BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagad Selatan Kabupaten Gunung Kidul terbentang formasi Karst Gunungsewu. Kekhasan bentanglahan Karst Gunungsewu mempengaruhi bentuk subsitensi masyarakat yang bermukim di wilayah ini. Sebagian besar masyarakat Karst Gunungsewu melakoni sistem pertanian tadah hujan. Selama ini kawasan Karst Gunungsewu identik sebagai lahan gersang, kering, dan berbatu serta masyarakatnya hidup dalam kungkungan kemiskinan (Haryono, 2004: 1). Pameo Cedak watu adoh ratu dapat mengilustrasikan bahwa masyarakat Karst Gunungsewu adalah golongan marjinal baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi. Anggapan di atas terkait dengan situasi hidrologis dan realitas sosial masyarakat wilayah karst Gunung Kidul. LeGrand (1973), memaparkan bahwa wilayah karst rentan kekeringan karena medan ini mempunyai karaktersitik porositas yang longgar, sehingga air di permukaan melesat cepat ke bawah tanah. Dalam perspektif ekonomi, tingginya angka urbanisasi untuk mengadu nasib sebagai buruh pabrik dan pembantu rumah tangga merupakan ilustrasi kemiskinan dan gagalnya sektor pertanian dalam memberikan jaminan ekonomi. Wacana kekeringan air di wilayah Gunung Kidul bagian Karst Gunungsewu (penyebutan selanjutnya Gunung Kidul-Karst Gunungsewu) kian hari semakin akrab di telinga publik. Paling tidak berita kekeringan selalu menjadi pemberitaan media massa. Kala musim kemarau melanda, masyarakat kewalahan dalam mencukupi air untuk kebutuhan memasak, minum, dan mandi
1
serta mengurus ternak. Perihalnya, telaga-telaga yang dahulu menyediakan air sepanjang tahun kini telah rusak dan tidak bisa dapat dimanfaatkan.1 Pada
musim
kemarau
upaya
masyarakat
Gunung
Kidul-Karst
Gunungsewu dalam menyiasati kekurangan sumberdaya air antara lain adalah mempersiapkan bak tampungan air rumah, sumur, hingga membeli air. Sangat disayangkan
usaha
masyarakat
tersebut
tidak
menyelesaikan
problem
kelangkaan air. Ketersedian bak tampung air hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi air selama dua bulan setelah musim penghujan berhenti, padahal di wilayah ini durasi musim kemarau dapat mencapai lima bulan. Di sisi lain harga air yang dipatok pihak swastapun dinilai sangat memberatkan terutama untuk golongan masyarakat miskin, dengan kata lain hanya warga berduit yang mempu mengakses air berbayar. Kering di atas namun basah di bawah. Ungakapan ini menggambarkan betapa kontrasnya kondisi hidrologi di permukaan tanah dengan di bawah tanah. Pada tahun 1988 klub petualang gua yakni ASC menemukan sungai bawah tanah di dalam lorong Gua Seropan. Berdasarkan analisis pakar geohidrologi, debit air sungai bawah tanah seropan mencapai 750 lt /detik. Dari hasil kalkukasi mereka kemelimpahan air tersebut dinilai mampu menghidupi ribuan masyarakat Karst Gunungsewu (Yulianto, 2010: 5). 2 Penemuan yang menakjubkan tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah pada tahun 1998 dengan dibentuknya Program Pengembangan Air Baku. Program yang melibatkan lembaga asing yakni Karlrusche Institute of Technology (KIT) Jerman, menggelontorkan triliunan rupiah digunakan untuk membangun instalasi yang berfungsi mengangkat air bawah tanah ke . Lihat berita “260 Telaga di Gunung Kidul Kering Kerontang” dalam: Sinar Harapan, 03 Agustus 2004, “41.000 Warga Gunung Kidul Kekurangan Air Bersih” dalam: KOMPAS Jumat, 21 Juni 2002, “Jual Ternak demi Air “ dalam : Suara Pembaruan - 21 Juli 2009. 2 Acintyacunyata Speleological Club (ASC) adalah organisasi penggiat susur Gua yang bermarkas di D.I Yogyakarta. 1
2
permukaan. Air diangkat ke puncak bukit dengan menggunakan pompa mesin maupun booster, dan dialirkan melalui jaringan pipa dengan mengandalkan gaya gravitasi menuju reservoir (tandon) wilayah pelayanan. Pihak yang berwewenang dalam operasionalisasi jaringan sungai bawah tanah Seropan adalah PDAM Dharma Tirta. Sejatinya, rekayasa teknologi yang sedemikan canggih tersebut diharapkan mampu mencukupi kebutuhan air masyarakat Karst Gunungsewu. Akan tetapi, bukan manfaat yang didapat tetapi masalah krisis air makin mencuat. Sejak fasilitas ini beroperasi, masih terdapat warga yang kesulitan untuk mengakses
PDAM,
khususnya
di
Kecamatan
Ponjong.
