PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Bagian 4 TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN TUJUAN PEMBELAJ ARAN 1) Mahasiswa mampu memahami dan menganalisis (a) teori permintaan dan penawaran serta harga komoditas pertanian, (b) perilaku elastisitas produkproduk pangan dan hasil-hasil pertanian. 2) Mahasiswa mampu memahami faktor-faktor penting dan kritikal dalam pengembangan kegiatan pertanian bernilai tambah dan berdaya saing melalui agribisnis/agroindustri.
DESKRIPSI 4.1 Teori Penawaran Penawaran adalah jumlah barang yang produsen ingin tawarkan (jual) pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu. Penawaran atau marketed supply merupakan hasil produksi petani dikurangi konsumsi keluarga, bibit/benih dan lain-lain. Penawaran adalah hasil produksi usahatani yang dijual atau dibawa ke pasar ditambah import dan sisa stok tahun sebelumnya. Dengan demikian antara produksi (fungsi produksi) dengan penawaran ada keterkaitannya. Sering kali hasil produksi petani disamakan dengan penawaran petani (Asmarantaka, 2012). Salah satu teori penawaran mempergunakan analisis kurva penawaran yaitu jumlah yang ditawarkan persatuan waktu pada kondisi harga-harga tertentu, dimana hubungan antara jumlah yang ditawarkan dengan harga adalah positif. Kurva penawaran individu perusahaan (petani) diturunkan dari kurva biaya (Marginal Cost atau MC) yang sama atau lebih besar dari AVC (biaya variabel rata-rata). Fungsi penawaran (Dahl and Hammond, 1977) menjelaskan hubungan antara jumlah yang ingin ditawarkan sebagai peubah terikat, dipengaruhi oleh peubah bebas atau variabel antara lain harga produk tersebut (P), harga input (Pf), harga produk lain (Po), teknologi (Te), jumlah perusahaan (N), ekspektasi (E) dan kapasitas (C). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : Qs = f ( P, Pf, Po, Te, N, E, C ). Analisis perubahan kurva penawaran dapat dilakukan melalui analisis pergerakan dan pergeseran kurva. Pergerakan sepanjang kurva penawaran apabila terjadi perubahan harga produk tersebut cateris paribus peubah (variabel) lain. Apabila harga produk meningkat maka jumlah yang akan ditawarkan oleh perusahaan akan meningkat, dengan demikian slope kurva penawaran yaitu hubungan jumlah penawaran terhadap harga adalah positif (pergerakan sepanjang kurva). Pergeseran kurva penawaran apabila terjadi perubahan peubah-peubah bebas lainnya cateris paribus peubah harga produk.
79
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Apabila harga input naik, maka kurva penawaran akan geser ke kiri. Apabila teknologi meningkat, maka kurva penawaran akan geser ke kanan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penawaran suatu barang adalah: a) Harga Barang itu sendiri Jika harga suatu barang naik, maka produsen cenderung akan menambah jumlah barang yang dihasilkan. Hal ini membawa kita terhadap hukum penawaran yang menjelaskan sifat hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual. Hukum penawaran menyatakan “semakin tinggi harga suatu barang, ceteris parebus, semakin banyak jumlah barang tersebut yang ingin ditawarkan oleh penjual dan sebaliknya”. b) Harga barang lain yang terkait Barang-barang substitusi dapat mempengaruhi suatu barang. Apabila harga barang substitusi naik, maka penawaran suatu barang akan bertambah,dan sebaliknya. Sedangkan untuk barang komplemen, dapat kita nyatakan bahwa harga barang komplemen naik, maka penawaranakan suatu barang berkurang, dan sebaliknya. c) Harga faktor produksi Kenaikan harga faktor produksi, seperti tingkat upah yang lebih tinggi, harga bahan baku yang meningkat, atau kenaikan tingkat bunga modal, akan menyebabkan perusahaan memproduksi outputnya lebih sedikit dengan jumlah anggaran yang tetap. d) Teknologi Kemajuan teknologi menyebabkan penurunan biaya produksi dan menciptakan barang-barang baru. Dalam hubungannya dengan penawaran akan suatu barang, kemajuan teknologi menyebabkan kenaikan dalam penawaran akan barang. e) Jumlah perusahaan Apabila jumlah penjual atau perusahaan suatu produk tertentu semakin banyak, maka penawaran akan berang tersebut akan bertambah.
4.1.1 Hukum Penawaran Hukum Penawaran menyatakan bahwa terdapat hubungan positif (searah) antara harga (P) dan Jumlah yang ditawarkan (S). Artinya “semakin tinggi harga suatu barang, ceteris parebus, semakin banyak jumlah barang tersebut yang ingin ditawarkan oleh penjual dan sebaliknya”. Secara grafis dapat ditunjukkan oleh Gambar 4.1:
80
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Gambar 4.1 Kurva penawaran Sumber: Baye, 2010
4.1.2 Elastisitas Penawaran Angka elastisitas (coefficient of elasticity) dapat didefinisikan sebagai persentase perubahan dalam variabel yang tak bebas (dependent variable) debagi dengan persentase perubahan dalam variabel bebas (independent variable). Dalam pembahasan ini difokuskan pada elastisitas harga penawaran (price elasticity of supply). Elastisitas harga penawaran dapat didefinisikan sebagai persentase perubahan jumlah yang ditawarkan dibagi dengan persentase perubahan harga. Jika P adalah harga dan Q adalah jumlah yang ditawarkan, maka elastisitas penawaran dirumuskan sebagai berikut : es
Q / Q P Q . P / P Q P
Elastisitas harga penawaran mengukur seberapa banyak penawaran barang dan jasa berubah ketika harganya berubah. Elastistas harga ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang ditawarkan sebagai akibat dari satu persen perubahan harga. Perhitungan koefisien elastisitas penawaran juga dapa dituliskan sebagai berikut: Es = % perubahan kuantitas penawaran / % perubahan harga Ada lima jenis elastisitas penawaran : a) Penawaran tidak elastis sempurna : elastisitas = 0. Penawaran tidak dapat ditambah pada tingkat harga berapapun. b) Penawaran tidak elastis : elastisitas < 1. Perubahan penawaran lebih kecil dari perubahan harga, artinya perubahan harga mengakibatkan perubahan yang relatif kecil terhadap penawaran. c) Penawaran uniter elastis : elastisitas = 1. Perubahan penawaran sama dengan perubahan harga. d) Penawaran elastis : elastisitas > 1. Perubahan penawaran lebih besar dari perubahan harga, artinya perubahan harga mengakibatkan perubahan yang relatif besar terhadap penawaran.
81
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
e) Penawaran elastis sempurna : elastisitas tak terhingga. Produsen dapat menyuplai berapapun kebutuhan pada satu tingkat harga tertentu. Produsen mampu menyuplai pada biaya per unit konstan dan tidak ada limit kapasitas produksi.
4.2 Teori Permintaan Teori permintaan untuk produk akhir menunjukkan jumlah yang akan diminta (diinginkan) konsumen per periode waktu tertentu yang ditentukan oleh harga barang tersebut, pendapatan konsumen, harga barang substitusi atau komplemen, selera, dan populasi. Teori permintaan ini dianalisis melalui pendekatan fungsi permintaan yaitu jumlah yang diminta konsumen sebagai peubah terikat. Peubah terikat ini ditentukan oleh peubah bebas yaitu harga, pendapatan, harga barang subtitusi atau komplemen, ekspektasi harga-harga yang akan datang, selera, dan populasi konsumen. Secara matematika hubungan tersebut ditulis sebagai berikut: Qd = f ( P, Y, Po, E, T, Pop) dimana: Qd = Jumlah barang yang diinginkan pada waktu tertentu P = Harga barang per satuan volume tertentu Y = Pendapatan konsumen pada waktu tertentu Po = Harga barang lain (substitusi atau komplemen) E = Ekspektasi harga-harga yang akan datang T = Taste atau selera konsumen Pop = Populasi atau jumlah anggota keluarga konsumen. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penawaran suatu barang adalah: a) Harga Barang itu sendiri Jika harga suatu barang semakin murah, maka permintaan terhadap barang itu bertambah. Begitu juga sebaliknya. Hal ini membawa kita ke hukum permintaan, yang menyatakan “Bila harga suatu barang naik, ceteris paribus, maka jumlah barang yang diminta akan berkurang, sebaliknya”. b) Harga Barang lain yang terkait Harga barang lain juga dapat mempengaruhi permintaan akan suatu barang, tetapi kedua macam barang tersebut mempunyai keterkaitan. Keterkaitan dua macam barang dapat bersifat substitusi (pengganti) dan bersifat komplementer (penggenap). Jika harga barang substitusi meningkat, harga relatif barang tersebut menjadi lebih murah dan akan berdampak terhadap meningkatnya jumlah permintaan barang tersebut. Sedangkan harga komplementer mengalami penurunan, maka permintaan barang komplementer meningkat, sehingga permintaan terhadap barang yang diminta mungkin mengalami peningkatan pula.
82
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
c) Tingkat pendapatan per kapita Tingkat pendapatan per kapita dapat mencerminkan daya beli. Makin tinggi tingkat pendapatan, daya beli makin kuat, sehingga permintaan terhadap suatu barang meningkat. d) Selera atau kebiasaan Selera atau kebiasan juga dapat mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang. Misalnya beras, walaupun harganya relatif sama, permintaan beras di Provinsi Maluku lebih rendah dibandingkan dengan di Provinsi JawaTimur, karena masyarakat Maluku lebih menyukai sagu sedangkan masyarakat Jawa Timur terbiasa mengkonsumsi beras. e) Jumlah penduduk Semakin banyak jumlah penduduk makan permintaan akan suatu barang juga akan semakin meningkat. f) Perkiraan harga yang akan datang Bila diperkirakan harga suatu barang akan naik, adalah lebih baik untuk membeli barang itu sekarang, sehingga mendorong orang untuk membeli lebih banyak saat ini untuk menghemat pengeluaran di masa yang akan datang.
