BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Film
adalah
media
untuk
menemukan,
mengembangkan,
dan
memanipulasikan pengalaman para pembuat film tersebut, menciptakan bentukbentuk personal atau struktur yang pada waktu bersamaan menjadikan subjek sebagai objek, memberinya arti dan nilai-nilai. 1 Dalam beberapa kasus, film dijadikan oleh pihak pemegang otoritas untuk dijadikan sebagai alat propaganda atau alat pernyataan politik. Secara umum, keberadaan industri film pada suatu negara mencerminkan kondisi sosial dan budaya bangsa tersebut. Karena setiap negara memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda, maka segala dinamika dan pertumbuhan industri film di masing-masing negara berbeda pula. Di negara Iran, film bukanlah barang baru. Sementara seni dan sastra Iran kuno atau Persia telah menghasilkan karya-karya berkaliber dunia, film Iran yang dimulai pertama kali di penghujung abad 19, telah menjadi bagian dari sejarah dan urat nadi seni pertunjukkan. 2 Nilai tambah dari film Iran adalah ciri khas dan orisinalitasnya. Sebagai bagian dari sinema dunia ketiga, perfilman Iran mempunyai andil besar bukan hanya dalam meramaikan industri film dunia tetapi juga memberikan pilihan baru dan berkualitas pada para penikmat film. Bagi perfilman Iran kontemporer, ukurannya adalah keikutsertaan dan prestasi filmfilm Iran dalam festival-festival film bertaraf internasional selama dua dekade terakhir. Idealnya, perfilman Iran telah menempuh sejarah panjang melalui berbagai konflik dan menjadi bagian dari perjalanan sejarah negara Iran sendiri, maka para pembuat filmnya secara konsisten dapat mempertahankan kemurnian dan kualitasnya, menuju kematangan industri perfilman yang utuh. Perjalanan panjang perfilman Iran tidak lepas dari pengaruh politik yang berubah setiap waktu. Setiap kebijakan yang berlaku dapat bersaing dengan gagasan dan agenda para sineas perfilman yang ingin memunculkan idealismenya dalam bersinema di negaranya sendiri. Baik pada saat industri film berada di 1 2
Lewis Jacobs, The Emergence of Art, (London: WW Norton Company. 1979), hal.4 Hamid Reza Sadr, Iranian Cinema: A Political History., (London: IB Tauris. 2006), hal.4
Universitas Indonesia
masa kepemimpinan dinasti Qajar, dinasti Shah, dan yang terakhir saat berada di bawah naungan penguasa Republik Islam. Sistem pemerintahan revolusioner yang baru menetapkan seluruh regulasi pemerintah berkenaan dengan hukum syariah, dalam hal ini hukum Islam Syiah. Pada masa pascarevolusi, pemerintah Republik Islam menciptakan kembali sistem hukum dan politik yang mempertemukan kebutuhan dan keinginan untuk menciptakan masyarakat yang unggul. Revolusi Islam pada awalnya dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi politik dan ekonomi yang kacau warisan dari rezim Shah Reza, malah lebih jauh merubah ideologi negara secara total. 3 Sistem teokrasi yang digawangi para mullah dianggap sebagai cara yang paling ampuh untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Dengan ini, amandemen
terhadap
undang-undang
dilaksanakan.
