BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku atau etnis. Etnis itu antara lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa.1 Orang peranakan Tionghoa Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan yang tinggal dan hidup di wilayah Indonesia. Mereka berasal dari keturunan orang Tionghoa dari negeri Tiongkok dengan orang setempat atau lokal. Masyarakat Tionghoa di Indonesia diperkirakan sudah sejak lama tinggal di Indonesia. Hal ini terlihat dari sumber Tionghoa, misalnya Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai Samudra) (1416), Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan) (1436), dan Dong Xi Yang Kao (Telaah Samudra Timur dan Barat) (1618) (Groeneveldt, 2009:14, 74, 78). Etnik Tionghoa tersebut melakukan perkawinan dengan etnik setempat. Keturunan dari perkawinan tersebut sering disebut dengan peranakan Tionghoa Indonesia (selanjutnya disebut peranakan Tionghoa) (Salmon, 1981:15). Selain itu, orang Tionghoa terdiri atas golongan Tionghoa totok dan golongan peranakan Tionghoa. Golongan Tionghoa totok adalah
1
Etnis Tionghoa Indonesia sebagian besar menempati suatu wilayah dalam jumlah yang cukup banyak, seperti di daerah Singkawang. Penyebutan untuk orang Cina umumnya mengacu pada penduduk yang tinggal di negeri Tiongkok atau Repbulik Rakyat Cina. Kata “Tionghoa” berasal dari salah satu dialek (Hokkian) untuk kata “zhongguo” yang berarti zhong: tengah, guo: negara. Menurut Leo Suryadinata (dalam Hermawan, 2005:65), kata “Cina” atau “Tjina” di Indonesia sudah lama dipakai. Awalnya, kata ini memiliki konotasi negatif karena dikaitkan dengan semangat nasionalisme untuk negeri Toiongkok atau RRC sehingga bukan sebagai wujud nasionalisme lokal (Gungwu, 2001:5). Menurut Suryadinata, istilah Tionghoa dan Tiongkok pernah diganti dengan Cina (lht. Lev, 2000:19). Mengenai sejarah penggunaan kata Cina, Tionghoa, dan Tiongkok dapat dilihat lebih lanjut dalam Wibowo (2000) atau Mely G Tan (1979).
1
golongan yang tidak melakukan perkawinan dengan etnik yang lain atau darah Tionghoa-nya masih murni, belum tercampur dengan darah etnik yang lain. Masyarakat peranakan Tionghoa mengembangkan tradisi dan kebudayaan dengan mengadaptasi tradisi setempat. Interaksi etnis peranakan Tionghoa terhadap kebudayaan setempat dapat dilihat dari berbagai bidang seperti pertanian, teknologi makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain2 seperti yang dibahas oleh Denys Lombard (2005:243-329), Onghokham (Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, 2009), Leo Suryadinata (Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia,1988), dan berbagai kajian dari pakar yang lain seperti Claudine Salmon (1981), A. Dahana (2007), Suminto Al Qurtuby (2007), Mary F. Somers Heidhues (1974, 2000), dan lain-lain. Pembahasan dari para pakar itu menunjukkan adanya saling pengaruh di antara kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan setempat. Sastra adalah fenomena budaya dan sosial. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial. Sebagai satu produk kebudayaan, sastra peranakan Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya pemiliki atau penciptanya. Memasuki era 1880-an, orang peranakan Tionghoa menerbitkan karya dengan menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa. Karya kesastraan itu oleh ahli sastra disebut “de Indo-Chineseesche literatuur” (Nio Joe Lan, 1958), “Sastra Asimilatif” (Pramoedya Ananta Toer, 1963), “antecedents of modern Indonesian literature” (C.W. Waston, 1971), “Chinese Malay literature” (John B. Kwee, 2
. Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari material kebudayaan, seperti pembuatan batu bata, pembuatan aneka makanan (tahu, bakso, mie), dan lain-lain.
2
1977), “marginal literature” (Drewes, 1977), “Peranakan Chinese Literature” (Claudine Slamon, 1981), dan dalam bahasa Cina disebut tusheng huaren wenxue. Sementara ahli sastra Indonesia masih jarang yang membahas atau menyebutkan jenis sastra ini, apa lagi diakui sebagai bagian sejarah sastra Indonesia. Sejak era Orde Baru, karya Marga T dan Mira. W [keduanya adalah keturunan peranakan Tionghoa] disebut dengan sastra populer (Hill, 1977, Riyadi, 1985:9), yang seringkali dinilai kurang berkualitas karena jarang sekali dibahas secara akademik oleh ahli sastra. Fakta ini menunjukkan bahwa masih terdapat “kerancuan istilah" dalam menyebut jenis sastra ini dalam sastra Indonesia 3. Sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa sudah ada sejak sekitar 1870an hingga era sekarang 4 dan mengalami berbagai perkembangan seiring perubahan sosial, politik, dan kebudayaan. Sastra ini yang ditulis oleh keturunan Tionghoa di Indonesia pada awalnya menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa. Sebagai etnik campuran, mereka tidak sepenuhnya mengikuti tradisi budaya Tionghoa dan tidak seluruhnya menyerap tradisi budaya setempat. Hal ini sesuai dengan konsep alkulturasi atau perjumpaan berbagai tradisi budaya yang mengatakan bahwa terdapat proses perubahan di dalam kebudayaan akibat dari
3
Sejak tahun 2000 hingga 2007 telah terbit ulang kesastraan peranakan Tionghoa oleh kelompok penerbit Gramedia dengan menggunakan judul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia dalam jumlah kurang lebih 10 jilid. Penggunaan istilah kesastraan Melayu Tionghoa ini diindikasikan dari karakteristiknya yang menggunakan bahasa Melayu Tionghoa dan ditulis oleh orang peranakan Tionghoa sedangkan Kebangsaan Indonesia dapat diinterprestasikan sebagai wujud pengakuan terhadap kesastraan, yakni kesastraan menjadi bagian dari sastra Indonesia atau bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Dengan demikian, ada implikasi mengenai gagasan bangsa dan nasionalisme. 4 Penyataan ini dapat membawa dua impilkasi. Pertama, bila mengacu pada suatu genre sastra, jenis ini masih ada karena saat ini orang peranakan Tionghoa Indonesia masih menulis karya sastra. Kedua, bila mengacu pada pengelompokkan yang lebih besar dalam konteks kesastraan Indonesia, sastra ini tidak ada lagi, yang ada adalah sastra Indonesia saja atau sastra Indonesia terdiri dari berbagai ragam genre atau jenis.
3
kontak atau pertemuan dua tradisi budaya yang berbeda (Encyclopedia Britannica, 1973:53). Identitas yang berada “di antara” ini dapat diasumsikan menjadi kekuatan masyarakat peranakan Tionghoa. Sastra yang dihasilkan juga menjadi representasi ketionghoaan dan pandangan dunia mereka. Sastra itu meliputi cerita terjemahan, saduran, dan adaptasi dari berbagai sumber dan cerita yang diciptakan sendiri. Persilangan atau pertemuan kebudayaan itu menempatkan sastra ini dengan menunjukkan karakteristik yang tidak sama dengan sastra yang lain, terutama sastra Indonesia seperti pada tradisi Balai Pustaka. Perkembangan tradisi kesastraan ini memberikan informasi tentang perkembangan fenomena budaya dan sosial masyarakat peranakan Tionghoa yang membangun identitasnya. Sebagai satu bentuk atau jenis yang tersendiri, sastra peranakan Tionghoa diasumsikan dapat memberikan satu persamaan5 sebab ditulis oleh kelompok orang yang sama. Kesamaan itu dapat terlihat dari topik pembicaraan, isu yang dibawa, dan bentuk formal yang sama. Namun, pada kenyataannya, sastra peranakan Tionghoa tidak menunjukkan persamaan tersebut. Topik atau isu yang beragam muncul dalam sastra peranakan Tionghoa. Selain itu, bentuk yang berbeda-beda atau sistem jejaring penerbitan yang berbeda juga ditemukan. Perbedaan yang sering ditemukan adalah perbedaan isu, topik, jumlah pengarang, dan materi cerita yang mengindikasikan munculnya satu persoalan mengenai cara bertahan dan respon terhadap situasi sosial yang beragam di “tanah asing 6”. Hal
5
Seharusnya memiliki karakteristik yang serupa atau sama, seperti topik dan masalah yang ditulis dan gaya penyajian, seperti struktur ceritanya. 6 Gagasan mengenai “di tanah asing” ini diperoleh dari masyarakat peranakan Tionghoa sendiri di era kolonial ketika itu. Hal ini dapat dibuktikan dari kelompok politik atau sosial yang menganggap tanah air mereka sebagai “tanah asing” dan dioposisikan dengan “tanah leluhur”, misal kelompok Sin Po. Dalam teks sastra, sering klai ditemukan konsep yang demikian, misal
4
ini merupakan representasi dari ekspresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia dalam memberikan respon terhadap situasi sosial. Sastra merupakan fenomena budaya yang terikat oleh lingkungan sosial atau situasi sosial sehingga sastra peranakan Tionghoa diartikan sebagai wujud eskpresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Barnett, 1970:621-632). Namun, karya sastra sebagai wakil masyarakat dalam menghidupkan satu tradisi kesastraan perlu dilihat bukan hanya pada persoalan pengaruh situasi zaman, melainkan karya sastra dapat memberikan respons terhadap “kegelisahan sosial”. Karya sastra dapat dipandang sebagai respon atas situasi sosial sehingga mereka melakukan semacam akomodasi dan asimilasi7 terhadap lingkungan sekitarnya (Faruk, 1999:14). Hal ini dibuktikan melalui topik atau tema dan bentuk kesastraan yang dihasilkan sebagai bagian dari ekspresi sosial. Karya sastra yang dihasilkan merupakan wujud dari pandangan kelompok terhadap situasi sosial (bdk. Escarprit, 2005:10). Melalui laporan penelitian Claudine Salmon (1981) dan membandingkan karya-karya yang ada, selama periode 1900-1942 atau paruh pertama abad ke XX, sastra peranakan Tionghoa Indonesia telah mengalami perubahan topik atau tema dan karakteristik yang lain seiring dengan perkembangan situasi sosial, politik, dan budaya, baik di Indonesia, Tiongkok, dan kawasan Nanyang8. Perubahan topik dan karakteristik yang lain tersebut tentu
teks Berdjoeang. Meskipun demikian, ada kelompok yang lain yang menganggap tempat kelahiran dan tempat hidupnya sehingga ruang tersebut tidak dianggap sebagai “tanah asing”, misal kelompok PTI. 7 Akomodasi memiliki pengertian bahwa masyarakat peranakan Tionghoa tidak menolak tradisi setempat dan tidak menyatukan dalam kehidupannya secara total, tetapi menjembataninya agar antara yang lokal dan tradisi Tionghoa dapat berjalan seimbang. 8 Nanyang, nan berarti selatan, yang berarti laut. Secara umum istilah ini berarti Laut Selatan. Kata Laut Selatan merujuk negara-negara di wilayah laut selatan. Istilah ini merujuk pada wilayah Asia Tenggara (Dahana, 2007:27).
