BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Diabetes Mellitus DM atau sering disebut dengan kencing manis adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan di diagnosa melalui pengamatan kadar glukosa di dalam darah. Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015). DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, penurunan efektivitas insulin, atau keduanya. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa dalam darah yang tinggi pada rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100ml darah (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang dan disfungsi beberapa organ tubuh seperti mata, ginjal, saraf, jantung, maupun pembuluh darah (Purnamasari, 2009). DM tipe 2 merupakan kondisi saat gula darah dalam tubuh tidak terkontrol akibat gangguan sensitivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan hormon insulin yang berperan sebagai pengontrol kadar gula darah dalam tubuh (Dewi, 2014). Pankreas masih bisa membuat insulin, tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam sel. Akibatnya glukosa dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya DM tipe 2 adalah bahwa sel-sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah
7
Universitas Sumatera Utara
8
resisten terhadap insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah (Tandra, 2007). 2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2016, klasifikasi DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. 2.2.1
Diabetes Mellitus Tipe 1 DM tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolik glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik. Proses autoimun ini menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel yang bertugas memproduksi insulin sehingga produksi insulin berkurang atau terhenti (Rustama dkk, 2010). DM tipe 1 dapat menyerang orang semua golongan umur, namun lebih sering terjadi pada anak-anak. Penderita DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF, 2015). DM tipe ini sering disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), yang berhubungan dengan antibody berupa Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90% anak-anak penderita IDDM mempunyai jenis antibodi ini (Bustan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
9
2.2.2
Diabetes Mellitus Tipe 2 DM tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. DM tipe ini lebih sering terjadi pada usia diatas 40 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada orang dewasa muda dan anak-anak (Greenstein dan Wood, 2010). 2.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah (Agoes dkk, 2013). Patofisiologi pada DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada autoimun-mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1A. Sedangkan tipe non-imun, lebih umun daripada autoimun. Tipe non-imun terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik (Brashers dkk, 2014). DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin
Universitas Sumatera Utara
10
sampai dengan predominan kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada bukan suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi. Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah. Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahan yang mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salah satu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebabkan gangguan
transport
glukosa
dan
resistensi
insulin
akan
menyebabkan
hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi DM (Rustama dkk, 2010). 2.4 Gejala Diabetes Mellitus DM sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dan gejala klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbulnya komplikasi. DM tipe 1 yang dimulai pada usia muda memberikan tanda-tanda yang mencolok seperti tubuh yang kurus, hambatan pertumbuhan, retardasi mental, dan sebagainya (Agoes dkk, 2013). Berbeda dengan DM tipe 1 yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita DM tipe 2 seringkali mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu (Mahendra dkk, 2008). Tiga serangkai yang klasik tentang gejala DM adalah poliuria (sering kencing), polidipsia (sering merasa kehausan), dan polifagia (sering merasa lapar).
Universitas Sumatera Utara
11
Gejala awal tersebut berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula lebih tinggi dari normal, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Oleh karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuria). Akibat lebih lanjut adalah penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsia). Selain itu, penderita mengalami penurunan berat badan karena sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih. Untuk mengompensasikan hal tersebut, penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan atau polifagia (Krisnatuti dkk, 2014). Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukkan gejala klasik tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit DM. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahun. Gejala kronik ini yang paling sering membawa penderita DM berobat pertama kali. Gejalanya berupa kesemutan, kulit terasa panas, terasa tebal dikulit sehingga kalau berjalan seperti di atas bantal atau kasur, kram, mudah mengantuk, mata kabur, gatal disekitar kemaluan terutama wanita, serta gigi mulai goyah dan mudah lepas (Tjokroprawiro, 2011). 2.5 Diagnosis Diabetes Mellitus DM ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Kadar glukosa darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut: DM ≥ 7,0 mmol/L, toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance) 6-7 mmol/L, normal <6 mmol/L; kadar glukosa 2 jam setelah pemberian 75 g glukosa ke dalam
