BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pembuktian tentang benar tidaknya tersangka/terdakwa melakukan perbuatanyang
didakwakan, menjadi bahagian terpenting dari hukum acara pidana. Dalam hal ini hak asasi manusia juga ikut dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya bika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan yang didakwakan berdasarkan alat-alat bukti yang ada disertai keyakinan padahal tidak benar? Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup hanya dengan kebenaran formal.1 Oleh karena itu, pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian yang sangat mendasar, guna menentukan nasib seorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang terdakwa, sebagaimana yang telah didakwakan dalam surat dakwaan, ditentukan pada proses pembuktiannya. Hal tersebut merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Kegunaannya adalah untuk memperoleh kebenaran yang hakiki (materiil) terhadap beberapa pertanyaan, seperti perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan, apakah terbukti terdakwa bersalah, tindak pidana apakah yang telah dilakukan, dan hukuman apakah yang akan dijatuhkan.2 Jika dilihat, aspek asas hukum pembuktian sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana yang telah terjadi pembuktiannya, yaitu ketika penyelidik berupaya untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan untuk mencari barang bukti. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh penerangan suatu tindakan pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya, sehingga berawal dari pembuktian penyelidikan dan berakhir pada penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim di depan persidangan secara konkrit baik pada pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, 1
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 249. 2
Penerbit Sinar Grafika Cetakan Pertama,
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan, Penerbit Gramatama Publishing, Jakarta, 2012, hlm. 15.
1
2
maupun tingkat kasasi. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada proses persidangan, guna menemukan kebenaran materiil (materiel waarheid) dari peristiwa yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut, sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya.3 Penerapan pembuktian dalam praktik peradilan pidana haruslah berpedoman pada hal-hal yang limitative, yaitu yang ditentukan secara yuridis. Bila hal tersebut menyimpang, maka ada mekanisme kontrol yang juga ditentukan oleh perundangundangan secara ketat. Hal demikian disebabkan hukum pembuktian dalam hukum acara pidana memuat, ketentuan dari keterikatan pihak-pihak pada tatacara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang untuk membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, jaksa penuntut umum, terdakwa maupun penasihat hukum. Hal ini mengisyaratkan bahwa, tidak dibenarkan bila terdakwa melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Juga tidak diperkenankan untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar di luar ketentuan undang-undang.4 Secara limitatif, setidaknya kekuatan pembuktian melekat pada setiap alat bukti dipergunakan dan dinilai dengan dilakukannya pembatasan yang dibenarkan undangundang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan hakim dapat terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan dan ini menunjukkan bahwa, hakim harus senantiasa berpedoman pada pembuktian dan menghindari dari pikiran subjektif. KUHAP telah menggariskan pedoman dalam proses peradilan pidana, yakni penuntut umum yang bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala upaya dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sebaliknya, terdakwa dan penasehat hukum mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum sesuai dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Sanggahan, bantahan, atau eksepsi harus berdasarkan hukum dengan saksi yang meringankan (adecharge) ataupun alibi yang sesuai dengan fakta yuridis.5
3
Ibid, hlm. 20
4
Ibid, hlm. 21
5
Ibid, hlm. 21
3
Hal ini menunjukkan bahwa, pembuktian berarti sebuah penegasan, yang berarti ketentuan tindak pidana lain harus dijatuhkan kepada terdakwa. Sehingga, arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti, dan hukumannya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang tidak dapat dibuktikan.6 Oleh karenanya, pembuktian tersebut tidak boleh keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam perundangundangan yang berlaku. Pembuktian dalam beberapa hal dapat menyangkut atau menjadi tolak ukur dalam menyelenggarakan pekerjan pembuktian, yakni sebagai dasar atau prinsip-prinsip pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan (bewijsgronden), alat-alat bukti yang dapat dipergunakan oleh hakim untuk memperoleh gambaran tentang terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen), penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering), kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat buktin dalam rangkaian
penilaian
terbuktinya
suatu
dakwaan
(bewijskrach),
atau
beban
pembuktianyang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslaast).7 Di dalam KUHAP sendiri, asas hukum pembuktian tidak ditemukan secara tegas, akan tetapi hanya dijelaskan mengenai alat-alat bukti dalam suatu proses peradilan pidana. KUHAP juga tidak memberikan panduan bagaimana asas-asas pembuktian dalam hukum acara pidana. Akan tetapi KUHAP hanya membuat tentang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan bagaimana cara membuktikan atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu perbuatan pidana. Salah satu dari permasalahan paling sulit yang dihadapi oleh jaksa penuntut umum dalam kasus-kasus korupsi berskala besar adalah memenuhi beban pembuktian ketika melakukan penuntutan kepada para pelaku serta berusaha mendapatkan kembali hasil korupsi. Pada saat yang sama sifat kasus-kasus korupsi besar menyulitkan pembuktian, yang seringkali berakhir dengan dibebaskannya terdakwa dari perkaraperkara korupsi. Para penyelenggara negara yang terlibat korupsi seringkali berada pada posisi yang menyulitkan penyelidikan dan penyidikan yang sekaligus menyulitkan penyidik untuk memperoleh bukti. Demikian juga korupsi-korupsi besar yang telah 6
Ibid, hlm. 22
7
Ibid, hlm. 22
4
terjadi di lembaga-lembag negara termasuk di instansi penyidik dan penuntut umum, juga menyulitkan proses pengumpulan bukti sehingga menambah tingkat kesulitan dalam menentukan keabsahannya (validity) dan nilai kekuatan pembuktiannya (probative). Dalam mengembangkan langkah-langkah anti korupsi, DPR sebagai lembaga legislatif menghadapi tugas sulit untuk enemukan cara pendekatan-pendekatan yang seimbang antara kebutuhan menciptakan langkah-langkah efektif dalam memerangi korupsi dengan mendapatkan kembali hasil-hasil korupsi dan hak-hak dasar dari mereka yang terkena implikasi di dalam penyelidikan serta penuntutan. Kofi Annan saat menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa pernah berujar, korupsi seperti penyakit menular yang menjalar pelan tetapi mematikan dan menciptakan kerusakan sangat luas di masyarakat. 8 Korupsi di samping merusak demokrasi dan supremasi hukum, juga mendorong pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta mendistorsi perekonomian. Pada tahap berikutnya korupsi menyebabkan
kualitas
kehidupan
menurun
drastis
yang
akhirnya
membuat
berkembangnya organisasi kriminal, terorisme serta berbagai ancaman keamanan. Mengingat efek merusak yang luar biasadan kenyataan bahwa sekarang tindak pidana korupsi (TIPIKOR) tidak saja telah menjadimomok bagi bangsa Indonesia, bahkan telahdianggap musuh bersama oleh masyarakat danlembaga/organisasi internasional.9 Menanggapi
kondisi
demikian
duniapun
melakukan
kesepakatan
untuk
memerangi korupsi dan peredaran uang haram dengan dikeluarkannya Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/selanjutnya disingkat
8
Kompas, Rabu, 8 April, 2015, ”Pemberantasan Korupsi: Kejahatan Luar Biasa Kok DianggapBiasa” hlm.5 9
Ian McWalters, SC, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, JPBooks, Surabaya, 2006, hlm. 3. Dalam suatu negara, secara praktis perang melawan korupsi terdiri dari empat elemen: (1) adanya infrastruktur hukum antikorupsi yang efektif; (2) kerjasama internasional untuk saling membantu dalam bidang hukum; (3) dukungan aktif dari rakyat negara yang bersangkutan, dan (4) kemauan politik untuk membuat strategi antikorupsi pemerintah bisa berjalan. Keempat elemen tersebut hendaknya dipandang tidak secara terpisah dari cara penduduk memandang komunitas dimana mereka tinggal, khususnya nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang mungkin mendasarinya. Langkah-langkah anti korupsi menunjukkan aspirasi rakyat untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, yang dipandang sebagai bagian dari kerangka kerja sosial suatu negara secara keseluruhan dengan menekankan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan melalui penegakan hukum sehingga akan menjadi bagian dari budaya negara tersebut.
5
UNCAC), yang untukpertama kalinya di Merida, Meksiko, oleh 133 negara pada tanggal 9 Desember 2003. Pemerintah Indonesia telah ikut serta secara aktif dan tiga tahunkemudian, tepatnya tanggal 20 Maret 2006, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentangPengesahan UNCAC 2003 disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Walaupun Konvensi PBB Anti Korupsi itu telah ditandatangi sejak 2003 dan kemudian diratifikasi Indonesia pada awal 2006,namun masih banyak kalangan yang belum mengetahui apa sesungguhnya isi dari UNCAC 2003,terutama bila dikaitkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dipunyai Indonesia. Salah satu pertimbangan Indonesia meratifikasi UNCAC 2003 adalah bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri, tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakatdan perekonomian, sehingga
penting
adanya
kerjasama
internasional
untuk
pencegahan
dan
pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Dengan ratifikasi tersebut, Pemerintah Indonesia telah menempatkan posisi dirinya secara politis sebagai bagian integral dari sebuah gerakan global memerangi tindak pidana korupsi, yang telah bersifat lintas negara. Ratifikasi UNCAC 2003 menampilkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi melalui kerjasama internasional. Sebagai sebuah komitmen multinasional, Indonesia juga wajib menyesuaikan berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan isi dari UNCAC 2003 tersebut, sekaligus pula memanfaatkan komitmen tersebut dalam kepentingan mengembalikan aset-aset dari hasil tindak pidana korupsi yang telah dilarikan para pelakunya ke luar yurisdiksi Indonesia. Adapun tujuan utama UNCAC 2003 adalah untuk: (a) mempromosikan dan memperkuat langkah-langkahguna mencegah dan memerangi korupsi secara lebih efisien dan efektif; (b) mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi, termasuk dalam pemulihan aset; dan (c) mempromosikan integritas, akuntabilitas dan manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik.10 Berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut antara lain dengan: (1) langkah-langkah preventif; (2) 10
Lihat “Senjata Baru Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi? Ratifikasi UNCAC”, Hukum Online, 6September,2006.(http://search.hukumonline.com/id/search/browse?q=Senjata+Baru+Pencegahan+dan+ Pemberantasan+Korupsi, diakses 11 April 2015).
6
kriminalisasi dan penegakan hukum; (3) kerjasama internasional; (4)pemulihan aset; dan (5) bantuan teknis dan pertukaran informasi.11 UNCAC 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Noomor 7 Tahun 2006, menimbulkan implikasi karakteristik dan substansi gabungan dua sistem hukum yaitu “Civil Law” dan “Common Law”, sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia. 12 Romli Atmasasmita menyebutkan implikasi yuridis tersebut, bahwa: “Tampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment) yang dalam ketentuan Pasal 20 UNCAC 2003 menentukan, bahwa:.....each State Party shall consider adopting.....to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.13
Kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment) sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri justru telah mempersempit ruang lingkup tindak pidana korupsi sebagaimana diaur dalam ketentuan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999. Korelasi kriminalisasi terebut, unsur kerugian negara dalam UU Nomor 31 Tahun 1999, oleh UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur esensial dalam perumusan delik korupsi. Hal ini terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 3 butir 2 UNCAC 2003 mengenai “scope application” yang menegaskan, bahwa: “For the purpose of implimenting this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein, for the offences.....to result in demage or harm to State property”.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi perhatian masyarakat internasional. Kongres PBB ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:
11
Ian McWalters, SC, Op.Cit., hlm. 8.
12
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 4 13
Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta, 2006
7
a.
b.
Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official): 1) Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveness of all types of govermental programmes” 2) Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”). 3) Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”). Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram. 14
Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar tindak pidana korupsibersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antarnegara dan lain sebagainya.15 Oleh karena itu, tindak pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum pidana, melainkan dapat dikaji dari dimensi lain, misalnya perspektif legal policy (law making policy dan law enforcement policy), Hukum Admisintrasi Negara, maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Melalui aspek sejarah kebijakan hukum pidana (criminal law policy) maka telah ada peraturan perundang-undangan di Indonesia selaku hukum positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi.16 Dikaji dari perspektif yuridis, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa: “Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa 14
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69 15
Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1 16
Hukum Positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi antara lain berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000, Keppres Nomor 11 Tahun 2005, Inppres Nomor 5 Tahun 2004 dan lain sebagainya.
8
Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosisal rakyat Indonesia.”17
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakantindakan luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini, salah satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan Sistem Peradilan Pidana Indonesia (SPPI) 18adalah bagaimana secara ideal dapat memformulasikan suatu sistem pembuktian 19 yang relatif lebih memadai. Secara berjenjang Sistem Hukum Pidana Indonesia (SHPI) meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Hukum Pidana materiil terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Kemudian, hukum pidana formal bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, tindak pidana umum dalam KUHP maupun maupun tindak pidana khusus di luar KUHP sebagaimana halnya tindak pidana korupsi mengenal hukum pembuktian. Dalam sistem pembuktian perkara tindak pidana korupsi terdapat hal yang tidak lazim, karena tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau ada juga yang ,
17
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governace dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 25 dan vide pula: Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 111 18
(Romli Atmasasmita, (Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 70). Romli Atmasasmita mengartikan “Sistem Peradilan Pidana” sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem ini sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.” (Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Penerbit Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian HukumUniversitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 84-85). Mardjono Reksodiputro menyebutkan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. 19
Pembuktian merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan. (Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan, Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Penerbit CV. Mandar Madju, Bandung, 2001, hlm. 91
9
menyebutnya Sistem Pembuktian Terbalik.20 Penerapan asas pembuktian terbalik sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, dari penjelasan-penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembuktian terbalik atau “omkering van de bewijslast”(the reversal of the burden of proof), secara umum dapat dipahami sebagai suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakannya kepadanya. Dalam hal terdawa tidak berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Sementara Penuntut Umum dibebaskan dari kewajiban pembuktian,21 yang relatif lebih memadai. Untuk menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, muncul persoalan yang berkaitan dengan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Sistem yang dianut tersebut di dalamnya terkandung “presumption of guilt”, ada yang menganggap sebagai pengingkaran terhadap asas-asas yang bersifat universal, diantaranya asas praduga tak bersalah. Lantas persoalannya, sejauhmana sistem itu diperkenankan, sehingga ia tidak dilihat semata-mata sebagai suatu pelanggaran asas; melainkan hanyalah merupakan suatu pengecualian asas yang terpaksa dilakukan guna membawa bangsa ini ke luar dari persoalan korupsi yang menggurita.22 Penerapan sistem pembuktian terbalik oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian dalam proseshukum pembuktian yang mengadili para koruptor. Urgensi pemberlakuan sistem tersebut terletak pada semakin rumitnya praktik-praktik korupsi yang terjadi di Indonesia, sehingga cenderung sulit terungkap.23
20
Ermansjah Djaja, “Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi” Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.94 21 Oemar Seno Adji, 2 Guru Besar Berbicara tentang Hukum, dalam Albert Hasibuan (ed), Alumni, Bandung, 1985, hlm.35 22
23
Ermansjah Djaja, Opcit. hlm.201
Baharudin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Kipas Putih Aksara, Jakarta, 1997, hlm.130-131
10
Pandangan yang mengkaitkan antara penerapan sistem pembuktian terbalik dengan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, sebagai suatu pelanggaran HAM tidak akan memberikan solusi yang memadai dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, oleh karenanya pemahaman secara sempit, yang semata-mata hanya menempatkan dalam konteks hak-hak tersangka/terdakwa, maka penerapan sistem pembuktian terbalik memang terlihat sebagai sesuatu yang bersinggungan dengan HAM. Sebaiknya, hal tersebut dilihat secara lebih luas dalam konteks hak masyarakat secara keseluruhan, maka korupsi itu sendiri pada hakikatnya juga merupakan pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran hak seluruh rakyat (hak asasi komunitas). Penerapan sistem pembuktian terbalik sebaiknya ditempatkan dalam konteks keseimbangan antara hak-hak tersangka/terdakwa dengan hak seluruh rakyat, bahwa kewajiban yang berat terletak pada pembuat kebijakan dan pembuat undang-undang untuk menetapkan keseimbangan yang tepat antara kepentingan individual dan kepentingan komunitas dalam memerangi korupsi seperti halnya bidang-bidang lain, ditunjukkan di dalam semua deklarasi HAM. Pada deklarasi Amerika Serikat 1948 mengenai Hak dan Kewajiban Orang adalah yang menyatakan dengan jelas: “hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang-orang lain, oleh keamanan semua orang, dan oleh kebutuhan yang wajar untuk kesejahteraan umum dan kemajuan demokrasi”.24 Penerapan sistem pembuktian terbalik dapat dianggap bersinggungan dengan asas praduga tak bersalah, namun untuk kepentingan yang sangat mendesak dalam pemberantasan korupsi sebagai “extra ordinary crime”, penerapan sistem tersebut akan memperoleh dasar pembenarannya secara praktis. Kita tidak dapat lagi mengelak untuk tidak mengatakan bahwa korupsi itu tergolong kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu, sepatutnya dilakukan penanggulangannya dengan cara-cara yang khusus pula, seperti dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sistem pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi, dengan menganalisa Putusan Pengadilan 24
The heavy responsibility on policy-makers and legislators to strike the right balance between the interest of the individual and the interest of the ommunity in the fight against corruption, as in other fields, is reflected in all international human rights declaration. It is perhaps the 1948 American Declaration of the Rights and Duties of Man that puts in most clearly: The rights af man are limited by the rights of others, by the security of all, and by the just demands of the general welfare and the advancements of democracy. Bertrand de Speville, “Reversing the Onus of Proof: It is Compatible with Respect for Human Rights Norms”, sebagaimana dikutip oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Op.cit., hlm.144
11
Negeri Jakarta Selatan, Nomor 1252/Pid.B/2010/Pn.Jkt.Sel.), dengan judul: Sistem Pembuktian Terbalik Pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, (Studi Kasus, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nomor 1252/Pid.B/2010).
B.
Perumusan Masalah 1. Mengapa sistem pembuktian terbalik pada penegakan hukum tindak pidana korupsi dikatakan berpotensi menghilangkan Hak Asasi Manusia? 2. Bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1252/Pid.B/2010 dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai dengan diadakannya
suatu penelitian. Penelitian ini dilakukan penulis dengan tujuan: 1.
Tujuan objektif a.
Untuk mengetahui sistem pembuktian terbalik dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berpotensi menghilangkan Hak Asasi Manusia.
b.
Untuk mengkaji dan menganalisis penerapan
sistem pembuktian
terbalik pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nomor 1252/Pid. B/2010.dalam perspektif HAM 2.
Tujuan subjektif a.
Untuk memperoleh gambaran tentang penerapan sistem pembuktian terbalik dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, yang berpotensi menghilangkan Hak Asasi Manusia.
b.
Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih derajat Magister di bidang Ilmu Hukum minat utama Hukum Pidana Ekonomi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
12
D.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat penelitian teoritis dan manfaat
penelitian praktis sebagai berikut: 1.
Manfaat teoritis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dan
memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan terkait perkembangan hukum pidana di Indonesia. b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan sekaligus memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana pada umumnya dan teori pembuktian dalam tindak pidana korupsi pada khususnya yang sesuai dengan perspektif HAM.
2.
Manfaat Praktis a.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk mengamalkannya di dalam masyarakat.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dalam bidang hukum pidana ekonomi di Indonesia.
BAB II LANDASAN TEORI
Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang sesuatu gejala. Jadi teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup mengenai penjelasan suatu fakta tertentu dari suatu disiplin ilmu. Untuk menjawab berbagai perkembangan dan untuk memecahkan persoalan pada hakekatnya adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan agar didapat jawaban yang bisa diandalkan, hal ini berarti bahwa dalam menghadapi persoalan yang diajukan digunakan teori-teori ilmiah sebagai sarana untuk membantu menemukan pemecahan. 25Secara mudah dikatakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberi penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala (keadaan, peristiwa) terjadi. Tujuan adanya teori dalam penelitian adalah agar ada acuan dalam cara pandang dalam menganalisa data yang diperoleh. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, penelitian akan merujuk pada satu landasan teori sebagaimana diuraikan di bawah ini. Substansi teori ini berhubungan dengan pemikiran atas tugas utama pengadilan pidana yakni satu lembaga hukum yang memutuskan tentang apakah keadilan itu dan bagaimanakah keadilan itu dicapai ketika mengadili suatu perkara secara konseptual di pengadilan. Sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa, “setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan”.26 Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang sah untuk diterapkan terhadap suatu perkara pidana melalui suatu proses di pengadilan pidana. Sementara keadilan yang dimaksudkan adalah sublimasi dari hukum yang ditegakkan. Setiap proses penegakan hukum selalu bertujuan memberikan keadilan. Oleh karenanya, landasan teori tentang keadilan ini ialah seperangkat konstruksi logis tentang keadilan yang akan digunakan sebagai wacana dan acuan dalam penelitian ini. Pada saat yang sama, teori 25
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 144. 26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. V, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.
159
13
14
tentang keadilan ini juga akan digunakan sebagai acuan untuk membantu menganalisis permasalahan penelitian. Teori ini berupa definsi dan proposisi yang membentuk rumusan sistemik mengenai fenomena keadilan. Singkatnya, teori tentang keadilan dalam penelitian ini akan menjadi paradigma dalam memandang permasalahan dan sekaligus instrumen penelusuran, analisis, dan pengambilan kesimpulan penelitian. Sebagai obyek studi dalam penelitian ini, dilihat dari sudut disiplin ilmu hukum adalah sistem peradilan pidana yang secara normatif disebut sebagai hukum formil atau hukum acara pidana. Refleksi yang paling mendasar dari suatu proses peradilan pidana sebagaimana sudah disinggung adalah tentang keadilan. Konkritnya, hukum dibuat bertujuan untuk mencapai keadilan berdasarkan kebenaran fakta dan hukum yang dapat dinikmati setiap orang secara setara dan pada waktunya. Sebab hukum yang diterapkan atas suatu perkara yang dialami oleh seseorang dalam suatu proses peradilan akan dirasakan apakah sebagai keadilan atau ketidakadilan secara bersamaan dinilai dari derajat substansinya dan dari aspek waktunya. Dalam hubungan yang terakhir ini dikenal satu maksim: justice delayed justice denied, artinya keadilan yang tertunda adalah sama dengan meniadakan keadilan itu. Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan apakah keadilan itu; bagaimanakah keadilan itu ditelusuri, ditemukan dan terakhir diterapkan dalam suatu putusan pengadilan maka teori keadilan yang diuraikan oleh John Rawls27 khususnya tentang bagian “The main Idea of the Theory of justice” dan “Fair Equality of Opportunity and Pure Procedural Justice” akan digunakan sebagai referensi penelitian.28
27
28
John rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, 1983, hlm. 10 dan 73
Diartikan sebagai teori John Rawls adalah kumpulan pernyataan-pernyataannya tentang keadilan dan pernyataan-pernyataan yang berkaitan secara sistematis satu sama lain dan menunjukkan kaitan sebab akibat di antara variable-variabel (data yang dapat berubah-ubah dan berbeda-beda) yang ada dalam pernyataan-pernyataan itu. Kemudian tentang John Rawls Ronald Dworkin, dalam Justice in Robes, the Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 2006, hlm. 243 mengatakan “....about Rawls as himself a legal philosopher and, indeed, lawyer.....he made this main contribition to legal theory though his political philosophy, because legal theory is a department of political and Rawls wrote abstractly about the whole dicipline.”
15
A.
Teori Keadilan Apakah keadilan itu? Pertama, Rawls menjawabnya sebagai fairness,29 atau
istilah Black‟s Law Dictionary “equal time doctrine” yaitu suatu keadaan yang dapat diterima akal secara umum pada waktu tertentu tentang apa yang benar. Keadilan menurut Rawls itu disebut dengan tentang apa yang benar. Keadilan menurut Rawls ini disebut dengan istilah fairness adalah karena dalam membangun teorinya Rawls berangkat dari suatu posisi hipotetis di mana ketika setiap individu memasuki kontrak sosial itu mempunyai kebebasan (liberty). Posisi hipotetis itu disebut dengan “original position” (posisi asli). Posisi asli itu adalah suatu status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai dalam kontrak sosial adalah fair. Berdasarkan fakta adanya “original position” ini kemudian melahirkan istilah “keadilan sebagai fairness”.30Ditegaskan oleh Rawls bahwa sekalipun dalam teori ini menggunakan istilah fairness namun tidak berarti bahwa konsep keadilan dan fairness adalah sama.31 Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang bahwa posisi setiap orang dalam situasi awal ketika memasuki sebagai kesepakatan dalam kontrak sosial itu adalah rasional dan sama-sama netral.32 Dengan demikian, keadilan sebagai fairness disebut juga dengan teori kontrak.33 Rawls menguraikan teori keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: “I then present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalizes and carries to a higher level of abstraction the traditional conception of the social contract”. Artinya, gagasan utama dari keadilan sebagai fairness adalah satu teori
29
John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, 2003, hlm. 3 30
John Rawls, terjemahan, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 19
31
Ibid, hlm. 14
32
Ibid, hlm. 15
33
Dalam hubungan dengan “kontrak ini, Rawls mengakui banyak kritikan yang diterima dengan mengatakan: “Banyak kata yang telah melencengkan konotasi-konotasi yang pada mulanya cenderung kabur. Istilah “utilitas” dan utilitarianisme” tanpa kecuali. Istilah-istilah itu juga punya makna yang banyak dieksploitasi para kritikus; namun cukup jelas bagi mereka yang siap mempelajari doktrin utilitarian. Hal yang sama juga terjadi pada istilah “kontrak” yang diterapkan pada teori-teori moral”. Ibid, hlm. 18
16
tentang keadilan yang menggeneralisasi dan membawa ke suatu abstraksi yang lebih tinggi konsep tradisional kontrak sosial.34 Kemudian dilanjutkan Rawls. “The Primary subject of justice is the basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of advantage from social cooperation”.35 Artinya, bahwa pokok utama keadilan adalah struktur dasar dari masyarakat itu, lebih tepatnya, cara bagaimanakah lembaga-lembaga utama masyarakat mengatur hak-hak dan kewajiban dasar serta bagaimanakah menentukan pembagian kesejahteraan dari suatu kerja sama sosial.