5
saja ada sebab dan akibatnya. Mengetahui sebab dan akibat dari perubahan itu, proses dari perkembangan tradisi kesastraan dalam rentang waktu antara tahun 1900-1942 dapat ditelusuri dan dijelaskan sebagai bagian dari perkembangan ekspresi sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Ekspresi sosial itu dapat dilihat dalam suatu waktu. Perubahan itu diindikasi sebagai bentuk perbedaan ekspresi sosial yang dilatarbelakangi oleh pandangan kelompok sosial terhadap situasi sosial Dari tahun 1880-an hingga 1900-an, sastra peranakan Tionghoa memunculkan bentuk sastra terjemahan atau adaptasi dari negeri Tiongkok atau Barat. Dominasi topiknya adalah ajaran agama, pendidikan Tionghoa, ajaran Kong Hucu, dan sejarah Tionghoa dengan gaya prosa seperti cerita hikayat di dunia Melayu. Meskipun demikian, kuantitas karya-karya tersebut tidak banyak. Sementara itu, dari tahun 1900-1910-an, karya sastra peranakan Tionghoa memunculkan perubahan tema atau topik. Topik pendidikan, ajaran agama, dan sejarah Tionghoa masih ditemukan, tetapi topik keunggulan dan sifat atau karakter orang Tionghoa yang kuat, gigih, pekerja yang tangguh, dan menggunakan tradisi dan adat Tionghoa menjadi bahasan utama dengan membandingkan karakter atau tradisi orang setempat dan Barat yang masih jauh dari “luhur dan baiknya” budaya Tionghoa. “Buruknya” tradisi yang bukan Tionghoa itu diwujudkan melalui budaya pernyaian, kriminalitas, pelacuran, dan kemiskinan etnik yang lain, misalnya pribumi dan Indo-Eropa atau Eropa. Karya
6
sastra itu merepresentasikan gerakan recinanisasi 9 melalui gaya penulisan yang didasarkan pada berita di surat kabar. Memasuki tahun 1911 hingga 1920-an, karya sastra peranakan Tionghoa mulai menunjukkan pergeseran topik dan juga gaya penulisan. Meskipun topik ajaran agama, sejarah Tionghoa, dan pendidikan Kong Hucu masih ditemukan, topik kriminalitas, kekacauan masyarakat, dan pengaruh pendidikan Barat mulai dipersoalkan. Barat dituduh sebagai agen yang berbahaya selain juga memberikan tanggapan terhadap politik pemerintah Hindia Belanda atas status peranakan Tionghoa10. Dari tahun 1920 hingga 1942, berbagai topik muncul dalam karya sastra sebagai respon dari situasi politik dan ekonomi. Perbedaan topik atau tema itu menunjukkan usaha saling bertentangan satu dengan yang lain 11. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam kesastraan ini terjadi perdebatan dalam menentukan arah perjalanan atau identitas yang direpresentasikan melalui perbedaan dalam menanggapi situasi sosial (bdk. Bromley, 2000:3-4). Persoalan identitas menjadi semakin “menguat” tidak hanya pada sumber Tionghoa saja seperti pada tahun 1900 hingga 1920-an. Topik atau permasalahan yang dibawa antara lain adalah kembali pada ajaran Tionghoa dan menolak pembaratan atau
9
Istilah recinanisasi digunakan dengan mengacu pada pendapat Leo Suryadinata (1984), yang berarti kembali pada ajaran atau adat leluhur, terutama Kong Hucu dan juga berarti sebagai gerakan nasionalisme budaya Tionghoa. 10 Hal ini dapat dicontohkan melalui pendirian sekolah Tionghoa agar masyarakat peranakan Tionghoa tidak berpaling pada tradisi kebudayaan dan nasionalisme pada Tionghoa. 11 Topik yang sering dijumpai adalah gagasan mengenai usaha menentang atau membuat tandingan tentang konsep manusia modern atau gagasan yang dianggap dari Barat (liberalisme dan komunisme). Pertentangan itu terletak pada cara membentuk manusia Tionghoa atau Timur, misalnya ada yang menyetujui pendidikan Barat, ada yang anti pada pendidikan Barat, ada yang mendukung pergerakan perempuan atau liberalisme perempuan, ada yang tidak setuju dengan hal itu, ataupun ada yang mengabungkan antara pendidikan Barat dan model pendidikan Timur.
7
budaya Barat, menerima Barat dan lokalitas, mengabungkan lokalitas dan Tionghoa, dan lain-lain (bdk. Suryadinata, 1988:39-41). Topik itu terwujud dalam masalah pendidikan, misal pertentangan antara pendidikan model Tionghoa dan Barat atau model pendidikan ciptaan dari masyarakat Tionghoa perantauan sendiri. Selain itu, pembicaraan mengenai gerakan perempuan, organisasi sosial, ideologi, politik, sumber identitas lokal, perang Cina-Jepang, dan lain-lain juga diperdebatkan. Topik itu tidak memberikan suara yang monologik, tetapi dialogis, yakni suara yang beraneka ragam mengenai berbagai persoalan yang ada. Topiktopik itu dapat dilihat sebagai wujud ekspresi yang dilandasi oleh pandangan dunia dalam masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Goldmann, 1977:18). Sementara di tahun 1920-1942, jumlah karya sastra peranakan Tionghoa mengalami peningkatan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sastra ini mempunyai jumlah pembaca yang banyak untuk kalangan dewasa atau pemuda yang cukup matang dalam menentukan perjalanan hidup karena isi cerita mengkisahkan
kehidupan
remaja
hingga
menjelang
usia
dewasa
atau
menceritakan kesuksesan hidup berumah tangga 12. Selain itu, perbedaannya tidak hanya pada jumlah saja, tetapi komunitas sastra yang beragam mulai hadir dalam kesastraan peranakan Tionghoa. Komunitas itu tergabung dalam jejaring majalah kesastraan13. Selain itu, wujud fisik dari karya sastra yang digunakan juga cukup khas14, yakni novel dengan jumlah halaman dan ukuran buku saku/kecil atau
12
Contoh teks itu diantaranya adalah Koerang Dapet Pendidikan (1929) karya Louw Seng Hoejin, Dr. Lie (1932) karya Maddona, Magdalena Chen (1933) karya Oey Kiem Soey, Swaote Kwadjiban (1930) karya Ong Pik Lok, Oeler Jang Tjantik (1929) karya Soe Lie Piet, dan lain-lain. 13 Contohnya adalah Penghidoepan, Tjertita Roman, Moestika Roman, dan lain-lain. 14 Ciri fisik tersebut adalah bahwa teks sastra peranakan Tionghoa memiliki bentuk ukuran buku yang relatif kecil, halaman yang terbatas, iklan dan gambar-gambar tertentu (ratu kecantikan
8
novel yang dijadikan cerita bersambung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari pada masa itu di kalangan peranakan Tionghoa. Bahasa itu memiliki kata-kata atau frase khusus yang menjadi penanda tertentu, seperti “kesopanan Tionghoa” dan “adat Tionghoa” yang beroposisi dengan frase “ultra Barat”, “kebaratan-baratan”, “tidak tahu adat”, “kemajuan”, “zaman modern”, dan lainlain.15 Sementara itu, pilihan kata dan struktur kalimat tidak menunjukkan perubahan, seperti tetap munculnya kata asing (bahasa Cina, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris) 16 Kondisi tersebut berbeda dengan waktu sebelumnya, terutama tahun 19001920-an. Jumlah karya tidak begitu banyak dan bentuknya bermacam-macam, bisa syair atau novel yang panjang serta tidak memiliki jejaring komunitas sastra, tetapi jejaring penerbitan yang independen atau tidak terikat pada ideologi tertentu, tetapi komersial. Bahasa yang digunakan merujuk pada tanda-tanda yang khusus, yakni frase atau kata tertentu, seperti “leluhur”, “ajaran Kong Hucu”, “bangsa Tionghoa”, “kembali ke negeri leluhur”, “hormat pada leluhur”, dan lainlain yang dioposisikan dengan “lain bangsa” dan “bangsa Islam”. Masyarakat pembaca era ini adalah golongan tua yang terpelajar sebab isi karya didominasi cara mendidik anak agar kembali pada ajaran leluhur, orang tua yang dituntut untuk mengajari anak agama Tionghoa (ajaran Kong Hucu) dan gerakan anti
Eropa, olah raga ekstrim, teknologi pesawat terbang, dan lain-lain) di dalam teks sastra, semacam kata pengantar dari redaksi, halaman humor, dan lain-lain. 15 “Pada waktoe pertama kali saja poenja masa kasi taoe, jang saja soedah dilamar oleh satoe pemoedah hartawan jang bernama Tjoa Siang Liem; saja laloe bilang padamama bahoea saja tisa bisa ambil poetoesan moefaket atawa tida, sabelobn saja kenal pada itoe pemoedah, tapi saja poenja permintaan ini jang saderhana soedah sianggep gelo dan ,,gila Barat” (Ong Khing Han, 1929, Perkawinan Tionghoa, hlm. 4). 16 ,,God, zeg.salah mengerti... (Pouw Kioe An, 1937, Oh Prempoean, hlm. 65), “,,Omm...owee djadi tida bisa bergaoel lagi sama Clara, ...(Pouw Kioe An, 1937, hlm. 39)
9
budaya Barat dengan menumbuhkan keunggulan budaya Tionghoa. Perubahan penanda kebahasaan dan jumlah terutama persebaran dapat dipandang sebagai wujud cara berekspresi terhadap nilai-nilai dan situasi sosial yang melingkupinya (bdk. Albrecht, dkk., 1970:29-33). Hal ini sesuai dengan dengan asumsi bahwa sastra adalah produk sosial dan memiliki potensi untuk menghadirkan ekspresi sosial. Berdasarkan perbedaan cara merespon situasi sosial, fakta tersebut memunculkan satu diskusi khusus seperti persoalan perbedaan topik dalam karya sastra peranakan Tionghoa. Di samping itu, ada penanda kebahasaan yang berbeda pada tiap zaman yang diasumsikan mewakili situasi dan ekspresi dalam konteks sosial ketika itu. Atau, cara berekspresi yang berbeda tersebut merupakan wujud dari cara mengungkapkan gagasan atau pandangan dunia yang sama dari suatu kelompok sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99). Keadaan tersebut memunculkan satu dugaan bahwa ada faktor yang menentukan cara berekspresi dalam karya sastra, seperti situasi sosial tertentu, pilihan topik atau masalah dalam karya sastra, dan usaha merespon struktur sosial dengan cara yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan pemilihan motif atau topik pada karya sastra. Selain persoalan tersebut, gejala yang muncul dalam sastra peranakan Tionghoa adalah gejala membangun identitas orang peranakan Tionghoa (bdk. Bromley, 2000:3-4). Pergulatan identitas itu diasumsikan terdapat dalam keragaman topik atau masalah dalam karya sastra. Perbedaan motif atau persoalan dalam karya sastra itu diasumsikan menunjukkan perbedaan dalam cara mengeskpresikan
