BAB II STUDI PUSTAKA
BAB II STUDI PUSTAKA
2.1. Konsep Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan Penutup lahan dan penggunaan lahan pada hakekatnya merupakan dua istilah yang memiliki
pengertian berbeda. Perbedaan tersebut perlu diperjelas, karena
seringkali keduanya digunakan secara bersama atau diasumsikan memiliki pengertian yang sama. Turner et al (1995, dalam Briassoulis, 2000) mendefinisikan penutup lahan (land cover) sebagai the biophysical state of the earth’s surface and immediate subsurface. Penutup lahan menurut definisi dari Turner et al (1995) yang diterjemahkan secara bebas, memiliki pengertian kondisi biofisik permukaan bumi dan di dekat permukaan bumi. Penutup lahan mendeskripsikan keadaan atau kondisi permukaan lahan (land surface) seperti lahan pertanian (cropland), pegunungan dan hutan. Moser (1996, dalam Briassoulis, 2000) menyatakan bahwa istilah penutup lahan pada awalnya mengacu pada jenis atau tipe vegetasi yang menutupi permukaan lahan, kemudian diperluas sehingga mencakup struktur (buatan manusia) seperti bangunan dan aspek lain dari lingkungan fisik (tanah, biodiversitas, air permukaan). Penggunaan lahan menurut Turner et al (1995, dalam Briassoulis, 2000) berkaitan dengan dua hal utama yaitu bagaimana karakteristik biofisik lahan diubah atau dimanipulasi dan tujuan dari rekayasa tersebut. Pengertian yang hampir sama dinyatakan oleh Meyer (1995, dalam Briassoulis, 2000), penggunaan lahan adalah cara bagaimana manusia memanfaatkan lahan dan sumberdaya yang ada padanya dan tujuan yang hendak dicapai dari pemanfaatan tersebut. FAO (1995, dalam Briassoulis, 2000) menyatakan: "land use concerns the function or purpose for which the land is used by the local human population and can be defined as the human activities which are directly related to land, making use of its resources or having an impact on them" (Briassoulis, 2000).
14
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa penggunaan lahan berkaitan dengan fungsi atau manfaat dari digunakannya lahan oleh manusia dan dapat didefinisikan sebagai bermacam aktivitas manusia yang berhubungan langsung dengan lahan, menggunakan dan menerima dampak dari aktivitas tersebut. 2.2. Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Kajian tentang perubahan penggunaan lahan sangat tergantung pada sistem klasifikasi penggunaan lahan yang di pilih atau digunakan dalam analisis. Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan serta dampak yang ditimbulkan hanya dapat di nilai apabila jenis atau tipe penggunaan lahan yang di analisis telah ditentukan dengan jelas. Jenis atau tipe penggunaan lahan beserta aspek sosioekonomi dan lingkungan yang penting dalam analisis dapat diidentifikasi apabila jelas sistem klasifikasi penggunaan lahan yang dijadikan acuan atau rujukan. Tidak jelasnya sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan dalam suatu analisis akan membatasi nilai dan kegunaan hasil analisis tersebut. Klasifikasi penggunaan lahan dapat dibedakan menurut dasar serta tujuan penyusunannya. Dasar penyusunan klasifikasi dipengaruhi oleh skala keruangan dari analisis yang digunakan. Skala keruangan menentukan tingkat kerincian aspek lingkungan dan sosio-ekonomi yang terdapat dalam klasifikasi. Tujuan penyusunan sistem klasifikasi menentukan atribut dari jenis-jenis penggunaan lahan yang akan dipertimbangkan. Ketersediaan teknologi untuk pengumpulan data juga menjadi faktor signifikan dalam menentukan struktur dan isi dari klasifikasi yang disusun. Sejumlah sistem klasifikasi penggunaan lahan telah dibuat dengan dasar dan tujuan yang berbeda. Klasifikasi penggunaan lahan skala global pertama kali dibuat oleh FAO pada tahun 1950-an dengan menggunaakan statistik penggunaan lahan. Klasifikasi ini berisikan penggunaan lahan utama di dunia, dan terdiri dari empat kategori yaitu: arable land, grass land, forest land dan other land. Klasifikasi yang lebih detil dari skala global umumnya disusun untuk digunakan dengan data penginderaan jauh. Tabel 2.1. menunjukkan klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang disusun oleh Anderson (1976) untuk U.S. Geological Survey (USGS). 15
