Bab III Pemahaman Para Pendeta Jemaat di Klasis Pulau Ambon terhadap Konflik Ambon
1. Pendahuluan Berdasarkan rumusan masalah dari penulisan ini, maka penelitian bertempat di Ambon. Pada umumnya, konflik yang berlangsung dalam beberapa tahun itu, tidak hanya terjadi dalam lingkungan jemaat Klasis Pulau Ambon saja, tetapi terjadi pula dalam jemaat dari klasis lainnya seperti Klasis Kota Ambon. Namun, Klasis Pulau Ambon yang dipilih sebagai bagian pokok dalam penelitian ini. Klasis Pulau Ambon merupakan salah satu klasis dari sekian banyak klasis yang terhimpun dalam sinode Gereja Protestan Maluku. Karena merupakan bagian yang tidak terlepas dari sinode GPM, maka Klasis Pulau Ambon termasuk para pendeta jemaatnya pun mempunyai kaitan dengan sinode terutama dalam hal keputusankeputusan yang diambil. Oleh karena itu, dalam memaparkan tentang pemahaman para pendeta jemaat tentang konflik Ambon, penting untuk menggambarkan tentang Gereja Protestan Maluku dan Klasis Pulau Ambon, dengan terlebih dahulu menggambarkan tentang keadaan wilayah Maluku secara umum. Setelah itu, dengan memperhatikan tujuan dari penulisan ini, maka dipaparkan mengenai pemahaman yang diperoleh dari para pendeta jemaat terkait konflik yang terjadi pada tahun 1999 sampai 2004 itu, bagaimana hingga konflik ini dapat menjadi sebuah pukulan yang amat keras bagi masyarakat umum Maluku terkhususnya warga gereja di pulau Ambon, yang tidak hanya mengundang perhatian setiap orang di dalam negri Indonesia tetapi juga orang-orang yang berada di luar Indonesia. Dari pemahaman-pemahaman yang diberikan ini maka dapat dikaitkan dengan tujuan dari penulisan yaitu apakah konflik ini merupakan
36
sebuah perang ataukah tidak. Selain itu, dijelaskan pula pemahaman para pendeta jemaat tentang konflik yang didalamnya warga gereja berdasarkan pertanyaanpertanyaan terkait urutan prinsip just war.
2. Gambaran Maluku Secara Umum 2.1 Orientasi Wilayah Maluku adalah salah satu propinsi di bagian Timur Indonesia. Menurut letak astronomis, maka wilayah provinsi Maluku terletak antara 2 030 ' 90 Lintang Selatan dan 1240-1360 Bujur Timur. Batas Wilayah propinsi Maluku sebagai berikut :1 -
Sebelah utara berbatasan dengan Laut Seram
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafuru
-
Sebelah timur berbatasan dengan Pulau Irian
-
Sebelah barat berbatasan dengan Pulau Sulawesi Pada Bulan oktober 1999, Provinsi Maluku terbagi menjadi dua Propinsi,
yaitu Propinsi Maluku Utara dan Propinsi Maluku. Propinsi Maluku memiliki sembilan Kabupaten dan dua kota yakni Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Buru Selatan, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Ambon dan Tual. Propinsi Maluku memiliki luas 721.480 km yang sebagian besarnya merupakan lautan dan luas daratan hanya sekitar 46. 914, 03 km atau 2,46% dari luas daratan Indonesia. Pulau terbesarnya yaitu Seram dengan luas 18.625
1
Badan Pusat Statistik Maluku. http://maluku.bps.go.id/flipbook/publikasi/statistik%20daerah-2011/files/search/searchtext.xml diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 08.00 WIB
37
km. Ibu kota Propinsi Maluku adalah Ambon.2 2.2 Penduduk Penduduk Ambon asli datang dari Pulau Seram Bagian Tengah – yang lebih dikenal dengan “Nunusaku”. Pulau Seram sering disebut dengan “Nusa Ina” yang artinya “Pulau Ibu” bagi masyarakat Ambon, yang didalamnya terdapat dua suku berbeda yaitu Alune dan Wemale. Orang Alune dan orang Wemale dianggap sebagai penduduk asli Pulau Seram dan dari sanalah kemudian menyebar ke pulau-pulau sekitarnya terutama di Maluku Tengah. Terdapat juga sebutan untuk orang Ambon yaitu “Alifuru.” 3 Ketika berlangsung pemerintahan Kolonial Belanda di pulau ini, maka Pulau Ambon dan sekitarnya (wilayah budaya Ambon) terbagi atas negeri-negeri. Negeri adalah unit administrasi setara dengan desa, yang ditetapkan selama masa pemerintahan kolonial Belanda, merupakan identitas yang sangat penting bagi orang Ambon. 4 Dari nama keluarga, masyarakat dapat mengenali Negeri mereka. Jumlah penduduk dalam propinsi Maluku dapat dilihat dalam beberapa tahun yaitu pada tahun 1990 berjumlah 1.857,8 (ribu) kemudian mengalami penurunan pada tahun 2000 yang berjumlah 1166,3, tahun 2006 berjumlah 1.283,4 dan pada tahun 2010 berjumlah 1.533,5 dengan diantaranya sekitar 26.000 jiwa berada di pusat kota, Ambon.5
2 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Statistical Yearbook of Indonesia 2012 (Jakarta: BPS Indonesia, 2012),3 3 J. Melalatoa. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A—K (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995) 4 Marwati Djoened Poepoenegoro. Sejarah Nasional Indonesia IV, Kemunculan Penjajahan di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 179 5 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia….,71
38
2.3 Sistem Sosial-Budaya Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, terdapat hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA.”6 PELA adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama. Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minum darah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu.7
2.4 Agama Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan ketika terjadi perdagangan rempah-rempah 6
Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Maluku, Perwujudan Pela dalam Kehidupan Sosial Budaya Maluku(Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996),13 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. 1977/1978, hlm 27
39
pada abad ke-16. Begitu pun agama Islam yang sebelumnya telah ada di wilayah Maluku karena pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam.8 Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, pemeluk agama di Maluku adalah sebagai berikut. Penduduk beragama Islam berjumlah 776 130 jiwa (50,61%), Kristen Protestan 634 841 jiwa (41,40%), Katolik 103 629 jiwa (6,76%), Hindu 5669 jiwa (0,37%), Budha 259 jiwa (0,02%), Kong Hu Chu 117 jiwa (0,01%) dan lainnya 6278 (0,41%). Daerah dengan penganut agama Islam terbanyak berada di Kabupaten Maluku Tengah, sedangkan penganut agama Kristen Protestan terbanyak berada di kota Ambon. 9 Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama konflik yang terjadi beberapa kali di daerah ini.
