1
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAPPASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A.
Analisa Konsep Tindak Pidana Kekerasan Fisik Yang Dilakukan Suami Terhadap Isteri Dalam Pasal 44 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana manakala memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebuah tindak pidana. Ketentuan umum terkait dengan tindak pidana, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum positif pada dasarnya sama, yakni perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Kedua sudut pandang hukum tersebut (hukum Islam dan hukum positif di Indonesia) hanya berbeda dalam jenis sumber undang-undangnya. Hukum Islam mengacu pada sumber hukum Islam yang utama, yakni al-Qur’an yang merupakan kumpulan perintah dan larangan Allah kepada umat Islam sebagai pedoman peraturan kehidupan. Ketentuan hukum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) menjadi acuan dalam hukum positif di Indonesia yang mengalami pengkhususan menjadi beberapa perundangundangan yang salah satu di antaranya adalah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2
Unsur-unsur dalam tindak pidana secara garis besar dalam hukum Islam maupun hukum positif juga memiliki kesamaan yang mencakup 3 elemen yakni adanya ketentuan hukum perundangan yang mengatur tentang perbuatan, perbuatan melawan hukum, dan pelaku.1 Perbuatan yang mana di dalamnya telah terpenuhi syarat-syarat ketiga elemen pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan dapat diproses hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Salah satu perbuatan yang dapat dipandang sebagai tindak pidana sekaligus juga menjadi kajian dalam penelitian ini adalah tindak pidana kekerasan suami kepada isteri sebagaimana diatur dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 44 ayat (4). Untuk memudahkan analisa, ada baiknya ketentuan yang terkandung dalam Pasal 44 ayat (4) akan dipaparkan kembali dalam bab ini yang berbunyi sebagai berikut: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Perbuatan yang dimaksud pada ayat 1 dalam Pasal 44 UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a yang berbunyi setiap orang dilarang 1
Mengenai unsure-unsur tindak pidana dalam Islam dapat dilihat dalam Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, Hlm. 9. Sedangkan mengenai unsur tindak pidana, selain dalam KUHP, dapat juga dilihat dalam Suharto RM, Hukum Pidana Materiil Unsur-unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika,2002, Hlm. 28.
3
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkungan rumah tangganya. Berdasarkan penggabungan keterangan yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (4) UU No.23 tahun 2004 dapat diketahui bahwa suami maupun isteri tidak diperbolehkan untuk melakukan kekerasan fisik di antara mereka dalam lingkungan rumah tangga meskipun tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Analisa terhadap ketentuan dalam Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 tahun 2004 terkait dengan konsep tindak pidana akan dilakukan berdasarkan unsure – unsurnya secara umum yakni adanya pelaku, korban, dan perbuatan yang melanggar hukum yang akan dipaparkan sebagai berikut: 1. Pelaku Tindak Pidana Setiap orang yang telah memiliki tanggung jawab hukum memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama dalam hukum. Perbedaan jenis kelamin, suku bangsa maupun agama tidak dapat menjadi sebab perbedaan perlakuan dalam hukum. Kesamaan semua orang dalam pelaksanaan hukum juga ditegaskan dalam hukum Islam maupun hukum positif. Semua orang dapat berpeluang menjadi pelaku tindak pidana maupun korban dari sebuah tindak pidana, begitu juga bagi suami maupun isteri. Hukum Islam dan hukum positif sama-sama menegaskan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan perbuatan yang melanggar
4
hukum berupa kekerasan kepada orang lain. Keberadaan beberapa firman Allah yang menjelaskan tentang larangan berbuat dzalim kepada orang lain dalam al-Qur’an merupakan bukti bahwa Islam sangat menentang pelanggaran hak orang lain.
