BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dewasa ini kita berada pada abad ke 21, yang dikenal dengan abad
pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Perubahan-perubahan yang terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Depdiknas, 2010). Sebagaimana dinyatakan oleh Salpeter (2001) bahwa di abad 21 ini kemampuan belajar, berpikir kreatif, membuat keputusan, dan memecahkan masalah sangat diperlukan dalam mendapatkan pekerjaan, maka pendidikan sains seyogianya dapat membantu siswa untuk mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir, sehingga siswa mempunyai kemampuan untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar dengan mempelajari sains, siswa dapat bersaing dalam dunia kerja. Dengan perkataan lain
1
pendidikan sains berperanan penting dalam literasi sains setiap warga masyarakat, warga negara dan warga dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai dan yang akan dicapai membutuhkan keterampilan berpikir yang lebih tinggi, tidak cukup dengan keterampilan proses sains yang sudah dikuasai di sekolah dasar dan sekolah menengah. Keterampilan tersebut adalah keterampilan generik (Dahar, 2006). Sains mempunyai potensi yang besar untuk dijadikan wahana guna mengembangkan berbagai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan berbagai keterampilan dasar (Hinduan, 2003). Belajar sains sarat dengan kegiatan berpikir yang dikembangkan melalui sembilan macam keterampilan generik sains (Brotosiswoyo, 2000), yang meliputi: 1) pengamatan langsung, 2) pengamatan tidak langsung, 3) kesadaran akan skala besaran, 4) bahasa simbolik, 5) kerangka logika taat azas, 6) inferensi logika, 7) hukum sebab akibat, 8) pemodelan matematika, dan 9) membangun konsep. Pada pendidikan tinggi, untuk dapat menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan generik ini, pendidikan tinggi harus menyiapkan dan melatih mahasiswanya sehingga dapat mendorong pengembangan keterampilan generik tersebut. Berdasarkan paradigma baru dalam mempelajari sains yang harus berdampak pada kompetensi, bahkan efek iringan dari suatu pembelajaran dirasakan lebih penting pada abad 21 ini, daripada efek pembelajaran langsung. Sebagai konsekuensinya guru perlu menentukan terlebih dahulu keterampilan generik sains yang perlu dimiliki siswa sebagai dampak suatu pembelajaran sains (Liliasari, 2007).
2
Lulusan suatu Perguruan Tinggi selain menguasai materi subjek, juga harus memiliki keterampilan generik. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi seyogianya bertanggung jawab untuk memonitor perkembangan keterampilan generik di dalam kurikulumnya. Skenario yang paling baik adalah staf Fakultas atau Program Studi berkumpul untuk membicarakan mengenai hal ini yaitu mengidentifikasi keterampilan generik yang akan dikembangkan mahasiswa. Misalnya Fakultas Sains menginginkan lulusannya memiliki etika dan memiliki kemampuan dalam metode ilmiah, maka dosen menentukan bagaimana dan dimana keterampilan ini akan digabungkan dalam lintas program (Lublin, 2003). Lebih jauh
Lublin (2003) mengemukakan
bahwa penggabungan
keterampilan generik tidak membutuhkan reorganisasi atau penambahan materi subjek yang telah ada, mungkin beberapa keterampilan generik sudah ada dalam kurikulum, tetapi belum diidentifikasi secara jelas. Sebagai contoh beberapa mata kuliah membutuhkan beberapa tulisan, atau membutuhkan presentasi lisan, atau pembelajaran berbasis masalah yang secara jelas diadopsi oleh beberapa fakultas. Kerja kelompok sering digunakan dalam pembelajaran di kelas yang memiliki keuntungan dalam meningkatkan pembelajaran dan mengikutsertakan mahasiswa dalam pembelajaran. Penelitian dalam pendidikan sains dalam rangka untuk mengembangkan keterampilan generik telah banyak dilakukan. Liliasari et al. (2007) menyatakan bahwa keterampilan generik yang dapat dikembangkan melalui model-model pembelajaran berbasis teknologi informasi pada bidang sains (kimia, fisika, dan
3
