1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dayak (indigenous
Ngaju group)
adalah terbesar
kelompok di
Provinsi
penduduk
pribumi
Kalimantan
Tengah.
Menurut data yang dihimpun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1 etnis Dayak Ngaju mendiami wilayah yang meliputi lima kabupaten dan kota serta tiga buah kabupaten administratif. Etnis tersebut bermukim di wilayah Kabupaten Kapuas (dan Kabupaten
Pulang
Pisau,
akibat
pemekaran
tahun
2002),
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Barito Selatan (dan Kabupaten Barito Timur, pemekaran tahun 2002), Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Katingan, dan Kota Palangka Raya. Wilayah yang didiami etnis Dayak Ngaju tersebut luasnya mencapai dua pertiga wilayah keseluruhan Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara sepertiga wilayah sisanya, yakni yang terdiri dari
Kabupaten
Kotawaringin
Barat,
Kabupaten
Sukamara,
1 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 52.
2
Kabupaten Lamandau, dan Kabupaten Seruyan, mayoritas didiami oleh etnis Dayak Ot Danum dan Melayu.2 Sebagai etnis mayoritas di Kalimantan Tengah, kebudayaan Dayak Ngaju memiliki peran utama dalam pembentukan identitas kedaerahan provinsi tersebut. Kebudayaan Dayak Ngaju terkenal kaya, salah satunya ialah produk budaya literasi berupa mitos kosmogoni, atau mitos penciptaan alam semesta. Orang Dayak Ngaju percaya bahwa mereka diciptakan oleh Ranying Hatalla (Tuhan maskulin) dan Jata (Tuhan feminin) lewat efek domino yang rumit dan panjang. Pemicu utamanya adalah pertarungan burung tingang jantan dan burung tingang betina yang merebutkan buah-buahan dan dedaunan dari Pohon Hayat yang bernama Batang Garing. Pertarungan tersebut beruntun hingga diturunkannya manusia pertama di bumi. Mitos kosmogoni tersebut dirangkum ke dalam satu simbol berupa ragam hias Batang Garing. Ragam hias Batang Garing terdiri dari pohon Batang Garing itu sendiri, sepasang burung tingang, sebuah belanga, beberapa gong, dan beberapa tombak. Pohon Batang Garing sebagai unsur pembentuk utama ragam hias tersebut memiliki rupa bentuk yang berbeda dengan Pohon-pohon Hayat lain yang ada di banyak 2 Lihat Peta Suku Bangsa di Indonesia di Etnography Room, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
3
kebudayaan dunia. Rupa bentuk Batang Garing mengerucut kurus ke atas, bukannya menyebar ke berbagai arah seperti kebanyakan Pohon Hayat. Adanya pengaruh alam jasmani suasana hutan Kalimantan terhadap rupa bentuk Batang Garing tersebut menjadi pertanyaan menarik guna melacak proses eksistensi ragam hias Batang Garing. Sebagai simbol religius yang mewakili konsep fundamental dalam dogma kepercayaan Dayak Ngaju, Batang Garing semakin kehilangan makna aslinya. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju
telah
memilih
meninggalkan
kepercayaan
leluhurnya
sehingga berimbas pada pemaknaan dan pemakaian simbol religius tersebut. Kendati demikian, sekarang ini ragam hias Batang Garing banyak muncul di kota-kota di Provinsi Kalimantan Tengah, terutama kota yang mayoritas beretinis Dayak Ngaju. Kontras antara pemakaian dan pemaknaan ragam hias tersebut memerlukan jembatan berupa penelitian ilmiah seni-budaya yang mencoba melacak proses eksistensi ragam hias Batang Garing.
