\BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bekerja tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang, dengan bekerja
individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Hutapea (2005) dengan bekerja individu dapat menunjukan produktivitas untuk membuktikan dirinya. Bekerja merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seseorang dapat memperoleh kepuasan tersendiri dengan bekerja, disamping mendatangkan uang dan fasilitas, juga dapat memberikan nilai dan kebanggaan tersendiri. Kondisi sebaliknya akan dialami oleh individu yang tidak bekerja, individu tersebut akan mengalami kesukaran dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Individu yang bekerja, terutama pekerjaan yang bersifat formal seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan mendapatkan penghasilan yang cukup, jaminan di hari tua, tunjangan diluar gaji pokok, minim ancaman untuk terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan strata yang tinggi dalam masyarakat. Menurut perencana keuangan Freddy Pieloor (dalam Hasanah, 2014) PNS akan mendapatkan pekerjaan yang tetap dan berkesinambungan, tetapi PNS akan dibatasi oleh ruang dan waktu, berkaitan dengan kapan individu tersebut diangkat, kewajiban menjalankan tugas kedinasan, dipromosikan maupun berbagai hal sesuai dengan peraturan yang berlaku misalnya, karena kesalahan, dipindahkan, meninggal, mengundurkan diri atau telah mencapai umur maksimum maka
1
2
individu tersebuat akan memasuki periode yang biasa disebut dengan pensiun (Ermayanti & Abdullah, 2007). Pensiun merupakan berakhirnya masa kerja yang formal dan memulai peran baru dalam kehidupan (Turner, 1997).Schwart (dalam Hurlock, 2009) menyatakan pensiun merupakan akhir dari pola hidup. Pensiun dapat diartikan sebagai keadaan individu yang telah berhenti bekerja yang merupakan kebiasaan atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan sehari-hari.Individu yang sudah tidak bekerja lagi disebut dengan pensiunan. Normalnya seseorang akan pensiun bila telah mencapai usia tertentu. Usia pensiun di Amerika Serikat ditetapkan menjadi 70 tahun untuk perusahaan, industri, dan pemerintah federal (Santrock, 2002). Di Indonesia terdapat kebijakan sendiri dalam hal usia pensiun. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 90 menyatakan batas usia pensiun adalah 58 tahun bagi Pejabat Administrasi dan 60 tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi (Kopertis12.or.id,2014). Usia pensiun guru dan PNS diatur dalam PP nomor 65 tahun 2008, disana tertulis usia pensiun untuk PNS umum adalah 56 tahun dan guru adalah 60 tahun(WageIndicator.org, 2014). Tahun
2014
pemerintah
akan
mempensiunkan
80.000
PNS
(cpnsindonesia.com, 2014). Deputi Menpan untuk Sumber Daya Manusia dan Aparatur Negara Tasdik Kinanto (dalam Siregar, 2010) mengatakan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 110 ribu sampai 120 ribu orang PNS yang akan memasuki masa pensiun. Tahun 2015 diprediksi akan terdapat sekitar 4,9 juta pensiunan PNS di seluruh Indonesia (Jobel, 2010).
