BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam sebuah organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun swasta memerlukan adanya kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan jalannya roda organisasi, karena tanpa adanya faktor kepemimpinan yang berfungsi sebagai penggerak dalam pelaksanaan segala kegiatan, maka pencapaian tujuan organisasi tidak akan berhasil. Dalam menjalankan kepemimpinan tersebut, tentu ada seorang pemimpin yang mengatur/mengelola suatu organisasi agar organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Dalam memimpin organisasi, tentu seorang
pemimpin
akan
menerapkan
gaya
kepemimpinannya
dalam
mempengaruhi bawahannya agar mereka mau bekerja sama melakukan aktivitasaktivitas, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan organisasi. Menurut penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Samsuri, A.Margono, dan Sugandi (2014) yang berjudul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Situasional Dan Disiplin Kerja Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Timur”, yang dianggap relevan oleh penulis terhadap penelitian ini, diketahui bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel Gaya Kepemimpinan Situasional dan Disiplin Kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kerja pegawai pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Timur, dengan kata lain jika nilai dari variabel independen secara bersamasama meningkat atau ditingkatkan, akan mendorong peningkatan prestasi kerja pegawai pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Timur. Dari hasil penelitian
tersebut, tampak bahwa gaya kepemimpinan situasional dan disiplin kerja berkontribusi secara signifikan terhadap prestasi kerja pegawai sehingga dapat mencapai tujuan organisasi. Untuk memastikan proses pencapaian tujuan organisasi tersebut, maka terlebih dahulu perlu dipikirkan, diperhitungkan dan dipertimbangkan, dengan kata lain segala sesuatunya perlu direncanakan dengan baik dan dibutuhkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan organisasi dan dapat memotivasi serta menjaga kualitas hubungan dengan para pegawainya yang salah satunya dapat meningkatkan disiplin kerja pegawainya. Dalam penelitian ini, penulis memilih organisasi yang bergerak di sektor pemerintahan, yaitu Puskesmas Rambung, Binjai. Menurut Kepmenkes RI No.128/SK/II/2004 puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai institusi yang semakin mandiri, puskesmas dituntut agar bisa menjalankan pelayanan kesehatan secara efisien. Untuk menjalankan pelayanan kesehatan tersebut, dibutuhkan pemimpin dan pegawai yang berkualitas agar proses pelaksanaan pelayanan kesehatan tersebut dapat berjalan secara efisien. Disinilah diharapkan peran pemimpin dalam mempengaruhi dan mengarahkan bawahannya kearah pencapaian visi dan misi puskesmas. Dalam mempengaruhi dan mengarahkan bawahan, seorang pemimpin akan menerapkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan situasional dimana gaya
kepemimpinan situasional ini didasarkan pada petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan kepada bawahan, dukungan sosio emosional yang diberikan oleh pimpinan kepada bawahan, dan tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu. Dalam menerapkan gaya kepemimpinan situasional tersebut, salah satu unsur penting bagi kesuksesan pemimpin di dalam mengendalikan, mengarahkan dan membimbing bawahannya adalah mengenai disiplin pegawai. Pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya. Selama proses penelitian, penulis mengamati bahwa tingkat disiplin pegawai di Puskesmas Rambung masih kurang baik. Hal ini terlihat dari kehadiran pegawai yang tidak sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan. Adapun jam kerja pegawai di Puskesmas Rambung, Binjai yaitu Senin – Kamis (pukul 08.00 – 14.15 WIB) dan Jumat – Sabtu (pukul 08.00 – 12.00 WIB). Namun pada kenyataannya, masih ada pegawai yang tidak mematuhi ketentuan jam kerja tersebut, datang ke kantor lewat dari jam masuk yang telah ditetapkan dan pulang dari kantor sebelum waktunya. Selain masalah kehadiran, terdapat juga masalah dalam keterlambatan pegawai dalam memberikan laporan ke Dinas Kesehatan Tingkat II Kota Binjai. Alasan yang dikemukakan pegawai terkait dengan keterlambatan pemberian laporan ke Dinas Kesehatan Tingkat II Kota Binjai karena dari puskesmas pembantu (Puskesmas Tanah Seribu) telat
memberikan laporan ke Puskesmas Rambung sehingga pegawai Puskesmas Rambung juga telat memberikan laporan ke Dinas Kesehatan Tingkat II, Kota Binjai. Seharusnya sebagai aparatur sipil negara yang baik, harus menaati semua peraturan yang telah ditetapkan seperti datang dan pulang kantor sesuai jam yang telah ditetapkan, dan menyelesaikan tugas-tugas atau laporan tepat pada waktunya agar tercapai tujuan organisasi. Permasalahan penerapan disiplin bukanlah hal yang mudah akan tetapi suatu tanggung jawab yang sulit untuk dilaksanakan, karena disiplin berkaitan dengan berbagai segi dan nilai-nilai tingkah laku seseorang yang menyangkut pribadi dan kelompok dalam suatu organisasi tertentu. Pada kenyataannya, disiplin kerja tidak lepas kaitannya dengan bagaimana pimpinan menjalankan perannya sebagai kepala organisasi. Pimpinan dinilai memegang peranan yang penting dan strategis terhadap disiplin kerja pegawai dalam pencapaian tujuan organisasi. Keadaan demikian yang melatarbelakangi penulis dalam melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap Disiplin Pegawai
Pada
Puskesmas
Rambung,
Kelurahan
Rambung
Dalam,
Kecamatan Binjai Selatan”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan situasional terhadap disiplin pegawai di Puskesmas Rambung,
