BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Hukum Indonesia Kata “penodaan/penghinaan” terhadap agama memiliki padanan istilah dalam bahasa aing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Kata Blasphemy berasal dari bahasa Inggris zaman pertengahan yaitu blasfemen, yang pada gilirannya berhubungan dengan bahasa Yunani yaitu blasphemein, berasal dari kata blaptein artinya untuk melukai dan pheme artinya reputasi. 24 Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward God, religion, a religious icon, or something else considered sacred 25 yang artinya ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu simbol agama, atau sesuatu yang lain dianggap suci. Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce, blasphemy is the malicious, revilement of God and Religion26 yang artinya dengan niat jahat menghina Tuhan dan Agama. Menurut Kamus Online MerriamWebster 27, blasphemy adalah 1) a: the act of insulting or showing contempt or lack of reverence of God; b: the act of claiming the attributes of deity, 2) irreverence toward something considered sacred or inviolable yang artinya 1) a: tindakan menghina atau menunjukkan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan; b: tindakan mengklaim atribut ketuhanan, 2) ketidakhormatan 24
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy, diunduh pada Selasa 31 Januari 2012 Pukul 13.25 WIB. 25 Bryan A. Gamer (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9th Edition, West Thomson Reuters, St. Paul, 2009, hlm. 193. 26 Ibid. 27 http://www.merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy, diunduh pada Selasa 31 Januari 2012 Pukul 13.25 WIB.
Universitas Sumatera Utara
terhadap sesuatu yang dipandang suci atau sesuatu hal tidak dapat diganggugugat. Di Indonesia Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia. 28 Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation building. Meskipun demikian, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Isi pasal tersebut mempertegas bahwa Indonesia bukan Negara agama, sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada perlakuan khusus terhadap suatu agama apapun. Indonesia adalah Negara hukum yang tidak menganut pemisahan yang tajam antara Negara dan agama (sekuler) seperti dianut oleh Negara-negara barat dan Negara-negara sosialis 29 sehingga pengaturan mengenai delik-delik agama dalam
peraturan
perundang-undangan
pidana
dipandang
sebagai
suatu
pembatasan yang konstitusional terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan. 30 Istilah delik agama dapat mengandung beberapa pengertian, yaitu delik menurut agama, delik terhadap agama, delik yang berhubungan dengan agama. 31 Delik menurut agama banyak tersebat di KUHP seperti misalnya pembunuhan,
28
Pasal Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 29 Oemar Seno Adji, op.cit. 30 Ibid, hlm. 49. Lihat juga Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan landasan hukum bagi pembatasan terhadap kebebasan (hak asasi manusia) di Indonesia. 31 Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 302.
Universitas Sumatera Utara
pencurian, penipuan, penghinaan, fitnah, dan delik-delik kesusilaan (zinah dan pemerkosaan). Delik terhadap agama terlihat terutama dalam Pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama), termasuk juga Pasal 156 KUHP dan Pasal 157 KUHP (penghinaan terhadap golongan/penganut agama; dikenal dengan istilah group libel). Delik yang berhubungan dengan agama dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal 175 s.d 181 KUHP dan Pasal 503 ke-2 yang meliputi perbuatan-perbuatan : 1) Merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 175); 2) Mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 176); 3) Menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan (Pasal 177 huruf (a)); 4) Menghina benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 huruf (b)); 5) Merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Pasal 178); 6) Menodai/merusak kuburan (Pasal 179); 7) Menggali, mengambil, memindahkan jenazah (Pasal 180); 8) Menyembunyikan,
menghilangkan
jenazah
untuk
menyembunyikan
kematian/kelahiran (Pasal 181); 9) Membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Pasal 503 ayat 2).