Tabel 2.1. Sistem Klasifikasi Penggunaan dan Penutup Lahan dari Anderson (USGS) No. Level I
Level II
1
Urban or built up land
Residential Commercial and services Transportation, communications, and utilities Industrial and commercial complexes Mixed urban or built-up land Other urban or built-up land
2
Agricultural land
Cropland and pasture Orchards, groves, vineyards, nurseries, and ornamental horticultural areas Confined feeding operations Other agricultural land
3
Rangeland
Herbaceous rangeland Shrub-Bushland rangeland Mixed rangeland
4
Forest land
Deciduous forest land Evergreen forest land Mixed forest land
5
Water
Streams and canals Lakes Reservoirs Bays and estuaries
6
Wetland
Forest wetland Nonforested wetlands
7
Barren land
Dry salt flats Beaches Sandy areas other than beaches Bare exposed rock Strip mines, quarries, and gravel pits Transitional areas Mixed barren land
8
Tundra
Shrub and bush tundra Herbaceous tundra Bare ground tundra Wet tundra Mixed tundra
9
Perennial snow and ice
Perennial snowfields Glaciers
Sumber: Kleckner (1981, dalam Briassoulis, 2000)
16
2.3. Fenomena Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan pada hakekatnya selalu terjadi setiap waktu dan karenanya merupakan fenomena dinamis yang selalu menarik untuk dikaji. Dinamika perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu dari tiga perubahan global yang terdokumentasikan dengan baik. Perubahan global yang dimaksud, selain penggunaan lahan, adalah konsentrasi karbon dioksida dan siklus nitrogen (Agarwal et al, 2000). Fenomena perubahan penggunaan lahan banyak dikaji dengan tinjauan atau sudut pandang yang berbeda. Secara garis besar kajian tentang perubahan penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kajian tentang faktor-faktor yang memicu terjadinya perubahan dan kajian tentang dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya perubahan tersebut. Istilah yang digunakan untuk menyebut fenomena perubahan penggunaan lahan juga berbeda, diantaranya adalah konversi lahan dan alih fungsi lahan.
2.3.1. Faktor Pemicu Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan selalu disebabkan atau dipicu oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Faktor atau pemicu sering disebut dengan istilah driving force. Kombinasi driving force perubahan bervariasi menurut ruang dan waktu sesuai dengan kondisi lingkungan dan manusianya (Lambin dan Geist, 2007). Faktor biofisik seperti perubahan iklim dan kesuburan memegang peranan yang sama penting dengan faktor manusia yang di dalamnya termasuk ekonomi dan kebijakan. Perubahan penggunaan lahan cenderung di picu oleh kombinasi faktor yang bekerja secara gradual dan faktor yang terjadi secara tidak teratur (intermittently). Lambin dan Geist (2007) menyebutkan enam faktor yang secara umum menjadi pemicu
terjadinya perubahan penggunaan lahan. Faktor-faktor tersebut
adalah: perubahan kondisi alamiah (natural variability),
faktor ekonomi dan
teknologi (economic and technological factors), faktor demografi (demographic factors), faktor institusi (institutional factors), faktor budaya (cultural factors) dan 17
