BAB II ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Pengertian Ilmu Istilah ilmu dalam bahasa Arab, berasal dari kata kerja (fi'il) ‘alima yang memiliki arti mengetahui. Dan kata ilmu itu adalah bentuk kata benda abstrak atau masdar, dan kalau dilanjutkan lagi menjadi ‘alim, yaitu orang yang tahu (subyek), sedang yang menjadi obyek ilmu disebut ma’lum,
atau
yang
diketahui.1
Sedangkan
menurut
cakupannya
pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segala pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan.2 Jadi, dalam arti ini ilmu mengacu pada ilmu seumumnya (sience-in-general). Menurut arti yang lain, ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari sesuatu pokok soal tertentu.3 Dalam arti ini ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tafsir dan lain sebagainya. Kemudian dalam perspektif makna, pengertian ilmu sekurangkurangnya mencakup tiga hal, yakni pengetahuan, aktifitas dan metode. Dalam hal yang pertama ini ilmu sering disebut pengetahuan. Menurut Ziauddin Sardar juga berpendapat bahwa ilmu atau sains adalah “cara mempelajari alam secara obyektif dan sistematik serta ilmu merupakan suatu aktifitas manusia.4 Kemudian menurut John Biesanz dan Mavis Biesanz dua sarjana ilmu sosial, mereka mendefinisikan ilmu sebagai suatu cara yang teratur untuk memperoleh pengetahuan (an organized 1
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta : PT. AI Husna Zikro 1995). Cet. 3, hln. 132. 2
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty 2000), cet. 5, hlm. 1985.
3
Ibid, hlm. 86.
4
Ziauddin Sardar, Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. 1, hlm. 22.
16
17 way of oftening knowledge) dari pada sebagai kumpulan teratur pada pengetahuan.5 Jadi ilmu adalah merupakan suatu metode. Dari uraian pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu mempunyai pengertian sebagai pengetahuan, aktivitas dan metode. Tiga bagian ini satu sama lain tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu tidak mungkin muncul tanpa aktivitas manusia, sedangkan aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu yang relevan dan akhirnya aktivitas dan metode itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi tiga hal, yakni aktivitas, metode dan pengetahuan yang membentuk diri menjadi ilmu. Bila digambarkan dalam suatu bagan segi tiga sebagai berikut : Aktivitas
Metode
Ilmu
Pengetahuan
Bagan di atas memperlihatkan bahwa ilmu dapat dipahami dari tiga sudut, yakni ilmu dapat dihampiri dari arah aktivitas para ilmuwan atau dibahas mulai dari segi metode atau dimengerti sebagai pengetahuan yang merupakan hasil yang sudah sistematis.6 Bagan di atas dapat dipahami secara lengkap bila ketiga segi itu diberi perhatian secara seimbang. Kemudian menurut Muslim A. Kadir, “ilmu merupakan kumpulan sistematis sejumlah pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui kegiatan berfikir”.7 Sebagai produk pikir maka ilmu Islam ini juga mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi dan situasi sosial 5
The Liang Gie, op.cit., hIm. 88.
6
The Liang Gie, op.cit., hhn. 88-89.
7
Muslim A. Kadir, 11mu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003) cet. 1, hlm. 201.
18 budaya umat Islam. Maka ilmu yang meliputi seluruh aspek tentang alam semesta ini sewajarnya bila bersifat terbuka, artinya ilmu pengetahuan itu sendiri dapat menerima suatu kebenaran dari luar, sehingga ilmu sendiri dapat semakin komprehensif. Pemahaman yang teratur tentang ilmu, dengan demikian juga diharapkan menjadi lebih jelas ialah pemaparan menurut tiga ciri pokok sebagai serangkaian kegiatan manusia atau aktivitas, dan proses, sebagai tata tertib tindakan pikiran atau metode dan sebagai keseluruhan hasil yang dicapai atau produk (pengetahuan). Berdasarkan tiga kategori tersebut, yakni : proses, prosedur dan produk yang kesemuanya bersifat dinamis dan berkembang menjadi aktivitas penelitian, metode kerja, dan hasil penelitian. Dengan demikian ilmu ialah : serangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan metode ilmiah, dan menghasilkan pengetahuan (teoritis atau praktis) yang sistematis tentang segala sesuatu yang ada (gejalanya) dengan tujuan mencapai kebenaran. B. Filsafat limu Istilah filsafat dan ilmu sering ditemukan dengan mudah di berbagai
literatur,
tetapi
sewaktu
harus
mendefinisikan
barulah
mengalami suatu kesulitan. Persoalannya apakah filsafat itu merupakan suatu pertanyaan filosofis yang tidak ada kesatuan pendapat atau bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya dalam jawabannya. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan pada pusat perhatiannya, bila titik pangkalnya pada suatu pandangan dunia, maka akan dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu pemikiran rasional tentang pandangan dunia dalam kehidupan manusia. Sedangkan bila titik tekannya pada bahasa, maka dinyatakan bahwa filsafat merupakan analisis kebahasaan untuk mencapai kejelasan mengenai makna dari kata-kata dan konsep.