biologi), yaitu pengamatan langsung, pengamatan tidak langsung, bahasa simbolik, inferensi logika, pemodelan matematika, dan membangun konsep. Hasil penelitian Hartono (2006) menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan generik yang signifikan melalui pembelajaran Fisika Modern. Kemampuan generik yang meningkat, yaitu kesadaran akan skala besaran (sense of scale), bahasa simbolik, inferensi logika, sebab akibat, dan pemodelan matematika pada kelompok mahasiswa dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi dan sedang. Pada kelompok mahasiswa dengan IPK rendah ada satu kemampuan generik sains yang tidak meningkat secara signifikan yaitu pemodelan matematika. Selanjutnya dinyatakan oleh Hartono (2006) bahwa untuk mempelajari Fisika Modern mahasiswa hendaknya memiliki kemampuan generik sains yang cukup, dan disarankan bahwa pembelajaran Fisika sebaiknya berorientasi pada pengembangan kemampuan generik sains. Hasil penelitian tentang kemampuan generik yang dilakukan oleh Suyanti (2006) menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri kimia anorganik berbasis multimedia komputer mampu mengembangkan kemampuan generik. Kemampuan generik yang dapat dikembangkan adalah konsistensi logis, pemodelan, dan abstraksi, sedangkan melalui kegiatan praktikum mampu menumbuhkan kemampuan generik pengamatan langsung mahasiswa. Dari penelitian tentang kemampuan generik pada pembelajaran Biologi yang dilakukan oleh Rahman (2008) diperoleh hasil bahwa Program Pembelajaran Praktikum Berbasis Kemampuan Generik (P3BKG) pada Fisiologi Tumbuhan dapat meningkatkan kemampuan generik sains calon guru Biologi. Kemampuan
4
generik sains dalam praktikum Fisiologi Tumbuhan bervariasi tergantung pada materinya. Kemampuan generik dalam praktikum Fisiologi Tumbuhan antara lain kemampuan pengamatan, pemodelan, inferensi, sebab akibat, dan bahasa simbolik. Begitu
pentingnya
pendidikan
sains
sebagai
wahana
untuk
mengembangkan kemampuan generik sains, akan tetapi belum diimbangi dengan hasil belajar yang memuaskan. Rendahnya prestasi dalam sains dapat dilihat dari laporan United Nation Development Project (UNDP) yang diumumkan dalam Human Development Index (HDI) bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 110 diantara berbagai negara di dunia. Selanjutnya hasil yang diperoleh dari The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) menunjukkan bahwa kemampuan dalam bidang sains dan matematika siswa SMP, Indonesia menduduki peringkat ke-32 dari 38 negara (Martin et al., 2000). Skor rata-rata sains hasil Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS) tahun 2003, Indonesia berada pada urutan ke-36 dari 45 negara. Sementara itu, hasil penelitian tentang asesmen hasil belajar sains yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui the Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2006 prestasi literasi sains Indonesia untuk anak usia 15 tahun berada pada urutan ke-50 dari 57 negara, sedangkan hasil PISA tahun 2009 Indonesia menduduki urutan ke-57 dari 65 negara (OECD, 2007; OECD, 2010). Faktor kegagalan siswa sekolah menengah dalam belajar sains serta menurunnya minat siswa terhadap sains menurut McDermott (1990) karena
5
gagalnya perguruan tinggi dalam mempersiapkan tenaga guru yang mampu mengajar sains secara efektif. Kualitas pendidikan sains sangat tergantung pada profesionalisme guru sains dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, bukan pada fasilitas pembelajaran semata. Masih rendahnya mutu hasil belajar siswa dalam bidang sains, mengindikasikan bahwa dalam mempersiapkan calon guru sains ke depan harus bisa menjawab tantangan tersebut. Ini merupakan suatu tantangan bagi LPTK yang berperan sebagai lembaga penghasil tenaga kependidikan. Salah satu tantangan LPTK dalam rangka menyiapkan lulusan menghadapi era baru, adalah mencari alternatif pembelajaran yang dapat meningkatkan cara belajar untuk belajar (learning to learn) dengan memperhatikan pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO yaitu learning to live together, learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to think (Depdiknas, 2002). Salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa calon guru Biologi di suatu LPTK adalah Fisiologi Tumbuhan. Mata kuliah Fisiologi Tumbuhan dapat digunakan sebagai wahana dalam rangka mengembangkan kemampuan generik mahasiswa calon guru Biologi. Tujuan perkuliahan Fisiologi Tumbuhan adalah agar mahasiswa memahami proses-proses dan aktivitas hidup yang terjadi pada tumbuhan. Cakupan kajian (materi ajar) dalam mata kuliah Fisiologi Tumbuhan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 1) biofisik, terdiri atas: hubungan tumbuhan dengan air, transpirasi, nutrisi pada tumbuhan, penyerapan hara mineral; 2) biokimia, terdiri atas: enzim, respirasi sel, fotosintesis, metabolisme nitrogen dan lemak; 3) perkembangan, terdiri atas: perkembangan
