1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk melanjutkan kehidupan yang lebih kompleks. Lebih dari itu bahasa memiliki fungsi sebagai perantara budaya, sosial, nilai, norma, serta ekologis suatu masyarakat (Tulalessy, 2012). Dewasa ini, kajian ilmu bahasa mulai berubah seiring dengan perubahan lingkungan, terlebih lagi isu mengenai lingkungan semakin menarik untuk diperbincangkan. Permasalahan bahasa yang berkaitan dengan lingkungan ini dikaji dalam ilmu ekolinguistik. Secara umum, ekolinguistik didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (Haugen, 1972, dalam Mühlhaüsler, 2001) Ekologi bahasa merupakan bidang linguistik yang membedah makna saling memengaruhi antara bahasa dan lingkungan yang bekerja melalui kognisi, hati, (sikap positif, negatif, tingkat kesetiaan, dan politik) yang terwujud dalam pola interaksi verbal (tuturan dan tulisan) dalam komunikasi antarpenutur. Berdasarkan hal tersebut perlu disadari bahwa bahasa merupakan suatu kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alamnya yang dinyatakan dalam bahasa dan secara khusus dalam leksikon-leksikonnya. Bahasa dan lingkungan merupakan suatu sistem yang hidup dan berkembang saling berdampingan. Dalam ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut, bahasa juga dianggap sebagai suatu sistem yang dapat 1
2
berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan manusia dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu (Mbete, 2008). Dalam ilmu bahasa, perubahan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi. Salah satu hal sederhana yang dapat menunjukkan adanya perubahan adalah tataran leksikal. Perubahan yang terjadi dalam bahasa sangat bergantung pada keadaan lingkungan dan guyub tutur yang ingin mempertahankannya. Sebagai sesuatu yang berkembang, bahasa memerlukan lingkungan untuk hidup yaitu masyarakat, keadaan, jangka waktu, serta ekosistem yang senantiasa memakainya sehingga memungkinkan bahasa tersebut tidak terancam, hidup, terpelihara, dan terwariskan. Hubungan antara bahasa dan lingkungan mencetuskan konsep bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa (Mbete, 2011). Bahasa lingkungan merupakan bahasa yang menggambarkan lingkungan, sedangkan lingkungan bahasa adalah lingkungan atau tempat bahasa itu hidup, seperti manusia, lingkungan alam, dan lingkungan sosial bahasa. Berbicara mengenai daya hidup bahasa, tiada lain adalah mempermasalahkan sikap, perilaku, dan terutama tingkat kecerdasan bahasa dan budaya generasi penerus sesuai dengan ruang dan lahan fungsionalnya dalam kehidupan. Bahasa yang hidup diharapkan bukan hanya bahasa yang berada pada pikiran atau kognisi, melainkan harus terwujud performansi yang komunikatif, produktif, dan kreatif baik lisan maupun tulisan. Kenyataan bahwa keberadaan dan perkembangan bahasa yang sangat bergantung pada lingkungannya terjadi dalam bahasa Bali (BB) yang merupakan salah satu bahasa yang terus mengalami perkembangan. Bahasa ini adalah bahasa yang digunakan oleh guyub tutur di Provinsi Bali sebagai bahasa daerah. Sebagai media komunikasi, bahasa Bali digunakan sesuai dengan variasi fungsinya.
