BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Kejadian Hipertensi 2.1.1 Gambaran Hipertensi Hipertensi adalah kondisi dimana seseorang mempunyai tekanan darah sistole (Sistolic Blood Pressure) lebih atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastole (Diastolic Blood Pressure) lebih atau sama dengan 90 mmHg sesuai kriteria WHO atau memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya (Bhadoria, dkk., 2014; Hamano, dkk., 2014). 2.1.2 Manifestasi Klinis Hipertensi Julukan “the silent disease” diberikan kepada penyakit hipertensi ini. Hal ini sesuai dengan kedatangannya yang tidak terduga dan tanpa menunjukkan adanya gejala tertentu. Seringkali penderita hipertensi baru mengetahui setelah penyakit hipertensi yang dideritanya menyebabkan berbagai komplikasi (Suiraoka, 2012). Gejala hipertensi yang sering muncul adalah sakit kepala, penglihatan kabur, pusing atau migrain, epitaksis, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, suka marah, telinga berdengung (Sudoyo, 2010; Sutanto, 2010). 2.1.3 Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi hipertensi berdasarkan peningkatan tekanan darah sistole dan diastole. Klasifikasi hipertensi menurut The Sevent Report of The Joint National (JNC 7) sebagai berikut.
7
8
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 SBP (mmHg) < 120 120-139 140-159 > 160 (JNC 7, 2005)
DBP (mmHg) < 80 80-89 90-99 >100
Klasifikasi JNC 7 Normal Pre Hipertensi Hipertensi derajat I Hipertensi derajat II
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Hipertensi Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi dibedakan menjadi faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol (Suiaroka, 2012). 2.1.4.1 Faktor yang dapat dikontrol Faktor yang dapat dikontrol yang mempengaruhi terjadinya hipertensi, antara lain: 1) Obesitas Obesitas dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kolesterol dalam tubuh, yang memicu terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit sehingga meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah. Selain itu pasien hipertensi dengan obesitas akan memiliki curah jantung dan sirkulasi volume darah lebih tinggi dari pada hipertensi yang tidak obesitas. Dengan demikian beban jantung dan sirkulasi volume darah orang hipertensi dengan obesitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan penderita hipertensi dengan berat badan normal (Sutanto, 2010; Nguyen & Lau, 2012). Menurut hasil penelitian cross sectional deskriptif di Port Harcourt, Nigeria Selatan, dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 75 dosen,
9
diperoleh hasil bahwa prevalensi hipertensi ditemukan sebesar 21,33%. Hipertensi yang memiliki overweight sebesar 60%, yang mengalami obesitas sebesar 22,67% dan yang normal hanya sebesar 17,33% (Ordinioha, 2013). Hal ini juga didukung hasil penelitian cross sectional di India
Tengah
dengan
jumlah
sampel
sebesar
939
orang,
mengidentifikasikan bahwa IMT ≥ 27,5 kg/m² merupakan prediktor untuk hipertensi pada populasi perkotaan, sementara obesitas sentral merupakan prediktor hipertensi di populasi pedesaan (Bhadoria, dkk., 2014). Hasil penelitian cross-sectional di Rio de Janerio dengan jumlah sampel 854, diperoleh hasil bahwa kegemukkan dan obesitas berhubungan positif dengan kejadian hipertensi, nilai p < 0,05 (Corrêa-Neto, dkk., 2014). 2) Aktivitas Fisik Orang yang kurang aktivitas fisik cenderung memiliki curah jantung yang lebih tinggi. Semakin tinggi curah jantung maka semakin keras kerja setiap kontraksi sehingga semakin besar oksigen yang dibutuhkan oleh selsel tubuh. Kurang aktivitas fisik juga risiko meningkatkan kelebihan berat badan (Suiraoka, 2012; Wahiduddin, dkk., 2013). Menurut hasil penelitian cross sectional di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar dengan jumlah sampel sebanyak 139 orang, diperoleh hasil sebanyak 64,4% responden dengan aktivitas ringan menderita hipertensi, dan sebanyak 100% responden yang beraktivitas sedang tidak menderita hipertensi (Muliyati, 2011). Hasil penelitian yang lain case control Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan dengan jumlah
