BAB III GAGASAN BERKARYA
3.1
Penafsiran Tema
Pada pengerjaan tugas akhir ini, penulis mengetengahkan judul: “Globalization: Agitated Me! / Globalisasi: Telah Meng-Agitasi-Ku!” Dalam judul tersebut terdapat beberapa variabel yang dapat diuraikan satupersatu yakni pada kata Globalisasi dan Meng-Agitasi.
1.1
Globalization / Globalisasi
Kata Globalisasi merupakan sebuah kata serapan yang berasal dari bahasa asing yaitu Globalization. Menurut kamus, bahasa tersebut mempunyai arti kata, diantaranya sebagai berikut: glob·al·i·za·tion [gl
b’li záysh’n]8
noun 1. global adoption of social institutions: the process by which social institutions become adopted on a global scale 2. operation at international level: the process by which a business or company becomes international or starts operating at an international level
Dalam kamus Wikipedia, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang
8
Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.
akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan
batas-batas
geografis,
ekonomi
dan
budaya
masyarakat. Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.
1.2
Agitated / Meng-Agitasi
Agitasi juga berasal dari kata serapan asing, dalam kamus bahasa Wikipedia diterangkan bahwa agitasi merupakan sebuah emosi, sebuah gangguan emosi yang kuat, keresahan. Suatu format ekstrim yang dikenal sebagai agitasi psikomotorik, di mana emosi dinyatakan dalam sebuah pergerakan dan mimik. Sedangkan pengertiannya yang lain ditemukan pada kamus Encarta sebagai berikut: ag·i·tate [ájji tàyt]9 (past ag·i·tat·ed, past participle ag·i·tat·ed, present participle ag·i·tat·ing, 3rd person present singular ag·i·tates) verb 1. vt make somebody anxious: to make somebody feel anxious, nervous, or disturbed 2. vi arouse public interest: to attempt to arouse public feeling, interest, or support for or against something such as a cause 3. vt move something violently: to cause something to move vigorously or
9
Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft
Corporation. All rights reserved.
violently, for example, by shaking or blowing it Agitate the mixture until the sediment is thoroughly dispersed. [Late 16th century. From Latin agitat- , the past participle stem of agitare “to move to and fro,” from agere “to drive, move.”]
agitated ag·i·tat·ed [ájji taytid] adjective anxious and tense: anxious, nervous, or upset and unable to relax Menurut kamus Oxford, meng-agitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut, berbeda dengan pengertian propaganda yang berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis. Pengertian meng-agitasi dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi terdorongnya emosikeresahan disebabkan oleh hal-hal yang memiliki pengaruh kuat.
1.3
Pengertian Tema
Dari dua variabel pengertian di atas, apa yang ingin Penulis simpulkan yakni, bahwa paradigma Globalisasi sebagai konsepsi narasi besar secara tidak langsung memberikan sebuah pengaruh kuat – nuansa agitatif sehingga mendorong emosi - keresahan pada diri pribadi baik dalam pola pandang – pola pikir dihadapkan pada realitas yang berlaku kemarin hingga saat ini. Bahwasannya konsepsi wacana Globalisasi hanyalah merupakan
suatu
alih-alih
yang
mengundang
kecurigaan-kecurigaan
meskipun secara literer pengertiannya tidak begitu. Lebih banyak terdapat kognisi negatifnya dibandingkan nilai positif yang ditularkannya.
