BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laporan tahunan (annual report) merupakan salah satu media komunikasi yang digunakan perusahaan untuk menyampaikan kinerjanya kepada para pemangku kepentingan (stakeholders). Seiring perkembangan praktik CSR, laporan tahunan perusahaan tidak hanya memuat kinerja ekonomi atau finansial semata, tetapi juga kinerja sosial (CSR). Tidak seperti penyampaian kinerja finansial, penyampaian kinerja sosial berpotensi memiliki tingkat variasi yang lebih tinggi. Penyebabnya yaitu, ketiadaan standar yang digunakan secara universal dalam mengatur penyusunan laporan CSR. Penelitian ini akan mengobservasi laporan CSR yang terdapat dalam laporan tahunan seratus perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014, yang kemudian dikenal dengan sebutan Fortune 100. Fenomena CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan telah menarik perhatian berbagai kalangan secara global. Saat ini CSR ibarat bola salju yang terus bergerak dan semakin mendapat tempat dalam praktik korporasi modern. Semula berkembang di Eropa dan Amerika, beberapa tahun belakangan ini CSR mendapat peningkatan perhatian di negara – negara
berkembang. Hal ini didukung hasil penelitian bersama MIT Sloan
Management Review dan Boston Consulting Group1 pada tahun 2012, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan komitmen terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan pada perusahaan – perusahaan di beberapa kawasan seperti Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika.
1
Boston Consulting Group (BCG) merupakan perusahaan yang bergerak dibidang jasa konsultasi manajemen dan strategi bisnis terkemuka di dunia. Selama kurang lebih 5 tahun, BCG bekerja sama dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan Management Review melakukan riset tentang bagaimana bisnis menjawab tantangan isu keberlanjutan (sustainability) yang melibatkan responden di berbagai negara.
1
Seiring dengan perkembangan pada tingkat global, CSR juga semakin banyak mendapatkan perhatian berbagai kalangan di Indonesia. Hanya dalam hitungan tahun, CSR telah memperoleh momentum dalam dunia bisnis di Indonesia (Koestoer, 2007: 1). Perhatian terhadap CSR terlihat dari semakin banyaknya korporasi yang melaksanakan program CSR. Pemerintah pun juga memberikan perhatian dengan menyusun berbagai regulasi yang mengatur praktik CSR di Indonesia. Selain itu, perkembangan CSR di Indonesia juga ditandai dengan berkembangnya forum CSR dari pusat hingga daerah dalam rangka transparansi kepada pemangku kepentingan. Selain isu transparansi, CSR juga dapat dipahami sebagai upaya untuk mendorong sektor swasta terlibat dalam pembangunan nasional. Konsep CSR memiliki kajian yang luas, baik dari segi teori maupun praktik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa disiplin ilmu manajemen memiliki posisi kajian yang kuat dalam studi CSR. Tentu saja hal ini dapat dipahami dari latar belakang lahirnya konsep CSR yang berasal dari kajian manajemen. Sehingga, CSR seringkali dipahami dari sudut pandang manajemen atau sebagai strategi bisnis. Padahal, konsep CSR juga dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi korporat kepada stakeholder. Dalam perkembangannya disiplin ilmu komunikasi memiliki kedudukan yang strategis dalam studi CSR. Kedudukan strategis ini ditunjukkan melalui pentingnya melakukan studi komunikasi CSR. Paling tidak ada dua alasan perlunya melakukan kajian komunikasi CSR. Pertama, sebagai upaya untuk memperoleh legitimasi dari berbagai pemangku kepentingan, komunikasi CSR mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini komunikasi CSR bertujuan untuk membentuk reputasi perusahaan yang kuat. Kedua, komunikasi CSR merupakan dasar dalam melakukan penilaian kinerja praktik CSR yang telah dijalankan perusahaan. Pentingnya komunikasi CSR dapat dilihat dari semakin meluasnya pengakuan terhadap kebutuhan dan manfaat komunikasi CSR dalam bentuk pelaporan (Chaudhri dan Wang, 2007: 232). Survei yang dilakukan Boston
2
College Center for Corporate Citizenship dan Ernst & Young 2 pada tahun 2013 menunjukkan bahwa lebih dari 50% perusahaan yang menerbitkan laporan CSR menyatakan
bahwa
laporan
tersebut
membantu
meningkatkan
reputasi
perusahaan. Setidaknya terdapat tiga saluran utama yang dilakukan perusahaan dalam melakukan komunikasi CSR, yaitu laporan sosial (social report), website perusahaan dan iklan korporat (Harmoni, 2010: 10). Pelaporan CSR mengalami perkembangan seiring seruan praktik CSR yang ditujukan kepada perusahaan – perusahaan di Indonesia. Mulai tahun 2013, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan (Bapepam-LK) RI menerapkan aturan bahwa setiap perusahaan publik atau emiten wajib menyampaikan laporan CSR ke dalam laporan tahunan atau secara terpisah bersamaan dengan laporan tahunan. Beberapa perusahaan mulai berinisiatif menyampaikan laporan CSR terpisah atau secara khusus, yang kemudian dikenal dengan laporan keberlanjutan (sustainability report). Jika pada tahun 2005 tercatat hanya ada satu perusahaan, maka hingga akhir tahun 2014, sebanyak 60 perusahaan telah membuat laporan keberlanjutan. Fakta di atas menunjukkan bahwa pelaporan CSR di Indonesia mengalami perkembangan. Meski demikian, persoalan variasi bentuk laporan CSR muncul seiring perkembangan tersebut. Sudah ada upaya untuk standardisasi dari pemerintah, namun kenyataannya laporan CSR yang diterbitkan masih bervariasi baik dalam hal bentuk maupun konten. Laporan CSR merupakan upaya yang dilakukan untuk memenuhi tujuan yang penting, yaitu mengomunikasikan praktik CSR yang telah dijalankan perusahaan. Oleh karena itu, tantangan bagi perusahaan adalah menyampaikan informasi praktik CSR ke berbagai pemangku kepentingan dalam satu laporan. Sehingga, kajian mengenai isi atau content laporan CSR perlu dilakukan sebagai langkah awal dalam memberikan gambaran praktik CSR yang dilakukan perusahaan – perusahaan di Indonesia.
2
Ernst & Young merupakan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang jasa konsultasi bisnis, seperti audit perusahaan dan konsultan pajak dengan kantor pusat di London. Pada tahun 2013, Ernst & Young bekerja sama dengan Boston College Center for Corporate Citizenship (lembaga riset milik Carroll School of Management) melakukan survei tentang laporan keberlanjutan terhadap 250 perusahaan global.
3
Sampai saat ini, metode analisis isi (content analysis) menjadi metode yang sering dipakai untuk mengetahui pengungkapan informasi yang terdapat dalam laporan CSR. Metode ini mengubah informasi kualitatif menjadi kuantitatif sehingga dapat diolah dengan perhitungan statistik. Melalui perhitungan statistik dalam analisis isi, dapat diketahui gambaran isi laporan CSR perusahaan – perusahaan besar di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana kecenderungan isi laporan CSR yang dimuat dalam laporan tahunan periode 2013 terhadap seratus perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui deskripsi isi laporan CSR dalam laporan tahunan 2013 seratus perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014. 2. Mengetahui variasi isi laporan CSR seratus perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014 masing – masing sektor industri. D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman tentang kajian CSR yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar di Indonesia dari sudut pandang komunikasi. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi isi pesan komunikasi CSR melalui laporan tahunan perusahaan dan menjadi bahan pertimbangan bagi praktik pelaporan CSR perusahaan – perusahaan di Indonesia.
