BAB II – STUDI PUSTAKA
BAB II STUDI PUSTAKA 2.1
Defenisi Tanah Untuk keperluan teknis, tanah dianggap merupakan suatu lapisan sedimen lepas seperti kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay) atau suatu campuran dari bahan bahan tersebut. Tanah secara teknis juga dapat didefenisikan sebagai bahan yang belum terkonsolidasi di atas batuan padat (solid). Di dalamnya, kita terutama dapat membedakan tanah atas (top soil), yaitu bagian atas setebal 0,01 sampai 0,5 m dari bahan yang belum terkonsolidasi, yang mengandung bahan organik dan zat gizi tanaman yang mendukung kehidupan tanaman. Tanah atas ini terutama menjadi bahan perhatian bagi insinyur pertanian. Tanah merupakan produk sampingan deposit akibat pelapukan batuan kerak bumi dan/atau batuan yang tersingkap dalam matriks tanah. Karena bahan tanah yang belum terkonsolidasi ini merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi, baik di darat maupun di laut, danau dan daerah daerah lain yang ditutupi air. Hanya sedikit proyek teknik, kecuali barangkali pembuatan terowongan yang dapat dilakukan tanpa menemukan sesuatu jenis tanah. Karena biasanya tidak praktis untuk meletakkan pondasi bangunan di atas batuan di bawah selubung bumi (mantle), maka penentuan letak pondasi di dalam atau di atas merupakan salah satu aspek terpenting dalam ilmu geoteknik. Tanah menduduki peran yang sangat vital dalam pembangunan sebuah konstruksi bangunan. Tanah berguna sebagai bahan bangunan dalam berbagai macam pekerjaan teknik sipil. Fungsi paling utama dari tanah adalah sebagai pendukung pondasi dari sebuah bangunan. Fungsi tanah sebagai pendukung pondasi bangunan memerlukan kondisi tanah yang stabil, sehingga apabila ada sifat tanah yang kurang mampu mendukung bangunan harus diperbaiki terlebih dahulu agar mencapai daya dukung tanah yang diperlukan. Bangunan yang akan berdiri di atas tanah tersebut diharapkan kuat dan kokoh, tidak rusak karena penurunan yang tidak merata ataupun kelongsoran dari tanah tersebut.
II-1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
2.2
Penyelidikan Tanah Dalam
sebuah
rencana
pembangunan
proyek
konstruksi,
sebelum
dimulainya pembangunan maka perlu dilaksanakan penyelidikan tanah dengan tujuan untuk mengetahui kondisi tanah pada wilayah tersebut. Penting untuk mengetahui kondisi tanah pada lokasi proyek tersebut dalam sebuah desain pondasi, karena dari hasil penyelidikan tanah tersebut nantinya diketahui apakah kondisi tanahnya lunak atau keras sehingga dapat diputuskan atau direncanakan pondasi apakah yang nantinya cocok untuk dipakai. Umumnya ada 2 penyelidikan tanah yang sering dilaksanakan dalam sebuah proyek antara lain Cone Penetration Test (CPT) atau yang sering disebut dengan sondir dan Standart Penetration Test (SPT).
2.2.1 Cone Penetration Test (CPT) / Sondir Sebelum merencanakan sebuah pondasi, maka diusahakan untuk melakukan penyelidikan tanah terlebih dahulu. Cone penetration test (CPT) atau yang lebih sering disebut dengan sondir adalah salah satu survey lapangan yang berfungsi untuk memperkirakan letak lapisan tanah keras. Adapun maksud dan tujuan dari pengujian penetrasi sondir (sondering test)
adalah untuk mengetahui
perlawanan/tahanan penetrasi konus/ujung (end resistance/cone resistance) dari lapisan tanah pendasar yang dinyatakan dalam kg/cm2 dan hambatan lekat (skin friction) yaitu gaya perlawanan konus atau bikonus yang dinyatakan dalam kg/cm. Jenis-jenis tanah tertentu sangat mudah sekali terganggu oleh pengaruh pengambilan contohnya di lapangan. Untuk menanggulangi hal tersebut, seringkali dilakukan beberapa pengujian di lapangan secara langsung. Pengujian di lapangan sangat berguna untuk mengetahui karakteristik tanah dalam mendukung beban pondasi dengan tidak dipengaruhi oleh kerusakan contoh tanah akibat operasi pengeboran dan penanganan contoh tanah (Hardiyatmo, 2010). Uji sondir atau yang dikenal dengan uji penetrasi kerucut statis banyak digunakan di Indonesia. Pengujian ini merupakan pengujian yang digunakan untuk menghitung kapasitas daya dukung tanah. Nilai-nilai tahanan kerucut statis atau hambatan konus (qc) yang diperoleh dari hasil pengujian dapat langsung dikorelasikan dengan kapasitas dukung tanah (Hardiyatmo, 2010). II-2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Pada uji sondir terjadi perubahan kompleks dari tegangan tanah saat penetrasi sehingga hal ini mempersulit interpretasi secara teoritis. Dengan demikian meskipun secara teoritis interprestasi hasil uji sondir telah ada, dalam prakteknya uji sondir tetap bersifat empiris (Rahardjo, 2008). Pada tanah pasir yang padat dan tanah-tanah berkerikil dan berbatu, penggunaan alat sondir menjadi tidak efektif, karena akan banyak mengalami kesulitan dalam menembus tanah. Nilai-nilai tahanan kerucut statis (qc) yang diperoleh dari pengujiannya, dapat dikorelasikan secara langsung dengan nilai daya dukung tanah dan penurunan pada pondasi-pondasi dangkal dan pondasi tiang. Ujung alat ini terdiri dari kerucut baja yang mempunyai sudut kemiringan 60° dan berdiameter 35,7 mm atau mempunyai luas penampang 1000 mm2. Bentuk skematis dan cara kerja alat ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1: Gambar Skematis Alat Pengujian Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 1996
II-3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Alat sondir dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengukur tahanan ujung dan tahanan terhadap gesekan dari selimut silinder mata sondirnya. Cara penggunaan alat ini, adalah dengan menekan pipa penekan dan mata sondir secara terpisah, melalui alat penekan mekanis atau dengan tangan yang memberikan gerakan ke bawah. Kecepatan penekanan kira-kira 10 mm/ detik. Pembacaan tahanan kerucut statis dilakukan dengan melihat arloji pengukurnya. Nilai qc adalah besarnya tahanan kerucut dibagi dengan luas penampangnya. Pembacaan arloji pengukur dilakukan pada tiap-tiap penembusan sedalam 20 cm. Tahanan ujung serta tahanan gesekan selimut alat sondir dicatat. Dari sini diperoleh grafik tahanan kerucut statis atau grafik sondir yang menyajikan nilai keduanya (Gambar 2.2)
Gambar 2.2: Contoh Hasil Pengujian Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 1996
II-4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Keuntungan uji sondir: 1. Cukup ekonomis dan cepat. 2. Dapat dilakukan ulang dengan hasil yang relatif hampir sama. 3. Korelasi empirik yang terbukti semakin andal. 4. Perkembangan yang semakin meningkat khususnya dengan adanya penambahan sensor pada sondir listrik. Namun meskipun demikian uji sondir pun memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan antara lain: 1. Tidak didapat sampel tanah. 2. Kedalaman penetrasi terbatas. 3. Tidak dapat menembus kerikil atau lapis pasir yang padat