Sebab, “it’s effects are so profound and present form the start” 36 Artinya, bahwa akibatnya sangat ekstrim dan kehadirannya dari awal, karena sebagai titik tolak. Konkritnya, pengaruh dari “the basic structure of society” (struktur dasar masyarakat) itu sangat besar untuk dapat menentukan bagaimana keadilan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah yang dimaksudkan dengan “the basic structure of society” (struktur dasar masyarakat) itu? Rawls menjawabnya secara singkat yakni kelembagaan (institution). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa suatu kelembagaan dalam masyarakat dapat dimengerti dalam dua cara yaitu, kesatu, sebagai sesuatu hal yang abstrak yaitu suatu bentuk perilaku yang diwujudkan dalam satu sistem hukum; kedua, realisasi dalam pikiran dan perbuatan dari orang-orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu atas rumusan bentuk perilaku (perbuatan) yang telah diatur dalam aturan.37 Dengan kata lain, Rawls menyimpulkan bahwa “the basic structure of society” itu adalah suatu “public system of rules” yang dapat dilihat dalam dua bentuk “system of knowledge” (or set of public norms) dan as a “system of action “ (or set of institution). Oleh karena itu dapat didalilkan, apabila “the basic structure of society” adalah terdiri dari sistem kelembagaan yang adil (a just system of institution) dan ketetapan politik yang adil (a just political constitution) maka justice as a fairness akan dapat dicapai. Dengan catatan, dalam konteks hukum lembaga itu secara imparsial dan konsisten
34
Tentang kontrak sosial ini dibahas antara lain oleh Jean-Jaque Rosseau, The social Contract, A New Translation by Christopher Betts, Oxford University Press, 1999; John Locke, Two Treatises of Goverment, edited by Marl Goldie Churchill College, Cambridge, Everyman J M dent London, 2003; Montesquieu, the Spirit of the Law, translated and editd by Anne M. Cohler dkk, Cambridge University Press, 1992 35
Ibid, hlm. 6
36
Ibid,hlm. 7
37
Ibid, hlm. 48
17
dijalankan oleh hakim dan aparatur negara yang lain.38 Namun, bila baru sampai pada ketidak-berpihakan serta konsistensi dari aparatur hukum dan lembaga-lembaga hukum itu saja maka apapun substansi sistem perundang-undangan (“public system of rules”) itu, tetap ia masih akan terbatas untuk dapat mencapai keadilan formal.39 Rawls menyarankan agar istilah keadilan formal diganti dengan istilah “keadilan sebagai keteraturan (justice as a regularity)”. Istilah ini dianggap lebih tepat dibanding “keadilan formal(formal justice)”.40 Rawls melanjutkan bahwa keadilan formal dapat meningkat menjadi keadilan substantif (materil). Bila keadaan formal itu adalah suatu hal yang hanya semata-mata patuh pada sistem perundang-undangan,41 maka hal itu baru satu aspek saja dari rule of law, satu konsep yang akan mendukung dan menjamin harapan yang sah (legitimate expectations) dari masyarakat akan keadilan. Secara konkrit, ketidakadilan akan dirasakan setiap orang bila terjadi kegagalan hakim mengikuti hukum secara tepat termasuk interpretasinya ketika memutuskan suatu perkara.42 Ketidakadilan dalam bentuk ini bahkan melebihi dibandingkan bila hakim melakukan korupsi atau bentukbentuk lain penyalahgunaan wewenang sekalipun ketika memeriksa suatu perkara. 43 Oleh karena itu, keadilan formal yang sekedar patuh terhadap sistem itu akan dapat dirasakan lebih jauh sebagai keadilan substantif (materil) hanya bila hakim konsisten mengikuti “the substantive justice of institution” dan “the possibilities of their reform”.44 Dengan kata lain, putusan yang mengikuti the living law yakni legitimate expectations yang telah dituangkan dalam a just political constitution yang kita sebut dengan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan menjadi yurisprudensi sehingga menjadi sumber hukum maka akan meningkatkan derajat kualitatif keadilan formil itu menurut Rawls. Oleh karena itu, John Rawls mengatakan bahwa akan dapat terjadi “where find formal justice, the rule of law and the honoring of 38
Ibid, hlm. 50
39
Ibid, hlm. 52
40
John Rawls, terjemahan, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 299
41
Ibid, hlm. 51
42
Ibid, hlm. 50
43
Ibid, hlm. 299
44
Ibid, hlm. 52
18
legitimate expectations, we are likely to find substantive justice as well”. Artinya, di mana kita menemukan keadilan formal, rule of law, dan menghormati harapan-harapan yang sah masyarakat yang sudah merupakan constitutional rights bagian dari a just political constitution dalam kontrak sosial itu maka kita akan cenderung untuk menemukan keadilan substantif. Rawls melanjutkan bahwa “Once we understand the content of these principles and their basis in reason and human attitudes, we may be in a position to decide wheter substantive and formal justice are tied together”. Artinya, sekali sudah mengerti isi dari prinsip-prinsip ini dan dasar pikirannya serta bagaimana tingkah laku orang terhadapnya maka kita sudah dalam suatu posisi yang dapat memutuskan apakah keadilan substantif dan keadilan formil adalah terikat secara bersama. Dengan kata lain, suatu putusan perkara di pengadilan telah honoring the legitimate expectations bilamana dalam proses penegakan hukum apa yang disebut dengan proses rechtsvinding dan rechts forming atas a just political constitution rights dari kewenangan hakim di pengadilan dapat diterapkan ketika mengadili suatu perkara yang memohon suatu keadilan. Oleh karena itu, secara singkat dapat dirangkumkan bahwa jawaban atas pertanyaan apakah keadilan itu maka dari pokok uraian John Rawls bahwa keadilan itu adalah suatu fairness. Namun keadilan tidak sama dengan fairness itu. Kemudian pertanyaannya bagaimanakah mengetahui dan menemukan adanya fairness dan keadilan. Menurut Rawls pertama-tama dilihat bagaimanakah basic structure dari masyarakat itu. Dari basic structure tertentu akan menghasilkan public rules tertentu pula. Bila basic structure itu adalah a just political constitution dan a just system of institution maka justice as a fairness akan mungkin dicapai. Namun disadari pula bahwa setelah ditemukan semua unsur-unsur itu maka awalnya yang dapat tercapai baru terbatas pada keadilan formal dan prosedural, atau tepatnya “keadilan sebagai keteraturan (justice as regularity)”. Tetapi bila dalam prosedur atau keteraturan itu juga terfasilitasi harapan masyarakat melalui ketidakberpihakan aparatur dan adanya lembaga keterbukaan pengadilan untuk melakukan rechtsvinding dan recht forming atas constitutional rights dalam a just political constitution karena keadilan substantif itu sifatnya open-ended,45 maka keadilan formal itu akan dapat berubah menjadi keadilan 45
Mirjan R. Damaska, The Faces of Justice and State Authority, A Comparative Approach to the Legal Process, Yale University Press, New Haven and London, 1986, hlm. 28, bahwa “Standard of substantive justice are open-ended, and can be only imperfectly embodiedin textally fixed rule”
19
substantif. Dengan kata lain secara teoritis keadilan substantif telah dapat ditemukan atau dirumuskan dalam putusan hakim atas suatu perkara. Kedua, bila sudah dapat dirumuskan apa itu keadilan, sekarang pertanyaan dilanjutkan yakni bagaimanakah proses keadilan itu dapat dicapai? Secara garis besar Rawls46 menguraikannya demikian: 1)
“What a person does depens upon what the public rules say he will be entitled to, and what a person is entitled to depends on what he does......These considerations suggest the idea of trating the question of distrubtive shares as a matter of procedural justice”.
2)
“....the notion of procedural justice is best understood by a comparison with perfect and imperfect procedural justice......Pretty clearly, perfect procedural justice is rare, if not impossible, in cases of much practical interest.....The characteristic mark of imperfect procedural justice is that while there is an independent criterion for the correct outcome, there is no feasible procedure which is sure to lead to it......Clearly we can not say that a particular state of affairs is just because it could have been reached by following a fair procedure”.
3)
“....therefore, to apply the notion of pure procedural justice to distributive shares it is necessary to set up and to administer impartially a just system of institutions. Only against the backround of a just basic structure, including a just political constitution....., can one say that the requisite just procedure exist”.
Bila keadilan itu adalah fairness dan bagaimanakah keadilan itu dapat dicapai, maka teori Rawls ialah pertama-tama harus difahami bahwa apa yang dapat dilakukan seseorang tergantung apa yang sudah diatur untuk dia dalam hukum. Gagasan dasar demikian ini adalah merupakan a matter of procedural justice. Memahami ide procedural justice ini dapat dimengerti dengan lebih baik lagi jika memperbandingkan antara procedural justice yang sempurna dan yang tidak sempurna. Sekalipun adalah sangat jarang adanya procedural justice yang sempurna jika tidak bisa disebut tidak mungkin. Sebagai tanda yang khas dari suatu procedural justice yang tidak sempurna adalah bahwa bila ada kriteria yang independen untuk mencapai hasil yang benar namun tidak ada suatu prosedur yang feasible untuk pasti dapat mencapainya. Jelasnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu hal adalah adil karena telah dapat mengikuti seluruh prosedur secara adil. Oleh karena itu, menerapkan keadilan prosedural murni adalah perlu membuat dan melaksanakan a just system of institutions yang tidak memihak. Dengan kata lain, bahwa untuk mencapai keadilan diperlukan satu ketentuan 46
Ibid, hlm. 84-87
20
(public rule) dan prosedurnya sekaligus. Dipahami, keadilan itu belum akan tercapai hanya dengan telah mengikuti seluruh prosedur itu secara jujur saja melainkan masih diperlukan suatu sistem kelembagaan yang didukung oleh penetapan politik (hukum) dengan struktur dasar yang adil. Bila hala-hal itu sudah ditemukan maka keadilan prosedural yang sempurna menurut teori keadilan prosedural murni ini akan dapat dicapai. Keadilan ini disebut juga dengan keadilan substantif. Dengan kata lain, keadilan ini adalah keadilan yang didasarkan pada hukum (public rule).
B.
Sistem Hukum Pidana Indonesia Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana
merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma.47 Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).48 Lawrence M. Friedman, menyebutkan sistem hukum dalam arti luas dengan tiga elemen yaitu struktural (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).49 Ketiga elemen tersebut saling mempunyai korelasi erat. Lawrence Friedman lebih lanjut mendescripsikan ketiga elemen sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah mesin bahwa budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut. Konsekuensi aspek ini, budaya hukum begitu penting sifatnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan. 50 Selanjutnya, Kees Schuit sebagaimana dikutip J.J.H. Brugging dari perspektif sosiologi hukum menyebutkan sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemadirian tertentu (memiliki identitas dengan batas-batas yang relatif jelas yang saling berkaitan, dan masing-masing dapat dijabarkan lebih lanjut. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum yersebut pada hakikatnya, berupa: 47
Hans Kelsen, loc. cit.
48
Charles Sampford, loc. cit.
49
Lawrence Friedman, loc. cit
50
Lawrence Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, WW. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 7, menyebutkan dengan terminologi, “without legal culture, the legal system is inert – a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”.
21
1.
2.
3.
Unsur idiil, terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum”. Bagi para sosiolog hukum, masih ada unsur lainnya. Unsur operasional, terdiri dari keseluruhan orga, yang didirikan dalam organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang didirikan dalam sutu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga. Unsur aktual, adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu. 51
Marc Ancel, menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan.Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.52Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki empat elemen substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini tersusun dalam suatu rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat.53 Ruslan Saleh menyebutkan bahwa korelasi asas hukum dengan hukum asas hukum menentukan isi hukum dan peraturan hukum positif hanya mempunyai arti hukum jika dikaitkan dengan asas hukum. 54Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum.55 Kemudian J.J.H. Bruggink memformulasikan asas hukum sebagai pikiranpikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang 51
J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 140. 52
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London, Routledge & Kegen Paul, 1965), hlm. 4-5, dikutip dari: Barda Nawawi Arief, loc. cit 53
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 22. 54
Ruslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Penerbit Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1996, hlm. 5. 55
Satjipto Rahardjo, Ilmu..........., op. cit., hlm. 15.
22
berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. 56Lebih lanjut, menurut J.J.H. Bruggink, asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri, yang sebagian termasuk dalam sistem hukum, tetapi sebagian lainnya tetap berada di luarnya sehingga asas-asas hukum itu berada baik di dalam sistem hukum maupun di belakangnya. 57Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, menyebutkan asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin tengah yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer).58 Roeslan Saleh, selanjutnya menegaskan, bahwa: “.....tiap kali aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan terus menerus mendesak masuk ke dalam kesadaran hukum dari pembentuk. Sejauh dia mempunyai sifat-siaf konstitutif dia tidak dapt dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak dapat dikesampingkannya. Jika hal itu dilakukannya, terjadilah yang disebut non-hukum atau yang kelihatannya saja sebagai hukum.” 59
Walau sistem hukum pidana masih harus diciptakan, bukan berarti hal ini tidak dapat didefinisikan. Marc Ancel memberi pengertian sistem hukum pidana dalam tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: a.
Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
b.
Suatu prosedur hukum pidana, dan
c.
Suatu mekanisme pelaksanaan (pidan).60
A Mulder61 dengan tolok ukur pengertin Marc Ancel tersebut di atas, juga memberikan dimensi sistem hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan: a.
Seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbaharui.
56
J.J.H. Bruggink, alih Bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang........, op. Cit., hlm. 119-120.
57
Ibid, hlm. 122.
58
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Djatmiati, Argumentasi Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 9. 59
Roeslan Saleh, ibid.
60
A. Mulder, Strafrechtspolitiek Delikt en Delinkkwent, Gouda Quint BV. Arnhem, Mei 1980, hlm. 333, dikutip dari Barda Nawawi Arief, op. Cit., hlm. 29. 61
A. Mulder, Ibid, hlm. 28
23
b.
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c.
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Apabila dianalisis pendapat Marc Ancel dan A Mulder sebagaimana konteks di atas, dapat disebutkan bahwa sistem hukum pidana mencakup 2 (dua) aspek krusial yaitu mengenai sistem pemidanaan dan pembaharuan hukum pidana. Secara singkat, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan pidana. 62 Oleh karena itu, sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang merupakan lingkup sistem hukum pidana. Sistem Hukum Pidana yang mempunyai dimensi sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut substansial. Analisis dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundangundangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Barda Nawawi Arief
63
secara lengkap membagi sistem pemidanaan ini dari sudut
fungsional terdiri dari subsistem Hukum Pidana Materiil/Substantif, Hukum Pidana Formal, dan subsistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Oleh karena itu, ketiga subsistem itu saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu subsistem saja. Kemudian, dari sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Keseluruhan perturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang teridiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”).64 Sistem Hukum Pidana selain mempunyai dimensi sistem pemidanaan bersifat fungsional dan substansial, menurut asumsi dan batasan dari Marc Ancel serta A. Mulder berorientasi juga dengan pembaharuan hukum pidana. Barda Nawawi Arief,
62
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 261. 63
64
Ibid, hlm. 262. Ibid, hlm. 263.
24
melihat upaya pembaharuan hukum pidana (“penal reform”) pada hakikatnya termasuk bidang “penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat dengan “law enforcement policy”, “criminal policy”, dan “social policy”.65 Aspek ini dapat diartikan bahwa pemabaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare dan penegakan hukum pidana. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value oriented approach”).66 Mudzakkir67 menyebutkan pembaharuan hukum pidana terjadi melalui beberapa kemungkinan: Pertama, pembaharuan hukum pidana terjadi karena dipengaruhi pergeseran unsur masyarakat hukum atau pergeseran elemen bawah ke atas (bottom up). Kedua, kerena pergeseran nilai yang mendasari hukum atau elemen atas mempengaruhi elemen di bawahnya (top down).Ketiga, pergeseran gabungan pertama dan kedua yaitu terjadi pada elemen nilai atau elemen masyarakat hukum tidak secara otomatis membawa pergeseran hukum, tetapi hukum yang berlaku diberi perspektif baru sesuai nilai baru atau keadaan baru tersebut. Uraian Sistem Hukum Pidana secara umum tersebut juga berlaku dan melandasi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Asas pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi menurut Sistem Hukum Pidana Indonesia mencakup pengertian sistem pemidanaan dan pembaharuan hukum pidana. Pada sistem pemidanan, asas pembalikan beban pembuktian berorientasi kepada subsistem Hukum Pidana Formal dan subsistem Hukum Pidana Materiil. Pada subsistem Hukum Pidana Formal, praktik asas pembalikan beban pembuktian di Indonesia belum mampu diterapkan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Pejabat-pejabat negara yang dijerat kasus tindak pidana korupsi, seringkali berada pada posisi yang menyulitkan penyelidikan dan penyidikan untuk memperoleh bukti sehingga di depan persidangan hakim tidak memerintahkan
65
Ibid, hlm. 3.
66
Ibid, hlm. 3-4.
67
Mudzakkir, op. cit., hlm. 159.
25
untuk membuktikan bahwa harta kekayaan miliknya itu bukan berasal dari hasil kejahatan. Akibatnya, negara hanya menerima sebagian kecil dari harta kekayaan para koruptor yang berasal dari hasil kejahatan melalui putusan denda. Harta kekayaan lainnya menjadi tidak tersentuh, dan dapat tetap dinikmati para pelaku tindak pidana korupsi tersebut.68 C.
Teori Hukum Pembuktian
1.
Teori Hukum Pembuktian. Dikaji dari latar belakang perkembangannya, hukum pidana merupakan bagian
hukum publik.69 Konsekuensi logis demikian, hukum pidana dititikberatkan kepada kepentingan umum dengan mempunyai dua unsur pokok yaitu norma dan sanksi. W.P.J. Pompe menyatakan, bahwa: “yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk kepentingan masyarakat.” 70
Konklusi paradigma di atas, mensiratkan hukum pidana mempunyai hubungan hukum berdasarkan kepentingan masyarakat, sehingga mempunyai sifat “hukum publik”, J.M. van Bemmelen71 menyebutkan pada mulanya hukum pidana terdiri atas beberapa peraturan pemerintah dan larangan, dan sanksi yang ditentukan terhadap pelanggaran perintah dan larangan tersebut. Kemudiaan, Tirtaamidjaja menyebutkan bahwa maksud diadakan hukum pidana ialah melindungi masyarakat.72 68
H.M. Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hlm. 13. 69 Semula hukum pidana merupakan bagian hukum privaat. Pada waktu itu bila seorang anggota masyarakat menimbulkan kerugian pada keluarga lain, penderita berhak membalas dendam terhadap orang yang menimbulkan kerugian tadi. Akan tetapi, hak untuk menuntut kerugian (balas dendam) itu tidak hanya oleh anggota keluarga yang dirugikan saja, bahkan oleh seluruh keluarga dimana penderita masuk. Cara demikian dinamakan weerwrak. Ini menjadi bukti hukum pidana itu termasuk merupakan hukum privaat. (Martiman Prodjohamidjojo, Memahami dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 7-8). 70
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.
71
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1,2, 3, Bina Cipta, Jakarta, 1979, hlm. 12
72
Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Penerbit Posco, Jakarta, 1955, hlm. 18
37
26
Jan Remmelink menyebutkan tujuan hukum pidana sebagai menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum melalui norma dan terhadap pelanggaran norma akan dikenakan sanksi. Jan Remmelink secara eksplisit menyebutkan bahwa: “Hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung; kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat bergantung kepada paksaaan. Jika norma-norma tidak diataati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun, bila menyangkut soal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara pelanggar norma tersebut.” 73
Berdasarkan dimensi di atas, tegasnya ada korelasi erat antara lahir, tumbuh, berkembangnya masyarakat dengan tujuan dari hukum pidana. Konkretnya, berkembangnya hukum pidana terutama asas-asasnya tidak dapat terlepas dari dinamika masyarakat bersangkutan. Kajian dari optik asas-asas hukum pidana yang relatif telah berkembang dan diterapkan masyarakat, ada relevansinya dengan dimensi pembuktian dalam hukum pidana pada tataran legislasi dan implementasinya. Hakikatnya, pembuktian dalam hukum pidana amat penting. Apabila dijabarkan, dapat dikatakan pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang. Konklusi pembuktian ini dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhkan pidana (veroordeling) karena dari hasil persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, kemudian dapat berupa dibebaskan dari dakwaan (vrijspraak) karena tidak terbukti melakukan tindak pidana ataukah dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Secara sederhana dapat dikatakan ada anasir erat antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian yang
merupakan
rumpun
hukum
acara
pidana
(“formeel
Strafrecht”
/
“Strafprocesrecht”).
73
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 14
27
Secara universal beberapa asas penting dalam hukum pidana yang berkaitan erat dengan ketentuan pembuktian adalah asas legalitas.74Pada dasarnya, asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undangundang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan it kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).75
Dalam perspektif tradisi Civil law. Ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi.76 Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.77 Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: 1)
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. 78
2) 3)
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2005).
79
Akan tetapi, Utrecht keberatan
74
Asas Legalitas atau Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali merupakan asas berasal dari von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801). Pada prinsipnya, asas legalitas atau Principle of legality adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan dahulu dalam perundang-undangan. (Moeljatno, AsasAsas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 23, vide pula Achmad S. Soemadipradja, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1982, hlm. 58, Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm. 5, dan Barda Nawawi Arief, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia (Perspektif Perbandingan Hukum Pidana), Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2007, hlm. 4-8 75
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 130
76
Roelof H. Haveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern in Indonesia, Penerbit Tata Busa, Jakarta, 2002, hlm. 50 77
Ibid
78
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,........Op. Cit., hlm. 25
28
dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih rinci, Utrecht mengatakan bahwa: “Terhadap asas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collective belangen). Akibat asas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (= peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Asas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hukum pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar” masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan Pasal 1 ayat 1 KUHPidana yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa Pasal 1 ayat 1 KUHPidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.”80
Walaupun demikian, pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia, bahwa: “Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas asas itu ditinggalkan.”81
79
Pada dasarnya, praktik peradilan mengenal asas legalitas materiil dengan menerapkan dan memutus kasus pidana adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b U U Dart 1/1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan Acara Pengadilan Sipil. Misalnya delik adat lokika Sanggraha di Bali merupakan tindak pidana adat yang melanggar norma kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai sanksi adat dan serta dijatuhkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart 1/1951. Terhadap aspek ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 374K/Pid/1990 tanggal 13 Maret 1993, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Putusan Mahkamah Agung RI No. 948/K/Pid/1996 tanggal 15 Nopember 1996. (Vide: Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Penerbit PT. Citra Adirya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 221-253). Kemudian asas legalitas materiil ini dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2005 diformulasikan dengan redaksional, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.” 80
198
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbit Universitas, Jakara, 1958, hlm. 195-
29
Barda Nawawi Arief 82 menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex serta”, dan asas “lex temporis delicti” atau asas “nonretroaktif”83 Muladi menyebutkan bahwa dalam makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dikembangkan asas tersebut, yaitu: a)
“Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis – unwritten law);
b)
“Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy);
c)
“Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
d)
“Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas – unclear terms).84
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2005 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2005 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai berikut: “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
81
Loebby Loqman, Perkembangan Azaz Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, Paper, Semarang, 2004, hlm. 6-7 82
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1 83
Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan undang-undnag atau hukum tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku (Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar......, op. cit, hlm. 358). Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif), tetapi harus bersifat prospectif. 84
Muladi, Kumpulan Tulisan Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Penerbit Panitia Penyusunan RUU Tentang KUHP Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM Republok Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 4
30
Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2005 disebutkan bahwa: “Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ni menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelumtindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.” Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijgebied) yang terdapat pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.” 85 Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain karena sebagai berikut: a. b. c.
d.
e.
85
Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiil. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam UndangUndang Dasar Sementara 1950; Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1951; Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege” tetapi juga sebagai “nullum dilectum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga asas legalitas materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum; Dalam dokumen internasioanl dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legaliatas materiil (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas); Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain, “rechtterlijk pardon”, “judicial
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana......, op. cit., hlm.151
31
pardon”, “dispensa de pena” atau “nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “judicial corrective to the legality principle”; Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-Undang No. 75-624 Tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mwngenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana”(“the declaration of guilt without imposing a penalty”); Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti). 86
f.
g.
Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti” sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar ini menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan, diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman.87 A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum. Aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formal yang dianut Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas.88 Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, aspek pembuktian memegang peranan penting untuk menentukan dan menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum acara 86
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta......op. cit., hlm. 10-11
87
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar.........., op.cit., hlm. 362
88
Menurut teori formal, perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undangundang lan selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP. Kemudian, menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat sebagai perubahan undangundang ex Pasal 1 ayat (2) KUHP. Teori materiil tak terbatas bahwa H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922, hlm. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”. (A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana........, op.cit., hlm. 152-153).
32
pidana/hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil. Apabila dikaji lebih mendalam mengapa ada polarisasi pemikiran aspek pembuktian dikategorisasikan kedalam hukum pidana materiil karena dipengaruhi adanya pendekatan dari hukum perdata bahwa aspek pembuktian masuk dalam kategorisasi hukum perdata materiil dan hukum perdata formal (hukum acara perdata). Akan tetapi, sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), aspek pembuktian diatur dalam ketentuan Hukum Pidana Formal. Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan , menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. 89Dikaji dari makna leksikon, pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. 90 Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap91 pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
yang terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang 89
Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Penerbit CV. Akademikia Pressindo, Jakarta, 1985, hlm. 47. 90
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, cetakan keempat, Jakarta, 2005, hlm. 172. 91
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 252.
33
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP menegaskan bahwa untuk dapat dilakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan berula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya, pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonnis) oleh hakim di depan sidang pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding (apel/revisi). Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil (materieele waarheid) akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Herbert L. Packer menyatakan bahwa suatu bukti illegally acquired evidence (perolehan bukti secara tidak sah) adalah tidak patut dijadikan sebagai bukti di pengadilan.92 Pada proses pembuktian ini, ada korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: a.
Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.
b.
Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c.
Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.
d.
Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. 93
Bambang Poernomo menyebutkan hakikat dan dimensi mengenai pembuktian selain berorientasi kepada pengadilan juga dapat berguna dan penting bagi kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian bahwa kekhususan peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: a.
Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak.
92
Herbert L. Packer, The Model in Operation: From Arrest to Charge, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 195-196. 93
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik ...........Op. Cit., 2001, hlm. 99.
34
b.
Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam.
c.
Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam undangundang.94
Korelasi dengan apa yang diuraikan konteks di atas, proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan dan terdakwa atau beserta penasihat hukumnya. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dalam melakukan pembuktian, hanya saja segmen dan derajad pembuktian yang dilakukan sedikit ada perbedaan. Pada majelis hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan akhirnya menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan terdakwa tersebut dalam vonnisnya. Penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat hukum melakukan kegiatan pembuktian juga hanya saja perspektif penuntut umum membutikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak pidana, tetapi dari perspektif terdakwa atau penasihat hukum berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Pada dasarnya, apabila dianalisis, mengapa perbedaan penafsiran dan sudut pandang tersebut dapat terjadi padahal kasus dan fakta yang dihadapi sama, menurut Mr. Trapmann aspek ini bergantung kepada sikap, titik tolak dan pandangan para pihak dalam perkara pidana, yaitu:95 a.
Pandangan terdakwa/penasihat hukum terdakwa sebagai pandangan subjektif dari posisi yang subjektif;
b.
Pandangan Penuntut Umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif;
c.
Pandangan hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi objektif pula.
94
Bambang Poernomo, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, dalam UndangUndang RI No. 8 Tahun 1981, Penerbit Liberty, Yogyakarta. 1993, hlm. 39. 95 Achmad S. Soemoedipradja, Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hlm. 41-44.