globalisasi (globalization). Kombinasi dari dua atau lebih dari faktor-faktor tersebut akan memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan pada tingkat ekosistem juga dipicu oleh sejumlah faktor. Nelson et al (2006) membedakan faktor pemicu perubahan ekosistem menjadi dua kategori yaitu: faktor pemicu secara tidak langsung (indirect driver) dan faktor pemicu secara langsung (direct driver). Faktor-faktor yang menjadi pemicu secara tidak langsung meliputi: faktor demografi, faktor ekonomi, faktor sosial-politik (Sociopolitical), faktor budaya dan agama serta faktor ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor-faktor yang menjadi pemicu secara langsung terdiri dari: perubahan iklim, aplikasi nutient pada sistem pertanian, perubahan lahan serta gangguan biologis dan penyakit (biological invasions and diseases) Harini (2007),
mengidentifikasi enam faktor yang mempengaruhi
perkembangan daerah pinggiran Kota Yogyakarta dan menjadi pemicu terjadinya konversi lahan. Faktor yang dimaksud adalah: ketersediaan fasilitas umum, aksesibilitas,
karakteristik
lahan,
karakteristik
kepemilikan
lahan,
inisiatif
pengembangan perumahan oleh developer dan kebijakan pemerintah. Pertumbuhan penduduk yang berakibat pada meningkatnya kepadatan juga berdampak pada meningkatnya kebutuhan lahan khusunya untuk permukiman. Hal ini juga menjadi faktor utama yang memicu terjadinya konversi lahan khususnya dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Aguayo et al (2007) menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitiannya, tiga faktor yang paling mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan perkembangan kota (urban growth patterns) di Los Angeles Chili. Faktor yang dimaksud adalah jarak terhadap jalan (distance to access road), kepadatan jaringan jalan (density of road system) dan jenis tanah. 2.3.2. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Dampak perubahan penggunaan lahan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah dampak terhadap lingkungan (environmental impact), sedangkan kategori kedua adalah dampak terhadap kondisi
18
sosial ekonomi (Socio-economic impact). Kategori dampak yang pertama lebih banyak mendapat perhatian dan pubikasi dibandingkan kategori dampak yang kedua. Ketidakseimbangan perhatian tersebut dikarenakan dampak kategori kedua lebih tidak kentara (subtle), jangkanya lebih panjang dan dampak tersebut dipengaruhi oleh faktor yang lebih kompleks (Briassoulis, 2000). Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap lingkungan memiliki dua sisi yang berbeda yaitu sisi negatif dan sisi positif. Degradasi lahan, berkurangnya ruang alami (natural space), meningkatnya polusi oleh kendaraan, berkurangnya lahan pertanian yang produktif,
dan menurunnya kemampuan sistem bilogis dalam
mendukung kebutuhan manusia merupakan contoh sisi negatif perubahan penggunaan lahan (Lambin, 2003; Aguayo et al, 2007). Sisi positif dari perubahan antara lain, meningkatnya ketersediaan pangan, penggunaan sumberdaya secara lebih efisien dan meningkatnya kesejahteraan secara umum (Lambin, 2003). Kajian terhadap dampak perubahan lebih banyak difokuskan pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh fenomena tersebut. Kajian terhadap dampak perubahan penggunaan lahan banyak dilakukan menggunakan model perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan umumnya digunakan sebagai input dalam model untuk mengkalkulasi dampak lingkungan seperti polusi, emisi, banjir, erosi dan lain sebagainya (King et al, 1989; dalam Vedkamp dan Verburg, 2004). Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap sistem air tanah (groundwater system) dilakukan oleh Dams et al (2007) dengan mengintegrasikan model CLUE-S, SetSpass dan MODFLOW. Model CLUE-S (Conversion of Land-Use and its Effects at Small regional extent) adalah model yang digunakan untuk prediksi perubahan penggunaan lahan. Tang et al (2005), mengkaji dampak perubahan penggunaan lahan terhadap runoff dan non point source (NPS) pollution pada daerah aliran sungai (watershed). Kajian dilakukan menggunakan integrasi LTM (Land Transformation Model) dan model L-THIA (The Long-Term Hydrologic Impact Assessment).