10
sampel 164 responden, menunjukkan hasil bahwa aktivitas fisik kurang merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hipertensi, dengan OR = 2,67; 95% CI: 1,20-5,90 (Wahiduddin, dkk., 2013). Hasil penelitian cross sectional di Kosovo dengan besar sampel 1793 didapatkan hasil bahwa aktivitas fisik kurang berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan OR = 1,98; 95% CI : 1,46-2,74 (Hashani, dkk., 2014). 3) Merokok Merokok atau mengunyah tembakau mempengaruhi terjadinya kenaikkan tekanan darah dan bahan kimia yang terkandung dalam tembakau dapat merusak
lapisan
dinding
arteri
yaitu
menyebabkan
terjadinya
penyempitan pembuluh darah arteri serta memudahkan terjadinya aterosklerosis (Wahiduddin, dkk., 2013; Ansari, dkk., 2012). Menurut hasil penelitian case control study di Virginia Barat dengan jumlah sampel 2.889 peserta, diperoleh hasil bahwa kadar cotinine serum lebih tinggi pada perokok berhubungan positif dengan tekanan darah sistolik, dengan OR = 3,24, 95% CI : 1,86-5,63, p = 0,006 (Alshaarawy, dkk., 2013). Hasil penelitian yang lain case control study di Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto dengan jumlah sampel 164 responden, diperoleh hasil bahwa perilaku merokok merupakan faktor risiko terhadap kejadian hipertensi, dengan OR = 2,32; 95% CI : 1,24-4,35 (Wahiduddin, dkk., 2013). Penelitian cross sectional di Semarang dengan sampel 115 responden menunjukkan hasil bahwa kebiasaan merokok berhubungan dengan terjadinya hipertensi p =0,005, jumlah rokok berhubungan dengan
11
hipertensi p= 0,001, cara menghisap rokok dengan hipertensi p=0.003 (Tisa & Angela Novalia, 2012). Penelitan case control di Makasar dengan sampel 144 responden menunjukkan hasil pengaruh rokok dengan hipertensi OR= 1,42; 95%CI: 0,73-2,76) ( Anggraeni Rini, 2013). 4) Konsumsi Lemak Jenuh. Asupan lemak jenuh dapat mengakibatkan dislipidemia yang merupakan salah satu faktor utama risiko arterosklerosis, yang pada gilirannya berpengaruh pada penyakit kardiovaskuler (Suiraoka, 2012). Menurut hasil penelitian case control di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dengan jumlah sampel sebesar 310 responden, menunjukkan hasil bahwa konsumsi lemak jenuh menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi, nilai p = 0,001; OR = 7,72; 95% CI: 2,45-24,38 (Sugiharto, 2007). Hasil penelitian case control yang lainnya di Semarang dengan sampel 40 responden, menghasilkan asupan tinggi lemak menjadi faktor risiko kejadian hipertensi obesitik, nilai p = 0,002; OR = 4,3; 95% CI: 1,69611,069 (Kapriana & Muhammad Sulchan, 2012). 5) Konsumsi Garam Berlebihan Natrium dan klorida adalah ion utama pada cairan ekstraselular. Konsumsi garam dapur berlebihan dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler. Meningkatnya volume cairan pada ekstraseluler dapat meningkatkan volume darah sehingga berdampak pada kenaikan tekanan darah (Sutanto, 2010; Muliyati, 2011).
12
Menurut hasil penelitian
cross sectional di RSUD Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makasar dengan jumlah sampel sebanyak 139 responden, diperoleh hasil bahwa sebanyak 93,7% responden yang mengkonsumsi garam natrium lebih menderita hipertensi dan 63,2% yang mengkonsumsi natrium kurang tidak menderita hipertensi, nilai p = 0,001 (Muliyati, 2011). Penelitian cross sectional di Propinsi Jiangsu Cina juga menunjukkan bahwa konsumsi garam yang tinggi berhubungan dengan hipertensi dengan nilai p = 0.001 (Qin Yu, dkk., 2014). 6) Konsumsi Alkohol Mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan sintesis katekolamin, yang dapat memicu kenaikan tekanan darah (Suiraoka, 2012). Menurut hasil penelitian cross sectional di Kabupaten Minahasa dengan jumlah sampel 107 orang, menunjukkan bahwa konsumsi alkohol berhubungan positif dengan kejadian hipertensi, nilai p = 0.001; OR = 4,3; 95% CI: 1.86-10.28 (Diyan, 2013). 7) Stres Faktor risiko stres berpengaruh dengan terjadinya hipertensi dikaitkan dengan peran saraf simpatis yang mempengaruhi hormon epinefrin (adrenalin).