pemikiran
dan
gagasan
dalam
mengasimilasi
atau
10
mengakomodasi situasi sosial yang ada. Semua itu terwujud melalui tanggapan sosial. Mengetahui sebab atau alasan dari muncul perbedaan pemilihan topik dan cara mengeskpresikannya, disertasi ini mempersoalkan cara orang peranakan Tionghoa dalam menanggapi situasi sosial dan menempatkan dirinya yang direpresentasikan melalui karya-karyanya. Indikasi terhadap topik yang berbeda itu diasumsikan terdapat landasan ideologis, agama, dan politis. Namun, di satu sisi, peran dari kelompok sosial dalam memberikan topik atau pemilihan persoalan terhadap tradisi kesastraan dapat diasumsikan sebagai kekuatan dari kelompok sosial dalam memperjuangkan pemikiran, padangan dunia, dan landasan ideologi akibat situasi sosial yang tidak memenuhi keinginan dan cita-citanya. Pemikiran dan pandangan itu yang ikut memberi “warna” dan mengerakkan bentuk-bentuk kesastraan (misalnya, topik, motif, atau permasalahan dalam karya sastra) (Hauser, 1982:94-97). Mengetahui alasan-alasan terjadinya pemilihan topik dan motif yang beragam dari anggota kelompok sosial pengarang, hal itu akan mempermudah mengetahui wujud tanggapan dan struktur sosial yang memungkinkan atas lahirnya karya sastra tersebut sejak sekitar 1900-1942 sebagai representasi dari respon atas dunia sosial dari masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Albrecht, dkk. 1970:615-620) Wujud tanggapan atas dunia sosial yang terwakili dalam karya sastra tersebut tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia17 kelompok sosial yang termanifestasi dari tindakan dan pemikiran dari pengarang sebagai wakil kolektifnya (Goldmann, 1977:17). Karya sastra dipengaruhi oleh situasi sosial 17
Suatu cara pandang terhadap realitas yang menyeluruh dari berbagai gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok yang dapat membedakannya dengan kelompok yang lain.
11
sehingga terhadirkan dalam bentuk perbedaan topik-topik kesastraan. Namun, karya sastra sebagai representasi subjek kolektif bukan benda yang pasif, dia memiliki
kemampuan
untuk
menyuarakan
dan
mengasimilasi
atau
mengakomodasi situasi sosial yang melingkupinya. Dua hal ini akhirnya menunjukkan adanya interaksi antara karya dan situasi sosial sehingga wujud dari interaksi itu adalah perkembangan tradisi kesastraan sebagai wujud ekspresi sosial, yakni kemampuan atau implikasi subjek kolektif yang diwakili karya sastra dalam menyiasati situasi sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99). Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa dalam periode 1900-1942 tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial dan pandangan kelompok sosial tertentu. Ada dua pandangan yakni situasi sosial yang melingkupi karya sastra diakomodasi oleh subjek kolektif dan situasi sosial itu diasimilasikan oleh subjek kolektif. Kedua faktor itu mempengaruhi dan mengerakkan tradisi kesastraan peranakan Tionghoa. Wujud tanggapan atas dunia sosial itu merupakan satu bentuk cara masyarakat peranakan Tionghoa dalam menempatkan diri dalam situasi dan era kolonial ketika itu di Indonesia (bdk. Albercht, et.al. 1970:615-620). Berdasarkan uraian tersebut, landasan dalam penelitian ini adalah bahwa karya sastra merupakan hasil reaksi atas situasi sosial. Karya sastra dianggap sebagai fakta sosial yang mewakili kelompok sosial tertentu yang terwujud dalam bentuk struktur mental (Goldmann, 1970:584). Sementara itu, karya sastra tersebut dapat diasumsikan mempengaruhi atau memiliki kesamaan dalam tradisi sastra sezaman sebagai bentuk ekspresi sosialnya. Karya sastra yang memiliki
12
ideologi yang sama akan memunculkan ekspresi yang sama. Karya sastra sebagai representasi kelompok sosial juga diasumsikan diterima, dibaca, dan direspon oleh karya yang lain sehingga terjadi dialog melalui karya yang lain dalam merespons situasi sosial yang ada. Namun, pandangan tersebut juga bisa berlainan seperti teks-teks dari karya pengarang yang seideologi dan sezaman atau dalam kelompok sosial yang sama dapat memunculkan perbedaan eskpresi sosial dalam menghadapi situasi sosial, terutama persoalan tertentu. Melalui pandangan dunia dari kelompok sosial tertentu diharapkan tereksplorasi perkembangan ekspresi sosial dari tahun 1900-1942 dalam karya-karya yang ada. Dengan demikian, karya sastra merupakan produk tindakan sosial yang mampu berkompromi terhadap situasi sosial yang ada. Jadi, masalah dalam penelitian ini adalah bahwa sastra peranakan Tionghoa sebagai produk sastra Indonesia. Dengan demikian, isi karya sastra itu adalah tanggapan atas dunia sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa Indonesia yang terepresentasikan dalam karya sastra. Karya sastra yang dimaksudkan meliputi rentang waktu antara 1900-an hingga 1942-an atau paruh pertama abad ke XX. Karya sastra peranakan Tionghoa dari tahun 1900-an hingga 1942 diasumsikan mewakili tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa dalam merespon situasi sosial pada zamannya.
1.2 Masalah Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Sastra ini merupakan wujud dari tanggapan terhadap dunia sosial atau struktur sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Atas dasar itu, karya sastra peranakan Tionghoa
13
merupakan karya yang bukan individual atau dia adalah wakil dari suatu kelompok tertentu. Karya sastra ini dianggap sebagai usaha untuk mencari harmonisasi atau keseimbangan terhadap dunia sosial ketika itu.
1.3 Rumusan Masalah Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Karya sastra menunjukkan sebuah gagasan yang terdapat dalam struktur teksnya. Sebagai produk sastra Indonesia, karya sastra adalah produk sosial sehingga dia merupakan wujud tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Wujud tanggapan itu dapat dilihat dari cara para pengarang sebagai wakil kelompoknya dalam menanggapi dunia sosial yang ada dan perbedaan topik atau persoalan yang dibahas dalam karya sastranya.
1.4 Permasalahan 1. Dari sisi kesastraannya, karya sastra ini mengemukan sebuah gagasan yang terlihat dalam struktur teks sastra peranakan Tionghoa Indonesia dan homologinya dengan dunia sosial pada paruh pertama abad XX. 2. Dari sisi sosial, relasi struktur sosial dan subjek kolektif dalam sastra peranakan peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan wujud dari dunia sosial. 3. Dari sisi etnik peranakan Tionghoa, pandangan dunia kelompok sosial peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan manifestasi dari gagasan hidup dan cara menjalani hidup masyarakat pemilik karya sastranya.
14
1.5 Objek Penelitian 1.5.1 Objek Formal Objek formal dalam penelitian ini adalah tanggapan atas dunia sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa yang merupakan ekspresi sosial dalam kesastraan. Tanggapan tersebut merupakan wujud dari kelompok sosial dalam mencapai keharmonisan atau keseimbangan dengan dunia sosial atau struktur sosial yang ada. 1.5.2 Objek Material 1.5.2.1 Populasi Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni sumber primer dan sekunder (Azwar, 2009:91). Sumber primer dalam penelitian ini terdiri atas karya-karya sastra peranakan Tionghoa antara 1900-1942. Sumber sekunder adalah semua pustaka yang mendukung dan memiliki relevansi dengan tema penelitian, misal penelitian sebelumnya, dan artikel ilmiah. Data dan objek kajian material yang diambil dari karya sastra memiliki populasi atau jumlah yang banyak. Berdasarkan catatan sementara dari Claudine Salmon (1981) jumlah karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia dari tahun 1880-an hingga 1960-an berjumlah 3005 yang terdiri dari 2757 karya yang memiliki identitas pengarang dan 248 karya anonim. Dari 3005 karya itu, karya sastra itu terdiri dari 73 drama, 183 syair, 233 terjemahan karya Barat, 759 terjemahan karya sastra Tionghoa, dan 1398 karya novel dan cerita pendek. Setelah dilakukan pelacakan, dari 1398 karya novel dan cerita pendek tersebut, karya-karya keagamaan, biografi, nasihat atau pendidikan, buku agama, dan
15
tulisan politik dimasukan dalam jenis ini. Secara tidak langsung, karya yang berupa terjemahan, biografi, nasihat, buku pelajaran agama, buku kitab suci, tulisan politik, dan sejenisnya tidak dimasukkan dalam data utama. 1.5.2.2 Sampel Pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal. Pertama, sampel dipilih dengan mempertimbangkan masalah atau topik
yang
dibahas
dalam
penelitian.
