BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMASAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1. Penyertaan (deelneming) Penyertaan (deelneming)31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu). Pasal 55 merumuskan sebagai berikut : 1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :
31
Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit: Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73
Universitas Sumatera Utara
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut seta melakukan perbuatan; b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau pemyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan 2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 merumuskan sebagai berikut : Dipidana sebagai pembantu kejahatan : 1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :32 1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam Pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah mereka : a. yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat pelaksanaan (pleger); b. yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger); c. yang turut serta melakukan (mede plegen), orangnya disebut dengan pembuat peserta (mede pleger); dan d. yang disengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur (uitlokker). 2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahtan, yang dibedakan menjadi : a. pemberibantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan. Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming) adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,
32
Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Op.Cit, halaman
81
Universitas Sumatera Utara
ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana, kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan melakukan tindak pidana korupsi. Yang dihukum sebagai orang yang melakukan dapat dibagi atas (empat) macam, yaitu sebagai berikut : 1. Orang yang melakukan (pleger).33 Orang ini ialah seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai pegawai negeri. Kedudukan pleger dalam Pasal 55 KUHP: janggal karena pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat dipahami:34 a. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk di dalamnya (Hazewinkel Suringa). b. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat (pompe). 2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger).35 Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh
33
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 84 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 206 35 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 87 34
Universitas Sumatera Utara
(pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau melakukan peristiwa pidana. Disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya misalnya dalam hal-hal sebagai berikut : a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP, umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila) untuk melemparkan granat kepada B, bila C betul-betul telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang dihukum sebagai pembunuh ialah A. b. Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48, umpamanya A berniat membakar rumah B dan dengabn menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa, sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai pembakar. c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut Pasal 51, misalnya seorang Isnpektur Polisi mau
Universitas Sumatera Utara
membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan dalam tahanan orang tersebut, ia tidak dapat dihukum atas merampas kemerdekaan orang karena ia menyangka perintah itu sah, sedangkan yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah tetap si Inspektur Polisi. d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang ditaruh di muka kantor pajak. Ia tidak berani menjalankan sendiri, tetapi ia menunggu di tempat yang agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil sepeda itu dengan mengatakan bahwa sepeda itu miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak dipersalahkan mencuri, karena dengan elemen sengaja tidak ada. Yang dihukum sebagai pencuri tetap A. 3. Orang yang turut melakukan (medepleger).36 Turut melakukan dalam arti kata, bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan pleger dan orang yang turut serta melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbautan persiapan saja atau perbuatan
36
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 99
Universitas Sumatera Utara
yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk medepleger, tetapi dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56. 4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya. Dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker).37 Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari jalanjalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu, artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini sama halnya dengan suruh melakukan sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah orang yang membujuk dan yang dibujuk, hanya bedanya pada membujuk melakukan, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada suruh melakukan, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum. Penganjuran
(uitloken)
mirip
dengan
menyuruh
melakukan
(doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada :38 a. pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan menggerakannya dengan sarana yang tidak ditentukan; b. pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruh pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.