Hormon
epinefrin
(adrenalin)
dapat
mempengaruhi
peningkatkan tekanan darah (Sutanto, 2010; Hamano, dkk., 2012). Menurut hasil penelitian observasional di Jakarta dengan jumlah sampel 58 responden didapatkan hasil stres (tegang) berpengaruh terhadap hipertensi p=0,01; OR= 6,2; 95% CI: 1,4-26,2) (Korneliani, 2012) dan penelitan case
13
control di Kabupaten Bantul Yogyakarta dengan 216 sampel menunjukkan bahwa faktor psikologis stres mempengaruhi terjadinya hipertensi dengan OR= 3,28; 95% CI: 1,05-10,263 (Elvyrah Faisal, dkk., 2011) dan penelitian cross sectional di Kosovo dengan jumlah sampel 1793 responden, menunjukkan hasil bahwa faktor psikososial (permusuhan) berhubungan dengan hipertensi dengan OR = 1,42, 95% CI: 1,17-2,08 (Hashani, dkk., 2014). 2.1.4.2 Faktor yang tidak dapat di kontrol 1) Riwayat keluarga (Keturunan) Faktor keturunan memang memilki peran yang besar terhadap munculnya hipertensi. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada kembar homozigot jika dibandingkan dengan heterozigot (Sutanto, 2010; Sundari, dkk., 2013). Menurut hasil penelitian case control di Banyuwangi didapatkan hasil bahwa pada individu dengan genotip homozigot TT 3 kali lebih banyak mengalami hipertensi dari pada genotip heterozigot TC pada wilayah pantai maupun pegunungan (Sundari, dkk., 2013). Penelitian lain dengan case control di Karanganyar Jawa Tengah, menunjukkan bahwa riwayat keluarga dengan hipertensi mempengaruhi terjadinya hipertensi, dengan p = 0,001; OR = 4,04; 95% CI : 1,92-8,47 (Sugiharto, 2007). 2) Jenis Kelamin Pada umumnya pria lebih terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan pria banyak mempunyai faktor risiko yang
14
mempengaruhi terjadinya hipertensi seperti merokok, kurang nyaman terhadap pekerjaan dan makan tidak terkontrol. Biasanya wanita akan mengalami peningkatan hipertensi setelah masa menopause (Suiraoka, 2012). Menurut hasil penelitian cross sectional di Kosovo, menunjukkan bahwa pria lebih berisiko menderita hipertensi dengan OR = 1,41; 95% CI: 1,19-1,58 (Hashani, dkk., 2014). 3) Umur Hilangnya elastisitas pembuluh darah dan aterosklerosis
merupakan
faktor penyebab hipertensi usia tua (Sutanto, 2010). Menurut hasil penelitian case control di Karanganyar Jawa Tengah, meunjukkan bahwa umur menjadi faktor risiko penyakit hipertensi. Umur 56-65 tahun menjadi faktor risiko hipertensi, p = 0,001; OR = 4,76; 95% CI: 2,0-11,50 (Sugiharto, 2007). Menurut hasil penelitian cross sectional di Kosovo, menunjukkan bahwa usia yang lebih tua berkorelasi positif dan signifikan terhadap hipertensi dengan OR = 1,03; 95% CI: 1,1,02-1,05 (Hashani, dkk., 2014). 2.2 Konsep Aktivitas Fisik 2.2.1 Gambaran Aktivitas Fisik Aktivitas fisik dan olah raga sebenarnya sangat berhubungan tetapi pada dasarnya berbeda. Olah raga termasuk aktivitas fisik, namun tidak semua jenis aktivitas fisik adalah olah raga. Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi (Suiraoka, 2012).