Kedua,
sampel
dipilih
dengan
mempertimbangkan aspek pencipta yang dipandang dominan perannya dalam dunia sastra peranakan Tionghoa pada periodenya. Hal ini bertujuan untuk memberikan “jalan” bagi perolehan data dengan mendasarkan pada anggapan bahwa karya sastra dipandang mewakili ekspresi zamannya. Selanjutnya, kriteria yang penting lainnya adalah karya sastra yang dipilih tersebut harus memiliki persyaratan yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann sebagai karya yang besar. Karya yang besar itu dicirikan18 oleh Goldmann (1970:597) adalah karya yang berbicara tentang alam semesta, hukum-hukum atau aturan-aturan dalam alam semesta tersebut, dan bebagai masalah atau persoalan yang berkembang atau tumbuh dari keadaan tersebut. Karya yang besar juga dihasilkan oleh subjek trans-individual, subjek yang mengalami pertentangan, yang merupakan satu wakil dari kolektivitas. Dia mampu menghadirkan pandangan
dunia
yang
lengkap,
menyeluruh
tentang
kehidupan
dan
mempengaruhi umat manusia. Karya tersebut dapat berbicara mengenai persoalan
18
Realitas dalam sastra Indonesia tidak ada daftar karya besar atau agung ynag dikeluarkan oleh suatu lembaga atau institusi tertentu. Kriteria dan lembaga yang menentukan karya besar belum tentu dapat diterima sebab bisa bersifat politis, ekonomis, atau ideologis. Satu karya dianggap besar bila memenuhi kreteria yang diberikan oleh Lucien Goldmann.
16
seperti kebaikan melawan kejahatan, percintaan dan kebencian, kehidupan manusia beserta masalahnya, dan lain-lain. Berdasarkan kriteria tersebut, karya sastra yang dipilih sebagai sampel untuk diteliti adalah Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa daei halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi) (1903) karya Gouw Peng Liang (selanjutnya disebut Lo Fen Koei), Nona Tjoe Joe Pertintaan jang membawa tjilaka, ditoelis menoeroet tjeritanja Nona Tjoe Yoe sendiri (1922) karya Tio Ie Soei, (selanjutnya disebut Nona Tjoe Joe), Drama di Boven Digoel (1932) karya Kwee Tek Hoay, Berdjoeang (1934) karya Liem Khing Hoo, dan Raden Adjeng Moerhia (1934) karya Njoo Cheong Seng. Sampel tersebut dijadikan sebagai sumber data yang utama atau primer disamping sumber data yang lain, seperti artikel atau tulisan, biografi pengarang, keadaan zaman dari para peneliti yang lain, dan lain-lain. Karya-karya tersebut dipilih karena beberapa alasan. Pertama, posisi para pengarang yang cukup dominan dalam dunia sosial, politik, agama, dan literasi sangat menonjol. Kedua, karya tersebut diasumsikan mengambarakan kehidupan sosial pada zamannya. Ketiga, karya-karya tersebut menghadirkan topik yang serupa pada zamannya, tetapi memiliki kelebihan tersendiri karena ditulis oleh pengarang yang memiliki posisi cukup dominan dalam masanya. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas dan pengaruh pemikiran mereka terhadap para pengarang yang lain. Keempat, karya tersebut memenuhi syarat seperti yang dikemukan oleh Lucien Goldmann.
17
1.6 Tujuan Penelitian 1.6.1 Tujuan Teoretis 1. Sastra peranakan Tionghoa jarang sekali dijadikan sebagai objek penelitian oleh sarjana sastra Indonesia karena masih ada sebagian anggapan bahwa sastra ini bukan bagian dari sejarah sastra Indonesia. Penelitian merupakan salah satu upaya untuk mengakui keberadaan sastra peranakan Tionghoa sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia. 2. Penelitian memunculkan gagasan baru dalam melihat masyarakat peranakan Tionghoa dari sisi sosiologis dan historis melalui karya sastranya atau karya sastra dapat memperlihatkan keadaan tersebut. 3. Penelitian ini berupaya untuk melihat karya sastra sebagai salah satu upaya dalam memperlihatkan sejarah sosial suatu masyarakat.
1.6.2 Tujuan Praktis 1. Karya sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Jadi, produk budaya masyarakat peranakan Tionghoa adalah produk masyarakat Indonesia. 2. Melalui pemahaman tentang topik atau isu dalam karya sastra peranakan Tionghoa, masyarakat memperoleh satu pelajaran dan pemahaman budaya peranakan Tionghoa sehingga mampu memaknai ulang hubungan etnisitas antara etnik peranakan Tionghoa dengan etnik yang lain . 3. Melalui pemahaman terhadap dunia sosial dan budaya orang peranakan Tionghoa, pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan kajian ini sebagai pembanding atau data untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan pembangunan hubungan etnik dan masalah etnisitas dalam konteks kebangsaan.
18
1.7 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap sastra peranakan Tionghoa. Topik pertama adalah penelitan atau tulisan yang membahas masalah ruang lingkup sastra peranakan Tionghoa, topik atau tema karya sastra peranakan Tionghoa. Penelitian ini dapat dilihat dari beberapa tulisan seperti SastraIndonesia Tionghoa (1950) oleh Nio Joe Lan (1958), Chinese Malay Literature of Peranakan Chinsese In Indonesia 1880-1942 (1977) oleh John B. Kwee (1977), Literature In Malay By The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotates Bibliography (1981) oleh Claudine Salmon, Siti Faizah Sunoto (1994) “Seri Roman Melayu Cina”, tulisan dari Leo Suryadinata (1993) “From Peranakan Chinese Literature to Indonesia Literature: a Prilimary Study” yang memberikan definisi sastra peranakan Tionghoa, perkembangannya hingga sebelum perang, dan topik atau temanya. Tulisan dari Leo Suryadinata itu memiliki kesamaan dengan tulisan Leo Suryadinata sendiri dalam buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988), terutama bagian “Sastra Peranakan di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat” dan artikel yang terbit dengan judul “The Study of Peranakan Chinese Literature: a Prilimary Survey” (1994). Topik yang kedua adalah mengenai pemikiran dan aktivitas pengarang dalam dunia sosialnya juga ditemukan dengan perspektif psikologis. Topik tersebut setidak-tidaknya dapat ditemukan dalam beberapa pengarang yakni Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, dan Khoo Ping Hoo. Yang pertama adalah Kwee Tek Hoay yang dibahas dalam 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil Sampai Ke Pendekar Pena (1989). Kedua adalah Khoo Ping Hoo yang termuat
19
dalam penelitian yang berjudul “Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo: Writer of Cloak-and Dagger Stories in Indonesia (1926-1994)” (1993) oleh Myra Sidharta. Ketiga adalah “Njoo Cheong Seng: A Peranakan Novelist, Playwright, Director, Poet, Editor” oleh Myra Sidarta (1995). Ketiga judul itu memberikan uraian biografi, aktivitas sosial, topik-topik dalam karyanya yang dihubungkan dengan situasi sosial yang ada, dan peran mereka dalam dunia sastra atau kehidupan sosial. Topik tersebut juga diulang lagi oleh Myra Sidharta (2004) dalam buku Biografi Delapan Penulis Peranakan:Dari Penjaja Tekstil Sampai Superwoman yang memuat pengarang seperti Kwee Tek Hoay (1885-1951), Njoo Cheong Seng (1902-1962), Nio Joe Lan (1904-1972), Tan Han Boen (1905-1983), Ang Ban Tjiong (1910-1938), Hoo Eng Djie (1906-1962), Ong Pik Hwa (1906-1972), dan Khoo Ping Hoo (1926-1994)19. Topik yang ketiga adalah hubungan teks karya sastra peranakan Tionghoa dengan teks sastra Melayu melalui perspektif intertekstual. Hubungan intertekstualitas menjadi fokus kajiannya. Hal ini dapat dilihat dari tulisan yang berjudul “Making it New in 1884 Lie Kim Hok’s Syair Siti Akbari” (1998) oleh Kolster. Tulisan ini menguraikan proses penciptaan Syair Siti Akbari oleh Lie Kim Hok. Walaupun Lie Kim Hok mengadaptasi dari cerita-cerita lisan dan cerita rakyat seperti panji, Lie Kim Hok telah mengarahkan syair ini ke arah realisme idealis. Hal ini dibuktikan dengan struktur naratif, terutama modifikasi pada tokoh dan alur atau pola ceritanya yang terpengaruh oleh realisme idealis dari sastra Barat. Selain itu, penelitian yang berjudul “Aux origines du Roman Malais 19
Dua artikel dari Myra Sidharta tersebut diterbitkan ulang dalam buku tersebut dengan pengubahan redaksi bahasa seperlunya.