35
Dengan tolok ukur sebagaimana tersebut di atas, Mr. A.A.G. Peters berpendapat: “Apa yang mengikat Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan Hakim adalah orientasi mereka secara bersama terhadap hukum, apa yang memisahkan mereka adalah Penuntut umum bertindak demi kepentingan umum, Penasihat Hukum demi kepantingan subjektif dari terdakwa dan Hakim dalam konflik ini harus sampai pada pengambilan keputusan secara konkret”.96
Pada sidang pengadilan merupakan aspek esensial dan fundamental pembuktian dilakukan baik oleh Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa dan atau bersama Penasihat Hukumnya maupun oleh Majelis Hakim. Walaupun tahap awal pembuktian ini bersamasama dilakukan, akhir dari proses pembuktian tidak selalu sama. Proses awal pembuktian di depan sidang pengadilan mulai dengan pemeriksaan saksi korban (Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP), tetapi bagi Jaksa Penuntut Umum proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan tuntutan pidana (requisitoir) yang dapat dilanjutkan dengan repliek atau re-repliek. Bagi terdakwa dan atau penasihat hukumnya akan berakhir dengan dibacakan pembelaan (pledooi), yang dapat dilanjutkan dengan acara dupliek atau re-dupliek, sedangkan bagi Majelis Hakim, berakhirnya proses pembuktian ini diakhiri dengan adanya pembacaan putusan baik di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding. Akan tetapi, sebenarnya pembuktian tersebut hakikatnya mempunyai 2 (dua) dimensi sebagai suatu proses pidana yang dilakukan mulai tahap penyelidikan sebagai awalnya dan tahap penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim sebagai tahap akhirnya. Adami Chazawi menandaskan, bahwa: “Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan sebagaimana yang diterangkan di atas, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: 1. Bagian Kegiatan pengungkapan fakta; dan 2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Bagian pembuktian yang pertama, adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan di muka sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum (a dcharge) atau atas kebijakan Majelis Hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini berakhir pada saat Ketua Majelis Hakim menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (Pasal 182 atyat 1 huruf a). Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan atau mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat). Bagian pembuktian kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasihat Hukum 96
Ibid, hlm. 41-44
36
pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pledooi), dan Majelis Hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya.”97
Polarisasi kegiatan pembuktian apabila ditarik benang merahnya secara lebih luas, akan bermuara pada dimensi hukum pembuktian di dalamnya. Dikaji dari perspektif hukum acara pidana, hukum pembuktianada, lahir, tumbuh dan berkembang dalam rangka menarik suatu konklusi bagi hakim di depan sidang pengadilan untuk menyatakan terdakwa terbukti ataukah tidak melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, dan akhirnya dituangkan hakim dalam rangka menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Apabila
ditarik
kesimpulan,
hakikatnya
hukum
pembuktian
dapat
dikategorisasikan kedalam hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional dan khusus. Dimensi dari hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional, termaktub dalam ketentuan hukum acara pidana sebagaimana diintrodusir KUHAP. Pada ketentuan ini, hukum pembuktian dalam sidang pengadilan dilakukan secara aktif oleh jaksa penuntut umum untuk menyetakan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Sebaliknya, terdakwa atau penasihat hukumnya akan berusaha untuk menyatakan dan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa peenuntut umum. Kemudian, apabila dijabarkan secara lebih khusus mengenai hukum pembuktian yang bersifat umum dalam KUHAP menurut Lilik Mulyadi, berorientasi kepada dimensi-dimensi sebagai berikut: a.
Mengenai apa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Keterangan saksi yang sah adalah yang dinyatakan di sidang pengadilan dan keterangan seorang saksi tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan (asas “unus testis nullums testis”), akan tetapi keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (Pasal 185 ayat (4) KUHAP dan berikutnya petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2) KUHAP).
b.
Adanya asas pembuktian undang-undang secara negatif untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
97
21-22.
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm.
37
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakuknnya. c.
Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam melakukan pembuktian serta bagaimana cara menilainya yaitu dengan secara sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu serta cara hidup dsn kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, kemudian cara melakukan pembuktian, dan lain sebagainya.98
Hukum pembuktian yang bersifat khusus, dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana Pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentun hukum pembuktian yang bersifat khusus terdapat dalam UU tindak pidana khusus di luar tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana (KUHP).99 Di dalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan hukum pidana formal dan hukum pidana materiil secara sekaligus. Misalnya, Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menentukan bahwa: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Dari pemaparan di atas, terminologi “dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku” sehingga ada ketentuan hukum pidana formal sebagaimana diintrodusir dalam KUHAP. Kemudian terminologi “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” menunjukkan ada kekhususan hukum acara. Apabila aspek ini dijabarkan, dalam Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 ditentukan adanya pembalikan beban pembuktian tentang ketentuan alat bukti petunjuk. Dalam ketentuan tersebut alat bukti petunjuk diperluas, jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, 98
99
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian..........................Op. Cit., hlm. 90-91
Ketentuan Pasal 103 KUHP berbunyi, “Ketentuan-ketentuan ayng tersebut dalam delapan bab pertama dari buku in, juga berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut lain-lain peraturan perundangan diancam dengan hukuman, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang, oleh peraturan umum dari pemerintah atau oleh suatu ordonansi.”
38
dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna dan lain sebagainya. Selanjutnya, dalam rangka menerapkan pembuktian dalam hukum pidana Indonesia dikenal adanya beberapa teori hukum pembuktian. Untuk itu, secara teoritis asasnya dikenal 3 (tiga) teori tentang pembuktian, yaitu berupa: a.
Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-undang Secara Positif Pada dasarnya, teori hukum pembutian menurut undang-undang secara positif
berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, teori hukum pembuktian positif bergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undangundang. Singkatnya, undang-undang telah menetukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersenut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini, hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Demikian sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya terdakwa bersalah. Dengan demikian, pada esensinya menurut D. Simons, sistem atau teori hukum pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropah pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.100 Lebih lanjut lagi, apabila dikaji secara hakiki ternyata teori hukum pembuktian positif mempunyai segi negatif dan segi positif. M. Yahya Harahap berasumsi sebagai berikut: “Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menetukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini 100
229.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.
39
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang sudah cukup menetukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang , hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memeiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undangundang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang sah menurut undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.”101
Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan positif, baik secara teoritis dan praktik teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positf relatif sudah tidak pernah diterapkan lagi.
b.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Pada teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan ( bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya, lebih lanjut teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu: “Conviction Intime” dan “Conviction Raisonce”. Melalui teori hukum pembuktian “ConvictionIntime”, kesalahan terdakwa bergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dengan demikian, putusan hakim disini tampak timbul nuansa subjektifnya. Misalnya dalam putusan hakim dapat berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain sebagainya sebagaimana pernah diterapkan dahulu pada praktik pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.
101
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan............., op. cit., hlm. 789-799.
40
Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan teori hukum pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subjektf, yaitu: “Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” Belaka tanpa didukung oleh alat bukti cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian convictionintime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat buki yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat yang bukti sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.” 102
Teori hukum pembuktian “Conviction Raissonce” asasnya identik dengan sistem Conviction Intime”. Lebih lanjut lagi, pada teori ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan.
c.
Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif Pada prinsipnya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut undangundang secara negatif, hakikatnya merupakan “peramuan” antara teori hukum
102
Ibid, hlm. 797-798
41
pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Dengan peramuan ini, substansi teori hukum pembuktian menurut undangundang secara negatif tentulah melekat adanya anasir prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiil maupun secara prosedural. Dari ketiga teori hukum pembuktian yang diuraikan di atas, mana yang dianut KUHAP dan praktik peradilan maka menurut Lilik Mulyadi terdapat 2 (dua) polarisasi pendapat, yaitu: Pertama, terhadap teori hukum pembuktian dalam KUHAP menganut teori hukum pembuktian secara negatif. Hal ini tersirat pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dengan titik tolak ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, kriteria menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa, hakim harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1)
Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Terhadap hal ini menurut pandangan doktrin dan para praktisi, lazim disebut dengan terminologi asas “minimum pembuktian”. Asas minimum pembuktian ini lahir dari acuan kalimat “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” haruslah berorientasi kepada 2 (dua) alat bukti sebagaimana ditentukan limitatif Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Apabila hanya ada 1 (satu) alat bukti saja, dengan demikian asas “minimum pembuktian” tdak tercapai sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana. Aspek ini dapat dilihat misalnya pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 1704 K/Pid/ 1986 tanggal 7 Januari 1987103 bahwa pada pokoknya putusan yudex facti dibatalkan karena 103
Majalah Varia Peradilan, No. 19, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), April, 1987, hlm. 9-36, bahwa terdakwa Thosimi Kamada warga negara Jepang didakwa menanam pohon ganja yang ditaruh dalam pot depan rumahnya dan setiap otang dapat melihatnya, kemudian alat negara yang sering
42
hanya didasarkan alat bukti berupa petunjuk semata-mata tanpa didukung oleh alat bukti lainnya, sehingga tidak memenuhi syarat-syarat pembuktian yang mengharuskan hakim untuk menjatuhkan pidana berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah seperti dikehendaki oleh Pasal 183 KUHAP yang dimaksudkan untuk menjamin kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu, karena terdakwa telah memungkiri semua dakwaan, sedangkan bukti para saksi tidak satupun yang mendukung kebenaran dakwaan, dakwaan harus dinyatakan tidak terbukti. Sehingga dengan alasan ini, Mahkamah Agung RI memberikan putusan bebas kepada terdakwa serta memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan, harkat serta martabatnya. 2)
Bahwa atas “dua alat bukti yang sah” tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana memang benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya.
Berdasarkan aspek ini dapat dikonklusikan bahwa adanya “dua alat bukti” yang sah tersebut adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila hakim tidak memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, apabila keyakinan hakim saja adalah tidaklah cukup jikalau keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Kedua, terhadap penerapan teori hukum pembuktian yang terjadi dalam praktik peradilan tampaknya akan mengarah kepada teori hukum pembuktian menurut undangundang secara positif. Hal ini karena aspek “keyakinan” pada Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif. Apabila dalam suatu putusan hakim pada “diktum/ammar” tidak mencantumkan rumusan keyakinannya yang berupa “secara sah dan meyakinkan”, kelalaian tersebut tidak menyebabkan putusan batal demi hukum. Akan tetapi, praktiknya dalam tingkat banding atau kasasi hanya akan “diperbaiki” dengan penambahan kata-kata “secara sah dan meyakinkan” dalam amar/diktum putusan. M. Yahya Harahap menegaskan, bahwa:
ke rumahnya tidak pernah memperingatkan terdakwa dan terdakwa tidak mengetahui pohon yang ditanamnya adalah pohon ganja sehingga secara yuridis terdakwa tidak melakukan perbuatan melawan hukum dari UU Narkoba sehingga terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van allerechtsvervolging).
43
“Pada lazimnya jika kesalahan telah benar-benar terbukti menurut ketentuan cara lewat alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, keterbuktian kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong hati nurani hakim untuk meyakini kesalahan terdakwa. Apalagi bagi seorang hakim yang memiliki sikap hati-hati dan bermoral baik. Tidak mungkin keyakinannya yang muncul kepermukaan mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Mungkin pada tahap pertama sang hakim sebagai manusia biasa, bisa saja terpengaruh oleh sifat prasangka. Akan tetapi, bagi seorang hakim yang jujur dan waspada, prasangkanya baru semakin membentuk suatu keyakinan, apabila hal diprasangkainya itu benar-benar terbukti di persidangan berdasarkan ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.104
Akhirnya, dari pemaparan di atas, sudah sebenarnya secara teoritis dan normatif hukum pembuktian di Indonesia mempergunakan teori hukum pembuktian secara negatif, tetapi dalam praktik peradilan selintas dan tampak penerapan Pasal 183 KUHAP mulai terjadi pergeseran pembuktian pada teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan aspek dominan, sedangkan segmen “keyakinan hakim” hanyalah bersifat “unsur pelengkap” karena tanpa adanya aspek tersebut tidak mengakibatkan batalnya putusan, dan praktiknya hanya “diperbaiki” dan “ditambahi” pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi ataupun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI.
2.
Teori Pembuktian Terbalik (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof) Konsekuensi logis tiga teori hukum pembuktian sebagaimana dijelaskan di atas,
berhubungan dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Maka dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di Indonesia maupun di beberapa negara seperti di Malaysia, Inggris, Hongkong maupun di Singapura, yaitu: a.
Beban Pembuktian pada Penuntut Umum Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus
mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara cermat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Secara eksplisit beban pembuktian ada pada Penuntut Umum paralel dengan yang dikatakan oleh Glanville Williams sebagai berikut:
104
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan........, op.cit., hkm. 803-804.
44
“When it is said that a defendant to a criminal charge is presumed to be innocent, what is really meant is that the burden of proving his guilt is upon the presecution”.105
Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri sendiri (non self incrimination) sebagai manifest dari Fifth Amandment Konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa, “No person....shall be compelled in any criminal cases to be a witness against himself......”106 Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Kemudian, dimensi ini paralel dengan Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa, Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan sebagai beban pembuktian “biasa” atau “konvensionil”. 107
b.
Beban Pembuktian pada Terdakwa Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan
sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada dasarnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori “Pembalikan Beban Pembuktian” (“Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof”). Bila dikaji dari perspektif teoritis dan praktik, teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.
105
Glanville Williams, The Proof of Guilt (A Study of English Criminal Trial), Stevens & Sons, London, 1963. 106
Clive Walker & Keir Starmer, Justice in Error, First Published, Blackstone Press Limited, London, 1993, hlm. 72. 107
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian...........,op. cit., hlm. 102.
45
c.
Beban Pembuktian Berimbang Konsekuensi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasihat
Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta Penasihat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang” seperti dikenal di Amerika Serikat demikian juga di Indonesia. Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut di atas dikaji dari tolok ukur Penuntut Umum dan Terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi atas 2 (dua) kategorisasi, yaitu:108 Pertama, sistem beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”, Penuntut Umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP. Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni” bahwa terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Kemuidan teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut Umum saling membuktikan kesalahan atau ketidaksalahan dari terdakwa. Pada hakikatnya, asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Secara kronologis, asas pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon atau negara-negara penganut “case law” terbatas pada “certain cases” atau kasus-kasus tertentu khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang
108
Ibid
46
berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya seperti di Inggris, kemudian juga yang terjadi pada negara Singapura, dan Malaysia serta di Indonesia. Indriyanto Seno Adji terhadap dimensi ini lebih detail berasumsi, bahwa: “Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem kontinental maupun AngloSaxon, mengenal pembuktian dengan membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van Bewjislast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu dstruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/Terdakwa.109
Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersalah relatif cendrung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas praduga tidak bersalah. Pada dasarnya, praduga tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban pembuktian pada Penuntut Umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil. Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe secara tegas menyebutkan, bahwa: “Everyone charge with a criminal offence has the right to be presumed innocent untillproved guilty according to the law. This right is recognized not only under international and regional hukan rights instruments, but also under most national constitutions. Ths presumption of innocence contains three fundamental components: the onus of proof lies with the prosecution, the standard of proof is beyond reasonable doubt; and the method of proof must accord with fairness. 110
109
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji, SH., & Rekan”, Jakarta, 2006, hlm. 132-133. 110 Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, Legal Provisions to Facitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof, Forum on Crime and Society, Vol. 2, No. 1. Desember, 2002, hlm. 26.
47
Kemudian Muladi mengingatkan bahwa dimensi Asas Pembalikan Beban Pembuktian hendaknya dilakukan secara hati-hati dan selektif karena sangat rawan terhadap pelanggaran HAM dan dilakukan dalam rangka “proceeding”. Aspek ini dikatakan, bahwa: “...secara uniersal tidak dikenal pembuktian terbalk yang bersifat umum, sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran HAM. Seorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi di luar “proceeding” (dalam kedudukan sebagai terdakwa), hanya karena dia tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya. Dengan demikian, sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah (presumption of guilt) dalam bentuk “presumption of corruption”, tetapi beban pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka “proceeding” kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku (presumption of corruption in certain cases). Tanpa adanya pembatasan semacam ini sistem pembuktian terbalik pasti akan menimbulkan apa yang disebut “miscarriage of justice” yang bersifat kriminogen. 111
Lebih lanjut, teori pembuktian terbalik yang meletakkan beban pembuktian pada terdakwa untuk membuktikan bahwa tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Indriyanto Seno Adji 112 menyebutkan Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana yang menyatakan siapa yang menuntut, dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. Dalam hal “Pembalikan Beban Pembuktian”, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sebagai suatu penyimpangan, asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu, yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik
baru
tentang
pemberian
(gratification)
dan
yang
berkaitan
dengan
bribery(penyuapan). Selain itu, apabila dikaji lebih lanjut teori pembalikan beban pembuktian akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi terhadap ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal-Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Prinsip 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang
111
Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reverse Burden of Proof atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan, Jakarta, Juli, 2001, hlm. 121-122. 112
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan......., op.cit., hlm. 46.
48
dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739 Desember 1988, terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Indriyanto Seno Adji 113 menyebutkan terdakwa tidak pernah dibebankan untuk membuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah diwajibkan untuk mempersalahkan dirinya sendiri (“non-self incrimination”). Lebih jauh lagi bahwa terdakwa memiliki hak yang dinamakan “The Right to Remain Silent” (hak untuk diam). Kesemua ini merupakan bahagian dari prinsip perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi sedikit apapun dan dengan alasan apapun juga (“Non-Derogable Right”). Konsekuensi logis aspek tersebut di atas, bahwa pembalikan beban pembuktian relatif tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan pelaku karena selain bertentangan dengan asas-asas sebagaimana tersebut di aas juga relatif mengedepankan asas praduga bersalah. Indriyanto Seno Adji lebih detail menyebutkan: “Bahwa sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”. KUH Pidana yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mono-dualistik, dalam arti memperhatikan kesimbangan dua kepentingan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Artinya, Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi objek dari perbuatan (daad) dan segi-segi subjektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipal dari pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai realitas yang tak dapat dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hakhaka dari “dader” yang berkaitan dengan asas “non-self incrimination” dan “presumption of innocence”. Walaupun demikian, adanya suatu minimalisasi hakhak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut. Apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian berpotensi untuk terjadinya pelanggaran HAM. 114
Karena teori pembalikan beban pembuktian tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan pelaku, tentu harus dicari suatu formula baik dari perspektif teoritis, yuridis, filosofis dan praktik bagaimana teori in dapat diterapkan ditataran kebijakan legislasi dan aplikasi.
3.
Teori
Pembuktian
Terbalik
Keseimbangan
Kemungkinan
Probability of Principles) dalam Tindak Pidana Korupsi.
113
Indriyanto Seno Adji, Pembalikan Beban Pembuktian............., op. cit., hlm. 50.
114
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan......., op.cit., hlm. 110.
(Balanced
49
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwasanya teori pembuktian terbalik relatif tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan pelaku karena akan mengakibatkan pergeseran asas praduga tidak berslah menjadi asas praduga bersalah. Tegasnya, dalam tindak pidana korupsi, asas tersebut menjadi bergeser berupa asas praduga korupsi karena terdakwa yang akan membuktikan ketidakbersalahannya, padahal ketentuan instrumen hukum acara dan hukum internasional terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan kesalahannya. Dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi haruslah dicarikan justifikasi yuridis terhadap teori yang dapat mempermudah pembuktian dengan tetap berpegang teguh kepada asas-asas universal baik dalam ketentuan hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil serta instrumen internasional. Tegasnya, di satu sisi untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana korupsi tetap berpegang pada ketentuan teori hukum pembuktian yang tetap mengedepankan asas pembuktian negatif sedangkan di sisi lainnya untuk mengembalikan aset (aset recovery) hasil dari tindak pidana korupsi serta membuktkan terhadap harta kepemilikan kekayaan pelaku, tetap dipergunakan teori pembuktian terbalik karena teori pembuktian yang demikian relatif tetap menjunjung tinggi ketentuan hukuk acara pidana, hukum pidana materiil dan instrumen internasioanal. Secara implisit dimensi ini oleh Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe dijelaskan dengan redaksional sebagai berikut: “In particular, there is a need to render laws enforceable by greater resort to circumctantial evidence, but only to the extent consistent with international human rights norms, including the principle of the presumption of innocence. The challenge is to strike the right balance between, one the one hand, society’s need to protect itself from corrupt practices and, on the other, the need to safeguard the accused from unfairness, unjustified intrusion into his or her privacy, or wrongful conviction (De Speville 1997). In this regard, some national legislators have chosen to focus on the results of the criminal act rather than on the illicit practice at the root. The two main strategies aim at criminalizing unexplained wealth and facilitating the confiscation oh such wealth.” 115
Sejalan dengan pendapat Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, maka secara terpisah Oliver Stolpe menegaskan bahwa: “A lower, balance-of-probabilities standard of proof, may be used where domestic constitutional or other requirements allow this in any case where no one is 115
Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, Legal Provisions to Facilitate The Gathering........, op. cit., hlm. 24-26.
50
actually charged with a crime. The may also be used if the remedy of recording assets is fashioned in a way that it amounts to rhe civil recovery of wrongfullyobtained assets to their rightful owners as opposed to a from of criminal punishment.”116
Atas dasar parameter sebagaimana tersebut di atas guna mengantisipasi akses negatif , teori pembuktian terbalik, pembuktian terhadap pelaku tindak pidana korupsi dipergunakan Teori Pembuktian Terbalik Keseimbangan Kemungkinan (Balanced Probability of Principles)117 yang mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. Konklusinya, teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan, menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh dipergunakan asas pembuktian terbalik melainkan tetap berdasarkan asas negatif karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan kemerdekaan seseorang. Dalam konteks ini, kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi ditempatkan dalam kedudukan yang paling tinggi dengan mempergunakan Teori “Probabilitas Berimbang Yang Sangat Tinggi” yang tetap mempergunakan sistem pembuktian menurut UU secara negatif. Kemudian, secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap asas pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Apabila dijabarkan terhadap harta kekayaan milik seseorang dapat dilakukan penerapan asas pembuktian terbalik karena harta kekayaan orang ditempatkan dalam kedudukan yang paling rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan yang belum kaya. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi terhadap kepemilikan harta kekayaan dipergunakan Teori “Probabilitas Berimbang Yang Diturunkan”. Dalam prakteknya, penerapan teori ini dalam tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Hong Kong dalam kasus antara Attorney General Of Hong Kong vs Lee Kwang Kut dan kasus antara Attorney General Hong Kong vs Hui Kin Hong. Dimensi ini oleh Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe disebutkan, bahwa: 116
Oliver Stolpe, Meeting the burden of proof in corruption-related legal prooceding, unpublished,
117
Ibid, hlm. 1-3.
hlm. 2.
51
“The court of Appeal of Hong Kong held the section 10, paragraph 1, place the burden of proving the absence of corruption on the defendant, but before he or she is called upon to do so,the prosecution has to prove beyond reasonable doubt the public servant status of the accused, his or her standard of living during the charge period and his or her total official emoluments during that period; in addition, the prosecution has to prove that his or her standard of living could not reasonably, in all the circumtances, have been afforded out of his or her total official emoluments during that period. Once those matters have been proved by the presecution, the defendant has to give a satisfactory explanation as to how he or she was able to maintain an incommensurate standard of living or how disproporitonate pecuniary resources or property came under his or her control. Ordinarily, the primary facts on which the defendant’s explanation would be based, such as the existence of any capital or income independent of his or her officials emoluments, would be peculiarly within the defendant’s own knowledge. If the defendant “proves” on a “mere balance of probabilties” the factual matters in which his or her explanation is based, the court has to decide whether on which his or her explanation is based, the court has to decide whether or not such matters might reasonably account for the incommensurate standard of living or disproportionate pecunary resources or peroperty.”118
Romli Atmasasmita menulis lebih detail penggunaan kedua teori balanced probability principles dengan dimensi dan redaksional, sebagai berikut: “Hal ini menegaskan, bahwa pembuktian seseorang atas kesalahannya dengan menggunakan pembuktian terbalik (reversal burden of proof) dilarang dilakukan. Meskipun demikian, larangan mekanisme pembuktian terbalik tersebut hanya berlaku dan diterapkan dalam kasus penuntutan pidana (antara lain korupsi), tetapi tidak berlaku dalam mekanisme pembuktian keperdataan atau mekanisme “nocriminal proceeding”. Dalam kaitan ini, tidak ada larangan penggunaan mekanisme pembuktian terbalik dalam kasus kepemilikan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi (aset hasil korupsi). Penggunaan mekanisme pembuktian terbalik dalm kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud, untuk mana yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya.” 119
Romli Atmasasmita120 selanjutnya menyebutkan posisi kedua pendekatan teori tersebut di atas dalam keadaan bertolak belakang, dan apabila dideskripsikan dengan sebuah diagram seperti tercantum di bawah ini:
118
Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, Legal Provisions........, op. Cit., hlm. 29.
119
Romli Atmasasmita, Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sektor Swasta dalam Lingkup Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 8. 120
Ibid, hlm. 9.
52
Bagan 1: DIAGRAM THEORY BALANCED PROBABILITY PRINCIPLES Highest balanced probabilty = perampasan kemerdekaan tersangka
Lowest balanced probability = perampasan aset hasil korupsi Berdasarkan uraian mengenai hal tersebut di atas, teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan, adalah upaya teoritis untuk menentukan solusi penerapan pembuktian terbalik dalam pemberantasan korupsi yang sulit pembuktiannya terutama yang menyangkut asal usul harta kekayaan milik terdakwa. D.
Tindak Pidana Korupsi Kata korupsi secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi didefenisikan sebagai perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan sogok, dan sebagainya. 121 Dalam pemahaman sempit, korupsi di Indonesia dipahami sebagai perbuatan jahat yang menyangkut keuangan negara dan suap.Hukum Indonesia telah mengkriminalisasi korupsi sejak lama, yaitu mulai diberlakukannya hukum pidana peninggalan Belanda di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), terutama pada pasal 209, pasal 210, pasal 386, pasal 388, pasal 413 – pasal 435. Tindak pidana korupsi diatur secara khusus sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 121
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976
53
Menurut Robert O. Tilman,122 seperti halnya keindahan, pengertian korupsi yang sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut mana orang memandangnya. Penggunaan suatu perspektif tertentu akan menghasilkan pemahaman yang tidak sama tentang makna korupsi dengan penggunaan perspektif yang lain. Penggunaan pendekatan yuridis untuk memahami makna korupsi secara konseptual akan menghasilkan suatu pengertian yang berbeda dengan penggunaan pendekatanpendekatan lainnya seperti pendekatan sosiologis, kriminologis, dan politis misalnya. Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata “corruptio” dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia. Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan. Hal seperti ini dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black,123yang mengartikan korupsi sebagai: “an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others”. (Terjemahan bebas: suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain).
A.S. Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay).124 Sedangkan David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.125 122
Robert O. Tilman, “Timbulnya Birokrasi Pasar Gelap: Administrasi Pembangunan dan Korupsi di Negara-Negara Baru” dalam Muchtar Kubis dan James C, Scoot (ed.), Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1988, hlm. 59. 123 Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary With Pronounciations, St. Paul Minn: West Publishing Co., 1983, hlm. 182. 124
A.S. Hornby, et. Al., The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963, hlm. 218. 125
22
David M. Chalmers, Encycloperia Americana, Americana Corporation, New York, 1975, hlm.