3
Maksudnya adalah dalam fungsinya sebagai alat komuniasi di bidang lingkungan kebambuan yang dibahas dalam penelitian ini. Keberadaan bahasa ini, khususnya yang berhubungan dengan kebambuan, hidup dan berkembang di salah satu daerah di Kabupaten Bangli, yaitu di Desa Penglipuran. Guyub tutur yang kaya akan leksikon yang berhubungan dengan ranah ekologi kebambuan ini tentunya memiliki leksikonleksikon yang dapat memperkaya kehidupan bahasa tersebut beserta ranah pakainya yang menggambarkan adanya integritas budaya yang berbeda dengan guyub tutur lain di sekitarnya. Akan tetapi, sedikit demi sedikit keadaan tersebut telah mengalami perubahan. Pengetahuan mengenai leksikon kebambuan yang menjadi ciri kekayaan ragawi dan seharusnya terjaga dengan baik saat ini telah banyak dilupakan oleh penuturnya seiring dengan masuknya pengaruh budaya maupun bahasa lain. Kekayaan alam yang menjadi ciri guyub tutur ini memberikan kontribusi besar terhadap keberadaan leksikon kebambuan yang sangat kaya, tetapi perkembangan aspek kehidupan menyebabkan adanya perubahan tersendiri. Tanaman bambu di daerah Bangli, khususnya di wilayah Desa Penglipuran hidup di suatu daerah perhutanan yang terbagi menjadi daerah milik pemerintah desa dan milik pribadi masyarakat. Tanaman bambu di daerah ini masih lestari dan keberadaannya masih sangat terjaga, begitu juga dengan spesies-spesies bambu yang berada di daerah tersebut. Walaupun keberadaan tanaman bambu masih terjaga, tetapi bukan berarti keadaan ini sama sekali tidak akan dipengaruhi oleh pihak luar. Rusaknya lingkungan hutan bambu tentunya akan memberikan pengaruh negatif terhadap keberadaan flora dan fauna di sekitarnya secara tidak langsung hal tersebut akan berpengaruh pada kekayaan lingkungan dan hal-hal lain yang berhubungan
4
dengan kebambuan. Menyadari hal tersebut, tanggung jawab untuk mempertahankan kekayaan alam kebambuan pun semakin ditingkatkan karena kekayaan ini merupakan warisan nenek moyang dan guyub tutur Penglipuran masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan bambu. Perkembangan pengetahuan bahasa Bali, khususnya mengenai leksikonleksikon kebambuan telah mengalami penurunan seiring dengan pengaruh lingkungan dan kalangan generasi muda yang telah jarang menggunakannya. Seiring dengan penurunan pengetahuan tersebut, ditemukan pula leksikon kebambuan yang telah jarang didengar. Hal tersebut juga dapat terjadi karena leksikon kebambuan terbatas digunakan hanya pada komunitas tertentu dan jarang digunakan dalam ranah tulismenulis. Istilah kebambuan dalam penelitian ini berkaitan dengan pelbagai bagian dan hal-hal tentang bagian dari tumbuhan tersebut, keanekaragaman hayati, keadaan, lingkungan, ungkapan, dan persepsi (ideologi dan mitos) tanaman bambu di kalangan guyub tutur. Semua itu dapat menggambarkan adanya hubungan antara manusia dan lingkungan alam kebambuan. Berhubungan dengan ruang lingkup kebambuan yang dibahas dalam penelitian ini, asumsi dasar dalam penelitian ini adalah terjadinya gejala penyusutan pengetahuan leksikon kebambuan yang disebabkan oleh perubahan lingkungan fisik dan lingkungan kebahasaan selain oleh kuatnya dominasi bahasa kedua seperti bahasa Indonesia dan bahasa asing. Selain pengetahuan mengenai leksikon, ungkapanungkapan yang digunakan sehari-hari seperti ungkapan metaforis hingga mitos-mitos mengenai kebambuan di daerah ini juga diasumsikan telah mengalami penyusutan. Perihal penyusutan dalam hal ini adalah berkurangnya pengetahuan dan penggunaan
5