4.2.1 Hukum Permintaan Hukum Permintaan menyatakan bahwa ada hubungan terbalik (berlawanan) antara harga dan jumlah barang yang diminta. Artinya adalah “Bila harga suatu barang naik, ceteris paribus, maka jumlah barang yang diminta akan berkurang, sebaliknya”. Secara grafis ditunjukkan oleh Gambar 4.2:
Gambar 4.2. Kurva Permintaan Sumber: Baye, 2010
4.2.2 Elastisitas Permintaan Pengaruh perubahan harga terhadap jumlah yang diminta dapat diketahui dengan menggunakan konsep elastisitas. Elastisitas harga atas permintaan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
83
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
ed
Q / Q P Q . P / P Q P
Dimana P adalah harga dan Q adalah jumlah yang diminta. Ada lima jenis elastisitas permintaan : 1. Permintaan tidak elastis sempurna : elastisitas = 0. Perubahan harga tidak mempengaruhi jumlah yang diminta. Contoh barang yang permintaannya tidak elastis sempurna adalah tanah (meskipun harganya naik terus, kuantitas yang tersedia tetap terbatas). 2. Permintaan tidak elastis : elastisitas < 1. Prosentase perubahan kuantitas permintaan < dari prosentase perubahan harga. Contoh permintaan tidak elastis ini dapat dilihat diantaranya pada produk kebutuhan. Misalnya beras. 3. Permintaan uniter elastis : elastisitas = 1. Prosentase perubahan kuantitas permintaan = prosentase perubahan harga. 4. Permintaan elastis : elastisitas > 1. Prosentase perubahan kuantitas permintaan > prosentase perubahan harga. Ketika harganya naik, konsumen akan dengan mudah menemukan barang penggantinya. Contohnya adalah pada produk yang mudah dicari substitusinya. Misalnya saja pakaian. 5. Permintaan elastis sempurna : elastisitas = ∞. Dimana pada suatu harga tertentu pasar sanggup membeli semua barang yang ada di pasar. Selain elastisitas permintaan, terdapat beberapa perhitungan elastisitas yaitu elastisitas pendapatan atas permintaan (income elasticity od demand) dan elastisitas silang atas permintaan (cross elasticity). Elastisitas pendapatan merupakan persentase perubahan dalam jumlah yang diminta dibagi dengan persentase perubahan dalam pendapatan konsumen. Jumlah barang yang diminta sebagai variabel tak bebas, dan pendapatan sebagai variabel bebas sedangkan harga dalam kondisi ceteris paribus atau keadaaannya tetap. Elastisitas pendapatan atas permintaan dirumuskan : eI
Q / Q I Q . I / I Q I
Elastisitas pendapatan terhadap permintaan dapat menjelaskan sifat suatu barang. a) Jika angka elastisitas positif (eI > 0), maka barang tersebut adalah barang normal yaitu permintaannya naik dengan kenaikan pendapatan konsumen. Contohnya adalah beras dan lain-lain. b) Jika elastisitas pendapatan negatif (eI < 0), maka menunjukkan sifat barang inferior yaitu permintaannya turun dengan adanya kenaikan pendapatan konsumen. Contohnya adalah gaplek, dimana konsumen akan mengkonsumsi beras (misalnya) apabila pendapatan konsumen naik dibandingkan mengkonsumsi gaplek. c) Nilai elastisitas sama dengan satu (eI = 1), menunjukkan sifat barang tersebut barang netral yang tidak berubah jumlah konsumsinya walaupun pendapatan konsumen meningkat. Contohnya adalah garam, bahwa konsumen tidak akan meningkatkan atau menurunkan permintaan garam apabila pendapatan berubah. d) Jika nilai elastisitas lebih dari satu (eI>1), maka elastisitas pendapatan dikatakan tinggi, umumnya untuk konsumsi barang mewah, contohnya mobil sport.
84
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
e) Jika nilai elastisitas kurang dari satu (eI<1), dikatakan elastisitas pendapatan rendah umumnya untuk barang kebutuhan pokok. Elastisitas silang atas permintaan (cross elasticity of demand) didefinisikan dengan persentase perubahan dalam jumlah yang diminta dari barang X, dibagi dengan persentase perubahan dalan harga barang Y. Dalam hal ini harga barang X merupakan kondisi ceteris paribus. Elastisitas silang diformulasikan sebagai berikut : e X ,Y
Q X / Q X P Q X Y . PY / PY Q X PY
Apabila nilai koefisien eX,Y>0 (bernilai positif), menunjukkan kedua barang adalah barang pengganti (subtitusi). Contoh : daging sapi dan daging ayam, yaitu jika terjadi kenaikan harga komoditas daging sapi, maka akan menurunkan permintaan daging sapi dan akan meningkatkan permintaan daging ayam. Jika eX,Y<0 (bernilai negatif), menunjukkan keduanya adalah barang saling melengkapi (komplementer), Misalnya roti dan selai. Jika nilai koefisien e X,Y=0, maka kedua barang tersebut tidak memiliki hubungan (unrelated)
4.3 Pasar (harga) hasil pertanian Perilaku konsumen dan produsen berbeda terhadap perubahan harga produk. Konsumen akan meningkatkan jumlah yang diminta (konsumsi) apabila harga produk turun, sedangkan produsen atau perusahaan sebaliknya. Perilaku yang berbeda terhadap perubahan harga ini, akan menentukan transaksi (perpotongan kurva supply dan demand) di pasar. Perpotongan ke dua kurva tersebut, akan menentukan tingkat harga dan jumlah (quantity) yang diminta atau ditawarkan di pasar tersebut. Ada dua cara penentuan harga (Dahl and Hammond, 1977; Gonarsyah, 1996; Kohls and Uhl, 2002) yaitu Price Determination (penentuan harga secara teori ekonomi) dan aspek operasional atau mekanisme penemuan harga (Price Discovery). Secara teori ekonomi, dapat dijelaskan bagaimana perpotongan atau transaksi antara kurva supply pasar dengan demand pasar pada pasar kompetitif (pasar persaingan sempurna, Gambar di bawah ini)
Gambar 4.3 Kurva Demand dan Supply pada Pasar Persaingan Sempurna Sumber : Cramer and Jensen, 1994
85
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Keseimbangan pada pasar persaingan sempurna pada Gambar 4.3 terdapat pada E di industri atau pasar, dimana pada kondisi ini terjadi clear market artinya antara jumlah yang diinginkan konsumen dengan yang ingin di jual produsen atau lembaga pemasaran sama (equilibrium). Kondisi di industri ini ditransfer oleh perilaku individu pasar seperti pada Gambar sebelah kanan. Individu perusahaan pada pasar persaingan sempurna hanya sebagai penerima harga (price taker) yaitu sama dengan harga keseimbangan (Pq), pada kondisi ini, perusahaan menikmati keuntungan normal (zero profit). Keuntungan normal berimplikasi bahwa perusahaan berada pada kondisi TR (total penerimaan) sama dengan TC (total biaya), dimana biaya total merupakan biaya tunai dan diperhitungkan (input milik petani atau perusahaan yang tidak dibeli). Pada kondisi ini perusahaan secara individu akan memaksimumkan keuntungan pada kondisi MR = MC = P atau Nilai Produk Marjinal (VMP) = Harga input. Keseimbangan harga maupun jumlah pada Pasar Persaingan Sempurna ada di titik E, pada kondisi ini jumlah maupun harga yang diinginkan antara konsumen maupun produsen adalah sama (Market clearing).
4.4 Elastisitas produk-produk pangan dan hasil pertanian 4.4.1 Elastisitas Penawaran Komoditas Pangan Elastisitas penawaran output terhadap harga sendiri untuk semua komoditas pangan memiliki tanda positif. Adapun besaran elastisitas untuk komoditas pangan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.1 Elastisitas Penawaran Komoditas Pangan di Indonesia Peubah Harga Padi Harga Jagung Harga Kedelai Harga Kacang Tanah Harga Ubikayu Harga Ubi jalar
Jagung
Kedelai
0,266 -0,218 0,036
-1,918 0,911 -0,154
0,418 -0,200 0,683
Kacang tanah -0,360 0,374 0,349
-0,029
0,265
0,322
0,026 -0,011
0,560 0,003
-0,369 -0,018
Padi
0,287 0,700 -0,354
Ubi jalar -0,937 0,030 -0,127
0,126
-0,107
0,429
-0,121 0,064
0,281 -0,288
-2,175 3,071
Ubikayu
Sumber : Hartoyo (1994) Tabel di atas menunjukkan bahwa elastisitas penawaran padi, jagung, kedelai dan ubi kayu mempunyai nilai yang inelastis, yaitu berturut-turut sebesar 0,266; 0,911; 0,683; dan 0,281. Nilai tersebut berarti jika harga pagi, jagung, kedelai dan ubikayu meningkat (turun) satu persen maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat (turun) berturut-turut sekitar 0,266 persen, 0,912 persen, 0,683 persen dan 0,281 persen. Sementara itu elastisitas ubi jalar mempunyai nilai yang elastisyaitu sekitar 3,071. Dari nilai elastisitasini terlihat bahwa ubi jalar
86
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
sangat sensitif terhadap perubahan harga. Penurunan harga satu persen akan menyebabkan produksi turun sekitar 3, 071 persen. Oleh karena itu wajar jika luas areal ubi jalar dari tahun ke tahun menurun dengan tajam, selama dua puluh tahun terakhir menurun sebesar 3,56 persen per tahun. Jika dilihat dari nilai elastisitas silang penawaran output dapat ditentukan hubungan antar produk satu dengan yang lain. Hubungan substitusi terjadi jika nilai elastisitasnya mempunyai tanda negatif, yaitu hubungan antara padi dengan jagung, kedelai dan ubi kayu dan hubungan antara ubi kayu dengan ubi jalar. Sebagai contoh, elastisitas penawaran padi terhadap harga jagung sebesar 0,218 berarti jika harga jagung meningkat (turun) sebesar satu persen maka jumlah padi yang ditawarkan akan turun (meningkat) sebesar 0,218 persen. Sementara hubungan komplementer, jika elastisitasnya mempunyai tanda positif, yaitu hubungan antara jagung dengan kacang tanah dan ubi kayu. Jika harga kacang tanah dan ubi kayu masing-masing meningkat satu persen maka jumlah jagung yang ditawarkan akan meningkat berturu-turut sekitar 0,265 persen dan 0,56 persen. Hubungan yang komplementer dapat terjadi karena adanya sistem tanam yang dilakukan secara tumpangsari.
