BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Desa senantiasa menjadi entitas marginal yang kerap tidak terlalu menjadi bahasan yang menarik didalam semesta ketatanegaraan dan perpolitikan. Ketika berbicara
tentang
Kota/Kabupaten.
desentralisasi,yang
menjadi
sorotan
adalah
konteks
Desa merupakan satuan pemerintahan terendah atau terkecil
didalam republik ini, adalah sejatinya memiliki kadar politik tersendiri, memiliki kharakteristik sendiri serta menjadi tempat bergaung nya “the real politics”. Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.Jauh sebelum Negara-bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri mengakar kuat., serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. Desa dewasa ini terus berkembang mengikuti perubahan-perubahan pola pikir ketatanegaraan, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk merubah wajah desa, mengingat desa
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri tidaklah semua seragam entitasnya, sehingga relevansi pembaruan desa, atau dalam hal ini sering disebut reformasi desa haruslah dilakukan secara hati-hati. Pengusulan arah dan format penyelenggaraan pemerintahan desa memang adalah hal yang yang penting, mengingat pertama, tingkat keberagamannya desa di negeri ini sangatlah tinggi.Penyeragaman arah perlu senantiasa diwaspadai.Kedua, desa merupakan wujud bangsa yang paling konkret. Di level desa itulah identitas kolektif masyarakat dibentuk, dan memformat ulang tata pemerintahan pada dasarnya mempertaruhkan kebangsaan, diatas bangunansosial desa itu telah berdiri suatu perangkat kehidupan modern yang lebih sering dikenal sebagai nation state (Negara bangsa). Nasib desa pada gilirannya tidak luput dari intervensi Negara. 1 Undang-Undang tentang Desa kerap kali berganti, Undang-undang No. 22/1999 telah meletakkan kerangka landasan desentralisasi, otonomi daerah dan demokrasi lokal yang jauh lebih maju di era reformasi, setelah Republik Indonesia dibelenggu oleh sistem yang sentralistik-otoritarian selama tiga dekade. Tetapi undang-undang transisional itu telah memicu konflik kekuasaan-kekayaan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan Desa; mengundang multitafsir yang beragam sehingga membuat pemahaman kacau-balau; serta memicu ketidakpuasan dan kritik dari
berbagai
pihak.Karena
itu
semua
pihak
menghendaki
revisi
untuk
penyempurnaan.
1
Purwo Santoso, 2006. Pembaharuan Desa secara Partisipatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Universitas Sumatera Utara
Arah dan substansi revisi telah lama diperdebatkan namun tidak terbangun visi
bersama
untuk
memperkuat
otonomi
daerah,
karena
fragmentasi
kepentingan.Pemerintah mempunyai kehendak kuat untuk merevisi karena UU No. 22/1999 dinilai melenceng jauh dari prinsip NKRI.Pemerintah kabupaten/kota sangat risau dengan intervensi dan kontrol yang berlebihan oleh DPRD.Pihak Desa (kepala Desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karena UU No. 22/1999 tidak memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan keuangan untuk mendukung otonomi Desa.Pihak LSM terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap UU No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata mereka adalah lemahnya jaminan legal partisipasi masyarakat dan lemahnya komitmen pada pembaharuan Desa. Pada tanggal 15 Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal 200 – Pasal 216. Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan di atas adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30 Desember 2005. Keluarnya Undang-Undang no. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72/ 2005 masih menyisakan beberapa persoalan dari sisi substansi dan regulasi.Ada beberapa isu krusial yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu. Salah satu persoalan mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintah, baik ditingkat pusat, daerah maupun desa adalah cara membangun atau menciptakan mekanisme pemerintahan yang dapat mengemban misinya dalam mewujudkan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang sejahtera serta berkeadilan. Sejatinya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya yang mengatur desa menjadi landasan reformasi kebijakan desa, Pertama, roh (esensi dan visi) UU 32/2004 belum kuat mengarah pada pencapaian cita-cita desa yang mandiri (otonom), demokratis dan sejahtera. Sejak lahir UU No. 22/1999 otonomi (kemandirian) desa selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil dikalangan asosiasi desa (sebagai representasi desa), tetapi belum terumuskan visi (roh) bersama apa makna otonomi desa. Apakah yang disebut otonomi desa adalah”otonomi asli” sebagiamana menjadi sebuah prinsip dasar
yang
terkandung
didesentralisasikan
seperti
dalam halnya
UU
No.