4
E. Kerangka Teori 1. Corporate Social Responsibility: Definisi, Teori dan Dimensi Meskipun berbagai literatur mengenai CSR telah dipublikasikan, tidak ada definisi tunggal yang digunakan dalam memahami istilah tersebut. Seperti yang dikemukakan Votaw (1972: 25) kurang lebih 42 tahun yang lalu, ketika menulis “CSR means something, but not always the same thing, to everybody.” Paling tidak disiplin keilmuan seperti manajemen, etika, sosiologi dan hukum mewarnai perumusan konsep CSR. Hasilnya yaitu aneka ragam definisi konsep CSR. Meski demikian, terdapat upaya – upaya untuk menyederhanakan keanekaragaman pemahaman konsep CSR. Garriga dan Melé (2004: 52) mencatat terdapat upaya untuk mempermudah memahami CSR. Misalnya upaya yang dilakukan Heald (1988) dan Carroll (1999) dalam memaparkan urutan historis perkembangan pemahaman tentang tanggung jawab bisnis dalam masyarakat. Upaya aktual diajukan oleh Dahlsrud (2006: 1 – 13) yang mengumpulkan 37 definisi CSR paling populer dan selanjutnya diuji secara statistik. Hasilnya terdapat konsistensi lima dimensi konsep CSR, yaitu ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan (stakeholder) dan sifat sukarela (voluntariness). Pada tataran aplikasi upaya untuk mempermudah pemahaman tentang CSR tampak dalam standardisasi secara global seperti yang dilakukan oleh GRI (Global Reporting Initiative) dan ISO (International Organization for Standardization). Lebih lanjut, Garriga dan Melé (2004: 52 – 53) menawarkan cara memahami CSR dengan memetakan teori CSR ke dalam empat kelompok. Pertama, kelompok teori instrumental yang memandang korporasi sebagai alat untuk menciptakan keuntungan dan segala aktivitas sosial korporat hanya untuk memperoleh hasil yang bersifat ekonomi. Kedua, kelompok teori politik yang memfokuskan pada kekuatan korporasi dalam masyarakat dan penggunaan kekuatan tersebut dalam arena politik. Ketiga, kelompok teori integratif yang menekankan pada pemuasan tuntutan sosial. Keempat, kelompok teori etika yang memandang persoalan etika melekat dalam relasi antara bisnis dan masyarakat. Keempat kelompok teori tersebut, menunjukkan bahwa tidak ada teori tunggal untuk menjelaskan CSR. Dalam penelitian ini, penggunaan kelompok
5
teori etika tampak pada penjelasan relasi antara bisnis dan masyarakat. Sedangkan penggunaan kelompok teori politik tampak pada penjelasan kontrak sosial antara bisnis dan masyarakat. Selanjutnya, penjelasan kelompok teori integratif tampak pada pemaparan manajemen stakeholder. Terakhir, penggunaan kelompok teori instrumental tampak pada penjelasan tentang strategi komunikasi CSR untuk meningkatkan reputasi perusahaan dalam mencapai keuntungan finansial. Terlepas dari berbagai pemahaman yang muncul, kenyataannya eksistensi CSR masih ada hingga sekarang. Hal ini tidak terlepas dari dinamika relasi antara bisnis dan masyarakat. Argenti (2010: 124) menyatakan, “Bisnis tidak bisa menghindar dari persinggungan dengan masyarakat dan saling tergantung untuk bertahan hidup.” Elkington (2004: 7) mencatat terdapat tiga gelombang besar tekanan publik yang memiliki dampak signifikan terhadap agenda politik dan bisnis secara global kurun waktu 1961 – 2001. Jika dinyatakan dalam kalimat lain akan tampak bahwa publik menuntut tanggung jawab dari kalangan bisnis. Tuntutan itulah yang kemudian dijawab kalangan bisnis melalui praktik CSR. Seperti apa yang dikemukakan Argenti (2010: 121) tentang tanggung jawab perusahaan sebagai, “Kewajiban – kewajiban sosial dan lingkungan suatu perusahaan kepada konstituennya dan masyarakat luas.” Dimensi CSR Sebagai gagasan yang bersifat konseptual, istilah CSR masih terlalu umum. Artinya supaya dapat diterapkan dan diukur, konsep CSR perlu dirinci ke dalam beberapa dimensi. Dimensi CSR berarti ruang lingkup CSR yang terdiri dari beberapa komponen. Berangkat dari persoalan ini, terdapat beberapa pemikiran mengenai dimensi CSR. a.
Pemikiran Elkington Tentang Triple Bottom Line Istilah Triple Bottom Line (TBL) diperkenalkan oleh John
Elkington melalui bukunya yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1997). Istilah ini sejalan atau identik dengan istilah CSR (Suharto, 2008: 1 dan Tania, 2012: 78). Secara sederhana TBL menekankan tiga isu penting yaitu planet, people, profit
6
(3P). Agenda TBL adalah bagaimana keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) ditentukan dari upaya pemusatan perhatian pada tiga dimensi, yaitu kemakmuran ekonomi (profit), kualitas lingkungan (planet) dan keadilan sosial (people). Meski tidak terdapat indikator spesifik, Savitz dan Weber (2006: xii) mencoba menjabarkan ketiga dimensi TBL ke dalam tabel pengukuran yang bersifat operasional layaknya metode pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan balanced scorecard. Meski Savitz dan Weber menganggap tabel ini masih terlalu sederhana, namun kedua penulis hendak menunjukkan bahwa semua indikator dari ketiga dimensi memiliki kedudukan yang sama penting, sehingga tidak dapat mengabaikan salah satunya. Tabel 1.1 Dimensi Triple Bottom Line Ekonomi Penjualan, keuntungan, Return on Investment Pembayaran pajak Aliran moneter Penciptaan lapangan kerja
Lingkungan
Sosial
Kualitas udara
Praktik ketenagakerjaan
Kualitas air Penggunaan energi Limbah yang dihasilkan
Dampak komunitas HAM Tanggung jawab produk
Sumber: Savitz dan Weber, 2006: xiii
b.
Pemikiran Carroll Tentang Pyramid of CSR Penjelasan kedua mengenai dimensi CSR yang banyak digunakan
adalah konseptualisasi CSR yang dirumuskan oleh Carroll. Menurut Carroll (1991: 40) CSR terdiri empat macam dimensi atau komponen, yaitu tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab legal, tanggung jawab etis dan tanggung jawab filantropi. Keempat bentuk tanggung jawab ini pada dasarnya merupakan domain atau area persinggungan relasi antara bisnis dan masyarakat. Pemikiran ini didasarkan pada rangkuman aneka ragam pandangan mengenai konseptualisasi CSR yang kemudian disederhanakan oleh
7
Carroll. Keempat dimensi tersebut kemudian disusun berdasarkan evolusi penekanan konsep CSR, sehingga digambarkan seperti piramida. Oleh karena itu, konseptualisasi CSR menurut Carroll sering juga disebut sebagai piramida CSR.
Filantropi •Menjadi warga negara korporat yang baik
Etis •Berlaku etis
Legal •Mematuhi peraturan
Ekonomi •Mendatangkan keuntungan
Bagan 1.1 Piramida CSR Sumber: Carroll, 1991: 42
Konseptualisasi
CSR
yang
ditawarkan
Carroll
hendak
menunjukkan bahwa aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan dapat dilihat berdasarkan empat kategori atau area, di mana masing – masing kategori memiliki penekanan yang berbeda. Cara membaca piramida di atas adalah dari bawah ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa evolusi konsep CSR yang menjadi area persinggungan antara bisnis dan masyarakat diawali dari komponen ekonomi. Keempat kategori tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.
8
Tabel 1.2 Kategorisasi CSR Dimensi Tanggung jawab ekonomi
Tanggung jawab legal
Tanggung jawab etis
Tanggung jawab filantropi
Aktivitas CSR Perusahaan adalah unit dasar ekonomi yang berperan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan mendapatkan keuntungan. Hal ini bisa diamati, misalnya laporan keuangan yang menunjukkan bahwa perusahaan memperoleh laba, efisiensi operasionalisasi, tata kelola yang baik dan posisi kompetitif yang kuat. Perusahaan pada saat yang sama diharapkan mematuhi peraturan (hukum) mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah di mana perusahaan tersebut beroperasi. Misalnya membayar pajak, mematuhi peraturan tentang tenaga kerja. Perwujudan kepatuhan perusahaan terhadap norma yang mencerminkan perhatian stakeholder mengenai nilai moral yang berkembang, seperti adil dan pantas. Menekankan tindakan perusahaan sebagai warga negara yang baik dengan memenuhi harapan masyarakat melalui berbagai program yang bersifat filantropi atau sukarela . Misalnya pemberian bantuan kepada korban bencana dan pemberian beasiswa. Sumber: Carroll, 1991: 40 - 42
2.
Manajemen Stakeholder Perkembangan konsep CSR tidak terlepas dari perkembangan konsep
stakeholder atau pemangku kepentingan. Hal ini seiring dengan terjadinya evolusi relasi antara bisnis dan individu atau organisasi dalam masyarakat. Jika pada awalnya perusahaan dituntut bertanggung jawab kepada pemegang saham (stockholder) sebagai pemilik perusahaan, kini tanggung jawab tersebut telah meluas ke berbagai pihak yang memiliki banyak kepentingan, harapan dan tuntutan. Istilah stakeholder sendiri diperkenalkan oleh ilmuwan dari Stanford Research Institute (SRI) pada tahun 1963 yang dimaknai sebagai kelompok – kelompok di mana tanpa dukungannya, organisasi akan lenyap (Freeman dan Reed, 1983: 89).
9
Pergeseran fokus dari stockholder ke stakeholder telah mewarnai perkembangan CSR. Pengakuan terhadap berbagai pihak (kelompok dan individu) diluar pemegang saham telah mengubah peta CSR dari tanggung jawab ekonomi semata menjadi tanggung jawab yang lebih luas, misalnya sosial dan lingkungan. Secara spesifik, Freeman dan Velamuri (2006: 9) memaknai CSR sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap stakeholder (Company Stakeholder Responsibility). Selanjutnya, Freeman menawarkan pendekatan stakeholder dalam karyanya yang berjudul Strategic Management: A Stakeholder Approach sebagai solusi mengatasi turbulensi lingkungan bisnis. Menurut Freeman (1984: 25), stakeholder merupakan setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahan. Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengelompokkan stakeholder. Freeman et al. (2010: 24 – 26) mengelompokkan stakeholder menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Stakeholder primer adalah kelompok – kelompok yang tanpa dukungannya perusahaan akan berhenti beroperasi. Sedangkan stakeholder sekunder didefinisikan sebagai kelompok – kelompok yang dapat mempengaruhi stakeholder primer. Secara lebih jelas kategorisasi stakeholder primer dan sekunder dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1.3 Kategorisasi Stakeholder Stakeholder Primer 1. Karyawan 2. Pemasok 3. Pemilik atau pemodal 4. Komunitas lokal 5. Pelanggan
Stakeholder Sekunder 1. Pemerintah 2. Pesaing 3. Kelompok advokasi konsumen 4. Kelompok kepentingan sosial 5. Media Sumber: Freeman et al., 2010: 24
Selain pemikiran Freeman, kategorisasi stakeholder juga dikemukakan oleh Jones, yang membagi stakeholder menjadi dua kelompok (Kartini, 2013: 8). Pertama, inside stakeholder yang terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan serta berada dalam organisasi
10
perusahaan, misalnya pemegang saham, manajer dan karyawan. Kedua, outside stakeholder yang terdiri individu atau kelompok bukan pemilik, pemimpin maupun karyawan perusahaan tetapi mempunyai kepentingan dan dapat terkena atau memberi pengaruh atas keputusan atau tindakan perusahaan. Misalnya pelanggan, pemasok, pemerintah, komunitas lokal dan masyarakat luas. Konsep stakeholder secara sederhana dapat diartikan kepada siapa CSR itu ditujukan. Kebanyakan perusahaan (jika tidak semua) memiliki stakeholder secara luas dan terpadu. Pemikiran ini menentang pandangan bahwa stockholder atau investor memiliki hak istimewa dibanding pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk bertindak seimbang dalam menghadapi stakeholder yang bersifat heterogen. 3.
Komunikasi CSR Komunikasi CSR pada dasarnya adalah bagian dari upaya perusahaan
dalam melaksanakan CSR. Podnar (2008: 76) mencatat adanya peningkatan harapan stakeholder terhadap perusahaan agar melakukan komunikasi CSR. Melalui komunikasi CSR, perusahaan menyampaikan prinsip dan praktik CSR yang telah dilaksanakan. Menurut Morsing dan Beckmann, “Komunikasi CSR: upaya untuk menyampaikan kepada serta menerima pesan dari pemangku kepentingan terkait dengan komitmen, kebijakan, program dan kinerja perusahaan dalam pilar ekonomi-lingkungan-sosial” (Jalal, 2010). Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada dua hal yang menjadi catatan. Pertama, komunikasi CSR merupakan proses dialog antara perusahaan dan para pemangku kepentingan. Kedua, komunikasi CSR memiliki dimensi isi pesan. Dimensi Dialog: Pilihan Strategi Komunikasi Sebuah strategi merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai tujuan. Demikian pula dalam konteks bisnis, strategi menjadi sangat krusial dalam memenangkan persaingan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja finansial. Penelitian telah menunjukkan bahwa komunikasi CSR sebagai praktik bisnis yang
11
menghasilkan keuntungan (Maignan et al., 1999: 455). Oleh karena itu, para manajer memerlukan strategi dalam mengomunikasikan CSR demi mencapai efektivitas dan efisiensi. Du, Bhattacharya dan Sen (2010: 11) selanjutnya mengembangkan kerangka kerja konseptual dalam merancang strategi komunikasi CSR. Dalam kerangka kerja komunikasi CSR, terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan, yaitu aspek komunikasi itu sendiri dan faktor kontingensi. Kedua aspek inilah yang menjadi tantangan dalam mengomunikasikan CSR secara efektif. Secara lebih detail kerangka kerja tersebut terlihat dalam bagan berikut ini. Komunikasi CSR Isi Pesan Isu Signifikansi Inisiatif Komitmen, Manfaat, Motif, Kesesuaian Saluran Pesan Perusahaan Laporan CSR Web Perusahaan Public Relations Iklan Titik Penjualan Independen Liputan Media Word of Mouth (WOM)
Faktor Kontingensi Karakteristik Stakeholder Tipe Stakeholder Dukungan Isu Orientasi Nilai Sosial
Dampak Internal Kesadaran Atribusi Sikap, Identifikasi Kepercayaan Eksternal Konsumen Pembelian, Loyalitas, Advokasi
Karakteristik Perusahaan Reputasi Industri Positioning CSR
Karyawan Produktivitas, Loyalitas,Perilaku Kewarganegaraan, Advokasi Investor Sejumlah Investasi Modal, Loyalitas
Bagan 1.2 Kerangka Kerja Komunikasi CSR Sumber: Du, Bhattacharya dan Sen, 2010: 11
Ketika perusahaan mengomunikasikan aktivitas CSR, tujuannya adalah menyediakan informasi tentang perilaku khusus perusahaan supaya memperoleh
12
legitimasi dari para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, dua hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah isi pesan dan saluran pesan. Isi pesan CSR pada dasarnya dapat berisi permasalahan sosial yang diangkat dan keterlibatan perusahaan dalam menangani masalah sosial tersebut. Sebagian perusahaan mengomunikasikan CSR pada proses keterlibatan (inisiatif) mereka dalam menangani masalah sosial daripada menekankan pada pentingnya masalah sosial itu sendiri. Ada
beberapa
faktor
yang
kemudian
menjadi
perhatian
dalam
mengomunikasikan inisiatif perusahaan dalam melakukan CSR. Pertama, komitmen perusahaan dalam menerapkan CSR yang kemudian dinyatakan dalam berbagai bentuk program kerja, seperti pemberian donasi, pendampingan masyarakat. Terkait dengan hal itu, ada tiga aspek yang kemudian ditekankan dalam komitmen CSR, yaitu substansi jumlah uang, substansi durasi waktu dan konsistensi dukungan. Faktor kedua yang ditekankan dalam pesan CSR yaitu hasil atau manfaat dari aktivitas CSR yang sudah diterapkan perusahaan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari kesan membual ketika berkomunikasi. Ketiga, motif perusahaan dalam melakukan CSR juga menjadi perhatian dalam isi pesan CSR. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk melihat motivasi perusahaan dalam melakukan CSR. Selain pendekatan yang diajukan Carroll yaitu ekonomi, legal, etika dan filantropi sebagai motif perusahaan ber-CSR, ada pendekatan yang mengelompokkan motif CSR ke dalam motif altruistik, intrinsik dan motif penyangkalan terkait bisnis dan CSR. Faktor keempat yang menjadi perhatian dalam pesan CSR adalah kesesuaian antara masalah sosial dan rantai bisnis perusahaan. Alasannya, kesesuaian ini akan mempengaruhi atribusi para pemangku kepentingan terhadap CSR. Atribusi ini kemudian akan mempengaruhi evaluasi dan respon pemangku kepentingan terhadap perusahaan. Selain
aspek
isi
pesan,
para
eksekutif
perusahaan
juga
perlu
mempertimbangkan saluran pesan dalam merancang strategi komunikasi CSR yang efektif. Tentu hal ini terkait dengan kontrol terhadap isi pesan CSR. Ketika perusahaan menggunakan saluran komunikasi internal seperti laporan tahunan,
13
siaran pers, iklan korporat, dan kemasan produk, isi pesan akan mudah dikendalikan. Namun di sisi lain, persoalan ketidakberimbangan isi pesan yang berujung pada kredibilitas menjadi tantangan yang harus dihadapi. Ini berbeda dengan saluran komunikasi yang independen. Meskipun tingkat kontrol pesan lebih sulit daripada saluran komunikasi internal perusahaan, akan tetapi saluran komunikasi independen seperti yang terdapat dalam liputan media dan word of mouth memiliki kredibilitas yang lebih tinggi. Selain aspek komunikasi, faktor kontingensi juga perlu menjadi pertimbangan dalam strategi komunikasi CSR yang efektif. Faktor kontingensi yang dimaksud adalah faktor – faktor situasional yang memungkinkan komunikasi CSR efektif atau sebaliknya. Secara garis besar faktor kontingensi dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu faktor terkait perusahaan dan faktor terkait stakeholder. Faktor spesifik yang menyangkut perusahaan dapat dilihat sebagai faktor – faktor yang melekat dalam diri komunikator, antara lain: reputasi, industri, dan strategi pemasaran. Reputasi akan mempengaruhi efektivitas komunikasi CSR karena memudahkan penerimaan stakeholder dalam memberikan penilaian dan respon secara positif terhadap aktivitas CSR. Selain reputasi, faktor industri di mana perusahaan beroperasi turut mempengaruhi efektivitas komunikasi CSR. Alasannya, stakeholder seringkali curiga terhadap perusahaan yang berada dalam kategori industri tertentu, seperti industri rokok dan pertambangan. Dengan demikian tantangan untuk mengomunikasikan CSR secara efektif juga lebih besar. Positioning CSR merupakan faktor selanjutnya yang mempengaruhi efektivitas komunikasi CSR. Artinya, keberhasilan CSR dapat dilihat dari sejauh mana upaya perusahaan dalam memposisikan aktivitas CSR-nya di tengah – tengah persaingan yang ada. Faktor spesifik terkait stakeholder merupakan faktor – faktor yang melekat dalam diri komunikan, diantaranya: tipe stakeholder, dukungan sosial, dan orientasi nilai sosial. Hal yang menarik dalam mengomunikasikan CSR yaitu variasi stakeholder, yang dapat dilihat berdasarkan harapan terhadap perusahaan, tingkat kebutuhan informasi terhadap CSR, dan kekuatan untuk mempengaruhi
14
kelangsungan hidup perusahaan. Tentu saja ini akan mempengaruhi respon perusahaan dalam mengomunikasikan aktivitas CSR-nya. Mulai dari memetakan harapan hingga memetakan kekuatan stakeholder. Akhirnya, proses pemetaan tersebut memerlukan strategi komunikasi. Dukungan sosial dari para pemangku kepentingan merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam komunikasi CSR. Namun perlu dicatat bahwa dukungan sosial akan muncul ketika inisiatif CSR dianggap relevan atau sesuai dengan masalah sosial yang dihadapi masing – masing stakeholder. Sehingga, perusahaan perlu menjelaskan tentang pentingnya inisiatif CSR terhadap kebutuhan stakeholder. Tidak hanya terbatas pada dukungan sosial, efektivitas komunikasi CSR juga dipengaruhi oleh orientasi nilai sosial yang muncul. Jika nilai sosial tersebut cenderung individualis, maka keuntungan hanya akan didapatkan salah satu pihak saja. Sebaliknya, jika nilai sosial yang muncul cenderung prososial, maka keuntungan yang dicapai dari aktivitas CSR akan seimbang. Selain kerangka kerja yang dikemukakan Du, Bhattacharya dan Sen, penulis lain, Morsing dan Schultz (2006: 325) mengajukan tiga macam strategi komunikasi CSR dengan mengadopsi model public relations Grunig dan Hunt (1984). Pertama strategi informasi stakeholder, yang mengadopsi model public information. Implikasi dari strategi ini adalah komunikasi satu arah dari organisasi kepada stakeholder, sehingga disebut juga sebagai proses berbicara, bukan mendengar. Tujuan dari strategi ini adalah menyebarkan informasi seobjektif mungkin tentang organisasi. Kedua, strategi respon stakeholder yang berdasarkan model komunikasi dua arah asimetris. Meskipun menerapkan proses komunikasi dua arah, namun muncul efek yang tidak seimbang, di mana organisasi melakukan upaya persuasi untuk
mengubah
sikap
dan
perilaku
stakeholder
daripada
berusaha
memahaminya. Dengan demikian, upaya komunikasi CSR dilakukan untuk mencari tahu atau sebagai langkah evaluasi apakah yang dilakukan organisasi sudah dipahami oleh stakeholder atau belum. Ketiga, strategi keterlibatan stakeholder yang mengasumsikan terjadinya proses dialog antara organisasi dan para pemangku kepentingan. Upaya persuasi
15
mungkin saja terjadi namun itu dilakukan baik oleh organisasi maupun stakeholder-nya. Dengan demikian, terjadi keseimbangan pengaruh baik dari organisasi maupun stakeholder. Meskipun model public relations Grunig dan Hunt terdiri atas empat model, Morsing dan Schultz menyimpulkan bahwa model pertama (press agentry/ publicity model) tidak relevan dengan komunikasi CSR karena dalam model press agentry kebenaran informasi masih diragukan. Dimensi Pesan Pesan memiliki kedudukan penting dalam komunikasi CSR. Pemahaman atas pesan yang berupa informasi mengenai harapan stakeholder yang heterogen, menjadi bahan baku pengambilan kebijakan CSR. Sebaliknya, output berupa pesan tentang keterlibatan perusahaan dalam ber-CSR akan mempengaruhi penerimaan stakeholder terhadap perusahaan. Implementasi pentingnya dimensi pesan tampak dalam penyusunan laporan CSR. Meskipun belum ada kesepakatan kerangka kerja sistematis dalam menganalisis pesan CSR, beberapa penulis menawarkan kerangka kerja yang akan digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Ahmad, Sulaiman dan Siswantoro (2003: 10) mengembangkan kategorisasi isi laporan CSR menjadi lima bagian yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
16
Tabel 1.4 Kategorisasi Isi Laporan CSR Dimensi Tema
Bukti Tipe Berita Luas Pengungkapan Informasi Lokasi Penempatan
Kategori 1. Lingkungan 2. Energi 3. Produk dan Konsumen 4. Keterlibatan Komunitas 5. Karyawan 6. Lainnya 1. Moneter 2. Kuantitatif Non-Moneter 3. Deklaratif 1. Positif 2. Netral 3. Negatif Dinyatakan dalam Jumlah Kalimat 1. Pernyataan Direktur Utama 2. Tinjauan Operasional 3. Data Perseroan 4. Lainnya Sumber: Ahmad, Sulaiman dan Siswantoro, 2003: 10
Tang dan Li (2009: 204) serta Tang, Gallagher dan Bie (2014: 6-7) mengembangkan kerangka kerja analisis dengan mengajukan tiga pertanyaan dasar tentang pesan CSR, yaitu mengapa, apa dan bagaimana. Pertanyaan pertama berisi tentang alasan dasar mengapa perusahaan terlibat dalam aktivitas CSR. Alasan dasar ini kemudian dikaitkan dengan dimensi CSR yang ditawarkan Carroll, yang terdiri atas tanggung jawab ekonomi, legal, etis dan filantropi. Kedua, pertanyaan mengenai dibidang apa perusahaan terlibat dalam aktivitas CSR, dijabarkan ke dalam tema dan inisiatif perusahaan dalam melaksanakan CSR. Bagian ini mencakup tema program CSR dan stakeholder yang menjadi sasaran. Pertanyaan ketiga tentang bagaimana CSR diterapkan pada tataran teknis. Secara lebih detail ketiga dimensi analisis isi pesan dapat dilihat dalam tabel 1.5.
17
Tabel 1.5 Kerangka Kerja Analisis Pesan CSR Dimensi Alasan mendasar
Tema
1. 2. 3. 4. 1.
2. 3.
Praktik
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kategori Alasan ekonomi Alasan legal Alasan etis Alasan filantropi Karyawan a. Kesehatan dan keselamatan b. Upah yang pantas (adil) c. Kesejahteraan d. Pengembangan diri e. Kesempatan yang sama bagi semua karyawan Pelanggan a. Kualitas produk b. Keamanan produk Komunitas a. Bantuan keuangan di bidang pendidikan b. Bantuan keuangan di bidang olahraga c. Bantuan keuangan di bidang seni dan budaya d. Pembangunan dan pengurangan kemiskinan e. Bantuan korban bencana f. Pelestarian lingkungan g. Kesehatan dan disabilitas Kebijakan perusahaan Laporan CSR Donasi Yayasan Kegiatan sukarela Membangun kemitraan dengan LSM, perguruan tinggi dan lembaga pemerintah
Sumber: Tang dan Li, 2009: 204; Tang, Gallagher, Bie, 2014: 6-7
Upaya sistematisasi kerangka kerja analisis isi komunikasi CSR juga dilakukan oleh Maignan dan Raltson (2002: 498-499). Kedua penulis ini menganalisis isi komunikasi CSR dengan membagi pesan CSR ke dalam tiga bagian. Pertama, prinsip CSR yang merepresentasikan motif perusahaan terlibat dalam aktivitas CSR. Kedua, proses CSR yang merepresentasikan prosedur manajerial dan instrumen yang digunakan untuk mengimplementasikan prinsip ke dalam praktik CSR. Ketiga, isu stakeholder yang terlibat. Selain pesan CSR, media atau saluran komunikasi merupakan faktor penting lainnya dalam efektivitas komunikasi CSR (Du, Bhattacharya dan Sen,
18
2010: 13). Perusahaan yang memiliki saluran komunikasi tersendiri, akan lebih mudah mengendalikan pesan CSR. Media penyampaian laporan dapat berupa website resmi perusahaan, laporan kinerja tahunan dan forum – forum formal, seperti seminar dan konferensi. Namun perlu dicatat bahwa isu kredibilitas menjadi tantangan tersendiri bagi saluran komunikasi yang dikontrol oleh perusahaan. 4.
Pelaporan CSR dan Laporan Tahunan Perkembangan penerapan CSR di Indonesia juga diikuti perkembangan
pelaporan di dalamnya. Pelaporan CSR atau disebut juga pelaporan keberlanjutan menjadi bagian strategi komunikasi korporat dalam menyampaikan pesan mengenai kinerja perusahaan kepada para pemangku kepentingan. Dorongan untuk kian memperluas mekanisme tersebut terus diupayakan oleh para aktivis pembangunan berkelanjutan. Hal ini dilakukan guna mempopulerkan serta meningkatkan kualitas pelaporan keberlanjutan yang dihasilkan perusahaan – perusahaan di Indonesia. Komunikasi memainkan peran penting dalam aktivitas CSR. Tanpa komunikasi, kinerja sosial (CSR) akan sulit bahkan mungkin mustahil untuk dievaluasi. Oleh karena itu, regulasi yang ada tidak hanya mewajibkan perusahaan – perusahaan untuk ber-CSR, tetapi juga mengomunikasikan aktivitas CSR melalui media yang terdokumentasi. Salah satu media yang digunakan secara luas dalam menyampaikan kinerja atau aktivitas CSR adalah laporan tahunan perusahaan. Ada beberapa standar atau pedoman yang digunakan dalam pelaporan CSR. Namun, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, pedoman yang dibuat oleh internal perusahaan (internal codes of conduct). Kedua, pedoman yang berasal dari luar perusahaan (pedoman eksternal), baik dalam skala lokal maupun global. Misalnya, Peraturan Bapepam No. X.K.6, GRI (Global Reporting Initiative) dan ISO 26000: 2010. Secara sederhana, laporan tahunan perusahaan merupakan dokumen komunikasi formal yang terdiri dari informasi kuantitatif, narasi, foto dan grafik
19
(Courtis, 1995: 4). Laporan ini berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada para pemangku kepentingan. Laporan tahunan disusun untuk disampaikan kepada pemangku kepentingan yang berbeda – beda sekaligus, sehingga tuntutan untuk mudah dibaca (readability) dan mudah dipahami (understandability) menjadi tantangan bagi penyusunnya. Selain sebagai dokumentasi informasi kinerja perusahaan, laporan tahunan juga dapat dijadikan sebagai alat pemasaran yang efektif bagi perusahaan, terutama bagi calon investor (Prayudi, 2007: 135 – 136). Menurut Hughes, Anderson dan Golden, laporan tahunan menjadi penyampaian kinerja perusahaan yang sering digunakan dalam mengomunikasikan CSR (Ahmad, et.al., 2003: 10). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa laporan tahunan memiliki ruang yang luas dalam menyampaikan informasi perusahaan. Secara garis besar laporan tahunan perusahaan memuat dua bagian utama, yaitu informasi finansial dan informasi nonfinansial (Thomsett, 2007: 19). Istilah informasi nonfinansial dalam praktiknya dipahami secara berbeda – beda. Thomsett menyebut istilah informasi public relations sebagai pengganti informasi nonfinansial. Berdasarkan perspektif investor, bagian finansial menyangkut informasi keuangan perusahaan selama satu tahun,
sedangkan informasi
nonfinansial tentu saja berisi informasi selain data keuangan yang relevan terhadap pertimbangan investasi. Salah satu elemen informasi nonfinansial yang semakin penting adalah kinerja CSR (Eccles dan Krzus, 2010: 79). Peningkatan laporan nonfinansial terjadi seiring peningkatan tekanan terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan kinerja perusahaan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan KPMG, terjadi peningkatan perusahaan yang terlibat dalam pelaporan CSR, dari 3400 perusahaan tahun 2011 menjadi 4100 perusahaan pada tahun 2013. Meskipun mengalami peningkatan, bukan berarti masa depan pelaporan CSR semakin cerah. Permasalahan yang muncul adalah tidak ada standar universal dalam penyampaian laporan. Akibatnya,
muncul variasi laporan CSR baik secarakonten maupun bentuk
laporan. Ada laporan yang berisi beberapa paragraf dan menjadi bagian laporan finansial tahunan, namun ada juga laporan khusus yang berisi 100 halaman atau
20
lebih. Hal ini berarti ada laporan CSR yang memiliki substansi singkat dan adapula laporan yang memiliki substansi yang terinci. Upaya penyeragaman laporan CSR sebagian besar masih didasarkan pada pedoman yang dibuat oleh organisasi lintas negara. Misalnya, pedoman bisnis yang bertanggung jawab bagi perusahaan multinasional yang dikembangkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Selain itu terdapat pedoman pelaporan keberlanjutan yang dikembangkan Global Reporting Initiative (GRI) dan pedoman laporan CSR yang dikembangkan International Organization for Standardization (ISO). Di samping itu, masih terdapat beberapa pedoman lain seperti pedoman pelaporan CSR yang dikembangkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan Global Compact-nya dan standar kinerja sosial dan lingkungan yang dikembangkan oleh International Finance Corporations (IFC). Tidak ada keharusan dalam memilih pedoman yang digunakan sebagai standar pelaporan. Akibatnya, meskipun terdapat berbagai upaya dalam menyeragamkan laporan CSR, hingga saat ini, laporan CSR yang terbit masih bervariasi. Pada akhirnya, pedoman pelaporan tergantung pada perkembangan standardisasi tingkat nasional masing – masing negara atau rezim pelaporan CSR. Sehingga sangat dimungkinkan jika terdapat banyak variasi laporan CSR yang dilihat berdasarkan konteks rezim pelaporan CSR. Berdasarkan pemahaman di atas, konteks rezim pemerintahan memainkan peran penting dalam pelaporan CSR. Maguire (2011: 6) menyebutkan beberapa kriteria kunci dalam rezim pelaporan CSR. Pertama, berkaitan dengan persoalan kewajiban atau sukarela. Berdasarkan kriteria ini, beberapa negara mendasarkan pelaporan CSR pada asas sukarela, sedangkan yang lain bersifat campuran (wajib dan sukarela). Kedua, menyangkut persoalan prinsip umum atau aturan khusus. Beberapa negara memberikan kebebasan yang cukup besar bagi perusahaan untuk menyampaikan laporan CSR berdasarkan prinsip – prinsip (code of conduct) secara umum. Namun, ada juga negara yang memberikan standardisasi pelaporan yang sangat ketat, sehingga menghasilkan laporan – laporan CSR yang seragam atau homogen.
21
Kriteria ketiga yaitu terkait persoalan standar. Kriteria ini masih dapat diperinci lagi menjadi siapa yang membuat standar, untuk siapa standar tersebut diberlakukan, dan isu apa saja yang diatur dalam standar tersebut. Pembuat standar laporan CSR dapat berasal dari berbagai pihak, seperti pemerintah, bursa saham, dan organisasi nirlaba. Sedangkan, standar laporan CSR itu sendiri seringkali ditujukan kepada perusahaan terdaftar, perusahaan besar, dan BUMN. Terakhir, standar laporan CSR mencakup berbagai isu, seperti HAM, tenaga kerja, komunitas, produk, dan antikorupsi. Penyusunan laporan tahunan menjadi sebuah kebiasaan bahkan kewajiban terutama bagi perusahaan – perusahaan besar di Indonesia. Hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) No. X.K.6 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Berdasarkan peraturan tersebut, penyampaian laporan tahunan menjadi kewajiban bagi emiten dan perusahaan publik. Sedangkan berdasarkan Lampiran Keputusan Ketua Bapepam-LK No. KEP-431/ BL/ 2012 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik, isi laporan tahunan paling tidak mencakup sembilan bagian, yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Ikhtisar data keuangan penting Laporan dewan komisaris Laporan direksi Profil perusahaan Analisis pembahasan dan manajemen Tata kelola perusahaan Tanggung jawab sosial perusahaan Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit Surat pernyataan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi atas kebenaran isi laporan tahunan.