3
Individu yang memasuki masa pensiun sering dianggap sebagai individu yang tuna karya(tidak dibutuhkan lagi tenaga dan pikirannya). Anggapan semacam ini membuat individu tersebut tidak bisa lagi menikmati masa pensiun dengan hidup santai dan ikhlas. Ketakutan menghadapi masa pensiun membuat banyak individu mengalami masalah serius baik dari segi kejiwaan maupun fisik, terlebih individu yang memiliki ambisi yang besar serta sangat menginginkan posisi yang tinggi dalam pekerjaannya. Memasuki tahapan tanpa kerja itu akan dirasakan sebagai pukulan batin. Muncullah perasaan sedih, takut, cemas, putus asa, bingung, yang semuanya jelas mengganggu fungsi-fungsi kejiwaan dan organiknya (Achmad, 2013). Menurut Turner & Helms (1997), seseorang yang memasuki usia pensiun akan mengalami beberapa penyesuaian seperti psychological adjustments meliputi berkurangnya harga diri, financial adjustment meliputi berkurangnya sumber penghasilan, marital adjustment meliputi ketidakharmonisan pasangan dan kepergian pasangan, berkurangnya kontak sosial, hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image, hilangnya tugas yang berarti dan hilangnya rutinitas. Mercola (2013) dalam laporan terbaru dari Institute of Economic Affairs (IEA) menyatakan bahwa pensiun juga dapat meningkatkan resiko depresi sebesar 40 %. Masalah penyesuaian diri dalam masa pensiun tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami fenomena yang disebut dengan post power syndrome. Menurut Hartati (2002) post power syndrome merupakan sindrom yang akhirakhir ini banyak menimpa individu yang sudah pensiun. Helmi (2000)
4
menambahkan post power syndrome merupakan bentuk dari reaksi negatif yang muncul dalam menghadapi masa pensiun seperti merasa tidak berdaya, minder bahkan muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja, sering pusing atau muncul kecemasan bahkan berbagai penyakit dan tidak jarang pula individu merasa powerless. Menurut Kartono (2002) post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal-hal lain), dan seakan– akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Gejala post power syndrome tersebut dapat terjadi pada semua individu yang telah pensiun. Unit Psikologi Rehab Medik Rumah Sakit Dr. Suyoto (RSDS) (2010) juga menyatakan post power syndrome hampir selalu dialami oleh orang yang sudah lanjut usia (lansia) dan pensiun dari pekerjaannya. Permasalahan ini disebabkan karena ketika pensiun banyak yang berubah pada individu tersebut karena dirinya tidak lagi bekerja seperti kehilangan harga diri atau hilangnya jabatan, menyebabkan hilangnya perasaan atas pengakuan diri, kehilangan fungsi eksekutifnya yang memberikan kebanggaan diri, kehilangan perasaan sebagai individu yang memiliki arti dalam kelompok tertentu, kehilangan orientasi kerja, dan kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu (Pitaloka, 2008). Achmad (2013) menemukan bahwa dari 30 sampel subjek penelitian yang diberi skala post power syndrome, semuanya tergolong mengalami post power syndrome dalam kategori tinggi. Purwanti (2009) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa dari 67 orang responden, sebanyak 41% responden mengalami
5
post power syndrome dalam kategori sangat tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Nofita (2011) menemukan bahwa individu yang terkena post power syndrome akan malu dengan lingkungannya karena kondisi sosial dan ekonominya sehingga cenderung mengalami kecemasan setelah pensiun. Menurut Murwani (2009) post power syndrome terjadi karena tidak adanya persiapan dan tidak adanya penyesuaian terhadap peran saat pensiun. Menurut Achmad (2013) individu yang mengalami post power syndrome dapat dilihat dari gejala-gejalanya yaitu ditandai dengan rasa kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan kerinduan. Harga diri juga menurun, merasa tidak lagi dihormati dan terpisah dari kelompok. Perubahan ini biasanya tidak begitu disadari oleh yang bersangkutan. Semua berujung kepada sikap marah-marah yang tidak menentu. Sudah terbiasa memerintah siapapun kini tak ada lagi yang mau diperintah. Keluarga terdekat, istri, anak, dan bisa jadi malah pembantu yang biasanya menjadi korban dan sasaran marah-marah. Gejala-gejala tersebut menunjukan bahwa individu yang mengalami post power syndrome juga berisiko mengalami depresi. Semiun (2010) menyatakan post power syndrome terjadi bukanlah karena situasi pensiun atau menganggur tersebut, melainkan bagaimana cara individu menghayati dan merasakan keadaan baru tersebut. Individu yang memasuki usia pensiun juga akan memasuki fase lansia. Menurut UU no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Sutarti, 2014). Penduduk lansia (usia 60 tahun ke atas) tumbuh dengan sangat cepat bahkan
