BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TABRAK LARI, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1.1.1 Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana Moeljatno menyatakan hukum pidana merupakan bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 1. Menentukan perbutan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 1 Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri. Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan. Secara umum pemidanaan merupakan bidang dari pembentukan undang-undang, karena adanya asas legalitas. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia poenali” yang artinya “tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana terlebih dahulu”.
1
Moeljatno, loc.cit, h.1
23
24
Ketentuan Pasal 1 KUHP menunjukkan hubungan yang erat antara suatu tindak pidana, pidana dan undang-undang (hukum pidana) terlebih dahulu.2 Pengertian hukuman lebih luas dari pengertian pidana, jadi pidana termasuk salah satu jenis hukuman. Demikian dapat dikatakan pula bahwa pidana adalah perasaan tidak enak yakni penderitaan dan perasaan sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu srafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, namun berdasarkan asas konkordansi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.3 Istilah-istilah
yang
pernah
digunakan,
baik
dalam
perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur
2
I Putu Permata Giri, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Cyber Crime Yang Melanggar Kesusilaan, Universitas Udayana, h.30 3
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 67
25
hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit setidaknya ada tujuh istilah, antara lain: a. Tindak pidana, dapat dikatakan sebagai istilah resmi dalam perundang-undangan pidana indonesia. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini salah satunya adalah Wirjono Prodjodikoro b. Perstiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya R. Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, A. Zainal Abidin, dalam buku beliau yang berjudul Hukum Pidana. Pembentuk Undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam undang-undang dasar sementara (UUDS) tahun 1950 pada Pasal 14 Ayat (1); c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit; d. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja; e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini dugunakan Karni dalam buku beliau Ringkasan Tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia; f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam Undang-undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak; g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya buku Asas-Asas Hukum Pidana.4 Arti tindak pidana tersebut pada dasarnya adalah sama sedangkan perbedaan istilah itu tergantung dari perspektif para pakar hukum memandangnya. 2.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana Terhadap unsur-unsur tindak pidana, ada ahli yang berpendapat bahwa antara unsur subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan) tidak perlu dilakukan pemisahan
4
Ibid, h. 67-68.
26
dan ada pula yang merasa perlu untuk dipisahkan. Golongan yang merasa tidak perlu dipisahkan disebut aliran monisme, sedangkan yang merasa perlu untuk dipisahkan disebut alisan dualisme. Berikut uraian singkat mengenai kedua aliran ini: 1. Aliran Monisme Paham monisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.5 Ada banyak ahli hukum yang menganut pandangan monisme ini, dalam pendekatan terhadap tindak pidana, antara lain: a. J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”; b. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana; c. H.J.van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipermasalahkan”; d. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan dapat dihukum”.6 2. Aliran Dualisme
5
Ibid, h. 76.
6
Ibid, h. 75.
27
Pada aliran dualisme memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Para ahli hukum yang menganut paham dualisme ini misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin. Fetcher mengatakan, “we distinguish between characteristics of the act (wrongful, criminal) and characteristic of actor (insane, infant)”.7 Perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya. Menurut
aliran ini kemampuan bertanggungjawab
melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkan dengan (adanya) pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Kemampuan bertanggungjawab merupakan hal yang lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang
7
George P. Fletcher, 2000, Rethinking Criminal Law, Oxford University Press, Oxford, h. 455.
28
yang perbuatannya telah terbukti melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dijatuhi pidana.8 Menurut Adami Chazawi, unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. 1. Unsur tindak pidana menurut beberapa teori Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah dengan melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuat. Beberapa contoh dari batasan tindak pidana menurut beberapa pendapat ahli sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi adalah sebagai berikut: Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan; b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Menurut R. Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni: a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Diadakan tindakan penghukuman. Menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah: a. Kelakuan manusia; b. Diancam dengan pidana; c. Dalam peraturan perundang-undangan.9 Pendapat para ahli diatas mengenai unsur tindak pidana adalah sama yang dapat disimpulkan yaitu adanya perbuatan, yang
8
Ibid, h. 73-74.
9
Ibid, h. 79-80.
29
dilarang dalam peraturan perundang-undangan, dan diancam pidana bagi yang melanggar. 2. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat tetang pelanggaran. Tindak pidana tertentu dalam KUHP, memiliki 11 unsur tindak pidana yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Unsur tingkah laku; Unsur melawan hukum; Unsur kesalahan; Unsur akibat konstitutif; Unsur keadaan yang menyertai; Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; Unrsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana; Unsur objek hukum tindak pidana; Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana; Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. Unsur kesalahan dan melawan hukum termasuk dalam
unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif.10 2.1.3 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Konsep pertanggungjawaban pidana
merupakan konsep
yang sangat sentral dalam hukum pidana yang sering dikenal dengan ajaran kesalahan (mens rea). Suatu tindak pidana atau kejahatan akan membawa konsekuensi logis pada pertanggungjawaban pidana, yaitu berupa vonis atau penjatuhan sanksi pidana dimuka pengadilan kepada pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut. Pelaku tindak pidana
10
Ibid, h. 81-82.
