kita lihat, misalnya, betapa lancar kitaran roda kehidupan di dunia karena
20
Perbedaan Untuk Dirayakan
pria mampu melaksanakan kerja-kerja berat mengolah bumi dan wanita mampu melahirkan penerus-penerus umat manusia— semua sesuai dengan kapasitas jasmani masing-masing. Mustahil peran dan fungsi mereka disetarakan dalam segala hal. Fakta ini bukan saja ditandaskan Alkitab tetapi juga akal sehat. Di dunia olah raga, contohnya, kita asyik menonton tarung ganda campuran dalam bulu tangkis atau tenis. Tetapi tak ada asyiknya menonton tunggal/ganda pria melawan tunggal/ganda wanita— apalagi dalam sepakbola dan tinju! Demikianlah ada tempat di mana peran pria dan wanita bisa setara, dan ada tempat di mana kesetaraan semacam itu tidak relevan. Jadi, baik Alkitab maupun akal sehat mewawas bahwa perbedaan itu harus ada, dan harus ada untuk saling melengkapi. Umat Kristen harus memperkembangkan wawasan ini, berikut simpulan-simpulan luasnya, di antara wawasan-wawasan lain tentang ras dan gender yang beredar di Indonesia. Wawasanwawasan lain itu sendiri—dari
Barat atau dari agama lain—harus kita telaah dengan patokan ajaran Alkitab. Pasti ada persamaan dan perbedaan. Yang sama kita tegaskan, yang beda kita jelaskan, lalu yang baik dan benar kita anjurkan. Dengan begitu, wawasan Alkitabiah disampaikan secara tepat guna kepada masyarakat. Saya kira inilah saatnya kita melihat banyak pendekar keadilan sosial yang berwawasan Alkitabiah tampil di panggung pemerintahan atau LSM. Kegiatan pemuridan Kristen harus mencari, menempa, dan memasok orang-orang ini, yang cakap, berbakat, dan secara khusus terpanggil melayani Allah di ranah keadilan sosial. Mereka, mewakili Gereja, tidak tampil untuk memaksakan wawasan Alkitabiah kepada masyarakat, tetapi untuk menghadirkannya sedemikian rupa sehingga khasiatnya dapat menjawab kerinduan manusia yang terdalam. Tantangan Ketiga: Menerapkan Wawasan Alkitabiah Itu dalam Praktik Akhirnya, kita harus berupaya
BULETIN DISCIPLES menangani masalah ras dan gender yang memang nyata dalam masyarakat kita. Selain memasok para pendekar keadilan sosial untuk bangsa dan dunia, Gereja Indonesia bisa merintis dan meneladankan penanggulangan ketidakadilan sosial, dimulai dari kalangan sendiri. Itu akan memenuhi tantangan ketiga untuk mempraktikkan wawasan Alkitabiah tentang isu ras dan gender. Dalam hal ras, peran Gereja amat sangat strategis. Sebagai contoh, kita bisa berbuat banyak untuk menghadapi isu-isu “pribumi dan non-pribumi” atau bahkan “Melayu dan Melanesia,” mengingat banyak orang “non-pribumi” dan Melanesia merupakan saudara-saudara seiman kita. Dialog terbuka dan berbagai kajian dapat digelar demi meretas dan membereskan sentimen-sentimen terpendam. Selain itu, jika perbedaan “rumpun bangsa” memang ada untuk dirayakan, Gereja harus mampu menggugah kebanggaan—bukan kesombongan—akan jati diri atau budaya suku dan bangsa. Kebang-
21
gaan ini harus ditumpukan pada konsep diri yang benar sehingga dapat memacu etos kerja, etos ekonomi, kemandirian, kekreatifan, dsb. Dampak semuanya adalah kemajuan suku dan bangsa. Hal ini amat penting, terlebih kalau kita ingat “kantong-kantong Kristen” yang sampai sekarang tetap tertinggal atau miskin akibat, di antaranya, etos hidup warga Kristen yang payah. Dan penting juga kita insaf dari “rasisme Kristen” yang kita lestarikan secara sadar atau tidak sadar. “Rasisme Kristen” ini nyata dalam sikap kebaratbaratan atau keasing-asingan yang secara halus atau blakblakan mengungkapkan bahwa Allah lebih mungkin atau lebih pas didekati/dimuliakan lewat budaya, musik, arsitektur, bahasa, pola pikir, teologi Barat atau asing. Tak salah lagi, ini warisan Pekabaran Injil (PI) era penjajahan, ketika “lembaga-lembaga [PI Eropa, pen.] peka terhadap rasa superioritas orang-orang Barat terhadap bangsa-bangsa nonBarat. Orang-orang Indonesia yang hendak masuk Kristen sebaiknyalah sekaligus menerima
22
Perbedaan Untuk Dirayakan
peradaban Barat dan kekuasaan negara-negara Barat.”6 Kalau bukan sekarang, kapan lagi mau kita sudahi keterjajahan dan “rasisme Kristen” itu? Dalam hal gender, Gereja Indonesia harus celik dan prihatin terhadap isu-isu seperti peluang pendidikan, perubahan budaya masyarakat (yang mempengaruhi peran dan tanggung jawab pria dan wanita), poligami, nikah bawah tangan, kekerasan dalam rumah tangga, gizi ibu, dan sebagainya. Corong mimbar dan mata pena harus dibidikkan kepada semua masalah itu untuk menyingkapkan, menggugah kesadaran, dan mengusulkan jalan keluar. Pribadi-pribadi Kristen pun harus diterjunkan untuk membantu mengatasinya sesuai dengan kapasitas dan panggilan masing-masing. Sebagai contoh, ketika Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2006 menunjukkan rasio buta huruf wanita dua kali lipat dari pria (10,3%:4,8%),7 orang Kristen bisa mengadakan atau terlibat dalam kampanye berantas
buta huruf, mulai dari kantongkantong dan keluarga-keluarga Kristen. Rasio itu muncul akibat peluang pendidikan yang lebih kecil bagi wanita. Pola pikir lama, yang tidak mementingkan pendidikan anak perempuan “karena anak perempuan nantinya akan menjadi milik orang lain dan hanya akan menjadi ibu rumah tangga,”8 masih cukup kental di Indonesia, istimewanya di kampung-kampung. Jadi, orang Kristen bisa mengadakan atau terlibat dalam penyuluhan-penyuluhan untuk mencerahi pikiran para orang tua. Namun, yang terpenting dari semua adalah mengokohkan wawasan Alkitabiah di antara umat Kristen sendiri. Sedih kita saksikan, istimewanya di kotakota, orang-orang Kristen yang meminati atau menggeluti ihwal keadilan sosial tanpa wawasan Alkitabiah. Karena jarang atau tak pernah diberitahu—secara menarik dan sesuai dengan konteks hidup mereka—mereka pun maju berjuang dengan bekal wawasan lain yang mungkin malah bertentangan dengan wawasan
BULETIN DISCIPLES Alkitabiah. Ini harus kita sudahi pula dalam masa hidup kita. Menunaikan Agung
Amanat
Paling
Apabila ketiga tantangan besar itu disambut umat Kristen Indonesia, niscaya masyarakat akan lebih mengecap “garam” dan “terang” kita. Sumbangan pikiran atau kiprah kita akan turut memelihara potensi bangsa yang tahu menghargai perbedaan ras dan gender, menjaganya dari rongrongan, dan membenahinya di arus perubahan zaman. Di sinilah keadilan sosial mewujud—walau tak pernah sempurna di dunia ini—dan kesejahteraan sosial mengikutinya. Di sinilah keberadaan kita jadi bermakna di tengah bangsa dan ide-ide luhur Kristen tidak tertahan dalam lingkungan sendiri. Tetapi sumbangan pikiran atau kiprah kita itu melampaui sekadar jajalan fungsi “garam” dan “terang.” Di atas segalanya, itu menunaikan amanat paling agung untuk mengasihi Allah dan sesama. Baik sesama, yang ber-
23
beda ras dan gender, maupun Allah, yang membedakan ras dan gender, sama-sama disukakan. Dan kesukaan keduanya memancar selagi perbedaan itu dirayakan di bumi Allah dengan menggenapi kerinduan wawasan Alkitabiah: “Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos. 5:24).
Catatan Akhir 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 932.
2
Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000, angka I.3. 3 Anthony Reid. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004, hal. 205. 4 George M. Fredrickson. Rasisme: Sejarah Singkat. Yogyakarta: BENTANG, 2005, hal. 10. 5 St. Mohammad Zain. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Grafica, tanpa tahun, hal. 571.
24
Perbedaan Untuk Dirayakan
6
Thomas van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000, hal. 156.
7
Ni Luh Arjani. “Kesetaraan dan
Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global” dalam INPUT: Jurnal Ekonomi dan Sosial vol. 1 no. 2 Agustus 2008, hal. 115. 8 Ni Luh Arjani, hal. 115.
BULETIN DISCIPLES
25
26
Menegoisasi Ketidakadilan
Oleh: Nindyo Sasongko, S.Th. Penulis adalah alumnus Seminari Alkitab Asia Tenggara dengan gelar S.Th. (2003) dan melayani sebagai pembina Komisi Remaja di Gereja Kristen Muria Indonesia Kudus (2005–sekarang). Sedang menjalani pelayanan satu tahun di Mari Birhan Meserete Kristos Church, Addis Ababa, Ethiopia dalam program Young Anabaptist-Mennonite Exchange Network (YAMEN!).
Pendahuluan Kata pameo, “pembeli itu raja.” Sebagai raja, pembeli berhak menawar harga serendah-rendahnya. Ia berhak melanjutkan transaksi ataupun membatalkannya. Ia dapat berpindah ke
penjual lainnya. Di sini, penjual lebih membutuhkan pembeli. Demikianlah logika pasar yang wajar. Tetapi bagaimana bila kondisinya berbalik—“penjual itu raja”? Dalam kasus ini, pembeli tidak tidak dapat menawar. Tidak ada pilihan lain kecuali membeli dari sang penjual. Penjual memonopoli perdagangan; tidak ada saingan yang seimbang. Dalam kasus ini, pembelilah yang bergantung kepada penjual. Inilah logika ekonomi imperialis. Kondisi kedua ini akan menciptakan ketidakadilan. Massa sebagai pembeli dengan persentase jauh lebih besar daripada penjual, menggantungkan penghidupan kepada segelintir kaum berada dengan kekuasaan besar, yang memiliki dukungan dari kekuasaan absolut. Kondisi timpang ini tergambar dengan jelas dalam Perjanjian Baru. Yesus hidup dalam konteks ketidakadilan. Gereja perdana berada di bawah tekanan kekaisaran Roma yang absolut. Gereja-gereja rumah yang tersebar di seantero imperium pun mengalami eksploitasi ekonomi, politik serta religius
BULETIN DISCIPLES dari Roma. Dalam keadaan ini, bagaimanakah reaksi gereja? Makalah ini mengajak pembaca untuk menyelami Injil Matius sebagai “senjata kaum lemah.” Penerbitan injil ini merupakan bentuk perlawanan dari kaum marjinal yang lemah dalam segala hal seperti ekonomi, politik, militer bahkan religius. Mengadopsi teori pakar politik James C. Scott tentang “salinan tersembunyi” (hidden transcript),1 maka Matius merupakan alat perlawanan kaum lemah (gereja) terhadap kaum berkuasa. Injil ini menjadi gagas-gugus untuk menawar ketidakadilan—apa yang mere-ka pikirkan tentang kaum elit minoritas serta kritik mereka terhadap kekuasaan, yang terlalu sensitif serta berisiko tinggi untuk diungkapkan secara terbuka. Maka, saya akan menjabarkan tulisan ini sebagai berikut. Pertama-tama akan diketengahkan bentuk-bentuk perlawanan kaum tertindas yang meliputi: penjelasan singkat teori James C. Scott tentang “salinan tersembunyi,” dan bagaimana Matius dipakai
27
sebagai senjata kaum lemah melawan kekuasaan. Kemudian akan dibahas gagasan pokok Matius mengenai “keadilan” melalui potret Yesus di dalamnya. Terakhir, saya akan kembali lagi ke gagasan komunitas alternatif versi Matius berdasarkan teori “salinan tersembunyi.” Senjata-senjata Kaum Lemah Salinan Publik vs. Salinan Tersembunyi Kaum kuat akan berusaha menjaga interaksi dengan kaum lemah. Sarana yang dipakai adalah komunikasi yang menguasai massa. Mereka akan mendominasi media, dan media ini dikontrol penuh oleh pihak penguasa. James Scott menyebut sarana ini “salinan publik” (public transcript). Salinan publik dicirikan mendukung penuh kekuasaan, dan karena itu akan tampil mengesankan, membenarkan dan menaturalisasi kuasa kaum elit, membungkus atau menghaluskan kekotoran rezim mereka.2 Salinan publik ini dengan sendirinya akan membenarkan segala ketimpangan
28
Menegoisasi Ketidakadilan
yang tercipta sebagai konsekuensi, namun di muka publik, kaum kuat akan menampilkan diri solider terhadap kaum lemah dan tampak mendukung kaum tersisih. Cara pandang dunia dan religi penguasa akan menjadi alat ampuh retorika kaum kuat. Contoh salinan publik ini adalah: inskripsi publik, koin-koin, dan dokumen-dokumen yang tersimpan. Di pihak lain, kaum lemah memiliki cara lain dalam berinteraksi dengan kaum kuat. Tinggal di bawah kuasa represif, dikontrol secara rutin oleh pihak berkuasa, kaum lemah belajar untuk memakai topeng kepatuhan, supaya tetap hidup. Mereka tidak dapat mengungkapkan apa yang mereka pikirkan atau bertindak sesuai apa yang mereka rasakan, di muka publik mereka lebih banyak menurut untuk melakonkan peran yang didiktekan oleh pihak penguasa. Namun ketika mereka “di balik pentas” (offstage), demikian istilah yang dipakai Scott, kaum lemah ini akan bertukar pikiran dan berbagi perasaan mereka satu sama lain.
