BELAJAR DAN POTENSI DASAR AKTIVITAS PSIKIS DALAM PANDANGAN ISLAM Salminawati Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN - SU Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 Email:
[email protected]
25F; مD=E@ اA 2B3456 ا.<=?را36 /-./01 23456ن ا9:; :ي M1" و2346< "اJ3I M1 LB3N فG456 اM:J; و.اGBHI D1/I /1/J5 اھL. 2B3456< اB3JN إن.26/46< ا3BUA MN 23:5T @56 ا2;G:6آن اG-6ت ا/;آ L. م9-; ]\[ أنM1 <31/I <;/Y4. L6 GBUZ56 اM1 ?.? ﻻBW6 ا23456وا .
Abstrak: Belajar identik dengan menuntut ilmu. Dalam Islam belajar mendapat perhatian yang luar biasa. Hal ini dapat diidentifikasi dari kata ilmu ( ) dan ayat-ayat AlQur’an tentang keutamaan orang berilmu. Proses belajarmengajar yang baik, tentunya harus dipersiapkan dengan matang oleh setiap pendidikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik baik aspek fisiknya maupun psikisnya. Ada beberapa teori belajar yang ditawarkan oleh para tokoh Islam dalam proses belajar-mengajar, diantaranya Ibnu Khaldun. Adapun teori yang ditawarkannya adalah malakah dan tadrij. Tulisan ini bermaksud mengungkapkan kedua teori tersebut, dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para tenaga pendidik dalam mempersiapkan proses belajar-mengajar yang berkualitas. Kata Kunci: Belajar, Potensi, Malakah, Tadrij, Ibnu Khaldun
31
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
A. Pendahuluan
M
anusia adalah makhluk Allah SWT yang di karuniai ilmu pengetahuan. Allah telah mengajarkan Adam, nenek moyang manusia segala macam prototipe ilmu pengetahuan. Karena itu, manusia berpotensi untuk mengetahui seluruh tatanan realitas, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dan potensi untuk mengetahui seluruh tatanan realitas ini terkait secara dasariah dengan jati diri manusia sebagai makhluk dua dimensi yaitu jasmani dan rohani. Dalam mengenali benda-benda fisik, manusia dikaruniai panca indra. Selain panca indra lahir, manusia juga dikaruniai akal yang mampu menerobos batas-batas indrawi.1 Belajar merupakan proses yang terjadi secara terus menerus, dan tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Atas dasar itulah sekolah harus berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang di hadapi sampai akhir hayatnya. Psikologi pendidikan pada azasnya adalah sebuah disiplin psikologi atau boleh juga disebut subdisiplin psikologi yang menyelidiki masalah-masalah psikologis yang terjadi dalam dunia pendidikan. Kemudian hasil-hasil penyelidikan ini dirumuskan ke dalam bentuk konsep, teori dan metode yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan proses belajar, proses mengajar, dan proses belajar mengajar. Akhirnya psikologi pendidikan dapat digunakan sebagai pedoman praktis di samping sebagai kajian teoritis.2 B. Pengertian Belajar Dikalangan para ahli psikologi terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar. Namun, baik secara eksplisit maupun secara implisit pada akhirnya terdapat kesamaan makna, yaitu bahwa definisi manapun yang menjelaskan tentang konsep belajar selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.3 Hal tersebut dapat kita perhatikan dalam beberapa definisi berikut ini:
32
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
a) Dalam al-Qur’an, pengertian belajar di jelaskan dengan kata ــ dengan berbagai akar kata yang serumpun dengannya disebut sebanyak lebih dari 840 kali dan digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dalam hal ini, kata ‘allama sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ragib al-Ashfahani, digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang.4 b) Belajar juga dalam al-Qur’an dimaknakan dengan istilah رب dengan berbagai kata yang serumpun dengannya disebut sebanyak lebih dari 872 kali. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh Ashfahani, artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada tingkat yang sempurna.5 Dari akar kata “ ”ربini terbentuklah kata tarbiyah yang oleh Muhammad Athiyah Al-Abrasyi didefinisikan sebagai upaya kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, etika, sistematik dalam berfikir, tajam berperasaan, giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan, dan terampil berkreativitas.6 Istilah lain dari belajar juga diidentikkan dengan istilah atta’dîb yang bermakna pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempattempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.7 c). Menurut Ibnu Khaldun, belajar adalah bagian dari aktifitas manusia. Potensialitas kognitif adalah realitas psikologis yang dibutuhkan dalam menerangkan proses belajar itu berlangsung. Bagi Ibnu Khaldun, akal adalah potensi psikologis dalam belajar. Manusia mampu memahami keadaan diluar dirinya dengan kekuatan fikirannya (akal) yang berada di balik alat alhawâs. Akal bekerja dengan kekuatan yang ada pada otak. Dengan kekuatan itu memberi kesanggupan menangkap bayangan berbagai objek yang biasa diterima alat indra.
