92
BAB III PEMIKIRAN ABDUL KARIM SOROUSH TENTANG KRITIK WILAYAT AL-FAQIH
A.
Latar Belakang Sosio-Kultural Abdul Karim Soroush1 1. Sejarah Iran Dataran tinggi Iran merupakan salah satu pusat peradaban tertua dalam sejarah manusia dan memiliki sebuah tempat yang penting dalam studi-studi arkeologis. Sejarah tentang perkampungan di dataran tinggi Iran, dari Zaman Batu yang baru hingga migrasi orang-orang Arya ke wilayah ini, masih sangat tidak jelas. Tetapi bukti yang dapat dipercaya mengindikasikan bahwa Iran telah dihuni sejak sangat lama. Pusat-pusat perkampungan muncul dekat sumber-sumber air seperti mata air, sungai, danau, atau sangat dekat dengan Gunung Alborz dan Zagross. Pusatpusat yang paling penting dalam kategori ini adalah sebagai berikut. Tappeh (bukit) Sialk di Kashan, Tappeh Hesar di Damghan, TorangTappeh di Gorgan, Tappeh Hekmataneh di Hamedan, Tappeh Hassanloo di Azerbaijan, Marlik Tappeh di Roodbar, dan Susa (Shoosh) di Khuzistan. Menurut penggalian-penggalian arkeologis yang dilakukan di pusat-pusat peradaban tersebut, beberapa jejak telah ditemukan,
1
Penulis patut berhutang budi yang tak terhingga kepada Hassan Zendeh Del dari Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Indonesia yang telah melengkapi data-data yang terkait dengan perjalanan sejarah bangsa Iran. Kebanyakan data yang penulis paparkan dalam membahas persoalan kesejarahan maupun data-data kependudukan, agama, budaya dan yang lainnya, adalah data yang diberikan oleh Hassan Zendeh Del, mengecualikan beberapa data yang penulis dapatkan dari beberapa referensi yang ada dalam buku. Hassan Zendeh Del, Iran: Selayang Pandang, hlm. 1-38.
93
barang-barang peninggalan dari masa tersebut menunjuk pada milenium ke-5 sebelum Masehi. Pada paruh pertama abad 6 SM, Cyrus Yang Agung menyatukan Mede dan Persian ke dalam kerajaan Persia besar pertama. Cyrus dan raja-raja berikutnya dari dinasti Achaemenidae berada dalam masa keemasan dalam peradaban Persia.2 Migrasi suku bangsa Arya ke dataran tinggi Iran dimulai pada milenium ke-2 sebelum Masehi. Di luar suku bangsa tersebut, orangorang Parthia menempati Khorasan, orang-orang Mede di barat, dan Parsee di selatan Iran. Kekaisaran Median muncul di Hekmataneh (Ekbatan), kini Hamedan. Achaemenidae membangun kekaisaran Persia pertama yang besar setelah mengalahkan orang-orang Mede dan menguasai ibukota mereka. Batas wilayah kaum Achaemenia selama rezim Dariush I (522-485 SM) terbentang dari daratan Sand River di timur sampai perbatasan Yunani di barat.3 Passargad dan Persepolis merupakan salah satu jejak periode ini dan, sebagai situs sejarah yang penting, dikunjungi oleh turis-turis mancanegara dalam jumlah yang signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 490 SM, Achaemenid diserang oleh Yunani dan menderita kekalahan yang menyebabkan kerugian besar di Marathon dan
2
Hingga kini, kebudayaan Persia, Agama Zoroaster, negarawannya, serta ilmu kemiliteran Persia merupakan bagian dari peninggalan yang tidak dapat dihilangkan dari mata rantai sejarah kuno. Perhatikan David E. Long, “Islamic Republic of Iran”, dalam David E. Long and Bernard Reich, The Government and Politics of the Middle East and North Africa, Boulder and London: Westview Press, 1986, hlm. 60. 3
Hassan Zendeh Del, Ibid
94
sepuluh tahuan kemudian juga mengalami kekalahan di Salamis. Akhirnya Dinasti Achaemenia digulingkan oleh Alexander Agung yang mengalahkan tentara Persia pada tahun 331 SM di Arbelia serta membakar ibu kotanya di Persepolis. Setelah kematian Alexander Imperium Persia diteruskan oleh Seleucus yang menjadi pemimpin Persia dan membangun Dinasti Seleucid. Dinasti Seleucid berkuasa hingga tahun 247 SM.4 Selama masa ini, interaksi di antara orang-orang Iran dengan budaya Yunani terjadi. Sekitar tahun 250 SM, orang-orang Parthia, yang merupakan suku Arya, layaknya para penunggang kuda, berangkat dari Khorasan menuju ke arah barat dan barat-daya serta membangun kekaisaran mereka di atas dataran tinggi Iran di Teesfoon. Kekaisaran ini hanya bertahan sampai tahun 244 M. Dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 500 tahun. Pada abad 225 M orang Sassanid raja terakhir Parthia. membangun sebuah kekaisaran baru yang bertahan hingga pertengahan abad ke-7 M. Memperhatikan karakteristik-karakteristik politik, sosial, dan budayanya, periode kuno Iran (Persia) merupakan satu dari masamasa sejarah Iran yang paling gemilang.5 Di luar masa ini, begitu banyak monumen sejarah dan budaya yang tersisa di Persepolis, Passargad, Susa (Shoosh), Shooshtar, Hamedan, Marvdasht (Naghsh-e-Rostam), Taghbostan, Sarvestan, dan Nayshabour, 4
David E. Long, op.cit., hlm. 61.
5
Ibid.
95
yang sangat berharga untuk disaksikan. Pengaruh Islam di Iran dimulai pada awal abad ke-7 M setelah kejatuhan kekaisaran kaum Sassanid. Sejak itu, era baru dimulai dalam sejarah Iran yang menyebabkan perubahan mendasar dalam kondisi sosial, politik, agama, pemerintahan, dan kondisi umum dari negeri ini. Orang-orang Iran, yang sangat tidak senang dengan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ada pada masa Sassanid, dengan mudah menerima Islam dan memberikan kontribusi bagi ekspansi dan pengayaannya.6 Bagaimanapun,
orang-orang
Iran
tidak
pernah
menutupi
penentangan mereka terhadap dominasi dan tirani Khilafah Umayyah dan Abbasiyah dan membentuk berbagai pergerakan untuk melawan mereka. Sebaliknya, para khalifah Umayyah dan Abbasiyah berusaha untuk membersihkan dan menekan gerakan-gerakan tersebut, yang didasarkan pada pemihakan kepada keluarga Nabi Islam dan pendirian pemerintahan atas dasar Imamah, dengan mendukung pasukan-pasukan non-Iran. Perang-perang yang berkelanjutan dan menghabiskan tenaga di antara gubernur-gubernur lokal melemahkan keseluruhan kekuatan
6
Meski Islam dapat diterima dengan mudah, tetapi dalam salah satu sumber, penulis menemukan data bahwa Islam hadir bukan sebagai pembebasan, tetapi penjajahan. Masuknya Islam adalah penjajahan orang asing terhadap bangsa pribumi. Hal itu merubah seluruh sejarah bangsa Persia. Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno Persia, Zoroastrianisme dan sejak saat itu hingga hari ini, orang Persia menjadi Muslim. Namun stempel Islam mereka dari awalnya agak berbeda dengan lainnya. Bangsa Iran mengisinya dengan warna Iran yang spesifik. Tak hanya itu dalam beberapa abad, Bahasa Arab mengganti bahasa Pahlavi (bahasa Persia tengah), bahasa yang dipakai oleh bangsa Persia selama masa pemerintahan Sassanid. Zayar, Iranian Revolution: Past, Present, Future, (terj) Anton HI, “Revolusi Iran: Sejarah dan Hari Depannya”,Yogyakarta: Sumbu, 2002, hlm. 5-6.
96
negeri ini dan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya invasi dari suku-suku asing dari Asia bagian tengah, seperti Saljuk, Turki, Mongol, dan Taymorid. Pada masa Safavid, kekaisaran Iran terbesar kedua didirikan, dan mazhab Islam Syiah, yang para pengikutnya sangat kecil hingga saat itu, diformalisasi. Sifat Syiah yang dinamis dan komitmen politik serta sosialnya, dengan mantap, mempertahankan kemerdekaan orang-orang Iran dan identitas nasional dari serangan Ottoman. Dengan begitu, Iran sekali lagi menjadi satu kekuatan baru politik dan agama. Dengan kejatuhan Safavid, Afsharieh, dan terakhir Zandieh mengambil-alih kekuasaan. Setelah pemerintahan Zandieh, kaum Qajar mengambil-alih kekuasaan. Pada masa ini, pengaruh kekuatan asing seperti Inggris dan Rusia dalam urusan dalam negeri Iran meningkat secara signifikan. Sementara itu,
gerakan-gerakan
sosial
Tembakau,
Revolusi
Konstitusi,
Pemberontakan Hutan, Pemberontakan Syekh Mohammad Khiabani terjadi.
Pada
periode
Pahlavi,
Gerakan
Nasionalisasi
Industri
Perminyakan mendorong pemberontakan 5 Juni 1963, dan gerakangerakan lain yang menghasilkan Revolusi Islam di bawah kepemimpinan Imam Khomeini pada tahun 1979. Sejarah Iran memiliki begitu banyak pergantian dengan banyak kekaisaran dan dinasti yang telah memerintah negeri ini, di antaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:
97
Achaemenia
533-330 SM
Seleucid
330-247 SM
Parthia
247 SM-224 M
Sassanid
224-651 M
Serangan Arab
645 M
Umayyah dan Abbasiyah
749-932 M
Saffari
866-903 M
Saman
819-999 M
Al Bouyeh
945-1055 M
Ghaznavi
977-1186 M
Seljuk
1038-1194 M
Kharazmshah
1077-1231 M
Invasi Mongol ke Iran
1220 M
Ilkhan
1256-1353 M
Mozaffar
1314-1393 M
Teymurid
1370-1506 M
Turkamen
1380-1468 M
Safavid
1501-1732 M
Afshar
1734-1796 M
Zandi
1750-1794 M
Qajar
1779-1924 M
Pahlavi
1779-1924 M
Revolusi Islam
1979 M
98
Medan peperangan bersejarah di Iran, khususnya, yang bersifat keagamaan merupakan daya tarik bagi para peziarah dan turis. Sebagai contoh, medan peperangan melawan Mongol di Nayshabour, dan medan perang Chaldan melawan kekaisaran Ottoman mungkin merupakan daya tarik khusus. Dan akhirnya medan perang Iran-Irak di Khoramshahr, Bostan, dan Hovayzeh memiliki daya tarik yang khusus untuk beberapa turis. 2. Populasi dan Kelompok Etnik Menurut sensus terakhir pada tahun 1996, populasi Iran diperkirakan sedikit lebih dari 60 juta, yang di antaranya sekitar 37 juta merupakan penduduk perkotaan, 23 juta orang desa, dan suatu presentase kecil dari suku-suku nomad. Kota-kota yang paling padat populasinya adalah Tehran, Mashhad, Isfahan, Tabriz, Shiraz, Qom, Ahwaz, Rasht, Orumiyeh, dan Kermanshah.7 Lebih dari setengah populasi negeri ini adalah usia aktif. Jumlah populasi yang bekerja dilaporkan sekitar 14,5 juta dan sekitar 39,5% dari seluruh populasi berada di bawah usia 14 tahun. Dengan demikian, populasi Iran adalah salah satu yang termuda di dunia. Dari sudut pandang pekerjaan, distribusi usia dari populasi yang telah bekerja, usia 10 tahun ke atas, pada sektor-sektor ekonomi yang berbeda adalah 23,04% di pertanian, 44,5% di jasa, dan 30,7% di industri.
7
Hassan Zendeh Del, op.cit.
99
Dari keseluruhan populasi negeri ini, usia 6 tahun ke atas, 79,5% melek huruf. Angka rata-rata melek huruf di wilayah-wilayah perkotaan adalah
96,88%,
dan
di
wilayah
pedesaan
adalah
91,37%.
Perbandingannya adalah 84,66% bagi pria dan 74,21% bagi perempuan dengan perbedaan yang lebih besar di antara jenis-jenis kelamin di wilayah-wilayah pedesaan. Di wilayah-wilayah perkotaan, perbandingan ini adalah 89,56% dan 81,7% dan di wilayah-wilayah pedesaan adalah 76,74% dan 62,41% bagi pria dan perempuan secara berurutan. Secara umum, para turis sangat tertarik dalam melihat perpindahan suku-suku nomad. Alasan utama untuk itu adalah bahwa suku-suku nomad tersebut sangat menjaga tradisi-tradisi dan budaya-budaya lama mereka. Gaya hidup orang-orang nomad di Iran sekarang tidak begitu berbeda dari yang dimiliki para pendahulu kami. Oleh sebab itu, mengunjungi suku-suku nomad dan mengenal gaya hidup mereka, terutama perpindahan di antara perkampungan-perkampungan musim dingin dan musim panas adalah sangat menarik dan akan membantu mereka untuk memahami kehidupan dan kebudayaan orang-orang Iran kuno. Iran terletak pada jalan Asia Tengah dan Timur menuju negaranegara Barat. Hasilnya, kelompok-kelompok etnis yang berbeda hidup di Iran. Di antara mereka adalah Farsi, Kurdi, Lor, Baluch, Bakhtiari, Azari, Turki, Talesh, Turkmen, Ghashgha, dan Arab. Kelompokkelompok etnis yang lain yang hidup di Iran adalah Turkmen, yang
100
hidup di Turkmen Sahara dan sebelah utara Khorassan. Mereka berbeda dari kelompok-kelompok etnis Iran yang lain dalam penampilan, bahasa dan budaya. Asal orang-orang Ghashgha adalah Turki dan hidup di bagian tengah Iran. Klan-klan Arab, di sisi lain, sebagian besar hidup di Khuzistan dan tersebar di sepanjang garis pantai Teluk Persia. Kini, distribusi dan komposisi geografis dari kelompok-kelompok etnis, kurang atau lebih, telah berbaur karena pembangunan dan interaksi di antara kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Beberapa kelompok dari orang kulit hitam yang tersebar di propinsi-propinsi bagian selatan Iran adalah keturunan budak yang diperdagangkan di Zanzibar pada masa lalu. Minoritas orang-orang India yang berada di sebelah selatan Iran adalah juga keturunan orang India yang diperdagangkan pada masa lalu. 3. Suku-suku di Iran Ahli-ahli geografi kuno menyebutkan bahwa bukti-bukti struktur dari suku-suku pada periode awal Islam menunjukkan desa-desa yang maju, dan aktivitas-aktivitas seperti pertanian dan peternakan, yang para penghuninya terlibat di situ. Dan terdapat suatu kemungkinan yang kuat bahwa suku-suku ini memainkan peranan yang penting, baik di bidang politik maupun militer pada masa itu. Pada tahun 23 H, selama penaklukkan-penaklukkan Arab di Iran, ketika negeri ini di bawah kekuasaan mereka yang kuat selama suatu
101
masa yang panjang, suku-suku Fars datang untuk menolong para panglima Iran. Kemudian, mendobrak pengepungan, pada abad ke-3 H, satu bagian dari milisi Yaqub Lais bergabung dengan suku-suku. Selama pemerintahan Samanian, suku Ghaz atau Turk meraih kekuasaan di wilayah Khorasan. Pada akhir abad ke-4 H, sekelompok komunitas Ghaz Saljooghi berpindah ke TransoXiana (di balik Sungai Qxus). Sementara, kelompok lain pindah ke Khorasan pada abad ke-5 H. Pada permulaan rezim Saljooghi, suku-suku membentuk bagian besar pasukan Saljooghi. Pada abad ke-7 H, pasukan Attabakan dari Fars tersusun dari suku-suku seperti Kurdi, Lors, dan Shools.8 Pada era pra-Islam, suku-suku Shaban Kareh membentuk suatu kelompok dari para panglima atau Espahbodan dari Fars. Suku-suku ini terlibat dalam peternakan kuda di hutan Roon, sementara karena kondisi suhu yang cocok dan menyenangkan, tumbuh-tumbuhan tumbuh subur. Lebih jauh, pada abad ke-9 H, pemerintahan Aag Qoyoonloo mencakup suku Azerbaijan. Pada abad ke-10 H, Shah Esmail Safavid menyatukan tujuh suku besar, kemudian membentuk korp Qizilbash. Pada awal abad ke-11, Shah Abbas Safavid membagi suku Qajar menjadi tiga.9 Satu kelompok darinya dikirim ke Ganjeh dan Georgia, untuk menghentikan pemberontakan orang Lesgi di sana. Kelompok yang 8
Hassan Zendeh Del, Ibid.
9
Hassan Zendeh Del, Ibid.