Praktik-praktik dominasi dan eksploitasi biasanya melahirkan perendahan martabat dan pada gilirannya akan memicu munculnya “salinan tersembunyi” (hidden transcript).3 Salinan tersembunyi menjadi wacana yang marak di balik pentas, tanpa pengawasan pemegang kekuasaan. Kendati tidak dapat mengungkapkan di muka publik, kaum lemah mencitrakan kaum elit dengan gambaran-gambaran tertentu. Satu sama lain akan saling bertukar pikiran mengenai citra penguasa menurut pandang-an mereka. Tukar pikir ini kemudian menciptakan suatu wacana yang memusatkan perhatian terhadap martabat dan keadilan. Dengan perkataan lain, salinan tersembunyi ini menegasi (membalik) salinan publik.4 Jadi, salinan tersembunyi ini melawan ideologi5 utama yang membenarkan ketimpangan. Maka, dibutuhkanlah sebuah ideologi tandingan yang membalik ideologi utama, yang menyediakan sebuah formula normatif bagi kaum lemah.6
BULETIN DISCIPLES Salinan Tersembunyi sebagai Analisis Perjanjian Baru7 Pemikiran Scott membuka wacana baru mengenai makna “resistansi.” Dalam membahas latar belakang politik, banyak ahli yang masih memahaminya dalam kutub-kutub alternatif—rakyat menerima dan menurut pada tataan yang telah mapan, atau mereka bangkit memprotes serta menyulut pemberontakan. Resistansi berarti peperangan demi pembebasan. Scott menyadarkan kita bahwa kaum lemah mengembangkan berbagai bentuk resistansi yang perlu dicermati sebagai satu paket dan bagian utuh dari prosesproses politik yang rumit. Implikasinya bagi studi PB, sekalipun Yesus tidak memimpin angkatan perang untuk menyerbu Bait Suci dan benteng Romawi di Yerusalem, bukan berarti ia tidak menggerakkan perjuangan revolusioner demi sebuah perubahan. Sekalipun Paulus tidak mengatur strategi untuk menyerang para petinggi Romawi atau menjungkirbalikkan sistem perbudakan Romawi, bukan berarti ia adalah
29
seseorang yang berpandangan politik konservatif vis a vis tataan Romawi. Demikian pula kitab-kitab PB, terutama injilinjil. Sekalipun injil bukanlah manifesto revolusi atau kitab strategi perang ala Sun Tzu, bukan berarti injil tidak lantang dalam mengungkap ideologi tandingan sebagai formula normatif bagi kaum lemah. Dalam kaitan inilah, kita akan menelusuri Matius sebagai salinan tersembunyi. Matius sebagai Salinan Tersembunyi Kendati Matius tidak menyebut alamat tujuan injil ini ditulis, mengikuti pandangan Warren Carter, kita memiliki cukup alasan bahwa injil ini ditulis bagi komunitas-komunitas Kristen di Antiokhia.8 Antiokhia menduduki posisi prestisius di sekitar abad pertama sebagai kota terbesar setelah Roma dan Aleksandria di Mesir. Kota ini juga merupakan ibu kota provinsi Siria. Roma menetapkan seorang gubernur dan tiga atau empat legiun pasukan di kota ini. Kaum burjuis
30
Menegoisasi Ketidakadilan
yang makmur dan berkuasa di kota ini hidup dalam persekutuan dengan pihak Roma; hidup mereka ditopang oleh pajak dan upeti dari daerah-daerah di sekitarnya. Antiokhia bukan saja kota kaya, tetapi juga kota penting. Menjelang tahun 70 M, jenderal Vespasianus memimpin pasukannya melewati kota ini, menuju ke selatan untuk memadamkan pemberontakan di Yudea (Yosefus, War 3.8, 29). Koin Judea Capta bergambar kaum Yudea yang ditaklukkan beredar di Anthiokia setelah pembumi-hangusan Yerusalem (ingat, penguasa menggunakan “salinan publik” sebagai propaganda). Sekitar tahun 66-70, kaum Yahudi sendiri saling berselisih. Seorang Yahudi bernama Antiokhus menuduh kelompok Yahudi lain menyusun rencana membakar kota Antiokhia. Didukung oleh bala tentara Roma, ia juga memaksa beberapa orang Yahudi untuk bersamanya mempersembahkan kurban (bagi kota atau dewa Roma?). Ia menghapuskan peraturan Sabat, dan memeja-hijaukan orang-orang
Yahudi yang menolak patuh. Dalam kondisi anti-Yahudi seperti ini, para pengikut Yesus sebagai kaum tersisih9 yang kebanyakan adalah Yahudi (sejumlah nonYahudi juga bergabung di dalamnya) tetap menyatakan komitmen mereka kepada narapidana yang tersalib atas perintah prefek Roma. Yesus—karena penyaliban adalah bentuk eksekusi Romawi bagi para pemberontak, penjahat politik atau budak yang melarikan diri—dipandang sebagai seorang penjahat yang melawan kuasa imperium Roma. Pada konteks tersebut, tulisan Matius hadir sebagai “salinan tersembunyi.” Selain melukiskan garis besar formula normatif bagi kehidupan komunitas-komunitas Kristen di Antiokhia, injil ini juga mengetengahkan negasi ideologi Romawi yang digagas oleh kaum lemah. Di dalamnya tergambar cara pandang terhadap dunia yang berlawanan dengan tataan Romawi, tetapi juga menggagas bagaimana komunitas-komunitas tersebut dapat melindungi dirinya dari bahaya laten yang
BULETIN DISCIPLES dimunculkan melalui tindakantindakan represif penguasa. Dengan mencermati Matius sebagai salinan tersembunyi, injil ini merupakan cara kaum lemah untuk menawar ketidakadilan kaum kuat. Tulisan ini menjadi senjata di tangan kaum tertindas untuk melawan dominasi penguasa sementara tetap berada di bawah kuasa kaum kuat.10 Obrolan Kaum Lemah tentang Keadilan—Gaya Matius Konteks Dalam tempo cukup singkat setelah wafat dan kebangkitan Yesus, daya tarik sang pengkhotbah, pengajar, dan penyembuh (Mat. 4:23-24; 9:35) dari Nazaret ini kian meluas. Jika sebelumnya berita Yesus banyak menarik kaum miskin dan pinggiran, beberapa dekade sesudahnya, juga menarik kelas atas. Dari pedusunan dan kultur rural di tanah Palestina, sekarang merambahi kultur urban Yunani-Romawi; dari masyarakat berbahasa Aramaik menuju berbahasa Yunani, dari konteks yang cenderung homogen yang relatif
31
miskin, dari status bawah telah menyusup ke kelompok heterogen yang meliputi golongan berpendidikan dan cukup mapan secara finansial.11 Tinggal di kota metropolitan Antiokhia, dapat kita simpulkan, pembaca Injil Matius adalah kaum urban. Kendati urban, komunitas ini tetap marjinal di dalam masyarakat. Kejeniusan imperium Roma dalam mengontrol massa taklukkannya ialah melalui “penguasa-penguasa boneka” (client-rulers) yang terdiri dari para pemimipin rohani (imam besar dan keluargakeluarga imam sebagai kaum aristokrat). Sudah barang tentu, para pemimpin ini mendominasi massa lewat penafsiran yang mutlak atas Hukum Taurat. Dengan jatuhnya Yerusalem pada tahun 70-an, hukum kekudusan yang dianut kaum Farisi semakin dominan. Seseorang dikatakan kudus jika ia dinyatakan tanpa cacat (pure). Keadaan tanpa cacat sama artinya dengan tahir. Menjadi tahir berarti terbebas dari mereka “yang tidak tahir,” yang cacat, dan dengan demikian tidak kudus.12 Sarjana studi Yesus, Mar-
32
Menegoisasi Ketidakadilan
cus Borg, menulis, “Purity was political because it structured society into a purity system.... The ethos of purity produces a politics of purity—that is, a society structured around a purity system.”13 Potret Yesus Bagaimana Matius memotret Yesus di tengah konteks masyarakat yang seperti ini? Injil ini menampilkan Yesus sebagai seorang yang adil, yang menghidupi kerahiman dan bela rasa yang berasaskan keadilan. Ketika mendesak untuk dibaptis oleh Yohanes, Yesus berkata, “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (3:15). Pada masa lampau, terkungkung oleh dogmatika klasik, saya memahami “seluruh kehendak Allah” sebagai “segala tuntutan keadilan-kekudusan Allah”—Allah terimajinasi sebagai pribadi yang penuh amarah melihat manusia berdosa, dan menuntutkan keadilan-kekudusan-Nya atas orang berdosa. Seturut perkembangan ilmu tafsir yang berkembang, maka istilah
all righteousness (lih. NRSV) lebih tepat dipahami sebagai “seluruh keadilan.” Dengan begitu, pembaptisan Yesus mengukuhkan tugas Yesus sebagai Mesias untuk mewujudkan seluruh keadilan. Apa visi Yesus dalam mewujudkan seluruh keadilan? Michael Crosby menyimpulkan selisiknya, “Jesus . . . envisioned a new kind of household under the paternity (not the patriarchy) or reign of God hat would serve an alternative to the prevailing model.”14 Yesus bercita-cita untuk mewujudkan sebuah keluarga baru, sebuah masyarakat alternatif dalam kuasa pemerintahan Allah sebagai Bapa, sebuah tataan yang benar dalam kuasa kendali Allah. Bagaimana Yesus meretas misi untuk mewujudkan visi tersebut? Yesus menolak polapola relasi sosial a la imperialis (relasi patron-klien) yang dilegitimasi dengan sanksi religius oleh garda-garda Taurat, yaitu para pemimpin rohani. Yesus memberi tahu para muridnya jika keadilan mereka “tidak lebih benar daripada [keadilan] ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesung-
BULETIN DISCIPLES guhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Surga” (5:20). Dengan demikian, Yesus dalam Injil Matius digambarkan sebagai sosok yang merekonstruksi kode tradisional sebagai pendukung relasi sosial imperialistik, yang mengucilkan orang berdasarkan ketahiran dan ketidakcacatan, dengan pola relasi baru yang didasarkan atas keadilan, kemurahan dan bela rasa. Pilar-pilar Visi Keadilan Yesus
15
1. Melampaui Batas Teritorial Sejak dini, Matius telah membedah sekat-sekat pemisah. Perihal yang semula dipandang sebagai wilayah asing, bahkan musuh, dipeluk oleh Yesus. Kita dapat mengambil beberapa contoh. Cermati silsilah Yesus dalam 1:1-17. Meski masih ditulis dalam struktur patriakhal, Matius melakukan pemelintiran. Ia memasukkan empat nama perempuan yang aneh kisah hidup mereka (Rahab, Rut, istri Uria dan Maria). Demikian juga kisah kaum majusi (2:1-12). Kemudian, dalam pelayanan Yesus, kita temukan lingkaran yang lebih
33
luas, “Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan” (4:25). Ingat juga kisah perempuan Kanaan yang percaya (15:21-28). Yesus dalam Injil Matius mendefinisi ulang kode kekudusan yang dicirikan oleh pengucilan, dan menyingkirkan batas-batas teritorial. 2. Melampaui Batas Bait Suci Keikutsertaan dan tempat rakyat di Bait Suci bergantung pada strata sosial mereka. Pada waktu Matius ditulis, Bait Suci telah roboh dan digantikan sinagoga, dalam pada itu sistem klasifikasi baru dibutuhkan untuk menentukan siapa yang termasuk dalam “Keanggotaan Israel.” Yesus dalam Matius menghadapi para pemimpin agama, “Di sini ada yang melebihi Bait Allah” (12:6). Kemurahan hati ditempatkan di atas peraturan agama, Sabat dan ritual-ritual. Tergambar dengan jelas pula ketika Yesus memasuki Yerusalem, ia tengah memasuki pusat pemerintahan Roma yang ditahbiskan dengan legitimasi kursi
34
Menegoisasi Ketidakadilan
keagamaan sebagai pemimpin rohani, politik dan ekonomi. Yesus “mengusir” dan “membalikkan” praktik-praktik serta kuasa-kuasa yang merendahkan integritas Bait Suci, dengan tujuan mempersembahkannya ulang dengan kekudusan yang otentik. Teolog feminis Letty M. Russell menulis, “Like Jesus in the temple, those who are ‘house revolutionaries’ do not wish to destroy the house of authority. Quite contrary, they wish to build up again a new house in which the authority of God’s love and care for outsiders is clearly seen.”16 Ketika pemerintahan Allah yang dicirikan kemurahan itu hadir, keadilan akan memenuhi keluarga baru yang dicita-citakan Yesus—yang “di luar” dipeluk dan diterima sebagai anggota “di dalam”! 3. Menafsir Ulang Taurat Tujuan Taurat adalah terciptanya jalinan yang adil bagi semua manusia. Keruntuhan Bait Suci menyebabkan golongan Sanhedrin musnah, dan untuk menjaga identitas ini, maka sejumlah
