BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Stroberi (Fragaria sp.) merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang penting di dunia, terutama untuk negara-negara berikilim subtropis. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi pertanian yang semakin maju, kini stroberi mendapat perhatian pengembangannya di daerah beriklim tropis. Di Indonesia, walaupun stroberi bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun pengembangan komoditas ini yang berpola agribisnis dan agroindustri dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber pendapatan dalam sektor pertanian. Stroberi ternyata dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik dalam kondisi iklim seperti di Indonesia (Budiman, 2006). Volume produksi stroberi tiap tahun mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat Statistik (2012) volume produksi stroberi tahun 2011 sebesar 41.035 ton meningkat 68% dari tahun 2010 yang hanya 24.846 ton. Peningkatan produksi ini sebanding dengan permintaan akan buah stroberi yang makin meningkat tiap tahunnya. Produksi stroberi dalam negeri belum mampu menutupi permintaan pasar yang tinggi sehingga pada tahun 2011 terdapat peningkatan impor stroberi sebesar 24,7%, yaitu dari 452 ton menjadi 564 ton (BPS, 2012). Stroberi merupakan salah satu komoditas hortikultura penting yang permintaannya cukup besar dari tahun ke tahun dan paling menguntungkan untuk diusahakan. Stroberi di Sumatera Utara terdapat di Kecamatan Berastagi tepatnya di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah dan Desa Korpri. Data menunjukkan bahwa
produktivitas petani stroberi di Desa Tongkoh pada tahun 2011 adalah 13.874,62 kg/Ha dan di Desa Korpri pada tahun 2011 sebesar 15.305,67 kg/ha. Petani di Sumatera utara (Tanah Karo) umumnya menanam jenis varietas Lokal Brastagi, Dorit, Sweet Charlie dan Osogrande (Departemen Pertanian, 2012). Budidaya stroberi saat ini telah berkembang di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa perkebunan stroberi yang terdapat di Lembang, Ciwidey (Bandung), Cipanas (Cianjur), Tawangmangu (Karanganyar), Batu (Malang), Tabanan, Bedugul (Bali), Karangmulya (Garut), Berastagi (Sumatera Utara) dan Sawangan (Magelang) yang dikenal sebagai sentra stroberi di Indonesia (Sari, 2008). Buah stroberi merupakan salah satu produk hortikultura dengan prospek yang cukup baik. Pada umumnya, stroberi dipasarkan pada suhu ruang. Cara pemasaran ini akan berpengaruh pada kecepatan penurunan kualitas buah dan masa simpannya, serta berpengaruh pada ketersediaan dan pemasaran buah. Setelah dipanen, buah stroberi masih mengalami proses pengangkutan dan penyimpanan. Pada proses ini terjadi metabolisme dengan menggunakan cadangan makanan yang terdapat di dalam buah. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat proses senesen (Fahmi, 1997). Tingkat kerusakan buah yang lain dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaan buah, dan secara alami dihambat oleh lapisan lilin yang terdapat di permukaan buah (Kinzel, 1992). Lapisan lilin tersebut dapat berkurang atau hilang akibat pencucian yang dilakukan pada saat penanganan pasca panen.
Selain itu masalah yang dihadapi adalah sifat buah stroberi yang mudah rusak (perishable) sehingga dapat mengurangi jumlah buah yang dapat dijual serta menjadi suatu faktor penghambat dalam pendistribusian stroberi terutama untuk jarak jauh. Sifat mudah rusak buah stroberi disebabkan oleh kepekaan terhadap suhu tinggi, kerusakan mekanik akibat benturan dan kehilangan air. Suhu optimum untuk penyimpanan stroberi adalah 32°F atau 0°C (Kaban, 2009). Kerusakan tersebut diakibatkan terjadinya perubahan fisiologis, kimia, sifat organoleptik (rasa, bau dan tekstur), serta keamanannya untuk dikonsumsi. Kerusakan dapat pula diakibatkan oleh terjadinya pembusukan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang sering menyebabkan pembusukan pada stroberi seperti adanya kapang kelabu Botrytis Cinerea. Kapang kelabu memiliki gejala berupa bagian buah membusuk dan berwarna coklat mengering. Melihat masalah tersebut, maka diperlukan suatu cara untuk dapat mempertahankan daya simpan dengan tetap mempertahankan kualitasnya (Purwanti, 2010). Salah satu metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme pada buah adalah Edible coating yaitu suatu metode pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk melindungi buah dari pengaruh luar seperti serangan mikroorganisme, menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah (Ferdiansyah, 2005). Chitosan adalah salah satu bahan yang bisa digunakan untuk pengawetan atau coating buah, yang merupakan polisakarida berasal dari limbah kulit udang-udangan
(Crustaceae). Chitosan mempunyai potensi yang baik sebagai pelapis buah-buahan, misalnya pada tomat (Ghaouth dkk., 1991) dan leci (Dong dkk, 2003). Sifat lain Chitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman. Enzim ini dapat mendegradasi chitin, yang menjadi penyusun utama dinding sel fungi, sehingga dapat digunakan sebagai fungisida (Ghaouth dkk., 1991). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelapisan dengan chitosan dapat memperpanjang daya simpan dan kesegaran serta menjaga produk dari kerusakan (Suptijah, 1992). Chitosan pada konsentrasi 1.5% dilaporkan dapat memberikan hasil yang
terbaik
dalam
mempertahankan
kualitas
buah
apel.