102
kedua dipindahkan ke Marv atau perbatasan Khorasan, demikian juga untuk memadamkan perselisihan orang-orang Ozbak di sekitar wilayah itu, sementara kelompok yang ketiga ditempatkan di Astar Abad, untuk menghadapi serangan orang Turkmen. Pada bagian awal rejimnya, di antara suku-suku dan daerah-daerah lain yang lebih kecil, Shah Abbas memperlemah suku Afshar, yang tersebar di sekitar bagian selatan sungai Attrak, dan memindahkan mereka ke wilayah Azerbaijan. Di sini, berpencar pada perbatasan Bijar sampai Zangan dan terkenal disebut dengan “Afshar-e-Qasemloo”.10 Ini bertepatan dengan masa ketika orang-orang Afshar juga tampak di wilayah-wilayah seperti Khuzistan dan Kokhilooyeh. Pada periode inilah, suku ini membentuk kedudukan kekuasaan di wilayah yang ia tempati. Sensus yang dilakukan terhadap suku-suku tersebut pada tahun 1128 H menunjukkan bahwa sekitar 110.000 orang dilibatkan dalam pasukan pemerintah, tetapi tanpa suatu upah. Jasa kehormatan mereka ini menguntungkan divisi infanteri kapan saja terjadi perang. Selama rejim Fathali Shah Qajar, sekitar 36.000 orang dilibatkan dalam pasukannya yang 60% di antaranya merupakan pasukan infanteri dan sisanya adalah penunggang kuda. Biasanya dari suku Bakhtiari, terdapat sekitar 1/3 dari kira-kira 60% yang terlibat dalam pasukan tersebut.
10
Ibid.
103
Salah satu wilayah yang vital dan penting, yang mengalami konflik dengan pemerintah pusat pada abad ke-19 adalah wilayah Bakhtiari. Pada tahuhn 1909 suku ini memainkan bagian penting dalam membangun kembali pemerintah yang sah. Lebih kauh, selama tahuntahun inilah, suku Qashgha’ie memperoleh kedudukan yang lebih kuat. Kekuasaan berada di tangan ‘Ilkhan’ dengan ‘Ilbeg’ untuk mewakili pemerintah layaknya kepala suku. Di wilayah Fars, di samping Qashgha’ie, orang-orang Turk (Khamseh) dan suku-suku lainnya dengan bahasa Turki, seperti Khalaj juga tinggal di Ghonghari. Pada pertengahan abad ke-18, yaitu tahun 1740 dan 1750 M, suku Chaab di Arabia meningkatkan kekuasaan dan kemudian mengganggu sekitar wilayah Jarahi dan yurisdiksi Afshar di sekitarnya dalam Khuzistan yang secara alamiah menghasilkan wilayah yang lebih luas di bawah kekuasaan mereka di Iran. Hal ini mendukung posisi mereka dalam lingkaran sosial di daerah ini. Beragam suku atau klan hidup di bagian timur Iran. Satu bagian dari komunitas suku Afshar dan Atta-ol-lahi di Kerman pada abad ke-19 M, yang tiap-tiap terdiri dari 15.000 dan 3.000 tenda. Sementara itu, di bagian selatan Iran, suku Balooch dianggap yang terpenting, dan pada umumnya berada di wilayah Sistan dan Baloochistan meskipun suatu bagian kecil hidup di wilayah Qa’enat di Khorasan. Suku-suku yang disebutkan tidak datang di bawah kekuasaan pemerintah pusat pada awal periode Qajar dan oleh karena itu tidak
104
dapat dikenakan denda atau pajak. Tetapi ada kalanya membagikan upeti kepada gubernur Kerman. Meskipun demikian pada rejim Qajar, suku-suku seperti Teymoori, Meymani, Firooz, Koohi, Jamsheedi dan Zangi menolak untuk berada di bawah kekuasaan pusat, dan menciptakan pemberontakan selama rejim Fathali Shah dan Mohammad Shah. Seperti dinasti-dinasti sebelumnya, Qajar menemukan bahwa mengatur perbatasan negara di Asia Tengah dan mengawasi suku-suku di daratan-daratan Turkmen adalah sebuah tugas yang sangat sulit. Dengan demikian, memberlakukan tangan besi terhadap Ozbak dan Turkmen agar mereka dapat ditaklukkan bukanlah suatu permasalahan yang kecil. Suku-suku Turkmen yang paling penting dalam periode ini di dalam negeri adalah suku Guglan dan Yamoof. Tiap-tiap mereka adalah pengikut mazhab Sunni. Yang pertama merupakan suku yang berpindahpindah, sementara yang terakhir berada pada kedua sisi perbatasan tersebut, dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas pertanian layaknya sukusuku nomad atau suku gurun. Pada pertengahan abad ke-19, wilayah Tehran memiliki beragam suku, di antaranya suku Shahsovan menjadi yang terbesar dan terdiri dari 9.000 kemah suku. Suku Shahsovan pulang pergi antara Qom, Tehran, Qazrin dan Zanjan selama bermusim-musim dan tersebar di wilayahwilayah tersebut.
105
Sementara kelompok-kelompok lain yang lebih kecil yang akhirnya berjuang menghadapi kemiskinan, urung berpindah ke wilayahwilayah lain, dan menempati rumah-rumah mereka dari lempung selama musim dingin. Terdapat dua suku besar seperti Garoosh dan Shahsovan, yang pertama terdiri dari 4.000 sampai 5.000 keluarga dan yang terakhir terdiri 2500 kemah. Pada awal abad ke-20, seluruh suku tersebut, kecuali suku Talesh dari wilayah Gilan dan suatu bagian kecil dari suku Shahsovan menetap. Suku terpenting dari wilayah Hamadan, Malayer, Toiserkan dan Farahan adalah suku Gharahgozloo yang menggunakan bahasa Turki. Di wilayah Assad Abad dan sebagian daratan Hamadan adalah dunia suku Afshar, yang selain itu sekitar 1.500 keluar dari suku Lak dan cabangcabangnya yang beragam tinggal di sini juga. Kurdi bertempat di Khorasan dan wilayah-wilayah yang lain seperti Kermanshah, suku Ardalan bertempat tinggal di selatan Danau Orumiyeh. Kelompok ini berada di perbatasan Iran dan Turki, yang menyeberangi perbatasan ketika kebutuhan muncul. Suku yang paling banyak populasinya di wilayah ini adalah suku Kalhor, dengan 11.500 tenda dan tempat tinggal, suku Sanjabi yang terdiri dari 1.000 tenda dan perkampungan dan suku Guran yang terdiri dari 3.300 tenda dan rumah. Perkampungan-perkampungan Kurdi di selatan Danau Orumiyeh, di permukaan tanpa patuh kepada Shah, tetapi fakta sebenarnya, masih memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat. Suku Hakari yang
106
memelihara dialek Kurdi menempati bagian barat Orumiyeh, dekat Salmas dan perbatasan Iran dan Turki. Di wilayah Azerbaijan, suku Shahsovan, yang berbicara dalam dialek Turki, merupakan salah satu suku dengan populasi terbesar, yaitu sekitar 11.000 hingga 12.000 keluarga. Darinya, 6.000 hingga 7.000 keluarga menempati sekitar Meshkeen dan sisanya di Ardabil. Klan Inanloo merupakan yang terpenting dari suku Shahsovan. Kebetulan, suatu bagian dari klan Shamloo berintegrasi ke dalam suku Shahsovan, dan bagian lainnya, yang diketahui sebagai suku Bahaloo menetap di wilayah Fars sebagai minoritas, merupakan satu bagian dari suku Khamseh. Pada awal periode Qajar, klan-klan seperti Gharajedag, Gharabagh, dan Talesh yang berada di perbatasan Iran dan Rusia, telah memainkan peran yang vital dalam menyelesaikan perselisihan di antara dua pemerintah tersebut. Selanjutnya, suku-suku seperti Chalabianloo, Gharachorloo, Haj Aliloo, Baibordi dan Begdaloo hidup pada lebih dari 500 tenda dan tempat tinggal seperti dilaporkan. Tetapi pada awal abad ke-20, nuansa kesukuan mengalami suatu perubahan yang disebabkan oleh beragam faktor. Banyak kepala suku dari suku-suku tersebut membantu di pemerintahan dan tertarik kepada kehidupan kota atau menagih uang tebusan di ibukota. Sebagai tambahan, beberapa pergi ke luar negeri. Semua elemen ini ikut melemashkan kekuatan persatuan suku itu sendiri.
107
Saat pemberontakan rakyat untuk sebuah pemerintah yang konstitusional (Gerakan Konstitusional), sebuah fase baru mengubah gaya hidup mereka, seperti juga suku-suku tersebut. Dalam hubungan dengan yang terakhir, beberapa berpihak kepada pemerintahan ini, sementara yang lain mendukung yang lalim tersebut. Menurut hukum pemilihan umum dari tahun 1906, terdapat enam pemilih. Selain Qajar, suku-suku yang lain tidaklah istimewa dan dianggap sebagai salah satu penduduk yang menempati wilayah yang khusus. Bagaimanapun, pada tahun 1908, aturan ini diubah untuk menghormati suku-suku seperti Shahsova, Qashgha’ie, Khamseh dari Fars, Turkmen dan Bakhtiari. Menurut pasal 63 pemilihan umum, tiap-tiap suku ini memilih seorang wakil untuk parlemen. Pada tahun-tahun pertama pemerintahan konstitusional, bersama dengan pergolakan yang mengikutinya, dan penundaan konstitusi pada tahun 1908-1909, kekuatan yang berkuasa tidak mampu untuk mengawasi suku-suku di sekitarnya. Hal ini mendorong Iran dan British Oil Company untuk melibatkan suku-suku tersebut seperti orang-orang Arab dan Bakhtiari untuk melindungi ladang-ladang minyak yang telah ditemukan. Selama Perang Dunia I, wilayah kesukuan berada dalam kekacauan dan kerusuhan. Setelah perang, Reza Khan, dengan bantuan pemerintah, membereskan suku-suku di seluruh negeri, seperti Kurdi yang dilucuti. Pada tahun 1924, suku Bakhtiari dan Qashgha’ie dilucuti hingga jumlah
108
yang banyak. Suku Turkmen juga ditundukkan di bawah kekuasaan pusat hingga batas tertentu. Aktivitas-aktivitas tersebut berlanjut hingga suku-suku tersebut dengan sempurna dibereskan. Tetapi Perang Dunia II membawa kemunculan swa-pemerintahan di Bakhtiari, Kurdi, dan suku-suku pemberontak dari selatan Iran pada tahun 1946. merujuk kepada catatan statistik pada tahun 1987, Iran memiliki 96 suku (yaitu 180.223 keluarga yang terdiri dari populasi 1.152.099). Terdapat suku-suku yang menetap, yang secara berkesinambungan, menurun. Berdasarkan sensus tahun 1996 dari Pusat Statistik Iran, jumlah yang tidak bertempat tinggal kirakira 2.110.406.11 Meskipun suku-suku dan klan-klan tersebar dalam wilayahwilayah yang berbeda, ini pada dirinya sendiri, menunjukkan pengaruh dari kekuasaan pusat atas wilayah tersebut. Pada saatnya, karena alasan politik, suku-suku didorong untuk berimigrasi ke wilayah-wilayah lain. Sebagai contoh adalah Kurdi dari Kordestan yang pindah menuju wilayah bagian utara Khorasan. Tetapi dapat dinyatakan bahwa tiap-tiap suku menyembunyikan tradisi-tradisi budaya dan sosial mereka sendiri di mana saja mereka tinggal; seperti suku Shahsovan dari sebelah utara Azerbaijan dan Kurdi dari Kordestan. Bahkan juga antara suku-suku Qashgha’ie dan Bakhtiari.
11
Hassan Zendeh Del, Ibid.
109
Survei sejarah menunjukkan bahwa beberapa suku di Iran memiliki nenek moyang yang sama. Suatu bagian besar dari suku-suku di Iran bagian tengah dan barat adalah penutur dialek Lor. Ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Lor-e-Bozorg (Lors terbesar) dan Lor-e-Koochak (Lor yang lebih kecil).12 Cabang-cabang suku-suku ini berpindah ke wilayah-wilayah bergunung di Iran tengah. Suku-suku seperti Bakhtiari, Kohkilooyeh, Mamasani dan Booyer Ahmad adalah dari kelompok ini, dan sekalipun begitu sangat berbeda satu sama lain. Selama era Safavid, kelompok-kelompok dari suku Afshar berpindah dari Khorasan ke Azerbaijan, dan masih kelompok yang lain ke Kohkilooyeh dan Khuzistan. Pada saat penaklukkan suku-suku Fars oleh Aga Mohammad Khan Qajar di tahun 1206 H, 12.000 keluarga yang terbukti pemberontak dipindahkan dari sekitar wilayah Shiraz dan ditempatkan dekat Tehran.13 Selama Rejim Nasereddin Shah, suku Hazareh dipindahkan ke Khorasan, tetapi karena kerusuhan dan kekacauan, didorong untuk menyebar dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Dahulu, penyebaran ini semata-mata bergantung pada kecakapan menggembala di sekitarnya. Tetapi ini secara gradual memperoleh aspek politik, sehingga
menjaga
12
Hassan Zendeh Del, Ibid.
13
Hassan Zendeh Del, Ibid.
batas-batas
dan
perbedaan-perbedaan
seperti
110
yurisdiksi dari suku-suku. Sekarang ini, suku-suku tersebar di wilayahwilayah berikut: suku di utara dan barat laut Iran, yang terdiri dari beragam klan seperti suku Turkmen. Suku yang sama di perbatasan propinsi-propinsi Golestan dan Khorasan. Suku-suku di sebelah barat-laut Iran, mencakup suku-suku seperti Shahsovan, Arasbaran, Afshar-e-Qizilbash, Garahgozloo dan beragam klan dari suku Khamseh. Mereka berada pada batas-batas sebelah timur dan barat Azerbaijan, Hamadan, Ardabil dan Zanjan. Suku-suku di barat Iran, terdiri dari mereka yang memiliki dialek Kurdi, Kalhor, Sanjabi dan
Gurkani.
Yang
tersebut
menempati
propinsi-propinsi
di
Kermanshah, Azerbaijan Barat dan Kordestan. Suku di sebelah barat daya dan selatan Iran, yang terdiri dari beragam klan seperti Khamseh, Qashgha’ie, Arab dan Lor-e-Koochak. Mereka tinggal di propinsi-propinsi Fars, Khuzistan dan Lorestan. Sukusuku di sebelah tenggara Iran, yang terdiri dari suku-suku Balooch yang menempati propinsi Sistan dan Baloochistan. Suku-suku di bagian tengah Iran, mereka yaitu, Bakhtiari, BooyerAhmad, Doshman Ziyari, Charam, Bavi, Bahmehyi, Tayebi dan Mokran. Semuanya sama-sama menempati batas-batas propinsi Chahar Mahal dan Bakhtiari, Khuzistan, Kokhilooyeh dan Kerman. Suku-suku di sebelah timur dan timur laut Iran, yang terdiri dari baragam klan tinggal di propinsi Khorasan.14
14
Hassan Zendeh Del, Ibid.
111
4. Agama dan Budaya Iran adalah tempat kelahiran Zoroaster, pendiri agama Zoroaster, salah satu agama paling tua di dunia. Agama resmi Iran, berdasarkan Pasal 12 dari Konstitusi, adalah Islam (Syiah), dan sekitar 99,56% rakyat negeri ini adalah Muslim. Para pengikut mazhab-mazhabIslam lainnya seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Zaidi di Iran sangat dihormati dan hidup dengan bebas tanpa pembatasan. Dalam Konstitusi Republik Islam Iran, agama-agama seperti Zoroaster, Kristen, dan Yahudi secara resmi diakui dan para pengikut mereka mempunyai hak politik, sosial dan ekonomi yang sama seperti Muslim. Agama-agama minoritas seperti Zoroaster, Armenia, Yahudi, Assyria, dan Chaldea mempunyai wakil-wakil mereka sendiri yang independen di dalam Majelis Konsultatif Islam (Parlemen).15 Kekayaan budaya Iran dalam arena-arena yang berbeda seperti seni ketimuran yang beragam, literatur dan Gnostisisme mempunyai reputasi global. Mitos, fiksi, filsafat, puisi, musik, dongeng-dongeng, kerajinan tangan, arsitektur, dan seni-seni dekoratif Iran telah menyokong pemikiran manusia secara signifikan.
15
Hassan Zendeh Del, Ibid. Hal yang sama juga dikemukakan David E. Long ia mengatakan bahwa institusi-institusi (politik) yang termaktub dalam konstitusi menggambarkan perpaduan teori politik Islam dan Barat khususnya Perancis. Termasuk di dalamnya Presiden, Majelis syura al Islami (The National Consultative Assembly) yang berjumlah 270 anggota dan lembaga peradilan independen yang bernaung di bawah Lembaga Peradilan tinggi. Karena hukum Islam menjadi hukum negara, maka sejak awal.lembaga pengadilan didominasi oleh ulama kaum Zoroaster, Yahudi, Assyria dan Kristen Chaldean serta semua agama yang diakui oleh Islam sebagai Peoples of the Book atau ahl al kitab juga mendapat kesempatan untuk menempatkan wakilnya di legislatif. David E. Long, op.cit., hlm. 73.
112
5. Bahasa, Tulisan, Penanggalan dan Bendera Menurut Konstitusi Republik Islam Iran, bahasa dan tulisan (abjad) umum yang resmi adalah bahasa Farsi (Persia). Titik awal penanggalan resmi Iran adalah Hijrah Nabi Muhammad (SAW) pada tahun 622 M yang menandai permulaan penanggalan Islam.16 Hari pertama Farvardin (21 Maret) adalah awal Tahun Baru Iran menurut penanggalan matahari. Bendera resmi Iran adalah hijau, putih, dan merah dengan tanda Republik Islam Iran dan juga dengan 22 Allah-u-Akbar (Allah Mahabesar) pada garis tepinya. Lebih dari separuh rakyat Iran berbicara bahasa Farsi (Persia) dan berbagai dialek Persia. Bahasa Persia mempunyai kefasihan dan fleksibiltasnya sendiri. Sebagai konsekuensinya, sebagian literatur yang paling terkemuka di negara-negara timur, terutama di alam budaya Iran, dari Transoxiana hingga Asia Kecil, ditulis dalam bahasa Farsi. Kekayaan budaya Iran dan bahasa Persia mengesankan banyak suku bangsa di Asia Tengah, kendati dominasi mereka atas alam Iran secara geografis hanya untuk suatu waktu yang singkat. 6. Pemerintahan dan Kekuasaan Tiga Pilar Pemerintahan Iran adalah “Republik Islam” yang dibentuk setelah Revolusi Islam pada tahun 1979. Menurut Konstitusi, Presiden, anggota Majelis Konsultatif Islam (Parlemen), dan anggota dari dewan-dewan yang berbeda
16
yang secara langsung dipilih oleh rakyat harus
Hassan Zendeh Del, op.cit.