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek van Strafrechts (WvS) Belanda, melainkan dari Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama . Adapun maksud dari undang-undang itu dibentuk adalah 32 pertama, untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (Pasal 1-3); dan kedua, untuk melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Akan tetapi, bila dilihat dari sejarah dibentuknya undang-undang tersebut adalah dalam rangka pengamanan Negara dan ketertiban masyarakat untuk mendukung cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju masyarakat adil dan makmur dan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama. 33 Undang-undang ini terdiri dari empat pasal yang lengkapnya sebagai berikut : Pasal 1 Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
32
TIM ADVOKASI KEBEBASAN BERAGAMA, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-undang Dasar 1945, Jakarta. 33 Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama MEMAHAMI PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion) PUTUSAN UJI MATERIIL UU PENODAAN AGAMA, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), 2011, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
Penjabaran delik pada Pasal 1 diatas ke dalam unsur-unsurnya dapat diuraikan sebagai berikut : Unsur Objektif, terdiri dari : -
Unsur “menceritakan”
-
Unsur “menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum”
-
Unsur “untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”
-
Unsur “di muka umum”
Unsur Subjektif, terdiri dari unsur “dengan sengaja” Pasal 2 (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3 Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus malanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 4 “Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersedikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dalam rumusan Pasal 156a diatas, terdapat 2 (dua) bentuk kejahatan yaitu: 34 1) Kejahatan yang pertama, unsur-unsurnya sebagai berikut : Unsur Objektif, terdiri dari : -
Unsur “mengeluarkan perasaan”
-
Unsur “melakukan perbuatan” yang bersifat permusuhan; penyalahgunaan; penodaan
-
Unsur “suatu agama yang dianut di Indonesia”
-
Unsur “di muka umum”
Unsur Subjektif, terdiri dari unsur “dengan sengaja” 2) Kejahatan yang kedua, unsur-unsurnya sebagai berikut : Unsur Objektif, terdiri dari : -
Unsur “mengeluarkan perasaan”
-
Unsur “melakukan perbuatan”
-
Unsur “di muka umum” 34
Pendapat Adami Chazawi, Dosen FH Universitas Brawijaya, di http://hukum.kompasiana.com/2011/03/19/penghinaan-penodaan-terhadap-agama/, diunduh pada Hari Kamis 15 Maret 2012 pukul 16.45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Unsur Subjektif, terdiri dari unsur “dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersedikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 156a yang mengatur mengenai penodaan agama merupakan bagian dari Pasal 156 yang ditempatkan pada Bab V “Kejahatan terhadap Ketentuan Umum” KUHP yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum, juga terhadap orang yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip antidiskriminasi dan untuk melindungi minoritas golongan dan termasuk golongan aliran kepercayaan dari kesewenang-wenangan kelompok mayoritas. Alasan aturan penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP, dengan memperhatikan konsideran dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tersebut, menyebutkan beberapa hal yaitu : 35 1) Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, citacita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. 2) Timbulnya
berbagai
aliran
kepercayaan
atau
organisasi
kebathinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.
35
Kardoman Tumangger, Penanggulangan Tindak Pidana Penodaan Agama, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, dikutip dari IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Peran Polisi, Bakorpakem & Pola Penanggulangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, September 2009, Cet. 1, hlm.207-208.