6
tumbuhan, hormon dan zat pengatur tumbuh, reproduksi dan perkecambahan, fotoperiodisme dan vernalisasi, serta dormansi (Loeblich, 2003; Koning, 2004; Williamson, 2005; Dunford, 2006; Susanti, 2006; Jurusan Pendidikan Biologi UPI, 2007; Smart, 2007; Harley, 2008). Berdasarkan bidang ilmu, terdapat lima bidang ilmu yang berkaitan erat dengan Fisiologi Tumbuhan, yaitu: 1) Fitokimia (biokimia tanaman), 2) Biologi Sel dan Molekuler, 3) Morfologi Tumbuhan, 4) Anatomi Tumbuhan, dan 5) Ekologi Tumbuhan. Salisbury and Ross (1995) menyatakan bahwa seluruh fungsi tumbuhan dapat dipahami dengan prinsip fisika dan kimia. Kemajuan dalam Fisiologi Tumbuhan bergantung kepada kemajuan di bidang ilmu fisika dan kimia. Pada organisme hidup, seperti halnya mesin, struktur sangat erat kaitannya dengan fungsi. Kajian dalam Fisiologi Tumbuhan sangat bergantung pada anatomi tumbuhan, biologi sel, kimia struktur dan kimia fungsi. Berdasarkan cakupan kajian dan bidang ilmu yang terkait dalam kajian Fisiologi Tumbuhan, menyebabkan materi atau kajian dalam Fisiologi Tumbuhan sering dinyatakan sulit oleh guru, calon guru, maupun siswa. Hasil penelitian Hamidah dan Rustaman (2008) yang dilakukan pada guru-guru biologi di Jawa Barat menyatakan bahwa konsep yang paling sulit dikuasai oleh guru SMA pada kelas XII adalah materi tentang katabolisme karbohidrat (49%), anabolisme karbohidrat (44%), keterkaitan katabolisme dan anabolisme (41%), dan keterkaitan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (41%). Demikian juga materi yang sulit diajarkan ke siswa, dan materi yang sulit dikuasai oleh siswa adalah materi tentang metabolisme pada kelas XII.
7
Penelitian yang sama dilakukan pada guru-guru biologi SMA dari berbagai daerah di Indonesia menunjukkan hasil yang sama. Pada kelas XII materi yang paling sulit dikuasai oleh guru adalah enzim, metabolisme karbohidrat, keterkaitan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Demikian juga dalam hal mengajarkan materi kepada siswa dan penguasaan materi oleh siswa, kesulitan yang terjadi terutama pada materi tentang metabolisme pada kelas XII (Hamidah et al., 2009). Prestasi belajar mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Biologi di salah satu LPTK di Sumatera Selatan pada mata kuliah Fisiologi Tumbuhan, lima tahun terakhir juga belum memuaskan (Tabel 1.1). Sebagian besar nilai Fisiologi Tumbuhan mahasiswa biologi menumpuk di C, yang kemudian berangsur-angsur bergeser ke B. Tabel 1.1. Data Prestasi Mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Biologi pada Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan di Salah Satu FKIP di Sumatera Selatan dalam Lima Tahun Terakhir Tahun Ajaran 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009
A 5,40 0,00 9,76 15,15 8,82
Persentase Nilai Akhir B C 18,92 64,86 23,52 64,71 34,15 46,34 30,30 45,45 58,82 23,52
D 10,82 11,76 9,76 9,09 8,82
Hasil survei tentang persepsi guru biologi terhadap konsep-konsep dalam biologi, yaitu konsep-konsep yang sulit di dalam biologi antara lain respirasi seluler, kimia untuk biologi, struktur dan fungsi enzim, serta fotosintesis (Finley et al., 1992). Selanjutnya dikemukakan oleh Simpson and Arnold (1982) bahwa hampir seluruh (99%) siswa usia 12-13 tahun kurang memahami peranan klorofil
8
