Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 51-59 ISSN 2302-5719
Vol. I, Nomor 2
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak R. MASRI SAREB PUTRA Etnolog dan Sastrawan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia Surel:
[email protected] Diterima: 9 September 2013 Disetujui: 16 September 2013
ABSTRACT Dayak tribes procure multi-benefits from farming, a process and technique of rice cultivation in dry land. Farming, to native Dayak, is not just accesories of rice cultivation, but rather a sacred rite and a starting point for a unique life-cycle. Unfortunately, time and again, Dayak tribes are wrongly accused as environmental destroyer, due to their habit of setting fire on the farming land in order to get dried-burnt land and fertile soil. Contrary to this view, Dayak natives are traditionally recognized as wise and caring people for nurturing and maintaining nature and environment’s preservation. What causes the destruction of Borneo’s nature and forest is not Dayak’s way of farming, but rather businessmen profiting from exploiting the land and soil, licensed holders of HPH, and illegal loggers. Keywords: Dayak, alam, padi, ladang, kearifan lokal.
Pendahuluan Dayak ialah nama kolektif sebuah etnis yang mendiami pulau Borneo, terdiri atas lebih dari 400 subsuku. Mereka ditengarai berasal dari kaum migran bangsa Austronesia yang terdampar di kepulauan Borneo pada sekitar tahun 2.500 SM. (Evans (1922), (Ukur, 1971), (Djuweng dan Krenak, 1993). Menurut Fallding (1974: 200), salah satu penciri manusia-alam ialah hubung an antara manusia dan alam sedemikian luluh, menyatu, manusia adalah bagian dari tatanan alam. Akibatnya, agama etnis tersebut adalah agama alam. Artinya, alam diyakini mempunyai daya, sekaligus kekuatan magis, yang di satu pihak memberikan kehidupan dan penghidupan; se-
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 51
dangkan di pihak lain alam angker dan menakutkan. Dalam kerangka pemikiran seperti itu, bagi etnis Dayak, alam diletakkan ke dalam berbagai fungsi. Pertama, fungsi ritual. Alam (hutan belantara) dipahami sebagai suatu wilayah yang sakral. Berbagai upacara dilakukan di hutan, misalnya waktu menebas, waktu menyimpan benih, waktu panen, dan sebagainya. Kedua, fungsi ekologis. Komunitas Dayak Djo memandang alam merupakan penyedia dan pengatur tata air dan memberikan keseimbangan yang harmonis. Ketiga, alam atau lahan memberikan kehidupan. Dalam konteks inilah ladang menjadi sangat vital bagi etnis Dayak, bahkan dapat dikatakan menjadi penanda
10/26/2013 9:59:33 PM
52
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
Vol I, 2013
dari awal mula sebuah siklus kehidupan. Kita dapat membuat litani panjang betapa ladang sangat vital dan menjadi kata kunci dalam kehidupan umat manusia. Misalnya: ladang padi, ladang gandum, ladang jagung, ladang tebu, dan ladang minyak. Bahkan, kerap pula kantor, atau pekerjaan, disebut sebagai ladang karena dari sana akan dituai hasil. “Ampus ka huma boh!” begitu kita se ring mendengar, jika suatu pagi bertemu kerabat. Jelas, maksudnya bukan ke huma dalam pengertian ladang sebagai lahan kultivasi padi. Namun, ungkapan itu bisa diartikan pergi ke kantor atau ke pekerjaan tetap. Itu adalah sisi positif, atau makna, ladang sesungguhnya. Yakni, lahan tempat manusia mengais rezeki dan menabur harapan untuk hidup. Akan tetapi ladang, suatu ketika, dapat juga berkonotasi negatif. Misalnya, ladang pembantaian (killing field). Pada zaman Nazi, atau saat di negeri kita tahun 1960-an, ramai-ramainya mengganyang anggota dan orang yang dianggap antek-antek PKI, ladang menjadi kata yang menyeramkan. Bukan hidup yang ditemui di ladang, justru sebaliknya.