19 Akan tetapi perbedaan-perbedaan tersebut bertujuan sama, yakni mencintai kearifan. Kata filsafat dalam bahasa Inggrisnya philosophy, yang berasal dari bahasa Yunani “Thilosopia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya adalah philos (philia, cinta) dan shopia (kearifan).8 Jadi pengertian filsafat yaitu cinta kearifan namun pengertian shopia sangat luas artinya, yakni dapat berarti kebenaran yang pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal yang praktis.9 Seperti halnya pendapat Syekh Mustafa Abdurraziq setelah meneliti pemakaian kata-kata “filsafat” di kalangan muslimin, maka ia mengambil suatu kesimpulan bahwa kata-kata “hikmah dan hakim” dalam bahasa Arab dipakai dalam arti “filsafat dan filosof” dan sebaliknya. Mereka mengatakan hukama-ul-Islam atau falasifatul-Islam. 10 Sedangkan hikmah itu sendirl adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode berfikimya. S.E Frost dalam bukunya mengatakan bahwa : "...tiap orang, baik ia pencangkul ladang atau bankir, juru surat atau seorang kepala, rakyat biasa atau penguasa, adalah filosof dalam arti yang sebenamya. Sebagai makhluk yang mempunyai otak dan susunan syaraf yang lebih maju, maka ia mesti berpikir, dan berpikir ini merupakan salah satu jalan ke arah filsafat.11 Kemudian sebagai obyek filsafat yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin, atau dapat dikatakan bahwa filsafat ialah mencari kebenaran dibalik kebenaran yang ada (kongkret). Sedangkan pengertian ilmu telah dijelaskan di atas, yakni rangkaian aktifitas manusia yang rasional dan kognitif dengan 8
The Liang Gie, op. cit., hlm. 29.
9
Ibid
10
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), cet. 6,
11
Ibid., hlm. 4
hlm. 3
20 metode ilmiah, sehingga menghasilkan pengetahuan ( teoritis dan praktis ) yang sistematis tentang segala sesuatu yang ada atau gejala-gejalanya dengan tujuan mencari kebenaran. Berangkat dari pengertian filsafat dan llmu tesebut, penulis dapat mengambil buah kepahaman bahwa filsafat ilmu yaitu
segenap
pemikiran
reflektif
dan
universal
terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal (yang ada, mungkin ada) yang menyangkut landasan ilmu atau implikasinya terhadap semua segi kehidupan manusia. Sedangkan landasan (foundation) dari ilmu itu mencakup : konsep-konsep pangkal, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis, dan ukuran-ukuran kebenaran ilmiah.12 C. Dimensi Ilmu Dimensi dapat berarti sifat perluasan (quality of extention), hal pentingnya (importance) dan watak yang cocok (character proper) pada sesuatu hal.13 Dengan demikian ilmu merupakan sumber dari perluasan yang muncul darinya yang timbul perubahan dan perkembangan di sekitamya, seperti : suatu pranata kemasyarakatan, kekuatan atau sebuah permainan. Semua itu bermula dari ilmu, karena ilmu sangat besar perannya dalam kebudayaan sehingga orang memandang ilmu sebagai kekuatan budaya. Tiga unsur di atas, bukanlah arti dari ilmu, melainkan dimensi ilmu. Pengertian ilmu yaitu sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, yakni tetap mencakup aktifitas, metode dan pengetahuan. Dari karakterkarakter yang membahas ilmu dari berbagai lampiran ilmu-ilmu tertentu, maka tampakah sejumlah dimensi ilmu yang sejalan dengan ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu : ilmu ekonomi : dimensi ekonomi dari ilmu. 12
The Liang Gie, op.cit., hlm. 61-62.