113
memerintah negeri ini. Kekuasaan tiga pilar di Republik Islam Iran adalah legislatif, eksekutif, dan pengadilan yang mandiri, dan dikoordinasikan oleh presiden dan diawasi oleh Pemimpin Spiritual Tertinggi. Untuk kekuasaan legislatif terdiri dari tiga elemen yaitu, Majelis-eIslami
(Majelis
Konstultasi
Islam),
Shuraye-Nigahban
(Dewan
Perwalian Undang-undan Dasar atau The Council of Guardian of The Constitution) serta Majelis-e Khubreqan (Majelis Ahli). Sementara untuk lembaga eksekutif dipegang oleh Presiden dan lembaga legislatif dipegang oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Rendah..17 Berdasarkan wilayah-wilayah terakhir dari negeri ini, Iran terbagi menjadi 28 provinsi, 252 kota praja, dan 680 distrik. Tiap-tiap provinsi diatur oleh seorang gubernur jenderal, tiap-tiap kota praja oleh seorang gubernur dan tiap-tiap daerah oleh seorang letnan gubernur. Mencakup suatu wilayah seluas 313.000 kilometer persegi, Khorassan adalah provinsi Iran yang terbesar dan yang terkecil, tiap-tiap mempunyai suatu luas wilayah kurang dari 15.000 kilometer persegi, adalah Guilan, Chahar Mahal & Bakhtiari, Kohgilooyeh& Boirahmad, Golestan, Qazvin dan Qom.
17
Noor Arif Maulana, Revolusi Islam Iran dan Realisasi Vilayat-I Faqih, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2003, hlm. 171-174
114
Kelompok-kelompok Etnolinguistik di Iran18 Kelompok
Bahasa (Language)
Agama (Religion)
Persia
Farsi
Islam Syi’ah
Populasi (Population tahun 1977) 17.000.000
Azeris
Turki Azeri
Islam Syi’ah
9.000.000
Kurdi
Kurdish
3.500.000
Arab
Arab
Baluchis Qashqa’i Turkoman Bakhtiaris Lurs Armenians
Baluchi Dialek Turki Dialek Turki Bakhtiari Luri Armenian
Islam Syi’ah dan Suni Islam Syi’ah dan Suni Islam Suni Islam Syi’ah Islam Suni Islam Syi’ah Islam Syi’ah Kristen
Assyrians
Assyrians
Kristen
32.000
Yahudi
Farsi
Yahudi
85.000
Zoroaster
Farsi
Zoroaster
36.000
Baha’i
300.000
Baha’I Farsi Dikutip dari Paricia J. Higgins (1986)
B.
600.000 600.000 400.000 500.000 570.000 500.000 270.000
Lokasi
Dataran tinggi, Kota-kota besar Barat laut, kotakota besar Pegunungan barat Selatan, Pesisir Teluk Persia Tenggara Tenggara Zaros Timur Laut Zagros Zagros Barat Laut, kotakota besar Barat Laut, kotakota besar Isfahan, Teheran, Kotakota besar Yazd, Kerman, Teheran Kota-kota besar
Biografi Abdul Karim Soroush Abdul Karim Soroush lahir di Teheran Selatan, Iran pada 1945, dalam Iingkungan yang memiliki concern terhadap pendidikan.19 Dalam kalender Islam (tahun qomariyah), hari kelahiran Soroush bertepatan dengan hari 18
Selengkapnya lihat dalam Patricia J. Higgins, “Minority-State Relations in Contemporary Iran”, dalam Ali Banuazizi dan Myron Weiner (ed), The State, Religion and Ethnic Politics: Afghanistan, Iran and Pakistan, Syarcuse University Press, 1986, hlm. 179. 19
Tentang biografi Soroush dapat dilihat di situs www.seraj.org,. Biografi ini juga bisa dilihat di situs milik Abdul Karim Soroush sendiri yaitu www.drsoroush.com. Dalam situs ini bahkan bahasan dan kliping tentang artikel maupun wawancara Soroush disajikan secara lebih lengkap. Dari situs ini pulalah penulis mendapatkan hampir semua data yang terkait dengan pemikiran Soroush. Intisari dari Biografinya ini juga telah diterjemahkan oleh Haidar Bagir dalam pengantar karya Soroush edisi Indonesia, “Menggugat Otoritas Tradisi dan Agama”, Bandung: Mizan, 2002. Lihat juga dalam Tedi Kholiludin, “Abdul Karim Soroush: Potret Santri Liberal Iran”, dalam Majalah Syir`ah , Januari, 2004, hlm. 46-49.
115
Asura tahun 1324 H. Atas dasar inilah orang tua Soroush memberi nama Soroush dengan Husayn Haj Farajullah Dabbagh,20 sedangkan nama Abdul Karim Soroush21 itu sendiri adalah pen name atau nama yang ia gunakan sebagai identitas saat Soroush mempublikasikan karyanya. Nama Husayn dalam tradisi Syi’ah adalah nama suci, karena Imam Husayn, cucu nabi Muhammad SAW, meninggal pada tanggal 10 bulan Asyura.22 Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di Qa’imiyyah School, Teheran Selatan. Setelah enam tahun ia bergulat di sekolah tersebut, Soroush melanjutkan sekolah menengahnya di Mortazavi High School lalu pindah ke Alavi High School. Alavi merupakan sekolah yang bisa berkembang dan mapan (established) ketika dipegang oleh dua pengusaha yang cukup terkenal yakni Asghar Karbaschiyan dan Reza Rouzbeh. Keduanya dikenal sebagai figur yang cukup baik dan orang yang dihormati dan selalu menjadikan Alavi sebagai institusi pendidikan yang melengkapi muridnya dengan ilmu pengetahuan modern dan juga membekalinya dengan keyakinan agama, kesalehan serta komitmen terhadap masyarakat.
20
Laura Secor, The Democrat Iran’s Leading Reformist Intellectual Tries to Reconcile Religious Duties and Human Rights, artikel online dalam http://www.drsoroush.com/English/On_drsoroush/E-CMO-20040314-1.html. 21
Menurut Robin Wright nama Abdul Karim memiliki arti servant of God (abdi Tuhan), sementara Soroush memiliki arti angel of revelation. Lihat dalam Robin Wright, Iran’s Greatest Political Challenge: Abdol Karim Soroush, World Policy Journal, 1997, hlm. 67. 22
Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala, Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota. Sungguh peristiwa yang tragis.Bagi kaum muslim Syi`ah 10 Muharram atau yang lazim disebut Hari Asyura adalah hari yang menjadi symbol duka cita. Karenanya, mereka melarang keras melaksanakan ibadah puasa pada hari itu, karena menurut mereka, Asyura bukanlah hari yang patut disyukuri, melainkan hari berkabung. Bahkan kalangan Syi’ah menilai bahwa puasa Asyura yang diperintahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, tidak lebih dari siasat politik Bani Umayyah yang merasa bersyukur atas terbunuhnya Imam Husein di Karbala.
116
Selama menimba ilmu di Alavi, Soroush dapat belajar tentang persoalan-persoalan agama. Apalagi Reza Rouzbeh, yang merupakan alumnus universitas dan seminary di Qum, membuka kelas reguler dan mengajarkan mata kuliah Islamic Law (Hukum Islam, Fiqih) serta exegesis (tafsir). Setelah menyelesaikan sekolahnya, Soroush ambil bagian untuk mengikuti tes masuk Universitas Teheran dengan mengambil jurusan fisika dan farmasi. Ternyata ia berhasil melewati ujian tersebut serta diterima di dua jurusan pilihannya. Namun Soroush lebih memilih jurusan farmasi atas rekomendasi Rouzbeh. Di universitas ini, Soroush sempat belajar Filsafat Islam pada Muthahari. Komentar (syarh) yang diberikan Muthahari atas karya Allamah Thabathaba’i (Ushul-e Falsafe wa Rawish-e Rialism), memberikannya suatu pencerahan. Begitu pula ketika ia membaca Tafsir alMizan yang juga karya Thabathoba’i.23 Saat menjalani kuliah di Universitas Teheran, Soroush sebenarnya ingin belajar banyak kepada Mutahhari. Sayangnya Mutahhari tidak sempat mengajari Soroush dalam rentang waktu yang cukup. Namun, Mutahhari memperkenalkan Soroush kepada salah satu muridnya, seorang ulama yang juga imam di salah satu mesjid Teheran. Dari imam tersebut, Soroush belajar filsafat Islam selama beberapa tahun.24 Dan ia merasakan manfaat dari pelajaran yang diberikan oleh sang imam tersebut. Soroush
23
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush, New York: Oxford University Press, 2000, hlm. 4. 24
Abdul Karim Soroush, Ibid.
117
menyelesaikan studi di Universitas Teheran selama enam tahun. Setelah meraih gelar dalam bidang farmasi, Soroush melewatkan masa dua tahun untuk menjadi tentara sebagai bentuk kewajiban warga negara. Setelah itu ia menjadi pimpinan laboratorium yang bergerak dalam penelitian produk makanan, toilettries dan alat-alat kesehatan di Buhsehr. Pekerjaan ini ia lakoni selama lima belas bulan. Soroush kemudian kembali ke Teheran dan mulai bekerja di Laboratorium kontrol kesehatan, tetapi tak lama kemudian ia kembali ke London untuk untuk mengambil studi baru dan agar menjadi lebih familiar dengan dunia modern. Di
London,
ia
menggunakan
kesempatan
pertamanya
untuk
mengambil gelar MSc sebagai analis kimia, yang telah menjadi spesialisasi keilmuannya. Setelah menyelesaikan studi di Universitas London, Soroush kemudian melanjutkan pendidikannya ke Chelsea College di London, selama lima tahun. Di Universitas ini ia mendalami masalah sejarah dan Filsafat sains. Pada masa itu pulalah Soroush bersama aktivis Iran lainnya yang belajar di Inggris dan tergabung dalam Muslim Youth Association (MYA) giat mengkampanyekan perlawanannya terhadap rezim Syah. Beberapa kolega Soroush dari Afrika menganjurkan Soroush dan kawannya dari MYA untuk menjadikan imam barah yang berada di London Barat sebagai pusat aktivitas. Tempat inilah yang sering didatangi oleh pelajar Islam Iran di Inggris, terutama pada saat-saat menjelang terjadinya revolusi. Tokoh-tokoh besar dan aktivis dari berbagai belahan Eropa dan Iran, datang serta memberikan ceramah di tempat ini, termasuk Ayatullah
118
Behesti dan Motahhari. Ketika Ali Shariati melarikan diri ke Inggris pada tahun 1977, dan tidak lama kemudian meninggal dunia, upacara penguburannya dilakukan di Imam Barah. Dengan demikian Imam Barah merupakan tempat yang memiliki sejarah dan Soroush telah memberikan andil untuk membuat tempat ini menjadi besar. Setelah revolusi, Imam Barah berada di bawah otoritas pemerintahan Iran. Saat ini tempat tersebut dikenal dengan sebutan “Kanoon-e Tauhid” dan berada di bawah kendali pelajar Iran. Di Inggris, pidato-pidato Soroush dicetak dalam pamflet dan buiku. Pada awalnya dia memberikan ceramah yang merupakan seri tulisannya yang berjudul “Dialectical Antagonisme” (‘Iazad-Dialektiki), sebagai usahanya untuk mencoba menghadang berkembangnya pengaruh aliran kiri, terutama dari Mujahidin Khalq yang berhasil menarik hati dan pikiran banyak aktivis mudah melalui ideologi Marxisnya. Buku pertama Soroush yang dipublikasikan di Iran saat ia masih berada di London berjudul “Dialectical Antagonism” yang merupakan kumpulan ceramah yang ia sampaikan di Imam Barah. Pada saat yang sama, dia mengarang buku yang berjudul “The Restless nature of the World” (Sifat Dinamis Alam Semesta, nahad-e naaram-e jahan) yang berisi tentang “harkat-e johari” (gerak substansial). Dalam buku ini Soroush mencoba mengemukakan dasar-dasar dari filsafat Islam, yakni tauhid (monotheism) dan hari kebangkitan (ma’ad, resurection) dari gerak substansial dan menyajikan pemikiran Mulla Sadra sebagai basis filosofis
119
yang kuat bagi objek-objek keimanan. Pasca meletusnya revolusi, Soroush kembali ke kampung halamannya dan dan di sana ia mempublikasikan bukunya yang berjudul “Knowledge and Value” (Ilmu Pengetahuan dan Nilai, Danesh va Arzesh) yang penulisannya telah ia selesaikan ketika ia berada di Inggris. Sekembalinya ke Iran Soroush bergabung dengan college pelatihan guru.25 Belum genap satu tahun ia bergabung dengan college itu, muncullah gerakan yang menghendaki ditutupnya beberapa universitas, karena ada indikasi lembaga pendidikan mi telah terkontaminasi oleh model pendidikan barat. Tidak lama setelah itu, dibentuklah Institut Revolusi Kebudayaan, yang terdiri dari 7 orang anggota yang ditunjuk langsung oleh Imam Khomeini. Dan Soroush menjadi salah satu anggotanya. Lembaga
ini
bertugas
mereview
sillabus,
untuk
kemudian
mempersiapkan dibukanya kembali Universitas.26 Tahun 1995-1996, bisa dikatakan sebagai ‘am al huzn bagi perjalanan karir Intelektual Soroush. Kelompok yang menamakan dirinya Anshar-e-Hizbullah (Pendukung Partai 25
Ketika ditanya ihwal kembalinya ia ke Iran Soroush menjawab, “Saya merasa perlu untuk kembali ke Iran, untuk mengenal berbagai pemikiran dan yang terpenting untuk menemui murid-murid, keluarga dan teman-teman saya.” Abdul Karim Soroush, An interview with Iranian Truth, 2003. 26
Tentang berdirinya Cultural Revolution Institute, Soroush menjelaskan bahwa revolusi kultural yang dimaksud dalam lembaga tersebut adalah upaya yang ia sebut sebagai seminaryunivresity unity. Baginya, ide penyatuan universitas dan seminari ini sangatlah esensial dalam wilayah non politik. Dalam artian aliansi ini bukan dalam wujud nyata penghapusan seminari dan universitas dan menggantinya dengan sebuah model pendidikan baru. Tetapi penyatuan yang ia maksud lebih pada model penyatuan dalam tataran pendekatan. Meskipun dua institusi tersebut mengajarkan obyek yang berbeda, tetapi jika mereka menggunakan pendekatan dan metode yang sama, maka mereka dapat eksis dan melanjutkan aliansi ini. Dengan demikian lembaga tersebut ingin menyatukan atau membuat sebuah persepsi yang sama dalam konteks metodologi antara universitas dan seminari. Lihat dalam Abdolkarim Soroush, The Story of Cultural Revolution: Right to the End They Didn`t Know Where They Were Meant to Be Going, dalam www.seraj.org/cultural.htm.
120
Allah), menyerang Soroush dan menutup perkuliahannya, karena mereka menganggap Soroush telah melecehkan agama, dalam kuliahnya itu. Tetapi sebenarnya ada tiga kelompok di Iran yang dalam pengakuan Soroush telah menjadikannya sebagai musuh, termasuk kalangan akademisi dan ulama
politik selain Anshar-e-Hizbullah. Tiga kelompok tersebut
adalah pertama, kelompok yang menentang prinsip agama dan keyakinan agama. Mereka adalah kelompok yang tidak puas dengan pemeliharaan Soroush terhadap pertanyaan-pertanyaan agama. Penulis-penulis yang berasal dari partai Tudeh masuk dalam kelompok ini. Kedua, adalah kelompok yang menginginkan agama sebagai jalan untuk masuk surga. Ketiga, kelompok yang menginginkan agama sebagai ideologi untuk melakukan revolusi dan memperkuat pemerintahan serta politik. 27 Tiga tahun setelah kejadian itu, Soroush kemudian kembali aktif memberikan ceramah di Masjid Imam Shadiq di Teheran Utara. Ceramahnya kaIi ini berisi seputar analisis terhadap kandungan Nahj AIBalaghah (Kumpulan ucapan, pidato dan surat Ali bin Abi Thalib).
27
Abdul Karim Soroush, Soroush Among Those for and Against, Jameah Morning Daily, 1998, hlm. 12. Tetapi sebenarnya penyerangan atau terror terhadap Soroush, tidak berhenti sampai di situ. Penyerangan terhadap Soroush berlanjut hingga tahun 2004. Saat ia akan meninggalkan Qum, kota yang terkenal sebagai basis Ulama, Soroush diserang oleh orang yang tak dikenal. Seperti yang dilaporkan IRNA (kantor berita Iran) yang dikutip oleh Iran Daily, sekitar 100 orang berada di sekitar rumah Hojjatoleslam Shobeiri di mana Soroush melakukan pertemuan pribadi. Mereka menyenyikan slogan anti Gubernur Qum, Gubernur Jenderal dan Soroush agar segera meinggalkan kota tersebut. Simak berita tersebut dalam http://www.irandaily.com/1383/2096/html/national.htm#NationalCol1.