otonomi
32/2004,
atau
daerah.Otonomi
otonomi asli
yang
seringkali
dikemukakan banyak pihak namun substansinya masih kabur. Ada banyak persepsi bahwa otonomi desa berdasar otonomi yang asli, yang berarti desa mengurus sendiri sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan tanggung jawab Negara.Tetapi juga ada banyak pandangan bahwa sekarang otonomi asli itu sudah hilang sebab semua urusan pemerintah sudah menjadi milik Negara, tidak ada satupun urusan pemerintah yang luput dari pengaturan Negara. Makna dan nilai demokrasi desa juga menjadi perdebatan oleh banyak kalangan.Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana makna demokrasi substansial dan demokrasi prosedural yang tepat dan relevan dalam konteks lokal desa. UU No. 32 Tahun 2004 mengusung demokrasi substansial yang universal, seperti akuntabilitas, transparansi dan partisipasi, mengingat desa sekarang telah
Universitas Sumatera Utara
menjadi institusi modern yang mengelola barang-barang publik, namun kendalanya adalah penerimaan kondisi lokal atas nilai-nilai universal tersebut, tentunya akan berbenturan dengan kearifan lokal. Dari kesejahteraan
sisi
kesejahteraan,
rakyat.Pemerintah
desain daerah
desentralisasi mempunyai
adalah
tanggung
membangun jawab
besar
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui kewenangan besar dan keuangan yang dimilikinya.Tetapi visi tersebut belum tertuang didalam pengaturan mengenai desa.Bagaimana hak-hak desa untuk mengelola sumber daya alam lokal. Dalam menjalankan pemerintahan desa, desa dipimpin oleh kepala desa, dimana kepala desa disebutkan bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa akan dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas sekretariat desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis. Pemerintahan desa sebagai unit lembaga pemerintah yang paling berdekatan dengan masyarakat, posisi dan kedudukan hukumnya hingga saat ini selalu menjadi perdebatan terutama ditingkat elite politik.Penerapan UU No. 32/2004 selain menimbulkan implikasi pada perubahan tata hubungan desa dengan pemerintah supradesa, juga membawa perubahan dalam relasi kekuasaan antar kekuatan politik di level desa. Perubahan kearah yang itu yang demokratis itu terlihat dari beberapa fenomena, diantaranya; dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi adat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
sehari-hari. Misalnya dengan hadir BPD atau yang disebut nama lain, dimana badan legislatif baru ini berperan sebagai pengayom adat-istiadat, membuat Peraturan Desa bersama dengan Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, semangat partisipasi masyarakat sangat ditonjolkan. Artinya proses politik, pemerintahan dan pembangunan di desa tidak lagi bermuara dari kebijakan pemerintah pusat secara terpusat (top-down), melainkan berasal dari partisipasi masyarakat. Berangkat dari beberapa hal ini, sesungguhnya UU No. 6 Tahun 2014 menjawab persoalan-persoalan substansi didalam pengaturan desa itu sendiri, termasuk hal yang menjadi salah satu fundamen penting adalah kekuasaan kepala desa. Cita-cita dan visi mulia UU No. 6 Tahun 2014 yaitu sebagai “Upaya mewujudkan Desa yang maju, kuat dan demokratis”, tentunya menjadi tolak ukur salah satunya adalah mengenai kewenangan atau kekuasaan kepala desa yang diatur sedemikian rupa, berkesinambungan dengan pengaturan desa yang di reformasi. Secara garis besar, UU No. 6 Tahun 2014 menjawab semua persoalan yang dihadapi dalam tata kelola desa, semua hal pokok mendapat porsi dan garis haluan sendiri yang jelas, tentangKepala Desa Sendiri diatur dari pasal 26 sampai pasal 47. Salah satu yang menjadi poin penting mengenai kepala desa dalam mewujudkan desa yang maju, kuat dan demokratis adalah kepala desa memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan dan asset desa, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes ), serta ayat-ayat lain yang mengisyaratkan betapa besarnya kewenangan dan kekuasaan kepala desa.