15
Aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko terjadinya berbagai penyakit kronis, termasuk salah satunya adalah hipertensi (Sutanto, 2010; Sudoyo, 2010). 2.2.2 Manfaat aktivitas fisik Aktivitas fisik secara teratur dapat bermanfaat positif terhadap kesehatan antara lain: dapat mencegah penyakit jantung, stroke, hipertensi, diabetes, osteoporosis dan lain-lain. Aktivitas fisik teratur juga bermanfaat dalam mengendalikan berat badan, otot menjadi lebih lentur dan tulang menjadi kuat, bentuk tubuh lebih ideal dan proporsional, lebih percaya diri, lebih bertenaga serta lebih bugar sehingga secara keseluruhan kesehatan kita menjadi lebih baik (Wahiduddin, dkk., 2013; Mellisa, 2013). 2..2.3 Pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian hipertensi Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah dapat dirumuskan sebagai berikut: Tekanan darah = curah jantung x tahanan perifer (Sudoyo, 2010). Pada awal permulaan aktivitas fisik dan selama aktivitas fisik terjadi peningkatan denyut jantung hal ini dapat menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Peningkatan curah jantung dapat terjadi karena disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan suplai oksigen dari otot-otot yang bekerja (Kapriana & Muhammad Sulchan 2012; Mellisa, 2013). Sementara itu aliran darah yang meningkat saat aktivitas fisik dapat menjaga endotel (lapisan dinding) pembuluh darah arteri dengan diproduksinya nitrit oksida (NO). NO akan merangsang pembentukan endothelial derive relaxing factor (EDRF) yang berfungsi vasodilatasi atau melebarkan arteri. Dalam keadaan kondisi istirahat aliran darah pada arteri koronaria berkisar 200
16
ml/menit (4% dari total curah jantung). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan 4 ml/menit sudah dapat menghasilkan nitrit oksida (NO) untuk memperbaiki endotel arteri. Aktivitas fisik sedang (senam atau jalan kaki) dapat menyebabkan meningkatnya aliran darah sampai 350 ml/menit (naik 150 ml/menit) hal ini sudah cukup untuk mencegah endotel dari proses aterosklerosis. Namun semua itu baru bisa efektif jika aktivitas fisik yang teratur dan membutuhkan waktu minimal 30 menit (Sutanto, 2010; Sharman, dkk., 2014). Pada aktivitas fisik yang senantiasa aktif dan teratur akan menyebabkan pembuluh darah cenderung lebih elastis sehingga akan mengurangi tahanan perifer (Suiraoka, 2012). Aktivitas fisik yang teratur pada gilirannya juga akan menyebabkan kerja jantung menjadi lebih efisien sehingga curah jantung akan berkurang dan akan menyebabkan penurunan tekanan darah (Sutanto, 2010; Wahiduddin. dkk., 2013). Menurut hasil penelitian case control di Makasar, menunjukkan bahwa
aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dengan OR = 2,67; 95% CI : 1,20-5,90 (Wahiduddin, dkk., 2013). 2.2.4 Cara pengukuran aktivitas fisik International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) merupakan salah satu jenis kuesioner yang dapat digunakan
untuk mengukur aktivitas
fisik
seseorang. IPAQ berisikan pertanyaan yang meliputi jenis, durasi dan frekuensi seseorang melakukan aktivitas fisik dalam jangka waktu tertentu misalkan dalam 7 hari terakhir. Berbagai jenis aktivitas fisik tersebut dikelompokkan menjadi tiga tingkatan yaitu aktivitas ringan, aktivitas sedang dan aktivitas berat. Pengukuran
17
aktivitas fisik dapat dilakukan dengan cara mengukur banyaknya energi yang dikeluarkan untuk aktivitas setiap menitnya. Metode IPAQ memiliki kelebihan yaitu memiliki ketelitian yang tinggi dan juga mudah di gunakan khususnya pada responden dewasa. Sebagai standar yang dipakai adalah banyaknya energi yang dikeluarkan tubuh dalam keadaan istirahat duduk yang dinyatakan dalam satuan METs (Metabolic Equivalent Task). Satu METs diartikan sebagai energi yang dikeluarkan per menit/kg BB orang dewasa (1 METs = 1.2 kkal/menit). IPAQ menetapkan skor aktivitas fisik dengan rumus: METs/minggu = METs Level (jenis aktivitas) X Jumlah menit aktivitas X Jumlah hari/minggu. Kategori aktivitas fisik menurut IPAQ adalah total energi yang dikeluarkan dalam aktivitas fisik dalam satu minggu (7 hari) terakhir, dikatakan aktivitas ringan jika kurang dari 600 METs/minggu, aktivitas sedang jika sebesar antara 600 – 1500 METs/minggu, sedangkan aktivitas berat jika lebih dari 1500 METs/minggu (Craig, dkk., 2003; IPAQ group, 2002; Wolin, dkk., 2008; Harvard Publication Health, 2009). Metode lain dengan penghitungan skor IPAQ dengan mean std.dev telah dilakukan di FIK UNY dengan skor IPAQ rata-rata : 7248,13 + 2420,58 METs (Sudibjo, Arovah & Lakmi R., 2015) dan penelitian di Menado juga memakai perhitungan skor IPAQ dengan mean std.dev dengan skor IPAQ rata-rata : 2137,01 + 1457,53) (Novitasary, Nelly & Shirley, 2014).