Universitas Sumatera Utara
12
plasma adalah: DM ≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa terganggu 7,8-11,1 mmol/L; normal <7,8 mmol/L (Davey, 2006). Menurut Rustama dkk (2010), diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL). Puasa adalah tanpa asupan kalori minimal selama 8 jam. 2. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, polifagia, berat badan yang menurun, dan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). 3. Pada penderita yang asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan. Informasi yang diperoleh dari kadar glukosa darah dapat dihubungkan dengan kadar HbA1C dan parameter klinis untuk menilai dan memodifikasi tata laksana DM dalam rangka memperbaiki kontrol metabolik. HbA1C merupakan alat yang tepat untuk menilai kontrol glukosa darah jangka lama. HbA1C menggambarkan kadar glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya (Rustama dkk, 2010). 2.6 Epidemiologi Diabetes Mellitus 2.6.1
Distribusi dan Frekuensi
a. Menurut Orang Berdasarkan data dari IDF (2015), proporsi penderita DM di seluruh dunia pada laki-laki lebih tinggi (51,9%) dari pada perempuan (48,1%) dan 1 dari 11
Universitas Sumatera Utara
13
orang dewasa terkena DM. Meskipun begitu, DM dapat menyerang orang semua usia. Sedangkan menurut ADA (2016), 9,3% dari populasi orang Amerika terkena DM pada tahun 2012 dengan persentase penderita DM pada usia diatas 65 tahun sebesar 25,9%. Di Indonesia, prevalensi DM pada orang dewasa berusia 20-79 tahun sebanyak 6,2%. Sedangkan kematian yang diakibatkan oleh DM pada orang dewasa berjumlah 184.985 (IDF, 2015). Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi DM pada perempuan sebesar 7,3% dan pada laki-laki sebesar 6,6% (WHO, 2016). b. Menurut Tempat Menurut data dari IDF, proporsi penderita DM di daerah urban di dunia pada tahun 2015 cenderung lebih tinggi (65%) daripada di daerah rural (35%). Berdasarkan tipenya, negara dengan proporsi penderita DM tipe 1 terbanyak adalah Amerika (15,5%). Sedangkan untuk DM tipe 2, negara dengan penderita terbanyak adalah Cina dengan jumlah penderita sebanyak 109,6 juta orang (26,4%). Kemudian diikuti oleh India, Amerika, Brazil, Rusia, Meksiko, dan Indonesia pada urutan ketujuh dengan jumlah penderita sebanyak 10 juta orang (2,4%). Di Indonesia, prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%). Dan prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di daerah Sulawesi Tengah (3,7%) (Kemenkes RI, 2013). Sedangkan menurut Riskesdas tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun
Universitas Sumatera Utara
14
di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki rangking ke-6 yaitu 5,8% (Kemenkes RI, 2009). c. Menurut Waktu Jumlah penderita DM telah terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, karena pertumbuhan penduduk, peningkatan usia rata-rata penduduk, dan kenaikan prevalensi DM pada setiap usia. Secara global, prevalensi penderita DM telah meningkat dari 4,7% pada tahun 1980 menjadi 8,5% pada tahun 2014 (WHO, 2016). IDF memperkirakan pada tahun 2035 jumlah penderita DM akan meningkat menjadi 592 juta orang (Kemenkes, 2014). 2.6.2
Faktor Risiko
a. Aktivitas Fisik dan Pola Makan yang Salah Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Pada penderita DM berolahraga dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan perasan ‘sehat’, dan meningkatkan sensitivitas terhadapat insulin sehingga mengurangi kebutuhan akan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang (Rustama dkk, 2010). Perubahan pola makan yang telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan dangan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam, dan sedikit serat menyebabkan tingginya kekerapan penyakit DM
Universitas Sumatera Utara
15
(Suyono, 2009). Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga berperan pada ketidakstabilan kerja pankreas (Riyadi dan Sukarmin, 2008). b. Genetik Penyakit DM merupakan penyakit yang cenderung diturunkan bukan ditularkan. Biasanya jika orangtua menderita DM, kemungkinan besar anaknya juga menderita penyakit yang sama. Ini terjadi karena DNA pada orang DM akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya (Schteingart, 2006). c. Stres Sukar bagi kita menghubungkan pengaruh stres dengan timbulnya DM. Namun, yang pasti adalah bahwa stres yang hebat, seperti halnya infeksi hebat, trauma hebat, operasi besar, atau penyakit berat lainnya, menyebabkan hormon counter-insulin (yang kerjanya berlawanan dengan insulin) lebih aktif. Akibatnya, glukosa darah meningkat (Tandra, 2007). d. Usia Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
Universitas Sumatera Utara
16
e. Obesitas Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal DM tipe 2. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan sensitivitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe 2 (Silbernagl dan Lang, 2007). Obesitas dikaitkan dengan sejumlah konsekuensi metabolik yang ditandai oleh resistensi insulin dan hiperlipidemia. Hal ini memberi kontribusi terhadap peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan DM (Greenstein dan Diana, 2010). Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008). 2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus Pada penderita DM yang gula darahnya tidak terkontrol dengan baik, berbagai penyakit dapat muncul sebagai akibat atau komplikasi dari adanya penyakit
DM
ini.