Kelurahan Rambung Dalam, Kecamatan Binjai Selatan”.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan situasional Kepala Puskesmas Rambung, Binjai. 2. Untuk mengetahui bagaimana disiplin pegawai di Puskesmas Rambung, Binjai. 3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan situasional terhadap disiplin pegawai di Puskesmas Rambung, Binjai. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan suatu pengembangan Ilmu Administrasi Negara terutama pada kajian Kepemimpinan dan Manajemen Sumber Daya Manusia. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi upaya pemecahan masalah-masalah mengenai gaya kepemimpinan situasional dan tingkat disiplin pegawai di Puskesmas Rambung, Kelurahan Rambung Dalam, Kecamatan Binjai Selatan. 1.5. Kerangka Teori Untuk memudahkan proses penelitian, diperlukan pedoman dasar berpikir yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomen dengan merinci hubungan-hubungan antar
variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu (Kerlinger, 2006:14). Mengacu pada pendapat diatas, maka dalam hal ini penulis mengemukakan beberapa teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian ini. 1.5.1. Pemimpin dan Kepemimpinan 1.5.1.1. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan Dalam praktek, kepemimpinan sudah ada semenjak manusia hidup berkelompok. Namun demikian sebagai ilmu, kepemimpinan baru mendapat perhatian sejak timbulnya manajemen ilmiah (Scientific Management) yang dipelopori oleh Frederich Winslow Taylor pada awal abad ke-20; dan dikemudian hari berkembang menjadi suatu ilmu kepemimpinan. Menurut Ordway Tead (dalam Kartini Kartono, 2001:49), kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Inu Kencana (2013:1), kepemimpinan adalah kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. Menurut Rivai (2006:2), dalam bukunya yang berjudul “Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi” menyatakan bahwa definisi kepemimpinan secara luas, adalah meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-
aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi. Menurut George R. Terry (dalam Sutarto, 1989:17), “Leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires.” (Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang-orang lain untuk bekerjasama secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai yang diinginkan pemimpin). Menurut Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1988:86), “Leadership is the process of influencing the activities of an individual or a group in efforts toward goal achievement in a given situation.” (Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu). Menurut G. U. Cleeton dan C. W. Mason (dalam Inu Kencana, 2013:2), “Leadership indicates the ability to influence men and secuire results through emotional appeals rather than through the exercise of authority.” (Kepemimpinan menunjukkan kemampuan mempengaruhi orang-orang dan mencapai hasil melalui himbauan emosional dan ini lebih baik dibandingkan dengan melalui penggunaan kekuasaan). Prof.Dr.Veithzal Rivai, M.B.A, dalam bukunya ‘Kiat Memimpin dalam Abad ke-21’ (2004:64) menjelaskan pada dasarnya kepemimpinan mengacu pada suatu proses untuk menggerakkan sekelompok orang menuju ke suatu tujuan yang
telah ditetapkan/disepakati bersama dengan mendorong atau memotivasi mereka untuk bertindak dengan cara yang tidak memaksa. Dengan kemampuannya, seorang pemimpin yang baik mampu menggerakkan orang-orang menuju tujuan jangka panjang dan betul-betul merupakan upaya memenuhi kepentingan mereka yang terbaik. Dengan demikian kepemimpinan dapat dikatakan sebagai peranan dan juga suatu proses untuk mempengaruhi orang lain. Dalam menjalankan kepemimpinan tersebut, ada seorang pemimpin yang mengatur/mengelola suatu organisasi agar organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Menurut Kartini Kartono (2001:74), pemimpin adalah pribadi yang memiliki keterampilan teknis, khususnya dalam satu bidang, hingga ia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan organisasi. Prof.Dr.Veithzal Rivai, M.B.A, dalam bukunya ‘Kiat Memimpin dalam Abad ke-21’ (2004:64) menyatakan bahwa pemimpin adalah anggota dari suatu perkumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat bertindak sesuai dengan kedudukannya. Seorang pemimpin adalah juga seseorang dalam suatu perkumpulan yang diharapkan dapat menggunakan pengaruhnya untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa seorang pemimpin yang jujur ialah seorang yang memimpin dan bukan seorang yang menggunakan kedudukan untuk memimpin. Sedangkan menurut Henry Pratt Fairchild (dalam Kartini Kartono, 2001:33), pemimpin dalam pengertian luas ialah seorang yang memimpin, dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan,
mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi. Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi dan mengarahkan individu maupun kelompok yang tergabung dalam suatu organisasi untuk melakukan segala aktivitas atau kegiatan demi pencapaian tujuan bersama (individu, kelompok, dan organisasi). Sedangkan pemimpin adalah orang yang memegang kendali atas suatu organisasi untuk mempengaruhi bawahan atau pengikutnya agar mau bekerja sama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, pemimpin adalah seseorang yang menjalankan proses kepemimpinan. 1.5.1.2. Karakteristik Kepemimpinan Karakteristik pemimpin merupakan ciri-ciri atau sifat yang dimiliki oleh setiap pemimpin dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya. Rivai (2004:68) menyatakan bahwa pemimpin cenderung untuk memiliki karakteristik umum seperti berikut: 1. Inteligensi. Pemimpin cenderung memiliki inteligensi lebih tinggi daripada pengikutnya. Hal ini tidak harus berarti prestasi akademik. 2. Kematangan sosial. Pemimpin cenderung memiliki kematangan emosional dan memiliki cakupan minat yang luas.