Perlakuan juga dilakukan terhadap salak pondoh dengan konsentrasi 0,5 % pada penyimpanan suhu 15 °C, terbukti
mampu menghambat kerusakan buah salak
pondoh selama penyimpanan baik kerusakan kimia maupun fisik (Setyasih, 1999). Chitosan juga digunakan sebagai pengawet pada permukaan buah pepaya yang mampu menghambat proses respirasi pada konsentrasi 0,75 % ( Ramadhan, 2010). Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapt menghambat pertumbuhan mikroba. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan karena chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang ( Wardaniati, 2011). Karakteristik buah yang biasa dilakukan upaya pengawetan adalah buah yang bersifat mudah busuk karena mengandung kadar air yang tinggi. Umumnya buah bersifat mudah rusak (busuk). Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1-2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya menjadi
asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Untuk itu perlu dilakukan upaya pengawetan dengan bahan alami yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Kusuma,2008). Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik memanfaatkan chitosan untuk memperpanjang waktu penyimpanan buah stroberi yang merupakan salah satu buah yang sangat disukai masyarakat Indonesia. Sifat stoberi yang mudah rusak dapat mengurangi jumlah buah yang dapat dijual serta menjadi suatu faktor penghambat dalam pendistribusian stroberi terutama untuk jarak jauh. Melihat masalah tersebut, maka diperlukan suatu cara untuk dapat mempertahankan daya simpan dengan tetap mempertahankan kualitasnya . Dari penelitian ini diharapkan chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia serta dapat mempertahankan aspek gizi yang terkandung di dalamnya. 1.2. Rumusan Masalah Sifat stoberi yang mudah rusak dapat mengurangi jumlah buah yang dapat dijual serta menjadi suatu faktor penghambat dalam pendistribusian stroberi terutama untuk jarak jauh. Khasiat chitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri tampaknya menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet pada buah-buahan terutama stroberi. Berdasarkan uraian tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian guna mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada buah stroberi (Fragaria x ananassa Duch).
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) sebagai pengawet alami pada buah stroberi (Fragaria x ananassa Duch). 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui waktu simpan buah stroberi yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 0% (aquadest sebagai kontrol) dan dilihat ciri fisik stroberi yaitu tekstur, bau dan warna. 2. Untuk mengetahui waktu simpan buah stroberi yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 0,5% dan dilihat ciri fisik stroberi yaitu tekstur, bau dan warna. 3. Untuk mengetahui waktu simpan buah stroberi yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 1% dan dilihat ciri fisik stroberi yaitu tekstur, bau dan warna. 4. Untuk mengetahui waktu simpan buah stroberi yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 1,5% dan dilihat ciri fisik stroberi yaitu tekstur, bau dan warna. 5. Untuk mengetahui waktu simpan buah stroberi yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 2% dan dilihat ciri fisik stroberi yaitu tekstur, bau dan warna.
6. Untuk mengetahui uji organoleptik melalui uji tingkat kesukaan yang meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur pada stroberi hasil rendaman dengan larutan chitosan 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2 %. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi produsen buah-buahan seperti stroberi, bahwa chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami untuk memperlama waktu simpan pada buah stroberi. 2. Sebagai bahan informasi bagi industri pengolahan udang agar cangkang udang dimanfaatkan dengan cara memodifikasi chitin dari cangkang udang menjadi chitosan. 3. Sebagai bahan informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.