Mahal
untuk
berlangganan dan mahal untuk membayar tarif bulanan merupakan halangan utama untuk mengkases air. Untuk menyalurkan air dari reservoir ke rumah dibutuhkan uang pangkal Rp. 1.800.000. Sejumlah uang tersebut diperuntukkan untuk pengadaan pipa paralon dan pasang meteran. Tarif yang dipatok PDAM adalah 36.000/10 m3. Dengan demikian, dalam satu tahun bagi rumah tangga yang bersedia berlangganan PDAM harus mengeluarkan -/+ Rp 420.000. Ringkas kata, pengelolaan PDAM yang menggolongkan air sebagai komoditi justru menciptakan ketimpangan dalam mengakses air. Dalam hal ini, hanya bagi golongan masyarakat yang mampu berlangganan berhak mengakses air. Sementara itu, bagi mereka yang tidak mampu berlangganan seakan terabaikan. Dengan demikian, wacana kelangkaan air bukan hanya dipandang dari sisi ada atau tidaknya sumber air yang layak pakai, melainkan dapat atau tidak dapat air tersebut diakses oleh segala lapisan masyarakat. B. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai kelangkaan air bukanlah merupakan topik yang baru. Ilmuwan dari beragam disiplin ilmu seperti geografi, lingkungan, politik, dan
3
antropologi ikut terlibat dalam mengkaji penyebab kelangkaan air dan dampaknya bagi kehidupan sosial masyarakat. Bakker meneliti penyebab kelangkaan air yang terjadi di Kota Yorkshire, Britania Raya pada tahun 1995 hingga 1996. Bakker mencatat, kelangkaan air di Yorkshire merupakan bencana air yang pertama dalam sejarah Britanian Raya, persitiwa ini terjadi 10 tahun setelah kebijkan privatisasi air digulirkan PM Tathcher. Dalam rentang waktu satu tahun air tidak mengalir di permukian warga kota Yorkshire. Menurut Bakker muara permasalahan ini disebabkan oleh kelalaian perusahaan penyedia air dalam mengantisipasi kerusakan jaringan pipa air (Bakker, 1999:2000). Menurut Bakker (2000), peristiwa di atas adalah dampak buruk pelaksanaan privatisasi air yang berorientasi bisnis sehingga hakhak publik diacuhkan, dan ia menyatakan privatisasi air telah menciptakan kekeringan. Seorang enviromentalis yaitu Shiva (2002), melakukan kajian kelangkaan air di Negara Bagian Maharastha, India. Ironisnya kelangkaan air disebabkan oleh program pembangunan salah kaprah yang diintroduksi IMF dalam penanggulangan kekeringan di wilayah terkait. Penggunaan rekayasa teknologi sumur bor yang ekspolitatif secara drastis menyebabkan kerusakan sumber mata air di wilayah tersebut dan merampas hak pengelolaan adat masyarakat tempatan. Sebagai akibatnya jumlah desa yang kekurangan air melonjak, pada tahun 1972 terdapat 150.000, sedangkan pada tahun 1994 tercatat 140.975 desa yang terdampak kelangkaan air. Derman dan Ferguson (2000), melalui perpsektif ekologi-politik mengkaji implementasi Water Act di Zimbabwe yang digulirkan pada tahun 1998. Kebijakan yang disupervisi oleh Bank Dunia tersebut memaksa negara untuk membentuk lembaga fungsional yang mengurusi pendistribusian air. Setelah
4
Program ini diintroduksi, timbul masalah baru yaitu persaingan antara petani kulit putih dan kulit hitam dalam mendapatkan air. Menurut Derman dan Ferguson, petani kulit hitam yang sebagian besar tergolong petani kelas menengah bawah acap kali kekurangan pasokan air. Kepentingan mereka sering dikalahkan oleh petani kelas atas yang mayoritas orang kulit putih. Dalam hal ini, petani kulit putih lebih mendominasi menggunakan air, oleh karena rerata lahan mereka lebih luas daripada lahan milik petani kulit hitam. Derman dan Ferguson menambahkan, kesenjangan distribusi air tersebut makin parah pada saat pertengahan musim kemarau (Derman dan Ferguson, 2000). Berdasarkan Laporan "The Water Dialogue" pada tahun 2009 di Indonesia terdapat 30.88 % rumah tangga di indonesia tidak memiliki akses air minum, dan dari 470 daerah tangkapan meliputi danau, sungai, dan mataair di Indonesia, 64 di antaranya mengalami kerusakan. Adapun daerah yang terdampak antara lain, 12 lokasi di Sumatra, 26 lokasi di Jawa, 10 lokasi di Kalimantan, 10 lokasi di Sulawesi, empat lokasi di Bali, empat lokasi di NTT, empat lokasi di Maluku, dan dua lokasi di Papua (Water Dialogue Indonesia, 2009). Melengkapi penjelasan di atas, salah satu potret daerah yang mengalami kelangkaan air dapat ditemukan di Provinsi DKI Jakarta. Menurut Santoso (2009), kelangkaan air di Jakarta disebabkan oleh kerusakan air tanah akibat pemborosan air sumur, terutama pada kalangan permukiman warga kelas menengah. Air digunakan untuk keperluan sekunder seperti mencuci kendaraan bermotor dan menyirami halaman rumah. Akibatnya sumur timba di permukiman penduduk miskin yang hidup berdampingan dengan penduduk kalangan atas mengalami kekurangan air. Di saat yang bersamaan masyarakat miskin juga tidak mampu untuk berlangganan air provider swasta. Salah satu cara untuk