54
Ungkapan yang pernah dikemukakan oleh Lord Acton dalam Ermansjah Djaja, sebagai berikut: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolute cenderung korupsi absolute. Ungkapan ini bermaksud untuk mengingatkan bahwa dimanapun di belahan bumi ini kekuasaan selalu sangan rentan terhadap tindak pidana korupsi.126 Empat tipe korupsi yaitu yang berkaitan erat dengan kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh Piers Beirne and James Messerschmidt dalam Dani Krisnawati dkk, yakni sebagai berikut: “Political beribery adalah kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana. Dimana individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dan yang kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka”. “Political kick backs adalah kegiatan korupsi berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak”. “Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangankecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum.” “Corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kuasa.”127 Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu dia memberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis, yaitu:128
126
Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hlm. 17.
127
Dani Krisnawati dkk., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 31. 128 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan.........Op. cit, hlm. 18-20.
55
a.
“Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh: Seorang pelayan perijinan Tenaga Kerja Asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada „calo‟, atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini, sulit dibuktikan tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih memberikan uang tambahan itu dibungkus dengan jargon “tanda ucapan terimakasih”, dan diserahkan setelah layanan diberikan.
b.
Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Contoh: Di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicari-carilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagi dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal, misalnya ditemukanlah suatu pasal yang mengatur perihal “keadaan darurat” atau “force majeur”.Dalam pasal ini dikatakan bahwa “dalam keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan, dengan syarat harus memperoleh ijin dari pejabat yang berkompeten”. Dari sinilah dimulainya illegal corruption, yakni ketika pemimpin proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat. Andaikata dalam pasal keadaan darurat tersebut ditemukan kalimat yang berbunyi “termasuk ke dalam keadaan darurat ialah suatu keadaan yang berada di luar kendali manusia”, maka dengan serta merta, pemimpin proyek bisa berdalih bahwa keterbatasan waktu adalah salah satu unsur yang berada di luar kendali manusia, yang bisa dipergunakan oleh pemimpin proyek sebagai dasar pembenaran pelaksanaan proyek. Atas dasar penafsiran itulah pemimpin proyek meminta persetujuan kepada pejabat yang berkompeten, Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya bisa dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para
56
pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegalcorruption berada pada kecanggihan memainkan kata-kata; bukan substansinya. c.
Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh: Dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu, secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah tertentu. Bila permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk kedalam kategori mercenery corruption. Bentuk “sogok” atau “semir” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga dalam bentuk lain.
d.
Idelogical corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh: Kasus skandal Watergate adalah contoh ideological corruption, di mana sejumlah individu memberikan aomitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Kemudian penjualan aset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini. Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal adalah: “To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and menggunakanpublic life but also the activity of the bribers”. “Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak
patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patur, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan”.129 Kalau Gurnal Myrdal kelihatannya menggunakan istilah korupsi dalam arti luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme, maka Helbert Edelherz lebih cenderung menggunakan istilah white collar crime untuk perbuatan pidana korupsi. Di dalam buku
129
Gurnal Myrdal, Asia Drama, Volume II, Pantheon, New York, 1968, hlm. 973.
57
Helbert Edelherz berjudul The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, perbuatan pidana korupsi disebutkan sebagai berikut: “White collar crime: an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guille, to obtain or property to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage”. “Kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis/keuntungan pribadi”.130
Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”. 131 Keanekaragaman pengertian istilah korupsi seperti digambarkan di atas, dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban aras pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi sebagai sebuah konsep. Atau dengan perkataan lain, keanekaragaman pengertian istilah korupsi dapat menimbulkan kesulitan dalam menarik suatu batasan yang serba mencakup tentang makna korupsi. Atas dasar pemikiran yang seperti itu pulalah agaknya Robert Klitgaard keberatan membuat suatu definisi tentang korupsi. Menurut Robert Klitgaard, membuat definisi korupsi adalah suatu yang membuang-buang waktu, dan lebih baik membahas cara-cara untuk memberantas korupsi itu sendiri. Dalam pemahamannya, korupsi itu ada manakala seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta cita-ciata yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi muncul dalam banyak bentuk, dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan sebagainya. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak saja di sektor pemerintahan, tetapi juga di sektor swasta, bahkan sering terjadi sekaligus di kedua 130
Helbert Edelherz, The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, US Department of Justice: Office of Regional Operations, Law Enforcement Assistance Administration, 1977, hlm. 4. 131
524.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm.
58
sektor tersebut.132Akhirnya Klitgaard menyadari betapa tidak mudahnya merumuskan perilaku korupsi dalam sebuah definisi yang serba mencakupi. Batas-batas korupsi menurut beliau sulit dirumuskan, dan tergantung kepada kebiasaan dan undang-undang setempat. Dalam hukum positif anti korupsi khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi: “Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 133
Dengan demikian, dapat dijabarkan mengenai pengertian “Tindak Pidana Korupsi” yakni semua ketentuan hukum materil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur di dalam Pasal-Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, 24. Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Dalam sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia, istilah korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsiderannya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi. Ketidakmudahan membuat sebuah defenisi seperti yang diungkapkan Klitgaard, dikemukakan 132
pula
oleh
Wertheim.
Dalam
tulisannya
Wertheim
cenderung
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta, 1998,
hlm. xix 133
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 433.
59
menggunakan pengertian yang agak spesifik. Menurutnya, seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup perbuatan menawarkan hadiah, atau bentuk balas jasa yang lain.134 Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah dianggap telah melakukan penggelapan uamg negara dan masyarakat. David H. Baley memberikan pengertian yang lebih luas tentang makna korupsi bila dibandingkan dengan pengertian Wertheim. Ia mengatakan, korupsi sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang.135 Batasan yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang memungkinkan dimasukkannya penyuapan, pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi, dan nepotisme ke dalam korupsi. Dalam hal yang terakhir inilah agaknya bentuk korupsi yang tidak secara langsung dapat menimbulkan kerugian berupa uang bagi negara dan masyarakat. E.
Penelitian Yang Relevan Guna memperkaya isi dari tesis ini, penulis menganalisa beberapa tesis yang
mempunyai korelasi dengan beberapa konsep dalam tesis ini, yaitu konsep penegakan hukum, konsep tindak pidana korupsi, dan konsep pembuktian terbalik.
134
W.F. Wertheim, “Segi-segi Sosiologi Korupsi di Asia Tenggara” dalam Muchtar Lubis dan James S. Scoot (ed.), Etika Pegawai Negeri, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, 1977, hlm. 13-14. 135 Chandra Muzaffar, Wabah Korupsi, dalam Seri Wawasan Korupsi, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1986, hlm. 11.
60
Tabel 1 Penelitian Yang Relevan No.
Nama Penulis
Judul Tesis
Muhammad Rizal Prajna Fatawi, 2005
Sistem PembuktianTerbalik Pada Proses Pemeriksaan Sidang Pengadilan Korupsi Sebagai Kebijakan Kriminal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Devid Tri Rizky, 2012 Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Korupsi Atas Nama Terdakwa Syarifuddin) Shinto Bina Gunawan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Silitonga, 2011 dan Money Laundering Dengan Sistem Pembuktian Terbalik.
1
2
3
Salah satu tesis yang mempunyai korelasi adalah tesis mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2005, atas nama Muhammad Rizal Prajna Fatawi yang mengangkat judul tesis “Sistem PembuktianTerbalik Pada Proses Pemeriksaan Sidang Pengadilan Korupsi Sebagai Kebijakan Kriminal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi.” Sesuai dengan judulnya tersebut,Muhammad Rizal Prajna Fatawi mengemukakan beberapa permasalahan yang dibahas di dalam tesisnya yaitu: 1.
Apakah yang menjadi faktor pendorong bagi pemerintah agar melakukan perubahan substansi sistem pembuktian terbalik dari sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang ke sistem pembuktian terbalik dalam bentuk murni aslinya untuk diterapkan pada proses pemeriksaan sidang pengadilan tindak pidana korupsi berdasarkan pada bukti hukum awal yang kuat?
2.
Bagaimanakah pemikiran mengenai kemungkinan berlakunya sistem pembuktian terbalik dalam bentuk murni aslinya untuk diterapkan pada proses pemeriksaan sidang pengadilan tindak pidana korupsi berdasarkan pada bukti hukum awal yang kuat dalam sistem hukum pidana untuk dapat diterapkan dalam pada saat inidi Indonesia sebagai kebijakan kriminal yang nyata dan serius terhadap pelaku tindak pidana korupsi?
Rangkaian teori dan konsep yang digunakan oleh Muhammad Rizal Prajna Fatawi dalam menguraikan dan menganalisa permasalahan penelitiannya adalah Teori Pembuktian, Konsep Korupsi, dan Teori Beban Pembuktian Ditekankan PadaTerdakwa.
61
Pada bagian akhir, tesis yang menggunakan metode penelitian yuridis normatif ini menyimpulkan beberapa hal penting yaitu: a.
Dalam hukum pidana, asas yang berlaku adalah bahwa siapa yang menyangka atau menuduh, diwajibkan untuk membuktikannya, maka beban pembuktian berada di pundak penyidik pada tingkat penyidikan, dan di pundak penuntut umum pada tingkat persidangan pengadilan. Pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian serta bertentangan dengan asas yang berlaku.
b.
Dalam penerapan asas pembuktian terbalik, harus pula dibarengi dengan pembersihan besar-besaran jajaran kepolisian, kejaksaan serta pengadilan dari orang-orang yang patut diduga melakukan nepotisme yang kemudian melakukan kolusi dengan penyuapan dan akhirnya bermuara pada korupsi. Pembuktian terbalik hanya dikenakan terhadap pegawai negeri dan pejabat badan-badan pemerintah atau perusahaan milik negara.
Devid Tri Rizky, yang mengangkat judul tesis Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Korupsi Atas Nama Terdakwa Syarifuddin), mengangkat beberapa permasalahan yaitu: 1.
Bagaimana pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia?
2.
Apakah hambatan dan kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada penanganan tindak pidana korupsi?
3.
Bagaimana seharusnya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian dalam undang-undang tindak pidana korupsi agar dapat diterapkan secara optimal?
Adapun rangkaian teori dan konsep yang digunakan oleh Devid Tri Rizky dalam menguraikan dan menganalisa permasalahan penelitiannya adalah teori tentang beban pembuktian, konsep korupsi dan konsep pembalikan beban pembuktian. Pada bagian akhir, tesis yang menggunakan metode penelitian yuridis normatif ini menyimpulkan beberapa hal penting yaitu: 1.
Sistem pembalikan beban pembuktian terbatas yang terdapat dalam Undang-Undang Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No.31
62
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dapat diterapkan pada delik gratifikasi yang berkaitan dengan suap sebagaimana diatur pada Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Kemudian pembalikan juga dapat diterapkan terhadap harta benda milik terdakwa yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (Pasal 37 A) dan harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan yang diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi (Pasal 38 B). Pembalikan beban pembuktian dalam undang-undang tindak pidana korupsi merupakan pembalikan beban pembuktian berimbang dimana penuntut umum dan terdakwa sama-sama mempunyai kewajiban untuk membuktikan namun hal/unsur yang dibuktikan berbeda. 2.
Sistem pembalikan beban pembuktian yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yakni dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Pasal 37 A dan Pasal 38 B, belum pernah diterapkan, bahkan pernah ada usaha oleh penuntut umum KPK untuk menerapkannya namun ditolak oleh hakim. Kondisi seperti ini antara lain disebabkan oleh beberapa hal yaitu terdapatnya ketidakjelasan unsur dan norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, sehingga meniadakan norma pembalikan beban pembuktian. Kemudian belum adanya petunjuk tenknis atau petunjuk operasional dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda milik terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 37 A dan Pasal 38 B membentuk persepsi yang berbeda-beda dari penegak hukum sehingga penegak hukum ragu-ragu dan cenderung untuk tidak menerapkan sistem ini.
3.
Pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi seharusnya tidak mencantumkan unsur, “.....yang berhubungan dengan kewajiban atau tugasnya.” Kemudian juga jumlah nominal gratifikasi sebesar Rp. 10.000.000,- agar dihapus dalam unsur pasal tersebut agar perbuatan gratifikasi dalam arti luas yang tidak dapat dinilai dengan uang juga dapat dikenakan dalam ketentuan ini. Terkait dengan Pasal 37 A dan 38 B yang mengatur tentang pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda terdakwa hendaknya diberikan petunjuk teknis/operasional ataupun hukum acaranya secara khusus untuk
63
menghindari sifat ragu-ragu dari penegak hukum dalam penerapan sistem ini. Selanjutnya mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda yang belum didakwakan (Pasal 38 B), undang-undang haruslah memberikan batasan dan penjelasan mengenai maksud dari harta benda yang belum didakwakan tersebut, sehingga haruslah dipahami bahwa maksudnya harta benda tersebut adalah dalam konteks harta benda yang ditemukan dalam persidangan namum belum didakwakan penuntut umum yang diduga beraal dari tindak pidana korupsi. Selanjutnya, Shinto Bina Gunawan Silitonga dalam tesisnya Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Money Laundering Dengan Sistem Pembuktian Terbalik, mengemukakan beberapa permasalahan yakni: 1.
Bagaimana mekanisme penegakan hukum oleh Polri, Kejaksaan dan Pengadilan terkait dengan tindak pidana korupsi dan money laundering yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie?
2.
Bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dan money laundering yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie dan faktor apa saja yang mendorong diterapkannya sistem pembuktian terbalik tersebut?
3.
Hambatan apa saja yang ditemui untuk menerapkan sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi dan money laundering dalam perkara Bahasyim Assifie tersebut?
Shinto Bina Gunawan Silitonga, dalam menganalisa permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Teori Hukum Progresif yang diformulasikan oleh Satjipto Rahardjo. Teori ini muncul dari perasaan galau penggagas tentang cara-cara penyelenggaraan hukum di Indonesia yang masih jauh dari rasa keadilan, ajaran ilmu hukum positif(analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik tidak memuaskan. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi di Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Tidak jarang masyarakat menyaksikan bahwa cita-cita ideal hukum terkait dengan tindak pidana korupsi dan money laundering dijual oleh para penegak hukum, dengan putusan ringan bahkan bebas dimana harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dikembalikan melalui putusan hakim kepada terpidana.
64
Meskipun setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum terus menerus dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut hukum tersebut. Hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka (business as usual), tetapi juga dipermainkan sebagai barang dagangan (business like). Akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. 136 Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.137 Dengan demikian, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuan aparaturnya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia, sehingga ideologi hukum progresif adalah hukum yang pro-keadilan, hukum yang pro-raksyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut untuk mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum, memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami masyarakat sehingga kepentingan masyarakat harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi
berpusat
pada
peraturan, tetapi pada
kreativitas pelaku hukum
yang
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Sesuai dengan judulnya, Shinto Bina Gunawan Silitonga mengemukakan beberapa konsep untuk menganalisa yaitu konsep penegakan hukum, konsep tindak pidana korupsi, konsep money laundering, dan konsep sistem pembuktian terbalik. Pada bagian akhir, tesis yang menggunakan metode penelitian yuridis normatif ini menyimpulkan beberapa hal penting yaitu: 1.
Penerapan sistem pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan secara terbatas, dalam arti bahwa sistem pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan di persidangan. Selain itu, sistem pembuktian terbalik hanya terbatas digunakan untuk membuktikan tentang asal usul harta kekayaan terdakwa. Unsur-unsur dakwaan lainnya merupakan kewajiban bagi jaksa penuntut umum untuk membuktikannya di persidangan. Penerapan sistem
136
Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak dan Markus Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, 2010, hlm. 212 137 Hukum Progresif, Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi Senear Ilmu, dalam www.legalitas.org, diakses pada tanggal 5 Februari 2011
65
pembuktian terbalik terbatas juga diterapkan pada tindak pidana korupsi terkait dengan suap dan gratifikasi. 2.
Penerapan sistem pembuktian terbalik memiliki hambatan dari hukum acara pidana terkait dengan asas presumption of innocence, non self incrimination dan the right to remain silence. Selain itu hambatan juga berasal dari tidak adanya aturan yang merumuskan tentang tata cara penerapan sistem pembuktian terbalik. Hambatan juga dapat berasal dari kreativitas dan integritas moral para penegak hukum, terutama hakim. Jika integritas dan moral para penegak hukum terkontaminasi dengan kepentingan ekonomis, niscaya sistem pembuktian terbalik dapat diterapkan secara efektif.
Berbeda dengan tesis-tesis seperti diuraikan di atas, penulis dalam tesis ini lebih bersifat menggambarkan atau mendeskripsikan kepada para pembaca tentang proses penegakan hukum yang berlangsung terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie, mulai dari penyelidikan dan penyidikan, penyusunan dakwaan dan tuntutan, serta pemeriksaan dan pembuktian di depan pengadilan. Selain itu, penulis juga berbeda pandangan dengan Muhammad Rizal Prajna Fatawi terhadap penerapan sistem pembuktian terbalik terutama bila dikaitkan dengan hukum acara tindak pidana korupsi. Penulis dalam tesis ini mengangkat pandangan bahwa dengan sistem pembuktian terbalik inilah kerinduan masyarakat terhadap rasa keadilan terobati. Sistem pembuktian terbalik ini pula yang menjadi jiwa dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie. Sistem pembuktian terbalik bukan merupakan penyimpangan karena sistem ini sudah diatur dalam hukum acara tindak pidana korupsi.
F.
Kerangka Berfikir Pada tataran Teori Keadilan merupakan dasar digunakannya Teori Pembuktian,
memberikan ruang untuk penerapan Teori Sistem pembuktian Terbalik. Pada prinsipnya Asas Sistem Pembuktian Terbalik telah diadopsi oleh Sistem Hukum Pidana Indonesia dihubungkan dengan KAK 2003 terhadap kesalahan pelaku yang diduga melakukan perbuatan tidak pidana korupsi, hal ini tetap dipergunakan hukum pembuktian melalui teori pembuktian negatif (Negatief Wettelijke Theorie) dengan adanya 2 (dua) alat bukti beserta keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana, karena terhadap kesalahan pelaku
66
tindak pidana
korupsi ditempatkan dengan menjunjung tinggi HAM dengan tetap
mengedepankan asas praduga tidak bersalah dan asas legalitas, dengan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, dalam arti bahwa sistem pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan di persidangan. Selain itu, sistem pembuktian terbalik hanya terbatas digunakan untuk membuktikan tentang asal usul harta kekayaan terdakwa. Unsur-unsur dakwaan lainnya merupakan kewajiban bagi jaksa penuntut umum untuk membuktikannya di persidangan. Oleh karenanya vonis hakim akan dibuat dengan mempertimbangkan pembuktian terbalik tersebut karena tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Berikut ini skema kerangka berpikir penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dalam perspektif Hak Asasi Manusia: Bagan 2 Kerangka Berpikir Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik PadaTindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
TIDAK MELANGGAR HAM
TEORI KEADILAN
TEORI PEMBUKTIAN
VONIS DENGAN PERTIMBANGAN PEMBUKTIAN TERBALIK
SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK
TERDAKWA MEMBUKTIKAN HAK ATAS HARTANYA
DALAM DALAM PERSPEKTIF HAM
67
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan pemilihan
jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Pada hakikatnya, masalah mendasar penelitian ini adalah tentang sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi khususnya bagaimana implementasinya pada praktik peradilan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal, yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dalam hal ini yang dilakukan adalah meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian
ini
berpedoman
pada
pendapat
Sutandyo
Wignyosoebroto,
sebagaimana dikemukakan Setiono, yang mengemukakan ada 5 ( lima) tipe kajian hukum berdasarkan perbedaan konsep hukum, dimana konsep pertama, kedua dan ketiga disebut sebagai “konsep normatif”. Dalam konsep normatif ini hukum adalah norma, baik yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah terumus jelas (ius iconstitutum) untuk menjamin kepastiannya, dan juga yang berupa norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judgement) pada waktu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatannya dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara. Perbedaan tipe kajian ini akan menyebabkan juga perbedaan dalam pemilihan dan penggunaan metode kajian. Lima konsep kajian tersebut adalah: a.
Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal;
68
b. c. d. e.
Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional; Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan tersistemisasi sebagai “judge made law”; Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembaga dan eksis sebagai variabel sosial yang empiris; Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka;
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep yang ketiga, yaitu hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim “inkonkreto” dan tersistemisasi sebagai “judge made law” yaitu metode penelitian normatif atau doktrinal, analisis berdasarkan logika deduksi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukumyang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, selain itu, dengan melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara hierarki, dan penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi obyek penelitian.
B.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan dokumenter, tulisan-tulisan ilmiah dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan erat dengan masalah yang diteliti, dimana ciri-ciri umum data sekunder adalah sebagai berikut: a.
Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready made).
b.
Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh penelitipeneliti terdahulu.
c.
Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.
Sumber data merupakan tempat di mana data suatu penelitian dapat diperoleh,dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.
69
Dalam penelitian hukum, data sekunder bila dilihat dari kekuatan mengikatnya, digolongkan menjadi tiga yaitu: a.
Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara (KUHAP),
3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
4)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
5) b.
Beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records), yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, literatur-literatur, hasil-hasil penelitian, jurnal, makalahmakalah dalam seminar, putusan dan artikel yang terkait dengan pengaturan dan implementasi terhadap sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi.
c.
Bahan hukum tersier (tertiery resource), yaitu bahan-bahan hukum yang dapat memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder . Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya yang terutama berkaitan dengan sistem pembuktian terbalik dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia.
C.
Pendekatan Penelitian Sebagai penelitian hukum normatif, metode pendekatan yang diterapkan untuk
membahas permasalahan penelitian adalah melalui pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis semua undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, hak
70
asasi manusia dan sistem pembuktian terbalik dan pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti. Juga melalui pendekatan studi kasus (Case Study Approach) dengan menelaah kasus tentang sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi Bahasyim Assifie. Studi kasus terdiri dari beberapa tipe yaitu: 138 a.
studi kasus intrinsik yaitu studi kasus yang menekankan pada pemahaman mendalam kasus tunggal dengan tujuan tidak untuk mendalami konstruksi abstrak atau fenomena umum yang diharapkan dapat digeneralisasi, melainkan lebih ditekankan pada kepentingan intrinsik, dan tidak digunakan untuk membentuk teori baru;
b.
studi kasus instrumental, yaitu secara spesifik menekankan pada kasus tunggal
c.
untuk mendeskripsikan atau menguraikan secara detail sehingga dapat membentuk suatu konstruk ataupun memperbaiki teori;
d.
studi kasus kolektif, yaitu studi yang lebih tertarik untuk mempelajari beberapa kasus secara bersamaan agar dapat meneliti fenomena, populasi.
D.
Teknik Pengumpulan Data Bahanhukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum normatif,
meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik untuk mengkaji dan mengumpulkan ketiga bahan hukum itu, yaitu menggunakan studi dokumenter yaitu studi yang mengkaji tentang berbagai dokumen-dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan maupun dokumen-dokumen yang sudah ada.139 Data yang membangun konstruksi penelitian ini diperoleh penulis dengan berbagai teknik pengumpulan data yaitu dengan cara mengumpulkan (dokumentasi) data sekunder berupa studi kepustakaan, pendapat para ahli, tulisan-tulisan dalam bukubuku ilmiah, arsip-arsip, litertur, makalah-makalah, penelaahan dokumen, yaitu berkas Putusan
Perkara
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor:
1252/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel.
138
139
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta, 2009, hlm. 58
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 19.
71
E.
Analisis Data Analisis data adalah proses pengoraganisasian dan pengurutan data dalam pola,
kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarnkan oleh data. Teknis analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi.140 Teknik analisis data yang dugunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan logika deduksi141 yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam
penelitian selanjutnya
dideskripsikan sesuai
dengan pokok
permasalahan yang dikaji secara yuridis kualitaif. Deskripsi dilakukan terhadap “isi maupun struktur hukum positif”142 yang berkaitan asas pembuktian terbalik dalam hukum positif (ius constitutum/ius operatum) di Indonesia terhadap tindak pidana korupsi khususnya yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia. Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya. 143 Mengkaji berbagai metode interpretasi yang dikembangkan secara doktriner, dalam pemaparan suatu aturan hukum pada penelitian ini diterapkan interpretasi gramatikal dengan mengartikan suatu istilah 140
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.
251. 141
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ketiga, Malang, Banyumedia Publishing, 2007, hlm. 393. 142
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, November-Desember 1994, hlm. 6. 143
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung, Penerbit Alumni, 2000. hlm. 20.
72
hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum, interpretasi sistematis yang bertitik tolak dari sistem aturanyang mengartikan suatu ketentuan hukum, serta interpretasi otentik yang didasarkan pada arti kata atau istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.144 Data yang telah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberi argumentasi. Langkah sistimatisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum atau hubungan hirkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada tahap eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Sedangkan pada tahap argumentasi diberikan penilaian terhadap data dari hasil penelitian ini untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Oleh karena itu, teknis analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Adanya penerapan analisis yuridis kualitatif
itu
sangat
membantu
dalam
proses
memilih,
mengelompokkan,
membandingkan, mensintesakan, dan menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti.
144
Ibid, hlm. 9-12.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Menurut Ketentuan Yang Berlaku di Indonesia
1.
Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus Kehidupan masyarakat dinamis, selalu berkembang dan berubah, kemudian
hukum akan mengikuti perubahan itu. Beberapa jenis, kuantitas maupun kualitas kejahatan dalam perkembangannya di masa sekarang ini menjadikan bahan agar dilakukan perubahan terhadap materi peraturan perundang-undangan (KUHP). Akan tetapi perkembangan kejahatan baru tersebut mungkin tidak terhindarkan terjadinya perubahan pandangan tentang norma hukum pidana, sehingga merupakan perluasan dan penyimpangan asas-asas umum dan aturan umum hukum pidana guna memenuhi kebutuhan hukum pidana di luar kodifikasi.145Perluasan dan penyimpangan hukum ini meliputi bidang hukum pidana yang menyangkut alat pembuktian, beban pembuktian, pemeriksaan perkara, proses beracara, dan ketentuan-ketentuan lainnya (ketentuan formal). Hukum pidana di luar kodifikasi atau hukum pidana khusus ini jumlahnya telah banyak yang dituangkan dalam perundang-undangan tersendiri karena dalam menghadapi perubahan dan perkembangan rasa keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang bergerak cepat, kodifikasi (KUHP) sebagai sumber hukum tidak dapat mengikutinya karena sifat dari hukum kodifikasi adalah statis dan kaku. 146 Hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana material dan formal yang berada di luar hukum kodifikasi, dengan memuat norma, sanksi, dan asas hukum yang disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung, peraturan dari anasir-anasir kejahatan inkonvensional.147 Dengan demikian makin jelas bahwa hukum pidana khusus yang memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dan menjadi undang-undang di luar KUHP disebabkan karena 145
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1984, hlm. 10. 146
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian .................Op. Cit., hlm. 2.