33
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
Kemudian mengembalikan bayangan-bayangan lain dari objek itu. Kemampuan berpikir adalah penjamahan bayang-bayang itu dibalik persepsi indranya, serta aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisis dan sintesis.8 C. Teori-Teori dan Tipe-Tipe Belajar 1. Teori-teori Belajar Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.9 Pendapat lain mengatakan, bahwa teori belajar adalah "Pandangan sistematis integral dalam memandang proses dimana manusia melakukan hubungan dengan lingkungan dalam rangka mengembangkan kemampuannya yang lebih efektif".10 Dalam pendidikan Islam, terdapat teori-teori belajar yang dikemukakan oleh para tokohnya, diantaranya oleh Ibnu Khaldun yaitu: a. Teori Belajar Malakah Ibnu Khaldun mendefinisikan malakah, "sifat yang berurat berakar sebagai hasil belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu dengan kokoh tertanam dalam jiwa". Malakah dalam proses belajar adalah suatu tingkat pencapaian (achievement) dari penguasaan suatu materi keilmuan, keterampilan dan sikap tertentu akibat dari suatu proses belajar secara intens, bersungguh-sungguh dan sistematis. Ibnu Khaldun memaknai malakah berbeda dengan alfahmu dan al-wa'yu. al-Fahmu atau pemahaman dimaksudkan sebagai kemampuan menangkap makna, seperti dapat menjelaskan dengan susunan kalimatnya sendiri sesuatu yang dibaca dan didengarnya atau dapat memberi contoh lain dari yang dicontohkan. Sedangkan hapalan berbeda dengan pemahaman, hapalan lebih rendah jenjangnya, meskipun dalam berbagai hal hapalan merupakan kemampuan pra syarat untuk memperoleh kemampuan yang lebih tinggi.11
34
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
b. Teori Belajar Tadrij Secara lughawi “tadrîj” adalah bentuk indefinite dari fi'il mâdhi “tadarraja” artinya “naik, maju, meningkat secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit.” Ibnu Khaldun memaknai tadrîj tidak hanya maju atau meningkat secara kuantitas, tetapi juga disertai kualitas. Menurut teori ini belajar yang efektif adalah dilakukan secara berangsur-angsur, setahap demi setahap dan secara terus menerus. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa kemampuan manusia adalah terbatas, kerja akal berjalan secara bertahap, karena itu proses belajar berlangsung sesuai dengan kebertahapan kerja akal manusia. Argumentasi lain untuk menguatkan teori ini, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa salah satu karakteristik akal manusia adalah belajar sesuai dengan kaidah logika yang teratur, yaitu bertahap mulai yang mudah dan sederhana kepada yang sulit, dalam menyingkap dan mendalami hakikat.12 Mengutip Aristoteles, Al-Farabi menggambarkan makhluk manusia sebagai binatang rasional (al-hayawân al-nâthiq) yang lebih unggul dibanding makhluk-makhluk lain. Menurut Al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu melalui daya berpikir, daya menghayal, dan daya mengindra. a. Daya berfikir; kemampuan berfikir adalah kekuatan yang dimanfaatkan manusia untuk memahami. Lewat kemampuan ini pertimbangan (râwiyah), dihadirkan lewat instrument yang sama manusia memperoleh ilmu-ilmu dan seni-seni serta membedakan tindakan yang baik dari yang buruk. Kemampuan berfikir sebagian bersifat praktis sebagian lagi teoritis. b. Daya menghayal; disebut juga dengan lima indra internal (alhawâss al-bâthiniyah) yang meliputi: daya representasi penggambaran, daya estimasi/duga, daya memori/ ingat, daya imajinasi kompositif manusia dan daya imajinasi kompositif binatang. c. Daya mengindra; mengetahui yang terendah karena hadir demi dua kemampuan lainnya yaitu menghayal dan berfikir. AlFarabi percaya bahwa daya mengindra mendahului daya menghayal dalam proses perkembangan manusia. Kekuatan kognitif jiwa manusia mula-mula berkembang melalui indra-
35
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
indra eksternal. Karena itu, kemampuan menghayal dianggap memiliki status ontology lebih tinggi dari pada kemampuan mengindra. Al-Farabi mengungkapkan hubungan kedua daya dengan menyatakan bahwa daya menghayal merupakan sebentuk (shūrah) unsur yang menguasai kemampuan mengindra, sedangkan kemampuan mengindra tidak lain materi (maddah) bagi kemampuan menghayal.13 2. Tipe-Tipe Belajar Al-Gazali mejelaskan tentang "sistem sembilan tahapan" dipandang dari sudut proses dan prosedur pencapaian ilmu, yaitu: a. Tahap identifikasi masalah. Terdapat tiga unsur yaitu: adanya masalah, urgensi masalah, dan studi yang telah dilakukan. b. Tahap penetapan tujuan penelitian. Yaitu tercapainya ilmu yang dalam konteks tujuan yang hendak dicapai Al-Gazali adalah ilmu yang meyakinkan (ilmu yaqini). c. Tahap introspeksi dan penancapan prinsip-prinsip ilmiah tertentu yang diatasnya ilmu harus dibangun. Sehingga ia tumbuh dan berkembang secara sehat, kokoh dan subur. Prinsip-prinsip tersebut adalah: prinsip skeptik metodis dan anti taqlid, prinsip objek-faktual dan terbuka, prinsip rasional-kritis, prinsip komprehensif dan sintetik-integralistik, dan prinsip ikhlas. d. Tahap asumsi dasar. Untuk menyusun bangunan ilmu secara keseluruhan, Al-Gazali memakai kerangka dasar logika sebagai "miqaddimah ilmi-ilmu seluruhnya", sekaligus sebagai "neraca ilmu" dan "timbangan yang lurus" dan orang yang tidak menguasainya tak dapat sama sekali mempercayai kebenaran ilmunya sendiri. e. Tahap proses kajian rasional. Pada tahap ini objek dianalisis dengan metode ilmiah tertentu, yang oleh Al-Gazali disebut hujjah atau burhan (argumen). Hujjah adalah kajian rasional yang menghubungkan pada assent. Menerut Al-Gazali ada tiga macam hujjah, yaitu qiyâs atau burhân haqiqi (silogisma/deduksi) yang bergerak dari kulli
36
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
f.
g.
h.
i.