20
Moderne: Tjhit Liap Seng on “Les Pleides” de Lie Kim Hok (1886-1887)” oleh Claudine Salmon (1993) juga memiliki topik yang sama dengan tulisan Koster. Salmon (1993) menuliskan tentang pendirian percetakaan Tionghoa, riwayat singkat dari tokoh Lie Kim Hok, dan poses kreatif dari Lie Kim Hok yang memiliki hubungan dengan teks-teks sosial yang menjadi bahan ceritanya. Tulisan Monique Zaini-Lajoubert dalam “Le Syair Cerita Siti Akbari de Lie Kim Hok (1889): Un avatar du Syair Abdul Muluk (1864)” adalah contoh nyata dari hubungan intertekstual antara Lim Kim Hok dan Siti Akbari. Menurutnya, Liem Kim Hok mengadaptasi cerita Abdul Muluk dengan modifikasi pada struktur cerita yang meliputi tokoh, penceritaan, dan gaya yang berbeda. Sudut pandang tulisan Monique Zaini-Lajoubert ini memiliki kesamaan dengan penelitian Kolster (1998). Topik yang keempat adalah proses kreatif pengarang dalam menghasilkan karya sastra. Topik ini muncul dalam tulisan “Au Carrfour de la litteratue et de l’historie: “vent de folie” de Njoo Cheong Seng (1950)” oleh Denys Lombrad (1998). Tulisan ini membahas kisah perjalanan pengarang Njoo Cheong Seng yang menulis cerita Taufan Gila yang diterbitkan di Tjilik Romans. Tulisan ini menyebutkan bahwa bahasa yang digunakan dalam cerita itu adalah bahasa Makasar dan Melayu dalam bentuk puisi yang bercerita tentang Bung Daeng seorang pahlawan yang malang. Tulisan ini memberikan informasi bahwa Taufan Gila itu adalah cerita biografi yang terinspirasi oleh kejadian Madiun 1948, ditulis dalam bentuk plot yang populer, bercerita tentang pembuangan tahanan ke Boven
21
Digoel, dan usaha mencari kebenaran dalam dunia mistis. Penulisan teks ini dipandang sebagai bentuk proses kreativitas dari Njoo Cheong Seng. Topik kelima adalah karya sastra sebagai cermin sosial atau refleksi atas kenyataan mendominasi topik penelitian terhadap sastra peranakan Tionghoa. Topik ini menggunakan sudut pandang sosiologi sastra. Hal ini setidak-tidaknya dapat dicontohkan oleh beberapa penelitian. Pertama, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and The Emergence of ChineseMalay Literature in The Indies” oleh Maier (1994) adalah penelitian yang menguraikan bahasa yang digunakan oleh orang peranakan Tionghoa dalam menulis cerita, novel, dan lain-lain. Dengan mengambil contoh Tjerita Njai Soemirah Jilid I dan II, Maier (1994) menyimpulkan bahwa cerita tersebut mengingatkan para pembaca tentang kemungkinan bahwa ras dan etnisitas didefinisikan oleh bahasa yang digunakan. Bahasa sastra dapat dipandang sebagai cermin atau refleksi terhadap dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa. “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity: Literary Representations of Indies Society” oleh Hellwig (2002) dipandang sebagai refleksi terhadap realitas sosial yang menempatkan perempuan Indo Belanda dalam posisi terjajah secara ras dan ideologi seperti dalam perbandingan antara Warm Bloed dengan Tjerita Nona Diana. Contoh lain sastra sebagai refleksi realitas sosial dapat ditemukan dalam penelitian seperti “Gouw Peng Liang’s Novella, Lo Fen Koei: Patron and Women, An Account of the Peranakan Chinese Community of Java in the Late 19th Century” oleh Peter Worseley (2004), “The Han Family from the Residency of Besuki (East Java) as Reflected in a Novella by Tjoa Boe Sing (1910)” oleh
22
Claudine Salmon (2004), “The Batavian Eastern Railway Co. and the Making of a New “Daerah” as Reflected in a Commemoarative Syair Written by Tan Teng Kie (1890)” (1987) oleh Claudine Salmon, “A Critical View of the Opium Farmers as Reflected in a Syair by Boen sing Hoo (Semarang, 1889)” (1991) oleh Claudine Salmon, dan “Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang: Motif Kejahatan dan Kebaikan dalam Masyarakat Tionghoa” oleh Dwi Susanto (2008) dan “IndoEuropean and European Images in Peranakan Chinese Literature” oleh Dwi Susanto (2010). Selain topik tersebut, topik yang menggunakan sudut pandang sosiologi sastra juga dengan itu dilakukan oleh Elizabeth Candra dalam National Fictions: Chinese-Malay Literature and the Politics of Forgetting (2006), yang memfokuskan pada persoalan karya sastra sebagai wujud dari praktik kebudayaan yang bersifat politis. Chandra (2006) memfokuskan pada karya sastra peranakan Tionghoa dari tahun 1870-1942. Karya sastra peranakan Tionghoa dipandang sebagai wujud memori kolektif yang “dilupakan” dalam sejarah sastra Indonesia. Keadaan itu terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Tulisan itu juga mengungkapkan bahwa para pengarang menuliskan topik karya sastranya yang berbeda atau menentang topik yang diungkapkan oleh sastra tradisi Balai Pustaka (pemerintah kolonial) dalam proyek modernisasi. Perbedaan atau penentangan itu merupakan satu strategi dan ideologi karya para pengarang peranakan Tionghoa. Serupa dengan topik yang menggunakan perspektif sosiologi sastra, tulisan dari Wuryandari (1999), “Nilai-Nilai Budaya Timur dan Barat dalam Kasopanan Timoer dan Doerinja Pernikahan Karya Dahlia (Tan Lam Nio)” mengunakan
23
perspektif sosiologis dengan bantuan semiotik. Hasil yang diperoleh adalah bahwa masyarakat peranakan Tionghoa masih berupaya mengali nilai-nilai budaya Timur untuk kehidupan mereka. Nilai budaya Timur diwujudkan dalam sopan santun, prinsip patrilineal, tata cara perkawinan, dan menolak persatuan perkawinan Barat dengan Timur. Sementara itu, nilai budaya Barat diwujudkan dalam beberapa bentuk yakni pendidikan, teknologi, rumah tinggal, dan pakaian. Menurutnya, kedua teks ini dengan bantuan teks yang lain merefleksikan nilai budaya yang ada dalam masyarakat peranakan pada masa abad ke-20. Topik yang keenam adalah resepsi pembaca terhadap sastra peranakan Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa artikel yang termuat di dalam buku Literary Migrations: Tradisional Chinese Fiction In Asia 17-20th Centuries (1987), yakni artikel yang berjudul “Postwar Kungfu Novels in Indonesia: A Preliminary Survey” (Leo Suryadinata) dan “Sam Pek-Eng Tay: A Chinese Loves Story In Madurese” (Dede Oetomo). Artikel yang pertama tersebut senada dengan tulisan dari Leo Suryadinata yang berjudul “Cerita Silat Sesudah Perang di Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal” yang dimuat dalam buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988). Tulisan dari Liang Liji (1988) yang berjudul “Sastra peranakan Tionghoa dan kehadirannya dalam Sastra Sunda” juga masuk kelompok ini. Liang Liji memberikan uraian mengenai pengaruh timbal balik antara sastra Sunda dan sastra peranakan Tionghoa di dalam interaksi kultural masyarakat Sunda. Menurutnya, struktur narasi penceritaan dan tematema yang sama muncul dalam kedua jenis sastra tersebut. Selanjutnya, artikel Leo Suryadinata (2009) yang berjudul “Kesusastraan Tionghoa dalam Terjemahan
24
Melayu/Indonesia, Dahulu dan Sekarang” memberikan uraian mengenai terjemahan dan transformasi sastra klasik dan modern Tionghoa di Indonesia. Topik serupa juga ditulis oleh Claudine Salmon (1974) “Aux origines de la littérature sino-malaise: un sjair publicitaire de 1886”20 yang melacak gerakan kesastraan peranakan Tionghoa masa awal melalui publikasi di tahun 1886. Selain itu, tulisan yang lain adalah mengenai cerita klasik tentang pelayaran Zheng He di Nusantara dan San guo zhi yanyi dalam dunia Melayu. Dua tulisan tentang hal itu menceritakan mengenai kepopuleran cerita Zheng He dan juga sambutan terhadap cerita Kisah Tiga Negara di kalangan kaum peranakan Tionghoa. Tulisan tersebut adalah “Sanbao taijian en Indonésie et les traductions malaises du Xiyang ji” (2005) dan “Les traductions du romans chinois en malais (1880-1930)21. Kedua artikel itu hakikatnya satu topik, yakni mengenai persebaran cerita klasik Tionghoa dalam dunia Melayu atau Nusantara. Sebagai contohnya adalah munculnya berbagai terjemahan atau cerita mengenai tokoh Zheng He dan berbagai terbitan mengenai Kisah Tiga Negara. Topik ketujuh adalah karya sastra sebagai representasi identitas juga telah dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari tulisan “From Huaqiao to Minzu: Constructing New Identities in Indonesia’s Peranakan Chinese Literature” oleh Thomas Riger (1994). Penelitian ini meneliti identitas peranakan Tionghoa dengan mengabaikan aspek pluralitas, heterogenitas, ruang, dan hibriditas masyarakat Tionghoa Indonesia. Penelitian serupa dilakukan oleh Elizabeth 20
Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Gramedia 21 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tiongho. Jakarta: Gramedia
25
Chandra (2011) dalam “Fantasizing Chinese/Indonesian Hero: Njoo Cheong Seng and the Gagaklodra Series” yang mengemukan mengenai peran dan konstruksi pahlawan hibrid masyarakat peranakan Tionghoa dalam melawan kuasa penjajah. Topik yang lain atau topik yang kedelapan, seperti posisi perempuan dalam konteks sosial politik dari sudut pandang feminisme juga telah diteliti oleh beberapa ahli. Sebagai contohnya adalah tulisan yang berjudul “Nyai Dasima, a Fictional Women” oleh Hellwig (1992) ini mendiskusikan tentang posisi perempuan dan relasi-relasi diantara para tokoh dalam cerita Nyai Dasima yang menampilkan sudut pandang pengarang peranakan Tionghoa yakni O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok. Hal serupa diungkapkan oleh tesis yang berjudul “The Nyai in Nyai Dasima, Nyai Ratna, and Nyai Alimah: A Reflection of Indonesian Women’s Lives As Concubines of European in Indonesian’s Colonial Period” oleh Ibnu Wahyudi (1995) yang menguraikan genre cerita pernyaian dalam sastra Melayu Rendah sebagai bagian dari fiksi populer, terutama oleh pengarang peranakan Tionghoa, seperti Tio Ie Soei dengan karya Tjerita Sie Po Giok (1911) dan Gouw Peng Liang dengan novel Lo Fen Koei. Bukti yang lain dari topik ini dapat ditemukan dalam tulisan Maimunah dengan judul “Tema Perlawanan Terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian Dalam Tiga Cerita Tempo Doeloe” oleh Maimunah (2005), yang memandang bahwa teks Pieter Elberverld (1924) dari Tio Ie Soei ini berpihak pada Belanda atau kolonialisme. Topik kesembilan adalah pengaruh aliran estetika dalam sastra peranakan Tionghoa menjadi topik tersendiri karena penelitian terhadap hal itu jarang dilakukan. Satu-satunya penelitian terhadap aliran estetika itu ditemukan dalam