Berdasarkan
penyebabnya
komplikasi
DM
dapat
dikelompokkan atas infeksi kronis dan non-infeksi 2.7.1
Infeksi Kronis Penderita DM rentan terhadap infeksi banyak tipe. Sejak infeksi terjadi,
infeksi sulit untuk diobati. Tiga faktor yang meungkin berkontribusi terhadap perkembangan infeksi adalah fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) terganggu,
Universitas Sumatera Utara
17
neuropati diabetik, dan ketidakcukupan pembuluh darah. Kontrol glikemik yang jelek juga memperbesar pentingnya faktor-faktor ini (Black dan Hawks, 2014). Infeksi juga dapat terjadi karena glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau bakteri. Paruparu merupakan salah satu tempat yang mudah terkena infeksi (Ndraha, 2014). Penderita DM yang kurang terkontrol akan cenderung mengalami pertumbuhan bakteri, terutama bakteri golongan Mycobacterial dan Anaerobik serta infeksi fungi. Infeksi dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, penyakit paru obstruksi kronik, maupun tuberkulosis (TBC) pada penderita DM. Dibanding orang nonDM, penderita DM lebih mudah menderita TBC dan lebih rentan (sekitar 12,8%) terhadap infeksi kuman TBC, terlebih lagi jika DM yang dideritanya tidak terkendali, tidak terawat dengan baik (Misnadiarly, 2006). Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol yang non-DM (Cahyadi dan Venty, 2011). Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014). 2.7.2 Non-Infeksi Penyakit non-infeksi pada penderita DM dapat terjadi karena adanya gangguan pada darah maupun pada pembuluh darah. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik sehingga menyebabkan berbagai penyakit seperti hipoglikemia, hiperglikemia, penyakit jantung koroner, dll.
Universitas Sumatera Utara
18
a. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh penurunan glukosa darah dibawah normal atau kurang dari 60 mg/100 ml yang timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Dalam keadaan hipoglikemik ini, penderita akan mengalami keadaan seperti badan lemas, rasa lapar, gemetar, pucat, keringat dingin, gelisah, detak
jantung
cepat/berdebar-debar
sampai
pada
keadaan
penurunan
kesadaran/pingsan (Maryunani, 2008). Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma (Soemadji, 2009). b. Hiperglikemia Hiperglikemia adalah peningkatan gula darah melebihi 120 mg/ 100 ml. keadaan ini disebabkan karena gula tidak bisa ditransportasikan ke sel-sel karena
Universitas Sumatera Utara
19
kurangnya insulin. Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK). 1.
Ketoasidosis Diabetik (KAD) Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009). Keadaan ini disebabkan karena kadar gula darah terlalu tinggi, kurang hormon insulin sehingga tubuh menggunakan lemak sebagai energi yang menghasilkan benda keton didarah dan urin. Pencetus keadaan ketoasidosis diantaranya adalah infeksi, stres atau trauma, penghentian insulin dan dosis insulin yang kurang (Maryunani, 2008). Ketoasidosis merupakan komplikasi yang cukup serius yang dalam keadaan darurat dapat menyebabkan kematian. Pada pasien yang telah diketahui menderita DM, KAD dapat dicurigai bila terdapat keluhan nyeri perut, muntahmuntah atau malaise. Tetapi pada pasien yang belum terdiagnosis DM, diagnosisnya akan lebih sulit. Kriteria penegakan KAD menurut pemeriksaan laboratorium adalah hiperglikemia (gula darah >11 mmol/L); pH vena <7,3 atau bikarbonat < 15 mmol/L; ketonemia dan ketonuria (Rustama dkk, 2010). 2.