B. Rumusan Masalah Sebagai suatu produk budaya sebuah masyarakat yang akrab dengan alam, besar kemungkinan bahwa ragam hias Batang Garing merupakan hasil hubungan antara alam jasmani (baik lingkungan
alam
maupun
lingkungan
sosial)
dengan
latar
4
belakang alam pikiran masyarakatnya (baik mitos maupun dogma kepercayaan Kaharingan). Ragam hias ini kaya akan unsur alam flora-fauna Kalimantan, dan juga kaya akan konsep sakral dari mitos kosmogoni Dayak Ngaju. Sayangnya, kekayaan budaya tersebut
terancam
kepercayaan
karena
Kaharingan
semakin
sehingga
berkurangnya
dapat
beresiko
pemeluk hilangnya
makna dari simbol-simbol Kaharingan, terutama yang terdapat dalam ragam hias Batang Garing. Berdasar latar belakang yang demikian, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana hubungan alam jasmani dan alam pikiran Dayak Ngaju terhadap ragam hias Batang Garing? 2. Bagaimana
masyarakat
Dayak
Ngaju
masa
kini
memaknai ragam hias Batang Garing?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berangkat dari rumusan masalah di depan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang eksistensi Batang Garing, sehingga dapat merekonstruksi jejaknya hingga menjadi karya seni. 2. Secara khusus, penelitian ini menjadi model pengkajian multidisiplin
terhadap
suatu
objek
seni
tradisi
yang
5
dilatarbelakangi hubungan dialektis antara alam pikiran orang Dayak Ngaju dengan alam jasmaninya. Adapun penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Mendokumentasikan karya seni tradisi masyarakat Dayak Ngaju. Rendahnya pemahaman masyarakat lokal terhadap Batang Garing, baik sebagai Pohon Hayat maupun ragam hias, dapat semakin memperlebar jurang pengetahuan bilamana pendokumentasiannya tidak segera dilaksanakan dengan akurat. 2. Memberikan sumbangan pengetahuan analitis maupun informatif bagi para pemerhati, peneliti, dan seniman yang memilih fokus pada Dayak. 3. Menambah
perbendaharaan
literatur
tentang
kesenian
Kepala
Kantor
Wilayah
Dayak Ngaju di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka Taya
Paembonan,
mantan
Departemen Pendidikan Kebudayaan Kalimantan Tengah, pada tahun 1993 menulis buku berjudul Batang Garing.3 Kendati memakai Batang Garing sebagai judul, buku ini sedikit sekali mengulasnya. Batang Garing di buku ini digunakan sebagai padanan/sinonim dari identitas kultural masyarakat Dayak Ngaju. 3 Taya Paembonan, Batang Garing (Jakarta: Pustaka Jaya, 1993).
6
Informasi mengenai Batang Garing di dalam buku ini diambil dari penjabaran Teras Mihing, Ph.D. tentang pemakaian Batang Garing sebagai lambang Perpustakaan Wilayah Palangka Raya. Inti buku ini terdiri dari dua bagian, yaitu mengenai rekaman peristiwa selama tiga tahun menjabat sebagai Kepala Kantor di Kalimantan Tengah,
dan
mengenai
pengembangan
pendidikan
dan
kebudayaan Kalimantan Tengah. Kris Budiman, seorang pendidik di Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2004 menulis buku berjudul Jejaring Tandatanda: Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan.4 Sesuai dengan judulnya, buku ini mengaplikasikan strukturalisme dan semiotika pada kebudayaan sebagai kritik. Buku ini tidak secara langsung membahas Batang Garing, hanya saja pada bab kedua Budiman membahas mitos penciptaan Dayak Ngaju dengan judul bab “Levi-Strauss di Antara Serpih-serpih Pohon Hayat: Mitos
Penciptaan
Dayak
Ngaju.”
Budiman
memakai
mitos
penciptaan Dayak Ngaju sebagai objek kajian strukturalisme. Hasilnya, Budiman berpendapat bahwa orang Dayak Ngaju dalam kehidupan bermasyarakat memiliki kecenderungan ambivalensi sesuai dengan pemahaman mereka terhadap Ketuhanan yang dualis dalam mitos tersebut. Selebihnya Budiman mengakui 4 Kris Budiman, Jejaring Tanda-tanda: Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Indonesia Tera, 2004).
7
bahwa
kajian
yang
dilakukan
sangat
ringkas
dan
kurang
mendalam. Pengamatan Budiman ini diutamakan pada kajian teks, namun tidak disertai penelitian etnografi dan dikaitkan terhadap unsur kebudayaan lain seperti kesenian. Y. Nathan Ilon, seorang damang (kepala adat) desa Basarang Kabupaten Kapuas, pada tahun 1997 menulis naskah berjudul “Tampung Buhul Warisan Purba” yang oleh pemerintah daerah Kalimantan Tengah diterbitkan dengan judul panjang Belom Bahandat: Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tinggang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah.5 Bagian pertama buku ini secara khusus mengangkat tema Batang Garing dan mitos
kosmogoni
Dayak
Ngaju.
Bagian
kedua
buku
ini
menjabarkan tentang hukum adat hasil Perjanjian Tumbang Anoi 1894. Uraian mengenai Batang Garing tampak dipaksakan agar berkaitan dengan aspek Pancasila. Hal tersebut membuat buku ini lemah secara akademis. Namun, berbagai hal yang dipaparkannya selaku penatua adat mengenai warisan budaya Dayak Ngaju sangat penting untuk dijadikan sumber data. Terdapat juga bagian
5 Y. Nathan Ilon, Belom Bahandat: Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tinggang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah (Palangka Raya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Tengah, 1997).