3. Gambaran Gereja Protestan Maluku dan Klasis Pulau Ambon 3.1 Gereja Protestan Maluku Gereja Protestan Maluku (GPM) memiliki sejarah yang dimulai ketika diadakan ibadah perdana Gereja Protestan Calvinis oleh orang-orang Belanda dalam hal ini para pegawai VOC di kota Ambon pada tanggal 27 Februari 1605. Gereja ini terus berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas selama masa VOC kemudian pada masa pemerintahan Hindia Belanda dilayani oleh Gereja Protestan di Indonesia dan Nederlanse Zendeling Genotschaap (NZG). Sampai pada tahun 1930, daerah pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku (Maluku tengah, Maluku Tenggara, Maluku 8
Th. Van der End. Ragi Carita 1, Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),36 9 Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku. http://sp2010.badanpusatstatistik.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=8100000000 diunduh tanggal 17 Oktober 2012 pukul 06.05 WIB
40
Tenggara Barat dan Kepulauan Aru) dengan jumlah anggota sekitar 190.000. Pada tiga dekade pertama abad XX, tenaga-tenaganya telah dikirim untuk melayani ke daerah lain, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur.10 Memasuki paruhan pertama abad XX, terjadi dua perkembangan yang mencolok yakni dalam lingkungan GPM dan dalam masyarakat Indonesia. Dalam lingkungan GPM, terjadi persiapan untuk memandirikan wilayahwilayah pelayanan sesuai penerapan sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap Gereja, sedangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia, tumbuh kesadaran nasionalisme yang intens dan kesadaran ini merembes masuk ke dalam Gereja di Maluku. Kedua perkembangan ini kemudian bermuara pada pembentukan Gereja Protestan Maluku pada 6 September 1935.11 Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai hari kelahiran GPM. Sejak berdirinya, GPM diperhadapkan dengan masa transisi yang dimulai dengan
Perang
Dunia
II
(1942-1945),
kemudian
disusul
dengan
pemberontakan RMS pada tahun 1950 dan PERMESTA pada tahun 1958, yang semuanya disamping menimbulkan kehancuran material dan merenggut banyak nyawa manusia. Di lingkungan GPM sendiri, terjadi krisis berkepanjangan terutama di bidang kepemimpinan, organisasi dan keuangan disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh nilai-nilai lama (peninggalan kolonialisme dan agama suku). Sadar akan tantangan dan kesulitan yang dihadapi di satu sisi dan panggilan misinya yang harus diemban pada sisi lain, maka dikeluarkannya Pesan Tobat dalam sinode tahun 1960. Isinya menyangkut pengakuan seluruh warga GPM bahwa walaupun terdapat sejumlah kesulitan dan kesalahan yang dilakukan, namun penyertaan Tuhan 10
Diperoleh dari Bagian dokumentasi Sinode, Sejarah Singkat Gereja Protestan Maluku, pada tanggal 19 September 2012. 11 ibid.
41
senantiasa dirasakan. Bagi GPM, pesan ini merupakan wujud pembaruan diri dan sekaligus merupakan landasan bagi pembaruan Gereja secara menyeluruh demi peningkatan tugas pelayanan dan kesaksiannya di tengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia ke depan.12 Kini GPM memiliki 732 jemaat yang tergabung dalam 25 klasis, yaitu Ternate, Bacan, Pp. Sula, p. Obi, Buru Utara, Buru Selatan, Seram Utara, Taniwel, Seram Barat, Kairatu, Masohi, Telutih, Seram Timur, Lease, Kota Ambon, Pulau Ambon, Banda, Kei Kecil, Kei Besar, Pp. Aru, Tanimbar Utara, Tanimbar Selatan, Babar, Pp. Kisar dan Leti Moa Lakor. Jemaat-jemaat berada di daerah Buru, Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat dan Maluku Utara,13 atau membentang dari Propinsi Maluku (Kabupaten Maluku Utara Bara Daya) sampai ke Propinsi Maluku Utara dan kantor sinode GPM berkedudukan di kota Ambon.14 3.2 Klasis Pulau Ambon Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, klasis Pulau Ambon merupakan salah satu klasis dari banyaknya klasis yang ada di dalam lingkup sinode Gereja Protestan Maluku (GPM). Pelayanan di dalam klasis Pulau Ambon mencakup sejumlah jemaat yang dapat dimasukan sebagai berikut: Jemaat Soya, Jemaat Tuni, Jemaat Mahia, Jemaat Kusu-Kusu Sereh, Jemaat Rehoboth, Jemaat Eden, Jemaat Sinar, Jemaat Kezia, Jemaat Bukit Zaitun, Jemaat Pancaran Kasih, Jemaat Nehemia, Jemaat Imanuel OSM, Jemaat Pniel Bentas, Jemaat Bethesda, Jemaat Amahusu, Jemaat Erie, Jemaat Seilale, Jemaat Latuhalat, Jemaat Waimahu, Jemaat Air Louw, Jemaat Seri, Jemaat 12
ibid. PPGI. http://profilgereja.wordpress.com/category/maluku/ diunduh pada tanggal 25 September 2012 pukul 17:04 WIB 14 Dokumentasi video Selayang Pandang Pelayanan Perempuan Klasis Pulau Ambon, diperoleh dari Bagian Sekretariat Klasi Pulau Ambon pada tanggal 19 September 2012 13
42
Pandan Kasturi, Jemaat Galala-Hatiwe Kecil, Jemaat Hallong, Jemaat Mahanaim, Jemaat Latta, Jemaat Lateri, Jemaat Fajar Pengharapan, Jemaat Passo, Jemaat Benteng Karang, Jemaat Gideon Wayari, Jemaat Baitrafa Suli, Jemaat Kabeth, Jemaat Tial, Jemaat Larike, Jemaat Waai, Jemaat Toisapu, Jemaat Hutumuri, Jemaat Rutong, Jemaat Leahari, Jemaat Hukurila, Jemaat Ema, Jemaat Kilang, Jemaat Naku, Jemaat Hatalai, Jemaat Negeri Lama, Jemaat Nania, Jemaat Waiheru, Jemaat Hunut Durian Patah, Jemaat Poka, Jemaat Rumah Tiga, Jemaat Wayame, Jemaat Souhuru, Jemaat Hatiwe Besar, Jemaat Palungan Kasih, Jemaat Hila, Jemaat Tawiri, Jemaat Laha, Jemaat Air Manis, Jemaat Hattu, Jemaat Liliboy, dan Jemaat Alang.15 Keenam puluh dua jemaat ini termasuk dalam wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon yang tersebar di delapan wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Salahutu (kabupaten Maluku Tengah), kecamatan Leihitu (kabupaten Maluku Tengah), kecamatan Leihitu Barat (kabupaten Maluku Tengah), kecamatan Sirimau (kota Ambon), kecamatan Nusaniwe (kota Ambon), kecamatan Leitimor Selatan (kota Ambon), kecamatan Baguala (kota Ambon) dan kecamatan Teluk Ambon (kota Ambon) yang dapat pula dilihat dalam peta pulau Ambon sebagai berikut.16
15
Data diperolah dari Sekretariat kantor Klasis Pulau Ambon, pada tanggal 7 September 2012 ibid.
16
43
Dalam 62 jemaat yang dimiliki sekarang ini pula, Klasis Pulau mempunyai 123 pendeta organik, 68 pendeta non-organik dan 192 yang emeritus.17 Jumlah jiwa sekarang ini dalam jemaat-jemaat yang tergabung di dalam Klasis Pulau Ambon adalah 139.829 jiwa, dengan terhitung laki-laki berjumlah 64.710 jiwa dan perempuan berjumlah 66.099 jiwa.18 Kantor klasis pulau Ambon sekarang berkedudukan di Batu Gantung, Ambon.