13
Ibid., hlm. 131.
21 Pada dimensi ekonomi ini ilmu di bahas sebagai suatu kekuatan produktif. Linguistik : dimensi linguistik dari ilmu. Pada dimensi ini ilmu dipandang sebagai bahasa buatan atau tanda yang digunakan untuk menghubungkan atau mentransformasikan sesuatu. Matematik : dimensi matematis dari ilmu. Dimensi ini menekankan pada segi kuantitatif dan proses kuartifikasi dari ilmu, dan diwujudkan dalam bentuk rumus-rumus. Ilmu Politik : dimensi politik darl llmu. Dalam Perspektif Pemerintahan (kekuasaan), maka ilmu dibahas dan direfleksikan sebagai ilmu politik. Psikologi : dimensi psikologi dari ilmu. Dalam perspektif ini, ilmu bukan suatu kumpulan muslihat, melainkan suatu sikap terhadap dunia ini. Sosiologi : dimensi sosiologis dari ilmu. Dari perspektif sosiologis ilmu dianggap sebagai social institution, sebagai aktifitas sosial dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam aktifitas biasa atau ilmiah.14 Dimensidimensi diatas merupakan lampiran yang berdasrkan cabang-cabang ilmu khusus. Dari dimensi-simensi ilmu tersebut sangat kuat sekali bahwa ilmu itu bersifat dinamis, bukan statis sebagaimana pandangan sebagian orang sekarang atau kelompok konsevatifisme yang menganggap ilmu karya besar orang dahulu merupakan hal yang agung dan paten, meski kebenarannya dominan mutlak. Sikap seperti ini sangat berbahaya, baik dilihat dari segi tauhid dan intellec society, secara tauhid menganggap kebenaran ilmiah sebagai kebenaran mutlak yaitu perbuatan kufur, karena kebenaran mutlak merupakan kebenaran Sang Pencipta, bukan manusia. Sedangkan alam perspektif intellec society sangat dibutuhkan. pemikiran konstruktif untuk membangun tatanan sosial yang dinamis dan seimbang.
14
Ibid., hlm. 132-133.
22 D. Manfaat Ilmu Bagi Manusia Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk makhluk hidup yang sebaik-baiknya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Tîn : 4
Terjemahnya : Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. 95 : 4). 15 Manusia diberi karunia berupa akal pikiran sebagai bekal dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Oleh sebab itu, manusia dan ilmu memiliki nilai hubungan yang sangat erat. Manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa ilmu atau berfikir dan ilmu tidak akan terwujud dan berkembang tanpa peranan manusia. Maka, ilmu memiliki beberapa manfaat bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari, antara lain : 1. Ilmu Sebagai Pemersatu Dalam AI-Qur’ân banyak ayat yang menyuruh untu berfikir, memperhatikan tentang penciptaan langit dan bumi, dan Al-Qur’an bersifat umum dan global. Ini memberikan indikasi bahwa Islam merupakan agama yang bersifat universal dan sesuai dengan akal sehat, Islam dapat dianut oleh bangsa manapun. Kemudian setiap muslim harus berusaha membangun kembali peradabannya, dengan berpegang teguh pada wahyu Ilahi, sebagai sumber segala sumber pegangan hidup. Namun, mungkinkah keberadaan agama Islam yang lengkap dan universal itu pada kenyataannya mampu membawa umat Islam pada zaman kejayaannya lagi seperti zaman Abbasiyah. Sampai pada abad nuklir ini umat Islam masih berada dalam
15
Departemen Agama RI, AI-Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penterjemah Al-Qur’an, 1982), hlm. 1076.
23 posisi
ketinggalan
dalam
sektor
ilmu
pengetahuan.