dalam fotosintesis dan sebagian besar (46%) siswa usia 14-16 tahun kurang memahami perubahan energi cahaya menjadi energi kimia. Konsep yang dianggap paling penting dalam biologi adalah fotosintesis, yang kemudian diikuti dengan respirasi seluler, akan tetapi kedua konsep ini sulit untuk dipahami oleh siswa (Finley et al., 1992). Masih banyak terjadi kebingungan dan miskonsepsi yang berkenaan dengan konsep tentang fotosintesis dan respirasi (Haslam and Treagust, 1987; Eisen and Stavy, 1988; Anderson et al., 1990). Selanjutnya Amir and Tamir (1994) melakukan analisis yang lebih mendalam terhadap miskonsepsi yang terjadi pada konsep fotosintesis dan respirasi. Siswa sering menemukan konsep fotosintesis sulit untuk dipahami. Topik ini abstrak dan kompleks (Barker and Carr, 1989; Driver et al., 1994). Selain metabolisme, tidak ada fenomena fisika yang lebih penting dalam biologi daripada osmosis. Osmosis sangat penting dalam biologi, tetapi konsep ini sulit untuk dikuasai (Ben-sasson and Grover, 2003). Pemahaman tentang osmosis adalah kunci untuk memahami pengambilan air oleh tumbuhan, tekanan turgor dalam tumbuhan, sistem transpor pada tumbuhan. Selain itu, konsep difusi dan osmosis berhubungan erat dengan prinsip fisika dan kimia (Friedler et al., 1987). Selain sulit untuk dipahami oleh siswa, sering terjadi miskonsepsi pada konsep difusi dan osmosis (Friedler et al., 1987; Zuckerman, 1994; Odom, 1995; Sanger et al., 2001). Sangat sedikit (1,8%) siswa SMA dapat memahami konsep difusi dan osmosis, sementara itu sebagian besar (62,5%) siswa mengalami miskonsepsi (Marek, 1986). Selain itu Johnstone and Mahmoud (1980) menambahkan selain konsep osmosis, konsep potensial air juga sulit dipahami oleh siswa.
9
Menurut Michael (2007) ada empat kategori yang membuat mata kuliah fisiologi dinyatakan sulit, yaitu: 1) hakikat disiplin fisiologi itu sendiri, yaitu membutuhkan alasan sebab akibat, membutuhkan ilmu kimia, fisika dan matematika, serta bersifat hapalan; 2) cara mengajar fisiologi, 3) cara mahasiswa belajar fisiologi, dan 4) faktor di luar kelas. Pembelajaran Fisiologi Tumbuhan melibatkan proses fisika dan kimia dan juga matematika. Hal ini menjadi tantangan dalam pembelajaran fisiologi. Konsep dan prinsip dasar kimia dan fisika yang relevan harus lebih difokuskan, juga model aplikasinya untuk memahami fenomena fisiologis, serta memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menggunakan konsep dan prinsip ini. Berdasarkan dua alasan di atas yang menyebabkan Fisiologi Tumbuhan menjadi sulit, adalah cara dosen mengajar dan cara mahasiswa belajar Fisiologi Tumbuhan, kedua hal ini berkaitan erat dengan metode pembelajaran yang digunakan dalam perkuliahan di kelas. Walaupun banyak cara untuk mengajar secara efektif, semuanya membutuhkan tiga hal, yaitu: 1) bahan (materi) yang diajarkan, 2) strategi pembelajaran yang paling baik untuk mengajarkan materi, dan 3) cara siswa belajar (Xiaoyan, 2003). Selanjutnya Sefton (2005) menyatakan bahwa Fisiologi adalah mata kuliah biologi yang disertai praktikum. Untuk mengidentifikasi dan mengembangkan tim kerja dalam praktikum adalah tantangan dalam fisiologi. Suatu praktikum yang baik adalah memberikan kesempatan kepada semua mahasiswa untuk secara aktif memperoleh
keterampilan
khusus
dan
keterampilan
generik,
mencatat,
10
menganalisis, dan melaporkan hasil. Dengan bekerja dalam kelompok, mahasiswa memperoleh pengalaman dalam teknik berkomunikasi. Mengingat pentingnya kemampuan generik sains dan juga karakterisitik mata kuliah Fisiologi Tumbuhan, maka perlu dikembangkan suatu program pembelajaran Fisiologi Tumbuhan yang dapat meningkatkan kemampuan generik sains dan penguasaaan konsep Fisiologi Tumbuhan. Salah satu program pembelajaran yang ditenggarai efektif meningkatkan kemampuan generik adalah pembelajaran berbasis masalah (Woods, 2003). Selain itu, pembelajaran berbasis masalah juga efektif meningkatkan penguasaan konsep (Glosh and Dawka, 2000; Araz and Sungur, 2007; dan Akinoglu and Tandogan, 2007). Pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) diharapkan dapat mendorong siswa/mahasiswa untuk terlibat aktif dalam membangun pengetahuan, sikap, dan prilaku. Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya meningkatkan kualitas belajar siswa. Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang inovatif dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning), dan berpegang pada paradigma pembelajaran konstruktivisme. Siswa berperan aktif dalam mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya.