4.4.2 Elastisitas Permintaan Buah-Buahan Nilai elastisitas dapat digunakan untuk melihat respon perubahan permintaan, baik akibat perubahan harga maupun akibat perubahan pendapatan. Untuk melihat respon perubahan permintaan akibat perubahan harga dapat dilihat dari nilai elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Adapun hasil perhitungan elastisitas permintaan buah terhadap perubahan harga sendiri dan harga buah lainny secara rinci ditampilkan pada Tabel 4.2: Tabel 4.2 Elastisitas Permintaan Buah-buahan terhadap harga sendiri dan harga silang Jenis Buah Jeruk Rambutan Duku Pisang Pepaya Lainnya
Jeruk -0,787 -0,250 0,022 0,052 1,434 0,029
Rambutan -0,693 -0,988 0,109 0,274 0,100 -0,087
Harga Duku Pisang 0,030 0,126 0,054 0,238 -0,465 -0,372 -0,947 -0,213 1,911 -2,732 -0,396 0,057
Pepaya 0,268 0,007 0,260 -0,213 -2,076 0,035
Lainnya 0,055 -0,061 -0,554 0,046 0,362 -0,638
Sumber: Desfaryani (2015) Berdasarkan Tabel 4.2, diketahui bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk semua buah-buahan memiliki tanda yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan harga buah yang bersangkutan, maka jumlah buah tersebut yang diminta akan turun. Dari hasil analisis terhadap semua jenis
87
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
buah-buahan diketahui bahwa hampir semua buah yang dianalisis memiliki nilai elastisitas permintaan yang inelastis. Buah jeruk, rambutan, duku, pisang, dan buah lain inelastis terhadap perubahan harga sendiri, dapat dilihat dari nilai elastisitasnya berturut-turut yaitu sebesar -0.787, -0.988, -0.465, -0.947, dan 0.638. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu (Hartoyo, 1997; Sriwijayanti, 2004) yang menyebutkan bahwa perubahan harga sendiri tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan jumlah buah-buahan yang diminta. Wardani (2007) juga menemukan hal yang sama, dimana pada buah jeruk dan pisang relatif inelastis terhadap perubahan harganya sendiri. Permintaan untuk buah-buahan cenderung inelastis karena buah termasuk komoditi yang dibutuhkan, terkait kandungan vitamin yang terkandung di dalamnya. Semakin penting suatu komoditi, permintaannya akan cenderung inelastis. Oleh karena itu, peningkatan atau penurunan harga sendiri pada buah tidak akan terlalu berpengaruh terhadap jumlah buah yang diminta. Dari semua buah yang dianalisis, terdapat satu buah yang sensitif terhadap perubahan harga, yaitu buah pepaya dengan nilai elastisitas harga sendiri sebesar -2.076. Peningkatan pada harga buah pepaya sebesar 10 persen, akan menyebabkan jumlah buah pepaya yang diminta turun sebesar 20.76 persen. Hal ini diduga terjadi karena karakteristik buah pepaya yang ketersediaannya selalu ada sepanjang tahun dengan harga yang relatif murah. Oleh karena itu jika terjadi peningkatan pada harga buah pepaya, akan menyebabkan konsumen cenderung berpindah konsumsinya dari buah pepaya ke buah lain dengan kandungan vitamin yang relatif sama seperti yang ada dalam buah pepaya. Jika dilihat dari tanda elastisitas harga silang, diketahui bahwa terdapat nilai elastisitas yang bertanda positif dan negatif pada masing-masing jenis buah yang dianalisis. Nilai elastisitas silang yang bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan kedua buah adalah komplementer, sedangkan nilai yang positif menunjukkan bahwa hubungan kedua buah adalah substitusi. Jika dilihat dari besaran nilai elastisitas harga silang diketahui bahwa sebagian besar buah memiliki nilai elastisitas silang yang kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa buah-buah tersebut relatif tidak responsif terhadap perubahan harga buah lain. Pada buah jeruk, elastisitas harga silangnya terhadap harga rambutan bernilai negatif (-0.693) yang menunjukkan bahwa hubungan kedua buah tersebut adalah bersifat komplementer sedangkan elastisitas jeruk terhadap harga duku bernilai positif (0.030) yang menunjukkan hubungan kedua buah tersebut adalah bersifat substitusi. Jika harga buah duku meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah jeruk yang diminta akan meningkat sebesar 3 persen. Begitu pula nilai elastisitas jeruk terhadap harga pisang, pepaya, dan buah lain memiliki nilai yang positif, namun kurang dari 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pada harga buah-buah tersebut, maka jumlah buah jeruk yang diminta juga akan meningkat, namun dengan peningkatan yang lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan pada harga buah-buah tersebut. Dapat dilihat dari besaran elastisitas harga silang, diketahui bahwa jumlah buah
88
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
jeruk yang diminta relatif kurang responsif terhadap perubahan pada harga buahbuah lainnya yang ditunjukkan dengan nilai elastisitasnya yang kurang dari satu. Buah rambutan memiliki nilai elastisitas harga silang yang negatif terhadap harga buah jeruk dan buah lain dengan nilai elastisitas masing-masing yaitu sebesar -0.250 dan -0.061. Peningkatan pada harga buah jeruk dan buah lain sebesar 10 persen akan menyebabkan jumlah buah rambutan yang diminta turun sebesar kurang dari 10 persen. Pada nilai elastisitas harga silang rambutan terhadap harga duku, pisang, dan pepaya memiliki tanda yang positif yaitu berturut-turut sebesar 0.054, 0.238, dan 0.007. Elastisitas silang yang bertanda positif menunjukkan bahwa hubungan rambutan terhadap buah duku, pisang, dan buah lain adalah substitusi. Peningkatan pada harga buah-buah tersebut akan menyebabkan jumlah buah rambutan yang diminta akan mengalami peningkatan. Berdasarkan nilai elastisitas tersebut juga diketahui bahwa jumlah buah rambutan yang diminta cenderung kurang sensitif terhadap perubahan harga buah-buah lainnya (jeruk, duku, pisang, pepaya, buah lain). Nilai elastisitas harga silang buah duku serta pisang terhadap harga jeruk dan rambutan memiliki tanda yang positif, yang artinya hubungan kedua buah (duku dan pisang) terhadap buah jeruk dan rambutan adalah substitusi. Peningkatan pada harga jeruk dan rambutan akan menyebabkan terjadi peningkatan pada jumlah buah duku dan pisang yang diminta. Nilai elastisitas harga silang yang bertanda positif juga terjadi antara buah duku dengan harga buah pepaya serta antara buah pisang dengan harga buah lainnya yang menunjukkan bahwa hubungan buah tersebut adalah substitusi. Nilai elastisitas harga silang duku memiliki tanda yang negatif terhadap harga buah pisang dan buah lainnya yang menunjukkan hubungan diantara buah tersebut adalah komplementer. Pada elastisitas harga silang pisang terhadap harga buah duku dan pepaya juga menunjukkan hal yang sama, yaitu memiliki tanda yang negatif yang berarti hubungannya adalah komplementer. Berdasarkan nilai dari elastisitas harga silang diketahui bahwa secara umum hubungan substitusi atau komplementer antara buah-buah tersebut relatif tidak kuat karena nilai elastisitasnya yang kurang dari satu. Respon perubahan permintaan buah-buahan akibat adanya perubahan pada pendapatan dapat dilihat dari nilai elastisitas pendapatan. Berdasarkan nilai parameter estimasi yang diperoleh, kita tidak dapat langsung mengetahui respon perubahan permintaan buah akibat perubahan pendapatan karena nilai parameter yang dihasilkan hanya dapat digunakan untuk melihat respon perubahan permintaan buah akibat perubahan pengeluaran buah atau disebut elastisitas pengeluaran buah. Adapun secara rinci nilai elastisitas pengeluaran buah pada masing-masing jenis buah dapat dilihat pada Tabel 4.3:
89
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Tabel 4.3 Elstisitas Permintaan Buah-buahan terhadap Pengeluaran Jenis Buah Elastisitas Pengeluaran buah Jeruk 1,987 Rambutan 0,408 Duku 1,882 Pisang 0,623 Pepaya 0,876 Lainnya 1,191 Sumber : Desfaryani (2015) Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa buah jeruk, duku, dan buah lain memiliki nilai elastisitas pengeluaran buah yang positif dan lebih besar dari satu, yaitu berturut-turut sebesar 1.987, 1.882, dan 1.191. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya perubahan pengeluaran buah, maka jumlah buah jeruk dan duku yang diminta akan berubah dengan arah yang sama dengan arah perubahan pengeluaran buah. Jika total pengeluaran buah meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah buah jeruk yang diminta akan meningkat sebesar 19.87 persen. Begitu halnya pada buah duku, dengan adanya peningkatan total pengeluaran buah sebesar 10 persen, akan menyebabkan jumlah buah duku yang diminta meningkat sebesar 18.82 persen. Diketahui bahwasanya perubahan permintaan buah akan lebih besar daripada perubahan pada pengeluaran buah. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan buah cenderung responsif terhadap total perubahan pengeluaran buah rumahtangga. Untuk buah rambutan, pisang, dan pepaya memiliki elastisitas pengeluaran yang bertanda positif dan kurang dari satu, yaitu berturut-turut sebesar 0.408, 0.623, dan 0.876. Peningkatan pada pengeluaran buah sebesar 10 persen akan menyebabkan jumlah buah rambutan, pisang, dan pepaya yang diminta meningkat masing-masing sebesar 4.08 persen, 6.23 persen, dan 8.76 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah buah rambutan, pisang, dan pepaya yang diminta kurang responsif terhadap perubahan pengeluaran buah.