37 38
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 112 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 209
Universitas Sumatera Utara
2. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop) dan Perbuatan Berlanjut (voortgezette Handeling) Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.39 Pada penggulangannya juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada penggulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan memidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada penggulangan tidaklah diperlukan, karena syarat perbarengan adalah bahwa perbuatan yang pertama dan perbuatan pidana yang dilakukan kemudian belum dijatuhi vonis/hukuman oleh hakim. Sebagaimana yang kita ketahui, perbarengan merupakan permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pidana. Dalam ajaran umum
tentang
pembarengan dibicarakan maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan dalam hal :40 1. Beberapa pembuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada waktu yang sama atau secara bertahap. Bentuk berbarengan jangan dicampur aduk dengan residif. Ada perbarengan dimana dilakukan beberapa perbuatan pidana sebelum salah satu perbuatan pidana itu
39
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit ,halaman 109 D.Shcaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, halaman 175 40
Universitas Sumatera Utara
diajukan ke pengadilan. Tidaklah penting apakah perbuatanperbuatan pidana itu diajukan ke pengadilan pada waktu yang sama atau bertahap (Pasal 71 KUHP) . Residif memiliki kesamaan dengan perberengan karena dalam residif dilakukan beberapa perbuatan pidana. Yang khusus dari residif, yaitu setelah si pelaku diadili karena melakukan perbuatan pidana, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan pidana lagi. Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana yang dilakukan dan di antara beberapa perbuatan pidana itu si pembuat tidak diadili bertalian dengan salah satu perbuatan pidana yang dilakuakan itu. Adanya residif apabila ada beberapa perbuatan pidana. Setelah si epmbuat diadili karena ia melakukan perbuatan pidana lagi. 2. Ada (beberapa) perbuatan yang dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai satu kesatuan, tetapi termasuk ke dalam beberapa
perbuatan
pidana
sehingga
merupakan
beberapa
perbuatan yang diancam dengan pidana. Sebagai contoh, di indonesia mengendarai kendaraan di sebelah kanan jalan (catatan: di belanda orang berkendaraan di sebelah kanan jalan), dan karena kealpaan bisa mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh saru orang ini, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi, yaitu :41 a. Terjadinya perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan pada masing-masing tindak pidana. b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan memidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka di sini terdapat penggulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi penggulangan, dan di sini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya. c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka di sini tidak terjadi perbarengan maupun penggulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendirisendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut. Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi perbarengan dan disana tidak terjadi pemberatan tetapi justru terdapat adanya peringanan terhadap pemidanaan atau penjatuhan pidananya. Akan tetapi pemberlakuan terdapat halhal yang demikian tersebut tidaklah mencakup keseluruhan tindak pidana, hanya dapat diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja atau biasa dijatuhkan terhadap tindak pidana sejenis. Apabila sudah berlainan tindak pidana yang dilakukan, maka dapat menjadi pemberat terhadap penjatuhan pidananya. Hal ini
41
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Penerbit : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 110
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan akan dipilih pidana yang paling berat ancaman hukumannya dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku. Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar pemberat pidana atau peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkret tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat dengan sepertiga ancaman pidana yang terberat, tanpa melihat di sana ada beberapa tindak pidana, maka di sini perbarengan dapat dianggap sebagai alasan pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat sematamata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dapat ditambah sepertiga dari yang terberat (seperti Pasal 65) maka tampaknya pada perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Contoh orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang masing-masing diancam pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana penjara dua kali masing-masing 15 (lima belas) tahun, sehingga berjumlah 30 (tiga puluh) tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana penjara dua kali sehingga berjumlah 30 (tiga puluh) tahun, tapi satu kali maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiga). Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan umumnya, hal perbarengan dimuat ketentuan umumnya yakni dalam Bab VI (Pasal 63-71) KUHP. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan
Universitas Sumatera Utara
pidana (sistem panjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Konkretnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai : (a). cara menyidangkan atau memeriksa (menyelesaikan) perkara; dan (b) cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63-71. Dalam rumusan pasal maupun dalam Bab IX,
KUHP tidak memberikan
defenisi/pengertian perberengan tindak pidana (concursus) ini. Namun demikian, dari rumusan pasal-pasalnya, dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian pidana bagi concursus sebagai berikut : A. Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis atau Eendaadse Samenloop) Apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :42 “Valt een in meer dan eene strafbepaling, dan wordt slechts eene dier bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”.