19
2.4. Model Perubahan Penggunaan Lahan Kompleksitas fenomena dunia nyata (real world phenomena), termasuk fenomena perubahan penggunaan lahan, merupakan kendala utama yang dihadapi para peneliti untuk mengkajinya secara langsung. Berbagai cara telah dilakukan untuk menyederhanakan realita yang sangat kompleks agar lebih mudah dikaji tanpa kehilangan substansi dari realita atau fenomena tersebut. Cara atau metode yang lazim digunakan untuk menyederhanakan fenomena yang kompleks adalah melalui pemodelan. Istilah model atau pemodelan telah menjadi istilah yang umum dan sering digunakan dalam kajian perubahan pengguanaan lahan. Perubahan penggunaan lahan juga banyak dikaji dengan menggunakan beragam model. 2.4.1. Hakikat dan Pengertian Model Secara sederhana model diartikan sebagai segala bentuk penyajian dari realitas (Kemp, 1993) atau bentuk penyederhanaan dari realita (Chorley dan Hagget, 1976 dalam Kuby, 2005). Model, secara lebih formal, dapat didefinisikan sebagai penyajian formal dari suatu hubungan antara kuantitas atau kualitas yang terdefinisikan (Jeffers, 1982, dalam Kemp, 1992). Pada tataran formal, dapat dikatakan bahwa hanya terdapat dua tipe dasar dari model, yaitu model fisikal dan model lojikal (Chorley dan Hagget, 1976 dalam Kemp, 1993). Model fisikal merupakan miniatur (bentuk mini) dari kenyataan yang dimodelkan dan dibentuk menggunakan material yang dapat disentuh (tangible). Model lojikal atau simbolik (logical or symbolic model) merupakan seperangkat simbol dari entitas-entitas yang memenuhi teori atau aksioma tertentu (Casti, 1989 dalam Kemp, 1993). Berdasarkan sejumlah definisi dan pengertian tentang model, dapat dipahami bahwa model pada hakekatnya merupakan bentuk penyederhanaan dari realita atau fenomena dunia nyata. Fenomena disederhanakan berdasarkan aspek-aspek yang paling mendasar (fundamental) dan relevan. Penyederhanaan dimaksudkan untuk lebih fokus pada aspek utama (main signal) dan mengabaikan aspek lain yang bersifat mengganggu (noise) atau tidak bermanfaat. Penyederhanaan dilakukan
20
dengan mengekstraksi fenomena kunci untuk dikaji dan menghilangkan detil insidentil atau faktor-faktor yang rumit (complicated). Proses ekstraksi dan penghilangan dalam penyusunan suatu model menyebabkan adanya elemen yang bersifat subyektif dan karenanya model tidak pernah benar-benar obyektif (Kuby, 2005). 2.4.2. Klasifikasi Model Suatu realita dapat dimodelkan dengan berbagai cara dan karenanya model yang dibuatpun sangat beragam. Dua tipe dasar dari model pada tataran formal adalah model fisikal dan model lojikal. Penggunaan model fisikal lebih terbatas aplikasinya dibandingkan model lojikal. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan maupun aplikasi dari model lojikal. Bagian utama (main subsets) dari model lojikal adalah model matematis. Model tersebut melibatkan sejumlah variabel, paramater, persamaan dan ketidaksamaan serta tidak mempunyai keterkitan secara fisik dengan fenomena yag dimodelkan (Kemp, 2003). Model matematis dapat diklasifikasikan dengan cara yang berbeda atau berdasarkan sejumlah dimensi tertentu. Jorgensen (1990; dalam Kemp, 1993) menyusun klasifikasi model secara dikotomi (dichotomus classification) seperti ditunjukkan pada Tabel 2.2. Model dapat diklasifikasikan berdasarkan dimensi tertentu. Kemp (1993) menyebutkan enam dimensi untuk mengklasifikasikan model. Dimensi yang dimaksud oleh Kemp (1993) adalah: perilaku ruang dan waktu (time and space related behavior), tipe data, parameter dan ekspresi yang digunakan, struktur dari model dan tipe matematik. Kategori dimensi yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan model disebutkan pula oleh Kuby (2005). Dimensi yang disebutkan Kuby (2005) adalah: fungsi (function), komposisi (composition), proses (process), keruangan (spatiality), waktu (temporality), kepastian (certainty), kelinieran (linearity) dan dimensi resolusi (resolution).