2.2.2 Standar Penetration Test (SPT) Dalam desain struktur tanah pondasi sering dilakukan analisis stabilitas dan perhitungan desain pondasi suatu bangunan dengan menggunakan parameter tanah baik tegangan total maupun tegangan efektif dan identifikasi tanah. Uji penetrasi standar dilakukan karena sulitnya memperoleh contoh tanah yang tidak terganggu pada tanah granuler. Pada pengujian ini sifat-sifat tanah pasir ditentukan dari pengukuran kerapatan relatif secara langsung di lapangan. Pengujian untuk mengetahui nilai kerapatan relatif yang sering digunakan adalah uji penetrasi standar atau disebut uji SPT (Standart Penetration Test). Dalam melakukan uji penetrasi lapangan dengan SPT ini digunakan metode pengujian penetrasi dengan standar SNI 4153:2008. Standar ini merupakan hasil revisi dari SNI 03-4153-1996 metode pengujian penetrasi dengan alat SPT, yang mengacu pada ASTM D 1586-84 Standard penetration test and split barrel sampling of soils. Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh parameter perlawanan penetrasi lapisan tanah di lapangan. Parameter tersebut diperoleh dari jumlah pukulan terhadap penetrasi konus, yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi per lapisan tanah yang merupakan bagian dari desain pondasi. Standard Penetrasi Test (SPT) adalah suatu metode uji yang dilaksanakan bersamaan dengan pengeboran untuk mengetahui, baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh terganggu dengan teknik penumbukan. Ketentuan dan persyaratan peralatan, serta bahan dan perlengkapan yang II-5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
diperlukan dalam cara uji ini telah diatur dalam standar, dan dilengkapi dengan gambar alat pengambilan contoh tabung belah. Tahapan pengujian ini sangat bergantung pada alat yang digunakan dan operator pelaksana uji. Faktor yang terpenting adalah efisiensi tenaga dari system yang digunakan. Standar dilengkapi dengan gambar skema urutan uji penetrasi standar (SPT) dan gambar contoh palu yang biasa digunakan dalam uji SPT. Hasil uji penetrasi lapangan dengan SPT dilaporkan menjadi satu dengan log bor dari hasil pengeboran dalam bentuk formulir. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengujian penetrasi dengan SPT adalah: 1. Peralatan harus lengkap dan layak pakai. 2. Pengujian dilakukan di dalam lubang bor. 3. Interval pengujian dilakukan pada kedalaman antara 1.50 m – 2.00 m (untuk lapisan tanah tidak seragam) dan pada kedalaman 4 m kalau lapisan seragam. 4. Pada tanah berbutir halus, digunakan ujung split barrel berbentuk konus terbuka (open cone) dan pada lapisan pasir dan kerikil digunakan ujung split barrel berbentuk konus tertutup (close cone). 5. Contoh tanah tidak asli diambil dari split barrel sampler. 6. Sebelum pengujian dilakukan, dasar lubang bor harus dibersihkan terlebih dahulu. 7. Jika ada air tanah harus dicatat. 8. Pipa untuk jalur palu harus berdiri tegak lurus untuk menghindari adanya gesekan antara palu dengan pipa. 9. Kelengkapan formulir hasil pengujian.
2.2.2.1 Prosedur Pengujian SPT Sewaktu melakukan pengeboran inti, jika kedalaman pengeboran telah mencapai lapisan tanah yang akan diuji, mata bor dilepas dan diganti dengan alat yang disebut tabung belah standar (standart split barrel sampler). Seperti pada gambar 2.3 di bawah
II-6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Gambar 2.3: Tabung Standart Sumber gambar: Hardiyatmo, Hary Christady, 2010 Setelah tabung ini dipasang bersama-sama dengan pipa bor alat diturunkan sampai ujungnya menumpu lapisan tanah dasar dan kemudian dipukul dari atas. Pukulan diberikan oleh alat pemukul yang beratnya 63.5 kg (140 pon) yang naik turun dengan tinggi jatuh 76.2 cm (30cm) (gambar 2.3). Nilai N SPT diperoleh dengan cara sebagai berikut. Tahap pertama tabung belah standar dipukul hingga sedalam 15 cm (6”). Kemudian dilanjutkan dengan pemukulan tahap kedua sedalam 30.48 cm yang didefenisikan sebagai nilai-N. Pengujian yang lebih baik dilakukan dengan menghitung pukulan pada tiap-tiap penembusan sedalam 7.62 cm (3”) atau setiap 15 cm (6”). Dengan cara ini kedalaman sembarang jenis tanah di dasar lubang bor dapat ditaksir dan elevasi dimana gangguan dapat terjadi dalam usaha untuk menembus lapisan yang keras seperti batu dapat dicatat. Dalam kasus yang umum, uji SPT dilakukan dalam setiap penetrasi 1.5 – 2 meter atau paling sedikit pula pada tiap pergantian jenis lapisan tanah di sepanjang kedalaman lubang bor nya. Untuk pondasi dangkal interval pengujian dapat lebih rapat lagi. Uji SPT dapat dihentikan jika jumlah pukulan melebihi 50 kali sebelum penetrasi 30 cm tercapai, namun nilai penetrasinya dapat dicatat. Jika uji SPT dilakukan di bawah air tanah, maka harus dilakukan dengan hati-hati, karena air tanah yang masuk ke dalam tabung cenderung melonggarkan pasir akibat tekanan rembesan ke atas. Untuk menyamakan kedudukan muka air yang sama antara di dalam dan di luar lubang bor (agar tekanan rembesan kecil) maka di dalam lubang bisa dimasukkan air.
II-7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Untuk tanah berbatu tabung belah standart terbuka yang digunakan berbentuk tertutup dan meruncing 300 pada ujungnya (gambar 2.4). Telah dilaporkan bahwa pada umumnya nilai N yang diperoleh oleh kedua tipe alat ini mendekati sama untuk jenis tanah dan kerapatan relatif tanah yang sama. Pada perancangan pondasi, nilai N dapat dipakai sebagai indikasi kemungkinan model keruntuhan pondasi yang akan terjadi.
Gambar 2.4: Tabung SPT Untuk Tanah Berbatu Sumber: Hardiyatmo, Hary Christadi, 2010 Kondisi keruntuhan geser local (local shear failure) dapat dianggap terjadi bila N < 5 dan keruntuhan geser umum (general shear failure) terjadi pada nilai N > 30. Untuk nilai N antara 5 dan 30 interpolasi linier dari koefisien kapasitas dukung n tanah Nc, Nq, Nγ dapat dilakukan. Bila nilai kerapatan relatif (Dr) diketahui, nilai N dapat didekati dengan persamaan Mayerhoof, 1957. N = 1,7 Dr 2 (14,2 po ‘ + 10) Dimana: Dr = Kerapatan relatif Po’ = Tekanan vertikal akibat beban tanah efektif pada kedalaman tanah yang ditinjau, atau tekanan overburden efektif. Hubungan nilai N dengan kerapatan relatif (Dr)
yang diusulkan oleh
Terzaghi dan Peck (1948) untuk tanah pasir disajikan pada tabel di bawah ini.
II-8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.1: Hubungan N Dengan Kerapatan Relatif (Dr) Tanah Pasir Nilai N
Kerapatan relatif (Dr)
<4
Sangat tidak padat
4 – 10
Tidak padat
10 - 30
Kepadatan sedang
30 - 50
Padat
>50
Sangat padat
Sumber: Terzaghi dan Peck, 1948 Untuk tanah lempung jenuh, Terzaghi dan Peck (1948) memberikan hubungan N secara kasar dengan kuat tekan bebas seperti yang diperlihatkan dalam tabel 2.2 dibawah ini, dimana kuat tekan bebas (qu) diperoleh dari uji tekan bebas dengan Cu = 0,5 qu dan φ = 0. Hubungan empiris antara Cu dan N Cu = 6 N (kN/m2) Tabel 2.2: Hubungan Nilai N, Konsistensi Dan Kuat Tekan Bebas Untuk Tanah Lempung Jenuh Kuat Tekan Bebas Nilai N
Konsistensi
(qu) (kN/m2)
<2
Sangat lunak
<25
2–4
Lunak
25 – 50
4–8
Sedang
50 – 100
8 – 15
Kaku
100 – 200
15 – 30 >30
Sangat kaku Keras
200 – 400 >400
Sumber: Terzaghi dan Peck, 1948 Penggunaan hubungan nilai N dan kuat geser tanah lempung jenuh pada tabel 2.2 di atas hanya pendekatan kasar. Peck et al (1953) menyatakan bahwa II-9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
nilai N hasil uji SPT untuk tanah lempung hanyalah sebagai pendekatan kasar, sedang pada tanah pasir
nilai N hasil uji SPT dapat dipercaya. Untuk
menentukan kuat geser tanah lempung jenuh di lapangan, lebih baik jika nilainya diperoleh dari uji geser kipas (vane shear test) di lapangan atau dari pengujian contoh tanah tak terganggu di laboratorium. Untuk menentukan kapasitas dukung ijin dari hasil uji SPT
diperlukan
estimasi kasar nilai lebar pondasi (B) dari pondasi terbesar pada bangunan. Untuk pondasi dangkal, uji SPT dilakukan pada interval 2.5 ft (76 cm) di bawah dasar pondasi, dimulai dari kedalaman dasar pondasi (Df) sampai kedalaman Df – B (Terzaghi dan Peck, 1948). Nilai N rata-rata sepanjang kedalaman ini akan berfungsi sebagai gambaran kasar dari kerapatan relatif pasir yang berada di bawah dasar pondasi, yang masih mempengaruhi besarnya penurunan. Jika uji SPT dilakukan pada beberapa lubang pada lokasi berlainan, nilai N rata-rata terkecil digunakan dalam memperkirakan kapasitas dukung tanahnya.