8
yang menuturkan mitos kosmogoni dalam bentuk fragmen pendek menggunakan bahasa Sangen (bahasa kuno Dayak Ngaju). Hans Scharer adalah seorang misionaris sekaligus etnolog Swiss yang menghabiskan tujuh tahun hidupnya (1932-1939) tinggal bersama masyarakat Dayak Ngaju. Pada tahun 1946 Scharer menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya kepada Universiteit Leiden dengan judul “Die Gottesidee der Ngadju Dajak in
Süd-Borneo”
yang
kemudian
diterbitkan
oleh
Koninklijk
Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde dengan judul Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People.6 Disertasi Scharer ini secara khusus membahas konsep Tuhan menurut kepercayaan Kaharingan (Ngaju Religion).
Dalam buku
ini, ia juga mengangkat mitos kosmogoni dengan pemaparan yang terperinci. Ia juga melampirkan berbagai lukisan Dunia Atas dan Dunia Bawah yang digambar oleh dukun-dukun Kaharingan, serta mencatat
tutur
mitos
kosmogoni
Dayak
Ngaju.
Kelemahan
sekaligus kelebihan karya Scharer ini ialah isinya yang sangat deskriptif dengan sedikit analisis. Oleh karenanya, buku ini sangat baik sebagai sumber data informatif. Perbedaan disertasi Scharer dengan penelitian ini terletak pada objek kajiannya yang lebih sempit dan sifat analitisnya tidak hanya pada konsepsi di balik 6 Hans Scharer, Ngaju Religion The Conception of God Among A South Borneo People (The Hague: Koninklijk Instituut voor Taal-, Landen Volkenkun, Translation Series 6, 1963).
9
Batang Garing, namun juga pada bentuk estetisnya sebagai karya seni. Dari berbagai tinjauan pustaka di atas, ditarik kesimpulan bahwa semua penelitian terdahulu itu belum sampai pada studi yang dilakukan dalam penelitian ini, dan oleh karenanya tema ragam hias Batang Garing ini dapat dipertanggungjawabkan orisinalitasnya.
E. Landasan Teori Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
dengan
berbagai pendekatan seperti pendekatan sosiologis, etnologis, psikologis, dan fenomenologis. Penelitian ini juga melibatkan berbagai teori dari disiplin ilmu seperti estetika, teologi, sastra, dan antropologi. Oleh karenannya, penelitian ini termasuk dalam penelitian multidisiplin. Penelitian ini dilandaskan pada teori mitologi menurut Mircea Eliade dan simbolisme Ernst Cassirer. Objek material penelitian ini adalah sebuah simbol religius yang diterapkan lewat karya seni. Simbol religius berbeda dengan simbol
profan.
Simbol
religius
adalah
simbol
sakral
yang
merupakan ekspresi material dari hal-hal ilahiah yang berada pada realitas transenden, dan dalam penelitian ini realitas transenden itu dipercaya sebagai asal mula manusia Dayak Ngaju.
10
Objek formal utama penelitian ini adalah teori mitologi menurut Mircea Eliade, seorang sejarahwan agama asal Rumania. Eliade menggagas bahwa ekspresi material dari mitos adalah bentuk pengulangan/peniruan oleh manusia terhadap apa yang telah dilakukan Tuhan (supreme being) pertama kali, misalnya penciptaan dunia dan perkawinan suci. Laku penciptaan dunia oleh Tuhan di realitas transenden diejawantahkan manusia di dunia nyata ke dalam bentuk tari-tarian, sementara perkawinan suci ke dalam bentuk ritual pernikahan dengan segala tata aturannya. Oleh karenanya, ekspresi material dari mitos tersebut dikategorikan sebagai simbol religius. Simbol religius, baik bahasa, gambar, suara, maupun gerak, mengalami pengulangan terus menerus dari masa awal hingga masa sekarang. Setiap pengulangan adalah upaya manusia untuk melibatkan diri ke dalam realitas transeden sebagai cara agar menjadi dekat dengan Tuhan sehingga terhindar dari murka-Nya. Konsep yang demikian, oleh Eliade, disebut eternal return (gerak kembali yang abadi).7 Kebanyakan simbol religius memiliki hubungan erat dengan natural symbol karena asosiasinya. Contoh mengenai asosiasi itu dapat dengan mudah ditemui pada setiap kepercayaan. Misalnya: 7 Mircea Eliade, The Myth of the Eternal Return: Cosmos and History (Princeton: Princeton University Press, 2005).