3. Memiliki motivasi dan orientasi pada pencapaian. Pemimpin ingin meraih segala sesuatu, ketika mereka meraih satu tujuan mereka mencari yang lainnya. Biasanya motivasinya tidak tergantung pada desakan-desakan dari luar. 4. Memiliki kepercayaan diri dan keterampilan komunikasi yang baik. Pemimpin memahami kebutuhan untuk bekerja dengan orang lain dan menghargai orang lain secara individual. Mereka cenderung menggunakan keterampilan komunikasinya untuk mempromosikan sebuah perasaan kerja sama yang saling menguntungkan dan saling mendukung. Sedangkan menurut Siagian (1994:75) menyatakan bahwa ciri-ciri ideal seorang pemimpin adalah : 1.
Pengetahuan umum yang luas
2.
Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang
3.
Sifat inkuisitif
4.
Kemampuan analitik
5.
Daya ingat yang kuat
6.
Kapasitas integratif
7.
Keterampilan berkomunikasi secara efektif
8.
Keterampilan mendidik
9.
Rasionalitas
10. Objektivitas 11. Pragmatisme 12. Kemampuan menentukan skala prioritas 13. Kemampuan membedakan yang urgen dan yang penting
14. Rasa tepat waktu 15. Rasa kohesi yang tinggi 16. Naluri relevansi 17. Keteladanan 18. Kesediaan menjadi pendengar yang baik 19. Adaptabilitas 20. Fleksibilitas 21. Ketegasan 22. Keberanian 23. Orientasi masa depan 24. Sikap yang antisipatif 1.5.1.3. Fungsi-fungsi Kepemimpinan Kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian di dalam situasi sosial kelompok/organisasinya. Pemimpin yang membuat keputusan dengan memperhatikan situasi sosial kelompok/organisasinya, akan dirasakan sebagai keputusan bersama yang menjadi tanggung jawab bersama pula dalam melaksanakannya. Dengan demikian akan terbuka peluang bagi pemimpin untuk mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan sejalan dengan situasi sosial yang dikembangkannya. Oleh karena itu berarti
fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial suatu kelompok/organisasi. Fungsi kepemimpinan itu memiliki dua dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orangorang yang dipimpinnya. 2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang
yang
dipimpin
dalam
melaksanakan
tugas-tugas
pokok
kelompok/organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusankeputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin. Menurut Siagian (1994:47), fungsi-fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki adalah: 1. Pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. 2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi. 3. Pimpinan selaku komunikator yang efektif. 4. Mediator yang andal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik. 5. Pimpinan selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral. 1.5.1.4. Gaya Kepemimpinan Ada suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami kesuksesan dari kepemimpinan, yakni dengan memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan
oleh pemimpin tersebut. Jadi yang dimaksudkan disini adalah gayanya. Menurut Miftah Thoha (1998:265), gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya. Sedangkan menurut Rivai (2006:64), gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Berbicara mengenai gaya sesungguhnya berbicara mengenai “modalitas” dalam kepemimpinan. Modalitas berarti mendalami cara-cara yang disenangi dan digunakan oleh seseorang sebagai wahana untuk menjalankan kepemimpinannya. Berikut ini akan diuraikan gaya kepemimpinan situasional menurut Fred E. Fielder dan Hersey-Blanchard. 1.5.1.4.1. Gaya Kepemimpinan Situasional Gaya kepemimpinan situasional adalah suatu pendekatan terhadap kepemimpinan dimana semua kepemimpinan tergantung kepada keadaan atau situasi. Situasi adalah gelanggang yang perlu bagi pemimpin untuk beroperasi. Bagi sebagian besar pemimpin, situasi bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan, tetapi adalah keliru untuk terlalu menyalahkan situasi. Menurut teori ini, seorang pemimpin akan efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang terjadi. Seorang pemimpin yang efektif harus menggunakan gaya
kepemimpinan yang berbeda dalam situasi yang berbeda, jadi tidak tergantung pada satu
pendekatan
untuk
semua situasi.
