BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah kebutuhan primer, setiap manusia selalu berusaha untuk memilikinya. Setelah itu akan mempertahankannya apapun yang terjadi. Tanah dapat dimiliki siapa saja, individu, masyarakat sebagai kelompok, atau badan hukum. Tanah merupakan salah satu unsur esensial dalam hidup dan kehidupan manusia.1 Hal tersebut karena fungsi dan peran tanah mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, politik maupun budaya.Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Kesewenang-wenangan dapat terjadi selama proses penguasaan dan penggunaan hak atas tanah, termasuk hak memperoleh manfaat, hasil guna atau kegunaan atas tanah yang sudah ada sejak dulu, turun temurun, selanjutnya mempunyai hak mengalihkan tanah tersebut pada pihak lain dengan leluasa tanpa hambatan.2 Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut hukum tanah.3 Di dalam Hukum Adat, tanah mempunyai arti lebih spesifik karena sifatnya yang magis religius. Hal ini diyakini oleh masyarakat adat karena di situlah tempat tinggal leluhurnya. Keterkaitan antara masyarakat atau kelompok manusia dan tanah sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan, hubungannya bersifat abadi. Secara geologis agronomis, tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas, yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan. Itu sebabnya kemudian dikenal istilah tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, dan tanah perkebunan.4
1
2 3 4
Muladi.H..Hak Asasi Manusia, Hakekat,Konsep dan Implementasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT.Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.242 Mohammad Hatta,dalam Djamanat Samosir,Hukum Adat Indonesia,Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013,hlm 100 K.Wantijk Saleh,Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7 Achmad Sodiki,Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional Dalam Rangka Penguatan Agenda Landreform, Konstitusi Press, Jakarta, 1997, hlm. 17
Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti penting karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan sebagai capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan di sisi lain harus dijaga kelestariannya. 5 Joseph R. Nolan dan M. J Connolly mendefinisikan tanah (land) sebagai berikut : … the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is composed, wether soil, rock, or other substance, and includes free or occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards, subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use of airspace granted, by law.6 Terjemahan kalimat di atas, maka tanah adalah material bumi, adapun mungkin bahanbahan yang mana terdiri dari tanah, cuaca, batu atau bahan lainnya, dan termasuk tempat kosong atau yang sudah ditempati untuk jarak yang tidak tentu ke atas maupun ke bawah, subyek pembatasan ditentukan pada penggunaan wilayah udara, dan tepat dalam penggunaan wilayah udara yang diakui, oleh hukum. Hukum dan kebijakan pertanahan pada masa kolonial sebelum berlakunya UUPA, yang ditetapkan oleh penjajah, diorientasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah. Mereka sebagai penguasa sekaligus sebagai pengusaha menciptakan kepentingankepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.7 Orang-orang yang tunduk pada Hukum Barat, perangkat hukumnya tertulis, yaitu diatur dalam KUHPerdata, sedangkan bagi rakyat Indonesia asli berlaku Hukum Agraria Adat, yang perangkat hukumnya tidak tertulis, yang terdapat dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berlaku sebagai hukum. Sedangkan dari segi pendaftaran tanah , untuk tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Barat, dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan
5 6 7
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia,Malang, 2007 hlm 1 Joseph R. Nolan dan M. J Connolly, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co,1979, hlm.789 Urip Santoso, Hukum Agraria kajian Komprehensif, Kencana Prenadamedia, Jakarta, 2012,hlm 21
memberikan jaminan kepastian hukum dan menghasilkan tanda bukti yang berupa sertifikat. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Recht Cadaster atau Legal Cadaster. Tetapi untuk tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat tidak dilakukan pendaftaran tanah, sehingga tidak mempunyai jaminan kepastian hukum. Kalaupun dilakukan pendaftaran tanah, tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah. Pendaftaran ini tidak menghasilkan sertifikat, melainkan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah, misalnya, Petok, Pipil, Girik, Ketitir, Verponding Indonesia. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Fiscaal Cadaster8 Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa : "Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." 9 Pengaturan dan ketentuan kebijakan di bidang pertanahan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar tahun 1945 tersebut, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor: 104) yang kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengakhiri dualisme hukum. Hukum Agraria Kolonial
dinyatakan tidak berlaku, dan serta merta sifat dualistiknya juga hapus,
diganti dengan sistem hukum tanah Nasional yang didasarkan pada falsafah Hukum Adat. Penyebutan hukum adat sebagai dasar hukum pembentukan hukum Agraria Nasional mengandung arti sebagai pengakuan tehadap hukum Adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang sebagian besar menguasai masyarakat hukumnya. 10 Pernyataan mengenai hukum adat dapat ditemukan dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi : “ Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