memiliki penghormatan khusus pada la dang (tanah) sebagai mata rantai kebersatuan dengan alam semesta. Ini juga bukti bahwa orang Dayak amat memerhatikan keharmonisan hubungan dengan Yang di Atas dan dengan seluruh alam. Jadi, menghormati dan menghargai ladang, sama saja dengan menghormati dan menghargai Si Pemberi dan Asal Mula Kehidupan. Melihat proses dan cara orang Dayak berladang, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang merusak hutan Kalimantan bukan orang Dayak, tapi para pengusaha HPH dan perkebunan skala besar. Bagaimana mungkin orang Dayak merusak hutan, jika hutan menjadi bagian hidup dan sumber penghidupan? Orang Dayak baru akan meladangi kembali areal lahan jika sudah cukup umur, yakni setelah diladangi 15-20 tahun lalu ketika lahan semula sudah cukup humus dan pepohonan sudah besarbesar. Filosofi di balik siklus perladangan ter sebut ialah agar tetap menjaga keseimbang an alam, yakni tetap terjaganya persentase yang harmonis antara hutan dan lahan garapan. Dengan demikian, bencana alam yang ditimbulkan dari disharmoni alam dan makhluk penghuninya dapat dielimi nir. Di sinilah letak kerarifan tradisional Ladang dan Siklus Perladangan Kembali suku Dayak, khususnya dalam perladang Orang Dayak an yang meski meladangi atau menggarap Orang Dayak yang arif-bijaksana, tidak per- lahan tetap menjaga dan memeliharanya nah sekali pun menajiskan kata “ladang.” seturut dengan hukum alam pula. Keharmonisan penduduk Kalimantan Bahkan, ladang dianggap keramat oleh orang Dayak sebab ladang terbukti mam- dengan alam, termasuk proses dan cara pu menjadi sumber penghidupan bagi me berladang, hingga tahun 1980-an masih reka. Karena itu, dari mulai melihat-lihat dapat dijaga dan dipelihara. Akan tetapi, lahan yang akan dijadikan ladang (ngabas sejak pengusaha kayu dan perkebunan dapoya), hingga usai panen (gawai panen), tang, ditambah ulah penambang emas dan selalu ada upacara yang berkaitan dengan batu, banyak lahan di bumi khatulistiwa menjadi tandus dan gersang. ladang. Menurut hasil pengamatan David JenTidak syak lagi, melihat siklus pesta yang ada hubungannya dengan ladang, kins, sebuah keluarga Dayak meladangi dapat disimpulkan bahwa orang Dayak areal rata-rata 16 hektar per tahun dengan
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 52
10/26/2013 9:59:33 PM
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
hasil per hektar kurang lebih 900 kilogram padi (Jenkins, 1978, 22 - 27). Pada zaman dahulu kala, orang Dayak yang kaya (dan berada) diukur bukan dari perhiasan emas, intan, dan permata, namun ditakar dari seberapa banyak padi yang tersimpan di lumbung. Orang Dayak yang kaya hari ini makan nasi yang disimpan di lumbung dua atau tiga tahu yang lalu. Makan nasi yang diambil dari lumbung hasil panen tahun ini, tidak dianggap berada, hanya paspasan. Di balik pemujaan akan sikap dan gaya hidup makan nasi hasil panen tahun-tahun sebelumnya, tersimpan filosofi yang sangat dalam. Karena zaman dahulu nenek mo yang belum terbiasa menabung di bank atau Credit Union (CU), maka orang menyimpan padi (harta benda) di lumbung. Lumbung padi dianggap sebagai bank atau savings. Karena itu, orang Dayak yang kaya akan mempunyai banyak lumbung padi yang isinya penuh, identik sekarang dengan orang yang punya banyak simpanan di bank. Satu lagi kita melihat kerarifan tradisional suku Dayak dari pemujaan menyimpan padi di lumbung, yakni bahwa sebenarnya mereka sudah berpikir jauh ke depan mengenai persiapan pangan. Ladang bagi orang Dayak tidak hanya berfungsi sebagai lahan yang akan memberikan hasil utama padi yang nasinya sangat enak dan beraroma harum. Lebih dari itu, ladang juga punya sisi-sisi lain, yang tidak ditemukan pada lahan basah. Sebagai contoh, dari ngabas poya, bakal lahan ladang sudah memberi kenikmatan tersendiri. Waktu menjenguk lahan yang akan diladangi, orang Dayak mulai menetapkan tempat (ada yang menamakannya kerancak) yang nantinya dijadikan dangau atau pondok. Kalau sudah dibakar, areal dangau dijadikan probini (tempat menyimpan bibit padi) dan nanti dari sinilah asal bibit padi yang akan ditanam waktu menugal.