42
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 667
Universitas Sumatera Utara
yang artinya : “Apabila suatu prilaku itu termasuk ke dalam lebih dari pada satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat”. Tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut dengan rumusan yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. Rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP di atas tampaknya sangat sederhana, akan tetapi dari hal-hal yang dituliskan di atas akan diketahui, bahwa pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di dalamnya itu tidaklah semudah yang diperkirakan orang. Kesulitan mengenai pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP itu justru terletak pada penafsiran perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP itu sendiri. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat,43 sedangkan keetntuan-ketentuan yang lain tidak diperhatikan. Misalnya terjadi pemerkosaan
43
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 179
Universitas Sumatera Utara
di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara selama 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana penajara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281. Dengan menggunakan sistem absorbsi, maka akan diambil pidana yang terberat, yaitu 12 tahun penjara. Dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (aborsi), maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 disebabkan pengaturan yang lebih khusus tersebut. B. Meerdaadse Samenloop Atau Concursus Realis Apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus Realis ataupun apa yang oleh Profesor van Hamel44 juga telah disebut sebagai samenloop van delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-Pasal 65 sampai dengan 71 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tim penerjemah Wetboek van Strafrecht dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1 KUHP di atas dengan perkataan-perkataan :45 “Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, 44
van HAMEL dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 696 45 P.A.F. Lamintang, Ibid, halaamn 696
Universitas Sumatera Utara
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.” Rumusan Pasal 66 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu antara lain berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal perbarengan bebrapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.” Dari terjemahan-terjemahan mengenai bunyi rumusan Pasal-Pasal 65 ayat 1 dan Pasal 66 ayat 1 KUHP oleh tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman di atas dapat diketahui bahwa tim penerjemah telah menafsirkan perkataan-perkataan meerdaadse feiten di dalam Pasal-Pasal 65 dan 66 KUHP itu sebagai beberapa perbuatan (dalam arti material). Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut jenis-jenis perbarengan perbuatan. Mengenai pebarengan perbuatan undangundang telah membedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :46 1. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang masing-masing diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya (Pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem bisapan yang diperberat (verscherpte absorbsi stelsel), yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi tidak boleh blebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 2). 2. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas (het gematigde cumulatie stelsel), artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan; yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana 46
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2,Op.Cit, halaman 142
Universitas Sumatera Utara
yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana hilang kemerdekaan (penjara atau kurungan), maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda. 3. perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni (het zuivere cumulatie stelsel), demikian juga; 4. perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan pelanggaran, menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua kejahatan maupun pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri dengan menjatuhkan pidana pada si pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu.
Untuk menentukan lamanya hukuman yang terberat, sebagaimana yang dimaksudkan di dalam bunyi Pasal 66 ayat 1 KUHP , maka perbandingan berat antara hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis itu ditentukan oleh urutan hukuman-hukuman pokok seperti yang telah diatur di dalam Pasal 10 KUHP. Mengenai concursus realis ini telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 71. Di dalam Pasal 70 diatur mengenai penjatuhan pidana atau hukuman. Rumusan ketentuan pidana di dalam Pasal 70 KUHP itu berbunyi : 1. Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi. 2. Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana kurungan pengganti paling banyak atu tahun empat bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti, paling banyak delapan bulan. Dari ketentuan pidana seperti yang telah di atur di dalam Pasal 70 KUHP di aats dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang telah menghendaki dijatuhkannya hukuman dalam bentuk suatu penumpukan hukuman-hukuman
Universitas Sumatera Utara
yang besifat murni di dalam suatu pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan pelaku. C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezzete Handeling) Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.47 Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut : 1. jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette bandeling), maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. 2. demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu. 3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana ersebut dalam Pasal 362, 378, dan 406. Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana, bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggraan maupun kejahatan”. Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani
47
Ibid, halaman 180
Universitas Sumatera Utara
itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan dijelaskan. Bila dilihat dari bunyi pasal di atas, dapat dipahami bahwa perbuatan berlanjut di sini, yaitu adanya suatu perbuatan pidana sejenis yang dilakukan berulang kali oleh si pelaku atau bisa merupakan suatu perbuatan yang mirip atau dapat dikategorikan masuk dalam kategori perbuatan tersebut. Misalnya saja seperti, korupsi dengan grativikasi dan juga penyuapan merupakan perbuatan pidana yang termasuk ke dalam suatu golongan pidana, sehingga apabila melakukan dua diantaranya dapat dikatakan berkelanjutan. Mengenai unsur kedua, yaitu antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain harus ada hubungan yang sedemikian rupa tidak ada keterangan lebih lanjut dalam undang-undang. Namun, demikian ada sedikit keterangan di dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda mengenai pembentukan pasal ini yaitu : “bahwa berbagai perilaku harus merupakan pelaksanaan satu keputusan yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.” Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 (tiga) syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah :48 1. harus adanya satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;
48
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Op.Cit, halaman 131
Universitas Sumatera Utara
2. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis; 3. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang saru dengan yang berikutnya (berurutan) tidak boleh terlalu lama. Mengenai yang pertama, yaitu adanya suatu keputusan kehendak (Wilbesluit). Dalam hal perbuatan berlanjut, keadaan batin kelalaian tidaklah mungkin, berhubung karena syarat pertama perbuatan ialah adanya satu keputusan kehendak, satu keputusan kehendak mana ditujukan pada suatu tindak pidana, dan bukan sekedar pada perbuatan, oleh sebab itu itu pastilah perbuatan yang wujud nyatanya berupa suatu tindak pidana itu dilakukan dengan kesengajaan.49 Dengan adanya satu kehendak untuk melakukan tindak pidana, karena telah sekali direalisasikan dalam suatu perbuatan pidana, maka di lain hari juga terdapat niat dari si pelaku apabila terdapat kesempatan-kesempatan yang ada. Dengan kata lain, niat yang terbentuk yang ditujukan untuk melakukan satu tindak pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi pada kesempatan yang lain. Kedua, Agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan maka syarat kedua yaitu Tindak Pidana yang sejenis haruslah terpenuhi. Sebagaimana yang ditulis oleh Lamintang50 “perilaku-perilaku yang menyebabkan telah terjadinya tindak pidana yang sejenis”. Menggunakan istilah perbuatan dalam syarat kedua masih dapat menimbulkan persoalan, tetapi dengan menyebut tindak pidana sudahlah jelas bahwa yang harus berulang kali itu adalah tindak pidana, bukan perbuatan semata. 49 50
Adami Chazawi, Ibid, halaman 132 Ibid, halaman 135
Universitas Sumatera Utara
Ketiga ialah jarak waktu antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang berikutnya tidak boleh terlalu lama.Maksudnya ialah, bahwa perbuatan berlanjut ini boleh saja berlangsung sampai dengan bertahun-tahun lamanya, tetapi jarak antara satu dengan yang berikutnya tidaklah boleh terlalu lama temponya51. Jika waktu itu telah terlalu lama akan terdapat kesulitan untuk mencari suatu hubungan antara tindak pidana yang dilakukan itu dengan tindak pidana (sejenis) sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya maka tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut. Hal tersebut akan berubah maknanya yang semulanya bisa merupakan perbuatan berkelanjutan akan tetapi karena jarak dengan perbuatan pidana pertama dengan seterusnya yang terlalu jauh maka dikategorikan sebagai suatu perbuatan berulang. Di dalam putusan kasasi tanggal 5 Maret 1963 No. 162 K/Kr./196252, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain : “penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai satu perbuatan daan tidak dapat semua perkaranya itu diberikan satu putusan.” Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No. 156/K/Kr./196353, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah emmutuskan anatar lain :
51
Adami Chazawi, Ibid, halaman 136 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 709 53 Ibid 52
Universitas Sumatera Utara
“masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah mengenai masalah pejatuhan hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai pembatasan dari tuntutan”. Menurut Profesor van Bemmelen,54 untuk menetukan apakah beberapa perilaku itu dapat dianggap sebagai satu tindakan berlanjut atau bukan, biasanya tidak begitu mudah, oleh karena semua perilaku itu biasanya juga terdiri dari sejumlah besar tindakan kecil. Di dalam memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 ayat 1 KUHP itu antara lain telah dikatakan, bahwa suatu voortgezet misdrijf itu hanya dapat terjadi apabila di situ terdapat sekumpulan tindak pidana yang sejenis. Tindakan-tindakan ysng telah dilakukan oleh orang itu telah memenuhi kriteria seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni :55 a. bahwa perbuatan berulang kali mengambil sejumlah kecil batu dengan mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan keputusannya yang terlarang menurut undang-undang; b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan beberapa tindak pidana ysng sejenis, yaitu tindak-tindak pidaan pencurian; c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama. B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak Pidana Korupsi 1. Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersamasama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya, 54 55
Ibid, halaman 710 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 711
Universitas Sumatera Utara
sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada negara. Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.” Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 tersebut, sebenarnya terdiri dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :56 a. setiap orang yang melakukan Percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14; b. setiap orang yang melakukan pembantuan (Pasal 56 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14; c. Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang saam dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 15 sampai dengan Pasal 14. Bila melihat isi Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas, maka adapun yang dikatakan pembantuan, yaitu adalah hal-hal yang telah 56
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 121
Universitas Sumatera Utara