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik (HHNK) HHNK adalah komplikasi metabolik akut lain dari DM yang sering terjadi
pada penderita DM tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat (Schteingart, 2006). Faktor
Universitas Sumatera Utara
20
pencetus HHNK adalah infeksi, infark miokard, dan asupan glukosa berlebihan. Prognosis kematian akibat HHNK sangat tinggi sekitar 20-40% (Davey, 2006). Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu) dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus (Soewondo, 2009). c. Retinopati Diabetik Kebutaan merupakan komplikasi yang paling ditakuti dari DM, tetapi dapat dicegah. DM merupakan penyebab utama kebutaan untuk pengidap DM berumur 30-69 tahun. Dua puluh tahun setelah terjadinya DM, hampir semua pengidap DM tipe 1 dan lebih dari 60% pengidap tipe 2 akan mengalami retinopati. Bahkan pada waktu diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, 25% pasien sudah menunjukkan tanda-tanda retinopati (Agoes dkk, 2013). Diagnosis
retinopati
diabetik
didasarkan
atas
hasil
pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor resiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol yang merupakan senyawa gula dan alkohol dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik, glikasi nonenzimatik yang dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA, dan protein kinase C yang diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas
Universitas Sumatera Utara
21
vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan poliferasi sel vaskular (Pandelaki, 2009). d. Nefropati Diabetik Salah satu komplikasi kronis DM yang dapat dideteksi dini adalah nefropati diabetik atau disebut juga penyakit ginjal diabetik. Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan substitusi (Waspadji, 2009). Keadaaan ini terjadi 15-25 tahun setelah diagnosis pada 35-45% pasien dengan DM tipe 1 dan < 20% pasien dengan DM tipe 2 (Davey, 2006). e. Neuropati Diabetik Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf perifer penderita DM tanpa ada penyebab lain selain DM (setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya). Neuropati diperkirakan telah ada sekitar 7,5% pada saat seseorang di diagnosa menderita DM. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti halnya borok kaki dan amputasi (Sjahrir, 2006). Neuropati disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan
Universitas Sumatera Utara
22
menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap
dini
perjalanan
neuropati.
Selanjutnya
timbul
nyeri,
parestesia,
berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya reflex-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom (Schteingart, 2006). Neuropati yang menyerang sistem saraf otonom dapat menyebabkan berbagai manifestasi, bergantung pada area sistem saraf otonom yang terkena. Neuropati ini dapat mencakup gangguan keringat, fungsi pupil tidak normal, gangguan kardiovaskular, gangguan gastrointestinal (yang mengakibatkan disfagia, anoreksia, nyeri uluhati, mual, dan muntah, serta perubahan kontrol gula darah) dan gangguan genitourinari (LeMone dkk, 2012). f. Penyakit Jantung Koroner (PJK) DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi (Ndraha, 2014). Faktor risiko PJK pada pasien DM antara lain rokok, hipertensi, resistensi insulin yang timbul akibat kelebihan berat badan, ras Asia, mikroalbuminuria, nefropati diabetik (makroalbuminuria) dan hiperlipidemia. DM meningkatkan resiko PJK sebesar dua kali lipat. Di Inggris 35% kematian disebabkan penyakit kardiovaskular, tetapi persentase tersebut mencapai 60% pada penderita DM tipe 2 dan mencapai 67% pada pasien DM tipe 1 yang
Universitas Sumatera Utara
23
berumur di atas 40 tahun. DM lebih beresiko menimbulkan PJK pada perempuan daripada laki-laki, sedangkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular sama untuk kedua jenis kelamin (Agoes dkk, 2013). g. Hipertensi Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita DM. Hipertensi merusak pembuluh darah dan dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi DM disebabkan oleh hipertensi. Resiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita DM juga terkena hipertensi. Beberapa faktor yang terkait dengan terjadinya hipertensi pada penderita DM antara lain adalah gangguan ginjal, obesitas dan pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah (aterosklerosis) (Tandra,2007). h. Penyakit Pembuluh Darah Perifer Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita DM daripada orang yang tidak menderita DM. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali (Ndraha, 2014). Hilangnya sensasi sentuhan dan persepsi nyeri menyebabkan penderita DM dapat mengalami beberapa tipe trauma kaki tanpa menyadarinya. Orang tersebut berisiko tinggi mengalami trauma di jaringan kaki, menyebabkan terjadinya ulkus. Infeksi umumnya terjadi pada jaringan yang mengalami trauma atau ulkus (LeMone dkk, 2012).
Universitas Sumatera Utara
24
Hampir 40% penderita DM dengan infeksi kaki mungkin memerlukan amputasi, dan 5-10% akan meninggal meskipun amputasi di daerah terkena (Black dan Hawks, 2014). Penderita DM berisiko tinggi mengalami amputasi di ekstremitas bawah, dengan peningkatan risiko pada mereka yang sudah menyandang DM lebih dari 10 tahun, jenis kelamin pria, memiliki kontrol glukosa yang buruk, atau mengalami komplikasi kardiovaskular, retina, atau ginjal (LeMone dkk, 2012). i. Penyakit Serebrovaskular Penyakit
serebrovasular,
terutama
infark
aterotromboembolik
dimanifestasikan dengan serangan iskemik transien dan cerebrovascular attact (stroke), lebih sering dan berat pada penderita DM. Risiko relatif lebih tinggi pada perempuan, tertinggi pada usia 50 atau 60-an, dan lebih tinggi pada penderita dengan hipertensi. Pada penderita DM, stroke lebih serius, kekambuhan, dan angka kematian lebih tinggi, khususnya dengan DM tipe 2 (Black dan Hawks, 2014) 2.8 Pencegahan Diabetes Mellitus 2.8.1
Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa (PERKENI, 2011). Untuk itu, faktor-faktor yang dapat menyebabkan DM perlu diperhatikan, baik secara genetik maupun lingkungan. Berikut hal-hal yang harus dilakukan dalam pencegahan primer.