Gambar 2.5: Uji SPT Secara Manual Sumber: Hardiyatmo, Hary Christadi, 2010 II-10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Keuntungan dan kerugian uji SPT adalah sebagai berikut: 1. Keuntungan a. Dapat diperoleh nilai N dan contoh tanah terganggu. b. Prosedur pengujian sederhana, bisa dilakukan secara manual. c. Dapat digunakan pada sembarang jenis tanah dan batuan lunak. d. Uji SPT pada pasir, hasilnya dapat digunakan secara langsung untuk memprediksi kerapatan relatif dan kapasitas dukung tanah. 2. Kerugian a. Sampel dalam tabung SPT diperoleh dalam kondisi terganggu. b. Nilai N yang diperoleh merupakan data sangat kasar bila digunakan untuk tanah lempung. c. Derajat ketidakpastian hasil uji SPT yang diperoleh bergantung pada kondisi alat dan operator. d. Hasil tidak dapat dipercaya dalam tanah mengandung banyak kerikil.
2.3
PARAMETER TANAH
2.3.1 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Data Sondir Data tekanan conus (qc) dan hambatan pelekat dari hasil pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti berikut:
II-11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.3: Klasifikasi Tanah Dari Data Sondir
Hasil Sondir
Klasifikasi
Qc
Qs
6
0,15 - 0,40
Pasir kelanauan lepas, pasir sangat
0,20
lepas
6,0 - 10,00 0,20 - 0,60
10,00 - 30,00
Humus, lempung sangat lunak
Lempung lembek, lempung kelanauan lembek
0,1
Kerikil lepas
0,10 - 0,40
Pasir lepas
0,40 - 0,80
Lempung atau lempung kelanauan
0,80 - 2,00
Lempung agak kenyal
1,50
Pasir kelanauan, pasir agak padat Lempung atau lempung kelanauan
30 – 60 1,0 - 3,0 1,50
Kenyal Kerikil kepasiran lepas Pasir padat, pasir kelanauan atau
60 – 150
1,0 - 3,0 3,0
lempung padat dan lempung kelanauan Lempung kekerikilan kenyal Pasir padat, pasir kekerikilan, pasir
150 – 300
1,0 - 2,0
kasar pasir, pasir kelanauan sangat padat
Sumber: Das, M Braja, 1995
II-12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Hubungan antara konsistensi terhadap tekanan conus dan undrained cohesion adalah sebanding dimana semakin tinggi nilai c dan qc maka semakin keras tanah tersebut. Seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.4: Hubungan Antara Konsistensi Dengan Tekanan Conus Tekanan
Undreined
Conus qc
Cohesion
(kg/cm2)
(t/m2)
Very Soft
<2,50
<1,25
Soft
2,50 - 5,00
1,25 - 2,50
Medium Soft
5,0 - 10,0
2,50 - 5,00
Stiff
10,0 - 20,0
5,0 - 10,0
Very stiff
20,0 - 40,0
10,0 - 20,0
Hard
>40,0
>20,0
Konsistensi Tanah
Sumber : Begeman 1965 Begitupula hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N SPT, qc dan Ø adalah sebanding. Hal ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
II-13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.5: Hubungan Kepadatan Dengan Relative Density, Nilai N-SPT qc dan Ø Relatif Kepadatan
Density (ϒd)
Very Loose (sangat lepas) Loose (lepas)
Nilai N SPT
Tekanan Konus qc (kg/cm2)
Sudut Geser (Ø)
<0,2
<4
<20
<30
0,2 - 0,4
4 – 10
20 – 40
30 – 35
0,4 - 0,6
10 – 30
40 - 120
35 – 40
0,6 - 0,8
30 – 50
120 - 200
40 – 45
0,8 - 1,0
>50
>200
>45
Medium Dense (Agak Kompak) Dense (Kompak) Very Dense (Sangat Kompak)
Sumber: Mayerhoof, 1965 2.3.2 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Pemakaiannya Berdasarkan pemakaiannya, ada 2 klasifikasi tanah yaitu dengan cara UNIFIED dan AASHTO. 2.3.2.1 Klasifikasi Menurut Sistem AASHTO Setiap tanah diberi simbol dua huruf dan dari simbol tersebut dapat diketahui jenis dan sifatnya. Huruf pertama menunjukkan jenisnya, misal: G = Gravel (kerikil) S = Sand (pasir) M = Silt (lanau) C = Clay (lempung) O = Tanah Organik Huruf kedua menunjukkan sifat II-14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
W = Well (bergradasi baik) P = Poorly Graded (bergradasi jelek) M = Mengandung lanau L = Low Plasticity (bersifat plastisitas rendah) H = High Plasticity (bersifat plastis tinggi)
Tabel 2.6: Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED Simbol
Divisi Utama
Kerikil bersih
(hanya kerikil)
Kerikil bergradasi baik dan campuran
ayakan
GW
kerikil pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus Kerikil bergradasi buruk dan campuran
GP
kerikil pasir sedikit atau sama sekali
GM halus
Kerikil dengan butiran
no 4
tidak mengandung butiran halus
GC
Kerikil berlanau, campuran kerikil pasir – lanau Kerikil berlempung campuran pasir kerikil – lempung
(hanya pasir)
Pasir bersih
Pasir bergradasi baik, pasir berkerikil, SW
sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran atau pasir halus Pasir bergradasi buruk dan pasir
SP
berkerikil, sedikit atau samasekali tidak mengandung butiran pasir halus
SM halus
Pasir dengan butiran
pada ayakan no 4
Kerikil 50%. Atau lebih dari fraksi kasar tertahan Pasir. Lebih dari 50% fraksi kasar lolos
Lebih dari 50% tertahan pada ayakan no 200
Tanah berbutir kasar.
Nama Umum
Kelompok
SC
Pasir berlanau, campuran pasir – lanau
Pasir berlempung, campuran pasir – lempung
Sumber: Das, M Braja, 1995 II-15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.7: Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED
Simbol
Divisi Utama
Nama Umum
Kelompok
ML
serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung
ayakan no 4
Lempung anorganik dengan plastisitas CL
rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung "kurus"
GL
Lanau - organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah Lanau anorganik atau pasir halus
tertahan pada ayakan no 4
Pasir. Lebih dari 50% fraksi kasar lolos Kerikil 50%. Atau lebih dari fraksi kasar
Lebih dari 50% atau lebih lolos pada ayakan no 200
Tanah berbutir halus.
