BAB III DATA DAN METODOLOGI
3.1 Data Dalam penelitian ini digunakan setidaknya 4 jenis data, yaitu data GFS (Global Forecast System) dari NCEP (National Center for Environment Prediction) sebagai initial condition untuk CCAM dan data observasi lapangan dari BMKG, yaitu AWS (Automatic Weather Station) dan rain gage (penakar hujan) untuk keperluan verifikasi, serta data pengamatan satelit GMS (Geosyncronous Meteorological Satellite) dari Kochi University. Sedangkan untuk data topografi, vegetasi, dan data kegunaan lahan telah disediakan oleh CCAM forecast system dalam repository server-nya, sehingga hanya perlu melakukan ekstrak semua data tersebut, dijelaskan lebih lengkap pada point selanjutnya. 3.1.1 Data GFS Data GFS ini digunakan sebagai kondisi awal (initial condition) dan kondisi batas (boundary condition) dari CCAM. Data GFS memiliki resolusi 10 x 10, atau sekitar 111 km x 111 km. Pada setiap kotaknya yang berukuran 1 0 x 10 hanya terdapat satu nilai saja, seperti yang terlihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Resolusi data GFS pada domain Jawa
III - 1
Data GFS memiliki 128 variabel yang merupakan berbagai parameter meteorologi dan klimatologi, serta memiliki 24 level ketinggian. Data GFS yang di-download pada penelitian tugas akhir ini berjumlah 4 data untuk setiap hari Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Data GFS dapat di-download di ftp server milik NCEP ftp://tgftp.nws.noaa.gov/SL.us008001/ST.opnl/MT.avn_CY.12/RD.********/PT. grid_DF.gr1/. Data GFS yang mencakup domain seluruh dunia ini tersedia tiap 3 jam dan mulai dari keadaan awal (forecast 00), namun yang diambil hanya tiap 6 jam sebagai initial condition (IC) dari CCAM, yaitu IC_00, IC_06, IC_12, dan IC_18. Keempat IC ini di-running menggunakan CCAM satu per satu setiap harinya sedemikian sehingga total member (anggota) yang dihasilkan adalah 4 per hari. 3.1.2 Data satelit dan observasi lapangan Data pengamatan curah hujan untuk wilayah kajian (pulau Jawa) didapatkan dari website http://www.aws-online.bmg.go.id untuk data AWS dan data penakar hujan didapatkan dari BMKG Balai Besar Wilayah II Ciputat. Digunakan pula data pengamatan satelit dari Universitas Kochi dengan mengunduh melalui website http://weather.is.kochi-u.ac.jp. Data pengamatan satelit GMS ini dianggap cukup menggambarkan kondisi awan yang ada di atas pulau Jawa pada waktu kajian, sehingga memudahkan analisis secara kualitatif. 3.2 Metodologi Prediksi ensemble dapat menggunakan beberapa initial condition dari model global, misalnya dari NCEP. Pada penelitian ini digunakan keluaran GFS dari NCEP sebagai initial condition untuk prediksi ensemble menggunakan CCAM. Dengan melakukan prediksi ensemble ini akan didapatkan nilai ketidakpastian (uncertainty) karena setiap member (anggota) dapat menghasilkan nilai prediksi yang berbeda-beda.