Universitas Sumatera Utara
3) Aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 4) Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu (Confusius)), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” Negara Indonesia, UUN NRI Tahun 1945 Pasal 29 juga menyebutkan bahwa Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan melihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Goslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama. 36
36
Ibid
Universitas Sumatera Utara
B. Kelemahan Rumusan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam UndangUndang Nomor 1/PNPS/1965 1. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak Memenuhi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik
Asas-Asas
Suatu ketentuan pidana yang dirumuskan dalam sebuah undangundang harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, diantaranya asas kejelasan rumusan (lex certa) dan asas dapat dilaksanakan (enforceable). Asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan merupakan dua asas perundang-undangan yang paling relevan dibicarakan dalam penegakan hukum pidana. Asas legalitas sebagai tiang pokok asas-asas hukum pidana, dimana salah satu gagasan utamanya bahwa tindak pidana harus diatur melalui perundang-undangan yang spesifik dan sejelas mungkin (lex certa)dan tertentu (lex scripta). Jadi suatu aturan pidana harus dirumuskan dengan sejelas mungkin sehingga tidak menimbulkan multitafsir atau bahkan kesimpangsiuran penafsiran dalam penerapan dan penegakannya. Tidak terpenuhinya asas-asas tersebut dapat dilihat pada hampir setiap pasal dalam undang-undang a quo, yaitu : a. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 UU Penodaan Agama menyatakan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”
Universitas Sumatera Utara
Dalam Penjelasan undang-undang a quo : a. Yang dimaksud dengan “kegiatan keagamaan adalah segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan
ajaran-ajaran
keyakinannya
ataupun
melakukan
ibadahnya dan sebagainya. b. Yang dimaksud dengan “pokok-pokok ajaran agama” adalah ajaran agama dimana dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya. Rumusan Pasal 1 UU ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena sejumlah frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupaun “pokok-pokok ajaran agama” merupakan klausul yang multitafsir yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama orang lain, frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupun “pokok-pokok ajaran agama” tidak dijelaskan secara rinci dan lengkap dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Dalam undang-undang a quo, yang dimaksud dengan “pokokpokok ajaran agama” adalah ajaran agama (dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan) dimana dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya. Dengan kata lain, Negara melalui Departemen Agama dan pendapat para ulama/tokoh agama yang bersangkutan dengan alat-alat atau cara-cara tersendiri untuk menyelidiki
Universitas Sumatera Utara
“pokok-pokok ajaran agama”, berwenang menetapkan pokok-pokok ajaran agama yang benar dan yang menyimpang. Penetapan pokok-pokok ajaran agama ini oleh Negara seharusnya tidak dapat dibenarkan karena Negara Indonesia (Pemerintah melalui Departemen Agama) tidak memiliki otoritas keagamaan, demikian juga tokoh-tokoh agama juga tidak dapat, karena tidak ada otoritas tunggal dalam sebuah agama yang dapat menentukan suatu aliran/kepercayaan sesat atau menyimpang dari “pokokpokok ajaran agama” yang benar. 37 Oleh karena itu, bagian dari agama yang hendak dilindungi yaitu “pokok-pokok ajaran agama” sebenarnya sangat sulit untuk ditentukan dan bersifat multitafsir, karena adanya perbedaan pendapat antara kelompok agama yang satu dengan yang lainnya mengenai “pokok-pokok ajaran agama” tersebut. Tentang
melakukan
“penafsiran
yang
menyimpang”,
sesungguhnya semua penafsiran adalah terkait dengan naluri manusia untuk senantiasa mencari kebenaran sebagai mahluk yang dikaruniai akal. 38 Oleh karena itu, frasa “penafsiran yang menyimpang” bersifat tidak tetap dan bertentangan dengan aspek historis agama itu sendiri, frasa
37
Frans H. Winarta, “Agama tidak Mememerlukan Pengakuan Negara secara Resmi dan Diatur Hukum” , http ://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81088494.pdf, diunduh pada Jumat 17 Februari 2012 pukul 15.00 WIB. Pendapat serupa juga disampaikan oleh para ahli dalam sidang Uji Mareil UU Penodaan Agama yaitu antara lain, pendapat dari Pdt, Sae Nababan, Frans Magnis Suseno, Ulil Abshar Abdalla, Jalalluddin Rakhmat, serta Rumadi (Dosen IUN Syarif Hidayatullah). 38 Oleh karena itu, masing-masing penafsiran memiliki potensi kebenaran, tetapi juga potensi kesalahan. Membatasi kemungkinan sekelompok orang untuk melakukan penafsiran, berarti menutup kemungkinan bagi munculnya bentuk penafsiran yang mungkin lebih baik. Suatu penafsiran yang menyimpang pada suatu waktu tertentu akan dianggap sesat, akan tetapi mungkin pada masa yang akan datang tidak akan dianggap sebagai penafsiran yang menyimpang lagi sesuai dengan fakta historis. Sehingga dalam hal ini, ada relativitas mengenai definisi penafsiran yang menyimpang.