Lanau anorganik, pasir halus sekali,
Tanah tanah dengan kandungan organik sangat tinggi
MH
diatomae atau lanau diatomae lanau yang elastic
CH
OH
PT
Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi lempung gemuk (fat clays)
Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi Peat (gambut) , muck, dan tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi
Sumber: Das, M Braja, 1995
II-16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.8: Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED
Sumber: Das, M Braja, 1995
II-17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
2.3.2.2 Klasifikasi Tanah Menurut AASHTO Sistem AASHTO dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini mengklasifikasikan tanah ke dalam 7 (tujuh) kelompok besar yaitu mulai A1 sampai dengan A7. Tanah yang diklasifikasi A-1, A-2 dan A-3 adalah tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan no 200. Tanah dimana lebih dari 35% butirannya lolos ayakan no 200 diklasifikasikan ke dalam kelompok A-4, A-5, A-6 dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai A-7 tersebut sebagian besar adalah lanau dan lempung. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria berikut: 1. Ukuran Butir Kerikil: Bagian tanah yang lolos ayakan dengan diameter 75 mm (3 inch) dan yang tertahan pada ayakan no 20 (2mm) Pasir : Pada bagian tanah yang lolos ayakan no 10 (2mm) dan yang tertahan pada ayakan no 200 (0,075 mm) 2. Plastisitas Nama Berlanau dipakai apabila bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastisitas (Plasticity Index /PI) sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung dipakai bilamana bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis sebesar 11 atau lebih. 3. Apabila batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) ditemukan dalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya, maka batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
II-18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.9: Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO Klasifikasi
Tanah Berbutir
Umum
(35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200) A1
Kasifikasi Ayakan
A-1-a
A-1-b
A-3
A-2 A-2-4
A-2-5
A-2-6
A-2-7
Maks 35
Maks 35
Analisis Ayakan (% Lolos)
Maks
Min
No. 10
Maks 50
50
51
No. 40
Maks30
Maks
Maks
Maks
Maks
No.200
Maks 15
25
10
35
35
Maks
Min
40
41
Maks
Maks
Maks 40
Min 41
10
10
Min 11
Min 11
Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair
Maks 6
(LL) Indeks Plastisitas (PI)
NP
Tipe material yang paling dominan
Batu pecah
Pasir
kerikil
halus
Kerikil dan pasir yang berlanau
pasir Penilaian sebagai bahan dasar
Baik sekali sampai baik
tanah Sumber: Das, M Braja, 1995
II-19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.10: Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO
Klasifikasi umum
Tanah lanau-lempung (lebih dari 35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200) A-7
Klasifikasi kelompok
A-4
A-5
A-6
A 7-5 A 7-6
Analisis ayakan (% lolos) No. 10
Min 36
Min 36
Min 36
Min 36
Maks 40
Maks 41
Maks 40
Min 41
Maks 10
Maks 10
Min 11
Min 11
No. 40 No. 200
Sifat fraksi yang lolos ayakan No. 40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
Tipe material yang paling
Tanah berlanau
Tanah berlempung
dominan
Penilaian sebagai bahan tanah dasar
Biasa sampai jelek
Sumber: Das, M Braja, 1995 II-20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
2.4
Pondasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:414) yang menyatakan bahwa pondasi merupakan dasar bangunan yang kuat dan biasanya terletak di bawah permukaan tanah tempat bangunan didirikan. Pondasi merupakan tahap awal dalam membangun sebuah bangunan. Dan pondasi berasal dari kata foundation, dalam bahasa keseharian masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan kata fondasi atau lebih sering disebut pondasi. Secara umum pondasi adalah suatu konstruksi pada bagian dasar struktur bangunan (substructure) yang berfungsi meneruskan beban dari bagian atas struktur bangunan (upper-structure) ke lapisan tanah yang berada di bagian bawahnya tanpa mengakibatkan keruntuhan geser tanah, dan penurunan (settlement) tanah/ pondasi yang berlebihan.
2.4.1 Jenis jenis pondasi. Secara umum ada dua jenis pondasi, yaitu pondasi dalam dan pondasi dangkal. 2.4.1.1 Pondasi Dangkal Pondasi jenis ini biasanya dilaksanakan pada tanah dengan kedalaman tanah tidak lebih dari 3 meter atau sepertiga dari dari lebar alas pondasi. Dengan kata lain, pondasi ini diterapkan pada tanah yang keras atau stabil yang mendukung struktur bangunan yang tidak terlalu berat dan tinggi, dengan kedalaman tanah keras kurang dari 3 meter. Pondasi dangkal tidak disarankan untuk dilaksanakan pada jenis tanah yang kurang stabil atau memiliki kepadatan tanah yang buruk, seperti tanah bekas rawa/gambut. Bila kondisi memaksa untuk dilaksanakan pada tanah yang kurang stabil, harus diadakan perbaikan tanah terlebih dahulu, dengan sistem memakai cerucup/tiang pancang yang ditanam di bawah pondasi. Salah satu jenis pondasi dangkal adalah pondasi telapak. Pondasi telapak adalah suatu pondasi yang mendukung secara langsung pada tanah pondasi, bilamana terdapat lapisan tanah yang cukup tebal dengan kualitas yang baik yang mampu mendukung bangunan itu pada permukaan tanah atau sedikit dibawah permukaan tanah. Alas pondasi telapak terletak pada lapisan tanah pendukung yang mempunyai kualitas cukup baik. Biasanya, selain lapisan batu dasar atau kerikil, lapisan tanah berpasir (sandy soil) memiliki N yang lebih besar dari 30, dan tanah kohesif memiliki nilai N yang lebih besar dari 20. Perencanaan pondasi telapak harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut: II-21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
a. Struktur secara keseluruhan adalah stabil dalam arah vertikal, arah mendatar dan terhadap guling. b. Pergeseran bangunan (besarnya penurunan, sudut kemiringan, dan pergeseran mendatar) harus lebih kecil dari nilai yang diijinkan bagi bangunan bagian atas. c. Bagian bagian pondasi harus memiliki kekuatan yang diperlukan.
Daya dukung vertikal yang diijinkan: gaya vertikal yang bekerja pada dasar pondasi tidak boleh melebihi daya dukung (bearing capacity) tanah pondasi yang diijinkan. Daya dukung tanah pondasi yang diijinkan dihitung dengan persamaan berikut ini Qu n Dimana:
Qa =
Qu = Daya dukung ultimate pondasi n = Faktor keamanan
2.4.1.2 Pondasi Dalam Pondasi dalam pondasi yang berada di dalam tanah dengan kedalaman tertentu yang berfungsi untuk meneruskan beban bangunan kedasar tanah. Pondasi dalam biasanya dipasang pada kedalaman lebih dari 3 meter di bawah elevasi permukaan tanah. Pondasi dalam dapat digunakan untuk mentransfer beban ke lapisan yang lebih dalam untuk mencapai kedalaman tertentu sampai didapat jenis tanah yang mendukung daya beban struktur bangunan sehingga jenis tanah yang tidak cocok tidak mempengaruhi struktur bangunan. 1. Pondasi Tiang Pondasi tiang adalah suatu jenis konstruksi pondasi yang mampu menahan gaya orthogonal ke sumbu tiang dengan cara menyerap lenturan. Pondasi tiang dibuat menjadi satu kesatuan monolit dengan menyatukan pangkal tiang pancang yang terdapat di bawah konstruksi dengan tumpuan pondasi. Perencanaan jenis tiang yang akan dipakai ditentukan berdasarkan persamaan berikut ini:
II-22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
.
Tiang Pancang:
> 3
Pondasi tiang pendek: 1 <
Kaison : l
=
.
.
≤ 3
≤ 1
Dimana : l
= Panjang tubuh pondasi yang tertanam didalam tanah (cm)
k
= Koefisien reaksi tanah dalam arah melintang (kg/cm3)
D = Diameter atau lebar tubuh pondasi (cm) El = Kekakuan lentur tubuh pondasi
2. Penggolongan dan Penggunaan Pondasi Tiang Pondasi tiang digolongkan berdasarkan kualitas materialnya, cara pelaksanaan, pemakaian bahan dan sebagainya.