121
Meskipun banyak mendapat intimidasi dari berbagai pihak, terutama kalangan yang loyal terhadap Ayatullah Khomeini, Soroush tidak kemudian berhenti untuk menularkan ide dan gagasannya. Bahkan pada tahun 1990, Soroush dan beberapa rekannya mendirikan majalah bulanan Kiyan, yang diperuntukan bagi mereka yang mempunyai visi konstruktif dalam pengembangan wacana agama dan intelektualitas. Tema-tema yang cukup sensitif di negara Iran seperti pluralisme agama, hermeneutika, civil society, toleransi dan demokrasi ia publikasikan melalui majalah tersebut. Sejak tahun 2000, Soroush menjadi Dosen tamu di Harvard University, dan memegang mata kuliah Islam dan Demokrasi, Studi Qur`an dan Filsafat Hukum Islam. Ia juga turut mengajar Filsafat Politik Islam di Princeton University dan Wissenschaftkolleg Berlin, Jerman. Sebagai seorang intelektual, Soroush tidak hanya membuktikannya dengan menelurkan berbagai karya tulis, namun pengakuan itu juga ia dapatkan dalam bentuk penghargaan. Pada bulan April 2004, Soroush bersama Sadik Jalal al-azm (Syiria), Fatima Mernisi (Maroko) terpilih menjadi penerima penghargaan Erasmus Prize yang digagas oleh Praemium Erasmianum Foundation. Penghargaan ini diberikan kepada seseorang atau institusi yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam mewarnai dan beradaptasi dengan kultur eropa, masyarakat dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga intelektual muslim tersebut berhak menerima 150.000 Pounds, yang diberikan langsung oleh Pangeran Bernhard di Amsterdam Belanda.
122
Keberhasilan Soroush menyabet penghargaan tersebut dikarenakan ia cukup pintar memadukan agama dengan modernitas. Dan secara kebetulan, Erasmus Prize untuk tahun 2004 mengambil tema “Agama dan Modernitas”. Tema ini didasarkan atas berkembangnya politik dan masyarakat yang cukup
memberikan
peluang
bagi
semua
lapisan
dalam
memulai
memperdebatkan kembali relasi antara agama dan modernitas. Selain Erasmus Prize, Soroush juga pernah menerima penghargaan sebagai “Muslim Democrat of the Year” untuk tahun 2004 dari Centre for the Study of Islam and Democracy (CSID) di Washington DC, Amerika. Dalam sambutan setelah menerima penghargaan tersebut, Soroush mengatakan bahwa ajaran tentang keadilan adalah kata kunci untuk memformulasikan ide tentang demokrasi yang tidak hanya cocok tetapi juga bisa berjalan seiring dengan ajaran Islam. 28 Pada bulan April 2005, Soroush terpilih menjadi salah satu dari 100 orang yang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. Penghargaan tersebut diberikan kepada mereka yang memiliki talenta untuk melakukan transformasi di dunia. TIME menyebut Soroush sebagai “Irans Democratic Voice”.29
28
Soroush kemudian mengutip al-Qur’an surat al-Nahl ayat 90, yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Abdul Karim Soroush, “Muslim Democrat of the Year Award” Acceptance Speech (Pidato penerimaan penghargaan Muslim Democrat of the Year tahun 2004). 29 Time Magazine, April 2005.
123
Abdul Karim Soroush dalam Tiga Lingkaran Intelektual Muslim di Iran30 Circles and Sub- circles
Name of Publications
Personalities and Writers
First Circle Subcircle around Kiyan and Dovom-e Khordad Publications
Kiyan, SobhEmrouz, Jame’eh, Tous, Neshat, Asr-e Azadegan, Bahar
Sub-circle around Salaam and Asr-e Ma
Salaam, Asr-e ma, Mosharekat
Association of Qom Howze-ye Elmich Teachers Writers in Khordad
--
Soroush, Mojtehed Sabestari, Malekian, Shamsolvaezzi, Tehrani, Alavitabar, Naraghi, Soltani, Mohammadi, Mardiha, Jalaeipour, Ganji, Akbari, Ghazian, Kashi, Rezai, Mozaffar, Norouzi, Baqi, Qouchani… Armin, Aghajari, Hajjarian, Abdi, Mazrui, Arghandehpour, Mirdamadi Meybodi, Abai, Ayazi, Mousavi, Tabrizi
Khordad
Nouri, Kadivar, Hekmat, Farastkhah
Circles and Sub- circles
Name of Publications
Personalities and Writers
Second Circle Subcircle around Iran-e
Iran-e Farda (biweekly)
Ezzatollah Sahabi, Eshkevari, Alijani, Rahmani,
30
Approaches to the Political System Reformist
Political Orientation
Influence in Universties
Influence in Seminaries
Financial Source
Social Democrat, Social Liberal
High
Low
Non Government al
Reformist
Social Democrat
High
Medium
Non Governeme ntal
Reformist
Not clear
Medium
Medium
Non government al
Reformist
Social Democrat, Social Liberal
High
Medium
Non government al
Approaches to the Political System Reformist and Radical
Political Orientation
Influence in Universties
Influence in Seminaries
Financial Source
Social Democrat
Medium
Low
Non Governmental
Selengkapnya lihat dalam Hamidreza Jalaeipour, Religious Intellectuals and Politcal Action in the Reform Movement, Makalah dalam Konferensi “Intellectual Trends ni 20th Century Iran”, Princeton University 21 Oktober 2000, hlm 11-12.
124
Farda Peyman Sub-circle
Bulletins
Freedom Movement Sub-circle
Bulletins
Circles and Sub- circles
Third Circle Circle around Naqd va Nazar Circle around Entekhab
Zeidabadi, Saber, Rajai, Habinollah Peyman
Reformist and Radical
Social Democrat
Low
Low
Yazdi, Abdolali, Bazargan
Reformist and Radical
Social Liberal
Medium
Low
Name of Publications
Personalities and Writers
Political Orientation
Influence in Universties
Influence in Seminaries
Financial Source
Naqd Nazar
Qanbari, Faqihi
Approaches to the Political System Reformist
Not clear
Low
Medium
Government
Reformist
Not clear
Very Low
Medium
Governement
va
Entekhab
The Hashemi…
Non Governement al Non governmental
Dikutip dari Hamidreza Jalaeipour (2000)
C.
Karya-karya Abdul Karim Soroush Sepanjang pengetahuan penulis, sangat sedikit sekali karya Soroush yang berbentuk buku. Terutama karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, kalau mengacu pada produk pemikirannya yang brilian, tentu akan sangat bermanfaat jika karya Soroush juga dinikmati oleh akademisi di Indonesia. Ini mungkin karena kebanyakan buku Soroush lebih banyak menggunakan bahasa Parsi ketimbang bahasa Arab atau Inggris. Sementara buku terjemahan yang banyak kita temukan di Indonesia berasal dari bahasa Arab dan Inggris. Wajar jika tidak banyak karya Soroush yang bisa kita nikmati dalam bahasa Indonesia.
125
Hampir semua pemikiran Soroush ia tuangkan dalam bahasa Parsi. Diantara karyanya tersebut, adalah (2002-08) Sonnat va Secularism (Tradition and Secularism), (2001-04) Akhlâgh-e Khodâyân (Moral of Gods), (2000-10) Âeen-e Shahriâry va Dindâry (Urban Ritual and Religious Convictions), (2000-04) Ghomâr-e Âsheghâneh (Amorous Gamble) (199909) Serât-hay-e Mostagheem (Straight Paths), (1999-08) Nahâd-e Nâ-Ârâme Gahân (World's Agitating Character) (1999-04) Bast-e Tajrobeh-yi Nabavi (Expansion of Prophetic Experience),(1999-03) Siyasat-Nameh (Political Letter), (1996-06 ) Modera va Modiriyyat (Administration and Tolerance), (1996-04) Mathnavi Ma'navi (Rumi's Mathnavi) (Vol-1, 540p; & Vol-2, 571p), (1996-02) Hadees-e Bandegi va Delbordegi (The Tale of Love and Servitude), 1995-04 Dars-hay-ey dar falsafeh-e Elm-ol-Egtema'e (Lessons on the Philosophy of the Sciences).31 Selain dalam bahasa Parsi ada beberapa karya Soroush yang berbahasa Inggris atau terjemahan dalam bahasa Inggris baik dalam bentuk buku, artikel, wawancara atau abstraksi pidatonya. Karya-karya inilah yang oleh penulis gunakan sebagai rujukan primer dalam studi ini. Diantara karya yang berbentuk buku dan artikel adalah: 1. Reason Freedom and Democracy in Islam. Buku ini adalah kumpulan artikel Soroush yang diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri. Terbit pertama kali di Inggris 31
Karya-karya tersebut kebanyakan ia publikasikan di Teheran (Iran) sehingga sangat sulit ditemukan dan dinikmati oleh pembaca. Buku-buku tersebut juga tidak dipergunakan oleh penulis untuk menjadi rujukan dalam menganalisa pemikiran Soroush. Lihat dalam www.drsoroush.com
126
pada tahun 2000 oleh Oxford University Press. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama”. Buku tersebut diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan diterbitkan oleh penerbit Mizan serta terbit pertama kali pada tahun 2002. 2. The Evolution and Devolution of Religious Knowledge. Artikel ini pada awalnya adalah naskah makalah yang ia presentasikan saat mengisi kuliah di Institute of Islamic Studies, McGill University, 13 April 1995. Naskah ini kemudian diterbitkan sebagai bagian dari bunga rampai buku Liberal Islam: A Sourcebook yang diedit oleh Charles Kurzman. Dalam versi lain ada yang memberi judul tulisan ini “Text in Context”. Buku Liberal Islam telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 2001. Artikel Soroush sendiri diterjemahkan dan diberi judul Evolusi dan Devolusi Pengetahuan Keagamaan. 3. Reason and Freedom in Islamic Thought. Paper ini ia presentasikan saat mejadi pembicara pada CSID 2nd Annual Conference di Georgetown Unniversity, 7 April 2001. Naskah ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mencari Format Ideal Hubungan Islam dan Demokrasi”. Artikel tersebut juga menjadi bagian dari bunga rampai buku Islam: Liberalisme dan Demokrasi yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina tahun 2002.
127
4. Types of Religiousity. Artikel ini dimuat di Jurnal Kiyan No 50 1378 tahun 2000. Artikel yang membahas tentang tipe keberagamaan umat Islam itu merupakan terjemahan dari bahasa Persia. 5. The Saviour and Religious Revival. Artikel ini merupakan terjemahan dari “Mahdaviyat va Ehya-ye Din” yang dimuat di Jurnal Aftab No 12 edisi Januari-Februari 2002. 6. Tradition and Modernism. Artikel yang berisi tentang relasi Islam dan modernitas ini merupakan naskah yang ia presentasikan pada Seminar di Universitas Behesty pada bulan Mei 1999. artikel ini juga dimuat di Kian Monthly Review, Vol. 10, No 54, Oct-Nov 2000. Artikel ini juga terjemahan dari bahasa Persia. 7. Rationalist Traditions in Islam. Ini merupakan naskah yang ia presentasikan saat memberikan ceramah dalam acara “International Conference Islam-Religion and Democracy” di Heidelberg Jerman tanggal 12-13 November 2004. 8. Treatise on Tolerance. Paper ini ia presentasikan saat memberikan sambutan ketika Soroush, Sadik Jalalul Azm (Syria) dan Fetima Mernissi (Maroko) menerima penghargaan Erasmus Prize di Belanda tahun 2004. 9. Religious Pluralism: Kadivar, Soroush Debate. Ini merupakan rekaman debat antara Soroush dan Mohsen Kadivar yang bisa didapatkan secara online dalam situs www.drsoroush.com.
128
Selain dalam bentuk artikel dan buku, pemikiran Soroush juga banyak ia tuangkan dalam bentuk wawancara dengan wartawan surat kabar atau majalah. Beberapa point pemikiran Soroush yang penulis dapatkan dalam bentuk wawancara antara lain: 1. Democracy and Rationality. Hasil wawancara ini dipublikasikan dalam Shargh Newspaper, pada bulan Desember 2003. 2. Religion, Thought and Reformation. Ini merupakan wawancara Soroush yang dipublikasikan di Jameh Madani pada tanggal 3 Juli 2001. 3. Ethics and Ethical Critiques. Hasil awancara ini dipublikasikan di Iranian Labour News Agency pada Januari 2004. 4. Contraction and Expansion of Women’s Rights. Hasil wawancara ini dipublikasikan di Zanan 1378, 2000. 5. Faith and Hope. Wawancara ini dimuat di Jurnal Kiyan no 51 1379, 2001 6. Truth, Reason, Salvation. Wawancara ini dimuat di Seratha-yi Mostaqim (1377/1998) Tehran: Serat 137-196. 7. A Generation in the Process of Development. Wawancara dengan Persian Morning Daily, 26 Februari, 2002. 8. Right to the End They Didn’t Know Where They Were Meant to Be Going. Dimuat di situs www.seraj.org. 9. Soroush Among Those for and Against. Interview dengan Jameah Morning Daily.
129
10. If Shiite Majority Comes to Power in Iraq, it Will Enhance Democracy in Iran. Interview dengan Nobel Laurates. Selain buku, artikel dan wawancara, pidato singkat yang berupa sambutan juga sering dijadikan referensi dan terekam secara apik dalam situs www.drsoroush.com. Diantara pidato singkat yang sempat direkam adalah ketika ia menyampaikan pidato saat menerima penghargaan “Muslim Democrat of the Year Award” pada tahun 2004. Selain itu, naskah pidato singkat lainnya ia berikan saat menerima penghargaan Erasmus Prize 2004. Juga ketika Soroush memberikan presentasi pada seminar Islam and Democracy di Mashad 1 dan 2 Desember 04. Intinya, apa yang ia sampaikan selalu menjadi rujukan. Dan ini bisa menjadi bukti bahwa ketokohan Soroush benar-benar diperhitungkan sebagai intelektual muslim.
D.
Kritik Soroush Terhadap Sistem Wilayat al-Faqih 1. Anakronisme Wilayat al-Faqih Soroush merupakan pembangkang sejati terhadap konsepsi Wilayah al-Faqih (The Rule of Jurist, Pemerintahan para yuris) yang pasca Revolusi 1979 dan penggulingan rezim Syah, menjadi sistem resmi pemerintahan Republik Islam Iran. Tak heran jika para pengikut partai Anshar Hizbullah menganggap Soroush sebagai promotor sekularisasi dan berselingkuh dengan barat.32 Keberanian untuk mengkritik sistem pemerintahan Iran, dan berbagai pembangkangan
32
Lihat dalam Biografi Soroush.
130
dogmatis lainnya itulah yang membuat Robin Wright menyamakan Soroush dengan legenda Marthin Luther King.33 Meski pada awal terjadinya revolusi Soroush adalah anggota Komite Revolusi Kebudayaan Iran, namun tak lama kemudian Soroush menulis artikel yang secara tersirat, namun cukup jelas, mempersoalkan landasan Republik Islam Iran. Menurut Mohsen M. Milani, paling tidak ada dua catatan penting tentang pemikiran Soroush yang menjadi kritikannya terhadap sistem wilayat al-faqih ini. Pertama, Soroush berpendapat bahwa kendati Islam didasarkan pada prinsip-prinsip yang tak bisa berubah, penafsiran terhadap prinsip-prinsip itu dapat dan harus berubah dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu tak ada seorang pun yang dapat melakukan monopoli atas Islam yang benar. Dari sini Soroush sebenarnya tengah berhadapan langsung dengan para ulama yang seringkali mengklaim sebagai penjaga iman. Apa yang dilakukan Soroush itu ibarat “masuk kandang macan”, karena Iran memang diperintah oleh para Ayatullah. Kedua, Soroush mendukung terbukanya proses politik dengan mengatakan
bahwa
negara
religius
yang
sesungguhnya
harus
dilandaskan pada demokrasi. Dalam pandangan Soroush, Islam tidak dapat dan jangan menjadi ideologi yang melayani kepentingan
33
Robin Wright, loc.cit.
131
pemerintah. Ungkapan ini tiada lain adalah suara kritis yang menentang sistem wilayat al-faqih.34 Konsep wilayat al-faqih bukan satu satunya konsep tentang negara yang dikehendaki Tuhan, sehingga harus benar- benar direalisasikan.35 Karena sesungguhnya Tuhan tidak pernah menetapkan satu bentuk negara ideal, bagi pemerintahan Islam. Jadi bentuk negara apapun dapat diterapkan selama ada ruang untuk menyatakan kebebasan berpendapat, demokrasi serta keterbukaan seorang pemimpin akan kritik. Kelemahan dan sistem ini menurut Soroush adalah fokus dan pengandalannya terhadap seorang penguasa yang dianggap adil. Ada common sense terhadap keadilan yang tercipta dalam suatu masyarakat. Bahwasanya keadilan itu adalah hasil dari keadilan personal penguasa. Sehingga, tak ada lagi yang perlu dilakukan oleh rakyat selain mempercayakan kekuasaan sepenuhnya kepada penguasa ini. Bagi Soroush
orientasi
seperti
ini
sudah
saatnya
digeser.