Universitas Sumatera Utara
25
1. Pola makan sehari-hari yang harus seimbang dan tidak berlebihan. 2. Olahraga secara teratur dan tidak banyak berdiam diri. 3. Usahakan berat badan dalam batas normal. 4. Hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan DM (diabetogenik). 2.8.2
Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendeteksi dini penyandang DM. Karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaring glukosa darah. Dengan demikian mereka yang mempunyai resiko tinggi DM dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai DM akan dapat ditindak lanjuti, sampai diyakinkan benar mereka mengidap DM. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini DM kemudian dapat dikelola dengan baik guna mencegah penyulit lebih lanjut (Waspadji, 2004). Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai
Universitas Sumatera Utara
26
dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2009). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. a. Obat Hipoglikemia Oral (OHO) Menurut PERKENI (2011), OHO dibagi menjadi lima golongan berdasarkan cara kerjanya sebagai berikut. 1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid Golongan obat sulfonilurea bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu, obat ini hanya bermanfaat bagi pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada penderita DM tipe 1. Mekanisme kerjanya yaitu menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (Waspadji, 2004). Sedangkan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derifat asam benzoate) dan Nateglinid (derifat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setalah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial (UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, 2009). 2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan
Universitas Sumatera Utara
27
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (Soegondo, 2009). Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan
glukosa
di
perifer.
Golongan
ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada
pasien
yang
menggunakan
tiazolidindion
perlu
dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2011). 3. Penghambat glukoneogenesis: Metformin Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi produksi glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis. Obat ini tidak mempunyai efk samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea, tetapi mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan (Ndraha, 2014). 4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa/Acarbose
Universitas Sumatera Utara
28
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Obat ini memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah post prandial. Sebagai moniterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan hipoglikemia (Soegondo, 2009). 5. DPP-IV inhibitor Glucagon-like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 atau memberikan hormon asli atau analognya. Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dapat melaksanakan fungsinya (PERKENI, 2011). b. Insulin Insulin diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja sedang, atau masa kerja panjang, berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek penurunan glukosa plasma yang maksimal. Terapi insulin yang lebih tepat dapat dicapai dengan suntikan insulin yang lebih sering atau sistem infus insulin subkutan yang terus menerus (Schteingart, 2006). Insulin digunakan
Universitas Sumatera Utara
29
pada semua pasien dengan DM tipe 1 dan sebagian pasien dengan DM tipe 2 (Davey, 2006). Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (PERKENI, 2011). 2.8.3
Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitas. Upaya pencegahan tersier ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ yang cacat, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi, dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik. Pencegahan penyakit ini terus diupayakan selama orang yang menderita belum meninggal dunia (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Salah satu cara dalam pencegahan tersier yang paling penting adalah senam kaki DM. Kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronik yang paling ditakuti. Angka amputasi akibat DM masih tinggi, sedangkan biaya pengobatan juga sangat tinggi dan sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum. Ada tiga alasan mengapa orang dengan DM lebih tinggi resikonya mengalami masalah kaki yaitu: 1. Sirkulasi darah dari tungkai yang menurun (gangguan pembuluh darah) 2. Berkurangnya perasaan pada kedua kaki (gangguan saraf) 3. Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Senam kaki dapat membantu sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki.
Universitas Sumatera Utara
30
2.9 Kerangka Konsep Karakteristik penderita DM tipe 2 dengan komplikasi 1. Sosiodemografi: Umur Jenis Kelamin Suku Agama Tingkat Pendidikan Pekerjaan Status Perkawinan Tempat Tinggal 2. Kadar Gula Darah Puasa 3. Keluhan Utama 4. Jenis Komplikasi 5. Penatalaksanaan Medis 6. Sumber Biaya 7. Lama Rawatan rata-rata 8. Keadaan Sewaktu Pulang
Universitas Sumatera Utara