Farisi menahbiskan persidangan di kota Jamnia dengan penekanan baru dan makin ketat atas hukum Taurat. Yesus datang bukan saja untuk mematuhi dan memenuhi Taurat (5:17-19), tetapi ia menggemakan berita para nabi—melalui keadilan yang berpelukan dengan kemurahan sebagai wujud bertakhtanya kekudusan pemerintahan Allah. Khotbah di Bukit (pasal 5-7) merupakan sentral visi berita pendefinisian ulang Taurat. Anggota keluarga baru ini harus berdamai dengan lawan-lawan. Mereka harus meneguhkan kesetiaan hidup dalam pernikahan. Mereka tidak mengambil sumpah. Mereka diundang untuk berpantang kekerasan. Mereka harus berdoa untuk musuh-musuh dan para penganiaya. Dengan jalan ini, mereka adalah anak-anak Bapa yang di surga. 4. Undangan Meja Egaliter Bagi kaum Yahudi anggota konsili Jamnia, perjamuan meja merupakan bentuk mini dari komunitas ideal yang dicita-citakan, yang mencerminkan tataan sosial atau struktur keadilan bagi bangsa Israel. Sedangkan di injil Matius,
BULETIN DISCIPLES Yesus—walau menerima ide dasar dari visi perjamuan meja di atas—melangkah lebih jauh. Perjamuan meja bagi Yesus berpusat pada martabat kemanusiaan dan tata hidup yang dilambari kemurahan. Sebab itu, Yesus bersedia duduk semeja dengan “pemungut cukai dan orang berdosa” (9:10). Jesus melawan tataan dosial. Ia membalikkan jamuan yang mengindikasikan prestise sosial dan membuka meja bagi semua. Berbagi santapan di satu meja menyimbolkan kesetaraan dengan mereka; maka dengan mengundang kaum marjinal ke meja perjamuan, telah membuat mereka setara.17 Jika kaum Farisi dan ahli Taurat sebagai “orang dalam” membatasi siapa yang boleh datang ke meja, Yesus menantang mereka bahwa mereka pun pada akhirnya akan dicampakkan dalam perjamuan Kerajaan Allah (8:11-12). 5. Menjamah Kaum Terbuang18 Tubuh yang sehat atau sakit dapat membuat seseorang diterima atau ditolak dalam interaksi sosial yang lebih besar pada zaman Yesus. Seorang imam
35
berkuasa untuk mendefinisikan seseorang sehat atau sakit— dan karena itu, tahir atau tidak tahir. Penyembuhan Yesus yang pertama dalam Matius adalah kepada seorang kusta (8:1-4). Kusta merupakan penyakit yang paling ditakuti pada masa itu. Dengan menempatkan penyembuhan seorang kusta sebagai mukjizat pertama Yesus, Matius bermaksud memotret Yesus, sebagai pribadi yang dengan jamahan tangannya yang penuh kasih, meruntuhkan batas-batas kasta masyarakat dan menjadikan kaum yang paling terasing di mata massa menjadi pulih dan dapat diterima kembali. Di mata Matius, di dalam tindakan penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan Yesus termaktub kekudusan serta pemerintahan Allah, dan dengan jalan ini era mesianik yang ditandai oleh kemurahan telah hadir. Kembali ke Salinan Tersembunyi Jika kita cermati, gaya tulis Matius tentang kiprah Yesus tak jarang mengadopsi gaya bahasa imperial. Sebagai contoh, lihatlah poin
36
Menegoisasi Ketidakadilan
(1) tentang batas teritorial. Roma menyombongkan diri sebagai kuasa global yang menguasai dunia pada era itu, kekuasaan global. Yesus memberitakan Kerajaan Allah yang juga tidak mengenal batas teritorial, pemerintahan Allah yang mendunia juga. Kemudian bahasa keadilan. Bagi kekaisaran Romawi, keadilan dan perdamaian hanya didapatkan melalui kekuasaan Roma, yang dijalankan dengan: agama (pagan Roma), peperangan, kemenangan dan damai sejahtera.19 Tindakan kemurahan Romawi lewat pendistribusian sejumlah harta kepada golongan rendahan, dilambari oleh “cinta akan kehormatan” (philotimia) dan “cinta akan pangkat” (philodoxia). Kemurahan seperti ini hanya membuat golongan lemah bergantung kepada si kuat.20 Apa maksud Matius? Pertama, Matius mengalamatkan tulisannya kepada kaum lemah dan bukan kepada pihak kuat yang menindas. Penulisan injil ini merupakan cara untuk bertukar pikiran “di balik pentas” (offstage) di kalangan kaum lemah untuk mengangkat derajat
dan perasaan independen di tengah-tengah tekanan kekuasaan. Sebagai pihak marjinal, mereka tidak mempunyai senjata dan pasukan yang kuat untuk memberontak. Namun martabat kemanusiaan mereka dapatkan kembali lewat berita Allah yang memerintah dan Yesus yang menjadi wujud konkret keadilan pemerintahan Allah. Kedua, tulisan Matius merupakan ideologi tandingan. Mewaspadai bahwa gaya hidup imperial merupakan sistem kehidupan bunuh diri, maka injil ini menawarkan alternatif ideologi yang berbeda. Ada cara pandang yang lain mengenai kehidupan. Meskipun berada di bawah tataan imperial, namun demikian pemerintahan Allah sedang bekerja, memanggil para pengikut Yesus untuk memiliki cara pandang dunia alternatif, serta meretas langkah-langkah baru demi terciptanya relasi sosialekonomi yang mengejawantahkan politik pemerintahan Allah. Ketiga, tulisan Matius merupakan agenda bagi terciptanya komunitas alternatif. Kendati masih berada
BULETIN DISCIPLES di bawah tekanan Roma, kaum lemah yang menjadi pengikutpengikut Kristus dilarang untuk mengangkat senjata dan melakukan kekerasan. Mereka harus “tunduk” dan mengakomodir bahasa imperial, sementara itu mereka diajak untuk mengupayakan terwujudnya praktik-praktik sosial alternatif hingga imperium Allah menunggangbalikkan imperium Roma—sebuah komunitas yang dijiwai oleh kasih, keadilan, kemurahan dan kekudusan. Kesimpulan Akhir-akhir ini, makin disadari bahwa Yesus dari Nazaret bukan saja Mesias dan Juruselamat dunia, bukan sekadar guru hikmat serta pengajar pengetahuan agama yang andal, tetapi juga sosok yang berperan aktif dalam politik dan sosial di eranya. Dalam makalah ini, saya mengajak pembaca untuk memandang potret Yesus dari Injil Matius, dan lebih jauh daripada itu, mencermati tulisan Matius ini sebagai alat perjuangan kaum lemah dalam melawan kekuasaan. Berdasarkan teori “salinan tersem-
37
bunyi” dari pakar ilmu politik James C. Scott, maka disimpulkan bahwa injil ini merupakan cara penulis bertukar pikir di balik pentas dengan sesama kaum tertindas, suatu obrolan kaum marjinal mengenai apa yang mereka pikirkan tentang para penguasa, untuk memaknai kembali kekuasaan dan menegasi ideologi imperium Roma yang dipropagandakan lewat “salinan publik” dalam kontrol dan sensor penguasa. Matius mengetengahkan sebuah alternatif pandangan, suatu tata pemerintahan yang adil yang dipimpin oleh Allah dan mewujud konkret dalam pribadi dan karya Yesus dari Nazaret. Injil Matius merupakan senjata kaum lemah dalam menawar ketidakadilan kaum kuat. Implikasinya, sungguh ampuhlah daya literatur dalam mempengaruhi massa. Literatur dapat menjungkirbalikkan realitas, dan menawarkan realitas yang baru. Benarlah kata ahli PL Walter Brueggemann, poets are subversive. Nabi-nabi di PL merupakan sastrawan/sastrawati yang menggunakan media literatur (oral maupun literal) untuk melawan
38
Menegoisasi Ketidakadilan
kekuasaan di zaman mereka.
Transcripts (New Haven: Yale University Press, 1990); perlu
Sebagai para pengikut Yesus, kiranya kita tidak makin gagap dengan media komunikasi massa modern. Nyanyian globalisasi dan pasar bebas yang dilantunkan dengan nada dasar neoliberal kapitalis sudah pasti mendominasi media massa sebagai alat propaganda. Biarlah itu menjadi “salinan publik” mereka. Kita harus mempunyai senjata untuk melawan dominasi ini. Kita perlu memikirkan dengan serius “salinan tersembunyi” milik kita. Yang terlebih penting, “salinan tersembunyi” itu harus dapat mengumandangkan berita yang lain: kemurahan dan kerahiman Allah, demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan bagi setiap umat manusia, menerima dan memeluk kaum terbuang, dan menyongsong merekahnya fajar pemerintahan Allah—di sini, di atas muka bumi! Terpujilah Allah!
pula disimak karya Scott lainnya, Weapon of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985). Scott bukan pakar Alkitab. Namun, riset yang dikerjakannya dengan intensif di kalangan buruh tani Malaysia pada tahun 1950 s.d. 1960-an membuahkan pemikiran yang penting untuk menjadi rekan dialog bagi kesarjanaan Alkitab, khususnya penyelidikan Yesus Sejarah, sebab Yesus juga hidup dalam masyarakat agraris, dan kaum tani gurem merupakan latar kehidupannya.
Catatan Akhir James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden 1
“It is designed to be impressive, to affirm and naturalize the power of dominant elites, and to cancel or euphemize the dirty linen of their rule” (Scott, Domination 18). 3 “The practices of domination and exploitation typically generate the insults and slights to human dignity that in turn forster a hidden transcript of indignation” (ibid. 9). 4 “[S]ubject to the same terms of subordination, have a shared 2
BULETIN DISCIPLES interest in jointly creating a discourse of dignity, of negation, and of justice” (ibid. 114). Sesuai KBBI, “ideologi” di sini masuk dalam ranah ideologi politik dengan definisi “sistem kepercayaan yg menerangkan dan membenarkan suatu tataan politik yg ada atau yg dicitacitakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan, instruksi, serta program untuk mencapainya.” 6 “[R]esistance to ideological domination requires a counter ideology—a negation—that will effectively provide a general normative form to the host of resistant practices invented in self-defense by any subordinate group” (ibid. 118). 5
Sejumlah sarjana PB menerapkan teori Scott dalam Hidden Transcipt and the Arts of Resistance: Applying the Work of James C. Scott to Jesus and Paul, ed. Richard A. Horsley (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2004). 8 Warren Carter, “Matthew Negotiates the Roman Empire,” dalam In the Shadow of Empire: Reclaiming the Bible as a His7
39
tory of Faithful Resistance, ed. Richard A. Horsley (Louisville: Westminster John Knox, 2008) 117. 9 Michael H. Crosby menulis, “An analysis of the text and its language suggest that Matthew’s audience of house hurches was a socially marginalized community of Greek-speaking people living in the late first century” (“Matthew’s Gospel: The Disciple’s Call to Justice,” dalam The New Testament—Introducing the Way of Discipleship, ed. W. HowardBrook dan S. H. Ringe [Maryknoll: Orbis, 2006] 16). 10 Uraian Carter yang lebih lengkap dapat disimak di Warren Carter, Matthew and Empire: Initial Explorations (Harrisburg: Trinity Press International, 2001). Crosby, “Matthew’s Gospel” 18. Ibid. 22. 13 Marcus J. Borg, Meeting Jesus Again for the First Time: The Historical Jesus and the Heart of Contemporary Faith (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1994) 50; idem, Jesus A New Vision: Spirit, Culture, and the Life of Discipleship (San Francisco: HarperCollins, 1991) 86-87. 11 12
40
Menegoisasi Ketidakadilan
“Matthew’s Gospel” 19. Uraian lebih lengkap dari tesis Crosby lihat M. H. Crosby, House of Disciples: Church, Economics and Justice in Matthew (Maryknoll: Orbis, 1988).
14
Saya berutang ide kepada Crosby yang melukis dalam lima poin “T”: the Territory, the Temple, the Torah, the Table, and the Touch (“Matthew’s Gospel” 26-35). 16 Letty M. Russell, Household of Freedom: Authority in Feminist Theology (Philadelphia: Westminster, 1987) 63, dikutip oleh Crosby, “Matthew’s Gospel” 30. 17 Menurut Borg, “Given that sharing a meal in first century Palestine signified his accep15
tance of [‘sinners’—that is, outcasts], Jesus’ behavior signified his acceptance of them. It must have been an extraordinary experience for an outcast to be invited to share a meal with a man who was rumoured to be a prophet” (Borg, Jesus 101). 18 Borg menulis, “The outcasts were virtually untouchables, very different from the lowest caste of Hindu system, though the status of outcasts was not hereditary in Judaism” (Jesus 92). 19 Lihat J. D. Crossan, “Roman Imperial Theology,” dalam In the Shadow of Empire 59-73. 20 Carter, “Matthew Negotiates the Roman Empire” 134.
BULETIN DISCIPLES
41
42
Komunitas Alternatif Ala Yesus
Oleh: Himawan Teguh Penulis adalah mahasiswa yang sedang menempuh studi S.Th di Sekolah Alkitab Asia Tenggara.