III - 2
Dalam penelitian ini digunakan 4 initial condition dari data GFS untuk setiap hari operasionalnya. Dengan 3 hari operasional (Jumat, Sabtu, dan Minggu) maka didapatkan 12 initial condition yang kemudian menghasilkan 12 member (anggota) prediksi. Setiap member (anggota) prediksi tersebut dapat memprediksi sampai 8 hari ke depan, tergantung pada setup yang dilakukan pada model NWPnya. Dalam penelitian ini dilakukan prediksi untuk hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat berikutnya. Kelima hari tersebut biasa disebut week days. Dalam penelitian ini secara umum menggunakan proses seperti Gambar 3.2. Proses tersebut menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapatkan prediksi peluang kejadian hujan untuk satu minggu ke depan. Dalam penelitian ini, digunakan istilah “set” untuk setiap minggu prediksi. Akan dilakukan 4 set prediksi untuk kasus bulan basah dan 5 set prediksi untuk kasus bulan kering. Kemudian dari hasil prediksi setiap member (anggota) tersebut akan dicari threshold prediksi curah hujan harian. Dengan adanya PoP atau probabilitas curah hujan yang muncul pada setiap set prediksinya, akan dapat ditentukan nilai prediksi curah hujan mana yang dapat dijadikan indikator untuk suatu kasus kejadian hujan tertentu. Dalam penelitian ini digunakan 2 kasus, yaitu kasus bulan basah dan bulan kering. Dengan melakukan analisis kuantitatif menggunakan metode threat score maka didapatkan peluang kejadian untuk suatu kasus tertentu. Misalnya untuk kasus bulan basah, maka akan dicari nilai prediksi curah hujan sebagai indikator untuk menentukan kejadian hari kering dan hari hujan lebat. Akan dijelaskan lebih lengkap pada bab hasil dan analisis. Akan dapat diihat bagaimana klimatologi prediksi yang dilakukan oleh setiap member (anggota) prediksi pada setiap kasus bulan kajiannya. Dan dapat dilihat pula adanya anomali prediksi yang dapat digunakan sebagai indikator kasus kejadian hujan tertentu.
III - 3
Mulai
Download Data NCEP GFS (Jumat)
IC_00
IC_06
IC_12
Download Data NCEP GFS (Sabtu)
IC_18
IC_00
IC_06
IC_12
IC_18
Download Data NCEP GFS (Minggu) IC_00
IC_06
IC_12
IC_18
CCAM Forecast System untuk 1 minggu 12 Output CCAM dari 12 initial condition
Data Pengamatan
Verifikasi
Pengolahan Data
Hasil dan Analisa
Selesai
Gambar 3.2 Diagram alir pelaksanaan penelitian 3.2.1 Perangkat yang digunakan Seperti penelitian yang menggunakan model meteorologi pada umumnya, penelitian ini pun menggunakan berbagai perangkat keras (hardware) dan juga perangkat lunak (software) komputer. Berikut adalah perangkat keras dan lunak yang digunakan dalam penelitian ini. Software yang digunakan adalah CCAM Forecast System, GrADS, dan Shell Script. Untuk hardware, digunakan server yang memiliki spesifikasi komputer Intel ® Core ™ 2 Duo 2.66 GHz CPU.
III - 4
3.2.2 Langkah pengerjaan CCAM Langkah pengerjaan dalam melakukan prediksi cuaca menggunakan CCAM secara umum dapat diilustrasikan dengan skema pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Skema CCAM forecast system (Sumber: Dr. Marcus Thatcher, CMAR-Australia) Gambar 3.3 menunjukkan prediksi yang dilakukan untuk domain dengan resolusi 60 km, kemudian nudging (downscaling) ke domain dengan resolusi 8 km dan 1 km. Namun, dalam penelitian ini dilakukan prediksi untuk domain global dengan resolusi 200 km, Indonesia dengan resolusi 60 km, dan kemudian pulau Jawa dengan resolusi 8 km. Perbedaan hanya terdapat pada domain dan resolusinya, namun langkah pengerjaan secara umum sesuai dengan skema yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. Selanjutnya yang akan dilakukan adalah melakukan ensemble dari running CCAM untuk 4 buah initial condition yang berbeda, untuk memprediksi week days berikutnya. Bagaimana tahapan setiap member (anggota) prediksi ensemble ini dihasilkan dapat dilihat pada point selanjutnya.