Lebih
penting
lagi,
pemerintah menyusun kembali undang-undang dan terutama kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan perempuan. Sebagai prasyarat perubahan, perempuan terlibat dalam peraturan-peraturan dan kode-kode sosial yang baru. Permasalahan perempuan Iran terpinggirkan oleh masalah-masalah politik yang sedang marak di Timur Tengah. Citra perempuan Muslim Iran sering dikaitkan dengan penampilan yang serba tertutup. Haideh Moghissi mengemukakan bahwa sesungguhnya hukum-hukum yang kental budaya patriarkis adalah bentuk penindasan dan perendahan kesucian perempuan yang memunculkan persepsi sosial yang buruk mengenai harga diri dan keyakinan perempuan yang menyebabkan mereka menjalani ketakutan yang berkepanjangan. Sementara ketakutan dapat menjadi alat yang efektif untuk lebih memperkuat dominasi laki-laki dan membuat perempuan terpinggirkan dan tak berdaya. 4 Menurut feminis muslim, perjuangan perempuan tidak hanya mencari ruang di arena publik, tetapi juga menyadarkan perempuan bahwa kerja domestik adalah sesuatu yang patut dihargai, harus diberi perhatian dan perlindungan. Namun pekerjaan menjaga rumah tangga bukan merupakan kewajiban perempuan saja. Laki-laki juga harus disadarkan akan tanggungjawab dalam rumah tangga. 3
Sandra Mackey, The Iranians: Persia, Islam, and the Soul of the Nation, (New York: Penguin Books, 1998) hal.275-276 4 Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS. 2005), hal. 152
Universitas Indonesia
Gerakan feminisme Islam muncul tidak hanya dari perempuan Arab-Muslim saja, tetapi perempuan-perempuan Muslim di negara lain juga memiliki pemikiran yang hampir sama. Pada awalnya, gerakan atau gagasan feminisme Islam berusaha merevisi hukum keluarga serta menolak hijab dan pemingitan dalam rumah. Mereka melegitimasi seruan tentang hal pendidikan dan kerja bagi perempuan dengan mengembangkan keteladanan perempuan pada awal Islam untuk memperkuat seruan ini. 5 Hijab dan cadar menjadi isu yang kontroversial jika membahas perihal problematika perempuan Muslim di berbagai negara. Sementara sebagian masyarakat muslim menganggap hijab adalah kewajiban dan perintah Allah yang termaktub dalam Kitab Suci Quran, sebagian muslim lain dan non-muslim juga, khususnya orang-orang Barat menganggap hijab sebagai simbol ketertindasan perempuan muslim dan keterbelakangan masyarakat Islam yang tidak memiliki relevansi di masa kini, seperti yang diungkapkan tokoh feminis muslim, Leila Ahmed. 6 Asghar Ali Engineer mengemukakan pendapatnya bahwa pemakaian hijab dan cadar lebih merupakan sebuah praktik sosio-kultural daripada murni keagamaan. Kalangan muslim tradisional selalu beralasan mengatakan bahwa cadar adalah perintah Quran dan perempuan yang melanggar telah melakukan pelanggaran serius terhadap hukum Islam. 7 Lebih jauh, aplikasi kode berbusana ini menyumbang perlakuan berbeda antara perempuan dan laki-laki karena lakilaki diperlakukan sebaliknya. Kemudian bagaimana sebenarnya tema dan nilai yang diusung oleh filmfilm Iran pascarevolusi? Apakah dengan ketatnya kendali pemerintah Republik Islam kemudian para pembuat film tidak bebas menginterpretasikan ide-ide mereka ke dalam pita seluloid? Karena kode sensor yang cukup kuat dari pemerintah dengan membatasi apa yang boleh dan tidak boleh digambarkan oleh para pembuat film, banyak sutradara mengambil resiko dengan menembus batasan-batasan yang telah digariskan oleh pemerintah. 5