(universal) ke juz'i (partikular), istiqra' (induksi) yang dalam proses abstraksi bergerak dari banyak partikular ke universal. Tahap penyimpulan. Ilmu yang diperoleh pada fase ini sebagian final, yaitu ilmu meyakinkan yang diperoleh melalui burhan haqiqi dan ilmu relatif (zonni) yaitu ilmu praksis (etika dan hukum) yang diperoleh dengan dalil zonni. Tahap aplikasi ilmu praksis. Ilmu praksis adalah ilmu teoritis yang pasti dan tentatif merupakan landasan, sedang hukum merupakan kaidah formal perbuatan praksis manusia, dan etika merupakan ilmu praksis dari sudut internal yang oleh Al-Gazali disebut "mîzân al'amal". Menurutnya akhlak yang baik tercapai dengan dua sebab, yaitu: Pertama, kemurahan Allah dan kesempurnaan fitrah. Kedua, melalui usaha, yaitu mujahadah dan riyadhah, yakni tazkiyah (membersihkan qalbu dari akhlak tercela). Tahap tercapainya kasyf. Menurut Al-Gazali ilmu kasyf bukan merupakan hasil usaha langsung, melainkan karunia Allah yang harus didahului oleh persiapan diri berupa mujahadah dan riyadhah. Jadi mujahadah dan riyâdhah tidak pasti menghasilkan kasyf, akan tetapi persiapan diri dengan mujâhadah dan riyâdhah merupakan sebab, sarana, kunci, dan sumbernya sehingga harus berharap dengan optimis. Tahap tercapainya kebahagiaan abadi. Kasyf merupakan kebahagiaan, akan tetapi yang dimaksud kebahagiaan oleh Al-Gazali adalah kebahagiaan dengan tercapainya wusul (sampai), yakni berada sedekat mungkin dengan Allah sejak dunia sampai akhirat.14
D. Potensi Dasar Manusia Potensi manusia dipahami berbeda oleh para ahli. Hal ini terkait erat dengan fakta indrawi saja. Semakin teliti dan canggih alat bantu indrawi yang dipergunakan, maka akan semakin menguak sisi-sisi manusia secara menyeluruh. Fuad Nashori, dalam bukunya “Potensi-Potensi Manusia” menjelaskan tentang potensi-potensi tersebut:
37
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
1. Potensi Berpikir. Manusia memiliki potensi berpikir. Maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk belajar informasiinformasi baru dan menghasilkan pemikiran baru. 2. Potensi Emosi. Setiap manusia memiliki potensi cita-rasa yang dengannya manusia dapat memahami perasaan orang lain, ingin mencintai dan dicintai, menghargai dan dihargai dan cenderung kepada keindahan. 3. Potensi Fisik. Salah satu hal yang melatarbelakangi Nabi Muhammad saw. menyuruh anak di latih memanah, berkuda dan berenang adalah karena manusia memiliki potensi fisik. 4. Potensi Sosial. Seseorang yang memiliki potensi sosial yang besar, memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dan mempengaruhi orang lain. Kemampuannya menyesuaikan diri dan mempengaruhi orang lain didasari kemampuannya belajar, baik pada tataran pengetahuan maupun keterampilan.15 Haidar Putra Daulay, dalam bukunya “Qalbun Salim” membagi potensi manusia kepada dua macam yaitu: potensi jasmani dan potensi rohani. 1. Potensi jasmani. Potensi jasmani manusia adalah seluruh organ tubuh manusia yang berwujud nyata bersifat material seperti panca indra, jantung, paru-paru, ginjal, daging, darah, dan sebagainya. 2. Potensi rohani. a. Akal Akal merupakan daya pikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa manusia. Kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu 'aqala yang artinya mengikat dan menahan. Quraish Shihab16 menyebutkan pengertian akal adalah: 1) Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti pada surat al-Ankabut : 43
38
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