ִ (
!"#$% &' )#*+,- ./1$2345
Artinya:“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hakhaknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”. (QS. Al-Syu`ra:183). Firman di atas dapat menjadi bukti bahwa Islam sangat melindungi hak perorangan dan tidak dapat membenarkan adanya penyalahan terhadap hak orang lain meskipun untuk menghidupi diri maupun orang lain. Selain kedua firman di atas, Allah juga memberikan penjelasan mengenai resiko hukum yang harus ditegakkan manakala terjadi
penyerangan
(kekerasan)
orang
terhadap
orang
lain
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 194 yang berbunyi:
6 789 : )6;).< 46 7 89 "=+> )6;).< ?@A)1 6).< CD EF+֠H$Iִ☺ KL Mִ,)N O L. PQ)R ,)' K+T. PQ)5U V+☺"= )1LM ִ,)N O L. PQ)RH ?W X ☺PQ Y ִZ)1)#[DW\'☺. $2C5 Artinya:Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu arangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
5
serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Azas hukuman yang setimpal menjadi substansi pada ayat di atas terhadap tindak pidana penyerangan yang dilakukan terhadap orang lain. Artinya, setiap orang yang melakukan penyerangan (kekerasan) terhadap orang lain akan mendapatkan hukuman berupa balasan perbuatan yang sama dengan yang telah diterima oleh korban. Tidak semua orang yang melakukan tindakan yang melawan hukum dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana yang dapat dikenakan hukum. Selain aspek perbuatan, ada syarat yang harus dipenuhi dari aspek diri seseorang. Dari aspek diri, seorang dapat disebut pelaku tindak pidana manakala dirinya memenuhi syarat-syarat berakal, cukup umur, mempunyai kemampuan bebas (muchtar).2 Secara umum, syarat-syarat tersebut mengarah pada ketentuan mukallaf, yakni orang yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman hukum serta telah dikenakan pertanggungjawaban hukum. Jadi meskipun secara syarat perbuatan telah terpenuhi namun jika syarat diri dari seorang yang melakukan tindak pidana tidak terpenuhi, maka orang tersebut tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Seorang suami dalam sebuah keluarga juga dapat berpeluang menjadi pelaku tindak pidana manakala telah memenuhi kriteria sebagai pelaku tindak pidana. 2
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, Jakarta: Bulan Bintang, 1968, Hlm. 67.
6
Pengertian tidak tahu dalam hukum Islam adalah ketidaktahuan seseorang tentang hukum suatu perbuatan. Konsekuensi dari adanya ketidaktahuan adalah tidak adanya beban pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana. Batasan mengetahui tidak hanya terbatas pada hakekat mengetahui semata namun mencakup kemungkinan untuk mengetahui. Maksudnya adalah apabila seseorang telah mukallaf dan tinggal di sebuah wilayah Islam, maka ia tidak dapat mengajukan alasan
tidak
mengetahui
mengetahui hukum
karena
tersebut.
adanya
Seorang
kemungkinan
dapat
dibebaskan
untuk dari
pertanggungjawaban dengan sebab tidak mengetahui hukum manakala ia berada di wilayah pedalaman dan tidak pernah bergaul dengan orang Islam atau seseorang yang baru masuk Islam dan baru tinggal sebentar di wilayah muslim.3 Batasan pengetahuan dalam konteks hukum Islam di atas menunjukkan bahwa sangat tidak mungkin seorang suami muslim yang tinggal di Indonesia tidak mengetahui keberadaan hukum, baik hukum agama maupun hukum positif. Status seorang suami dalam sebuah keluarga mengindikasikan bahwa dia telah memenuhi syarat diri sebagai seseorang yang memiliki kewajiban untuk taat kepada hukum yang berlaku. Apabila diperhatikan, beberapa syarat yang diajukan sebagai acuan seseorang dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana memiliki kesamaan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh 3
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, Beirut: Daar al-Kitab, t.th., Hlm. 430-431.
7
seorang suami ketika dia menikahi isterinya. Artinya, tidak ada alasan yang menjadikan seorang suami tidak memenuhi kriteria sebagai seorang mukallaf yang mengetahui hukum dan memiliki tanggung jawab hukum dan dapat berpeluang untuk menjadi pelaku tindak pidana manakala melakukan pelanggaran atau menentang hukum yang berlaku. Aspek pengetahuan memang sangat penting dalam tindakan yang dilakukan oleh manusia. Secara sederhana, antara kehendak dan pengetahuan harus beriringan dalam konteks istilah dengan sengaja. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Moeljatno yang menyebutkan bahwa pengetahuan seseorang terhadap sesuatu merupakan awal dari munculnya kehendak. Meski demikian, belum tentu pengetahuan tersebut sejalan dengan apa yang dikehendakinya.4 Dari sumber yang lain disebutkan bahwa pengertian sengaja identik dengan perbuatan yang diniatkan untuk melakukan perbuatan tersebut dan tidak secara kebetulan.5 Pengetahuan yang harus terpenuhi dalam diri seseorang sebagai bagian dari syarat yang dapat menjadikan seseorang sebagai tersangka, menurut pendapat di atas, tidak hanya mencakup pengetahuan mengenai akibat hukum yang ditimbulkan dari suatu perbuatan semata. Pengetahuan seseorang juga meliputi pemahaman seseorang tentang
4 5
2013.
