BAB I Menyimak Relasi Institusional: Tradisional vs Modern
A. Latar Belakang Masalah Lebih dari 68 tahun Indonesia merdeka ternyata masih banyak masalah institusional yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah masalah tentang relasi antara institusi tradisional dengan institusi modern. Meskipun sebenarnya Indonesia telah memilih institusi modern sebagai pemegang kekuasaan formal, namun banyak institusi tradisional yang kembali menguat dan menghiasi dinamika pemerintahan modern. Hal ini dikarenakan Indonesia belum menempatkan
posisi
institusi
tradisional
secara
jelas
ditengah
sistem
pemerintahan di Indonesia. Meskipun Indonesia telah memilih institusi modern, nyatanya institusi tradisional masih belum bisa dilepaskan dari proses pemerintahan. Penelitian ini kemudian bertujuan untuk melihat relasi antara institusi tradisional dengan institusi modern dengan mengambil kasus di Kota Surakarta. Kota Surakarta dipilih karena di kota ini mempunyai sejarah panjang tentang relasi antara institusi tradisional dengan institusi modern terkait dengan perkembangan Kota Surakarta pada masa kini. Relasi antara Institusi tradisional dengan institusi modern menjadi menarik untuk dilihat karena dalam lebih dari satu dekade terakhir, banyak institusi tradisional kembali menguat setelah lama tertidur karena berbagai aturan dari
1
negara. Institusi tradisional yang sejatinya merupakan pemegang kekuasaan lokal di masa lalu mulai kehilangan perannya ketika memasuki masa republik karena keberadaanya digantikan oleh institusi modern. Semakin lama, keberadaannya justru semakin dihilangkan oleh pemerintah pada masa orde baru dikarenakan lahirnya Undang–Undang yang mengatur tentang administrasi desa dan daerah1 yang menggantikan peran pemimpin adat, yang dipilih ataupun yang ditunjuk dengan kepala desa yang dipilih yang sudah melalui screening dan bekerja dalam sebuah struktur birokrasi nasional yang seragam.2 Barulah ketika masa orde baru berakhir isu tentang institusi tradisional mulai menggeliat di beberapa daerah di Indonesia. institusi tradisional berbentuk Keraton misalnya tercatat ada 8 keraton di Indonesia yang bangkit kembali pasca Orde Baru. Keraton – keraton tersebut adalah keraton Mempawah di Kalimantan Barat, Keraton Serdang dan Keraton Deli di Sumatera Utara, Keraton Gowa di Sulawesi Selatan, Keraton Cirebon dan Keraton Kasepuhan di Jawa Barat, Keraton Yogyakarta di Yogyakarta, Keraton Surakarta di Jawa Tengah, dan Keraton Kupang di NTT. Kemudian ada 10 Keraton yang bangkit kembali yakni Keraton Balungan, Kutai dan Pasir di Kalimantan Timur; Keraton Bacan, Ternate dan Tidore di Maluku Utara; Keraton Siak di Riau serta Keraton Landak, Pontianak dan Sambas di Kalimantan Barat. Selain itu ada juga penggalian kembali terhadap Keraton yang sudah berakhir yakni Keraton Aceh di Aceh, Keraton Jailolo di Maluku Utara, Keraton palembang di Sumatera Selatan, 1
Dijelaskan lebih lanjut dalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang – Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa 2 Jamie S. Davinson, David Henley, Sandra Moniaga. Adat Dalam Politik Indonesia. 2010. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta. Hal 13.