Berdasarkan peraturan Bapepam-LK di atas, penyampaian informasi tanggung jawab sosial perusahaan menjadi satu kesatuan dengan laporan tahunan perusahaan. Meski demikian, dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa selain laporan tahunan, penyampaian informasi tentang tanggung jawab sosial
22
perusahaan juga dapat dilakukan melalui laporan tersendiri (stand alone report), seperti laporan keberlanjutan (sustainability report). Secara garis besar laporan CSR atau sering juga disebut laporan keberlanjutan, memuat tiga aspek, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan prinsip Triple Bottom Line yang digagas oleh Elkington. Dewasa ini pelaporan CSR dilakukan untuk mengatasi isu keberlanjutan yang ditujukan pada korporasi. Dalam lampiran keputusan yang dikeluarkan ketua Bapepam-LK juga memuat pembahasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang meliputi kebijakan, jenis program dan biaya yang dikeluarkan terkait aspek: a. b. c. d.
Lingkungan hidup. Praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Pengembangan sosial dan kemasyarakatan. Tanggung jawab produk.
F. Kerangka Pemikiran Sebagai bentuk komunikasi satu arah (stakeholder information strategy), laporan CSR memberikan gambaran informasi tentang praktik CSR yang dilakukan perusahaan. Ini merupakan langkah awal dalam mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan sebagai strategi bisnis untuk meningkatkan daya saing. Dalam praktiknya, isi laporan CSR ditentukan oleh standar pelaporan pemerintahan sebuah negara. Implementasi standar pelaporan dapat menimbulkan variasi isi laporan yang homogen atau heterogen. Keterkaitan praktik CSR, komunikasi CSR dan rezim standar pelaporan dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran penelitian berikut ini.
23
Rezim Standar Pelaporan
Praktik CSR
Pelaporan (Komunikasi CSR)
Isi Laporan
Metode Analisis Isi
Bagan 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian G. Kerangka Konsep CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan memiliki definisi dan ruang lingkup yang luas. Penerapan metode analisis isi baru dapat dilakukan setelah memerinci ruang lingkup CSR ke dalam konsep – konsep yang dapat diukur. Berdasarkan kerangka kerja komunikasi CSR, aspek isi pesan memiliki dua dimensi yaitu isu dan inisiatif. Dari dua dimensi tersebut kemudian dijabarkan menjadi konsep – konsep yang akan diukur, seperti pada bagan 1.4.
24
Tema Program Isu Jenis Program
Isi Pesan
Luas Pengungkapan Informasi
Saluran Pesan
Dasar Pelaksanaan
Komunikasi CSR
Inisiatif Tipe Pernyataan Bukti
Stakeholder
Bagan 1.4 Kerangka Konsep 1.
Aspek isi pesan, meliputi: a.
Tema program Tema program menunjukkan permasalahan sosial yang menjadi perhatian perusahaan. Secara spesifik, tema program CSR di Indonesia telah diatur dalam standar pelaporan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu lingkungan hidup; praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja; pengembangan sosial dan kemasyarakatan; tanggung jawab produk.
b.
Jenis program Jenis program mengacu pada pemikiran tentang bagaimana perusahaan mengatasi permasalahan sosial yang menjadi perhatiannya. Menurut Said dan Abidin, cara perusahaan – perusahaan di Indoensia mengatasi permasalahan sosial dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial yang didirikan oleh perusahaan,
dengan bermitra dengan pihak lain dan
25
dengan bergabung atau mendukung suatu konsorsium (Suharto, 2006: 7 – 8). c.
Luas pengungkapan informasi Konsep ini mengindikasikan seberapa jauh perusahaan menunjukkan keterbukaan informasi atau transparansi. Ada perusahaan yang hanya menyampaikan laporan CSR dalam beberapa paragraf yang dimuat dalam
laporan tahunan (annual
report),
namun adapula
yang
menyampaikan laporan CSR secara terpisah hingga ratusan halaman. Selain itu, luas pengungkapan informasi menunjukkan seberapa serius perusahaan mau terlibat dalam praktik CSR. Terdapat beberapa standar yang digunakan untuk melihat luas pengungkapan informasi CSR seperti jumlah kata, jumlah kalimat dan jumlah halaman. d.
Dasar pelaksanan CSR Dasar pelaksanaan CSR menunjukkan alasan atau motivasi perusahaan mau terlibat dalam kegiatan CSR. Pendekatan piramida CSR yang dikemukakan Carroll dianggap paling tepat
untuk memperoleh
pemahaman tentang konsep ini. Alasan ekonomi mengacu pada pemikiran bahwa perusahaan terlibat dalam praktik CSR untuk memperoleh
keuntungan.
Alasan
legal
mengindikasikan
bahwa
perusahaan beroperasi dengan cara yang bertanggung jawab sesuai dengan regulasi yang berlaku baik di tingkat lokal, nasional dan global. Alasan etika menunjukkan bahwa apa yang dilakukan perusahaan untuk menyesuaikan nilai – nilai moral yang berkembang di mana perusahaan beroperasi. Sedangkan alasan filantropi mengacu pada pemikiran bahwa perusahaan terpanggil untuk berkontribusi dalam permasalahan sosial dan berusaha melampaui apa yang diharapkan masyarakat. e.
Tipe pernyataan bukti Untuk menunjukkan komitmen seperti yang terdapat dalam kerangka kerja komunikasi CSR, maka perusahaan menekankan pernyataan terkait aspek sumber daya yang telah dikeluarkan, seperti aspek jumlah uang
26
yang telah dikeluarkan atau aspek lain yang dapat dijadikan bukti bahwa perusahaan tidak membual. f.
Stakeholders Berdasarkan penjelasan kerangka teori yang ada, stakeholder menjadi konsep yang tidak terpisahkan dari kajian CSR. Karena, konsep ini menunjukkan kepada siapa program CSR itu ditujukan. Melalui kajian mengenai stakeholder ini juga, konsep CSR lahir. Dari berbagai kategorisasi stakeholder yang dikemukakan di awal, pemikiran Freeman tentang stakeholder primer dan sekunder digunakan dalam penelitian ini, untuk menunjukkan siapa pemangku kepentingan yang dianggap paling berpengaruh terhadap perusahaan – perusahaan besar di Indonesia.
2.
Aspek saluran pesan Dalam penelitian ini, saluran pesan mengacu pada laporan tahunan perusahaan (annual
report)
sebagai
media
yang
digunakan untuk
mengomunikasikan praktik CSR. Sedangkan laporan CSR yang terpisah dari laporan tahunan (stand alone report) tidak dijadikan sebagai objek penelitian. H. Unit Analisis dan Kategorisasi Unit analisis merupakan inti kegiatan dalam penelitian dengan metode analisis isi. Dalam penelitian ini proses penetapan unit analisis didasarkan pada pemikiran Prajarto (2010: 49). Pertama, unit pencatatan (recording unit) yang menjadi fokus kajian peneliti yaitu item atau teks keseluruhan tentang informasi CSR yang terdapat dalam laporan tahunan 2013 perusahaan – perusahaan besar versi majalah Fortune Indonesia. Satu item laporan CSR inilah yang menjadi dasar penghitungan referensi – referensi yang manifes. Kedua, unit isi (content unit) yaitu kesatuan dari item – item laporan CSR yang dimuat dalam laporan tahunan perusahaan. Unit isi ini kemudian digunakan untuk mempertimbangkan referensi – referensi yang sudah dicatat dalam konteks yang lebih besar.
27
Setelah unit pencatatan ditentukan, langkah selanjutnya yaitu menentukan hal – hal apa yang akan diukur dalam isi pesan melalui upaya kategorisasi. Kerangka konseptual yang telah diuraikan di atas menjadi dasar penyusunan kategori dalam mencermati isi laporan CSR, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1.6 Unit Analisis dan Kategori No
Unit Klasifikasi
Kategori
Isu 1.
Tema Program
2.
Jenis Program
1. Lingkungan hidup 2. Praktik ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan kerja 3. Pengembangan sosial dan kemasyarakatan 4. Tanggung jawab produk 5. Kombinasi 1. Keterlibatan langsung 2. Melalui organisasi sosial yang didirikan oleh perusahaan 3. Bermitra dengan pihak lain 4. Bergabung atau mendukung suatu konsorsium 5. Kombinasi
Inisiatif 3.
Luas Pengungkapan Informasi
4.