ungkapan metaforis serta berkurangnya pengetahuan mengenai mitos kebambuan terutama di kalangan generasi muda. Namun, di luar penyusutan pengetahuan yang diasumsikan, tentunya masih terdapat kebertahanan pengetahuan leksikon, ungkapan metaforis, serta mitos kebambuan karena pada dasarnya masih terdapat banyak tanaman bambu di lingkungan Desa Penglipuran yang masih dimanfaatkan oleh guyub tutur. Melihat fenomena ini, tentunya generasi tua merasa khawatir akan kebertahanan atau keberlanjutan bahasa dan budaya di kalangan generasi muda. Untuk itu, sangat perlu dilakukan upaya penyadaran bagi setiap elemen masyarakat. Dalam hal ini, guyub tutur Penglipuran agar sedini mungkin melestarikan kekayaan alam berupa flora dan fauna yang ikut memberikan kontribusi positif bagi kelangsungan hidup guyub tutur setempat. Penelitian
ini
mengungkap
keberadaan
leksikon-leksikon,
ungkapan
metaforis, dan mitos kebambuan dalam guyub tutur bahasa Bali dan lingkungan sekitarnya. Melalui perspektif ekolinguistik, penelitian ini mengkaji hubungan timbal balik antara bahasa dan ekologi kebambuan. Penelitian ini juga memiliki batasan pada kategori leksikon seperti nomina, verba, dan adjektiva bahasa Bali. Selain data berupa leksikon, pengetahuan mengenai ungkapan metaforis beserta mitos kebambuan diuraikan untuk menjelaskan bahwa lingkungan kebambuan juga berhubungan baik dengan ranah tutur maupun gaya bicara dan sistem kepercayaan guyub tutur. Penelitian ekolinguistik kebambuan guyub tutur bahasa Bali merupakan penelitian yang menarik karena belum terdapat penelitian sebelumnya yang secara
6
khusus membahas objek penelitian ini. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan beberapa penelitian yang disebutkan pada kajin pustaka. Penelitian tersebut adalah penelitian bahasa Bali pada kajian ekolinguistik yang telah dilakukan oleh Rasna (2010) dan Erawati (2013), serta penelitian ekolinguistik lain yang meneliti berbagai ranah, seperti penelitian Adisaputera (2010), Sukhrani (2010), Tulalessy (2012), dan Dafincy Tangkas (2013). Terbatasnya hasil penelitian ekolinguistik dalam guyub tutur bahasa Bali dapat melandasi pernyataan bahwa penelitian ekolinguistik kebambuan masih perlu untuk diteliti sebagai upaya dalam mengembangkan khazanah ekolinguistik yang telah ada. Faktor lain yang juga mendasari pentingnya penelitian ini adalah pembahasan yang berbeda mengenai pengetahuan leksikon dalam bidang ekolinguistik yang dipadukan dengan pembahasan mengenai pengetahuan ungkapan metaforis beserta mitos kebambuan yang juga terdapat pada ranah tutur guyub tuturnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, analisis kuantitatif-kualitatif dalam kajian linguistik makro yaitu ekolinguistik digunakan dalam penelitian ini. Hal itu dilakukan untuk memeroleh fakta sejauh mana tingkat pengetahuan leksikon, ungkapan metaforis, serta mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali di Penglipuran, Bangli.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut.
7
1. Leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan bahasa Bali apa sajakah yang ditemukan di Penglipuran, Bangli? 2. Bagaimanakah tingkat pengetahuan, kebertahanan, dan penyusutan terhadap leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali di Penglipuran, Bangli? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi kebertahanan dan penyusutan tingkat pengetahuan leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali di Penglipuran, Bangli? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sesuatu yang perlu diperjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai, meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menginventarisasikan data
mengenai perangkat leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan bahasa Bali, khususnya yang digunakan oleh guyub tutur Penglipuran sebagai dokumentasi kebahasaan serta pelestarian terhadap budaya dan bahasa Bali. Selain itu, temuan penting yang diupayakan untuk dicapai adalah pengadaan kamus kecil leksikon kebambuan yang diperuntukkan bagi generasi muda agar leksikon yang berhubungan dengan istilah kebambuan, budaya, dan lingkungan sekitar dapat diakrabi kembali dan dilestarikan dengan baik.