4. Pemahaman Pendeta Jemaat terhadap Konflik Ambon dikaitkan dengan Perang 4.1 Gambaran awal Konflik Ambon, 19 Januari 1999 Berbicara mengenai konflik di Ambon, menurut Sahalessy sebelum tanggal 19 Januari sudah terjadi perseteruan-perseteruan kecil, salah satunya yaitu yang terjadi di Wailette pada 13 Desember 1998, yang mengakibatkan pembakaran rumah-rumah orang BBM (Bugis, Buton dan Makasar). Namun, 19 Januari inilah yang merupakan gambaran naiknya konflik ke permukaan,19 yang awalnya dikejutkan dengan berita pertikaian 2 pemuda di kawasan Batu Merah, salah satunya seorang Kristen Aboru bernama Jacob Leuhery (Yopi) yang karena perselisihan kecil dengan seorang yang beragama Muslim bernama Nusalin bin Kadir, yang “patah uang” atau meminta uang dua kali kepada Yopi yang bekerja sebagai supir angkot. Karena belum mempunyai uang untuk diberikan, maka ia diancam dengan pisau yang diarahkan ke lehernya. Oleh karena marah dengan perlakuan yang diberikan padanya, maka Yopi pulang ke rumahnya dan mengambil parang dan memburu pelaku yang 17
Data 1 tentang Pelayan Struktural/Fungsional, diperoleh dari Sekretariat kantor Klasis Pulau Ambon, pada tanggal 7 September 2012 18 Data 2 tentang Jumlah Jiwa, diperoleh dari Sekretariat kantor Klasis Pulau Ambon, pada tanggal 7 September 2012 19 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. J. Sahalessy
44
meminta uang darinya di terminal yang disinggahi tadi. Namun, tidak didapatinya karena Nursalin telah melarikan diri, sehingga ia kembali ke rumahnya. Dari peritiwa ini secara tiba-tiba sekitar lima menit kemudian (sekitar pukul 15.10 WIT), sekitar 350 orang dari kampung Batu Merah yang beragama Islam melakukan pembakaran rumah warga jemaat di Batu Merah Dalam yang sebagian besar orang Kristen (yang juga merupakan tempat tinggal Yopi).20 Setelah melakukan hal tersebut, kembali lagi dengan jumlah yang lebih banyak sekitar lebih dari 700 orang, mereka menyerang daerah Mardika yang seluruh warganya beragama Kristen. Karena warga gereja di Mardika tidak mngetahui dan tidak ada persiapan untuk menghadapi penyerangan ini, maka penyerang dapat dengan mudah menguasai daerah Mardika dengan membakar dan merusakan rumah-rumah dan alat kendaraan yang ada, memukul seorang tua yang tidak dapat melarikan diri, Benny Maruanaja dan membunuh empat orang di daerah ini. 21 Pada saat pembakaran dan pengrusakan terjadi di Mardika, tiba-tiba juga terjadi pembakaran dan penjarahan terhadap 12 rumah di daerah Silale termasuk juga gedung gereja Sumber Kasih.22 Seperti warga gereja di Mardika, warga gereja yang rumahnya dibakar ini pun tidak mengetahui penyebab penyerangan dan persiapan terhadap penyerangan tersebut sehingga yang dilakukan saat itu adalah lari dan menyelamatkan diri. Setelah mendengar tentang peristiwa tersebut, maka sejumlah warga gereja terkhususnya laki-laki dari Kudamati dan lainnya menuju Mardika dan Silale, namun dicegah oleh warga Islam di Kampung Baringin, sehingga terjadi 20
Tim Pengacara Gereja, Gambaran Kerusuhan di Kotamadya Ambon Mulai Tanggal 19 Januari (Ambon, 1999),1-2 21 ibid., 3 22 Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman Berbagai Peristiwa Kerusuhan di Ambon, Sanana (Maluku Utara) dan Piru Seram Barat (Ambon,1999),1
45
perkelahian antarmasa, dengan saling melempar batu di sekitar daerah tersebut. Konflik yang terjadi pada 19 Januari bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, yang oleh komunitas Muslim menyebutnya dengan Idul Fitri berdarah. Dari munculnya peristiwa ini pada 19
Januari maka mulailah terjadi
penyerangan yang dilakukan secara tiba-tiba dan berkelanjutan pada daerahdaerah yang ditinggali oleh orang Kristen (warga gereja), sehingga meledaklah sebuah konflik yang besar, yang didalamnya pun warga gereja harus bertindak menghadapi konflik yang terjadi.23
4.2 Pemahaman Pendeta jemaat tentang konflik Ambon dan Perang Setiap pendeta terkhususnya dalam Klasis Pulau Ambon yang bersama dengan jemaatnya mengalami konflik, mempunyai sudut pandangnya masingmasing dalam memahami tentang konflik yang terjadi di Ambon dan pengertian sebuah perang. Begitupun jika dihubungkan apakah konflik ini dapat disebut sebagai sebuah perang atau tidak. Dari pemahaman yang diberikan tersebut, maka dapat dikategorikan dalam dua bagian pernyataan yaitu pertama, konflik Ambon bukanlah sebuah perang dan kedua, konflik Ambon merupakan perang. Pernyataan yang menegaskan bahwa konflik Ambon ini merupakan perang ataupun tidak, berdasarkan pemahaman mereka tentang perang, yang dijelaskan sebagai berikut. a.
Konflik Ambon Bukanlah Perang Dari enam belas pendeta jemaat yang diwawancarai, hanya seorang pendeta yang menyatakan bahwa konflik di Ambon ini bukanlah perang. Dikatakannya :
23
Hasil wawancara tanggal 12 September dengan Pdt. Aponno
46
Perilaku manusia dalam konflik yang terjadi di Ambon ini merupakan perilaku yang jahat. Namun konflik yang terjadi tidaklah sampai pada pandangan sebagai sebuah perang dan juga bukan suatu perang agama, tetapi lebih pada miss-understanding atau miss-communication, antara dua komunitas. Konflik mengakibatkan kerugian bagi warga gereja karena adanya provokator yang ikut membuat “panas keadaan” atau membuat kedua komunitas saling bermusuhan. Namun, terlalu tajam jika dikatakan bahwa konflik ini merupakan sebuah perang, karena perang merupakan peristiwa kekerasan yang besar, sedangkan yang terjadi di Ambon merupakan kekerasan akibat permainan politik dan peran provokator.24
b.
Konflik Ambon adalah Perang Lima belas dari enam belas pendeta yang menjadi narasumber menyatakan bahwa konflik yang terjadi pada tahun 1999 sampai 2004 merupakan sebuah perang. Seorang pendeta yang diwawancara, mengatakan, “Saya bukanlah seorang yang ahli dalam hal perang, namun jika dipetakan antara konflik yang kecil dan konflik besar yaitu perang, maka konflik yang terjadi di Ambon merupakan sebuah perang.25 Pendeta lainnya, Sobagio, yang mengalami konflik di Buru dan kembali mengalami konflik di Ambon ketika mengungsi di Amahusu, mengatakan bahwa konflik yang terjadi di Ambon maupun yang terjadi di tempat asal mereka sebelumnya di Buru merupakan sebuah perang. Mengapa hal ini yang dikatakan, karena konflik ini tidak hanya terjadi antara warga setempat tetapi juga dalam skala nasional dan yang terlibat pun bukan hanya di dalam pulau ini saja tetapi juga di luarnya.26 Alasan lain yang muncul terhadap pernyataan ini, yaitu bahwa adanya ancaman yang timbul dari penyerang warga gereja yang diserang saat itu.27 Hal ini pun sama dengan pernyataan Jambormias yang mengatakan bahwa konflik Ambon pada faktanya merupakan sebuah perang karena “ada orang yang
24
Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Persulessy 26 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 27 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 25
47
menyerang katong dan katong bereaksi” (ada pihak yang menyerang kami dan kami bereaksi).28 Pendeta lain mengatakan bahwa konflik Ambon merupakan sebuah konflik yang sudah terkonspirasi. Orang Kristen merupakan korban dari konflik yang sudah dirancang dengan cantik ini, walau tidak diketahui secara pasti siapa yang merancang ini. Adanya konspirasi ini membuat orang Maluku menjadi hancur dengan menggunakan agama sebagai alatnya.29 Bahkan menurut Sahalessy, sebenarnya tidak ada perang yang terjadi di Ambon tetapi diciptakan dengan sengaja untuk terjadi perang. Senjata-senjata, mortir dan lainnya dipersiapkan dan dibawa ke Ambon oleh pihak-pihak yang merencanakan, sehingga melalui penyerangan yang dilakukan dengan senjata-senjata itu konflik kecil tiba-tiba menjadi besar, maka terpaksa perang terjadi.30 Dari hal ini pun, maka konflik Ambon ini dapat dimasukan dalam perang, karena melibatkan beribu-ribu orang yang ikut terlibat31 dan banyaknya korban yang “jatuh” bukan hanya dari yang beragama Kristen tetapi juga agama yang lainnya serta banyaknya orang yang harus mengungsi dari tempat tinggalnya ke daerah-daerah yang dianggap aman baik dalam pulau Ambon maupun di luar pulau ini.32 Bahkan seorang pendeta yang pada pada saat konflik menjabat sebagai bendahara Klasis Pulau Ambon menekankan bahwa konflik Ambon ini merupakan perang, bahkan “prang yang batul-batul prang, bukang konflik kacil” (perang yang benar-benar perang bukan hanya konflik kecil).33 28
Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 30 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. J. Sahalessy 31 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 32 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. A. E Rumthe 33 Hasil wawancara tanggal 11 September dengan Pdt. Nahumury 29
48
Konflik ini memang masuk melalui jalur agama, yang jika dilihat, tidak seperti konflik-konflik sebelumnya yang sering terjadi di Ambon yang melibatkan kekerasan antara satu desa dengan desa lainnya. Konflik yang terjadi antar-desa atau antar-kampung ini dapat dengan cepat selesai,34 seperti halnya konflik antara warga Batu Merah dan Mardika, yang sebelumnya sering terjadi tetapi pada keesokan harinya dapat damai kembali.35 Berbeda dengan konflik-konflik tersebut, dalam konflik yang terjadi pada tahun 1999 ini, agamalah yang dipakai sebagai alat karena agama merupakan hal yang sangat sensitif yang dapat memancing emosi siapa saja, 36 seperti yang dikatakan sebelumnya oleh Sobagio dan Tanamal. Karena adanya penggunaan atribut keagamaan didalamnya, perang ini juga disebut sebagai perang antara komunitas agama yang menggunakan istilah “acang dan obet.” 37 Ditambah dengan persiapan yang dilakukan oleh orang-orang dari pihak sebelah (penyerang) yang telah menempatkan dirinya dengan alat-alat perang dan datangnya laskar jihat ke Ambon (yang telah diajarkan sebelumnya untuk berperang), maka dapatlah dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Ambon termasuk sebuah perang.38
Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Latuey Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. Leleury 36 Hasil wawancara tanggal 11 September dengan Pdt. Nahumury 37 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 38 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio dan 12 September dengan Pdt. 34 35
Aponno.