Artinya
34
Gagasan Soroush yang bernuansa kritik terhadap wilayat al-faqih kebanyakan ia tuangkan dalam Jurnal Kiyan. Jurnal Kiyan pada bulan Juni 1996 menerbitkan salah satu artikel Soroush. Kiyan memang terkenal sebagai media yang gemar menyebarkan faham liberalisme, sekularisme, pluralisme serta kesetaraan gender. Di Iran ajaran-ajaran tersebut tentu saja menjadi satu bahasan yang cukup sensitif. Gerak yang dilakukan oleh Kiyan memantik reaksi dari pemerintah. hingga suatu waktu pemerintah mengumumkan, bahwa Iran mengalami krisis kertas. Hal ini sebenarnya tidak lebih dari siasat pemerintah untuk membungkam suara kritis media-media di Iran. Mohsen M. Millani, Partisipasi Politik di Iran Pascarevolusi, dalam John L Esposito (ed), Political Islam: Revolution, Radicalism or Reform? ,(terj) Dina Mardiya, “Langkah Barat Menghadang Islam”, Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 133-1354. 35
Lihat misalnya dalam Abdul Karim Soroush, Reason and Freedom in Islamic Thought, Makalah yang dipresentasikan dalam seminar di Georgetown university, 2001.
132
kepemimpinan yang dijalankan tak lagi tunggal, tetapi harus bergerak pada pranata, hukum serta proses.36 Seperti kita ketahui, sistem wilayat al-faqih jika ditarik garis lurus akan bertemu dengan tipe negara totaliterian. Model negara totaliterian ini diklasifikasikan kedalam tiga tipe. Pertama, negara nasionalis totaliterian yang muncul pada akhir abad 19. Kedua, negara totaliterian yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama, seperti Republik Iran, atau lebih dikenal dengan bentuk negara theokratis. Ketiga, negara totaliterian modern yang bertumpu pada kemajuan, pembangunan dan tuntutan mobilisasi sosial.37 Dalam pandangan Soroush, ada beberapa permasalahan yang akan dihadapi oleh sistem pemerintahan ini. Pertama, menyelaraskan kepuasan rakyat dengan restu Tuhan. Kedua, menyeimbangkan urusan agama dan non agama. Ketiga, berbuat yang benar terhadap rakyat dan Tuhan.38 Selain tiga poin itu, Soroush melihat fenomena otoritas ulama, hukuman mati kepada orang murtad, dogmatisme keyakinan serta rigiditas pada fatwa agama, sebagai bukti kebencian pemerintahan terhadap nilai-nilai demokrasi.39
36
Abdul Karim Soroush, Reason and Freedom in Islamic Thought, Ibid.
37
Anu Lounela dan R.Yando Zakaria, Menuju Sebuah Kontrak Sosial Baru, Jurnal Wacana, Edisi 10 Tahun III 2002, hlm. 6. 38 39
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam, op.cit., hlm.122.
Di Iran ada fenomena yang cukup menjadi bukti bahwa kebebasan berpendapat menjadi sangat mahal dan mendapat ruang ekspresi yang sempit untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Kaum Bahai, salah satu sekte keagamaan di Iran dan merupakan minoritas, dituduh kafir dan dianggap telah mencerabutkan diri dari tanah kelahirannya sendiri. Oleh Ulama Syi’ah Iran, kaum Baha’i kemudian dipinggirkan dan diisolir dari berbagai spectrum kehidupan, ekonomi,
133
Apalagi jika dilihat bahwa karakter negara totaliterian yang meniscayakan monopoli oleh satu partai, pada akhirnya akan membuat aktivitas politik menjadi tidak sehat. Karena secara tidak langsung, lawan politik tidak mempunyai ruang gerak yang bebas (free public sphere). Oleh karenanya, Soroush menekankan pentingnya mengembangkan kultur demokrasi untuk menunjang terciptanya pemerintahan yang dapat menjalankan kepentingan rakyat.40 Dari sini, maka terlihat jelas bagaimana posisi sistem wilayat alfaqih ini. Meski ada nuansa agama dalam model pemerintahan seperti ini, tetapi harus diakui bahwa agama masih sebatas simbol untuk menunjukan sebuah bentuk pemerintahan. Sementara pada dataran substansi, wilayat al-faqih yang dipraktekan di Iran sama sekali belum menunjukan nuansa demokratis. Dengan demikian, demokrasi menjadi kata kunci berikutnya untuk memahami pemikiran Soroush serta alasan dibalik tudingannya terhadap wilayat al-faqih yang dianggapnya sebagai sebuah anakronisme.
politik maupun system religiusitas. Yang lebih mengerikan mereka menjadi korban kampanye genosida yang diberlakukan atas usaha pera teolog Islam. Dan hingga saat ini kampanye tersebut masih berlangsung. Entah sudah berapa banyak korban jiwa yang jatuh karena penyiksaan terhadap mereka. Untuk menjustifikasi kebenarannya di hadapan rakyat Iran dan menangkis kritik di forum Internasional, pemimpin Iran menegaskan bahwa Baha’i dianiaya bukan karena keyakinan agama mereka, tetapi lebih karena mereka adalah agen dari imperialis-zionis yang bertujuan menghancurkan pemerintahan Islam. Tetapi beberapa pengamat justru meragukan kebenaran argumen ini. Karena kaum Baha’i tidak pernah terlibat dalam urusan politik partisan atau kegiatan-kegiatan subversif dan bahwa penganiayaan atas mereka merupakan contoh jelas dari genosida yang dilancarkan terhadap sekelompok kambing hitam. Payam Akhavan, “Minoritas Baha’i di Iran: Masalah toleransi beragama”, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim et al, Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Jogjakarta: LKiS, 1996, hlm.230-231. 40 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam, hlm. 143.
134
Dalam sebuah wawancaranya dengan Shargh Newspaper, Soroush mengatakan bahwa untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dan religius, maka mengandaikan terbentuknya democratic religious government merupakan sebuah keniscayaan. Dalam sistem pemerintahan yang ia maksudkan tersebut bahwa nilai-nilai agama dapat berjalan dalam arena publik yang dipopulerkan oleh masyarakat beragama.41 Untuk memahami demokrasi dalam kacamata Islam, maka harus ada interpretasi ulang dalam memaknai demokrasi. Bagi Soroush demokrasi bisa berarti dua hal, sistem nilai dan method of governance. Sebagai sebuah sistem nilai, demokrasi bagaimanapun juga harus merefleksikan hak asasi manusia, kebebasan memilih pemimpin terbaik dan meminta pertanggungjawabannya serta mempertahankan nilai keadilan dalam masyarakat. Sementara sebagai method of governance, demokrasi harus bisa eksis dalam pemilihan umum yang bebas, independensi dan kebebasan pers, ekspresi kebebasan, keterwakilan politik, multiparpol, dan pembatasan kekuasaan eksekutif.42 Dari
41
Abdul Karim Soroush, Democracy and Rationality, Shargh Newspaper, 2003. Soroush mengakui bahwa ia hadir dari tradisi Syi`ah yang cukup memberinya ruang untuk mengintrodusir ide-ide filsafat dan extrareligius. Ulama Syi’ah cukup akrab dengan filsafat dan telah menghasilkan filusuf metafisis yang hebat. Tradisi ini berkembang di Iran dan diajarkan di seminari-seminari serta universitas di seluruh penjuru Iran. Namun persoalan menjadi rumit ketika berbicara relasi Islam dan demokrasi. Di satu sisi, demokrasi berakar dari masyarakat Yunani kuno, yang diturunkan kepada umat Islam melalui otak yang ada di balik tempurung kepala para filusuf barat, pemikir politik dan sebagainya. Walhasil, demokrasi dilihat sebagai ide luar dan teralienasi dari komunitas Muslim. Sementara di sisi lain kita berada memiliki tradisi Islam sendiri yang memiliki interpretasi sendiri terhadap teks dan agama. Karenanya, memadukan Islam demokrasi, kata Soroush, sepertinya menjadi hal yang sia-sia. Abdul Karim Soroush, Reason and Freedom in Islamic Thought. 42
Valla Vakilli, “Abdolkarim Soroush and Critical Discourse in Iran”, dalam John L. Esposito dan John O. Voll (ed), Makers of Contemporary Islam, Oxford University Press, 2001,
135
perspektif inilah, Soroush menganggap bahwa secara substansial tidak ada satu pun term yang bertentangan antara Islam dan Demokrasi.43 Meskipun demikian, pertanyaan yang diajukan terkait dengan kompatibilitas Islam dan demokrasi tidak berhenti sampai di sini. Saiful Arif menggambarkan betapa demokrasi pada akhirnya menciptakan otoritarianisme baru.44 Derap demokrasi yang mengajarkan kita untuk selalu menjaga fairness dalam berkompetisi, ternyata tidak cukup fair ketika ada kaum anti-demokrasi berdiri di hadapannya.45 Demokrasi ternyata juga memiliki peluang untuk melahirkan budaya politik anarkhi. Dengan demikian, demokrasi sebenarnya masih berada dalam polemik. Dalam teori politik klasik ada yang biasa disebut sebagai Cyclus Plato dan Cyclus Polybios.46 Teori Cyclus Plato mengungkapkan bahwa kekuasaan itu semula dipegang oleh para aristokrat. Jika para aristokrat itu mabuk kekuasaan, maka warna pemerintahan akan berubah menjadi teokratis. Jika pemegang kekuasaan terjebak pada kemewahan istana, maka lahirlah pemerintahan oligarkis yang menekan dan memeras rakyat dan melakukan praktik monopoli. Yang pada akhirnya praktik ini akan melahirkan amarah rakyat dan berdirilah pemerintahan demokratis yang hlm. 161. Simak juga dalam Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam, hlm. 148. 43
Abdul Karim Soroush, Reason and Freedom in Islamic Thought.
44
Ironisnya para pendukung dan pejuang demokrasi senantiasa menggunakan Hitler, Nazi, Somoza Pinochet dan kediktatoran sebagai referensi untuk menyatakan bahwa siapau yang menolak demokrasi adalah haram. Saiful Arif, Ilusi Demokrasi, Jakarta: Desantara bekerjasama dengan Averroes, 2003, hlm. 175.
26-27
45
Ibid., hlm. 176.
46
Muhadjir Effendy, Masyarakat Equilibrium, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002, hlm.
136
tidak terkendali dan melahirnkan anarki yang memunculkan kekauasaan tiran. Tiran itu dengan sendirinya akan membangun pemerintahan aristokratis.47 Siklus itu akan terus berputar. Sementara dalam teori Cyclus Polybios putaran pemerintahan dimulai dengan bentuk monarki yang berubah menjadi tiran dan kemudian
mengundang
ketidakpuasan
para
bangsawan
dan
menggulingkan raja, sehingga muncullah pemerintahan aristokrasi. Pemerintahan ini, akan melahirkan oligarki ketika ada persaingan antarbangsawan itu sehingga terjadi kekacauan di tingkat elite.48 Dan kekacauan itu melahirkan reaksi penentangan oleh masyarakat luas terhadap pemerintahan yang terus melahirkan demokrasi. Dua teori klasik tersebut menunjukkan bahwa demokrasi meski digaungkan sebagai sebuah konsepsi politik ideal ternyata memiliki potensi yang cukup besar untuk melahirkan anarkisme. Dari perspektif Islam, gugatan terhadap demokrasi juga bermunculan. Syekh Abul A`la al-Maududi sebagaimana dikutip oleh Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa demokrasi menjadi kontradiksi dengan kepercayaan umat Islam.49 Islam yang dipercaya saat ini berbeda dengan sistem demokrasi, bahkan tidak
dalam
masalah-masalah
kecil,
karena
keduanya
saling
47
Tedi Kholiludin, “Agama, Rasionalitas dan Demokrasi”, dalam Tedi Kholiludin (ed), Runtuhnya Negara Tuhan: Membongkar Otoritarianisme dalam Wacana Politik Islam, Semarang: INSIDE dan PMII Komisariat Walisongo, 2005, hlm. 123. 48 49
Muhadjir Effendy, loc.cit.
Bassam Tibi, “The Challenge of Fundamentalisme: Political Islam and the New World Disorder”, (terj) Imron Rosyidi et.al, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2000, hlm. 320-321.
137
berkontradiksi dalam semua fakta. Jika sistem demokrasi ada, maka dianggap tidak ada dalam Islam. Jika Islam berkuasa, maka tidak ada tempat bagi sistem demokrasi.50 Gugatan serupa dilancarkan oleh Yusuf al-Qardawi. Menurutnya, demokrasi meski menjadi sebuah solusi, tetapi tidak lebih baik dari solusi islami (al-hall al-Islamiy). Karena menurutnya, demokrasi adalah solusi
hasil
impor
(al-hulul
al-mustawrada).51
Al-Qardawi
mengungkapkan bahwa demokrasi adalah istilah Yunani yang berarti pemerintahan rakyat dan kemudian melanjutkan bahwa liberalisme demokratik datang dalam kehidupan kaum Muslim melalui pengaruh Kolonialisme. Demokrasi merpakan pengaruh yang paling berbahaya dari warisan kolonial tersebut.52 Dalam pandangan Muhammed Abed al-Jabiry, paling tidak ada dua alasan mengapa kebanyakan umat Islam memandang sama antara Syuro dan demokrasi. Pertama, Syuro disesuaikan dengan demokrasi bukan karena mereka mengetahui ada kesesuaian dan perbedaan di antara keduanya, tetapi mereka melakukannya dalam kerangka aplikasi ideologis yang bertujuan agar para pemuka agama yang fanatik, termasuk juga penguasa saat itu menjadi tenang dengan seruan bahwa demokrasi tidak berarti upaya memasukan bid`ah ke dalam wilayah Islam. 50
Ibid.
51
Ibid.
52
Ibid.
138
Kedua, aplikasi ideologis ini bertujuan mengangkat data dalam tradisi Islam dan menjadi fondasi bagi bergeraknya tradisi Islam ke ranah modern. Sehingga semua persoalan akan diselesaikan dengan upaya penggalian terhadap tradisi Islam.53 Tentu penyamaan ini sangat simplifikatif. Karena dilihat dari sisi sejarah maupun doktrinal, demokrasi berbeda dengan Syuro. Khalil Abdul Karim memberikan sanggahan atas penyamaan antara demokrasi dan Syuro. Menurutnya dalam kondisi bagaimanapun, tidak mungkin Syuro menjalankan fungsi demokrasi (maksudnya demokrasi dalam formulasi ala Barat berikut pencalonan, pemilihan, parlemen dan perangkat-perangkat demokrasi lainnya) atau bahkan menggantikan posisinya.54 Syuro yang dalam bahasa Arab berarti menjaring ide-ide terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang diasumsikan memilki akal, argumentasi, pengalaman, kecanggihan pendapat dan dan prasyaratprasyarat lain yang menunjang mereka untuk memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang tegas. Karenanya kata tersebut sama sekali tidak menunjukkan pada perolehan pendapat mayoritas atas satu
53
Muhammed Abid al Jabiry, Syura: Tradisi, Partikularitas dan Universalitas, Jogjakarta: LKiS, 2003, hlm. 24-25. 54
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Jogjakarta: LKiS, 2003, hlm 139.
139
keputusan lewat pemungutan suara, seperti yang kita pahami lewat mekanisme demokrasi.55 Berbeda dengan Khalil Abdul Karim yang menyatakan secara vulgar ketidaksesuaian ide syuro dan demokrasi, Mohammed Talbi, seorang pemikir berkebangsaan Tunisia, sebagaimana dikutip oleh Ronald L. Nettler, memberikan pemecahan yang bersifat metodologis.56 Baginya memaknai syuro dan demokrasi harus diselesaikan dengan dua cara. Pertama membandingkan syuro dan demokrasi tidak dengan mencari preseden historis dan keserupaan fenomenologis, tetapi yang harus dilakukan adalah menyelidiki makna internal dan membedakan perwujudan historis dari masing-masing istilah dan lembaga itu.57 Dengan menggunakan pendekatan ini, maka dalam sejarah kita dapat menemukan bahwa sebenarnya demokrasi sebagai sebuah gagasan dan realitas tidak selalu membahagiakan karena sesungguhnya ia dapat dan telah diungkapkan sebagai tirani (demokrasi proletariat). Demokrasi (Perancis) pada 1960 juga yang telah menodai prinsip fundamental demokrasi yang menghargai hak asasi manusia dengan melakukan pembantaian berjuta rakyat Aljazair dengan menyatakan bahwa mereka telah melanggar hukum Internasional.58 55
Ibid., hlm. 140. Perhatikan juga Tedi Kholiludin, “Agama, Rasionalitas dan Demokrasi’, op.cit., hlm. 125. 56
Ronald L. Nettler, “Gagasan Mohamed Talbi tentang Islam dan Politik: Gambaran Islam bagi Dunia Modern”, dalam John Cooper (ed), Islam dan Modernitas: Respon Intelektual Muslim, Bandung: Pustaka, 2004, hlm. 174-176. 57
Ibid
58
Ibid.