30
tidak
semua
dapat
dijatuhi
pidana,
oleh
karena
asas
pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld).11 Roeslan Saleh berpendapat bahwa, pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar untuk adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya suatu perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pelaku perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan
mempunyai
kesalahan
menyangkut
pada
pertanggungjawaban pidana.12 Pemahaman
kemampuan
bertanggungjawab menurut
Pompe harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya; b. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya; c. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.13
11
Marhus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 155.
12
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana:Dua Pegertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, h. 57. 13
Amir Ilyas, op.cit, h. 74.
31
Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah sebagai berikut: a. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya; b. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara kemayarakatan adalah dilarang; dan c. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.14 Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban bertanggungjawab,
pidana, kesalahan
disamping
(schuld)
dan
kemampuan melawan
hukum
(wederechttelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan
masyarakat
oleh
pembuat.
Konsepsi
pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. b. c. d.
Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat; Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; Ada pembuat yang mampu bertanggung jawab; Tidak ada alasan pemaaf.15
2.1.4 Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana Pasal-pasal
KUHP,
unsur-unsur
delik
dan
unsur
pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam Buku II dan III, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang dapat menentukan unsur
keduanya.
Menurut
pembuat KUHP syarat
14
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 397. 15
Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 11-12.
32
pemidanaan disamakan dengan delik, oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga dalam persidangan. Unsur-unsur dari pertanggungjawaban pidana, yaitu: a. Kemampuan Bertanggungjawab Pertanggungjawaban
(pidana)
menjurus
kepada
pemidanaan pelaku tindak pidana, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang
(diharuskan),
seseorang
akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab,
maka
hanya
seseorang
yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan teori dualisme yang memisahkan antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana maka tindak pidana
merupakan
sesuatu
yang
bersifat
eksternal
dari
pertanggungjawaban pembuat. Sedangkan syarat internal dari pertanggungjawaban pembuat terletak pada diri pembuat yaitu
33
kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana.16 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggungjawab mencakup: a.
b.
Keadaan jiwanya: 1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair); 2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan; 3. Tidak terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. Kemampuan jiwanya: 1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya; 2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan 3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.17 KUHP memang tidak mengatur rumusan yang tegas
tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 Ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila tidak terdapat tentang keadaan jiwa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP tersebut.
16
Chairul Huda, 2006, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 91-93. 17
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 249.
34
b. Kesalahan Tentang kesalahan ini Bambang Poernomo menyebutkan bahwa: ”Kesalahan itu mengandung segi psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih dahulu, baru kemudian segi yang kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat”.18 Berdasarkan pendapat Bambang Poernomo tersebut dapat diketahui untuk adanya suatu kesalahan harus ada keadaan psikis atau batin tertentu, dan harus ada hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan suatu celaan, yang pada nantinya akan menentukan dapat atau tidaknya seseorang dipertanggugjawabkan secara pidana. Menurut Moeljatno, syarat-syarat kesalahan yaitu: 1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); 2. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab; 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; 4. Tidak adanya alasan pemaaf.19
18
Bambang Poernomo, 1985,Asas-asas hukum Pidana Ghalia Indonesia, Jakarta, h.
145.
35
Kesalahan sebagai salah satu faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa). Tentang apa arti dari kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP, lain halnya dengan KUHP Swiss di mana dalam Pasal 18 dengan tegas memberi pengertian tentang kesengajaan yaitu, “barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.20 Mengenai tentang sifat “sengaja” ada dua teori yang berkembang, yaitu: 1.
Teori kehendak (wilstheorie) Teori ini dikemukanakan oleh Von Hippel, menurut beliau “sengaja” adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan kata lain, adalah sengaja apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, dan boleh dikatakan bahwa “akibat dikehendaki”, apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan
19
Moeljatno,op.cit, h. 164.
20
Moeljatno,op.cit, h. 171.
36
yang dilakukan tersebut. Selanjutnya oleh VOS dikemukakan bahwa teori kehendak inilah yang dianut oleh Momorie van Toelichting (MvT). Buktinya adalah istilah “willens en wetens”, yang terdapat dalam MvT itu.21 2.