6
tercepat dibanding kelompok usia lainnya. Tahun 2025 diperkirakan akan terdapat 1,2 milyar lansia dan ditahun 2050 akan menjadi 2 milyar (21% total penduduk). Sekitar 80% lansia hidup di negara berkembang dan wilayah Asia-Pasifik merupakan bagian dunia yang tercepat pertumbuhan lansianya. Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang tergolong cepat pertumbuhan penduduk lansianya. Dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Menurut data World Health Organisation (WHO), sejak tahun 2000 penduduk Indonesia sudah tergolong berstruktur tua, dimana jumlah lansia lebih dari 7% jumlah total penduduk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000 menunjukan penduduk lansia sudah berjumlah 14,4 juta (7,18%) dan pada tahun 2020 diperkirakan akan menjadi dua kali lipat. Bali merupakan salah satu provinsi yang penduduknya telah memasuki struktur tua yaitu jumlah lansia telah mencapai 11,02 % dari total jumlah penduduk. (Rettyirawasir, 2009). Menurut
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas),
diperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025. Pada tahun yang sama angka harapan hidup diperkirakan mencapai 73 tahun. Tahun 2012 angka harapan hidup di Indonesia sudah mencapai 70 tahun. Indonesia diperkirakan akan mampu menekan angka kelahiran total (Total Fertility Rate–TFR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate–IMR) serta meningkatkan proporsi penduduk lansia (Bappenas, 2005). Peningkatan usia harapan hidup menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan karena akan diikuti dengan peningkatan jumlah lansia. Proses penuaan tentunya akan
7
berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi dan kesehatan. Dukungan dari lingkungan terdekat terutama keluarga akan sangat membantu lansia dalam melewati masa sulit dalam hidupnya, seperti dalam melewati masa pensiun, sehingga terhindar dari keadaan post power syndrome (Lestari & Santoso, 2008). Jika masa pensiun terlewati dengan baik maka hal ini merupakan modal bagi masa lansia yang lebih baik. Unit Psikologi Rehab Medik RSDS (2010) menyatakan dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post power syndrome. Musadi (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara dukungan sosial dan religiusitas secara bersama-sama terhadap kecenderungan post power syndrome sehingga semakin tinggi dukungan sosial dan religiusitas maka semakin rendah kecenderungan post power syndrome. Safitri (2010) juga menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dukungan sosial dan kepribadian secara bersama-sama terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun sebesar 57,3%. Ermayanti & Abdullah (2007) menambahkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada masa pensiun. Individu yang memperoleh dukungan yang baik dari lingkungannya khususnya keluarga terdekatnya akan lebih mampu menghadapi permasalahan yang muncul, terutama individu yang sedang menghadapi masa pensiun. Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu individu yang sedang melewati masa pensiun. Bila individu tersebut melihat bahwa orang-
8
orang yang dicintainya memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau ketidakmampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu berpikir dengan tenang. Hal itu akan mengembalikan kreativitas dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Hasilnyaakan sangat berbeda jika keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-oloknya (Ermayanti & Abdullah, 2007). Menurut Setiadi (2006) keluarga adalah bagian dari masyarakat yang perannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari dalam keluarga pendidikan kepada individu dimulai, untuk membangun suatu kebudayaan maka seyogyanya di mulai dari keluarga, sehingga akan tercipta tatanan masyarakat yang baik. Dukungan keluarga merupakan hal yang penting, karena keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat, baik secara fisik maupun sosial. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh individu dan menjadi tempat yang paling penting dalam perkembangan hidup manusia. Utami (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara gaya dukungan keluarga terhadap kecenderungan post power syndrome. Safitri (2010) menambahkan bahwa secara parsial dukungan sosial (keluarga) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyesuaian diri terhadap masa pensiun yaitu sebesar 48,6%. Jika penyesuaian diri pada individu yang pensiun tersebut baik maka resiko untuk terkena post power syndrome akan menurun. Individu yang memiliki dukungan keluarga baik, maka akan memiliki konsep diri yang positif dan meningkatkan rasa optimisme dalam menghadapi masa pensiunnya.