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, Hlm. 172. http://www.artikata.com.arti.350142.sengaja.htmldiakses pada tanggal 5 Juni
8
prosedur tindakan yang harus dilakukan agar tidak terkandung pelanggaran atau pertentangan terhadap hukum yang berlaku. Ketentuan yang berlaku dalam Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 jika diterapkan dalam kehidupan umat Islam tentu sangat riskan. Kedudukan Tuhan yang harus ditaati firman-firman-Nya telah “dikalahkan” oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar manusia. Kepentingan umat Islam untuk mengabdi kepada Allah melalui penjagaan kualitas keimanan isteri oleh suami telah dimatikan oleh keberadaan Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2004. Ketentuan
dalam
Pasal
44
ayat
(4) secara tidak
langsung
mengindikasikan bahwa apabila isteri tidak patuh terhadap nasehat suaminya – meskipun dalam konteks ajaran agama – maka seorang suami tidak diperkenankan untuk melakukan kekerasan. Hal ini tentu akan menimbulkan resiko yang tidak kecil. Bisa jadi keberadaan Pasal 44 ayat (4) yang dapat menjadikan suami sebagai pelaku tindak pidana kekerasan fisik kepada isteri akan digunakan sebagai tameng bagi beberapa isteri yang memang tidak taat agama. Analogi yang dapat disajikan sebagai pembanding adalah apabila ada seorang isteri yang senang pergi mencari hiburan malam di diskotik dan telah diperingatkan oleh suaminya yang Islam dan taat beribadah serta sangat mencintainya untuk tidak pergi ke tempat tersebut namun masih saja membangkang, apakah yang layak dilakukan oleh suami jika meniadakan azas hukum Islam bagi orang
9
Islam? Apakah suami harus menceraikannya, bagaimana nasib anakanak
mereka?
Apabila
suami
melakukan
peringatan
dengan
memberikan kekerasan fisik maupun mental yang wajar, apakah suami bersalah demi meluruskan isterinya dalam aspek agama? Bagaimana tanggung jawab hukum positif jika kemudian anak-anak meniru kehidupan ibunya? Pada contoh yang disajikan, satu sisi suami mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh isterinya merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Suami yang mengetahui ketentuan syari’at Islam tentu tidak akan langsung memberikan peringatan melalui tindak kekerasan melainkan dengan cara memberikan nasehat. Namun demikian, jika cara tersebut tidak direspon oleh pihak isteri dan bahkan isteri semakin menjadi-jadi, apa yang akan ditawarkan oleh hukum positif sebagai langkah bijaksana dalam menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga? Melihat analogi di atas serta hakekat lingkup hukum yang berlaku, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat menjadikan suami sebagai pelaku tindak pidana kekerasan meskipun dengan dalih meluruskan isteri dalam hal agama kurang memperhatikan aspek dampak domino dari penyebab terjadinya kekerasan fisik. Hukum dalam UU tersebut hanya memandang sebab-sebab formal dalam lingkup kehidupan manusia sebagai manusia dan tidak menyertakan lingkup manusia sebagai
10
hamba Tuhan maupun dampak yang akan timbul secara psikologi maupun tradisi perilaku bagi anak-anak. 2. Tindak Pidana Pada dasarnya, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindakan yang melawan hukum manakala telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang suatu perkara atau berkaitan dengan suatu tindakan. Sebab suatu tindakan atau perkara tidak akan dianggap melawan hukum manakala belum ada ketentuan yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam salah satu firman-Nya yakni Q.S. al-Isra’ ayat 15:
$I ,)N E2 H M)6 ִ
1LMִ,)' ִ☺^_"` KM+ 7 ,a+T- ./ + I)1 U ִ☺^_"` K&U-C)b ;7 cPQ)R d&4M ef &"g &.g L hi L )1 j)#["=Dk 1HlmnִTִoִ p)_ q & $2"5
Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Ketentuan dalam syari’at Islam tersebut juga terdapat dalam ketentuan hukum positif yang dikenal dengan asas legalitas. Ketentuan tidak adanya hukuman sebelum adanya hukum yang mengatur sebagaimana diungkapkan dalam istilah Latin “Nullum deliktum nulla poena praevia poenali” (tiada delik tiada hukuman sebelum ada
11
ketentuan terlebih dahulu). Istilah tersebut juga dikenal sebagai asas legalitas. Maksudnya adalah legalitas suatu tindakan ada setelah adanya hukum. Jadi, apabila hukum suatu tindakan atau perkara belum ada ketentuannya, maka suatu perbuatan tidak akan dianggap melanggar atau melawan hukum sebelum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum.6 Setiap perbuatan yang telah memenuhi unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Aspek tindakan pidana yang terkandung dalam tindak pidana kekerasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2004 adalah perbuatan kekerasan fisik suami kepada isteri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk beraktifitas sehari-hari. Ketentuan yang ada dalam Pasal 44 ayat (4) di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami kepada isterinya meski tidak menimbulkan penyakit maupun halangan beraktifitas dapat dimasukkan ke dalam kategori tindak pidana. Meskipun tingkat kekerasan dan tempat yang menjadi obyek kekerasan yang dilakukan berbeda asalkan tidak menimbulkan penyakit maupun halangan maka ancaman hukumannya pun sama. Tidak ada aspek pembenaran terhadap perbuatan kekerasan suami kepada isteri dengan dalih agama. 6
Terkaitdengan asas legalitas dapat dilihat dalam Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani, 2003, Hlm. 10-11.