III - 5
3.2.2.1 Pre-processing Pada tahap pre-processing ini yang dilakukan adalah mempersiapkan data topografi dan vegetasi untuk domain yang dikaji sesuai dengan setup yang dilakukan pada beberapa script utama untuk melakukan prediksi yang didalamnya terdapat informasi mengenai domain yang dikaji, resolusi yang digunakan, dan sebagainya. Pertama kali yang harus diperhatikan adalah masalah format penulisan domain serta resolusinya dalam bahasa scripting CCAM. Dalam bahasa script CCAM, hanya digunakan satu baris script untuk mendefinisikan domain serta resolusinya selain dari konfigurasi lintang dan bujurnya. Pengaturan untuk ketiga script utama ini dijelaskan dalam lampiran. Setelah konfigurasi pada ketiga script utama diatas dilakukan, langkah berikutnya adalah menyiapkan data topografi dan vegetasi untuk domain masing-masing dengan menggunakan script runtopo.sh pada CCAM seperti yang ditunjukkan pada lampiran. Script tersebut cukup kompleks dan rumit, namun dalam hal ini hanya diperlukan konfigurasi pada beberapa syntax saja, yang berhubungan dengan domain serta resolusi model yang akan digunakan. Langkah
ketiga
adalah
mempersiapkan
script
pengunduh
data
yaitu
getanalysis.sh. Pada script ini dilakukan modifikasi pada bagian lokasi datanya sedemikian sehingga initial data dapat dibaca oleh model nantinya. Dengan demikian proses running CCAM telah dapat dilakukan. 3.2.2.2 Proses running CCAM Dalam proses running ini hanya diperlukan satu langkah pada interface UNIX, yaitu melakukan running pada script startforecast.sh. Script inilah yang nantinya akan melakukan pemanggilan script-script lainnya secara berurut, termasuk script yang telah disiapkan sebelumnya pada tahap pre-processing CCAM. Langkah
III - 6
pertama yang dilakukan oleh script startforecast.sh adalah memanggil data untuk initial data pada model dengan menggunakan script getanalysis.sh. Seperti modifikasi pada getanalysis.sh yang telah dilakukan pada tahap pre-processing, maka secara otomatis initial data untuk CCAM dapat diunduh. Setelah itu CCAM membuat initial condition mengunakan procgfs2.sh, kemudian data initial condition tersebut di-convert ke dalam grid conformal-cubic (CC-grid). Hasil convert tersebut dibaca oleh jog48global yang merupakan prediksi untuk domain global dengan resolusi 200 km. CCAM terlebih dahulu membaca lintang dan bujur pada jog48global untuk mempersiapkan data vegetasi, topografi, dan kondisi tipe tanah dari daerah (domain) yang dikaji menggunakan script smclim (untuk tipe tanah) dan data dari hasil running runtopo.sh (untuk topografi dan vegetasi) sebelumnya. Setelah itu, runall memeriksa apakah hasil prediksi sebelumnya lebih lampau, jika lebih lampau maka sistem prediksi CCAM dilakukan. Berikutnya jog48global bekerja untuk menghasilkan prediksi dengan melakukan proses pada semua data yang telah dipersiapkan sebelumnya, termasuk memanggil semua data pendukung lainnya yang tersimpan dalam repository CCAM. Setelah itu secara otomatis jog48indonesia akan membaca output jog48global dan melakukan proses yang sama seperti yang dilakukan jog48global. Output dari jog48indonesia pun kemudian akan dibaca secara otomatis oleh jog48jawa. Didapatkan 3 domain dengan resolusi yang berbeda pada langkah ini, yaitu domain Global dengan resolusi 200 km, Indonesia dengan resolusi 60 km, dan Jawa dengan resolusi 8 km. Dapat dilihat pada Gambar 3.4 dan 3.5.
Gambar 3.4 Domain yang dihasilkan dari proses running CCAM, (a) Global resolusi 200 km dan (b) Indonesia resolusi 60 km
III - 7
Gambar 3.5 Sama seperti Gambar 3.4 namun untuk domain Jawa resolusi 8 km 3.2.2.3 Post-processing Setelah proses running CCAM selesai dilakukan untuk masing-masing domain, maka diperlukan script untuk mengembalikan grid ke skala semula karena CCAM menggunakan skala grid conformal-cubic. Script yang digunakan secara otomatis oleh CCAM adalah cc2hist. Dapat pula digunakan untuk menentukan output variabel yang berbeda dengan script tersebut. Berikutnya, CCAM menghasilkan data keluaran berformat file NetCDF. File dengan format seperti ini dapat dibaca menggunakan software GrADS. Masing-masing domain memiliki 12 file NetCDF karena running yang dilakukan adalah untuk 4 initial condition yang di-running pada 3 hari operasional. Langkah tersebut merupakan prediksi ensemble untuk 1 set prediksi untuk prediksi cuaca pada week days berikutnya. Kemudian dilakukan analisis pada output yang dihasilkan dengan mengambil beberapa titik sampel pada domain yang resolusinya paling tinggi (Pulau Jawa) untuk verifikasi dengan data pengamatan. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan pada bab hasil dan analisis. Secara umum, waktu kerja serta parameter-parameter apa saja yang harus dipersiapkan selama proses prediksi menggunakan CCAM dapat dilihat pada Tabel 3.1.