diatur sebelumnya pada Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi sebagai berikut : Dipidana sebagai pembantu kejahatan : 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsurunsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi tersebut telah ikut bersama-sama melakukan pembantuan kejahatan khususnya dalam Tindak Pidana Korupsi. Bila melihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas, dapat dilihat bahwa pembantuan merupakan suatu bagian dari penyertaan tindak pidana. Maka akan berkaitan dengan Pasal 55 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan di dalam tindak pidana, dan berlaku pula dalam Tindak Pidana Korupsi. Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta melakukan tindak pidana; 2. mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menggerakkan orang lain agar melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 55 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa orang yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas:57
57
Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan Penyertaan, penerbit: USUpress, Medan, 2009, halaman 43
Universitas Sumatera Utara
a. mereka yang melakukan; b. yang menyuruh melakukan; c. dan yang turut serta melakukan; d. serta penganjur; e. mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; f. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal melakukan tindak pidana korupsi, maka akan lebih mendalam pembahasan mengenai ikut serta dalam tindak pidana korupsi. Ikut serta (medeplegen) merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari penyertaan (deelneming). Dengan kata lain, ikut serta adalah merupakan penyertaan. Menurut MvT pelaku dalam ikut serta (medeplegen)58 adalah orang yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari sesuatu pidana. Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya terkait dengan masalah pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta ini, antara lain sebagai berikut : 1. Menurut Pompe,59 dalam mewujudkan tindak pidana itu ada tiga kemungkinan, yaitu :
58
P.A.F. Lamintang Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Ibid, halaman 55 Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Surakarta: Program Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 1987), halaman 40-41 59
Universitas Sumatera Utara
a. mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Mereka ini masing-masing dapat juga disebut melakukan delik. b. salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan ada orang lain ikut serta. c. tidak seorangpun yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetap mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. 2. Menurut Simons dalam Loebby Loqman,60 bahwa dalam ikut serta semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dilakukan. 3. Menurut van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,61 bahwa dianggap ada persoalan ikut serta (medeplegen) jika setiap pelaku yang ikut serta harus memenuhi semua unsur delik. Jadi mereka satu sama lain menjadi pelaku peserta. Di luar hal-hal itu maka adalah bentuk penyertaan yang berupa pembantuan. 4. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memnuhi semua unsur tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang harus memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak pidana yang dilakukan. Yang terpenting menurut Hoge Raad adalah dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula Mahkamah Agung Republik Indonesia juga berpendapat bahwa dalam ikut serta peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam tindak pidana.62
60 Loebby Loqman Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan Penyertaan,Op.Cit, halaman 56 61 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan Penyertaan,Ibid 62 Ibid, halaman 57
Universitas Sumatera Utara
Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming) adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi, ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana, kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan melakukan tindak pidana korupsi. Bila dilihat lebih jauh, maka dalam tindak pidana korupsi yang lebih banyak terjadi adalah seseorang yang turut serta melakukan atau bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagimana yang telah diatur di dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP. Adapun perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:63 1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie) Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan “pembantuan”. 2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie) Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam turut serta pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam pembantuan kehendak ditujukan kearah memberi bantuan kepada orang yang melakukan tindak pidana. Disamping perbedaan kehendak, dalam turut serta pelaku mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana. 63
http://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-proflobby-luqman. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam pembantuan tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan si pelaku utama. Artinya pembantu hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana. Dalam hal kepentingan, peserta dalam turut serta mempunyai kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan pembantuan kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan. 3. Teori Gabungan (verenigings theorie) Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undangundang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta. Dalam membedakan antara turut serta dengan pembantuan di dalam praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk turut serta yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai turut serta. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta diklasifikasikan sebagai pembantuan. Selanjutnya, dalam hal pemberian kesempatan, sarana atau keterangan di dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP yang terjadinya Tindak Pidana Korupsi diluar wilayah Indonesia bahwa pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan adapun pencantuman dari hal ini adalah untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi yang bersifat transional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil Tindak Pidana Korupsi antarnegara dapat dicegah secara optimal dan efektif.
