BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit ginjal kronik adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika Serikat dan di negara lainnya berisiko untuk terkena PGK. Insiden dan prevalensi terjadinya PGK ini semakin meningkat setiap tahunnya, dengan outcome yang rendah dan biaya pengobatan yang sangat tinggi (Lankhorst dan Wish, 2010). Pasien PGK pada fase gagal ginjal tahap akhir terapi yang digunakan adalah terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal yang sering dilakukan pada pasien PGK tahap akhir adalah hemodialisis (Cibulka dan Racek, 2007). Anemia merupakan keadaan yang ditandai dengan adanya penurunan kadar hemoglobin (Hb) atau sel darah merah. World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi Hb < 13,0 g/dl pada laki-laki dewasa dan < 12,0 g/dl pada wanita dewasa (Taler dkk., 2013). The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) jika kadar Hb < 13,5 g/dl pada laki-laki dan < 12,0 g/dl pada wanita dewasa (NKF-K/DOQI, 2006). The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien PGK mengatakan bahwa batas bawah Hb normal adalah 11,5 g/dl pada wanita dan 13,5 g/dl pada laki-laki ≤ 70 tahun dan 12,0 g/dl pada laki-laki > 70 tahun (Anonim, 2004).
1
2
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan PGK. Berdasarkan data 80-90% pasien PGK mengalami anemia. Anemia defisiensi zat besi merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasien PGK yang menjalani HD (PGKHD) dan dapat memperberat anemia akibat PGK. Angka kejadian defisiensi zat besi pada PGK-HD regular didapatkan sebesar 40-77%. Menurut data United States Renal Data System (USRD) tahun 2010 angka kejadian anemia pada PGK stadium 1-4 di Amerika adalah sebesar 51,8%, dan kadar Hb rata-rata pada PGK tahap akhir 9,9 g/dl. Menurut data The Predialysis Survey of Anemia Management (PRESAM) melaporkan bahwa 60% dari pasien yang memulai dialisis antara tahun 1999 dan 2001 di Eropa adalah kekurangan zat besi. Data dari The Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS) menunjukkan bahwa 31-38% dari pasien hemodialisis (HD) pada tahun 2002-2003 mengalami defisiensi besi (Horl, 2007). Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) 2011, di Indonesia belum ada data epidemiologi anemia pada PGK yang bersifat nasional. Rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2010 anemia ditemukan pada 100% pasien baru saat pertama kali menjalani HD dengan Hb rata-rata 7,7 g/dl. Anemia pada PGK terutama disebabkan oleh berkurangnya produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor lain yang berkontribusi terhadap anemia pada PGK termasuk defisiensi besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi (anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis sumsum tulang, pemendekan masa hidup
3
eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia (Longo dkk., 2012; Suwitra, 2009). Penyebab anemia defisiensi besi pada PGK-HD rutin adalah kehilangan darah selama proses dialisis, perdarahan tersembunyi (occult blood loss), meningkatnya tendensi untuk terjadinya perdarahan, seringnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium dan meningkatnya konsumsi besi dengan pemberian Erythropoiesis Stimulating Agents (ESA). Terapi zat besi adalah firstline terapi untuk anemia pada pasien PGK yang didiagnosa mengalami defisiensi besi, dan pada beberapa pasien dengan kadar Hb normal tanpa terapi epoetin. Tujuan dari terapi besi adalah untuk menghindari penipisan penyimpanan besi, mencegah
iron-deficient
erythropoiesis,
serta
untuk
mencapai
dan
mempertahankan target kadar Hb. Terapi anemia pada pasien PGK memerlukan penggunaan efektif agen besi, ditunjukkan oleh ketepatan pengujian status besi (NKF-K/DOQI, 2006). Terapi anemia pada PGK meliputi terapi dengan suplemen besi, epoetin, transfusi darah, dan terapi penunjang untuk meningkatkan optimalisasi terapi ESA. Terapi epoetin digunakan untuk mengatasi defisiensi eritropoietin, sedangkan suplemen besi untuk mengatasi dan mencegah defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah serta meningkatnya penggunaan besi karena terapi inisiasi epoetin (Hudson, 2008). Sebelum terapi epoetin harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih dulu. Status besi harus cukup agar respon eritropoiesis optimal (PERNEFRI, 2011).