4.5 Faktor-Faktor Penting dan Kritikal dalam Pengembangan Kegiatan Pertanian Bernilai Tambah Dan Berdaya Saing Melalui Agribisnis/Agroindustri. Pembangunan pertanian melalui konsep sistem agribisnis merupakan pandangan bahwa semua aktivitas dalam sub-sistem agribisnis saling memengaruhi (saling terkait). Apabila terdapat masalah/hambatan pada salah satu sub-sistem, maka akan memengaruhi keseluruhan sistem dalam agribisnis. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian melalui sistem agribisnis harus membangun atau mengembangkan seluruh sub-sistem yang ada. Pemasaran, standarisasi, pengembangan agribisnis dan agroindustri, pengembangan kelembagaan dan rantai pasok merupakan faktor-faktor penting dan kritikal
90
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
dalam pengembangan kegiatan pertanian yang bernilai tambah dan berdaya saing.
Pemasaran Agribisnis Pemasaran sering diartikan sebagai proses mengalirnya produk melalui sebuah sistem mulai dari produsen primer sampai dengan konsumen akhir (asmarantaka, 2012). Selain itu, pemasaran dapat diartikan sebagai studi mengenai aliran produk secara fisik dan ekonomi dari produsen primer melalui para pedagang perantara hingga sampai ke konsumen. Kegiatan pemasaran merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengembangan agribisnis. Di era globalisasi saat ini dimana pasar memiliki kecenderungan menjadi pasar terbuka antar wilayah seperti kawasan ACFTA (ASEA-China Free Trade Area) yang mulai diberlakukan pada tahun 2010 dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah diberlakukan pada 31 Desember 2015 menuntut setiap pelaku bisnis termasuk agribisnis untuk meningkatkan daya saing agar tetap bertahan ditengah ketatnya persaingan regional maupun global. Oleh karena itu, untuk melindungi sektor pertanian dari pasar global tersebut dibutuhkan pemasaran produk pertanian yang berdaya saing. Selai itu, dalam pemasaran agribisnis dibutuhkan mengembangkan strategi jangka panjang untuk menghadapi persaingan di pasar regional maupun internasional. Pemasaran dalam perspektif ekonomi memiliki definisi sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem (fungsi-fungsi tataniaga) yang merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa pertanian dari petani prosuden sampai konsumen akhir. Oleh karena itu berdasarkan aspek ekonomi tataniaga merupakan keseluruhan aktivitas bisnis dalam mengalirnya barang/ jasa produk dari petani ke konsumen akhir (Asmarantaka 2012). Perspektif ekonomi tersebut sering disebut juga sebaga perspektif makro dalam mempelajari pemasaran khususnya produk agribisnis dimana pemasaran produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktifitas bisnis dalam mengalirkan barang/ jasa dari supplier input pertanian kepada petani produsen (usahatani) selanjutnya kepada pelaku pemasaran/ lembaga pemasaran sampai ke tangan konsumen akhir. Sehingga kegiatan ini dapat menjembatani antara produsen (petani) dengan konsumen akhir (pemakai). Pemasaran produk agribisnis merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga konsumen akhir. Dengan demikian pemasaran produk agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem dari fungsi-fungsi tataniaga (fungsi pertukaran, fungsi phisik dan fungsi fasilitas). Pemasaran produk agribisnis juga merupakan kegiatan produktif yang berorientasi mencari keuntungan. Serangkaian aktivitas produktif tersebut memberikan insentif nilai tambah bagi para pelaku tataniaga dan konsumen akhir. Nilai tambah yang dimaksud adalah
91
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
nilai produk yang dapat menciptakan atau mencerminkan dan meningkatkan nilai guna produk yakni nilai guna waktu, tempat, kepemilikan dan nilai guna bentuk.
Pengembangan Rantai Pasok Manajemen rantai pasok/ Supply Chain Management (SCM) merupakan bagian dari strategi strategi pemasaran dari perpektif manajemen pemasaran, dimana unit kompetitifnya terletak pada satu supply chain (rantai pemasaran). Sehingga SCM dan manajemen pemasaran memiliki keterkaitan yang sangat erat, dimana SCM akarnya merupakan implementasi dari placement strategy yakni bagaimana memilih dan bekerja sama dengan pelaku rantai pemasaran untuk meningkatkan kemampuan bersaing. SCM diperlukan sebagai strategi bisnis untuk menjawab tantangan persaingan global, pelaku bisnis tidak bisa bertahan dan berperang hanya secara individu. Karena pesaing sesungguhnya bagi pebisnis lokal adalah rantai pemasaran global yang kuat yang bisa menguasai pasar lebih baik dari pebisnis lokal. Rantai pemasaran global yang paling kuat yang dapat memenangkan pasar global. SCM yang selama ini berkembang hanya terbatas pada manajemen logistik saja, artinya bagaimana aliran produk/ jasa secara fisik dilakukan agar efisiensi biaya logistik dapat tercapai. Padahal, SCM menurut Dunne (2002) merupakan pencapaian efisiensi dari sistem logistik hanya merupakan salah satu aspek saja dari SCM disamping pentingnya menciptakan nilai bagi pelanggan dan konsumen serta meningkatkan keunggulan bersaing. Oleh karena itu Gifford, et al. (1997) mendefinisikan SCM sebagai pendekatan integratif yang bertujuan memuaskan harapan konsumen melalui perbaikan terus-menerus baik dalam proses maupun kualitas hubungan antara pelaku usaha dalam rantai pemasaran sehingga dapat mendukung kelancaran dan efisiensi aliran produk/ jasa dari produsen kepada konsumen akhir. Definisi SCM dapat mengimplikasikan bahwa (1) SCM adalah sebagai salah satu alternatif strategi bersaing (2) Satu rantai pemasaran merupakan satu unit kompetitif dimana kelemahan rantai pemasaran ditentukan oleh partner bisnis yang terlemah; (3) kunci dari SCM adalah kemampuan bekerja sama dan kemampuan menciptakan nilai; (4) implikasi manajerialnya adalah bahwa kesuksesan bekerja sama dan menciptakan nilai tersebut terletak adanya dan kemampuan leaders/ coordinators atau penggerak untuk mengelola rantai pemasaran dengan baik tersebut. Sehingga yang membedakan antara pemasaran dalam perspektif ekonomi dan supply chain adalah adanya leader/coordinator pada saluran rantai pasok. Pengembangan Agribisnis/Agroindustri Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada keanekaragaman sumberdaya hayati. Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan keunggulan sumberdaya hayati di Indonesia adalah kegiatan pertanian dalam arti luas. Oleh karena itu Indonesia perlu mengembangkan keunggulan komparatif di bidang
92
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
pertanian menjadi keunggulan bersaing melalui pengembangan agroindutri (pengolahan hasil pertanian) dan mengembangkan industri-industri hulu pertanian, yang secara keseluruhan dikenal sebagai pembangunan sistem agribisnis. Sistem agribisnis terdiri dari empat subsistem utama, yaitu: Pertama, subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yang merupakan kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk, pestisida, dll), industri agrootomotif (mesin dan peralatan), dan industri benih/bibit. Kedua, subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yang merupakan kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian. Subsistem usahatani ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan, dan kehutanan. Ketiga, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yang berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional. Kegiatan ekonomi yang termasuk dalam subsistem agibisnis hilir ini antara lain adalah industri pengolahan makanan dan minuman, industri pengolahan hasil hutan, industri pengolahan hasil peternakan, industri farmasi dan bahan kecantikan, dan lainlain. Keempat, subsistem penunjang. Subsistem penunjang adalah seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga transportasi, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintah. Pengembangan Kelembagaan Kelembagaan adalah sekumpulan jaringan dari relasi sosial yang melibatkan orang-orang tertentu, memiliki tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur (Syahyuti 2010). Kelembagaan petani terdiri atas kelembagaan formal dan berbadan hukum misalnya koperasi dan yang bersifat non formal misalnya kelompok tani sangat berperan penting dalam upaya mengembangkan sistem dan usaha agribisnis Indonesia, khususnya di daerahdaerah pedesaan. Kehadiran kelompok tani dan lembaga lainnya menjadi sangat penting sebagai media untuk meningkatkan kemampuan petani mengelola bisnis dan kemampuan bersaing petani baik dalam hal kualitas, kuantitas, harga maupun kontinuitas usaha. Contoh-contoh kelembagaan yang ada pada kegiatan agribisnis khususnya pelaku usahatani/ petani adalah: (1) kelembagaan penyediaan input usahatani, (2) kelembagaan penyediaan permodalan, (3) kelembagaan pemenuhan tenaga kerja, (4) kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi, (5) kelembagaan usahatani, (6) kelembagaan pengolahan hasil pertanian, (7) kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan (8) kelembagaan penyediaan informasi (teknologi dan pasar). Bentuk formal dari kelembagaan tersebut dapat berupa kelompok tani, klinik agribisnis, inkubator bisnis, koperasi dan gabungan kelompok tani (Gapoktan). Dalam pengembangan pembangunan pertanian, pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005-2025. Salah satu upaya penguatan kelembagaan di tingkat petani adalah pengembangan Gapoktan.
93
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Referensi Asmarantaka, R. 2012. Pemasaran Produk Agribisnis (Agrimarketing). Bogor: Departemen Agribisnis IPB. Baye MR. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. 7th Edition. Mc Graw-Hill International Edition. Cramer G. L. dan Jensen, C. W. 1991. Agricultural Economics and Agribusiness. 5Th Edition. Wiley, Mishawaka. Dahl D., and Hammond J. W. 1977. Market and Price Analysis The AgriculturalIndustry. Mc. Grawhill Book Company. New york. Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Penerbit IPB Press. Bogor Gonarsyah I. 1997. Pemasaran Pertanian Lanjutan. Diktat, bahan kuliah Pascasarjana, Jurusan EPN-Institut Pertanian Bogor. Kohls dan Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. Prentice Hall, New Jersey. Pambudy R. 2005. Menumbuhkan Ide dan Pemikiran Sistem Usaha Agribisnis yang Berkerakyatan, Berdaya Saing dan Berkelanjutan. Dalam: Menumbuhkan Ide dan Pemikiran Pembangunan Sistem Usaha Agribisnis. 60 Tahun Bungaran Saragih. Editor Bayu Krisnamurthi. ISBN 979-8637-19-4. Seitz WD; Nelson GC, and Halcrow HG. 1994. Economics of Resources, Agriculture and Food. Mc-Graw-Hill International Editions. ISBN 0-07113688-6. Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor: Penerbit IPB Press.