5
mendapatkan air ialah membeli dari pedagang air keliling yang menyediakan air secara terbatas dengan harga yang mahal pula. Kelangkaan air juga terjadi di Dusun Sigedang, Kab. Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Sejak tahun 2002 mataair Sigedang dikuasai dan diekspolitasi oleh perusahaan air minum kemasan terkemuka yaitu Aqua-Danone. Padahal, mataair ini merupakan sumber air bagi masyarakat sekitar, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk irigasi. Dari mataair ini, dalam setiap bulannya, Aqua-Danone mampu memproduksi 15-18 milyar liter air. Dampaknya, warga lokal yang sebagian besar menggantungkan hidup dari sektor pertanian mengalami kesulitan karena air irigasi semakin berkurang. Oleh sebab itu, selain kekurangan air untuk kebutuhan rumah tangga, sektor pertanian menjadi lumpuh. Sebagai akibat dari privatisasi air tersebut, warga yang terkena dampak krisis air berhenti bertani dan memilih bekerja sebagai buruh bangunan dan buruh pabrik (Ardhianie, 2006 ). Studi kerusakan telaga di wilayah Kec. Ponjong Karst Gunungsuwu pernah dilakukan oleh Haryono et. al (2004: 33). Haryono et al (2004), mengamati tujuh telaga di wilayah Ponjong yang sangat penting bagi masyarakat sekitar untuk mencukupi kebutuhan air rumah tangga. Dari hasil temuan beliau, telaga-telaga
tersebut
mengalami
masalah
yang
sangat
serius,
yaitu
berkurangnya daya tunda air di telaga. Bahkan, adapula telaga yang dahulu merupakan telaga parrenial kini menjadi sangat kering. Permasalahan utama yang menyebabkan kerusakan telaga-telaga tersebut adalah pendangkalan dasar telaga karena proses erosi yang dipicu peristiwa penggundulan vegetasi untuk perluasan lahan tegalan. Terkait penjelasan di atas, untuk mengatasi kelangkaan air pada musim kemarau, yaitu pada bulan Juni sampai dengan akhir November masyarakat Karst Gunungsewu mengandalkan bak tampung air atau membeli air dari
6
tetangga (ngempil). Selain dari cara di atas, adapula warga yang terpaksa menjual ternaknya untuk dibelikan air dari pihak swasta (Awang dan Nurhadi, 2005; Awang dan Sepsiaji, 2005). Sementara itu, Suhartono et. al (2004) melakukan studi etnografi masyarakat Gunungsewu dengan judul ‘Pengungkapan Diversitas Aspek Pertanian Kawasan Perbukitan Selatan Yogyakarta: Kajian Arkeologi dan Etnografi di Kab. Gunung Kidul’. Menurut Suhartono et al (2004), kendati hidup di dalam kungkungan klimatologis yang tidak bersahabat dan lahan yang kering, sebagian besar masyarakat Karst Gunungsewu berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya dari dari aktivitas pertanian tegalan. Oleh karena itu, di kawasan ini variasi jenis tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman yang tidak membutuhkan irigasi (padi gogo, kacang tanah, jagung, ketela, jejawut, dll). Menurut Zakaria (2005), ketidaketersediaan air, ketergantungan terhadap alam, dan miskinnya unsur hara pada lapisan tanah memberikan gambaran secara jelas betapa kerasnya petani lahan kering Gunungsewu dalam mengupayakan kebutuhan hidupnya. Harapan dari seluruh proses produksi pertanian holtikultura dan palawija adalah mengantongi keuntungan dari penjualan hasil tani. Akan tetapi, angan-angan para petani pupus, oleh karena mereka tidak mempunyai posisi tawar terhadap pedagang. Hasil penjualan gabah yang rendah tidak sebanding dengan proses produksi yang terbilang mahal dan panjang. Berhutang kepada kerabat maupun tetangga adalah tindakan lumrah yang dilakukan para petani Karst Gunungsewu demi melanjutkan proses produksi pertanian pada musim tanam berikutnya. Defisit keuangan rumah tangga secara langsung juga berimbas terhadap sulitnya mengakses air berbayar.
