BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Landasan Hukum Ijarah Ijarah berasal dari kata االجزyang berarti ganti atau upah. Menurut bahasa ijarah adalah balasan atau imbalan yang diberikan sebagai upah sesuatu pekerjaan. Menurut istilah ijarah adalah sesuatu perjanjian tentang pemakaian dan pemungutan hasil sesuatu benda, binatang, atau tenaga manusia.38 Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.39 Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik mu‟jir (objek sewa) dan musta‟jir (penyewa)
untuk
mendapatkan
imbalan
atas
objek
sewa
yang
disewakannya.40 Berikut beberapa definisi ijarah menurut beberapa pendapat ulama fiqih:41 1. Ulama Hanafiyah
َعػ ْق ٌد َعػ َع ْق ىاا َع َع اِف ِفغى ِف َعؼ ْق ٍضى “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.” 38
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Waqaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: PT. AlMa’rifat, 1980), hlm. 24. 39 Muhammad Syafi’i Antonio, log.cit., hlm. 117. 40 Hasbi Ramli, Teori Dasar Akuntansi Syariah, Cet. 1 (Jakarta: Reinasan Anggota IKAPI, 2005), hlm. 63. 41 Rachmat Syafe’i, op.cit., hlm. 121-122.
28
29
2. Ulama Asy-Syafi’iyah
اا َع َعا ِفىى ِف ِفؼ َع ٍضىى َعػ ْق ٌد َعػ َع ى َع ْق َع َعؼ ٍضىى َع ْق ُص ْق َع ٍضىى َع ْقؼ ُص ْق َع ٍضىى ُص َع َعا ٍض َع ِف َع ٍضىىاِف ْق َع َع ِفىى َع ْق ِف َع ْقؼ ُص ْق ٍضى “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.” 3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَع ْق ِف ْقي ُص كى َع َع اِف ِفغى َعش ْق ٍضءى ُص َع َعا ٍض ُص َّ ًى َع ْقؼ ُص ْق َع ًى ِف ِفؼ َع ٍضى “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.” Berdasarkan beberapa pengertian di atas, ijarah dapat juga diartikan sebagai akad sewa menyewa atau pemindahan hak guna atas suatu barang atau jasa melalui pembayaran upah atau sewa tanpa diakhiri dengan kepemilikan. Akad ijarah berlandaskan pada Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, berikut landasan hukum ijarah42: 1. Al-Qur’an
ض ُصؼ اىأَع ْق ال َع ُصك ْقمىاَعالى ُصج َع َعحى َعػ َع ْقي ُصك ْقمىإِف َعذاى َعس َّ ْق تُص ْقمى َع ىآتَع ْقيتُص ْقمى َع إِف ْقنىأَع َعر ْق تُص ْقمىأَع ْقنىتَع ْقستَعزْق ِف وى َع اتَّ ُص اى َّ َعى َع ا ْقػ َع ُص اىأَع َّنى َّ َعى ِف َع ىتَع ْقؼ َع ُص نَع ى َع ِف ي ٌدىز ِف ْقا َع ْقؼ ُصز ِف Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. 42
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Cet. 2 (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997), hlm. 32-33.
30
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 233) Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan. 2. As-Sunnah Adapun landasan Sunnah tentang ijarah ini, antara lain ialah: a. Hadis riwayat Bukhari dari Aisyah yang berbunyi:
ى َع أَع ُص ْق َع ْقك ِفز َعر َعجالً ِف ْقىى َع ِف ى ِف يْقلى:َع ا ْقستَع ْق َعج َعزاا َّ ِف ُصىى ص ى ى ػ يهى س ّمى ِف ْقي ى ُصك َّ ر ُص َعز ْقي ٍضىى اَع َع َع َع ىاُصى اَع َع اَع َعؼ ى اِفاَع ْقي ِفىهى
هَع ِف يً خزيت َع هُص َع َعػ َع ى
َعرا ِفا َعتَع ْقي ِف َع َع َع َعػ َعا ىاُصى َع َع َعراالُّث ْق ِفر َع ْقؼ َع َع َعال ِفىىاَعيَع ٍضىىاَع َعتَع هُص َع َع َعزا ِفا َعتَع ْقي ِف َع “Rasulullah dan Abu Bakar pernah menyewa seseorang dari Bani al-Dil sebagai penunjuk jalan yang ahli, dan orang tersebut beragama yang dianut oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka berdua memberikan kepada orang tersebut kendaraannya dan menjanjikan kepada orang tersebut supaya dikembalikan sesudah tiga malam di Gua Tsur.” b. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi:
ا ُص ْقػ ُص ْقاا َع ِفج ْقي َعزىأَعجْق َعزاُصى َع ْق َعل ْق ىأنىيَع ِف َّ ى َعػ َعز ُص ىهُص
31
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai tangannya sebelum keringatnya kering.” c. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas menyebutkan:
اِفاْق تَع ِف ْقمى َع ا ْقػ ِف ْق ىاا ُص َّ َع ىأجْق َعز ىاُص “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah upah kepada tukang bekam tersebut”. d.
