BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Pada tahun 2005, LBH Apik mencatat adanya kecenderungan peningkatan
kasus poligami yang mencapai angka 106 kasus dari 58 kasus yang ditangani pada tahun 2001-2003 (ICRP, 2007). Data dari LBH Apik Jakarta tahun 2001-2003 menyebutkan bahwa 58 orang perempuan mengadukan suami mereka karena menikah untuk kedua kalinya tanpa izin. Dari pengaduan tersebut, dapat diidentifikasi pola atau modus poligami. Sebanyak 21 kasus menyebutkan bahwa suami menikah lagi dibawah tangan tanpa izin istri, Sembilan belas kasus menikah lagi dengan cara memalsukan identitas, empat kasus menyebutkan bahwa suami menikah lagi dengan mendapatkan izin secara paksa, dan selebihnya modus tidak diketahui (Farida, 2008). Setiati (2007) mengatakan pembicaraan tentang poligami kembali mencuat di penghujung tahun 2006 karena poligami yang dilakukan oleh dai kondang KH. Abdullah Gymnastiar. Pada bulan Desember 2006, pemilik pesantren Darut Tauhid Bandung ini mengakui bahwa pernikahan keduanya telah berlangsung selama tiga bulan. Banyak diantara para muslimah Indonesia yang dulunya mengagumi Kyai ini merasa marah terhadap Aa Gym dan mengasihani istri pertamanya. Hal yang membuat ibu-ibu semakin kecewa adalah Aa Gym pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan berpoligami karena sudah cukup bahagia dengan keluarganya (Setiati, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Farida (2008) dalam bukunya yang berjudul Menimbang Dalil Poligami menuliskan bahwa sejak dahulu tema poligami telah banyak dibahas dan diperdebatkan oleh ulama agama Islam. Selanjutnya Farida (2008) juga mengatakan bahwa Islam sebagai salah satu agama di dunia memang memperbolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang perempuan. Cook (2007) menyatakan bahwa poligami terjadi ketika seseorang menikahi lebih dari satu pasangan dalam waktu yang bersamaan. Selanjutnya DeGenova (2008) menyatakan bahwa terdapat dua tipe poligami, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri yakni ketika seorang perempuan menikahi lebih dari satu laki-laki. Konsep poligini yakni ketika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi, bentuk poligami yang paling umum adalah poligini (Cook, 2007). Masyarakat juga cenderung mengartikan poligami sama dengan poligini (suami memiliki banyak istri) sehingga istilah poligami yang kemudian lebih banyak dipakai (Farida, 2008). Maka untuk selanjutnya istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah poligami yang berarti seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Husein (2007) mengartikan poligami sebagai sistem perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap beberapa perempuan baik dalam waktu bersamaan maupun tidak. Hal ini sejalan dengan pengertian poligami yang dikatakan oleh Widyastuti dan Prawitasari (2003) yang mengartikan poligami sebagai suatu bentuk perkawinan dimana seorang laki-laki dapat memiliki lebih dari seorang istri secara bersama-sama.
Universitas Sumatera Utara
Farida (2008) menuturkan bahwa fenomena poligami terutama yang dilakukan oleh Aa Gym semakin mempertajam pro dan kontra perkawinan poligami. Praktek poligami di Indonesia sendiri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, namun tokoh masyarakat dan tokoh agama juga melakukan poligami dengan alasan sebagai perwujudan komitmen terhadap agama dalam kehidupan. Tabloid Paras terbitan bulan Februari 2007 menuliskan bahwa poligami sampai saat ini masih menjadi fenomena yang menakutkan bagi kaum perempuan. Bayang-bayang kekuatiran ‘berbagi suami’, persaingan sesama istri serta berkurangnya perhatian terhadap anak membuat pernikahan ini sulit diterima oleh perempuan. Kendati demikian, perempuan tidak bisa menolaknya. Sebab legalitas pernikahan poligami dijamin agama Islam dengan prasyarat tertentu. Persoalan cinta yang diduakan, realitas poligami di masyarakat dan adanya ragam interpretasi ayat poligami, membuat pembahasan poligami tidak kunjung selesai. Baker dan Ghany (dalam Al-Krenawi & Nevo, 2006) mengatakan bahwa penjelasan mengenai poligami terdapat dalam Islam sebagai salah satu agama yang membolehkan laki-laki memiliki empat istri (Quran, surat 4 ayat 3). Akan tetapi, Baker dan Ghany (dalam Al-Krenawi & Nevo, 2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa Islam memberikan izin poligami dengan ketentuan : laki-laki tersebut tidak boleh memiliki lebih dari empat istri dalam waktu yang bersamaan; harus memiliki sumber daya ekonomi yang sesuai demi memberikan keseimbangan kepada lebih dari satu perempuan; dan laki-laki tersebut harus memberikan perhatian serta peduli kepada semua istrinya secara adil.