26
judul “Romantisme dalam Sastra Melayu-Tionghoa: Pengalamannya Satu Bunga Anyelir” oleh Jakob Sumardjo (2005). Tulisan ini membahas mengenai mahzab sastra romantisime dalam sastra peranakan Tionghoa. Penulis menguraikan bahwa secara umum sastra peranakan Tionghoa menggunakan aliran realisme. Ada beberapa
karya
yang
beraliran
romantik
yang
salah
satunya
adalah
Pengalamannya Satu Bunga Anyelir karya Kwee Tek Hoay. Tulisan itu menguraikan aspek-aspek romantisme dari salah satu karya Kwee Tek Hoay tersebut. Selain itu, Jakob Soemardjo juga memberikan uraian bahwa salah satu ciri utama dari karya peranakan Tionghoa itu adalah sifat diktaktik, cenderung realis, dan naturalis. Topik
yang
kesepuluh
adalah
perspektif
pascakolonial,
yakni
mengedepankan isu terjajah versus penjajah muncul sebagai topik yang banyak ditulis oleh para peneliti sastra ini. Topik itu antara lain adalah “Berjuang (Liem Khing Hoo) dan Bergerak (Tan Boen Soan): Strategi Esensialisme dalam Mempertahankan Idenitas Kulural” oleh Dwi Susanto (2007). Menurutnya, kedua teks tersebut menghadirkan kembali peran identitas diri yang esensialis dalam bertahan di tanah perantauan. Melalui dua motif yang berbeda, konsep-konsep yang melampau zamannya diutarakan seperti gagasan transnasional dan transkultural. Tulisan “Pengalaman Diaspora (Peranakan) Cina di Indonesia: Satu Kajian Terhadap Berjuang dan Masjarakat Karya Liem Khing Hoo” oleh Dwi Susanto (2007) juga mengungkapkan hal yang serupa, yakni pemahaman kembali terhadap makna diaspora dan usaha yang utopis terhadap cara bertahan hidup melalui diversifikasi budaya, identitas yang baru, dan hibrid dalam teks ini yang
27
dimanfaatkan sebagai strategi untuk menjadi huayi dan usaha kongsi perdagangan. Contoh yang lain tentang isu identitas tersebut dieksplorasi dalam “Representasi Pribumi dan Cina dalam Peniti Dasi Barlian Karya Tan King Tjian oleh Dwi Susanto (2008) dan juga “Indonesia Pre-War Chinese Peranakan Writings as Indonesian Post-colonial Literary Texts” oleh Sim Chee Cheang (2008). Tulisan Sim Chee Cheang membicarakan persoalan mimikri dan hibrid dalam beberapa karya peranakan Tionghoa Indonesia. Penelitian yang lain dengan topik serupa adalah “Representasi dalam Cerita Pieter Elberverld Karya Tio Ie Soei: Suatu Kajian Pascakolonial oleh Dwi Susanto (2008:11-23) dan “Tusheng Huaren Wenxue sebagai Sastra Diaspora dan Cerita Silat Sebagai Obat Kerinduan” oleh Dwi Susanto (2008:1-7). Topik yang kesebelas adalah bentuk-bentuk kritik sastra peranakan Tionghoa. Kritik sastra dipandang sebagai cara menilai dan menginterpretasikan fenomena kesastraan. Topik ini diwakili oleh penelitian yang berjudul Perlawanan Diskriminasi Rasial Etnik Cina:Konteks Sosio-Ideologis Kritik Sastra Tionghoa Peranakan oleh Faruk, Bakdi Soemanto, dan Bambang Purwanto (2000). Dalam buku ini, persoalan terhadap kritik sastra Tionghoa Indonesia hanya didasarkan pada beberapa kritik sastra atau hasil penelitian, yakni buku dari Nio Joe Lan, John B Kwee, dan Claudine Salmon. Beberapa penelitian atau tulisan dari berbagai jurnal ilmiah tidak dibahas meskipun tulisan-tulisan itu memiliki berbagai perspektif yang berbeda-beda. Berdasarkan penelusuran tersebut, masalah dalam penelitian ini belum dibahas atau diteliti. Ada beberapa penelitian yang menggunakan sudut pandang
28
sosiologis yang serupa dengan penelitian ini, tetapi berbeda persoalannya. Namun, hadirnya penelitian-penelitian tersebut amat penting dan bermanfaat bagi penelitian ini sebagai pembanding atau pendukung dari berbagai data yang disajikan. Selain itu, perspektif sosiologis dari penelitian yang telah ada masih terbatas pada sudut pandang sastra sebagai refleksi sosial tanpa melibatkan pengarang sebagai wakil masyarakatnya. Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang melihat dari sudut pandang sastra sebagai cermin situasi sosial pada zamannya, seperti yang dilakukan oleh Claudine Salmon (1987 dan 1991). Namun, penelitian tersebut hanya memfokuskan pada seorang pengarang tanpa menjelaskan latar sosiologis terutama konteks struktur sosial, latar historis, dan pengarang sebagai wakil dari kelompok sosialnya. Perbedaan masalah dalam penelitian ini terletak dalam beberapa hal. Pertama, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap tanggapan sosial masyarakat
peranakan
Tionghoa
melalui
hasil
kesastraan
dengan
mempertimbangkan kelompok sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Kedua, meskipun penelitian ini adalah penelitian sosiologi sastra, penelitian dengan objek kajian sastra peranakan Tionghoa ini mempertimbangkan aspek historis yang terlihat dari penjelasan mengenai wujud tanggapan sosial dalam suatu waktu. Ketiga, penelitian ini tidak hanya mempertimbangkan kelompok sosial yang diwakili oleh subjek kolektif dalam kesastraan peranakan Tionghoa, tetapi juga menghadirkan teks dan korpus pengarang dalam pandangan atau gagasan mereka terhadap lingkungan atau realitas (pandangan dunia) sebagai jalan pemetaan untuk memberikan data dan membantu penjelasan atas tanggapan sosial.
29
1.8 Teori Strukturalisme Genetik Sebagai konsekuensi dari permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya perlu diungkapkan suatu konsep untuk menjawab persoalan itu. Konsep diartikan sebagai kesan mental, suatu pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat abstraksi, yang digunakan dalam pemikiran abstrak (Lorens, 1996:481). Sementara wujud kerangka konseptual itu dapat diartikan sebagai teori. Teori itu sendiri diartikan sebagai (1) pemahaman tentang hal-hal dalam hubungannya yang universal dan ideal antara satu sama lain, (2) prinsip abstrak atau umum di dalam tubuh pengetahuan yang menyajikan suatu pandangan yang jelas dan sistematis tentang beberapa materi pokok, dan (3) model atau prinsip umum, abstrak, dan ideal yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala (Lorens, 1996:1097). Strukturalisme genetik menjadi salah satu bagian dari perkembangan kritik sastra Marxis. Pertanyaan yang mendasari dari teori strukturalisme genetik adalah bahwa “bagaimanakah sastra itu menunjukkan perkembangan atau perubahan kehidupan sosial dan karya sastra diasumsikan memberikan petunjuk terhadap hal tersebut” (Forgacs, 1987:183). Melalui pengaruh dari Lukács, seorang teorikus sosiologi Neo-Marxis, Lucien Goldmann menggunakan pendekatan biografis, yakni
menghubungkan karya sastra dengan kehidupan pengarang dan
personalitasnya, tetapi tidak berpusat pada teks, melainkan menghubungkan struktur karya dengan struktur mental (pandangan dunia) dari kelompok sosial pengarangnya. Menurutnya, karya sastra memunculkan kesadaran kelas dan tingkah laku atau tindakan sosial yang dihubungkan dengan struktur sosial yang melingkupi pengarang. Suara yang dimunculkan bukanlah suara teks, tetapi suara
30
subjek kolektif yang diwakilkan oleh pengarang. Konsep kesadaran kelas yang terbentuk melalui struktur mentalitas kolektif ini menunjukkan bahwa pengaruh teori struktural konflik mempengaruhi teori dari Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik adalah teori yang terpengaruh dan dikategorikan sebagai mahzab Annales atau sejarah intelektual (intellectual history, histoire des mentalités). Teori dari Lucien Goldmann ini dapat dipandang sebagai teori sejarah ide, sejarah sosial, atau sejarah mentalitas yang menggunakan produk seni, terutama karya sastra. Peralatan yang berupa “pandangan dunia” dari Lucien Goldmann itu sendiri sama dengan istilah “peralatan mental” dari Febvre dan “habitus” dari Panofsky (Chartier, 1987:27-28). Sebagai teori sosial yang memfokuskan pada sejarah sosial, teori Lucien Goldmann ini dibangun dengan dasar utama yakni meneliti penghadiran kembali atau pengucapan ulang antara pikiran-pikiran dengan dunia sosial. Istilah pandangan dunia sendiri dipinjam dari Lukács, sosiolog Neo-Marxis. Pandangan dunia merupakan satu instrumen yang memungkinkan untuk menghubungkan antara pemikiran subjek atau pemikiran kolektif dengan dunia sosial yang berada dalam seni atau sastra. Teori sejarah mental atau sejarah sosial dari Lucien Goldmann dibangun oleh seperangkat kategori yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, dan pandangan dunia. Fakta kemanusiaan diartikan sebagai segala hasil tindakan manusia yang berupa verbal maupun yang bukan verbal. Fakta kemanusiaan ini dapat berupa tindakan sosial, kultural, dan politik (Goldmann, 1970:584-585). Karya sastra atau seni dengan demikian dapat dipandang sebagai satu fakta kemanusiaan. Fakta
31
kemanusiaan itu memiliki arti sebab satu tindakan dari subjek atau pengarang dianggap sebagai tindakan untuk mengakomodasi dan mungkin mengasimilasi struktur sosial yang dirasakan oleh subjek atau pengarang, sebagai wakil kelompoknya. Fakta kemanusiaan yang demikian sering disebut dengan fakta sosial yang historis. Sementara itu, tindakan pengarang atau subjek yang tidak memiliki pengaruh terhadap situasi sosial atau tidak berimplikasi secara sosial dianggap sebagai fakta individual. Menurut Goldmann sendiri, fakta kemanusiaan merupakan satu struktur yang berarti bila dihubungkan dengan struktur yang lain karena mereka memiliki maksud dan tujuan tertentu (Goldmann, 1975:159-160) Sejarah ide atau sejarah mentalitas dari Goldmann ini juga melibatkan psikologi. Menurutnya, manusia tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Antara lingkungan dan manusia melakukan strukturasi. Antara manusia dan lingkungan memiliki semacam “dualitas struktur”. Strukturasi versi Goldmann memiliki arti bahwa antara manusia dan lingkungannya terjadi hubungan timbal balik. Namun, strukturasi yang terwujud tersebut adalah asimilasi dan akomodasi. Individu sebagai subjek kolektif bisa mempengaruhi struktur sosial yang ada, tetapi struktur sosial juga mempengaruhi individu atau menentukan tindakan individu atau pengarang. Hal ini menunjukkan bahwa teori dari Lucien Goldmann ini memiliki kecenderungan struktural meskipun menggunakan metode yang bersifat dialektik. Dalam ilmu sosial, teori Goldmann ini dikategorikan sebagai pengaruh aliran struktural konflik, terutama mengenai posisi subjek sebagai wakil kelompok sosial yang berhubungan dengan kelompok sosial yang lain dalam struktur sosial. Teori ini memperoleh pengaruh, terutama dari pemikiran Marxis.