Universitas Sumatera Utara
Bila berbicara permasalahan ikut serta/penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi, maka juga akan dijabarkan adanya ancaman Pidana Korupsi bagi seseorang yang turut serta melakukan perbuatan korupsi tersebut. Ancaman ikut seta dalam tindak pidana korupsi adalah sama dengan yang melakukan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukuman yang diberikan yaitu : Ancaman pidana penjara berupa :64 a. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999); b. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999); c. pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1999); dan d. pidana penjara dan atau pidana denda sebagaimna diatur dalam ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Pidana tambahan, dapat berupa :65 a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat Tindak Pidana Kmorupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang ganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya saama dengan harta benda yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi; c. pentutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan
64
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di indonesia, Normatif, Teoritis, Parktik dan Masalahnya, penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 99 65 Ibid
Universitas Sumatera Utara
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Bila dilihat dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, maka dapat terlihat adanya pengaturan mengenai keikutsertaan, atau dengan kata lain terdapat pengaturan mengenai penyertaan (deelneming). Sebagaimana yang diketahui, bahwa Tindak Pidana Khusus yang mengatur adanya penyertaan tidak hanya terdapat pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja. Tetapi, terdapat juga Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yang lain yang juga mengatur penyertaan dalam tindak pidananya. Undang-Undang yang mempunyai pengaturan yang sama mengenai ikut serta dalam penyertaan, yaitu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu terdapat pada Pasal 10 yang berbunyi : “Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.” Selain Undang-undang Tindak Pencucian Uang (money laundering) juga terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur penyertaan, yaitu
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Traffic King).
Universitas Sumatera Utara
Adapun Pasal 10 berbunyi : “Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” Selain dua Undang-Undang diatas, terdapat juga Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yang juga mengatur mengenai ikut serta dalam penyertaan (deelneming) di dalam tindak pidananya, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun bunyi Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang Narkotika yaitu sebagai berikut : “Pemufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersengkongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, atau mengorganisasikan suatu Tindak Pidana Narkotika.” Melihat bunyi Pasal Undang-Undang di atas, maka dapat dilihat bahwa tidak hanya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan pengaturan mengenai ikut serta dalam penyertaan. Ada juga undang-undang Tindak Pidana Khusus yang mengatur permasalahan penyertaan. Dari bunyi Undang-Undang di atas, dapat kita lihat bahkan dalam penjatuhan pidananya, orang yang ikut serta melakukan kejahatan dalam Pencucian Uang, Perdagangan Orang dan Narkotika juga mendapatkan ancaman hukuman yang sama dengan orang yang melakukan. Sehingga, tidak hanya Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan ancaman yang sama orang yang melakukan penyertaan seperti pelaku yang melakukan kejahatan, tetapi tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana yang lain juga mengatur hal yang sama mengenai ikutserta dalam penyertaan (deelneming), khususnya dalam penjatuhan pidananya. 3. Pidana Berkelanjutan dalam Tindak Pidana Korupsi Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) pada dasarnya adalah beberapa tindak pidana yang satu sama lain saling berhubungan sehingga dipandang sebagai satu tindak pidana yang terjadi secara berlajut. Untuk dapat dikatakan ada perbuatan berlanjut beberapa tindak pidana tersebut harus terjadi karena satu keputusan kehendak, waktu antara perbuatan yang satu dan yang lain tidak boleh lama, dan perbuatan-perbuatan tersebut sama atau sama jenisnya. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan tempus dan locus delicti sendiri-sendiri, tetapi karena lahir dari satu keputusan kehendak dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Dilihat dari segi pemidanaan, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan apakah perbuatan itu dipandang sebagai delik tunggal, ataupun dipandang sebagai gabungan delik (samenloop), terutama dalam hal perbuatan berlanjut (voortgezette handeling). Mengingat hanya dijatuhkan satu pidana saja dari serangakain pidana sejenis, atau jika berbeda-berbeda diterapkan ancaman pidana yang paling berat , sedangkan ketentuan yang lain tidak diperhatikan (absobsi). Dalam yurisprudensi dan ilmu pengetahuan perbuatan berlanjut dipandang jika bermacam-macam perbuatan yang dilakukan, jarak perbuatan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan seterusnya tidak terlalu jauh dan diakibatkan oleh satu kehendak.