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 53
R. Masri Sareb Putra
53
Ladang sebagai lahan kering kultivasi padi memberikan penghidupan dan kenyamanan yang tiada tara –hal yang tidak bisa didapat dari bercocok tanam di lahan basah. Waktu nebas misalnya, areal ladang menyediakan aneka bahan makanan dan minuman. Ada umbut ransa, enau, atau aping yang enak dijadikan sayur. Ladang juga menyediakan aneka jamur, baik jamur yang tumbuh di tanah maupun yang menggantung di pohon mati. Ada aneka sayuran rebung dan pakis. Pakis hutan, biasanya berwarna merah kehijauan dan kalau dimasak, dicampur ampas tape pulut (rampang) enak bukan main. Bahkan, waktu orang Dayak menebas huma, orang sering mendapat binatang, seperti ular, kelelawar, burung, tupai, tikus hutan, atau landak yang dagingnya sangat lezat disantap. Semua itu adalah mata rantai kenikmatan yang didapat dalam proses perladangan. Itu sebabnya, kita harus memberikan catatan khusus mengenai tradisi berladang orang Dayak. Sejak nenek moyang, sampai dewasa, orang Dayak terbiasa makan nasi huma. Mereka tahu, huma sudah memberikan penghidupan. Karena itu, tidak mungkin orang Dayak merusak lahan ka rena akan ditanami kembali. Ladang Keharmonisan Lingkungan Karena proses dan tata cara berladang arifbijaksana yang memerhatikan hukum alam diturunkan dari generasi ke generasi, maka setiap orang Dayak wajib menjaga dan memeliharanya. Siapa saja yang berladang tidak sesuai dengan adat, akan kena adat. Itu sebabnya, ada ungkapan Dayak Sanggau yang sangat dalam maknanya, “Poya nyak bopugongk, adat nyak bolinongk” (alam untuk berlindung/bertumpu, adat untuk berpegangan). Tindak melanggar adat, akan dikucilkan dari komunal dan dianggap bukan-Dayak lagi.
