BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Di kalangan masyarakat karawitan Sunda umum, lagu gedé
dikenal sebagai sebuah genre lagu diantara genre lagu-lagu Sunda lainnya, seperti: lagu degung; wanda anyar; pantun; tembang; lagu jalan; sekar tengahan; sekar alit; atau lagu-lagu yang lain. Lagu ini kerap disamakan, atau disebut dengan sebutan lain, sebagai lagu gamelan, sekar ageung, lagu ageung, lalamba, lagu
klasik.
Umumnya
lagu buhun atau
penyebutan-penyebutan
demikian
dikaitkan dengan sesuatu objek lagu berdimensi ukuran, sifat maupun ciri yang menyertainya, atau periode waktunya. Bentuk dan struktur lagu ini mandiri dibanding dengan bentuk dan struktur jenis lagu/karawitan Sunda lain, seperti gurudugan, kering, sawilet, dua wilet, atau opat wilet.1 Peran, proses, interaksi, dan kompleksitas garapnya diantara masing-masing pendukung pun khusus. Demikian pula dimensi waktunya, lagu ini tidak sekedar dianggap sebagai teks musik dengan ciri tempo yang lambat, dari aspek konteksnya kadang dihubungkan dengan kurun waktu tertentu yang menghubungkan lagu ini sebagai lagu
1
Pandi Upandi, Gamelan Saléndro, Gending dan Kawih Kepesindénan Lagu-lagu Jalan (Bandung: Lubuk Agung, 2011), 38-42.
1
2
yang berakar dari tradisi kakawihan Sunda dan mengalami kesinambungan dan perubahan hingga sekarang. Perkembangan kesejarahan lagu gedé ini sebetulnya belum ditemnkan jejak sejarah secara khusus dan belum ada,2 namun bila diamati dari fakta musikal tentunya tidak dapat dipisahkan dari proses akulturasi budaya Sunda dan Jawa yang dialami oleh masyarakat Sunda, termasuk proses maupun pasca mataram di tatar Sunda, tanpa menafikkan kecerdasan lokalnya sebagai orang Sunda. Jejak-jejak penanda rembesan budaya Jawa tersebut masih tersimpan dalam produk-produk seperti gamelan, bahasa syair, atau pun kemiripan ukuran bentuk gending dan sebagian unsur garapnya. Namun dengan kecerdasan lokal yang dimiliki, gejala rembesan budaya Jawa ini tidak diterima secara mentah tetapi disikapi secara adaptif dan kreatif dengan mempertahankan citra estetika lokal karawitan Sunda, sehingga rasa dan gaya ungkapnya pun jadi lain dari rasa dan gaya ungkap karawitan Jawa.3 Dibanding dengan lagu alit atau lagu jalan, kehadiran lagu gedé menampilkan dimensi karawitan yang tidak sederhana. Tidak
2.
Kesejarahan lagu gedé dalam karawitan Sunda ini menarik tentunya untuk dikaji secara khusus, salah satu tema sebagai rintisan sejarah karawitan Sunda, sekaligus disiplin karawitanologi. 3 Mengenai pengaruh Jawa di tatar Sunda, dapat terlihat dari aspek bahasa, adat-istiadat, arsitektur, karawitan, dan tari. Periksa Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa Ke Masa (Bandung: P4ST UPI, 2003), 10-13; Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998).
3
sekedar lagu yang dapat digurit (dicipta) atau dinyanyikan dengan gampang tetapi dibutuhkan kepekaan dan kemahiran dari orang yang akan mencipta atau menyajikannya. Di dalam lagu ini, mutu kesenimanan
(seperti:
teknik,
gaya,
dan
ornamentasi)
pencipta dan penyaji dapat dicirikan dan diuji.
dari
Demikian pula
bagi seniman, akademisi, dan apresian yang terlatih, kreativitas garap lagu gedé dalam karawitan Sunda merupakan barometer untuk menilai kualitas kesenimanan pencipta, sindén, dan wiyaga (pemain gamelan)-nya. Kecerdasan, kecakapan, dan ketrampilan musikalitas seniman dapat diamati dan dinilai dari kemampuan mereka menggurit dan menggarap lagu ini, apakah seniman tersebut tergolong seniman mahir atau tidak. Pada
sisi
pencipta
lagu,
dunia
kreatif
pengguritan
(pembuatan/penciptaan) lagu gedé diakui oleh sebagian penggurit lagu sebagai sebuah dunia pengguritan yang sulit dan langka. Kesulitan tidak sebatas terjadi pada penguasaan dan penafsiran atas titi laras, bentuk dan garap lagu, atau kesesuaian antara syair dan sanggian (musikalitas) lagunya.4 Pengguritan lagu gedé tidak cukup dikuasai hanya dengan penguasaan ilmu komposisi musik, tetapi lebih dari itu adalah keterlatihan dan jam terbang pengalaman menguasai lagu-lagu gedé.5
Pada dekade 1980-an
4 Aton Rustandi Mulyana, “Gurit Lagu Kawih Sunda,” Tesis untuk mencapai derajat S-2 di Institut Seni Indonesia (ISI) (Surakarta. 2005). 5 Asep Solihin, wawancara, 16 Januari 2010.
4
pengguritan lagu gedé merupakan sesuatu yang langka. Selain Eutik Muhtar,6 tidak banyak penggurit yang menggurit lagu ini. Selain dianggap sulit, alasan lain adalah lagu ini dianggap tidak diminati oleh selera pasar industri musik. Lagu gedé dianggap lagu yang berciri lama, lambat, dan iramanya kurang dinamis, dan ‘membosankan.’
Penggurit lebih tertarik menggurit lagu-lagu
di
luar lagu gedé. Akhirnya, lagu gedé lebih banyak ditampilkan ulang daripada digurit baru. Pada sisi penyaji, lagu gedé
seperti sindén, perannya membawakan
diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu seperti:
memiliki modal vokal bagus, menguasai perbendaharaan lagu, menguasai laras, menguasai gending, memiliki ketrampilan tafsir garap lagu dan mampu memberi
sénggol-sénggol unik, karena
lagu gedé banyak memberikan peluang sindén untuk mengolah rasa musikal dari lagu tersebut. Keberhasilan sindén memadukan syarat-syarat tersebut tidak jarang akhirnya memunculkan suatu ciri kesatuan yang luluh antara sindén dengan lagu yang ia bawakan. Sindén akhirnya dikenal dengan predikat lagu kostimnya atau lagu yang menjadi ciri andalannya.
Demikian pula
untuk peran wiyaga/pangrawit (tukang rebab, tukang kendang, dan
pemain
masing-masing
waditra
gamelan),
diperlukan
6 Pandi Upandi, “Kawih Kepesindénan Karya Eutik Muhtar Kajian Struktur dan Fungsi.” Tesis untu mencapai derajat S-2 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. 2004.
5
keterampilan yang mahir, antara lain: menguasai perbendaharaan bentuk gending dan garap gending, memiliki kepekaan musikal (titi laras), dan kemampuan menafsirkan garap gending. Prasyarat-prasyarat berhubungan
dengan
musikal jenis
tersebut
pertunjukannya.
tentu
saja
Seiring
awal
perkembangan wayang golék purwa di tatar Sunda pada abad ke19, lagu gedé dikabarkan telah hadir sebagai bagian dari repertoar pertunjukan wayang. Digunakan untuk berbagai kepentingan garap, seperti: penyajian murwa dalang; mengiringi tarian tokoh wayang; atau mengisi jeda pertunjukan. Pada penyajian murwa dalang, lagu gedé disajikan sebagai latar musikal yang menyertai nyanyian naratif dalang. Lagu ini tampil khusus pada adegan penggambaran awal sebuah lakon yang akan dipertunjukkan. Kadang dalam penyajian murwa ini, bagian frasa musik lagu gedé dinyanyikan pula oleh dalang, selain oleh sindén. Lagu penampilan dimunculkan
gedé
dapat
khusus oleh
juga
digunakan
tokoh-tokoh dalang.