Universitas Sumatera Utara
Adapun
pengaturan
mengenai
perbuatan
berlanjut
(voortgezzette
handeling) diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut : 1. Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbedabeda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. 2. Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang dinyatakan bersalah melakukan pemalsua atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu. 3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal-Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372, dan 406. Jika dicermati ketentuan tentang perbuatan berlanjut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, yang dimaksud dengan kata perbuatan dalam ketentuan tersebut adalah tindak pidana, mengingat kata perbuatan tersebut diperjelas dengan anak kalimat meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran adalah tindak pidana, sehingga beberapa perbuatan yang berlanjut tersebut adalah beberapa tindak pidana yang berlajut. Dengan demikian, maka perbuatan berlanjut dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur tersebut, yaitu: perbuatan itu harus sama atau sama macamnya dan harus ditafsirkan sebagai “tindak pidana-tindak pidana itu harus sama atau sama macamnya”. Banyak ahli hukum menerjemahkan voorgezette handeling66 itu dengan perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutkan dengan “perbuatan terus menerus”,
66
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Op.Cit, halaman 129
Universitas Sumatera Utara
Schravendijk-sama juga dengan Wirjono Pro-djodikoro menyebutkan dengan “perbuatan yang dilanjutkan”, dan Soesilo menyebutkan dengan “perbuatan yang diteruskan.” Apapun istilah yang digunakan, mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan yang berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah67 “beberapa perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan, yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut.” Berdasarkan rumusan ayat (1) tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut ialah : 1. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa; a. pelanggaran; atau b. kejahatan; 2. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikain rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut; Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana, bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggaran maupun kejahatan”. Pelanggaran dan kejahatan adalah sesuatu tindak pidana (penafsiran sistematis). Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani
67
Ibid, halaman 130
Universitas Sumatera Utara
itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan dijelaskan. Di dalam Tindak Pidana Korupsi, mengenai perbuatan berkelanjutan tidak ada pengaturan secara khusus di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001. Akan tetapi dalam pemutusan perkara korupsi, sering kali ditemukan putusan hakim baik di Pengadilan Negeri ataupun Hakim di Mahkamah Agung yang mengikutkan perbuatan berlanjut setelah kata “bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi”. Dengan kata lain dalam korupsi, perbuatan berlanjut seringkali terjadi bersamaan dengan perbuatan ikut serta (medeplegen) dalam penyertaan Tindak Pidana korupsi. Dikatakan perbuatan berkelanjutan dalam tindak pidana korupsi dikarenakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut baik dengan pidana sejenis dalam Tindak Pidana Korupsi. Misalnya saja, dalam perbuatan korupsi, bahwasanya telah terjadi korupsi yang dilakukan seseorang atau lebih dari satu orang yang ikut serta dalam korupsi dan telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara. Lalu untuk menutupi kejahatannya, orang tersebut menyuap aparat penegak hukum atau pihak-pihak terkait yang
mengetahui bahwa ia melakukan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam contoh tersebut, dapat dilihat adanya perbuatan berkelanjutan yang masih dikategorikan sebagai perbuatan pidana sejenis, karena penyuapan merupakan bagian dari Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Melihat dari hal-hal yang telah dikemukakan banyak sekali terdapat kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara berkelanjutan, dan tentu saja masih berkaitan dengan pidana ikut serta dalam korupsi. Contohnya dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Negara, dengan nomor perkara 29/Pid.Sus/ 2011/PN.NGR atas nama terdakwa Prof.Dr. drg. I Gede Winasa yang dikenakan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, karena telah terbukti bersama-sama dan berkelanjutan melakukan tindak pidana korupsi pada saat sebagai Bupati Jembrana, Bali.68 Selain itu ada juga kasus pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan yang lainnya yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil/Kepala Biro di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terdakwa didakwakan Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dengan melihat perkara-perkara tindak korupsi tersebut, dapat dilihat bahwa dalam tindak pidana korupsi bahwasanya pengaturan perbuatan berlanjut harus diikutsertakan dengan penyertaan (deelneming) di dalam Tindak Pidana Korupsi.
68
http://fickar15.blogspot.com/2012/02/anotasi-hukum-putusan-pengadilannegeri.html#!/2012/02/anotasi-hukum-putusan-pengadilan-negeri.html. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013.
Universitas Sumatera Utara