7
Praktek jual-beli sumber air sistem jaringan sungai bawah tanah yang dikelola oleh PDAM adalah jawaban nyata bahwa wilayah Karst Gunungsewu menyimpan potensi air yang berlimpah. Bahkan Menurut Haryono dan Yuwono (2005), air yang mengalir abadi di jaringan sungai bawah tanah mampu mencukupi lebih dari 1.000.000 orang dengan asumsi kebutuhan air per orang 100 liter/hari. Dengan demikian, saya memandang bahwa kelangkaan air di wilayah Gununng kidul bagian Karst Gununungsewu adalah kelangkaan bagi mereka yang tidak punya akses PDAM, tentunya hal tersebut tidak berlaku bagi mereka yang mampu. Perbedaan studi ini dengan hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas adalah terletak pada pengungkapan hubungan geo spasial dengan akses kapital rumah tangga untuk menyingkap tingkat kemampuan mereka dalam mengakses air berbayar. C. Perumusan Masalah Dari pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa, ketersedian air di wilayah ini tidak terbatas, namun tidak setiap rumah tangga mampu mengakses air
yang
disediakan
PDAM.
Ketidakmerataan
akses
air
tersebut
mengidentifikasikan diferensiasi sosial-ekonomi masyarakat Karst Gunungsewu yang selama ini selalu diasosiasikan sebagai masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pertanyaan penelitian ini adalah (1) unsur geo-spasial apa yang mempengaruhi diferensiasi sosial-ekonomi (2) dan bagaimanakah hubungan diferensiasi sosialekonomi masyarakat Gunung Kidul-Karst Gunungsewu terhadap akesesibilitas air PDAM? D. Kerangka Pikir a. Wacana air di Abad 21: Water for Sale. Konferensi Dublin (1992) adalah respon masyarakat internasional terhadap krisis air global. Dari pertemuan yang dipromotori oleh Persatuan
8
Bangsa-Bangsa
tersebut
(PBB),
melahirkan
paradigma
baru
tentang
pemanfaatan air. Air tidak lagi dipandang sebagai “hadiah” pemberian alam ataupun tuhan, ia adalah benda niaga (komoditas). Volume air, pajak, biaya perawatan, dan distribusi merupakan variabel penentu harga (tarif) (Treffner et al, 2010: 280). Pada medio 1990an, melalui Bank Dunia penyelenggaraan air berbayar merambah tanpa ampun di negara-negara dunia ke tiga. Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam adalah negara-negara di regional Asia Tenggara yang menjadi implementasi proyek (Prasad, 1998). Menurut Edellman dan Haugerud (2010: 11), proyek humanitarian di atas ibarat serigala berbulu domba, karena ia merupakan kepanjangan tangan para kapitalisme yang mempunyai misi mencari keuntungan di negara-negara berpenduduk miskin. b. Rezim Air di Indonesia Menurut Mollinga (2008), ketersediaan dan kesinambungan sumber daya air sangat dipengaruhi rezim poltik yang menguasai kedaulatan wilayah tertentu. Dalam konteks negara Indonesia, ancaman ketersediaan air baku mulai mencuat pada akhir masa rezim Orde Baru. Muara permasalahan tersebut dipicu oleh politik pembangunan. Pembalakan hutan, polusi industri, dan lonjakan populasi memperparah keadaan sumber-sumber air (MacAndrews, 1994: 373). Berpijak dari permasalahan di atas Asia Develoment Bank menyuntikkan pinjaman modal senilai US$ 150 Milyar untuk membangun projek hidrolik dan restrukturisasi aspek manajerial yang meliputi; (1) peningkatakan kapabilitas finansial tingkat propinsi dan pemerintah lokal, peningkatan sumber daya manusia serta pengembangan organisasi, (2) peningkatan kapabilitas dalam rencana implementasi proyek, pengelolaan, dan perawatan lingkungan (ADB, 2000: 1).
9
Selain konsekuensi pengembalian pinjaman uang, pemerintah juga berkewajiban mereformasi UU RI 11 Tahun 1974 (Undang-undang yang mengatur tata kelola bangunan hidrolik seperti irigasi dan drainase, UU RI 1974 merupakan piranti pendukung Undang Undang Pokok Agraria 1960 ) dan menggantinya dengan UU RI 7 Tahun 2004 (Al, Avgani, 2006: 3). Di dalam UU RI Tahun 2004 pasal 26 ayat 7 air digolongkan sebagai komoditas. Di samping itu, di dalam UU RI pasal 9 menyuratkan bahwa negara membuka pintu selebarlebarnya terhadap lembaga non pemerintah (perseorangan maupun korporat) untuk menyelenggarakan jasa air kepada publik. Tidak lama setelah Undang-undang di atas disahkan, di perkotaan besar Indonesia berdiri perusahaan-perusahaan penyedian air, baik yang dikelola pemerintah dan pihak swasta asing maupun lokal.3 Dapat saya simpulkan UU RI Tahun 2007 adalah tonggak berdirinya praktek komersialisasi di Indonesia. Sangat Ironis, dengan kedok teknologi tepat guna, komersialisasi air diterapkan di pedesaan karst yang masyarakatnya rentan kemiskinan dan kekeringan (Baiping et al, 2006: 1; Darmaningtiyas, 2002: 420).
