BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan pengolahan hasil data yang terkumpul diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian yaitu untuk mengetahui apakah terdapat hubungan premenstrual syndrome dan emotion focused coping pada siswi SMP. Hasil penelitian terhadap 62 responden, diperoleh data bahwa sebagian besar responden berusia 13 tahun sebanyak 31 responden (50%) dan usia menarche yang terjadi pada sebagian besar responden adalah di usia 12 tahun berjumlah 38 responden (61,29%). Hasil ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa umumnya PMS mulai terjadi sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche (Zaka, 2012). Namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hamella (2014) tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan, Usia Menarche, Lama Menstruasi dan Riwayat Keluarga Dengan Kejadian Dismenore pada Siswi di SMPN 2 Kartasura Kabupaten Sukoharjo yang menunjukkan bahwa usia menarche responden terbanyak pada usia ≤12 tahun (78,3%). Berdasarkan hasil penelitian ini sebagian besar responden mengalami tingkat PMS sangat ringan sebanyak 34 responden (54,84%) dan satu responden (1,61%) yang mengalami tingkat PMS berat. Hal ini disebabkan PMS merupakan gejala umum yang dialami oleh sebagian besar wanita usia reproduksi, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Sekitar 8090% wanita mengalami gangguan fisik, emosional, dan perilaku yang muncul 34
35 secara siklik menjelang menstruasi. Gangguan tersebut kemungkinan dirasakan oleh wanita yang berusia 12 tahun sampai 50 tahun atau pada permulaan usia pubertas dan berakhir saat menopause (Proverawati, 2009). Gejala PMS diduga dipengaruhi oleh perubahan level hormon dan zat kimia di otak (Rice, 2013). Diduga, hormon prostaglandin menyebabkan otot-otot uterus berkontraksi yang berlebihan atau sensitif terhadap hormon prostaglandin. Prostaglandin dibentuk oleh asam lemak tak jenuh yang disintesis oleh seluruh sel yang ada di dalam tubuh. Beberapa hari sebelum menstruasi, seringkali perasaan perempuan mudah sekali tersinggung, mudah marah, ada yang sampai marah-marah di luar kebiasaannya, dan ada pula yang menjadi mudah menangis. Pada saat level hormon meningkat dan menurun selama siklus menstruasi, perempuan dapat mengalami perubahan fisik maupun emosional (Priyatna, 2009). Menjelang menstruasi, estrogen menurun dan sebaliknya progesteron meningkat. Hal ini memengaruhi produksi hormon di otak terutama hormon serotonin, hormon yang mengendalikan kestabilan emosi. Proses inilah yang menyebabkan gejolak emosi sebagai bagian dari PMS yang mulai dirasakan tujuh sampai sepuluh hari menjelang menstruasi. Gangguan fisik yang dirasakan akibat perubahan ini adalah cepat lelah, jerawat, sakit kepala, sakit punggung, sakit perut bagian bawah, nyeri payudara, perubahan nafsu makan, dan sering merasa lapar (Toruan, 2014). Menurut Ratikasari (2015), seorang wanita akan lebih mudah menderita PMS apabila lebih peka terhadap perubahan psikologis, khususnya stress.