11
domba korban, air penyucian, api neraka, gunung suci, roti ekaristi, atau pun pohon kehidupan. 8 Simbol-simbol itu mewakili hal-hal dari realitas transenden, yang berada di luar dunia nyata namun mengambil materi subjek dari dunia nyata. Objek-objek dari realitas transenden itu, atau dalam istilah Eliade disebut celestial archetype,9 tidak bisa dijangkau tanpa melalui sistem perlambang. Sebagai contoh, orang Dayak Ngaju percaya bahwa roh orang mati yang sudah melalui ritual Pesta Tiwah akan menuju ke Lewu Tatau (kampung kaya raya) di langit ketujuh. Gagasan tentang adanya kehidupan ideal di langit ketujuh itu muncul karena sistem perlambang yang demikian: pertama, di bumi terdapat kehidupan; kedua, karena kehidupan di bumi itu dianggap belum ideal, sehingga orang Dayak Ngaju percaya ada yang lebih ideal; ketiga, karena keidealan itu tidak bisa ditemui di bumi maka mereka yakin pastilah terdapat pada non-bumi, yakni surga. Artinya, surga dan bumi adalah bagian dari sistem perlambang ‘kehidupan ideal di langit ketujuh.’ Tanpa adanya bumi, maka konsep surga tidak akan bisa ada. Dari sinilah pemikiran ‘realitas transenden ada karena adanya realitas indrawi’ diterapkan pada penelitian terhadap ragam
hias
Batang
Garing.
Sesuatu
yang
semula
hanya
8 Raymond Firth, Symbols: Public and Private (New York: Cornell University Press, 1984), 49. 9
Eliade, 2005, 7.
12
merupakan
pohon
biasa
di
hutan
Kalimantan,
kemudian
mengalami pengolahan persepsi lewat penilaian dan pengalaman estetis dan mitis yang sedemikian rupa sehingga menjadi pohon sakral dalam sebuah mitos penciptaan, yang pada kalanya nanti mengalami pengolahan lagi dan diekspresikan menjadi sebuah karya seni. Batang Garing, dengan demikian, merupakan hasil olah estetis masyarakat Dayak Ngaju. Ia adalah wujud jasmaniah dari persepsi masyarakat Dayak Ngaju mengenai keagungan (sublim) dan keindahan. Ia merupakan pictoral representation dari konsep Ketuhanan sekaligus diri orang Dayak Ngaju itu sendiri yang di kurun terdahulu diambil dari pengalaman estetis dan mitis terhadap pohon. Pohon memiliki sejarah yang sangat panjang diawali oleh spesies Silurian, sekitar 400 juta tahun yang lalu.10 Panjangnya sejarah menjadi sebab pohon memiliki banyak hal yang bisa dipelajari oleh manusia. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, pohon memainkan banyak peranan vital dari yang fisik hingga metafisik. Pohon dimanfaatkan buahnya serta kayunya oleh manusia. Di sisi lain, pohon menimbulkan gagasan retrospektif tentang jagad kecil dan 10 Peter Thomas, Trees: Their Cambridge University Press, 2001), 3.
Natural
History
(Cambridge:
13
jagad besar dalam alam pikiran manusia yang terus mencari jawaban tentang bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang lain;
bagaimana
dunia
yang
kosong
menjadi
berpenghuni;
bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur; bagaimana dengan yang tidak dapat mati; bagaimana manusia yang semula hanya sepasang menjadi beraneka ragam suku dan bangsa.11 Maka, dibutuhkanlah mitos sebagai jawabannya. Mitos berasal dari kata Yunani kunos mûthos, yang secara harafiah diartikan sebagai perkataan, ucapan, pidato, atau pengisahan.12 Bronislaw Malinowski mengartikannya lebih luas dengan membedakan pengertian mitos dari dongeng dan legenda. Legenda adalah cerita yang diyakini seolah-olah adalah kenyataan sejarah. Si pencerita menggunakan legenda untuk mendukung ritus-ritus
yang
dipercaya
oleh
komunitasnya.
Sebaliknya,
dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus, dan tidak dipercaya sungguh-sungguh. Mitos merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif.13 11 Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, terj. Kelompok Studi Agama Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 149. Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), 261. 12
13
Dhavamony, 147.