4
Zat besi merupakan unsur yang sangat vital dalam tubuh untuk pembentukan hemoglobin. Fungsi besi dalam tubuh terutama berkaitan dengan pembentukan Hb karena dua pertiga besi dalam tubuh terdapat dalam bentuk Hb (Hall dan Guyton, 2007; O’Bryant dan Utz, 2012). Eritropoietin merangsang sumsum tulang meningkatkan eritropoesis dengan tujuan meningkatkan jumlah Hb
dan besi merupakan salah satu bahan pembentuk Hb. Kombinasi terapi besi dan epoetin dibutuhkan untuk menstimulasi eritropoiesis dan mencegah anemia mikrositik, yang terjadi karena defisiensi besi. Jika nilai saturasi transferin (ST) dan feritin serum (FS) dibawah normal, suplemen besi direkomendasikan untuk diberikan (Hudson, 2008). Apabila besi yang tersedia tidak mencukupi, maka terapi ESA tidak bermanfaat dan pasien akan tetap dalam status anemia. Sehingga,
defisiensi besi merupakan faktor terpenting yang dapat mengurangi efikasi terapi epoetin pada pasien End Stage Renal Disease (ESRD) (Besarab dkk., 2000; Drüeke, 2001). Berbagai faktor menentukan bentuk suplementasi zat besi yang akan diberikan pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis (PGK-HD). Bentuk sediaan besi yang ada berupa sediaan oral dan parenteral. Pemberian secara oral merupakan cara yang mudah dan paling murah untuk diberikan dan terutama bermanfaat pada pasien yang tidak mendapat terapi EPO. Walaupun absorpsi zat besi pada pasien HD normal, beberapa peneliti mendapatkan terapi besi peroral tidak dapat memperbaiki cadangan zat besi sumsum tulang. Pemberian zat besi peroral sering menimbulkan keluhan gastrointestinal berupa keluhan gastritis, kejang perut, obstipasi dan diare yang sulit ditoleransi oleh penderita. Jika terapi
5
oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi, maka penggantian besi secara parenteral harus dilakukan (NKF-K/DOQI, 2006; PERNEFRI, 2011). Pemberian zat besi parenteral bermanfaat untuk terapi dan pencegahan defisiensi zat besi pada pasien-pasien HD yang secara efektif mengisi cadangan zat besi sumsum tulang. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) merekomendasikan pemberian preparat besi secara intravean (IV) pada pasien PGK dengan HD. Penelitian prospektif oleh Besarab dkk.,(2000) menunjukkan bahwa iron dextran secara IV diberikan sebagai dosis awal dan pemeliharaan untuk mempertahankan ST >30% dapat meningkatkan eritropoiesis pada pasien ESRD yang menerima HD kronis dan secara bersamaan dapat menurunkan dosis Epoetin untuk menjaga Hb di kisaran 10 sampai 12 g/dl. Penelitian Weiss (2003) melaporkan bahwa terapi besi secara IV pada pasien HD memiliki efek besar pada fungsi imun dengan menghambat produksi tumor necrosis alpha (TNF-α) dan meningkatkan aktivitas T-helper (TH-2) melalui pembentukan interleukin-4 (IL-4). Kadar Hb meningkat dengan peningkatan IL-4 dan penurunan TNF-α. Litton, dkk., dalam penelitiannya pada tahun 2013 menyatakan bahwa terapi besi secara IV efektif dalam meningkatkan konsentrasi Hb dari 5,1 g/dl menjadi 7,9 g/dl (ΔHb 6,5 g/dl) dan mengurangi risiko transfusi sel darah merah alogenik (Litton dkk., 2013). Penggunaan iron dextran memiliki risiko timbulnya reaksi hipersensitifitas lebih tinggi dari pada penggunaan iron sucrose (Bailie dkk., 2005). Efek samping yang sering terjadi pada 1-10% pada pasien yang mendapat terapi iron dextran antara lain nyeri perut, diare, mual, muntah, arthralgia, arthritis, inflamasi,
6
pruritis, ruam, urtikaria (Anonim, 2015). Reaksi anafilaksis yang melibatkan hipotensi, sesak nafas, nyeri punggung, dan ansietas didominasi oleh penggunaan iron dextran (Cavill, 2003). Insiden reaksi terhadap iron dextran yang membutuhkan obat resusitasi per paparan atau per pasien, adalah sekitar 0,035%. Reaksi dari keparahan ini terjadi setelah dilakukan dosis uji coba (test dose) sebelum mulai terapi besi IV pertama kali atau dosis inisiasi iron dextran (Walters dan van Wyck, 2005). Dalam penanganan anemia pada pasien PGK mempunyai kemungkinan efek samping yang poten, namun berbagai bukti klinis menunjukkan bahwa pengelolaan anemia yang optimal akan meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien serta angka perawatan di rumah sakit. Di sisi lain, makin tersedianya berbagai macam modalitas terapi anemia dan defisiensi besi, serta makin banyaknya pihak asuransi yang menanggung biaya pengobatan anemia dapat meningkatkan kemungkinan penyalahgunaan terapi ini. Pentingnya pengelolaan anemia pada pasien PGK-HD dan belum dilakukannya penelitian tentang efek terapi besi untuk terapi anemia pada pasien PGK-HD di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (RS UGM) Yogyakarta, mendorong untuk dilakukannya penelitian dengan judul “Efek Terapi Iron Dextran Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Hemodialisis Rutin Di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada Yogyakarta”.