II-23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.11 : Jenis Jenis Tiang Jenis
Nama Tiang
Bahan
Cara Pembuatan
Bentuk
Disambung secara Tiang Pipa Baja
elektris, diarah
Bulat
mendatar,
Tiang
mengeliling
Baja Tiang dengan flens lebar (penampang H)
Diasah dalam
H
keadaan panas, dilas
Tiang
1) Diaduk dengan
Bulat,
Tiang beton bertulang
gaya sentrifugal. 2)
segitiga
pracetak
Diaduk dengan
dan lain
penggetar
lain
Beton Pracetak
Tiang beton prategang parcetak
1) Sistem penarikan awal. 2) Sistem
Bulat
penarikan akhir
Tiang alas Tiang beton Tiang
Sistem pemancangan
Raymond
Beton 1) Dengan Tiang
menggoyangkan
yang
semua tabung
dicor
pelindung. 2) Dengan
ditempat
membor tanah. 3)
Bulat Sistem pemboran
Dengan pemutaran berlawanan arah. 4) Dengan pondasi dalam
Sumber: Bowless, E Joseph, 1992
II-24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
3. Dasar Dasar Perencanaan Pada umumnya gaya longitudinal (gaya tekan pemancangan maupun gaya tariknya) dan gaya orthogonal terhadap batang (gaya horizontal pada tiang tegak) dan momen lentur yang bekerja pada ujung tiang, seperti gaya luar yang bekerja pada keliling tiang selain dari kepala tiang seperti pada gambar 2.6, pondasi tiang harus direncanakan sedemikian rupa sehingga daya dukung tanah pondasi, tegangan pada tiang dan pergeseran kepala tiang akan lebih kecil dari batas batas yang diijinkan.
Gambar 2.6 : Beban Yang Bekeja Pada Kepala Tiang Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1980
II-25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Gambar 2.7: Gaya Yang Bekerja Pada Tubuh Tiang Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1980
2.4.2 Daya Dukung Berdasarkan Data CPT/Sondir Daya dukung pondasi dapat dihitung jika didapat data Cone Penetration Test (CPT) atau yang umum disebut data sondir. Perencanaan pondasi tiang pancang dengan menggunakan data CPT dihitung dengan menggunakan rumus Mayerhoof dan Price and Wardle. 2.4.2.1 Metode Mayerhoof metode langsung dengan formula yang diperkenalkan oleh Mayerhoof sebagai berikut Qu = (qc x Ab) + JHL x Kt Qa =
qc x Ab JHL x Kt + 3 5
Dimana:
Qu
= Daya Dukung ultimate tiang
Qa
= Daya dukung ijin tiang
Qc
= Tahanan ujung sondir
Ab
= Luas tiang
JHL = Jumlah hambatan lekat Kt
= Keliling tiang
II-26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
3,5 = Faktor keamanan
2.4.2.2 Metode Price and Wardle Pengembangan lain dalam korelasi langsung untuk memprediksi komponen daya dukung berdasarkan CPT adalah metode Price and Wardle (1982), pada metode ini dimaksudkan untuk memprediksi qb dan fp tiang dari data CPT yaitu qc dan fs Qb = qt x Ap qt
= kb x qc
Dimana: qt
= Perlawanan ujung sondir dengan faktor
kb
= Faktor pemancangan
Qb = Daya dukung ujung tiang Daya dukung kulit pondasi (f) dihitung dengan persamaan berikut ini Qs = f x As f
= ks x fs
Dimana: Ks = Faktor pemancangan Fs = Perlawanan geser
Tabel 2.12: Nilai Variasi Ks Variasi Nilai Ks Ks
Jenis Tiang
0.53
Driven Piles
0.62
Jacked Piles
0.49
Drilled Shaft
Sumber: Price and Wardle (1982)
II-27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.13: Nilai Variasi Kb Variasi Nilai Kb Kb
Jenis Tiang
0.35
Driven Piles
0.3
Jacked Piles
Sumber: Price and Wardle (1982)
2.4.3 Daya Dukung Berdasarkan data N SPT Daya dukung pondasi dengan data N SPT dihitung dengan menggunakan rumus Mayerhoof dan Luciano De Court.
2.4.3.1 Metode Mayerhoof Pondasi tiang pancang dengan menggunakan metode langsung dengan formula yang diperkenalkan oleh Mayerhoof sebagai berikut. Qp = 40 x Nb x Ap Dimana:
Qp = Tahanan Ujung Ultimit Nb = Harga N-SPT pada elevasi ujung tiang Ap = Luas penampang Nb = ( N1 + N2 )/2 N1 = Nilai SPT pada kedalaman 3B pada ujung tiang kebawah N2 = Nilai SPT pada kedalaman 8B pada ujung tiang keatas Nilai N dalam metode ini dibatasi sebesar < 40.
Sementara tahanan selimut dihitung dengan rumus sebagai berikut. Qs = 0.2 x N x As Dimana:
As = Keliling tiang
2.4.3.2 Metode Luciano De Court Daya dukung tiang berdasarkan metode Luciano De Court dihitung berdasarkan rumus berikut. QL
= QP + QS
Dimana:
II-28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
QL
= Daya dukung tanah maksimum pada pondasi
QP
= Resistance ultimate pada dasar pondasi
QS
= Resistance ultimate akibat lekatan lateral
QP
= qp x Ap = (Np x K) x Ap
Dimana: Np
= Harga rata rata SPT disekitar 4B diatas hingga 4B dibawah dasar tiang
pondasi. (B adalah diameter tiang) K
= Koefisen karakteristik tanah
Ap
= Luas penampang dasar tiang
Qp
= Tegangan ujung tiang
Tabel 2.14: Nilai Koefisien Karakteristik tanah
Nilai K (t/m2)
Jenis Tanah
12
Lempung
20
Lanau berlempung
25
Lanau berpasir
40
Pasir
Sumber: Luciano De Court
QS
= qs x As = (Ns / 3 + 1) x As
Dimana: qs
= Tegangan akibat lekatan lateral (t/m2)
Ns
= Harga rata rata SPT sepanjang tiang yang tertanam.
As
= Luas selimut tiang sepanjang tiang yang terbenam.
2.4.4 End Bearing Pile (Daya Dukung Ujung Tiang) Tiang pancang yang tertahan pada ujungnnya. Tiang pancang yang dihitung berdasarkan pada tahanan ujung (End Bearing Pile) ini dipancang sampai pada lapisan tanah keras, yang mampu memikul beban yang diterima oleh beban tiang tersebut. Sardjono HS, 1991. II-29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
1. Terhadap kemampuan tiang Berdasarkan kekuatan bahan P = σ Bahan x A tiang Dimana : P = Kekuatan yang diijinkan pada tiang pancang σ Bahan = Tegangan tekan ijin bahan tiang (kg /cm2) A tiang
= Luas penampang tiang
2. Terhadap Kemampuan Tanah Berdasarkan konus A tiang x p 3 Q tiang = Daya dukung keseimbangan tiang
Q tiang = Dimana
P
= Nilai konus dari hasil sondir
3
= Faktor keamanan
Nilai konus yang dipakai sebaiknya diambil dari nilai rata rata pada kedalaman 4D di atas ujung bawah tiang dan 4D di bawah ujung bawah tiang Dengan rumus Terzaghi Q tiang = Dimana:
A tiang x q 3 Q tiang = Daya dukung keseimbangan tiang (kg) A tiang = Luas penampang tiang (cm2) q
= Daya dukung keseimbangan tanah (kg/cm2)
3
= Faktor keamanan
Q dihitung dengan rumus terzaghi, untuk penampang bujursangkar q = 1,3 c Nc + γ Nq + 0,4 BNγ Untuk penampang lingkaran: q = 1,3 c Nc + γ Z Nq + 0,6 R N γ Dimana
: z = panjang tiang yang berada dalam tanah (cm) B = ukuran sisi tiang dengan tampang bujur sangkar (cm) R = Jari jari tiang untuk penampang lingkaran
II-30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
2.4.5 Friction Pile Bila lapisan tanah keras letaknya sangat dalam sehingga pembuatan dan pemancangan tiang sampai lapisan tanah keras sangat sukar dilaksanakan, maka dalam hal ini kita pergunakan tiang pancang yang daya dukungnya berdasarkan pelekatan antara tiang dengan tanah (clef). Hal ini sering terjadi bila kita memancangkan tiang dalam lapisan lempung, maka perlawanan pada ujung tiang akan jauh lebih kecil daripada perlawanan akibat pelekatan antara tiang dan tanah (cleef), karena itu untuk menghitung daya dukung tiang yang kita pancangkan dalam lempung kita harus dapat menentukan besarnya gaya pelekatan antara tiang dengan tanah. Besarnya gaya pelekatan antara tiang dengan tanah dapat diukur dengan percobaan sondir dengan memakai alat bikonus. Bikonus ini selain dapat mengukur perlawanan ujung dapat pula mengukur gaya pelekatan antara konus dengan tanah. Gaya ini disebut hambatan pelekatan dan dalam grafik biasanya angka angka nya dijumlahkan sehingga kita dapatkan jumlah hambatan lekat, yaitu jumlah hambatan pelekatan dari permukaan tanah sampai ke kedalaman yang diinginkan. Daya dukung terhadap kemampuan tiang berdasarkan sondir Q tiang = Dimana
O x L x c 5 Q tiang = Daya dukung tiang (kg) O
= Keliling tiang (cm)
L
= Panjang tiang yang masuk kedalam tanah (cm)
C
= Harga clef rata-rata.