14
Mitos
berbeda
dengan
kisah-kisah
lainnya
karena
kelekatannya dengan sifat religius manusia. Eliade menjelaskan bahwa mitos merupakan salah satu dari tiga bentuk ekspresi religius manusia, yang berupa: (1) ucapan sakral (sacred speech), (2) laku sakral (sacred acts), dan (3) tempat/objek sakral (sacred places/object). Mitos ialah bagian dari ucapan sakral yang kehadirannya selalu berdampingan dengan laku sakral (upacara ritual) dan tempat/objek sakral (simbol).14 Sifat sakralnya, yang membedakan mitos dari cerita lain, memisahkannya Durkheim, keterpisahan
dari
seorang sakral
jangkauan sosiolog dan
penalaran
Perancis,
profan
adalah
profan.
menjelaskan penting
di
Emile bahwa dalam
kehidupan religius. Menurutnya, sesuatu yang sakral ialah segala hal yang terlarang, dilindungi, dan dipisahkan, sedangkan sesuatu yang profan ialah segala sesuatu yang pada praktiknya terlarang dan harus dipisahkan dari yang profan.15 Mitos tidak hanya menceritakan terciptanya dunia ini, tetapi juga peristiwa-peristiwa primordial yang menyebabkan manusia menemukan dirinya ada seperti yang ia temukan sekarang ini: bisa mati, bekerja keras untuk makan, beranak pinak, tersusun dalam suatu struktur masyarakat, memiliki seperangkat norma, 14 Eliade (ed.), Vol. 9, 262. Emile Durkheim, Les Formes Élémentaires de La Vie Religieuse (Paris: Librairie Félix Alcan, 1912), 56. 15
15
dan berbeda-beda suku bangsa serta bahasa. Mitos memiliki peran yang amat besar dalam pembentukan cara berpikir masyarakat di masanya hingga ratusan tahun berikutnya sampai mitos berubah menjadi logos, ilmu pengetahuan yang sekarang.16 Menurut Eliade,17 seperti yang sudah dijelaskan di atas, segala tindakan ritus yang dilakukan oleh masyarakat primitif adalah sebuah pengulangan kosmogonik. Masyarakat primitif percaya bahwa ‘bangunan’ yang paling sempurna adalah alam semesta, dan dengan demikian ‘proses pembangunan’ paling sempurna adalah penciptaan alam semesta. Guna meneguhkan realitas
dan
pengabadian
konstruksi,
maka
diadakanlah
pengulangan aksi ilahiah tentang konstruksi yang sempurna itu. Tindakan
ritus,
pengulangan
seperti
kegiatan
tarian ilahi
sakral
oleh
misalnya,
manusia
merupakan
sebagai
validasi
kebenaran realitas apa yang mereka percaya, dan kesemuanya itu pasti diawali oleh sebuah tindakan penciptaan. Eliade menekankan,
18
jika tindakan penciptaan adalah
tindakan membuat sesuatu dari ‘yang tidak berwujud’ menuju ‘berwujud’, jika penciptaan berlangsung dari pusat, dan jika segala
16 C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1976), 55-56. 17
Eliade, 2005, 20.
18
Eliade, 2005,18.
16
sesuatu yang ‘ada’ dapat mencapai eksistensinya hanya pada wilayah suci (surga), maka: 1. Setiap ciptaan akan mengulangi aksi kosmogonis yang lebih tinggi (pre-eminent), yaitu penciptaan dunia. 2. Sehingga apapun yang dibuat oleh si ciptaan, fondasinya berada di pusat dunia (karena, seperti yang diketahui, bahwa penciptaan itu sendiri berlangsung dari pusat). Masyarakat primitif berupaya sebisa mungkin mengulangi apa yang telah dilakukan supreme being di permulaan waktu karena banyak alasan, misalnya agar tidak terjadi bencana, atau agar ladang mereka subur di musim panen berikutnya. Konsep peniruan/pengulangan kembali tersebut adalah salah satu dasar argumentasi Eliade yang disebut eternal return. Konsep eternal return sedikit banyak didasari oleh kesadaran kuno tentang ‘menuju kesempurnaan’, tentang ‘menjadi kudus’, seperti yang diungkapkan Plato dalam Theaetetus, “to become as like as possible to God,” atau dalam kalimat St. Thomas Aquinas, “haec hominis est perfectio, similitudo Dei (manusia berupaya menjadi sempurna, seperti Tuhannya).”19 Dari pemahaman yang demikian, masyarakat kuno percaya bahwa model dari segala sesuatu di dalam sosial mereka (institusi, norma, ritual, hukum) telah diturunkan sejak permulaan waktu, 19 Eliade, 2005, 32.