2
Keraton Minangkabau di Sumatera Barat, Keraton Banten di Banten, dan Keraton Sumedang di Jawa Barat.3 Selain itu tercatat beberapa masyarakat adat di Indonesia juga mengalami penguatan ditengah keberadaan institusi modern. Seperti yang terjadi pada masyarakat Nagari di Minangkabau4, kebangkitan masyarakat adat di Flores, dan juga adat yang digunakan oleh masyarakat di Sulawesi sebagai sebuah alat etnoteritorialisasi demi kepentingan politik.5 Penguatan – penguatan institusi tradisional tersebut baru terjadi ketika masa orde baru berakhir. Hal ini karena sistem sentralisasi pada masa orde baru telah berubah menjadi sistem desentralisasi melalui UU No. 22/99 tentang Pemerintahan Daerah.6 Hadirnya UU No. 22/99 tentang Pemerintahan Daerah telah
membuka
peluang
bagi
instutusi
tradisional
untuk
memperkuat
kedudukannya kembali di tengah masyarakat. Terlebih ketidakadilan yang dialami oleh institusi tradisional di masa lalu telah menjadi motivasi tersendiri bagi institusi tradisional untuk memperkuat kedudukannya di era yang mulai menghargai keberadaan masyarakat tradisional. Salah satu fakta menarik tentang keberhasilan penguatan institusi tradisional adalah Keraton Yogyakarta. Institusi tradisional Keraton Yogyakarta yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta kini kedudukannya menjadi semakin kuat setelah disahkannya Undang – Undang Keistimewaan Yogyakarta.7
3
Ibid ., Hal 169. Ibid ., Hal 221-224 5 Ibid ., Hal 405 6 Ibid ., Hal 137. 7 Undang – Undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah disahkan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Salah satu isi dari pasal tersebut adalah Raja Keraton 4
3
Meskipun demikian tak sedikit pula institusi tradisional yang hingga kini belum menemukan jati dirinya dan kembali pada kedudukannya semula sebagai pemegang pemerintahan. Menguatnya beberapa institusi tradisional di Indonesia saat ini menjadikannya tak bisa untuk tidak bersinggungan dengan institusi modern yang kini menjadi institusi pemerintahan formal. Institusi modern yang menjalankan pemerintahan menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penguatan dari institusi tradisional. Seperti yang terjadi pada masyarakat adat Desa Kempo, Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat yang harus berkonflik dengan pemerintah Manggarai Barat terkait dengan status tanah ulayat di kawasan Gunung Golo Tantong.8 Keduanya akhirnya harus berhubungan karena penguatan institusi tradisional yang kini berada dibawah wilayah pemerintahan institusi modern. Penguatan institusi tradisional yang akhirnya harus berhubungan dengan institusi modern juga terjadi di Kota Surakarta. Ditengah upaya penguatan demi memperjelas status dan kedudukannya, institusi tradisional Keraton Surakarta harus berinteraksi dengan institusi modern Pemkot Surakarta. Keraton Surakarta adalah sebuah institusi tradisional yang berasal dari kelompok masyarakat adat di wilayah Surakarta yang dahulu merupakan penduduk asli di wilayah tersebut. Sedangkan Pemerintah Kota Surakarta adalah sebuah institusi modern yang baru
Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono bertakhta sebagai Gubernur dan sebagai Adipati Paku Alam bertakhta sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. 8 http://www.floresbangkit.com/2014/03/pemerintah-dan-masyarakat-adat-saling-klaimkepemilikan/ diunduh pada tanggal 19 Maret 2013 Pukul 22.00 WIB
4
terbentuk pasca kemerdekaan republik Indonesia dan kini menjadi berfungsi sebagi institusi formal yang menjalankan pemerintahan. Dahulu sebelum terbentuknya negara Indonesia, institusi tradisional Keraton Surakarta berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan politik, ekonomi dan budaya di wilayah Surakarta. Namun pasca negara Indonesia terbentuk, institusi tradisional Keraton Surakarta yang sejatinya memiliki andil besar karena bergabung dan berdiri di belakang pemerintahan republik Indonesia kini justru kehilangan
segalanya.