Pendahuluan Sejarah manusia adalah sejarah ketidakadilan sosial. Barangkali kalimat ini tidak berlebihan. Kitab Pengkotbah mencatat: “Lagi aku melihat segala pe-nindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” (Pkh. 4:1). Ketidakadilan sosial selalu hadir, merongrong, dan menghantui kehidupan umat manusia dalam berbagai konteks sosial-budaya,
melampaui rentang waktu dan jaman. Sejak manusia mencoba membangun sebuah peradaban, beralih dari era kehidupan yang nomaden ke kehidupan yang bertempat tinggal tetap, maka ketidakadilan sosial mulai merebak. Sebuah masyarakat selalu memiliki sistem tersendiri dalam menjalankan kehidupan sosioekonomi-kulturalnya. Jika sistem kehidupan tersebut tidak diperhatikan dengan seksama maka akan dapat dengan serta-merta menghadirkan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial mulai menyeruak ketika terdapat fakta-fakta konkrit adanya sebagian anggota masyarakat yang ditindas–sadar atau taksadar- oleh anggota masyarakat yang lain. Ketidakadilan sosial mulai nampak ketika hanya segelintir orang yang bisa menikmati produk-produk ekonomi. Dalam istilah Marx, ketidakadilan sosial itu nampak dengan adanya konflik yang tak pernah usai antara dua kelas: kelas pekerja dan kelas penguasa. Pada galibnya, ketidakadilan sosial adalah realita. Realita tersebut haruslah ditemukan akar per-
BULETIN DISCIPLES masalahannya. Problem ketidakadilan sosial pun adalah sebuah pertanyaan, pertanyaan yang perlu direnungkan oleh umat manusia bersama-sama untuk menemukan jawabannya. Semua ini jelas karena ketidakadilan sosial adalah bentuk de-humanisasi manusia. Sebuah pengkhianatan terhadap natur manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial yang sesungguhnya hidup bersama-sama dalam komunitas, komunitas global umat manusia. Bagaimanapun, apapun bentukbentuknya, ketidakadilan sosial harus dilawan! Lalu bagaimana melawannya? Bagaimana menjawab problematika ketidakadilan sosial? Bagaimana menemukan akar permasalahan akut mengenai ketidakadilan sosial? Di tempat ini penulis tidak akan mengeksplorasi semua pertanyaan tersebut, tapi sebagai mahasiswa yang prihatin dengan efek-efek langsung ketidakadilan sosial terhadap masyarakat kelas bawah–bahkan sebagai seorang yang merasa sebagai korban dari ketidakadilan sosial, penu-
43
lis tergerak untuk menawarkan– setidak-tidaknya satu jawaban bagi permasalahan mengenai ketidakadilan so-sial ini. Mengambil istilah-istilah popular yang dipakai oleh beberapa teolog ahli, solusi ini seringkali disebut sebagai “communities of resistence”1 atau pun “covenantal community”2, komunitas alternatif, yang etika kehidupannya bersandarkan kepada ajaran-ajaran dan praktik etis dari Tuhan dan Juruselamat kita, yakni Yesus dari Nazaret. Diskusi mengenai hal yang demikian sebenarnya merupakan tema yang umum dalam studi keilmuan teologi Biblika Perjanjian Baru. Pada faktanya, diskusi mengenai pesan-pesan Injil Yesus bagi terciptanya sebuah tataan masyarakat sosial yang bersenMisalnya: John Dominic Crossan, The Birth of Christianity: Discovering What Happened in the Years Immeadiately after the Execution of Jesus. (New York: HarperCollins, 1998). 2 Richard Horsley, Jesus and Empire: The Kingdom of God and the New World Disorder (Minneapolis: Fortress, 2003). 1
44
Komunitas Alternatif Ala Yesus
dikan keadilan dan kebenaran sedang marak dan menggeliat dengan amat giat.3 Meskipun akan sangat terburu-buru sekali jika mengatakan bahwa pesan utama Yesus dari Nazaret ketika datang ke dunia ini adalah melakukan revolusi sosial masyarakat, namun harus kita akui bahwa Injil Yesus Kristus juga bersangkut paut mengenai perbaikan keadaan sosial masyarakat di dunia yang saat ini. Jelaslah kalimat dari Horsley: “The kingdom of God in Jesus preaching and practice… was concerned Untuk ini pembaca dapat menelusuri buku-buku Crosan dan Horsley di atas. Buku-buku yang lain misalnya karya Horsley yang lain dalam Jesus and Spiral Violence: Popular Jewish Reistance in Roman Palestine (Minneapolis: Fortress, 1987). Maupun dari Marcus Borg, Jesus: Uncovering the Life, Teachings, and Relevance of a Religious Revolutionary (New York: HarperCollins, 1989). Penulis tidak terlalu setuju dengan kesimpulankesimpulan para sarjana tersebut, namun harus diakui bahwa karya-karya di atas sangat baik untuk mengerti latar-belakang Palestina abad pertama.
3
with person, individually and socially”.4 Pemulihan relasi manusia secara individu dengan Allah melalui karya salib Kristus seharusnya menghantarkan pula kehidupan sosial umat manusia yang lebih baik di dunia ini. Dalam tulisan yang lebih bersifat esai daripada tulisan ilmiah ini, penulis mencoba untuk fokus memerhatikan bagaimana Yesus membangun sebuah komunitas alternatif yang meresistensi bentuk-bentuk ketidakadilan sosial pada jaman-Nya. Pertama, penulis secara singkat akan menelusuri bentuk-bentuk ketidakadilan sosial yang Yesus alami pada masa ketika Ia hadir di dunia, yakni konteks Palestina abad pertama. Kedua, memperhatikan teks-teks khusus dalam Injil-injil sinoptik yang menunjukkan karakteristik komunitas alternatif yang Yesus tawarkan. Terakhir, memaknai jawaban Yesus tersebut dalam konteks ketidakadilan sosial yang dialami masyarakat masa kini, khususnya dalam konteks ber-Indonesia.
4
Horsley, Jesus and Spiral 324.
BULETIN DISCIPLES Ketidakadilan Sosial dalam Konteks Palestina Abad Pertama5 Setiap masyarakat secara unik menampilkan bentuk-bentuk ketidakadilan sosialnya masing-masing. Namun sejatinya ada kesatuan ide yang terdapat di dalam variasi bentuk-bentuk ketidakadilan sosial tersebut yakni adanya sistem dominasi. Bagian ini akan coba menjelajahi sistem dominasi dunia Palestina abad pertama, kemudian memaparkan bentuk-bentuk konkrit ketidakadilan sosial dalam masyarakat agrikultural Palestina abad pertama. Bentuk-bentuk konkrit itu mewujud dalam pungutan pajak yang berlebihan oleh pemerintahan Roma pada waktu itu.
Bagian ini adalah saringan dari beberapa literatur yang penulis temukan. Literatur-literatur tersebut antara lain: Ferguson, Everett. Background of Early Christianity (GrandRapids: Eerdmans, 1990). Kemudian, bahan yang amat baik adalah: Dictionary of New Testament Background. (Craig Evans and Stanley Porter (ed); Downers Grove: IVP, 2000). 5
45
Sistem Dominasi Marcus Borg mengatakan bahwa “The Roman World in which Jesus lived was an imperial form of a preindustrial agricultural domination system.”6 Bentuk masyarakat ini adalah bentuk yang paling umum sebuah masyarakat yang memiliki kultur bercocok-tanam. Masyarakat agrikulutral dimulai ketika cara hidup manusia mengalami perpindahan dari cara hidup nomaden dan kecil secara jumlah, menjadi cara hidup yang menetap dan dialami bersamasama dalam komunitas yang lebih luas. Perpindahan cara hidup inilah yang menyebabkan mulai munculnya tempat-tempat pemukiman, menjadi sebuah desa, dan kemudian berkembang menjadi lebih luas, menjadi kota dan pada akhirnya menimbulkan adanya sebuah negara. Terbangunnya sebuah pemukiman penduduk menghadirkan konflik antara mereka yang mampu dan tidak mampu. Di dalam konflik tersebut mulai hadirlah sebuah sistem yang mengatur kehidupan masyarakat. Sistem 6
Borg, Jesus: Uncovering 79
46
Komunitas Alternatif Ala Yesus
ini diawasi dan dijalankan oleh pemerintah, yang sebenarnya merupakan ‘representasi’ dari kelas yang mampu, kelas yang berkuasa. Perlahan-lahan sistem pengaturan atau pemerintahan ini berubah, menjadi sebuah sistem kultur dominasi. Dominasi ini hadir ketika penguasaan alat produksi hanya dimiliki sebagian dari anggota masyarakat. Maka terjadilah ketidakadilan sosial. Bagaimana sistem dominasi ini mengejawantah dalam dunia Palestina abad pertama? Sistem dominasi bila ditelisik, memiliki empat karakter yang jelas, yakni: menindas secara politik, ekspoitatif secara ekonomis, dilegetimasi oleh oknum religius, dan ditandai dengan konflik militer.7 Tidak cukup ruang untuk memaparkan secara rinci karakter-karakter dari sistem dominasi ini. Tapi cukuplah disini kita mengerti karakter yang penulis rasa paling menemukan kesejajarannya dalam konteks masa kini: eksploitatif secara ekonomi. Eksploitasi secara ekonomi dimulai terlebih dulu dengan adanya 7
Ibid. 81-82
stratifikasi kelas masyarakat, yakni masyarakat dua kelas. Masyarakat Dua Kelas8 Ilmu sosiologi menjelaskan bahwa ada stratifikasi sosial di dalam sebuah masyarakat. Stratifikasi sosial itu bisa saja berdasarkan ekonomi, status pendidikan, bahkan stratifikasi berdasarkan keturunan. Di dalam konteks sosio-budaya Roma-Yunani, stratifikasi sosial dilakukan dengan dasar kemampuan secara ekonomi. Hal inilah yang mendasari karakteristik sistem dominasi yang eksploitatif secara ekonomi. Sistem stratifikasi sosial masyarakat Palestina abad pertama mempunyai dua klasifikasi utama keanggotaan masyarakat: masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Terdengarkah sangat jelas gaung pernyataan Karl Marx yang telah penulis di atas? Demikianlah adanya! Kelas atas, di dalam masyarakat Roma pada waktu itu menempati Untuk sumber singkat mengenai hal ini: Dictonary of New Testament Background 1001-1003.
8
BULETIN DISCIPLES posisi 1% dari jumlah keseluruhan masyarakat. Sedangkan, masyarakat kelas bawah, adalah mereka yang mempunyai kekayaan yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada mempunyai. Masyarakat kelas bawah ini terhitung 99% dari populasi. Dua kelas ini masih terbagi-bagi lagi di dalam sub-subkelas. Dalam tingkatan masyarakat kelas atas sendiri terdapat tiga jenis kelas aristokratik. Pada intinya, kelas atas adalah mereka yang minimal mempunyai uang sejumlah 25.000 dinar, serta memiliki kekuatan yang cukup secara militer. Bagaimana masyarakat kelas bawah dalam konteks budaya Roma-Palestina abad pertama? Masyarakat kelas bawah ini adalah mereka yang mempunyai bisnis, namun dengan frekuensi sangat kecil, baik itu dari pertanian mau pun melalui pekerjaan-pekerjaan tangan yang merupakan bentuk usaha ekonomi kecil yang populer waktu itu. Masyarakat kelas bawah ini juga terdiri dari para budak atau juga orangorang yang sudah dibebaskan dari perbudakan oleh tuannya
47
sendiri. Singkat kata, masyarakat kelas bawah adalah merekamereka yang bergantung secara ekonomis kepada masyarakat kelas atas untuk dapat menghidupi kebutuhan mereka. Adanya stratifikasi sosial kelas bawah-atas inilah yang menunjukkan bahwa sistem dominasi itu hadir dan bersifat eksploitatif secara ekonomi. Sifat eksploitatif secara ekonomi itu lebih nampak jelas, ketika kita memperhatikan sistem perpajakan yang diterapkan di dalam pemerintahan Roma. Bahkan, masyarakat kelas bawah makin tertindas dengan adanya double-taxation yang dikerjakan. Pajak yang berlebihan9 Dalam dunia Palestina abad pertama, terdapat tiga jenis pajak yang dibebankan. Pertama, yakni pajak tanah, dimana setiap pemilik atau pekerjan tanah diharuskan menyetor sepersepuluh persen dari produksi tanah tersebut kepada pemerintah Roma. Lihat : Dictionary of New Testament Background 1163-1167. 9
48
Komunitas Alternatif Ala Yesus
Kemudian, pajak perkepala, yakni setiap rakyat yang terhitung di dalam sensus penduduk diwajibkan membayar sebesar 1 dinar kepada pemerintah. Selain itu, masih ada pajak yang dibebankan kepada rakyat ketika keluar-masuk kota, jumlahnya bervariasi. Di samping pajak yang dibebankan kepada masyarakat umum yang harus diserahkan kepada pemerintah Roma, bagi orang Yahudi sendiri terdapat beban yang lain, yakni pajak bait suci. Objek pajak bait suci ini adalah orang lelaki Yahudi yang berumur duapuluh tahun ke atas. Jumlah pajak ini adalah setengah shekel perak. Pajak ini dipakai untuk perawatan Bait suci. Namun pada perkembangannya banyak korupsi terjadi disana-sini dan pajak bait suci ini pun dipakai sebagai keuntungan bagi pemegang otoritas religius waktu itu. Dengan tuntutan pajak yang berlipat-lipat, dapat kita lihat betapa menderitanya hidup sebagai masyarakat kelas bawah di dalam konteks Palestina abad pertama. Seorang pekerja di dalam kalkulasinya ternyata ha-
rus menyumbangkan 35% dari hasil pekerjaannya. Beban masyarakat kelas bawah semakin bertambah ketika mereka juga diwarnai ketergantungan terhadap utang-piutang yang juga marak dilakukan oleh rentenir pada waktu itu. Masyarakat kelas bawah pun terkungkung dalam kesusahan hidup mereka sendiri, sedangkan kalangan kelas atas, kalangan aristokrat menikmati hasil penghisapan mereka sendiri. Slogan terkenal itu pun bergema: yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya. Dapat kita lihat bagaimana sistem dominasi yang dihasilkan dari masyarakat dua kelas, menghadirkan bentuk ketidakadilan sosial yang mewujud dalam sistem perpajakan yang eksploitatif dan sewenang-wenang. Yesus dari Nazaret memberikan perlawanan terhadap bentuk ketidakadilan sosial ini melalui komunitas alternatinif yang Ia bentuk yaitu Komunitas kerajaan Allah. Komunitas Alternatif ala Yesus Di tengah dunia yang tidak ber-
BULETIN DISCIPLES pihak kepada rakyat jelata, di mana sistem dominasi begitu sewenang-wenang, Yesus menghadirkan Injil-Nya. Tentu harus kita sadari, kehadiran Yesus di dunia ini terutama adalah untuk mengadakan pendamaian dengan manusia yang berdosa. Implikasi secara langsung bagi umat yang sudah diselamatkan, yang sudah diperbaharui hubungannya dengan Allah, salah satunya adalah tindakan pembaharuan di dalam kehidupan secara sosial. Komunitas alternatif ala Yesus ini setidak-tidaknya memiliki tiga esensi mendasar: Komunitas pengampunan, komunitas egalitarian, dan komunitas saling berbagi-saling memiliki. Komunitas pengampunan Yesus hadir pertama-tama untuk mentraformasi kehidupan secara personal. Transformasi ini akan menghasilkan efek luar biasa secara sosial pula. Transformasi ini dimulai secara personal antara Allah dan manusia. Karakteristik komunitas alternatif Yesus adalah komunitas yang dimulai dengan adanya pengampunan.