III - 8
Parameter
Domain Global
Indonesia
Jawa
Schmidt Factor
S=1
S = 0,3
S = 0,04
Time Step (s)
1200
1200
180
200 km
60 km
8 km
Resolusi
Waktu Running ±15 menit ±30 menit
±70 menit
Tabel 3.1 Tabel konfigurasi CCAM Tabel 3.1 memberikan gambaran bagaimana mempersiapkan parameter-parameter pada CCAM untuk melakukan 1 kali running, atau dengan kata lain hanya untuk 1 member (anggota) prediksi ensemble. Sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan running untuk banyak set prediksi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 3.2.3 Verifikasi dengan data pengamatan Dari penjelasan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana domain yang dikaji dapat dihasilkan dengan resolusi yang cukup tinggi, yaitu 8 km. Domain ini adalah pulau Jawa, dan dalam penelitian ini akan diambil 6 titik sampel untuk kasus bulan basah dan 5 titik sampel untuk kasus bulan kering. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada point selanjutnya. 3.2.3.1 Ketersediaan data pada daerah kajian Titik sampel yang digunakan diusahakan cukup tersebar di wilayah Jawa karena keterbatasan data pengamatan yang ada di pulau Jawa. Sehingga dengan demikian titik-titik sampel yang diambil diharapkan dapat cukup merepresentasikan kondisi cuaca pada wilayah kajian tersebut. Untuk sebaran titik sampelnya dapat dilihat pada Gambar 3.6.
III - 9
Gambar 3.6 Sejumlah sebaran titik sampel di wilayah Jawa untuk (a) kasus bulan basah, (b) kasus bulan kering
Gambar 3.7 Peta sebaran 150 stasiun cuaca Jepang (Sumber: Tae-Young Goo et al, 2007) Gambar 3.7 menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap Gambar 3.6 dalam hal sebaran titik sampel yang digunakan dalam penelitian. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Tae-Young Goo et al di Jepang (Gambar 3.7), data observasi sangat mendukung. Data ke-150 stasiun cuaca di Jepang dipastikan ada dan benar.
III - 10
Mereka menggunakan 2 jenis data klimatologi untuk melakukan kalibrasi atau verifikasi pada sistem prediksi ensemble-nya, pertama pengamatan curah hujan harian untuk periode 1971 – 1996, dan yang kedua adalah hasil prediksi ensemble untuk periode 2003 – 2004. Sehingga penelitian prediksi ensemble mereka terkalibrasi dengan baik. Sementara itu, di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Data klimatologi sangat sulit didapatkan, terutama untuk parameter curah hujan. Keterbatasan semacam ini dapat terjadi karena berbagai sebab, bisa saja perawatan alat observasi yang tidak baik, kesalahan penyimpanan alat, dan sebagainya. Hal tersebut dapat membuat kejadian hujan tidak teramati dengan baik, sehingga terdapat banyak data kosong. Pada penelitian ini akan digunakan metode yang relatif sederhana untuk menanggulangi masalah keterbatasan tersebut, sehingga dengan data yang ada baik data observasi maupun data prediksi ensemble yang dimiliki, dapat dikaji bagaimana prakiraan peluang kejadian hujan di wilayah kajian (Pulau Jawa) dengan cukup baik dan representatif. 3.2.3.2 Penentuan indikator peluang kejadian hujan Domain yang digunakan sebagai kajian prediksi ensemble-nya adalah Pulau Jawa. Untuk satu buah titik sampel yang digunakan, jumlah data prediksi untuk week days berikutnya, mencapai 300 data per parameter prediksi. Misalnya saja jika yang dikaji ada 5 titik sampel untuk 5 set prediksi ensemble, maka jumlah data prediksi ensemble-nya dapat mencapai 1500 buah. Untuk mengetahui sebaran datanya, dapat dilihat Gambar 3.8. Pada kajian prediksi ensemble untuk bulan Juli 2009 dengan 5 titik sampel, yaitu: Bandung, Semarang, Kuningan, Pati, dan Banyuwangi. Jumlah untuk prediksi curah hujan 24 jam-an setiap harinya berjumlah 12 member. Prediksi ensemble yang dilakukan adalah untuk 5 set prediksi. Kemudian untuk analisis bulan basah, digunakan hasil prediksi ensemble CCAM untuk bulan Februari 2009. Berbeda
