BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah dipaparkan
dalam bab sebelumnya, Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, berdasarkan penelusuran yang dilakukan Penulis melalui direktori putusan Mahkamah Konstitusi, dari 858 putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang dijatuhkan dalam kurun waktu 2003 – 2015, terdapat +11% (sebelas persen) atau sejumlah 103 putusan diantaranya adalah putusan bersyarat, yang mana 17 putusan dikategorikan sebagai putusan konstitusional bersyarat, dan 86 putusan dikategorikan sebagai putusan inkonstitusional bersyarat. Dalam
putusan
bersyarat
baik
konstitusional
bersyarat
maupun
inkonstitusional bersyarat, Mahkamah memberikan tafsir atau syarat-syarat tertentu terhadap konstitusionalitas suatu ketentuan undang-undang, apabila tidak dilaksanakan
sesuai
tafsir
tersebut
maka
ketentuan
tersebut
menjadi
inkonstitusional. Ciri-ciri dari putusan bersyarat adalah adanya klausula “sepanjang dimaknai” atau “sepanjang tidak dimaknai” atau klausula yang sejenis itu baik dalam pertimbangan maupun dalam amar putusan. Putusan bersyarat muncul dikarenakan beberapa hal, yaitu: (1) rumusan bersifat sangat umum dan belum tentu pelaksanaannya bertentangan dengan konstitusi; dan (2) untuk mencegah adanya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan norma yang diujikan.
Terdapat 5 karakteristik dari putusan konstitusional bersyarat, yaitu: (1) Mahkamah memberikan tafsir atau syarat tertentu agar ketentuan yang diuji tetap konstitusional sepanjang dilaksanakan sesuai syarat yang ditentukan Mahkamah Konsitusi; (2) mensyaratkan adanya pengujian kembali apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang ditentukan dalam putusan; (3) putusan konstitusional bersyarat didasarkan pada amar putusan menolak, karena pada prinsipnya norma yang diujikan adalah konstitusional, namun dengan syarat-syarat tertentu; (4) klausula konstitusional bersyarat dapat ditemukan hanya pada pertimbangan Mahkamah, atau dapat ditemukan pada pertimbangan dan amar putusan; (5) dalam pelaksanaannya melibatkan unsur pembentuk undang-undang dalam rangka legislative review serta unsur eksekutif dalam rangka pelaksanaan norma tersebut. Terdapat 4 karakteristik putusan inkonstitusional bersyarat, yaitu: (1) putusan inkonstitusional bersyarat dalam amar putusannya pasti terdapat klausula inkonstitusional bersyarat; (2) amar putusan inkonstitusional bersyarat dapat berupa pemaknaan atau penafsiran terhadap suatu norma, atau memberikan syarat-syarat inkonstitusional norma tersebut; (3) putusan inkonstitusional bersyarat didasarkan pada amar putusan mengabulkan baik sebagian atau seluruhnya, karena pada prinsipnya norma yang diujikan adalah inkonstitusional, namun dengan syaratsyarat tertentu; (4) secara substantisal klausula inkonstitusional bersyarat tidak berbeda dengan klausula konstitusional bersyarat, karena apabila tidak terpenuhi membuat norma tersebut menjadi inkonstitusional.
Kedua, secara legalistik formal, Putusan bersyarat tidak serta merta menderogasi sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut didasarkan pada 4 (empat) aspek, yaitu: Aspek Pertama, ketentuan dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, serta memiliki kekuatan hukum mengikat, ketentuan ini tidak membedakan antara putusan bersyarat dengan yang tidak bersyarat, sehingga dalam putusan yang bersyarat pun sifat putusannya tetap final dan mengikat. Aspek Kedua, putusan bersyarat sendiri didasarkan pada amar putusan menolak atau amar putusan mengabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 56. Aspek Ketiga, pengujian terhadap norma yang telah diputus bersyarat tidak serta merta menderogasi sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, hal tersebut dikarenakan memang dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap norma yang sama, dengan syarat batu uji Undang-Undang Dasar yang digunakan berbeda. Aspek Keempat, pengujian kembali norma yang telah diputus bersyarat bukanlah bentuk upaya hukum terhadap putusan sebelumnya, melainkan dikarenakan bahwa undang-undang tersebut tidak sesuai dengan penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya, yang mana menimbulkan adanya kerugian konstitusional dalam pelaksanaan norma yang telah diputus bersyarat tersebut.
Secara substantif, melalui putusan bersyarat Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung telah menggeser fungsinya sebagai negative legislator menjadi positive legislator. Hal tersebut dikarenakan dalam putusan yang telah dibuatnya, terdapat pula “norma baru” yang merupakan hasil penafsiran terhadap norma yang diujikan, yang mana norma tersebut merupakan satu kesatuan dari putusan tersebut. Diskursus yang muncul kemudian disini adalah bagaimana apabila “norma baru” yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi diuji konstitusionalitasnya kepada Mahkamah Konstitusi sendiri? Sehingga pertanyaan lanjutan yang muncul adalah, apakah sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi ini hanya terhadap putusannya, ataukah juga berkaitan dengan substansinya? Hal ini menunjukkan adanya over checks yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga legislatif dikarenakan terlalu masuk ke dalam ranah legislatif dengan bertindak sebagai positive legislator dalam pengujian undang-undang, dan juga menunjukkan less balances karena norma Undang-Undang yang mengatur mengenai Mahkamah Konstitusi dapat dengan mudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi sendiri.
B.
Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1.
Mahkamah Konstitusi harus lebih tegas dalam menjatuhkan putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, hal tersebut dilakukan guna melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang terlanggar akibat keberlakuan suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan
konstitusi, serta untuk menjaga wibawa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution. 2.
Apabila norma diputus secara bersyarat, pembentuk undang-undang haruslah sesegera mungkin melakukan penyesuaian melalui mekanisme legislative review dengan mendasarkan pada pertimbangan atau syarat-syarat konstitusional yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan kerancuan terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut dan pelaksanaannya tetap sesuai dengan konstitusi.
3.
Perlu dibuat adanya suatu formulasi putusan bersyarat yang baku. Hal ini perlu dilakukan melihat implementasi putusan bersyarat yang ada selama ini berbeda-beda. Selain itu formulasi ini dibutuhkan agar tidak menimbulkan kerancuan dan keragu-raguan terhadap pelaksanaan putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Penerapannya yang palik efektif dapat dilakukan melalui revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.