BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian
Peningkatan kebutuhan tenaga listrik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa energi listrik memiliki peran yang strategis dalam mendukung kehidupan masyarakat modern. Segala aktivitas masyarakat modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari energi listrik. Aktivitas perekonomian pun tidak bisa lepas dari penggunaan energi listrik. Proses produksi energi listrik menjadi kunci utama agar proses produksi bisa berjalan guna menjamin ketersediaan listrik untuk kehidupan.
Salah satu opsi untuk mengurangi emisi di sektor energi, khususnya untuk pembangkit tenaga listrik adalah dengan menggunakan energi baru dan terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLG). Gas alam dianggap lebih efisien karena memiliki pembakaran yang lebih sempurna dan bersih (clean burning) sehingga perawatan mesin menjadi
lebih murah. Dengan pembakaran yang bersih, gas alam menjadi lebih ramah lingkungan karena bebas dari logam berat. 1
Sejak mengawali kiprahnya di bisnis energi listrik di tahun 2010, PT. PP (Persero), Tbk langsung secara aktif berperan baik dalam tender proyek-proyek EPC dan IPP, maupun akuisisi proyek-proyek IPP. Salah satu pencapaian cemerlang adalah dengan memenangkan tender proyek Sewa Beli pembangkit Listrik berbahan bakar Gas 60 MW yang berlokasi di Talang Duku, Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan. Pengadaan PLBG Talang Duku tersebut merupakan kontrak perjanjian antara PT PLN (persero) Pembangkitan Sumbagsel dengan Konsorsium PT.PP (Persero), Tbk-PT Bangun Energy Resources-PT Navigat EnergyPT SNC Lavalin dan General Electric yang telah ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2011. Pendanaan pembangunan PLBG Talang Duku berasal dari kontraktor, sedangkan pembayarannya dilakukan oleh PLN berdasarkan produksi kWh yang dihasilkan dengan masa kontrak 7 (tujuh) tahun sejak beroperasi secara komersial.
Pada tahun 2008 sebagian besar pembangkit listrik PLN menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara dengan kapasitas terpasang mencapai 40% dari total kapasitas. Diikuti oleh pembangkit berbahan bakar gas sebesar 35% baik menggunakan pembangkit listrik turbin gas (PLTG), maupun pembangkit 1 Lebih jauh mengenai Energi Baru Terbarukan (EBT) lihat dalam: “Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) : Guna Penghematan Bahan Baku Fosil Dalam Rangka Ketahan Energi Nasinal” dikutip dalam Jurnal Kajian Lemhanas RI, Edisi 14, Desember 2012.
listrik gas combined cycle (PLTGU). Sisanya menggunakan pembangkit listrik tenga air (PLTA) sebesar 12%, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebesar 10%, pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 3%, dan sisanya pembangkit listrik tenaga minyak (PLTM) yang kapasitasnya saat ini sangat kecil. Sedangkan pembangkit tenaga angin meskipun sudah ada namun masih sangat kecil peranannya.2
Batubara menempati urutan pertama dalam membangkitkan tenaga listrik (33,83%) dengan alokasi biaya sebesar 15,38% yang menghasilkan biaya pembangkitan termurah yaitu sebesar Rp 113,92/kWh. Biaya pembangkitan termahal berasal dari PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yaitu sebesar Rp 579,89/kWh. Biaya bahan bakar diesel relatif mahal, namun biaya investasi PLTD relatif murah dibanding jenis pembangkit
lainnya
dan
biasanya
digunakan
untuk
sistem
ketenagalistrikan yang kecil. Untuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) tidak ada biaya bahan bakar, tetapi belum tentu PLTA menghasilkan listrik dengan biaya termurah karena pembangunan bendungan / waduk memerlukan biaya besar dan berdampak sosial-ekonomi bagi masyarakat. Jadi, rata-rata biaya pembangkitan yaitu sebesar Rp 250,48/kWh untuk perhitungan
tahun
anggaran
2003.
Biaya
pembangkit
dengan
menggunakan gas alam lebih mahal dari pada menggunakan batubara.