Dalam
menerapkan
teori
kepemimpinan situasional, pemimpin harus didasarkan pada hasil analisis terhadap situasi yang dihadapi pada suatu saat tertentu dan mengidentifikasikan kondisi anggota atau anak buah yang dipimpinnya. Kondisi bawahan merupakan faktor yang penting pada kepemimpinan situasional karena bawahan selain sebagai individu mereka juga merupakan kelompok yang kenyataannya dapat menentukan kekuatan pribadi yang dipunyai pemimpin. Beberapa model kepemimpinan situasional yaitu sebagai berikut: 1. Gaya Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Leadership Style) Menurut Fred E. Fielder. Teori ini tidak membahas gaya kepemimpinan apa yang paling baik dan gaya kepemimpinan apa yang tidak baik, tetapi teori ini mengemukakan bagaimana tindakan seorang pemimpin dalam situasi tertentu perilaku kepemimpinannya yang efektif. Teori ini juga tidak membahas gaya dan perilaku yang berpola tetapi membahas perilaku yang berdasarkan situasi. Artinya, pemimpin dalam memperagakan kepemimpinannya tidak berpedoman pada salah satu pola perilaku dari waktu ke waktu melainkan didasarkan pada analisis pemimpin setelah ia mempelajari situasi tertentu, lalu melakukan pendekatan yang tepat. Gaya kepemimpinan ini mengemukakan tiga indikator utama yang menentukan suatu situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi pemimpin (Rivai, 2006:71), yaitu:
a. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan. Hubungan antara pemimpin dan bawahan dapat ditunjukkan dengan adanya komunikasi yang efektif antara pemimpin dengan bawahan. b. Struktur tugas dalam arti sampai sejauh mana tugas-tugas yang harus dilaksanakan itu terstruktur atau tidak dan apakah disertai oleh prosedur yang tegas dan jelas atau tidak. c. Kedudukan (posisi) kewenangan pemimpin berdasarkan kewenangan formal yang dimiliki. Artinya, bagaimana seorang pemimpin memberikan pengaruh terhadap bawahan seperti penegakan disiplin, pemberian upah/gaji, promosi, memberikan hukuman dan penghargaan. Ketiga indikator ini dikaitkan dengan pendekatan yang berorientasi pada tugas, hal ini tergantung pada situasi yang ada pada saat tertentu. Kombinasi antara situasi yang dihadapi oleh pemimpin dengan perilaku kepemimpinan yang tepat akan menentukan efektivitas kepemimpinan. Yang dimaksud dengan perilaku yang tepat adalah dalam situasi apa perilaku pemimpin berorientasi pada tugas dan dalam situasi apa perilaku pemimpin berorientasi pada hubungan. Perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan akan efektif dalam situasi yang moderat misalnya pemimpin yang menghadapi situasi ketika derajat indikator situasi hubungan pemimpin dan bawahan rendah, tetapi kedua indikator yang lain derajatnya tinggi. Atau dalam situasi lain yaitu indikator situasi posisi kewenangan pemimpin derajatnya rendah tetapi indikator yang lain derajatnya tinggi.