Keraton
Surakarta
kini
telah
kehilangan
status
keistimewaannya sebagai pemegang kekuasaan politik. Tak sampai disitu, seluruh aset – aset ekonomi yang dimiliki oleh Keraton Surakarta kepemilikannya kini juga hilang karena telah berpindah menjadi milik negara melalui proses nasionalisasi. Akhirnya fungsinya kini tak lebih hanya sebagai pemangku budaya jawa sekaligus sebagai cagar budaya nasional seperti yang telah diputuskan dalam Keputusan Presiden No. 33 tahun 1988. Meskipun tak lagi memegang peran sebagai institusi yang memegang pemerintahan formal, tapi institusi tradisional Keraton Surakarta masih tetap eksis ditengah dominasi institusi modern di Surakarta. Fungsinya sebagai pemangku budaya Jawa masih dipegang teguh hingga sekarang seperti beberapa ritual upacara adat yang masih rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Begitupula Raja yang bertahta masih duduk di singgasana sebagai pemimpin Keraton Surakarta. Bahkan kedudukannya mulai menguat seiring dengan
5
Menjadi menarik untuk melihat hubungan antara institusi modern dengan institusi tradisional di Kota Surakarta selain karena saat ini ada dua institusi yang berdiri disana, ditambah lagi dengan status kedudukan Keraton Surakarta yang meskipun telah mengalami penguatan namun kedudukannya masih belum jelas. Bahkan relasi antara institusi tradisional dan institusi modern kini semakin terlihat ketika institusi modern Pemkot Surakarta pada masa Walikota Joko Widodo yang mulai mengadopsi kebudayaan milik institusi tradisional Keraton Surakarta. Joko Widodo sebagai walikota Surakarta sering mengadopsi upacara adat yang biasanya diselenggarakan oleh Raja Keraton Surakarta kedalam beberapa kebijakannya selama memimpin Kota Surakarta. Seperti kebijakan melakukan Kirab PKL Banjarsari pada tanggal 23 Juli 20069 dan ritual Jamasan untuk mobil Esemka.10 Dari latar belakang diatas, menjadi menarik untuk melihat bagaimanakah hubungan antara institusi tradisonal Keraton Surakarta dengan institusi modern Pemkot Surakarta. Penelitian yang akan menghubungkan dua institusi dengan dua logika yang berbeda semakin menarik dilacak karena sampai saat ini penelitian tentang institusi tradisional masih terfokus pada bentuk – bentuk penguatannya, masih jarang ditemukan penelitian yang membahas tentang hubungan antara tradisional dengan modern dalam satu kerangka berpikir yang utuh. Selain itu penelitian yang berfokus tentang kota Surakarta masih banyak terpusat pada 9
http://kageri.blogdetik.com/2011/02/10/panas-teduh-taman-banjarsari-di-Surakarta/ diunduh tanggal 10 Desember 2013 pukul 19.00 WIB 10
http://regional.kompas.com/read/2012/02/24/05162738/Mobil.Esemka.Diguyur.Air.Kembang.Tu juh.Rupa diunduh tanggal 10 Desember 2013 pukul 19.00 WIB
6
sejarah Keraton Surakarta maupun kesuksesan pemerintahan Walikota Joko Widodo. Penelitian ini kamudian diharapkan menjadi sumber alternatif baru dalam melihat hubungan antara institusi tradisional dan institusi modern masa kini dengan mengambil contoh kasus antara institusi tradisional dan modern di Kota Surakarta.
B. Rumusan Masalah “Bagaimana Relasi Kuasa Antara Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Kota Surakarta dalam urusan Ekonomi dan Budaya sebelum dan sesudah Pemerintahan Joko Widodo??”
C. Tujuan Penelitian •
Untuk mengetahui pola relasi kuasa antara Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Kota Surakarta dalam urusan ekonomi dan budaya sebelum dan sesudah pemerintahan Walikota Joko Widodo.
•
Untuk mengetahui bagaimana dan mengapa relasi antara Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Kota Surakarta dapat berubah pada masa sebelum dan sesudah pemerintahan Walikota Joko Widodo.
