BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perkembangan ekonomi dan bisnis di Indonesia dewasa ini mengalami
peningkatan yang sangat pesat. Sehubungan dengan perdagangan dan industri negara Asia Tenggara yang memasuki era liberalisasi pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015, diiringi dengan perkembangan teknologi, komunikasi, dan transportasi yang semakin besar menjadikan persaingan semakin kompetitif. Peresmian MEA ini membuat semua perusahaan yang ada di Asia Tenggara semakin terpacu untuk dapat mengungguli persaingan, termasuk perusahaan yang ada di Indonesia. MEA bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan budaya. Menurut Harjanto, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (Kementerian Perindustrian), sektor industri di Indonesia perlu meningkatkan daya saing dan nilai tambahnya untuk bisa bersaing dalam era liberalisasi (www.kontan.co.id). Namun saat ini, daya saing industri Indonesia berada di posisi yang lebih rendah jika dibanding dengan negaranegara lain di ASEAN. Tingkat daya saing Indonesia di antara negara ASEAN berada di nomor empat (berdasarkan Global Competitiveness Index 2014-2015). Oleh karena itu, jika daya saing industri nasional tidak didorong, maka industri nasional akan tergilas dengan negara ASEAN yang lain. Pasalnya, Indonesia
1
2
merupakan pasar yang empuk karena memiliki jumlah penduduk sekitar setengah penduduk ASEAN. (www.liputan6.com) Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam seminar Peluang dan Tantangan Indonesia dalam MEA, di Jakarta (30/02/2015), juga berpendapat bahwa untuk menghadapi kompetisi yang semakin ketat, produktivitas industri manufaktur domestik perlu dipacu. Hal itu sangat mungkin diwujudkan melalui pengembangan teknologi, kualitas sumber daya manusia, serta pengadaan infrastruktur yang mumpuni bersama investasi. Hasil akhir yang diharapkan adalah produk-produk industri yang berdaya saing tinggi dengan harga kompetitif. (www.mediaindonesia.com) Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara itu. Perkembangan industri manufaktur dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja industri secara keseluruhan. Peranan sektor industri manufaktur dalam perekonomian di Indonesia sejatinya masih berpotensi besar untuk terus naik. Berdasarkan PDB (Product Domestic Bruto) seri 2010. sumbangan tertinggi sektor industri manufaktur hanya 29 % pada tahun 2001. Setelah itu turun hingga mencapai titik terendah sebesar 23,7% pada tahun 2014. Pasca krisis tahun 1998 pertumbuhan industri manufaktur nyaris hampir selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Selama kurun waktu 2011-2014, industri manufaktur tumbuh hanya 5,3% rata-rata setahun, persentase tersebut lebih rendah ketimbang
3
pertumbuhan PDB sebesar 5,7%. Pada triwulan I-2015, pertumbuhan industri manufaktur kian terseok dibandingkan dengan pertumbuhan PDB. Pada kuartal II/2015, Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa pertumbuhan industri pengolahan nonmigas mencapai 5,27% lebih tinggi dari kuartal sebelumnya 5,21%, didorong industri logam, farmasi, serta makanan dan minuman. (www.faisalbasri01.wordpress.com) Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Syarif Hidayat, pertumbuhan industri yang berorientasi ekspor tengah tertekan seiring dengan ketidakpastian pasar global yang diperparah dengan devaluasi mata uang Cina. Akibatnya, ekonomi di semua negara tertekan, manufaktur juga terkena dampak. Industri logam, farmasi, serta makanan dan minuman masih menjadi penggerak pertumbuhan karena permintaan dari dalam negeri yang besar serta produksi Indonesia yang cukup baik. Oleh karena itu, pemerintah harus terus meningkatkan daya beli masyarakat agar semua hasil produksi manufaktur dapat diserap pasar domestik. Selain itu, Kementerian Perindustrian tengah berupaya membuka pasar ekspor tujuan baru. Khusus industri otomotif, yang saat ini penjualannya di dalam negeri juga turun, tengah didorong membuka pasar ekspor di negara Timur Tengah. Dengan demikian diharapkan mampu menolong kinerja ekspor nasional (www.tempo.com). Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor RI pada JanuariMaret 2015 mengalami penurunan sebesar 11,67 % dibanding tahun 2014. Harga bahan baku impor melonjak. Tak sebanding dengan nilai jual produk hasil industri di pasar lokal. Dampaknya antara lain, biaya produksi membengkak dan penjualan
4