Universitas Sumatera Utara
Mengingat beban yang dipikul oleh kepala desa untuk mencapai cita-cita desa, kekuasaan nyaris tak terbatas dari Kepala Desa, serta implikasi dari itu semua adalah Kepala Desa menjadi barang yang seksi untuk diperebutkan, maka dinamika demokrasi di desa akan kian berwarna, maka didasari dari hal itu, peneliti mencoba menyajikan gambaran-gambaran serta analisis mengenai Kekuasaan Kepala Desa tersebut, dengan judul skripsi sebagai berikut: Undang-Undang Desa sebagai Upaya mewujudkan Desa yang Maju, Kuat, dan Demokratis (Studi Deskriptif: UU Desa No. 6 Tahun 2014 Tentang Kekuasaan Kepala Desa). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka perumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana Relevansi Kekuasaan Kepala Desa terhadap Desa yang Mandiri, Maju, Kuat dan Demokratis berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014?” C. Batasan Masalah Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengindentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak masuk kedalam ruang penelitian tersebut. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis, yaitu: Penelitian ini akan menganalisis relevansi kekuasaan kepala desa terhadap desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain: A. Untuk dapat mengetahui deskripsi jelas mengenai Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 tentang Kekuasaan Kepala Desa B. Untuk mengetahui relevansi Kekuasaan Kepala Desa terhadap Desa E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu Penelitian ini dapat menambah wawasan serta pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Politik khususnya masalah yang berkaitan dengan Kekuasan Kepala Desa terkait dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 2. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian menjadi masukan yang berguna bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di daerah-daerah desa untuk memahami peran Kepala Desa atas UU. No 6 Tahun 2014 3. Manfaat bagi institusi Manfaat bagi Kantor-kantor Desa sebagai suatu bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam proses konstelasi pemilihan, serta tugas pokok dan fungsi kepala Desa, serta bagi pengembangan penelitian di Departemen Ilmu Politik FISIP USU F. Kerangka Teori F.1. Desa Desa merupakan salah satu kesatuan terkecil masyarakat dimana masyarakat yang bermata pencaharian sebagian besar adalah petani. Tetapi penulis secara umum
Universitas Sumatera Utara
mendefinisikan Desa sebagai entitas terkecil komunitas bernegara, yang memiliki kearifan lokal dan masih terjalin interaksi yang hangat antar individu serta terikat dengan kebiasaan-kebiasaan atau adat masing-masing. Desa sejak dahulu identik dengan pemilihan Kepala Desa, disinilah praktek demokrasi yang substansial berlangsung, warga desa biasanya akan menyambut hangat pesta pemilihan Kepala Desa. Ini yang menjadi salah satu ciri utama desa, selain dengan mata pencaharian yang relatif sama, kebutuhan yang seragam, serta keterikatan masyarakat terhadap tempat tinggal mereka. Selanjutnya, Pengertian Desa menurut Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaandan Pertanian yaitu desa dalam arti umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimanapun di dunia ini., sebagai suatu komunitas terkecil, yang terdapat didalam likalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhan, dan terutama yang tergantung kepada pertanian, desa-desa cenderung mempunyai karakteristikkarakteristik tertentu yang sama. 2 Sedangkan, didalam buku Otonomi Desa, Prof. Drs. HAW. Widjaja sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda 2
Rahardjo, 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta Gadjahmada University Press
Universitas Sumatera Utara
dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan.Untuk itu, kepala desa dengan bersetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan. 3 Bertolak dari pengertian diatas, desa memiliki prinsip tersendiri, dikarenakan terdapat asal-usul yang menjadi pegangan didesa, selain itu masyarakat desa biasanya memiliki warna yang dekat dengan pemerintahan, dalam hal ini pemerintahan desa, karena lingkupnya kecil maka pembauran antara warga dan pemerintahan atau penyelenggara desa terjadi, maka sepatutnya semua permasalahan desa dihadapi dengan musyawarah dan gotong royong. Ditinjau secara perundang-undangan, pengertian desa didalam UU. No 6 Tahun 2014 yaitu: “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Desa memiliki desa adat atau memiliki penyebutan nama lain, hal ini diatur dalam azas rekognisi desa, namun secara substantif desa itu adalah kesatuan
3