Kesimpulan dari gaya kepemimpinan kontingensi dari Fielder adalah perilaku kepemimpinan yang efektif tidak berpola pada salah satu gaya tertentu, melainkan dimulai dengan mempelajari situasi tertentu pada suatu saat tertentu. Yang dimaksud dengan situasi tertentu adalah adanya tiga indikator yang dijadikan dasar sebagai perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau hubungan, tetapi tidak berarti bahwa seorang yang perilaku kepemimpinannya berorientasi pada tugas tidak pernah berorientasi pada hubungan. 2. Gaya Kepemimpinan Situasional Menurut Paul Hersey dan Kenneth Blanchard. Gaya kepemimpinan ini berdasarkan pada kemampuan pemimpin dalam mengidentifikasi isyarat-isyarat yang terjadi di lingkungannya, akan tetapi kemampuan mendiagnosis belum cukup untuk berperilaku yang efektif. Pemimpin harus mampu mengadakan adaptasi perilaku kepemimpinan terhadap tuntutan lingkungan di mana ia memperagakan kepemimpinannya. Dengan kata lain seorang pemimpin harus mempunyai fleksibilitas yang bervariasi. Kebutuhan yang berbeda pada bawahan/pengikut menyebabkan bawahan/pengikut tersebut harus diperlakukan berbeda pula, walaupun banyak praktisi yang menganggap tidak praktis kalau dalam setiap kali mengambil keputusan harus terlebih dahulu mempertimbangkan setiap situasi. Adapun indikator dari gaya kepemimpinan situasional Paul Hersey dan Kenneth Blanchard didasarkan pada (dalam Rivai, 2006:73) : 1. Kadar bimbingan dan pengarahan yang diberikan oleh pemimpin (perilaku tugas), yaitu berupa: (1) Bimbingan dan arahan pimpinan terhadap pegawai
dalam melaksanakan tugas-tugas secara terstruktur dan disertai oleh prosedur yang jelas, (2) Pengawasan pimpinan terhadap kinerja pegawai, (3) Pemimpin mengadakan rapat evaluasi terhadap tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh pegawai, (4) Pemimpin menerima saran dan kritik yang membangun dari pegawai terhadap pemecahan suatu masalah. 2. Kadar dukungan sosio emosional yang disediakan oleh pemimpin (perilaku hubungan), yaitu berupa: (1) Sikap pimpinan terhadap pegawai di dalam lingkungan kerja, (2) Sikap pimpinan terhadap pegawai di luar lingkungan kerja, dan (3) Pemimpin mampu menjalin komunikasi yang baik dengan pegawai didalam maupun diluar lingkungan kerja. 3. Tingkat kesiapan atau kematangan yang diperlihatkan oleh anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam mencapai tujuan tertentu, yaitu berupa: (1) Kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsi sesuai bidang masing-masing, (2) Kematangan pegawai dalam mengambil resiko pekerjaan, dan (3) Kreativitas pegawai dalam melaksanakan pekerjaan. Teori ini menekankan hubungan antara pemimpin dengan anggota sehingga tercipta kepemimpinan yang efektif. Selain itu, teori ini juga menjelaskan hubungan antara perilaku kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan anggota kelompok atau pengikutnya. Kematangan (maturity) adalah bukan kematangan secara psikologis melainkan menggambarkan kemauan dan kemampuan (willingness and ability) anggota dalam melaksanakan tugas masing-masing termasuk tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas tersebut juga kemauan dan kemampuan mengarahkan
diri sendiri. Jadi, indikator kematangan yang dimaksud adalah kematangan dalam melaksanakan tugas masing-masing tidak berarti kematangan dalam segala hal. Kematangan individu dalam teori kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard dibedakan dalam 4 kategori kematangan yang masing-masing punya perbedaan tingkat kematangan, yaitu: M1: Tingkat Kematangan Anggota Rendah Ciri-cirinya: adalah anggota tidak mampu dan tidak mau melaksanakan tugas, maksudnya adalah kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas rendah dan anggota tersebut juga tidak mau bertanggung jawab. Penyebabnya: tugas dan jabatan yang dijabat memang jauh di atas kemampuannya, kurang mengerti apa kaitan antara tugas dan tujuan organisasi, mempunyai sesuatu yang diharapkan tetapi tidak sesuai dengan ketersediaan dalam organisasi. M2: Tingkat Kematangan Anggota Rendah ke Sedang atau Moderat Rendah Ciri-cirinya: anggota tidak mampu melaksanakan tetapi mau bertanggung jawab, yaitu: walaupun kemampuan dalam melaksanakan tugasnya rendah tetapi memiliki rasa tanggung jawab sehingga ada upaya untuk berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti tujuan yang ingin dicapai. Penyebabnya: anggota belum berpengalaman atau belum mengikuti pelatihan dan pendidikan tetapi memiliki motivasi yang tinggi, menduduki jabatan baru di mana semangat tinggi tetapi bidangnya baru dan selalu
berupaya mencapai prestasi, punya harapan yang sesuai dengan ketersediaan yang ada dalam organisasi. M3: Tingkat Kematangan Anggota Sedang ke Tinggi atau Moderat Tinggi Ciri-cirinya: anggota mampu melaksanakan tetapi tidak mau, yaitu mereka mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas tetapi karena sesuatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas tersebut tidak dilaksanakan. Penyebabnya: anggota merasa kecewa atau frustasi misalnya baru saja mengalami alih tugas dan tidak puas dengan penempatan yang baru. M4: Tingkat Kematangan Anggota Tinggi Ciri-cirinya: anggota mau dan mampu, yaitu mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas ataupun memecahkan masalah dan punya motivasi tinggi serta besar tanggung jawabnya. Mereka adalah yang berpengalaman dan punya kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas. Mereka mendapat kepuasan atas prestasinya dan yakin akan selalu berhasil. Merujuk pada tingkat kematangan masing-masing kelompok atau anggota kelompok, maka perilaku kepemimpinan harus disesuaikan demi tercapainya efektivitas kepemimpinan berdasarkan analisis pemimpin terhadap tingkat kematangan anggota, digunakan kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin, ada dua hal yang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahan, yakni: perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung. Perilaku mengarahkan, dapat dirumuskan sebagai sejauh mana seorang pemimpin melibatkan dalam komunikasi satu arah. Bentuk