3.2
Konsep Karya
Konsep yang ingin diajukan dalam kekaryaan Tugas Akhir ini pada mulanya distimuli oleh beberapa faktor, selaras dengan tema yang diajukan. Diantaranya dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Ketika representasi citraan telah berubah menjadi barangbarang komoditas semata, nilai citraan yang mungkin hadir barangkali tidak sepenuhnya utuh atau menjadi bias saja karena hanya menyangkut nilai tukar - prestise saja, sama seperti tentang konsepsi seni di aras pada realitas konsumeritas dan faktor re-produksi. 2. Apabila hal tersebut memang hadir dalam ruang virtuisitas masyarakat kita, mungkinkah kita melihat semua itu dalam bingkai televisi yang riuh dengan tanda-tanda yang membingungkan; bercampurnya antara citraan-citraan asli dan palsu, serta intertekstual yang mungkin hadir mengiringi pembacaan terhadap asosiasi tanda-tanda citraan. Akhirnya apa yang ingin disimpulkan oleh penulis dari paparan faktor di atas ialah mengenai pemahaman Globalisasi yang simpang siur di antara paradoks yang ditimbulkan oleh kubu-kubu yang berkepentingan dan pengaruh citraan realitas yang saling bertumpuk. Sebagai bagian dari fenomena kebudayaan visual yang sekarang sedang berkembang di Tanah air. Melalui analogi televisi dan pemirsanya, sebagai bagian dari relasi narasi Globalisasi dan keambiguan representasi citraan. Dengan begitu apa yang ingin digagas ialah merujuk kepada pencarian / mempertanyakan suatu nilai kebenaran - truisme dari hal yang memiliki nilai konfrontatif atau berhadap-hadapan dalam lingkup membaca tanda-tanda yang hadir dalam citraan yang telah baku dengan sesuatu yang berjalan secara fenomenal. Dengan kata lain, sebagai suatu kritik untuk menalar kembali apa-apa yang hadir dalam lingkup epistemologis ranah seni - budaya visual di aras Globalisasi. Dalam pengejawantahannya terhadap karya yang akan dibuat, penulis menggagas sebuah model representasi citraan
yang
memiliki
koherensi
referensi
sebelumnya
(proses
rekontekstualisasi) melalui karya-karya fotografis – seni (kebanyakannya
lukisan) yang kemudian mengalami reposisi – juktaposisi objek sesuai dengan konteks tematis tiap kekaryaan yang dihendaki. 2.1
Kemunculan Gagasan
Awal
dari
munculnya
gagasan
berkarya
ini
kurang
lebih
merupakan hasil refleksi dari pengamatan penulis terhadap fenomena yang berlangsung dalam keseharian penulis. Juga merupakan buah kesadaran yang berusaha tidak menjauh dari hal-hal yang terindera dan menjadi memori penulis untuk berkreasi. Menyangkut konsepsi diri yang teragitasi dari persoalan ambigu (baca: Globalisasi) yang berjalan di hadapan penulis. Seperti yang telah dipaparkan pada rumusan masalah yakni tentang persoalan menyangkut kecurigaan terhadap representasi reproduksi realitas yang dihadirkan oleh media televisi, baik secara analoginya di tengah isu Globalisasi yang makin hangat ke permukaan, kemarin dan saat ini. Melalui pencerapan yang ditemui ketika menonton televisi, penulis merasakan sebuah analogi yang sama ketika dibingungkan oleh konsepsi Globalisasi di aras realitas. Seorang penonton hanya bisa terhenyak dan larut dalam apa-apa yang ditawarkan oleh rangkaian acara-acara televisi. Ketika semua citraan kemudian bertumpuk pada sebuah memori maka dapat memunculkan ruang-ruang intertekstual yang juga berdampak pada perilaku skizoprenik. Dari sinilah mungkin penulis ingin mengajukan kembali suatu ruang perenungan ketika ruang-ruang intertekstual terbangun dari bentukbentuk representasi citraan dapat menjadi ruang agitatif – ruang nalar membaca tanda dan memaknai tanda dihadapkan dengan sesuatu yang samar seperti televisi. Hal-hal
lainnya
yang
memberikan
pengaruh
mengiringi
terbentuknya gagasan penulis itu, antara lain dari referensial literatur studi – diskursus kebudayaan yang menerangkan tentang gambaran realitas di jaman ini. Ketertarikan lainnya berangkat dari pengalaman surreal, yakni sebuah metode yang menjelaskan sisi personal ketika menghadapi suatu problem yang absurd bagi dirinya, melalui dialektika bahasa dan dengan menangkap sebuah potensi yang dapat dianggap sebagai kelucuan, satire,
kritik maupun sisi paradoks. Pengalaman surreal boleh jadi alih-alih seseorang dalam menyikapi suatu persoalan dengan menempatkannya di wilayah persimpangan / grey area.