ﻮﻥﻤﺎﻟﺎ ﺇﹺﻻ ﺍﻟﹾﻌﻠﹸﻬﻘﻳﻌ ﺎﻣﺎﺱﹺ ﻭﻠﻨﺎ ﻟﻬﺮﹺﺑﻀﺜﹶﺎﻝﹸ ﻧ ﺍﻷﻣﻠﹾﻚﺗﻭ Artinya: “Demikianlah perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. 2). Dorongan moral, seperti pada surat al-An'am ayat 151:
ﺌﹰﺎﻴ ﺷﺮﹺﻛﹸﻮﺍ ﺑﹺﻪﺸ ﺃﹶﻻ ﺗﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﻜﹸﻢﺑ ﺭﻡﺮﺎ ﺣﻞﹸ ﻣﺍ ﺃﹶﺗﺎﻟﹶﻮﻌﻗﹸﻞﹾ ﺗ ﻗﹸﻜﹸﻢﺯﺮ ﻧﻦﺤﻼﻕﹴ ﻧ ﺇﹺﻣﻦ ﻣﻛﹸﻢﻻﺩﻠﹸﻮﺍ ﺃﹶﻭﻘﹾﺘﻻ ﺗﺎ ﻭﺎﻧﺴﻳﻦﹺ ﺇﹺﺣﺪﺍﻟﺑﹺﺎﻟﹾﻮﻭ ﻠﹸﻮﺍﻘﹾﺘﻻ ﺗ ﻭﻄﹶﻦﺎ ﺑﻣﺎ ﻭﻬﻨ ﻣﺮﺎ ﻇﹶﻬ ﻣﺣﺶ ﺍﻮﺍ ﺍﻟﹾﻔﹶﻮﺑﻘﹾﺮﻻ ﺗ ﻭﻢﺎﻫﺇﹺﻳﻭ ﻠﹸﻮﻥﹶﻘﻌ ﺗﻠﱠﻜﹸﻢ ﻟﹶﻌ ﺑﹺﻪﺎﻛﹸﻢﺻ ﻭﻜﹸﻢﻖﹺّ ﺫﹶﻟ ﺇﹺﻻ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤ ﺍﻟﻠﱠﻪﻡﺮﻲ ﺣ ﺍﻟﱠﺘﻔﹾﺲﺍﻟﻨ Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). 3). Dorongan untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah. Sebagaimana dalam surat al-Mulk ayat 10.
ﲑﹺﻌﺎﺏﹺ ﺍﻟﺴﺤﻲ ﺃﹶﺻﺎ ﻓﺎ ﻛﹸﻨﻞﹸ ﻣﻘﻌ ﻧ ﺃﹶﻭﻊﻤﺴﺎ ﻧ ﻛﹸﻨﻭﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻟﹶﻮ Artinya: Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".
39
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
b. Qalb. Kata qalb terambil dari kata yang bermakna membalik karena sering kali ia berbolak balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. c. Nafsu. Kata nafs di dalam al-Qur'an mengandung berbagai makna. Menurut Quraish Shihab17 bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia tentang sisi dalamnya berpotensi baik dan buruk. Dalam pandangan al-Qur'an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh alQur'an dianjurkan untuk diberi perhatian yang lebih besar. Dalam hubungannya dengan potensi-potensi jiwa dan raga manusia, dapat dijelaskan bahwa secara umum manusia memperoleh ilmu pengetahuan melalui lima cara. Masing-masing pada dasarnya melalui lima potensi manusia;18 Pertama, potensi al-jism berupa alat sensoris. Potensi ini berupa kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, merasa, mengecap, dan lain-lain. Manusia menggunakan alat dria ini memperoleh ilmu pengetahuan. Kedua, potensi akal berupa pemikiran rasional. Potensi ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional. Akal mampu menangkap pengetahuan melalui bantuan indra seperti untuk melihat dan memperhatikan. Apabila mencapai puncaknya, akal tidak lagi membutuhkan indra, sebab indra membatasi ruang lingkup pengetahuan 'aqliyah. Karena itulah maka pengetahuan yang dihasilkan oleh akal dibagi menjadi dua bagian: pertama, pengetahuan rasional-empiris, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran akal dan hasilnya dapat di verifikasi secara indrawi; kedua, pengetahuan rasional-idealis, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran akal, namun hasilnya belum tentu dapat diverifikasi dengan indra. Bagian pertama menghasilkan ilmu pengetahuan sedangkan yang kedua menghasilkan filsafat.19 Ketiga, potensi qalb. Kata qalb terambil dari kata yang bermakna "membalik", karena sering kali ia berbolak-balik, terkadang senang terkadang susah, kadang kala setuju dan
40
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
terkadang menolak. Qalb berpotensi untuk tidak konsisten. Qalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Dari sini dapatlah dipahami bahwa qalbu memang menampung halhal yang disadari oleh pemiliknya.20 Dimensi qolb memiliki kemampuan rasional dan emosional. Dengan menggunakan potensi qolb ini, maka manusia dapat mengetahui hal-hal yang pantas dan layak untuk dilakukan. Pengetahuan dimaksud adalah pengetahuan yang mengenai daerah kearifan dan kebijaksanaan. Pengetahuan yang demikian diperoleh dengan menggunakan kemampuan dan daya qolb. Keempat potensi al-rūh berupa potensi spiritual. Potensi spiritual adalah sifat-sifat Tuhan yang ditanamkan kedalam diri manusia. Sifat-sifat itu mendorong seseorang untuk