10/26/2013 9:59:33 PM
54
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
Lalu, siapa perusak hutan dan penggundul hutan Kalimantan? Tentu saja, bukan penduduk setempat (indigenous people) yang menggantungkan seluruh kehidup annya pada lingkungan dan alam Kalimantan, tetapi para pendatang dan orang kota! Sebagai contoh, yang menggondol izin HPH dan pemilik perkebunan di Kalimantan adalah kaum pendatang dan orang kota. “Orang kota” yang dimaksudkan ialah pengusaha dari Pontianak dan Jakarta, sedangkan kaum pendatang ialah siapa saja yang perilaku dan cara hidupnya me rusak alam sebagai sumber dan tumpuan penghidupan. Yang terasa tidak adil ialah adanya selentingan yang mengatakan bahwa orang Dayak dan penduduk setempat adalah penyebab kebakaran hutan dan gundulnya bumi khatulistiwa. Malangnya, kebakaran hutan dan kepulan asap justru terjadi bulan Juli-Oktober, berertepatan dengan siklus alam (musim panas) sebagai saat yang tepat bagi orang Dayak membakar ladang. Padahal, ratusan tahun lamanya orang Dayak membakar ladang, dan tidak pernah menimbulkan masalah. Sebab, kearifan mengajarkan, batas ladang harus dibuat tegas, agar api tidak bisa melalap lahan di sampingnya. Kalau api dari membakar ladang sampai menyapu lahan tetangga, si empunya ladang akan membayar adat! Ada hukum adatnya khusus untuk itu. Agaknya, karena itu, Musyawarah Adat Dayak tidak pernah lelah mengampanye kan, perusak hutan Kalimantan bukan pen duduk asli. Mustahil mereka mau menggorok leher sendiri, sebab ladang adalah tumpuan hidup utama. Lagi pula, mereka hidup dan tinggal di situ. Lama orang Dayak didakwa kasus kebakaran hutan
Vol I, 2013
dan kerusakan lingkungan. Sampai-sampai, beberapa tokoh perlu mendukung dan menyekolahkan orang Dayak yang potensial untuk studi di bidang hukum lingkungan. Meski demikian, asumsi bahwa orang Dayak arif bijaksana dalam hal kultivasi padi dengan cara berladang, bukan ha nya sepihak. Antropolog dan peneliti Barat jauh hari sudah memberi kesaksian dan mencatatnya. Dalam literatur-literatur berbahasa Inggris, ladang disebut “staff of life” (tumpuan hidup) orang Dayak. Seperti dicatat ilmuwan dan antropolog barat, Hedda Morrison1 dalam bukunya yang terbit tahun 1957, Sarawak. “Padi, the staff of life,” tulis Morrison (1976: 44), sembari menekankan bahwa padi yang ditanam itu tumbuh di ladangladang orang Dayak. Orang Dayak pun dipujinya sebagai manusia yang “berbudi pekerti luhur lagi arif dan bijaksana mengolah sumber daya alam”. “It is wasteful method of cultivation. When old jungle is felled the same land will produce good padi for two or three consecutive seasons but the burns destroy all protective vegetation. Heavy rains soon remove the topsoil and the fertility of the land is quickly reduced.” (Morrison, 1976: 45).
Morrison sama sekali tidak melihat cara berladang orang Dayak merusak lingkungan, atau mengganggu ekosistem. Sebaliknya, “If farming can be carried on over a cycle of about 15 years between cuts, the fertility of the soil can be maintained fairly satisfactory. But as the population increase so does the pressure on the land and the cycle may fall to ten, eight or even five years (Morrison, 1957: 45).
1
Hedda Morrison sesungguhnya bukanlah peneliti atau antropolog. Ia datang ke tanah Sarawak mengikuti suami, yang merupakan salah satu pejabat kolonial di salah satu negara bagian Malaysia. Ia hobi fotografi, sehingga apa yang menyentuh hatinya, diabadikan dalam gambar. Kemudian, dibukukan seperti judul buku tersebut dan menyebutnya sebagai “personal record”.
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 54
10/26/2013 9:59:33 PM
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
R. Masri Sareb Putra
55
Tradisi berladang, kini hanya dilakoni orang Dayak di tempat tertentu. Di mana, lahan masih tersedia dan situasi memungkinkan. Bulan Juni-Juli, saatnya ngabas poya dan menebas. Inilah mula dari sebuah siklus upacara gawai.