17
yang
berakibat
semuanya
itu
dianggap
berasal
dari
yang
superhuman dan transendental.20 Oleh karenanya, “karya seni manusia merupakan tiruan karya seni ilahi” menjadi leitmotif estetika kuno, bahwa keadaan yang indah itu sendiri (eudaimonia) merupakan imitasi atas kondisi ilahi.21 Suatu karya seni sudah pasti ekspresif, akan tetapi seni tidak mungkin menjadi ekspresif tanpa bersifat formatif. Secara tradisional,
keindahan
bukanlah
satu-satunya
tujuan
seni.
Bahkan dalam kenyataannya, keindahan hanya merupakan sifat sekunder dan turunan. Seni telah bersifat formatif, jauh sebelum ia indah.22 Menurut Ernst Cassirer,23 hampir semua teori estetika dapat menerima pandangan bahwa keindahan bukanlah sifat bawaan benda-benda, melainkan merupakan akibat relasinya dengan kesadaran
manusia.
Keindahan
tidak
dapat
semata-mata
dirumuskan berdasarkan kenyataan bahwa keindahan itu percipi, dicerap. Keindahan haruslah didefinisikan berdasarkan aktivitas kesadaran
manusia.
Rasa
keindahan
merupakan
kepekaan
terhadap dinamika bentuk, dan dinamika bentuk itu tidak dapat
20 Eliade, 2005, xxviii. 21
Eliade, 2005, 32.
22
r 217.
23
Cassirer, 228-229.
18
ditangkap kecuali bila berhubungan dengan proses dinamis dalam diri manusia (kesadaran) sebagai subjek pencerap keindahan. Kendati demikian, keindahan – dalam hal ini karya seni – tidak begitu saja menjadi bersifat subjektif. Seni berhak memberi pandangan yang ganjil dan gila, sambil tetap mempertahankan rasionalitasnya sendiri, yakni rasionalitas bentuk.24 Ini berarti keindahan karya seni bersandar pada kesadaran manusia dengan batasan rasionalitas bentuk. Berangkat dari pemahaman itu, Cassirer memandang bahwa suatu karya seni tidak bisa bebas dari kesadaran persepsi manusia, baik sebagai pencerap maupun sebagai pencipta. Dengan demikian, seni sudah pasti selalu berkaitan erat dengan simbolisme. Menurut Cassirer,25
simbolisme seni harus dimengerti
sebagai simbolisme imanen, bukan simbolisme transenden. Dalam proses penciptaan seni, ini berarti seni bukan lagi sekadar imitasi dari realitas. Dalam pencerapan seni, ini berarti seni bukan saja transfer
konsep
dari
penyingkapan realitas.26
24 Cassirer, 254. 25
Cassirer, 239.
26
Cassirer, 216.
tranformasi
realitas.
Seni
adalah
19
Seni berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari bahasa dan ilmu pengetahuan. Bahasa dan ilmu pengetahuan berada pada tataran “penyingkatan” realitas. Sementara seni adalah intensifikasi “pendalaman” realitas.27 Seni bukanlah tiruan atau jiplakan, melainkan manifestasi autentik dari kehidupan batin.28 Simbolisme dengan demikian menjadi landasan dasar dari pandangan Cassirer terhadap estetika. Susanne K. Langer,
29
sebagai penerus pandangan Cassirer, membedakan simbol ke dalam dua bentuk varian menurut resepsinya, yaitu (1) simbol diskursif, yakni simbol yang tidak bersambungan, dan (2) simbol presentasional, yakni simbol penghadir. Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya menggunakan nalar (intelek). Bahasa adalah satu-satunya simbol diskursif. Sebaliknya, simbol presentasional lebih membutuhkan perasaan daripada nalar. Simbol presentasional dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang utuh, yang berbicara langsung kepada indra manusia. Simbol seperti ini dapat dijumpai dalam kreasi seni manusia.30 Simbol seni (ekspresi yang berbentuk) merupakan simbol dalam pengertian yang khusus karena perumusannya 27 Cassirer, 217. 28
Cassirer, 225.
29
Susanne Knauth Langer, Philosophy in A New Key (New York: New American Library of World Literature, 1976), 97. 30
Langer, 1976, 96.
20
bukan terletak pada maksud yang dikandungnya, melainkan pada pemaknaannya.31 Berlandaskan teori-teori di atas, maka ragam hias Batang Garing dipandang sebagai suatu karya seni sekaligus simbol religius
yang
merepresentasikan
berbagai
hal
dari
realitas
transendental. Objek-objek realitas transenden itu diyakini berada pada satu sistem perlambang dengan realitas duniawi masyarakat Dayak Ngaju. Sebagai representasi
simbol, dari
ragam
realitas
hias
transenden
Batang dan
Garing
adalah
duniawi.