pengarahan dalam komunikasi satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang seharusnya bisa dikerjakan, dimana melakukan hal tersebut, bagaimana melakukannya, dan melakukan pengawasan secara ketat kepada pengikutnya. Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan para pengikut dalam pengambilan keputusan. Kedua norma perilaku tersebut ditempatkan pada dua poros yang terpisah dan berbeda seperti pada Gambar 1.1 dibawah ini sehingga dengan demikian dapat diketahui empat gaya dasar kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan. Gambar 1.1 Pola Sikap Pemimpin
Perilaku Mendukung
Tinggi
Tinggi Dukungan dan Rendah Pengarahan (Partisipasi)
Tinggi Pengarahan dan Tinggi Dukungan (Konsultasi)
Rendah Dukungan dan Rendah Pengarahan (Delegasi)
Tinggi Pengarahan dan Rendah Dukungan (Instruksi)
Rendah
Perilaku Mengarahkan
Tinggi
Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan dirujuk sebagai instruksi karena gaya ini dicirikan dengan komuikasi satu arah. Pemimpin memberikan batasan peranan pengikutnya dan memberitahu mereka tentang apa,
bagaimana, bilamana, dan dimana melaksanakan berbagai tugas. Inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin. Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan dirujuk sebagai konsultasi, karena dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan banyaknya komunikasi dua arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun dukungan ditingkatkan, pengendalian (control) atas pengambilan keputusan tetap pada pemimpin. Perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai Partisipasi, karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya 3 ini, pemimpin dan pengikut saling tukar-menukar ide dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, dan peranan pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar berada pada pihak pengikut. Hal ini sudah sewajarnya karena pengikut memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas. Perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai delegasi, karena pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang
kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan pertunjukan mereka sendiri karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri. 1.5.2. Disiplin Pegawai 1.5.2.1. Pengertian Disiplin Pada dasarnya, disiplin adalah suatu sikap atau perilaku untuk bertindak sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi. Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain, pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya (Sondang, 2001:305). Sedangkan menurut Hasibuan (2000:190), disiplin adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan individu dan organisasi. Oleh karena itu, setiap pemimpin selalu berusaha agar para bawahannya
mempunyai disiplin yang baik. Seorang pemimpin dikatakan efektif dalam kepemimpinannya, jika para bawahannya berdisiplin baik. 1.5.2.2. Jenis-Jenis Disiplin Kerja Pegawai Menurut Sondang (2001:305-306), mengemukakan bahwa terdapat dua jenis disiplin kerja pegawai dalam organisasi, yaitu yang bersifat preventif dan yang bersifat korektif. Pendisiplinan yang bersifat preventif adalah tindakan yang mendorong para karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Keberhasilan penerapan pendisiplinan preventif terletak pada disiplin pribadi para anggota organisasi. Akan tetapi agar disiplin pribadi tersebut semakin kokoh, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, para anggota organisasi perlu didorong agar mempunyai rasa memiliki organisasi, karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang merupakan miliknya. Kedua, para karyawan perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan standar yang harus dipenuhi. Ketiga, para karyawan didorong menentukan sendiri cara-cara pendisiplinan diri dalam kerangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh anggota organisasi. Pendisiplinan yang bersifat korektif Jika ada karyawan yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepadanya dikenakan sanksi disipliner. Berat atau ringannya suatu sanksi tentunya tergantung pada bobot pelanggaran yang telah terjadi.
1.5.2.3. Pendekatan Disiplin Kerja Menurut Mangkunegara (2001:130), ada tiga pendekatan disiplin, yaitu : 1. Pendekatan disiplin modern Pendekatan disiplin modern yaitu menemukan sejumlah keperluan atau kebutuhan baru di luar hukuman. Pendekatan ini berasumsi: 1. Disiplin modern merupakan suatu cara menghindarkan bentuk hukuman secara fisik. 2. Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses hukum yang berlaku. 3. Keputusan-keputusan yang semaunya terhadap kesalahan atau prasangka harus
diperbaiki
dengan
mengadakan
proses
penyuluhan
dengan
mendapatkan fakta-faktanya. 4. Melakukan protes terhadap keputusan yang berat sebelah pihak terhadap kasus disiplin. 2. Pendekatan disiplin dengan tradisi Pendekatan disiplin dengan tradisi yaitu pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman. Pendekatan ini berasumsi: 1. Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan, dan tidak pernah ada peninjauan kembali bila telah diputuskan. 2. Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksanaanya harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaran. 3. Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pelanggar maupun kepada pegawainya.
4. Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras. 5. Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggar kedua kalinya harus diberi hukuman yang lebih berat. 3. Pendekatan disiplin dengan tujuan Pendekatan disiplin ini berasumsi: 1. Disiplin kerja harus dapat diterima dan dipahami oleh semua pegawai. 2. Disiplin bukanlah suatu hukuman, tetpi merupakan pembentukan perilaku. 3. Disiplin ditujukan untuk perubahan perilaku yang lebih baik 4. Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggung jawab terhadap perbuatannya. 1.5.2.4. Indikator Disiplin Pegawai Menurut Hasibuan (2000:191), pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawai suatu organisasi, di antaranya : 1. Tujuan dan kemampuan Tujuan dan kemampuan ini mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan agar karyawan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya. Akan tetapi, jika pekerjaan itu diluar kemampuannya atau jauh di bawah kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan karyawan rendah. Disinilah
letak pentingnya asas the right man in the right place and the right man in the right job. 2. Teladan pimpinan Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan akan ikut baik. Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang berdisiplin), para bawahan pun akan kurang disiplin. Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika dia sendiri kurang disiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa perilakunya akan dicontoh dan diteladani bawahannya. Hal inilah yang mengharuskan pimpinan mempunyai kedisiplinan yang baik agar para bawahan pun mempunyai disiplin yang baik pula. 3. Balas Jasa Balas jasa atau gaji, kesejahteraan ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan, karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan. Jika kecintaan karyawan semakin tinggi terhadap pekerjaan kedisiplinan akan semakin baik. Untuk mewujudkan kedisiplinan karyawan yang baik perusahaan harus memberikan balas jasa yang relatif besar. Kedisiplinan karyawan tidak mungkin baik apabila balas jasa yang mereka terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga.
Jadi, balas jasa berperan penting untuk menciptakan kedisiplinan karyawan. Artinya semakin besar balas jasa semakin baik kedisiplinan karyawan. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil kedisiplinan karyawan menjadi rendah. Karyawan sulit untuk berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi dengan baik. 4. Keadilan Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Keadilan yang dijadikan dasar kebijakan dalam pemberian balas jasa atau hukuman akan tercipta kedisiplinan yang baik. Manajer yang baik dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil terhadap semua karyawan. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula. 5. Waskat (pengawasan melekat) Waskat adalah tindakan nyata paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan harus aktif dan langsung mengatasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya. Hal ini berarti atasan harus selalu ada/hadir di tempat kerja agar dapat mengawasi dan memberikan petunjuk, jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya. 6. Sanksi hukuman Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin
takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan. Berat atau ringan sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan. 7. Ketegasan Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan, pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk memberikan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan perusahaan sebelumnya. Dengan demikian pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan perusahaan. 8. Hubungan kemanusiaan Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi diantara semua karyawannya. Terciptanya human relationship yang serasi akan mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman. Hal ini akan memotivasi kedisiplinan yang baik pada perusahaan. Jadi, kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik. 1.5.3. Pengaruh
Gaya
Kepemimpinan
Situasional
Terhadap
Disiplin
Pegawai. Banyak orang yang mengira bahwa disiplin sebagai sebuah proses yang negatif, yaitu sesuatu yang didasari memaksa karyawan pada tingkah laku yang bermasalah. Sikap seperti ini dapat menimbulkan perasaan ragu-ragu pada semua yang terlibat. Proses disiplin dapat digunakan sebagai sebuah kesempatan untuk
membalik situasi yang bermasalah menjadi sesuatu yang menguntungkan semua pihak. Tujuan disiplin adalah untuk mengubah perilaku dan tidak untuk menghukumnya. Perlu dipahami juga bahwa keberhasilan disiplin terletak tidak semata-mata pada karyawan. Pemimpin bertanggung jawab untuk menawarkan pilihan, melatih dan memberi semangat, sekaligus membuat karyawan menyadari akan konsekuensi yang dipilih karyawan (Veithzal Rivai, 2004:233). Pemimpin tentu saja mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku para karyawannya termasuk disiplin kerja karyawannya. Penerapan gaya kepemimpinan situasional seorang pemimpin, akan mempengaruhi disiplin para karyawannya. Hal ini didasari oleh 3 indikator gaya kepemimpinan situasional yang dapat mempengaruhi disiplin pegawai, yaitu: 1. Kadar bimbingan/arahan pimpinan (perilaku tugas) Bimbingan dan arahan pimpinan terhadap pegawai dalam perencanaan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan laporan hasil pelaksanaan kebijakan harus jelas agar pegawai merasa termotivasi untuk melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh pimpinan sehingga akan meningkatkan disiplin kerja pegawai tersebut. 2. Kadar dukungan sosio emosional (perilaku hubungan) Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara pemimpin dengan pegawai maupun sesama pegawai ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu organisasi. Pemimpin harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi/baik diantara semua pegawai. Kedisiplinan pegawai akan tercipta apabila hubungan kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik.