juga dapat ditelusuri sisi sosiologis suatu masyarakat di mana pantun itu hidup dan diperkembangkan. Pantun melukiskan tidak saja suasana, juga struktur sosial, komunikasi, serta kehalusan budi pekerti. Orang yang lama tidak bertemu (berpandang), misalnya, tentu ingin mengungkapkan sesuatu. Jika lama tidak bertemu, Ladang dalam Larik-larik Pantun pasti banyak hal yang ingin diungkapkan. Buah pantun mengandung kearifan dan Tetapi, kerap isi hati tidak bisa diungkapfilosofi yang sangat dalam. Mengapa? Kar- kan dengan kata-kata. Karena itu, diam ena buah pantun merupakan kristalisasi adalah bentuk komunikasi juga, yakni kodari proses hidup dan budaya yang sudah munikasi nonverbal. Saling pandang, dan berlangsung lama dan dimeteraikan dalam itu, sudah cukup mengomunikasikan ba larik-larik sederhana yang mudah diingat. nyak hal, seperti larik pantun berikut. Demikian yang kita saksikan dalam buahSudah lama tidak ke ladang buah pantun orang Dayak yang melukiskan Sekarang ini ke ladang lagi cara hidup (modus vivendi) dan cara berada Sudah lama tidak berpandang (modus essendi) masyarakat itu sendiri. Sekarang ini berpandang lagi Dengan demikian, buah pantun dapat dikatakan sebagai “kata kunci”, gagasan Kalau rindu menggebu, dan lama tidak pokok (central idea), atau hakikat yang bertemu, bagaimana diungkapkan? Tidak dimunculkan keluar, yang merujuk pada budaya yang dihidupi suatu masyarakat. masalah. Orang Dayak punya cara meng Manakala buah pantun itu sering muncul, ungkapkannya lewat pantun. tercerminkan di dalamnya central idea yang Sudah lama tidak ke huma apabila diselisik banyak di dalamnya terBatang tebu sudah meninggi muat terminologi “ladang.” Sudah lama tidak berjumpa Dalam pantun, ada sampiran, dan Rasa rindu setengah mati juga, ada isi. Namun, antara kedua sampir an dan isi harus selalu ada korelasi: yang Bagaimana mengungkapkan rindu yang satu, tidak boleh menyangkal yang lain. mendendam, sedang orang yang dirindu Rangkaian pantun orang Dayak mirip silogisme, jalan berpikir (metode) logika untuk jauh di seberang? Ketika siaran radio belum menarik kesimpulan dan olah pikir ilmiah merambah hutan Borneo, dan masyarakat yang dikembangkan Aristoteles abad ke-4 adat masih primitif, maka bulan adalah media bertemu. “Oh bulan, sampaikan sM. Karena itu, dalam pantun, sebenarnya rinduku!” begitu seseorang yang dimabuk terkandung kearifan tradisional. Selain, cinta biasa meminta. Biar, pada saat sama, tentu saja, tergambar di dalamnya proses rembulan mengirim pesan rindu pada sang kreatif dan alur pikir yang sahih dan valid. kekasih, agar terasa getar-getar asmara Kalau alur pikir dalam pantun runtut, maka juga. Kalau sekarang, cukup kirim pesan pemikiran di dalamnya mengandung nilai, SMS, tidak perlu memandang bulan! Akan tetapi, seperti sudah diuraiyakni nilai kebenaran. Selain alam pikiran, dari larik pantun, kan, pantun adalah cermin budaya suatu
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 55
10/26/2013 9:59:34 PM
56
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
Vol I, 2013