7
B. Perumusan Masalah 1. Berapa peningkatan kadar status besi pasien PGK-HD dengan terapi iron dextran di RS UGM Yogyakarta? 2. Berapa peningkatan kadar Hb pasien PGK-HD dengan terapi iron dextran di RS UGM Yogyakarta? 3. Apakah terapi iron dextran dapat menimbulkan adverse drug event (ADE) pada pasien PGK-HD di RS UGM Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui peningkatan kadar status besi pasien PGK-HD dengan terapi iron dextran di RS UGM Yogyakarta. 2. Mengetahui peningkatan kadar Hb pasien PGK-HD dengan terapi iron dextran di RS UGM Yogyakarta. 3. Mengetahui terapi iron dextran dapat menimbulkan adverse drug event (ADE) pada pasien PGK-HD di RS UGM Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. RS UGM Yogyakarta Dapat memberikan masukan kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan yang ada sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan terapi besi pada pasien PGK-HD di RS UGM Yogyakarta. 2. Farmasis klinik Dapat memberikan peluang kepada farmasis, khususnya farmasi klinis untuk berperan aktif dalam pemantauan penggunaan obat terutama pada terapi
8
anemia pasien PGK-HD di rumah sakit untuk meningkatkan kualitas hidup dan membantu mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. 3. Pasien Dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengelolaan anemia yang optimal pada pasien PGK. 4. Mahasiswa atau peneliti lain Dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya oleh mahasiswa/peneliti. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang terkait dengan terapi besi pada pasien anemia dengan PGK-HD yang dilakukan oleh peneliti lain dapat dilihat pada tabel 1. Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian pada tabel 1 di bawah ini karena penelitian ini menitikberatkan pada perubahan status besi, Hb dan kemungkinan muncul ADE dari terapi iron dextran pada pasien PGK-HD dan penelitian ini belum pernah dilakukan di daerah Yogyakarta. Tabel 1. Penelitian-penelitian yang relevan Peneliti dan Judul Tahun Penelitian Litton, dkk., Safety and Efficacy 2013 of Intravenous Iron Therapy in Reducing Requirement for Allogeneic blood Transfusion: Systematic Review and Meta-Analysis of Randomised Clinical Trials
Metode
Hasil
Observasional systematic review dan meta-analisis RCT
Terapi besi secara IV efektif dalam meningkatkan konsentrasi Hb dari 5,1 g/dl menjadi 7,9 g/dl (ΔHb 6,5 g/dl) dan mengurangi risiko transfusi sel darah merah alogenik.
9
Lanjutan Tabel 1. Peneliti dan Judul Tahun Penelitian Weiss, dkk., Effect of iron 2003 treatment on circulating cytokine levels in ESRD patients receiving recombinant human erythropoietin
Besarab,dkk., 2000
Metode
Hasil
Terapi besi (iron sucrose) secara IV pada pasien HD memiliki efek menghambat produksi TNF-α dan meningkatkan aktivitas TH2 melalui pembentukan IL-4. Kadar Hb, ST meningkat dengan peningkatan IL-4 dan penurunan TNF-α. Kadar TNF-α menurun secara signifikan pada pasien ESRD yang menerima terapi besi, sebaliknya kadar TNF-α meningkat pada pasien yang menerima EPO saja. Optimization of Eksperimental Menunjukkan bahwa Epoetin Therapy , RCT ivID (intraveonous Iron with Intravenous Dextran) diberikan Iron Therapy in sebagai dosis awal dan Hemodialysis pemeliharaan untuk Patients mempertahankan ST >30% dapat meningkatkan eritropoiesis pada pasien ESRD yang menerima HD kronis dan secara bersamaan dapat menurunkan dosis EPO untuk menjaga Hb di kisaran 10 sampai 12 g/dl Observasional penelusuran data secara prospektif
10
Lanjutan Tabel 1. Peneliti dan Tahun Penelitian Bailie,dkk., 2005
Judul
Hypersensitivity reactions and deaths associated with intravenous iron preparations
Metode
Hasil
Observasional Penggunaan iron dextran memiliki risiko retrospektif timbulnya reaksi hipersensitifitas lebih tinggi dari pada penggunaan iron sucrose.
Walters dan Benchmarking iron Observasional Insiden reaksi terhadap van Wyck, dextran sensitivity: retrospektif iron dextran yang 2005 reactions requiring membutuhkan obat resuscitative resusitasi per paparan medication in atau per pasien, adalah incident and sekitar 0,035%. Reaksi prevalent patients dari keparahan ini terjadi setelah dilakukan dosis uji coba (test dose) sebelum mulai terapi besi IV pertama kali atau dosis inisiasi iron dextran.