140
Kedua, persoalan nyata ini harus diselesaikan dengan mencoba menciptakan gagasan pemerintahan dalam Islam yang akan mewujudkan cita-cita tertinggi masyarakat, apapun namanya, syuro atau demokrasi. Hanya saja situasinya saat ini, kita tengah menghadapi dua kubu yang saling berhadap-hadapan. Kaum ‘Islam Konservatif’ yang masih meyakini syuro dan masyarakat Barat serta
para pendukung
kebudayaannya yang masih melihat demokrasi sebagai bagian dari keluarganya. Jika dua kutub ini dibiarkan bertarung tanpa adanya posisi historis-kritis sesuai dengan kerja historis, maka selamanya tidak akan tercapai cita-cita tertinggi dalam mewujudkan masyarakat berkeadaban. Karenanya, Talbi melihat bahwa hal terpenting yang harus segera dilakukan adalah menempatkan demokrasi dan syuro dalam dimensi konseptual dan historis internalnya. Meski dengan pemaparan yang agak metodologik, Talbi pada akhirnya memiliki kesamaan pandangan dengan Khalil Abdul Karim. Demokrasi dan syuro adalah dua entitas yang berbeda. Kita belum tentu mendapati ada mekanisme pemungutan suara dalam syuro. Begitu juga sebaliknya. Kita belum tentu bisa mendapatkan ide religius dalam demokrasi. Makanya, keduanya harus dikembalikan kepada sangkarnya dan dimaknai sesuai dengan konteks internalnya, agar esensi yang dikandungnya bisa diambil untuk kemudian diselaraskan. Satu contoh upaya mendamaikan Islam dan demokrasi adalah dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sistem gagasan yang sangat
141
plural. Artinya demokrasi harus dimaknai sebagai sebuah sistem nilai yang bisa berubah sesuai konteks yang mengitarinya. Abdul Karim Soroush, mengungkapkan pengalamnnya: Some people assign an essence to democracy and define it in a specific way. I want to say that this is incorrect; that we do not have one democracy but many democracies. In the preceding term, I was teaching a course on democracy and Islam in the United States. The class contained students from various nationalities. I said to them: I don`t expect you to know anything about Islamic debates, I will explain them to you myself. But we discussed the question of democracy together and we began by defining it; from ancient Greece to today. In these denitions, there was no specific definition intrinsic to democracy. What emerged was that a democracy prevailed in different eras depending on the conditions of the time.59
Apa yang diungkapkan Soroush tentang interpretasi demokrasi ini, memberikan jalan bagi upaya rekonsiliasi antara Islam dan demokrasi. Karena ternyata demokrasi bukanlah produk yang monolitik, sama halnya dengan Islam. Meski berasal dari budaya barat, tetapi ketika sudah mengalami gesekan dengan lokalitas, maka demokrasi akan berjalan sesuai dengan aras lokalnya. Taruhlah munculnya praktek demokrasi diktator ala Qathafi, Demokrasi Radikal-Liberal ala Chantal Mouffe, serta Demokrasi Lokal ala Gustavo Esteva dan Madhu Suri Prakash. Mereka semua, intinya menyerukan demokrasi. Tetapi
59
Terjemahan bebas teks ini “Sebagian orang menetapkan esensi demokrasi dan menggambarkannya menurut satu jalan tertentu. Saya ingin mengatakan bahwa ini tidaklah benar; kita tidak memiliki satu demokrasi tetapi banyak demokrasi. Dulu, saya pernah mengajarkan tentang Islam dan demokrasi di Amerika Serikat. Kelas berisi siswa dari berbagai negara. Saya berkata kepada mereka: Aku tidak mengharapkan kalian mengetahui semua persoalan tentang Islam. Aku akan menjelaskannya melalui caraku sendiri. Tetapi kita telah mendiskusikan pertanyaan tentang demokrasi bersama-sama dan kita mulai dengan mendefinsikannya; dari Yunani kuno hingga hari ini. Dalam definisi tersebut, tidak ada satu definisi spesifik yang hakiki tentang demokrasi. Kemunculan demokrasi berlaku pada jaman berbeda yang tergantung pada kondisi-kondisi yang terkait dengan waktu”. Abdul Karim Soroush, Democracy and Rationality.
142
demokrasi yang dipahami sesuai dengan kerangka berpikir masingmasing. Namun, menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan harus didasari atas tujuan normatif sebuah sistem pemerintahan. Tujuan akhir dari berlakunya sistem pemerintahan tertentu adalah terciptanya tatanan masyarakat yang egaliter. Sholahuddin Jursyi mencoba merumuskan beberapa point yang menjadi standar minimal terciptanya masyarakat ideal (islami) tersebut. Pertama, menjadikan prinsip umum jurisprudensi Islam sebagai inspirator dalam rumusan perundang-undangan yang dibutuhkan masyarakat di semua bidang. Penggunaan kata inspirator menunjukan sifat dinamis dari jurisprudensi. Dengan demikian syariat tidak
direduksi
dalam
aspek
hukum
semata,
melainkan
juga
dihubungkan dengan filsafat jurisprudensi dan prinsip-prinsip umum yang mempengaruhi kehidupan sosial. Kedua, masyarakat Islami adalah masyarakat manusia yang mengimani manusia sebagai ego yang memiliki makna dengan tanpa melihat bentuk-bentuk lahiriahnya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinannya. Serta mengimani manusia sebagai agen perubahan yang memungkinkannya untuk bebas menentukan pilihan keimanan dan kekafiran, menerima sebuah sistem politik atau menolaknya. Ketiga, orientasi sosial atau kemasyarakatan. Meskipun Islam tidak memberikan aturan terperinci, namun Islam telah memberikan filsafat hukum yang
143
pada intinya berpihak pada kecenderungan kolektif masyarakat dan membatasi diri pada kemaslahatannya.60 Dengan kata lain, masyarakat Islami dalam pandangan Jursyi adalah sebuah komunitas yang mendahulukan kepentingan mayoritas daripada
kepentingan
monoritas
tanpa
harus
terjebak
dalaam
kediktatoran mayoritas dan penindasan atau tindakan represif terhadap individu yang mungkin ditimbulkan karena hal tersebut. Dari titik ini, bisa dikatakan bahwa tatanan masyarakat yang islami ini tentu tidak akan tercipta dengan sendirinya. Kita memerlukan prosedur yang demokratis sebagai jalan penciptaan masyarakat islami tersebut. Kaitannya dengan hal ini, menarik apa yang diungkapkan oleh Georg Sorensen. Demokrasi akan berjalan dengan baik jika disertai dengan empat prasyarat (prakondisi). Pertama perekonomian harus dikelola secara modern agar masyarakat menjadi sejahtera. "Semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsngkan demokrasi". Kedua, budaya politik sebagai cerminan sistem nilai dan keyakinan masyarakat harus mendukung. Misalnya, Protestan melahirkan sistem nilai dan keyakinan kegamaan yang lebih kondusif bagi tumbuhnya iklim demokrasi dari pada Katolik atau Islam. Ketiga, adanya struktur sosial yang kondusif, dan yang terakhir adalah
60
151.
Sholahudin Jursyi, Membumikan Islam Progresif, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 149-
144
kemandirian suatu negara. Semakin tergantung suatu negara terhadap negara lain, maka semakin tidak kondusif bagi pencapaian demokrasi.61 Keempat prasyarat tersebut masih belum cukup untuk menciptakan demokrasi yang stabil. Oleh karena itu harus ditindaklanjuti dengan keempat syarat lainnya, yakni: pertama, para pemimpin tidak menggunakan kekerasan dan paksaan (polisi dan militer) sebagai instrumen utama untuk mempertahankan kekuasaannya. Kedua, terdapat organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis. Ketiga, "potensi konflik dalam pluralisme subkultural dipertahankan pada level yang masih dapat ditoleransi" dan yang terakhir, demokrasi dapat tumbuh subur pada suatu negara manakala ada perasaan bahwa ia dikontrol atau diawasi oleh negara lain. Banyak yang menilai bahwa Islam dan demokrasi sulit disatukan karena lembaga keagamaan tradisional seperti halnya khilafah, tidak cukup memberi ruang partisipasi politik bagi rakyat dan lembagalembaga demokrasi. Namun dalam sejarah agama-agama seperti yang dituturkan John L. Esposito dalam Unholy War,62 tradisi agama bisa memiliki interpretasi dan hubungan yang beragam dengan negara. Para reformis modern mengubah monarki-monarki dan kerajaan Eropa yang kekuasaanya secara agama dijustifikasi sebagai hak Tuhan menjadi negara demokrasi Barat. Yahudi dan Kristen yang pernah memiliki 61
Georg Sorensen, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World, (terj) I. Made Krisna, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah, Jogjakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS, 2003, hlm. 43-45. 62
John L. Esposito, Unholy War, Jogjakarta: LKiS, 2003, hlm.148-149.
145
doktrin absolutisme politik dan kerajaan milik Tuhan, juga terus ditafsirkan untuk menyatukannya dengan idealitas demokrasi. Begitu juga dengan Islam. Sepanjang sejarah Islam dalam konteks pemahamannya selalu bergerak dinamis. Islam
sangat dinamis
ditafsirkan untuk melegitimasi berbagai bentuk pemerintahan, mulai dari monarki absolut hingga demokrasi. Dengan demikian demokrasi dan Islam sebenarnya dua hal yang bisa ditafsirkan dengan memperhatikan universalitas nilainya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara demokrasi dan Islam. Dengan berpegang pada pandangan ini, Soroush mengemukakan bahwa wilayat al-faqih tidak sesuai dengan denyut nadi modernitas. Wilayat al-faqih menjadi anakronistik dikarenakan sistem pemerintahan ini tidak diimbangi dengan pengetahuan yang mumpuni dalam bidang (teori) politik. Bagi Sorouh, jika ilmu pengetahuan berkembang, maka akan terjadi modernisasi dan mengembangkan politik serta akan memberikan arti bagi terciptanya keadilan dan kebebasan.63 Dengan demikian, hal ini akan menempatkan elit pada tempat yang tepat dan menentukan hak masyarakat. Kita jangan lupa bahwa dalam dunia baru, politik adalah ilmu politik dan manajemen adalah ilmu manajemen.64 Soroush
mempercayai
bahwa
masyarakat
religius
adalah
masyarakat moral. Dalam masyarakat religius satu hal yang terpenting
63
Abdul Karim Soroush, Tradition and Modernism, Teks Seminar di Behesti University, 1999. Artikel ini juga dimuat di Kian Monthly Review, Vol. 10, No 54, Oct-Nov 2000. 64
Abdul Karim Soroush, Tradition and Modernism.
146
adalah berprilaku sesuai dengan moral. Masyarakat religius berbeda dengan masyarakat fiqhi.
65
dengan demikian sistem hukum yang baik
dan kontrak sosial yang baik merupakan satu hal yang membantu ketaatan terhadap nilai-nilai moral.660 Jika kontrak sosial membawa masyarakat untuk saling membenci satu dengan lainnya, membohongi satu dengan yang lain, mencuri, atau berprilaku tidak etis, ini mengindikasikan bahwa kontrak sosial tersebut tidak dapat diterima. Dengan demikian, wilayat al-faqih juga harus didasarkan atas kontrak sosial yang didasarkan pada nilai-nilai etika, agar tidak menjadi sistem anakronistik. 2. Otoritas Mullah dalam Sistem Wilayat al-faqih Sebagaimana telah diterangkan dalam bab terdahulu67, bahwa revolusi 1979 telah menempatkan ulama (mullah) dalam posisi politis yang cukup diperhitungkan. Institusi-institusi politik ulama di Iran menjadi penentu dalam setiap proses politik. Dan pada awal revolusi, institusi tersebut banyak dikendalikan oleh ulama garis keras.68
65
Abdul Karim Soroush, Contraction and Expansion of Women’s Rights, Zanan, 2000.
66
Abdul Karim Soroush, Contraction and Expansion of Women’s Right.
67
Lihat bab II dalam sub bab C tentang praktek wilayat al faqih di negeri Iran..
68
Pandangan yang tercermin sebagai bukti bahwa mereka adalah ulama yang konservatif adalah penolakannya terhadap berbagai bentuk perubahan menuju orde yang lebih terbuka dan demokratis. Melalui institusi itulah mullah garis keras mengendalikan dan selalu melakukan monitoring terhadap percobaan perubahan baik yang datang dari dalam maupun luar. Dalam situasi seperti ini, sudah barang tentu ruang menjadi sangat sempit bagi berkembangnya wacana yang lebih toleran, inklusif dan pluralis. Tetapi justru disinilah demokrasi muncul sebagai proses yang dinamis. Kubu reformis dan mullah garis keras saling berkompetisi untuk memperebutkan kursi kekuasaan.
147
Konsekuensi logis dari penerapan sistem wilayat al-faqih ini adalah peran Mullah menjadi sangat dominan dalam konstelasi politik Iran. Meski telah berhasil menciptakan satu sistem pemerintahan yang revolusioner, bukan berarti kehadiran sistem ini menjadi kering dari kontroversi. Gagasan politik Imam Khomaeni ini tidak lepas dari kritikan dikarenakan dua hal. Pertama, sistem wilayat al-faqih hanya dikenal dalam tradisi politik Islam Syi'ah, sedangkan dalam tradisi politik Islam di luar aliran Syi'ah tidak mengenal tradisi tersebut. Misalnya aliran Sunni lebih menerima istilah Khilafah Islamiyah. Namun sebenarnya, perbedaan tersebut hanya dalam istilah, sedangkan subtansinya sama, dua sistem tesebut sama-sama menggunakan idiomidiom agama yang otoriter untuk mengklaim pemerintahan Tuhan (teokrasi). Kedua, sistem wilayat al-faqih masih menjadi perdebatan yang kontroversial dalam lingkup Syi'ah. Hingga saat ini terdapat dua kubu yang menolak. (1) Kubu kiri radikal, dengan alasan sistem wilâyah faqîh telah
memasung
kedaulatan
rakyat
mayoritas
(demokrasi)
dan
melegalkan kekuasaan ulama minoritas. (2) Kubu ulama Syi'ah ortodoks dengan alasan melanggar doktrin politik Syi'ah.69
69
Bagi kalangan ulama Syi'ah ortodoks tidak ada seorang pun yang berhak memegang tampuk kepemimpinan, karena suksesi kepemimpinan adalah otoritas Allah, Nabi dan para imam dua belas yang suci. Umat Islam wajib menunggu kembalinya Muhammad bin al-Hasan (Imam ke dua belas) sebagai Imam Mahdi yang akan memimpin dunia dengan penuh keadilan. Sedangkan bagi kelompok lain, umat Islam diperbolehkan membangun negara dan kepemimpinan diwakilkan kepada seorang faqîh (ulama). M. Guntur Romli, Pemilu Iran dan Dilema Demokrasi Agama, Buletin Tanwirul Afkar, Edisi XIII, 1 April 2004.
148
Ayatullah Kazem Shari`atmadari juga mempersoalkan sistem tersebut. Shari’atmadari menjadi salah satu Mullah yang tidak menyetujui gagasan Khomeini. Ia menilai bahwa revolusi hanya alat untuk menghancurkan rezim diktator dan menggantinya dengan pemerintahan demokratis yang berdasarkan prinsip Islam, bukan membuat pemerintahan baru dengan kedok Islam namun bertangan besi. Menurutnya, revolusi bukanlah sebagai jalan bagi pemerintah untuk memaksakan regulasinya seperti penerapan hukum Islam tafsiran para faqih kedalam wilayah empirik. Dalam wilayah politik, ia menginginkan rakyat berperan aktif dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Ini tentu sangat bertentangan dengan doktrin wilayat alfaqih yang sangat memberikan ruang pada Mullah. Posisi Mullah idealnya sebatas pada pemberian nasehat, arahan dan petunjuk. Dalam spektrum politik negara Iran, Mullah merupakan salah satu kekuatan politik yang paling diperhitungkan. Sama halnya dengan militer di Indonesia. Dominasi Mullah dalam peta politik inilah yang kemudian menjadikan bahasa politik Mullah semakin kental. Hanya saja, kekuatan
ini
suatu
saat
bisa
menelma
sebagai
racun
yang
menghancurkan bingkai moralitas umat Islam. Apa yang dilakukan oleh para Mullah di Iran dalam konteks ini bisa jadi sebagai manifesto Islam sebagai ideologi negara. Islam dijadikan sebagai alat penekan. Dan ini diakui atau tidak memang menjadi senjata yang cukup ampuh, karena ada Tuhan dibelakangnya.
149
Tetapi, justru disinilah muncul point-point enigmatik, terutama yang terkait dengan hak serta kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Shariatmadari yang mempersoalkan sistem pemerintahan ini adalah ulama terkemuka yang moderat dan sangat dihormati rakyat. Tetapi ia lemah dalam berpolitik, terutama tidak berusaha mengorganisasikan kekuatan 'keagamaan'nya sendiri.70 Pandangan Shariatmadari yang lebih moderat dan terbuka, tentu akan dengan sangat mudah dijatuhi tuduhan sebagai produk pemikiran subversif oleh pemerintah Iran. Selayaknya pemikiran moderat, Shariatmadari
tentu
memiliki
pandangan
yang
berbeda
dalam
mencermati permasalahan agama, politik, kebudayaan (menyangkut perbedaan antar etnis, bahasa dan agama) dan kemasyarakatan. Shariatmadari juga bersikap moderat menolak konfrontasi dengan suku bangsa Kurdi, menolak persekusi terhadap kelompok agama Bahaisme, menunjukkan sifat menolong dan melindungi terhadap para pemimpin revolusi.71 Hal yang sama juga dialami oleh Sadek Ghotbzadeh. Ghotbzadeh rupanya berbeda pendapat dengan para mullah yang menghendaki berdirinya negara theokratis dengan pelaksanaan hukum agama yang legal-formalistik.72 Ghotbzadeh, seperti ternyata kemudian tidak
70
Abdurahman Wahid, Ghotbzadeh: Kemalangan Iran, Majalah Tempo, 25 September 1982. Atau bisa juga dilihat dalam http://www.gusdur.net/detail.asp?catName=&contentOID=208. 71 72
Ibid.