49
4.3 Penyerangan yang Dilakukan Terhadap Warga Gereja Perang ini dimulai dengan penyerangan-penyerangan yang dilakukan terlebih dahulu oleh pihak penyerang yaitu warga Muslim. 39 Umumnya, konflik ini pecah pertama kalinya di Batu merah dan Mardika, sedangkan dalam lingkup daerah klasis pulau Ambon, awalnya konflik terjadi di daerah Benteng Karang. Menurut Balubun, penyerangan di daerah Benteng Karang dilakukan mungkin disebabkan oleh adanya informasi bahwa Mesjid Alfatah (Mesjid Agung di Ambon) telah dibakar oleh umat Kristen, karena itu masa dari Wakal, Hila Islam dan Hitu bersatu menyerang atau mungkin karena telah direncanakan sebelumnya untuk melakukannya setelah dilakukan penyerangan di bagian kota. 40 Perencanaan ini dicurigai ketika anggota gereja melihat bahwa sebelum dilakukan pembakaran, terdapat pasukan yang datang dengan menggunakan truk untuk mengangkut barang-barang milik warga gereja. Setelah dari Benteng Karang, penyerangan juga dilakukan terhadap warga jemaat Hila termasuk membunuh para pemuda dan pendeta yang mengikuti Bible Camp di sekitar Hila.41 Pada hari yang sama, para penyerang yang berjumlah ribuan orang datang ke daerah Hunut yang ditinggali oleh warga gereja dan masuk menjarah dan membakar rumah-rumah warga gereja termasuk membakar seorang lansia yang berada di dalam rumahnya. Begitu juga dengan penyerangan warga gereja Pandan Kasturi di Galunggung yang menyebabkan pembataian dan pembakaran rumah.42 Setelah tanggal 20 Januari 1999, para penyerang turun dari Hitu menyerang menuju arah ke Passo dan bagian kota tetapi tidak dapat 39
Hasil Wawancara dengan semua pendeta jemaat yang menjadi narasumber, dari tanggal 720 September. 40 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Balubun 41 ibid. 42 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe
50
melewati Passo karena tertahan oleh para pemuda daerah Passo yang saat itu tidak membiarkan mereka melalui daerah mereka. Akibat dari tidak dapat melewati daerah Passo menuju kota, maka mereka mulai menyerang daerah yang telah dilalui sebelumnya termasuk Nania dan Negeri Lama.43 Ketika mereka kembali melalui Negeri Lama, maka warga jemaat di daerah ini diserang, semua rumah dibakar termasuk gedung gereja yang berada di tepi jalan, walaupun sebelumnya juga telah dilemparkan bom ke daerah ini ketika para penyerang menuju Passo dan kota.44 Sama seperti yang terjadi di Negeri Lama, penyerang pun membakar dan menghancurkan rumah-rumah di Nania, termasuk membakar gedung gereja dan membunuh seorang pendeta yang sedang berdoa di dalam gereja.45
4.4 Tindakan Warga Gereja Terhadap Penyerangan Ketika pihak Muslim menyerang pada 19 dan 20 Januari, para pendeta jemaat yang termasuk dalam Klasis Pulau Ambon sedang mengadakan sidang Klasis Pulau Ambon di jemaat Lateri. Oleh karena itu, Leleury mengatakan bahwa para pendeta tidak mengetahui sama sekali tentang penyerangan yang dilakukan oleh warga Muslim. Karena jika pun tahu, pastilah para pendeta tidak datang mengikuti sidang ini tetapi bersama jemaat menghadapi penyerangan yang dilakukan.46 Pada tanggal 20 Januari, setelah didengar bahwa warga gereja di Benteng Karang, Hila, Hunut, Negeri Lama dan Nania telah diserang, sebuah Masjid di
43
Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Pelupessy Hasil wawancara tanggal 11 September dengan Pdt. Nahumury 45 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Pelupessy 46 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt Leleury 44
51
daerah warga gereja di Batu Gajah dibakar.47 Selain itu, ketika penyerang kembali mengumpulkan masanya di Waihaong dan Silale, maka terdapat sejumlah pemuda gereja secara pribadi kemudian melakukan perlawanan yang mengakibatkan rumah-rumah warga Islam termasuk beberapa rumah anggota gereja dan sebuah Masjid terbakar di Kampung Baringin.48 Dengan melihat konflik yang berkecamuk ini, keputusan yang diambil pendeta jemaat adalah menghimbau agar jemaat berdoa dan bertahan. Hal ini seperti dikatakan Jambormias, para pendeta tetap meminta Tuhan melalui doa bersama untuk menjaga dan menopang mereka dalam upaya menjaga hidup bersama jemaat di dalam daerahnya.49 Namun, dengan penyerangan dan kondisi yang mengancam dari waktu ke waktu, membuat warga gereja semakin tertekan secara fisik dan psikis. Situasi ini kemudian yang mendesak warga gereja di Ambon mengambil tindakan untuk melindungi diri dengan mengungsi dan juga dengan tetap bertahan.50 Pertahanan ini dimulai oleh anggota jemaat dengan membuat senjata antara lain parang, tombak, panah-panah waer dan senjata rakitan yang dibuat oleh anggota jemaat sendiri dari besi, korek api dan lainnya.51 Senjata-senjata ini tidak lain hanya sebagai alat untuk membendung penyerangan yang dilakukan, sehingga penyerang tidak dapat begitu saja “menghabisi” warga jemaat, seperti yang telah dilakukan pada awal penyerangan. Selain itu, dilakukan pula pertahanan pada daerah-daerah yang berbatasan dengan daerah penyerang dan yang menjadi daerah penyerangan. Pertahanan dilakukan termasuk oleh pendeta jemaat, bapa raja yang ada dan anggota jemaat laki 47
Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman Berbagai Peristiwa Kerusuhan…., 1 Ibid., 2 49 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 50 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 51 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 48
52
laki52 dan terdapat pula pendeta yang harus mengkoordinir semua warganya namun tidak diajarkan untuk menyerang.53 Pertahanan yang dilakukan oleh warga gereja secara lebih lengkap dijelaskan dalam bahasan di bawah ini.