11
Penerapan pembelajaran aktif berbasis masalah berpengaruh positif terhadap prestasi akademik dan sikap terhadap sains. Aplikasi pembelajaran berbasis masalah juga memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan konseptual dan mengurangi miskonsepsi pada siswa (Akinoglu and Tandogan, 2007). Penggunaan permasalahan ”ill-structured” dalam pembelajaran berbasis masalah meningkatkan proses kognitif pada mahasiswa. Proses kognitif ini meliputi
merumuskan
permasalahan,
mengajukan
pertanyaan,
membuat
perbandingan, menerapkan pengetahuan awal ke dalam situasi baru, dan membuat keputusan (Chin and Chia, 2005). Selanjutnya berdasarkan hasil field study yang dilakukan terhadap mahasiswa biologi yang mengambil mata kuliah Fisiologi Tumbuhan, yaitu bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi kurang menarik, serta tidak melibatkan aktivitas mahasiswa. Perkuliahan akan menarik jika dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan diberikan contoh-contoh konkrit, serta contoh-contoh hasil temuan terbaru yang berkaitan dengan Fisiologi Tumbuhan. Ditambahkan lagi bahwa jika sudah disiapkan transparan lengkap dan mahasiswa diberi hand out, hal ini kurang memberikan tantangan kepada mahasiwa. Hasil penelitian Diana et al. (2004) menyatakan bahwa kegiatan praktikum Fisiologi Tumbuhan melalui metode ilmiah dapat meningkatkan penguasaan konsep dalam Fisiologi Tumbuhan. Peningkatan penguasaan konsep tentang potensial osmotik dan imbibisi dengan gain rata-rata 26,75. Selanjutnya dilaporkan bahwa mahasiswa lebih menyukai metode ilmiah dibandingkan dengan
12
metode konvensional dalam melaksanakan praktikum Fisiologi Tumbuhan. Melalui metode ilmiah mahasiswa lebih memahami cara kerja, membantu menguasai konsep, dan merangsang kreativitas. Hasil penelitian Adesoji (2008) menemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan sikap positif terhadap sains (kimia). Bahkan menurut Nolan (1990) pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap gerak ion melintas membran sel. Selanjutnya hasil penelitian Dogru (2008) menyatakan bahwa pembelajaran sains berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan bekerja ilmiah, meningkatkan sikap terhadap pemecahan masalah dan meningkatkan nilai dalam tes. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dirasa perlu melakukan penelitian tentang pengembangan program perkuliahan Fisiologi Tumbuhan berbasis masalah untuk memberi bekal kepada calon guru biologi agar mereka memahami konsep-konsep dasar Fisiologi Tumbuhan dan juga meningkatkan kemampuan generik sains calon guru biologi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah Program Pembelajaran Fisiologi Tumbuhan Berbasis Masalah dapat Meningkatkan Kemampuan Generik Sains (KGS) dan Penguasaan Konsep Fisiologi Tumbuhan Calon Guru Biologi”. Masalah
13
penelitian tersebut dioperasionalkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana karakteristik program pembelajaran Fisiologi Tumbuhan yang dapat meningkatkan kemampuan generik sains? 2. Kemampuan generik sains apa yang dapat dikembangkan calon guru biologi melalui perkuliahan berbasis masalah pada mata kuliah Fisiologi Tumbuhan? 3. Bagaimanakah pengaruh penerapan pembelajaran berbasis masalah pada mata kuliah Fisiologi Tumbuhan dalam pengembangan kemampuan generik sains bagi mahasiswa calon guru biologi? 4. Bagaimanakah pengaruh penerapan pembelajaran berbasis masalah pada penguasaan konsep-konsep pada mata kuliah Fisiologi Tumbuhan bagi mahasiswa calon guru biologi? 5. Bagaimanakah tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan untuk mengembangkan kemampuan generik sains melalui mata kuliah Fisiologi Tumbuhan? 6. Apa kendala yang dihadapi dalam penerapan pembelajaran berbasis masalah pada mata kuliah Fisiologi Tumbuhan untuk mengembangkan kemampuan generik sains mahasiswa calon guru biologi? 7. Bagaimanakah keunggulan pembelajaran berbasis masalah pada Fisiologi Tumbuhan untuk mengembangkan kemampuan generik sains mahasiswa calon guru biologi?