Prof. HAW Widjaja, 2010. Otonomi Desa, Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang memiliki wilayah dan pemerintahan sendiri, mengatur kepentingan sesuai dengan kehendak masyarakat dan menjadi bagian didalam Negara, tidak menjadi persoalan bentuk desanya seperti apa, seperti Nagari, Dusun, Gampong, Pesirah, semuanya kemudian didalam undang-undang disebut Desa. F.2. Pemerintahan Desa Berjalannya institusi suatu lembaga tak terlepas dari pemerintahan yang berada didalamnya, tak terkecuali desa.Desa memiliki pemerintahan sendiri yang berjalan sesuai landasan yang berlaku. Embrio masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia berada di desa, dengan mengandalkan tradisi, adat istiadat institusi masing-masing pemerintahan desa menjelma pemerintahan yang memiliki nilai-nilai tersendiri.Penyelenggaraan
pemerintahan
desa
merupakan
subsistem
dari
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Sebagaimana yang diungkapkan Dwipayana dkk, bahwa pemerintahan desa yang demokratis (partisipatif, akuntabel, transparan dan responsive) bisa semakin kokoh, legitimate, dan mampu bekerja secara efektif bila ditopang dengan kesejajaran, keseimbangan dan kepercayaan antar elemen governance di desa. 4 Pemerintahan Desa, didalam PP. No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan 4
Dwipayana dkk, dikutip dari buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Moch.Solekhan.Hlm 41.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa itu ada dua institusi yang mengendalikan, yaitu Pemerintahan Desa dan BPD. Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, pemerintah desa mempunyai tugas
menyelenggarakan
urusan
pembangunan,
pemerintahan,
dan
kemasyarakatan.Karena itu, kalau dilihat dari segi fungsi, maka pemerintah desa memiliki fungsi; menyelenggarakan urusan rumah tangga desa, melaksanakan pembangunan
dan
pembinaan
kemasyarakatan,
melaksanakan
pembinaan
perekonomian desa, melaksanakan pembinaan partisipasi dan swadaya gotong royong masyarakat, melaksanakan musyawarah penyelesaian perselisihan, dan lain sebagainya. 5 Sementara itu, didalam UU No 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa: “Pemerintahan desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Pasal 1 ayat 2)
5
Solekhan, Moch. 2012. Penyelenggaraan pemerintahan desa. Malang: Setara Press
Universitas Sumatera Utara
“Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa”. (Pasal 1 ayat 3) Dilihat dari uraian UU No. 6 Tahun 2014 diatas jelas tercantum bahwa Pemerintahan Desa dalah Kepala Desa. Segala bentuk urusan pemerintahan, yang berkaitan dengan desa akan menjadi tugas pokok dari Kepala Desa. Tercermin bahwa betapa besarnya kekuasaan yang diemban oleh kepala desa, maka kekuasaan itu haruslah dikondisikan dengan baik dan dikembangkan secara relevan berdasarkan azas-azas pengaturan desa.
F.3. Kepala Desa Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Pasal 26 dan Pasal 27 adalah: 1. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan
Desa,
pembinaan
kemasyarakatan
Desa,
dan
pemberdayaan
masyarakat Desa 2. Dalam melaksanakan tugas sebagaiman dimaksud ayat (1), Kepala Desa berwenang: a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mengangkat dan memberhentikan perangkat desa; c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
Universitas Sumatera Utara
d. menetapkan Peraturan Desa; e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; f. membina kehidupan masyarakat Desa; g. membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa h. membina
dan
meningkatkan
perekonomian
Desa
serta
mengintegrasikan agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa; i. mengembangkan sumber pendapat desa; j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan Negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; k. memanfaatkan teknologi tepat guna l. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif m. mewakili Desa didalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hokum untuk mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan n. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan F.4. Teori Kekuasaan Kekuasaan adalah konsep di dalam ilmu politik yang paling banyak dibahas dan dipermasalahkan.Bahkan ada banyak orang awam menganggap bahwa politik adalah kekuasaan itu sendiri. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena
Universitas Sumatera Utara
Machiavelli, seorang pemikir filsafat politik dari Florenze, Italia, pernah mengatakan bahwa, Politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, yang memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal.dan bahkan kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat (atau serba hadir) dalam proses politik. 6 Dalam ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan konsep kekuasaan (power), misalnya seperti influence (pengaruh), kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela; force, penggunaan tekanan non fisik guna bertindak sesuai dengan kehendak yang memerintah, seperti menimbulkan rasa takut ataupun membatasi pemenuhan kebutuhanj biologis, (makan dan minum) terhadap pihak lain; persuasion (persuasi), yakni kekuasaan yang bersinggungan dengan kemampuan pemberiperintah dalam meyakinkan orang lain dengan argumentasi logis-rasional untuk melakukan sesuatu; manipulation (manipulasi), penggunaan pengaruh, dimana orang yang dipengaruh tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenanrnya sedang mematuhi keinginan pemegang kekuasaan, coercion atau coercive, peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok (biasanya menyertakan tindakan fisik/kekerasan) terhadap pihak lain agar bersikap dan berprilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku
6
yang
bertentangan
dengan
kehendak
yang
dipengaruhi;
Leo Agustino, 2007. Perihal Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu hlm. 70
Universitas Sumatera Utara
authority(kewenangan), atau dalam bahasa Max Weber sebagai otoritas legal-formal, dimana seseorang memiliki kekuasaan oleh karena legalitas yang melekat pada dirinya. 7 Ada pemahaman yang komprehensif yang termasuk dalam sumber kekuasaan yaitu, Sarana Paksaan Fisik, Kekayaan dan Harta Benda (Ekonomi), Jabatan, Keahlian,
Informasi,
Status
Sosial,
Popularitaspribadi,
dan
Massa
yang
terorganisasi. Kerja paksa, senjata, dan aparat yang menggunakan senjata merupakan sejumlah contoh sarana paksaan fisik.Uang, tanah, emas merupakan contoh sumber kekayaan harta benda.Penggunaan kekuasaan adalah dengan maksud dan tujuan, berupa tujuan objektif dan subjektif yang dapat melekat pada hasil penggunaan sumber-sumber kekuasaan maupun kewenangan.Namun setidaknya terdapat tiga hasil yang dapat dilihat dari hasil penggunaan sumber-sumber kekuasaan, mulai dari jumlah individu yang dikendalikan, bidang-bidang kehidupan yang dikendalikan, sampai dengan dimana pengaruh kekuasaan. Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan.Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi
7
ibid
Universitas Sumatera Utara
dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan. Banyak
teori
yang
mencoba
menjelaskan
dari
mana
kekuasaan
berasal.Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan.Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV.Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Sementara
menurut
teori
hukum
alam.Kekuasaan
itu
berasal
dari
rakyat.Pendapat seperti itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat.Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Raja tersebut, dalam teori hukum alam terdapat perbedaan pendapat.Menurut J. J. Rousseau yang mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja.Mekanisme penyerahan tersebut dimulai dari penyerahan masing-masing orang kepada masyarakat sebagai suatu kesatuan, kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja.Penyerahan kekuasaan di sini sifatnya bertingkat.Sedangkan menurut Thomas
Universitas Sumatera Utara
Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian masyarakat.Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja. Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan dengan; suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Definisi Laswell dan Kaplan sejalan dengan definisi yang ditawarkan oleh Charles Andrain dimana ia mengatakan bahwa, kekuasaan sebagai penggunaan sumber daya (asset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain. Sementara itu Ramlan Surbakti misalnya yang mengatakan bahwa kekuasaan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Ketiga definisi ini memaparkan bahwa kekuasaan lebih luas dari kemampuan untuk menggerakkan keinginan diri sendiri, tetapi jauh daripada itu, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh pemberi kekuasaan. 8 F.4.1. Legitimasi
8
ibid
Universitas Sumatera Utara
Legitimasi dibutuhkan untuk diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur lain di dalam suatu sistem politik. Menurut Charles F. Andrain, misalnya, mengatakan bahwa terdapat empat objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Keempat objek legitimasi ini meliputi, struktur-struktur politik; termasuk masyarakat politik dan lembaga-lembaga politik; keyakinan-keyakinan, baik nilainilai kebebasan dan persamaan) maupun norma-norma (hukum, undang-undang); kekuasaan oleh orang-orang tertentu; dan kebijakan-kebijakan.Sementara itu David Easton menyebutkan tiga objek pada sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem tidak hanya berlangsung secara terus meneruis tetapi juga untuk mentransformasikan tuntutan-tuntutan yang berserak menjadi kebijakan-kebijakan publik demi terciptanya kebaikan dan kesejahteraan bersama.Ketiga objek legitimasi itu adalah komunitas politik, rezim, dan pemerintahan. 9 Secara sederhana legitimasi diartikan sebagai pembenaran moral atas wewenang (hak untuk berkuasa) dan dengan demikian menunjukkan bahwa penguasa memiliki hak moral untuk berkuasa. Berdasarkan dukungan dan pengakuan masyarakat terhadap seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa (memerintah), maka legitimasi dapat dikelompokkan menjadi lima tipologi: pertama, klaim legitimasi tradisional. Individu dan warga masyarakat menerima aturan atau keyakinan lama sebagai suatu hal yang benar secara moral dan wajar., karena atelah