Dengan
demikian, ragam hias tersebut mewakili konsep yang luas dan rumit.
F. Metode Penelitian Sesuai dengan konteks permasalahannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan multidisiplin. Menurut Sartono Kartodirjo, pendekatan multidisiplin adalah pendekatan berbagai ilmu, baik ilmu sosial, politik, ekonomi, maupun seni budaya.32 R.M. Soedarsono menegaskan bahwa
31 Susanne Knauth Langer, Problem of Arts: Ten Philosophical Lectures. Edition 6 (New York: Charles Scribner Sons, 1957), 134. Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), 51. 32
21
pendekatan multidisiplin dalam penelitian seni rupa bukan saja sangat dimungkinkan, bahkan dianjurkan.33
1. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Menurut R.M. Soedarsono, apabila langkah awal telah dilakukan, yang berarti seorang peneliti telah menemukan topik penelitian
yang
orisinal,
peneliti
perlu
melakukan
langkah
berikutnya, yaitu membatasi topik tersebut.34 Suku Dayak Ngaju berasal dari satu ras yang sama dengan suku Dayak Ot Danum, bahkan semua suku Dayak diperkirakan berasal dari nenek moyang Dayak Ot Danum.35 Antara Dayak Ngaju dan Ot Danum terdapat persamaan dalam beberapa unsur kebudayaan, prinsip keturunan yang ambilinial, peralatan perang, bahasa kuno, serta kepercayaan.36 Karakter kosmologi yang hampir serupa, dalam pembagian Dunia Atas Dunia Bawah beserta dewa-dewa penguasanya, juga ditemui kemiripannya
33 R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: MSPI, 2001), 194. 34
Soedarsono, 127.
Sejarah Daerah Kalimantan Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), 15. 35
Nila Riwut (ed.), Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (Palangka Raya: Pusaka Lima, 2003),19. 36
22
antara Dayak Ngaju dengan Dayak Ot Danum dan Dayak Manyaan.37 Berdasarkan adanya kesamaan asal, kepercayaan, dan bahasa kuno tersebut, tidak menutup kemungkinan wujud Batang Garing juga dijumpai di suku-suku Dayak lain selain Dayak Ngaju. Perlu diketahui bahwa suku Dayak terbagi menjadi tujuh suku besar dan terbagi lagi menjadi 405 suku kecil. Tujuh suku besar tersebut yaitu Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban, Dayak Klemantan, Dayak Murut, Dayak Punan, dan Dayak Ot Danum.38 Penelitian ini hanya difokuskan pada Batang Garing yang terdapat pada Dayak Ngaju dalam geografis Provinsi Kalimantan Tengah. Dikarenakan banyaknya jumlah sub-suku turunan Dayak Ngaju (90 suku kekeluargaan) yang berbeda-beda intensitas kontak dengan dunia luarnya, tentu saja sulit untuk diharapkan bahwa adat istiadat mereka tetap terpelihara dan menunjukkan homogenitas yang tinggi. Oleh karenanya cakupan penelitian ini tidak dilakukan menyeluruh ke seluruh wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah, melainkan di Kota Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, dan untuk mendukung validasi kesimpulan penelitian, maka pengumpulan data juga dilakukan di 37 H. G. Quaritch Wales, "The Cosmological Aspect of Indonesian Religion", Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, Cambridge University Press, No. 3/4 (Oct., 1959), 101. 38
Nila Riwut (ed.), 63.
23
tiga ibukota kabupaten dari 13 kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah. Tiga kota tersebut ialah Kuala Kapuas, ibukota
kabupaten
Kapuas;
Kasongan,
ibukota
Kabupaten
Katingan; dan Pulang Pisau, ibukota Kabupaten Pulang Pisau.
2. Sumber Data Sumber data penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
sumber
dikategorikan
pustaka sebagai
dan sumber
data
lapangan.
pustaka
ialah
Sumber
yang
literatur
yang
mendokumentasikan sastra lisan mitos kosmogoni Dayak Ngaju yang melibatkan deksripsi Batang Garing di dalamnya. Sumbersumber pustaka tersebut, diurutkan menurut tahun terbit, antara lain sebagai berikut. a. Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People karya Hans Scharer terbitan Koninklijk Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde, 1963. b. Buku Panaturan, kitab suci Hindu Kaharingan yang memuat teks suci tentang penciptaan alam semesta. Terbitan
tahun
1996
oleh
Lembaga
Pengembangan
Tandak dan Upacara Keagamaan Umat Kaharingan Provinsi Kalimantan Tengah.