untuk
wayang
Kehadiran
mengiringi
tertentu
tokoh-tokoh
yang wayang
tertentu, di dalam lakon yang dipertunjukkan, digarap khusus seperti halnya sebuah garap tari dan tidak sekedar tampilan untuk mengiringi keluar atau masuknya tokoh. Bahkan, karena kekhususan inilah, kesesuaian dan kesatuan antara lagu gedé
6
dengan tarian tokoh wayang tertentu menjadi inspirasi bagi pelahiran genre baru tari Sunda, yaitu tari wayang.7 Selain untuk murwa dalang dan mengiringi tarian tokoh wayang, lagu gedé kerap disajikan sebagai selingan di antara pertunjukan. Lagu ini kerap ditampilkan pada jeda pergantian babak cerita, untuk mengisi ruang kosong dari alur cerita yang belum tuntas, atau untuk mengalihkan sementara dari suasana lakon ke suasana musik sebagai sebuah hiburan bagi penonton. Di awal abad ke-20, penggunaan lagu gedé semakin meluas setelah
kiliningan
(sajian
khusus
lagu-lagu
gamelan)
pun
diapresiasi oleh masyarakat. Di dalam pertunjukan kiliningan, lagu ini digunakan sebagai urutan awal, sebelum dilanjutkan kepada lagu jalan/sékar tengahan/sékar alit. Garap lagu gedé pada penyajian kiliningan merupakan sajian utuh musik dan tidak berkait dengan kepentingan lakon atau tari. Ini adalah jenis hiburan menikmati musik secara khusus. Kesatuan antara nyanyian dan iringan menjadi faktor utama pertunjukannya. Posisi pemusik menjadi istimewa sebagai figur utama pertunjukan. Sindén, tukang rébab, juru alok, dan/atau tukang gambang, menjadi pemeran penting sebagai penggarap melodi lagu. Tukang kéndang menjadi penentu garap irama lagu. Sementara panabeuh (penabuh) gamelan yang lain, seperti panabeuh-panabeuh: bonang, 7 Di dalam khasanah tari Sunda, tari wayang merupakan jenis tari yang berbeda dengan tari keurseus, tari rakyat, dan tari topeng,
7
saron, demung, peking, kenong, dan goong, menjadi penopang utama garap iringannya. Penyajian lagu ini memiliki pola tertentu. Penyajian lagu diawali dengan bubuka (pembukaan, sebagai pengantar
awal),
lagu
utama,
Pangjadi,
lagu
utama
dan
dilanjutkan dengan lagu lain. Selain itu, penyajian lagu ini menjadi ajang interaksi antara seniman dan penonton. Penonton biasanya berperan serta mengatur lagu-lagu yang dipertunjukkan. Mereka dapat meminta sinden membawakan lagu-lagu gedé yang menjadi lagu kesukaan penonton. Cara ini dapat dilakukan dengan menyampaikan langsung secara verbal atau melalui surat yang disertai uang sebagai imbalan untuk jasa sindén.8 Era sekitar tahun 1950-an sampai dengan tahun 1980-an dapat
dikatakan
merupakan
masa
populernya
lagu
gedé.
Popularitasnya tidak hanya terjadi di dunia pertunjukan dan pendidikan tetapi juga merambah pada dunia rekaman. Namun setelah
tahun
terpinggirkan
1980-an,
oleh
keberadaan
munculnya
lagu
gedé
kesenian-kesenian
semakin
baru
yang
populer seperti: jaipongan, dégung kreasi, dan pop Sunda. Kecuali 8 Pada tahun 1970-an, seiring dengan trend pesawat pembom Amerika U2, di Subang pernah terjadi cara meminta lagu melalui surat ini dilakukan dengan cara menggunakan kapal-kapalan (sejenis pesawat mainan) yang dibentangkan dengan tali dari arah penonton menuju panggung. Surat permintaan lagu dan uang jasa ini dikaitkan pada kapal-kapalan dan dilemparkan ke arah panggung. Ketika sampai di panggung surat dan uang ini akan jatuh melayang ke arah seniman.
8
di dalam proses pembelajaran di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dan Sekolah Menengah Kejuruan Nasional (SMKN) 10 Bandung,9 penyajian kesenian kiliningan yang merupakan satu wahana pertunjukan utama lagu-lagu gedé kepada masyarakat sudah tidak dipertunjukkan lagi, karena sudah tergantikan oleh jaipongan, degung kreasi, pop Sunda, dangdut atau organ tunggal. Satu pertunjukan khalayak yang masih mempertahankan lagu gedé hanya pada pertunjukan wayang golék, tetapi tidak dapat dipungkiri gejala penurunan kekerapan pentasnya pun dialami. Pada pertunjukan wayang golék yang masih bertahan, lagu gedé masih digunakan sebagai bagian dari murwa dalang atau pengisi selingan. Dari dalang-dalang yang masih bertahan sampai sekarang, dalang yang dominan menggarap murwa dengan lagu gedé, yaitu hanya dalang Dede Amung. Namun sebagai selingan, kehadiran dan penyajian lagu gedé pun akan sangat bergantung pada kehendak sindén atau penonton. Kadang sinden tidak lagi membawakan lagu-lagu gedé, melainkan menampilkan lagu-lagu baru dari kesenian-kesenian yang sedang populer saat itu.
Ironisnya, situasi penyajian lagu-lagu ini tidak lagi sesuai
dengan
penyajian lagu
aslinya,
melainkan
berganti
dengan
penyajian saweran. Syair-syair lagu asli banyak diubah dan digantikan
dengan
sejumlah
sebutan
nama-nama
penonton
9 Dulu namanya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Bandung.
9
lengkap dengan rayuan/bujukan untuk memberi saweran. Lebih parah lagi, waktu sajian utama wayang pun terkurangkan dan teralihkan oleh selingan lagu-lagu ini. Pada sisi lain, pemahaman masyarakat karawitan terhadap lagu gedé masih terbatas. Tidak banyak orang Sunda sekarang yang mengetahui mengenai lagu gedé secara jelas dan mendalam. Di kalangan praktisi pun, terutama seperti seniman-seniman muda sekarang lagu gedé seperti sesuatu yang asing. Situasi ini dapat dirasakan lebih jelas pada sinden-sinden muda yang bermunculan sekarang. Dunia pelatihan dan pembelajaran lewat panggung tidak memberi ruang bagi mereka mengalami lagu ini secara
langsung.
Kalaupun
ada
permintaan
lagu
gedé
ditampilkan, sindén-sindén yunior ini umumnya menolak untuk menyanyikannya dan lebih menyerahkan tugas tersebut kepada sindén yang dianggap senior. Apabila dihubungkan dengan kualitas lagu gedé dan kualitas kepesindénannya, tentu saja sikap dan reaksi dari sindén-sindén muda ini bertentangan. Dalam arti lagu yang pernah dianggap dapat menguji atau menentukan kualitas musikal ini jadi terabaikan, atau justru menunjukkan adanya suatu perubahan orientasi karawitan Sunda baru tanpa mengacu pada mutu lagu gedé. Di kalangan akademisi pun lagu gedé jarang dikaji sebagai sebuah persoalan keilmuan. Kalaupun ada, perbincangan lebih
10
bersifat obrolan selintas. Pengamatan atau pengalaman yang dimiliki belum dijadikan sebuah kegiatan yang serius. Selama ini belum
pernah
ada
upaya
penelitian
mendalam
mengenai
keberadaan lagu gedé ini, baik menyangkut tekstualitas maupun kontekstualitasnya. Demikian pula,
keterangan mendalam dan
lengkap mengenai lagu ini belum banyak diungkap. Penelitian dan penulisan terfokus atas lagu ini belum banyak dilakukan. Kalaupun ada, keterangan yang ditulis masih parsial dan tidak utuh.
Setidaknya
keterangan
yang
bersifat
demikian
dapat
ditelusuri dari hasil tulisan Jaap Kunst,10 Rd. Machyar Angga Kusumahdinata,11 Atik Sopandi,12 Simon Cook,13 hingga Mariko Sasaki.14 Dengan
demikian
nyaris
kehadiran
lagu
gedé
pada
kehidupan karawitan Sunda sangat langka. Kelangkaan ini tidak hanya terjadi di dunia pemanggungan tetapi, seperti yang telah disebut di muka, kelangkaan terjadi pula di dunia penciptaan, maupun di dalam kajian. Kelangkaan ini semakin meminggirkan posisi lagu gedé di dalam ranah kehidupan karawitan Sunda. Bagi 10
Jaap Kunst, Music in Java (The Hague: Nijhoff, 1973). Machyar Angga Koesoemahdinata, Ilmu Seni Raras (Jakarta: Pradinja Paramita, 1969). 12 Atik Sopandi, Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat (Bandung: Pelita Masa, 1977). 13 Simon Cook, A Guide to Sundanese Music. A Practical Introduction to Gamelan Salendro/Pelog, Degung, Panamb ih Tembang Sunda (Bandung: t.p., 1992). 14 Mariko Sasaki, Laras Pada Karawitan Sunda (Bandung: P4ST UPI, 2007). 11
11
pihak yang mengerti mutu karawitan Sunda sudah pasti gejala keterpinggiraan lagu gedé ini memprihatinkan. Kekayaan dan potensi musikalitas lagu gedé bisa jadi hanya tinggal kenangan atau sebagai sebuah produk sejarah yang pernah ada akan tetapi menuju kepada ketiadaan.