147
Bambang Poernomo, Pertumbuhan............Op. cit., hlm. 11.
73
74
adanya ketidakpuasan terhadap KUHP yang sudah tidak bisa lagi mengikuti perkembangan zaman. Berkenaan dengan hukum pidana khusus ini, Pompe menyatakan, ada dua kriteria yang menunjukkan hukum pidana khusus yaitu: pertama, orang-orangnya yang khusus, maksudnya subyeknya atau pelakunya yang khusus, dan yang kedua, ialah perbuatannya yang khusus dan penyimpangan dari ketentuan hukum pidana umum itu bukan saja tentang materielnya tetapi juga hukum acaranya. 148 Pembagian hukum pidana menurut Pompe ini berpatokan pada Pasal 103 KUHP 149 Kemudian terhadap pembagian hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini Andi Hamzah berpendapat bahwa lebih baik memakai kriteria perundang-undangan pidana khusus dan perundang-undangan pidana umum.150 Jadi bukan hukumnya yang khusus melainkan undang-undangnya yang tersendiri. Selanjutnya menurut Andi Hamzah: “Perundang-undangan pidana umum ialah KUHP beserta semua perundangundangan yang mengubah dan menambah KUHP itu, sedangkan perundangundangan pidana khusus ialah semua perundang-undangan di luar KUHP beserta perundang-undangan pelengkapnya, baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. Dapat pula dikatakan bahwa hukum pidana dapat dibagi atas hukum pidana yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Yang dikodifikasikan artinya yang dimuat dalam kitab undangundang, sedangkan yang tidak dikodifikasikan, yaitu yang tersebar di luar kodifikasi dalam perundang-undangan tersendiri. Dengan demikian hukum pidana materiel yang dikodifikasikan tercantum dalam KUHP, sedangkan yang tidak dikodifikasikan yang tersebar di luar KUHP. Begitu pula hukum pidana formiel (acara pidana) yang dikodifikasikan tercantum dalam KUHAP, sedangkan yang tidak dikodifikasikan tersebar dalam perundang-undangan di luar KUHAP.”151
Senada dengan itu, P.A.F. Lamintang menyatakan, di dalam doktrin terdapat dua cara bagaimana menentukan apakah suatu ketentuan pidana itu termasuk yang bersifat khusus atau bukan, yaitu: pertama, cara memandang secara logis ataupun logischebeschouwing dan kedua, cara memandang secara yuridis atau secara sistematis
148
Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm. 1.
149
Pasal 103 KHUP: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. 150
151
Andi Hamzah, Perkembangan Hukum.............Op. cit., hlm. 5.
Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT. Yarsif Watampone, 2010, hlm. 16-18.
75
ataupun yang juga disebut juridische atau systematiche beschouwing.152 Pandangan Lamintang ini berpatokan kepada Pasal 63 ayat (2) KUHP. 153 Kemudian P.A.F. Lamintang menerangkan: “menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabila ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis. Menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut suatu juridische specialiteit atau suatu systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis.” 154
Perubahan kebutuhan dan pandangan baru terhadap hukum merupakan salah satu hal yang dibutuhkan adanya proses perubahan masyarakat dengan mengekspresikan nilai-nilai baru atau konsep-konsep baru di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Proses perubahan masyarakat dengan segala aspeknya, pertumbuhan konflik kepentingan dan berbagai kejahatan tertentu yang menyertainya, dirasakan ada kebutuhan yang nyata untuk membuat suatu peraturan secara khusus sesuai dengan pertumbuhan nilai-nilai baru atau konsep-konsep baru. Keadaan inilah yang mendorong terjadinya peraturan perundang-undangan di luar kodifikasi dengan memuat ketentuanketentuan khusus sebagai hukum penyimpangan.155 Berkenaan dengan pendapat-pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa delik korupsi termasuk ke dalam hukum pidana khusus karena perbuatan korupsi itu bersifat khusus atau tidak umum. Meskipun pada awalnya perbuatan koruptif itu telah diatur oleh KUHP dalam beberapa pasal, namun dalam perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP itu dirasakan tidak 152
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 713. 153
Pasal 63 ayat (2) KUHP: Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. 154
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum .....................Op. cit., hlm. 714.
155
Bambang Poernomo, Pertumbuhan............Op. cit., hlm. 41.
76
lagi efektif dan sudah tidak mampu lagi untuk menampung pertumbuhan berbagai bentuk perilaku koruptif di dalam masyarakat yang mengakibatkan banyaknya pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP. Bahkan tindak pidana korupsi telah dikatakan sebagai “extra ordinary crime” (kejahatan luar biasa) karena bukan saja telah merugikan keuangan atau perekonomian negara saja, namun sebagai kejahatan yang telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.156 Atas dasar itulah kemudian pemerintah membentuk suatu peraturan yang khusus mengatur perbuatan korupsi sebagai suatu kebijakan hukum pidana dalam memberantas korupsi.
2.
Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Hukum pidana korupsi sebagai hukum pidana yang bersumber pada undang-
undang khusus hukum pidana, disamping memuat hukum pidana materiil juga memuat hukum pidana formiil. Sebagai hukum pidana formil khusus hanya memuat sebagian kecil tentang hukum acara pidana yakni hal-hal khusus yang dianggap penting sebagai perkecualian dari KUHAP, sedangkan di luar hal khusus tadi tetap berlaku hukum pidana formil sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai kodifikasi hukum pidana formil.157 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menentukan bahwa penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Artinya, hukum acara yang diatur oleh undang-undang korupsi hanya tentang hal-hal khusus atau tertentu saja, sedangkan secara umum atau hal-hal yang terkait dengan hukum acara yang tidak diatur dalam undang-undang korupsi tetap berlaku hukum acara pidana dalam kodifikasi (KUHAP). Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dengan tujuan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Adapun penyimpangan156
Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 76. 157
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang, Bayumedia, 2005, hlm. 379.
77
penyimpangan terhadap hukum formil yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana korupsi antara lain:158 a.
Pemberian prioritas terhadap penanganan tindak pidana korupsi dari perkara lainnya.
b.
Dimungkinkannya untuk menerobos rahasia bank.
c.
Dapat diterapkannya peradilan in absentia.
d.
Dapat dibentuknya tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung, apabila ditemukannya perkara korupsi yang sulit pembuktiannya.
e.
Identitas pelapor harus dirahasiakan.
f.
Kewajiban terdakwa untuk membuktikan suatu pemberian bukanlah suap dalam delik gratifikasi yang berkaitan dengan suap dan juga terdakwa wajib membuktikan harta bendanya termasuk (istri.suami, anak, korporasi) bukanlah berasal dari tindak pidana korupsi.
Dalam pemeriksaan delik korupsi yang berlaku saat ini ada dua hukum acara pidana yakni hukum acara sebagaimana termuat dalam KUHAP dan hukum acara pidana yang tercermin dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, sebagai penyimpangan dari hukum acara pada KUHAP. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori yaitu teori bebas, pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa dan teori negatif menurut undang-undang, yang dilakukan oleh penuntut umum. Teori bebas sebagaimana yang tersirat dalam penjelasan umum serta berujud dalam Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 sebagimana yang telah diubah dan dipecah menjadi Pasal 37, Pasal 37 A dalam UU No. 20 Tahun 2001. Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tercermin dan tersirat dalam Pasal 183 KUHAP.159 Sebagaimana halnya tindak pidana khusus di luar KUHP, tindak pidana korupsi mengenal hukum pembuktian.160 Dalam hal-hal tertentu dan pada tindak pidana tertentu 158
159
Elwi Danil, Korupsi Konsep,................Op. cit., hlm. 95-97
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 tahun 2001). Bandung, Mandar Maju, 2009, hlm. 87. Selain itu, pembuktian terbalik juga terdapat dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan Pasal 38 B ayat (1), karena dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, menyatakan tentang kewajiban terdakwa untuk membuktikan gratifikasi bukan suap (Pasal 12 B ayat (1) huruf a) dan kewajiban membuktikan tentang harta benda miliknya yang belum didakwakan bukan berasal dari tindak pidana korupsi (Pasal 38 B ayat (1)). 160 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian...............Op. cit., hlm. 9.
78
berlaku hukum pembuktian khusus sebagai perkecualiannya. Dalam hukum pembuktian khususnya mengenai pembebanan pembuktian, terdapat beberapa perbedaan antara undang-undang korupsi dengan KUHAP. Adapun penyimpangan hukum pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi terdapat dua hal pokok, yakni:161 a.
Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk.
b.
Mengenai sistem pembebanan pembuktian.
Mengenai pembebanan pembuktian dalam hukum pidana korupsi dikenal beberapa teori tentang sistem pembebanan pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian yaitu: beban pembuktian pada penuntut umum, beban pembuktian pada terdakwa dan beban pembuktian berimbang. Menurut Lilik Mulyadi, apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut di atas dikaji dari tolok ukur penuntut umum dan terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategorisasi, yaitu: “Pertama, sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pemb yang terbatasuktian dari penuntut umum tersebut. Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang didalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat absolut atau murni bahwa terdakwa dan/atau penasehat hukumnya membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam artian terdakwa dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan dan ketidakbersalahan dari terdakwa.” 162
Jika kita melihat pengertian sebagaimana yang disebutkan oleh Lilik Mulyadi di atas, hampir tidak ada perbedaan antara pengertian pembuktian konvensional dengan pembuktian terbalik yangberimbang, karena penuntut umum dan terdakwa dalam masing-masing pembuktian tersebut sama-sama mempunyai kesempatan untuk membuktikan. Mengenai hal ini, menurut Indriyanto Seno Adji, yang harus dipahami adalah sistem pembalikan pembuktianyang terbatas dan berimbang ialah dikatakan makaterbatas maksudnya sistem ini hanya diterapkan pada tindak pidana tertentu yaitu delik gratifikasi yang berkaitan dengan suap dan perampasan harta benda terdakwa, sedangkan pembalikan beban pembuktian berimbang maksudnya dalam delik gratifikasi 161
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian...............................Op. cit., hlm. 104.
162
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian...............Op. cit., hlm. 103-104.
79
yang berkaitan dengan suap, penuntut umum hanya membuktikan adanya pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara, sementara terdakwa membuktikan bahwa pemberian itu bukanlah suap. Kemudian pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda, penuntut umum berkewajiban untuk membuktikan tindak pidana pokok selain delik gratifikasi yang berkaitan dengan suap, sedangkan terdakwa membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan dari tindak pidana korupsi.163 Jadi dalam pembuktian konvensional atau biasa, penuntut umum membuktikan dari semua unsur-unsur tindak pidana sedangkan dalam pembalikan beban pembuktian berimbang, ada unsur atau obyek yang tidak dibuktikan oleh penuntut umum, yang mana pembuktian tersebut menjadi kewajiban terdakwa untuk membuktikan. 3.
Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Salah satu “criminal policy” atau kebijakan hukum pidana dari sekian banyak
instrumen hukum yang dirancang pemerintah untuk pemberantasan tindak pidana korupsi adalah diperkenalkannya sistem pembalikan beban pembuktian dalam undangundang tindak pidana korupsi. Sejarah lahirnya pembalikan beban pembuktian di Indonesia mulai terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 menyatakan: “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa.”
Substansi pasal ini mewajibkan tersangka/terdakwa memberikan keterangan tentang keseluruhan harta bendanya apabila diminta oleh jaksa. Artinya tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya dan juga harta suami/isteri, anak, suatu badan hukum tanpa adanya permintaan jaksa. Seiring perkembangan zaman Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 dianggap kurang memadai, kemudian undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor
163
229-230.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Permasalahannya, Jakarta, Diadit Media Press, 2012, hlm.
80
3 Tahun 1971 yang juga mengatur tentang sistem pembalikan beban pembuktian, yakni dalam Pasal 17 yang menyatakan: (1)
(2)
(3)
(4)
Hakim dpat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal: a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukian demi kepentingan umum. Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
SelanjutnyaPasal 18 UU No. 3 Tahun 1971 menyatakan bahwa: (1)
(2)
Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan di sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Ketentuan Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1971 tersebut ketika dalam pembahasan Rencana Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah dan para anggota DPRGR. Pembahasan sekitar Pasal 17, dimana banyak anggota DPRGR menghendaki agar diberlakukan asas pembuktian terbalik (omkering van bewijslast)yang bersrti bukan jaksa yang harus membuktikan tertuduh bersalah, tetapi tertuduh yang diberi beban pembuktian bahwa ia tidak bersalah (tidak korupsi). Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji (pada saat itu) menolak pembuktian terbalik itu, hal mana diucapkannya pada tanggal 28 Agustus 1970 di sidang pleno DPRGR sebagai berikut:
81
“Dalam hal hubungan inilah Rencana Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tidak mengenal asas pembalikan beban pembuktian yang akan merupakan pelanggaran terhadap non-self incrimination sebagai suatu hak seseorang dalam suatu perkara pidana.”164
Selanjutnya menurut Oemar Seno Adji dalam pembahasan Pasal 17 RUU No. 3 Tahun 1971 menyatakan: “masalah beban pembuktian dipecahkan dalam undang-undang ini dengan mengambil ketentuan bahwa acara biasa tidak ditempuh, disamping kenyataan bahwa pembalikan dalam bentuk murninya tidak diikuti sepenuhnya seperti dicantumkan dalam Pasal 17”165
Oemar Seno Adji (selaku Menteri Kehakiman pada saat itu) membandingkan ketentuan Pasal 17 RUU dengan Pasal-Pasal 310 ayat (3), Pasal 311 dan Pasal 312 KUHP, dimana terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan ketidaksalahannya.166 Menurut Loekman Wiriadinata,167 tidak ada satu negara pun yang menganut pembuktian terbalik (sistem pembalikan beban pembuktian) sebagai yang digambarkan oleh menteri kehakiman ini. Perbandingan dari kedua undang-undang ini, yaitu UU No. 24 Tahun 1960 dengan UU No. 3 Tahun 1971 ialah bahwa di dalam UU No. 24 Tahun 1960 tidak mengatur tentang pembalikan beban pembuktian terhadap kesalahan pelaku hanya mengatur tentang pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda tersangka, isteri/suami, anak dan harta benda seuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa sementra itu UU No. 3 Tahun 1971 mengatur tentang pembalikan beban pembuktian terhadap kesalahan pelaku dan juga terhadap harta benda tersakwa, dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. Selanjutnya dengan dicabutnya UU No. 3 Tahun 1971 dan dinyatakan tidak berlaku lagi yang kemudian diganti menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan dan Penambahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 164
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana................Op. cit., hlm. 63.
165
R. Moegono, Delik Pers, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomi, Jakarta, Pusdiklat Kejaksaan Agung, 1975, hlm. 59 dikutip oleh Andi Hamzah, Ibid, hlm. 63. 166
Loekman Wiriadinata, Masalah Pembuktian Terbalik dalam RUU Anti Korupsi Baru, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 6 Tahun ke-1, September, 1970, hlm. 20. 167
Ibid, hlm. 20.
82
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pembalikan beban pembuktian pun tetap dipertahankan keberadaannya di dalam undang-undang ini. Eksistensi pembalikan beban pembuktian ini pun ditegaskan dalam Paragraf 2, Penjelasan Umum Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, menyatakan: “Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan “sistem pembuktian terbalik” yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.”
Kemudian daam Paragraf 5, juga menegaskan: “Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remedium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.”
Dalam hal apa saja pemberlakuan sistem pembalikan beban pembuktian ini diperkenankan dapat kita lihat dalam Paragraf 6 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 20 tahun 2001, dengan redaksional sebagai berikut: “Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12undang-undang ini.”
Jika kita memperhatikan ketentuan yang disebutkan dalam Paragraf 6 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terebut, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan terhadap delik gratifikasi dan terhadap harta benda
terdakwa. Pemberlakuan sistem pembuktianterbalik terhadap
terhadap harta benda ini tidak hanya terbatas kepada harta benda terdakwa saja namun pembalikan beban pembuktian dapat juga dilakukan terhadap harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan, serta dapat dilakukan khusus terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan.
83
Mengenai hal ini Andi Hamzah menerangkan bahwa maksud semula untuk mengubah UU No. 31 Tahun 1999 hanyalah untuk menambahkan ketentuan tentang sistem pembuktian terbalik. Dia merumuskan dua jenis ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian, yang pertama, menyangkut pemberian (gratification) dalam jumlah satu juta rupiah ke atas, harus dilaporkan jika tidak dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Kemudian yang kedua, ketentuan pembalikan beban pembuktian ialah tentang perampasan harta benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan.168 Dengan merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menyangkut pembalikan beban pembuktian ini, maka ada tiga obyek yang harus dibuktikan oleh terdakwa yaitu: a.
Pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000, - (sepuluh juta rupiah) atau lebih, terdakwa memiliki kewajiban untuk membutikan bahwa gratifikasi yang diterimanya itu adalah bukan suap (Pasal 12 B ayat (1) huruf a).
b.
Terdakwa wajib membuktikan harta bendanya, harta benda isteri/suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan, bahwa harta benda tersebut bukan diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang didakwakan (Pasal 37 A ayat (1)).
c.
Terdakwa juga wajib membuktikan harta bendanya yang belum didakwakan oleh jaksa penuntut umum bahwa harta benda tersebut bukan diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.
B.
Implementasi Sistem Pembuktian Terbalik Pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
1.
Perlindungan Hak Asasi Manusia Khususnya Hak-hak Tersangka/Terdakwa Dalam Hukum Acara Pidana Bahwa proses pembuktian merupakan kegiatan yang sangat penting dalam dalam
suatu proses peradilan pidana. Dalam kegiatan pembuktian inilah akhirnya hakim dapat 168
Andi Hamzah,Pemberantasan korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, Jakarta, Raja Grafindo, 2008, hlm. 76-77.
84
menentukan tentang kesalahan terdakwa. Dimensi ini memberikan konsekuensi logis bahwa pembuktian itu adalah sebauah proses yang rawan terhadap pelnggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 169 khususnya terkait dengan hak-hak tersangka/terdakwa karena aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada berbagai kondisi yang terletak diseputar perlindungan hak asasi manusia, yakni hak tersangka maupun terdakwa. Untuk itu aparat penegak hukum dalam mewujudkan proses hukum yang adil (due process of law) harus memperhatikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang telah diakui secara universal maupun nasional dalam suatu peradilan pidana. Sehubungan dengan proses hukum yang adil (due process of law), Mardjono Reksodiputro, menjelaskan: “secara keliru peradilan yang adil (due process of law) ini hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka dan terdakwa. Arti dari peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal. Dalam pengertian “peradilan yang adil” ini terkandung penghargaan kita akan hak kemerdekaan seorang warga negara (bandingkan dengan alinea UUD 1945 yang menyatakan: “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa......”). Meskipun seorang warga masyarakat (dapat warga negara kita maupun warga negara asing) telah melakukan suatu perbuatan tercela (dalam hal ini tindak pidana), hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang. Apalagi bilamana kita ingat bahwa ayng dihadapi ini barulah seorang “tersangka. Kita pun harus ingat bahwa untuk diri kita, kita dapat mendisiplinkan diri kita untuk tidak melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukankah kita tidak pernah dapat bebas dari risiko menjadi seorang “tersangka” atau kemudian pula “terdakwa”? disinilah letak pentingnya kita memperjuangkan tegaknya hak-hak tersangka/terdakwa untuk didengar, didampingi penasehat hukum, diberi hak untuk mengajukan pembelaan, dibuktikan kesalahannya oleh penuntut umum dan dihadapkan pada pengadilan yang adil dan tidak berpihak.”170
Seperti diketahui, berdasarkan fakta-fakta praktek di lapangan pada masa pemberlakuan HIR, tidak ada jaminan serta perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan hak asasi terdakwa, dimana fakta menunjukkan bahwa sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk kekerasan dan penyiksaan. Tidak ada jaminan bantuan hukum dan pemberian ganti rugi, tidak memiliki pengaturan yang jelas atas pelanggaran hak asasi tersangka maupun terdakwa tersebut sehingga tidak ada sanksi yang tegas atas perbuatan penegak hukum yang melanggar hak asasi tersebut. Dengan lahirnya Undang-
169
Pengertian HAM menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah: “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. 170 Mardjono Reksodiputro, op cit, hlm. 28
85
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, telah menghadirkan pembaharuan-pemabharuan diantaranya adalah hak-hak tersangka dan hak-hak terdakwa.171 Tujuan
utama
dalam
memberikan
perlindungan
terhadap
hak-hak
tersangka/terdakwa adalah untuk mengakui dan menjamin harkat dan martabat manusia (human dignity), baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, hak-hak tersebut tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable).172Pengakuan dan jaminan terhadap harkat dan martabat manusia yang direfleksikan sebagai HAM tersebut merupakan suatu pengakuan yang telah diakui secara nasional dan internasional (universal). Pengakuan atas hak-hak tersebut yang bersifat nasional dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945, kemudian ditindaklanjuti dalam peraturan perundangundangan antara lain: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Selanjutnya juga diatur dalam beberapa undang-undang tentang pengesahan konvensi internasioanl yang telah diratifikasi yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Undang-Undang lainnya. Secara internasional dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekaligus menegaskan kembali hak asasi manusia dalam ranah internasioanl melalui Deklarasi Unveral Hak Asasi Manusia atau The Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Kemudian masih banyak terdapat beberapa konvensi internasional lain yang mengatur tentang hak asasi manusia merupakan sesuatu yang telah dilindungi dan diakui secara internasional. Adapun beberapa konvensi internasional yang berkaitan
171
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung, PT. Alumni, 2007, hlm. 78. 172 Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta, PT. Raja Grafindo persada, 2011, hlm. 196.
86
dengan hukum acara pidana tentang hak tersangka/terdakwa, di bawah kuasa PBB antara lain: -
The standard minimum rules for the treatment of prisoner, (the first UN Congres on the Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Jenewa, 1955, oleh ECOSOC 1957, dan 1977.
-
Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, diterima Sidang Umum PBB 1984, mulai berlaku 1987.
-
UN the Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice 1985, diusulkan oleh the Seven UN congres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milano 1985 dan diterima oleh Sidang Umum PBB, tahun 1985.
-
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966, 1976.
-
International Covenant on Cvil and Political Rights, yand diterima oleh Sidang Umum PBB dengan 106 suara setuju melawan nihil, pada tanggal 16 Desember 1966.
Implementasi HAM dalam penyelesaian suatu perkara pidana merupakan masalah yang penting karena berkaitan dengan adanya hak tersangka dan terdakwa yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum dalam melakukan tindakan upaya paksa. Dalam proses suatu peradilan pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan lalu penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim, upaya hukum sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap merupakan suatu proses yang panjang dan saling berhubungan. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana, hak asasi terhadapnya tetap mendapat tempat dan dijamin oleh hukum. Ketentuan yang mengatur jaminan tersebut adalah didasarkan pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).173Asas praduga tak bersalah ini secara eksplisit terdapat dalam UDHR. Di dalam Pasal 11 ayat (1) ditegaskan: “everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until prove guilty according to law in a public trial at which be has had all the guarantees necessary for his defence” 173
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Perbandingan Dengan Beberapa Negara, Jakarta, 2010, Universitas Trisakti, hlm. 10
87
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UDHR ini merupakan dasar universialitas asas praduga tak bersalah yang menjiwai ketentuan hukum acara pidana di berbagai negara. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan UDHR, asas praduga tak bersalah juga dirumuskan dalam Pasal 14 ayat (2) International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang menentukan: ”everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”
Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam hukum positif Indonesia, asas ini terlihat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yag menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Kemudian dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam suatu proses peradilan pidana penjelmaan asas ini dapat diuraikan lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan mulai dari penyelidikan, penyidikan lalu penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap.174Karena itu terdakwa belum dapat dikatakan bersalah sebagai pelaku suatu tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah mendapat hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu: hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan tahap penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-adilnya, hak mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan hukum dan lain sebagainya. 175 Menurut Mardjono Reksodiputro, unsur-unsur dalam asas praduga tidak bersalah ini adalah asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakup sekurang-kurangnya176 (a) perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara, (b) bahwa pengadilanlah yang berhak 174
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana....Op.Cit. hlm.13 Ibid. hlm.13 176 Mardjono Reksodiputro, Op.Cit.hlm.36 175
88
menentukan salah tidaknya terdakwa, (c) bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia) dan (d) bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminanjaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya. Sedangkan menurut Andi Hamzah, makna dari asas praduga tak bersalah ini adalah sampai dengan adanya putusan hakim yang menjadi tetap, semua hak-hak orang ini masih ada padanya. 177 Ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, mengenai perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa telah disebutkan secara tegas namun ada pula ketentuan yang hanya menyebut secara implisit, dimana di dalamnya terkandung makna adanya hak-hak tersangka/terdakwa. Terkait dengan itu, paling tidak terdapat asas-asas yang merupakan wujud perlindungan hak-hak warga negara dalam proses peradilan pidana yang tercantum dalam Penjelasan Umum KUHAP antara lain: Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
a.
mengadakan pembedaan perlakuan; Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
b.
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang; Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
c.
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatkaa kesalahannya, dan memperoleh kekuatan hukum tetap; Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
d.
alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi; Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan,
e.
serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
177
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi...Op.Cit.hlm.26
89
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
f.
bantuan hukum semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya; g.
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberikan dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwa, kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
h.
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
i.
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang; Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
j.
ditetapkan oleh Ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. Dengan
merujuk kepada asas-asas di atas, maka dari itu sudah sepatutnya dan
sewajarnya lah bahwa dalam suatu proses peradilan pidana, tersangka maupun terdakwa wajib dilindungi hak-haknya baik ketika di tingkat penyidikan sampai tingkat peradilan. Menurut O.C. Kaligis, pengakuan hak hidup sebagai hak asasi, berarti perampasan kemerdekaan seseorang itu seandainya dilakukan, pada hakikatnya merupakan suatu pengecualian. Hukum pidana formal secara rinci mengatur bagaimana prosedur dan dengan alasan-alasan apa saja seseorang dapat dirampas kemerdekaannya. 178 Adapun ketetentuan yang terdapat dalam KUHAP yang mengatur tentang jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa antara lain: a.
Hak untuk dengan segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke Penuntut Umum dan perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP).
b.
Hak agar diberitahukan secara jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya dan didawakan pada waktu pemeriksaan (Pasal 51 butir (a) dan (b) KUHAP).
c.
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan kepada hakim pada waktu tingkat penyidik dan pengadilan (Pasal 52 KUHAP).
d. 178
Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP).
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka dan Terpidana, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm.116
90
e.
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan selama dan waktu pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP).
f.
Hak untuk memilih Penasihat Hukumnya sendiri (Pasal 55 KUHAP) serta dalam hal tidak mampu berhak didampingi Penasihat Hukum secara CumaCuma/prodeo sebagaimana dimaksudkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP.
g.