12
Perbuatan yang dilakukan oleh manusia menurut hukum Islam dapat dimasukkan sebagai tindak pidana manakala telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Syarat perbuatan yang dapat dipidanakan ada tiga macam, yaitu: 1) Perbuatan itu mungkin terjadi. 2) Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya. 3) Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.7 Ketentuan dalam hukum Islam tersebut menandakan bahwa apabila suami yang melakukan kekerasan kepada isterinya namun belum mengetahui adanya ketentuan hukum yang mengatur tentang perbuatannya, maka perbuatan suami tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal yang sama juga diberlakukan dalam hukum positif, yakni apabila seseorang belum mengetahui tentang perundangundangan yang berlaku, maka perbuatan seseorang tersebut tidak dapat dimasukkan dalam tindak pidana. Perbuatan kekerasan suami kepada isteri yang dianggap sebagai tindak pidana dalam Pasal 44 ayat (4) tidak terkandung spesifikasi
7
syarat tersebut juga memiliki arti pelaku mengetahui hukum-hukum taklifi dan untuk itu maka hukum tersebut sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak. dengan demikian maka hal itu berarti tidak ada jarimah kecuali dengan adanya nash (ketentuan). pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. hal ini berarti ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila ia tidak mentaati peraturan atau ketentuan hukum tersebut. dengan demikian maka pengertiannya adalah bahwa suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumannya. lihat dalam ahmad wardi muslich, op cit., Hlm. 31
13
secara perbuatan. Artinya, setiap perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri adalah perbuatan langsung. Sedangkan dalam hukum Islam, setiap perbuatan meskipun dilakukan secara langsung oleh pelaku tidak seluruhnya masuk dalam kategori perbuatan langsung. Penggunaan istilah perbuatan langsung dan tidak langsung dalam hukum Islam berbeda dengan hukum positif. Suatu perbuatan langsung dalam hukum Islam diartikan sebagai perbuatan yang memang benar-benar direncanakan oleh pelaku kepada korban. Sedangkan perbuatan tidak langsung adalah perbuatan pidana yang tidak direncanakan namun mengandung unsur kesengajaan kepada korban.8 Berikut ini akan dipaparkan contoh kasus fiktif sebagai pendukung dalam penjelasan perbedaan perbuatan langsung dalam hukum Islam dan hukum positif. Seorang suami melihat isterinya seringkali pergi ke diskotik sendirian dan pulang dalam keadaan mabuk. Suami sudah mengingatkan isterinya untuk tidak pergi ke diskotik dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Namun peringatan suami yang diberikan berkali-kali tidak dipedulikan oleh isteri sehingga suami jengkel dan meminta isterinya menjauh dari dirinya. Namun isteri tidak mempedulikan sehingga suami kemudian meninggalkan isterinya dengan disertai memberikan dorongan untuk menjauhkan isteri dari dirinya yang disertai dengan hardikan kepada isteri. Celakanya, dorongan yang diberikan tersebut mengakibatkan isteri terbentur tembok dan mengalami lebam di lengan kirinya. Isteri kemudian melakukan visum dan melaporkan suaminya kepada pihak berwajib dengan dalih kekerasan fisik dalam rumah tangga. Gambaran kasus di atas jika dikaji dalam ketentuan Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 23 tahun 2004, perbuatan suami kepada isteri dapat
8
Ibid., Hlm. 67-70.