5. Konflik Ambon Berdasarkan Prinsip-Prinsip Just War Jus ad Bellum (Sebelum Perang) 5.1 Alasan yang Adil Perang ini diawali dengan penyerangan-penyerangan yang dilakukan terlebih dahulu oleh pihak penyerang yaitu warga Muslim secara tiba-tiba terhadap warga gereja.54 Penyerangan dalam 2 minggu akhir di bulan Januari ini terjadi di beberapa tempat yaitu di Benteng Karang, Hunut, Hila, Nania dan Negeri Lama, seperti yang dijelaskan dalam bagian 4.1. Setelah konflik berkobar di daerah-daerah yang disebutkan, pada bulan selanjutnya warga gereja Kezia di Kebun Cengkih dan di Waai pun mengalami hal yang sama. Penyerangan terhadap warga gereja di Kebun Cengkih dimulai pada tanggal 23 Februari oleh warga Muslim yang tinggal di dalam satu daerah perumahan. Penyerangan dilakukan dengan membakar rumah-rumah dan dilakukan pembantaian terhadap beberapa warga gereja, rumah-rumah warga gereja yang tidak ditinggali karena lari mengungsi juga dijarah dan dibakar semuanya. 55 Padahal, ketika jemaat Batu Merah dan Benteng Karang diserang, ada upaya damai yang dilakukan di Kebun Cengkih pada tanggal 22 Januari, yang melibatkan pendeta jemaat, majelis, tokohtokoh agama Islam dan masyarakat baik Islam dan Kristen, dengan berdoa 52
Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 54 Hasil Wawancara dengan semua pendeta jemaat yang menjadi narasumber, dari tanggal 720 September. 55 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe 53
53
bersama di perempatan jalan Kebun Cengkih yang bertujuan untuk membuat keadaan damai kembali namun usaha ini gagal karena mereka juga diserang.56 Penyerangan di negri Waai terjadi pada tanggal 23-26 Februari 1999 dan yang menyerangnya adalah desa-desa tetangga (kampung Tulehu, Pelau, Hitu dan lainnya yang beragama Islam) yang tanpa diketahui penyebab diserang.57 Jika dihitung, desa Waai ini telah diserang berkali-kali, baik yang mau dihitung sebagai penyerangan yang besar maupun percobaan penyerangan yang kecil, yang terjadi pada tanggal 23 Februari 1999 dan terus berlanjut, begitu sampai pada bulan Mei 2000.58 Kemudian penyerangan pada tanggal 6 Juli merupakan penyerangan yang sangat menghancurkan sehingga jemaat bersama pendeta jemaat lari ke hutan. Dari 6 Juli ketika “negri jatuh”, sampai 31 Juli pendeta dan jemaat yang tersisa tetap berada dan menyusuri hutan. Namun, pada tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus, penyerang masuk ke dalam hutan dan tetap menyerang. Oleh karena itu pada tanggal 1, jemaat terus berjalan dan hingga tiba di Suli.59 Penyerangan terus berlanjut terhadap warga gereja termasuk di Galala yang ketika itu penyerang menyerang dengan menembakan peluru pada 17 pemuda dan membakar mereka dalam sebuah garasi dan menembak pula 7 orang pemuda yang berada di sekitar gereja serta membakar gereja dan rumah-rumah disekitarnya.60 Keadaan semakin sulit dengan datangnya laskar jihat dari luar pulau Ambon pada tahun 2001 yang ternyata bukan untuk menciptakan keadaan yang damai sebaliknya berusaha untuk menyerang daerah-daerah
Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 58 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 59 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 60 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 56 57
54
yang dihuni oleh warga gereja dengan perlengkapan senjata yang lengkap dan canggih.61 Dari penyerangan yang dilakukan telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi warga gereja, maka sebagian warga gereja memutuskan untuk mengungsi 62 sedangkan warga gereja yang laki-laki dengan sendirinya memutuskan untuk bersama-sama mulai melakukan pertahanan terhadap penyerangan yang dilakukan yang mempunyai maksud untuk melindungi dan mempertahankan hidup. Inilah yang dianggap sebagai alasan mengapa warga gereja harus mengambil tindakan untuk ikut dalam perang ini. Dilihat dari prinsip alasan yang adil dalam just war, perang yang terjadi di Ambon ini mempunyai kaitan dengan prinsip alasan yang adil, perang dilakukan ketika sudah dilakukan penyerangan yang lebih dahulu.
63
Penyerangan yang dilakukan lebih awal ini telah mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit termasuk diambilnya hak-hak baik hak untuk hidup maupun hak milik atas harta yang dimiliki.64
5.2 Otoritas yang berwenang (sah) Di dalam konflik yang terjadi di Ambon ini, Maskikit menganggap tidak ada seseorang pun yang memiliki wewenang menyatakan perang, karena secara spontan warga gereja saat itu mengambil tindakan membela diri.65 Hal ini pula yang dinyatakan oleh beberapa pendeta lain bahwa tidak ada yang mempunyai wewenang untuk menyatakan perang dan sahnya keterlibatan
Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan Hasil wawancara tanggal 9 Se ptember dengan Pdt. Ch. Tanamal dan 7 September dengan Pdt. R. Rumthe 63 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War(Amerika: Praegar Publisher, 1981), 16 64 ibid., 27 65 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit 61 62
55
warga gereja dalam perang ini, karena warga gereja hanya berusaha untuk menghadapi
perang
yang
terjadi
secara
bersama-sama
baik
untuk
mempertahankan diri maupun untuk membalas. 66 Namun, berdasarkan kenyataan bahwa penyerangan telah dilakukan lebih dulu dan yang menjadi korban penyerangan saat itu adalah warga gereja, maka menurut Timisela, warga gereja atau kelompok masyarakat yang menjadi korbanlah yang menyatakan perang, walaupun pernyataan ini tidak dilakukan secara resmi tetapi terlihat dengan tindakan yang diambil oleh warga gereja termasuk pendeta untuk bertahan.67 Selain itu, Tanamal mengatakan bahwa pendeta jemaat dan sinode tidak mengeluarkan pernyataan untuk maju berperang karena gereja (GPM) pun tidak mempunyai aturan terkait menghadapi perang, bahkan tidak disediakan anggaran untuk warga gereja berperang.68 Karena yang selama ini diajarkan di dalam gereja hanyalah perang rohani yaitu bagaimana melawan kuasa iblis dalam kehidupan manusia.69 Oleh karena itu, yang disampaikan oleh sinode dan pendeta adalah berdoa dan bertahan untuk melindungi diri serta melarang untuk menyerang. Larangan untuk menyerang ini terlihat dengan adanya pernyataan ketua sindode kepada warga gereja untuk tidak menyerang dan membakar masjid Agung Alfatah, yang disebabkan beredarnya isu-isu yang mengatakan bahwa gereja pusat Maranatha telah terbakar (faktanya tidak), sehingga membuat banyak warga gereja berniat maju untuk membakar Masjid Alfatah. Karena jika hal ini dilakukan maka walaupun mayoritas orang
66
Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe, 10 September dengan Pdt. Latuey dan 12 September dengan Pdt. Aponno 67 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Timisela 68 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt Ch. Tanamal 69 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt Leleury
56
Ambon adalah orang Kristen, tetapi dengan banyaknya TNI yang menggunakan senjata lengkap dapat saja “menghabisi” semua orang Kristen.70 Dalam konflik yang terus menimbulkan ancaman, keputusan yang diambil pendeta jemaat menghimbau agar jemaat tidak keluar dari daerah. Hal ini yang dilakukan oleh Akyuwen bahwa sebagai kewaspadaan, warga jemaat tidak boleh berpergian ke daerah luar dari daerah jemaat seperti tidak boleh melewati batas sungai Airwaai. Prinsip yang dipegang yaitu tidak boleh mencari masalah, karena jika seorang dari anggota gereja masuk ke daerah orang lain itu mungkin saja dinilai dari pihak lain sebagai suatu niat yang jahat.71 Menurut Sobagio, dengan situasi dan keadaan yang seperti ini maka pendeta jemaat yang dapat mempunyai tugas untuk menyatakan tindakan yang harus diambil oleh warga gereja saat itu, yaitu bertahan.72 Pertahanan dan pembelaan diri ini dilakukan secara spontan tidak teroganisir sebelumnya.73 Ketika pertahanan dilakukan secara bersama-sama ini tidak pernyataan untuk menyerang lebih dahulu tetapi terdapat pernyataan umum untuk bertahan dan menyerang jika telah diserang.74 Tetapi karena diserang oleh banyaknya penyerang maka adapun pendeta meminta jemaat dan bersama jemaat meninggalkan daerahnya dan mengungsi,75 seperti juga yang dilakukan jemaat Waai yang lari ke hutan, dan pendeta jemaatlah yang memimpin dalam hutan tersebut. Maksud memimpin di sini pula yaitu sebagai pelayan Tuhan, berdoa dan meminta pimpinan 70
Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt Tanamal Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 72 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 73 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. Leleury 74 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit 75 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Timisela 71
57
Tuhan sampai bisa keluar dari hutan dan tiba di daerah Suli yang merupakan penduduknya beragama Kristen.76 Hal yang sama juga terjadi di jemaat Hunut, atas informasi pendeta jemaat kepada sinode, maka ketua sinode bekerja sama dengan pangdam yang menjabat saat itu, sehingga para warga jemaat yang sekitar 80% sedang mengungsi di aula tentara di Waiheru dijemput dengan spit-spit yang dikirim, karena saat itu, mobil-mobil yang diusahakan untuk menjemput mereka tidak dapat menuju Waiheru untuk menjemput karena ditahan diperbatasan. Warga jemaat berangkat dengan spit dan landen saat itu kira-kira jam 5 sore, walau ketika itu terdapat tembakan-tembakan yang mengikuti belakang landen menuju lateri.