49
Yesus sendiri berkata: “Hai anakKu dosamu sudah diampuni!” (Mrk. 2:5, Mat. 9:2, Luk. 5:20). Jelas, titik pangkal komunitas alternatif Yesus adalah berkaitan dengan pengampunan. Dalam doa bapa kami pun kita dapati: “Ampunilah kesalahan kami” jelas hal iniberkaitan erat dengan pengampunan. Penulis Perjanjian Baru pun merekatkan pemahaman kepada gereja, bahwa Yesus mati dan bangkit untuk pendamaian dosa, pengampunan segala sesuatu (cth: 1Yoh 2:2, Kol 1:19-20). Teologi konservatif memahami bahwa asal muasal segala problematika kehidupan manusia adalah kondisi manusia pascakejatuhan. Sejak berdosanya Adam dan Hawa di taman Eden, natur manusia menjadi rusak. Manusia menjadi sosok-sosok yang menghisap sesamanya. Inilah yang terjadi dalam sejarah umat manusia selama berabadabad. Di tengah kondisi yang demikian Allah menyatakan diriNya melalui Yesus, “gambar Allah” (Kol. 1:15). Melalui Yesus, hubungan Allah-manusia yang ru-
50
Komunitas Alternatif Ala Yesus
sak itu direkonsiliasi. Inilah pengampunan. Pengampunan Allah kepada manusia melalui iman di dalam Kristus adalah dasar terbentuknya komunitas alternatif. Komunitas alternatif ini adalah mereka yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
membangun komunitas alternatif-Nya menjadi sebuah komunitas yang egaliter. Komunitas yang sederajat, komunitas tak menekankan perbedaan dalam menjalin relasi sosialnya.
Jawaban Yesus terhadap ketidakadilan sosial yang melanda jaman-Nya, pertama-tama adalah membentuk komunitas pengampunan. Semua orang yang berdosa diampuni. Tidak terbatas hanya kepada orang Yahudi, namun juga orang Roma sebagai pelaku utama ketidakadilan sosial pada jaman-Nya. Ketika dunia Palestina abad pertama dihantui oleh ketidakadilan sosial, dan jawaban orang Yahudi kebanyakan adalah memakai jalur kekerasan. Yesus menawarkan jalur yang lain: pengampunan. Pengampunan adalah penerimaan terhadap orang yang telah bersalah. Yesus mengampuni terlebih dahulu tindakan-tindakan kekerasan yang dberlakukan manusia pada jaman-Nya. Dengan tindakan demikian Yesus mulai
Setelah mendasari komunitas-Nya berdasarkan pengampunan dan penerimaan. Yesus terus membangun komunitas-Nya. Telah kita lihat bahwa dalam konteks dunia Palestina abad pertama, stratifikasi sosial begitu nampak melalui jalinan oposisi dua kelas. Pembedaan-pembedaan yang ada tidak berhenti dalam masalah ekonomi saja, namun juga merambah pada permasalahan etnis. Bagi dunia waktu itu, nampaknya orang Yunani lebih dihargai daripada orang non-Yunani. Tapi apa yang Yesus lakukan? Bayangkan, Yesus menerima pemungut cukai yang dibenci bangsa Yahudi. Bahkan salah satu murid-Nya berasal dari kalangan ini. Yesus menerima perempuan Samaria, yang dimusuhi oleh orang Yahudi. Yesus menerima orang
Komunitas Egaliter
BULETIN DISCIPLES sakit kusta, yang dicap negatif oleh konteks dunia-Nya. Dua belas murid Yesus pun berasal dari latarbelakang yang berbeda-beda, dan Yesus menerima mereka semua. Tak berhenti disitu, Yesus pun menerima orang-orang kaya yang mau bertobat dan mengikut Dia, contoh salah satunya adalah Yusuf dari Arimatea. Yesus juga menerima pejabat pemerintahan Roma, yang jelas-jelas adalah musuh utama orang Yahudi. Yesus pun sebenarnya menerima otoritas religius Yahudi, asalkan mereka tidak menolak Dia. Dengan gamblang, Injil sinoptik melaporkan bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Komunitas yang dibangun Yesus adalah komunitas yang egaliter. Inilah visi yang ditangkap Rasul Paulus sehingga ia dapat menuliskan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28). Tidak ada pembedaan strata bagi mereka
51
yang ada di dalam Yesus, semua sama dan sederajat, komunitas yang juga non-patriarkal dan susunan hirarki. Inilah mengapa Yesus sangat subversif! Yesus menawarkan jalan kehidupan yang lain daripada yang lain. Kehidupan yang berasaskan sama rata, egaliter! Jalan kehidupan yang amat kontras dengan cara pandang Romawi yang menempatkan orang melalui strata sosial ekonominya. Komunitas saling berbagi-saling memiliki Pembentukan komunitas alternatif Yesus terus mengalami perkembangan. Setelah membentuk komunitas yang egaliter, Yesus membangun komunitasNya sebagai komunitas yang saling berbagi dan saling memiliki. Ini semua karena efek langsung dari ‘pengampunan’ yang Yesus berikan. Perhatikan narasi pertobatan Zakheus dalam Lukas 19:110. Sontak setelah mendapatkan penerimaan dari Yesus, Zakheus pun dengan berani memberikan apa yang ia miliki bagi orangorang yang tertindas. Perhatikan
52
Komunitas Alternatif Ala Yesus
pula, apa yang Yesus katakan kepada anak muda yang kaya: “Bagikanlah hartamu kepada orang-orang miskin.” Bagi Yesus, mereka yang masuk ke dalam komunitas alternatif-Nya tidak lagi hidup bagi diri sendiri, tapi hidup bagi sebuah komunitas, hidup bersama, hidup yang saling berbagi dan saling memiliki. Hidup yang segala sesuatunya bukan lagi untuk diri sendiri, namun bagi Allah, dan bagi komunitas yang sama-sama telah merasakan pengampunan dari Allah. Inilah visi yang ditangkap oleh Rasul Paulus dan gereja purba. Perhatikan catatan sejarah cara hidup gereja perdana. Kisah Para Rasul 4 melaporkan: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” Gereja perdana jelas secara gamblang mewujudnyatakan komunitas alternatif Yesus dalam kehidupan berjemaat. Lalu bagaimana dengan
Rasul Paulus? Dalam Kisah Para Rasul dan Surat Roma kita melihat bagaimana Rasul Paulus berusaha untuk mengumpulkan sumbangan-sumbangan uang dari jemaat hasil pekerjaan misinya, yakni jemaat-jemaat non-Yahudi. Ini adalah bentuk gamblang dari komunitas alternatif yang saling berbagi-saling memiliki. Jemaat-jemaat non-Yahudi yang notabene jemaat yang kaya diajak untuk turut berbagi bersama jemaat Yerusalem yang ditengarai jemaat Yahudi yang berada di strata kelas bawah. Inilah komunitas alternatif hasil bentukan Yesus. Di tengah dunia Greco-Roman yang kulturnya individualis, mengambil untung bagi dirinya sendiri, dan tidak peduli kepada mereka yang tertindas. Kekristenan muncul dengan visi komunitas alternatif Yesus, menawarkan jalan hidup yang egalitarian, dan memberikan solusi bagi mereka yang tereksploitasi secara ekonomi, yakni melalui komunitas yang anti-individual, komunitas yang saling berbagi-saling memiliki!
BULETIN DISCIPLES Memaknai Komunitas Alternatif Yesus dalam Konteks Masa Kini Ketika mengerjakan tulisan ini, penulis membaca beberapa berita yang menunjukkan fakta konkrit bentuk-bentuk ketidakadilan sosial dalam konteks Indonesia. Baru-baru yang lalu terjadi konflik ketika adanya kebijakan dari pemerintah yang berniat menggusur rumah penduduk yang berada di tempat yang tidak seharusnya. Bahasa yang berbalutkan kekerasan pun dipakai dan pada akhirnya orangorang kelas bawah yang jadi korban, baik secara fisik, mental, dan materiil. Sedangkan mereka yang menentukan keputusan penggusuran dengan nyamannya tetap dapat duduk di kursi mereka. Sering pula kita dapati berbagai berita yang menggambarkan nyatanya ketidakadilan sosial dalam masyarakat kita. Bocah bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah. Nenek atau kakek yang hidup sendiri tanpa perhatian sosial. Buruh-buruh yang terus-menerus protes menuntut upah yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
53
Bentuk-bentuk ketidakadilan sosial sungguh nyata merajalela dalam konteks hidup masyarakat Indonesia. Lalu dimana gereja? Dimana parachurch? Dimana lembaga-lembaga dan institusi Kristiani menempatkan diri sebagai komunitas alternatif Yesus? Reformasi dari Dalam Bagi penulis, langkah pertama yang lembaga-lembaga Kristen harus lakukan adalah reformasi dari dalam. Sebagai penerus komunitas alternatif Yesus yang berakar pada iman gereja mula-mula dan praksis duabelas murid Yesus, lembaga-lembaga Kristiani harusnya menunjukkan dulu di dalam dirinya, komunitas alternatif yang egaliter dan komunitas saling berbagi-saling memiliki. Sering kita dapati bahwa di dalam lembaga-lembaga Kristen masih terdapat sebuah susunan hierarkis yang berdasarkan kemampuan ekonomi, relasi sosial mau pun, etnis-keturunan. Sering pula kita dapati dalam institusi religius Kristiani kurang memperhatikan sesamanya, banyak anggota gereja yang kaya,
54
Komunitas Alternatif Ala Yesus
banyak gereja-gereja megah dibangun, padahal di tempat lain masih banyak anggota gereja yang miskin, dan gereja-gereja yang minim. Karena itulah dengan pemahaman konseptualteologis yang sudah penulis paparkan di atas, semestinya lembaga-lembaga Kristiani mulai bergerak untuk mereformasi dari dalam terlebih dulu. Mereformasi dirinya terlebih dulu. Hierarki sosial dan ekonomi dalam gereja harus diberantas, individualisme jemaat harus dihindarkan! Jika lembaga-lembaga Kristiani, Gereja, PMK, dan PSK mampu benar-benar menerapkan komunitas alternatif Yesus di dalam dan pada dirinya sendiri, maka lembaga Kristiani telah memberikan jawaban bagi bentuk-bentuk ketidakadilan sosial di Indonesia. Inilah mengapa kita bisa menjadi garam dan terang di tengah dunia. Setelah reformasi dari dalam, maka lembaga-lembaga Kristiani pun mulailah bergerak keluar. Misi gereja adalah memberitakan kabar baik, kabar baik itu bersifat personal sekaligus sosial. Pewartaan Injil Yesus bukan
sekedar masalah keselamatan di akhirat nanti, namun juga perbaikan hidup secara sosial di dunia masa kini. Lembaga-lembaga Kristiani haruslah menuntun masyarakat dimana mereka hadir, menuju pemahaman yang tepat agar bentuk-bentuk ketidakadilan sosial sedikit-demi sedikit dapat dikurangi. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan diskusi-diskusi dan dialog-dialog untuk meningkatkan kerjasama bersama agar bentuk-bentuk ketidakadilan sosial boleh dikurangi. Jadi, setelah menyelesaikan masalah ‘hati’, lembaga-lembaga Kristen meneruskan pembaharuan tersebut dengan memperhatikan aspek konseptual dalam pola berpikir masyarakat. Agar masyarakat tak lagi berpikir individualis, namun mulai memikirkan sesamanya dalam konteks yang luas. Jika gereja, dan semua lembaga Kristiani mampu melakukan reformasi dari dalam, menjalankan visi alternatif Yesus, dan kemudia mewartakan visi itu keluar dan mewujudnyatakannya secara konkrit, maka setidak-tidaknya dunia kita akan menjadi dunia yang lebih baik.