9
Purwanti (2009) menyatakan ada hubungan negatif antara konsep diri dan post power syndrome. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu sehingga akan terhindar dari post power syndrome. Achmad (2013) juga menemukan bahwa ada pengaruh negatif yang signifikan antara optimisme menghadapi masa pensiun terhadap post power syndrome. Dukungan keluarga berfungsi untuk meyakinkan individu yang sudah pensiun bahwa dia harus tetap yakin dan memiliki rasa yang kuat tentang kemampuan dirinya (self efficacy). Andardini & Ingarianti (2012) menemukanbahwa semakin tinggi self efficacy yang ada maka akan diikuti dengan semakin rendahnya post power syndrome. Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) merupakan lembaga suadaya yang beranggotakan pensiunan PNS. Lembaga ini bertujuan untuk memfasilitasi para pensiunan untuk tetap memiliki kegiatan yang positif dalam masa tuanya. Berdasarkan laporan semester II PWRI kota Denpasar pada tahun 2013 jumlah anggotanya adalah 1.486 orang, dimana anggota yang aktif dengan tetap membayar uang iuran keanggotaan sebanyak 1.253 orang. Anggota yang tetap aktif mengikuti kegiatan dari PWRI Denpasar, berdasarkan dari keterangan staf dan sekretarisnya yaitu sekitar 300 orang, namun dari hasil survei yang dilakukan setiap ada kegiatan di PWRI didapatkan jumlah anggota yang rutin hadir sekitar 200 orang. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan mewawancarai lima anggota PWRI Denpasar menunjukan tiga orang pensiunan memandang pensiun sebagai hal yang positif karena setelah pensiun mereka dapat lebih santai dan
10
bebas dari tugas-tugas yang memberatkan semasa kerjanya. Menurut mereka hal yang mempengaruhi kenyamanannya dalam menghadapi masa pensiun adalah perhatian dari keluarganya, saat pensiun mereka memiliki waktu luang yang banyak untuk bersama keluarganya. Dua orang pensiunan lainnya memiliki pendapat yang berbeda, yang satu mengatakan pensiun akan mengurangi penghasilannya,
sementara
yang
lagi
satu
mengatakan
saat
pensiun
kemampuannya ketika masih muda sudah menurun sehingga tidak bisa leluasa beraktivitas seperti dulu kala. Perhatian dari keluarga tidak begitu mereka rasakan karena saat mereka sudah pension, memiliki waktu luang yang banyak, justru malah anak dan cucunya yang sibuk bekerja dan memiliki aktivitas masingmasing sehingga mereka sering diam sendiri di rumah. Hal ini menunjukan bahwa dukungan keluarga berpengaruh terhadap penyesuaian diri pada individu yang memasuki usia pensiun dan terlihat bahwa ada kecenderungan terjadi post power syndrome pada pensiunan dengan dukungan keluarga kurang. Berdasarkan paparan di atas maka peneliti tertarik untuk mengungkap apakah dukungan keluarga menurunkan post power syndrome pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar. 1.2
Rumusan Masalah Apakah dukungan keluarga menurunkan post power syndrome pada
pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar?
11
1.3
Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Untuk melihat apakah dukungan keluarga menurunkan post power syndrome pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar 1.3.2 1.
Tujuan Khusus
Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin dan lama pensiun
2.
Mengidentifikasi tingkat post power syndrome pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar
3.
Mengidentifikasi tingkat dukungan keluarga pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar
4.
Mengidentifikasi tingkat post power syndrome berdasarkan jenis kelamin, umur dan lama pensiun pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar
5.
Mengidentifikasi tingkat dukungan keluarga berdasarkan jenis kelamin, umur dan lama pensiun pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar
6.
Menganalisis hubungan antara dukungan keluarga dengan post power syndrome pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1
1.
Manfaat Teoritis
Dapat digunakan dalam mengembangkan ilmu keperawatan di bidang jiwa, keperawatan gerontik dan komunitas khususnya pada masalah hubungan antara dukungan keluarga dengan post power syndrome pada pensiunan PNS.
12
2.
Dapat
digunakan
sebagai
referensi
untuk
melaksanakan
penelitian
selanjutnya mengenai hubungan antara dukungan keluarga dengan post power syndrome pada pensiunan PNS atau faktor-faktor lain yang mempengaruhipost power syndrome pada pensiunan PNS yang lebih sempurna.
1.4.2
Manfaat Praktis
Dengan mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan post power syndrome pada pensiunan PNS maka akan bermanfaat untuk; 1. Individu yang akan atau yang sudah memasuki usia pensiun dapat mencegah dan menanggulangi gejala post power syndrome. 2. Keluarga dapat mengetahui perannya dalam membantu individu yang mengalami atau menunjukan gejala post power syndrome. 3. PWRI Denpasar akan mampu menyusun program untuk mencegah dan menanggulangi gejala post power syndrome pada anggotanya.