Tetapi
permasalahannya sekarang, bagaimana pribadi muslim mengkaji aspek peradaban, sejarah dan sains dunia Islam yang dibangun secara universal itu. Penulis sepakat dengan pendekatan yang dipakai oleh Hassan Hanafi, yaitu rekonstruksi tauhid ajaran pokok dalam Islam. Menurutnya untuk membangun kembali peradaban Islam harus dengan membangun kembali semangat tauhid. Tauffid merupakan pandangan dunia, asal seluruh ilmu pengetahuan.16 Untuk memahami Islam dan tauhid secara benar, peneliti menulis pemyataan sebagai berikut : Islam adalah norma kehidupan yang sempuma dengan setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal, yang mencakup seluruh aktifitas dari seluruh suasana kemanusiaan tanpa perbedaan apakah aktifitas mental atau aktifitas duniawi.17 Dari pernyataan tersebut, dapat diambil suatu pemahaman bahwa agama Islam tidak hanya berbicara pada akhirat dan mental saja, tetapi lebih komprehensif dan universal, agama Islam tidak membedakan antara kegiatan rohani dengan dunia. Oleh karena itu ilmu dalam perspektif Islam yaitu tauhid dan suci, ia sebagai penggerak pembangunan peradaban Islam. Dan ilmu memiliki banyak dimensi sebagai mana penulis sudah dijelaskan di depan yaitu dimensi ilmu. Antar dimensi ilmu satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang mengikat erat serta memuat tatanan nilai integratif dengan kepribadian, yakni menghidupkan semangat
tauhid
terhadap
kepribadian
muslim.
Seperti
pendapat
Murtadha Mutahhari, “pandangan dunia tauhid berarti bahwa alam semesta ini unipolar dan uniaxial. Pandangan dunia Tauhid berarti bahwa hakekat alam semesta ini berasal dari Allah dan akan kembali 16
Kazuoo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta : LKIS dan Pustaka Pelajar, 1993), ect. 1, hlm. 15. 17
Ibid,. hlm. 17.
24 kepada-Nya”.18 Dengan demikian sudah jelas bahwa ilmu dalam pandangan agama Islam merupakan perwujudan integritas antara duniawi dan religi, rohani dan jasmani. Lantas perkara itu akan diwujudkan dalam ilmu ibadah syari'ah Islam yang ada, yaitu syahadah, sholat, puasa, zakat, dan haji. Selanjutnya menurut buku yang berjudul tauhid menjelaskan bahwa “setiap manusia, menurut Islam adalah mukallaf, yakni dibebani tugas untuk merealisasikan kehendak Ilahi”.19 Ini berarti semua manusia wajib menjalankan tugas sebagai khalifah di Bumi untuk mewujudkan kehendak Allah. Ilmu yang tadinya berasal dari yang Tauffid harus dijaga agar tetap membawa ajaran tentang tuhan. Amanat ini tidak terikat dengan ruang dan waktu dan ajaran ini tidak dapat ditawar-tawar lagi. 2. Ilmu Sebagai Kawan Komunikasi atau Dialog. Sejak semula manusia diciptakan sebagai makhluk yang dialogis, ia merupakan makhluk yang hidup dengan akal dan jiwa. Arti hidup pada manusia yaitu sebuah kehidupan yang kreatif tidak seperti hewan atau lainnya. Menurut Descartes “Saya berpikir, karena itu saya ada”.20 Manusia dapat dikatakan ada dan diakui keberadaannya bila dia berfikir dan juga berdialog. Dalam dataran ini kedudukan dan aktifitas manusia adalah dinamis yang pada gilirannya akan senantiasa berkomunikasi dengan lingkungannya secara kritis, inovatif, kreatif dan mengutamakan kehormatan ilmu serta kemanusiaan. Sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa aktifitas manusia yang memakai rasio dan logis merupakan
pengetahuan
atau
knowledge.
Yang
akhimya
akan
menghasilkan pengetahuan baru dan seterusnya. 18
Ibid,. hlm. 18.
19
Isma’il Raji AI-faruqi, Tawhid, (Bandung : Pustaka, 1995), Cet. 2, hlm. 114.
20
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989), cet. 4,
hlm. 1.