77
Namun, dalam situasi
penyerangan yang dilakukan, ada pula pendeta jemaat yang tidak mendapat komunikasi sinode. Tetapi terdapat hubungan dengan klasis pulau Ambon yang diwakili ketuanya, Pdt. Leleury yang menanyakan keadaan yang dialami oleh warga gereja, sehingga memberi keputusan untuk bersama jemaat mengungsi.78 Dari pemahaman para pendeta di atas, berkaitan dengan otoritas dalam menyatakan perang dari pihak warga gereja, terdapat beberapa perbedaan yakni dianggap bahwa perang yang mengakibatkan warga gereja ikut didalamnya secara spontan dari diri pribadi warga gereja, tidak digerakkan sebelumnya oleh pendeta jemaat maupun sinode. Namun, di sisi lain, terdapat pemahaman bahwa pendeta jemaat yang mempunyai otoritas yang menyatakan kepada anggota gerejanya untuk bertahan dan membela diri. Hal inilah yang mempunyai hubungan dengan prinsip otoritas yang tepat dalam 76
Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 78 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe 77
58
just war, yang menyatakan bahwa perang harus dilaksanakan dalam perintah otoritas publik yang tepat.79
5.3 Tujuan yang benar Dari penyerangan yang telah mengakibatkan kerugian besar bagi warga gereja, Tanamal mengatakan bahwa warga gereja terkhususnya pendeta dan anggota laki-laki, pun mengambil tindakan untuk membela diri.80 Pembelaan diri ini tidak mempunyai tujuan untuk menyerang warga Muslim, tetapi hanya untuk mempertahankan hidup. 81 Tujuan untuk bertahan ini pun agar para penyerang berhenti untuk melakukan penyerangan terhadap kami (warga gereja).82 Karena hidup yang diberikan oleh Tuhan, tidak bisa direbut begitu saja oleh orang lain, yang secara jelas dikatakan oleh Sobagio seperti berikut:83 “sebagai pendeta, beta seng mengajarkan untuk membunuh, tetapi bagaimana katong harus mempertahankan hidup yang merupakan anugerah Tuhan ini melalui apa yang Tuhan berikan termasuk kekuatan yang ada pada diri. Yang namanya anugerah Tuhan itu haruslah dijaga dan dipertahankan, sehingga seng mungkin orang datang lalu ambil secara ekstra-ekstra bagitu saja. Jadi, dalam perang ini, ketika ada orang yang datang mau bunuh katorang, secara otomatis, katong harus pertahankan hidup dengan membunuh. Tapi memang seng diajarkan untuk membunuh.”
Lopulalan juga mengatakan bahwa Gereja tidak mengajarkan umat untuk membunuh, tetapi kita tidak pula membiarkan diri untuk dibunuh. Ketika ada yang menyerang, tidak mungkin kita membiarkan diri untuk mati begitu saja. 84 Hal ini sama dengan pernyataan Akyuwen bahwa sesungguhnya pendeta menghimbau untuk tidak membunuh, tetapi ditengah 79
William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War….,17 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 81 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Latuey 82 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 83 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 84 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 80
59
situasi dan kondisi yang tertekan dan mendesak, ketika penyerang telah masuk dalam daerah warga gereja, maka mau tak mau harus juga mempertahankan diri termasuk membunuh. 85 Berkaitan dengan hal ini, Maskikit menyatakan bahwa sebenarnya warga gereja tidak mempunyai tujuan dalam berperang karena yang melakukan penyerangan awal bahkan yang merancang tentang perang ini bukanlah warga gereja, tetapi tindakan yang diambil hanya merupakan cara untuk melindungi diri dan tidak membiarkan lebih banyak anggota gereja menjadi korban.86 Dalam bagian ini, dapat disimpulkan bahwa warga gereja tidak mempunyai tujuan apa-apa berperang, namun dengan adanya dasar bahwa hidup merupakan anugerah Tuhan maka ikut sertanya warga gereja untuk bertahan di dalam perang sebagai reaksi terhadap penyerangan mempunyai tujuan untuk menjaga hidup yang telah diberikan oleh Tuhan, baik itu hidup dari diri sendiri maupun sebagai bentuk perlindungan terhadap anggota gereja lainnya. Tujuan ini mempunyai kaitan dengan prinsip tujuan yang benar dalam just war, menghindari kehancuran yang lebih besar dan untuk menghentikan perang sehingga damai dapat dirasakan kembali.
5.4 Kesebandingan Tanamal mengatakan untuk menghindari penyerangan yang lebih besar lagi, anggota jemaat mulai membuat senjata antara lain parang, tombak, panah-panah dan senjata rakitan yang dibuat oleh anggota jemaat sendiri dari besi, korek api dan lainnya. 87 Senjata-senjata ini tidak lain hanya sebagai alat untuk membendung penyerangan yang dilakukan, sehingga 85 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 86 87
Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal
60
penyerang tidak dapat begitu saja “menghabisi” warga jemaat, seperti yang telah dilakukan pada awal penyerangan. Namun, ketika penyerangan awal itu dilakukan, warga gereja tidak membuat pertemuan ataupun pembicaraan mengenai perhitungan apa saja yang dirugikan dan jumlah kerugian yang dialami tersebut. 88 Kerugian yang dialami hanya dibicarakan dalam percakapan biasa antar-orang terutama yang oleh anggota gereja yang mengalami kerugian.89 Namun, ketika itu terdapat Pusat Komunikasi dan Informasi yang mencatat kerugian yang dialami oleh warga gereja,90 seperti akibat dari penyerangan awal (dalam jangka waktu 10 hari dari tanggal 1929 Januari 1999) telah mengakibatkan banyak kerugian diantaranya :91 Korban yang meninggal
: 72 orang (yang beberapanya adalah pendeta yang dibunuh dalam gedung Gereja Hanwele, seorang ibu hamil yang dibelah perutnya dan janinnya ditusuk, serta pembunuhan beberapa pemuda yang pergi untuk Bible Camp di sekitar Hila).