BULETIN DISCIPLES Penulis ingin mengutip kalimat dari Horsley: “The imperial order was still in place. But Jesus was calling people to take control of and rebuild their own community life….”10 Sistem dominasi, dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial jelas masih berkuasa dan sangat nyata berada di sekeliling kita. Namun, Yesus memanggil kita untuk bersama-sama membangun komunitas hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Komunitas kerajaan Allah, yang bersendikan kasih, keadilan dan kebenaran, egaliter, non-hirarki, dan saling ber10
Jesus and Empire 128.
55
bagi-saling memiliki. Panggilan itu akan terus menggema hingga Yesus menyatakan diri-Nya untuk kali yang kedua dan datang untuk mewujudkan komunitas yang baru, dunia baru ciptaan Allah. Biarlah kalimat nabi Amos terus menerus mengingatkan kita, untuk dapat memerangi bentuk-bentuk ketidakadilan sosial dalam dunia ini: “Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang” (Amos 5:15). Resistensi terhadap ketidakadilan sosial harus dilakukan!
56
Resensi Buku
Merombak Citra Penginjilan Judul: Reimagining Evangelism (Merombak Citra Penginjilan): Mengundang rekan dalam sebuah perjalanan rohani Pengarang: Rick Richardson Penerbit: Literatur Perkantas Jatim Tahun: April 2010 Halaman: 208 halaman
Delapan abad lalu, St. Fransiskus dari Assisi pernah menyampaikan sesuatu yang sangat terkenal kepada para pengikutnya bahwa “Kabarkan Injil selalu. Dan gunakanlah kata-kata bila perlu....” Seperti yang dikatakan St. Fransiskus, cara penginjilan yang kita ketahui dan pelajari seringkali lebih berfokus mengenai bagaimana menciptakan suatu susunan kata-kata yang lancar, ringkas, mudah, dan pada akhirnya akan bermuara pada sebuah kesepakatan yaitu terima atau tolak. Apakah Anda mengingat kapan terakhir kali menginjili orang non-Kristen? Apakah kita sekedar membawa mereka pada sebuah alur metode dan percakapan yang diakhiri dengan sebuah kesepakatan untuk menolak dan menerima tanpa menawarkan undangan untuk masuk dalam sebuah perjalan-
BULETIN DISCIPLES an rohani akan pengenalan Injil Kristus yang utuh? Semua ini memang tidak terlepas dari pengaruh budaya populer saat ini yaitu segala sesuatu harus cepat dan tepat, belum lagi budaya Ke-Kristenan yang konsumerisme dan berorientasi hasil & jumlah maka Injil seakan-akan menjadi sebuah “barang dagangan.” Apakah Anda ingin menyampaikan berita kabar baik kepada banyak jiwa dengan merombak pendekatan penginjilan Anda? Rick Richardson membuka bukunya (Merombak Citra Penginjilan) dengan sebuah pernyataan dari hasil pengamatannya bertahun-tahun bahwa penginjilan telah mendapat citra yang buruk. Muncul kesan penginjilan seperti sebuah pemaksaaan dan sebuah bentuk transaksi penjualan tiket ke surga. Tidak jarang akhirnya kita mendengar kesan di sekitar kita kalau mereka takut memberitakan kabar baik. Maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa “kabar baik” ini justru kehilangan aspek baiknya dan kesan yang buruk sepertinya. Jika kita ingin efektif men-
57
jadi pembawa kabar baik tentu kita harus merombak citra yang ada selama ini tentang penginjilan, yaitu penginjilan sebagai usaha unutuk mencapai kesepakatan dalam sebuah percakapan jual-beli. Ia mengusulkan sebuah citra penginjilan sebagai sebuah perjalanan rohani, maka kita menjadi pemandu bagi orangorang non-percaya untuk membimbing mereka menemukan dan mengenal cerita besar Tuhan. Saya sangat terkesima akan sebuah konsep yang ia bagikan bahwa kita sebagai orang Kristen perlu melihat diri kita untuk berkolaborasi dengan Roh Kudus dalam memandu orang-orang dalam sebuah perjalanan rohani. Roh kudus adalah inisiator pemberitaan Injil bukan kita, semua itu terlihat dalam Kisah Para Rasul bagaimana murid-murid Kristus yang dipenuhi Roh Kudus diberikan kemampuan dan keberanian untuk memberitakan Injil Kristus dan mereka hanya menjadi alat dari Roh Kudus. Tentulah kita dapat melihat bahwa penginjilan bukan tugas khusus bagi sekelompok orang
58
Resensi Buku
Kristen tertentu, tetapi semua orang memiliki bakat dari dalam untuk mengerjakannya. Rick juga menyampaikan sebuah pemahaman yang unik bahwa penginjilan yang tidak harus dilihat hanya sebagai peran individu, tetapi seluruh kelompok/ komunitas memiliki peran yang saling melengkapi. Ia menyoroti perubahan fokus utama, dimana pusat dari proses pertobatan seseorang adalah komunitas. Jadi perubahan keyakinan tidak hanya urusan AKU dan TUHAN tetapi sebuah urusan komunitas bersama unutuk menghadirkan kesinambungan yang saling terhubung dan pengenalan yang lebih dalam. Pemuridan menjadi hal penting dan sentral dalam membawa orang dalam proses perubahan keyakinan di tengah budaya individualis. Penginjilan saat ini menurutnya juga harus diarahkan pada penginjilan komunitas bukan lagi sekedar individu melainkan sebagai kesatuan tubuh yang memiliki berbagai macam karunia yang berbeda, penginjilan akan semakin diperkaya.
Persahabatan yang mungkin selama ini menjadi salah satu langkah dalam proses menyampaikan Injil, Rick menyatakan bahwa pemberitaan kabar baik paling baik ketika kita menjadi seorang sahabat rohani. Persahabatan bukan sekedar menjadi langkah-langkah penginjilan tetapi bagaimana kita menciptakan persahabatan yang tulus sehingga Injil bisa disaksikan dan diberitakan secara natural melalui sebuah relasi. Rick juga memaparkan lebih jauh mengenai bagaimana kita memahami dan mengikuti cara-cara Yesus yang di luar kotak, itulah keunikan dari pemaparan Rick bahwa Yesus dapat diberitakan dengan cara-cara yang mengejutkan dan mengguncang pemikiran orangorang non-Kristen. Selain itu, ia mengenalkan Injil yang utuh dalam perspektif baru bahwa Injil bercerita bukan hanya keselamatan pribadi saya namun Injil juga bercerita mengenai kepedulian Allah akan seluruh isi dunia ini dan kehadiran Kerjaan Allah akan membawa transformasi bagi individu, lingkungan sosial, alam, dan seluruh isi dunia.
BULETIN DISCIPLES Membaca Merombak Citra Penginjilan akan sangat menyegarkan gambaran kita akan penginjilan, namun tidak hanya berhenti di sana, tentulah akan membawa kita semakin berapi-api untuk menyampaikan kabar baik ini kepada orang-orang non-Kristen
59
tanpa henti. Sekarang, maukah Anda untuk membagikan sebuah undangan kepada rekan Anda dan menjadi pemandu perjalanan rohani bagi rekan Anda?
Oleh: Milhan K. Santoso.
60
Resensi Buku
Mei-Juni 2010
Kesehatan itu mahal harganya, hal ini sangatlah mungkin untuk dibenarkan apalagi di zaman sekarang, dimana segala
kebutuhan
menjadi
sema-
kin mahal. Pengobatan gratis dipilih sebagai kesempatan berbagi kasih Kristus dengan warga sekitar Perkantas yang pastinya sangat membutuhkan pelayanan kesehatan, juga menjadi sebuah momen untuk berinteraksi langsung dengan warga dan diharapkan tercipta jalinan komunikasi yang akrab. Disamping itu, dukungan secara moral juga dibutuhkan oleh warga dalam menghadapi persoalan-persoalan pribadi.
BULETIN DISCIPLES Kegiatan yang terlaksana pada tanggal 28 Mei 2010 dan bertempat di sekretariat Perkantas (Tenggilis Mejoyo KA 10-11) ini, melayani 179 orang pasien yang merupakan warga Tenggilis Mejoyo. Pasien yang bervariasi umur dan latar belakang penyakit mewarnai kegiatan yang dimulai pukul 8 pagi hingga pukul 12 siang tersebut. Mulai dari anakanak, remaja, pemuda, dewasa, bahkan beberapa pasien yang sudah cukup lanjut usia merasa terberkati dengan kegiatan pengobatan gratis ini. Selain karena pelayanan yang ramah dan bersahabat, pasien juga ditangani dengan suasana santai namun tetap profesional oleh seluruh pihak yang terlibat. Adapun, pelayanan pengobatan gratis ini melibatkan15 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma yang dengan cekatan menyambut dan membantu dalam pemeriksaan fisik tahap awal dari setiap pasien yang ada. Bukan hanya itu saja, bagian dalam dari KA 10 pun disu-
61
lap menjadi 3 bilik pemeriksaan yang diisi oleh 7 orang dokter yang akan lebih lagi mendalami keluhan pasien yang datang. Lalu, 11 orang mahasiswa apoteker Fakultas Farmasi dari Universitas Surabaya menempati bagian belakang rumah Perkantas untuk melayani kebutuhan obat pasien. Dari pihak warga sendiri pun sangat antusias dengan kegiatan pengobatan gratis yang dilakukan. Sedangkan untuk tindak lajut dari kegiatan ini tetap dipikirkan dan didoakan, salah satunya yang sedang kami doakan adalah dengan mengunjungi warga-warga yang telah dilayani, untuk tetap didoakan dan agar kesehatannya tetap terkontrol. Diharapkan untuk pengobatan gratis kedepan, Departemen Konseling dari Perkantas juga dapat turut ambil bagian dalam melayani pasien sebagai konselor-konselor yang dapat mendoakan dan menjadi tempat berbagi rasa mengenai persoalan-persoalan dalam hidup pasien yang datang.
62
Resensi Buku
POKOK DOA DAN UCAPAN SYUKUR BPC Perkantas Jawa Tmur Bersyukur: 1. Pimpinan dan pemeliharaan Tuhan bagi pelayanan Perkantas Jawa Timur hingga memasuki tengah tahun 2010. 2. Orang-orang yang terus mendukung pelayanan Perkantas dalam doa, dana dan tenaga. 3. Keikutsertaan 7 (tujuh) orang staf Perkantas Jawa Timur dalam kegiatan Orientasi Staf Nasional yang diadakan tanggal 1 April 2010 – 31 Mei 2010. 4. Bergabungnya Sdr. Akhung sebagai staf bidang multimedia di Perkantas Jawa Timur. 5. Pertemuan PC, PR dan staf senior 15-17 Juni, Retreat Staf/BPC-BPR 17-20 Juni 2010, di Sarfat. “The Word become Flesh: Understanding The Mission of God”
kantas, 26 Juni 2010, di Auditorium UKP: “Ebenhaezer: Sampai di sini TUHAN menolong kita”, pembicara: Bp. Harry Limanto. 3. Pergumulan mencari seorang staf keuangan untuk kantor Perkantas Jawa Timur. 4. Penggalangan dana BPC melalui penjualan Ki Water dan es durian (pencarian lokasi/ network di kampus dan sekolah, dan pengelolaan secara keseluruhan). 5. Rencana pendirian Tempat Penitipan Anak (TPA). Doakan setiap persiapan (kurikulum, tempat, personil, dll) yang sedang terus dikerjakan. BANYUWANGI BPR dan PKAA Banyuwangi Bersyukur:
Berdoa: 1. Pengurus BPC & BPR: kerohanian, keluarga, pekerjaan, dan studi. 2. Persiapan HUT ke-37 Per-
1. Pemeliharaan Tuhan selama 6 bulan ini 2. Keikutsertaan Sdr. Tommy Indarto (Staf Siswa) dalam Orientasi Staf Perkantas Nasio-
BULETIN DISCIPLES
63
nal mulai 1 April – 31 Mei 2010 3. Travelling Kak Wanto dan
UAN SMP dan SMA 3. Bersyukur untuk 1 orang siswa
Akhung pada 4-5 Juni 2010. Berdoa: 1. Agar semua hal yang didapatkan Sdr. Tommy dalam OS dapat diaplikasikan di Banyuwangi. 2. Evaluasi tengah tahun yang dilakukan, agar kami diberi hikmat dalam melihat kekurangan yang masih ada dan dimampukan untuk dapat memperbaiki pada tengah tahun kedua. 3. Untuk 2 orang Pengurus BPR beserta Staf yang akan mengikuti Retreat Staf, BPC & BPR pada tanggal 17-20 Juni di Malang.