Melalui
pemanfaatan Jaringan Sungai Bawah Tanah Seropan, PDAM setempat mendisitribusikan ke wilayah yang terbatas. Keterbatasan tersebut bukan disebabkan oleh permasalahan teknologi maupun minimnya kuantitas air, persoalanya adalah distribusi air tersebut hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang bersedia atau mampu membayar. c. Kelangkaan Air dalam Konteks Gunung Kidul-Karst Gunungsewu Dalam konteks masyarakat pedesaan Gunung Kidul-Karst Gunungsewu ketimpangan akses air merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari lagi. Bagi rumah tangga yang berlangganan PDAM, tentunya konsumsi air tidak menjadi 3
Laporan Public Citizen”Water For All” dan Indonesian Water Dialog mengenai investasi koorporat asing dan lokal dalam peyediaan air bersih untuk publik di Indonesia antara lain; Jakarta (Suez&Thames), Medan (Degremont), Semarang (Degrmont), Banjarmasin (Adhi Karya)
10
persoalan. Di sisi lain, bagi mereka yang tidak terdaftar sebagai pengguna PDAM air adalah barang langka terlebih lagi ketika musim kemarau. Oleh sebab itu, dalam situasi tersebut, tidak heran apabila kita menjumpai orang-orang tua dan muda, baik laki-laki maupun perempuan yang rela mengembara puluhan kilometer, tidak jarang pula mereka melalui medan yang berbahaya seperti perbukitan curam hanya untuk menggayung beberapa liter air dari telaga dan mataair. Adapula sebagian dari mereka yang mengandalkan bantuan dari pihak luar. Antrian manusia di sumber air dan lalu-lalang bala bantuan truk tangki adalah persitiwa yang lumrah ditemui di wilayah ini (Haryono dan Yuwono, 2005: 2). Patut saya asumsikan bahwa tingkat kesanggupan ekonomi rumah tangga
pedesaan
Karst
Gunungsewu
yang
melatarbelakangi
terjadinya
ketimpangan akses PDAM, dan patut pula saya utarakan bahwa problematika air di wilayah ini merupakan kelangkaan air secara ekonomis, seperti yang ditegaskan oleh Mole dan Molingga (2003: 531). Economic scarcity is the impossibility to cater to one of the above water needs or uses because ofthe incapacity to commit human resources (e.g. labor and time needed to procure water from very distant wells) or financial resources (e.g. payment for water) to access water.
Ringkas
kata,
dalam
konteks
masyarakat
agraria
Gunungsewu
ketimpangan akses air mengindikasikan adanya diferensiasi sosial-ekonomi. Konsep
diferensiasi
merupakan
gagasan
Husken
(1998:
57)
dalam
menggambarkan stratifikasi pada kawasan pedesaan di Pulau Jawa yang bermorfologi vulkanis berdasarkan penguasaan tanah dan modal, sehingga mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam pembagian produksi, pendapatan, dan subsitensi. Namun, ekologi karst sangat spesifik dan unik. Keunikan yang paling mendasar dari aspek geomorfik adalah susunan batuan karst menyebabkan tata
11
air dikuasai jaringan sungai bawah tanah (Ford and Williams, 2007: 5). Tentunya, tata cara pemenuhan air pada masyarakat pedesaan Karst untuk bercocok tanam maupun metabolisme sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan lain yang bermukim di bentanglahan vulkanik maupun di pesisir pantai yang mana air permukaan sangat mudah untuk ditemukan. Oleh sebab itu, untuk melihat hubungan
diferensiasi
sosial-ekonomi
tidak cukup dengan meninjau aspek sosial semata-mata. Dalam hal ini, saya menggunakan kerangka geo-spasial yang secara khusus menjelaskan pengaruh interelasi manusia dengan aspek-aspek fisik lingkungan sehingga menciptakan pola kultural-ekonomi di dalam suatu bentanglahan (Bebbington and Carney, 1990: 42). Menurut Haggeet ada dua paradigma dalam menjelaskan interelasi manusia dengan lingkungan. Pertama, permukaan bumi adalah arena yang mana lingkungan memberikan pengaruh kuat terhadap bagaimana manusia dapat hidup dan mengatur dirinya sendiri. Kedua, bagaimana organisasi ruang di dalam suatu relung sumberdaya digunakan untuk membangun sebuah perspektif tentang tata guna lahan di masa lampu, sekarang maupun masa depan (Goudie, 1986: 455). Dengan kata lain, ruang adalah produk dari relasi sosial dan objek alami serta budaya (Tilley, 1994: 17). Secara
spesifik
hubungan
antara
unit-unit
objek
alami
seperti
bentuklahan, tanah, vegetasi dan pengaruh manusia yang secara kolektif direpresentasikan melalui kondisi fisiografis dikenal sebagai suatu bentanglahan (Vink, 1983 via Yuwono, 2007: 5 ). Sebelum melangkah lebih lanjut keterkaitan antara suatu bentanglahan dengan diferensiasi sosial-ekonomi secara spesifik, perlu saya ilustrasikan bentanglahan umum regional wilayah perbukitan selatan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Van Bemelen (via Yuwono, 2006) membagi wilayah tersebut dalam tiga Zona.