3. Kematangan anggota Kematangan (kemampuan dan kemauan) bawahan dalam melaksanakan tugas sangat mempengaruhi tingkat kedisiplinan mereka. Artinya, tujuan yang akan dicapai dalam organisasi harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan pegawai. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada pegawai harus sesuai dengan kemampuan mereka agar mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya. Akan tetapi, jika pekerjaan itu diluar kemampuannya atau jauh di bawah kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan pegawai rendah. Disinilah letak pentingnya asas the right man in the right place and the right man in the right job. Jadi, seorang pemimpin dikatakan efektif dalam kepemimpinannya, jika para bawahannya berdisiplin baik. Kedisiplinan adalah kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. 1.6. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara suatu penelitian yang mana kebenarannya perlu untuk diuji dan dibuktikan melalui penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik (Sugiono, 2005:70). Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Hipotesis Nol (H0): Tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan situasional terhadap disiplin pegawai di Puskesmas Rambung. 2. Hipotesis Alternatif (Ha): Ada pengaruh gaya kepemimpinan situasional terhadap disiplin pegawai di Puskesmas Rambung. 1.7. Definisi Konsep Menurut Singarimbun dan Effendi (1995:33) konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, penulis dapat melakukan penyederhanaan dalam pemikiran dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Untuk
dapat
menentukan
batasan
yang
lebih
jelas
dan
juga
untuk
menyederhanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka peneliti menggunakan konsep-konsep antara lain: 1. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku atau pendekatan yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. 2. Gaya
kepemimpinan
situasional adalah suatu pendekatan terhadap
kepemimpinan dimana semua kepemimpinan tergantung kepada keadaan atau situasi. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengidentifikasi isyaratisyarat
yang
terjadi
di
lingkungannya,
mendiagnosisnya,
kemudian
mengadaptasi perilaku kepemimpinannya sesuai kondisi lingkungan tersebut.
3. Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain, pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya. 1.8. Definisi Operasional Menurut Singarimbun dan Effendi (1995:46) defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Gaya Kepemimpinan Situasional (Variabel X) diukur dengan indikator sebagai berikut : 1. Kadar bimbingan dan pengarahan yang diberikan oleh pemimpin (perilaku tugas) : (1) Bimbingan
dan
arahan
pimpinan
terhadap
pegawai
dalam
melaksanakan tugas-tugas secara terstruktur dan disertai oleh prosedur yang jelas. (2) Pengawasan pimpinan terhadap kinerja pegawai. (3) Pemimpin mengadakan rapat evaluasi terhadap tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh pegawai.
(4) Pemimpin menerima saran dan kritik yang membangun dari pegawai terhadap pemecahan suatu masalah. 2. Kadar dukungan sosio emosional yang disediakan oleh pemimpin (perilaku hubungan): (1) Sikap pimpinan terhadap pegawai di dalam lingkungan kerja (2) Sikap pimpinan terhadap pegawai di luar lingkungan kerja (3) Pemimpin mampu menjalin komunikasi yang baik dengan pegawai didalam maupun diluar lingkungan kerja. 3. Tingkat kesiapan atau kematangan yang diperlihatkan oleh anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam mencapai tujuan tertentu: (1) Kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsi sesuai bidang masing-masing. (2) Kematangan pegawai dalam mengambil resiko pekerjaan. (3) Kreativitas pegawai dalam melaksanakan pekerjaan. 2. Tingkat Disiplin Pegawai (Variabel Y) dapat diukur melalui indikator sebagai berikut: 1. Tujuan dan kemampuan Apakah pegawai ditempatkan di tempat yang tepat dan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan pegawai (The right man in the right place and the right man in the right job).
2. Teladan pimpinan Pemimpin memberikan teladan yang baik kepada bawahan seperti datang dan pulang kantor tepat pada waktunya, jujur, adil, serta sesuai dengan perbuatan. 3. Balas Jasa Pemberian balas jasa (gaji, upah/honor dari suatu pekerjaan ekstra) ikut mempengaruhi kedisiplinan pegawai. 4. Keadilan Pemimpin memperlakukan semua bawahan secara merata (tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa), adil dalam pemberian upah tambahan, dan memberikan sanksi pada bawahan yang tidak memenuhi aturan yang telah ditetapkan. 5. Waskat (pengawasan melekat) Pimpinan harus selalu ada/hadir di tempat kerja agar dapat mengawasi dan memberikan petunjuk, jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya. 6. Sanksi hukuman Pimpinan memberi sanksi (teguran) atau hukuman yang logis kepada pegawai setiap melakukan pelanggaran disiplin seperti datang terlambat ke kantor dan pulang dari kantor tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, juga memberi teguran pada pegawai yang jarang masuk kantor.
7. Ketegasan Pemimpin harus tegas kepada bawahan dalam hal ketepatan waktu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai dengan instruksi yang diberikan serta tegas dalam memberi hukuman kepada pegawai yang melanggar peraturan. 8. Hubungan kemanusiaan Hubungan kemanusiaan yang harmonis dalam lingkungan dan suasana kerja yang nyaman dengan pimpinan dan sesama pegawai.