8 9 10
Ibid hlm 24 Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar Tahun 1945 Djamanat Samosir,Hukum Adat Indonesia,Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia,Nuansa Aulia, Bandung, 2013,hlm 186
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama .11 Pernyataan Pasal 5 UUPA ini menunjukkan fungsi hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional, maka jika sesuatu soal belum lengkap mendapat pengaturan dalam Hukum Tanah yang tertulis, yang berlaku terhadapnya adalah ketentuan Hukum Adat yang bersangkutan.12 Hukum Adat yang berlaku bukanlah hukum adat yang murni. Hukum adat ini perlu disesuaikan dengan asas-asas dalam UUPA. Hukum Adat ini tidak boleh bertentangan dengan : 1. Kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa 2. Sosialisme Indonesia 3. Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA 4. Peraturan-peraturan perundangan lainnya 5. Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.13 Diadakannya persyaratan bagi berlakunya norma-norma Hukum Adat sebagai pelengkap Hukum Tanah yang tertulis tersebut adalah karena dalam perkembangannya Hukum Adat tidak terbebas dari pengaruh-pengaruh luar, yaitu pemikiran-pemikiran masyrakat barat yang individualistik-liberal dan pengaruh masyarakat feodal, yang tidak sesuai dengan asas-asas tata susunan dan semangat masyarakat Pancasila yang sedang dibangun, maka norma-norma Hukum Adat yang akan digunakan sebagai pelengkap tersebut harus dibersihkan dari unsurunsurnya yang “asing”, harus di “ saneer “ terlebih dahulu sehingga menjadi murni kembali.14 Kepastian hukum dalam bidang pertanahan harus diwujudkan. Perlu diciptakan suatu kepastian hukum bagi setiap pemegang hak atas tanah maupun bagi masyarakat umum, melalui suatu proses pencatatan secara sistematis atas setiap bidang tanah baik mengenai data fisik maupun data yuridis dan kegiatan semacam ini dikenal dengan sebutan pendaftaran tanah. Dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA dijelaskan sebagai berikut:
11 12
13 14
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008,hlm. 212 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 16 Ibid,hlm 213
“ Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. “15 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, sebagaimana disebut oleh Pasal 1 angka 1adalah sebagai berikut : “ Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”16 Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tujuan pendaftaran tanah adalah : 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat dalam memiliki, menguasai, dan memanfaatkan tanah, karena itu bagi penguasaan tanah yang telah didaftarkan akan diterbitkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas hukum, yaitu : 1. Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
15 16
Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
2. Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
17
Instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah ini, tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan pendaftaran ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta -akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pejabat Pembuat Akta Tanah ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pendaftaran tanah, di mana kewenangan dari PPAT adalah membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang nantinya akan dijadikan dasar dalam proses pendaftaran tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengenai hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 16 di mana dikenal adanya jenis-jenis hak atas tanah. Jenis-jenis hak atas tanah tersebut, antara lain : 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai; Hak Sewa; 5. Hak Membuka Tanah; 6. Hak Memungut Hasil Hutan; 7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan.
17
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.117
Dua (2) bentuk peralihan hak atas tanah dapat dijelaskan menurut Urip Santoso sebagai berikut : 1. Beralih Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Peralihan hak atas tanah ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subjek), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah. 2. Dialihkan/pemindahan hak Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang (subjek) haknya kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukarmenukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, pemberian dengan wasiat, lelang. Dalam peralihan hak di sini, pihak yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak dan berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. 18 Pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain, dapat melalui proses penghibahan tanah yang merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi hibah masih hidup.19 Hibah telah lama dikenal dalam hukum adat. Pengertian hibah menurut hukum adat adalah suatu pemberian sukarela kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan suatu apapun. Hibah dalam pengertian lain adalah pemberian seluruh ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup.20 Masalah hibah ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat adat sampai sekarang, karena mereka menghendaki agar harta tersebut dapat diberikan sesuai dengan kehendak pemilik harta, disamping pemilik harta juga ingin mengetahui kepada siapa hartanya dibagikan sebelum ia meninggal dunia.