Ibid. hal. 58 Leila Ahmed, Women and Gender in Islam , (London: Yale University Press. 1992), hal. 145 7 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS. 2003), hal. 85 6
Universitas Indonesia
Sebagai bagian dari negara dunia ketiga yang gagasan-gagasan perfilman nasionalnya seringkali mengusung ide-ide tentang pergolakan politik dalam negeri, kondisi sosial masyarakat, dan isu gender, 8 sejak awal perkembangannya perfilman Iran banyak memproduksi film-film yang bertemakan perempuan. Pencitraan perempuan dalam film Iran adalah refleksi dari kondisi masyarakatmasyarakat pada masanya. Seiring berjalannya sejarah, sama seperti dalam kehidupan nyata, problematika perempuan yang kompleks begitu sulit untuk diterjemahkan, baik karena regulasi yang berlaku di masing-masing periode kekuasaan, ataupun karena sikap masyarakat sendiri yang tidak memiliki selvesawareness terhadap ketimpangan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Hal ini membuat para sineas Iran mengalami kesulitan dalam merepresentasikan perempuan sebenarnya ke dalam film. Dengan terbatasnya kebebasan berekspresi bagi perempuan di muka umum, maka sejumlah sutradara dan penulis memfilmkan kondisi gender dalam masyarakat Iran khususnya pada masa pemerintahan Republik Islam. Atas dasar tersebut, penulis ingin mengetahui lebih lanjut dan kemudian menggambarkan film-film yang mengetengahkan perempuan dalam masyarakat Iran pascarevolusi Islam. Alasan mengapa penulis memilih film Iran dibandingkan dengan film-film negara Timur Tengah lain, sebab penulis melihat keberhasilan film-film Iran yang lebih mampu merepresentasikan kehidupan masyarakat negara tersebut dengan lebih lugas dan transparan. Parameternya dari kesuksesan film-film Iran dalam dua puluh tahun terakhir di pentas perfilman internasional. Para sineas Iran beserta karya-karyanya dianggap lebih mampu unjuk gigi di festival-festival internasional, bukan hanya sebagai representasi pembuat film dari dunia ketiga yanag berhasil, namun juga sineas Timur Tengah yang mampu membuat karya seobyektif mungkin yang telah diperlihatkan ke seluruh dunia. Berkaitan dengan itu, penulis akan membandingkan dua film, karya dua sutradara yang merepresentasikan citra perempuan dalam film-film tersebut. Penulis akan mengambil dua judul film masing-masing dari sutradara kawakan Iran, Abbas Kiarostami berjudul 10, dan film karya sutradara Marjane Satrapi 8
Roy Armes, Third World Film Making And The West, (Berkeley: University of California Press. 1987) hal. 87
Universitas Indonesia
berjudul Persepolis. Kedua film ini diharapkan dapat menggambarkan nilai-nilai feminisme Islam dan menciptakan citra perempuan Muslim Iran yang mampu mengerahkan potensi dirinya dan berani memberontak dominasi budaya patriarki yang kental pada masyarakat Iran. Penulis akan melihat apakah masing-masing tokoh perempuan dalam kedua film dapat merepresentasikan citra perempuan yang mampu memanfaatkan potensi dirinya ataukah perempuan yang menjadi obyek penderita. Untuk mengetahui hubungan antara citra perempuan dalam kedua film, penulis meninjaunya dari sudut pandang feminisme Islam yang terproyeksikan melalui film-film tersebut.
1.2
Rumusan Masalah Sejak satu dasawarsa setelah revolusi Islam bergulir, film-film Iran yang
bertemakan perempuan diproduksi dalam jumlah besar. Jika problematika perempuan dalam masyarakat Iran tidak begitu rumit, maka para sineas juga tidak akan memproduksi film-film berperspektif perempuan tersebut dalam jumlah yang
lebih
besar.