24
c. Belom
Bahandat
Departemen
karya
Pendidikan
Y.
Nathan
dan
Ilon
terbitan
Kebudayaan
Propinsi
Kalimantan Tengah, 1997. d. Maneser Panatau Tatu Hiang, buku yang disunting oleh Nila Riwut mengenai adat istiadat dan budaya bangsa Dayak merupakan hasil pengayaan dari catatan etnografi Tjilik
Riwut
dari
bukunya
Kalimantan
Memanggil,
Kalimantan Membangun. Diterbitkan pertama kali oleh Pusaka Lima dengan dukungan Jaringan Pusat Informasi Kalimantan dan Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2003. e. Sejarah Kalimantan Tengah, buku yang diterbitkan pada tahun
2006
atas
kerjasama
Lembaga
Penelitian
Universitas Palangka Raya dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Sumber
berikutnya
ialah
sumber
yang
didapat
dari
pengumpulan data lapangan (November 2013 – Februari 2014). Data tersebut berupa: (1) dokumentasi foto segala sesuatu yang berkaitan dengan Batang Garing di Palangka Raya dan di tiga kota lainnya;
(2)
wawancara
masyarakat
Dayak
masyarakat Kaharingan, serta stakeholders terkait.
Ngaju,
tokoh
25
3. Teknik Pengumpulan Data Data yang berupa sumber pustaka dikumpulkan dengan metode kepustakaan guna melacak segala hal yang memiliki kaitan dengan Batang Garing dan juga masyarakat Dayak Ngaju sebagai produsennya. Selain sumber pustaka utama, data literatur berupa catatan etnografi, peer reviewed publication, penelitian, buku, serta jurnal yang dikumpulkan dari berbagai perpustakaan di Yogyakarta, Jakarta, dan Kalimantan Tengah. Data lapangan berupa dokumentasi foto dihimpun melalui pengamatan
terhadap
setiap
bangunan
rumah,
pertokoan,
maupun perkantoran yang terdapat di ibukota provinsi serta tiga ibukota kabupaten yang memakai ragam hias Batang Garing. Data lapangan berupa wawancara dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara ini ditujukan kepada masyarakat Dayak Ngaju untuk memperoleh data mengenai pandangan mereka tentang Batang Garing secara spesifik. Data yang diperoleh dari wawancara ialah pendapat mengenai mereka peran Batang Garing di mata masyarakat Dayak Ngaju masa kini.
4. Analisis Data Sebagaimana kebanyakan penelitian kualitatif dikerjakan, analisis data dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian
26
data dan penarikan kesimpulan.39 Data yang telah dikumpulkan berupa foto-foto ragam hias Batang Garing
yang terdapat pada
Kota Palangka Raya, Kota Kasongan, Kota Kuala Kapuas, dan Kota Pulang Pisau. Selain itu juga terdapat data wawancara beberapa tokoh
masyarakat
masyarakat
mengenai
Dayak
Ngaju
makna
masa
Batang
kini.
Data
Garing
bagi
yang
telah
dikumpulkan, direduksi dan disaji, mulai dari sumber pustaka utama,
rekaman
wawancara,
hingga
foto-foto
dokumentasi
selanjutnya dianalisis secara kualitatif berlandaskan teori-teori yang telah dipaparkan di depan dalam bentuk susunan narasi yang diperluas agar mendapatkan penggambaran yang jelas dari hasil penelitian.
G. Sistematika Penyajian Untuk memberikan gambaran utuh, penelitian ini disajikan dalam sistematika penyajian seperti berikut. Bab I merupakan pengantar penelitian yang memuat latar belakang ketertarikan meneliti Batang Garing, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori serta metodologi penelitian.
39 Matthew B. Milles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjejep Rohendi Rohidi (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009), 15-21.
27
Bab II mengulas keadaan sosio-historis masyarakat Dayak Ngaju yang melahirkan Batang Garing sebagai produk budaya mereka. Bab ini juga memuat mitos kosmogoni Dayak Ngaju dan peranan Batang Garing dalam mitos itu. Bab III membahas Batang Garing secara holistik, yakni pertama mengulas Batang Garing sebagai pohon hingga menjadi flora mistis. Kedua mengulas Batang Garing sebagai ragam hias dengan merinci setiap unsur pembentuknya. Ketiga melihat ragam hias Batang Garing sebagai simbol identitas masyarakat Dayak Ngaju. Penelitian ini ditutup dengan Bab IV yang menyimpulkan keseluruhan pembahasan dari rumusan masalah disertai dengan saran dari peneliti.