3.3
Konsep Estetik
Konsep estetik yang digunakan dalam kekaryaan Tugas Akhir ini banyak dipengaruhi dari pencerapan penulis melalui wilayah kajian studi kebudayaan dan kecenderungan wacana estetik post-modern. Diantaranya ialah mengenai bentuk – form yang melingkupi pemahaman akan tanda sebagai unsur representasi realitas yang berkembang saat ini. Pada penggarapan karya, penulis menggunakan bahasa estetik post-modern secara ekletik, seperti parody yang dihubungkan dengan tanda-tanda yang berlaku dalam bahasa representasi yang memiliki indikasi sebagai bahasa palsu – pseudo sign dan tanda daur ulang – recyled sign. Kecenderungan yang dihadirkan pada karya ingin diarahkan kepada suatu upaya rekontekstualisasi, merujuk pada persoalan tematik yang digagas. Pada perwujudannya, sebagai bagian dari unsur parody, penulis banyak mengambil komposisi simetris – sentris baik yang terwujud dari objek pinjaman maupun dari rancangan yang dibuat – sebagai bentuk kritik keniscayaan terhadap realitas yang ambigu saat ini. Juga pada perwujudan objek figur yang tampak pada keseluruhan karya dihadirkan tanpa kepala sehingga yang ada hanya wujud tubuhnya saja, sebagai pembacaan ketika identitas yang tercerabuti. Melalui apropriasi karya-karya baik yang berasal dari objek-objek fotografis maupun karya seni lampau (lukisan dan benda patung), penulis mencoba mengkonfigurasi sebuah ruang yang di dalamnya terdapat tanda representasi realitas yang bercampur dengan tanda-tanda yang berkorelasi dengan konteks re-produksi, ke-artifisialitas-an dan daur ulang tanda. Batasan yang dipergunakan dalam mengolah unsur-unsur tadi direlasikan dengan sebuah teks yang memuat sebuah keterangan selaras dengan konteks tiap kekaryaan. Teks ini pun merupakan unsur estetik dan bentuk
instrumentalis yang signifikan untuk membaca kode pada unsur citraan yang tampak pada masing-masing karya yang penulis hadirkan. Mengenai penggunaan teks dalam tiap karya disadari sebagai bagian dari pencerapan penulis dalam mempelajari perkembangan bentuk seni yang dicapai oleh kalangan seniman seni konseptual seperti Jenny Holzer, Ken Lum, Barbara Kruger, Martin Kippenberger, dll. Sebuah teks kini dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk-form yang sejajar dengan objek kebendaan – objek medium seni, meskipun ia secara tidak langsung memiliki intensitas literal – verbal. Ini berlaku karena kini pencerapan visual tidak berbatas pada konvensi seni saja tapi berlaku pada kebudayaan visual yang mana unsur teknologi telah berperan langsung. Dalam
pretensi
kekaryaan,
penulis
banyak
memasukkan
intertekstualitas citraan sebagai bagian yang saling mengisi dan menguatkan indikasi persoalan, yang juga berperan sebagai stimuli bagi pembaca merasakan persoalan yang meng-agitatif pada kesadaran diri penulis. Alhasil apa yang ingin dicapai oleh penulis melalui karya-karya yang dihadirkan merupakan bentuk penyadaran / seni sebagai mediasi instrumentalis.
3.1
Teknik Dan Medium
Pendekatan teknik dalam kekaryaan Tugas Akhir ini cenderung pada pengolahan bentuk secara mimetik, yakni berdasar kepada sebuah referensi gambar, yang sebelumnya penulis proses melalui olah digital yang mana objek-objeknya telah menjalani proses ke-artifisialitas-an. Secara keseluruhan karya mempergunakan media kanvas, penulis banyak memadupadankan medium yang dipergunakan, diantaranya ialah cat minyak, cat akrilik, cat semprot dan dermatograph. Ini melatari unsur ekletik yang menjadi kecenderungan kekaryaan juga mempengaruhi unsur estetik yang ingin dibangun baik dari kesan maupun kualitas visual yang tampak. Meskipun demikian, penulis juga menyadari akan kesadaran medium, baik dari karakter masing-masing medium maupun aspek visual yang bisa didapatkan dari pengolahan medium-medium tersebut.
Pada unsur bentuk yang tampak pada citraan kekaryaan, pengolahan teknik melukis yang digunakan hampir mendekati bentuk realis. Hal ini dikarenakan ada ‘batasan’ ekletik yang terpengaruhi dari unsur citraan objek yang pertimbangannya merupakan unsur pinjaman. Hal yang serupa pun melatari dasar pemilihan warna pada tiap kekaryaan. Nuansa yang dihadirkan pada bagian background banyak terdiri dari warna cerah baik yang didapatkan dari warna-warna primer ataupun warna-warna sekunder. Sedang pada bagian objek-objek utamanya, banyak dipergunakan warna monokrom yang memiliki nuansa kusam atau tidak secerah dari warna belakangnya. Penggarapan warna ini berkonsepsi warna sebagai warna – meskipun mungkin terasa juga seperti nuansa yang dramatis, namun kurang lebih berdasar pada aspek estetik yang bermain pada sensasi yang ditimbulkannya. Penulis memadu-padankan sifat alami yang dimiliki oleh karakter medium yang dipergunakan berdasar pada teknis yang ingin dicapai seperti pada bagian yang cukup detil dan memiliki intensitas kematangan warna tinggi, dalam hal ini mediumnya ialah cat minyak, maka diperlukan antara penumpukan warna dan waktu yang cukup. Sehingga pada karya-karya yang dihasilkan terlihat ada nuansa yang datar dan yang bervolume.