5
= Faktor keamanan
2.4.6 End Bearing dan Friction Pile Jika kita memancang tiang sampai tanah keras melalui tanah lempung maka untuk menghitung daya dukungnya harus diperhitungkan baik tahahan ujung dan friction pilenya. Kemampuan tiang berdasarkan bahan P tiang = σ x A tiang Dimana: II-31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
P tiang = Kekuatan yang diijinkan pada tiang pancang (kg) = Tegangan ijin tekan bahan tiang (kg/cm2)
σ
A tiang = Luas penampang tiang (cm2) Kemampuan tiang terhadap kekuatan tanah Beban sementara: Q tiang =
A tiang x P o x L x c + 5 2
Beban tetap/statis: Q tiang =
A tiang x P o x L x c + 3 5
Beban Dinamis: Q tiang =
A tiang x P o x L x c + 5 3
Dimana: Q tiang = Daya dukung keseimbangan tiang (kg) P
= Nilai konus dari sondir (kg/cm2)
O
= Keliling tiang (cm)
L
= Panjang tiang yang berada didalam tanah (cm)
C
= Harga clef rata rata
2.4.7 Daya Dukung Berdasarkan Kekuatan Tiang Pancang Daya dukung yang akan dihitung adalah daya dukung ijin dan ultimate berdasarkan material bahan yang dipakai dalam produk tiang pancang ukuran 45x45 cm produksi JHS. System. Kemampuan tiang dalam memikul beban ijin dan ultimate dihitung dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain faktor jumlah strand, lilitan spiral dan faktor mutu beton. 1. Axial Load Nominal Pn = 0.85 x fc x (Ag − n x As) − fpc x Ag Dimana Ag
= Area concrete
Fpc = Effective prestress of concrete As
= Area of strand
2. Axial Load Ultimate Pu
= ϕ x Pn II-32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Dimana Φ
= 0.7 (Faktor reduksi aksial dengan spiral)
Pn
= Axial load nominal
3. Axial Load Allowable Pa
= ( 0.33 x fc’ – 0.27 x fpc) x Ag
2.4.8 Kapasitas Dukung Tiang Berdasarkan Rumus Dinamik Hitungan kapasitas dukung ultimit tiang secara dinamik didasarkan pada rumus tiang pancang dinamik. Rumus ini hanya berlaku untuk tiang tunggal dan tidak memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kelakuan tanah yang terletak di bawah dasar kelompok tiang dalam mendukung beban struktur. 2. Reduksi tahanan gesek sisi tiang sebagai akibat pengaruh kelompok tiang. 3. Perubahan struktur tanah akibat pemancangan. Karena itu data hasil pengujian hanya digunakan sebagai salah satu informasi perancangan tiang, yang selanjutnya masih harus dipertimbangkan terhadap kondisi-kondisi yang lain supaya hasilnya lebih meyakinkan. Pada tanah pasir tidak padat dan jenuh air, pemancangan tiang mengakibatkan kenaikan tekanan air pori yang tinggi sehingga tahanan gesek tanah tereduksi. Pada tanah-tanah plastis seperti lempung lunak atau lanau halus, hubungan antara tahanan tiang sementara (sewaktu proses pemancangannya) dan tahanan tiang permanen akibat beban yang diharapkan tidak menentu. Pada tanah-tanah ini, tahanan gesek tiang selama proses pemancangan sangatlah kecil dibandingkan dengan tahanan gesek sesudah waktu yang lama. Namun, tahanan tiang terhadap pukulan dinamik jauh lebih besar daripada tahanan beban statis yang diterapkan pada periode waktu yang lama. Hal ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam menggunakan rumus pancang tiang pada tanah-tanah yang bersifat plastis. Berbagai cara telah dikerjakan untuk menentukan hubungan antara tahanan dinamik tiang selama pemancangan dengan kapasitas dukung tiang terhadap beban statis (contohnya beban akibat beban struktur). Hubungan keduanya disebut rumus pancang tiang (pile driving formula). Hubungan antara tahananII-33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
tahanan static dan dinamik tiang seperti yang dinyatakan dalam rumus pancang tiang harus tidak bergantung waktu, jika rumusnya tepat. Hal ini menyebabkan rumus tersebut tidak berlaku untuk tiang dalam tanah lempung. Oleh karena itu rumus pancang tiang tidak diterapkan pada tiang dalam tanah kohesif dan lebih tepat untuk tiang pada tanah granuler. 2.4.8.1 Alat Pancang Tiang Dalam pemasangan tiang ke dalam tanah tiang dipancang dengan alat pemukul yang dapat berupa pemukul (hammer), mesin uap, pemukul getar atau pemukul yang hanya dijatuhkan. Skema dari berbagai macam alat diperlihatkan dalam gambar 2.7. Pada gambar tersebut diperlihatkan pula alat-alat perlengkapan pada kepala tiang dalam pemancangan. Penutup tiang (pile cap) biasanya diletakkan menutup kepala tiang yang kadang-kadang dibentuk dalam geometri terututup. Tiang dan pemukul dipasang pada peralatan crane yang dilengkapi dengan rangka batang baja sebagai pengatur jatuhnya pemukul ke kepala tiang yang disebut lead seperti pada gambar 2.8. 1. Pemukul Jatuh/Drop Hammer Pemukul jatuh terdiri dari blok pemberat yang dijatuhkan dari atas. Pemberat ditarik dengan tinggi jatuh tertentu kemudian dilepas dan menumbuk
tiang.
Pemakaian
alat
tipe
ini
membuat
pelaksanaan
pemancangan berjalan lambat, sehingga alat itu hanya dipakai pada volume pekerjaan pemancangan yang kecil. 2. Pemukul Aksi Tunggal (single- acting hammer) Pemukul aksi tunggal berbentuk memanjang dengan ram yang bergerak naik oleh udara atau uap yang terkompresi, sedangkan gerakan turun ram disebabkan oleh beratnya sendiri. Energi pemukul aksi tunggal adalah sama dengan berat ram dikalikan jatuhnya (2.8a) 3. Pemukul Aksi Double (double-acting hammer) Pemukul aksi dobel menggunakan uap atau udara untuk mengangkat ram dan untuk mempercepat gerakan ke bawahnya (gambar 2.8b). Kecepatan pukulan dan energy output biasanya lebih tinggi daripada pemukul aksi.