12
Zona Baturagung yang terletak di bagian utara. Secara morfologi zona ini merupakan perbukitan terjal yang terdiri dari batuan vulkanik (intrusi dan ekstrusi), sedimen vulkanik klastik, dan karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke selatan, pada zona ini perolehan air bersumber dari hujan dan sungai perennial. Zona Wonosari yang terdapat di bagian tengah, wilayah ini meliputi dataran tinggi di Gunung Kidul, pada mintakat ini mengalir pula sungai permukaan intermitten. Zona Karts Gunungsewu berupa rangkaian perbukitan karst berporos barat – timur terletak di bagian selatan. Zona terakhir inilah yang menjadi fokus penelitian (PTKA, 2002). Dari
hasil
studi
etnografi
Tim
SP4
Jurusan
Arkeologi
UGM
mengemukakan bahwa sistem pertanian di wilayah Gunung Kidul sangat terpengaruh kondisi ekologis masing-masing zona. Petani yang bermukim di Zona Baturagung memenuhi kebutuhan hidupnya melalui sistem tegalan dan sawah irigasi yang diairi sungai musiman, sedangkan petani di Zona Cekungan Wonosari mengembangkan sistem pertanian irigasi dari sungai yang mengalir sepanjang tahun untuk memproduksi padi dan aneka sayuran. Sementara itu, para petani zona Gunungsewu jalan satu-satunya untuk cara berococok tanam adalah melalui sistem tegalan yang sangat bergantung terhadap hujan (PTKA, 2002) (lihat peta 1.1).
13
Peta 1. 1. Zonasi Perbukitan Selatan
Topografi karst Gunung Sewu didominasi bukit-bukit kerucut berpuncak membulat (sinusoida) atau lancip (connical), jaringan lembah kering antar bukit, dan dolin. Bentukan medan karst permukaan tersebut merupakan wadah sumberdaya lahan yang memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi ekonomisubsitensi manusia (Yuwono, 2006: 1). Menurut Hoescele (2000: 299) pada hakikatnya suatu bentanglahan dijumpai variasi bentuk tataguna lahan, hal ini dipengaruhi oleh perbandingan kuantitas tanah dan edaran batuan serta tingkat kemiringan medan. Dalam perspektif agro-ekonomi varibel tersebut menentukan tingkat layak dan tidak layaknya tataguna lahan tersebut untuk digarap. Berdasarkan penjelasan di atas terdapat dua ragam jenis lahan yang digunakan para petani tegalan di kawasan karst. Pertama pada bagian lereng bukit, masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah iring-iring. Iring-iring berarti kondisi permukaan tanah yang mempunyai tingkat kelandaian tinggi. Kedua adalah tanah oro-oro, tanah oro-oro terhampar pada dasar lembah yang relatif rata. Dari segi tingkat kegemburan tanah oro-oro adalah bidang yang paling baik ketimbang tanah iring-iring, karena di mintakat dolin (oro-oro) merupakan tampungan tanah dari akumulasi proses erosi bagian bukit (Urich, 1989: 98) (lihat gambar 1.1).
14
Gambar 1.1. Cuplikan bentuk medan Karts Gunungsewu.
Dilihat dari segi topografi, maka ada tiga kelas bidang tanah yang digarap petani yakni, petani penggarap tanah oro-oro (dolin), petani penggarap tanah iring-iring, petani penggarap tanah oro-oro dan iring-iring. Masing-masing kelas tersebut mempunyai produktifitas yang berbeda. Ringkas kata, keluarga petani yang punya akses besar ke tanah oro-oro mempunyai peluang besar untuk mengintensifikasi atau mendongkrak carrying capacity hasil gabah daripada keluarga petani yang memiliki akses tanah oro-oro yang terbatas. Keuntungan lain yang dapat dipetik dari petani penggarap tanah oro-oro berkaitan dengan masalah efesiensi proses produksi baik dalam segi waktu dan biaya. Bentuk medan tanah oro-oro lebih mudah diakses karena ia terintegrasi jaringan
jalan
sehingga
memudahkan
dalam
proses
produksi
seperti
memobilisasi tenaga kerja maupun pengangkutan bibit serta gabah ke permukiman dan pasar. Dengan demikian, aksesibilitas dapat dikonseptualisasikan sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan sumber ekonomi-subsisten meliputi infrastruktur keras seperti bidang tanah, jaringan jalan, transportasi, dan telekomunikasi maupun infrastruktur lunak seperti ketersediaan finansial, bibit, pupuk, pestisida, perangkat pertanian, ternak, dan jaringan pasar (Verburg et al,
15
2004: 242; Wanmali dan Islam, 1997: 259). Dalam konteks ini, perbandingan produktifitas atau carrying capacity sangat dipengaruhi dari besar-kecilnya aksesibilitas tiap-tiap rumah tangga petani dalam mengintensifikasi lahan pertanian yang mempunyai keragaman karakter keruangan dan tingkat efisiensi produksi yang berbeda (Dayal, 1984: 99; Zimmerer , 2003: 109). Melengkapi penjelasan di atas, menurut
Hart (1995) orientasi petani