21
Tabel 2.2. Klasifikasi Model Secara Dikotomi Menurut Korgensen
Kategori Model
Deskripsi
Research models Management models
Used as a research tool Used as a management tool
Deterministic models Stochastic models
Predicted values are unique and exact Predicted values depend on probability distribution, vary from one realization to another
Differential models Matrix models
Mathematics based on differential Equations Mathematics based on matrix algebra
Reductionistic models Holistic models
Include as many relevant details as Possible Use general principles
Static models Dynamic models
Variables not dependent on time or space Variables are a function of time and/or space
Distributed models Lumped models
Parameters considered function of time and space Parameters considered as constants
Linear models Nonlinear models
First degree equations used consecutively One or more equations not first degree
Causal models
Input, states, output related by physical principles (causal relation) Input and output only statistically related
Black box models
Sumber : Korgensen, 1990 (dalam Kemp, 1993)
Fenomena perubahan penggunaan lahan dapat dimodelkan dengan beragam cara sehingga diperoleh model yang beragam pula. Model perubahan penggunaan lahan dapat dibedakan berdasarkan sejumlah kriteria. Mengacu pada sejumlah literatur, Briassoulis (2000) mengklasifikasikan model perubahan penggunaan lahan berdasarkan delapan kriteria. Kriteria yang digunakan sebagai dasar klasifikasi adalah: tujuan dari penyusunan model, teori yang melandasi penyusunan model, skala keruangan dan spatial explicitness dari model, tipe penggunaan lahan yang dipertimbangkan sebagai obyek analisis utama, tipe proses perubahan penggunaan lahan yang dipertimbangkan, perlakuan terhadap dimensi temporal dan teknik penyelesaian yang digunakan. Klasifikasi model perubahan penggunaan lahan berdasarkan delapan kriteria ditunjukkan pada Tabel 2.3
22
Tabel 2.3. Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan Kriteria Klasifikasi
Klasifikasi Model
1. Tujuan penyusunan model
Model descriptive, explanatory, prescriptive, predictive and impact assessment.
2. Landasan teori dari model
Model teori ekonomi mikro dan makro, model berbasis teori gravitasi dan interaksi keruangan, model terintegrasi.
3. Skala keruangan
Model pada skala lokal, regional, interregional, nasional dan global
4. Spatial explicitness
Model yang tergeoreferensi (fully spatially explicit) dan tidak tergeoreferensi (incompletely spatially explicit)
5. Penggunaan lahan (PL) utama yang analisis
Model sektor urban (mostly residential), model sektor pertanian (agricultural/crop) dan model sektor kehutanan
6. Proses perubahan PL yang dianalisis
Model deforestasi (deforestation), model urbanisasi (urbanization) dan sebagainya
7. Dimensi temporal
Model static, model quasi-static (atau, quasi-dynamic) dan model dinamis (dynamic)
8. Teknik penyelesaian
Model statistik (statistical), model pemrograman (programming), simulasi dan model terintegrasi
Sumber : Briassoulis (2000)
Kategori atau klasifikasi model perubahan penggunaan lahan yang tercantum pada Tabel 2.3 relatif kompleks. Kriteria yang digunakan sebagai dasar klasifikasi pada dasarnya saling berkorelasi. Suatu model dapat disusun dengan menggunakan teori yang berbeda, skala keruangan yang berbeda, bahkan teknik penyelesaian yang berbeda namun memiliki tujuan yang pada hakekatnya sama. Kriteria yang lebih umum perlu digunakan agar diperoleh klasifikasi yang lebih sederhana.
23
Briassoulis (2000) menggunakan kriteria yang lebih umum yang disebut dengan tradisi pemodelan (modelling tradition) untuk mengklasifikasikan model perubahan penggunaan lahan yang utama. Berdasarkan kriteria tersebut, model perubahan penggunaan lahan dibedakan menjadi lima kategori utama. Tabel 2.4. menunjukkan kategori utama model perubahan penggunaan lahan dan bagian (representative) dari setiap kategori utama. Tabel 2.4. Kategori Utama Model Perubahan Penggunaan Lahan Kategori Model
Bagian (representative) dari Model
1. Statistical & Econometric Model
2. Spatial Interaction Model
Potential Model Intervening Opportunities Model Gravity/spatial Interaction Model
3. Optimization Model
Linier Programming Model Dynamic Programming Model Goal Programming, Hierarchical Programming, Liniear & Quadratic, Nonlinier Programing Model Utility-Maximization Model Multi-Objective/Multi-Criteria Decison Making Model.