Korban luka (ditembak dan dibantai): 39 orang Gereja dan Pastori yang dibakar dan dirusak: 9 gereja dan 4 pastori (beberapanya yaitu Gereja Hila, Gereja Hanwele,
Gereja
Maranatha
Negeri
Lama dan 3 Gereja di Benteng Karang).
88
Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A. E. Rumthe, 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal, 10 September dengan Pdt. Timisela dan 19 September dengan Pdt. Maskikit 89 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A. E. Rumthe 90 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. Leleury 91 Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman berbagai peristiwa kerusuhan di Ambon, Sanana dan Piru Seram Barat (Ambon, 1999)
61
Rumah yang dibakar dan dirusak : 681 rumah dibakar dan 96 rumah dirusak (hanya pada daerah Benteng Karang, Hunut, Waiheru, Nania dan Negeri Lama) Dari hasil yang diperoleh dalam bagian ini dapat disimpulkan bahwa gereja maupun anggota gereja ketika perang berlangsung tidak membuat perhitungan kerugian yang dialami oleh warga gereja yang menjadi korban perang. Namun, sama dengan prinsip sebanding dalam just war yaitu bahwa warga gereja mulai membuat senjata agar tidak diserang seperti penyerangan awal yang telah mengakibatkan kerugian besar bagi warga gereja, karena jika dilihat dalam data kerugian dalam 1 minggu awal penyerangan, besar kerugian yang telah dialami warga gereja.
5.5 Usaha Akhir Balubun mengatakan bahwa sebenarnya sebelum penyerangan awal yang dilakukan oleh pihak Muslim, terlihat hubungan antara Islam-Kristen yang baik-baik saja, sehingga tidak perjanjian ataupun perundingan damai yang dilakukan sebelumnya.92 Namun, ketika awal diserang di jemaat Batu Merah dan Benteng Karang, ada beberapa upaya yang dilakukan, seperti yang dilakukan di Kebun Cengkih pada tanggal 22 Januari, yang melibatkan pendeta jemaat, majelis, tokoh-tokoh agama Islam dan masyarakat baik Islam dan Kristen, dengan berdoa bersama di perempatan Kebun Cengkih yang bertujuan untuk membuat keadaan damai kembali.93 Begitu juga terdapat udaha damai yang diprakarsai oleh pemuka agama 92 93
Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Balubun Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe
62
Kristen dan Islam di Ahuru/Air Besar.94 Namun ternyata upaya tersebut tidak dapat memadamkan penyerang untuk melakukan penyerangan terusmenerus terhadap wilayah yang ditinggali oleh warga gereja. Selain dari pada itu, di beberapa daerah lain, warga jemaat tidak dapat melakukan usaha damai, karena penyerangan yang dilakukan itu seperti mimpi, diserang tiba-tiba95 dan ketika telah diserang, aparat keamanan melarang untuk bertemu dan berhadapan muka dengan warga Islam, seperti di daerah Hunut dan Nania, sehingga upaya untuk bertemu dan berdamai tidak dilakukan.96 Begitu pun yang terjadi di Waai, tidak ada komunikasi dengan warga Muslim karena akibat penyerangan yang dilakukan maka jaringan telepon putus dan dikawal oleh aparat jika pergi ke tempat lain.97 Selama perang terjadi terdapat usaha damai yang dilakukan seperti pembentukan tim Safari Perdamaian dan upaya damai di lapangan Merdeka yang dihadiri oleh Wiranto namun usaha yang dilakukan demi perdamaian tersebut tetap gagal karena pada keesokan harinya terdapat penyerangan yang dilakukan.98 Melalui hasil pemahaman dalam bagian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat usaha damai yang dilakukan oleh warga gereja bersama dengan para tokoh agama Islam seperti di Kebun Cengkih maupun yang dilakukan oleh pemerintah namun usaha ini pun gagal. Akibat gagalnya usaha damai yang terlihat dengan penyerangan yang tetap dilakukan terhadap warga gereja maka pembelaan dilakukan sebagai usaha akhir jika dikaitkan dengan prinsip dalam just war. 94
Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman Berbagai Peristiwa Kerusuhan ….,1 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 96 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Persulessy 97 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 98 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe 95
63
5.6 Kemungkinan Keberhasilan Dalam menghindari kerugian yang lebih besar lagi akibat penyerangan yang dilakukan oleh penyerang, Akyuwen mengatakan bahwa anggota gereja mulai melakukan pertahanan dengan membuat senjata rakitan dan hal ini dilakukan oleh semua anggota gereja yang ikut serta untuk membela diri. Namun, alat-alat senjata yang dibuat oleh anggota jemaat bukanlah tumpuan untuk menang. Seperti yang dikatakan Akyuwen, Maskikit pun mengatakan hal yang sama bahwa tidak ada target untuk kemenangan yang diinginkan oleh warga jemaat yang ikut bertahan, karena yang diinginkan adalah penyerang menghentikan penyerangan dan kedamaian dapat tercipta kembali. 99 Hanya satu faktor kemungkinan keberhasilan yaitu dengan pertahanan yang dilakukan itu, Tuhan akan menumbuhkan hikmat dan kebijakan sehingga kami boleh selamat.100 Lopulalan mengatakan, ketika diketahui bahwa penyerang menggunakan senjata organik seperti yang digunakan oleh aparat, maka timbul ketakutan yang tidak bisa disembunyikan dalam diri warga gereja. 101 Oleh karena itu, selain pertahanan yang dilakukan, pendampingan dan doa setiap malam dilakukan oleh pendeta dan anggota gereja, karena hanya ada harapan bahwa Tuhanlah yang dapat menyelamatkan kami.102 Dari pemahaman yang diberikan ini, maka dapat dilihat bahwa ketika pertahanan akan dilakukan oleh warga gereja, tidak ada pemikiran untuk berhasil dalam perang ini, tidak seperti dalam prinsip just war. Pertahanan 99
ibid. Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 101 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 102 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 100
64
dan pembelaan diri yang dilakukan tidak berdasar pada perhitungan kerugian yang dialami, tetapi secara spontan dilakukan dengan bergantung pada Tuhan bahwa Ia yang akan menjaga mereka.
Jus in Bello (Selama Perang Berlangsung) 5.7 Kesebandingan Selama perang berlangsung, strategi yang digunakan adalah bertahan dan melindungi diri, hal ini dinyatakan oleh sebagian besar para pendeta jemaat. Dalam pulau ini, terdapat beberapa daerah pusat pertahanan di sekitar daerah yang dianggap perbatasan yang diantaranya yaitu, di Galala, Passo, Karpan, Amahusu, Batu Gantung dan Kudamati.
103
Dalam
pertahanan tersebut, ada yang dilakukan secara bersama-sama, adapula dikoordinir oleh pendeta (seperti di Waai) dan juga orang dianggap dapat mengatur kelompok untuk bertahan (seperti Agus Wattimena dan lainnya). 104 Dilihat dari penggunaan alat selama perang dari pihak penyerang dan warga gereja yang bertahan, terdapat perbedaan yaitu penyerang menggunakan alat-alat berupa panah-panah waer, parang, senjata rakitan, basoka, senjata organik, senjata api, bom molotov, granat dan mortar,105 sedangkan yang digunakan oleh warga gereja yang bertahan adalah bambu runcing, parang panjang, tombak, panah-panah waer, bom dan senjata rakitan.