14
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian adalah menghasilkan struktur program pembelajaran Fisiologi Tumbuhan berbasis masalah yang dapat membekali kemampuan generik sains dan penguasaan konsep Fisiologi Tumbuhan bagi calon guru biologi.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi dosen kelompok bidang tumbuhan, hasil penelitian ini memberikan masukan
mengenai
pembelajaran
Fisiologi
Tumbuhan
untuk
mengembangkan sejumlah kemampuan generik sains bagi calon guru biologi. 2. Bagi Program Studi Pendidikan Biologi, hasil penelitian ini memberikan contoh/model belajar mengajar biologi dalam rangka inovasi model pembelajaran biologi, bahan ajar, silabi materi subjek yang berorientasi kepada kemampuan generik sains. 3. Bagi mahasiswa calon guru Biologi, hasil penelitian ini memberikan bekal dan pengalaman untuk mahasiswa calon guru Biologi tentang kemampuan generik sains. Selanjutnya bekal ini dapat dimanfaatkan pada saat mereka terjun ke lapangan sebagai guru Biologi. 4. Memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa calon guru Biologi mengenai bagaimana menerapkan pembelajaran berbasis masalah. 5. Mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan terkait kemampuan generik sains.
15
E. Definisi Operasional 1. Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang diawali dengan mahasiswa mengkaji dan menyelesaikan masalah yang diberikan. Masalah yang harus diselesaikan adalah masalah kontekstual dan terkait dengan konten atau materi pembelajaran. Masalah yang harus diselesaikan dalam kegiatan pembelajaran dikemas dalam bentuk Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). 2. Kemampuan generik sains adalah kemampuan berpikir yang harus dimiliki oleh peserta didik yang belajar sains (biologi). Kemampuan generik sains yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran (teori) Fisiologi Tumbuhan mencakup: kesadaran akan skala besaran (sense of scale), hubungan sebab akibat, pemodelan matematika, inferensi logika, bahasa simbolik, dan pemodelan fisik. Kemampuan generik sains yang dapat dikembangkan melalui praktikum Fisiologi Tumbuhan mencakup: kesadaran akan skala besaran, hubungan sebab akibat, pemodelan matematika, dan inferensi logika. Kemampuan generik sains ini dijaring dengan menggunakan tes kemampuan generik sains yang berbasis konten. 3. Pembelajaran Fisiologi Tumbuhan adalah pembelajaran terpadu (teori dan praktikum) mata kuliah Fisiologi Tumbuhan bagi mahasiswa calon guru biologi dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran Fisiologi Tumbuhan berbasis masalah ini difokuskan pada enam topik
16
penelitian pada pembelajaran teori, yaitu: Hubungan Tumbuhan dan Air, Transpirasi pada Tumbuhan, Fotosintesis, Respirasi, Pertumbuhan dan Perkembangan, serta Hormon pada Tumbuhan. Pada praktikum Fisiologi Tumbuhan difokuskan pada enam topik penelitian, yaitu: Osmosis pada Tumbuhan, Transpirasi pada Tumbuhan, Fotosintesis, Respirasi, Pertumbuhan Daun, serta Etiolasi dan Fototropisme.
F. Sistematika Penulisan Disertasi ini terdiri atas lima bab. Bab pertama terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penjelasan istilah, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka yang membahas tentang pembelajaran Fisiologi Tumbuhan, pembelajaran berbasis masalah, teori konstruktivisme, kemampuan generik sains, dan studi pendahuluan yang relevan. Bab ketiga berisi metodologi penelitian yang mencakup paradigma penelitian, lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, instrumen penelitian, proses pengumpulan data, serta prosedur dan pengolahan data. Bab keempat memaparkan hasil penelitian dan pembahasan, sedangkan Bab kelima berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi.
17