4. Integrated Model
Econometric-Type Integrated Model Gravity-Spatial Interaction-Based and LowryType Integrated Model Simulation Integrated Model
Linier Regression Model Econometric Model (EMPIRIC) Multinomial Logit Model Canonical Correlation Analysis Model
Urban/Metropolitan Level Simulation Model Regional Level Simulation Global Level Simulation
5. Other Modelling Approach
Input-Output-Based Integrated Model Natural-Science-Oriented Model Markov Modelling of Landuse Change GIS-Based Modelling of Landuse Change
Sumber : Briassoulis (2000)
24
2.4.3. Validasi Model Validasi adalah proses untuk mengetahui akurasi dari model dalam merepresentasikan fenomena dunia nyata (real world) sesuai dengan tujuan disusunnya model trersebut (Schlesinger et al; 1979 dalam Sargent, 1998). Definis tersebut merupakan terjemahan bebas dari definisi berikut ini: Validation is the process of determining the degree to which a model or simulation is an accurate representation of the real world from the perspective of the intended uses of the model or simulation (Schlesinger et al; 1979 dalam Sargent, 1998)
Validasi merupakan bagian penting dari suatu pemodelan empiris (empirical modelling) dalam penelitian yang bersifat multidisiplin. Validasi dilakukan dengan menguji akurasi potensial dari nilai-nilai yang diproyeksikan atau diprediksikan (Kline, 2003). Validasi terhadap model dapat dilakukan dengan menggunakan sejumlah teknik. Sargent (1998) mendeskripsikan bermacam teknik yang digunakan untuk validasi dan verifikasi pemodelan. Tabel 2.5. menunjukkan teknik validasi terhadap model menurut Sargent (1998). Teknik tersebut dapat digunakan secara subyektif ataupun obyektif. Penggunaan secara obyektif adalah dengan bantuan uji statistik atau prosedur matematis. Validasi umumnya dilakukan dengan menggunakan kombinasi dari beberapa teknik. Tabulasi silang merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui validitas hasil pemodelan. Teknik ini dapat dikategorikan sebagai event validity berdasarkan kategori tekni validasi menuru Sargent (1998). Nilai-nilai hasil pemodelan dibandingkan dengan nilai-nilai aktual pada satu tabel. Hasil pemodelan ditempatkan pada bagian baris (row) sedangkan kondisi aktual ditempatkan pada bagian kolom. Validitas hasil pemodelan dinyatakan dengan persentase benar dan nilai statistik tertentu, misal koefisien statistik atau Kappa (Sim dan Wrigth, 2005; Etter et al, 2006). Teknik validasi ini lazim digunakan untuk uji akurasi hasil klasifikasi dari data penginderaan jauh. Tabel untuk uji akurasi sering disebut juga dengan istilah error matrix (Congalton dan Green, 1993). 25
Tabel 2.5. Teknik Validasi Terhadap Model Teknik Validasi
Keterangan
1 Animation
The model’s operational behavior is displayed graphically as the model moves through time.
2 Comparison to Other Model
The simulation model being validated are compared to results of other (valid) models
3 Degenerate Tests
The degeneracy of the model’s behavior is tested by appropriate selection of values of the input and internal parameters
4 Event Validity
The “events” of occurrences of the simulation model are compared to those of the real system to determine if they are similar
5 Extreme Condition Tests
The model structure and output should be plausible for any extreme and unlikely combination of levels of factors in the system
6 Face Validity
Asking people knowledgeable about the system whether the model and/or its behavior are reasonable
7 Fixed Values
Fixed values (e.g., constants) are used for various model input and internal variables and parameters. This should allow the checking of model results against easily calculated values.