32
1.8.1 Struktur Teks dan Homologi Sastra atau teks sastra merupakan karya yang bersifat imajinatif. Karya sastra, terutama karya yang besar, oleh Goldmann dipandang sebagai produk dari subjek kolektif. Goldmann terpengaruh oleh gagasan yang dikemukan oleh strukturalisme dalam melihat karya sastra, terutama gagasan tentang oposisi biner. Selain itu, gagasan yang lain terlihat dalam elemen kesatuan untuk mengemukan struktur karya sastra. Goldmann (1970:604-605) melihat karya sastra sebagai satu kepaduan yang mana dalam tiap unsur atau elemennya saling berkaitan. Struktur yang dikemukan oleh Goldmann ini hakikatnya adalah struktur yang bersifat tematik. Baginya, sebuah novel atau karya sastra merupakan cerita tentang pencarian terhadap nilai-nilai yang benar dalam dunia yang terdegradasi. Sang tokoh hero merupakan tokoh yang problematik. Gagasan yang demikian ini terpegaruh oleh pengertian novel yang dikemukan oleh Lucaks. Goldmann (1981) sendiri mengemukan hakikat karya sastra. Menurutnya, karya sastra sendiri menghadirkan ekspresi pandangan dunia suatu kelompok secara imajiner. Pandangan dunia tersebut diungkapkan melalui tokoh-tokoh ciptaan pengarang, hubungan berbagai objek yang ada dalam teks, dan berbagai objek yang ada di dalam teks. Hubungan tersebut diungkapkan secara imajiner. Dalam melihat karya sastra, Goldmann memiliki suatu konsep mengenai struktur karya yang bersifat tematik. Hubungan atau relasi antar tokoh ciptaan yang satu dengan tokoh ciptaan yang lain ataupun antara tokoh dengan objek dan objek dengan objek yang lain mampu mengeksplorasi gagasan tematik yang ada dalam sebuah teks.
33
Selanjutnya, novel dianggap sebagai sebuah genre sastra yang memiliki ciri keterpecahaan. Keterpecahaan itu tidak bisa didamaikan antara sang tokoh dengan dunia sekitarnya. Keterpecahan ini membuat sang tokoh pahlawan atau hero menjadi problematik. Dengan mengikuti pandangan Lukacs, Goldmann dalam Towards A Sociology of the Novel (1975:2) menyebutkan tiga jenis novel. Ketiga jenis itu adalah idealisme abstrak, psikologis, dan bildungsroman. Novel idealisme abstrak dicirikan dengan tokoh yang ingin bersatu dengan dunianya, tetapi gagasan mengenai dunia sangat sempit dan subjektif dari sang tokoh saja, seperti Don Quixote atau Le Rounge et La Noir. Sebaliknya, novel yang berjenis pendidikan ini dicirikan bahwa sang tokoh tidak bisa menjangkau dan bersatu dengan dunia yang begitu luas dan mengakibatkan sang tokoh cukup hidup dengan dirinya dan dunianya sendiri, seperti Oblomov. Novel bildungsroman merupakan novel yang menunjukkan keberpihakan sang tokoh hero terhadap inferioritas, tetapi sekaligus dia ingin bersatu dengan dunia. Hal ini mengakibatkan kegagalan hidup bagi sang tokoh hero sebab dia berada dalam dua dunia, seperti Wilhelm Meister. Karya sastra memang memiliki struktur yang saling berhubungan. Karya sastra sendiri juga menjadi bagian dari struktur yang lebih besar yang berada diluar keberadaannya. Hal ini menimbulkan suatu tuntutan mengenai hubungan struktur karya dan struktur yang berada diluar keberadaannya. Oleh Goldmann (1970) hal ini disebut dengan istilah penjelasan dan pemahaman yang bertujuan untuk menunjukkan homologi antara struktur sosial dan struktur karya sastra. Metode yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut adalah metode dialektika
34
(1970: 202-603). Metode ini dilakukan seperti gerak melingkar dalam bidang hermeneutika. Metode ini bukan hanya untuk menganalisis struktur karya sastra. tetapi lebih dari itu, metode ini juga digunakan untuk melihat karya sastra dengan struktur yang berada diluar keberadaannya. Baginya, alat bantu dari usaha untuk menginterpretasikan hubungan tersebut adalah pandangan dunia, terutama untuk menentukan makna hubungan antar struktur dalam teks sastra. Homologi yang terdapat dalam struktur karya sastra dengan struktur sosial ini tidak bersifat langsung. Homologi ini dijembatani oleh pandangan dunia yang ada dalam suatu masyarakat. 1.8.2 Struktur Sosial dan Subjek Kolektif Dalam bagian “Introduction to a Structural Study of Malraurx’s Novel”, Goldmann (1975:18, edisi bahasa Perancis tahun 1964) mengatakan bahwa analisisnya yang pertama kali difokuskan pada signifikasi struktur teks atau immanent in the work. Hal ini ditujukan untuk mengemukan gagasan tentang homologi dan hubungannya dengan kehidupan intelektual, sosial, politik, ekonomi, dan struktur yang membangunnya pada periode tersebut. Dalam analisis tersebut, yang dimaksudkan sebagai struktur sosial yang meliputi teks adalah latar belakang ekonomi yang menciptakan karya sastra. Subjek kolektif yang dihadirkan
adalah
kelompok
intelektual
kiri
Perancis.
Kelompok
ini
mengedepankan gagasan tentang universalisme gerakan komunis Internasional. Namun, komunisme ternyata hanya ideologi suatu negara tertentu sehingga kelompok kiri intelektual di Perancis ini menjadi kecewa pada gagasan universal yang dianggapnya benar.
35
Subjek kolektif dalam pandangan Lucien Goldmann adalah subjek dalam fakta sosial yang historis. Subjek tersebut adalah subjek yang mewakili kelompok atau kelas sosial sosial tertentu (1970:585). Selanjutnya, teori ini juga mengenalkan subjek trans-individual. Subjek trans-individual adalah subjek yang mampu menciptakan fakta historis, seperti karya sastra yang besar, revolusi sosial, politik, dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Subjek atau pengarang ini tersatukan sebagai satu kolektivitas sehingga dapat disamakan artinya dengan subjek kolektif. Subjek ini dipandang mampu menciptakan dan dihadirkan dalam karya yang besar, bukan hanya tindakan individual yang menuruti libidonya. Karya sastra yang besar merupakan karya sastra yang menghadirkan alam semesta dan hukum-hukumnya. Subjek trans-individual sering dirujuk dengan kelompok sosial. Dalam melihat hubungannya antara subjek kolektif dan latar belakang sosial, kasus pada analisis novel Malraux mengemukan bahwa gagasan yang dikembangkan novel atau struktur novel memiliki hubungannya dengan struktur sosial yang berkembang. Struktur sosial yang berkembang itu adalah bahwa sejak awal hingga pada awal abad XX, pengaruh ekonomi liberal masih cukup dominan dan kehidupan sosial. Selain itu, dari abad XIX hingga masa awal abad XX telah terjadi pergeseran dari sistem kapitalis liberal menuju kapitalis imperial. Perubahan ini menyebabkan individu dan kehidupannya berubah akibat munculnya kepentingan pribadi yang menonjol. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan kehidupan sosial secara keseluruhan. Struktur sosial ini terus berubah
36
dengan munculnya campur tangan negara dalam bidang ekonomi (Goldmann, 1975:122-123). Gagasan mengenai subjek kolektif dan lingkungan sekitar atau struktur sosial juga pernah diungkapkan melalui contoh dalam buku kajian yang berjudul The Hidden God A Study of Tragic Vision in The Pensees of Pascal and The Tragedies of Racine (1964, edisi pertama di Inggris, terjemahan dari bahasa Prancis oleh Philip Thody). Goldmann menghubungkan pandangan dunia dengan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan intelektual yang ditempat oleh sang subjek kolektif. Struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat Perancis ketika itu terjadi lihat cukup menonjol pada tahun mulai tahun sekitar 1637 ketika terjadi perkembangan monarkhi yang absolut dengan membentuk berbagai birokrasi pendukung raja. Birokrasi itu berhubungan dengan raja secara langsung. Goldmann mengutip pendapat dari E. Maugis (Historie du Parlement de Paris de l’avènement des rois Volois à la mort d’ Henri IV). Menurut Maugis (dalam Goldmann,1977:108), kerajaan Perancis berkembang melalui beberapa tahap yang cukup berpengaruh terhadap struktur atau kehidupan sosial ketika. Masa awalnya, raja merupakan bangsawan yang memperoleh hak khusus untuk berkuasa dan didukung oleh kelompok kelas menengah dan kota-kota. Raja dalam hal ini tidak memiliki kekuasaan yang multak dan raja menerapkan sistem feodal. Tahap berikutnya, raja menginginkan kekuasaan atas bangsawan-bangsawan dan kelas menengah atas dirinya yang didukung oleh birokrasi dan sah secara hukum. Hal ini menyebabkan kekuasaan secara absolut. Tahap berikutnya, raja selanjutnya memerintah dengan bebas dari bangsawan dan kelas menengah
37
dengan menggunakan alat birokrasi atau grup komisaris. Tujuannya adalah menyeimbangkan kekuasaan antar kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat dan mengakarkan atau menguatkan kekuasaan raja dihadapan mereka. Melalui keadaan tersebut, munculnya pandangan dunia yang dilandasi oleh gerakan Jansenisme. Menurutnya (1977:112) merupakan aliran keagamaan di Perancis yang muncul akibat adanya transisi dari tahap pertama menuju tahap kedua. Hal ini dibuktikan dengan adanya perpindahan kekuasaan dari kelompok officiers dan cours souverains menuju pada komisaris (commisaires). Bagi Goldmann, kelahiran Jansenisme sejajar dengan proses hilangnya kekuasaan officiers dan munculnya konflik antara raja dan parlemen. Jansenisme muncul dari kelompok yang berbeda yakni anggota aristrokrat dan anggota kelas menengah. Anggota kelas menengah yang terdiri dari cours souverains dan avocats menjadi pendukung yang sebenarnya dari Jansenisme. Kelompok artistrokat hanya sebagian saja karena rasa kecewa terhadap sentralisasi kekuasaan raja. Hal ini menunjukkan bahwa kelas aristrokrat tidak sepenuhnya bersedia melepaskan dunianya. Dengan mendasarkan hubungan politis atau latar politis tersebut, Goldmann (1977) mengemukan bahwa subjek kolektif adalah kelas sosial menengah atau borjuis. Situasi sosial atau struktur sosial yang berada dalam kelompok sosial atau subjek kolektif tersebut berhubungan dengan pergeseran sistem monarkhi yang terbatas menuju monarkhi yang absolut. Latar belakang sosial atau struktur sosial yang demikian inilah yang melingkupi subjek kolektif. 1.8.3 Pandangan Dunia
38
Subjek trans-individual atau subjek kolektif mampu menciptakan karya kultural yang dipandang besar. Menurutnya, karya sastra dengan struktur masyarakat memiliki kesamaan atau homologi sebab kedua-duanya merupakan hasil dari aktivitas kolektif yang terstrukturasi. Homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat itu tidak bersifat langsung sebab karya sastra adalah karya yang imajinatif dan fantastik. Homologi itu dijembatani oleh pandangan dunia yang ada dan berkembang dalam masyarakat pemilik karya sastra tersebut. Pandangan dunia itu dimiliki oleh kelompok sosial tertentu yang mampu membedakan dengan kelompok sosial yang lain dalam masyarakat. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann bahwa What I have called a “world vision” is a convinent term for the whole complex of ideas, aspirations and feelings which links together the members of a social group (a group which, in most cases, assumes the existence of a social class) and which opposes them to members of others social group (Goldmann, 1977:17)22. Pandangan dunia diartikan sebagai semua gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama seluruh anggota satu kelompok sosial tertentu dan membedakannya dengan kelompok sosial yang lain. Pandangan dunia ini terwujud dalam gaya hidup, alat, atau cara yang mempersatukan anggota kelompok sosial dan membedakan dengan kelompok sosial yang lain (Goldmann, 1977:17).
22
Yang disebut sebagai pandangan dunia adalah suatu kompleks yang menyeluruh dari berbagai gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan satu kelompok sosial tertentu (sebuah kelompok yang diasumsikan sebagai keberadaan kelompok sosial) dan dipertentangkan dengan kelompok sosial yang lain.
39
Pandangan dunia tersebut terbentuk melalui serangkaian proses yang panjang. Proses itu adalah proses historis. Bagi Goldmann, pandangan dunia itu hadir sebagai perkembangan dari situasi sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh subjek. Mentalitas subjek menjadi kunci dalam mengetahui pandangan dunia. Pandangan dunia lahir atas proses mentalitas yang bertahap dan dalam waktu yang relatif lama sehingga membangun mentalitas yang baru. Hal itu salah satunya akan terwujud dalam ekspresi sosial atau tanggapan sosial yang baru atau berbeda dari periode yang sebelumnya. Goldmann (1977) memberikan contoh penerapan pandangan dunia ini dalam analisisnya terhadap karya Pascal dan Racine. Goldmann mengenalkan pandangan dunia tragik atau tragis. Pandangan dunia ini memiliki beberapa unsur, yakni pandangan mengenai Tuhan, pandangan mengenai lingkungan atau dunia, dan pandangan mengenai manusia. Ketiga-tiganya merupakan bagian yang saling berhubungan.
Dalam melihat mengenai Tuhan, pandangan dunia tragik ini
mengatakan bahwa “Tuhan Bersembuyi”. Tuhan dianggap tidak hadir sebab dia tidak memiliki peran dalam kehidupan manusia. Namun. Manusia selalu menyadari bahawa Tuhan selalu menuntut perilaku manusia. Tuhan
dalam
pandangan dunia tragik adalah Tuhan yang ada dan tidak ada. Tuhan ada dalam tuntutan perilaku manusia, tetapi Tuhan tidak ada dalam kehidupan manusia. Sehubungan dengan itu, pandangan dunia tragik melihat bahwa dunia sebagai segala-galanya, tetapi juga bukan apa-apa. Tuntutan Tuhan terhadap manusia adalah hal yang tidak mungkin bila dilihat dari sudut pandang dunia. Bahkan, hukum yang ada didunia ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan. Dalam
40
melihat dunia, pandangan dunia tragik ini mengatakan bahwa dunia ini memiliki keterbatasan sehingga dunia tidak ada maknanya. Keterbatasan atas kehadiran Tuhan dalam kehidupan ini dapat terpenuhi oleh dunianya sendiri. Sebagai konsekuensinya, manusia yang tragik adalah manusia yang berada didunia dan sekaligus mengingkari keadaan dunia itu. Goldmann (1977) memberikan contoh mengenai pandangan dunia dari subjek kolektif kelas borjuis yang diwakili oleh Racine dan Pascal. Pandangan dunia yang digagasnya adalah pandangan dunia tragik. Pandangan dunia ini juga berhubungan dengan munculnya Jansenisme. Pergeseran kekuasaan dari monarkhi terbatas menuju monarkhi absolut tersebut melahirkan Jansenisme yang berakibat pula mengemukan gagasan mengenai pandangan dunia tragik.
1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang mementingkan kualitas data dan bukan jumlah data sebab penelitian ini menemukan fenomena kesastraan yang khusus untuk mendapatkan keunikan dari fenomena tersebut. Atas dasar itu, data dilihat dari segi pentingnya informasi yang dibutuhkan sesuai dengan topik penelitian, bukan jumlah yang banyak dari informasi tersebut (bdk. Moleong, 2002:4-7). 1.9.2 Data Jenis data dalam penelitian ini adalah segala informasi mengenai struktur masyarakat peranakan Tionghoa, subjek pengarang yang meliputi biografi, dan karya sastra yang dihasilkan oleh subjek pada zamannya, “isi” karya sastra, situasi
41
zaman atau semangat zaman, dan lain-lain yang berhubungan dengan topik penelitian. Sumber data yang utama atau pertama adalah teks karya sastra peranakan Tionghoa yang telah diplih dan sumber data yang kedua adalah semua pustaka yang berhubungan dengan topik penelitian ini. 1.9.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara. Teknik observasi dilakukan dengan cara membaca dan mencatat semua informasi dari data yang pertama (karya sastra). Teknik penelusuran pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, dan mencatat informasi dari sumber data yang kedua. 1.9.4 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan mendasarkan pada prosedur dalam teori atau konsep-konsep yang dimaksudkan. Teknik analisis data tersebut dilakukan dengan pencatatan data, klasifikasi data, interaksi antar data (relasi antara data dalam struktur karya atau data dalam sumber primer, interaksi antara data di luar data struktur karya sastra atau dalam sumber sekunder, dan interaksi antara keduanya atau antara data dalam sumber primer dan data dalam sumber sekunder) (Seiddel dalam Moleong, 2007: 248). Namun, interaksi data tersebut dilakukan melalui teknik interpretatif sebagai wujud penafsiran data (Moleong, 2007:258-259). Pernafsiran data secara interpretatif harus melihat teori yang digunakan. Pembacaan oposisi berlawanan dilakukan untuk menganalisis membahas karya sastra pada tahap pertama. Tahap berikutnya adalah mengunakan pembacaan
42
gerakan melingkar antara karya, kelompok sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa, dan struktur sosial (bdk. Ricouer dalam Kaelan, 2005:83, Iser, 1987:ixx). Kunci untuk menjelaskan itu adalah hubungan di antaranya. Hal ini menegaskan bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dalam konteks sosialnya (Chamamah, 2003:107). Tujuan yang hendak dicapai adalah menjelaskan ekspresi sosial dalam tradisi sastra peranakan Tionghoa yang diwakili subjek kolektifnya. 1.10 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab. Bab I berjudul Pengantar yang berisi diantaranya berupa alasan penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, teori yang digunakan, dan metode untuk memecahkan masalah. Bab II berisi tentang struktur teks dan homologi. Bab III berupa struktur sosial dan subjek kolektif. Bab IV berupa pandangan dunia subjek kolektif, relasi antara pandangan dunia, subjek kolektif dan struktur sosial, dan persebaran atau wujud pandangan dunia dalam karya sastra peranakan Tionghoa. Bab V berupa kesimpulan.
43