mengaktualisasikannya dalam sifat dan tingkah lakunya. Ciri utama orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah adanya keinginan untuk memberi kuntribusi bagi umat manusia. Dengan demikian, seseorang yang mampu mengaktualisasikan sifat-sifat tuhan dalam dirinya berarti memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Dengan mengembangkan potensi ini, manusia dapat memperoleh pengetahuan spiritual dan mistik. Pengetahuan mistik yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan kemampuan dan daya pada dimensi al-rūh. Dengan ruh yang ditiupkan ke dalam diri manusia maka manusia hidup dan berkembang. Ruh mempunyai dua daya, daya berfikir yang disebut aql dan daya rasa yang disebut qalb. Dengan daya aql manusia memperoleh ilmu pengetahuan, memperhatikan dan menyelidiki alam sekitar. Dengan daya qalb manusia berusaha mendekatkan diri (taqarrub) sedekat mungkin dengan Allah. Dalam sejarah Islam kedua daya ini dikembangkan. Para ulama filosof lebih mengembangkan aql dari pada qalb. Ulama sufi sebaliknya lebih mengembangkan qalb dari pada aql. Dengan ruh yang mempunyai dua daya tersebut manusia memiliki potensi (fitrah) mengaktualisasikan sifat-sifat Allah ke dalam dirinya, serta memiliki kecenderungan untuk mencari Allah, mencintai-Nya serta beribadah kepada-Nya. Dengan adanya aql manusia siap mengenal Allah, beriman dan beribadah kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan serta memanfaatkan untuk kesejahteraan hidup. Dengan adanya qalb manusia dapat membedakan kebaikan dan keburukan.21
41
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
Kelima, potensi fithrah. Dengan potensi ini, manusia memperoleh pengetahuan religius. Pengetahuan religius dimaksudkan adalah pengetahuan yang berhubungan dengan keyakinan dan agama seperti: wahyu, iman, tuhan, hari akhirat, surga, neraka, dan lain lain. Dimensi al-rūh dan dimensi al-fithrah memiliki peran yang sangat penting dalam hubungannya dengan esensi dan eksistensi manusia. Dimensi al-rūh beraktualisasi sebagai khalifah, sementara dimensi al-fithrah beraktualisasi sebagai al-'abid dalam konteks ibadah. Manusia dalam hubungannya dengan alam adalah sebagai aktualisasi khalifah, sementara dalam hubungannya dengan Allah adalah sebagai aktualisasi peran ibadah. 22 F. Penutup Dalam pandangan Islam komposisi yang memperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas, bermakna satu keseluruhan yang utuh, namun dalam tampilannya selalu menyodorkan sisi tertentu, seperti: jismiah (fisik), nafsiah (psikis), dan ruhaniah (spritual-transendental). Masing-masing sisi ini menampilkan karakreristiknya. Potensi dasar manusia dalam pandangan Islam adalah baik dan sekaligus juga buruk. Potensi itu berupa fitrah, ruh, akal, nafsu, dan jasad. Potensi yang berbentuk fitrah, ruh, dan kalbu adalah baik, sementara potensi yang berupa akal adalah netral dan potensi yang berbentuk nafsu dan jasad bersifat buruk. Manusia adalah makhluk yang senantiasa membutuhkan pendidikan karena ia memiliki potensi yang dinamis dan dapat dikembangkan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat. Namun potensi yang sangat besar itu tidak akan menjadi apa-apa jika tidak dikembangkan dengan pendidikan yang diperoleh melalui proses belajar. Dikalangan para ahli psikologi terdapat keragaman dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar. Namun baik secara eksplisit maupun secara implisit pada akhirnya terdapat kesamaan makna, yaitu bahwa definisi manapun yang menjelaskan tentang konsep belajar selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.