III - 11
dengan kasus bulan Juli 2009, pada kasus bulan basah ini digunakan 6 titik sampel, yaitu: Serang, Bogor, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Namun set prediksinya hanya 4 set prediksi, karena pada bulan Februari 2009 hanya terdapat 4 week day. Dari kedua grafik sebaran data untuk tiap kasus (Gambar 3.8a dan 3.8b) , terlihat bahwa CDF plot menunjukkan grafik yang cukup halus (smooth). Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik sampel yang digunakan sudah cukup. Empirical CDF 1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6 F(x)
F(x)
Empirical CDF 1
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0
10
20
30
40
50
60
70
0
0
x
10
20
30 x
40
50
60
Gambar 3.8 CDF plot untuk sebaran data prediksi curah hujan (a) Februari 2009, (b) Juli 2009 Jika dilihat dari Gambar 3.8a, sebaran data lebih banyak terfokus pada interval 0 s.d. 20. Nilai minimum data adalah 0; maksimum 61,47; mean 11,43; median 10,30; dan standard deviasi 9,63. Kemudian dapat dilihat persentasi dari sebaran data seperti pada plot tersebut untuk setiap intervalnya. Didapat hasil sebagai berikut: interval 0-10 mm sebanyak 48,54%; 10-20 mm sebanyak 35,14%; 20-30 mm sebanyak 11,32%; 30-40 mm sebanyak 3,82%; 40-50 mm sebanyak 0,76%; 50- 60 mm sebanyak 0,35%; dan 60- 70 mm sebanyak 0,07% dari 1440 buah data parameter prediksi curah hujan harian. Untuk Gambar 3.8b, sebaran data lebih banyak terfokus pada interval 0 s.d. 10. Nilai minimum data adalah 0; maksimum 55,89; mean 3,03; median 0,25; dan standard deviasi 7,47. Kemudian dapat dilihat persentasi dari sebaran data seperti pada plot diatas untuk setiap intervalnya. Didapat hasil sebagai berikut: interval 0III - 12
10 mm sebanyak 92,13%; 10-20 mm sebanyak 3,80%; 20-30 mm sebanyak 1,40%; 30-40 mm sebanyak 1,47%; 40-50 mm sebanyak 1,07%; dan 50- 60 mm sebanyak 0,13% dari 1500 buah data parameter prediksi curah hujan tersebut. Dari informasi tersebut kemudian dibuat interval curah hujan yaitu: interval 0,11,25 mm; 1,25-2,50 mm; 2,50-5,00 mm; 5,00-7,50 mm; 7,50-10,00 mm; 10,0025,00 mm; 25,00-50,00 mm; 50,00-75,00 mm; dan 75,00 mm ke atas untuk kasus bulan kering. Namun sedikit berbeda untuk kasus bulan basah, interval yang digunakan adalah 0-1,25 mm; 1,25-10,00 mm; 10,00-25,00 mm; 25,00-50,00 mm; 50,00-75,00 mm; dan 75,00 mm ke atas. Interval tersebut dibuat berbeda karena untuk setiap kasusnya kajian yang diprediksi berbeda. Untuk kasus bulan basah mengkaji prediksi untuk peluang kejadian hari kering dan hari hujan lebat, sedangkan untuk kasus bulan kering kajian prediksi untuk peluang kejadian hari hujan. Untuk kasus hujan lebat digunakan definisi BMKG untuk klasifikasi hujan berdasarkan curah hujan, yaitu hujan sedang jika curah hujan 20 – 50 mm per hari, hujan lebat jika curah hujan 50 – 100 mm per hari, dan hujan sangat lebat jika > 100 mm per hari. Interval tersebut pun dibuat dengan berpedoman pada teori