8 Historical Data Validation
If historical data exist, part of the data is used to build the model and the remaining data are used to determine (test) whether the model behaves as the system does
9 Historical Methods
The three historical methods of validation are rationalism, empiricism, and positive economics
10 Internal Validity
Several replications (runs) of a stochastic model are made to determine the amount of (internal) stochastic variability in the model
11 Multistage Validation
Combinationa of three historical methods of validation into a multistage process of validation
12 Operational Graphics
Values of various performance measures graphically as the model moves through time
13 Parameter Variability –
Consists of changing the values of the input and internal parameters of a model to determine the effect upon the model’s behavior and its output
14 Predictive Validation
Comparisons are made between the system’s behavior and the model’s forecast to determine if they are the same
15 Traces
The behavior of different types of specific entities in the model are traced through the model to determine if the model’s logic is correct and if the necessary accuracy is obtained.
16 Turing Tests
People who are knowledgeable about the operations of a system are asked if they can discriminate between system and model outputs
Sensitivity Analysis
are
shown
Sumber : Sargent (1998)
26
2.4.4. Penelitian Tentang Model Perubahan Penggunaan Lahan Kajian atau penelitian tentang perubahan penggunaan lahan melalui model atau pemodelan telah banyak dilakukan. Sejumlah penelitian yang memiliki keterkaitan atau memberi inspirasi terhadap penelitian ini diuraikan secara singkat. Penelitian dilakukan oleh sejumlah peneliti di tempat yang berbeda menggunakan model yang sama dan berbeda. Anwar (2002) menggunakan model Cellular Automata untuk mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan di sebagian daerah Nong Chok (sub urban Kota Bangkok) Thailand. Kajian terutama di fokuskan pada dinamika perubahan penggunaan lahan sawah (paddy field) menjadi tambak atau kolam ikan air tawar (fish pond) selama kurun waktu 19 tahun (1981 - 2000). Peta penggunaan lahan yang digunakan sebagai data masukan dalam model diperoleh dari hasil interpretasi foto udara Tahun 1981, 1990, 1995 dan 2000. Skala foto udara yang digunakan bervariasi yaitu skala 1: 50.000, 1: 20.000 dan yang terbesar 1: 15.000 . Singh (2003) mengkaji perubahan penggunaan lahan untuk permukiman dan pertanian menggunakan citra satelit dan model cellular automata yang diintegrasikan dengan SIG. Penelitian berlokasi di Kota Simla, Himarachal Pradesh India. Citra landsat tahun 1987 dan citra IRS (Indian Remote Sensing) 1 D tahun 1999 digunakan sebagai sumber data untuk penyusunan peta penggunaan lahan tahun 1987 dan 1999. Interpretasi citra untuk pemetaan penggunaan lahan dilakukan secara visual. Penggunaan lahan di daerah penelitian dibedakan menjadi empat kategori (kelas) yaitu permukiman, pertanian, lahan kosong (termasuk padang rumput), semak belukar dan hutan. Cellular automa digunakan untuk mengetahui dinamika perubahan lahan permukiman dan pertanian dengan mengintegrasikan faktor fisik dan sosial-ekonomi ke dalam model. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pada lahan pertanian dan permukiman. Braimoh, A.K dan Onishi, T (2007), meneliti perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Lagos, Nigeria. Perubahan penggunaan
27
lahan dikaji dalam rentang waktu 16 tahun yaitu antara tahun 1984 hingga tahun 2000. Penggunaan lahan yang menjadi fokus kajian adalah permukiman (residential) dan industri atau komersial (industrial/commercial). Sumberdata yang digunakan adalah citra satelit Landsat tahun 1984 dan 2000 serta citra satelit SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission). Model yang digunakan adalah regresi logistik biner (binary logistic regression). Variabel yang digunakan dalam analisis adalah variabel topografi, variabel aksesibilitas, variabel populasi dan variabel interaksi keruangan (Spatial interaction). Aguayo et al (2007) meneliti pola perubahan penggunaan lahan dan perkembangan kota (urban growth patterns) di Los Angeles Chili. Penelitian dilakukan menggunakan pemodelan spasial berbasis sistem informasi geografis (SIG). Tujuan dari penelitian ini adalah mengkuantifikasikan hubungan antara perkembangan kota dengan sejumlah faktor yang diduga sebagai pemicu (driving force) dan memprediksikan pola perkembangan kota. Faktor-faktor yang diduga sebagai pemicu perubahan dipilih secara a priori menggunakan hipotesis yang disusun berdasarkan pengetahuan lokal mengenai proses urbanisasi di kota tersebut. Faktor-faktor yang telah dipilih
selanjutnya digunakan sebagai variabel dalam
pemodelan. Variabel tersebut dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: varibel jarak (distance variable), variabel ketetanggaan (neighborhood variable) dan variabel lingkungan (environmental variable). Model yang digunakan adalah regresi logistik biner (binary logistic regression) dengan dua kategori variabel respon yaitu growth dan nongrowth.