Universitas Sumatera Utara
Poligami adalah kegiatan amal ibadah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi faktor keimanan ke hadirat Allah SWT, keimanan kepada kitab suci Al-Quran sebagai sumber kebenaran, dan pedoman kehidupan bagi manusia yang ingin bertaqwa (Setiyaji, 2006). Berikut pernyataan seorang istri yang menerima poligami demi menjalankan syariat agamanya. “Dalam pandangan saya, berbagi dengan wanita lain dalam keluarga itu sangat mempunyai makna yang dalam. Artinya, hidup dan mati mereka itu untuk Islam. Poligami itu cara mudah untuk mendekatkan diri pada Allah dengan cara berbagi dengan orang lain. Poligami juga membuatku tak selalu tergantung dengan suami. Saya bisa mandiri, dan segala hidupku hanya untuk Allah”. G. Puspita ( dalam Paras, Februari 2007) Husein (2007) mengemukakan bahwa sebagian kalangan menganggap poligami adalah hal yang negatif, hal ini dikarenakan kenyataan yang terjadi di lapangan lebih banyak menunjukkan dampak negatif, seperti sikap suami yang berubah, kasih sayang suami yang berkurang, dan suami bersikap tidak adil, sehingga istri merasa kecewa dan sakit hati, bahkan mengalami stres terutama pada istri pertama. Seperti yang dikatakan oleh seorang Ibu berinisial D berikut ini.
“Saya nampaknya garang dan tabah di luaran. Tapi hati saya sebenarnya sudah lama hancur luluh lantak, dan tak ada lagi kepercayaan saya pada suami. Ada beberapa kali suami mengatakan ingin menceraikan si menor, tapi ia juga mempertanyakan apabila bercerai kelak, saya bisa menerimanya seperti dulu lagi? Sementara, katanya, dari si menor ia bisa mendapatkan kehangatan seorang perempuan. Menuliskan kalimat ini saja saya sudah merasa marah sekali” (dalam Kompas, 11 April 2006) Menghadapi suami yang berniat poligami adalah situasi yang sangat berat. Mental harus dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan suami tidak
Universitas Sumatera Utara
lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh. Belum lagi menghadapi berondongan pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya (Apik, 2006). Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang istri yang dipoligami berikut. “Yah, inilah perjuangan sebagai seorang istri. Yang namanya poligami memang berat bagi seorang wanita, Teteh juga wanita. Kalau mendengar kata-kata poligami, langsung panas dingin, demam”. N. Mutmainah (dalam Setiyaji, 2006) Dickson (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa beberapa perempuan memutuskan tetap berada dalam perkawinan dan mengizinkan suaminya berpoligami. Berbagai alasan dikemukakan seperti demi mencegah perselingkuhan atau karena tidak dapat melayani suami dengan baik, karena terpaksa dari segi ekonomi, atau karena keyakinan terhadap agama. Widyastuti dan Prawitasari (2003) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa proses kehidupan keluarga dalam pernikahan poligami dapat berdampak dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan dalam komposisi keluarga. Keluarga dengan status perkawinan monogami memiliki komposisi keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan seorang anak atau beberapa anak, sedangkan keluarga dengan status perkawinan poligami memiliki komposisi keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu kandung, seorang atau lebih ibu tiri, anak kandung dan anak tiri, juga saudara kandung dan saudara tiri. Berada dalam pernikahan poligami menurut Al-Mohannadi (dalam AlQatari, 2009) membuat istri merasa tidak diinginkan, hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
sejumlah stres pada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikatakan hal ini biasanya terlihat dari cara istri memperlakukan anak-anaknya yang dapat menimbulkan ketidakstabilan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Phillips (dalam Cook, 2007) di Timur Tengah menunjukkan bahwa istri pertama pada keluarga poligami tidak bahagia dalam pernikahannya dan ketidakbahagiaan tersebut dimanifestasikan dengan hadirnya penyakit fisik dan mental. Selain itu, penelitian yang dilakukan Achate et.al (dalam Elbedour, Bart, & Hektner, 2003) menunjukkan adanya rasa kecemburuan, konflik, stres emosional, ketegangan, kegelisahan dan kecemasan yang besar pada istri dalam keluarga poligami. “Setiap ia akan mendekati saya, bulu-bulu badan saya meremang seperti ayam yang baru dipotong dan dicabut bulunya. Sekuat hati saya coba menikmati hubungan kami, tapi menurut suami badan saya seperti kayu, kaku dan dingin”. D ( dalam Kompas, 11 april 2006) Lebih lanjut lagi, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozkan et.al, (2006) ditemukan bahwa pernikahan dalam bentuk poligami berdampak negatif terhadap para istri dalam pernikahan tersebut. Penelitian tersebut mengatakan bahwa istri yang berasal dari keluarga poligami cenderung mengalami distres psikologis (gangguan somatisasi) terutama pada istri pertama. Semua dampak ini tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan yang lainnya, tergantung seberapa baik proses penyesuaian yang individu lakukan (Wallerstein & Kelly dalam Huges, 1985). Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya. Perubahan dalam kehidupan menurut