Dengan ketiadaan lagu gedé,
mutu
garap kesenimanan sindén dan pangrawit (penabuh gamelan) dapat menjadi sedikit terbatas. Satu misal, peluang hadirnya sénggol-sénggol (ornamen-ornamen musik atau cengkok-cengkok) yang biasa terdapat pada lagu gedé menjadi agak terbatas apabila ditampilkan di dalam lagu yang bukan lagu gedé. Demikian pula jalinan interaksi kemampuan musikal di antara pemeran garap (seperti
vokal,
rébab,
gambang,
dan
kéndang)
mengalami
keterbatasan serupa. Untungnya, keberadaan lagu gedé belum menghilang atau punah secara total. Lagu gedé, selain melalui pertunjukan wayang, ternyata masih dapat didengarkan melalui kaset-kaset tape dari produser atau toko kaset yang melakukan kopi ulang sepihak dan terbatas. Disebut sepihak karena ijin pengkopian tidak lagi melibatkan pihak seniman yang direkam dan proses perekaman dulu bersifat ‘jual-putus’. Disebut terbatas karena pengkopian tidak dilakukan dalam jumlah produksi massal, melainkan dilakukan dalam jumlah tertentu, sesuai pesanan atau prediksi atas peminat lagu. Di lingkungan pendidikan seni, lagu ini masih
12
diajarkan kepada siswa atau pun mahasiswa jurusan karawitan. Bahkan, lagu gedé masih digunakan sebagai sumber untuk ujian penyajian dan penciptaan karya ujian S1 dan S2 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja. Perkembangan terbaru, lagu gedé justru digunakan sebagai sumber kreativitas penggarapan kesenian tembang Sunda, degung, dan bajidoran/jaipongan. Beberapa pengkarya dan produser (seperti Jugala dan Wisnu record) memahami peluang kreatif ini. Garapan
kreatif
mereka
telah
membuka
pemahaman
baru
mengenai pensikapan atas tradisi. Lagu gedé yang dianggap ‘membosankan’ ternyata terbantahkan oleh kreativitas seniman. Namin Grup menjadi salah satu tokoh penting dalam upaya ‘revitalisasi’ lagu gedé. Namin telah berhasil mengakrabkan kembali lagu gedé pada masyarakat seni Sunda dengan cara menggarap lagu Karatagan dalam versi bajidoran. Selain Namin, beberapa seniman pun menggunakan lagu gedé sebagai sumber kreativitasnya.
Hasil karya mereka dapat dilihat dari album-
album rekaman, antara lain: Kastawa (tembang Sunda Cianjuran), Gunung Sari (tembang Sunda Cianjuran), Udan Mas (tembang Sunda Cianjuran)), Ceu Nyai jeung kacapina (jaipongan), Kulu-kulu Bem (degung), Karatagan (Jaipong).,dan yang lainnya. Lagu gedé pun dijadikan dasar kreativitas ‘Parade Sinden’, yang disponsori
13
Universitas Pajajaran (UNPAD) Bandung dan Pemerintah Daerah Kabupaten Subang.
B.
Perumusan Masalah: 1. Bagaimana ciri-ciri musikal lagu gedé ? 2. Bagaimana unsur musikal lagu gedé dibawakan dalam garap baru ? 3. Bagaimana proses transmisi estetika musikal lagu gedé dalam garap baru ?
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk menemukan
dasar pemikiran karawitan Sunda.
Penemuan dasar pemikiran
ini berkaitan dengan kepentingan ilmiah untuk mengkonstruksi teorisasi karawitan Sunda yang selama ini masih banyak dipersoalkan,
akibat
pengetahuan,
cara
pandang,
dan
pengalaman yang berbeda di antara para nara sumber dan peneliti. Penelitian ini diakui belum sampai kepada pembentukan teori karawitan Sunda. Namun demikian, penelitian berbasis pendekatan musikal ini dapat memberi landasan pemikiran mengenai musikalitas karawitan Sunda terutama mengenai aspek-aspek musikal lagu gedé.
14
Fokus pada lagu gedé ini ditujukan untuk menemukan pemahaman teks disertai konteks yang melatarinya. Atau, di dalam
tujuan
yang
lebih
khusus
antara
lain
yaitu:
(1)
menemukan ciri-ciri musikal lagu gedé, termasuk menemukan persamaan dan perbedaannya dengan ciri-ciri musikal lagu Sunda yang lain; (2) menunjukkan perbedaan relasi musikal antara
lagu
gedé
dengan
pertunjukan
wayang
golék
dan
pertunjukan kiliningan; (3) menunjukkan kompleksitas hubungan garap di dalam lagu gedé, seperti hubungan antara nyanyian sindén
dengan
nyanyian
alok,
maupun
dengan
rebaban,
gambangan, dan kendangan; (4) mengetahui unsur musikal lagu gedé dibawakan dalam garap baru, pada Cianjuran,
degung,
dan
tembang Sunda
bajidoran/jaipongan; (5) mengetahui
alasan keberadaan lagu gedé di dalam dimensi budaya orang Sunda; (6) Proses transmisi estetika musikal lagu gede garap
dalam
baru terkait dengan sikap dan respons masyarakatnya,
dan sarana-sarana penyebarannya. Dengan tujuan-tujuan tersebut di atas, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi usaha teorisasi karawitan Sunda, secara teoretis maupun praktis. Proses riset dan hasil analisis lagu gedé dapat dijadikan dokumentasi bernilai di antara pergeseran sikap masyakarat yang pasif atas lagu gedé yang terasingkan, maupun dengan sikap masyarakat yang aktif atas lagu gedé yang
15
dijadikan sumber kreativitas penciptaan baru. Manfaat lain adalah kontribusi teoretis ataupun praktis untuk menambah kebutuhan informasi akan bacaan, pembelajaran, atau pun untuk keperluan penelitian berikutnya, dan sebuah tawaran wacana mengkaji objek karawitan.
D.
Tinjauan Pustaka Dapat dipastikan, penulisan atau penelitian yang secara
khusus mengkaji lagu gedé kawih Sunda memang belum banyak dilakukan oleh para peneliti, khususnya etnomusikolog (peneliti karawitan) atau peneliti seni pertunjukan. Keterangan mengenai lagu gedé lebih banyak didapatkan sebagai sebuah bagian/sub bagian, atau keterangan sepintas dari sebuah kesatuan tematik non lagu gedé. Kondisi ini berbeda dengan keterangan lagu gedé dalam bentuk non pustaka. Di dalam bentuk terakhir, informasi mengenai lagu gedé masih dapat ditelusuri melalui kaset rekaman
audio
komersial
era
1970-1980-an,
seperti kaset
wayang golék dan kiliningan, melalui pertunjukan wayang golék yang sudah semakin jarang, atau melalui keterangan langsung dari
para
sindén
dan
para
wiyaga
sepuh
yang
semakin
telusuran
pustaka
berkurang. Berdasarkan
hasil
pengumpulan
sementara, tema ulasan lagu gedé berkaitan dengan masalah-
16
masalah, seperti: kesenjangan seniman (wiyaga dan sinden) memahami dan menguasai lagu gedé; penotasian lagu dan gending; identifikasi; analisis musik, apalagi dimensi sejarahnya, itu semua belum ada yang membahas secara khusus dan mendalam. Keterangan mengenai lagu gedé sedikit terbantu melalui tulisan Lili Sugono Kandamiharja (1980) berjudul Lagu-Lagu Gamelan Sunda.
Di dalam pengantarnya, Lili menuliskan
pernyataan penting tentang situasi pemahaman masyarakat, khususnya para wiyaga, kurang menguasi dan mengenal lagulagu Sunda buhun, termasuk di dalamnya adalah lagu gedé. Dengan
dasar
kepedulian
tersebut
Lili
yang
merupakan
pengrebab, menulis ulang pengalamannya berupa 30 notasi lagu gamelan Sunda. Lili menotasikan melodi lagu dan notasi gending pengiringnya; Cara penulisannya Lili ini serupa dengan cara penulisannya
Djudju Sain menulis notasi gending dan lagu
Sunda yang lain, yaitu: gending-gending/lagu-lagu sawilet dan dua wilet dan degung. Keprihatinan yang dialami oleh Lili dialami pula oleh Iyar Wiarsih. Dibanding dengan Lili yang lebih fokus pada wiyaga, Iyar di dalam Pasinden jeung Rumpakana (1995) justru fokus pada sindén. Iyar menilai banyak sindén, khususnya sindén wayang golék, tidak memahami perannya. Sindén kurang menguasai dan
17
memahami lagu-lagu dasar serta tanggung jawab profesinya. Lagu-lagu kepesindénan dalam wayang golék terkesan asal jadi. Banyak bermunculan
ciptaan lagu yang
memiliki
kesan
asal
jadi. Secara tegas, Iyar menyatakan bahwa persoalannya bermuara pada sinden pribadi. Sindén bukan hanya sebagai figur penyanyi yang
terampil
menyanyikan
lagu,
melainkan
harus
juga
memahami ketentuan-ketentuan, maupun prasyarat-prasyarat lainnya secara utuh. Iyar memang tidak menyebut langsung lagu gedé. Namun, pernyataannya mengenai lagu-lagu dasar di dalam wayang golék dan hubungannya dengan aturan/prasyarat jelas menunjuk pada lagu-lagu pokok yang menjadi ciri utama dari pertunjukan wayang golék Sunda. Apabila dihubungkan dengan kenyataan pertunjukannya, jelas yang dimaksud adalah lagu-lagu konvensional, salah satunya adalah lagu gedé. Pernyataan Iyar mengenai lagu-lagu dasar ini rupanya mencakup lagu gedé dan lagu jalan yang umum dilakukan di dalam
pertunjukan
wayang
golék.