Hadist riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasaiy dari Sa’d bin Abi Waqas menyebutkan:ى
ص َّ ى عىاَع َع ٰ ى َعر ُصس ْق ُصى ِفى َع َع ى ِف َع َعػ َع ىاا َّس َع ا ِف ى ِف َع ىاا َّزرْق ِف
ٍضى
ُصك َّ ى َع ْقك ِفز ْق ىىاالَعرْق
بىاَع ْق اِفظَع ٰ ّ ُصى َعػ َع ْقي ِفهى َع َعس َّ َعمى َعػ ْق ى َعذااِفكَعى َع اَع َع زْق َع ىاَع ْقنى َع ْقك ِفزى َع َع ِف َعذهَع ٍض
“Dahulu kita menyewa tanah dengan jalan membayar dengan hasil tanaman yang tumbuh disana. Rasulullah lalu melarang cara yang demikian dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak.” 3. Ijma’ Mengenai disyari’atkan ijarah, semua umat bersepakat, tak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap. Ijarah disyariatkan, karena manusia menghajatkannya. Misalnya mereka membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, sebagian mereka membutuhkan sebagian lainnya, mereka butuh kepada binatang untuk kendaraan dan angkutan,
32
membutuhkan berbagai peralatan untuk digunakan dalam kebutuhan hidup mereka membutuhkan tanah untuk bercocok tanam.43 Tidak mungkin manusia hidup berkecukupan tanpa adanya ijarah dengan manusia lainnya. Ijarah merupakan bentuk aktivitas antara pihak yang berakad yang bertujuan untuk meringankan beban satu pihak atau saling meringankan beban, sehingga dapat juga disebut bentuk dari tolong menolong yang diajarkan oleh agama Islam. Oleh sebab itu, ulama membolehkan ijarah dilakukan.
B. Rukun dan Syarat Ijarah Dalam setiap transaksi, akad ijarah akan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, seperti transaksi lain pada umumnya. Berikut rukun dan syarat ijarah: 1. Rukun ijarah Adapun menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu: a. „Aqid (orang yang akad). b. Shighat akad. c. Ujrah (upah). d. Manfaat.44 „Aqid (orang yang akad) terdiri atas dua pihak yaitu musta‟jir (penyewa/ pengguna jasa) dan mu‟ajjir (menyewakan/ pemberi jasa). Pada „aqid (orang yang akad), disini harus baligh dan berakal sehat. 43 44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. 1 (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 18. Rachmat Syafe’i, op. cit., hlm. 125.
33
Apabila yang melakukan akad ijarah adalah seorang anak yang mumayyiz, maka akad dapat sah apabila disetujui oleh walinya. Rukun ijarah yang selanjutnya adalah shighat akad, yang merupakan bentuk perjanjian. Shighat akad dapat berupa ijab qabul maupun gerak tubuh secara verbal. Ujrah (upah), diberikan kepada pihak yang melakukan pekerjaan, sebagai imbalan atas jasa yang telah dilakukan. Ujrah juga dapat diartikan sebagai pembayaran atas pemanfaatan suatu barang. Rukun ijarah yang terakhir yaitu manfaat. Maksud dari manfaat disini adalah obyek sewa (ma‟uqud „alaih) yang diakadkan mempunyai kegunaan atau manfaat yang jelas. Tentunya yang tidak melanggar ketentuan syara’. 2. Syarat ijarah Syarat ijarah yaitu para pihak yang berakad harus rela melakukan akad, tanpa merasa adanya paksaan dari pihak lain dan kedua belah pihak harus mengetahui secara jelas tentang manfaat yang diakadkan guna menghindari pertentangan atau salah paham.45 Adapun syarat-syarat al-ijarah sebagaimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut: a. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan telah baligh dan berakal.
45
Qomarul Huda, log. cit., hlm. 81.