94
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
KAJI AN EMPIRIS
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR H.J. Purba dan Hadi Wilayah Indonesia bagian timur telah lama dikenal sebagai salah satu sentra produksi sapi di Indonesia, utamanya bangsa sapi bali, yang merupakan sapi potong. Banyak sapi potong yang dikirim dari wilayah timur tersebut ke wilayah barat, utamanya ke wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat, untuk dipotong, dan dagingnya dijual di pasar. Disamping itu, ada juga ternak sapi potong yang dipasarkan ke wilayah barat lainnya (Sumatera dan Kalimantan) sebagai ternak bibit untuk menghasilkan anak. Di wilayah Indonesia timur sendiri terjadi pemasaran ternak sapi potong dan dagingnya dijual di pasar lokal. Dalam pemasaran produk ternak sapi potong, baik dalam bentuk ternak hidup maupun daging, masih dijumpai berbagai permasalahan yang menyebabkan kegiatan pemasaran menjadi kurang efisien dan terhambat, utamanya ke wilayah Jabodetabek.
Karakteristik Permintaan Daging Sapi Masyarakat membeli daging sapi dalam bentuk segar dan olahan. Secara teoritis, jumlah konsumsi dipengaruhi oleh minimal tiga faktor ekonomi, yaitu pendapatan konsumen (positif), harga daging sapi itu sendiri (negatif) dan harga barang subsitusi (positif). Hubungan antara jumlah konsumsi dan tingkat pendapatan masyarakat ditunjukkan oleh kurve Engel pada Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa penduduk dengan pendapatan (diproksi dari pengeluaran) kurang dari Rp 150.000 per kapita per bulan (kelompok A dan B) tidak mengkonsumsi daging sapi, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Konsumsi mulai dilakukan oleh penduduk berpenghasilan Rp 150.000 atau lebih. Konsumsi meningkat cepat pada kelompok F hingga H. Namun pada kelompok H konsumsi di daerah perkotaan meningkat lebih cepat lagi, sedangkan di daerah perdesaan meningkat lebih lambat. Karena pendapatan masyarakat di daerah perkotaan meningkat lebih cepat dibanding di daerah perdesaan, maka konsumsi di daerah perkotaan akan meningkat lebih cepat. Secara rata-rata (nasional) hubungan antara konsumsi dan pendapatan mengikuti pola di daerah perkotaan. Implikasinya adalah bahwa pengiriman ternak sapi potong akan lebih mengarah ke daerah perkotaan untuk dikonsumsi. Di daerah perkotaan, konsumsi daging di luar rumah (eating out) dalam bentuk olahan di warung/restoran cepat saji seperti rendang, empal, soto, bakso, hamburger, steak dan hoka-hoka bento, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama keluarga, telah menjadi makin populer. Dinamika konsumsi seperti ini berarti menambah jumlah konsumsi daging sapi per kapita atau per keluarga di masa datang.
95
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Sumber: Susenas 2009 (BPS), diolah
Gambar 1. Kurva Konsumsi Daging Sapi Segar menurut Kelompok Pengeluaran per Kapita per Bulan, 2009 (kg/kapita/th) Hasil analisis Saliem (2002) mengenai elastisitas konsumsi daging sapi terhadap pendapatan dan harga daging sapi sendiri dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, elastisitas konsumsi terhadap pendapatan dan harga sendiri di daerah perkotaan lebih rendah dibanding di daerah perdesaan. Ini berarti bahwa persentase kenaikan pendapatan dan harga daging yang sama akan kurang berpengaruh di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan. Kedua, makin tinggi tingkat pendapatan konsumen, elastisitas konsumsi daging terhadap pendapatan dan harga daging sendiri makin kecil. Artinya, persentase kenaikan pendapatan dan harga daging yang sama akan kurang berpengaruh bagi konsumen berpendapatan tinggi dibanding konsumen berpendapatan rendah. Dengan kecenderungan makin banyaknya penduduk perkotaan dan makin banyaknya penduduk yang kaya, maka konsumsi daging sapi akan meningkat di masa datang. Terbukti bahwa laju pertumbuhan konsumsi daging sapi selama 2002-2006 cukup cepat, yaitu rata-rata 5,50 persen/tahun, jauh lebih cepat dibanding laju pertumbuhan konsumsi daging ayam, kambing dan domba yang masing-masing adalah 3,93 persen, 2,31 persen dan 2,00 persen per tahun (Kustiari et al., 2009). Ini berarti diperlukan pasokan daging sapi lebih banyak lagi di masa datang. Jumlah konsumsi daging sapi rata-rata di Indonesia masih sangat rendah karena rendahnya daya beli masyarakat terhadap komoditas hasil peternakan dan rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani bagi kesehatan tubuh (Nuhung, 2001). Salah satu hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi - Pola Pangan Harapan adalah bahwa untuk mencukupi protein asal ternak sebanyak 6 gram/kapita/hari diperlukan produk ternak setara dengan konsumsi protein yang berasal dari 3,87 gram daging, 1,54 gram telur dan 0,59 gram susu per kapita per hari (Soedjana et al., 1998). Komposisi tersebut setara dengan 10,1 kg daging, 4,7 kg telur dan 6,1 kg susu per kapita per tahun. Karena itu, konsumsi per kapita masih berpotensi besar untuk meningkat. Jika demikian,
96
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
maka jumlah konsumsi daging nasional maupun di Indonesia Timur diperkirakan juga akan naik. Naiknya konsumsi daging sapi di daerah produsen sapi bali sendiri (Bali, NTT, NTB, Sulsel), yang tidak diimbangi oleh naiknya jumlah kelahiran yang memadai telah menyebabkan jumlah ternak yang tersedia bagi daerah-daerah lain makin terbatas. Dulu banyak ternak sapi jantan dengan berat hidup 400-450 kg per ekor, tetapi sekarang sudah sulit untuk mendapatkan sapi jantan dengan berat hidup 300 kg saja karena ternak yang berukuran besar dan berkualitas bagus dijadikan prioritas untuk dikirim ke Jakarta dan Jawa Barat (Hadi dan Purba, 2009). Akibatnya, untuk mendapatkan tonase daging yang sama diperlukan jumlah ternak lebih banyak. Hotel-hotel berbintang di NTB bahkan sudah menggunakan daging beku impor (Ilham, 2001). Hal ini pasti juga terjadi di kotakota besar lainnya di Indonesia Timur (Denpasar, Makassar, Manado, dan lainlain), apalagi ada perusahaan asing seperti PT New Mont di NTB, PT Freeport di Papua, dan lain-lain.
Fluktuasi Permintaan Jumlah permintaan akan daging sapi setiap tahun berfluktuasi karena adanya hari-hari besar keagamaan dan adat. Jumlah permintaan meningkat drastis pada hari-hari besar seperti idulfitri, idul-adha, natal, tahun baru, pesta adat dan lain-lain. Menjelang hari-hari besar tersebut, utamanya idul-fitri dan iduladha, para pedagang ternak sudah mengumpulkan stok sapi dalam jumlah besar. Jumlah pemotongan sapi menjelang hari raya idul-fitri menjadi tiga kali lipat dari hari-hari biasa. Impor sapi bakalan dalam jumlah besar juga sudah terjadi 1-3 bulan sebelumnya untuk mengantisipasi lonjakan permintaan tersebut. Demikian pula impor daging sapi sudah dilakukan 1-2 bulan sebelum hari “H”. Harga daging sapi selalu naik pada hari raya idul-fitri, dan tidak pernah turun setelah itu walaupun permintaan sudah kembali normal.