Universitas Sumatera Utara
ini juga multitafsir, dan tidak memenuhi asas lex certa sebagaimana diharuskan dalam hukum pidana. Sebagaimana, frasa “penafsiran yang menyimpang” tidak diberi penjelasan, demikian juga frasa “kegiatan keagamaan yang menyimpang” tidak diberi penjelasan. Oleh karena itu, frasa ini juga bersifat multitafsir sebagaimana frasa “pokok-pokok ajaran agama” dan frasa “penafsiran yang menyimpang”. 39 b. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 UU Penodaan Agama menyatakan, (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Mneteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana telah diuraikan diatas, rumusan, kaidah, maupun norma dalam Pasal 1 tidak memenuhi asas lex certa yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa suatu rumusan ketentuan pidana harus jelas untuk menjamin kepastian hukum. Rumusan yang tidak jelas dan dapat menimbulkan multitafsir dalam Pasal 1 akan menegakibatkan efektivitas penegakan hukum terhadap Pasal 2 juga akan mengalami gangguan,
39
Tidak adanya penjelasan frasa “kegiatan keagamaan yang menyimpang” merupakan konsekuensi hukum dari rumusan sebelumnya tentang “penafsiran yang menyimpang” yang juga tidak diberikan penjelasan oleh undang-undang a quo.
Universitas Sumatera Utara
karena apa yang diatur dalam Pasal 2 adalah ketentuan lebih lanjut dari apa yang diatur dalam Pasal 1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) maupun dalam Penjelasan Umum ada frasa yang menimbulkan multitafsir dan diperlukan penjelasan lebih lanjut yakni frasa “organisasi kebathinanatau sesuatu aliran kepercayaan” yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Kewenangan memberikan “perintah dan peringatan keras” adalah bentuk dari pemaksaan
(coercion)
atas
merupakan hak yang melekat
kebebasan
beragama
yang
sejatinya
dalam diri setiap manusia. Pemaksaan
berupa “perintah dan peringatan keras” menyebabkan Negara terjebak dalam intervensi atas kebebasan beragama yang merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, pelarangan yang ditujukan untuk membubarkan sebuah organisasi/aliran terlarang bersifat sanksi administrative sehingga tidak dapat dijadikan tolak ukur/jaminan seseorang meninggalkan ajarannya karena yang mau diluruskan adalah keyakinannya yang menyimpang bukan organisasi/alirannya. 40 c. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 UU Penodaan Agama menyatakan, “Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus malanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun” 40
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang merupakan sanksi administrasi bagi organisasi kebathinan/aliran kepercayaan yang melanggar Pasal 1 undang-undang a quo.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 merupakan ketentuan pidana sebagai tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut di Pasal 2. Dalam praktik penegakan hukum, misalnya dalam kasus Mas’ud Simanungkalit, Yusman Roy, dan Lia Eden, pasal a quo selalu digunakan untuk mengadili pemikiran dan keyakinan seseorang. Menghukum keyakinan seseorang tidak akan mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus ajaran sesat yang dianggap “menodai” agama di Indonesia, setelah pelaku keluar dari penjara, mereka tetap meyakini apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa pemidanaan melalui pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan tidak mencapai tujuannya. 41 d. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 4 UU Penodaan Agama menyatakan, “Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; d. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan dalam Pasal 4 undang-undang a quo sudah tidak ada masalah. Pasal 4 yang menyisipkan pasal baru dalam KUHP yaitu Pasal 41
Rumusan pada pasal 3 undang-undang a quo dapat dikatakan bertentangan dengan syarat kriminalisasi karena tidak dapat berjalan efektif (unforceable) karena tidak dapat menggambarkan perbuatan yang dilarang dengan teliti (precision principle) sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.