14
dikategorikan sebagai perbuatan langsung sehingga dapat diberlakukan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan dalam konteks hukum Islam, perbuatan yang dilakukan oleh suami tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan langsung melainkan perbuatan tidak langsung dan bahkan dapat juga tidak merupakan perbuatan pidana. Hal ini dikarenakan, niat awal suami melakukan perbuatan adalah tidak untuk melukai isterinya melainkan untuk menjauhkan isterinya dari dirinya karena permintaan secara lisan tidak digubris oleh isteri. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan
antara
hukum
positif
dan
hukum
Islam
dalam
mengkategorikan perbuatan berdasarkan rencana. Hukum positif (UU No. 23 Tahun 2004) lebih memandang akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan suami yang mengakibatkan luka fisik tanpa menimbulkan penyakit, sedangkan hukum Islam lebih mengedepankan niat atau rencana suami dalam melakukan perbuatan. Selain mengacu pada perbuatan yang dilakukan, suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak berdasarkan pada tujuan yang diinginkan. Apabila perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh suami memang bertujuan untuk melukai isteri (meskipun tanpa menimbulkan penyakit), maka perbuatan suami dapat disebut sebagai tindak pidana. Namun jika perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh suami sebagai
15
bentuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga sekaligus pemimpin bagi isterinya, maka Islam memberikan keringanan kebolehan. Hal ini terungkap dari keberadaan firman Allah berikut ini:
lDnA )Y K b 1rs ִg ?t urs ?+ KvI 6?w !"#sZ-x Cִ☺. vI ="c 3 Y"` K O?p ⌧ K vI7 cPQ) {⌧ "pִqL Y"W |}֠⌧j ~"Q) c6"p •$45 Artinya:wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa kalian (suami) apabila isterinya nusyuz atau membangkang hendaknya memberikan nasehat yang menurut pandangannya dapat menyentuh hati isteri. Sebab diantara kaum wanita ada yang cukup dengan diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah. Apabila dengan menginngatkan tidak juga dapat menyadarkan kelakuan isteri yang salah maka memisahkan diri dari tempat tidur dengan sikap berpaling, perlakuan suami seperti itu akan menarik isteri untuk bertanya tentang seba-sebab suami meninggalkannya dari tempat tidur. Tetapi jika cara ini tidak berhasil pula, maka suami boleh menggunakan cara yang ketiga yakni suami boleh memukul isteri, asalkan pukulan itu
16
tidak menyakiti atau melukainya, seperti memukul dengan tangan atau tongkat kecil.9 Ketentuan
tersebut
di
atas
menjelaskan
bahwa
Islam
memperbolehkan suami melakukan kekerasan fisik kepada isterinya apabila peringatan secara lisan yang berhubungan dengan kewajiban sebagai hamba Allah maupun sebagai isteri serta ibu bagi anakanaknya tidak diperhatikan oleh isteri. Meski demikian, kekerasan dengan membabibuta atau yang berakibat fatal dianjurkan untuk tidak dilakukan. Hal ini terlihat dalam firman Allah kepada Nabi Ayyub yang akan memukul isterinya dengan 100 pukulan saat sembuh yang termaktub dalam firman Allah Q.S Shad ayat 44
€
(
⌧•+, "= 3 Ka+T"P= ^_"WTA)_ ,ִI hO +f_, ִ . "WC‚
. -2‚"c ofƒ.) 1L „6"= E…H /†T^_ $5
Artinya: dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya) Penggantian 100 pukulan dengan mengumpulkan 100 lidi dan dipukulkan sekali ke tubuh isteri Ayyub merupakan gambaran bahwa kebolehan kekerasan yang dilakukan oleh suami dalam upaya memperingatkan isterinya ada batasannya. Pukulan 100 kali dengan kayu ke tubuh isteri pada kisah Nabi Ayyub akan berakibat fatal terhadap diri isteri Ayyub. Namun dengan 100 lidi yang disatukan dan 9
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994. Hlm 43-44
17
digunakan untuk memukul isteri, tentu akan berbeda dengan pukulan 100 kali kayu. Berpijak pada pemaparan di atas, terkait dengan ketentuan dalam Pasal 44 ayat (4) UU No.23 Tahun 2004, dapat diketahui bahwa dalam konteks hukum Islam perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh suami tidak selamanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Apabila kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami bertujuan untuk menjaga isteri dari perbuatan yang bertentangan dengan syari’at – setelah sebelumnya diperingatkan secara lisan – maka Islam memperbolehkan perbuatan tersebut dan tidak menganggapnya sebagai tindak pidana. Namun jika suami melakukan kekerasan fisik kepada isterinya dengan membabibuta ataupun dengan fatal suami dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa setiap perbuatan suami kepada isteri yang berakibat pada adanya luka dalam (yang tidak menimbulkan penyakit) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 tidak seluruhnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, baik langsung maupun tidak langsung. Rencana dan tujuan dari adanya perbuatan kekerasan suami kepada isteri menjadi acuan dasar dalam menentukan masuk tidaknya perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri ke dalam tindak pidana.