Hak tersangka apabila ditahan untuk dapat menghubungi Penasihat Hukum setiap saat diperlukan dan hak tersangka/terdakwa yang warga negara asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (1) dan (2) KUHAP).
h.
Hak tersangka atau terdakwa apabila ditahan untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP).
i.
Hak agar diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk memperoleh bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak berhubungan dengan keluarganya sesuai maksud di atas (Pasal 59, 60 KUHAP).
j.
Hak terdakwa secara langsung atau dengan perantara penasihat hukumnya menerima kunjungan sanak keluarganya guna kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan (Pasal 61 KUHAP).
k.
Hak tersangka atau terdakwa mengirim dan menerima surat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62 KUHAP).
l.
Hak tersangka atau terdakwa menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63 KUHAP).
m.
Hak agar diadili di sidang pengadilan secara terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP).
n.
Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang meringankan atau a de charge (Pasal 65 KUHAP).
o.
Hak tersangka atau terdakwa agar tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
p.
Hak tersangka atau terdakwa mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 jo Pasal 95 ayat (1) jo Pasal 97 ayat (1) KUHAP).
91
q.
Hak terdakwa mengajukan keberatan tentang tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP).
r.
Hak terdakwa untuk meminta penundaan pemeriksaan di sidang pengadilan guna kepentingan pembelaannya (Pasal 203 ayat (3) huruf e KUHAP).
s.
Hak untuk mendapatkan petikan surat putusan pengadilan segera setelah putusan diucapkan (Pasal 226 ayat (1) KUHAP).
t.
Hak terdakwa untuk mengajukan upaya hukum banding/kasasi dan melakukan peninjauan kembali (Pasal 67 jo Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Kemerdekaan dan kebebasan seseorang mengandung aspek luas. Salah satu aspeknya adalah hak seseorang untuk diperlakukan secara adil, tidak diskriminatif dan berdasarkan hukum, terutama bila seseorang diduga atau disangka melakukan suatu tindakan pelanggaran atau kejahatan.179 Artinya perampasan atau pembatasan kemerdekaaan dan kebebasan bergerak seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, dipandang dari sudut hukum pidana dapat berupa penangkapan, penahanan dan pemidanaan, dapat dibenarkan apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang telah ada sebelum tindakan hukum dikenakan kepadanya. Kemudian terkait dengan kebebasan tersangka maupun terdakwa lainnya juga dijamin oleh undang-undang dalam hal memilih penasihat hukumnya dan memberikan keterangan kepada penyidik dan hakim pada saat persidangan. Hak-hak
yang diberikan
oleh
undang-undang acara
pidana
(KUHAP)
sebagaimana disebutkan di atas kepada tersangka/terdakwa, bukan sebagai pelanggar hukum, tetapi sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran materiil sungguh-sungguh adalah pelaku delik, maka merupakan suatu resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum tersebut.180 Tetapi tersangka/terdakwa belum tentu sungguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan maka dari itu setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang tetap bahwa ia bersalah. Berbagai asas perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa melalui hukum pidana baik secara nasional maupun internasional, dapat dilihat dari tabel di bawah ini yang 179
Ibid, hlm. 113
180
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi......Op. Cit., hlm. 56
92
memberikan sedikit gambaran tentang persamaan antara ketentuan ICCPR, ketentuan UDHR dan ketentuan internasioanal lainnya yang dianut dalam hukum pidana materiel maupun hukum pidana formil Indonesia.
Tabel 2 Perbandingan Ketentuan-Ketentuan Internasional Dengan Hukum Acara Pidana Indonesia Mengenai Perlindungan Hak-hak Tersangka/Terdakwa181
Prinsip Dasar HAM
Asas Legalitas
UDHR/Konvensi Hukum Internasional UDHR Pasal 11 ayat (2)
KUHAP/Di luar KUHAP KUHAP Pasal 1 ayat (1).
International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) Pasal 15 ayat (1).
Asas Perlakuan Yang Sama di Muka Hukum Tanpa Diskriminasi Apapun
UDHR Pasal 2, Pasal 7.
UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1), Pasal 281 ayat (2).
ICCPR Pasal 14 ayat (1), Pasal 26.
UU No. 48 Tahun 2009 International Covenant On Pasal 4 ayat (1). Economic Social And Cultural Rights (ICESCR) KUHAP Pasal 2 ayat (2) Penjelasan Umum.
Asas Peradilan Yang Terbuka Untuk Umum
UDHR Pasal 10. ICCPR Pasal 14 ayat (1).
181
O.C. Kaligis, Op. Cit. Hlm. 117.
KUHAP Pasal 64, Pasal 153 ayat (3). UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 13 ayat (1), (2).
93
Prinsip Dasar HAM
Asas Praduga Tidak Bersalah
UDHR/Konvensi Hukum Internasional UDHR Pasal 11 ayat (1). ICCPR Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (1).
KUHAP/Di luar KUHAP UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (1). KUHAP Penjelasan Umum
UU No. 39 Tahun United Nations Standard Minimum 1999 Rules for the Administration of Pasal 18 ayat (1). Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Pasal 7 ayat (1).
Asas Ne bis In Idem (hak ICCPR untuk tidak diadili atau Pasal 14 ayat (7) perbuatan yang substansi materinya sama)
KUHP Pasal 76 ayat (1).
Hak atas peradilan yang fair, independen dan tidak memihak
UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1).
UDHR Pasal 10 ICCPR Pasal 14 ayat (1)
KUHAP Penjelasan Umum
Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Dgrading Treatment or Punishment. Pasal 7 ayat (3).
Hak Seorang Tersangka Untuk Diberitahu Tentang Persangkaan Dan Pendakwaan Terhadapnya
ICCPR Pasal 14 ayat (3) huruf a.
Non Self Incrimination Right (Hak untuk Tidak Mempersalahkan Diri Sendiri)
ICCPR Pasal 14 ayat (3) huruf g.
KUHAP Pasal 51
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Pasal 6 ayat (3) huruf l. KUHAP Pasal 52
94
Prinsip Dasar HAM
Hak Untuk Memperoleh Bantuan Hukum
UDHR/Konvensi Hukum Internasional ICCPR Pasal 14 ayat (3) huruf d
KUHAP/Di luar KUHAP KUHAP Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56 ayat (1), (2).
Peradilan Cepat, ICCPR Sederhana, Biaya Ringan Pasal 14 ayat (3) huruf c
UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (4), Pasal 4 ayat (2).
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ketentuan hukum acara pidana Indonesia memiliki banyak persamaan dengan ketentuan internasional dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak tersangka maupun terdakwa. Berbagai ketentuan tentang perlindungan terhadap hak-hak tersangka maupun terdakwa yang terdapat dalam ketentuan internasional telah diakomodasikan kedalam hukum positif di Indonesia. Namun demikian, masih banyak ketentuan perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa yang belum diatur oleh ketentuan hukum positif di Indonesia salah satunya sebagaimana yang disebutkan oleh O.C. Kaligis yaitu beberapa hak asasi malah tidak diatur sebagai hak, tetapi diterapkan sebagai pedoman penyelenggaraan peradilan. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi diantara penegak hukum, khususnya penuntut umum dan penyidik yang menganggap mereka tidak perlu tunduk pada ketentuan tersebut karena ketentuan itu hanya mengatur tentang peradilan. Contoh konkrit dalam hal ini adalah kewajiban penyelenggaraan peradilan cepat. Seharusnya dapat
dimengerti
bahwa
bukan
pengadilan
saja
yang
harus
cepat
dalam
menyelenggarakan tugasnya, tetapi juga proses penyidikan, dimana tugas perlindungan HAM bukan baru terjadi pada tahap peradilan, melainkan sudah dimulai sejak tahap penyidikan.182 Terkait dengan asas-asas hukum ini, Bambang Poernomo menerangkan: Azaz-azaz hukum sebagai ungkapan hukum yang bersifat umum pada sumber asal dari kesadaran hukum dan keyakinan kesusilaan kelompok manusia, maka sudah selayaknyalah diantara kelompok manusia dalam lingkup antara bangsa-bangsa tumbuh azaz-azaz hukum yang berkembang secara universal. Demikian pula azaz182
Ibid, hlm. 113
95
azaz hukum acara pidana tumbh berkembang dari nilai-nilai hukum dan kesadaran hak azazi peradaban dalam kehidupan manusia di tengah-tengah kelompok masyarakat atau bangsa-bangsa yang tertuang sebagian besar ke dalam rumusan hukum positif.”183
Oleh sebab itu, adalah penting untuk memasukkan asas-asas hukum yang diakui oleh internasional ke dalam suatu peraturan perundang-undangan nasional dalam hubungannya dengan perlindungan hak asasi manusia untuk mengendalikan masyarakat atau menyelenggarakan ketertiban karena apabila ada aturan perundang-undangan yang tidak dapat dukungan oleh suatu asas hukum maka peraturan itu kehilangan diri dari sifat hukumnya.184
2.
Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif HAM Dari sekian banyak instrumen dan pranata hukum tang telah diimplimentasikan
dalam kebijakan perundang-undangan untuk memberantas korupsi di Indonesia, salah satu diantaranya adalah sistem pembuktian terbalik. Pengimplementasian sistem tersebut diharapkan mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian yang dihadapi selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun pembuktian merupakan titik strategis di dalam proses peradilan pidana, namun pembuktian itu sendiri adalah proses yang rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kalau hukum acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai “filter” yang akan menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan hakhak individu, maka sistem pembuktian merupakan “core filter”, sebab melalui proses pembuktian itulah akan ditentukan apakah kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari setiap alat bukti akan menjadikan seorang terdakwa dibebaskan(vrijspraak), dilepaskan dari segala tuntutan (onstlag van alle rechtsvervolging), ataukah dipidana. Berdasarkan prinsip-prinsip yang diakui secara universal, kewajiban pembuktian dalam setiap proses peradilan pidana berada pada aparatur pemerintah yang diberi kewenangan untuk itu, yaitu jaksa penuntut. Asasnya adalah, bahwa oleh karena jaksa penuntut umum yang mendakwa seseorang, maka dialah yang harus membuktikannya. Dalam konteks asas ini terdapat pengakuan secara universal, bahwa terdakwa tidak 183
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta, Liberty, 1988, hlm. 52. 184
Ibid, hlm. 52.
96
dibebani kewajiban pembuktian sebagai manifestasi dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Proses peradilan pidana secara sepintas lalu dapat digambarkan sebagai suatu “pertarungan” atau “combative proceeding” antara penuntut umum dengan terdakwa atau penasihat hukumnya untuk mengejar kebenaran.185Oleh karena itu, kedua belah pihak akan terlihat sebagai dua kubu yang cenderung saling berseberangan. Jaksa penuntut umum akan berusaha membuktikan dakwaannya. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukumnya akan berusaha pula untuk mematahkan dakwaan tersebut, dan berjuang untuk meyakinkan hakim bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Namun sebelum sampai pada tahap ajudikasi, proses pembuktian itu sendiri sebenarnya telah berlangsung semenjak tahap pra ajudikasi, yaitu tahapan dimana aparat penegak hukum berusaha untuk menemukan bukti-bukti, untuk kemudian dengan bukti-bukti itu penuntut umum dapat mendakwa seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Proses penemuan bukti-bukti dalam penyelenggaraan peradilan pidana, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apalagi dalam perkara tindak pidana korupsi yang cenderung rumit dan sulit. Ketidakmudahan itu terutama sekali disebabkan karena pekerjaan tersebut mengandung substansi yang lebih dalam lagi daripada hanya sekadar mencari dan mengumpulkan bukti-bukti. Aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada berbagai kondisi yang terletak di seputar perlindungan hak asasi manusia, yakni hak-hak tersangka atau terdakwa. Artinya, dalam mewujudkan “due process of law” aparat penegak hukum harus memperhatikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang secara normatif mesti mendapat tempat dalam sistem peradilan pidana. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa itu pulalah, pembahasan tentang penerapan sistem pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi menjadi cukup penting. Artinya, pengimplemrntasian sistem pembuktian terbalik cenderung mengandung implikasi terhadap perlindungan HAM, sehingga diperlukan adanya pembatasan-pembatasan yang argumentatif, baik secara teoritis maupun praktik untuk menjustifikasi penerapannya dalam kebijakan legilasi. Tujuan utama adanya hak-hak tersangka/terdakwa adalah untuk mengakui dan menjamin harkat dan martabat manusia (human dignity), baik selaku individu maupun 185
Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 194.
97
sebagai anggota masyarakat. Pengakuan dan jaminan terhadap harkat dan martabat manusia yang direfleksikan sebagai HAM tersebut, merupakan suatu pengakuan baik bersifat nasional maupun bersifat unversal atau internasional. Secara konstitusional adanya pengakuan bersifat nasional dapat ditemukan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara formal diatur dan ditindaklanjuti dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan antara lain di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia serta di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sedangkan pengakuan secara unuversal terdapat di dalam Mukaddimah “Universal Declaration of Human Rights” yang antara lain menyatakan: “whereas recognation of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world”. (Terjemahan bebas: pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian di dunia).
HAM sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak tersebut orang tidk mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. oleh karena itu, hak-hak tersebut tidak dapat dicabut (inalienable), dan tidak noleh dilanggar (inviolable). Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia yang selanjutnya disebut HAM, tidak hanya terbatas dalam arti politik, dan ekonomi saja; melainkan juga dalam arti hukum pada umumnya, dan kehidupan hukum pidana pad khususnya yakni di dalam proses peradilan pidana. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana, hak asasi terhadapnya tetap mendapat tempat dan dijamin hukum. Ketentuan yang mengatur jaminan tersebut adalah didasarkan pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas ini mengandung aspek
98
kemanusiaan yang sangat mendasar,186 dimana seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap mengenai kesalahannya. Persoalan yang muncul berkaitan dengan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia adalah menyangkut adanya “criminal policy” untuk menganut dan menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan dianutnya sistem tersebut, yang di dalamnya terkandung “presumption of guilty”, ada yang menganggapnya sebagai pengingkaran terhadap asas-asas yang bersifat universal, di antaranya adalah asas praduga tak bersalah. Lantas persoalannya, sejauhmana sistem itu diperkenankan, sehingga ia tidak dilihat semata-mata sebagai suatu pelanggaran asas; melainkan hanyalah merupakan suaru pengecualian asas yang dengan sangat terpaksa dilakukan untuk membawa bangsa ini ke luar dari sebuah persoalan, yakni penanggulangan masalah korupsi. Sistem pembuktian terbalik atau “omkering van de bewijslast” (the reversal of the burden of proof), secara umum dapat dipahami sebagai suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Sementara penuntut umum dibebaskan dari kewajiban pembuktian.187 Ditengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para pelaku korupsi ke hadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembuktian terbalik oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian. Urgensi pemberlakuan sistem tersebut terletak pada semakin rumitnya praktik-praktik korupsi yang terjadi di Indonesia, sehingga cenderung sulit terungkap. 188 Dengan penerapan sistem itu, diyakini bahwa pelaku (koruptor) tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan hukum. Sudah cukup untuk menyatakannya bersalah melakukan tindak pidana korupsi manakala ia tidak mampu membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh secara sah. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak perlu melakukan pembuktian seperti yang selama ini berlaku di Indonesia. 186
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 83 187
Lihat Oemar Seno Adji, dalam Albert Hasibuan (ed), 2 Guru Besar Berbicara Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 35. 188
Baharuddin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Kipas Putih Aksara, Jakarta, 1997, hlm. 130-131.
99
Meskipun demikian, diperlukan sikap kehati-hatian dari aparat penegak hukum dalam melakukan penuntutan. Karena tidak tertutup kemungkinan seseorang yang memang memiliki kekayaan secara sah, namun karena keterbatasan pengetahuan hukum yang dimiliki menyebabkan ia tidak mampu menjelaskan sumber kekayaannya secar sempurna, sehingga oleh karena itu ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Jadi keterbatasan kemampuan untuk membuktikan itu pulalah yang mengakibatkan seseorang yang semestinya secara faktual tidak bersalah (factual guilt) mesti berhadapan dengan pemidanaan.Keadaan seperti itulah sebenarnya yang hendak dilindungi oleh asas “non self incrimination”, yakni asas untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Asas ini merupakan salah satu prinsip umum yang penting dan diakui secara universal. Sistem pembuktian terbalik dalam bentuknya yang murni, yang dikenal dengan istilah “omkering van de bewijslast” atau reversal of the burden of proff” belum mendapat tempat yang memadai dalam kebijakan perundang-undangan di Indonesia. Sekalipun pertumbuhan tinddak pidana korupsi diakui sudah sedemikian parah, namun pembuat undang-undang tampaknya masih ragu-ragu dalam mengimplementasikan sistem tersebut. Alasan utamanya selalu untuk menghindari penyimpangan yang terlalu jauh dari asas-asas umum hukum pidana. Sementara penyimpangan asas itu sendiri dipahami sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Padahal penerapan sistem tersebut bukanlah tanpa dasar yang kuat. Artinya, penerapan sistem pembuktian terbalik memiliki dasar pembenaran, yaitu mengingat sifat beratnya kejahatan korupsi itu sendiri, yang dianggap sebagai “extra prdinary crime”. Oleh karena itu, untuk menanggulanginya dengan sarana penal, adalah wajar untuk diterapkan “extra ordinary instrument”, di mana sistem pembuktian terbalik adalah salah satu di antaranya. Secara universal memang tidak dikenal sistem pemmbuktian terbalik yang bersifat umum, sebab hal itu sangat rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Seorang tidak dapat dituduh melakukan tindak pidana korupsi di luar “proceeding” (dalam kedudukan sebagai terdakwa), hanya karena ia tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya. Sekalipun berlaku asas praduga bersalah dalam bentuk “presumption of corruption”, namun sistem pemnuktian terbalik tersebut haruslah tetap dalam kerangka “proceeding” kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili (presumption of corruption in certain case). Inilah yang perlu diperhatikan sebagai limitasi terhadap penerapan sistem pembuktian terbalik. Tanpa adanya pembatasan, maka penerapan
100
sistem tersebut akan menimbulkan apa yang dinamakan “miscarriage of justice” yang bersifat kriminogen,189atau dapat menjadi sebuah “monster” yang amat menakutkan. Jika pemahaman secara sempit, yang semata-mata hanya menempatkannya dalam konteks hak-hak tersangka-terdakwa, maka penerapan sistem pembuktian terbalik memang terlihat sebagai sesuatu yang bersinggungan dengan hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi, apabila dilihat secara lebih luas dalam konteks hak masyarakat secara keseluruhan, maka korupsi itu sendiri pada hakikatnya juga merupakan pelanggaran HAM, yaitu hak seluruh rakyat (hak asasi komunitas). Oleh karena itu, penerapan sistem pembuktian terbalik sesogyanya ditempakan dalam konteks keseimbangan di antara kedua hak tersebut di atas sebagaimana ditegaskan Bertrand de Speville, bahwa, kewajiban yang berat terletak pada pembuat kebijakan dan pembuat undang-undang untuk menetapkan keseimbangan yang tepat antara kepentingan individual dan kepentingan komunitas dalam memerangi korupsi seperti halnya bidang-bidang lain, ditunjukkan di dalam semua deklarasi hak asasi manusia. Deklarasi Amerika Serikat Tahun 1948 mengenai Hak dan Kewajiban Orang adalah yang menyatakan dengan jelas: “hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang-orang lain, oleh keamanan semua orang, dan oleh kebutuhan yang wajar untuk kesejahteraan umum dan kemajuan demokrasi.190 Pembuat undang-undang korupsi tahun 1999 memperlihatkan sikap tegas dan memiliki keberanian untuk melakukan pengecualian yang mendesak asas legalitas dengan merumuskan fungsi positif melawan hukum materiil (meskipun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006). Terkait dengan itu, maka alasan untuk menjunjung tinggi dan tetap menghormati asas praduga tak bersalah belaka, untuk tidak menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam pemberantasan korupsi, agaknya sulit untuk dipahami, terutama sekali dalam kaitannya dengan rasa keadilan masyarakat. Pada satu sisi pembuat undang-undang korupsi 189
Muladi, “Sistem pemmbuktian terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reverse Burden of Proof atau Shifting Burden of Proof)”, dalam Varia Peradilan Nomor 190, Juli 2001, hlm. 122. 190
The heavy responsibility on policy-makers and legislators to strike the right balance between the interest of the individual and the interest of the community in the fight against corruption, as in other fields, is reflected in all international human rights declaration. It is perhaps the 1948 American Declaration of the Rights and Duties of Man that puts in most clearly: The rights of man are limited by the rights of others, by the securityof all, and by the just demands of the general welfare and the advancements of democracy. Bertrand de Speville, “Reversing the Onus of Proof: It is Compatible with Respect for Human Rights Norms”. Sebagaimana dikutip oleh Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan BPKP, Jakarta, 1999, hlm. 144.
101
membuat perumusan yang mengecualikan asas legalitas; namun pada sisi yang lain pembuat undang-undang yang sama tidak memiliki keberanian untuk melakukan pengecualian terhadap asas praduga tak bersalah. Padahal kedua asas itu sama-sama merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Dengan kondisi seperti itu, pembuat undang-undang telah memperlihatkan sikap yang “ambivalen”. Padahal penyimpangan asas itu sendiri dalam hukum pidana, bukanlah sesuatu yang tidak memiliki dasar pembenaran, baik secara teoritis maupun khusus. Salah satu karakteristik yang melekat dalam setiap undang-undang pidana khusus, adalah terdapatnya ketentuan-ketentuan yang bersifat menyimpang dari asasasas umum hukum pidana. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai instrumen pidana khusus, telah menimbulkan perbedaan interpretasi di kalangan sarjana hukum. Di samping maslah ketentuan peralihan yang tidak secara eksplisit dicantumkan, masalah sistem pembuktian terbalik kembali diperbincangkan. Gagasan untuk menerapkannya kembali mengemuka, disebabkan karena timbulnya kesadaran tentang semakit ruwetnya problematika korupsi dan pemberantasannya di negeri ini. Oleh sebab itu, korupsi perlu didekati sebagai suatu kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Mengingat tindak pidana korupsi telah terjadi di negeri ini secara sistematis dan meluas, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara; melainkan juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.191maka pemerintah mempersiapkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. RUU itulah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134). Dalam
undang-undang
perubahan
tersebut,
sistem
pembuktian
terbalik
dirumuskan secara limitataif untuk tindak pidana korupsi dalam kategori gratifikasi
191
Menurut Meutia Ganie Rochman, semasa rezim pemerintahan Orde Baru, reaksi rakyat terhadap korupsi yang terjadi secara luar biasa tidak begitu keras, seolah tidak merasa hak ekonominya dilanggar. Korupsi di Indonesia menurutnya telah mencapai tingkat sistemik, yang ciri-cirinya adalah timbulnya sistem pemerintahan yang korup di segala tingkat (goverment ny theft), berdampak luar biasa terhadap pembangunan, kejujuran dianggap tidak rasional, “aneh” dan “mengganggu”, dan di dalam masyarakat terjadi semacam fatalisme yang menganggap korupsi sebagai masalah yang melekat dalam pengelolaan sumber daya. Lihat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Penyelenggara Negara yang Baik dan Masyarakat Warga, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2000, hlm. 42
102
kepada pegawai negeri yang nilainya di atas Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah). Ketentuan itu dirumuskan di dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, yang berbunyi: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tgasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a.
b.
Yang nilainya Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta Rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi itu bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Yang nilainya kurang dari Rp. 1000.000.000,- (Sepuluh juta Rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi itu suap dilakukan oleh penuntut umum.
Dengan perumusan seperti tersebut pada huruf a diatas, berarti sistem pembuktian terbalik telah diterapkan secara terbatas, yakni menyangkut setiap pemberian kepada para pegawai negeri dan para penyelenggara negara dengan niali tertentu. Pemberian itu sendiri mengandung pengertian yang luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Selama pemberian-pemberian dalam jumlah tertentu seperti dipersyaratkan belum dibuktikan oleh penerima sebagai sesuatu yang sah, maka ia dianggap sebagai korupsi (presumption of corruption). Disitulah terletak esensi dari sistem pembuktian terbalik. Rumusan pembuktian seperti itu dapat dicatat sebagai suatu langkah maju dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan ketentuan seperti itu berarti “presumption of guilt” telah dianut secara terbatas. Sama seperti apa yang telah sejak lama diterapkan di berbagai negara yang terbukti berhasil dalam memberantas korupsi. Sekalipun penerapan sistem pembuktian terbalik dapat dianggap bersinggungan dengan asas praduga tak bersalah, namun untuk kepentingan yang sangat mendeak dalam pemberantasan korupsi sebagai “extra ordinary crime”, penerapan sistem tersebut akan memperoleh dasar pembenarannya secara praktis. Di samping diperlukan pembatasan dan restriksi, ada satu hal yang patut dipahami dalam proses penerapan sistem pembuktian terbalik, yaitu mengenai posisi penuntut umum dalam proses pembuktian. Apakah penuntut umum sama sekali tidak memiliki kewenangan pembuktian atas kasus yang didakwakannya. Ini perlu dipahami agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penerapan sistem pembuktian terbalik. Jawaban atas pertanyaan di atas, dapat diilustrasikan dalam sebuah contoh kasus, di mana seorang pejabat telah menerima hadiah dalam jabatannya, dan hadiah tersebut diasumsikan sebagai sebagai usaha si pemberi hadiah untuk mempengaruhi keputusn
103
yang dikeluarkan oleh si pejabat. Sementara bagi si pejabat yang bersangkutan, hadiah itu diasumsikan sebagai imbalan atas keputusan yang telah dikeluarkannya, dan menguntungkan si pemeri hadiah. Proses pembuktian terhadap kasus-kasus seperti itu dalam konteks pembuktian terbalik sebagaimana dianut di negara-negara lain seperti Malaysia adlh sebagai berikut: a.
harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penuntut umum adanya keputusan yang “aneh”, di mana keputusan itu telah dipengaruhi oleh adanya pemberian hadiah.
b.
Harus dibuktikan bahwa pada hari dan tanggal tertentu si pejabat telah menerima hadiah dari seseorang.
c.
Polisi dan Jaksa menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dakwaan yang menerangkan, bahwa keputusan pejabat itu telah dipengaruhi oleh pemberi hadiah dari seseorang.
d.
Di muka pengadilan harus dibuktikan oleh terdakwa, bahwa hadiah yang ia terima itu tidak mempengaruhi keputusannya, sehingga dengan demikian ia akan membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Esensi dari pembuktian terbalik justru terletak pada klausula tersebut dalam huruf d di atas, di mana terdakwalah yang harus membuktikan bahwa hadiah yang ia terima itu tidak mempengaruhi keputusannya. Dalam contoh kasus di atas, harus dibedakan pemahaman terhadap pembuktian atas fakta kasus dengan pembuktian terhadap kesalahan. Beban pembuktian atas fakta kasus tetap berada pada penuntut umum, sedangkan beban pembuktian terhadap kesalahan berada pada terdakwa. Artinya, meskipun beban pembuktian berada pada terdakwa, namun penuntut umum tetap berperan dalam membuktikan bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum yang disebut “gratification” Pemikiran lainyang dapat diletakkan sebagai dasar untuk menjustifikasi penerapan sistem pembuktian terbalik sebagai sesuatu yang menyimpangi asas hukum adalah sebagaimana ditegaskan Loebby Loqman. Beliau memperkenalkan beberap alasan untuk membenarkan penyimpangan asas, yaitu: a. b. c. 192
Karena dipergunakn asas yang lama, justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Untuk kepentingan kemudahan pembuktian. Untuk kepentingan kemudahan penyidikan. 192 Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Ind-Hill Co., Jakarta, 1993, hlm. 109-110.