Universitas Sumatera Utara
Holmes dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya. Holmes dan Richard (dalam Calhoun & Acocella, 1990) menemukan bahwa peristiwa perkawinan, pertambahan anggota keluarga baru, dan perubahan kondisi kehidupan merupakan peristiwa
hidup yang
membutuhkan penyesuaian diri. Menurut Calhoun dan Acocella (1990) penyesuaian diri merupakan interaksi yang kontinu antara diri individu itu sendiri dengan orang lain dan dunianya. Schneiders (1955) menyimpulkan penyesuaian diri sebagai kemampuan dalam keterbatasan pribadi untuk bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara yang efisien, sehat, dan memuaskan, sehingga memungkinkan untuk memecahkan konflik, frustasi dan kesulitan. Penyesuaian diri (Daradjat, 1983) memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Penelitian Al-Krenawi dan Nevo (2006) mengenai keberhasilan dan kegagalan pada keluaga poligami memuat beberapa pokok-pokok penting seperti
Universitas Sumatera Utara
faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses penyesuaian diri istri yang dipoligami yaitu faktor agama, keyakinan bahwa poligami sebagai aturan dari Tuhan atau takdir, sikap adil suami dalam berbagi, faktor tempat tinggal, dan sikap saling menghargai antar istri. Penyesuaian diri ini juga merupakan masalah tersendiri yang harus dihadapi dengan bijak. Permasalahan akan muncul jika proses penyesuaian ini mulai bertentangan dengan diri individu, yakni apabila individu terpengaruh oleh dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah individu harapkan untuk dilakukan (Calhoun & Acocella, 1990). Artinya penyesuaian diri memuat aspek-aspek penyesuaian pribadi dan sosial, dimana kedua aspek ini akan saling terkait satu sama lainnya (Daradjat, 1983). Sundari (2005) mengatakan manusia terkadang mengalami kegagalan. Individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan menjadi tidak tenang bila menghadapi suatu masalah, tidak mampu mengendalikan emosi, mengalami frustasi, konflik atau kecemasan. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan internal dan eksternal, mampu memecahkan masalah dengan rasio dan emosi yang terkendali serta bersikap realistis dan objektif (Sundari, 2005). Fenomena yang telah dipaparkan di atas cenderung terjadi pada istri yang dipoligami. Hal inilah yang menjadikan penyesuaian diri pada istri yang dipoligami menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut sehingga dapat terlihat lebih jelas bagaimana gambaran penyesuaian diri istri yang dipoligami.
Universitas Sumatera Utara
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diajukan rumusan
masalah yaitu bagaimana gambaran penyesuaian diri pada istri yang dipoligami ?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran penyesuaian diri pada istri yang dipoligami.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun
manfaat secara praktis. 1.
Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang
Psikologi terutama Psikologi Klinis dan bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi penelitian selanjutnya khususnya tentang penyesuaian diri pada istri yang dipoligami. 2.
Manfaat praktis
a.
Bagi istri yang dipoligami dapat mengetahui cara-cara yang dilakukan sebagai bentuk usaha penyesuaian diri ketika menjadi istri yang dipoligami.
b.
Bagi pasangan suami-istri monogami dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan ketika akan memutuskan berpoligami
Universitas Sumatera Utara
c.
Bagi masyarakat diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan sehingga tidak memberikan penilaian-penilaian yang semakin memperburuk kondisi keluarga yang berpoligami.
E.
Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini nantinya dibagi atas lima bab, dimana pada
setiap bab dapat dibagi menjadi sub-sub jika dianggap perlu. Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan berisikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta diakhiri dengan sistematika penulisan dari penelitian ini. Bab II
: Landasan teori berisi tentang landasan teoritis yang bersumber
dari literatur dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini. Bab III
: Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian
kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, responden penelitian, prosedur penelitian, dan prosedur analisis data. Bab IV : Analisa data dan interpretasi data berisikan deskripsi data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan. Bab V Kesimpulan, diskusi dan saran menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai penyesuaian diri pada istri yang dipoligami.
Universitas Sumatera Utara