18
2.3 Konsep rokok dan merokok 2.3.1 Gambaran rokok dan merokok Rokok adalah gulungan kertas berbentuk silinder yang panjangnya antara 70-120 mm dan diameternya sekitar 10 mm. Rokok berisi olahan daun tembakau, cengkeh, kelembak dan filter. Merokok adalah membakar rokok dan kemudian dihisap asapnya dapat menggunakan rokok batangan ataupun menggunakan alat bantu pipa (WHO, 2010). 2.3.2 Kategori Perokok Kategori perokok dilihat dari segi orang yang menghisap asap rokok dapat dibedakan menjadi: perokok aktif dan perokok pasif. Hasil penelitian cross sectional di Propinsi Isfahan dan Propinsi Markasi Iran Tengah, dengan jumlah sampel 6.123 orang, menunjukkan bahwa sebanyak 893 laki-laki (14,6%) penderita hipertensi yang masing-masing adalah perokok aktif (28,6%) perokok pasif (28,8%), dan bukan perokok 42,5% (Ansari, dkk., 2012). 2.3.3 Klasifikasi perokok berdasarkan jumlah rokok yang dihisap Klasifikasi perokok dilihat dari banyaknya batang rokok yang dihisap, dapat dibedakan menjadi: perokok ringan jika menghisap rokok kurang dari 10 batang rokok/hari, perokok sedang jika menghisap rokok 10-20 batang/hari dan perokok berat jika menghisap rokok lebih 20 batang/hari (Tisa & Angela Novalia, 2012). Menurut hasil penelitian cross sectional di Semarang, menunjukkan bahwa kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi dengan hasil analisis sebagai berikut jumlah rokok yang dihisap dengan nilai p<0,001, cara menghisap
19
rokok dengan nilai p= 0,003; OR= 3,938 dan lama menghisap rokok dengan nilai p<0,001; OR= 9,000 (Tisa & Angela Novalia, 2012). 2.3.4 Kandungan dalam rokok Asap rokok yang dihisap mengandung bermacam-macam bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Bahan kimia yang ada di rokok dibedakan menjadi fase partikular dan fase gas. Fase partikular meliputi nikotin, nitrosamine, nitrosonornikotin, polisiklik hidrokarbon, dan carsinogenic amine. Fase gas meliputi carbon monoksida (CO), carbon dioksida (CO2) dan lain-lain. Rokok diperkirakan mengandung sekitar 4000 zat toksik dan 60% diantaranya bersifat carsinogenic (Diyan, 2013; Ansari, dkk., 2012). 1) Nikotin Nikotin berpengaruh terhadap kenaikan tekanan darah, denyut jantung, dan meningkatnya kontraksi otot jantung sehingga dipaksa untuk menggunakan
oksigen
semakin
besar.