104
Dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang pada kenyataannya terlalu sulit untuk keluar dari masalah korupsi, alasan sebagaimana dikatakan Loeby Loqman itu cukup relevan dijadikan sebagai bahan pemikiran dalam konteks pembaharuan hukum pidana Indonesia. Politik hukum pidana Indonesia tidak perlu terlalu terpaku dengan pertimbangan-pertimbangan hak asasi manusia semata, yang dapat dimanfaatkan oleh para koruptor untuk berlindung dan melepaskan diri dari jangkauan hukum pidana. Indonesia tidaklah sendirian dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik seperti itu. Bukankah Malaysia dan Singapura telah lebih dulu menerapkannya, dan ternyata di kedua negara itu orang hampir tidak pernah mempersoalkan implikasi hak asasi manusia dari sistem pembuktian terbalik. Disadari bahwa tindak pidana korupsi yang melanda negeri ini telah demikian meluas secara sistematis, yang tidak hanya merugikan keuangan negara semata, melainkan juga telah dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat negeri ini secara luas. Kita tidak dapat lagi mengelak untuk tidak mengatakan bahwa korupsi itu tergolong sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Oleh karena itu, sepatutnya dilakukan penanggulangan dengan cara-cara yang khusus pula, seperti dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik. Hanya karena alasan pembuktianyang sulit, betapa banyak koruptor di Indonesia yang selama ini tidak tersentuh oleh ketentuan-ketentuan hukum pidana. Mereka cenderung berlindung di balik asas praduga tak bersalah, dan bahkan dapat dikatakan telah “dimanjakan” oleh asas hukum pidana itu sendiri, sehingga kepentingan masyarakat banyak menjadi terabaikan. Kondisi seperti ini secara transparan telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Pengalaman Malaysia, Singapura, dan beberapa negara lainnya, dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik , yang di dalamnya terkandung “presumption of guilt” atau “presumption of corruption”, agaknya perlu dipahami dan dipelajari secara seksama. Penerapan sistem pembuktian terbalik di kedua negara itu telah memberi warna bagi keberhasilan mereka dalam menanggulangi masalah korupsi. Mereka seolah-olah tidak terlalu mempersoalkan dan bahkan tidak mempertentangkan
antara “presumption of innocence” dengan
“presumption of of guilt” dalam penanggulangan masalah korupsi.
105
Dalam hubungan itu, kedudukan undang-undang korupsi sebagai undang-undang pidana khusus patut dipertimbangkan dalam implementasi sistem pembuktian terbalik. Apabila proses pembuatan undang-undang telah sesuai dengan prosedur ketatanegaraan, maka apapun yang tercantum di dalamnya adalah sah menurut konstitusi.193 Dengan kerangka berpikir yang demikian, berarti, apabila terjadi penyimpangan asas dalam undang-undang pidana khusus, maka itu adalah sah menurut konstitusi. Hanya saja perlu diperhatikan, apakah telah disadari, bahwa memang telah dilakukan suatu penyimpangan asas dalam undang-undang tersebut oleh pembuat undang-undang, sehingga dengan demikian, penerapan sistem pembuktian terbalik tidak diatafsirkan sebagai suatu kesengajaan untuk melanggar hak asasi manusia, melainkan semata-mata hanyalah merupakan suatu pengecualian yang dengan terpaksa dilakukan. Kemudian perlu dipertimbangkan alasan-alasan ayng mendasar, sehingga tercipta keseimbangan antara kepentingan terdakwa dengan kepentingan masyarakat yang sama-sama perlu dilindungi oleh hukum. Meskipun hanya terbatas dalam konteks gratifikasi, namun perlu diantisipasi kemungkinan timbulnya ekses dalam pemberlakuan sistem pembuktian terbalik, seperti pemerasan (extortion) oleh aparat penegak hukum misalnya. Persoalan ini meti diletakkan dalam kerangka upaya kita untuk membangun dan mengembangkan sebuah budaya hukum (legal culture) dalam konteks sistem hukum nasional. Betapapun sempurnaya rumusan hukum tentang sistem pembuktian terbalik yang hendak diterapkan, namun ia tidak akan banyak artinya jika tidak didukung oleh budaya hukum yang baik.194 Di dalam penerapannya, kita memerlukan aparat penegak hukum yang memiliki kejujuran dan profesional di bidangnya. Sehingga dengan demikian ekses yang mungkin timbul dapat dihindari secara signifikan. Dalam konteks itu, catatan penting lain yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pengaturan tentang sistem pebuktian terbalik tidak dapat dilakukan secara umum, karena sangat rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan adanya restriksi dan limitasi bahwa seseorang
193
194
Ibid, hlm. 108.
Lawrence M. Frieadman menjelaskan bahwa budaya hukum adalah elemen yang paling menentukan dalam setiap sistem hukum. Hidup matinya sistem hukum akan ditentukan oleh nudaya hukum. Dikatakan lebih lanjut, bahwa “without legal culture, the legal system is inert – a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.” Untuk itu, lihat Lawrence M. Friedman, American law, W.W. Norton and Company, New York-London, 1984, hlm. 6-7.
106
harus dalam kerangka proses peradilan. Artinya, sistem pembuktian terbalik hanya “applicable” dalam proses pemeriksaan di sidang peradilan 3.
Analisis Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor 1252/Pid.B/2010/Pn.Jkt.Sel. Dalam Perspektif HAM Dalam Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga
diingatkan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya dan sebenar-benarnya tanpa kecuali. Baik dalam konstitusi, UDHR hingga ke UU HAM sudah jelas digariskan tentang kewajiban menghormati prinsip egaliter dalam penegakan hukum, dan bukan prinsip tebang pilih. Pola tebang pilih dalam penegakan hukum merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi dan pelanggaran HAM, yang bisa mengundang kekuatan jahat untuk menggencarkan tumbuh kembangnya korupsi di negara ini. Yang punya kewajiban secara terorganisasi menerapkan prinsip egaliter adalah negara. Kemudian negara memberikan mandat kepada aparat penegak hukum untuk menerapkannya supaya menjadi 'hukum yang hidup' yang berbasiskan keadilan. Tujuan pemidanaan dalam dekade terakhir ini tidak lagi berorientasi kepada pejeraan dan pendidikan kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya, tetapi juga perlindungan hak asasi manusia baik kepada pelaku maupun kepada korban yang telah dirugikan. Teori balas dendam, sama sekali sudah tidak dapat diterapkan lagi.Dalam hal tindak pidana korupsi, seperti terbaca dalam bagian menimbang UU Tipikor, kepentingan hukum yang hendak dilindungi (de schutznorm) adalah terjadinya kerugian negara, hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, yang terganggu akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi. Pemidanaan terhadap terdakwa tanpa disertai dengan kembalinya aset-aset yang telah dikorupsi, bukanlah tujuan dari pemidanaan itu sendiri, apalagi dengan pemidanaan (penjara) akan memberi stigma kepada pelaku.Hal yang disebutkan di atas dapat terjadi karena keengganan pelaku mengembalikan asetnya disebabkan berlakunya Pasal 4 UU Tipikor yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian yang disebabkan oleh tipikor tidak menghilangkan penuntutan.
107
Sistem pembuktian terbalik telah diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi mulai dari UU No. 24 Tahun 1960 kemudian UU No. 3 Tahun 1971 dan yang terakhir adalah UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001. Sistem pembuktian terbalik pertama kali diterapkan dalam perkara Bahasyim Assifie, yang didakwa dalam perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik dalam hukum positif Indonesia tidak hanya termuat dalam undang-undang tindak pidana korupsi namun juga diatur dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang yaitu undang-undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara Bahasyim Assifie, sebagaimana termuat dalam putusannya, menerangkan bahwa majelis hakim telah membuka acara persidangan khusus guna memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan asal-usul harta kekayaan terdakwa sebagaimana yang diuraikan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya tentang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam perkara korupsi atas nama Bahasyim Assifie, sebagai berikut: a.
Kasus Posisi. Bahasyim Assifie merupakan seorang pegawai negeri sipil pada Kementrian
Keuangan yang ditugaskan pada Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 472/KM.1/Up.11/2002 tanggal 30 Oktober 2002 menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh. Adapun kewenangan Bahasyim Assifie karena jabatannya, yaitu: 1)
Memanggil dan memeriksa wajib pajak dan meminta keterangan pihak ke tiga;
2)
Menerbitkan Surat Perintah, diantaranya adalah Surat Perintah Pengamatan, Surat Perintah Pemeriksaan Pajak, Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penggeledahan dan/atau Penyitaan Dokumen Pajak, Surat Perintah Penyegelan;
3)
Mengajukan usul dan pendapat terhadap hasil kegiatan sesuai surat perintah yang dikeluarkan kepada atasan.
108
Pada tanggal 26 Juni 2006 terbitlah Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 314/KMK.01/Up.11/2006 yang membuat Bahasyim Assifie menduduki jabatan baru sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta, Koja. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 495/KM.1/Up/11/2007 tanggal 5 Juli 2007 Bahasyim Assifie menduduki jabatan baru sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta, Palmerah yang dalam kedua jabatannya tersebut Bahasyim Assifie mempunyai kewenangan, diantaranya: 1)
Menetapkan, mengurangi dan membebaskan besarnya pajak yang terhutang;
2)
Membebaskan pembayaran pajak, menetapkan besarnya kelebihan pembayaran pajak;
3)
Memaksa dan meyita atas kekayaan wajib pajak yang mempunyai tunggakan;
4)
Menolak pembebasan dan penangguhan pembayaran pajak;
5)
Menolak memberikan informasi dan data perpajakan kepada pihak lain yang tidak berkepentingan;
6)
Mengkonfirmasi dan mengusulkan perubahan LPP;
7)
Meneliti salah tulis, salah hitung atas STP dan SKP yang ditetapkan, memindahkan proses penelitian materiil ke pemeriksaan.
Pada tahun 2008 Bahasyim Assifie dipekerjakan juga pada Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor: KEP.171/M.PPN/05/2008 tanggal 29 Mei 2008 Bahasyim Assifie menduduki jabatan sebagai Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan, Kementerian Negara PPN/Bappenas sampai tanggal 30 Maret 2010 dengan tugas dan kewenangan, yakni: 1)
Melakukan audit kinerja pada unit Eselon I dan II yang meliputi Audit Manjemen tugas pokok dan fungsi;
2)
Audit Kajian Lembaga Think Tank Pemerintah sebagian besar produk perencanaan pembuatan kajian yang meliputi biaya, ruang lingkup kajian dan manfaat;
109
3)
Melakukan Audit khusus berdasarkan instruksi pimpinan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional serta melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kinerja utama baik individu maupun organisasi.
Pada saat menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai pegawai negeri di Direktorat Jenderal Pajak pada waktu jabatannya merupakan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh, Bahasyim Assifie mendatangi wajib pajak yang bernama Kartini Mulyadi pada sekitar tanggal 3 Pebruari 2005 di Lantai 5 Gedung Bina Mulia, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan untuk keperluan meminta sejumlah uang untuk membantu biaya perbaikan kantor. Padahal wajib pajak tidak mempunyai kewajiban untuk membiayai perbaikan kantor Bahasyim Assifie. Oleh karena ada perasaan takut terhadap Bahasyim Assifie yang mempunyai kewenangan dalam penyidikan bidang pajak serta agar perusahaannya tidak diganggu, Kartini Mulyadi menyetujui permintaan Bahasyim Assifie. Kartini Mulyadi menyuruh Candani Kusuma Phoe yang merupakan karyawannya untuk membuat dan/atau mengetik slip penarikan uang sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dari rekening 607-005477 pada Bank BCA milik Kartini Mulyadi, dan telah dilaksanakan oleh Candani Kusuma Phoe. Selanjutnya Kartini Mulyadi meminta agar Candani Kusuma Phoe menemani Bahasyim Assifie untuk memproses penarikan tunai uang tersebut di BCA di Lantai 1, Gedung Bina Mulia, kemudian proses terlaksana dengan baik yaitu uang sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) telah dimasukkan ke rekening nomor 00199963416 atas nama Sri Purwanti yang merupakan istri dari Bahasyim Assifie. Hasil
penyidikan
mengungkapkan
aktifitas
transaksi
keuangan
mencurigakan pada rekening Bahasyim Assifie dan keluarganya sejak tahun 2004 hingga tahun 2010. Sebelum tahun 2002 Bahasyim Assifie memiliki uang sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh milyar rupiah) padahal Bahasyim Assifie berpenghasilan sebagai PNS hanya sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) per bulan. Pada kurun waktu antara tahun 2004 sampai dengan sekitar bulan Maret 2010 secara formil Bahasyim Assifie tidak memiliki usaha yang dapat menghasilkan keuntungan dengan nilai yang relatif besar.
110
Sejak sekitar tahun 2003 Bahasyim Assifie sudah tercatat sebagai Nasabah Prioritas Bank BNI karena menyimpan dana di atas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Berdasarkan bukti-bukti, juga ternyata Bahasyim Assifie telah membuka rekening atas nama isteri dan anak-anaknya, sebagai berikut: 1)
Untuk atas nama isterinya sebanyak 3 (tiga) nomor rekening, yakni: a)
Rekening Taplus Bisnis Perorangan atas nama Sri Purwanti di Bank BNI dengan Nomor Rekening 199963416 cabang Jakarta Pusat yang dibuat pada tanggal 5 Oktober 2004 dengan saldo awal Rp.633.063.416,00 (enam ratus tiga puluh tiga juta enam puluh tiga ribu empat ratus enam belas rupiah). Pada pertengahan bulan April 2010 saldo akhir di rekening tersebut berjumlah Rp.41.740.558.611,00 (empat puluh satu milyar tujuh ratus empat puluh juta lima ratus lima puluh delapan ribu enam ratus sebelas rupiah), dengan transaksi berupa setoran transfer sebanyak 304 kali seluruhnya berjumlah Rp.885.147.034.806,00 (delapan ratus delapan puluh lima milyar seratus empat puluh tujuh juta delapan ratus enam rupiah) dan sekali setoran tunai dari Bahasyim Assifie sebesar Rp.4.175.750.000,00 (empat milyar seratus tujuh puluh lima juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah);
b)
Rekening Dollar Plus Perorangan atas nama Sri Purwanti di Bank BNI cabang Jakarta Pusat dengan rekening Nomor 23924200 dengan saldo awal USD271,354.00 (dua ratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus lima puluh empat dollar Amerika). Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 erdapat sebanyak 57 kali mutasi setor tunai dan transfer seluruhnya berjumlah USD45,154,226.2 (empat puluh lima juta seratus lima puluh empat ribu dua ratus dua puluh enam, dua sen dollar Amerika), dan saldo terakhir pada
bulan April
2010 berjumlah
USD681,147.37 (enam ratus delapan puluh satu ribu seratus empat puluh tujuh, tiga puluh tujuh sen dollar Amerika);
111
c)
Rekening Taplus Bisnis Perorangan atas nama Sri Purwanti di Bank BNI cabang Gambir dengan rekening Nomor 14800018, dengan saldo awal Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan sumber uang berasal dari pemindahbukuan dari rekening nomor 199963416 atas nama Sri Purwanti. Sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 terdapat mutasi berupa penyetoran atau transfer yang merupakan uang masuk sebanyak 24 kali dengan jumlah sekitar Rp.366.552.740.215,00 (tiga ratus enam puluh enam milyar lima ratus lima puluh dua juta tujuh ratus empat puluh ribu dua ratus lima belas rupiah). Saldo akhir pada pertengahan bulan April 2010 berjumlah Rp.6.557.920,00 (enam juta lima ratus lima puluh tujuh ribu sembilan ratus dua puluh rupiah);
2)
2 (dua) rekening di BNI dan 3 (tiga) rekening di BCA atas nama Winda Arum Hapsari yang adalah anaknya Bahasyim Assifie. a)
Tanggal 15 Agustus 2005 pada rekening Taplus Bisnis Perorangan di Bank BNI cabang Jakarta Pusat dengan nomor rekening 73710437, saldo awal Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dari dana yang berasal dari pemindahan buku dari rekening nomor 199963416 atas nama Sri Purwanti. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 telah terdapat mutasi berupa setor tunai dan trasnfer masuk sebanyak 80 kali, seluruhnya berjumlah Rp.284.709.039.328,00 (dua ratus delapan puluh empat milyar tujuh ratus sembilan juta tiga puluh sembilan ribu tiga ratus dua puluh delapan rupiah). Saldo akhir pada pertengahan April 2010 berjumlah Rp.17.675.783.637,00 (tujuh belas milyar enam ratus tujuh puluh lima juta tujuh ratus delapan puluh tiga ribu enam ratus tiga puluh tujuh rupiah);
b)
Tanggal 18 Pebruari 2008 dengan rekening Taplus Bisnis Perorangan pada Bank BNI cabang Gambir dengan rekening nomor 141807604 bersaldo awal Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010
112
terdapat mutasi berupa penyetoran atau transfer masuk sebanyak 15 kali dengan jumlah Rp.127.551.489.245,00 (seratus dua puluh tujuh milyar lima ratus lima puluh satu juta empat ratus delapan puluh sembilan ribu dua ratus empat puluh lima rupiah). Saldo akhir pada pertengahan bulan April 2010 berjumlah Rp.5.679.763,00 (lima juta enam ratus tujuh puluh sembilan juta tujuh ratus enam puluh tiga rupiah); c)
Pada
rekening
BCA
cabang
Saharjo
nomor
rekening
5750188119 dengan saldo akhir sebesar Rp.80.422.943,00 (delapan puluh juta empat ratus dua puluh dua ribu sembilan ratus empat puluh tiga rupiah); d)
Pada BCA cabang Gondangdia dengan nomor rekening 4552061211 dengan saldo akhir sebesar Rp.22.713.829,00 (dua puluh dua juta tujuh ratus tiga belas ribu delapan ratus dua puluh sembilan rupiah);
e)
Rekening TAPPRES pada BCA KCU Sudirman dengan nomor rekening 0356082561 dengan saldo akhir Rp.64.647.547,00 (enam puluh empat juta enam ratus empat puluh tujuh ribu lima ratus empat puluh tujuh rupiah).
3)
Pada 2 (dua) rekening BNI atas nama Riandini Resanti, juga anaknya Bahasyim Assifie, yaitu: a)
Tanggal 21 Agustus 2008 dengan rekening BNI Taplus cabang Senayan dengan nomor rekening 153425735 saldo awal berjumlah Rp.290.000.000,00 (dua ratus sembilan puluh juta rupiah). Sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 terdapat mutasi berupa setor tunai dan transfer masuk sebanyak 2 (dua) kali dengan jumlah sebesar Rp.390.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah). Saldo akhir pada pertengahan April 2010 berjumlah Rp.217.530.156,00 (dua ratus tujuh belas juta lima ratus tiga puluh ribu seratus lima puluh enam rupiah);
b)
Pada tanggal 5 September 2008 dengan rekening Taplus Bisnis Perorangan pada BNI cabang Senayan dengan nomor rekening 15444859 dengan saldo awal sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh
113
juta rupiah) dengan sumber uang berasal dari pemindahbukuan dari rekening nomor 153424640 atas nama Sri Purwanti. Sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 terdapat mutasi berupa setor tunai dan transfer masuk sebanyak 8 kali dengan jumlah Rp.5.002.431.507,00 (lima milyar dua juta empat ratus tiga puluh satu ribu lima ratus tujuh rupiah). Saldo akhir pada pertengahan April 2010 sebesar Rp.1.178.343.800,00 (satu milyar seratur tujuh puluh delapan juta tiga ratus empat puluh tiga ribu delapan ratus rupiah). Bahasyim Assifie melakukan pemecahan uang yang di beberapa transaksi dibantu oleh Yanti Purnama Sari dengan maksud agar mudah untuk melakukan kontrol dan agar uang tersebut tidak kelihatan mencolok. Total uang Bahasyim Assifie yang ditempatkan pada 10 (sepuluh) rekening tersebut adalah Rp.60.992.238.206,00 (enam puluh milyar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta dua ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus enam rupiah) dan USD681,147.37 (enam ratus delapan satu ribu seratus empat puluh tujuh koma tiga puluh tujuh sen dollar Amerika). Dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 tersebut Bahasyim Assifie sempat membeli sebuah rumah yang terletak di Jl. Cicuruk No.14, Menteng, Jakarta Pusat, seharga Rp.8.075.000.000,00 (delapan milyar tujuh puluh lima juta rupiah). LHKPN atas nama Bahasyim Assifie per April 2010 yang dilaporkan ke KPK, total harta kekayaannya hanya sebesar Rp.10.125.138.142,00 (sepuluh milyar seratus dua puluh lima juta seratus tiga puluh delapan ribu seratus empat puluh dua rupiah) dan USD4,500.00 (empat ribu lima ratus dollar Amerika). Berdasarkan LHKPN tersebut ternyata bahwa harta dan uangnya yang ada di rekening-rekening isteri dan anak-anaknya tidak dilaporkan ke KPK. b.
Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum serta Putusan Pengadilan atas terdakwa Bahasyim Assifie. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa Bahasyim Assifie,
didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
114
uang. Dakwaan disusun oleh Jaksa Penuntut Umum Jakarta Selatan secara kumulatif karena terjadi beberapa tindak pidana yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain yang dilakukan oleh subyek hukum yang sama.195 Dalam dakwaan kumulatif, seluruh dakwaan harus dibuktikan oleh Penuntut Umum maupun Hakim.196 Dakwaan ke satu disusun secara berlapis atau yang disebut juga dakwaan subsidairitas, bentuk surat dakwaan subsidair adalah bentuk dakwaan yang terdiri dua atau lebih dakwaan yang disusun secara berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampai kepada dakwaan tindak pidana yang paling ringan.197 Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap hanya satu, akan tetapi kemungkinan pasal-pasal tindak pidana yang dilanggar yang paling berat atau yang lebih ringan penuntut umum masih ragu-ragu.198 Dakwaan ke satu ditujukan kepada terdakwa selaku pegawai negeri untuk perbuatan terdakwa pada tanggal 3 Pebruari 2005 atau pada suatu waktu dalam bulan Oktober tahun 2005 atau pada suatu waktu dalam tahun 2005, bertempat di Bank BCA di Lantai 1, Gedung Bina Mulia, Kuningan, Jakarta Selatan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang dilakukan oleh terdakwa. Dakwaan ke satu primair adalah Pasal 12 huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001 karena terdakwa sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban terdakwa. Sedangkan dakwaan ke satu subsidair adalah Pasal 12 huruf e Undang-Undang No.20 Tahun 2001, karena terdakwa sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. 195
Ramelan dan Reda Mantovani dan Pauline David, op.cit. hlm.100.
196
Ibid, hlm. 101.
197
Ibid.
198
Ibid.
115
Dakwaan ke satu lebih subsidair adalah Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 karena terdakwa sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap karena berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Definisi gratifikasi itu sendiri adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.199Dakwaan ke satu lebih lebih subsidair adalah Pasal 11 UndangUndang No.20 Tahun 2001 karena terdakwa sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pemikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya. Dakwaan ke dua juga disusun secara berlapis atau yang disebut juga dakwaan subsidairitas. Dakwaaan ke dua ditujukan kepada terdakwa selaku pribadi untuk perbuatan terdakwa pada waktu yang tidak dipastikan lagi, yaitu sejak sekitar tahun 2004 sampai dengan tahun 2010, bertempat di Kantor Cabang BNI Jakarta Pusat, Jl. Dukuh Atas, di rumah terdakwa di Jl. Belalang No.2, RT.009/03, Rawa Jati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan atau di dalam kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP karena tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat ke tempat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dari pada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan ke dua primair adalah Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003 karena terdakwa telah sengaja menempatkan harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan atau nama sendiri atau atas nama pihak lain dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya 199
Indonesia, © op.cit., penjelasan Ps.12 B ayat (1)
116
merupakan tindak pidana. Dakwaan ke dua subsidair adalah Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003 karena terdakwa telah sengaja mentransfer harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Dakwaan ke dua lebih subsidair adalah Pasal 3 ayat (1) huruf e Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003 karena terdakwa telah sengaja membayarkan atau membelanjakan harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asalusul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Setelah proses pembuktian dengan pemeriksaan barang bukti dan alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka pada tanggal 17 Januari 2011, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana (requisitoir) di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menuntut: 1)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana oleh Pasal 12 huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ke satu primair;
2)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana oleh Pasal 12 huruf e Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana didawakan dalam dakwaan ke satu subsidair;
3)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana oleh Pasal 12 B Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31
117
Tahun 1999 sebagaimana didawakan dalam dakwaan ke satu lebih subsidair; 4)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana oleh Pasal 11 UndangUndang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana didawakan dalam dakwaan ke satu lebih lebih subsidair;
5)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana oleh Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.25 Tahun 2003 sebagaimana didawakan dalam dakwaan ke dua primair;
6)
Menghukum terdakwa Bahasyim Assifie, dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
7)
Menghukum
terdakwa
dengan
pidana
denda
sebesar
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan; 8)
Menyatakan agar barang bukti: a)
Uang tunai sebesar Rp.64.647.547,00 yang semula berada di rekening No.0356082561 atas nama Winda Arum Hapsari.
b)
Uang tunai sebesar Rp.22.713.829,00 yang semula berada di rekening BCA No.4552061211 atas nama Winda Arum Hapsari.
c)
Uang tunai sebesar Rp.80.422.943,00 yang semula berada di rekening BCA No.5750188119 atas nama Winda Arum Hapsari.Dikembalikan kepada Winda Arum Hapsari;
d)
Mutasi rekening, formulir permohonan pembukaan rekening, mutasi harian rekening (rincian barang bukti sebagaimana dalam lampiran putusan). Tetap terlampir dalam berkas perkara;
e)
Barang bukti berupa buku tabungan
(rincian barang bukti
sebagaimana dalam lampiran putusan).Tetap terlampir dalam berkas perkara; f)
Bukti surat (rincian barang bukti sebagaimana dalam lampiran putusan).Tetap terlampir dalam berkas perkara;
118
g)
Bukti slip setoran (rincian barang bukti sebagaimana dalam lampiran putusan).Tetap terlampir dalam berkas perkara;
h)
Uang tunai sebesar Rp.1.000.000.000,00 yang merupakan bagian dari uang sebesar Rp.41.740.558.611,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.199963416 atas nama Sri Purwanti. Dirampas untuk negara;
i)
Uang tunai sebesar Rp.17.675.783.637,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.73710437 atas nama Winda Arum Hapsari.
j)
Uang tunai sebesar Rp.41.740.558.611,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.199963416 atas nama Sri Purwanti dikurangi Rp.1.000.000.000,00.
k)
Uang tunai sebesar USD681,147.37 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.2392420041 atas nama Sri Purwanti;
l)
Uang tunai sebesar Rp.5.679.763,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.141807604 atas nama Winda Arum Hapsari;
m)
Uang tunai sebesar Rp.6.557.920,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.1 atas nama Sri Purwanti;
n)
Membebankan kepada terdakwa uang untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Adapun berdasarkan fakta-fakta persidangan, maka majelis hakim telah memutus perkara terdakwa Bahasyim Assifie, dengan amar, sebagai berikut: 1)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, dengan identitas tersebut di muka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Ke satu Primair, dakwaan Ke satu Subsidair, dakwaan Ke satu Lebih Subsidair;
2)
Membebaskan terdakwa Bahasyim Assifie, tersebut dari dakwaan Ke satu Primair, dakwaan Ke satu Subsidair, dakwaan Ke satu Lebih Subsidair;
119
3)
Menyatakan terdakwa Bahasyim Assifie, dengan identitas yang tersebut di muka telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan Pencucian Uang;
4)
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Bahasyim Assifie, dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun;
5)
Menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa Bahasyim Assifie, sebesar Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
6)
Menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
7)
Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
8)
Menetapkan barang bukti berupa: a)
Barang bukti uang berupa: (1)
Uang tunai sebesar Rp.64.647.547,00 yang semula berada di
rekening (2)
No.0356082561 atas nama Winda Arum Hapsari;
Uang tunai sebesar Rp.22.713.829,00 yang semula berada di rekening BCA No.4552061211 atas nama Winda Arum Hapsari;
(3)
Uang tunai sebesar Rp.80.422.943,00 yang semula berada di rekening BCA No.5750188119 atas nama Winda Arum Hapsari.