9
ibid
Universitas Sumatera Utara
terlembaga sejak lama. Para pemimpin tradisional sering menggunakan pendekatan primordial guna melanggengkan legitimasinya, misalnya pembenaran suatu kebijakan public dengan mengatasnamakan keingingan para leluhur.Kedua, klaim legitimasi ideologis, masyarakat memberikan dukungan terhadap pemimpin pemerintah karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideology.Ideology yang dimaksud tidak hanya doktriner, seperti komunisme, tetapi juga pragmatis seperti liberalism atau gabungan keduanya. Sebagai contoh, penguasa dapat menggunakan ideology komunisme untuk mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari klas buruh dengan cara menjadi penafsir yang lebih tahu daripada buruh itu sendiri dan berusaha untuk melaksanakan perjuangan klas demi kepentingan para buruh. Ini artinya seorang penguasa, demi terlegitimasi dari kelompok tertentu, harus menjadi “wakilideologis” kelompok tersebut agar berlegitimasi. Ketiga, legitimasi personal, adalah pengakuan dan pemberian dukungan oleh masyarakat kepada seseorang atau sekelompok orang (pemimpin) karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa charisma maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang-bidang tertentu.Keempat, klaim atas legitimasi procedural. Legitimasi procedural bertolak belakang dengan legitimasi kharismatik, karena dalam legitimasi procedural masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada seseorang atau sekelompok orang karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, walau bisa sangat mungkin sang pemimpin tidak kompeten,
Universitas Sumatera Utara
kapabel, dan total di bidangnya. Kelima,klaim legitimasi instrumental. Akuan dan dukungan masyarakat kepada seseorang atau sekelompok orang (pemimpin) terjadi karena sang pemimpin menjanjikan atau menjamin kesejahteraan material (instrumental) kepada masyarakat. Pengakuan dan dukungan itu akan semakin kuat manakala sang pemimpin merealisasikan janjinya dalam bentuk konkret. G. Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu hanya mendeskripsikan atau menggambarkan sajian Kekuasaan Kepala Desa di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014,.Hal itu sejalan dengan pendapat Moh. Nazir dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sosial yang mendefinisikan metode deskriptif sebagai berikut: Metode dekstriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran / lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 10 Metode ini menggambarkan atau menjelaskan sesuatu hal kemudian diklasifikasikan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Adapun pengertian lain dari metode penelitian deskriptif menurut Soehartono bahwa penelitian ini bertujuan
10
Moh. Nazir, 1999,, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hlm 63
Universitas Sumatera Utara
untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan dua gejala atau lebih 11. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai Undang-Undang Desa sebagai Upaya mewujudkan Desa yang maju, kuat, dan demokratis (Studi Kasus: UU Desa No 6 Tahun 2014 Tentang Kekuasaan Kepala Desa) G.1. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh penulis dalam penelitian ini berupa data kualitatif, sebagai berikut: Penelitian ini menggunakan data Sekunder 12, yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data yang relevan dengan masalah penelitian, melalui: buku-buku, majalah, surat kabar dan literature-literatur yang berkaitan dengan Undang-Undang Desa dan Kekuasaan Kepala Desa. G.1.2. Teknik Analisa Data Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan member gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisis kualitatif. Data-data yang telah dikumpul, baik data primer maupun sekunder di eksplorasi secara
11
Irawan Soehartono, 2002. Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm 35 Bagong Suyanto dan Sutinah.2006. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 60
12
Universitas Sumatera Utara
mendalam, selanjutnya memperoleh kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti. G.1.3. Sistematika Penulisan Bab I
: Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori penelitian, dan metodologi penelitian
Bab II
: Bab ini akan menguraikan deskripsi kekuasaan Kepala Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Bab III
: Pada Bab III dalam penulisan penelitian ini nantinya akan dianalisis relevansi kekuasaan kepala desa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terhadap Desa
Bab IV
: Pada penulisan penelitian ini adalah Bab penutup yang di dalamnya akan berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari bab-bab sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara