BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama lain, mempunyai peran masing-masing, dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon & Maglaya, 1997). Keluarga terbentuk dari adanya pernikahan dan tiap anggota keluarga baik suami, istri, maupun anak memiliki peran masing-masing dalam keluarga. Berns (dalam Lestari, 2012) menjelaskan lima fungsi dasar keluarga, yaitu sebagai reproduksi, sosialisasi atau edukasi, penugasan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi atau pemeliharaan. Di sinilah, peran orangtua dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut karena nantinya akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Keluarga yang harmonis mampu memenuhi menjalankan peran yang ada dengan baik namun apabila kondisi keluarga sudah tidak harmonis, peran masing-masing anggota keluarga dapat bermasalah. Keluarga yang tidak harmonis menunjukkan bahwa keluarga terbut tidak bahagia, di mana salah satu atau seluruh anggota keluarga mengalami ketegangan, kekecewaan, atau perasan tidak puas dengan kondisi keluarganya. Ketidakharmonisan tersebut dapat terjadi karena dipicu oleh konflik berupa pertengkaran atau perselisihan antar suami istri yang berkepanjangan. Terkadang konflik yang terjadi mampu memperkuat ikatan pernikahan, namun apabila konflik tidak dapat diatasi dapat menimbulkan kehancuran bagi pernikahan itu sendiri. Tak jarang banyak pasangan suami istri di Indonesia yang memilih perceraian sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri konflik yang terjadi.
Perceraian merupakan pemutusan hubungan dalam perkawinan (Lasswell & Lasswell, 1987). Fenomena perceraian semakin sering terjadi khususnya di Indonesia yang didasari oleh berbagai penyebab. Berdasarkan data dari Kementrian Agama, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Data menunjukkan pada tahun 2009, terjadi angka perceraian sebanyak 216.286 peristiwa. Sementara, pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2010, peristiwa perceraian meningkat tiga persen dari tahun sebelumnya yakni berjumlah 285.184 peristiwa. Pada tahun 2011, terjadi peristiwa cerai sebanyak 158.119 peristiwa dan pada tahun 2012 angka perceraian kembali meningkat menjadi 372.577 peristiwa. Pada pendataan terakhir yang dilakukan pada tahun 2013, tingkat jumlah peristiwa nikah menurun namun peristiwa cerai meningkat jika dibandingkan
dengan
tahun
2009,
yakni
sebanyak
324.527
peristiwa
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya diakses pada tanggal 7 Oktober 2015). Keluarga sebagai kelompok sosial pertama dan utama bagi anak memiliki peran yang penting dalam setiap masa perkembangan anak. Pembentukan kepribadian anak dipengaruhi oleh baik buruknya lingkungan dan kondisi keluarga dimana ia dibesarkan. Perceraian tersebut secara tidak langsung akan merubah peran setiap anggota keluarga, hubungan antar aggota keluarga serta fungsi dari keluarga itu sendiri. Korban dari perceraian ini tidak hanya pasangan suami istri itu sendiri namun juga anak dari hasil perkawinan mereka. Pada umumnya, orangtua lebih siap dalam menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak, karena sebelum memutuskan bercerai biasanya didahului oleh berbagai pemikiran dan pertimbangan sehingga telah ada persiapan secara mental maupun fisik. Lain halnya bagi anak, di mana butuh proses dan adapatasi yang cukup lama bagi anak setelah mendengar keputusan bahwa orangtuanya akan bercerai. Apalagi jika anak tidak pernah diajak berdiskusi tentang rencana perceraian.
Perceraian orangtua dapat terjadi ketika anak berada dalam rentang usia kanakkanak, remaja, maupun dewasa. Efek perceraian orangtua terhadap anak dipandang sebagai proses yang berkelanjutan dan dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Sejumlah besar penelitian keluarga sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak-anak dari perceraian cenderung mengalami kesulitan dalam hal psikologis, sosial, dan akademik daripada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh (Amato, 1993; Demo & Acock, 1988 dalam Sun, 2001). Hasil serupa juga ditemukan oleh Sarbini (2014) dalam penelitiannya mengenai kondisi psikologis anak dari keluarga yang bercerai dengan subjek anak dari keluarga bercerai yang sudah berusia 6-17 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa psikologi anak dari keluarga bercerai mengalami dampak negatif, seperti rendah diri terhadap lingkungannya, temperamen, serta rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orangtua. Tidak hanya pada masa kanak-kanak, perceraian orangtua juga memiliki dampak bagi perkembangan anak ketika menginjak masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dan di dalamnya terjadi proses pencarian jati diri. Sebuah pandangan dikemukakan oleh G. Stanley Hall, yang menganggap bahwa remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan jiwa”, yaitu masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (Seifert & Hoffnung, 1987). Oleh karenanya, orangtua berperan penting dalam membimbing remaja untuk menghadapi konflik dalam hidupnya serta menemukan jati dirinya. Namun sayangnya, perhatian dan dukungan orangtua belum tentu didapatkan oleh remaja dari keluarga yang bercerai. Remaja dengan orangtua yang bercerai lebih mungkin untuk terlibat dalam pengasuhan yang tidak kompeten yang meliputi perilaku yang tidak konsisten dan kasar,
kurangnya pengawasan, dan adanya rasa benci terhadap anak (Simons & Johnson, 1996). Remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung tidak memiliki kepuasan dalam hidup, lemahnya kontrol diri, dan tidak ada kebahagiaan (Amato & Sobolewski, 2001). Ditambah lagi masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri, sehingga tidak mudah bagi remaja untuk mengatakan pada orang-orang di sekitarnya bahwa dirinya berasal dari kelurga yang bercerai. Remaja akan cenderung malu untuk bertemu dengan teman-temannya dan bersembunyi dari kenyataan bahwa dirinya memiliki orangtua yang bercerai. Hal terebut juga didukung oleh Glen & Kramer (1985) yang menyatakan bahwa perceraian orangtua yang dialami oleh remaja akan mengakibatkan perasaan tidak nyaman, rendahnya self esteem, dan beberapa karakteristik yang serupa. Efek negatif dari perceraian orangtua muncul karena adanya kebutuhan anak yang tidak terpenuhi akibat dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh, terutama ketika anak tersebut menginjak masa remaja. Hal ini secara tidak langsung akan menghambat remaja tersebut dalam menjalankan tugas perkembangannya, membina hubungan dengan orang lain dan menjalankan perannya di masyarakat sehingga akan berujung pada psychological well-being yang rendah. Di sisi lain, terdapat pernyataan Ryff (1995) yang menyebutkan bahwa evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan
psychological
well-being.
Menurutnya,
untuk
dapat
memahami
psychological well-being seseorang, perlu melihat bagaimana individu tersebut dalam mengevaluasi serta menghayati pengalamannya di masa lalu. Proses serta cara tiap individu dalam mengevaluasi dan menghayati pengalamannya di masa lalu dapat berbedabeda, sehingga mungkin saja ditemukan perbedaan gambaran psychological well-being pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama, yang dalam konteks kali ini adalah pengalaman dibesarkan dalam keluarga yang bercerai.
Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis adalah salah satu jenis well being. Psychological well-being merupakan konsep multi-dimensional mengenai bagaimana individu menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Konsep psychological well-being yang digambarkan oleh Ryff (1989) terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationship
with
others),
otonomi
(autonomy),
penguasaan
lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Dalam hal ini, remaja yang memiliki psychological well-being yang tinggi tidak hanya mampu menentukan tujuan hidupnya sendiri dan mengembangakan dirinya, melainkan juga mampu untuk membina hubungan yang positif dengan orang lain, bermanfaat untuk orang lain, dan menjalankan perannya di masyarakat. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat psychological well-being pada masa remaja. Selain itu, evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan psychological well-being (Ryff, 1995). Berdasarkan landasan pemikiran tersebut, tinggi rendahnya psychological wellbeing remaja yang dibesarkan dari keluarga yang bercerai dapat dipengaruhi oleh faktorfaktor yang muncul selama proses perkembangan remaja, baik sebelum orangtuanya bercerai hingga pasca perceraian orangtuanya. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai psychological well-being pada remaja dari keluarga yang bercerai dan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat atau mendukung psychological well-being remaja yang dibesarkan dari keluarga yang bercerai.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan bahwa pernikahan yang tidak harmonis yang kemudian berujung pada perceraian, akan merusak hubungan dalam keluarga itu sendiri, baik hubungan antara suami-istri maupun orangtua dengan anak. Proses yang dilalui anak dari sebelum orangtuanya bercerai hingga setelah percerain orangtua akan memunculkan dampak yang berbeda-beda pada anak sehingga akan berpengaruh pada kondisi psychological well-being anak, terutama ketika menginjak masa remaja dimana mereka masih membutuhkan dampingan orangtua. Peneliti selanjutnya ingin mendapatkan gambaran psychological well-being dari remaja yang tidak terlibat dalam permasalahan sosial maupun akademik, sehingga dapat diperoleh model proses yang positif remaja dari keluarga bercerai. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana gambaran psychological well-being pada remaja dari keluarga yang bercerai?, (2) apa saja faktorfaktor yang mendukung atau menghambat remaja dari keluarga yang bercerai dalam mencapai psychological well-being?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada remaja dari keluarga yang bercerai dan proses remaja tersebut dalam menuju psychological well-being sehingga akan diketahui faktor-faktor apa saja yang akan mempengaruhi psychological well-being remaja dari keluarga yang bercerai.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yang akan dijabarkan sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan
pengetahuan dalam ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi klinis yang terkait dengan psychological well-being remaja khususnya remaja yang dibesarkan di keluarga yang bercerai. 2.
Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi orang-orang yang terkait
dengan penelitian ini, seperti psikolog keluarga, orangtua, dan remaja. Penelitian ini diharapkan dapat membantu psikolog dalam memberikan konseling kepada kliennya yang merupakan anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bercerai mengenai bagaimana cara untuk memiliki psychological well-being yang tinggi. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kondisi psychological well-being anak pasca perceraian terjadi, sehingga untuk orangtua yang akan bercerai dapat memikirkan kembali bahwa perceraian dapat memberikan dampak bagi anak mereka dan bagi orangtua yang sudah bercerai dapat terus mendampingi anak sehingga tumbuh menjadi seseorang yang memiliki psychological well-being yang tinggi. Selain itu, melalui hasil penelitian ini diharapkan anak dari keluarga yang bercerai mampu memahami bahwa terdapat faktor protektif (dan risiko) yang dapat mempengaruhi psychological well-being mereka ketika menginjak masa remaja selain perceraian orangtua itu sendiri. Dengan begitu, remaja yang belum mencapai psychological well-being dapat mengembangkan faktor protektif untuk mendapatkan psychological well-being yang tinggi.
E. Keaslian Penelitian Beberapa hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Wrastari
dan
Primasti
(2012)
melakukan
penelitian
mengenai
dinamika
psychological well-being pada remaja yang mengalami perceraian orangtua ditinjau dari family conflict yang dialami. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa perceraian tidak mengakhiri family conflict namun sebagian besar pasrtisipan mampu mencapai psychological well-being yang tinggi. 2.
Sarbini (2014) melakukan penelitian mengenai kondisi psikologis anak dari keluarga
yang bercerai. Subjek penelitian ini adalah anak dari keluarga bercerai yang sudah berusia 6-17 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa psikologi anak dari keluarga bercerai mengalami dampak negatif yang cukup signifikan seperti, rendah diri terhadap lingkungannya, temperamen, serta rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orangtua. 3.
Dewi dan Utami (2013) melakukan penelitian mengenai subjective well-being anak
(remaja usia 18-21 tahun) dari orangtua yang bercerai. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan dan menurunkan subjective well-being anak dari orangtua yang bercerai. Kondisi‐kondisi yang dapat meningkatkan subjective well‐being anak dari orangtua yang bercerai, antara lain sikap orangtua yang memahami anak, adanya pemahaman anak terhadap perceraian orangtuanya, adanya dukungan emosional yang dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya, serta strategi coping yang lebih bersifat problem focused coping. Adapun kondisi‐kondisi yang dapat menurunkan subjective well‐being anak dari orangtua yang bercerai, antara lain adanya konflik orangtua, situasi keluarga yang jarang berkumpul dan jarang beraktivitas bersama, perceraian orangtua, sikap orangtua yang tidak memberikan pemahaman kepada anak atas perceraian yang terjadi, hubungan orangtua yang memburuk pasca terjadinya perceraian, serta adanya kondisi pembanding yang lebih baik dari lingkungan sekitar. Hasil-hasil penelitian sebelumnya lebih terfokus pada pengaruh family conflict terhadap psychological well-being remaja, proses penerimaan remaja terhadap perceraian
orangtua, dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi subjective well-being remaja dari orangtua yang bercerai. Sementara penelitian yang dilakukan saat ini terfokus pada proses remaja dari keluarga yang bercerai dalam menuju psychological well-beingdan faktorfaktor apa yang muncul yang dapat mempengaruhi psychological well-being remaja tersebut, sehingga penelitian ini memang berbeda dari penelitian sebelumnya.