Preferensi Pasar Alasan utama konsumen mengkonsumsi daging sapi bukan karena kandungan proteinnya yang tinggi, melainkan rasanya yang khas (Ilham, 2001). Namun preferensi pasar daging sapi tergantung pada lokasi/daerah dan jenis pengguna daging. Di daerah-daerah dimana sapi impor dan daging sapi impor belum banyak, utamanya di Indonesia timur yang merupakan sentra produksi sapi bali, konsumen masih menyukai daging sapi bali karena atributnya yang khas (rasa dan tekstur daging). Sebaliknya, di daerah-daerah yang sapi impor dan daging sapi impornya sudah banyak dan bahkan mendominasi pasar, utamanya di Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodetabek), konsumen sudah beralih ke daging sapi asal sapi impor dan daging impor. Pergeseran preferensi tersebut disebabkan oleh makin terbatasnya pasokan dan makin mahalnya harga sapi lokal termasuk sapi bali (Hadi dan Purba, 2009). Tukang bakso, sebagai pengguna utama daging sapi, yang semula fanatik terhadap daging sapi lokal akhirnya mau menerima juga daging sapi asal sapi impor dengan alasan yang sama. Namun konsumen dan tukang bakso akan kembali mengkonsumsi daging sapi bali jika pasokan daging sapi bali pulih kembali dan harganya cukup kompetitif. Hotel dan restoran bertaraf lokal di wilayah Indonesia timur masih menggunakan daging sapi lokal termasuk sapi bali. Sedangkan hotel dan
97
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
restoran bertaraf internasional, baik di Jabodetabek maupun Indonesia Timur, lebih banyak menggunakan daging sapi beku impor yang mutunya tidak dapat dipenuhi oleh daging sapi bali. Industri pengolahan daging sapi berskala besar yang memproduksi sosis, burger, bakso dan lain-lain, hanya menggunakan daging impor (kelas dua) dengan alasan harganya yang lebih murah, lebih higienis dan lebih mudah diperoleh dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan dalam waktu lebih singkat (tepat waktu) (Hadi dan Purba, 2009). Selain daging sapi, di pasar juga terdapat jenis-jenis daging lainnya yaitu ayam, itik, kerbau, kuda, kambing/domba, babi dan ikan. Produksi jenis-jenis daging lain tersebut meningkat, utamanya ayam ras, yang harganya lebih murah dibanding daging sapi. Substitusi daging sapi oleh jenis-jenis daging lain tersebut pasti ada, terutama karena harga, tetapi tidak akan mencapai 100 persen. Hal ini disebabkan daging sapi mempunyai beberapa atribut yang tidak bisa digantikan oleh jenis-jenis daging lain, yaitu rasa yang khas, status sosial (gengsi) konsumen, dan kegunaannya terutama sebagai bahan untuk membuat rendang, rawon, empal, bakso dan soto, yang merupakan makanan khas masyarakat Indonesia, disamping untuk steak dan hamburger, yang merupakan makanan khas masyarakat barat. Di tempat pesta pernikahan, menu daging sapi selalu muncul karena kalau tidak, maka terasa kurang nikmat bagi tamu dan kurang bergengsi bagi tuan rumahnya. Dinamika dalam masyarakat dan perubahan gaya hidup rumah tangga membawa dampak pada meningkatnya minat masyarakat terhadap produkproduk olahan yang siap saji karena keterbatasan waktu dan kesibukan para ibu rumah tangga terutama di daerah perkotaan (Nuhung, 2001). Jenis makanan termasuk produk hewani yang mudah disimpan dan tidak memerlukan banyak ruang dan siap disajikan secara fleksibel setiap saat telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
Segmentasi Pasar Di Indonesia, termasuk Indonesia Timur, sebagian besar daging sapi dijual di pasar tradisional, dan sebagian kecil di pasar modern bertaraf internasional (Carrefour, Hypermart/Matahari, Giant/Hero, Makro) dan bertaraf lokal. Mutu daging di pasar modern lebih baik dan lebih higienik dibanding di pasar tradisional, sehingga harga di pasar modern menjadi lebih mahal. Karena itu, para pembeli (konsumen) daging sapi di pasar modern pada umumnya adalah golongan ekonomi menengah keatas, sedangkan di pasar tradisional adalah golongan ekonomi menengah kebawah. Di Indonesia Timur, perkembangan pasar modern masih lambat, kecuali di beberapa kota besar (Denpasar, Mataram, Makassar, Manado) sehingga pasar tradisonal masih sangat dominan. Alasan utama konsumen membeli daging sapi di pasar modern adalah mutu daging lebih baik, lebih higienik, dan lingkungannya lebih nyaman dan aman. Sedangkan alasan utama membeli daging di pasar tradisional adalah harganya lebih murah dan lebih dekat dengan rumah (banyak pasar-pasar kecil yang dekat dengan pemukiman penduduk) (Tim PSEKP-ACIAR, 2009). Segmen pasar produk agroindustri peternakan sangat luas dan mencakup berbagai kelas dalam masyarakat mulai dari rumah tangga, kafe hingga supermarket, baik di wilayah elit perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Hal ini dapat dilihat dari menu yang dihidangkan baik dalam acara formal maupun informal dalam masyarakat, yang didukung oleh beberapa faktor
98
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
diantaranya citarasa yang menarik, harga yang cukup terjangkau dan jaringan distribusi yang telah mencakup berbagai wilayah secara luas.
Pemotongan dan Pengeluaran Sapi Jumlah pemotongan dan pengeluaran sapi mencerminkan jumlah pemakaian ternak di suatu daerah. Tabel 1 menunjukkan perkembangan jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sapi potong di dua wilayah sentra produksi ternak sapi potong di Indonesia Timur, yaitu NTB dan NTT. Di NTB, jumlah pemotongan sapi cenderung menurun selama 2004-2007 tetapi meningkat cepat pada tahun 2008, dan kemudian menurun lagi pada tahun 2009 dan 2010. Sementara jumlah pengeluaran sapinya selama 2004-2008 cenderung meningkat tetapi pada tahun 2009 dan 2010 menurun. Akibatnya, total penggunaan (pemotongan dan pengeluaran) sapi cenderung meningkat selama 2004-2008, kemudian turun cepat pada tahun 2009 dan naik sedikit pada tahun 2010. Tabel 1. Jumlah Pemotongan dan Pengeluaran Sapi Potong di NTB dan NTT, 2004-2010 (ekor) NTB NTT Tahun Potong Keluar Total Potong Keluar Total 2004 35 823 18 251 54 074 33 426 44 901 78 327 2005 33 776 26 158 59 934 34 115 48 519 82 634 2006 33 475 28 640 62 115 40 157 61 279 101 436 2007 32 342 27 210 59 552 40 959 63 036 103 995 2008 43 157 29 931 73 088 61 280 57 000 118 280 2009 38 512 21 141 59 653 54 051 58 392 112 443 2010 39 667 21 775 61 442 41 471 40 000 81 471 Laju 2,94 0,53 1,92 7,11 -0,17 3,17 (%/th) Sumber: Statistik Peternakan 2008 dan 2010 (Ditjen Peternakan), diolah. Di NTT, jumlah pemotongan selama 2004-2008 terus meningkat dengan peningkatan yang drastis pada tahun 2008, dan selanjutnya terus menurun selama 2009-2010. Sementara itu, jumlah pengeluaran terus meningkat selama 2004-2008, tetapi selanjutnya cenderung menurun pada tahun 2009-2010, dimana penurunan pengeluaran pada tahun 2010 cukup cepat. Dengan demikian total penggunaan (pemotongan dan pengeluaran) ternak sapi di NTT selama 2004-2008 terus meningkat tetapi kemudian menurun selama 2009-2010 dengan penurunan yang cukup cepat pada tahun 2010. Turunnya jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sapi di NTB dan NTT selama 2009-2010 mengindikasikan dua kemungkinan penyebabnya. Kemungkinan pertama adalah stok ternak sapi potong di kedua wilayah tersebut sudah menurun, sedangkan kemungkinan kedua adalah terlalu rendahnya harga ternak sapi hidup di wilayah sentra konsumen daging yaitu Jabodetabek. Rendahnya harga sapi potong di wilayah sentra konsumen tersebut diduga kuat disebabkan oleh kelebihan pasokan ternak hidup di wilayah Jabodetabek sebagai akibat impor sapi bakalan dan impor daging sapi yang terlalu besar pada tahun 2009 yang kemudian berimbas sampai tahun 2010. Perkembangan total penggunaan ternak selama 2004-2010 di NTT jauh lebih cepat dibanding di NTB yaitu 3,17 persen versus 2,94 persen per tahun. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah laju pertambahan alami sapi potong di
99
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
kedua provinsi sentra produksi sapi potong tersebut lebih besar dibanding laju penggunaan ternaknya. Jika tidak, maka akan terjadi pengurasan ternak sapi potong makin serius di kedua daerah tersebut.
Impor Ternak dan Daging Sapi Sejak tahun 1991, impor sapi bakalan dari Australia dan impor daging sapi dari Australia, New Zealand, dan lain-lain terus meningkat, kecuali pada tahun 1998 yang anjlok karena krisis ekonomi (BPS, 1985-2010). Menurut Nuhung (2001), masuknya produk impor dari luar negeri dapat menjadi ancaman bagi produk yang sama dan sejenis yang diproduksi di dalam negeri. Pernyataan tersebut sebenarnya kurang cocok untuk sapi potong. Peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi sampai tingkat tertentu masih diperlukan karena dua alasan. Pertama, pasokan sapi lokal tidak lagi mencukupi kebutuhan yang terus meningkat sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk, berkembangnya industri pengolahan daging sapi untuk memproduksi jenis produk yang lebih bervariasi (misalnya sosis, burger, bakso, dll) sesuai dengan dinamika preferensi konsumen dan berkembangnya industri pariwisata (utamanya hotel dan restoran). Kedua, untuk mencegah terjadinya pengurasan ternak sapi lokal lebih lanjut karena tingkat pertambahan alaminya (natural increase) yang lebih lambat dibanding perkembangan jumlah permintaan. Dengan demikian, sapi bakalan dan daging yang diimpor bukan merupakan pesaing bagi daging sapi lokal, melainkan untuk menutup kekurangan sekaligus menyelamatkan populasi ternak sapi lokal termasuk sapi bali. Karena itu, tarif impor yang dikenakan terhadap impor sapi bakalan dan impor daging sangat rendah yaitu masing-masing 0 persen dan 5 persen. Hadi et al. (2002) menegaskan bahwa swasembada daging sapi pada saat itu (2002) dapat dicapai hanya jika tarif impor sapi bakalan dan daging adalah 150 persen. Tarif impor yang sangat tinggi ini bisa menjadikan harga daging sapi menjadi sangat mahal sehingga jumlah konsumsi akan turun drastis. Melambungnya harga daging sapi pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998 yang menurunkan jumlah pemotongan sapi secara drastis merupakan bukti yang kuat tentang dampak meningkatnya harga daging sapi terhadap permintaan akan daging sapi. Perkembangan volume dan nilai impor sapi bakalan (feeder steer) dan daging sapi selama 2003-2009 terus meningkat cepat dengan rata-rata laju peningkatan masing-masing 17,64 persen dan 31,44 persen per tahun (Tabel 2). Sementara itu, volume impor hati/jeroan sapi terus meningkat selama 2003-2007, lalu menurun selama 2008 dan 2009. Peningkatan volume impor sapi bakalan dan daging sapi yang sangat cepat pada tahun 2008 dan 2009 berdampak negatif terhadap harga sapi hidup di wilayah sentra konsumsi Jabodetabek sehingga menghambat masuknya ternak sapi dari wilayah Indonesia timur (NTB dan NTT). Volume impor hati/jeroan sapi pada tahun 2009 dan 2010 menurun drastis karena pemerintah makin membatasi impor kedua produk sapi tersebut.