pun seret (www.kompas.com). Padahal, untuk mempertahankan eksistensi dalam persaingan industri, perusahaan harus memperhatikan aspek penjualan. Menurut Gantino dan Erwin (2009), dalam penelitiannya mengenai pengaruh biaya kualitas terhadap penjualan, menyebutkan bahwa, penjualan merupakan salah satu indikator paling penting dalam sebuah perusahaan karena penjualanlah yang dapat menghasilkan laba untuk sebuah perusahaan. Bila tingkat penjualan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut besar, maka laba yang dihasilkan perusahaan itu pun akan ikut meningkat sehingga perusahaan dapat bertahan dalam persaingan bisnis dan dapat mengembangkan usahanya. Horngren et al. (2008:13) menyatakan bahwa terdapat key success factor yang harus dipenuhi untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan bersaing dengaan perusahaan lainnya di pasar. Key success factor tersebut adalah cost and efficiency, quality, time, dan innovation. Menurut Simmon dan White (1999), peningkatan daya saing global telah menimbulkan pengharapan konsumen yang semakin besar berkaitan dengan kualitas. Perusahaan agar dapat meningkatkan penjualan sehingga mampu berkembang dan paling tidak bertahan hidup, maka perusahaan dituntut untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik dengan harga murah, dan pelayanan yang memuaskan terhadap pelanggan. Arliany (2015) pun menyatakan dalam penelitiannya mengenai biaya kualitas, bahwa kunci untuk meningkatkan daya saing adalah dengan menciptakan produk yang dapat memberikan nilai tambah, baik dari segi manfaat maupun kualitas, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Ketika pelanggan puas dan
5
pangsa pasar telah dikuasai, maka tingkat penjualan perusahaan dapat ditingkatkan sehingga eksistensinya dapat dipertahankan. Kompleksitas suatu industri menyebabkan setiap perusahaan harus selalu berusaha meningkatkan kualitasnya agar kepuasan pelanggan dapat terwujud. Menjadi sangat penting bagi perusahaan untuk memperoleh suatu jaminan kualitas yang menandakan perusahaan memenuhi standar kualitas yang baik. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan perbaikan kualitas secara terus menerus dalam upaya membangun bisnis yang berkelanjutan dan dapat bersaing. Untuk mencapai mutu produk yang diinginkan konsumen, maka perlu adanya pengukuran terhadap kualitas. Membahas mengenai pengukuran terhadap kualitas, tidak akan terlepas dengan aspek kuantitatif yang melekat padanya, yaitu mengenai biaya kualitas (cost of quality). Biaya kualitas merupakan indikator finansial kinerja kualitas perusahaan. Beberapa perusahaan kelas dunia menggunakan ukuran biaya kualitas sebagai indikator keberhasilan program kualitas yang dapat dihubungkan dengan keuntungan perusahaan, nilai penjualan, harga pokok penjualan, atau total biaya produksi (Tandiontong et al., 2010). Biaya kualitas ini dapat digunakan untuk mengetahui
bagaimana
penerapan
fungsi
sistem
pengendalian
kualitas
perusahaan. Semakin rendahnya biaya kualitas menunjukkan semakin baiknya program perbaikan kualitas yang dijalankan oleh perusahaan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pangsa pasar dan nilai penjualan. Peningkatan kualitas pada perusahaan merupakan kegiatan pokok perusahaan untuk meningkatkan produk yang dihasilkan dan untuk memudahkan manajemen dalam
6
menganalisis biaya kualitas. Terdapat empat elemen biaya, yaitu biaya pencegahan (prevention cost), biaya penilaian (appraisal cost), biaya kegagalan internal (internal failure cost), biaya kegagalan eksternal (external failure cost) (Hansen dan Mowen, 2005:8). Perusahaan yang menginvestasikan modalnya pada aktivitas pengendalian (biaya pencegahan dan penilaian), maka semakin kecil biaya kegagalan yang akan terjadi. Meningkatnya biaya pencegahan yang dilakukan oleh perusahaan akan mengakibatkan aktivitas penilaian (berupa pengeluaran biaya penilaian) yang dilakukan juga akan meningkat. Hal itu terjadi karena kedua biaya yang dikeluarkan tersebut merupakan satu kesatuan usaha pengendalian yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas. Usaha pengendalian kualitas yang dilakukan akan mengakibatkan berkurangnya kualitas produk cacat yang dihasilkan. Jadi, apabila biaya pencegahan dan biaya penilaian meningkat, maka biaya kegagalan internal dan eksternal akan menurun. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan akan meningkat, karena produk akan sesuai dengan spesifikasi desain awal tanpa memiliki suatu kecacatan baik sebelum maupun setelah produk tersebut dikirim ke konsumen. (Tandiontong et. al, 2010) Selaku produsen, perusahaan akan dapat melakukan penghematan atas biaya tambahan yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan atau pengerjaan ulang terhadap produk-produk yang cacat. Tentu saja, pengurangan yang terjadi dalam
biaya
perbaikan
dan
pengerjaan
kembali
akan
mengakibatkan
berkurangnya pengeluaran untuk kegagalan internal sekaligus kegagalan eksternal
7