Universitas Sumatera Utara
156a, harus dipahami sebagai pasal yang mengatur penghinaan agama (blasphemy), sehingga tidak ada keterkaitan antara Pasal 1, 2, 3 dan pasal 4. Harus dipahami bahwa frasa “penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama” yang diatur dalam Pasal 156a bagian (a) bukanlah “penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, melainkan penghinaan atau penyebaran kebencian yang didasarkan atas agama atau ajaran agama tertentu. Oleh karena itu, frasa “penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia” perlu diganti dengan kata “penghinaan terhadap suatu agama di Indonesia”. Delik “penghinaan” merupakan delik materil yang perumusan dalam KUHP tidak menemui masalah. Pada intinya, Pasal 1, 2, dan 3 undang-undang a quo harus dilakukan pemikiran kembali agar sesuai dengan asas-asas hukum pidana. Apabila rumusan tersebut tidak segera direvisi, maka akan sulit ditegakkan atau dapat ditegakkan akan tetapi tidak dapat menjamin kepastian hukum atau bahkan mencederai rasa keadilan dalam proses penegakannya. 2. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sudah Tidak Sesuai/Tidak Mengikuti Perkembangan Masyarakat Penpres ini lahir dari situasi saat dinamika sosial politik Indonesia diwarnai persaingan antar ideologi-idologi besar seperti nasionalisme, agama, dan komunisme. Saat itu timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. Situasi ini dinilai menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama, dan menodai agama. Perkembangan aliran dan
Universitas Sumatera Utara
organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agamaagama yang ada dan mengancam persatuan nasional.
42
Lahirnya undang-undang ini juga dilatarbelakangi situasi politik Indonesia pada saat itu, dimana Indonesia pada saat itu menganut Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan dijiwai cita-cita Revolusi Nasional. Pemikiran untuk membentuk Penpres ini sangatlah beralasan karena pada waktu itu terdapat peristiwa yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional yang berlatarbelakang agama dimana pada saat itu Negara masih lemah. Pemberontakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwirjo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Alasan-alasan tersebut diatas pada akhirnya memicu Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres No. 1/1965) pada tanggal 26 Januari 1965 dengan ketentuan bahwa materi penpres tersebut harus ditampung dan dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru. Sejak
era
reformasi,
pemerintah
dan
masyarakat
Indonesia
memberikan perhatian besar terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. 43 Politik hukum pidana pun berubah mengikuti perkembangan ini misalnya 42
Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Op.Cit, hlm. 1-2. Hal ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Amandemen II UUD 1945 dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dan terbentuknya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan mengadvokasi HAM. 43
Universitas Sumatera Utara
Pencabutan Undang-Undang Nomor 10/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007 yang mencabut Pasal 154-155 KUHP mengenai pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah, dan meratifikasi berbagai berbagai Konvensi Internasional yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia. Jadi, latar belakang dan sejarah lahirnya penpres tersebut dengan kondisi saat ini sudah sangat berbeda sehingga sudah selayaknya peraturan ini disesuaikan dengan perkembangan zaman mengingat hukum merupakan suatu instrument yang harus mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. 44 Hukum yang baik adalah hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilainilai yang berlaku dalam masyarakat itu.45 Bukan manusia yang mengikuti hukum tapi hukumlah yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika manusia. Oleh karena itu, produk hukum yang sudah ketinggalan zaman, diskriminatif, tidak mencerminkan keadilan dan kepastian
44
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ahmad Fedyani Saifuddin (antropolog Universitas Indonesia) menyatakan perlu pembahasan ulang UU Penodaan Agama. Pemerintah perlu memperhitungkan relativisme kebudayaan dalam menerapkan hukum. Ia menyatakan secara antropologi, masyarakat mengalami perkembangan pesat, sehingga undang-undang harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Taufik Ismail (budayawan) juga mengatakan bahwa UU tersebut ibarat sebagai pagar kayu di tebing yang tinggi, sehingga berbahaya kalau dicabaut. Meskipun begitu karena pagar-pagar tersebut sudah lama dan lapuk dan berumur beberapa dasawarsa, perlu diperbaiki. Pendapat ahli lainnya yang serupa adalah pendapat Andi Hamzah (pakar hukum pidana), Eddy OS. Hiariej (pakar hukum pidana), Azyumardi Azra, Thamrin A. Tamagola, Romo F.X. Mudji Sutrisno (rohaniawan Katholik), Emha Ainun Nadjib, Siti Zuhro, Moeslim Abdulrahman, Garin Nugroho (budayawan), Yusril Ihza Mahendra, W. Cole Durham, Jr. demikian juga pendapat dari Hakim Kontirusi Harjono yang berbeda pendapat (concurring opinion) terhadap putusan. Lihat dalam Putusan, hlm. 162, 179, 183, 211-223, 239. 45 Mochtar Kusumaadmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, dalam Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : PT Alumni, 2006, hlm.10.