106
Akyuwen juga mengatakan, “alat-alat yang
digunakan oleh warga gereja tidak banyak seperti yang penyerang
103
Hasil wawancara tanggal 12 September dengan Pdt. Aponno Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 105 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 106 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 104
65
gunakan.” 107 Apalagi penyerang lebih banyak menggunakan senjata organik yang tidak tahu diperoleh darimana.108 Seperti telah disebutkan sebelumnya pada bagian 5.2, Lopulalan dan beberapa pendeta lainnya mengatakan bahwa datangnya laskar jihat dari luar pulau Ambon pada tahun 2000 yang ternyata bukan untuk menciptakan keadaan yang damai sebaliknya berusaha untuk menyerang daerah-daerah yang dihuni oleh warga gereja dengan perlengkapan senjata yang lengkap dan canggih dibandingkan yang digunakan anggota gereja yang bertahan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya bekas-bekas peluru dan bom yang belum meledak yang ditembakan dan dilemparkan ke daerah warga gereja. Lopulalan mengatakan, Galala yang menjadi salah satu tempat pertahanan, ditemukan beberapa bom yang belum meledak, yang tidak tahu apakah itu milik penyerang murni ataukah dari anggota aparat.109 Selain di Galala, di negri Waai, juga ditemukan antara lain, peluru dari pistol, N16 dan MK3 yang ditembakan dari arah laut ke negri ini. Ditambah pula adanya indikasi tidak adilnya kerja aparat ketika perang itu terjadi, yang membiarkan serangan dilakukan terhadap warga gereja pada beberapa tempat (seperti di Waai) dan malah ikut menyerang.110 Dalam pemahaman yang diberikan oleh para pendeta dalam bagian ini terlihat perbedaan antara penyerang dengan warga gereja yang bertahan dalam hal persenjataan atau alat perang yang digunakan. Seperti prinsip kesebandingan dalam jus in bello, yang mengharuskan alat perang yang
107
Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit 109 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 110 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 108
66
digunakan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang perang,111 warga gereja pun menggunakan alat perang untuk membela diri agar penyerang pun menghentikan penyerangan dan hanya menyerang jika penyerang telah masuk dan menyerang warga gereja. Sebaliknya, dari pihak penyerang menggunakan alat-alat perang yang lebih canggih dan banyak ketika melakukan penyerangan terhadap orang Kristen (warga gereja).
5.8 Diskriminasi Selama perang terjadi, tidak dapat dipungkiri bahwa mungkin saja terdapat anggota gereja yang membunuh perempuan ataupun anak-anak, karena baik perempuan, anak-anak atau laki-laki, ketika penyerang sudah masuk dalam daerah jemaat untuk menyerang maka tidak ada jalan lain yaitu membunuh.112 Seperti pula pernyataan dari Jambormias :113 “siapa yang masuk dalam katong daerah memang katong bunuh, oleh karena itu, katong juga membatasi untuk tidak keluar dari katong daerah ke daerah lain. Hal ini dilakukan seperti ada prinsip membunuh daripada dibunuh.”
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Timisela bahwa ketika mereka telah menyerang, maka targetnya adalah siapa saja yang menyerang.114 Kecuali jika mereka tidak mempunyai maksud untuk menyerang, maka tidak ada tindakan yang dilakukan terhadap mereka, seperti yang dilakukan oleh jemaat Waai yang membantu beberapa perempuan Muslim yang berada di dalam mobil angkutan umum menuju tempat mereka, Liang, dengan membawa mereka ke pos keamanan. 115 Namun, ketika terjadi tembak-menembak antara warga gereja dan penyerang di daerah 111
R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution…., 88 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 113 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 114 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Timisela 115 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 112
67
perbatasan, mungkin mengakibatkan orang yang tidak ikut berperang menjadi korban. Begitu pula jika, rumah dibakar yang didalamnya mungkin tidak
diketahui
sebelumnya
terdapat
perempuan
atau
anak-anak
didalamnya. Oleh karena itu tidak ada batasan yang diberikan secara tetap terkait siapa yang dilawan ketika terjadi penyerangan. 116 Namun, para orang tua juga sering memberikan saran dan arahan kepada anggota gereja terkuhususnya para pemuda agar perempuan dan anak-anak yang tidak ikut berperang tidak dibunuh.117 Dari pemahaman yang diberikan ini, tidak ada batasan yang diberikan secara tetap mengenai siapa yang harus diserang dan siapa yang tidak diserang. Namun, dalam kondisi perang yang berlangsung, siapa saja yang masuk dan menyerang warga gereja itulah yang diserang, kecuali mereka yang tidak ikut untuk menyerang. Walaupun ada batasan seperti ini, tidaklah sama dengan batasan tegas yang dimasukan dalam prinsip diskriminasi dalam just war.
6. Kesimpulan Konflik yang terjadi selang empat tahun ini tidak hanya merupakan sebuah konflik yang terjadi dalam intensitas yang tinggi tetapi juga terjadi secara berangsur selama empat tahun sejak tahun 1999. Tidak hanya mengakibatkan kerugian materi yang tidak sedikit tetapi juga mengakibatkan jatuhnya banyak korban yang sebenarnya tidak terungkap dengan jelas apa penyebab sebenarnya konflik ini terjadi. Bagaikan titik api yang menyebar dan mengakibatkan kebakaran yang besar, demikian pun dengan konflik Ambon yang awalnya hanya 116 117
Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan
68
dimulai dengan perselisihan kecil yang kemudian menjurus pada penyerangan dan meruncing pada sebuah kondisi yang saling melukai dan merugikan dalam kehidupan warga Ambon terkhususnya warga Gereja. Berkaitan dengan pernyataan di atas, maka dari pemahaman yang diberikan dalam penelitian yang dilakukan mayoritas (15 pendeta dari 16 pendeta) narasumber menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Ambon ini merupakan sebuah perang. Dimasukan sebagai sebuah perang, dengan pengertian bahwa telah melibatkan beribu-ribu orang baik itu penyerang maupun warga gereja yang bertahan dan tidak hanya terjadi pada satu titik lokasi, tetapi telah merambat dimana-mana, bahkan bukan hanya dalam pulau Ambon, tetapi juga di luar Ambon. Selain itu, dengan penyerangan yang dilakukan terlebih dahulu oleh warga Muslim, telah mengakibatkan banyaknya kerugian baik harta maupun nyawa. Karena penyerang telah menggunakan senjata-senjata perang untuk menyerang wilayah-wilayah yang ditempati oleh warga gereja, maka dalam keadaan inilah maka terpaksa warga gereja mengambil tindakan dengan berjaga dan bertahan dengan menggunakan senjata yang dibuatnya sendiri. Pendeta yang merupakan bagian dari warga gereja juga dalam situasi tersebut turut mempertahankan hidup bersama dengan anggota gereja. Selain itu, pendeta juga menguatkan dan memberikan pendampingan terhadap anggota gereja setiap malam melalui doa dan pergumulan. Dalam kehidupan bergereja, tidak ada arahan atau pun ajaran yang diberikan baik oleh pendeta, pimpinan klasis maupun sinode kepada anggota gereja untuk maju berperang dan membunuh, tetapi dalam keadaan yang sedang dihadapi ini ketika penyerang masuk dalam daerah warga gereja dan akan membunuh, maka jalan yang diambil adalah melindungi diri termasuk membunuh. Batasan yang diberikan dalam pertahanan yang dilakukan yaitu hanya
69
melawan mereka yang berusaha menyerang dan membunuh. Tujuan pertahanan yang dilakukan pun bukan agar penyerang mengalami kekalahan, namun agar penyerang berhenti menyerang dan keadaan dapat kembali damai. Tujuan ini diharapkan tercapai, karena terdapat keyakinan melalui doa dan harapan bahwa Tuhan akan menolong. Keadaan yang mencekam ini telah membatasi dan bahkan merusak hubungan persaudaraan yang telah begitu lama terjalin. Selain itu, juga menghancurkan kedamaian dan menghambat kemajuan Ambon yang saat itu sedang berkembang dengan baik. Jika pemahaman tentang perang Ambon ini dikaitkan dengan prinsip just war, maka didalam pemahaman yang diberikan dari para pendeta jemaat, terdapat beberapa kaitan baik yang sesua dengan prinsipprinsip just war maupun yang tidak sesuai yang akan lebih lengkap dijelaskan dalam bab selanjutnya.
70