100
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Tabel 2. Volume Impor Produk Ternak, Daging dan Hati Sapi Indonesia, 20032010
Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju (%/th)
Volume Impor Sapi Daging Hati Bakalan Sapi Sapi (000 (ton) (ton) ekor)
Nilai Impor (US$ 000) Sapi Bakalan
Daging Sapi
Hati Sapi
Total
208,8 215,8 256,2 265,7 414,2 570,1 657,3 521,5
10 671,4 11 772,0 21 484,5 25 949,2 39 400,0 45 708,5 67 908,2 90 505,7
35 778,8 36 277,2 34 436,4 36 107,7 40 203,4 5 776,0 3 392,1 4 727,7
66 543,8 88 989,6 107 731,3 108 596,7 217 730,5 378 106,6 464 104,2 445 079,7
18 566,0 27 113 43 646,4 49 077,2 92 846,6 126 146,9 202 838,1 289 395
23 142,3 24 837,9 31 090,2 35 759,8 56 650,5 8 774,9 5 131,5 8 937,0
108 252,1 140 940,5 182 467,9 193 433,7 367 227,6 513 028,4 672 073,8 743 511,7
17,64
31,44
-37,22
30,98
39,42
-21,29
29,81
Sumber: Statistik Peternakan 2008 dan 2010 (Ditjen Peternakan), diolah Dari Tabel 2 tersebut juga dapat diketahui bahwa rata-rata laju peningkatan nilai impor per tahun lebih cepat dibanding laju peningkatan volume impornya yaitu 33,30 persen versus 20,94 persen untuk sapi bakalan, dan 39,30 persen versus 31,68 persen untuk daging sapi. Untuk hati/jeroan sapi, laju penurunan nilai impor lebih lambat dibanding laju penurunan volume impornya, yaitu 21,43 persen versus 37.81 persen. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa harga impor ketiga produk sapi tersebut meningkat masing-masing 12,71 persen, 7,61 persen dan 16,39 persen per tahun. Rantai Pasok Secara komersial, ternak sapi bali dipasarkan mulai dari peternak sebagai produsen ternak sapi hidup hingga konsumen akhir sebagai pengguna daging2. Rantai pemasaran mulai dari peternak hingga konsumen akhir disebut rantai pasok (supply chain). Panjangnya rantai pasok sangat dipengaruhi oleh jangkauan pemasaran secara spasial dan secara vertikal. Ternak sapi yang dijual hingga keluar pulau mempunyai rantai pasok lebih panjang dibandingkan dengan yang dijual di pasar lokal. Gambar 2 memberikan informasi tentang rantai pasok sapi bali di Indonesia Timur (utamanya daerah-daerah sentra produksi sapi bali yang mencakup Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan). Peternak pada umumnya menjual sapinya kepada pedagang pengumpul (di Jawa disebut “blantik”). Dalam hal ini, pihak pedagang mendatangi rumah petani, dan biasanya seluruh biaya yang terkait dengan jual-beli sapi (angkutan, retribusi) ditanggung oleh pedagang tersebut. Rantai pasok selanjutnya tergantung pada jangkauan pasar secara spasial, yaitu apakah lokal (di kabupaten asal sapi) atau provinsi/pulau lain.
101
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Gambar 2. Rantai Pasok Sapi Bali di Indonesia Timur (Tim ACIAR-PSEKP, 2009) Jika sapi dijual hanya di pasar lokal, pedagang pengumpul pada umumnya menjual sapinya kepada suplier/jagal di tempat pedagang tersebut atau di RPH. Pihak yang menanggung biaya angkutan tergantung pada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Jika ternak sapi dijual keluar provinsi/pulau lain, maka sebelum sapi sampai ke tangan jagal, perlu melewati pedagang sapi antar kabupaten dan/atau pedagang sapi antar provinsi/pulau. Sebagai contoh, sapi dari Bali, NTB dan NTT harus melewati pedagang antar provinsi/pulau yang membawa sapi ke provinsi/pulau lain, misalnya Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan Barat, Papua, dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku bagi sapi dari Sulawesi Selatan yang dikirim ke Kalimantan Timur dan provinsiprovinsi lain di pulau Sulawesi. Sapi yang sudah berada di tangan suplier/jagal kemudian dipotong di RPH yang ada di daerah dimana supplier/jagal itu berada. Sebagian besar daging dijual oleh jagal kepada pedagang pengecer daging di pasar tradisional, dan sebagian kecil daging dijual ke pasar modern, restoran dan hotel di kota-kota besar seperti Denpasar, Mataram, Makassar dan Jabodetabek. Pedagang pengecer di pasar tradisional kemudian menjual daging ke konsumen akhir dan industri pengolah berskala rumah tangga (pembuat bakso, warung makan dan katering). Di pasar tradisional dan pasar modern di wilayah Indonesia Timur, daging sapi bali masih dominan. Sebaliknya, di daerah Jabodetabek, sebagian besar (80%) pasokan daging di wilayah itu berasal dari sapi impor dan daging impor karena daging sapi lokal termasuk sapi bali makin sulit diperoleh (Hadi dan
102
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Purba, 2009). Di Surabaya, pasokan daging sapi lokal (PO, PO-cross, sapi madura dan sapi bali) sampai dengan tahun 2009 juga terbatas, sehingga daging asal sapi impor mulai masuk ke pasar-pasar di kota tersebut (Hadi dan Helena, 2009).
Penentuan Harga Penjualan ternak sapi pada umumnya masih menggunakan taksiran berat karkas dari sapi yang bersangkutan (di Jawa disebut jogrogan, di NTB disebut cawangan). Cara penentuan harga yang kurang eksak seperti ini memang dikehendaki oleh para pedagang yang membeli ternak dari petani agar mereka bisa lebih leluasa dalam bermain untuk mendapatkan margin yang lebih besar dari penaksiran berat yang bias kebawah. Di pasar hewan yang dilengkapi dengan alat timbangan ternakpun penentuan harga tetap dengan cara taksiran. Penimbangan baru dilakukan baik di pasar hewan maupun di kandang karantina pada saat ternak sapi akan dikirim ke Jakarta dan sekitarnya. Di RPH, pembelian sapi oleh jagal dari pedagang ternak didasarkan atas berat karkas yang sudah ditimbang, rendemen daging dan harga daging eceran di pasar tradisional. Pedagang eceran di pasar tradisional membeli karkas atau daging dari jagal berdasarkan harga jual yang berlaku dikurangi marjin pedagang pengecer yang bersangkutan. Di pasar tradisional, pedagang pengecer daging dan jagal sendiri menjual dengan harga yang sama kepada pembeli (tukang bakso, konsumen, warung, dll) untuk kualitas daging yang sama. Harga eceran daging sapi di pasar tradisional pada umumnya lebih murah dibanding di pasar modern karena biaya penanganan dan pemasaran (handling & marketing cost) yang lebih sedikit dibanding pasar modern.
Perluasan Daerah Pemasaran Dengan makin banyaknya daging asal sapi impor dan daging impor yang masuk ke pasar Jabodetabek, maka pedagang sapi bali di Indonesia Timur berusaha mencari terobosan pasar baru yang lebih prospektif seperti Kalimantan Barat, yang kemudian dikirim ke wilayah Malaysia timur (Sabah, Serawak). Di pasar-pasar baru ini, harga sapi bali jauh lebih tinggi dibanding di Jabodetabek. Sapi madura juga banyak yang dikirim dari Jawa Timur ke wilayah tersebut dengan alasan ekonomi yang sama. Munculnya daerah pemasaran baru tersebut berpotensi meningkatkan jumlah pengiriman ternak keluar daerah produsen. Dilihat dari segi ekonomi, hal ini di satu dapat meningkatkan perolehan devisa negara, tetapi di pihak lain dapat mempercepat pengurasan sapi potong di Indonesia Timur.