Maka
penelitian
ini
mengangkat
film-film
yang
mengetengahkan masalah-masalah gender dan mencitrakan perempuan di dalamnya. Dari sejumlah film berperspektif perempuan tersebut, penulis memilih 10 karya Abbas Kiarostami dan Persepolis karya Marjane Satrapi sebagai film yang mampu memvisualisasikan nilai feminisme Islam di dalam kedua film tersebut. Feminisme Islam dipakai untuk mendekonstruksi interpretasi yang digunakan untuk menjustifikasi dominasi budaya patriarki dalam masyarakat Muslim Iran. Penulis ingin mengetahui bagaimana sejarah perkembangan film Iran dan film-film Iran yang berperspektif perempuan. Sejarah perkembangan film tersebut akan penulis gunakan sebagai background information kondisi perempuan Iran dari masa prarevolusi hingga pascarevolusi. Kemudian penulis ingin mengetahui masalah-masalah gender didasari observasi feminisme Islam yang muncul dalam film 10 dan Persepolis.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan
perfilman Iran dan film Iran yang berperspektif perempuan dan untuk mengetahui
Universitas Indonesia
serta menunjukkan masalah-masalah gender dalam masyarakat Iran yang direfleksikan lewat film karya Abbas Kiarostami 10 dan Marjane Satrapi Persepolis. Dalam penelitian ini, penulis meneliti feminisme Islam yang terproyeksikan dalam film dokumenter-drama karya Kiarostami, 10 serta film drama animasi karya Satrapi, Persepolis. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui persamaan maupun perbedaan citra perempuan dari masing-masing tokoh perempuan dalam kedua film. Penelitian ini juga ingin menunjukkan citra perempuan dalam kedua film dapat berpotensi memperjuangkan kesetaraan ataukah citra perempuan sebagai korban dominasi laki-laki.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini menitikberatkan pada feminisme Islam yang
muncul dalam film 10 karya sutradara Abbas Kiarostami dan film Persepolis karya sutradara Marjane Satrapi.
1. 5
Landasan Teori Penulis menggunakan teori feminisme Islam dan citra perempuan dalam
film sebagai kerangka analisis penelitian terhadap film 10 dan film Persepolis. Menurut Dr. Ross Gill dalam kuliahnya mengenai “Perempuan dalam Media” di Gender Institute, London School of Economics and Political Science (29 Januari 1997), salah satu cara pandang untuk melihat sosok perempuan dalam sinema adalah dengan melihat citra tentang perempuan, yaitu dengan melakukan pendekatan sejarah dan sosiologis guna melihat sosok perempuan dalam film. Jika ingin menganalisis citra perempuan dalam sebuah karya film, maka yang dikhususkan adalah analisis semua wujud gambaran sikap, sifat dan peran yang diekspresikan oleh perempuan. Melalui penggambaran tersebut, dapat diketahui apakah terdapat usaha melepaskan diri dari nilai-nilai stereotip yang berlaku di masyarakat. Mereka yang mengamati sosok perempuan dalam film dari sudut
Universitas Indonesia
pandang ini akan lebih mengadvokasikan ‘citra positif’ perempuan guna melawan gambaran stereotip yang seksis. 9 Untuk mengkaitkan penelitian terhadap citra perempuan Iran sebagai perempuan muslim yang juga hidup di negara muslim (Syiah), penulis menggunakan kajian feminisme Islam yang berisi pandangan-pandangan dari berbagai feminis muslim. Berdasarkan pendapat Maggie Humm 10 , yang mengemukakan bahwa definisi feminisme ditentukan oleh pemahaman ideologi dan budaya feminis tersebut, maka feminisme Islam merupakan suatu paham yang dalam hal tertentu berbeda dengan feminisme lain. Menurut Margot Badran, kaum feminis Muslim secara historis menempatkan gerakan mereka dalam konteks Islam. 11 Feminis muslim menggugat pembagian kerja laki-laki dan perempuan yang diskriminatif. Gerakan feminis muslim menuntut dihentikannya diskriminasi gender baik dalam keluarga maupun masyarakat. 12 Diskriminasi gender yang dibudayakan dalam tradisi ini muncul lewat benturan yang dihadapi tokoh-tokoh yang mencoba memberontak terhadap tradisi-tradisi yang meminggirkan dan menindas mereka. Gagasan Qasim Amin tentang perempuan memperlihatkan benang merah yang menyambungkan untuk kali pertama emansipasi perempuan di dunia Islam, terutama pembaharuan hak-hak perempuan dalam masyarakat Muslim. Salah satunya, mengenai perempuan dan tradisi hijab. Apa yang dimaksud Amin dengan tradisi hijab di Mesir saat itu adalah pemakaian cadar dan pemingitan perempuan. Gagasan utama Amin bukanlah bermaksud membongkar dan membuang norma hijab yang telah digariskan ajaran agama, melainkan merestorasi bentuk hijab yang sebenarnya (hijab syar’i), seperti yang dikehendaki oleh teks-teks suci ajaran agama. 13