7
D. Kerangka Teori Dalam sebuah sistem demokrasi yang melibatkan partisipasi dari aktor lain, Pemkot Surakarta sebagai sebuah institusi formal yang menjalankan pemerintahan tidaklah hidup di dalam ruang hampa, yang berarti selalu ada persinggungan dengan entitas politik lain dalam menjalankan pemerintahannya. Begitupula sebaliknya, Keraton Surakarta sebagai salah satu aktor tidak bisa untuk tidak bersinggungan dengan Pemkot Surakarta sebagai pemegang pemerintahan formal di Surakarta, tempat dimana Keraton Surakarta saat ini berada. Keberadaan dua entitas politik tersebut kemudian menimbulkan sebuah relasi kuasa dalam proses pemerintahan yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surakarta maupun dalam upaya penguatan eksistensi yang dilakukan oleh Keraton Surakarta. Untuk melihat relasi antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Keraton Surakarta Hadiningrat dalam urusan ekonomi dan budaya sebelum dan sesudah masa pemerintahan Walikota Joko Widodo, saya menggunakan teori Institusi Informal dari Steven Levitsky. Teori ini mampu menjelaskan berbagai macam variasi tipologi hubungan antara institusi formal dengan institusi informal. Teori ini saya gunakan karena melihat institusi modern Pemerintah Kota Surakarta yang dapat digolongkan ke dalam institusi formal, sedangkan institusi tradisional Keraton Surakarta dapat digolongkan sebagai institusi informal. Terlebih dalam teori ini bisa menjelaskan beberapa variasi dalam tipologi hubungan antara institusi formal dengan institusi informal, sehingga tepat digunakan untuk
8
menjelaskan hubungan antara Pemkot Surakarta dengan Keraton Surakarta yang hubungannya dinamis. D.1 Perbedaan Antara Institusi Formal dan Institusi Informal Institusi formal dan institusi informal memiliki banyak perbedaan. Untuk membedakan
antara
Institusi
Formal
dan
Institusi
Informal
dapat
dikonseptualisasikan dalam beberapa cara. Salah satu perbedaan umum diantara keduanya yakni Institusi Formal adalah Negara, sedangkan Institusi Informal adalah institusi diluar negara / masyarakat. Menurut pendekatan ini, Institusi Formal meliputi badan-badan milik negara seperti pengadilan, legislatif, birokrasi dan stateenforced
aturan (konstitusi, undang-undang, peraturan). Sedangkan
Institusi Informal meliputi kelompok masyarakat adat, agama, kekerabatan, aturan sosial dan organisasi yang berada diluar pemerintahan.11 Perbedaan kedua antara Institusi Formal dengan Institusi Informal berkaitan pada proses penegakan aturan. Dalam Institusi Formal aturan dibuat, dikomunikasikan dan bersifat memaksa yang ditegakkan oleh pihak ketiga. Aturan – aturan tersebut ditetapkan dan dikomunikasikan melalui saluran yang secara luas diterima sebagai sumber yang resmi yang dapat menembus berbagai saluran yang diterima sebagai saluran yang resmi. Sedangkan dalam Institusi informal penegakan aturan dilakukan oleh Institusinya sendiri. Aturan dalam Institusi informal adalah aturan sosial yang biasanya tidak tertulis, dimana dibuat,
11
Gretchen Helmke & Steven Levitsky. Informal Institution And Comparative Politics : A Research Agenda. 2003. Working Paper #307. Hal 8
9
dikomunikasikan, dan bersifat memaksa yang berada diluar saluran resmi yang hanya menyentuh bagian channel tertentu.12 D.2 Kemunculan Institusi Informal Setelah melihat perbedaan antara Institusi Formal dengan Institusi Informal dalam kacamata Steven Levitsky, selanjutnya kita harus memahami kemunculan institusi informal. Dalam pandangan Steven Levitsky, proses kemunculan institusi informal dapat dibedakan menjadi 2 jenis. Yang pertama adalah Institusi informal yang reaktif. Institusi Informal reaktif yakni Institusi informal yang muncul dan berkembang disebabkan sebagai respon langsung terhadap insentif yang diciptakan oleh aturan-aturan formal. Institusi informal reaktif mengisi kekosongan di luar struktur institusi formal. Yang kedua adalah Institusi informal yang spontan. Institusi Informal spontan yakni institusi informal yang muncul secara independen dari (dan sering mendahului) struktur institusi formal.13 Meskipun institusi informal spontan umumnya hidup berdampingan / koeksisten dan berinteraksi dengan aturan formal, namun institusi informal spontan diciptakan dalam menanggapi insentif yang tidak terkait dengan aturanaturan formal. Beberapa contoh institusi informal spontan adalah adat atau institusi tradisional seperti hukum adat dan norma berbasis kekerabatan.14
12
Ibid., Hal 8. Ibid., Hal 17 14 Ibid., Hal 17 13
10
D.3 Tipologi Hubungan Antara Institusi Formal dengan Institusi Informal Adanya institusi formal dan institusi informal yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya beberapa tipologi yang terbangun antara institusi formal dengan institusi informal tersebut. Hubungan antara Institusi Formal dengan Institusi Informal tidak dapat diasumsikan sebagai sesuatu yang bersifat statis, karena akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Interaksi yang terjadi antara institusi Formal dan Institusi Informal secara berkala akan menghasilkan sebuah efek transformatif. Hubungan antara institusi formal dengan institusi informal dalam pandangan Hans dan Joachim Lauth membaginya kedalam empat tipologi relasi. Pembagian empat tipologi tersebut berdasarkan atas dua dimensi. Dimensi yang pertama melihat pada efektivitas dari institusi formal yang terkait. Sedangkan yang kedua melihat pada derajat kompatibilitas tujuan antar aktor. Dari kedua dimensi tersebut menghasilkan empat tipologi yang terdiri dari komplementer, substitusi, akomodasi dan kompetisi. Perbedaan pola relasi antara Negara dan Komunitas terjadi karena adanya perbedaan derajat efektifitas institusi formal dan kompatibilitas tujuan komunitas dalam merespon kehadiran negara.
11
Tabel Tipologi Hubungan Antara Institusi Formal dengan Institusi Informal15
Konvergen Compatible Goals Divergen Conflicting Goals
Institusi Formal
Institusi Formal
Efektif
Tidak Efektif
Komplementer
Substitusi
Akomodasi
Kompetisi
Tipe yang pertama adalah tipe komplementer. Tipe komplementer terjadi apabila relasi antara institusi informal terhadap negara mendekat sedangkan institusi formal berjalan efektif maka yang terjadi adalah institusi informal melengkap institusi formal. Pada tipe komplementer, Institusi formal dan Institusi informal memiliki tujuan yang sama dan dapat saling melengkapi atau mengisi kekurangan. Dalam tipe komplementer kehadiran institusi informal berfungsi sebagai pelengkap dan mengisi kekosongan dari institusi formal. Tipe yang kedua adalah substitusi. Tipe substitusi terjadi apabila pola relasi antara institusi informal dengan institusi formal mendekat, namun institusi formal tidak berjalan efektif yang akhirnya menyebabkan institusi informal menggantikan institusi formal negara. Pada tipe substitusi, institusi formal yang tidak efektif menyebabkan institusi informal menggantikan keberadaan institusi negara. Ketidakefektifan tersebut terjadi karena melemahnya kepatuhan terhadap aturan formal dan ketidakmampuan institusi formal menciptakan kepentingan
15
Ibid., Hal 12.
12
komunitas dimana hal tersebut diikuti dengan menguatnya kepatuhan terhadap nilai dan tradisi yang berkembang di dalam komunitas. Tipe yang ketiga adalah akomodasi. Tipe akomodasi terjadi apabila kapasitas institusi formal berjalan efektif namun pola relasi antara institusi informal dengan negara bersifat menjauh sehingga muncul akomodasi institusi komunitas terhadap institusi negara. Tipe akomodasi terjadi ketika institusi informal membuat peraturan yang bersumber dari norma adat untuk mengatur perilaku warganya dengan secara tidak langsung mengubah nilai substantif dari peraturan formal negara, sehingga yang terjadi adalah peraturan komunitas tersebut menegakkan aturan formal negara. Tipe yang keempat adalah kompetisi. Tipe kompetisi terjadi apabila kapasitas institusi formal tidak efektif tetapi pola relasi antara institusi informal terhadap institusi formal bersifat menjauh yang akhirnya membuat komunitas berkompetisi dengan negara. Situasi ini terjadi ketika institusi formal tidak efektif dalam
menjalankan
fungsinya
sehingga
menimbulkan
perlawanan
dan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan formal.16
E. Definisi Konseptual E.1 Institusi Formal dan Institusi Informal Institusi formal adalah institusi negara yang memiliki aturan atau prosedur yang dibuat, dikomunikasikan dan bersifat memaksa yang menembus berbagai 16
Ibid., Hal 11-15
13
saluran dan diterima sebagai saluran resmi. Institusi informal adalah masyarakat diluar negara yang biasanya adalah institusi tradisional berbasis kekerabatan yang memiliki aturan sosial tidak tertulis dimana dibuat, dikomunikasikan, dan bersifat memaksa yang berada diluar aturan resmi yang hanya menyentuh bagian channel tertentu E.2 Kemunculan Institusi Informal Dari proses kemunculannya, institusi informal dapat dibagi menjadi dua macam yakni institusi informal reaktif dan institusi informal spontan. Institusi informal reaktif adalah Institusi informal yang muncul dan berkembang disebabkan sebagai respon langsung terhadap insentif yang diciptakan oleh aturan-aturan formal dan berfungsi untuk mengisi kekosongan di luar struktur institusi formal. Sedangkan Institusi informal spontan adalah institusi informal yang muncul secara independen yang biasanya kehadirannya koeksisten dengan negara dan sering mendahului struktur institusi formal yang diciptakan dalam menanggapi insentif yang tidak terkait dengan aturan-aturan formal negara. E.3 Tipologi Hubungan Antara Institusi Formal dengan Institusi Informal Keberadaan antara institusi formal dengan institusi informal tersebut menimbulkan sebuah relasi. Ada 4 pola hubungan yang terbangun antara institusi formal dengan institusi informal, yaitu: •
Komplementer, yaitu pola relasi yang terjadi ketika komunitas melengkapi fungsi dari negara dikarenakan fungsi negara berjalan efektif dan relasinya mendekat. 14
•
Substitusi, yaitu pola relasi yang terjadi ketika komunitas menggantikan peran negara dikarenakan fungsi negara tidak berjalan efektif dan relasinya menjauh.
•
Akomodasi, yaitu pola relasi yang terjadi ketika komunitas mengakmodasi peran negara dikarenakan fungsi negara sedang berjalan efektif dan relasinya menjauh.
•
Kompetisi, yaitu pola relasi yang terjadi ketika komunitas berkompetisi dengan negara dikarenakan fungsi negara tidak berjalan efektif dan relasinya menjauh.
F. Definisi Operasional Yang menjadi fokus kajian dari penelitian ini adalah relasi kuasa antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Keraton Surakarta Hadiningrat dalam urusan ekonomi dan budaya sebelum dan sesudah masa pemerintahan Walikota Joko Widodo. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut dapat dilihat dari beberapa capaian atau indikator yaitu : •
Adanya hubungan antara institusi tradisional dengan institusi modern di Surakarta dalam urusan politik, ekonomi dan budaya sebelum masa Walikota Joko Widodo.
15
•
Adanya hubungan antara institusi tradisional dengan institusi modern di Surakarta dalam urusan ekonomi dan budaya ketika masa Walikota Joko Widodo.
G. Metode Penelitian G.1 Jenis Penelitian Seperti yang telah dijelaskan dalam pertanyaan penelitian sebelumnya, penelitian ini ingin melihat relasi kuasa antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Keraton Surakarta Hadiningrat dalam urusan ekonomi dan budaya pada masa pemerintahan Walikota Joko Widodo. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut saya menggunakan metode penelitian kualitatif dengan memakai pendekatan studi kasus. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deksriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Model penelitian studi kasus memusatkan diri secara intensif terhadap suatu obyek tertentu, dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus.17 Penggunaan metode penelitian kualitatif saya gunakan karena dengan menggunakan data kualitatif saya dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis menilai sebab-akibat dan lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperkuat sejumlah penjelasan yang bermanfaat.18 Sedangkan pendekatan
17
Hadari Nawawi. Metode Penelitian Bidang Sosial. 1992. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal 72. 18 Miles, B.B. & A.M. Huberman. Analisa Data Kualitatif. 1992 UI Press: Jakarta. Hal 2.