Hal
ini
relevan
dengan
anggapan dalang bahwa di dalam pertunjukan wayang golék ada lagu-lagu pokok yang harus dikuasai oleh semua seniman wayang golék, termasuk sindén. Salah satu lagu pokok ini adalah lagu gedé. Secara
tegas,
Iyar
menyatakan
bermuara pada sindén pribadi. Sindén
bahwa bukan
persoalannya
hanya
sebagai
18
figur penyanyi yang
terampil
menyanyikan
lagu,
melainkan
harus juga memahami ketentuan-ketentuan, maupun prasyaratprasyarat lainnya secara utuh. Prasyarat utuh itulah tampaknya yang belum terjawab seluruhnya oleh Iyar, maka
dengan
demikian persoalan ini menarik untuk diteliti lebih dalam. Atik Soepandi, Enip Sukanda dan Ma’mur Danasasmita (1985) memberi keterangan lagu gedé sebagai bagian dari kawih, di
dalam
laporan
penelitian
berjudul
“Deskripsi
Kawih
di
Priangan.” Pemosisian ini diperoleh dengan cara memetakan kawih, berdasarkan tiga aspek: sejarah (periodisasi), sastra, dan musik.
Dari pemetaan ini diperoleh keterangan lagu gedé
tergolong sebagai lagu buhun, bersyair puisi bebas, dan berwilet lebih dari empat. Namun, identifikasi ini tidak tuntas. Atik dkk, lebih banyak mengungkap lagu-lagu kawih berembat dua wilet dan satu wilet, atau lebih dikenal sebagai lagu jalan, daripada membahas lagu gedé. Endah Irawan, studi khusus analisis musikal lagu gedé dan lagu pasangannya (lagu jalan), dalam tesis berjudul “ Komparasi Senggol Tiga Sindén Populer Jawa Barat: Hj. Idjah Hadijah, Cicih Cangkurileung
dan
Cucu
Setiawati,“
tesis
S2
UGM
2003.
Penelitian ini pada intinya ingin melihat garapan senggol dari ketiga orang sindén populer dengan salah satu materi lagu gedé dengan lagu terusannnya (pasangannya) yang sama, yaitu Kulu-
19
kulu Bem naek Kulu-kulu Gancang. Adapun alasan pemilihan lagu gedé ini,
yakni lagu gedé memiliki ruang dan waktu yang luas
untuk pengisisan sénggol. Umumnya lagu gedé memiliki wiletan 4 wilet atau lebih (64 ketukan dalam satu goongan). Adapun lagulagu jalan umumnya berkisar pada ukuran 2 wilet (32 ketukan dalam satu goongan) dan lagu 1 wilet (16 ketukan satu goongan). Hasil analisis musikal hal
yang didapat ternyata terdapat beberapa
yang menarik, dari garapan sénggol ketiga sinden tersebut
ditemukan berbeda,
yaitu: motif sénggol, variasi sénggol embat
lagu, tafsir musikal lagu, gaya, dan warna sora. Kemudian hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kehadiran 3 sindén populer ini, memiliki gaya masing-masing
yang berbeda dalam
membawakan lagu. Namun demikian, tesis tersebut belum membahas secara dalam tentang persoalan ciri-ciri musikal lagu gedé, teramsuk garap dan perkembangan garap penyajian lagu gedé. Dengan demikian persoalan ini menarik untuk dikaji lebih dalam dan komprehensif. Buku karya Mariko Sasaki yang berjudul: Laras Pada Karawitan Sunda (2007) setebal 262 halaman yang disusun ke dalam 5 bab, diterbitkan oleh P4ST UPI Bandung. Buku ini pada dasarnya berisi tentang fenomena ‘laras ganda’ pada karawitan Sunda. Artinya, dalam penyajian karawitan Sunda, antara gending iringan
dan
lagu
bisa
berbeda
larasnya.
Apabila
iringan
20
gendingnya
menggunakan
laras
saléndro,
maka
lagu
yang
dibawakannya bisa menggunakan laras madenda atau pélog degung. Fenomena ini oleh Sasaki disebut sebagai ‘laras ganda’. Di samping membahas tentang ‘laras ganda,’ Sasaki juga sempat mengkritisi teori laras Sunda dengan menyatakan: ”teori laras di Sunda boleh dikatakan kacau.” ‘Laras ganda’ yang menjadi fokus penelitian Sasaki ini dipandang sebagai salah satu ciri khas dan keunikan yang terjadi pada karawitan Sunda. Untuk membuktikan adanya fenomena ‘laras ganda’ pada karawitan Sunda ini, Sasaki mengambil beberapa buah sampel musik Sunda, terdiri atas kiliningan dan Tembang Sunda Cianjuran. Kemudian Sasaki juga menyinggung tentang asal usul goong rénténg, pantun, tarawangsa, dan gamelan degung. Penelitian Sasaki ini boleh dikatakan cukup lengkap, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung tentang pembahasan laras atau surupan pada lagu-lagu gedé dan bahasan tentang ciri musikal lagu gedé kepesindenan dalam karawitan Sunda. Berbeda dengan Sasaki, penelitian Jaap Kunst tidak hanya seputar musik Sunda tetapi mencakup pula musik Jawa Tengah, Jawa
Timur,
dan
Bali.
Penelitian
Kunst
ini
juga
sempat
menyinggung tentang fenomena karawitan Sunda yang dituangkan dalam buku Music in Java (1973). Kunst membahas tentang musik-musik (vokal, orkestra, dan instrumen) yang ada di Jawa
21
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Perbandingan antara tangga nada musik Jawa, Sunda, dan Bali khususnya dilihat dari segi frekuensi nada, juga dibahas dalam buku ini. Bahkan Kunst sendiri memperbandingkan ketiga tangga nada tersebut dengan tangga nada musik Cina purba dalam rangka meneguhkan keyakinannya tentang kelebihtuaan tangga nada pelog daripada salendro. Anggapan ini didasarkan pada Chinese Blown Fifth sebagai induk sistematika musik berbagai bangsa. Penelitian Kunst ini di satu sisi ada kajian diakroniknya, tetapi hanya terbatas pada persoalan laras (tangga nada), bukan pada aspek karawitannya secara umum. Penghitungan frekuensi dan interval nada-nada dalam laras saléndro, pélog, madenda, dan degung banyak
dibahas dalam
buku Ilmu Seni Raras (1969) karangan Rd. Machjar Angga Koesoemadinata. ilmu
(teori)
Buku tersebut pada dasarnya berisi tentang
karawitan
Sunda
yang
meliputi
hal
ikhwal
penyelidikan laras pélog dan salendro; rakitan 17 laras; rakitan pélog 9 laras; patet dan lagon; dan istilah-istilah dalam seni karawitan Sunda. Buku Ilmu Seni Laras dalam konteks penelitian Lagu gedé ini sangat penting karena di dalamnya banyak membahas tentang pembentukan teori laras, surupan, dan patet yang didasari oleh hasil penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh Rd. Machjar Angga Koesoemadinata selama puluhan tahun.