9
Sita Aripurnami, “Menelusuri Beberapa Cara Pandang untuk Melihat Perempuan dalam Sinema”. Jurnal Perempuan Edisi 07, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perepuan, Mei-Juli 1998) hal. 63 10 Maggie Humm, The Dictionary of Feminist Theory, (New York; London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, 1995) 11 Margot Badran, “Feminism” dalam John L. Esposito Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2001) hal.69 12 Margot Badran “Independent Woman, More than a century of Feminism in Egypt” dalam buku Judith E.Tucker, Arab Women, old Boundaries New Frontier, (London: Macmillan 1993) hal. 142 13 M.Arskal Salim GP, “Pembebasan Perempuan di Dunia Islam: Pemikiran Qasim Amin”, Jurnal Perempuan, Edisi 10, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Februari-April 1999) hal.46
Universitas Indonesia
Menurut Fatima Mernissi, hijab telah menjadi suatu institusi yang terdapat pada ayat Quran, yakni QS 33:53. 14 Hijab juga memiliki tiga konsep dimensional, hijab secara visual dimaksudkan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan. Pada ranah spasial, hijab berarti memisahkan, membatasi, dan mendirikan ambang pintu. Lebih jauh, dari aspek etikal, hijab digunakan untuk menandakan bahwa sebuah obyek dapat termasuk pada ranah yang terlarang. Ranah ini meliputi ide-ide dari dunia yang tidak teraba. 15 Hijab juga bukan hanya dapat menandakan pemisahan antara pria dan wanita, namun juga antara perempuan dengan Tuhan, seperti pernyataan “hijab yang merupakan aturan Tuhan dimaksudkan untuk memisahkan perempuan dari laki-laki, dari Nabi, dan juga dari Tuhan. 16 Lebih jauh lagi, jika tubuh perempuan diterima sebagai representatif dari masyarakat, maka memproteksi perempuan dengan cara menyelubungi mereka dan menutup mereka dari dunia luar telah menggemakan masyarakat untuk menutup dan memproteksi mereka dari pengaruh Barat. 17 Maka dengan adanya hijab, perempuan telah menjelma ke dalam wacana pengasingan. Dalam bukunya, Women and Islam, an Historical and Theological Enquiry, Fatima Mernissi juga banyak mengulas tentang kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Lebih lanjut, ia memfokuskan penelitian pada sejarah perempuan. Mernissi juga meneliti sebab-sebab munculnya ayat-ayat dan hadishadis yang memperkuat keyakinannya bahwa budaya patriarkilah yang berusaha memarjinalkan perempuan. Mernissi berpendapat, feminisme, selain untuk meruntuhkan penindasan dan eksploitasi perempuan, juga perlu merekonstruksi peran dan posisi perempuan, lalu menyosialisasikannya dalam berbagai representasi budaya. Perempuan juga memerlukan strategi dan kecerdasan untuk mewujudkan perjuangannya, yaitu dengan membangun citra yang baru untuk merubah pandangan yang telah lama melekat di masyarakat
14
Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elie (transl.Mary Jo Lakeland), (New York: Basic Books. 1991), hal.92 15 Ibid.hal. 95 16 Ibid.hal.101 17 Ibid.hal.99
Universitas Indonesia
Dengan ini perempuan harus dapat menguasai dan menyosialisasikan wacana 18 baru untuk merekonstruksi citra lama yang tertanam di masyarakat ke dalam produk-produk budaya populer seperti media massa dan film, ditambah dengan tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang memberi pembelajaran kepada perempuan untuk membangun citra baru tersebut.
1. 5
Metodologi Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahap-tahap
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi dan dengan menganalisisdeskripsikan pembahasan penelitian. Sehubungan dengan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membahas representasi perempuan di masyarakat Timur Tengah di era penciptaan
karya
film.