36 Stress ini sebenarnya memiliki hubungan dengan hormon progesteron (Michel dan Bonnet, 2014). Gejala-gejala PMS yang timbul tersebut dapat dinilai sebagai stressor yang secara tidak langsung dapat memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Beberapa wanita mungkin menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada masa PMS adalah sebagai hal yang perlu dikhawatirkan atau malah menganggapnya sebagai kondisi yang alamiah. Hasil penilaian tersebut menentukan sikap dan upaya coping yang akan dilakukan untuk mengatasi gejala-gejala PMS yang muncul (Suparyanto, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebagian besar responden yang memiliki tingkat PMS sangat ringan memiliki skor EFC antara 43-85 yaitu sebanyak 41 responden (66,13%). Hal ini disebabkan karena sebagian besar tingkat PMS responden yaitu sangat ringan, sehingga responden tidak melakukan usaha pengendalian emosi yang terlalu besar untuk mengatasi gejala-gejala PMS yang muncul. Selain itu berdasarkan hasil uji statistik SPSS 16.0 for Windows dengan uji Spearman didapatkan nilai significancy 0,032 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara premenstrual syndrome dan emotion focused coping adalah bermakna dengan koefisien korelasi sebesar 0,272 menunjukkan bahwa kekuatan korelasi lemah dengan arah korelasi positif yang artinya jika skor PMS tinggi maka skor EFC juga akan tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara PMS dan EFC karena coping yang efektif digunakan oleh seorang wanita dalam
37 menghadapi gejala PMS adalah emotion focused coping. Hal ini disebabkan karena wanita cenderung menggunakan emosional seperti yang diungkapkan oleh teori bahwa wanita cenderung menggunakan emosinya karena memiliki sistem limbik yang lebih aktif dibandingkan pria. Semua emosi berasal dari dalam sistem limbik tersebut,yang kira-kira berukuran sebesar sebuah kacang walnut dan terletak dekat batang otak. Seseorang cenderung merasa paling bahagia ketika sistem limbik mereka secara relatif tidak aktif. Ketika tidak aktif, seseorang menginterpretasikan informasi secara lebih positif (Robbins, 2008). Menurut pendapat Lazarus (1984), emotion focused coping merupakan perilaku penyelesaian masalah yang efektif yang berfungsi untuk mereduksi stress. Artinya, apabila tingkat penggunaan emotion focused coping pada individu tergolong tinggi maka akan mengurangi risiko untuk terjadinya stress yang berlanjut atau mengurangi risiko terhadap gangguan psikologis yang lebih parah. Teori juga menyebutkan bahwa gejala PMS sendiri merupakan masalah kesehatan yang merupakan suatu keadaan yang harus mendapat toleransi dan tidak memiliki sumber daya untuk melakukan tindakan secara langsung atau merupakan suatu kondisi di luar kendali individu (Mustafa, 2012), sehingga wanita yang mengalami gejala PMS cenderung menggunakan emotion focused coping yang merupakan strategi dalam menghadapi masalah berdasarkan hal-hal yang dirasakan sebagai akibat dari masalah dan
38 cenderung dilakukan apabila individu merasa tidak mampu mengubah kondisinya yang stressfull. Pengaturan EFC terhadap pengendalian tingkat PMS ini melalui perilaku individu untuk meniadakan fakta-fakta yang ditimbulkan oleh gejalagejala PMS yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif, sehingga muncullah respons emosional berupa emotion focused coping (Anam dan Himawan, 2005). Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Mustafa (2012) tentang “Emotion Focused Coping dan Penyesuaian Diri terhadap Sindrom Premenstruasi pada Wanita Bekerja di Mulia Toserba bantul” menunjukkan terdapat sumbangan efektif dari emotion focused coping terhadap penyesuaian diri positif sebesar 13,6%, artinya emotion focused coping yang mempunyai andil dalam pembentukan penyesuaian diri positif terhadap PMS pada pramuniaga wanita di Mulia Toserba Bantul. Namun hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa PMS dan EFC meiliki kekuatan korelasi lemah yaitu r = 0,272 (0,2 ≤ r < 0,4). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain yang memengaruhi coping itu sendiri yang tidak dilakukan penelitian oleh peneliti dalam penelitian ini, misalnya pola asuh dari keluarga tentang pengendalian diri untuk menghadapi gejala-gejala PMS atau kemampuan pengendalian emosi oleh setiap individu itu sendiri yang berbeda-beda. Hal ini dijelaskan oleh teori yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi coping antara lain kepribadian, jenis kelamin, usia, dukungan sosial dan sumber daya individu (Pribadi, 2010).
39 Teori lain menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang memengaruhi tingkah laku coping seseorang yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri sendiri, seperti karakteristik sifat kepribadian, pengalaman, kapasitas yang diperoleh individu akan memengaruhi kecenderungannya menggunakan strategi coping tertentu dalam menghadapi masalah, serta metode atau cara coping yang digunakan. Faktor kedua adalah faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu, yaitu waktu, uang, pendidikan, standar hidup, dukungan keluarga dan sosial, serta tidak adanya stressor yang lain (Hawa, 2006).