II-34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Gambar 2.8: a) Pemukul Aksi Tunggal, b) Pemukul Aksi Double Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 2010
4. Pemukul Diesel (diesel hammer) Pemukul biasanya terdiri dari silinder, ram, blok anvil dan system injeksi bahan bakar. Pemukul tipe ini umumnya kecil ringan dan digerakkan dengan menggunakan bahan bakar minyak. Energi pemancangan total yang dihasilkan adalah jumlah benturan dari ram ditambah energy hasil dari ledakan (gambar 2.8c)
II-35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Gambar 2.8: c) Pemukul Diesel. d) Pemukul Getar Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 2010
5. Pemukul Getar (vibratory hammer) Pemukul getar merupakan unit alat pancang yang bergetar pada frekuensi tertinggi. (gambar 2.8d). Estimasi kapasitas dukung tiang umumnya didasarkan pada jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk memancang tiang pada penetrasi yang ditentukan. Setiap jatuhnya pemukul akkan memberikan energi pada tiang. Jumlah pukulan total adalah energi total untuk menggerakkan tiang pada penetrasi tertentu. Energi ini dapat dikaitkan dengan tahanan tanah dan kapasitas dukung. Namun pengawasan pemancangan tiang memerlukan tidak hanya jumlah pukulan. Hal ini bergantung pada alat pancang yang digunakan kontraktor. Kehilangan energi akan terjadi bila sistem pemukul tidak lurus, tebal bantalan berlebihan dan lain lain. Semakin tinggi hilangnya energi pemukulan, semakin besar jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk penetrasi tiang. Umumnya spesifikasi energi alat pemukul yang dikeluarkan oleh pabrik alat pancang didasarkan pada kehilangan energi minimum. Jika ternyata energi yang hilang besar maka dibutuhkan jumlah pukulan yang lebih banyak. Tingginya jumlah pukulan ini dapat menyesatkan dalam penentuan kedalaman tiang pancang yang memenuhi syarat kapasitas dukung. II-36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Kepala tiang beton harus dilindungi dengan bantalan yang dibuat dari kayu keras atau plywood. Tebal minimum bantalan harus tidak kurang dari 10 cm. Bantalan yang baru harus disediakan untuk setiap tiangnya. Elemenelemen penting dalam system pemancangan adalah: lead, anvil, topi (helmet), ram dan untuk tiang beton, bantalan tiang (pile cushion). Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing elemen (gambar 2.9)
Gambar 2.9: Alat Pancang Tiang Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 2010
a. Lead adalah rangka baja dengan dua bagian pararel sebagai pengatur tiang agar pada saat dipancang arahnya benar. Jadi leader berfungsi agar tetap berpusat ada sistem tiang. b. Anvil adalah bagian yang terletak pada dasar pemukul yang menerima benturan dari ram dan mentransernya ke kepala tiang.
II-37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
c. Topi (helmet) atau drive cap (penutup pancang) adalah bahan yang dibuat baja cor yang diletakkan diatas tiang untuk mencegah tiang dari kerusakan saat pemancangan dan untuk menjaga agar as tiang sama dengan as pemukul. d. Bantalan (cushion) dibuat dari kayu keras atau bahan lain
yang
ditempatkan diantara penutup tiang (pile cap) dan puncak tiang untuk melindungi tiang dari kerusakan. Bantalan juga menjaga agar energi per pukukan seragam.
Bantalan harus dibuat dari material yang kuat,
biasanya dispesifikasikan oleh pabrik pemukul. Semua kayu, tali pengikat dan bantalan pemukul dari asbes tidak diijinkan untuk digunakan. Bahan bahan yang kurang awet, mudah rusak saat pelaksanaan pemancangan akan menyebabkan ketidaktentuan energi pukulan ke tiang. Pada prinsipnya semakin tebal bantalan energi yang diterma oleh tiang semakin berkurang. e. Ram adalah bagian pemukul yang bergerak ke atas dan ke bawah yang terdiri dari piston dan kepala penggerak (driving head)
2.4.8.2 Rumus Rumus Pancang Dalam penjabaran rumus pancang lebih dahulu perlu ditunjukkan notasi-notasi dan satuan yang akan dipakai, yaitu A = Tampang melintang penampang E = Modulus elasttisitas bahan tiang eh = Efisiensi pemukul (hammer efficiency) Eh = Besaran energy pemukul dari pabrik g
= Gravitasi
h
= Tinggi jatuh pemukul
I
= Jumlah impuls yang menyebabkan kompresi atau perubahan momentum
k1 = Kompresi elastic blok penutuo (capblock) dan pile cap, yaitu QuL/AE k2 = Kompresi elastic tiang, yaitu QuL/AE k3 = Kompresi elastis tanah L = Panjang tiang II-38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
m = Massa (berat/gravitasi) Mr = Momentum ram (ram momentum) = mrv n
= Koefisien restitusi
nI = Jumlah impuls yang menyebabkan restitusi Qu = Kapasitas ultimate s
= Penetrasi per pukulan
vce = Kecepatan tiang dan ram pada akhir periode kompresi vi = Kecepatan ram pada saat benturan vr = Kecepatan ram pada saat akhir periode restitusi vp = Kecepatan tiang pada saat akhir periode restitusi Wp = Berat tiang termasuk berat penutup tiang (pile cap), driving shoe dan blok penutup (cap block) (juga termasuk anvil untuk memukul uap aksi dobel Wr = Berat ram (untuk pemukul aksi dobel termasuk berat casing Tabel 2.15: Nilai Efisiensi (eh) Tipe Pemukul jatuh (drop hammer)
Efisiensi (eh) 0.75 – 1
Pemukul aksi tunggal (single acting hammer)
0.75 - 0.85
Pemukul aksi dobel (double acting hammer)
0.85
Pemukul diesel (diesel hammer)
0.85 – 1
Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 2010
II-39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Tabel 2.16: Koefisien Restitusi n Menurut ASCE, 1941 Material Broomed wood
n 0
Tiang kayu (ujung tidak rusak)
0.25
Bantalan kayu padat pada tiang baja
0.32
Bantalan kayu padat di atas tiang baja
0.4
Landasan baja pada (steel on anvil) pada tiang baja ata beton
0.5
Pemukul besi cor pada tiang beton tanpa penutup (cap)
0.4
Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 2010
Rumus yang akan dipakai dalam menghitung daya dukung dengan cara dinamis ini terdiri dari beberapa rumus antara lain: 1. Hilley Rumus hilley merupakan rumus yang umum digunakan di lapangan R=
2 x W x h W + n x P 1 x x W + P s+K SF
Dimana: R
= Daya dukung ijin
W = Berat ram P
= Berat tiang
k
= rebound rata-rata pada 10 pukulan terakhir
s
= Final set
SF = 6
2. Engineering News Record (ENR) Rumus ENR didasarkan pada penggunaan satu faktor kehilangan energy saja dan dengan mengambil faktor eh = 1, sebagai berikut: a. Pemukul jatuh (drop hammer) Q =
W h s + 2.5
b. Pemukul tenaga uap (steam hammer) Q =
W h s + 0.25 II-40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Q F F = Faktor keamanan (6)
Q =
Pada tahun terakhir rumus ENR dimodifikasi menjadi Q =
W h (W
+ n x W ) (s + 0.25) (W + W )
3. Janbu (1953), Mansur dan Hunter (1970) Rumus yang disarankan oleh Janbu (1953), Mansur dan Hunter (1970) adalah sebagai berikut: Q =
e W h K s
Dimana K = C 1 + (1 +
λ ) C
/
Cd = 0.75 + 0.15 (Wp / Wr) λ=
e E L AE s
Dengan s adalah penetrasi terakhir (m) yaitu nilai rata-rata 5 pukulan terakhir untuk pemukul yang cara pemukulannya dijatuhkan dan 20 pukulan untuk jenis yang lain (Chellis, 1961) 2.4.9 Daya Dukung Berdasarkan Loading Test Uji pembebanan (Loading Test) adalah merupakan suatu metode pengujian yang dilakukan dengan memberikan pembebanan secara vertikal. Pengujian yang dimaksud dapat dilakukan dengan beberapa metode salah satu diantaranya adalah metode uji beban (Load Test) dengan menggunakan medium balok/ kubus beton dengan ukuran tertentu sebagai beban. Tujuan Load Test pada dasarnya adalah untuk membuktikan bahwa tingkat keamanan suatu struktur pondasi atau bagian struktur pondasi sudah memenuhi persyaratan peraturan dari struktur pondasi yang diisyaratkan, yang tujuannya untuk memikul beban dari bangunan struktur diatasnya, penentuan tiang yang akan diuji ditentukan oleh konsultan perencana sebagai bagian dari struktur pondasi untuk memenuhi
II-41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
persyaratan tingkat keamanan dari bangunan tersebut. Uji pembebanan biasanya dilakukan untuk kondisi-kondisi seperti berikut ini 1. Perhitungan
analitis
tidak
memungkinkan
untuk
dilakukan
karena
keterbatasan informasi mengenai detail dan geometri struktur. 2. Kinerja struktur yang sudah menurun karena adanya penurunan kualitas bahan, akibat serangan zat kimia, ataupun karena adanya kerusakan fisik yang dialami bagian-bagian struktur akibat kebakaran, gempa, pembebanan yang berlebihan dan lain-lain. 3. Tingkat kemanan struktur yang rendah akibat jeleknya kualitas pelaksanaan ataupun akibat adanya kesalahan pada perencanaan yang sebelumnya tidak terdeteksi. 4. Struktur direncanakan dengan metode-metode yang non standard sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai tingkat keamanan struktur tersebut. 5. Perubahan fungsi struktur sehingga menimbulkan pembebanan tambahan yang belum diperhitungkan dalam perencanaan. 6. Diperlukannya pembuktian mengenai kinerja suatu struktur yang baru saja di renovasi. Terdapat beberapa kriteria kegagalan tiang menurut Tomlimson (1977) antara lain 1. Beban yang menyebabkan penurunan kotor (gross settlement) sebesar 10% diameter tiang. 2. Beban dimana penurunan berlangsung terus menerus tanpa adanya penambahan beban, kecuali penurunan begitu lamban sebagai petunjuk bahwa penurunan terjadi oleh akibat konsolidasi tanah (civil engineering code of practice no 4, 1954) 3. Suatu beban yang bila ditambahkan beban berikutnya kenaikan penurunan kotor yang terjadi tidak seimbang dengan kenaikan bebannya. 4. Beban yang bila ditambahkan beban berikutnya kenaikan penurunan bersih (nett settlement) yang terjadi nilainya tidak seimbang dengan kenaikan bebannya. 5. Beban yang diberikan oleh titik potong antara garis singgung yang ditarik dari kurva awal dan bagian kurva akhir yang lebih curam.