masyarakat. Maka, buah-buah pantun ja gai contoh apa yang dikemukakan Gomes ngan pernah punah dari orang Dayak. berikut ini: Kebiasaan berpantun harus terus dipertahankan dan dilestarikan. Sebab, selain “This harvest festival (gawai –penulis), gives mengandung dimensi hiburan, pantun juga thanks to the gods and spirits for the bounty of the land. With centuries of tradition behind it, mengasah olah pikir. Telusurilah larik panthis native ritual involves communication with tun pra-dekade 1990-an, berikut ini yang the spirit world, ancestral worship and feasting mengusung ‘ladang’ sebagai sampiran. with friends and family of the whole commu nity.” (Gomes, 1911: 209). Sungai keruh, pancur pun keruh Samalah kita mandi di ladang Gawai Dayak, pertama-tama, adalah Adik jauh, abang pun jauh ungkapan syukur pada “yang di atas”. Sama kita mabuk kepayang Dahulu kala, karena masih animis, orang Dayak percaya pada dewa-dewa dan rohWaktu adalah pemisah paling tidak di roh. Baru setelah para padri Kapusin masuk sukai, terutama jika rindu yang menggebu, tanah Borneo yang masih perawan pada belum cukup terobati. Tapi, waktu jualah 1905, orang Dayak mengenal Yesus. Tatyang membuat semburat harapan untuk, kala masih animis, orang Dayak menyebut suatu waktu, bertemu lagi. Maka ladang Tuhan sebagai Jubata atau Penompa. Pekembali diangkat jadi sampiran pantun, nompa adalah terminologi yang mengacu kalau hendak berpisah, dan esok berharap pada Dia yang telah menjadikan langit dan dapat berjumpa lagi. Untuk tujuan itu, bumi (menempa = menjadikan). orang Dayak pun akan mendendangkan Lantaran penjadi muka bumi, Jubata, pantun berikut: atau Penompa, mesti diberi hati (sesaji). Akhirnya, Ia diberi perhatian dengan puKalau ada sumur di ladang jian, upacara, dan juga pesta. Itulah makna Boleh kita menumpang mandi ungkapan di atas, “...for the bounty of the Kalau ada umur yang panjang land.” Tidak syak lagi bahwa gawai adaBoleh kita berjumpa lagi lah ungkapan syukur atas tanah dan hasil bumi (karunia) yang telah dilimpahkan JuOrang Dayak benar-benar kreatif. Se- bata/Penompa. patah kata ”ladang”, bisa menjadi sumber Sukar diurut dari mana harus dimulai, inspirasi melahirkan pantun. Larik pantun yang jelas, sejak generasi Dayak pertama dengan gagasan pokok “ladang” sekaligus ada, pesta gawai sudah ada. Tidak cuma membuktikan bahwa ladang merupakan upacara ritual, gawai pun punya sisi pebagian yang tidak terpisahkan dari hidup nyembahan, sekaligus bentuk komunikasi sosial. dan kehidupan orang Dayak. Pada w����������������������������� aktu gawai, orang menari kondan dan menyanyi sesuka hati. Saling berGawai sebagai Mahkota Berladang balas pantun, lengkap dengan sampiran Para antropolog Barat dan peneliti Barat dan isi. Dalam berkondan terpancar suka, hampir selalu menautkan hubungan sebab- sekaligus mengandung dimensi pendiakibat berladang dan gawai atau pesta padi dikan. Tidak sembarang orang terampil dan hal itu sungguh benar. Simaklah seba- berpantun. Berpantun menuntut tingkat
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 56
10/26/2013 9:59:34 PM
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
intelektualitas yang tinggi. Bagaimana mungkin pikiran diajak cepat berputar membalas pantun, bila otak tidak encer berdalih? Macam mana bisa menggunakan kata dan kalimat yang memikat, kalau pikiran tidak sehat? Simak contoh pantun berikut ini. Kami takut pasang bendera Pasang bendera setengah tiang Kami takut kawin tentara Udah kawin ditinggal pulang Itu adalah contoh pantun yang kerap didaras oleh wanita-wanita Dayak, tahun 1970-1980-an, tatkala ABRI sedang gencar-gencarnya masuk desa. Waktu itu, ramai para tentara mengawini wanita Dayak seenaknya sebagai pelepas dahaga di medan laga. Selepas menunaikan tugas di Tanah Dayak, para