34
b. Kedua belah pihak yang berakad menyetakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah. c. Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu di tangan penyewa. d. Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. e. Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa, misalnya menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa
atau
menyewa
orang
yang
belum
haji
untuk
menggantikan haji penyewa. g. Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah, kendaraan, dan alat-alat perkantoran. h. Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. 46 Dalam hal penyewaan jasa, jumhur ulama berpendapat bahwa obyek yang akan dikerjakan bukan termasuk pekerjaan yang diwajibkan oleh syara’, misalnya mengerjakaan sholat, puasa, haji dan lain-lain. Adapun pengambilan upah untuk jasa dalam ibadah, para ulama memberikan pendapat mereka, antara lain: 46
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 279-280.
35
1.) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad ijarah untuk melakukan ketaatan, seperti memberi upah seseorang untuk menyalatkan, mempuasakan, menghajikan, membacakan AlQur’an dan menghadiahkan pahala untuk orang lain dianggap tidak sah dan dilarang mengambil upah darinya. 2.) Ulama Hanabiyah mengatakan bahwa ijarah untuk adzan, iqamah, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan jabatan fungsional di pengadilan tidak sah, karena semua itu termasuk perbuatan mendekatkan (taqqarub) diri kepada Allah Swt. Tetapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk dalam kategori mashalih, seperti mengajarkan Al-Qur’an dan hadits. 3.) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Dhahiriyah dan Ibn Hazm mengatakan bahwa dibolehkan mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, kerena kegiatan tersebut termasuk pengupahan pekerjaan yang diketahui tujuan dan perolehannya dengan imbalan yang ditentukan pula.47
47
Qamarul Huda, op. cit., hlm 82-84.
36
C. Jenis-Jenis Ijarah dan Berakhirnya Akad Ijarah 1. Jenis-jenis Ijarah a. Ijarah „ala al-munafi‟, yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. 1.) Ijarah al-„ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. 2.) Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari, harus disertai rincian pada saat akad. b. Ijarah „ala al-„amaal, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. 48 Ijarah „ala al-„amaal terbagi dua, yaitu: 1.) Ijarah Khusus Yaitu ijarah yang dilakukam oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
48
Ibid., hlm. 85-86.
37
2.) Ijarah Musytarik Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.49 2. Berakhirnya Akad Ijarah Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa‟iu ash-Shanaa‟iu, menyatakan bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut: a. Objek al-ijarah hilang atau musnah seperti rumah yang disewakan terbakar atau kendaraan yang disewa hilang. b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. c. Wafatnya salah seorang yang berakad. d. Apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait adanya utang, maka akad alijarah nya batal.50 Uzur dikategorikan menjadi tiga macam: 1.) Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam mempekerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia.
49
Rachmat Syafe’i , op. cit., hlm. 133-134. Abdul Rahman Ghazaly, dkk, op. cit., hlm. 283.
50
38
2.) Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disewakan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali menjualnya. 3.) Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah. Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti jual beli. Oleh karena itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang membatalkannya. Menurut ulama Syafi’iyah, jika tidak ada uzur, tetapi masih memungkinkan untuk diganti dengan barang lain, ijarah tidak batal, tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatannya betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan. Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut: a. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa. b. Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya bangunan gedung. c. Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit. d. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
39
e. Menurut Hanafi salah satu pihak yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.51
D. Pembiayaan Ijarah dan Skema Pembiayaan Ijarah di Perbankan Syariah 1. Pengertian Pembiayaan Ijarah Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank/ lembaga keuangan lainnya dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.52 Sedangkan pengertian ijarah sudah dijelaskan di awal bahwa ijarah adalah akad sewa menyewa atau pemindahan hak guna atas suatu barang atau jasa melalui pembayaran upah atau sewa tanpa diakhiri dengan kepemilikan. Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah suatu lease contract di bawah mana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan, barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain kepada salah satu
51
Ibid., hlm. 284. Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sistem Bank Islam Bukan Hanya Solusi Menghadapi Krisis Namun Solusi Dalam Menghadapi Berbagai Persoalan Perbankan Dan Ekonomi Global, Sebuah Teori, Konsep Dan Aplikasi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hlm. 700. 52
40
nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya sewa yang sudah ditentukan sebelumnya secara pasti (fixed change) (Saleh, 1985: 97). Pembiayaan ijarah adalah akad pemindahan manfaat barang maupun jasa tanpa perpindahan hak milik atas manfaat atau jasa yang dipersewakan.53 Menurut Yeni Salma Barlinti, pembiayaan ijarah adalah salah satu bentuk penyaluran dana yang dapat dilakukan oleh bank syariah untuk memberikan dana penyewaan barang atau jasa bagi nasabah yang membutuhkan.54 2. Skema Pembiayaan Ijarah55 Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Ijarah 4. Pengembalian barang saat akhir masa akad
Nasabah
Bank Syariah 1. Akad ijarah (mu‟jir)
(musta‟jir)
2. Pembayaran sewa (ujrah)
3. Pengalihan Hak Guna Barang
53
M. Syafi’i Antonio, log. cit., hlm. 117. Yeni Salma Barlinti, log. cit., hlm. 259. 55 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Cet. 1 (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), hlm. 44-45. 54
41
Keterangan: 1.