8
1.3.2 Tujuan Khusus Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut. 1. Mengetahui leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan bahasa Bali yang ditemukan di Penglipuran, Bangli. 2. Mengetahui tingkat pengetahuan, kebertahanan, dan penyusutan pengetahuan leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali di Penglipuran, Bangli. 3. Menemukan faktor yang melatarbelakangi kebertahanan dan penyusutan pengetahuan leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali di Penglipuran, Bangli. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat. Secara garis besar manfaat tersebut terbagi menjadi dua yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara
teoretis,
penelitian
ini
diharapkan
mampu
mengembangkan
pengetahuan tentang bahasa lokal, khususnya bahasa Bali serta memberikan sumbangan fakta dan informasi untuk memperkaya pengetahuan, khususnya dalam bidang ekolinguistik (linguistik makro). Hal tersebut dikarenakan penelitian ekolinguistik ini dipadukan dengan teori semantik leksikal yang didasarkan pada bahasa dan lingkungannya berupa kekayaan alamiah lokal yang meliputi leksikon
9
bahasa, khususnya leksikon kebambuan. Selain itu, pembahasan ini juga diperkaya dengan pemaparan mengenai ungkapan metaforis dan mitos kebambuan yang tentunya dapat menambah pengetahuan dalam bidang bahasa dan sosial budaya. 1.4.2 Manfaat Praktis Dalam penelitian ini ada beberapa manfaat praktis yang dapat diperoleh yaitu sebagai berikut. 1. Secara praktis, penelitian ini berupaya mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan mendokumentasikan
leksikon-leksikon,
ungkapan
metaforis,
dan
mitos
kebambuan yang berhubungan dengan lingkungan alam dan sosial budayanya. 2. Hasil penelitin ini dapat dimanfaatkan sebagai solusi terhadap pencegahan penyusutan pengetahuan kebahasaan khususnya leksikon dan ungkapan metaforis kebambuan dalam guyub tutur Penglipuran. 3. Hasil penelitian yang berupa fakta mengenai pengetahuan leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali di Penglipuran dapat direkomendasikan sebagai bahan bacaan dan bahan pembelajaran khususnya yang berbasis linkungan sehingga generasi muda dapat lebih memahami dan mencintai lingkungan, budaya, dan bahasanya. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kembali pada guyub tutur Penglipuran, para pengambil kebijakan, dan para pihak yang terkait untuk memanfaatkan dan mengedepankan ciri kelokalan sebagai acuan dalam perencanaan dan pemberdayaan, serta mempertahankan ciri kelokalan sebagai
10
kekayaan alam, budaya, dan ciri kekhususan bagi etnik dan sebagai guyub tutur bahasa Bali. 5. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan makna-makna sosialekologis bahasa Bali, khususnya leksikon yang menggambarkan realitas linkungan alam dan sosial budaya yang nantinya dapat memperkaya bahasa khususnya bahasa Bali. 6. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan baik dalam pembuatan kamus maupun bahan bacaan sebagai media pembelajaran bahasa Bali sehingga pengetahuan bahasa, budaya, dan lingkungan dapat dipertahankan dan dapat dilestarikan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pembahasan mengenai leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan guyub tutur bahasa Bali dalam guyub tutur Penglipuran. Penelitian ini merupakan penelitian ekolinguistik yang berkaitan dengan lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan budaya tentang tanaman bambu dalam guyub tutur Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli, Bali. Leksikon yang dimaksud adalah berupa nomina, verba, dan adjektiva dalam bahasa Bali yang mempresentasikan dan menggambarkan hubungan manusia dengan alamnya. Selain itu, ungkapan metaforis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ungkapan metaforis atau ungkapan perbandingan yang berkaitan dengan hal-hal kebambuan dan digunakan dalam ranah tutur guyub tuturnya serta mitos kebambuan yang ditemukan di Penglipuran terkait dengan kepercayaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan kebambuan. Namun, berdasarkan kenyataan saat ini,
11
pengetahuan guyub tutur, khususnya generasi muda terhadap hal-hal tersebut telah mengalami penyusutan. Hal inilah yang mendasari adanya kajian yang berhubungan dengan pengetahuan, kebertahanan dan penyusutan leksikon, ungkapan metaforis, dan mitos kebambuan yang dibatasi pada hal-hal sebagai berikut. 1. Permasalahan bentuk leksikon kebambuan dalam bahasa Bali yang dikaji adalah yang mempresentasikan lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya. Kategori leksikon yang dimaksud adalah nomina, verba, dan adjektiva yang berhubungan dengan bambu, flora dan fauna yang berada di sekitarnya, alat pengolah dan pemotong bambu, serta hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan bambu bagi guyub tutur setempat. 2. Penjelasan mengenai pengetahuan ungkapan metaforis dan mitos kebambuan yang ditemukan di Penglipuran untuk menjelaskan bahwa lingkungan kebambuan juga berhubungan dengan gaya bicara, ranah tutur, dan sistem kepercayaan guyub tutur. 3. Penemuan
dan
penjelasan
mengenai
faktor-faktor
yang
memengaruhi
kebertahanan dan penyusutan pengetahuan sosial-alami pada guyub tutur Penglipuran difokuskan pada faktor internal dan eksternal yang terjadi pada guyub tutur bersangkutan.