Nikotin
juga
berdampak
vasokontriksi pembuluh darah perifer. Saat seseorang menghisap rokok beberapa detik kemudian nikotin sudah mencapai otak, kemudian otak merangsang kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon epinefrin (adrenalin) yang mempengaruhi terjadinya hipertensi (Tisa & Angela Novalia, 2012; Wahiduddin, dkk,. 2013). 2) Carbon Monoksida (CO) Gas CO merupakan sejenis gas hasil dari pembakaran dari unsur zat karbon (zat arang). CO bersifat toksik, transport dan penggunaannya bersaing dengan oksigen dalam tubuh. Daya ikat CO dengan eritrosit lebih
20
kuat dibandingkan dengan oksigen dalam eritrosit, sehingga akan membentuk carboxyhemoglobin (CoHb) yang
berdampak tubuh akan
kekurangan oksigen. Seorang perokok mempunyai rata-rata 2,5%-13,5% lebih banyak CoHb di dalam eritrosit jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. CO juga dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan penyimpanan kolesterol di dalam pembuluh darah arteri sehingga mempengaruhi terbentuknya aterosklerosis dalam pembuluh darah (Sitepoe, 1997; Tisa & Angela Novalia, 2012). 3) Tar Tar merupakan senyawa polisiklik hidrokarbon aromatika yang bersifat carsinogenic. Tar dapat merusak sel paru-paru karena lengket serta menempel
pada
saluran
nafas
dan
paru-paru
sehingga
dapat
mengakibatkan kanker. Endapan tar berupa warna coklat dapat terjadi di gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Masuknya tar ke dalam saluran pernafasan dan paru-paru tergantung pada hisapan yang dalam, menghisap berkali-kali, dan banyaknya rokok yang dihisap (Sitepoe, 1997; Tisa & Angela Novalia, 2012). 2.3.5 Pengaruh merokok terhadap terjadinya hipertensi Tekanan darah dapat dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Sedangkan curah jantung dan tahanan perifer dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah merokok. Kandungan nikotin dalam rokok dapat menyebabkan meningkatkan denyut jantung, bertambahnya kontraksi otot jantung, menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer dan pembuluh
21
darah di ginjal sehingga mempengaruhi peningkatan tekanan darah (Sitepoe, 1997). Nikotin juga mengganggu sistem saraf simpatis dengan perangsangan hormon epinefrin (adrenalin) yang dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah juga dipengaruhi oleh kandungan karbon monoksida (CO) yang dihisap dari rokok oleh perokok aktif atau pasif. Di dalam eritrosit,
CO mempunyai daya ikat yang lebih kuat dengan hemoglobin
dibandingkan dengan oksigen, sehingga jika seseorang menghisap rokok kadar oksigen dalam darah akan berkurang. Jika sel-sel tubuh kekurangan oksigen maka tubuh akan melakukan kompensasi pembuluh darah dengan cara vasokontriksi. Bila vasokontriksi berlangsung lama maka pembuluh darah akan mudah terjadi aterosklerosis (Sitepoe, 1997; Tisa & Angela Novalia, 2012). Hasil penelitian cross sectional di Kabupaten Minahasa, dengan jumlah sampel 107 orang, menunjukkan hasil bahwa kebiasaan merokok mempengaruhi terjadinya hipertensi p = 0.001; OR = 6.0; 95% CI: 2,53-14,22 (Diyan, 2013).
2.4 Penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi Penyebab hipertensi dibedakan menjadi 2 yaitu: hipertensi essensial (hipertensi primer) yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain. Sekitar 90% penderita hipertensi termasuk hipertensi primer, sedangkan yang 10% termasuk disebabkan hipertensi sekunder (Suiraoka, 2012). Penyebab hipertensi sekunder antara lain: penyakit ginjal yang disebut hipertensi renal (renal hypertension) yaitu penyakit ginjal yang dapat mempengaruhi kelenjar adrenal, termasuk di antaranya adalah glomerulonefritis,
22
pielonefritis, nekrosis tubular akut, tumor ginjal. Kelainan vasculer juga dapat menyebabkan hipertensi sekunder seperti aterosklerosis, trombosis, emboli kolesterol, aneurisma, hiperplasia. Kelainan endokrin seperti diabetes melitus, hipertiroidisme, hipotiroidisme juga menjadi penyebab hipertensi sekunder. Penyebab lain dari hipertensi sekunder yaitu hipertensi karena kehamilan (gestational hypertension) yang biasanya terjadi pada trimester ke tiga kehamilan (Sudoyo, 2010; Sutanto, 2010).