22
Satu telusuran penting dilakukan oleh Pandi Upandi pada tahun 2004, dalam tesis berjudul “Kawih Kepesindenan Karya Eutik Muchtar Kajian Struktur dan Fungsi” tesis S2 Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta
2004 walaupun topik penekanannya
berbeda. Pandi Upandi mengkaji struktur dan fungsi lagu kawih Sunda yang dilakukan oleh Pak Eutik Muchtar, salah satu tokoh seniman karawitan Sunda yang terkenal produktif menggurit lagu kawih Sunda, juru rébab, dan guru juru kawih yang handal. Dalam laporan Upandi disebutkan karya gurit lagu kawih Sunda Pak Eutik memiliki keunikan dan daya tarik sendiri. Khususnya, berkaitan dengan sumber pengguritan yang mengacu pada kawih tradisi. Kesetiaan dan keseriusan Pak Eutik terhadap kawih tradisi Sunda ditunjukkan dengan pengunaan tiga laras saléndro, madenda,
degung,
gending
pirigan,
maupun
dengan
cara
penyajian terpola melalui pangkat, pangjadi, baru penyajian lagu hingga lagu berakhir. Selain itu, tema-tema lagunya pun cukup akrab bagi pendengar lagu kawih Sunda, yaitu kehidupan rumah tangga dan lingkungan masyarakat.
Menurut Upandi, paling
tidak ada tiga nilai dari karya lagu Pak Eutik, yaitu: sebagai pengungkapan emosional; kritik sosial; dan hiburan. Buku-buku lain yang dipandang penting sebagai acuan adalah Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa, karya tulis Tati Narawati, yang awalnya berupa disertasi.
Keterangan Narawati
23
tentang kontak antara seni Sunda dan budaya ‘priyayi’ dan seni Jawa yang sudah terjadi sejak era Majapahit abad ke-14, era Mataram abad ke-17, dan paro pertama abad ke-20, dapat dijadikan keterangan pelengkap untuk menyusun kembali peta perkembangan lagu gedé.
E. Landasan Teori Landasan utama penelitian ini adalah karawitanologi atau ilmu karawitan. Sepihak, karawitanologi memang belum begitu populer dibanding karawitan maupun gejala-gejala lain yang termuat dan terhubung dengan karawitan itu sendiri, seperti gamelan yang sudah mendunia baik di dalam realitas pertunjukan mapun kajian.
Namun demikian, karawitanologi telah tumbuh
lama dan menjadi perhatian pemilik karawitan itu sendiri maupun akademisi.15
15 Rintisan dan publikasi karawitanologi dapat dijejak dari tulisantulisan lama. Di kalangan penulis Indonesia ada beberapa nama berikut yang pernah menyusun tulisan karawitanologis. Djakoeb dan Wingjaroemeksa telah menulis dua tulisan berjudul Layang Anyumurupaké Pratikelé Bab Sinau Nabuh sarta Panggawéné Gamelan (1913) dan Serat Enut Gendhing Sléndro (1919). Mas Ngabehi Warsapradongga, dikenal kemudian sebagai R. T. Warsadiningrat, telah menulis Serat Sosorah Gamelan (1920) dan Serat Wedha Pradangga (1944). Ki Hadjar Dewantara telah menulis beberapa tulisan karawitanologis, seperti: Sari Swara (1930), Wawaton Kawruh Gendhing Jawi (1936) yang dialihaksarakan menjadi Kawruh Gendhing Djawa (1957), dan “Metode ‘Sari-Swara’ dan Bedanya dengan Kepatihanschrift” (1957). Tokoh yang berpengaruh dalam karawitam Sunda. Ia yang menciptakan Notasi karawitan Sunda Damina. Dari sejak tahun 1930 sampai dengan 1950, R. Mahyar Angga Koesoemadinata menerbitkan beberapa buku tentang karawitan Sunda, diantaranya: Diajar Mamaos, Rakitan Pelog (1929/1930); Diajar mamaos Rakitam Salendro (1930). Dari kedua buku ini sebelumnya pernah ditulis berdua bersama Jaap Kunts,
24
Karawitanologi,
berdasar
jejak-jejak
tulisannya,
dapat
dinyatakan sebagai disiplin khas yang menempatkan karawitan sebagai
objek
sekaligus
subjek.
Sebagai
objek,
karawitan
merupakan materi dan sumber yang menjadi bahan kajian. Sebagai subjek, karawitan memiliki perspektif, konsep, cara, dan teknik
analisis
tersendiri
yang
berbeda
dan
tidak
dapat
diperlakukan sama dengan logika atau paradigma musik tertentu, seperti yang berlaku di musik Barat.
Oleh sebab itu, dengan
meminjam istilah Sri Hastanto, karawitanologi tidak bisa digebyah uyah
dengan
Musik
Barat.
Jangan
hanya
karena
tidak
menghargai kebudayaan milik sendiri, berpengetahuan dangkal,
dalam versi bahasa Belanda (1929); Sastraning Kanayagan (1934); Sarining Gentra Murangkalih (1934); Taman Karesmen Lalakon Sekarmayang (1953); Kawih Murangkalih Anggoeun di Sakola Handap di Pasundan (1965); 1234 Kawih Murangkalih Rakitan Pelog sareng rakitan Salendro (1949); Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, Ringkesan Elmuning Kanayagan (1950); Ilmu Seni Raras (1969). Mas Ngabehi Wirawiyaga telah menulis Serat Lagu Jawi (19351939) dan bersama Th. S. Martasudirja menulis Serat Mardu Swara (1939). K. R. M. T. Sumanagara telah menulis Serat Karawitan (1935). Malah, Ki Sindhusawarno memilih judul tulisannya Ilmu Karawitan (1950). Kemudian, R. L. Martopangrawit menulis Tetembangan: Vocal jang berhubungan dengan karawitan (1967), Pengetahuan Karawitan (1969-72), Titiraras Cengkok-cengkok Genderan dengan Wiletannya (tanpa tahun), Gending-Gending Santiswaran (1977). Generasi berikutnya ada Sumarsam dengan tulisan-tulisannya seperti “Gender Barung, Its Technique and Function in the Context of Javanese Gamelan” (1975), “The Musical Practice of Gamelan Sekaten” (1981), “Inner Melody in Javanese Gamelan” (1984), “introduction to Ciblon Drumming in Javanese Gamelan” (1987), Hayatan Gamelan (2002). Sri Hastanto menulis disertasi “The Concept of Pathet in Central Javanese Gamelan Music” (1985), Ngeng dan Reng, Persandingan Sistem Pelarasan Gamelan Ageng Jawa dan Gong Kebyar Bali (2012). Tulisan Rahayu Supanggah tentang Garap, Balungan, dan Bothekan. Juga tulisan St. Hanggar Budi Prasetya, “Mlését dan Nggandul Dalam Karawitan Pedalangan Gaya Yogyakarta: Tinjauan Budaya, Karawitanologi, dan Fisika” disertasi sebagai persyaratan mencapai derajat S3 Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, (2013).
25
dan lebih merasa gagah dengan hal-hal yang berbau Barat, sehingga karawitan dipandang sebelah mata. Karawitanologi, seperti disebut Waridi, apabila dicermati memuat warisan nilai-nilai estetik musikal, konsep dan hal yang bersifat teoritik, serta kandungan makna yang berimplikasi terhadap tindakan sosial.
Dalam perkembangannya sendiri,
karawitanologi ini telah terlembagakan melalui tiga aktivitas estetik-artistik, ilmu pengetahuan, dan tindakan sosial.16 Karawitanologi
memiliki
ruh
yang
sama
dengan
etnomusikologi. Keduanya memosisikan pertautan antara musik dengan kebudayaan dan masyarakat. Tidak ada musik yang tidak terkait dengan kebudayaan dan masyarakatnya. Musik selalu hadir bersama masyarakat dan kebudayaannya. Musik tumbuh dari
konteks
budayanya
sendiri.
Demikian
pula,
di
setiap
kebudayaan, masyarakat menciptakan atau menyajikan musik berdasarkan pengalaman yang dialami oleh mereka sendiri, dari hal-hal yang telah mereka dengar dan lihat, atau dari hal-hal yang telah mereka pelajari sendiri maupun secara turun temurun antar generasi. Pertautan musik dengan kebudayaan dan masyarakat dapat pula dirunut dari studi etnomusikologi yang oleh Jaap Kunst, Mantle Hood, Allan P Merriam, Bruno Nettl, John Blacking, Wim 16
Waridi ed., Hasil Simposium Karawitanologi (Surakarta: ISI Surakarta, 2007), iii dan vi.
26
van Zanten, Robert Garvias dan etnomusikolog-etnomusikolog yang lain. Meskipun, pada awalnya etnomusikologi bersifat komparatif tetapi pada perkembangan berikutnya etnomusikologi semakin fokus terhadap musik dan konteksnya. Tekstualitas musikal maupun interkoneksinya dengan kontekstualitas musik menjadi ciri etnomusikologis juga berlaku di dalam tulisan-tulisan karawitanologis.