yang terjadi di dalam perusahaan. Jika perusahaan tidak melakukan aktivitas pengendalian, maka produk yang dihasilkan akan mengakibatkan banyaknya produk yang tidak berkualitas. Produk-produk yang tidak berkualitas ini apabila dijual akan terjadi ketidakpuasan pelanggan, banyaknya pengembalian barang (retur), hilangnya minat pelanggan, dan akan menurunkan harga jual. Seluruh fenomena tersebut secara langsung akan berdampak kepada penerimaan penjualan perusahaan. (Lestari dan Hakim, 2014) Dengan diterapkannya biaya kualitas dalam suatu perusahaan manufaktur, maka perusahaan diharapkan dapat menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan dapat memenuhi harapan atau tuntutan konsumen sehingga dapat memuaskan pelanggan. Jika produk berkualitas diproduksi sesuai target unit perusahaan, maka peluang untuk menjual produk tersebut semakin besar sehingga dapat meningkatkan volume penjualan dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. (Hansen dan Mowen, 2005:280) Telah terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji pengaruh antara biaya kualitas dengan penjualan, diantaranya adalah Arliany (2015) dan Utami (2012). Dari hasil penelitian tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa biaya kualitas berpengaruh positif secara signifikan terhadap penjualan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Gantino dan Erwin (2009), diperoleh hasil bahwa secara parsial, semua komponen biaya kualitas, yaitu biaya pencegahan, biaya penilaian, biaya kegagalan internal, dan biaya kegagalan eksternal, berpengaruh positif secara signifikan terhadap penjualan. Sedangkan Lestari dan Hakim (2014) memperoleh hasil bahwa dari keempat
8
komponen biaya kualitas, hanya biaya pencegahan yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat penjualan. Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2007) juga bertentangan dengan penelitian tersebut, yang menyimpulkan bahwa secara parsial, hanya biaya pencegahan, biaya penilaian, dan biaya kegagalan internal yang berpengaruh terhadap omzet penjualan, sedangkan biaya kegagalan eksternal tidak berpengaruh. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Alawiyah (2012) memperoleh hasil dengan uji t bahwa hanya biaya pencegahan dan biaya penilaian yang berpengaruh terhadap volume penjualan. Merujuk pada paparan sebelumnya bahwa biaya kualitas sebagai ukuran kuantitatif yang dipergunakan untuk mengukur kualitas dan pengaruhnya terhadap tingkat penjualan perusahaan, maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih lanjut mengenai seberapa besar pengaruh biaya kualitas terhadap tingkat penjualan perusahaan serta untuk mengetahui apakah dengan adanya biaya kualitas yang dikeluarkan perusahaan akan memberikan andil terhadap penerimaan penjualan di perusahaan manufaktur atau tidak. Maka berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Pengaruh Biaya Kualitas terhadap Tingkat Penjualan Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014”
9
1.1
Identifikasi Masalah Atas dasar latar belakang yang telah disebutkan di atas, permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah biaya pencegahan berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 2. Apakah biaya penilaian berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 3. Apakah biaya kegagalan internal berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 4. Apakah biaya kegagalan eksternal berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 5. Apakah biaya pencegahan, biaya penilaian, biaya kegagalan internal, dan biaya kegagalan eksternal berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014.
10
1.2
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui apakah biaya pencegahan berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 2. Untuk mengetahui apakah biaya penilaian berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 3. Untuk mengetahui apakah biaya kegagalan internal berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 4. Untuk mengetahui apakah biaya kegagalan eksternal berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014. 5. Untuk mengetahui apakah biaya pencegahan, biaya penilaian, biaya kegagalan internal, dan biaya kegagalan eksternal berpengaruh terhadap tingkat penjualan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014.
1.3
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh biaya kualitas terhadap tingkat
penjualan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini diharapkan berguna untuk beberapa pihak, diantaranya sebagai berikut :
11
1. Bagi perusahaan Hasil penelitian dapat menjadi masukan yang dapat membantu perusahaan dalam menilai pengaruh biaya kualitas sebagai alat bantu untuk meningkatkan penjualan dan laba perusahaan, untuk mengambil keputusan strategi perusahaan, serta untuk mempermudah pelaksanaan program kualitas. 2. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan perbandingan antara teori yang didapat selama perkuliahan dengan praktik yang terjadi di lapangan serta sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Ekonomi Program Studi Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. 3. Bagi pembaca dan civitas Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang lebih luas dan mendalam serta memberikan pengetahuan mengenai biaya kualitas dan tingkat penjualan dalam dunia usaha di Indonesia.