Mungkin ia sependapat dengan mereka yang menolak otoritas terlalu mutlak ditangan para mullah, apalagi yang begitu militan seperti pimpinan Partai Republik Islam (PRI). Namun
150
berpandangan seperti itu Kita tidak tahu tepatnya apa yang diinginkannya, tetapi jelas bahwa ia berbeda pendapat dengan para mullah itu. Berbeda dengan keinginan para mullah yang memimpikan satu sistem pemerintahan dengan menjadikan islam sebagai ideologi, Ghotbzadeh justru berpandangan sebaliknya. Kekuasaan yang begitu mutlak bagi Ghotbzadeh adalah trauma, sesuatu yang secara prinsipil harus ditentang, tidak perduli itu berada ditangan Syah Iran yang sekuler maupun para mullah yang theokratis. Pengalaman yang menimpa Shariatmadari, Sadik Ghotbzadeh, Kaum Bahai, Abul Hasan Bani Sadr adalah pengalaman mereka yang terpinggirkan akibat otoritas absolut yang dipraktekan oleh mullah. A. Konsep tentang Otoritas Konsep tentang otoritas ini sengaja penulis paparkan untuk bisa memahami secara filosofis otoritas yang dibangun oleh mullah di Iran. Secara teoritis Khaled M. Abou el Fadl mengungkapkan bahwa otoritas atau wewenang dibedakan menjadi dua, koersif dan persuasif.73 Otoritas yang bersifat koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, jelas bahwa tidak sama pemecahan yang diambil nya menghadapi PRI, bila dibandingkan Bani Sadr. Bani Sadr melarikan diri ke tepat pembuangan di Prancis, bersama pimpinan gerilyawan Mujahidien-e-Khlaq, Massoud Rajavi. Ia menghabiskan waktu dengan membuat pernyataan dan penilaian keadaan bagi mereka yang masih mau mendengarkan, menunggu saat kritis di Iran mencapai titik didih, untuk segera 'dipimpin' dengan pengendalian jarak jauh pada mulanya, dan kembali ke tanah air pada saat yang tepat. Ibid. 73 Khalid M. Abou El Fadl, Speaking in God`s Name: Islamic Law, Authority and Women (terj). R. Cecep Lukman Yasin, “Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif”, Jakarta: Serambi, 2004, hlm.37.
151
mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum. Dengan demikian, seseorang praktis tidak dapat memberikan pilihan lain kecuali menaatinya. Sementara otoritas yang bersifat persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif.74 Sementara dalam terminologi R.B Friedman, sebagaimana dikutip Khalid M. Abou El Fadl, membedakan antara “memangku otoritas (being in authority) dengan “memegang otoritas” (being an authority).75
Menurut
Friedman,
memangku
otoritas
artinya
menduduki jabatan resmi atau struktural yang memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan. Dalam kasus ini tidak dikenal adanya ketundukan atas keputusan pribadi karena seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan orang yang memangku otoritas dan ia tidak memiliki pilihan lain kecuali menaatinya. Singkatnya, kita boleh tidak sependapat dengan sebuah perintah, tapi bagaimanapun kita mengakui otoritas tersebut. Beda halnya dengan konsep memangku otoritas ketaatan terhadap “pemegang otoritas” melibatkan spirit yang berbeda. Di sini, seseorang meninggalkan pendapat pribadinya karena tunduk pada pemegang otoritas yang dipandang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan atau pemahaman yang baik. Pendek kata, ketundukan
74
Kekuasaan yang bersifat normatif tersebut, tidak lain adalah kekuatan untuk meyakinkan perilaku seseorang atas dasar kepercayaan. Ibid. 75
Pada batas-batas tertentu apa yang diungkapkan oleh Friedman ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan konsep otoritas seperti yang dikembangkan oleh El Fadl tentang otoritas koersif dan persuasif.
152
pada orang yang memangku otoritas melibatkan ketundukan kepada jabatan atau kapasitas resmi seseorang tetapi ketundukan pada seseorang yang memegang otoritas melibatkan ketundukan pada seseorang yang dipandang memiliki keahlian khusus. Meski El Fadl mencoba mengemukakan terminologi otoritas yang dikembangkan Friedman, tetapi ia menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan memangku otoritas (being in authority) dalam kacamata Friedman agak sulit diterima. Hal ini disebabkan karena jabatan resmi dan kekuasaan yang dimiliki seesorang yang memangku otoritas tidak selalu bisa diketahui secara jelas.76 Ketundukan seseorang pada sebuah otoritas berarti penyerahan atau pengalihan keputusan untuk menalar dan mengkaji sesuatu yang sebenarnya satu potensi yang dimiliki manusia. Ia telah melepaskan kesempatannya untuk untuk menguji dan memverifikasi makna substantif dari prilaku yang ia akan jalankan. Seseorang yang memiliki otoritas tentu akan semakin kehilangan kepercayaan dari orang lain ketika ia tidak bisa memberikan argumen atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tentunya pertanyaan dan permasalahan yang oleh orang lain dianggap sebagai bagian dari kemampuannya. Dalam hal ini Khaled mencoba memberikan argumentasi nya: ”Saya mengakui otoritas seorang tukang atau dokter. Saya mengakui otoritas mereka karena saya tidak punya waktu, kemauan, atau 76
Khalid M. Abou El Fadl, Ibid., hlm. 42.
153
kemampuan untuk mempelajari ilmu pertukangan atau kedokteran. Lebih jauh lagi, orang lain mungkin mengakui otoritas saya dalam bidang hukum Islam, karena mereka memandang saya lebih berpengalaman dan terpelajar dalam bidang tersebut. Saya tidak memandang bahwa tukang atau dokter saya “memaksakan otoritas” karena secara umum saya memiliki kebebasan untuk mengabaikan saran mereka atau mencari alternatif lain. Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa saya. Demikian pula halnya dengan mereka yang memandang saya otoritatif dalam bidang hukum Islam, saya juga tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa mereka, mereka juga memiliki kebebasan untuk mengabaikan nasihat saya dan atau mencari sumber informasi lain. Namun, saya akan sangat kecewa dengan tukang atau dokter saya jika merek agagal memenuhi keinginan saya untuk memberikan bukti yang memadai tentang tindakan tertentu yang mereka sarankan. Semikian halnya mereka yang memilih berkonsultasi kepada saya tentang hukum Islam tidak akan meras puas jika saya tidak menjelaskan secra memadai penalaran saya tentang sebuah persoalan hukum. Apakah kenyataan bahwa saya mengharapkan penjelasan dari tukang dan dokter itu mengandung arti bahwa saya tidak mengakui otooritas mereka? Atau, apakah kenyataan bahwa klien atau rekan saya berharap dapat menerima bahwa hukum Islam menuntut pelaksanaan sebuah 77 tindakan otoritatif dalam bidang saya?”
Meski ada otoritas yang diakui tetapi ada saat di mana otoritas itu menjadi satu tanda tanya besar. Jika orang yang memiliki otoritas tersebut dapat memberikan jawaban secara benar, maka mereka bisa dikatakan telah menunjukan bahwa ia benar-benar seorang yang otoritatif. Tetapi kalau mereka hanya memberikan arahan tanpa diiringi oleh penjelasan yang diterima oleh nalar, maka hal tersebut menunjukan
kebodohan,
kesombongan,
kebohongan
atau
ketersembunyian motif-motif mereka.78
77 78
Khaled M. Abou El Fadl, Ibid., hlm. 40-41.
Motif-motif yang ada pada diri seseorang bisa dilihat dan ditelusuri beranjak dari model otoritas persuasif. Otoritas persuasif mempengaruhi orang lain untuk bertindak, atu tidak bertindak dengan cara membujuk mereka bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang sudah seharusnya. Ia memengaruhi orang lain untuk percaya bahwa bertindak sesuai dengan arahan tertentu sejalan dengan rasa tanggung jawab pribadi. Dari sini mereka yang menjadi objek otoritas persuasi melakukan sebentuk penalaran yang eksklusif (exclusionary reasons). Penalarna eksklusif mencoba menghilangkan alasan lain yang bisa saja menjadi sebab atau motif dibalik pilihan
154
Basis teoritis inilah yang bisa kita gunakan untuk melihat bagaimana praktek otoritas mullah yang berlangsung di Iran. Dalam hal ini Soroush mengatakan bahwa sistem wilayat al-faqih menjadi semacam antitesa dari fungsi ulama yang sesungguhnya. Soroush mengatakan bahwa ia pernah menulis dua artikel yang menimbulkan kontroversi yakni, “Gallantry and the Clergy” dan “The Roof of Livelihood on the pillar of Religion”.79 Dalam artikel tersebut, Soroush mengatakan bahwa ulama tidak lagi ditentukan oleh pengetahuan atau kebaikannya tetapi lebih banyak ditentukan oleh ketergantungan mereka terhadap agama sebagai mata pencahariannya.80 Hal tersebut yang menimbulkan ketegangan antara Soroush dan ulama. Kasus tersebut menunjukan bahwa mullah di Iran memiliki kekuatan yang absolut dalam menerjemahkan bahasa-bahasa agama dalam konteks keduniaan. Kalau merujuk pada bentuk otoritas yang dikembangkan oleh Khaled M. Abou El Fadl, maka otoritas yang berlangsung di Iran bisa dikatakan sebaga bentuk otoritas persuasif. Rakyat Iran mengakui otoritas mullah sebagai orang yang ahli agama. Tetapi terkadang hal tersebut digunakan untuk menggiring sebuah pemahaman dengan mengandalkan kekuaaan normatif. Hal
terhadap satu hal. Dan ini seringkali terjadi ketika seseorang berhadapan dengan pemegang otoritas. Khaled M. Abou El Fadl, Ibid., hlm. 41. 79
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, hlm.19.
80
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, Ibid.
155
ini yang berimbas pada model ketundukan seseorang yang bertindak tanpa adanya alsan yang dipahaminya dan merasa cukup membenarkan orang lain. Sebuah otoritas akan tetap eksis, ketika otoritas tersebut memiliki hubungan yangkompleks antara pembawa dan pengikut otoritas ini. Dan tiga tingkat analisis yang saling berhubungan yang tampak jelas adalah ideologis, lokasional dan fungsional.81 Ideologis berarti bahwa ikita mengakui otoritas yang sangat ditentukan oleh individu dan lembaga karena keduanya dianggap mencakup dan menjadi contoh dari tatanan moral. Pada sebagian penguasa, mereka memiliki otoritas karena tampak menguasai nilainilai yang diagungkan dan mewakili referensi simbol di masyarakat termasuk teks-teks suci. Lokasional diartikan bahwa dalam dunia Muslim, di mana nilai-nilai dan simbol-simbol bergerak seputar keyakinan rakyat pada sebuah kehadiran transenden tetapi dekat, pelembagaan otoritas suci membuat banyak individu dan kelompok berharap berbicara bagi kehadiran Tuhan. Sementara fungsional bisa juga diartikan bahwa penguasa juga mendapatkan posisi dan pengaruh melalui penampilan sejumlah fungsi. Berbekal simbol
81
utama, mereka mencari bimbingan dan
Dale F. Eckelman dan James Piscatori, Muslim Politics, (terj) Endi Haryono dan Rahmi Yunita, “Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Islam”, Jogjakarta: Tiara Wacana, 1998, hlm. 69.
156
selanjutnya diharapkan mengurangi dan melindungi tempat diskursus dan praktek Islam yang “layak”. Mereka menarik batas-batas karena mereka memiliki otoritas dan dengan bertindak demikian, semakin menguatkan otoritas mereka.82 Satu lagi yang menjadi fokus kritikan Soroush terhadap Ulama, bahwasanya ulama saat ini sudah merangsek terlalu jauh ke dalam wilayah religiusitas umat. Bagi Soroush tak ada seorang pun yang dapat mengintervensi wilayah keimanan seseorang, karena manusia tidak mempunyai kewenangan dalam hal ini. Fenomena bergesernya peran ulama, tak hanya ia temukan dalam literatur Keislaman. Dalam agama Kristen, Soroush juga melihat hal yang sama. Dimana pihak gereja telah merubah keimanan penganutnya dengan melakukan pembakaran terhadap penganut bid’ah serta orang yang meragukan substansi serta peran agamanya. Hans Kung menggambarkan bahwa hal tersebut memiliki korelasi dengan tradisi Katolik yang digodok pada abad pertama Gereja (sekitar tahun 1442) Origen, Cyprian dan Augustine yang biasa dikenal dengan semboyan, extra ecclesian nulla sallus yang berarti “tidak ada keselamatan di luar Gereja”.83 Semboyan inilah yang kemudian menghasilkan rumusan extra ecclesiam nullus propheta. Tidak ada Nabi diluar Gereja. Doktrin ini cukup kuat 82 83
Dale F. Eckelman dan James Piscatori, Ibid., hlm 69-70.
Hans Kung, Christianity and World Religions: Dialogue With Islam, dalam Leonard Swidler (ed), “Toward a Universal Theology of Religion”, New York: Maryknol, 1987, hlm. 195196.
157
dipegang yang pada akhirnya melahirkan ortodoksisme dalam pemahaman keagamaan umat Kristiani. B. Seminary-Univerity Unity Dalam catatan Fazlur Rahman, pendidikan di Iran memiliki riwayat sejarah yang unik bila dibandingkan dengan negara lain seperti halnya Turki atau Mesir. Jika di Turki lembaga pendidikan didukung oleh Pemerintah tetapi berbasis pada tuntutan rakyat serta kontribusi mereka, dan di Mesir ia dibiayai dan didominasi oleh pemerintah dan terpusat pada satu lembaga pelindung tunggal yang massif, maka di Iran, lembaga pendidikan berada di bawah kontrol lembaga ulama yang merdeka dengan dukungan para pedagang dan rakyat pada umumnya.84 Posisi ini yang menyebabkan ulama memiliki keleluasaan dalam mengatur sistem pendidikan. Namun, justru hal ini akan menimbulkan masalah. Dalam pandangan Rahman, masalah yang akan timbul adalah ilmu pengetahuan tradisional dari para ulama membuat
mereka
menjadi
konservatif.85
Dan
juga
bisa
dipertanyakan apakah ulama tersebut bisa lepas dari bayang-bayang pemerintah, bila dilihat begitu kuatnya dominasi ulama dalam pemerintah.
84
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (terj) Ahsin Muhammad, “Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual”, Bandung: Pustaka, 2000, hlm. 124. 85
Fazlur Rahman, Ibid., 125.
158
Institusi
Hauzah
sebagai
lembaga
pendidikan
agama
tradisional, juga menjadi pokok pembicaraan dalam karya Soroush.86 Soroush menyadari betul bahwa hauzah cukup memiliki peran yang signifikan di Iran, terutama pasca revolusi. Di Iran ada dua hauzah yang cukup terkenal yaitu hauzah di Qum dan Najaf. Sementara hauzah lainnya tersebar di penjuru Iran. Namun bisa disebutkan di sini, ada beberapa hauzah yang cukup terkenal selain yang berada di Qum dan Najaf. Yang pertama adalah Hauzah Ihsa’. Ihsa-` adalah salah satu pusat Syi’ah tertua yang terletak di Saudi Arabia Timur, tepatnya di sebelah barat Teluk Persia. Pusat kotanya adalah Hufu-f. Agama Islam telah berakar di daerah tersebut sejak agama itu berkembang di semenanjung Saudi Arabia. Salah seorang utusan Rasulullah SAW yang bernama Al-‘Ala` bin Al-Khadhrami memiliki peran besar dalam menyebarkan Islam di sana. Masjid kedua setelah masjid An-Nabi SAW dalam sejarah Islam yang bernama masjid Abdul Qais terletak di daerah itu. Seluruh penduduk Ihsa-` memeluk agama Islam dan setengah dari mereka bermazhab Syi’ah. Banyak ulama Syi’ah lahir dari daerah ini yang telah berjasa mengembangkan Syi’ah. Di antaranya, Ahmad bin Fahd, Ibnu Abi Jumhur, Syeikh Ahmad Al-Ihsa-`i-.
86
Lihat dalam Bab “What the University Expects from the Hawzeh” dalam bukunya Reason, Freedom And Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush.
159
Sampai sekarang seluruh urusan pengadilan kota Ihsa-` yang berhubungan dengan para pemeluk mazhab Syi’ah dipegang oleh seorang penganut Syi’ah yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Yang kedua adalah Hauzah Isfahan. Hauzah Isfahan dibangun pada masa kejayaan dinasti A-li Buyeh (abad ke 4-5 H.) ketika Abu Ja’far Ala`udaulah Kakuwaeh menjadi penguasa di Isfahan, Iran. Yang ketiga adalah Hauzah Tabriz. Perkembangan Hauzah Tabriz dapat dibagi ke dalam lima periode: a. Periode pertama ini dimulai dari abad ke-4 hingga abad ke-5 H. Hamzah bin Abdul Aziz yang dikenal dengan nama Sallar AdDailami hidup pada abad ini. Terdapat dua faktor yang menyebabkan mazhab Syi’ah berkembang di Tabriz pada periode ini: pertama, adanya para keturunan Imam Ali a.s. yang getol berjuang melawan ketidakadilan, dan kedua, kegiatan tabligh Abul Qasim Ja’far bin Ali yang mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Isma’iliyah. b.