Salah
satu
contohnya
adalah
menganalisis
struktur musik dan konteks budayanya.17 Dua ciri tersebut digunakan
sebagai
landasan
utama
mengkaji
musikalitas,
khususnya ciri musikal lagu gedé. Termasuk digunakan untuk menjawab tiga masalah utama penelitian ini, yaitu: apa ciri-ciri musikal
lagu
gedé,
bagaimana
unsur
musikal
lagu
gedé
dibawakan dalam garap baru, dan Bagaimana proses transmisi estetika musikal lagu gedé dalam garap baru ? Pada tataran operasional, untuk menjawab ketiga rumusan masalah di atas maka diperlukan teori-teori yang relevan. Teoriteori ini antara lain adalah teori estetika musik, teori karawitan (khususnya teori garap), dan teori tradisi yang dikembangkan oleh Edward Shils.
Bruno Nettl, Theory and Method in Ethnomusicology (London: The Free Press of Glencoe Collier-MacMillan Limited, 1964), 293; lihat juga Anthony Seeger, Why Suya Sing, a Musical Anthropology of an Amazonian People (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 138. 17
27
1.
Teori Estetika Musik Penelitian atas ciri musikal lagu gedé ini dipengaruhi oleh
estetika musik yang dikembangkan oleh Roger Scrutton.18 Cara pandangnya adalah mengurai musik. Scrutton mengurai musik dari unsurnya yang paling hakiki yaitu bunyi. Ia memberikan landasan atas musik sebagai organisasi musikal dan makna musikal. Menurutnya, nada, ritme, melodi, dan harmoni bukan sekedar bentuk-bentuk organisasi musikal. Nada, ritme, melodi, dan harmoni merupakan pengalaman musikal yang paling utama di dalam kebudayaan kita.19 Adapun makna musikal, dapat ditemukan dengan menghubungkan unsur-unsur bunyi, nada, ritme, melodi, harmoni, tonalitas, bentuk, isi, nilai, analisis, ekspresi, pertunjukan, hingga kebudayaan. Pemikiran
Scrutton
mengenai
organisasi
musikal
dan
makna musikal ini menarik bila dihadapkan dengan kebutuhan mengkaji musikalitas lagu gedé.20 Pemikiran-pemikiran Scrutton dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menjawab ciri musikal 18 Roger Scrutton, The Aesthetics of Music (New York: Oxford University Press, 2009). 19 Roger Scrutton, 2009, 20. 20 Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan pemikiran Scrutton dibutuhkan kehati-hatian. Scrutton sendiri menulis bahwa objek musiknya adalah musik Barat dan analisis-analisis musik yang ia lakukan pun adalah analisis-analisis pada kasus musik Barat. Ini berarti bahwa pemikiran estetik musiknya dapat tidak tepat apabila digunakan untuk melihat kasus musik di luar musik Barat. Pemikiran estetik tersebut mungkin cocok apabila diterapkan pada musik Barat tetapi dapat tidak cocok untuk musik dari kebudayaankebudayaan lain di luar Barat. Scrutton menulis kebudayaan kita dan banyak kebudayaan pada satu kalimat yang sama. Kebudayaan kita yang dimaksud Scrutton adalah kebudayaan Barat dan banyak kebudayaan menunjuk pada budaya-budaya lain di Barat; Periksa Roger Srutton, 2009, 20.
28
lagu gedé. Paling tidak, kajian musikalitasnya tidak hanya berkutat pada deskripsi dan analisis atas musikalitas saja, tetapi diperkuat dengan argumen-argumen yang mengungkap makna musikalnya. Termasuk dengan cara memberi penjelasan atas hubungan dari keduanya sebagai satu kesatuan. Dengan demikian pengungkapan ciri musikal lagu gedé ini menjadi lebih bernilai. Lagu gedé tidak hanya dikenali dari aspek musikalnya saja tetapi disertai pemaknaan yang ditemukan dari konteksnya. Unsur musik yang ada di dalam konsep-konsep karawitan Sunda akan juga digunakan untuk melengkapi organisasi musikal yang
ditawarkan
Scrutton.
Ciri
musikal
lagu
gedé
dapat
didentifikasi melalui sistem nadanya. Sistem nada ini meliputi nadanya sendiri, laras, dan surupan. Ciri musikal dapat juga dilihat dari struktur musiknya. Apabila diterapkan dengan konsep-konsep yang terdapat di dalam karawitan Sunda, struktur lagu gedé dapat diamati berdasarkan pola wiletan, pola kenongan goongan, dan pola urutan sajiannya. Pola wiletan lebih mengarah pada pola meter. Berkaitan dengan ukuran dari jumlah satuan ketukannya pada setiap satuan goongan. Pola kenongan goongan berkaitan dengan orientasi nada dari kalimat lagu. Pola urutan sajian menggambarkan runtunan sajian dari awal hingga akhir, termasuk bagian naekeun atau
29
nurunkeun
yang
merupakan
bagian
peralihan
menuju
gending/lagu berikutnya.
2.
Teori Garap Teori garap diperlukan untuk menjawab rumusan masalah
kedua. Menurut Rahayu Supanggah,21 garap merupakan salah satu unsur penting karawitan dalam memberi warna, kualitas, karakter, dan sosok karawitannya sendiri. Garap merupakan rangkaian kerja kreatif dari (seorang atau sekelompok pengrawit dalam menyajikan sebuah gendhing atau komposisi karawitan untuk dapat menghasilkan wujud (bunyi), dengan kualitas atau hasil tertentu sesuai dengan maksud, keperluan atau tujuan dari suatu kekaryaan atau penyajian karawitan dilakukan. Garap
adalah
juga
sebuah
sistem,
yang
melibatkan
beberapa unsur atau pihak yang saling terkait dan membantu. Unsur-unsur ini antara lain meliputi: materi garap, penggarap, sarana garap, piranti garap, penentu garap, dan pertimbangan garap. Dari pemaparan teori garap tersebut dapat diterapkan bahwa garap musik lagu gedé
merupakan proses penghadiran
satu komposisi musik yang dikaitkan dengan sistem pengolahan
21 Rahayu Supanggah, Bhotekan Karawitan II: Garap. (Surakarta: Program Pasca sarna bekerja sama dengan ISI Press, 2009).
30
dari seluruh unsur musiknya oleh sindén, juru rebab, juru gambang,
juru
kendang,
dan
pangrawit
yang
lain.
Proses
penghadiran lagu gedé ini tidak asal jadi tetapi dilakukan oleh sindén dan pangrawit secara kreatif agar mencapai kualitas musik tertentu. Dalam bentuk operasionalnya, garap lagu gedé dapat dianalisis berdasarkan kesatuan garap keseluruhan vokal dan pengiringnya. Secara khusus, analisis garap ini dapat pula dilakukan dengan mengurai hubungan garap masing-masing alat, seperti: hubungan garap sindén dan rebab, hubungan garap sinden dan gambang, hubungan garap sindén dan alok, dan hubungan garap sindén dan kendang. Untuk melengkapi aplikasi teori garap, terutama pada hubungan garap antar instrumen, kiranya teori kompetensi dan interaksi musikalnya Benjamin Briner dapat dijadikan pula sebuah
rujukan
berdimensi
penting.22
antropologis
Ini
dan
adalah
sosiologis.
teori
etnomusikologi
Kompetensi
musikal
merupakan sebuah himpunan pengetahuan dan ketrampilan seniman yang tersatukan di dalam sebuah konteks kebudayan tertentu.
Sedangkan
interaksi
musikal
adalah
jalinan
yang
dibentuk antar pemusik. Interaksi ini dapat terjadi di dalam
22 Benyamin Briner, Knowing Music Making Music: Javanese Gamelan and the Theory of Musical Competence and Interaction (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1995).
31
pertunjukan formal dan informal, di dalam latihan pentas, dan di dalam situasi pembelajaran yang lain. Interaksi terjadi diantara dua orang atau lebih. Mereka turut serta di dalam menghasilkan dan memanipulasi bunyi-bunyi secara bersama. Mereka saling mempengaruhi
satu
sama
lain
dengan
cara
mengatur,
mengarahkan, meniru, menginspirasi, atau mengganggu setiap penampilan yang lain.23 Dua aspek ini di dalam dunia gamelan penting. Kompetensi mencakup interaksi.
Kompetensi merupakan satu dari elemen-
elemen yang dibawa ke dalam permainan interaksi.24 Bagi Brinner, kompetensi
musikal
menggiring
kepada
sebuah
pemikiran
interaksi musikal disebabkan pengetahuan dan ketrampilan interaktif yang digunakan seniman di dalam pertunjukan bersama membentuk sebuah bagian utama dari kompetensi yang secara kompleks dijalin dengan gaya-gaya lain dari interaksi sosial. Kompetensi musik seorang pengrawit tidak akan teruji tanpa ada interaksi langsung dengan pengrawit yang lain. Demikian pula interaksi antar pengrawit tidak akan teruji apabila pengrawit tidak dibekali kompetensi musik. Ilustrasi Briner mengenai posisi Martopengrawit dan Mloyowidodo bersama pengrawit lainnya di
23 24
Briner, 1995, 168. Briner, 1995, 311.