18 19 20
Urip Santoso, op.cit, hlm. 301 Adrian Sutedi,op.cit, hlm. 71 Soerojo Wignojodipoero ,Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973,hlm. 204
Pengertian hibah dalam hukum adat adalah pemberian harta peninggalan diwaktu masih hidup pemiliknya dan diperuntukkan buat dasar kehidupan materil anggota-anggota keluarga. Penghibahan itu cirinya ialah penyerahan barangnya berlaku dengan seketika.21 Waktu anak menjadi dewasa dan pergi meninggalkan rumah orang tua, biasanya anak-anak ini dibekali sebidang tanah pertanian, sebidang tanah pekarangan dengan rumahnya, beberapa ekor ternak dan lain sebagainya. Barang-barang itu semuanya sudah merupakan bagiannya dalam harta benda keluarga, yang kelak diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan sesudah matinya kedua orang tuanya.22 Dalam hukum adat juga dikenal dengan istilah hibah wasiat, yang maksudnya adalah orang tua memberikan hartanya dengan cara yang layak menurut anggapnya, ketika ia masih hidup.23 Penghibahan ini dilakukan untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya kemudian hari.Adapun pengertian Hibah menurut Hukum Islam, cukup banyak ditemukan dalam literatur hukum Islam, walaupun pada prinsipnya semuanya sama. Kata hibah ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang artinya memberikan atau menghadirkan, sedangkan hibah adalah kata benda dalam bentuk, yang artinya pemberian.24 Peralihan hak atas tanah karena hibah harus dilaksanakan melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu sesuai pasal 19 UUPA jo Pasal 37 PP no 24 tahun 1997 peralihan hak atas tanah karena hibah harus didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk memperoleh kepastian hukum berupa sertifikat, dengan melampirkan Akta PPAT sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah. Di dalam prakteknya, di Kabupaten Boyolali masih banyak masyarakat yang melakukan penghibahan tanpa melalui prosedur hukum yang telah ditetapkan dan menimbulkan kesulitan terhadap banyak pihak karena kepastian hukum atas perbuatan hibah tersebut belum ada. Hal ini disebabkan karena masih banyak orang yang melakukan penghibahan hanya secara lisan saja tanpa dilakukan pencatatan tentang apa yang dihibahkan, atau dilakukan secara tertulis dengan disaksikan oleh para pemuka masyarakat adat atau kepala desa dan perangkatnya saja, tanpa pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini menimbulkan persoalan-persoalan yaitu :
21 22 23 24
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,1994, hlm.204 Ibid,hlm 210 Soerojo Wignojodipoero, op.cit, hlm.174 Al Munawir, Kamus Bahasa Arab,Pustaka Progressif Surabaya,1997, hlm 385
1. Apakah hibah secara adat yang dibuat oleh para pihak tersebut, sah dan mempunyai kekuatan hukum walaupun dibuat tanpa Akta PPAT ? 2. Apakah hibah secara adat tanpa dibuktikan dengan Akta PPAT tersebut, dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk memperoleh bukti hak yang berupa Sertifikat ? 3. Mengapa untuk memperoleh bukti hak, Kantor Pertanahan menolak suatu hibah adat yang dilakukan secara bawah tangan, tanpa dibuktikan dengan Akta PPAT ? 4. Apakah Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT itu menjadi satu-satunya cara untuk sah-nya pendaftaran peralihan hak ? 5. Bagaimana misalnya jika penghibahan tersebut tidak dibuatkan Akta PPAT tetapi mendapatkan Penetapan Pengadilan tentang adannya proses penghibahan tersebut ? Dengan beberapa pertimbangan tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan ini ke dalam bentuk tesis yang berjudul: “EFEKTIVITAS HIBAH HAK ATAS TANAH BERDASARKAN HUKUM ADAT DALAM PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN BOYOLALI“
B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan hanya mengenai efektivitas hibah berdasarkan hukum adat dalam pendaftaran tanah. Maksud penulis mengadakan pembatasan ini agar tidak terlalu luas jangkauannya sehingga jelas arah tujuannya. Selain itu juga untuk mempermudah dalam pengumpulan data, serta agar tidak memperoleh kesulitan dalam pengolahan data tersebut. Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan masyarakat di Kabupaten Boyolali melakukan penghibahan tanpa melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah ? 2. Apakah hibah berdasarkan hukum adat dapat dijadikan dasar dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apakah yang menyebabkan masyarakat di Kabupaten Boyolali melakukan penghibahan tanpa melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah hibah secara adat dapat dijadikan dasar dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali . D. Manfaat Penelitian Kegunaan utama yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi ilmu hukum, guna memberikan jawaban terhadap masalah-masalah hukum konkret khususnya Hukum Agraria tentang pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena penghibahan secara hukum Adat di Kantor Pertanahan b. Untuk lebih mendalami teori yang diperoleh selama penulis menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Praktis a. Untuk mempraktekkan teori penelitian (hukum) yang penulis dapatkan di bangku kuliah. b. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi para pelaksana serta pihak- pihak yang terkait dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diakibatkan karena penghibahan secara adat di Kabupaten Boyolali. c. Memberikan sumbangan pemikiran dalam mencari penyelesaian atas pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kabupaten Boyolali. Untuk lebih meningkatkan pelayanan di bidang pertanahan dan tercapainya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.