Periode kedua dimulai dari abad ke-6 hingga abad ke-7 H.
Periode ini adalah periode kevakuman ilmiah di hauzah Tabriz akibat serangan bangsa Mongol atas Iran. c. Periode ketiga ini dimulai dari akhir abad ke-7 hingga awal abad ke-10 H. Dengan kesiapan bangsa Mongol untuk menerima mazhab Syi’ah, mazhab ini memiliki kesempatan yang baik untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi, kesempatan itu tidak
160
berlangsung lama. Dengan berkuasanya bangsa Timor atas Iran, kesempatan itu sirna kembali. d. Periode keempat ini dimulai dari masa berkuasanya dinasti Shafawiyah (awal abad ke-10 H.) hingga runtuhnya dinasti Qajar (akhir abad ke-13 H.). Pada periode ini, para pengikut Syi’ah memiliki kebebasan mutlak untuk melaksanakan semua ritual mazhab tanpa harus takut dari siapa pun. Banyak sekolah agama yang dibangun pada periode ini. Di antaranya, Madrasah Thalibiyah, Madrasah Shadiqiyah, Madrasah Shafawiyah, Madrasah Haji Shafar Ali, Madrasah Haji Ali Ashghar dan Madrasah Mirza Ali Akbar. Para ulama kaliber yang hidup pada periode ini antara lain Mirza Uwais At-Tabrizi, Husein Al-Karbala`i, pengarang buku ArRaudha-t fi- Maza-ra-t Tabri-z, Zainal Abidin At-Tabrizi, Abdul Baqi At-Tabrizi, Abdul Wahhab At-Tabrizi, Mirza Qaim At-Tabrizi, Khojah Jalaluddin Muhammad At-Tabrizi, Syeikh Maula Ahmad At-Tabrizi (wafat 1271 H.), Syeikh Haji Mirza Baqir Mujtahid (wafat 1285 H.), Mirza Muhammad Taqi Qadhi At-Tabrizi (wafat 1276 H.), Syeikh Mirza Hasan Aqa At-Tabrizi (wafat 1338 H.), Haji Mirza Muhammad Hasan Zinuri At-Tabrizi (wafat 1310 H.), Mirza Haidar Ali Aliyari (wafat 1310 H.), Haji Mirza Ali At-Tabrizi (wafat 1248 H.), Sayid Ali Sayidul Hukama-` Al-Husaeini AlMar’asyi (wafat 1316 H.), Haji Maula Ali Aliyari (wafat 1327 H.) dan Haji Mirza Musa At-Tabrizi (wafat 1307 H.).
161
e. Periode kelima ini dimulai dari abad ke-14 H. hingga abad ke-15 H. Abad ini adalah puncak kegemilangan hauzah Tabriz. Para ulama yang hidup pada periode ini antara lain Ayatullah Mirza Ridha AtTabrizi (lahir 1294 H.), Ayatullah Mirza Abul Hasan Angji (wafat 1357 H.), Ayatullah Sayid Mahdi Angji, Ayatullah Mirza Abdul Husein Al-Gharawi (lahir 1328 H.), Ayatullah Sayid Ahmad Khosrou-shahi (lahir 1266 H.), Ayatullah Mirza Muhammad Ali Qadhi At-Thababa`i (lahir 1333 H.), Ayatullah Sayid Ibrahim Davazei (1313-1381 H.), Ayatullah Sayid Murtadha Khosrou-shahi (lahir 1299 H.), Ayatullah Sayid Abul Fadhl Khosrou-shahi (lahir 1320 H.), Ayatullah Mirza Shadiq Qorreh-daghi (1351-1374 H.), Ayatullah Sayid Hujjat Al-Irawani (wafat 1354 H.), Ayatullah Abdul Majid Al-Irawani (1313-1371 H.) dan Ayatullah Haji Syeikh Ridha At-Tauhidi (lahir 1332 H). Yang keempat adalah Hauzah Tehran. Perkembangan Hauzah Tehran dapat dibagi ke dalam tiga periode: a. Periode pertama ini adalah periode dibangunnya Hauzah Tehran. Periode ini kembali ke masa dinasti Shafawiyah. Karena sebelum masa itu, Tehran tidak lebih dari sebuah desa yang terpencil. Setelah bangsa Mongol menyerang kota Rei yang pada waktu itu termasuk salah satu kota besar di Iran, para penduduk banyak yang mengungsi ke desa-desa sekitar, termasuk Tehran. Sejak saat itu, desa Tehran mulai didiami oleh penduduk dan semakin hari pendudukny
162
semakin padat. Hal inilah yang menyebabkan banyak sekolahsekolah agama dibangun di desa terpencil tersebut. b. Pada periode kedua ini, kebudayaan dan pemikiran Barat mulai menjamah
Tehran.
Dengan
menyusupnya
kebudayaan
dan
pemikiran yang membawa ajaran pembebasan diri dari ajaran-ajara agama tersebut, banyak para pemikir yang berdatangan ke kota Tehran dalam rangka meng-counter semua impor negara-negara Barat tersebut. Di antara para pemikir Islam yang pernah giat melakukan hal itu adalah sebagai berikut: - Mulla Abdullah Zinuri yang datang ke Tehran atas permintaan Muhammad Husein Khan Al-Marvi Al-Hakim An-Nuri. Ia mengajarkan filsafat Islam, dan dengan demikian, pusat ilmu filsafat berpindah dari kota Isfahan ke kota Tehran - Muhammad Ridha Al-Hakim Qomshei, seorang filsof dan ‘arif yang telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir untuk mengajar di Madrasah Shadr. - Mirza Abul Hasan Jelveh, seorang filsof yang telah menghabiskan seluruh usianya untuk mengajar filsafat di Tehran. Setelah masa mereka berlalu, proyek yang telah mereka bina tersebut diteruskan oleh murid-murid mereka. Di antaranya, Mirza Hasyim Al-Eshkevari Ar-Rasyti, Mirza Hasan Al-Kermanshahi, Mirza Ayhabuddin At-Tabrizi As-Syirazi, Mirza Ali Akbar AlYazdi Al-Qomi, Syeikh Haji Abdun Nabi An-Nuri dan Mulla
163
Muhammad Al-Hidaji Az-Zanjani. Setelah mereka, muncul generasi baru yang melanjutkan missi pengembangan ilmu filsafat. Di antaranya, Ayatullah Mirza Muhammad Ali Syahabadi, Ayatullah Syeikh Muhammad Taqi Amuli, Ayatullah Mirza Ahmad Asytiyani, Ayatullah Sayid Abul Hasan Rafi’i Qazvini, Syeikh Muhammad Husein Fadhil Tuni, Sayid Muhammad Kazhim ‘Asshar, Allamah Mirza Abul Hasan Sya’rani dan Allamah Mirza Mahdi Ilahi Qomsyei.
Meskipun
mereka
sedikit
banyak
telah
mampu
menanggulangi arus pemikiran filsafat Barat, akan tetapi dengan berkuasanya rezim Pahlevi yang semakin getol memusuhi Islam dengan metode modern diperlukan satu metode baru untuk menanggulangi
arus
baru
tersebut.
Muncullah
tokoh-tokoh
pembaharu seperti Ayatullah Muthahhari, Dr. Muhammad Jawad Bahonar, Dr. Muhammad Mufattih, Dr. Sayid Muhammad Huseini Baheshti, Allamah Muhammad Taqi Ja’fari, Ustadz Jalaluddin Huma`i dan Allamah Mirza Mahdi Ilahi Qomshei. Dengan menyusup di tengah dunia universitas, mereka telah berusaha untuk menanggulangi arus deras pemikiran Bara tersebut. Dan mereka bisa dibilang berhasil dalam hal itu. c. Periode ketiga ini dimulai dari kemenangan Revolusi Islam Iran hingga kini. Banyak pusat pendidikan Islam yang dibangun pada periode dengan tujuan membentuk para pemikir ulung, seperti
164
Madrasah
Syahid
Muthahhari
dan
Hauzah
Ilmiah
Syahid
Syahabadi.87 Menurut Soroush, hauzah merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas terbentuknya karakter Ulama yang otoniter. Tak hanya itu, hauzah dalam pandangan Soroush, telah menjadikan ilmu pengetahuan sedemikian eksklusif dengan ditutupnya suara knitis pada muridnya. Mungkin hal inilah yang menjadi alasan Soroush untuk lebih memilih berkecimpung di Universitas yang 87
Selain kelima hauzah yang penulis sebutkan di atas ada satu hauzah yang berkedudukan di Spanyol yakni Hauzah Andalusia. Hauzah Andalusia dibangun pada masa berkuasanya dinasti Syi’ah Fathimiyah di Mesir (abad ke 4 H.). Di antara ulama besar yang pernah berkecimpung dalam mengembangkan hauzah tersebut adalah Syeikh Abul Abbas Ahmad (440 H.), Syeikh Abu Abdillah Muhammad, Syeikh Abul Khattab Umar dan Syeikh Abdullah bin Abu Bakar Al-Balansi Al-Andalusi. Selain di Spanyol juga banyak terdapat hauzah di Irak seperti Hauzah Bashrah dan Hauzah Baghdad. Hauzah Basrah. Perkembangan Hauzah Bashrah dapat dibagi ke dalam tiga periode: 1.
Periode ini kembali kepada masa para imam ma’shum a.s. dan sahabat Rasulullah SAWW. Hauzah Bashrah pada masa itu karena banyaknya para sahabat Rasulullah SAWW dan imam ma’shum a.s. yang hafal hadis, menjadi sebuah pusat hadis di dalam dunia Islam.
2.
Periode kedua hauzah Bashrah dimulai dari abad ke-4 hingga ke-7 H. Karena hauzah ini terletak di tempat para peziarah berlalu-lalang menuju Makkah, ia mendapat perhatian para ilmuwan dan mereka dapat mengenal ilmu-ilmu Ahlul Bayt a.s. Di antara ulama kaliber pada abad itu adalah Syarif Abu Thalib Muzhaffar bin Ja’far bin Muzhaffar Al-Alawi AsSamarqabdi Al-Bashri, Muhammad bin Amr bin Ali Al-Bashri, Syeikh An-Najasyi.
3.
Periode ini dimulai dari abad ke-10 H, hingga hari ini.
Sementara Hauzah Baghdad adalah hauzah pertama Syi’ah yang menggabungkan dua ajaran filsafat-kalam dan ilmu fiqih. Hauzah ini memulai kegiatannya pada masa keimamahan Imam Muhammad Al-Jawad a.s. Banyak para pemikir kaliber yang telah muncul pada masa ini. Di antara ulama yang pernah berkecimpung di hauzah Baghdad dan tumbuh berkembang menjadi tulang-punggung Syi’ah sampai saat ini adalah : 1.
Tsiqatul Islam Syeikh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini (wafat 329 H.), penulis buku Al-Ka-fi-. Pada masa Al-Muqtadir billah ia memgang tampuk kepemimpinan Syi’ah di seluruh dunia.
2.
Syeikhul Masya-yekh Abu Abdillah Muhammad (wafat 413 H.) yang lebih dikenal dengan Syeikh Mufid. Ia adalah salah seorang teolog dan faqih kaliber yang memiliki ratusan murid yang pernah belajar darinya.
3.
Syarif Murtadha Alamulhuda (wafat 436 H.).
4.
Syeikh Abu Ja’far Muhammad At-Thusi (wafat 460 H.). Selengkapnya tentang fenomena hauzah lihat dalam http://www.al-shia.com/html/id/orgs/hoze.htm.
165
lebih mengedepankan sikap kritis, dibanding Hauzah yang sekedar menuntut kepatuhan dari murid-muridnya.88 Dalam posisinya tersebut, Soroush menekankan pentingnya desakralisasi terhadap beberapa ilmu pengetahuan keaagamaan (ma’rifat al din) yang berkembang dalam masyarakat manusia. Meskipun agama itu adalah hal yang sakral, namun penafsiran terhadapnya tidaklah sakral. Sehingga dalam penafsiran dapat dikritik, divenifikasi, dimodifikasi serta di definiskan kembali. Ini didasarkan atas pengalaman yang menimpa Hauzah dimana institusi tersebut melakukan pensakralan terhadap ilmu-ilmu agama.89 Ini terjadi karena di Hauzah, pola ketundukan dan kepatuhan pada ulama di sana sedemikian besar. Di hauzah, komitmen apriori murid dan guru terhdaap teks orisinil dan sumbersumber sakral menghilangkan kritisisme dan keragu-raguan. Mungkin saja seseorang bertanya dan seseskali menolak pendapat seorang professor dalam bidang fiqih, tetapi jika argumen didasarkan pada isi yang jelas dari hadit yang berkaitan dengan sumber-sumber sakral yang mapan, maka tertutuplah pintu kritisisme dan kasus (baca: perdebatan) akan segera ditutup.90
88
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush, hlm. 171-183. 89
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, hlm.172.
90
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, Ibid.
166
Kelemahan lain dari Hauzah menurut Soroush adalah aksesnya terhadap kekuasaan.91 Dan hal ini bukanlah satu hal yang perlu diperinci lebih lanjut. Secara faktual, gelombang revolusi pada 1979 telah memberi peluang kepada ulama untuk mengambil alih manajemen kenegaraan dan memformulasikan teori politik tentang pemerintahan. Hal inilah yang menjadikan membuka kesempatan bagi ulama hauzah dengan kedudukan ahli hukum yang agung untuk menjadi pemimpin tertinggi negara.
92
Karena pemerintahan Iran
didasarkan atas agama, maka ikatan antara Hauzah dan pusat kekuasaan menjadi organic dan cukup kuat, dan pemberi keputusan akhir pada setiap urusan kenegaraan. Hauzah, dengan demikian memiliki pergeseran orientasi. Hauzah justru menjadi semacam lembaga yang memiliki tugas untuk menyiapkan ulama yang akan menjadi penguasa. Begitu halnya dengan ilmu yang diajarkan di Hauzah. Disiplin tersebut diajarkan dan dipelajari bukan untuk melayani kepentingan masyarakat
(dalam
artian
untuk
memecahkan
persoalan
kemasyarakatan), tetapi justru untuk memperkuat posisi ulama dalam pemerintahan. Dengan nada yang agak sinis, Soroush mengatakan bahwa “The clergy become judges and occupy seats of power; representatives of the supreme jusrisconsult (wali faqih) gain supremacy over the laity and are singularly sanctified 91
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, Ibid., hlm. 174.
92
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, Ibid.
167
without suffering the slings and arrows of media scrutiny that afflict everyone else”93. Meski Soroush memberikan kritik tajam terhadap institusi Hauzah, tetapi Soroush menyadari betul bahwa institusi pendidikan ini telah menjadi bagian dari sub budaya Iran.94 Maka penyelesaian terhadap setiap persoalan yang terkait dengan warisan budaya Iran, juga harus melalui kompromi dari setiap unsur yang ada dan telah memberikan kontribusi bagi tumbuh dan berkembangnya budaya di Iran. Wujud dari kompromi tersebut adalah satu gagasan yang oleh Soroush disebut sebagai “The cultural revolution” atau revolusi kultural yang tercermin dalam ‘seminary-university unity”.95 Makna sederhana dari proses ini adalah resolusi dari pertarungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Pertarungan ini dapat dipecahkan
93
Terjemahan bebas teks ini, “Ulama (Hauzah) menjadi hakim dan berkesempatan menduduki (kursi) kekuasaan; mewakili pemimpin hukum tertinggi (wali faqih) mendapatkan supremasi lebih dari rakyat biasa dan disucikan luar biasa tanpa mendapatkan ketapel dan panah media dengan cermat yang biasa menimpa setiap orang. Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam, Ibid., hlm. 174. 94
Soroush mengatakan bahwa ia dan Intelektual lainnya mewarisi tiga budaya yaitu budaya nasional, Agama dan Barat. Selain memelihara budaya nasional, masyarakat Iran juga terbenam dalam budaya nasional dan di saat yang sama tidak bisa menghindari gelombang yang datang dari Barat. Karenanya ketika ada persoalan maka solusi harus dicarikan dengan mempertimbangkan tiga warisan tersebut. Soroush berujar, “whatever solutions that we divine for our problems must come from this mixed heritage to which our contemporary social thinkers, reformers and modernizers have been heirs often seeking the salvation of our people in the hegemony of one of these cultures over the other two”. Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, hlm. 156. 95 Abdul Karim Soroush, The Story of Cultural Revolution: Right to the End They Didn`t Know Where They Were Meant to Be Going, op.cit.
168
melalui kerja keras para sarjana, bukan seorang politisi atau praktisi.96 Dalam pandangan Soroush, universitas merupakan perwujudan (embodiment), sumber dan kreator dari pengetahuan modern. Sementara universitas adalah embodiment dan sumber dari pemikiran dan pengajaran keagamaan tradisional. Karenanya upaya memadukan agama dan modernitas dalam konteks (institusi) pendidikan adalah dengan terlebih dahulu “mendamaikan” antara seminary (hauzah) dan universitas. Apa yang dilakukan oleh Soroush inilah yang barangkali oleh Valla Vakilli disebut sebagai usaha untuk menciptakan kondisi kondisi yang diperlukan sebagai manifestasi dari pengembangan pemahaman keagamaan ini.97
155.
96
Ibid.
97
Valla Vakilli, Abdolkarim Soroush and Critical Discourse in Iran, op.cit, hlm. 154-