2.5. Binary Logistic Regression Regresi adalah suatu model statistik yang bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara satu variabel dependent (respon) dengan satu atau lebih variabel independent (prediktor/ explanatory).
Hubungan antara variabel respon dan
prediktor dievaluasi dengan teknik yang disebut analisis regresi dan dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi. Variabel respon, dalam persamaan regresi,
28
dimodelkan sebagai fungsi dari satu atau lebih variabel prediktor. Regresi dapat digunakan untuk prediksi, inferensial, uji hipotesisi dan memodelkan hubungan timbal-balik (causal relationship). Binary Logistic Regression (regresi logistik biner) adalah model regresi dimana variabel respon bersifat biner atau dikotomi (dichotomous). Variabel biner adalah data (mewakili peristiwa atau fenomena atau obyek) yang hanya memiliki dua nilai atau dua kemungkinan. Peristiwa atau fenomena yang hanya memiliki dua nilai antara lain hidup atau mati, berhasil atau gagal, berubah atau tidak berubah. Nilai pada variabel biner umunya dinyatakan dengan angka 0 dan 1. Variabel prediktor dalam regresi logistik adalah semua tipe data. Tujuan dari analisis regresi logistik bukan mencari hubungan antara variabel prediktor dengan variabel respon secara langsung (Larsen, 2006). Variabel respon hanya memiliki dua kemungkinan yaitu 1 atau 0. Analisis regresi logistik bertujuan mencari hubungan antara variabel prediktor dengan probabilitas terjadinya kategori 1 atau 0. Probabilitas mempunyai rentang nilai antara 0 sampai dengan 1 sehingga hubungan antara probabilitas dengan variabel respon tidak bersifat linier. Hubungan antara probabilitas terjadinya suatu peristiwa dengan sejumlah faktor yang berlaku sebagai variabel prediktor membentuk kurva yang mirip huruf S dan disebut kurva sigmoid (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Bentuk Umum Kurva Sigmoid Fungsi Probabilitas
29
Kurva sigmoid dihasilkan oleh sejumlah fungsi, tapi yang paling umum adalah fungsi probabilitas. Fungsi probabilitas dapat dituliskan dengan persamaan: 1 P(x) = y =
(2.1) 1 + exp. (- β0 - β1x)
dimana P(x) adalah probabilitas terjadinya suatu peristiwa ketika variabel prediktor memiliki nilai x. Parameter β0 dan β1x menentukan lokasi dan bentuk kurva. Fungsi persamaan (2.1) simetrik pada titik dimana x = -β0 / β1x , sehingga
P(x) = 0,5
(Larsen, 2006). Fungsi probabilitas pada persamaan (2.1) tidak linier terhadap nilai x. Fungsi linier dapat diperoleh dengan melakukan transformasi logit atau logistik (logit or logistic transformation) terhadap kedua sisi persamaan. Transformasi logit yang dimaksud adalah: y Logit (y) = log (1 − y) Transformasi logit terhadap persamaan (2.1) menghasilkan persamaan : P(x) Logit (P(x)) = log = 1 - P(x)
= β0 + β1 x
(2.2)
Persamaan (2.2) merupakan fungsi liner terhadap nilai x, sehingga transformasi terhadap fungsi probabilitas menggunakan transformasi logit atau logistik akan menghasilkan nilai logit P(x). Logit probabilitas atau logit P(x) linier terhadap variabel prediktor x.
30