16
studi kasus saya pilih karena pendekatan studi kasus dapat menjelaskan sebuah cerita yang unik, spesial atau menarik. Kasus yang diteliti dengan studi kasus dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar sama seperti pertanyaan penelitian dalam riset ini. Penggunaan studi kasus juga saya gunakan karena pendekatan Studi Kasus dapat menjelaskan sebuah fenomena yang memiliki pertanyaan penelitian berdasarkan kepada sesuatu yang sifatnya Mengapa dan Bagaimana. Karena kelebihannya tersebut, metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus tepat digunakan untuk menjelaskan relasi antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Keraton Surakarta Hadiningrat dalam urusan ekonomi dan budaya pada masa pemerintahan Walikota Joko Widodo. G.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pengageng Keraton Surakarta Hadiningrat dan beberapa pejabat Pemerintah Kota Surakarta yang memiliki kompetensi dalam menjawab pertanyaan penelitian saya. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari kajian pustaka di berbagai sumber, diantaranya berasal dari dokumentasi kegiatan Pemkot Surakarta, artikel surat kabar online, social media dan studi pustaka dari beberapa buku dan laporan penelitian akademik yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
17
G.3 Cara Mengumpulkan Data Dalam mengumpulkan data, penulis mendasarkan pada 3 prinsip. Pertama penggunaan sumber bukti – bukti dari dua atau lebih sumber, tetapi menyatu dengan serangkaian fakta atau temuan yg sama. Kedua, penggunaan data dasar dan kumpulan formal bukti yang berlainan dari laporan akhir studi kasus yang bersangkutan. Ketiga, penggunaan serangkaian bukti dan keterkatitan eksplisit antara pertanyaan – pertanyaan yang diajukan, data yang terkumpul dan konklusi konlusi yg ditarik.19 Format wawancara yang digunakan kepada informan adalah indepth interview yaitu wawancara mendalam dengan menggunakan pertanyaan yang telah disusun tetapi juga tidak menghindari fleksibilitas untuk dimodifikasi saat wawancara. Melalui metode snowball sampling, pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya sedikit lama - lama menjadi besar karena dari jumlah sumber data yang sedikit belum memberikan data yang memuaskan.20 Dalam prosesnya peneliti mencari informan yang awalnya berasal dari Pejabat Pemerintah Kota Surakarta. Dari data awal yang berasal dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, peneliti meminta rekomendasi dari informan lain terkait pihak mana saja yang bisa dihubungi untuk diwawancarai dari pihak Keraton Surakarta Hadiningrat. Data yang terkumpul dari informan Pemkot Surakarta kemudian menjadi bahan crosscheking dengan pengageng Keraton Surakarta, begitupun sebaliknya data dari pengageng Keraton Surakarta menjadi bahan crosscheking 19
Robert K. Yin. Studi Kasus; Desain & Metode. 2011. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta. Hal 101. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. 2012. Penerbit Alfabeta: Bandung. Hal. 219. 20
18
dengan Pemerintah Kota Surakarta. Crosschecking kemudian dilakukan kembali dengan data yang ditemukan melalui pengamatan peneliti dan pencarian fakta di surat kabar online yang mencatat kejadian yang seringkali tidak diingat oleh informan untuk meningkatkan kualitas validitas data. Kesulitan sedikit ditemui penulis ketika melakukan wawancara dengan para informan. Latar belakang penulis yang tidak memiliki hubungan dengan pejabat pemerintahan kota Surakarta maupun keluarga keraton menjadikan banyak informasi yang tidak diberitahukan secara utuh. Namun hal tersebut disiasati dengan memancing informasi dari informan melalui pemaparan fakta – fakta di lapangan yang sudah diketahui sebelumnya dari data – data sekunder sehingga para informan akan memberikan data sesuai dengan kebutuhan. Informan dari Pemerintah Kota Surakarta yang memiliki kedekatan dengan Keraton Surakarta lebih tertutup dalam memberikan informasi daripada informan lain. Hal ini dialami penulis ketika mewawancarai seorang informan dari Dinas Tata Ruang Kota Surakarta. Posisinya sebagai pejabat Pemkot Surakarta yang memiliki kedekatan dengan Keraton Surakarta menjadikannya tidak begitu tegas dalam memberikan informasi yang bersifat sensitif. Namun hal itu bisa diatasi dengan melakukan wawancara dengan informal lain dan melalui crosscheking dengan sumber – sumber data lapangan sehingga informan dapat lebih terbuka dalam menjawab pertanyaan.