PERMASALAHAN PEMASARAN Fasilitas Pendukung Pemasaran Ternak di Indonesia Timur Jarak dari daerah produksi ke daerah konsumsi dan pelabuhan interinsuler cukup jauh yang dihubungkan oleh jalan darat yang kondisinya kurang memadai. Di wilayah Indonesia Timur yang terdiri dari banyak pulau, pelabuhan dan kapal angkut menjadi sangat vital, namun fasilitas pelabuhan untuk muat dan bongkar ternak masih jauh dari memadai. Di pelabuhan Kupang misalnya, pemuatan ternak sapi keatas kapal tidak menggunakan ram tetapi derek yang dapat menyiksa ternak sapi yang dapat menimbulkan risiko luka dan bahkan patah kaki (Hadi dan Purba, 2008). Hal yang sama juga terjadi di
103
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Mataram (Ilham, 2001). Fasilitas untuk muat dan bongkar ternak ke/dari atas truk di seluruh pelabuhan di Indonesia Timur memang masih sangat minim. Angkutan ternak dari Indonesia timur menuju Cibitung (Bekasi/Jawa Barat) dilakukan melalui jalur laut sampai ke pelabuhan Kali Mas di Surabaya yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan truk atau gerbong kereta api menuju Jakarta dan sekitarnya (Ilham, 2001; Hadi et al., 2002; Budisantoso et al., 2008). Namun penggunaan gerbong kereta api sekarang tidak ada lagi karena biayanya terlalu mahal. Tidak adanya layanan angkutan langsung lewat laut ke Jakarta karena risiko yang lebih besar sebagai akibat ternak terlalu lama di dalam kapal. Kondisi kapal juga kurang bagus. Kapal terbuat dari kayu, tidak dirancang khusus untuk ternak dan dicampur dengan barang-barang lainnya (Ilham, 2001; Budisantoso et al., 2008). Ruang kapal untuk ternak sangat sempit dan tidak dilengkapi dengan air minum, pakan, kandang bersekat dan fasilitas bongkarmuat. Keberangkatan kapal juga tidak reguler lagi disamping frekuensi yang lebih sedikit. Pengangkutan sapi lewat darat dari pelabuhan Kali Mas Surabaya menuju Cibitung juga menggunakan truk gandengan yang tidak dirancang khusus untuk ternak. Untuk pengiriman ternak antar pulau diperlukan karantina hewan yang ditempatkan di dekat pelabuhan. Dalam penanganan ternak di karantina, pada umumnya kondisi kandang sudah baik tetapi fasilitasnya kurang, seperti air minum dan pakan terbatas (Ilham, 2001; Budisantoso et al., 2008). Di Surabaya (Kalimas), kondisi kandang karantina bagi sapi dari Bali, NTB dan NTT yang akan dibawa ke Cibitung (Jawa Barat) cukup bagus, pasokan pakan cukup dan kesehatan ternak terpelihara secara baik, tetapi pasokan air minum kurang memadai (Budisantoso et al., 2008). Waktu tunggu di kandang penampungan (holding ground) di pelabuhan keberangkatan dan di tempat tujuan (Cibitung) dan di kandang karantina di pelabuhan keberangkatan dan di Surabaya cukup lama yang secara keseluruhan mencapai sekitar 15 hari. Penanganan ternak yang kurang optimal tersebut diatas menyebabkan terjadinya penyusutan ternak sapi (susut berat dan mati) sampai tempat tujuan cukup besar yaitu 7-10 persen untuk sapi dari NTB (Ilham, 2001) dan 10-12 persen untuk sapi dari NTT (Budisantoso et al., 2009). Biaya susut tersebut sudah pasti dibebankan kepada peternak sehingga harga sapi di tingkat peternak menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. Pengawasan Perdagangan Antar Pulau dan Pemotongan Ternak Wilayah Indonesia Timur yang terdiri dari banyak pulau, pengawasan terhadap perdagangan ternak ke provinsi lain melalui pesisir tanpa dermaga dengan menggunakan kapal-kapal dari daerah asal pedagang yang membeli ternak ke daerah itu sangat kurang. Sebagai contoh adalah pengiriman ternak sapi melalui pesisir utara pulau Sumbawa dengan menggunakan kapal-kapal asal Banyuwangi dan Makassar (Ilham, 2001). Pemotongan ternak sapi yang tidak tercatat cukup besar, terutama di luar Jawa yang banyak acara adat dengan menggunakan daging sapi untuk konsumsi, tetapi pengawasan masih kurang. Sebagai contoh, di NTB pada tahun 2000 jumlah pemotongan sapi tidak tercatat adalah sebesar 31,35 persen (Disnak NTB, 2000). Selain itu, pemotongan sapi betina produktif makin besar, yang dipacu oleh tiga alasan bisnis, yaitu: (1) Ternak sapi jantan sudah sulit dicari, sedangkan para pedagang ternak dan daging sapi harus terus berjalan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga bisnis jual-beli sapi
104
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
betina produktif terpaksa dilakukan; (2) Harga sapi betina hidup lebih murah dibanding sapi jantan tetapi harga dagingnya sama mahalnya; dan (3) Petani memerlukan dana segera untuk membiayai kebutuhannya (Hadi dan Purba, 2008). Alasan lainnya adalah Pemerintah Daerah setempat tidak kuasa melarang pemotongan sapi betina produktif di RPH milik pemerintah tersebut walaupun sudah ada Perda tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Di RPH Kupang, pada tahun 2008 sebanyak 80 persen sapi yang siap dipotong adalah sapi betina, dan 90 persen di antaranya masih produktif. Pemotongan sapi betina produktif jelas menguras sumberdaya ternak sebagai sumber sapi potong, yang akan menyebabkan tingkat pengurasan ternak makin cepat.
Kondisi Rumah Potong Hewan Kondisi Rupah Potong Hewan (RPH) milik pemerintah di Indonesia Timur pada umumnya kurang baik. Hal ini tercermin pada kondisi bangunan yang pada umumnya sudah tua, rusak dan kotor, dan proses pengolahan limbah yang jauh dari standar, sebagai indikator kondisi yang tidak higienis. Kurangnya pemasukan (PAD) bagi pemerintah daerah sebagai akibat makin berkurangnya jumlah ternak yang dipotong di RPH adalah salah satu faktor penyebab kondisi tersebut, disamping budaya masyarakat yang kurang memperhatikan aspek kebersihan dan kesehatan. Peralatan/teknologi baru juga tidak digunakan karena dinilai kurang efisien sebagai akibat kecilnya skala usaha (jumlah pemotongan per pedagang) dan adanya tim tenaga pengolah yang dibawa oleh masingmasing pedagang/jagal. Pada bulan Mei-Juni 2011, muncul gerakan larangan ekspor ternak sapi hidup dari Australia ke Indonesia yang dimotori oleh LSM Australia. Alasan pelarangan tersebut adalah bahwa cara pemotongan sapi di Indonesia tidak memperhatikan aspek animal welfare. Pada saat itu sempat terjadi kehebohan di dalam negeri dan pemerintah Indonesia dengan cepat mempersiapkan langkahlangkah antisipatif terhadap dampak negatif dari pelarangan tersebut. Boikot ekspor tersebut telah terjadi selama beberapa minggu dan harga ternak sapi hidup di tingkat petani sempat naik sekitar 20 persen (Hadi dan Purba, 2008). Namun akhirnya kran ekspor kembali dibuka pada bulan Juli 2011 sehingga harga sapi hidup di tingkat petani turun lagi. Jika penghentian ekspor sapi ke Indonesia dilaksanakan dalam jangka panjang, maka akan berdampak negatif terhadap peternakan sapi potong di Australia karena 70 persen ekspor sapi potong bakalan (feeder steer) ditujukan ke Indonesia. Langkah tersebut juga akan berdampak negatif terhadap populasi sapi potong di Indonesia karena jumlah ternak sapi yang lahir dan hidup tidak akan bisa lagi mengimbangi jumlah pemotongan yang meningkat cepat. Jika demikian, maka target swasembada daging sapi tidak akan pernah tercapai. Karena itu, pembukaan kembali keran ekspor sapi ke Indonesia perlu disambut baik, namun jumlahnya perlu dikendalikan sehingga harga sapi hidup di tingkat petani tetap atraktif sehingga petani tetap bersemangat untuk melakukan usaha peternakan sapi potong, baik pembiakan/ pembibitan untuk memproduksi anak (cow-calf) maupun penggemukan untuk memproduksi daging (fattening).
Implikasi Kebijakan
105
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Faktor krusial yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan daerah adalah pemotongan ternak sapi betina produktif. Selama ini, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi persoalan ini karena terbatasnya dana untuk membeli ternak sapi betina produktif tersebut. UU dan Perda mengenai pelarangan pemotongan sapi betina produktif sudah ada tetapi tidak efektif karena kuatnya posisi bisnis pedagang besar. Salah satu cara untuk mengatasi masalah itu adalah pemerintah pusat membeli sapi-sapi betina produktif untuk disebarluaskan ke berbagai daerah dalam rangka program bantuan bibit sapi untuk usaha pembibitan dengan sistem bagi hasil dan bergulir. Di wilayah Indonesia barat, daerah-daerah transmigrasi mempunyai potensi besar untuk lokasi program tersebut. Langkah lainnya adalah pemberian insentif yang memadai bagi peternak untuk menunda penjualan ternak betina produktifnya, utamanya yang sudah bunting, hingga melahirkan dan anaknya sudah mencapai umur sapih. Fasilitas pemasaran seperti ram untuk bongkar-muat ternak perlu dibangun di pasar-pasar hewan dan pelabuhan antar pulau. Hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya stress dan kecelakaan pada ternak yang berakibat menambah biaya yang pada akhirnya dibebankan kepada peternak sehingga harga sapi di tingkat peternak lebih rendah dari yang seharusnya. Selain itu, kapal pengangkut ternak sapi antar pulau sedapat mungkin menggunakan kapal khusus ternak, sebagaimana yang dilakukan oleh pedagang ternak antar pulau dalam pengiriman sapi ke Kalimantan, sehingga risiko kematian dan susut bobot ternak dapat diperkecil. Jumlah impor sapi bakalan dan impor daging perlu dikendalikan sedemikian rupa sehingga harga sapi potong di tingkat peternak tetap menarik. Dengan harga sapi hidup yang cukup baik, maka peternak akan tetap bergairah untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong, baik usaha pembiakan/ pembibitan untuk menghasilkan anak (cow-calf) maupun penggemukan untuk menghasilkan daging (fattening). Dengan demikian, maka harapan akan tercapainya swasembada daging sapi akan dapat terwujud. Akhir-akhir ini, pengendalian impor ternak sapi bakalan dan daging sapi berdampak meningkatkan harga ternak sapi di tingkat produsen.
LATIHAN/TUG AS 1. Diskusikan bagaimana permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia (Padi/beras, jagung, kedelai) dan bagaimana tingkat ketersediaannya? 2. Dengan kondisi permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok tersebut, Apakah Indonesia mampu untuk melakukan swasembada pangan? 3. Bagaimana pula kebijakan yang seharusnya di terapkan oleh Pemerintah untuk mencapai ketersediaan pangan yang berkelanjutan? 4. Tugas Kelompok Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3-4 orang. Latihan dilakukan dengan tugas assignment bagi kelompok-kelompok mahasiswa, untuk mencari dan menggunakan data (BPS atau lainnya) tertentu
106
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
dan membahasnya, terkait materi atau pokok bahasan. Tugas kelompok untuk membahas dan manganalisis data BPS terkait : a) Produksi dan produktivitas komoditas tertentu, wilayah tertentu 10 tahun terakhir b) Perkembangan harga-harga komoditas tertentu selama 10 tahun terakhir di wilayah tertentu c) Ekspor-Impor komoditas tertentu selama 10 tahun terakhir d) Dan lain-lain topik yang relevan. Tidak harus menggunakan data BPS, misalnya tentang Standardisasi, penyuluhan, dan lainnya. e) Setiap kelompok ditugasi pada topik yang berbeda.
107
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
108
Bagian 4
TEORI PERMINTAAN DAN PENAWARAN