25 Dari tiga faktor ilmu, yaitu aktifitas, metode dan pengetahuan tidak dapat dilepas begitu saja dari pengaruh dari interaksi lingkungan. Oleh sebab itu, dialog merupakan sesuatu kebutuhan dan keharusan bahwa ia yang mesti ada, karena ada hubungan yang signifikan antara dialog dengan ilmu. Menurut hemat penulis bahwa komunikasi antara manusia dengan segala sesuatu yang ada baik dalam dirinya ataupun lingkungannya adalah dialog, dengan catatan bahwa proses tersebut benar-benar didasari oleh kesadaran yang tinggi. Sedangkan pemahaman dialog yang sebatas berkomunikasi timbal balik antar dua orang atau kelompok merupakan suatu pemahaman yang keliru, sebab dengan pemahaman tersebut akan mengartikan satu aktifitas yang membangun dan positif, sehingga manusia untuk selalu untuk selalu berkreasi secara kognitif dengan lingkungannya dan pemahaman tersebut juga dapat memberikan semangat pada setiap individu untuk mengembangkan kepribadiannya. Dari sebab itu, pemahaman dialog tidak hanya sebatas komunikasi dua komponen yang terkait, namun mengamati segala sesuatu baik yang hidup atau mati, haruslah dipahami sebagai kegiatan dialog langsung atau secara tidak langsung. Dengan begitu perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru akan semakin tumbuh subur. Proyeksi dialog itu dapat terjadi pada manusia dengan dirinya, atau lingkungan dan pengalaman selama hidupmya. Pemahaman terhadap ilmu sebagai kawan dialogis sangat
berguna
bagi
pencerahan
pola
pikir
dan
perkembangan
pengetahuan, sebagaimana pada zaman Islam klasik yang dapat mengkonstruk sebuah peradaban yang universal. Karena pada waktu tersebut karya-karya para pemikir Islam (ilmu pengetahuan) dijadikan sebagai kawan dialog, semangat untuk mendalami ilmu sangat dijunjung tinggi. Namun ketika pada masa kemunduran Islam kebudayaan dialog dan mempelajari ilmu sudah hampir hilang sehingga berakibat pada
26 reduksionis pola pemikiran dan sampai sekarang menurut pengamatan, hal ini masih membelenggu umat. Setelah Islam dianggap sebagai idiologi dan menjadi program aksi suatu
kelompok,
la
kehilangan
kemanusiaan
dimana
akal
siap
dikorbankan di atas altar emosi. 21 Diakui atau tidak bahwa sebagian besar umat islam mengidap suatu penyakit yaitu sakralisasi dan pengkulturan ilmu. Kemudian dari sakralisasi ilmu karya para ulama sehingga dapat menumpulkan akal aktif menjadi akal pasif. Karena ada yang beranggapan nantinya mereka takut diberi gelar “tidak taat”. Selain itu karena adanya Misunderstanding terhadap pengertian dialog. Pemahaman sekarang hanyalah pengertian dialog dianggap sebagai metode problem solving semata. Oleh sebab itu, konstruksi makna yang analitis dan kritis. Lalu pendidikan menjadi perhatian para pendidik, tokoh agama dan intelektual sehingga pendidikan agama bisa memunculkan keberagaman yang bersifat pencerahan bagi umat manusia dan sekalian alam.22 Ini membawa isyarat bahwa ili-nu dalam perspektif Islam merupakan sebagian tugas atau kewajiban dari kaum pendidik, guru,ulama dan para cendikiawan yang akhimya ilmu itu dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang diharapkan sesuai tujuan ilmu dan agama tersebut. Kemudian dari ilmu yang agamis tersebut juga dapat mempengarubi pembentukan kepribadian. E. Ilmu dan Pembentukan Kepribadian Dengan bekal ilmu pengetahuan manusia mampu mengetahui dan mengolah isi alam semesta, tetapi manusia yang hanya memiliki ilmu 21
Munawar Ahmad Anes, et.al., Christian-Muslim Relation : Yesterday, Today Tomorrow atau Dialog Muslim Kristen Dulu, Sekarang, Esok, (Yogyakarta : Qalam, 2000) cet. 1, hlm. 89. 22
49.
Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, (Jakarta: Buku Kompas, 2002) cet. 1, hlm.
27 agama saja atau mendapatkan ilmu yang umum saja mempunyai paradigma berpikir yang berbeda terhadap hidup atau kehidupan. Bahwa dengan ilmu manusia mampu mengetahui dirinya sendiri, dan lingkungan sekitamya. Sehingga orang yang mempunyai ilmu sepatutnya memiliki kepekaan yang tinggi terhadap stimulan (rangsangan) yang datang dari dalam dirinya, orang lain dan alam sekitarnya. Lalu ia mengetahui apa yang seharusnya dipikirkan, disikapi dan selanjutnya diperbuat dalam tindakan oleh anggota badan. Dengan ilmu pula manusia dapat menjaga harkat dan martabat sebagai khalifah di bumi, bila mereka yang tidak dapat menjaga amanat dari Allah, maka manusia akan masuk dalam jurang kehinaan dan kerendahan, seperti yang digambarkan dalam. Al-Qu’rân :
2) .