32
dalam suatu acara klenengan tahun 1983, rupanya menjelaskan dua aspek tersebut saling bertaut.25 Secara operasional, kompetensi musikal meliputi kualitas bunyi, pola bunyi, representasi simbolik, transformasi, interaksi, orientasi, ansambel-ansambel, repertoar, konteks penampilan, makna atau simbolisme.
Kompetensi
ini bisa juga mencakup
bentuk-bentuk penampilan non musikal seperti seni bahasa, tari, teater, ritual-ritual keagamaan dan peristiwa-peristiwa sosial.26 Sedangkan interaksi musikal dapat diamati dari jaringan kerja interaktif, sistem interaktif, struktur bunyi interaktif, dan motivasi interaktif.27
3.
Teori Tradisi Pemikiran Edward Shils mengenai tradisi ini cukup unik.
Shils memformulasi ulang pemaknaan tradisi. Menurut Shils, ketika tradisi dibicarakan ini sama artinya dengan membicarakan sesuatu yang telah patut dicontoh dan dijaga. Ini adalah tradisi, sesuatu yang telah menjadi dan ada diturunkan atau dialihkan. Ini sesuatu yang dibuat, dipertunjukkan, atau dipercaya pada masa lalu. Tradisi bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang dipercaya sudah ada hadir, sudah ada dipertunjukkan, atau Soedarsono, Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 8-9. 26 Briner, 1995, 41-42. 27 Briner, 1995, 167-207. 25
33
sudah ada dipercaya di masa lampau.28 Tradisi adalah akumulasi pengalaman.29 Tradisi adalah sesuatu yang dinamis, memiliki sifat mapan dan berubah.30 Perubahan tradisi dapat diakibatkan faktor dari dalam maupun dari luar.31 Pandangan
Shils
memberi
dasar
untuk
memecahkan
masalah mengenai dinamika keberadaan lagu gedé. Lagu gedé sendiri merupakan lagu tradisi orang Sunda. Ini adalah lagu yang dibuat, dipertunjukkan, atau dipercaya pada masa lalu. Sebelum sekarang, lagu ini dipercaya sudah ada hadir, sudah ada dipertunjukan, atau sudah ada dipercaya di masa lalu oleh orang Sunda. Lagu gedé bukanlah lagu ciptaan baru. Lagu ini sudah berkembang lama, diturunkan atau dialihkan secara generatif. Di
dalam
konteks
dinamika,
lagu
gedé
merupakan
akumulasi pengalaman orang Sunda. Lagu ini tidak luput dari ruang dan waktu yang berkembang. Di dalam sifatnya terkandung kecenderungan untuk mapan atau berubah. Kemapanan akan terbentuk apabila ada resistensi. Sebaliknya perubahan akan terjadi
akibat
pengaruh
dari
dalam
(seperti:
rasionalitas,
perbaikan, imajinasi) atau pengaruh dari luar (seperti: ekspansi).
28 Edward Shils, Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1987), 12. 29 Shils, 1987, 202. 30 Shils, 1987, 195-212. 31 Shils, 1987, 213-261.
34
Untuk lebih memperjelas dinamika lagu gedé, kiranya pernyataan Nettl mengenai identifikasi hal-hal yang bersifat mapan dan faktor-faktor kemapanan musik dapat dijadikan dasar alasan sebuah musik berubah atau tidak.32 Nettl beranggapan umumnya sebuah perubahan musik berkaitan dengan faktor individual, kontak dan pengaruh antara masyarakat dan budaya, pergerakan populasi, asimilasi, dan sifat tradisi oral.33 Pemahaman dinamika lagu gedé dapat pula dijelaskan melalui konsep transmisi yang dinyatakan oleh
Hanne M. De
Bruin dan Sam-Ang Sam. Mereka menjelaskan bahwa transmisi memegang peran penting di dalam hirarki kemapanan di dalam dan di antara bentuk-bentuk seni dan pelaku-pelakunya. Namun demikian,
transmisi
tidak
hanya
mengenai
cara-cara
seni
pertunjukan diajarkan dan diwariskan tetapi juga mencakup caracara kita merefleksikan seni dan menampilkannya melalui media yang beragam di dalam percaturan publik.34 Sam-Ang Sam menegaskan transmisi dapat dilihat pada bentuk dan prosesnya.35 Namun lebih dari itu, transmisi harus juga dilihat sebagai sebuah
32
Netll, 1964, 232. Netll, 1964, 233-238. 34 Hanne M. De Bruin, “Teaching and Transmission of Indian Performing Arts” dalam Indian Folklife Serial No.20 (July, 2005), 4. 35 Sam-Ang Sam, “Transmission of Kmehr Traditional Performing Arts: Its Genuiness, Challenge, and Impact of Society” dalam Senri Ethnological Reports 65 (2007), 124. 33
35
respons langsung atas kebutuhan, perubahan konteks, dan relevansinya dari unsur-unsur yang terlibat di dalam proses.
F. Metode Penelitian Pendekatan karawitanologi lagu gedé karawitan Sunda pada dasarnya sama dengan pendekatan etnomuaikologis cara kerja ala Wim van Zanten. Pendekatan etnomusikologisnya Win van Zanten adalah pendekatan musikal berwarna antropologis. Dua aspek musikologis dan antropologis dipadukan. Musik ditempatkan sebagai objek utama, sekaligus ditemukan dasar relasinya
dengan
masyarakat.36
persoalan-persoalan
Soedarsono
menyatakan
kebudayaan pendekatan
dan
semacam
tersebut adalah juga pendekatan multi-disiplin (pendekatan lebih dari satu disiplin, inter-disiplin atau inter-disipliner).37 Ini adalah penelitian mikroskopis. Seperti halnya Cliford Geertz mengkaji sabung ayam di dalam dunia budaya Bali yang luar biasa majemuk,
penelitian difokuskan kepada lagu gedé,
satu jenis lagu di antara jenis-jenis lagu Sunda yang lain, di antara keragaman dan kemajemukan karawitan Sunda. Ibarat sebuah objek yang kecil, lagu gedé diamati dan dianalisis hingga
Wim van Zanten, Sundanese Music in the Cianjuran Style: Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda (DordrechtHolland, Providence-U.S.A.: Foris Publications, 1989), 7-9. 37 Soedarsono, 1999, 33-40. 36
36
nampak
bentuk,
struktur,
maupun
relasi-relasinya
yang
sedemikian majemuk. Pemilihan utama pada lagu gedé sendiri didasari oleh pengalaman
empiris
penulis
selaku seniman
atau
praktisi
karawitan Sunda. Lagu gedé bukanlah objek yang asing bagi penulis. Lagu ini sudah dikenali sejak lama bersamaan dengan pengalaman seni yang dialami selama lebih dari tiga puluh tahun. Lingkungan keluarga yang akrab dengan dunia karawitan Sunda memberi pengaruh besar adanya hubungan emosional dengan objek yang akan dikaji ini. Lagu gedé mulai dikenali pada waktu penulis sering ikut orang tua menonton atau menggarap wayang golék/kiliningan, melalui penyaksian sewaktu sang kakek melatih juru kawih, atau sewaktu ibu berlatih lagu-lagu gedé. Demikian pula partisipasi penulis -- sebagai penabuh gamelan, pemetik kecapi, penyanyi, pembuat lagu, penata karawitan, pemerhati sinden -- menambah jarak hubungan antara penulis dengan objek ini cukup dekat. Lagu-lagu gedé kerap dipanggungkan dan didengarkan. Namun demikian, keakraban ini justru makin merangsang untuk didekati lebih lekat dan dikaji lebih cermat dan mendalam. Lebih-lebih, setelah penulis mengapresiasi lagulagu Sunda yang lain dan membandingkannya dengan lagu gedé sewaktu penulis melakukan sebuah riset komparasi sénggol, salah satu objek analisisnya adalah penyajian lagu gedé.
37
Ada dimensi gelap yang belum penulis ketahui. Ada renikrenik menarik untuk dikaji. Pertanyaan sederhana mengapa lagu tersebut disebut lagu gedé tidak cukup dengan hanya dikaji dari satu sisi bentuknya saja, tetapi telah menggiring penulis mencari alasan-alasan lain dari segi musikologis dan antropologisnya. Penulis menduga ada nilai-nilai estetik di dalam lagu gedé yang telah
menjadikannya
lagu
berkarakter.