Dasar Pelaksanaan CSR
5.
Tipe Pernyataan Bukti
6.
Stakeholder
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
1 – 2 halaman 3 – 10 halaman Lebih dari 10 halaman Alasan Ekonomi Alasan Legal Alasan Etika Alasan Filantropi Kombinasi Tidak jelas Moneter Kuantitatif non-Moneter Deklaratif Kombinasi Tidak jelas Karyawan Pelanggan Komunitas lokal Lainnya Kombinasi
28
I.
Operasionalisasi Konsep Secara garis besar unit klasifikasi dan kategorisasi penelitian ini dibagi
menjadi dua, yaitu isu yang menjadi perhatian dan inisiatif perusahaan. Skala nominal digunakan untuk melakukan pengukuran dalam penelitian. Secara lebih rinci operasionalisasi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Tema program, digunakan untuk mengetahui permasalahan sosial yang menjadi perhatian perusahaan dalam menjalankan praktik CSR. a.
Kategori 1 adalah lingkungan hidup, seperti penggunaan material dan energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, sistem pengolahan limbah perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki.
b.
Kategori 2 yaitu praktik ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan kerja, seperti kesetaraan gender dan kesempatan yang sama bagi semua karyawan, sarana kesehatan dan keselamatan kerja, tingkat perpindahan (turnover)
karyawan,
tingkat
kecelakaan
kerja,
pelatihan
dan
pengembangan diri, upah yang pantas atau adil, kesejahteraan. c.
Kategori 3 yaitu pengembangan sosial dan kemasyarakatan, misalnya pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan prasarana publik (rumah sakit, sekolah, tempat ibadah), layanan dibidang kesehatan, bantuan keuangan dibidang pendidikan, bantuan keuangan dibidang olahraga, bantuan keuangan dibidang seni dan budaya, bantuan korban bencana, , dan bentuk donasi lainnya.
d.
Kategori 4 yaitu tanggung jawab produk yang meliputi kesehatan dan keselamatan
konsumen,
informasi
produk,
sarana,
jumlah
dan
penanggulangan atas pengaduan konsumen. e.
Kategori kombinasi yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
29
2.
Jenis program, digunakan untuk mengetahui cara perusahaan menjalankan praktik CSR, meliputi: a.
Kategori 1 jika perusahaan terlibat secara langsung dalam melaksanakan kegiatan CSR. Misalnya, “Perseroan memiliki komitmen untuk terlibat langsung dalam mengembangkan komunitas di sekitar lingkungan perusahaan.”
b.
Kategori 2 jika perusahaan membentuk organisasi sosial seperti yayasan untuk menjalankan praktik CSR. Misalnya, “Melalui yayasan yang dibentuk perseroan, diharapkan program CSR dapat dilaksanakan secara efektif dan dapat dievaluasi secara menyeluruh.”
c.
Kategori 3 jika perusahaan bekerja sama dengan organisasi lain atau perusahaan lain. Misalnya, “Perseroan bekerja sama dengan dinas perikanan mengembangkan budidaya perikanan di daerah Tulungagung.”
d.
Kategori 4 jika perusahaan bergabung atau mendukung sebuah konsorsium, yaitu persekutuan beberapa perusahaan atau kerja sama yang dilakukan oleh organisasi – organisasi besar. Misalnya, “Perseroan mendukung kegiatan Earth Hour yang dicetuskan oleh WWF (organisasi internasional nonpemerintah terbesar di dunia yang menangani isu – isu dibidang lingkungan) melalui aksi pemadaman lampu penerangan outdoor selama satu jam pada tanggal 23 Maret 2013.”
e.
Kategori kombinasi, yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
3.
Luas pengungkapan informasi, digunakan untuk mengetahui space atau jumlah informasi CSR yang disajikan dalam laporan tahunan. Dalam penelitian ini, luas pengungkapan informasi CSR diukur berdasarkan jumlah halaman yang digunakan untuk menyajikan laporan. Jumlah halaman yang digunakan dalam mengungkap informasi CSR meliputi tiga kategori, yaitu:
30
a.
Kategori 1 atau kategori minimum jika laporan CSR berjumlah 1 hingga 2 halaman.
b.
Kategori 2 atau kategori medium jika laporan CSR berjumlah 3 hingga 10 halaman.
c.
Kategori 3 atau kategori luas, jika laporan CSR berjumlah lebih dari 10 halaman.
4.
Dasar pelaksanaan CSR, digunakan untuk mengetahui motif atau alasan yang dipakai perusahaan dalam melaksanakan praktik tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Unit klasifikasi ini mengacu pada pemikiran Carroll tentang dimensi tanggung jawab sosial perusahaan. a.
Kategori 1 jika perusahaan menggunakan dasar pertimbangan atau alasan ekonomi dalam menerapkan CSR. Alasan ekonomi yang dimaksud yaitu bahwa perseroan berperan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan memberikan keuntungan. Hal ini diamati dari pernyataan perusahaan seperti integrasi CSR ke dalam strategi bisnis, kontribusi bagi pembangunan dan penciptaan lapangan kerja.
b.
Kategori 2
jika
perusahaan
menggunakan alasan legal dalam
melaksanakan CSR. Hal ini dapat diamati dari pernyataan perusahaan dalam mematuhi peraturan tentang CSR, misalnya “Perseroan menyadari bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kewajiban, seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.” c.
Kategori 3 jika perusahaan menggunakan alasan etika dalam menerapkan CSR. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan tentang perhatian perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholder) mengenai nilai yang berkembang, seperti ungkapan terima kasih, adil, sejahtera dan pantas.
d.
Kategori 4 jika perusahaan menggunakan alasan filantropi atau sukarela dalam menjalankan CSR. Hal ini dapat diamati dari pernyataan seperti “melampaui kewajiban hukum”, “sebagai bagian dari masyarakat”, “warga korporasi yang bertanggung jawab”
31
e.
Kombinasi kategori, yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
f.
Tidak jelas, jika dalam penyampaian laporan tidak terdapat pernyataan alasan atau dasar pelaksanaan CSR.
5.
Tipe pernyataan bukti, dipakai untuk melihat bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan sudah berkomitmen menjalankan kegiatan CSR, meliputi: a.
Kategori 1 merupakan pernyataan moneter yang ditunjukkan melalui pernyataan jumlah uang yang dialokasikan untuk kegiatan CSR.
b.
Kategori 2 merupakan pernyataan kuantitatif nonmoneter
yang
ditunjukkan melalui pernyataan yang memuat angka – angka selain menyangkut jumlah uang, seperti jumlah pelajar/ mahasiswa penerima beasiswa, jumlah guru yang mendapatkan pelatihan, jumlah UKM yang telah dibina perusahaan. c.
Kategori 3 merupakan pernyataan deklaratif yang ditunjukkan melalui pernyataan bahwa perusahaan telah menjalankan aktivitas CSR namun tidak memuat angka – angka. Misalnya, membangun sejumlah sekolah, tempat ibadah dan fasilitas publik lainnya, mendukung kampanye pelestarian hutan, menyelenggarakan pengobatan gratis, dsb.
d.
Kategori kombinasi merupakan gabungan pilihan kategori yang ada, bisa berupa gabungan dua kategori atau gabungan tiga kategori.
e.
Tidak jelas, artinya perusahaan tidak dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah melaksanakan praktik CSR .
6.
Stakeholder, digunakan untuk mengetahui siapa saja yang menjadi stakeholder atau para pemangku kepentingan penerima manfaat dari kegiatan CSR, meliputi: a.
Kategori 1 adalah karyawan, termasuk manajer sebagai pihak yang menjadi sasaran kegiatan CSR.
b.
Kategori 2 adalah pelanggan, termasuk konsumen sebagai pihak yang menjadi sasaran kegiatan CSR.
32
c.
Kategori 3 yaitu komunitas lokal. Dalam hal ini komunitas lokal tidak hanya dimaknai sebagai masyarakat yang berada disekitar wilayah operasi bisnis perusahaan saja, tetapi bisa juga masyarakat yang berada di luar wilayah operasi bisnis perusahaan.
d.
Kategori 4 yaitu stakeholder selain yang sudah disebutkan di atas (karyawan, pelanggan dan komunitas lokal) seperti pemerintah, investor, mitra bisnis, lembaga swadaya masyarakat, kelompok pemerhati lingkungan.
e.
Kategori kombinasi yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
J.
Metode Penelitian
1.
Metode Analisis Isi Analisis isi merupakan suatu metode penelitian yang tepat ketika
berurusan dengan isi pesan yang terdapat dalam media (Prajarto, 2010: 1 – 3). Kekhasan dari penggunaan metode ini tampak pada syarat yang harus terpenuhi ketika akan melakukan analisis isi. Syarat yang dimaksud adalah pesan yang akan dianalisis harus tampak atau manifest (dapat didengar, dilihat, atau dibaca). Implikasi dari hal ini adalah perhitungan dan pengukuran aspek – aspek dari pesan yang terlihat secara langsung yang menjadi fokus penelitian. Pada titik inilah analisis isi dapat dibedakan dengan metode penelitian lain yang berkaitan dengan pesan suatu media yang sifatnya menafsirkan, seperti analisis framing, analisis wacana, dan semiotika. Selain isi yang tampak, metode analisis isi memiliki beberapa ciri khas yang lain (Prajarto, 2010: 4 – 8; Eriyanto, 2011: 16 – 20). Pertama yaitu ciri objektif, di mana peneliti harus benar – benar melihat gambaran isi pesan secara apa adanya dan tidak memasukkan unsur subjektivitas (bias peneliti). Sehingga, jika penelitian dilakukan oleh orang yang berbeda akan memberikan hasil yang sama. Kedua, metode analisis isi dilakukan terhadap materi yang sudah terdokumentasi. Ketiga, ciri sistematik yang dapat dilihat pada penerapan
33
prosedur yang sama pada semua tahapan proses penelitian. Keempat, ciri kuantitatif yang tampak pada penggunaan statistik sebagai dasar analisis data. Pertimbangan penggunaan analisis isi tentu didasarkan pada fungsi yang dimiliki metode tersebut. Setidaknya terdapat tujuh belas fungsi penggunaan analisis isi (Berelson, 1952: 29 – 105). Beberapa fungsi yang dimaksud dan kemudian
dijadikan
pertimbangan
dalam
penelitian
ini
antara
lain:
mendeskripsikan kecenderungan isi komunikasi, mengungkap fokus perhatian, serta mencerminkan sikap, minat dan nilai – nilai kelompok populasi. Metode analisis isi telah digunakan secara luas, baik dari segi displin ilmu maupun media. Dari segi ilmu analisis isi telah digunakan diberbagai bidang seperti komunikasi, sosiologi, politik, dan ekonomi. Dalam ilmu politik misalnya, analisis isi menjadi metode penelitian untuk mengungkap pemikiran aktor politik dan strategi politik. Sedangkan dalam ilmu ekonomi, penelitian tentang strategi bisnis juga memanfaatkan analisis isi sebagai salah satu metode penelitian (Eriyanto, 2011: 13). Dari segi media, analisis isi dapat diterapkan secara luas pada berbagai media. Sebut saja media cetak seperti suratkabar, buku, naskah pidato, iklan cetak dan laporan perusahaan. Di samping itu, analisi isi dapat diterapkan pada media elektronik, misalnya iklan radio atau televisi, isi siaran radio atau televisi. Bahkan seiring perkembangan internet, metode ini menjadi kesempatan dan tantangan tersendiri bagi para peneliti isi komunikasi (Wimmer dan Dominick, 2011: 177). Berdasarkan uraian tentang ciri khas, fungsi dan penggunaan metode analisis isi di atas, maka upaya untuk melihat deskripsi kecenderungan isi laporan CSR dalam laporan tahunan perusahaan akan tepat jika menggunakan metode ini. Dengan menggunakan metode ini, isi laporan CSR yang disampaikan oleh perusahaan – perusahan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014 dapat ditampilkan secara objektif dan sistematik. 2.
Populasi dan Sensus Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh laporan CSR yang dimuat
dalam laporan tahunan 2013 perusahaan – perusahaan besar versi majalah Fortune
34
Indonesia Vol. 93/ 20 Juli 2014. Dengan demikian, terdapat 100 item laporan CSR yang dimuat dalam laporan tahunan perusahaan. Namun, tidak semua perusahaan menyampaikan laporan CSR dalam laporan tahunan periode 2013. Bank Tabungan Negara dan Holcim Indonesia menyampaikan laporan CSR (Laporan Keberlanjutan) secara terpisah dengan laporan tahunan, sehingga populasi sasaran dalam penelitian ini menjadi 98 item. Populasi sasaran di atas merupakan data yang digunakan sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena itu, data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik sensus berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, sensus merupakan cara yang ideal dalam melaksanakan analisis isi. Kedua, penelitian ini melibatkan populasi yang spesifik, yaitu 100 perusahaan. Artinya kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini hanya berlaku bagi perusahaan 100 perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune. Ketiga, periode media yang diteliti terbatas pada satu periode, yaitu tahun 2013, sehingga populasi sasaran masih dapat dijangkau. Secara lebih rinci, kerangka populasi sasaran dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran laporan penelitian. 3.
Metode Pengumpulan Data Majalah Fortune Indonesia sendiri merilis daftar perusahaan – perusahaan
terbesar setiap tahunnya, yang dikenal dengan sebutan Fortune 100. Laporan tahunan ini berbentuk soft copy (PDF) yang diunduh dari website resmi masing – masing perusahaan atau website Bursa Efek Indonesia. Data dikumpulkan dengan melakukan pengodingan melalui instrumen lembar kode (coding sheet). Pengumpulan data diselenggarakan selama kurang lebih dua bulan (Agustus hingga September 2015). 4. Analisis Data Data yang sudah dimasukkan dalam lembar kode kemudian dianalisis dengan teknik statistik dan menggunakan SPSS versi 17. Sedangkan jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data nominal. Sesuai tujuan penelitian untuk menggambarkan karakteristik populasi dan tipe data, teknik analisis statistik
35
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu statistik deskriptif. Secara spesifik, statistik deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk menghitung frekuensi pemunculan dari setiap unit kategori. Selain itu, penggunaan statistik deskriptif juga digunakan untuk melihat ukuran penyebaran (dispersi) data antarsektor industri melalui perhitungan rasio variasi data nominal. 5. Validitas dan Reliabilitas Pada dasarnya validitas terkait dengan kemampuan instrumen penelitian dalam mengukur apa yang ingin diukur. Persoalan validitas menjadi tantangan tersendiri dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena alat ukur atau instrumen yang dipakai relatif baru dan belum melalui uji validitas. Namun, paling tidak terdapat dua macam validitas yang digunakan dalam proses penelitian ini. Pertama, validitas muka (face validity). Validitas ini bertujuan untuk melihat apakah alat ukur yang digunakan memang mengukur konsep yang ingin diukur. Untuk mengukur apakah instrumen dalam penelitian ini memenuhi unsur validitas muka atau tidak, Eriyamto (2011: 262 – 263) menawarkan dua cara, yaitu persetujuan komunitas ilmiah dan pengujian validitas melalui evaluasi panel ahli. Validitas jenis kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk (construct validity). Validitas ini digunakan untuk mengetahui apakah alat ukur disusun berdasarkan suatu konstruksi teori yang telah teruji. Dalam proses penelitian ini, unit klasifikasi diturunkan berdasarkan kerangka konseptual dan kerangka kerja yang telah dikembangkan peneliti sebelumnya tentang komunikasi CSR. Artinya, alat ukur dalam penelitian ini tidak asal susun. Selain valid, alat ukur atau instrumen penelitian juga harus reliabel, berapa kali pun digunakan akan menghasilkan temuan yang sama. Reliabilitas dalam penelitian ini diukur dengan reproduksibilitas atau lebih dikenal dengan reliabilitas antarcoder. Reliabilitas ini pada dasarnya ingin melihat apakah suatu alat ukur memberikan hasil yang sama atau berbeda dari coder yang berbeda. Perhitungan reliabilitas dilakukan melalui dua tahap. Pertama, dengan menggunakan persentase persetujuan (percent agreement). Rumus untuk menghitung persentase persetujuan adalah sebagai berikut (Eriyanto, 2011: 288):
36
Reliabilitas Antar-Coder =
A N
Keterangan: A = Jumlah persetujuan dua orang coder B = Jumlah sampel yang dihitung
Tahap kedua yaitu dengan perhitungan Formula Scott (Scott’s pi). Tahap kedua ini dilakukan untuk melengkapi kelemahan yang terdapat pada tahap pertama. Perhitungan Formula Scott dilakukan dengan menggunakan rumus:
Reliabilitas Antar-Coder =
% persetujuan
yang diamati −% persetujuan 1−% persetujuan
yang diharapkan
yang diharapkan
Keterangan: Nilai % persetujuan yang diamati diperoleh dari hasil perhitungan tahap pertama (persentase persetujuan). Sedangkan nilai % persetujuan yang diharapkan atau ∑pi2 diperoleh dari proporsi masing – masing kategori dan kemudian dikuadratkan.
37