)0 1 2) 3
45 667 2)
/
?@ 2A ?0 = ' B C6 )01 2=>
. !
"#$%&' ()* +,- .
;1 - 2) . )01.2$8 92: ;1 2%< F $<
E1 63D 22A B C.6
Terjemah : Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang temak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.23 (Q.S. 7 : 179 ). Dari ayat tersebut dapat menjelaskan bahwa manusia yang sudah diberi amanat oleh Allah tidak dapat menjaganya, bahkan ia lalai dari tanggung jawab. Kemudian keterpaduan antara jasmani dan rohani 23
Depag, op.cit., hlm. 252.
28 manusia yang didasari oleh ilmu Ilahi merupakan urgensi bagi pembentukan sebuah kepribadian yang kokoh, memiliki prinsip hidup yang sejalan dengan norma Islam, sebab apabila sudah terjadi ketidakseimbangan, maka akan berimplikasi pada manusia itu sendiri sehingga ketimpangan dan kerusakan akan mengkontaminasi jiwanya yang pada gilirannya akan berdampak pada pembentukan kepribadian yang tercela. Ilmu juga memiliki hubungan dengan pembentukan kepribadian yang stabil dan mantap. Sebab dengan ilmu juga manusia mengetahui jati dirinya. “Dari segi lahir”, jasad manusia merupakan miniatur alam semesta (al-kawn al-Jâmi’), sedangkan dari segi batin, ia merupakan citra Tuhan.24 Dengan argumentasi ini dapat memberikan suatu penjelasan bahwa kepribadian manusia yang unggul sebab manusia dapat menirukan sifat-sifat Illahi. Dan itu semuanya dapat mengetahuinya berkat adanya ilmu. Sehingga antara ilmu dan pembentukan kepribadian mempunyai hubungan yang dekat. Sikap dan perbuatan seseorang yang sudah menjadi kepribadian, kebiasaan atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan pertimbangan dari akalnya serta tanpa unsur pemaksaan dari luar dirinya. Sumber kepribadian
muslim
adalah
Al-Qur’ân
dan
Al-Sunnah.
Menurut
keterangan Majid Fakhry, bahwa “etika religius terutama berakar dalam AI-Qur’ân dan Al-Sunnah.25 Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para penulis Islam pada zaman klasik, mereka telah memikirkan dan menyusun konsep-konsep tentang kepribadian yang dikuatkan dengan nash AlQur’ân dan Al-Sunnah dan tidak menghilangkan peran akal aktif manusia. Sebab kepribadian yang berkembang dalam masyarakat juga
68.
24
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta : Paramadina, 1997), cet. 1, hlm. 79.
25
Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, (Yogyakwla : Pustaka Pelajar, 1996) cet. 1, hlm.
29 sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan tiap-tiap personal. Dengan tujuan
Al-Qur’ân
dan
Al-Sunnah
diposisikan
sebagai
landasan
kepribadian secara doktrinal dan normatif, sedangkan akal aktif berperan sebagai alat tambahan untuk memahami sumber kepribadian itu yaitu Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. F. Unsur-unsur yang Mempengaruhi dan Membentuk Kepribadian Perilaku manusia dipengaruhi oleh pola pikir atau ilmu yang diperoleb selama hidupnya. Begitu juga dengan kepribadian, ia sangat sensitif terhadap sesuatu yang berada dalam manusia itu sendiri atau berada di luar dirinya. Kepribadian salah satu mengandung unsur akhlak. Kemudian dari akhlak ini merupakan perbuatan manusia yang menjadi kebiasaan sehingga menjadi kepribadian. Menurut penulis, unsur yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian ada dua yaitu unsur dari dalam dan dari luar. a. Unsur Internal Unsur dari dalam yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian yaitu instinct dan kehendak. Sebelumnya perlu penulis jelaskan lebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan instinct agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pembahasan ini. Menurut Ahmad Amin, instinct adalah sifat jiwa pertama yang membentuk kepribadian, yang masih primitif, yang tidak dapat dibiarkan, bahkan wajib dididik.26 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa instinct merupakan unsur dasar yang mampu menggerakkan untuk berbuat menurut instinct. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dan didikan terhadap instinct agar mampu mendorong manusia untuk menuju kepribadian. Menurut penulis bila instinct tersebut cenderung kepada perkara yang membawa kepada kebaikan dan kadang pada 26
Ahmad Amin, Ethika (IImu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), cet. 1, hlm3.