(Agung) yang telah memimpin KTB mulai bulan Maret
Persekutuan Siswa Banyuwangi (PSKB)
Kristen
Bersyukur: 1. Kegiatan rutin PSKB yang berjalan dengan baik: Rapat Koordinasi Pengurus, Persekutuan Doa Pengurus, Pembinaan Pengurus dan juga Persekutuan Besar yang rutin diadakan 1 bulan sekali 2. Adik-adik siswa yang lulus
Berdoa: 1. Adik-adik yang sedang mengikuti Ujian Akhir Semester 2. Persiapan yang dilakukan untuk acara Kamp Bersama 3 Kota (Banyuwangi, Jember, dan Lumajang) yang akan diadakan pada 28-30 Juni 2010. JEMBER BPR Perkantas Jember Bersyukur: 1. Pendanaan BPR Perkantas Jember selama satu semester ini cukup stabil. 2. Pembangunan Rumah Persekutuan yang terus berjalan. Bersyukur untuk pendanaan dan dukungan alumni/donatur untuk pembangunan rumah persekutuan Jember. Berdoa: 1. Peringatan HUT Perkantas di Jember dalam dua momen: pertama, pelayanan VG ke
64
Resensi Buku
beberapa gereja selama bulan Juni 2010; kedua, ucapan syukur seluruh komponen pelayanan Perkantas Jember pada tanggal Juli 2010. 2. Kinerja, kesehatian, dan spiritualitas pengurus dan staf dalam menata pelayanan Perkantas Jember. 3. Keberadaan Rumah Persekutuan, dengan segala aktivitas pelayanannya, di tengah lingkungan warga di Jl. Halmahera III Jember; agar dapat menjadi berkat dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. 4. Pendanaan operasional pelayanan dan pembangunan rumah persekutuan. PKAA Jember Bersyukur: 1. PA Alumni Jember (2 kelompok) yang berjalan selama ini (PA Jember I: PA Filipi setiap 2 minggu; dan PA Jember II: PA Hosea setiap 2 minggu). 2. Pelaksanaan Gathering Alumni Perkantas Jember, 15 Mei 2010 dengan tema: Setia pada Panggilan (Hosea). Kehadiran: 25 orang.
3. Dukungan alumni luar kota yang meningkat (baik jumlah alumni maupun nominal dukungan). Berdoa: 1. Kerohanian staf yang membina PA (Yusuf D dan Johan D), agar mampu menggembalakan Alumni dan memiliki pengaruh rohani bagi alumni Jember. 2. Beberapa alumni dalam kota yang masih belum bergabung PA Alumni, doakan agar mereka menangkap pentingnya pembangunan kerohanian alumni di tengah realitas hidup mereka. 3. Pengurus PKAAJ, terutama untuk penataan dan kelengkapan pengurus ke depan. PMK Jember Bersyukur: 1. Pembinaan Khusus Mahasiswa selama satu semester ini dapat berjalan (1 bulan sekali); tema: Optimalisasi Teknologi bagi Pelayanan, Mengenal Denominasi, Diskusi Buku Reimagining Evangelism.
BULETIN DISCIPLES 2. Terselenggaranya Pembinaan Misi Mahasiswa untuk PMKPMK Kampus; Misi Kontekstual di Tengah Pluralitas Agama; tanggal 13 Mei 2010. 3. Dua belas orang peserta dari Jember yang memastikan diri (lolos seleksi) untuk KNM 2010, satu orang akan disusulkan. Bersyukur untuk penggalangan dana dan pembinaan persiapan peserta yang sudah berjalan. Berdoa: 1. Persiapan Panlok KNM Jember, terutama untuk penggalian dana yang terus dilakukan. 2. Pelaksanaan Month of Discipleship Vision 2010 dengan tema: Out of Darkness into His Wonderful Light (1 Pet. 2:9) selama bulan Agustus – November 2010. Momen selama beberapa bulan ini adalah penjangkauan PI mahasiswa baru pembentukan KTB baru di Jember. 3. Perintisan kampus IKIP PGRI Jember. 4. Kegerakan PI dan KTB mahasiswa selama satu semester ke depan. 5. Keikutsertaan 2 orang mahasiswa FKG Jember dalam KMdN
65
di Salatiga. Doakan followup untuk meningkatkan pola pelayanan PMK FK/FKG di Jember. PSK Jember Bersyukur: 1. Pembinaan yang dilakukan TPS di sekolah-sekolah dalam 1 semester ini. 2. Kinerja TPS dan PSKJ, serta kerja sama yang terjalin dengan baik selama ini, meski tidak ada staf siswa. 3. Diskusi buku Reimagining Evangelism antara TPS bersama Permaker yang meingkatkan semangat PI siswa-mahasiswa. Berdoa: 1. Pelaksanaan Retreat Siswa tiga kota (Banyuwangi-Jember-Lumajang) pada tanggal 28-30 Juni 2010 di Garahan Jember; tema: The Agents of Change. Doakan kebutuhan dana serta pembicara (Tommy Indarto dan Johan Deretah). 2. Keberadaan Staf Siswa untuk pelayanan siswa di Jember. 3. Kegerakan PI dan KTB siswa selama tahun 2010.
66
Resensi Buku
KEDIRI BPR Perkantas Kediri Bersyukur: 1. Persembahan yang masuk untuk setiap pos dan donatur yang terus berkomitmen baik untuk BPR maupun komponen sehingga kebutuhan setiap bulan dapat tercukupkan. 2. Paskah Bersama Perkantas Kediri, 5 April 2010 di GPPI Kediri, dihadiri oleh 197 orang, dari target 109 orang. Persembahan Rp.533.000,00 yang akan digunakan untuk KNM. 3. Pelayanan Staf Travelling Kak Anthon pada Bulan April 2010. 4. Pelayanan Staf Travelling Kak Ricky pada Bulan Mei 2010. 5. PHR Perkantas Kediri pada tanggal 22 April 2010 dengan jumlah peserta 13 orang. 6. Pertemuan Pimpinan Cabang Jatim ( Kak Wanto ),BPR Perkantas Kediri ( Kak Poeriawan & Kak Eva ) dan Staf Kediri pada tanggal 20 Mei 2010. Berdoa: 1. Pengurus BPR (Kak Poeriawan
dan Kak Eva): kerohanian, keluarga, pekerjaan, dan pergumulan pribadi. 2. Kebutuhan dana pelayanan BPR setiap bulannya semoga Tuhan selalu mencukupkanNya. Berdoa untuk kekurangan dana BPR sebesar Rp 3.000.000. 3. Staf Travelling Kak Iwan pada tanggal 12-13 Juni 2010. 4. HUT Perkantas Kediri pada tanggal 10 Juli 2010 pembicara Bapak Anthon Katobba Mapandin, M.Div 5. Pertemuan staf & BPR setiap hari kamis minggu ke-4. Tim Pengadaan Rumah Persekutuan Kediri Bersyukur: 1. Rumah persekutuan Pare yang berada di jalan Lawu no 27 Pare. 2. Rumah persekutuan Tulungagung yang berada di rumah drg. Herlina Berdoa: 1. Rumah Pesekutuan Kediri, supaya Tuhan memberikan hikmat dalam menemukan lokasi yang tepat. 2. Pengelolaan Warnet, toko buku
BULETIN DISCIPLES di rumah persekutuan Pare serta kebutuhan dana yang harus terpenuhi. PKAA Kediri Bersyukur : 1. PA Alumni selama tahun 2010 yang dipimpin oleh Kak Harry Limanto di rumah dr. Ratih. 2. Koordinator pelayanan Alumni Ibu Lai Lih Jun senantiasa diberi kekuatan, hikmat dan penyertaanNya baik dalam kehidupan pribadi maupun pelayanan. 3. Kelahiran putra pertama Kak Dian pada tanggal 29 Mei 2010. Berdoa : 1. PA tahun 2010 setiap bulan, hari Rabu minggu ke-1 pukul 18.00 (WIB) di rumah dr. Ratih 2. Proses pemulihan Ayah dari dr.Ratih yang pada tanggal 1 Juni 2010 operasi di st. Vincent a Paulo. 3. Kak Harry yang memimpin PA agar dikuatkan dalam kesehatan, dll. 4. Konsistensi dan kesetiaan para alumni dalam mengikuti PA. 5. Istri kak Hendra yang pada
67
bulan Juni akan melahirkan putra tercinta semoga Tuhan memberkati dan mencukupi segala kebutuhan Kak Hendra sekeluarga. PMK Kediri Mengucap syukur untuk Perayaan Paskah di beberapa kampus yang talah terlaksana.Ibadah Paskah di IIk dilaksanakan tanggal 24 April 2010, dihadiri oleh kurang lebih 70 mahasiswa dengan acara Ibadah Paskah berthema “Bebas dari Ikatan dosa”. Firman Tuhan dibawakan oleh Bpk. Anggriadi Riky dari Surabaya. Sedangkan Universitas Nusantara merayakan paskah pada tanggal 8 Mei 2010, dengan acara Bhaksos di Gereja “ GKJW Kertorejo” Desa Besowo Kecamatan Kepung yang dihadiri oleh 20 mahasiswa. Di lereng Gunung Kelud, para Mahasiswa bergotong royong membangun pondasi pagar tembok Gereja dan pengecatan gereja. Acara ditutup dengan ibadah bersama dan pembagian bahan sembako pada 9 kepala keluarga. Gereja yang dilayani ini masih sangat kecil, dengan anggota rata-rata
68
Resensi Buku
adalah Lansia, namun semangat mereka dalam mengikut Tuhan sangat luar biasa. Untuk pembinaan mahasiswa selain dilakukan di masingmasing kampus, ada juga pembinaan mahasiswa Antar Kampus bagi mereka yang sudah KTB. Acara ini dilaksanakan satu bulan sekali, dipimpin oleh para Staf traveling (Kak Iwan, Kak Ricky, Kak Anton, Kak Yanti, Kak Agung dan teman-teman staf yang lain) dan di hadiri ratarata 20-30 mahasiswa. Selain itu, dalam mempersiapkan para peserta Kamp Nasional Mahasiswa dilakukan pembekalan dan pencarian dana 1 bulan sekali. Beryukur : 1. Kehadiran Sdr. Kristanto, sebagai Staf part-time yang memperkuat pelayanan di kota Kediri, dengan menangani 2 KTB Mahasiswa Pria. 2. Kampus UNP yang berjalan dengan lancar. 3. Perintisan awal Kampus STKEs “Surya Mitra Husada” pada tanggal 24 April 2010. 4. Beberapa Pra-KTB yang telah
menjadi 4 KTB Baru. Doakan : 1. Kesetiaan, kesehatan dan semangat pelayanan Sdr. Kristanto untuk melayani di kota Kediri. Doakan juga penyelesaian skripsi dan tugas-tugas akhirnya di Kampus ITATS Surabaya, agar Tuhan menolong. 2. Pelayanan Staf Traveling ke kota Kediri agar Tuhan memberkati pelayanan, keluarga, kesehatan dan manajemen waktu untuk menangani pelayanan di kota setempat agar Tuhan memberi hikmat. PSK Kediri Bersyukur: 1. Diskusi buku Reimagining Evangelism yang dilaksanakan tiap Sabtu, oleh PKK siswa yang bertujuan untuk mengarahkan dan menolong semangat siswa dalam melakukan penginjilan. 2. Untuk Pra KTB yang ada di SMA PETRA sebagai sekolah perintisan. 3. KTB yang ada di sekolah yang dilayani PKK siswa, ditengah
BULETIN DISCIPLES padatnya beban belajar siswa. 4. Multiplikasi KTB dalam tahun 2010 terealisasi 2 PKK Siswa yang baru. Berdoa: 1. Regenerasi pengurus siswa kota bulan Oktober 2010, agar Tuhan pilihkan yang sesuai dengan kehendakNya. 2. Regenerasi PKK siswa bulan Januari 2011. PKK yang sekarang sudah mau berakhir terkait beban belajarnya yang bertambah waktu kelas 3. 3. Kelas refresh bahan 2 kali tiap bulan pada hari Sabtu. 4. Andreas sebagai TPS yang sekarang memimpin 4 KTB, semoga diberikan ketekunan dalam menolong adik-adiknya untuk bertumbuh. 5. Penerimaan siswa baru di berbagai sekolah dalam bulan Juli 2010 6. Rencana Ibadah dan KKR di SMA PETRA yang bekerjasama dengan STEMI di bulan Juli 2010. PSK Pare Bersyukur :
69
1. Renovasi rumah yang digunakan untuk Student’s Center di Jl. Lawu no.26 Pare-Kediri. 2. Staf Traveling yang mengisi pembinaan dalam temu KTB: Kak Anthon Katobba, Kak Iwan Catur W, dan Kak Angriadi Ricky. 3. Budiono dan Septian yang sudah lulus SMA yang akan mendampingi pelayanan siswa Pare. Berdoa : 1. Adik-adik yang lulus dan keluar kota untuk bekerja agar tetap terbina dengan baik. 2. Rencana regenerasi pengurus Desember 2010, yang masih dipersiapkan adalah 2 orang. 3. Rencana pembukaan toko buku bacaan, alat sekolah dan warnet untuk penjangkauan dan tempat remaja berkumpul. 4. Persiapan Septian dan Angga untuk mengikuti Kamp KTB di Malang. PSK Tulungagung Bersyukur : 1. Temu KTB yang dilaksanakan di Prigi tanggal 28 Mei 2010, temamya: DI MURIDKAN
70
Resensi Buku
UNTUK MEMURIDKAN. 2. Multiplikasi KTB dalam tahun
Berdoa: 1. Persiapan
2010 terealisasi 2 PKK Siswa, yang bersedia memimpin KTB baru. 3. Kelas refresh bahan baru yang sudah terealisasi bulan April 2010, 2 kali setiap bulan .