Teori membayangkan (voorstellingstheorie) Teori ini diajarkan oleh Frank yang merupakan guru besar di Tubingen, Jerman kira-kira tahun 1910, dan mendapat sokongan kuat dari Von Listiz dan Von Hamel.22 Menurut Frank, berdasarkan suatu alasan psikologis maka tidak mungkinlah hal suatu akibat dapat dikehendaki. Manusia hanya dapat mengkendaki suatu tindakan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat, manusia hanya
dapat
menginginkan,
mengharapkan,
atau
membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat. Menurut Frank
sengaja
adalah,
“apabila
suatu
akibat
(yang
ditimbulkan karena suatu tindakan) dibayangkan sebagai maksud (tindakan itu) dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat tersebut”.23
21
Utrecht, 1994, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 302.
22
Moeljatno, loc.cit.
23
Utrecht, loc.cit.
37
Biasanya dalam ilmu hukum pidana, dibedakan antara tiga macam bentuk kesengajaan, yaitu: 1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk). Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak
pidana
aktif),
menghendaki
untuk
tidak
berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan tahu juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).24 2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Adalah kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukan juga, maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.25 3. Kesengajaan
sebagai
kemungkinan
(opzet
bij
mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis. Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari
24
Adami Chazawi, op.cit, h. 96.
25
Adami Chazawi, op.cit, h. 97.
38
perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu.26 Salah satu dari bentuk kesalahan adalah culpa, menurut Wirjono Prodjodikoro arti kata dari culpa adalah: “Kesalahan
pada
umumnya,
tetapi
dalam
ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi”.27 Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut: “Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan demikian, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang
26
Adami Chazawi, op.cit, h. 96.
27
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco Jakarta, Bandung, h. 61. (Selanjutnya disebut buku I)
39
larangan tersebut, namun tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu”.28 Moeljatno menyimpulkan bahwa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Kesengajaan yaitu sikap batin orang menentang larangan dan kealpaan adalah kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.29 Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.30
28
Moeljatno,op.cit, h. 198.
29
Moeljatno, op.cit, h. 199.
30
Moeljatno, op.cit, h. 201.
40
c. Tidak Adanya Alasan Pemaaf Faktor eksternal yang menyebabkan pembuat tidak dapat dipidana dan mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat terdapat alasan penghapus kesalahan. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku, artinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan perbuatan pidana akan tetapi pelaku tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Syarat lainnya untuk adanya pertanggungjawaban pidana adalah tidak adanya alasan pemaaf. Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari pelaku. Menurut Sudarto, alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum), dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum.31
31
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 84.
41
Memorie van Toelichting (MvT) mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang” . MvT menyebut 2 (dua) alasan : 1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan 2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu. Alasan
Penghapus
pidana
yang
termasuk
dalam
alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah : 1. Daya paksa relatif (Overmacht), (Pasal 48 KUHP); 2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas ( Noodweer exces) Pasal 49 Ayat (2) KUHP; 3. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah itu sah, Pasal 51 Ayat (2) KUHP.32
2.2 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas dan Tabrak Lari 2.2.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas UULLAJ menyatakan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Pasal 229 UULLAJ menentukan sebagai berikut : (1) Kecelakaan lalu lintas digolongkan atas :
32
Amir Ilyas, 2012, op.cit, h. 91.
42
(2)
(3)
(4)
(5)
a. Kecelakaan lalu lintas ringan; b. Kecelakaan lalu lintas sedang; atau c. Kecelakaan lalu lintas berat. Kecelakaan lalu lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang. Kecelakaan lalu lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang. Kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. Kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaraan, serta ketidaklayakan jalan dan/atau lingkungan.
2.2.2 Pengertian Kecelakaan Tabrak Lari Definisi dari istilah tabrak lari dalam kamus besar bahasa Indonesia, Arti dari tabrak lari adalah: peristiwa tabrakan, yang
menabrak pergi meninggalkan korbannya. Tabrak lari juga merupakan tindakan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang bermoral. Salah satu dari nilai moral adalah mengenai pribadi manusia yang bertanggung jawab. Berdasarkan UULLAJ Pasal 312 yang menyatakan: “ Setiap orang yang mengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)."
43
2.3 Ketentuan Pidana dan Jenis Pidana yang Dapat Dijatuhkan Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Tabrak lari 2.3.1 Ketentuan Pidana dan Jenis PidanaYang Dapat Dijatuhkan Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Tabrak Lari Pidana
adalah
penderitaan,
dan
pemidanaan
adalah
penjatuhan penderitaan kepada pelaku tindak pidana karena telah memberi kerugian bagi para korbannya dengan maksud memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Menurut UULLAJ, pertanggungjawaban pidana kecelakaan lalu lintas diatur dalam : a. Pasal 310, menyatakan : “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan: 1. Kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 2. Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). 3. Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
44
b. Pasal 311, menyatakan : “Setiap
orang
yang
dengan
sengaja
mengemudikan
kendaraan bermotor dengan cara dan keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)”. Dalam hal perbuatan mengakibatkan kecelakaan lain dengan: 1. Keruskan kendaraan dan/atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah). 2. Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah). 3. Korban luka berat, dipidana dengan pidan penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Dalam BAB XXI KUHP yang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan terdapat pada pasal sebagai berikut: a. Pasal 359 KUHP : ‘Barang
siapa
karena
kesalahannya
(kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana pidana kurungan paling lama satu tahun’.