Universitas Sumatera Utara
hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta sering dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya sudah sebaiknya diperbaiki agar tidak menjadi sekumpulan undang-undang
yang
tidak
ditegakkan
lagi
(dead
letter)dan
tidak
mendatangkan kesejahteraan dan kemanfaatan (utility) bagi mayarakat. Perkembangan tindak pidana melalui media virtual juga tidak dapat diakomodir undang-undang a quo mengingat media virtual sewaktu undnagundang a quo dikeluarkan belum berkembang pesat. Oleh karena itu, undangundang a quo tidak akan efektif mencegah dan menanggulangi tindak pidana tindak pidana penodaan agama melalui media virtual. Hal ini dapt dilihat dari semakin banyaknya penodaan terhadap agama yang dilakukan melalui media virtual (internet) yang belum pernah ada diproses secara hukum melalui undang-undang a quo, karena tindak pidana penodaan agama merupakan delik biasa bukan delik aduan (klacht delict) 46, maka sudah seharusnya penegak hukum dapat menerapkan ketentuan pidana dalam undang-undang a quo terhadap tindak pidana penodaan agama yang banyak dilakukan melalui media virtual. 47
46
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksid dengan delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban. 47 Kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 sering disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk menghina agama lain. Penghinaan terhadap agama lain ini bahkan secara terbuka dilakukan melalui website, blog, group, dan bahkan jejaring sosial.
Universitas Sumatera Utara
3. Tujuan Pemidanaan pada KUHP dan UU No 1/PNPS/1965 Tidak Tercapai Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang merupakan penjabaran dari asas legalitas, disebutkan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Ada 3 (tiga) makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut, yaitu : 48 1. tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, apabila hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang; 2. untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh menggunakan analogi; 3. aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Dirumuskannya delik-delik agama dalam KUHP, sesuai dengan tujuan asas legalitas, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan (prevensi) ataupun peringatan bagi masyarakat bahwa perbuatan penghinaan terhadap agama dan kehidupan beragama di Indonesia dilarang karena merupakan tindak pidana (criminal act). Tujuan pemidanaan yang dimaksud dalam KUHP tersebut adalah tujuan pemidanaan menurut teori deterrence, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. 49 Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah
48
Sarwini, Catatan Seminar Tinjauan Yuridis-Kriminologis Terhadap RUU-KUHP : “Kriminalisasi” atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama, Surabaya, 13 Desember 2005, hlm. 3. 49 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
untuk mengurangi frekuensi kejahatan (the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency). Penganut paham reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini : 50 1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya; 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana; 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama. 50
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm. 72, dikutip dari Negel Walker (1995), Reductivism and deterrence, dalam A Reader on Punishment, R.A. Duff and David Garland (Ed.), New York : Oxford University Press, hlm. 212.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or special deterrence ). 51 Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini Van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma, dan membentuk norma. 52 Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku. 53 Tujuan pemidanaan sebagai upaya pencegahan (deterrence) sebagaimana dijelaskan diatas, jika dianalisis terhadap beberapa kasus yang terjadi di Indonesia maka tujuan yang diharapkan tersebut tidak tercapai. Salah satunya adalah kasus Lia Eden yang sudah dua kali keluar dan masuk penjara dengan kasus tindak pidana penodaan agama. 54 Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan yang dimaksud tidak tercapai.
51
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hlm. 73. Ibid, hlm. 74. 53 Madmud Mulyadi, Loc.Cit 54 http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/15/14187/residivis-nabi-palsulia-eden-keluar-penjara-kapan-kapokmu/ diunduh pada Hari Kamis 15 Maret 2012, pukul 17.30 WIB. 52
Universitas Sumatera Utara