Malang 18 Juli 2010. Tema : “Send Them Into The World”, dengan pembicara Ev. Harry Limanto, M.Div. Doakan persiapan acara, kepastian tempat dan undangan yang akan disebarkan supaya direspons dan setiap pihak yang diundang dapat hadir mensyukuri 32 tahun pelayanan Perkantas Malang. 2. Kebutuhan dana yang dibutuhkan untuk pelayanan Perkantas Malang.
Berdoa: 1. Regerasi pengurus kota pada bulan Januari 2011. Berdoa supaya Tuhan pilihkan yang sesuai kehendakNya. 2. Kelas refresh bahan tiap hari Selasa, kiranya Tuhan yang terus menerus mengarahkan dan memimpin. 3. KTB dan Pra KTB yang ada di tiap-tiap sekolah agar dipelihara komitmen dan kosistensi baik PKK maupun AKKnya. 4. Perintisan di SMA Boyolangu dan SMP 6 Tulungagung dalam tahun 2010. MALANG BPR Perkantas Malang Bersyukur: Pemeliharaan TUHAN bagi pelayanan Perkantas Malang.
HUT
Perkantas
PKAA Malang Bersyukur : Acara malam doa misi alumni 13 Juni dengan tema: Doa syafaat dan misi holistik. Bersyukur melalui acara ini alumni dibukakan dan ditantang bermisi holistik lewat karya dan doa (pembicara: Bp. Perdian Tumanan) Berdoa : 1. Rencana pengobatan dan penyuluhan kesehatan terhadap komunitas Kasin Kramat di bulan Agustus 2010.
BULETIN DISCIPLES 2. Pengumpulan dana dan obatobatan serta semangat alumni untuk bermisi dan dalam mengerjakannnya. PMK Malang Bersyukur: 1. Agnes (pengurus PMK Kota) yang telah menyelesaikan masa prakteknya di Rumah Sakit Baptis Batu. 2. 50 KTB baru yang terbentuk, dan 333 orang yang di PI sampai bulan ini. 3. Pembinaan-pembinaan yang berjalan baik selama bulan Mei : o Pembinaan Biblikal, Kitab Amsal oleh Bp. Andreas Hauw. o Training PKK, Discipline Of Grace Oleh Kak Iwan Catur Wibowo. o Pembinaan Peserta KNM, Misi integral dan sikap terhadap agama lain oleh Bp. Anthon Katobba. 4. Relasi-relasi yang terjalin dengan kampus-kampus berjalan baik sampai bulan ini. Berdoa:
71
1. Regenerasi pengurus PMK Kota untuk periode depan. Doakan agar Tuhan mengirimkan orang-orang yang tepat untuk mengerjakan pelayanan di PMK Kota Malang. 2. Penyelesaian skripsi dari rekan-rekan PMK Kota: Ayu, Ghea, Julia, dan Teguh. 3. Pendampingan kampus-kampus perintisan (Wisnuwardhana, Asia) oleh PMK Kota Malang. 4. Pembinaan selama bulan Juni: o Persekutuan Missio Dei, 13 Juni 2010 oleh Bp. Perdian K.M Tumanan o Pembinaan Biblikal, Kitab Pengkhotbah dan Kidung Agung, 20 juni 2010, oleh Bp. Cornelius Koeswanto. o Pembinaa Peserta KNM, PA dari Kitab Yesaya, 20 Juni 2010. PSK Malang Bersyukur : 1. Pemeliharaan TUHAN untuk pelayanan PSKM 3 bulan terakhir. Bersyukur untuk setiap program yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. 2. Kerjasama staf, MD dan BP
72
Resensi Buku
sekolah dalam mengerjakan pelayanan siswa di kota Malang. 3. KTB-KTB dan persekutuan yang dapat terus berjalan. Berdoa : 1. Persiapan Malam Pengutusan yang akan diadakan tanggal 27 Juni 2010. Doakan supaya moment ini menjadi moment lulusan siswa mengambil komitmen pelayanan kedepan. 2. Student Gathering bulan Juni 18 Juni 2010. Tema: “Mengapa Aku Disini” dengan pembicara Ev. Ernalita K. Doakan persiapannya dan setiap siswa yang diundang dapat hadir. 3. Persiapan Raker MD 31 Juli-1 Agustus. Doakan supaya Raker ini menjadi sarana setiap pelayan siswa dapat menyusun strategi pelayanan kedepan dengan maksimal. Doakan briefing Raker 26 Juni 2010 supaya acara ini menolong persiapan menuju Raker.
MATARAM BPR dan staf Mataram
Bersyukur: 1. Kebutuhan operasional yang Tuhan cukupkan. 2. Travelling Kak Wanto tanggal 7-9 Juni 2010. Alumni Bersyukur: 1. PA Alumni yang berjalan tanggal 21 Mei 2010, hadir 8 orang peserta. 2. Kunjungan ke Alumni yang sudah berjalan. Berdoa: 1. Rencana penyelenggaraan Weekend Alumni Mataram. 2. Kunjungan ke alumni-alumni tiap 2 kali sebulan, yang dilakukan oleh staf . 3. Rencana pembagian wilayah PA. PMK Mataram Bersyukur: 1. Persekutuan IKIP yang tetap berjalan tiap hari Jumat, dengan jumlah kehadiran Mahasiswa/i 5-11 orang tiap minggu. 2. Pembinaan pengurus yang
BULETIN DISCIPLES
73
sudah berjalan. 3. KTB bisa terus berjalan dan
Berdoa : 1. TPS (Avin) yg harus bekerja
bertumbuh. 4. PMK kota diadakan tgl 23 Mei 2010, “Ndek Nara side Ndek Biur”/”gak ada lo, gak rame”. Hadir:15 orang, dengan pembicara Kak Robert.
di Sumbawa satu bulan ini Penataan pola pemuridan siswa agar lebih memperhatikan pertumbuhan pribadi. Regenerasi pengurus PSK KOTA Raker TPS, 10 Juli 2010 KATA siswa, 27 Juli’10 Supaya Ruper dapat berfungsi menjadi Student Center bagi siswa-siswa di Mataram.
Berdoa: 1. PMK kota tanggal 27 Juni 2010. Tema : LSD, oleh Kak Reizky 2. Kepengurusan yang baru dalam mengerjakan tugas yang ada. 3. Pleno tiap awal bulan, pk. 13.00-15.00. PSK Mataram Bersyukur : 1. Travelling Kak Yanti bersama Sdr. Richard yang sudah berjalan tgl 26-31 Mei. 2. Untuk Retreat CPKK dan PKK ( RCP) sudah berjalan tgl 27-28 Mei. Total hadir 29 orang. 3. KTB-KTB yg mulai aktif. 4. Konsultasi pelayanan siswa dan AWG TPS dengan kak Yanti dan Sdr. Richard tanggal 29-30 Mei 2010.
2.
3. 4. 5. 6.
MOJOKERTO Bersyukur : 1. Koordinasi KTB KTB yang ada 2. Adik adik binaan kelas 3 SMP dan kelas 3 SMA yang sudah lulus Berdoa : 1. Regenerasi pembimbing di Mojokerto. Doakan supaya Tuhan memberikan orang yang mau terbeban melayani di Mojokerto. 2. Rencana diadakannya PD sekolah tiap bulan di SMA Puri,dan SMP 6 Mojokerto. Doakan supaya rencana ini dapat berlangsung dengan baik.
74
Resensi Buku
3. Rencana diadakannya acara Temu KTB tanggal 27 Juni di Student Centre Mojokerto. Doakan untuk pembicara, kesiapan hati peserta, dana, dll. 4. Komitmen salah seorang pembimbing yang akan berakhir tahun ini. Doakan pergumulan selanjutnya untuk melayani di Mojokerto. 5. Rencana PI dan KATA untuk tahun ajaran baru,serta pembentukan KTB KTB baru. 6. Supaya ada seorang staf yang mau dan bisa melayani di Mojokerto. Supaya persekutuan yang ada tidak hanya berjalan saat Sabtu dan Minggu saja.
SURABAYA PKAA Surabaya Bersyukur: 1. Untuk pelaksanaan Paskah Alumni Perkantas Regional Jatim yang telah diadakan pada Sabtu, 24 April 2010, di GKI Pregolan Bunder, tema: HARUSKAN SALIB?, pembi-
cara: Ev. M.Div.
Harry
Limanto,
2. Pemeliharaan Allah bagi para alumni dan keluarganya, kiranya setiap keluarga alumni dimampukan untuk menjalani kehidupannya dan meresponi pergumulan yang ada dalam kebenaran dan terang Kristus. Berdoa: 1. Rencana kunjungan ke desa Pogal dalam rangka pertemuan dengan anak-anak dan orangtua penerima Beasiswa Anak Asuh pada awal Juli 2010. Kiranya pertemuan ini dapat memberikan semangat yang lebih bagi para siswa untuk berprestasi secara akademik dan membangun persekutuan kasih dalam Kristus dengan para anak-anak penerima Beasiswa Anak Asuh serta para orangtua. 2. Persiapan Malam Doa Alumni Perkantas Regional Jatim, hari Jumat, 16 Juli 2010, pembicara: Ev. Harry Limanto, M.Div, tempat: Perkantas Reg Jatim, Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10. Mohon doakan untuk
BULETIN DISCIPLES koordinasi dan persiapan rekan-rekan panitia dari PA Siwalankerto dan pendukung acara lainnya untuk persiapan acara ini. Dukung dalam doa juga untuk kerinduan para alumni untuk berpartisipasi dan mempersiapkan diri untuk hadir dalam acara ini. 3. Untuk persiapan Weekend Alumni Perkantas Regional Jatim, hari Sabtu – Minggu, 24 – 25 September 2010, pembicara: Ev. Harry Limanto, M.Div, tempat: YWI – Batu. Mohon doakan untuk koordinasi dan persiapan rekan-rekan panitia dari PA Tenggilis dan pendukung acara lainnya untuk persiapan acara ini. Dukung dalam doa juga untuk kerinduan para alumni untuk berpartisipasi dan mempersiapkan diri untuk hadir dalam acara ini.
PMK Surabaya Bersyukur : 1. Keberangkatan Aldo ke Serukam, Kalimantan untuk menjadi tenaga IT di RS
75
Bethesda pada tanggal 28 Mei 2010. Berdoa agar Aldo dapat menajdi berkat bagi orangorang yang ada disana. 2. Pengobatan gratis yang boleh berlangsung dengan baik dan lancar pada tanggal 28 Mei 2010 dengan jumlah pasien yang dilayani sebanyak 171 orang. 3. Dua puluh dua KTB yng telah terbentuk hingga 21 Mei 2010 tahun ini. 4. 158 jiwa yang sudah didoakan dan dalam tahap mendengar kabar baik dan berdoa untuk follow upnya. 5. 61 Peserta KNM dari Surabaya sudah lolos seleksi. Berdoa : 1. Pertumbuhan KTB dan PI dari tiap-tiap kampus. 2. Panlok KNM Surabaya dalam mengkoordinasikan setiap persiapan KNM dan penggalan dana serta persiapan dari peserta. 3. Pembentukan panitia dan koordinasi panitia MP7 ( bulan November 2010). 4. Raker tengah tahun PMK Kota Surabaya yang akan diadakan
76
Resensi Buku
pertengahan Juli dan berdoa untuk setiap pengurus baru yang akan dilantik. PSK Surabaya Bersyukur: 1. Temu Misi 2 yang dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2010 di Tenggilis Mejoyo KA-11, Perkantas. Acara ini bertema: Let Your Light shine before man, dengan pembicara Kak Anthon Katobba. Acara ini dihadari oleh 43 orang (siswa, TPS, Staf dan Alumni). 2. Mision Trip TPSS ke Blora dan Cepu, yang diikuti oleh 15 orang TPS, 1 orang CTPS, 3 orang staf siswa (kak Yanti, kak Didik, dan kak Nita), serta 1 orang alumni (kak Aldo), dan pak Sukir (sopir). Dalam mission trip ini kami diperkenalkan dan melayani di SMP
Kristen 1 Blora, SMA 1 Blora, SMP 2 Blora, dan GKI Blora. Di sini kami memperkenalkan pelayanan siswa Perkantas dan KTB pada guru-guru sekolah, siswa serta kaum remaja GKI Blora. Berdoa: 1. Untuk kesembuhan dan pemulihan kak Yanti pasca operasi karena kecelakaan motor. Berdoa juga untuk kecukupan dana yang dibutuhkan dalam operasi dan biaya lain yang digunakan dalam menunjang perawatan. 2. Strategi pendelegasian tugastugas Kak Yanti selama dalam masa pemulihan. 3. Untuk persiapan Hut Siswa ke-36 tanggal 31 Agustus 2010. Tema: Dare To Be Different (Berani Tampil Beda), pembicara kak Koko.