Dugaan
ini
dapat
disandingkan dengan aspek garapnya. Di dalam pola wiletannya yang besar terdapat relasi-relasi musikal. Relasi-relasi musik ini bukan relasi
yang
sederhana
tetapi relasi
kompleks yang
menuntut kemahiran musikal setiap penyajinya. Di dalam penyajian lagu gedé, kualitas kesenimanan ditantang sekaligus dibuktikan. Seolah-olah, ini menyiratkan bahwa lagu gedé bukan sekedar lagu berlabel nama lagu besar atau lagu berukuran besar, tetapi lagu yang sudah teruji kualitas musikal dan nilai estetiknya. Tidak heran apabila kemudian tidak banyak sindén dapat menyanyikan lagu ini. Sindén yang menguasai lagu gedé umumnya
dijadikan
sindén
utama
di
dalam
pertunjukan
kiliningan ataupun wayang golék. Berpijak dari kenyataan tersebut, penulis berusaha untuk kembali melihat, mengamati bahkan memahami makna lagu gedé ini. Di
dalam tahapan
beberapa tahapan
operasionalnya,
penulis
melakukan
kerja, berupa: kerja lapangan (field work),
38
kerja
laboratorium
(desk
work),
dan
penyusunan
laporan
penelitian.38 Pada kerja lapangan, penulis mengawali dengan studi
pustaka,
yaitu
mencari
sumber-sumber
tulisan
dan
mempelajari berupa tulisan baik berupa buku, tesis, disertasi, maupun
artikel
akan
dicari
di
Perpustakaan
pribadi,
Perpustakaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (di Jln. Buah Batu Bandung), dan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedua, melakukan wawancara untuk mencari data sumber lisan dari keterangan para tokoh karawitan Sunda dan para seniman. Para nara sumber yang diwawancarai berasal dari kalangan dalang (seperti: Dede Amung Sutarya, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriyadi, dan Tarmo), sinden (seperti: Iyar Wiarsih, Hj. Cicih Cangkurileung, Hj. Idjah Hadijah, dan Cucu Setiawati), alok (seperti: Dedi Rosida dan Memet), juru rebab (seperti: Asep Mulyana, Uloh), tokoh seniman pengembang karawitan Sunda (seperti: H. Edih A.S., Pandi Upandi,
Atang
Warsita, Lili Suparli dan Ubun Kubarsyah), dan para tokoh serta seniman lain. Ketiga, penulis melakukan pendokumentasian audio visual, antara lain: mengumpulkan sumber audio kaset tentang penyajian lagu-lagu gedé (kaset kiliningan dan wayang golék). Pencarian data audio ini selain mencari dari koleksi
38 Curt Sachs membagi riset etnomusikologi ke dalam dua bagian kerja, field work dan desk work; periksa Curt Sachs, The Wellsprings of Music (The Hague: M. Nijhoff, 1962), 16-20; Bruno Nettl, 1964, 62-130.
39
pribadi, juga dari koleksi-koleksi audio yang dimililiki oleh Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indinesia (STSI) Bandung, perpustakaan audio/audio visual Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta,
Radio
Republik
Indonesia
(RRI)
Bandung,
dan
dokumentasi pribadi rekan-rekan di STSI Bandung. Perekaman audio visual penyajian lagu-lagu gedé, baik dalam pertunjukan wayang golék maupun kiliningan yang disajikan oleh dalang. Dede Amung atau Asep Sunandar Sunarya, maupun rekaman khusus pada pesindén-pesindén seperti: Hj Cicih Cangkurileung, Idjah Hadijah, dan Cucu Setiawati. Kerja
laboratorium
dimaksud
adalah
transkripsi
dan
analisis. Nettl menyatakan transkripsi dan analisis diperlukan untuk mendeskripsikan gaya musikal dan mengkaji musik di dalam kebudayaan.39 Transkripsi merupakan kerja menulis melakukan alih bunyi dari sumber rekaman ke dalam bentuk tulisan atau notasi. Di dalam pendekatan etnomusikologi, kerja transkripsi ini penting, terutama untuk mendokumentasikan bunyi dari bunyi yang terdengar menjadi simbol bunyi yang dapat dilihat dan dapat dibaca. Kelemahan bunyi yang biasa terdengar, selintas,
sulit diulang dan diingat, dengan transkripsi dapat
diatasi menjadi bunyi yang dapat dibaca ulang dan ditirukan. Untuk memperoleh hasil yang akurat, dibutuhkan kepekaan 39
Bruno Nettl, 1964, 62.
40
mengidentifikasi bunyi atau nada bersama unsur-unsur musik yang menyertainya (seperti: jenis dan harga nada, interval nada, ritme, dan meter) dan kemahiran menyalin hasil identifikasi menjadi
notasi.
transkripsi
Pada
kemudian
tataran kerja dianalisis.
berikutnya,
Notasi
yang
hasil dari
telah
dibuat
diidentifikasi ulang, diberi kode, diklasifikasi, dan dianalisis lebih cermat. Analisis dilakukan pada notasi vokal dan gending. Dengan perlakuan khusus pada nyanyian (sindén dan alok), rebaban,
gambangan,
dan
kendangan.
Namun,
tanpa
mengabaikan notasi dari waditra pengiring yang lain. Analisis ini dilakukan untuk menemukan ciri musikal (bentuk, struktur dan relasi) dan garap penyajiannya. Termasuk menemukan kekhasan yang dimiliki oleh setiap penyaji secara personal. Langkah
terakhir
berupa
penyusunan
laporan.
Ini
merupakan bentuk laporan akhir. Bukti pertanggungjawaban akademik atas serangkaian kegiatan penelitian dari hal yang telah direncanakan dan telah dilakukan, hingga menjadi sebuah laporan yang dapat dibaca.
G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disusun ke dalam 6 bab, dengan perincian sebagai berikut.
41
Bab I Pengantar, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Lagu-lagu dalam Karawitan Sunda, berisi dua sub bahasan. Pertama, membahas pengertian istilah dalam karawitan vokal Sunda meliputi: kawih, tembang, sindén, kidung, pantun, dan hal lain tentang lagu Sunda. Kedua, membahas
lagu gedé
antara lain: terminologi lagu gedé, asal-usul lagu gedé, lagu gedé dalam pertunjukan wayang golék, lagu gedé dalam pertunjukan kiliningan Bab III Aspek Rumpaka Lagu Gedé
berisi tentang
bahasan syair-syair lagu gedé terdiri dari tiga hal, yaitu: bentuk klasik: purwakanti (aturan pupuh); tema rumpaka lagu (nostalgia, pegunungan, cinta, komentar sosial dan politik); rumpaka sebagai ekpresi budaya masyarakat Sunda (bahasa, hubungan antara orang Sunda dan Jawa, kontinyuitas dan perubahan). Bab IV Musikalitas Lagu Gedé membahas tiga hal: Alat musik pengiring lagu gede; Sistem nada lagu gedé; dan Stuktur musikal lagu
gedé.
Pertama, alat musik pengiring lagu gedé
berisi tentang tiga hal: alat musik pembawa melodi (rebab, gambang); alat musik pembawa balungan (saron, panerus, péking, bonang, rincik, kénong, goong); alat musik pembawa ritmis
42
(kendang, kecrek). Kedua, sistem nada lagu gedé berisi tentang laras:
konsep pelarasan
(nada dasar pada nada
barang dan
surupan); model pelarasan Jaap Kunst dan R Machyar Angga Kusumahdinata (Nada dasar pada nada barang dan Sistem nada lain
atau
surupan);
Produksi
nada
rebaban
dan
kendang
(Penjarian rebab, Pelarasan rebab, dan Pelarasan kendang). Ketiga, struktur musikal lagu gedé berisi tentang: Prinsip klasifikasi musikal; Struktur lagu gedé wiletan,
Berdasarkan
pola
kenongan
(Berdasarkan pola
goongan;
Berdasarkan
urutan sajian: deskripsi sajian, naékeun, nurunkeun,
pasangan
lagu gedé dan lagu Jalan); Sénggol kepesindénan lagu gedé (konsep
sénggol,
hubungan
jenis
sénggol
sénggol dan wiletan);
kepesindénan,
teknik,
dan
Hubungan garap karawitan
(hubungan garap sindén dan rebab, hubungan garap sindén dan gambang, hubungan garap sindén dan alok, hubungan garap sindén dan Kendang). Bab V Dinamika Perkembangan Lagu Gedé berisi tentang beberapa bahasan yaitu: Lagu gedé sebagai sumber kreativitas penciptaan (lagu gedé dalam garap tembang Sunda Cianjuran, lagu
gedé dalam garap seni degung, dan lagu gedé dalam seni bajidoran-jaipongan);
proses
musikal. Bab VI Kesimpulan
transmisi,
pergeseran
estetika