42
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
Proses belajar mengajar di lembaga tertentu, harus didukung dengan teori-teori belajar yang telah teruji, agar keberhasilan dalam belajar dapat dicapai dengan maksimal.
DAFTAR BACAAN Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Rhut Tarbiyah Wa Ta’lim, Saudi Arabia: Darul Ahya’. Al-Ashfahani, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat li-Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Fikr, tt Al-Atas, Syekh Muhammad Naquib, 1988. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung: Mizan, cet. III Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Maqashid al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir: Dar Al-Ma’arif, tt Al-Rasyidin, ed. 2007. Pendidikan dan Psikologi Islami,Bandung: Citapustaka Media, Anwar, Saeful, 2007. Filsafat Ilmu Al-Gazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia, Asari, Hasan, 1999. Nukilan Pemikiran Islam Klasik: Gagasan Pendidikan Al-Ghazali, Yogyakarta: Tiara Wacana Baharuddin, 2007. Paradigma Psikologi Islami, Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II Bakar, Osman, 1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu Menurut al-farabi, Al- Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi, Bandung: Mizan. Kartanegara, Mulyadhi, 2007. Nalar Religius, Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, Jakarta: Erlangga. Langgulung, Hasan, 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma'arif. ________________, 1986. Manusia dan Pendidikan, Jakarta: alHusna, Makmun, Abin Syamsuddin, 2005. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cetakan ke 8.
43
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
Maktabah Syamilah, no. Hadis1296. Najati, Muhammad 'Utsman, 2005. Hadis dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka. Nashori, Fuad, 2003. Potensi-Potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purwanto, Yadi, 2007. Psikologi Kepribadian, Integritas Nafsiyah dan 'Aqliyah Perspektif Psikologi Islami, Bandung: Refika Aditama. Ramayulis, 2008. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet VII Shaleh, Abdul Rahman, 2008. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, Shihab, Quraish, 1996. Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan Syah, Muhibbin, 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cetakan ke 14. Walidin, Warul, 2003. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Lhokseumawe: Nadiya Foundation.
44
Salminawati : Belajar Dan Potensi Dasar Aktivitas Psikis...
End Note: 1
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius, Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 12-15 2 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), Cetakan ke 14, h. 15. 3 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), Cet. ke 8, h. 157. 4 Al-Raghib Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat li-Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), h. 356. 5 Al-Raghib Al-Ashfahani, Mu’jam…, h. 198. 6 Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Ruhut Tarbiyah Wa Ta’lim, (Saudi Arabia: Darul Ahya’), h. 7 7 Syekh Muhammad Naquib Al-Atas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung: Mizan 1988), Cet. III, h. 66. 8 Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. 108-109. 9 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan …, h. 105. 10 Warul Walidin, Konstelasi…, h. 113. 11 Warul Walidin, Konstelasi…, h. 114-115. 12 Warul Walidin, Konstelasi…, h. 119-125. 13 Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu Menurut al-farabi, Al- Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Bandung: Mizan, 1997), h. 66-73. 14 Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Gazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 203-289. 15 Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 85-89. 16 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, h. 286-288. 17 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, h. 194-195. 18 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)Cet. II, h. 279-281. 19 Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian, Integritas Nafsiyah dan 'Aqliyah Perspektif Psikologi Islami, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 160. 20 Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana , 2008), Cet. III, h. 63-64 21 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, h. 228
45
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
22
Al-Rasyidin, ed. Pendidikan Citapustaka Media, 2007), h.25
46
dan
Psikologi
Islami,(Bandung: