BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Untuk mendukung
kesehatan bagi masyarakat maka banyak didirikan lembaga atau organisasi yang memberikan pelayanan kesehatan seperti misalnya rumah sakit atau balai pengobatan lainnya. Pada umumnya rumah sakit terbagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum pemerintah dan rumah sakit swasta. Yang membedakan kedua rumah sakit ini terletak pada usaha pencapaian laba. Rumah sakit umum pemerintah merupakan lembaga atau organisasi sektor publik yang melakukan usahanya dengan tidak berorientasi pada laba (non-profit
oriented). Rumah sakit
umum
pemerintah ini
memiliki
kecenderungan ke arah peran sosial yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ekonominya, karena tujuan dari rumah sakit ini adalah penyediaan layanan jasa kesehatan bagi masyarakat demi kemakmuran masyarakat itu sendiri. Sedangkan untuk rumah sakit swasta lebih berorientasi pada laba meskipun dalam pelaksanaannya rumah sakit ini tetap tidak meninggalkan nilai sosialnya.
Menurut pandangan ekonomi, rumah sakit adalah organisasi penyedia pelayanan jasa, dan pasien adalah konsumen atau pemakai pelayanan jasa kesehatan. Dalam perkembangannya, banyak berdiri rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Tanpa disadari mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik diantara yang lainnya, baik di bidang pelayanan, peralatan teknologi
3
kedokteran maupun harga jual jasa pelayanan kesehatan. Seiring dengan tingkat persaingan antar rumah sakit yang cukup tinggi, tuntutan customer akan keseimbangan antara nilai rupiah yang dibayarkan dengan kualitas pelayanan yang diterima sangat tinggi (Mulyadi dan Setyawan, 2001).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, banyak ditemui rumah sakit yang didirikan baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Berdasarkan tabel 1 tentang perkembangan jumlah rumah sakit di Indonesia (2003-2008) dapat diketahui bahwa pada tahun 2008, jumlah rumah sakit di Indonesia mencapai 1.320 rumah sakit (Depkes, 2009) dalam (Azhary, 2009), atau bertambah sebanyak 86 rumah sakit dari posisi tahun 2003. Dari total 1.320 rumah sakit ini, 657 diantaranya adalah milik swasta dengan rata-rata pertumbuhan jumlah rumah sakit per tahun sekitar 1,14%. Sisanya merupakan rumah sakit yang dibangun oleh pemerintah (Depkes, Pemprov/Pemkab/Pemkot, TNI/Polri, dan BUMN).
4
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Rumah Sakit di Indonesia (2003-2008) No
Pengelola/Kepemilikan
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1.
Dep. Kesehatan
31
31
31
31
31
31
2.
Pemerintah
396
404
421
433
446
446
Provinsi/Kab/Kota 3.
TNI/Polri
112
112
112
112
112
112
4.
BUMN/Dept. Lain
78
78
78
78
78
78
5.
Swasta
617
621
626
638
652
653
Jumlah
1.234
1.246
1.268
1.292
1.319
1.320
Dengan berkembangnya pelayanan jasa kesehatan terutama rumah sakit yang semakin pesat tersebut, mengakibatkan terjadinya persaingan yang semakin kompetitif juga. Untuk itu rumah sakit harus semakin berhati-hati dalam menghasilkan produknya yaitu pelayanan jasa kesehatan termasuk bagaimana cara meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing dengan rumah sakit lain dalam pangsa pasar yang ada dengan tetap mempertimbangkan cost maupun benefitnya.
Kesehatan dan rumah sakit merupakan dua bagian yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Saat ini, rumah sakit terutama rumah sakit pemerintah masih merupakan sarana penting untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah dalam hal kesehatan yaitu kebijakan yang mendukung penyediaan pelayanan jasa kesehatan yang bermutu dan berkualitas namun tetap terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
5
Sistem akuntansi biaya tradisional berdasar tarif tunggal BOP dan tarif departemental BOP hanya cocok dalam lingkungan pemanufakturan tradisional dan persaingan level domestik. Namun, sistem akuntansi biaya tradisional menimbulkan distorsi biaya jika digunakan dalam lingkungan pemanufakturan maju dan persaingan level global. Distorsi tersebut dalam bentuk pembebanan biaya yang terlalu tinggi (cost overstated atau cost overrun) untuk produksi bervolume banyak dan pembebanan yang terlalu rendah (cost understated atau cost underrun) untuk produk yang bervolume sedikit. Dengan kata lain, sistem akuntansi biaya tradisional menjadi usang dalam lingkungan pemanufakturan maju. Sistem akuntansi biaya yang usang menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut (Supriyono, 1999): 1. Karena terjadi distorsi biaya maka penawaran sulit dijelaskan. 2. Karena produk bervolume banyak dibebani biaya per unit terlalu besar maka harga jual yang ditawarkan pada konsumen terlalu besar pula dibandingkan dengan para pesaing perusahaan. 3. Harga yang diminta oleh konsumen untuk produk bervolume banyak mungkin sudah menguntungkan, namun ditolak oleh perusahaan karena biaya per unitnya terdistorsi menjadi tinggi. 4. Karena produk bervolume sedikit dibebani biaya per unit terlalu kecil maka harga jual yang ditawarkan pada konsumen terlalu kecil pula dibandingkan dengan para pesaing perusahaan sehingga produk ini laku keras. 5. Produk bervolume sedikit kelihatannya laba, namun sebenarnya mungkin rugi karena biaya per unitnya dibebani terlalu kecil.
6
6. Konsumen tidak mengeluh terhadap kenaikan harga jual produk bervolume rendah, hal ini disebabkan biaya perunitnya terdistorsi terlalu rendah sehingga para pesaing yang biaya per unitnya tepat menjual produk yang sama dengan harga yang jauh lebih mahal. 7. Meskipun labanya tampak tinggi, namun sebenarnya mungkin rugi.
Metode ABC seringkali hanya dipertimbangkan untuk diimplementasikan pada perusahaan manufaktur. Namun pada perkembangannya, semua perusahaan baik perusahaan manufaktur maupun jasa baik yang profit oriented maupun yang nonprofit oriented dapat menggunakan metode ini. Menurut Rotch (1997) dalam Mahsun (2009) perbedaan yang paling menonjol antara perusahaan jasa dengan perusahaan manufaktur terletak pada output. Dalam hal ini output perusahaan jasa lebih sulit didefinisikan daripada output perusahaan manufaktur karena bersifat intangible. Perusahaan non profit biasanya mengadopsi metode ABC dengan alasan untuk mengurangi pemborosan biaya.
Munculnya konsep baru mengenai metode Activity Based Costing (ABC) yang diyakini sebagai konsep yang lebih baik dibandingkan dengan metode tradisional ini seringkali mendorong perusahaan untuk segera mengadopsi konsep baru tersebut. Namun demikian, tidak semua perusahaan layak untuk menerapkan konsep Activity Based Costing (ABC). Menurut Mahsun (2009), untuk mengetahui kelayakan perusahaan dalam mengimplementasikan Activity Based Costing, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu melakukan analisis terhadap tingkat signifikansi informasi biaya yang dihasilkan dengan pengaruh dari informasi biaya tersebut terhadap 7
pengambilan keputusan manajemen. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui seberapa material informasi biaya sistem ABC dibandingkan dengan sistem akuntansi tradisional mempengaruhi pengambilan keputusan manajemen. Apabila informasi tersebut memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengubah
keputusan
manajemen, maka hal itu mengindikasikan perlunya perubahan sistem akuntansi tradisional menjadi sistem Activity Based Costing (ABC).
Manfaat utama yang diperoleh dalam penerapan activity based costing system menurut Cooper dan Kaplan (1991) adalah: 1. Memperbaiki mutu pengambilan keputusan. Adanya informasi biaya produk yang lebih teliti membuat kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat dikurangi. 2. Memungkinkan manajemen melaksanakan perbaikan secara terus menerus terhadap kegiatan untuk mengurangi biaya overhead. Activity based costing system dapat memberikan informasi biaya dan mengidentifikasi biaya overhead, sehingga berbagai aktivitas yang tidak menambah nilai dapat dihilangkan, sehingga proses produksi suatu perusahaan lebih cost effective. 3. Memberikan kemudahan dalam penentuan biaya relevan karena activity based costing
system
membebankan
biaya
produk
berdasarkan
aktivitas-
aktivitasnya, sehingga manajemen mudah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai kegiatan bisnis perusahaan.
8
1.2
Perumusan Masalah Penentuan tarif rawat inap RSUD Wonosari didasarkan pada costnya. Cost
system pada RSUD Wonosari masih menggunakan dasar pembebanan unit untuk alokasi overheadnya.Penentuan tarif di RSUD Wonosari dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Membentuk tim untuk menyusun draft tarif RSUD Wonosari berdasarkan surat keputusan direktur tentang pembentukan tim tarif. 2. Tim tarif kemudian mengadakan koordinasi dengan unit-unit terkait di lingkungan RSUD Wonosari. 3. Tim tarif menyampaikan draft hasil pengkajian tarif kepada direktur. 4. Direktur RSUD Wonosari menyampaikan draft tersebut kepada Pemerintah Daerah Gunungkidul untuk dikaji ulang dan kemudian Pemerintah Daerah meneruskan ke DPRD. 5. Manajemen hadir pada saat sidang pembahasan tarif di DPRD. 6. Manajemen menunggu waktu hingga tarif tersebut ditetapkan menjadi Perda.
RSUD wonosari merupakan rumah sakit milik pemerintah daerah
yang
menghasilkan berbagai macam produk/jasa diantaranya yaitu rawat inap, rawat jalan, operasi, laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan elektromedik. Karena produk yang dihasilkan oleh RSUD Wonosari lebih dari satu macam, maka ABC sangat diperlukan untuk mendapatkan alokasi cost yang akurat dalam arti tidak terjadi crosssubsidy antar produk. Sedangkan untuk perusahaan yang hanya menghasilkan satu jenis produk, maka informasi cost yang dihasilkan akan sama apabila menggunakan sistem tradisional maupun ABC. 9
Tarif rawat inap yang diterapkan oleh RSUD Wonosari saat ini didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 6 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. Tarif pelayanan rawat inap ditentukan berdasarkan costnya. Cost yang diperhitungkan adalah akomodasi, jasa medik dan jasa pelaksana. Yang dimaksud akomodasi adalah jasa penggunaan fasilitas rawat inap termasuk biaya makan. Jasa medik adalah imbalan yang diterima atas jasa yang diberikan oleh dokter spesialis, dokter asisten ahli, dokter umum, dan dokter kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan, konsultasi, visite, rehabilitasi medik dan atau pelayanan lainnya. Jasa pelaksana adalah imbalan yang diterima oleh pelaksana pelayanan selain medis atau jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosis, asuhan keperawatan, pengobatan, rehabilitasi medis dan atau pelayanan lainnya.
Berdasarkan Perda tersebut, penentuan tarif hanya didasarkan pada biaya makan, jasa dokter dan asuhan keperawatan. Biaya listrik dan air, biaya administrasi, biaya kebersihan, biaya bahan habis pakai, biaya laundry dan biaya depresiasi baik gedung belum diperhitungkan dalam penentuan tarif tersebut. Hal ini menciptakan kos produk yang terdistorsi. Banyaknya bagian atau divisi dalam penanganan suatu kasus seperti rawat inap, farmasi, dan operasi mengakibatkan penentuan kos rumah sakit menjadi sangat rumit. Dengan demikian, sering terjadi distorsi yaitu adanya subsidi silang (cross subsidy) antar produk dimana biaya overhead terhadap masingmasing produk tidak dapat dibebankan secara proporsional terhadap volume masingmasing produk karena aktivitas yang dikonsumsi oleh masing-masing produk tersebut berbeda sehingga akan berdampak pada penentuan cost. Akibatnya, produk satu 10
mengalami kelebihan biaya (overcosting) dan produk lainnya mengalami kekurangan biaya (undercosting). Tingkat distorsi yang terjadi tergantung pada proporsi biaya overhead terhadap biaya produksi total. Semakin besar proporsinya, semakin besar pula distorsi yang terjadi dan demikian juga sebaliknya.
Barang yang ditawarkan oleh RSUD Wonosari adalah obat-obatan, makanan, minuman. Jasa yang ditawarkan antara lain jasa rawat jalan, rawat inap, jasa operasi, jasa laboratorium dan radiologi serta pemeriksaan elektromedik. Semua produk barang dan jasa yang dihasilkan tersebut kemudian dihitung biayanya masing-masing sebagai dasar penentuan harga jual atau tarif, sehingga untuk mendapatkan tarif rawat inap yang benar-benar efektif, maka dalam menentukan biayanya harus dilakukan secara tepat dan cermat. Dalam perhitungan cost yang didasarkan pada unit akan mengalami masalah karena hanya memperhitungkan cost yang sifatnya langsung seperti tenaga kerja dan bahan baku sedangkan untuk kos overhead belum dialokasikan secara tepat. Banyaknya teknologi yang digunakan dalam laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan elekromedik mengakibatkan kos overhead yang terjadi juga semakin besar. Hal ini menyebabkan tarif untuk jenis produk ini lebih tinggi dibandingkan dengan tarif rawat inap. Namun yang ditemui dalam RSUD Wonosari yaitu tarif rawat inap dibebankan terlalu tinggi dibandingkan dengan tarif laboratorium, radiologi maupun pemeriksaan elektromedik. Sebagai contoh, pemeriksaan laboratorium seperti DHF memiliki tarif Rp33.000,00, pemeriksaan radiologi seperti pelvis memiliki tarif Rp35.000,00, pemeriksaan elektromedik seperti opthalmoscopy yang dikenakan tarif sebesar Rp27.500,00. Tarif pemeriksaan tersebut
11
lebih rendah dibandingkan tarif rawat inap yaitu sebesar Rp52.500,00 untuk kelas yang sama yaitu kelas III.
Semakin meningkatnya tuntutan konsumen terhadap pelayanan yang baik dan memuaskan, membuat manajemen rumah sakit harus berupaya keras untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit yang didukung oleh cost effective. Di tahun 2010 ini, terdapat rencana perubahan kebijakan mengenai tarif yang baru. Dengan adanya rencana tersebut, manajemen rumah sakit harus membuat perencanaan yang baik terutama mengenai tarif agar mampu bersaing dengan rumah sakit lainnya. Untuk mendapatkan keputusan yang tepat, maka perencanaan harus dilakukan secara tepat pula dengan didukung adanya informasi yang akurat. Dengan demikian, untuk mendapatkan perencanaan tarif yang tepat dapat dilakukan dengan menggunakan activity based costing system yang dalam perhitungannya tidak hanya terdiri dari biaya makan, jasa dokter, dan asuhan keperawatan tetapi juga memasukkan unsurunsur biaya lain seperti biaya listrik dan air, biaya administrasi, biaya kebersihan, biaya habis pakai, biaya laundry, dan biaya depresiasi gedung.
Dengan demikian, pertanyaan yang ingin dikaji dalam penelitian ini yaitu apakah sistem cost tradisional yang mengalokasikan pembebanan kos overheadnya berdasarkan pada unit produk yang digunakan sebagai dasar penentuan tarif rawat inap pada RSUD Wonosari sudah cukup akurat?
12
1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui besarnya cost yang dipakai untuk menentukan tarif rawat inap di RSUD Wonosari jika penentuan cost tersebut menggunakan Activity Based Costing. 2. Untuk menggambarkan atau memberikan informasi bahwa keakuratan alokasi cost menjadi hal penting dalam penentuan tarif rawat inap di RSUD Wonosari. 3. Untuk mengenalkan penerapan Activity Based Costing dalam kaitannya dengan penentuan cost yg digunakan sebagai dasar untuk penentuan tarif pada perusahaan jasa terutama jasa kesehatan seperti rumah sakit.
1.4
Manfaat Penelitian Bagi manajemen rumah sakit, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan atau referensi yang dapat digunakan tentang adanya kemungkinan penerapan Activity Based Costing dalam menentukan tarif jasa pelayanan rumah sakit. Dengan menggunakan Activity Based Costing, maka rumah sakit dapat mengurangi terjadinya pemborosan biaya.
1.5
Metode penelitian 1. Jenis Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini dari seseorang baik secara individual maupun kelompok atau hasil observasi terhadap suatu benda,
13
kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian yang telah dilakukan sebelumnya. Selain hal itu, laporan keuangan rumah sakit juga diperlukan dalam penelitian ini.
1.6
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data antara lain dilakukan dengan cara: 1. Metode Survey
Metode Survey ini dilakukan dengan cara wawancara atau interview yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara akan dilakukan dengan dua orang perawat dan empat orang tenaga non medis diantaranya dua orang bagian keuangan, satu orang bagian kepegawaian, dan satu orang bagian rekam medis. Di RSUD Wonosari untuk mengumpulkan data yang sifatnya spesifik. Hal-hal yang akan ditanyakan terkait dengan penelitian ini yaitu:
1.
Komponen biaya apa saja yang berhubungan dengan biaya kamar rawat inap RSUD Wonosari?
2. Pertimbangan apa saja dalam menentukan tarif rawat inap? 3. Aktivitas-aktivitas apa saja yang dilakukan dalam ruang rawat inap RSUD Wonosari? 4. Apakah aktivitas-aktivitas tersebut telah dilakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan? 5. Bagaimana dengan pelayanan rawat inap yang telah dilakukan selama ini oleh rumah sakit?
14
2. Metode Observasi
Observasi adalah cara pengambilan data dengan melakukan pengamatan langsung yang dapat dilakukan dengan menggunakan seluruh alat indera. Observasi ini akan dilakukan pada kamar-kamar perawatan untuk mengetahui luas lantai dan fasilitas yang tersedia pada masing-masing kamar dan dilakukan selama satu minggu.
1.7
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan yaitu metode kualitatif yang dilakukan
dengan menelaah kondisi serta biaya yang terjadi pada rumah sakit untuk mengetahui apakah sistem yang dipakai masih relevan untuk diterapkan pada masa sekarang.
Prosedur analisis yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1
Mengumpulkan
data-data biaya yang berkaitan dengan rawat inap, dan
mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang menjadi faktor penyebab timbulnya biaya yang akan dibebankan pada tarif kamar rawat inap. Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi beberapa pusat aktivitas. 2
Mengklasifikasikan aktivitas-aktivitas terpilih pada kategori aktivitas Unitlevel activity cost, Batch-related activity cost, Product-sustaining activity cost, dan Fasilitas-sustaining activity cost.
3
Setelah aktivitas-aktivitas tersebut telah diklasifikasikan sesuai dengan kategorinya, langkah selanjtnya yaitu mengidentifikasi cost driver dari setiap biaya aktivitas. Pengidentifikasian ini dimaksudkan dalam penentuan kelompok ativitas dan tarif per unit cost driver. 15
4
Menentukan tarif per unit cost driver
Tarif per unit Cost Driver = Jumlah aktivitas
Cost Driver
5
Membebankan biaya ke produk dengan menggunakan tarif cost driver dan ukuran aktivitas.
Menurut Hansen dan Mowen (1999), biaya aktivitas dibebankan ke produk berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas produk. Pembebanan biaya overhead dari tiap aktivitas ke setiap kamar dihitung dengan rumus sebagai berikut:
BOP yang dibebankan = Tarif/unit Cost Driver X Cost Driver yang dipilih
6
Menghitung harga pokok rawat inap tiap kelas dengan cara membagi biaya yang dibebankan pada tiap kelas dengan jumlah hari perawatan tiap tipe kelas.
7
Menghitung tarif rawat inap tiap kelas sebagai harga jual jasa kamar rumah sakit. Menurut Mulyadi (1993) perhitungan tarif masing-masing tipe kamar dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Tarif Per Kamar = Cost Rawat Inap + Laba yang diharapkan
16
1.8
Sistematika Penulisan Penulis berusaha untuk menyusun penelitian ini secara sistematis dimana
penulis memberikan gambaran secara garis besar mengenai permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ilmiah ini. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pembahasan dan penyusunan masalah yang dihadapi. Berikut merupakan sistematika penulisan penelitian ini: BAB 1
: Pendahuluan Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan Teori Bab ini akan menjelaskan tentang konsep kos, sistem akuntansi kos tradisional, kelemahan sistem akuntansi kos tradisional, activity based costing, cost driver, manfaat ABC system,dan perbedaan sistem akuntansi tradisional dengan sisteem ABC.
BAB III
: Gambaran Umum Perusahaan Bab ini akan menjelaskan tentang letak geografis, visi, misi, tujuan RSUD Wonosari, sasaran organisasi, dasar hukum, tugas pokok dan fungsi, kerjasama dengan institusi pendidikan, struktur organisasi, dan uraian jabatan manajemen rumah sakit.
BAB IV
: Analisis Data Bab ini akan menjelaskan tentang sejarah dan kedudukan Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari, pelayanan rawat inap di Rumah Sakit 17
Umum Daerah Wonosari, penentuan tarif sewa kamar RSUD Wonosari, penerapan ABC System dalam kaitannya dengan penentuan cost sebagai dasar penentuan tarif di RSUD Wonosari, mengidentifikasi aktivitas-aktivitas, mengidentifikasi cost driver, menentukan tarif per unit cost driver, membebankan biaya ke produk dengan menggunakan tarif cost driver dan ukuran aktivitas. BAB V
: Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit serta saran-saran yang diajukan bagi peningkatan pengkajian tentang akuntansi biaya pada rumah sakit.
18