tentara meninggalkan pulang wanita Dayak yang malang. Lahirlah buah pantun di atas. Jadi, pantun juga bisa diselisik sejarah dan maknanya. Seperti halnya syair Homeros dan mitologi Yunani mirip dengan pantun dan mitos orang Dayak, indah dan sarat nuansa pendidikan budi pekerti. Bahkan, zaman Yunani kuna, syair (pantun) dijadikan bahan pengajaran mendidik warga Yunani (Hellas). Pantun dan kearifan tradisional orang Dayak pada akhirnya mengantar kita me narik tali simpul: pasti banyak orang Dayak pintar. Hanya saja, saat ini belum banyak yang muncul ke permukaan. Benihnya sudah ada. Mereka arif bijaksana, terbukti dari mata rantai budaya yang beberapa di antaranya masih hidup hingga hari ini. Karena itu, mana kini tradisi kondan, berbalas pantun, dan beligo? Disimpan di kotak pandora mana, cerita dan mitosmitos? Di mana pula tradisi nyidok (pria dan wanita berdekat-dekatan dalam ruang terbuka sebagai awal mencari jodoh)? Di mana pula kebiasan bapangka gasing (adu gasing) untuk menguji siapa menang dan siapa kalah dengan filosofi berlatih lapa-
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 57
R. Masri Sareb Putra
57
ng dada? Ya, di mana semua itu? Padahal, mata rantai budaya Dayak itu dahulu kala didapat pada siklus pertanian (dari ngabas poya lahan perladangan hingga usai panen). Kita merasa dahaga kembali pada suasana harmonis dengan alam dan Tuhan. Kita pun rindu kebersamaan dan persaudaraan. Terlebih, kita suka pada keindahan, seperti terekspresi dari tari kondan dan berbalas pantun yang pada zaman dahulu kala dimainkan pada masa siklus perladangan. Satu dari banyak mata rantai budaya kultivasi padi orang Dayak yang kini masih tersisa ialah pesta gawai (farming feast). Tidak ada masalah jika Dayak Kanayant melangsungkan gawai (Naik Dango) pada 27 April, Dayak Sanggau dan Kapuas Hulu pada 20 Mei, atau Dayak Iban, Bidayuh, dan Ulu di Sarawak-Malaysia pada setiap 1 dan 2 Juni. Yang penting, gawai bermuara pada satu esensi: ungkapan syukur dan penyataan secara lahirah kebersatuan dengan alam semesta. Sembari minum tuak, betabas daging babi dan ayam, ditingkahi cakap senda gurau dan saling menyorongkan buluh ajan (sobangkangk), orang Dayak di hari gawai riang gembira. Lupalah mereka pada kesulitan hidup yang menghimpit. Sejenak mereka larut pada nikmat ragawi. Akan tetapi, justru di situlah orang Dayak menemukan makna spiritual gawai: boleh mengecap setitik kemuliaan surgawi dari dimensi ragawi tadi. Secercah, dan hanya secercah. Untuk nantinya, di pengujung usia, ada upacara lain lagi. Tiwah namanya di Kalimantan Timur. Upacara terakhir, mengantar jasad manusia kembali pada Sang Khalik. Ladang dalam Konstelasi Kebudayaan Dayak Dalam konteks semakin kritisnya lahan di wilayah Jangkang dan sekitarnya, fenome-
10/26/2013 9:59:34 PM
58
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
Vol I, 2013
na kecenderungan pengusaha “merampas” tanah adat, dan berbagai perilaku akuisisi lahan masyarakat adat, patut dilontarkan pertanyaan “Quo Vadis Kebudayaan Dayak?” (Ke Mana Arah Kebudayaan Dayak?). Akan tetapi, perlu disamakan terlebih dahulu apakah yang dimaksudkan dengan ”kebudayaan”. Secara leksikal (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 170), kebudayaan mengandung dua pengertian: (1) hasil kegiatan dan penciptaan (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; (2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya.