miskin (petani yang tingkat akesesibilitas rendah) dalam memproduksi lahan bukan mencari keuntungan melainkan hanya untuk jaminan subsitensi. Di lain pihak, orientasi petani kaya cenderung memaksimalkan carrying capacity dan mendongkrak keuntungan, bahkan berani melakukan ekspansi lahan dengan tujuan mengantongi surplus yang sebesar-besarnya (Gray, 2005: 74; Aldrich, 2006: 271). Implikasinya adalah petani kaya berpeluang membelanjakan uangnya untuk kebutuhan yang tidak bisa mereka produksi sendiri demi mendongkrak kesejahteraan hidup rumah tangga (Gray, 2005: 74) dalam konteks ini adalah mengakses air berbayar secara rutin. Yang tidak kalah penting, ketimpangan distribusi penguasaan ruang sumber daya tersebut mengakibatkan kehidupan petani miskin kian terjepit, mereka harus menjual tenaga sebagai buruh tani kepada petani-petani kaya demi menyambung hidup(Husken, 1998). Menurut
Futtema
dan
Brondizio
(2003)
mengemukakan
bahwa
penyebab diferensiasi sosio-ekonomi antar rumah tangga petani tidak sematamata ditenggarai permasalahan luas lahan (kuantitas). Menurut mereka, variabel biofisik juga ikut berkontribusi dalam terciptanya fenomena tersebut seperti aksesibilitas lahan, kontur lahan, dan jarak terhadap sumber air (kualitas). Rumusan teoritik tesebut merupakan hasil studi interdisipliner geografi dan antropologi Futtema dan Brondizio mengenai dampak reformasi agraria (1960-
16
1980) terhadap perubahan tataguna lahan dan relasinya dengan ekonomi masyarakat tani dataran rendah di Desa Piqua Amazon, Brazil. Jadi, perbandingan aksesibilitas produksi digunakan untuk mengukur performa ekonomi tiap-tiap rumah tangga, formulasi ini digunakan sebagai acuan untuk menyusun diferensiasi sosial-ekonomi dalam menguraikan masalah kelangkaan air yang dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi rumah tangga dalam konteks wilayah Karst di Gunung Kidul.
E. Metode Penelitian a. Pengamatan Terlibat Pengamatan terlibat merupakan metode untuk memperoleh informasi secara langsung dengan melibatkan diri ke dalam komunitas yang diteliti (Atkinson dan Hammersley, 2000: 316). Melalui pengamatan terlibat yang diiringi wawancana mendalam secara situasional antropolog menyelami budaya yang dimiliki informan (Spradley, 1997). Wilayah Karst Kab. Gunung Kidul tidak asing bagi saya. Sejak tahun 2005 hingga 2010 hampir tiap bulan saya melawat ke Gunung Kidul baik dalam rangka mengkikuti kegiatan KAPALASASTRA (Keluarga Pecinta Alam Ilmu Budaya) maupun bekerja sebagai asisten peneliti dosen Jurusan Arkeologi UGM. Dari pengalaman tersebut, kesadaran intelelektual saya tergugah. Bagaimana bisa wilayah yang berkontribusi terhadap evolusi peradaban dan kekayaan mineral Pulau Jawa Khususnya Yogyakarta, namun masyarakatnya hidup dalam ancaman kekeringan dan kemiskinan. Rasa penasaran itulah yang menggelitik saya untuk melakukan riset di wilayah ini. Adalah Dusun Klepu, Desa Karangasem Kecamatan Ponjong yang saya pilih sebagai arena penelitian. Ketersediaan data spasial berupa peta Rupa Bumi (tahun 2001, skala 1: 25.000), Peta persil Keluarahan Karangasem (tahun 1960-
17
an, skala 1: 5.000), dan Citra Google Earth. Di samping itu, berdasarkan informasi awal pada wilayah ini juga terdapat ketimpangan akses air, paling tidak 50 dari 83 kepala keluarga yang belum punya sambungan PDAM. Riset saya dimulai dari bulan April-Juni 2012 dan mondok di Rumah Pak Saronto. Ada dua kendala besar yang saya hadapi di lapangan yakni, pertama masalah bahasa Jawa Kromo yang tidak kunjung saya kuasai, kedua anggapan yang keliru masyarakat setempat bahwa saya adalah mahasisa Kuliah Kerja Nyata yang akan memberikan kontribusi fisik berupa instalasi hidrolik. Kekeliruan tersebut bukan kesalahan yang besar, karena kelangkaan air senantiasa menjadi isu sentral di kalangan masyarakat. Namun,
rutininas
bercengkrama
(observasi
partispasi)
sekaligus
memberikan pengertian atas maksud kedatangan saya sebagai mahasiwa peneliti menjawab permasalahan tersebut. Setiap hari saya terlibat dalam aktivitas anggota masyarakat dalam waktu dan ruang yang berbeda, baik menghadiri undangan hajatan, kerja di dapur bersama para ibu sambil mendegarkan curhatan mereka, membantu para bapak menggarap tegalan, ikut terlibat sambatan, hingga nongkrong bersama para pemuda di bengkel motor. Karena saya bukan orang Jawa, mereka sangat bersemangat dan berhati-hati dalam menerangkan seluk beluk kebudayaan Jawanya. Lambat laun saya semakin akrab dengan mereka. Dari situlah, sedikitdemi sedikit data wawancara saya peroleh, mulai dari permasalahan ekonomi seperti anggaran belanja air dan sembako, cerita zaman susah dan zaman kemelimpahan air, serta riak-riak konflik antar warga. Kemudian data tersebut dipindahkan di dalam catatan maupun kuisioner, dan selanjutnya saya kawinkan dengan data spasial.