Lihat: Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2008 – 2018, Jakarta: PT PLN (Persero), hal.55 2
Pembangunan infrastruktur berupa sarana dan prasarana sebagai penunjang tercapainya tujuan bernegara memang tidak dapat dihindari. Namun tidak dapat juga dihindarkan kenyataan bahwa pemerintah mempunyai kemampuan terbatas sehingga dibutuhkan kerjasama dengan pihak swasta dalam mewujudkan semua kebutuhan tersebut. Maka perjanjian pemerintah sebagai penentu kebijakan negara dengan swasta sebagai pihak yang bekerja sama untuk mewujudkan lancarnya pembangunan sarana dan prasarana juga tidak dapat dihindarkan.3 Selanjutnya kontrak-kontrak kerjasama pemerintah, dengan swasta menjadi suatu hal yang biasa. Kemitraan publik (pemerintah) dan swasta pada tingkat yang tertinggi yaitu swastanisasi atau lebih dikenal sebagai privatisasi seringkali dipercaya membawa efisiensi dalam alokasi investasi dan meningkatkan kualitas pelayanan namun juga seringkali membawa masalah karena sulitnya mempertemukan dua kepentingan yang berbeda antara pemerintah yang menonjolkan kesejahteraan masyarakat dan swasta yang lebih mencari keuntungan. Privatisasi juga seringkali menghadapi kendala penolakan masyarakat yang mungkin disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap privatisasi yang sebenarnya dan kurang terbukanya privatisasi tersebut Sebagaimana diketahui kemitraan yang dijalin pemerintah dengan pihak swasta dalam bentuk kontrak kerjasama merupakan sebuah hubungan hukum yang terjadi antara dua pihak. Hal
3 Lihat: Zainal Asikin “Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah dan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur Publik”. dalam Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram NTB, Vol.25 No.1 Februari 2013.
yang diperjanjikan dalam kontrak tersebut bersifat privat, mengikat keduanya secara khusus sesuai dengan hal yang diperjanjikan. Sepanjang kontrak tersebut tidak bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian maka kontrak itu sah menurut hukum. Di dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) disebutkan bahwa ”Suatu perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Ketentuan tersebut menggarisbawahi bahwa perjanjian antar dua pihak bersifat privat. Untuk itulah jika pemerintah melakukan hubungan kontraktual walaupun di dalamnya selalu membawa nuansa bagian hukum berdasarkan hukum privat dan hukum publik, namun perjanjian yang dibuatnya termasuk dalam ranah privat. Masuknya pihak swasta asing dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri bukanlah suatu hal yang baru, terutama di era globalisasi ini. Efek munculnya kerja sama dengan negara lain bukan hanya masuknya sumber daya asing baik manusia maupun pembiayaan, tetapi juga model-model kontrak baru yang mewarnai kontrak kerja sama pemerintah dengan swasta. Akhir-akhir ini banyak bermunculan tipe kontrak kerjasama kontruksi dan pemborongan, yang umumnya disesuaikan dengan sistem pembiayaannya. Banyaknya corak ragam tersebut merupakan hasil kreasi para pelaku dalam bisnis kontruksi sebagai tuntutan dari perkembangan bisnis konstruksi itu sendiri.
Produk-produk baru di bidang kontrak konstruksi tersebut ada yang merupakan kombinasi dari beberapa pola tradisional, namun banyak pula yang merupakan benar-benar produk yang baru. Kiranya tipe kontrak konstruksi seperti Sewa Beli itu benar-benar merupakan model atau tipe kontrak yang masih belum banyak dikenal dalam masyarakat. Tipe kontrak konstruksi Sewa Beli secara garis besar merupakan model kontrak yang melibatkan dua pihak yakni pengguna jasa, pada umumnya pemerintah, dan penyedia jasa yakni pihak swasta. Pengguna jasa memberikan kewenangan kepada penyedia jasa untuk membangun infrastruktur dan mengoperasikannya selama waktu tertentu (disebut juga masa konsesi) dan penyedia jasa akan menyerahkan kepada pengguna jasa infrastruktur tersebut bila masa konsesi telah habis. Pola Kontrak Sewa Beli
akhir-akhir ini banyak digunakan terutama untuk pembangunan
infrastruktur yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbagai hal yang dilakukan oleh pemerintah termasuk dalam menentukan bentuk kontrak yang akan digunakan adalah bagian dari kebijakan. Terkadang kebijakan yang dipilih menimbulkan bentuk permasalahan tersendiri. Demikian juga kebijakan untuk menggandeng pihak swasta dalam melakukan perwujudan pembangunan infrastruktur. Perbuatan hukum yang
dilakukan
oleh
pemerintah
dan
swasta
dalam
kerjasama
pembangunan infrastruktur akan menimbulkan akibat hukum seperti adanya prestasi-prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak. Apabila pola Sewa Beli dipilih sebagai bentuk kerjasama maka dibutuhkan pengetahuan
yang cukup bagi aparat (pemerintah) pusat atau daerah untuk melaksanakanya. Pelaksanaan yang salah akan membawa kerugian baik bagi pemerintah sendiri maupun bagi masyarakat termasuk juga investor.
Walaupun tidak ada pengaturan lebih lanjut keberadaan pola kontrak Sewa Beli telah diakui dalam perundangan di Indonesia. Seperti dalam Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah disebutkaan pada Pasal 20 bahwa Bentuk-bentuk pemanpaatan barang milik Negara dan Daerah dapat berupa sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan Bangun Guna Serah dan Bangun Guna Serah. Peraturan Pemerintah ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam pasal 48 ayat 2 dan pasal 49 ayat 6 Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kontrak merupakan bagian yang fundamental dalam sebuah kerja sama. Apalagi kerjasama itu menyangkut
kepentingan
umum,
melibatkan
pemerintah
sebagai
penyelenggara negara serta menggunakan fasilitas negara. Instrumen hukum yang memadai sangat diperlukan dalam mengakomodir dan memberikan perlindungan kedua belah pihak. Di dalamnya haruslah terkandung perpaduan antara prinsip-prinsip hukum privat dan prinsip hukum publik. Hal ini juga yang harus diperhatikan apabila dipilih pola kontrak Sewa Beli sebagai bagian dari kebijakan pemerintah.
Mengkaji uraian diatas terlihat begitu pentingnya melakukan pembangunan infrastruktur dengan tidak meremehkan pentingnya
penyusunan kontrak yang dilakukan oleh para pihak baik pemerintah sebagai pengguna jasa dan masyarakat (swasta, investor) sebagai penyedia jasa khususnya pembangunan infrastruktur yang dibangun atas dasar kerjasama dengan memakai jenis kontrak atau pola Sewa Beli yang tentunya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang layak di bahas dalam tesis ini yaitu mengenai pelaksanaan perjanjian dengan pola kontrak Sewa Beli pada Proyek Talang Duku, di Sumatera Selatan, implikasi hukum serta kedudukan antara pemerintah sebagai pengguna jasa dan pihak swasta sebagai penyedia jasa dalam kontrak Sewa Beli tersebut.
Dalam suatu perjanjian sewa beli tidak tertutup kemungkinan bahwa pihak pembeli sewa karena sesuatu hal, tidak mampu memenuhi kewajibannya membayar sewa sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati dengan penjual sehingga pembeli dapat dikatagorikan telah melakukan ingkar janji atau wanprestasi. Masalah-masalah yang muncul dalam perjanjian sewa beli adalah tentang klausul dapat dituntut dan harus dengan pembayaran sekaligus (vervoeg opeisbaarheids) yang merupakan persyaratan dari pihak penjual yang memberatkan pihak pembeli. Persyaratan ini berlaku jika pembeli melakukan wanprestasi, sehingga ia di tuntut untuk segera membayar seluruh sisa pembayaran sekaligus.
1.2.
Perumusan Masalah
Kebijakan yang dipilih dalam melakukan kerjasama pembangkitan tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar Gas ini terkadang menimbulkan akibat hukum. Permasalahan yang dapat dikemukakan dalam kerjasama dengan sistem Sewa Beli ini adalah sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli (Build Own Operate Transfer / BOOT) pada Proyek Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas (PLBG) Talang Duku, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan antara PLN (Persero) dan PT. Muba Daya Pratama? 1.2.2. Sejauh mana kendala yang sering terjadi dalam Sewa Beli Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas (PLBG) Talang Duku, Musi Banyuasin? 1.2.3. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Penjual dalam Sewa Beli Pembangkit Listrik Bahan Bakar Gas?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dan mengetahui bagaimana pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli (Build Own Operate Transfer / BOOT) pada Proyek Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas (PLBG) Talang Duku, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan antara PLN (Persero) dan PT. Muba Daya Pratama. Kemudian untuk mengetahui sejauh mana kendala yang sering terjadi dan bagaimana Perlindungan Hukum bagi penjual dalam Perjanjian Sewa beli tersebut.
1.4.
Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Penulis:
Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka penerapan kerjasama pada umumnya dan kerjasama Sewa Beli pada khususnya
dalam
bidang
Enginerring
Procurement
and
Construction.
1.4.2. Bagi Peneliti selanjutnya:
Dengan
penelitian
ini
diharapkan
didapatkan
pemahaman
mengenai perjanjian sewa beli pembangkit pada umumnya dan secara khusus mengenai skema sewa beli Proyek Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas (PLBG) Talang Duku, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan antara PLN (Persero) dan PT. Muba Daya Pratama.
1.4.3. Bagi Masyarakat dan Negara:
Memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan tata kelola peran serta masyarakat terhadap negara dalam penyediaan tenaga listrik.
1.5.
Keaslian Penelitian
Penelusuran penulis ke perpustakaan dan ke lokasi proyek, penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Sewa Beli
Pembangkit Listrik Bahan Bakar Gas Talang Duku PT PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan Sektor Pembangkitan Keramasan” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.