Pihak nasabah (musta‟jir) dan bank syariah (mu‟jir) mengadakan akad perjanjian ijarah.
2.
Setelah mencapai kesepakatan antara nasabah (musta‟jir) dengan Bank Syariah (mu‟jir) mengenai objek ijarah, tarif ijarah, periode ijarah, dan biaya pemeliharaannya, maka akad pembiayaan ijarah ditandatangani, nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki, kemudian pihak nasabah (musta‟jir) membayar biaya sewa pertama.
3.
Bank Syariah (mu‟jir) menyerahkan objek ijarah kepada nasabah (musta‟jir) sesuai akad yang disepakati.
4.
Setelah periode ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek ijarah tersebut kepada bank. Pada dasarnya bai ut ta‟jir merupakan pengembangan dari ijarah,
jadi ketentuannya mengikuti ijarah. Yang membedakan adalah perpindahan kepemilikannya. Dalam bai ut ta‟jir barang sewaan berpindah kepemilikannya kepada penyewa (musta‟jir). Proses perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi bai ut ta‟jir dapat dilakukan dengan cara: a.
Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa (mu‟jir) kepada penyewa (musta‟jir).
42
b.
Janji menjual (promise to sell), yaitu transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa (mu‟jir) kepada penyewa (musta‟jir) dengan harga tertentu.
E. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tentang Pembiayaan Ijarah Fatwa ialah menerangkan hukum-hukum Allah SWT berdasarkan pada dalil-dalil syariah secara umum dan menyeluruh.56 Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.57 Jadi Fatwa Dewan Syariah Nasional adalah hukumhukum Allah SWT yang diterangkan oleh dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI) memiliki peran penting dalam upaya pengembangan produk hukum perbankan syariah. Dalam perkembangannya mengacu pada sistem hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Fatwa DSN MUI dikeluarkan atas pertimbangan Badan Pelaksana Harian (BPH) yang membidangi ilmu syariah dan ekonomi perbankan. Agar fatwa memiliki kekuatan mengikat, sebelumnya perlu diadopsi dan disahkan secara formal ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Supaya peraturan perundang-undangan 56
Dewan Syariah Nasional MUI, Erlangga, 2014), hlm. 7. 57 Ibid., hlm. 4.
Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Jakarta:
43
terlaksana dengan baik, maka DSN-MUI perlu membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap lembaga keuangan syariah. DPS adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah. Berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) No. Kep-757/MUI/II/1999, salah satu yang menjadi tugas dan wewenang DSN ialah mengeluarkan fatwa. Tujuan pembentukan DPS ialah untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap aspek syariah yang ada dalam perbankan, meskipun secara teknis pengawasan perbankan syariah tetap menjadi kewenangan Bank Indonesia.58 Banyak fatwa DSN-MUI yang telah dikeluarkan dan disahkan, salah satunya fatwa DSN-MUI yang terkait dengan penelitian, yaitu Fatwa DSN-MUI tentang Pembiayaan Ijarah. Berikut ketentuan Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah:59 Pertama: Rukun dan Syarat Ijarah 1.
Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2.
Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/ pemberi jasa, dan penyewa/ pengguna jasa.
58
Ibid., hlm. 9. Fatwa Dewan Syariah Nasional Ijarah., hlm. 3-4. 59
No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
44
3.
Objek akad Ijarah, yaitu: a. Manfaat barang dan sewa, atau b. Manfaat jasa dan upah.
Kedua: Ketentuan Objek Ijarah 1.
Objek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/ atau jasa.
2.
Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.
Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4.
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5.
Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.
Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual-beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah.
8.
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
45
9.
Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, dan jarak.
Ketiga: kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah 1.
Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa: a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan. b. Menanggung biaya pemeliharaan barang. c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.
Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa: a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak). b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiel). c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.