18
B.
Analisa Sanksi Pidana Kekerasan Fisik Yang Dilakukan Suami Terhadap Isteri Dalam Pasal 44 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Secara bahasa, hukuman dalam konteks hukum Islam berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘aqaba yang memiliki arti mengiringi atau mengikuti di belakangnya. Dari pengertian tersebut diperoleh pengertian secara lebih luas bahwa hukuman adalah sesuatu yang mengikuti perbuatan dan dilaksanakan setelah perbuatan tersebut dilakukan.10 Sedangkan dalam konteks bahasa Indonesia, hukuman memiliki arti siksa dan sebagainya atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.11 Hukuman yang dikenakan oleh UU No. 23 Tahun 2004 pada Pasal 44 ayat (4) kepada suami yang terbukti melakukan tindak pidana kekerasan kepada isteri dengan tidak menimbulkan penyakit atau menghalangi kegiatan isteri adalah hukuman penjara selama 4 bulan atau denda Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Hukuman tersebut menurut penulis sebenarnya kurang dapat diterapkan jika dipandang dari sudut pandang hukum Islam. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi argument adalah sebagai berikut:
10
Lihat dalam Ibrahim Anis et.al, al-Mu’jam al-Wasith, Saudi Arabia: Daar alIhya’ al-Turats, t.th., hlm. 612. 11 WJS. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 315.
19
1. Fungsi suami sebagai kepala rumah tangga Adanya hukuman kurungan penjara selama 4 bulan paling tidak telah menghilangkan fungsi seorang laki-laki bukan hanya sebagai suami dari isteri yang telah melaporkannya melainkan juga sebagai seorang kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban pemenuhan nafkah kepada keluarganya (isteri dan anak-anaknya). Apabila suami terbukti dan kemudian diberikan hukuman kurungan selama 4 bulan, lantas siapakah yang akan menggantikan tugas suami dalam memberikan nafkah kepada isterinya? Memang dalam konteks hukum Islam, tugas dari suami sebagai kepala rumah tangga dapat digantikan oleh keluarga suami maupun keluarga isteri. Namun permasalahan tidak hanya terhenti hingga di situ. Dampak yang diterima oleh anak-anak juga patut menjadi pertimbangan dalam penerapan hukuman. Bagaimana anak-anak akan menghadapi tekanan psikologi sebagai anak dari seorang narapidana karena adanya laporan ibu atas perbuatan kekerasan fisik ayah mereka kepada ibunya. Di samping itu, masih adakah jaminan keteladanan ayah bagi anak-anak ketika ayah mereka telah keluar dari masa tahanan? 2. Berkurangnya kekayaan keluarga Adanya hukuman denda sebesar Rp. 5.000.000,00 sebagai salah satu dari dua pilihan sanksi pidana yang diberlakukan bagi suami yang melakukan kekerasan fisik dengan tidak menimbulkan penyakit atau
20
halangan untuk beraktifitas juga memberikan dampak terhadap keadaan ekonomi keluarga, khususnya manakala keluarga suami (isteri dan anak-anaknya) yang terkena kasus adalah keluarga kurang mampu. 3. Tindak pidana yang dilakukan termasuk ringan Ringannya tindak pidana yang dilakukan oleh suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 terlihat dari adanya batasan akibat perbuatan pidana yakni tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam berkegiatan. Batasan tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami tidak berdampak fatal terhadap fisik dari isteri. 4. Kemungkinan timbulnya kemadlaratan bagi keluarga Hukuman yang dijalani oleh suami, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat menimbulkan kemadlaratan manakala dialami oleh keluarga yang mengandalkan perekonomian dari pihak suami. Pelaksanaan hukuman penjara bagi suami yang melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga akan menghilangkan sumber perekonomian. Meskipun sementara, hal itu akan dapat berdampak pada keadaan mental anggota keluarga sepeninggal suami yang melaksanakan hukuman. Hukuman atau sanksi dalam pandangan hukum Islam adalah bentuk upaya Islam untuk melakukan perbaikan keadaan, baik terhadap pelaku maupun masyarakat luas. Artinya, hukuman yang diberikan dalam
21