30 kejelekan. Disini urgensi agama dan ilmu untuk mengarahkannya. Kehendak merupakan unsur yang menjadi sebab dalam wujudnya suatu perbuatan. Karena kehendak adalah penggerak manusia dan darinya timbul segala perbuatan yang merupakan hasil dari kehendak itu, dan segala sifat manusia dan sifatsifatnya seolah-olah tertidur nyenyak sehingga dibangunkan oleh kehendak tersebut.27 Kehendak sebagai pendorong mampu menggerakkan manusia untuk berbuat, seperti : menulis dan lain-lain. Maka dapat dipahami bahwa dari kehendak muncul dua istilah antara baik dan buruk sehingga tepatlah apa yang dikatakan Kant dalam risalahnya dalam Ilmu Akhlak yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa dikatakan : “Di dunia, bahkan di luarnya, tidak ada sesuatu yang bersifat dengan tiada ikatan atau syarat, kecuali kehendak”.28 Kehendak merupakan faktor yang mempunyai signifikan tinggi terhadap realitas lingkungannya. Dari dua faktor di atas yang merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian, sulit untuk menjadi unsur yang kuat tanpa adanya pembinaan, oleh sebab itu unsur yang ketiga yaitu pembiasaan instinct. Yang merupakan sifat jiwa yang pertama yang membentuk kepribadian sangat membutuhkan pendidikan, ia dituntut untuk mampu menjadi kekuatan yang kuat, yakni dengan pembiasaan
instinct,
sehingga
merasa
mudah
dalam
merealisasikannya. Begitu pula dengan kehendak, ia bila hanya berjalan satu dua kali tanpa pembiasaan, maka kehendak itu akan menjadi
lemah
mempengaruhi dijelaskan
dan apalagi
Muhammad
27
Ibid., hlm. 60-61
28
Ibid., hlm. 61.
pada
akhimya
membentuk Quthb,
ia
tidak
mampu
kepribadian.
bahwa
Islam
untuk
Sebagaimana
mempergunakan
31 kebiasaan itu sebagai salah satu pendidikan.29 Sehingga dari kebiasaan itu nantinya dapat mendarah daging dalam, diri seseorang, dan berkembang menjadi kepribadian. b. Unsur Ekstemal Setelah membahas unsur dari dalam yang dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian, dan selanjutnya adalah pembahasan unsur dari luar. Karena manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berhubungan dengan lingkungannya dimana ia hidup. Oleh karena itu, menurut penulis unsur dari luar tersebut mencakup lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat yang secara general berupa
pengetahuan.
Lingkungan-lingkungan
merupakan
segala
sesuatu yang mengitari makhluk yang hidup. Lingkungan keluarga merupakan suatu unsur yang mampu mempengaruhi kepribadian manusia. Bila aspek keluarga tersebut baik yang terdiri dari tatanan rumah tangga yang harmonis, pergaulan yang baik dan terciptanya suasana keluarga yang sakinah dan penuh keteladanan yang bagus, maka hal demikian akan berakibat yang baik terhadap kepribadian anggota keluarga tersebut. Lingkungan yang kedua ialah lingkungan pendidikan yang merupakan wahana pembelajaran kedua sesudah pendidikan dalam keluarga, sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang mempunyai sistem terprogram, dan perlu ditegaskan bahwa sekolah memiliki
sistem
nilai
dan
kebudayaan
yang
berkembang
di
masyarakat. Hasil produksi dari institusi sekolah formal ini sangat berimplikasi dengan sistem yang diterapkan, bila paradigma yang dianut oleh sekolah mencerminkan kepribadian muslim maka alumninya akan berkepribadian yang Islami. Tetapi untuk membangun 29
363.
Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al Ma’arif, t.h.), hlm.
32 pendidikan yang baik tidak mudah. Dalam filsafat pendidikan, Paulo Freire tampak jelas bahwa filsafatnya bertolak dari realitas di masyarakat yang mayoritas tertindas, sementara sebagian yang lain menikmati jerih payah orang lain dengan cara tidak adil, lebih ironis lagi kelompok yang menikmati justru kelompok minoritas dan konsep pendidikan Freire yakni manusia yang terbebaskan (liberated humanity). 30
30
Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), cet. 4, hlm. 12.