19
G.4 Teknik Analisa Data Dalam melakukan analisis data, penulis membagi menjadi tiga bagian. Pertama mereduksi data, kemudian melakukan penyajian data dan yang terakhir adalah penarikan kesimpulan. Ketiganya dilakukan berdasarkan sumber – sumber data yang ditemukan baik sumber data primer maupun sekunder. Laporan naskah penelitian
kemudian
dibuat
berdasarkan
proses
yang
ilmiah
dengan
menggabungkan beberapa data untuk diambil kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan Naskah penelitian ini dituangkan ke dalam lima bab yang kesemuanya memiliki runtutan dan kaitan yang jelas dan saling berkaitan. Bab Pertama merupakan bagian yang memberikan paparan dasar bagi bahasan-bahasan selanjutnya. Pembaca akan diajak untuk menyimak Relasi Institusional Modern vs Institusi Tradisional dalam beberapa kasus di Indonesia. Dalam bab pertama memuat latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan dari penulisan ini. Dalam bab ini pula dipaparkan teori tentang tipologi hubungan antara institusi formal dengan institusi informal yang dapat digunakan untuk membaca relasi kuasa yang terjadi diantara institusi formal Pemerintah Kota Surakarta yang merupakan institusi modern dengan institusi informal Keraton Surakarta yang merupakan institusi tradisional.
20
Bab kedua menceritakan tentang sejarah panjang hubungan antara institusi tradisional dengan institusi modern di Surakarta yang terjadi sebelum masa pemerintahan Joko Widodo. Penjelasan berisi tentang bentuk – bentuk hubungan yang terjadi antara institusi tradisional dengan institusi modern serta dampak yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Pemaparan akan dimulai tentang relasi antara Keraton Surakarta sebagai sebuah institusi tradisional dengan berbagai institusi modern mulai dari zaman kolonial hingga masa kemerdekaan pemerintahan republik Indonesia. pada bagian ini akan dijelaskan mengenai berbagai bentuk hubungan yang terjadi diantara institusi formal dengan institusi informal di Kota Surakarta secara runtut dan terperinci. Pada akhir bab ini akan dijelaskan tentang dampak relasi yang dihasilkan antara institusi formal dengan institusi informal di Surakarta pada masa lalu untuk dapat memahami kondisi kekinian tentang institusi modern Pemkot Surakarta sebagai institusi formal pada masa Joko Widodo dan institusi tradisional Keraton Surakarta sebagai institusi informal. Bab ketiga akan membahas mengenai relasi antara institusi modern Pemkot Surakarta sebagai institusi formal dengan institusi tradisional Keraton Surakarta sebagai institusi informal pada masa Joko Widodo dalam urusan – urusan ekonomi. Pemaparan akan dimulai dengan melihat aset – aset ekonomi terakhir milik Keraton Surakarta. Dilanjutkan dengan relasi mengenai penetapan cagar budaya kepada aset ekonomi tersebut yang dilakukan antara Pemkot Surakarta yang kemudian ditentang oleh Keraton Surakarta. Pada akhir bab akan menjelaskan mengenai penyebab tipe hubungan yang terjadi dalam konteks ekonomi beserta dampak yang dihasilkannya.
21
Bab keempat akan membahas mengenai relasi antara institusi modern Pemkot Surakarta sebagai institusi formal dengan institusi tradisional Keraton Surakarta sebagai institusi informal pada masa Joko Widodo dalam urusan – urusan budaya. Pemaparan akan dimulai dengan menjelaskan pembaca mengenai bentuk – bentuk relasi dalam urusan budaya yang terjadi di Kota Surakarta. Selain itu akan dijelaskan pula mengenai variasi pola hubungan yang terjadi dalam konteks budaya karena pergeseran budaya yang telah menjadi komoditas ekonomi. Pemaparan akan ditutup dengan menjelaskan kesimpulan dari dampak relasi antara institusi formal dengan institusi informal dalam konteks budaya pada masa Joko Widodo. Bab kelima akan menjadi penutup dalam penelitian ini. Bab ini berisi kesimpulan yang akan menjelaskan sebuah benang merah dalam memahami logika antara institusi modern dengan institusi tradisional di Kota Surakarta menggunakan kacamata teori hubungan institusi formal dan informal dari Steven Levitsky dengan mengambil contoh kasus antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Keraton Surakarta Hadiningrat di Kota Surakarta.
22