Representasi
ini
diperoleh
dengan
mengumpulkan informasi dan pengetahuan tentang kode dan konvensi budaya Timur Tengah. Pengetahuan ini diperlukan sebagai background information untuk memahami dan menangkap pesan dalam film. Informasi dan pengetahuan ini didapatkan dari berbagai sumber buku sejarah, sosial, budaya, esai, dan komentar mengenai keadaan sosial budaya di masyarakat Iran di era penciptaan kedua film tersebut; paham, gagasan dan pemikiran dari pemikir-pemikir feminisme Islam; 2. Menganalisis film dengan membahas kedudukan perempuan dalam dominasi yang ditampilkan dan diposisikan dalam kedua film, kemudian analisis dilakukan pada perilaku, pikiran dan percakapan serta posisi dan penggambaran tokoh-tokoh subjek atau objek dalam film; 3. Terakhir, menarik kesimpulan dari makna yang dihasilkan dengan mempertemukan makna dari cara perlawanan perempuan dalam film dengan gagasan ideologi tandingan. 18
Wacana di sini tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sebagai sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah konsep, gagasan, atau efek). Dengan begitu, maka wacana dapat dideteksi, karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Menurut Foucoult, kebenaran tergantung pada siapa yang menguasai wacana. (John Storey, An Introductory to Cultural Theory and Pop Culture. (NY:Harverster Wheatsheaf. 1993) hal. 92-93.)
Universitas Indonesia
1. 6
Tinjauan Pustaka Penelitian dengan melakukan kajian film dari negara Muslim umumnya
dan membongkar makna perjuangan perempuan memakai pandangan feminisme Islam
khususnya, belum penulis temukan. Sejauh ini penulis juga belum
menemukan kajian pustaka mengenai citra perempuan dalam film 10 dan Persepolis. Namun penulis menggunakan laporan penelitian Okke K.S Zaimar, Citra Wanita dalam Sinetron Indonesia, sebagai suatu tinjauan yang paling mendekati bahan studi penelitian citra perempuan dalam film. Laporan penelitian terbitan Universitas Indonesia tahun 1997 ini membahas citra perempuan dalam media, yaitu sinetron, serta menganalisis data secara semiotis dari segi semantik dan juga sintaksisnya. Kemudian penulis juga menggunakan buku-buku sejarah perfilman Iran sejak periode prarevolusi hingga periode pascarevolusi sebagai rujukan, yaitu buku Hamid Reza Sadr, Iranian Cinema: A Political History, terbitan I.B Tauris, London tahun 2006, berisi informasi lengkap perfilman Iran sejak periode 1900an hingga 2005 dan buku Richard Tapper (ed.), The New Iranian Cinema: Politics, Representation and Identity, terbitan I.B Tauris, London tahun 2002, berupa kumpulan esai yang ditulis oleh para sineas dan kritikus film Iran dalam berbagai aspek politik, budaya, sosial dan sinematografi secara khusus.
1.7
Sistematika Penulisan Di dalam sistematika penulisan ini akan disusun suatu kerangka penulisan
yang dituangkan dalam setiap bab atau sub-sub judul mengenai poin-poin penting. BAB I adalah pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, beserta perumusannya, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penulisan, landasan teori, sumber pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II adalah sejarah perkembangan film Iran dan film Iran yang berperspektif perempuan pada masa prarevolusi dan pascarevolusi. Dari sini pula diketahui kondisi masyarakat dan terutama perempuan Iran di bawah kekuasaan pemerintahan Republik Islam Iran. BAB III adalah permasalahan utama feminisme Islam, yang dilihat dari masalah-masalah gender dan citra perempuan, yang diproyeksikan melalui dua
Universitas Indonesia
film Iran karya dua sutradara. Penelitian difokuskan pada film 10 (Ten) karya Abbas Kiarostami. Dan film Persepolis karya Marjane Satrapi. BAB IV adalah kesimpulan atas masalah yang diketengahkan. Penulis akan membandingkan setelah menganalisis kedua film tersebut. Kemudian akan ditarik kesimpulan dari keseluruhan penelitian.
Universitas Indonesia