DIRAMPAS UNTUK NEGARA. b)
Mutasi rekening, formulir permohonan pembukaan rekening, mutasi harian rekening.Tetap terlampir dalam berkas perkara;
c)
Barang bukti berupa buku tabungan
(rincian barang bukti
sebagaimana dalam lampiran putusan).Tetap terlampir dalam berkas perkara; d)
Bukti surat (rincian barang bukti sebagaimana dalam lampiran putusan).Tetap terlampir dalam berkas perkara;
e)
Bukti slip setoran (rincian barang bukti sebagaimana dalam lampiran putusan).Tetap terlampir dalam berkas perkara;
f)
Uang tunai sebesar Rp.1.000.000.000,00 yang merupakan bagian dari uang sebesar Rp.41.740.558.611,00 yang semula berada pada
120
rekening Bank BNI No.199963416 atas nama Sri Purwanti.Dirampas untuk negara; g)
Barang bukti sebagaimana: (1)
Uang tunai sebesar Rp.17.675.783.637,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.73710437 atas nama Winda Arum Hapsari.
(2)
Uang tunai sebesar Rp.41.740.558.611,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.199963416 atas nama Sri Purwanti dikurangi Rp.1.000.000.000,00.
(3)
Uang tunai sebesar USD681,147.37 yang semula berada pada rekening
Bank
BNI
No.2392420041
atas
nama
Sri
Purwanti; (4)
Uang tunai sebesar Rp.5.679.763,00 yang semula berada pada rekening
Bank BNI No.141807604 atas nama Winda Arum
Hapsari; (5)
Uang tunai sebesar Rp.6.557.920,00 yang semula berada pada rekening
(6)
Bank BNI No.1 atas nama Sri Purwanti;
Uang tunai sebesar Rp.217.530.156,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.153425733 atas nama Riandini Resanti;
(7) Uang tunai sebesar Rp.1.178.343.800,00 yang semula berada pada rekening Bank BNI No.154444859 atas nama Riandini Resanti; DIRAMPAS UNTUK NEGARA. h)
Barang bukti berupa: (1)
1 (satu) buah sertifikat hak milik No.829 atas nama Winda Arum Hapsari;
(2)
Sebidang tanah dan bangunan di atasnya seluas 847 M persegi yang terletak di Jl. Cicurug No.14, Menteng, Jakarta Pusat;
DIKEMBALIKAN KEPADA FERITA WIJAYANI, S.E. 9)
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.5.000,00 (lima ribu rupiah).
Sistem pembuktian terbalik yang terdapat di dalam Pasal 38 B ayat (1) UndangUndang No.20 Tahun 2001 hanya berlaku bagi harta benda milik terdakwa tersebut
121
sebelum ditemukan dalam tahap penyidikan dan baru terungkap pada waktu berlangsungnya pemeriksaan di sidang pengadilan.200 Ketentuan di dalam Pasal 37 A ayat (1) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 memberikan terdakwa suatu kewajiban untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pembuktian uang sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang merupakan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf a UndangUndang No.25 Tahun 2003 yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 12 e Undang-Undang No.20 Tahun 2001 harus dibuktikan terlebih dahulu karena tindak pidana asal (predicate crime) merupakan tindak pidana pokok yang akan menentukan apakah seseorang terbukti secara melawan hukum telah melakukan tindak pidana korupsi.201 Di dalam perkara ini, surat dakwaan disusun secara kumulatif terkait tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uangnya yang dapat dibuktikan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan rumusan surat dakwaan. Tindak pidana pencucian uang dapat berdiri sendiri karena unsur “yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana” (pro partus dolus pro partus culpa).Pro partus dolus pro partus culpa merupakan suatu kesalahan (schuld) yang merupakan unsur subyektif dari suatu tindak pidana.202 Untuk membuktikan bahwa apakah harta kekayaan tersebut telah diketahui oleh terdakwa bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan ataukah asal-usul harta kekayaan yang dimiliki terdakwa itu tidak diketahui berasal dari kejahatan tetapi terdakwa lalai dan kurang hati-hati dalam menilainya203 tersebut harus dibuktikan, dan terdakwa harus membuktikan dengan mekanisme sistem pembuktian terbalik terkait dengan asal-usul harta kekayaan yang terdakwa miliki. Mekanisme sistem pembuktian terbalik hanya terbatas mengenai asal-usul harta kekayaan, sehingga bukan merupakan pembuktian terhadap kegiatan tindak pidananya
200
R. Wiyono, op.cit., hlm.234.
201
Indriyanto Seno Adji, op.cit., hlm. 181.
202
Remmelink, op.cit., hlm.142 dan hlm. 164-165.
203
Ibid. hlm.93.
122
atau kegiatan pencucian uangnya 204 karena terkait dengan pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang lain, oleh karenanya Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikannya.205 Di dalam perkara ini terdakwa beberapa kali telah melakukan investasi terhadap uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Hal ini dijabarkan di dalam kesaksian Yanti Purnama Sari, S.E. dari BNI, Gregorius Yulius Sunarto, S.E.. dari BNI dan dari saksi tambahan dari Jaksa Penuntut Umum bernama Abdullah Umar dari BNI dan berdasarkan buku tabungan dan rekening koran yang dijadikan barang bukti dalam perkara ini, bahwa benar uang terdakwa yang dimasukkan ke dalam rekening isteri dan anak terdakwa yang di BNI maupun yang di BCA yaitu seperti MMA, BNI Investment dan lain-lain, dan bunga/keuntungannya dimasukkan kembali ke rekeing-rekening isteri dan anak-anak terdakwa tersebut. Jika Penuntut Umum hanya mendakwa dengan tindak pidana korupsi, maka uang hasil investasi miliki terdakwa tidak dapat dirampas karena bukan berasal dari tindak pidana dan tidak terdapat kesalahan terdakwa di dalam uang hasil investasi tersebut walaupun memang terdakwa melakukan investasi dari uang yang berasal dari tindak pidana korupsi. Ketentuan di dalam tindak pidana korupsi berfokus kepada perbuatan materiil yang dilakukan oleh terdakwa untuk mendapatkan uang yang ia dapatkan secara melawan hukum. Menginvestasikan uang bukanlah perbuatan materil yang melawan hukum menurut tindak pidana korupsi, oleh karena itu hasil investasi tersebut tidak dapat dirampas karena tidak terdapat unsur melawan hukum (wederrectelijk) berdasarkan ketentuan tindak pidana korupsi. Apabila Penuntut Umum menggunakan tindak pidana pencucian uang, maka uang hasil investasi tersebut dapat menjadi objek perampasan aset.Hal tersebut dapat dilakukan karena terdapat unsur “menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan
yang
diketahuinya
atau
patut
diduga
merupakan
hasil
tindak
pidana”.Perbuatan menginvestasikan uang hasil tindak pidana dianggap sebagai suatu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan karena pada saat melakukan investasi terdakwa berharap untuk menghilangkan jejak uang hasil tindak pidana tersebut dan berusaha untuk membuat uang tersebut seolah-olah menjadi
204
205
Reda Mantovani dan R. Narendra Jatna., op.cit.., hlm. 82. Ibid., hlm. 83.
123
uang yang sah menurut hukum.Karena di dalam perkara ini menggunakan tindak pidana pencucian uang di dalam dakwaannya, maka hasil investasi tersebut dapat dilakukan perampasan seperti yang tercantum di dalam petitum putusan. Di dalam perkara ini Majelis Hakim melakukan mekanisme sistem pembuktian terbalik terhadap harta benda milik terdakwa.Namun ternyata terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang disita bukanlah hasil dari tindak pidana. 206 Metode sistem pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003 diterapkan oleh Majelis Hakim dengan mempertimbangkan alat bukti yang diajukan oleh terdakwa khususnya yang terkait dengan asal-usul uang terdakwa yang ditempatkan di rekening-rekening BNI dan BCA.207 Persidangan perkara DR. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si.menggunakan sistem pembuktian terbalik, agar terdakwa membuktikan kepemilikan sejumlah uang dari transaksi yang tidak wajar yang dilakukan oleh terdakwa. Identitas Winda Arum Hapsari yang berstatus sebagai mahasiswa tidak mungkin dan tidak wajar apabila memiliki uang atau melakukan transaksi keuangan sebanyak dan sebesar yang terdapat di dalam rekeningnya, uang yang berada di rekening Winda Arum Hapsari berasal dari uang terdakwa. Majelis hakim menerangkan (sebagaimana yang termuat dalam pertimbangan putusan) bahwa bukti kerjasama tersebut tidak didukung dengan surat perjanjian atau kontrak yang mengatur tentang pembagian keuntungan, besarnya penyertaan modal, sistem kerjasama sebagaimana lazimnya orang melakukan kerjasama. Kemudian, majelis hakim mengatakan bahwa surat perjanjian tersebut dibuat pada tanggal dimana telah dilakukan penyidikan terhadap terdakwa sehingga majelis berpendapat hal tersebut tidak dapat diterima dan harus dikesampingkan. 208 Terdakwa telah diberikan kesempatan menggunakan hak asasinya dalam menjelaskan bisnisnya, akan tetapi bisnis-bisnis yang dilakukan terdakwa tidak didukung oleh adanya bukti kontrak/perjanjian kerja, tidak adanya bukti tentang berapa jumlah penyertaan modal, tidak ada bukti yang menjelaskan mengenai bagaimana 206
207
208
Tim Penyususn, (c) op.cit. hlm. 277-278. Ibid. hlm., 278.
Putuan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor:1251/Pid.B/2010/PN.JKT.Sel., tanggal 27 Januar 2011.
124
perhitungan bisnis dan keuntungan, dan juga beberapa bukti-bukti bisnis yang dilakukan oleh terdakwa kebanyakan baru dibuat pada saat perkara terdakwa sudah dalam tahap penyidikan. Oleh karena itu Majelis Hakim menolak semua pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa terkait dengan bisnis yang dijalankannya, karena terdakwa tidak dapat membuktikan tentang asal-usul kekayaannya. Perkara Bahasyim Assifie, telah menggunakan mekanisme sistem pembuktian terbalik baik dalam perkara pencucian uang maupun perkara korupsinya, dalam hal ini pandangan hak asasi manusia yang menghendaki perlindungan hak bagi setiap orang, tentunya telah diupayakan untuk diimplementasikan khususnya dalam perkara tersebut. Sistem pembuktian terbalik jelas merupakan upaya pengimplementasian perlindungan hak setiap orang, baik hak terdakwa/tersangka maupun hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Sistem pembuktian terbalik yang diterapkan dalam perkara Bahasyim Assifie, jelas tidak bertentangan dengan HAM.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari uraian yang telah dijelaskan di bab-bab terdahulu, dapatlah disimpulkan beberapa aspek sebagai berikut: 1.
Sistem pembuktian terbalik dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi diberlakukan karena tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), maka diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa pula (extra-ordianary enforcement), dan sistem tersebut tidak menghilangkan Hak Asasi Manusia, tetapi menyeimbangkan antara Hak Asasi Terdakwa dengan Hak Asasi Rakyat banyak;
2.
Implementasi sistem pembuktian terbalik dalam kasus Bahasyim Assafie adalah untuk pertama kalinya dilakukan, yang bersifat terbatas dan berimbang, artinya mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan sifat eksepsional (khusus), yakni: a.
Bahwa sistem pembuktian terbalik hanya terbatas dilakukan terhadap delik “pemberian” (gratification) yang berkaitan dengan “suap” (bribery) dari wajib pajak, yang nilainya sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar Rupiah).
b.
Bahwa sistem pembuktian terbalik hanya terbatas dilakukan terhadap “perampasan” harta benda milik terdakwa yang terbagi dalam dua jenis, yaitu pada harta benda terdakwa yang didakwakan dan yang ada hubungannya dengan pembuktian tindak pidana korupsi dalam perkara pokok, serta pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan.
Dari kajian terhadap Putusan Nomor: 1252/Pid.B/2010/PN. Jkt.Sel., penulis dapat menyimpulkan bahwa implementasi sistem pembuktian terbalik telah dilakukan secara hati-hati dan dilaksanakan di dalam persidangan yang sifatnya terbuka bagi umum, walaupun masih menyisakan persoalan bahwa implementasi sistem pembuktian terbalik memang bersinggungan langsung dengan Hak Asasi Manusia (HAM) terdakwa
125
126
disebabkan dalam prosesnya akan mengeliminasi atau menghilangkan eksistensi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) dan hak-hak prinsipi l terdakwa. Namun kita harus melihatnya dari kacamata yang berbeda dimana terdakwa juga telah melanggar
hak-hak sosial dan ekonomi wajib pajak untuk memperoleh
kesejahteraan yang lebih baik dari hasil sumbangan pajaknya ke negara. C.
Implikasi 1.
Implikasi terhadap dimensi hukum substantif (hukum materiil) dalam UU N0.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, tidak semua delik korupsi dapat diterapkan sistem pembuktian terbalik. Jelasnya, sistem pembuktian terbalik hanya dapat diterapkan terhadap kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan tetapi diduga berasal dari tidak pidana korupsi.
2.
Implikasi terhadap hukum acara dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) maupun UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, khususnya terhadap aspek pembuktian, sitem pembuktian terbalik berkorelasi terhadap asas praduga tak bersalah. Praduga tak bersalah merupakan asas fundamental dalam hukum acara yang dikenal baik dalam sistem hukum (acara) pidana Indonesia maupun hukum pidana internasional. Asas praduga tak bersalah mempunyai implikasi terutama terhadap sistem pembuktian terbalik. Implikasi krusial terhadap hukum acara pidana Indonesia dimana baik tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk pembuktian (Pasal 66 KUHAP) dan Jaksa Penuntut Umum secara universal baik dalam sistem common law maupun sistem civil law dibebankan kewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Pasal 66 ayat (2) Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Crimal Court) menyebutkan “tanggung jawab terletak pada Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan tertuduh”.
D.
Saran 1.
Praktik peradilan tindak pidana korupsi hendaknya menerapkan sistem pembuktian terbalik dengan tetap menggunakan pendekatan-pendekatan sebagaimana yang diintrodusir Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003, karena pada prinsipnya sistem pembuktian terbalik tidak bertentangan dengan HAM maupun ketentuan hukum acara. Juga untuk menghindari perbedaan
127
persepsi antara penegak hukum tentang konsep pembuktian terbalik, dan hendaknya dapat dibentuk suatu diklat terpadu penyidik, jaksa, dan hakim untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang konsep sistem pembuktian terbalik dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Juga perlu pelatihanpelatihan baik yang bersifat nasional maupun internasional untuk meningkatkan sumber daya profesional para penegak hukum itu sendiri. Walaupun hanya terbatas dalam konteks gratifikasi, perlu diantisipasi ekses dalam pemberlakuan sistem pembuktian terbalik, seperti pemerasan oleh penegak hukum misalnya, dengan cara membangun dan mengembangkan budaya hukum dalam konteks sistem hukum nasional. Untuk itu kita perlu aparat penegak hukum yang memiliki kejujuran dan profesional dalam bidangnya. 2.
Praktik peradilan perkara tindak pidana korupsi untuk masa mendatang (ius constituendum)
di
Indonesia
hendaknya
menerapkan
teori
sistem
pembuktian terbalik kesimbangan kemungkinan (balanced probability principles) dengan tetap melalui pendekatan bersifat preventif, represif dan restorative sebagaimana diintrodusir KAK 2003. Pada dasarnya, penerapan teori balanced probability principles tidak bertentangan dengan HAM, ketentuan hukum acara, dan hendaknya hanya dilakukan pada fase peradilan dengan status terdakwa karena pembuktian pada fase peradilan bersifat transparan
diharapkan
(pemerasan/penyuapan).
dapat
menghindari
adanya
korupsi
juga
128
DAFTAR PUSTAKA 1.
BUKU:
Achmad S. Soemadipradja, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT. Alumni, Bandung. -----, 1984, Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Penrbit Alumni, Bandung. Adami Chazawi, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni Bandung. -----, 2005, Hukum Pidana Materiel dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Malang. A Mulder, 1980, Strafrechtspolitiek Delikt en Deliktkwent, Gouda Quint BV., Amhem, seperti dikuti dari Barda Nawawi Arief. Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta. -----, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta. -----, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Yarsif Watampone, Jakarta. ------, 2008, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta. -----, 2010, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Perbandingan Dengan Beberapa Negara, Universitas Trisakti, Jakarta. A.S. Hornby, et. Al., 1963, The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London.
A Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Bambang Poernomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. -----, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. -----, 1988, Pola Dasar Teori dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta. Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta.
129
-----, 1993, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, dalam UndangUndang RI No. 8 Tahun 1981, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Baharudin Lopa, 1997, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Kipas Putih Aksara, Jakarta. Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Madju, Bandung. Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. -----, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. -----,
2007, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia (Perspeltif Perbandingan Hukum Pidana), Penerbit Pustaka Magister, Semarang.
-----, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. -----, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Bernard L. Tanya, 2010, Yoan Simanjuntak dan Markus Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Jakarta. Chandra Muzaffar, Wabah Korupsi, dalam Seri Wawasan Korupsi, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1986 Clive Walker & Keir Starmer, 1993, Justice in Error, First Published, Blackstone Press Limited, London. Dani Krisnawati dkk., 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta. David M. Chalmers, 1975, Encycloperia Americana, Americana Corporation, New York. Elwi Danil, 2011, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta. -----, 2010, “Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi” Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006, Sinar Grafika, Jakarta.
130
Glanville Williams, 1963, The Proof of Guilt (A Study of English Criminal Trial), Stevens & Sons, London. H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Helbert Edelherz, 1977, The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, US Department of Justice: Office of Regional Operations, Law Enforcement Assistance Administration. Henry Campbell Black, 1983, Black‟s Law Dictionary With Pronounciations, West Publishing Co., St. Paul Minn. Herbert L. Packer, 1968, The Model in Operation: From Arrest to Charge, Stanford University Press, California. H.M. Akil Mochtar, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Ian McWalters, SC, 2006, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, JPBooks, Surabaya. Indriyanto Seno Adji, 2003, Sekilas Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH., & Rekan, Jakarta. -----, 2009, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta. -----, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji, SH., & Rekan”, Jakarta. -----, 2012, Korupsi dan Permasalahannya, Diadit Media Press, Jakarta. Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta. J.J.H. Brugging, alih Bahasa Arif Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Jean-Jaque Rosseau, 1999, The social Contract, A New Translation by Christopher Betts, Oxford University Press. J,M, van Bemmelem, Hukum Pidana 1,2,3, Bina Cipta, Jakarta. John Locke, 2003, Two Treatises of Goverment, edited by Marl Goldie Churchill College, Cambridge, Everyman J M dent London. John Rawls, 1983, A Theory of Justice, Oxford University Press.
131
-----, 2003, A Theory of Justice, Revised Edition, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts. -----, 1995, (edisi terjemahan), Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta John Rawls Ronald Dworkin, 2006, dalam Justice in Robes, the Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England. Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan Ketiga, Banyumedia Publishing, Malang. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, PT. Alumni, Bandung. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2000, Penyelenggara Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. Lawrence Friedman, 1984, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, WW. Norton & Company, New York. Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung. Loebby Loqman, 1993, Delik Politik di Indonesia, Ind-Hill Co., Jakarta. Mark Ancel, Social Defence, 1965, A Modern Approach to Criminal Problems (London, routledge & Kegen Paul, hlm. 4-5, dikutip dari: Barda Nawawi Martiman Projohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), CV. Mandar Maju, Bandung. -----, 1997, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. -----, 2009, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. Tahun 2001), Mandar Maju, Bandung. Mardjono Reksodiputro, 1984, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Penerbit Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian HukumUniversitas Indonesia, Jakarta.
Mirjan R. Damaska, 1986, The Faces of Justice and State Authority, A Comparative Approach to the Legal Process, Yale University Press, New Haven and London. Montesquieu,1992, the Spirit of the Law, translated and editd by Anne M. Cohler dkk, Cambridge University Press. Muchtar Kubis dan James C, Scoot (ed.), 1988,Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta.
132
-----, Muchtar Lubis dan James S. Scoot (ed.), 1977, Etika Pegawai Negeri, Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Muhammad Idrus, 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2000, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta. Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, 2001, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, 2002, Legal Provisions to Facitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof, Forum on Crime and Society, Vol. 2, No. 1. Oemar Seno Adji, 2 Guru Besar Berbicara tentang Hukum, (ed). 1985, Bandung: Alumni.
dalam Albert Hasibuan
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Robert Klitgaard, 1998, Membasmi Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta. Roelof H. Haveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern in Indonesia, Penerbit Tata Busa, Jakarta. Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta. Romli Atmasasmita, 1982, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Penerbit Bina Cipta, Bandung. Ruslan Saleh, 1996, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Penrbit Karya Dunia Fikir, Jakarta. -----, 2002, Korupsi, Good Governace dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta ___, 2000, Ilmu Hukum, Cet. V, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
133
Syaiful Bakhri, 2012, Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan, Penerbit Gramata Publishing, Jakarta. Soerjono Soekanto, 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengeruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada -----, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI Press), cetakan Ketiga, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed. Kesembilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitan Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Soedirdjo, 1985, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Penerbit CV. Akademikia Pressindo, Jakarta. Tirtaamidjaja, 1005, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Penerbit Posco, Jakarta. Utrecht, 1958, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbit Universitas, Jakarta. W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Wiryono Prodjidikoro, 1962, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. 2.
JURNAL DAN MAKALAH
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,Bertrand de Speville, Reversing the Onus of Proof: It is Compatible with Respect for Human Rights Norms, Jakarta. Loebby Loqman, 2004, Perkembangan Azaz Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, Paper, Semarang. Muladi, 2004, Kumpulan Tulisan Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Panitia Penyusunan RUU Tentang KUHP, Direktorat Jenderal Perundang-undangan, Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, Jakarta. Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6. Oliver Stolpe, Meeting the burden of proof in corruption-related legal prooceding, Unpublished.
134
R. Moegono, Delik Pers, 1975, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomi, Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta, dikutip oleh Andi Hamzah.
Romli Atmasasmita, 2006, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta -----, 2006, Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta. -----, 2006, Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sektor Swasta dalam Lingkup Konvensi PBB Anti Korupsi, Paper, Jakarta. 3.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 huruf 3, definisi harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara Nomor 4191. Tahun 2003 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981Tentang KUHAP, lihat ketentuan Pasal 38, tentang ijin dan penyitaan, Pasal 77 sampai dengan Pasal 83, tentang wewenang praperadilan. ___,Pasal 109 Ayat (2) menyebutkan bahwa “dalam........ “ sedangkan Pasal 140 Ayat (2) menyebutkan bahwa “dalam hal..............” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa “pengadilan......” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasasn Korupsi. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005.
135
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.
4.
PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1252/Pid.B/2010/Pn.Jkt.Sel. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 374K/Pid/1990 tanggal 13 Maret 1993. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 948K/Pid/1996 tanggal 15 Nopember 1996. 5.
MAJALAH DAN SURAT KABAR
Bagir Manan, 2009, Beberapa Catatan Tentang Penafsiran, varia peradilan nomor: 285 Agustus. H. Mansur Kartayasa, 2012, Kebijakan Legislasi Tentang Pembuktian Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hak Asasi Manusia, Varia Peradilan No. 318, Jakarta. Tempo Edisi 31 Januari – 6 Februari 2011, Bahasyim Assifie: Buktikan Kalau Saya Memeras”. Kompas, Rabu, 8 April, 2015, ”Pemberantasan Korupsi: Kejahatan Luar Biasa Kok Dianggap Biasa. Kompas, 25 Oktober, 2003, Yuli Sulistiawan, “Korupsi melebihi APBN”. Loekman Wiriadinata, 1970, Masalah Pembuktian Terbalik dalam RUU Anti Korupsi Baru, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 6 Tahun ke-1, Jakarta, dikutip oleh Andi Hamzah Muh. Muslih, Maret-April 2007, Pembuktian Terbalik dalam Perspektif HAM, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Vol. 7, No. 2. Muladi, 2001, Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reverse Burden of Proof atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan, Jakarta.
Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta, 2006 . -----, Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006.
136
-----, Korupsi, Good Governace dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 25 dan vide pula: Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006. ___, Maret-April 2007, Model Ampuh untuk Mengejar Aset Hasil Kejahatan Terhadap
Negara, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Vo. 7, No.2, Maret-April 2007 Indriyanto Seno Adji, 2009, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta.
6.
DATA ELEKTRONIK
Edi Nasution, Uraian pendek tentang money laundering, “Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering)”, http://www.ppatk.go.id/ pdf/ Uraian_Pendek_ Tentang_Praktek_ Pencucian_Uang_Hasil_Kejahat.pdf, diakses pada tanggal 12 April 2015. Hukum Online, 6 September 2006, Lihat “Senjata Baru Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi?,RatifikasiUNCAC”,,http://search.hukumonline.com/id/search/browse?q =Senjata+Baru+Pencegahan+dan+Pemberantasan+Korupsi, diakses pada tanggal 11 April 2015. Hukum Progresif, Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi Sebenar Ilmu, dalam www.legalitas.org, diakses pada tanggal 5 Februari 2011
137
-