yang menyatakan bahwa hujan memiliki intensitas diatas 1,25 mm/jam (Bayong, 2004). Karena prediksi yang dilakukan adalah untuk parmeter curah hujan harian (24 jam-an), maka diasumsikan terdapat hujan pada hari tersebut jika total curah hujan hariannya mencapai 1,25 mm ke atas. Dari Gambar 3.8 nantinya dapat dibuat probabilitas untuk setiap interval prediksi curah hujan CCAM, dan di-verifikasi dengan data pengamatan. Interval prediksi curah hujan yang sesuai nantinya dapat dijadikan indikator untuk kasus yang diinginkan. Dari CDF plot yang telah dihasilkan, dibuat probabilitas untuk setiap interval yang telah ditentukan. Probabilitas tersebut dibuat per titik sampel, dengan demikian terdapat 12 member (anggota) per titik sampel untuk 1 hari prediksi (misalnya: prediksi untuk hari Senin berikutnya). Dari ke-12 member
III - 13
(anggota) tersebut kemudian dikategorikan berdasarkan interval yang telah dibuat sedemikian sehingga nilai minimum probabilitas yang didapatkan untuk suatu interval prediksi adalah 0 % (0/12) dan maksimum 100 % (12/12). Kemudian dilakukan scoring dengan data pengamatan menggunakan metode Threat Score (TS). TS merupakan ukuran kebenaran tempat dan waktu dari prediksi suatu peristiwa khusus. Kecocokan antara prediksi (F) dan observasi (O) untuk suatu peristiwa direpresentasikan sebagai Hits (H). TS membandingkan ukuran kebenaran area prediksi dengan area total, apakah peristiwa merupakan salah satu dari prediksi atau observasi. Skema metode TS ini ditunjukkan seperti Gambar 3.9. Contoh kasus, untuk interval prediksi 7,5 – 10 mm/hari, probabilitas prediksi yang dihasilkan oleh suatu interval prediksi ensemble CCAM-nya adalah 15%. Artinya, jika CCAM memprediksi hujan pada nilai interval tersebut sebesar 15%, maka dimasukkan sebagai prediksi hujan (forecast yes), dan jika tidak, maka tidak dimasukkan sebagai prediksi tidak hujan atau kering (forecast no).
Gambar 3.9 Skema metode threat score (Sumber: Comet Program, 1999)
Tabel 3.2 Tabel contingency metode TS (Sumber: Comet Program, 1999)
III - 14
Untuk analisis selanjutnya digunakan contingency table (Tabel 3.2) sebagai acuan untuk metode TS-nya. Setelah melakukan scoring, maka didapatkan 4 variabel baru, yaitu: hits, false alarms, misses, dan correct negative. Sehingga dapat dihitung nilai TS atau CSI (Critical Success Index), BS (bias score), dan FAR (false alarm rate) dari hasil scoring output prediksi dengan data observasi. Perumusannya adalah seperti pada persamaan 3.1 – 3.3. (3.1)
Dimana TS tersebut adalah jumlah tepat “yes” forecast dibagi dengan total jumlah kejadian baik itu prediksi dan/atau observasi. Nilai TS yang semakin besar (mendekati 1) berarti banyak kejadian yang sesuai antara prediksi dengan observasi. (3.2) Bias merupakan korespondensi antara nilai rata-rata prediksi dan nilai rata-rata observasi dari prediktan. Prediksi yang tidak ber-bias adalah BS = 1, atau berarti jumlah kejadian prediksi yang sama dengan jumlah kejadian observasi. Nilai BS yang >1 berarti kejadian diprediksi lebih sering daripada observasi, biasa disebut overforecasting. Sebaliknya, nilai BS yang <1 berarti kejadian diprediksi lebih jarang daripada observasi, biasa disebut underforecast. (3.3)
FAR memiliki orientasi yang negatif, sehingga nilai FAR yang kecil-lah yang dicari. Nilai FAR yang paling baik adalah nol, dan yang terburuk adalah satu.
III - 15