18
b. Sistem Informasi Geografi. Sistem informasi Geografis (SIG) adalah perangkat geo-komputasi yang pada mulanya digunakan para praktisi geografi untuk menganalisis fenomena keruangan (Zimmerer, 1994: 575). SIG mempunyai kemampuan dalam penyimpanan data, pemrosesan, manipulasi, integrasi dan memvisualisasikan data yang mengandung acuan referensi geografis (Yuwono, 2007: 81). Dewasa ini, banyak vendor yang menawarkan paket
SIG (e.g
ARC/INFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS, MapInfo) (Puntodewo et al, 2003: 3). Salah satu yang paling diminati adalah ArcView yang diliris ESRI (Gregory dan Paul, 2007: 13). Apapun variannya, secara fundamental SIG mempunyai kelihaian dalam menyusun basis data, memberikan atribut dan memroses objek-obek spasial dalam dimensi diakronis maupun sinkronis serta memproduksi peta secara akurat (Gregory dan Paul, 2007: 17). Keunggulan SIG menyedot kalangan lain di luar disipilin ilmu geografi untuk mengadopsi metode SIG untuk kepentingan masing-masing. Ilmu
kehutanan
menggunakan
SIG
untuk
membantu
mengambil
keputusan dalam konservasi kawasan hutan lindung. Para peniliti pertanian juga tidak ketinggalan mengaplikasikan SIG untuk mengestimasi produksi gabah dalam lahan pertanian. Saudara antropologi yakni arkeologi, SIG digunakan untuk merekonstruksi lingkungan purba sehingga diketahui pula pola adaptasi kultural manusia pada masa lampau. Menurut saya, SIG sangat memungkinkan untuk diproyeksikan dalam penelitian antropologis. Pada dasarnya studi antropologi sering bersentuhan dengan masalah keruangan, apalagi riset yang bertemakan pemanfaatan sumber daya. Dalam riset ini, saya menggunakan SIG platform Arc info untuk menemukan pola diferensiasi ekonomi rumah tangga petani, hal ini saya capai
19
dengan cara mengukur aksesibilitas ruang-ruang sumber daya dan menimbang carrying capacity produksi tegalan. Jadi, varibel yang dipakai adalah luas lahan tegalan, jenis lahan, dan bobot hasil produksi serta nilai gabah. Berdasarkan perhitungan tersebut, akan diperoleh penjelasan kondisi sosial-ekonomi rumah tangga seperti apakah yang tidak mampu untuk mengakses air berbayar. Untuk prosedur pengerjaan saya mengadaptasi standart Puspics yang dikenal sebagai IMAP-model (Yuwono, 2007 ) (lihat tabel 1). Untuk proses pengerjaan saya rinci pada tabel 1.2
Tahapan
Kegiatan
Input
antara lain digitasi, scanning, transformasi data, konversi data, dan koneksi dengan perangkat lain (input device). antara lain pengelolaan basisdata, struktur data, kamus data,metadata, standardisasi data, dan kontrol kualitas.Basisdata yang dimaksud berupa kumpulan data grafis dan atribut (tabel) yang saling terkait menjadi satu kesatuan, yang dapat ditambah, diperbaiki, dan dipanggil kembali secara tepat untuk berbagai keperluan
Manajemen
Analisis/Proses Presentasi/Output
antara lain overlay, spatial joint, buffer, editing, kalkulasi dan integrasi data, serta klasifikasi. meliputi map composition, print control quality, dan interactive maps, yang dapat menampilan peta-peta tematik (sintetik), tabulasi, dan sistem informasi spasial.
Tabel. 1. 2 Pengumpulan referensi peta
1 Jenis Peta a.
Fungsi Melihat distribusi tataguna lahan dan utilitas
b
Peta RBI Digital Lembar Bakosurtanal 1408-311,1408312, 1407-633, 1407-634 Citra Satelit google
c
Peta persil keluaran Badan Pertahan Nasional
Mengetahui kepemelikan bidang tanah tegalan
2 a 3
Melihat perubahan pemanfaatan lahan
Registrasi peta Meregistrasi Badan Pertahan Nasional
Agar bisa digitasi dan dioverlay dengan peta RBI, Persil dan Citra Google earth Penyusunan Basis Data
20