harus kehilangan identitas dan esensi se perti halnya berladang. Akan dibawa ke mana kebudayaan Dayak, bergantung masyarakat Dayak itu sendiri. Mau dan sanggupkah orang Dayak, baik sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok, bertransformasi di tengah-tengah arus perubahan zaman tanpa kehilangan identitas dan esensi? Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terjadi perubahan cukup radikal etnis Dayak atas lahan untuk berladang. Perubahan menyangkut bukan saja pemanfaatannya, melainkan juga pada cara dan pola bercocok tanam yang sama sekali lain dan baru. Dahulu kala, sebidang lahan yang sama untuk berladang akan diladangi kembali dalam siklus 10-15 tahun. Meladanginya Sistem (budaya) berladang berpindah- pun secara tradisional, mengikuti dan sanpindah yang dilakukan suku Dayak tra- gat tergantung siklus dan hukum-hukum disional tidak merusak alam dan lingkunalam. Misalnya, waktu menebas ladang digan hidup, sebab lahan yang sama baru lakukan pada musim kemarau, antara Meidiladangi kembali setelah mencapai siklus Juli. Membakar ladang dilakukan bulan 15-20 tahun. Ladang, bagi orang Dayak, Agustus. Menanam benih (menugal) awal merupakan kata kunci yang vital dalam September, dan seterusnya. Kini tidak lagi mata rantai hidup dan budaya, karena itu, demikian. Lahan yang sama dapat secara banyak upacara ritual dan kebudayaan terus-menerus diladangi 3 kali. Tidak terberhubungan dengan ladang. Dari mulai gantung musim. Menebas dan menebang melihat-lihat bakal lahan yang dijadikan pohon sudah tidak lagi, kecuali untuk lahladang hingga mengantar masuk padi (haan yang baru dibuka. Tidak lagi merumput sil panenan) ke lumbung, semuanya didengan tangan, melainkan cukup disemawali dan ditandai dengan pesta. prot dengan racun gulma. Selain kerjanya efektif, hasilnya pun luar biasa. Padi dan tanaman lain tumbuh PENUTUP Banyak mata rantai ritual dan budaya berla- lebih subur. Dayak Jangkang sudah mulai dang yang hilang dan tidak dapat dijumpai dapat mengelola lahan yang tidak seluas hari ini. Budaya Dayak, termasuk berla- dulu lagi karena populasi penduduk sedang, hanya mengalami transformasi dan makin banyak. Akan tetapi, kearifan lokal aktualisasi, namun sebenarnya hakikatnya tetap mereka pertahankan yakni tidak mersama saja. Di tengah-tengah arus peruba- usak alam dan lingkungan sebab alam dihan itu, orang Dayak dan kebudayaannya yakini dan kemudian terbukti memberikan perlu senantiasa bertransformasi tanpa kehidupan.
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 58
10/26/2013 9:59:34 PM
Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak
Daftar Pustaka Crevello, S. (2004). “Dayak land use systems and indigenous knowledge” dalam Journal of Human Ecology. Vol. 16(2): 69-73. Evans, Ivor H. N. (1922). Among Primitive Peoples in Borneo: A Description of the Lives, Habits & Customs of the Piratical Head-hunters of North Borneo, with an Account of Interesting Objects of Prehistoric Antiquity Discovered in the Island. London: Seeley, Service & Co., Ltd. Gomes, H. Edwin. (1911). Seventeen Years among The Sea Dyaks of Borneo. London: Seeley and Co., Limited. Fallding, H. (1974). The Sociology of Religion: An Explanation of the Unity and Diversity in Religion. McGraw-Hill Ryerson Limited. Jenkins, David. (1978). “The Dyaks: Goodbye to All That,” dalam Far Eastern Eco-
05-MASRI SAREB PUTRA.indd 59
R. Masri Sareb Putra
59
nomic Review. 30 Juni 1978, hlm. 22 - 27. Lonsen, F.X. dan L.C. Sareb. (2002). Hukum Adat Dayak Kecamatan Jangkang Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Dewan Adat Kecamatan Jangkang. Lontaan, J.U. (1975). Sejarah, Hukum Adat, dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar. Lubis, Mochtar. (1978). Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta: Yayasan Idayu. Morrison, Hedda. (1957). Sarawak. Singapore-Kuala Lumpur-Hong Kong: Federal Publications. Putra, R. Masri Sareb. (2013). Dayak Djangkang. Tangerang: UMN Press. Ukur, Fridolin. (1971). Tantang Djawab Suku Daya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. van Hulten, Herman Josef. (1992). Catatan Seorang Misionaris: Hidupku di Antara Suku Daya. Jakarta: PT Grasindo.
10/26/2013 9:59:34 PM