II-42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
6.
Beban dimana kemiringan kurva penurunan bersihnya (netto) sama dengan 0.25 mm (0.001 inch) per ton dari bebannya.
Jika tiang tidak mengalami failure maka daya dukungnya dapat diinterpretasi dengan beberapa metode antara lain metode Chin dan Metode Mazukirwiech
2.4.10 Efisiensi Tiang Kelompok Pada umumnya pondasi tiang dipasang berkelompok (grup). Beberapa pertimbangannya adalah sebagai berikut 1. Tiang tunggal tidak memberikan daya dukung yang cukup 2. Derajat presisi yang rendah dalam “spotting” 3. Banyak tiang menunjang redundansi 4. Tekanan tanah lateral yang dihasilkan kelompok tiang lebih besar sehingga daya dukung lebih besar.
1. Jumlah Tiang Untuk menghitung jumlah tiang yang akan dipasang berdasarkan beban yang bekerja adalah: n = P / Qa. Dimana : n = Jumlah tiang P = Beban yang bekerja Qa = Kapasitas dukung ijin tunggal 2. Jarak Tiang Jarak
antar
tiang
pancang
di
dalam
kelompok
tiang
sangat
mempengaruhi perhitungan kapasitas dukung dari kelompok tiang tersebut. Untuk bekerja sebagai kelompok tiang, jarak antar tiang yang dipakai adalah menurut peraturan – peraturan bangunan pada daerah masing–masing. Menurut K. Basah Suryolelono (1994), pada prinsipnya jarak tiang (S) makin rapat, ukuran pile cap makin kecil dan secara tidak langsung biaya lebih murah. Tetapi bila fondasi memikul beban momen maka jarak tiang perlu diperbesar yang berarti menambah atau memperbesar tahanan momen. Jarak tiang biasanya dipakai bila II-43
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
a. Ujung tiang tidak mencapai tanah keras maka jarak tiang minimum ≥ 2 kali diameter tiang atau 2 kali diagonal tampang tiang. b. Ujung tiang mencapai tanah keras, maka jarak tiang minimum ≥ diameter tiang ditambah 30 cm atau panjang diagonal tiang ditambah 30 cm. 3. Susunan Tiang Susunan tiang sangat berpengaruh terhadap luas denah pile cap, yang secara tidak langsung tergantung dari jarak tiang. Bila jarak tiang kurang teratur atau terlalu lebar, maka luas denah pile cap akan bertambah besar dan berakibat volume beton menjadi bertambah besar sehingga biaya konstruksi membengkak (K. Basah Suryolelono, 1994). Gambar dibawah ini adalah contoh susunan tiang (Hary Christady Harditatmo, 2003)
II-44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Gambar 2.10: Gambar Susunan Tiang Sumber: Hary Christady Hardidatmo, 2010
4. Efisiensi Kelompok Tiang Efisiensi tiang bergantung pada beberapa faktor, yaitu a. Jumlah, panjang, diameter, susunan dan jarak tiang. b. Model transfer beban (tahanan gesek terhadap tahanan dukung ujung). c. Prosedur pelaksanaan pemasangan tiang. d. Urutan pemasangan tiang e. Macam tanah. f. Waktu setelah pemasangan. g. Interaksi antara pelat penutup tiang (pile cap) dengan tanah. h. Arah dari beban yang bekerja.
5. Persamaan Menghitung Efisiensi a. Metode Convesi – Labarre E = 1 − θ
(n − 1) m + (m − 1)n 90 mn
Dimana: Eg
= Efisiensi Kelompok Tiang
θ
= arc tg d/s, dalam derajat
m
= Jumlah baris tiang
n
= Jumlah tiang dalam satu baris
d
= Diameter tiang
s
= Jarak pusat ke pusat tiang II-45
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
Gambar 2.11: Baris Kelompok Tiang Sumber: Hary Christady Hardidatmo, 2010 b. Metode Los Angeles Group – Action Formula E
= 1 −
.
.
[ . ( − 1) + (
− 1) + 2 (m − 1)(n − 1)]
Dimana: m
= Jumlah baris tiang
n
= Jumlah tiang dalam satu baris
d
= Diameter tiang
s
= Jarak pusat ke pusat tiang
6. Kapasitas Dukung Kelompok Tiang Pada tanah Pasir Pada pondasi tiang pancang, tahanan gesek maupun tahanan ujung dengan s ≥ 3d, maka kapasitas dukung kelompok tiang diambil sama besarnya dengan jumlah kapasitas dukung tiang tunggal (Eg = 1). Dengan memakai rumus berikut : Qg = n x Qa Sedangkan pada pondasi tiang pancang, tahanan gesek dengan s < 3d maka faktor efisiensi ikut menentukan. Qg = n x Qa x Eg Dimana: Qg = Beban maksimum kelompok tiang n
= Jumlah tiang dalam kelompok
Qa = Kapasitas daya dukung ijin tiang Eg = Efisiensi kelompok tiang
II-46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – STUDI PUSTAKA
7. Kapasitas Dukung Kelompok Tiang Pada Tanah lempung Kapasitas dukung kelompok tiang pada tanah lempung dihitung dengan menggunakan rumus berikut, (Sumber : Braja M Das). Jumlah total kapasitas tiang kelompok ∑Qu = m . n . (Qp + Qs) = m . n . (9 . Ap . Cu + ∑p . ∆L . α . Cu) Kapasitas Berdasarkan blok (Lg, Bg, LD) ∑Qu = Lg . Bg . Nc’ . Cu + ∑2 . (Lg + Bg) . Cu . ∆L Dimana: Lg = Panjang Blok Bg = Lebar blok LD = Tinggi Blok ∆L = Panjang Segmen tiang Dari kedua rumus tersebut, nilai terkecil yang dipakai. Kelompok tiang dalam tanah lempung yang bekerja sebagai blok dapat dilihat pada gambar berikut
Gambar 2.12: Kelompok Tiang Pada Tanah Lempung Sumber: Hardiyatmo, Hary Christady, 2003
II-47
http://digilib.mercubuana.ac.id/