45
b. Pasal 360 KUHP: (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya (kealapaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah). Tabrak lari adalah perbuatan pelaku atau dalam hal ini pengemudi kendaraan bermotor yang meninggalkan korban kecelakaan lalu
lintas
dan
dikemudikannya.Yang
tidak
menghentikan
seharusnya
kendaraan
dilakukan
oleh
yang
pengemudi
kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas sebagaimana diatur dalam Pasal 231 UULLAJ, wajib: 1. Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya. 2. Memberikan pertolongan kepada korban 3. Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan 4. Memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. Pengemudi kendaraan yang dikarenakan keadaan memaksa dan tidak dapat menghentikan kendaraan ataupun memberikan pertolongan kepada korban ketika kecelakaan lain terjadi, keadaan memaksa yangdimaksud ialah situasi yang dapat mengancam keselamatan diri pengemudi, terutama dari amukan massa dan kondisi
46
pengemudi
yang
tidak
memungkinkan
untuk
memberikan
pertolongan. Namun dalam hal ini pengemudi kendaraan bermotor harus segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat. Jika hal ini tidak juga dilakukan oleh pengemudi yang dimaksud maka berdasarkan Pasal 312 UULLAJ, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Pengertian hukuman lebih luas dari pengertian pidana, jadi pidana termasuk salah satu jenis hukuman. Demikian dapat dikatakan pula bahwa pidana adalah perasaan tidak enak yakni penderitaan dan perasaan sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Jika dikaitkan dengan pelaku tindak pidana lalu lintas, pidana dapat dijatuhkan adalah pidana penjara, kurungan, atau denda dan selain itu dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas yang diatur dalam UULLAJ Pasal 312 dan 314.
2.4 Tindak Pidana Kealpaan yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain Pengertian kelalaian (culpa) tidak ditemukan dalam undangundang. Di kepustakaan Belanda perkataan kelalaian atau kealpaan (culpa) dipergunakan sebagai nama kumpulan culpa dan perkataan-perkataan culpa atau disebut sebagai bentuk-bentuk culpa. Tentang unsur-unsur dari
47
rumusan delik yang dikuasai atau diliputi oleh culpa. Lamintang mengemukan culpa meliputi : 1) Tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu; 2) Suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang atau suatu constitutief gevolg dan 3) Unsur-unsur selebihnya delik.33 Simons mengemukakan bahwa culpa sebagai berikut : “umumnya culpa itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhatihati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga suatu perbuatan itu walaupun suatu perbuatan itu dilakukan dengan berhati-hati masih mungkin juga terjadi culpa jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang Undang-undang”.34 Yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi : ‘Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama limatahun dan kurungan paling lama satu tahun.’ Unsur-unsur dari rumusan Pasal 359 KUHP tersebut di atas yaitu: a. Barang siapa Yang dimaksud dengan barang siapa adalah untuk menentukan siapa pelaku delik sebagai objek hukum yang telah melakukan delik tersebut
dan
memiliki
kemampuan
mempertanggung
jawabkan
perbuatannya. Dalam hal ini maksud dari pada subjek hukum yang memiliki kemampuan bertanggungjawab adalah didasarkan kepada
33
P.A.F., Lamintang, 1997, op.cit, h. 342.
34
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
h.25.
48
keadaan dan kemampuan jiwa dari pelaku yang didakwakan dalam melakukan delik, yang dalam doktrin hukum pidana ditafsirkan sebagai keadaan sadar. b. Karena kesalahannya (kelalaian atau kealpaan) Dalam unsur ini adalah bahwa matinya korban adalah akibat dari kelakuan yang tidak dikehendakki oleh terdakwa (orang yang berbuat). c. Mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain Dalam unsur ini, karena kelalaiannya atau kealpaannya menyebabkan orang lain mati, maka unsur ini adalah untuk melihat hubungan antara perbuatan yang terjadi dengan akibat yang ditimbulkan sehingga rumusan ini menjadi syarat mutlak dalam delik ini adalah akibat. Adami
Chazawi
mengemukakan
bahwa
kalimat
“menyebabkan orang mati” tidak berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP. Perbedaannya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa) sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan.35
35
Adami Chazawi, 2002, Op.cit, h. 125.