lingkup hukum Islam diharapkan tidak hanya menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana saja melainkan juga dapat memberikan tekanan hukum bagi masyarakat yang mengetahui eksekusi hukuman agar tidak melakukan tindak pidana. Idealnya, hukuman yang diberikan dalam kasus yang dimaksud pada Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 tidak hanya berorientasi pada timbulnya ketaatan hukum oleh masyarakat semata namun juga perlu dipertimbangkan aspek-aspek dalam keluarga. Dalam konteks hukum Islam, perbuatan yang dilakukan oleh suami berupa kekerasan fisik yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan kegiatan isteri merupakan jenis tindak pidana penganiayaan ringan yang tidak dikenakan hukum qishash. Hukuman yang dikenakan dalam Islam terkait dengan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami tanpa menimbulkan penyakit atau halangan adalah hukuman denda berdasarkan kesepakatan dan kemampuan suami. Menurut penulis, dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan di atas, ada baiknya bentuk hukuman yang diberlakukan bagi suami dibagi menjadi dua hal apabila suami melakukan pemukulan tidak dengan alasan yang kuat karena isteri bersalah dan denga pukulan yang menyakiti maka hukuman dalam pasal 44 ayat 4 tersebut patut dilaksanakan. Namun jiak suami yang melakukan kekerasan kepada isteri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk berkegiatan serta suami mempunyai alasan yang kuat untuk mendidik kelakuan isteri yang
22
slam bukanlah sanksi pidana penjara atau denda yang telah ditentukan melainkan dapat digunakan sanksi pidana berupa hukuman percobaan. Penerapan hukuman percobaan akan lebih mengena pada tujuan diberlakukannya hukum perundang-undangan. Dengan adanya hukuman percobaan, suami yang melakukan tindak pidana kekerasan fisik yang ringan memiliki peluang untuk melakukan perubahan terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Selain itu, hukuman percobaan juga tidak akan menimbulkan permasalahan bagi pihak lain seperti keluarga suami atau isteri yang ikut menanggung tanggung jawab suami sebagai akibat suami tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pemberi nafkah keluarga. Di samping itu, anak-anak juga tidak menanggung beban moral dengan adanya hukuman percobaan bagi ayah mereka yang melakukan tindak kekerasan fisik ringan kepada ibu mereka. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penerapan hukuman berupa sanksi pidana penjara 4 bulan atau denda yang ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00 lebih cenderung member dampak negative bagi keluarga pelaku. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pemberian hukuman dalam UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 44 ayat (4) terkandung aspek kemadlaratan. Oleh sebab itu, dalam tinjauan hukum Islam, penerapan hukuman sebagaimana dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 44 ayat (4) kurang sesuai dengan kaidah menghilangkan madlarat lebih baik daripada menarik kebaikan.
23
Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami kepada isteri tidak seluruhnya dan tidak selamanya dapat menjadikan suami sebagai pelaku tindak pidana menurut hukum Islam. Dalam ketentuan yang terkandung pada Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004, kemungkinan suami terbebas dari pertanggungjawaban menurut pandangan hukum Islam dapat disandarkan pada dua hal, yakni adanya pembelaan yang sah dan dalam tujuan pendidikan dan pengajaran. Dua hal tersebut terkait dengan upaya kekerasan yang dilakukan sendiri oleh suami kepada isteri. Suami dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban perbuatannya dengan dalih pembelaan yang sah manakala kekerasan yang dilakukan oleh suami dikarenakan adanya pembelaan diri – seperti reflex membalas tamparan isteri dengan memberikan tamparan balik kepada isteri yang mungkin lebih keras dari tamparan isteri. Kekerasan yang dilakukan sebagai pembelaan dalam hukum Islam juga dibenarkan dalam lingkup hukum positif. Aspek pendidikan dan pengajaran juga dapat dijadikan sebagai penyebab hilangnya pertanggungjawaban suami terhadap kekerasan fisik yang dilakukannya kepada isteri. Pada prinsipnya, suami sebagai seorang laki-laki memiliki kedudukan sebagai pemimpin bagi wanita. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya berikut ini:
‡ִ֠I4ˆ6 |} 1‰Š ֠!P )+ E +‹ƒ ִ☺"= UŒC K• Ž C )=H!P )•• )= ִ☺ "= ?W⌧/_ I+1 O"Ž+ ‰ .1 H?@Aִ "QA‘F KZ@A)N
24
+ A ֠e@A ?+/AִTDQ. ) KQ+k ִ☺"=⌧’+/ִT•
H
Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri. ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) Kedudukan
laki-laki
sebagai
pemimpin
berdampak
pada
kewajibannya kepada diri dan keluarganya. Tugas utama laki-laki sebagai kepala keluarga dan suami adalah menjaga diri dan keluarganya dari jilatan api neraka seperti diperintahkan oleh Allah dalam firman Q.S AtTahrim ayat 6 berikut ini:
;7|, “^A)b)#*+֠ X
֠ = LE ?/_ Q
)1 = L " ƒ&
)_
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka Penggunaan istilah al-nar secara tidak langsung mengindikasikan adanya kewajiban laki-laki, baik sebagai kepala keluarga maupun sebagai suami dari isterinya untuk selalu menjaga keluarganya agar melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hanya dengan pelaksanaan perintah dan menjauhi larangan-Nya manusia dapat terhindar dari siksa api neraka. Artinya, seorang suami harus benar-benar dapat menjaga kualitas keimanan isteri beserta keluarganya. Kinerja suami dalam menjaga kualitas keimanan keluarganya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah kelak di hari akhir.
25
Allah
memberikan
beberapa ketentuan
bagi
suami
untuk
mewujudkan tanggung jawabnya terhadap kualitas keimanan isterinya. Suami diperbolehkan untuk melakukan tindak kekerasan kepada isterinya demi untuk menjaga kualitas keimanan tersebut sebagaimana ditegaskan dalam firman berikut ini:
‡ִ֠I4ˆ6 |} 1‰Š ֠!P )+ E +‹ƒ ִ☺"= UŒC K• Ž C )=H!P )•• )= ִ☺" = ?W⌧/_ I+1 O"Ž+ ‰ .1 H?@Aִ "QA‘F KZ@A)N+ A ֠e@A ?+/AִTDQ. ) KQ+k ִ☺" =⌧’+/ִT• HlDnA )Y K b 1rs ִg ?t urs ?+ K vI 6?w !"#sZ-x Cִ☺ . vI ="c 3 Y"` K O?p ⌧ K vI7 cPQ){⌧ "pִqL Y"W |}֠⌧j ~"Q) c6"p •$45 Artinya:kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Ketentuan Islam tersebut sekilas tentu akan menimbulkan pertanyaan tentang kekhawatiran kesewenang-wenangan suami kepada isteri. Suami dapat seenaknya berlaku kasar kepada isteri dengan dalih memperingatkan isteri. Hal ini telah diantisipasi oleh Allah dalam firmanNya yang menerangkan tentang hakamain ketika ada ada perselisihan
26
antara suami dan isteri. Seorang isteri dapat mengajukan suami yang melakukan kekerasan dan diproses secara hukum. Apabila perbuatan suami memang didasarkan upaya mengingatkan isteri setelah melalui prosedur, maka suami tidak disebut sebagai pelaku. Sebaliknya, jika suami terbukti melakukan kekerasan bukan untuk mengingatkan, maka suami akan mendapat hukuman sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukannya terhadap isteri. Ketentuan Islam mengenai kemungkinan dijadikannya suami sebagai pelaku tindak pidana sangat berbeda dengan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 44 ayat (4). Suami yang terbukti melakukan kekerasan fisik yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, meskipun dengan dalih untuk mengingatkan isteri tetap dianggap sebagai pelaku tindak pidana. Perbedaan ini terjadi karena lingkup pandangan hukum yang berbeda dalam kedua hukum tersebut. Hukum Islam tidak hanya memandang perbuatan manusia hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia saja melainkan juga mencakup tanggung jawab manusia kepada Allah terhadap tugas yang disesuaikan dengan kedudukannya dalam kehidupan di dunia. Sedangkan hukum positif hanya mengatur ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia serta kewajiban manusia kepada negara dalam ketaatan hukum.
27
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tindak kekerasan suami terhadap isteri dapat menjadikan suami sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks hukum Islam dan hukum positif. Sedangkan aspek kemungkinan hilangnya pertanggungjawaban akibat perbuatan suami hanya dapat dilaksanakan manakala memenuhi ketentuan yang dapat menjadikan suatu perbuatan maupun seseorang dapat dinyatakan lepas dari pertanggungjawaban akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya.