BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perilaku kekerasan yang menimpa anak di Indonesia, masih tetap
menghantui dari waktu ke waktu dan terus meningkat. Berdasarkan pemberitaan surat kabar nasional yang dirangkum oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2007, dari 555 kekerasan terhadap anak yang muncul, 11,8 persen kekerasan terjadi di sekolah. Pada tahun 2008 diterapkan metode yang sama, persentasenya meningkat menjadi 39 persen. Namun angka tersebut berbanding lurus dengan pengaduan yang diterima oleh KPAI sehubungan dengan kekerasan anak yang terjadi di sekolah, dari kasus pelecehan secara verbal, kekerasan fisik sampai pelecehan seksual, bahkan di antaranya menyebabkan kematian (Supeno, 2010). Terhitung sepanjang 2007-2009, dari tiga kategori yang ditetapkan oleh KPAI yakni, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis, kasus yang memiliki laporan tertinggi adalah kasus kekerasan psikis dengan total 2.094 kasus, diikuti oleh kekerasan seksual berjumlah 1.858 kasus dan kekerasan fisik sebanyak 1.382 kasus (“Kekerasan Terhadap”, 2010) Jumlah pengaduan yang masuk ke KPAI tersebut juga terus meningkat selama tahun 2010, sebanyak 1.234 laporan. Pada tahun 2011 jumlah pengaduan laporan tersebut meningkat kembali sebesar 98 persen hingga mencapai 2.386 laporan. Kasus kekerasan seksual juga meningkat dari 2.413 kasus pada tahun 2010, menjadi 2.508 kasus pada tahun 2011. Sebanyak 1.020 kasus, setara dengan 62,7 persen terdiri dari kekerasan seksual seperti sodomi,
1
2
pemerkosaan dan pencabulan, sisanya sebesar 37,3 persen adalah kekerasan fisik dan psikis (“Bullying Masih”, 2011). Berdasarkan data yang dijabarkan diatas, kekerasan dapat terjadi di dalam lingkungan sekolah dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa pada tahun 2009 terdapat 30 persen kekerasan anak yang pelakunya juga masih merupakan teman sebaya mereka. (“Bullying Sering”, 2011). Data tersebut diperinci oleh KPA, yang menyatakan bahwa telah terjadi aksi pembulian di sekolah sebanyak 472 kasus pada tahun 2009 (“Ruang Eksekusi”, 2009) Fakta ini tentu sangat memprihatinkan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan berubah menjadi tempat yang mengerikan bahkan sampai mengancam nyawa. Tempat berkumpul untuk berkawan, justru menjadi tempat untuk mengadu lawan. Akhir-akhir ini media berita juga terus menampilkan fakta wajah pendidikan di Indonesia, seperti munculnya kasus bentrokan antara pelajar sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Jakarta Selatan dengan wartawan (“Kronologi Kericuhan”, 2011).
Juga kasus sebelumnya yaitu
pelaporan 15 orangtua siswa salah satu SMA Negeri dibilangan Bulungan, Jakarta Selatan, bahwa terdapat tindak kekerasan yang dilakukan secara fisik dan psikologis oleh siswa tingkat atas di sekolah tersebut (“Anak Jadi”, 2011). Kekerasan dalam lingkungan sekolah yang berupa kekerasan fisik dan mental yang berdampak buruk bagi psikologis, seperti pengucilan, perpeloncoan dan intimidasi merupakan contoh dari bullying, atau pembulian dalam bahasa Indonesia, yaitu perilaku negatif yang mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman, atau terluka dan biasanya terjadi berulang-ulang (Olweus, 1993).
3
Pengertian menurut Olweus, serupa dengan ciri-ciri pembulian yang dijabarkan oleh Priyatna (2010) yaitu (1) pembulian dilakukan dengan sengaja, bukan sebuah kelalaian dari pelakunya; (2) pembulian terjadi berulang-ulang, tidak dilakukan secara acak atau hanya sekali saja; dan (3) didasari oleh perbedaan yang mencolok, misalnya dari segi fisik atau usia pelaku-korbannya tidak seimbang. Pembulian, sering juga disebut sebagai pengorbanan teman sebaya (peer-victimization) dan penganiayaan senior terhadap junior (hazing), yaitu usaha untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah secara psikologis ataupun fisik, oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat (Olweus, 1993 dalam Juwita, 2006). Fenomena pembulian ini sebenarnya sudah lama menjadi momok dalam dunia pendidikan kita, biasanya berbentuk penggencetan, olok-olok antar teman, dan lainnya. Sayangnya, guru dan orang tua masih menganggap pembulian sebagai hal biasa dalam kehidupan remaja (“Tawuran Dan”,2011). Pembulian di sekolah justru kebanyakan muncul dalam format acara yang telah dilegalkan oleh instansi pendidikan yang bersangkutan, seperti Masa Orientasi Siswa (MOS), acara regenerarisasi kegiatan ekstrakurikuler, atau bentuk-bentuk acara lainnya, yang tidak pernah disadari menjadi ajang pembulian (“Awas Bullying”, 2007). Dalam acara MOS, regenerarisasi kegiatan ekstrakurikuler,
Latihan
Dasar
Kepemimpinan
Sekolah
(LDKS)
banyak
menerapkan sistem senioritas yang kental. Senioritas yang terjadi dalam bentuk paling ramah pun merupakan sebuah bentuk perilaku pembulian, dan tidak hanya terjadi di sekolah saja tetapi bahkan diperpanjang sampai di luar sekolah bahkan di mal (Astuti, 2008).
4
Survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia dan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada tahun 2008, membuktikan bahwa tindak pembulian pernah terjadi di sekolah. Survei ini melibatkan 1.500 siswa SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yang mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67.9 persen di tingkat SMA dan 66,1 persen di tingkat SMP. Kekerasan yang dilakukan sesama siswa, atau pembulian, tercatat sebesar 43,7 persen untuk tingkat SMA dan 41,2 persen untuk tingkat SMP, dengan kategori tertinggi pembulian secara psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua ditempati pembulian secara verbal berupa ejekan, dan terakhir pembulian secara fisik berupa pukulan. Dengan gambaran pembulian di Jakarta sebesar 61,1 persen (“Young Hearts”, 2010). Sejak tahun 2005 lalu, kasus pembulian muncul secara perlahan di ranah pendidikan Indonesia, dimulai dengan kasus ditemukannya seorang siswi SMP yang menggantungkan dirinya di kamar mandi, karena tidak tahan diejek sebagai anak tukang bubur (Sejiwa, 2008). Dilanjutkan dengan beberapa kasus lainnya. Di Jakarta sendiri, kasus pembulian mulai menjadi perhatian ketika pada tanggal 15 Mei 2007, Blasius Adi Saputra (18 tahun) yang tercatat sebagai siswa kelas 1 SMA Pangudi Luhur Jakarta Selatan, melaporkan penganiayaan yang dialaminya ke pihak berwajib. Adi mengalami tindak kekerasan hingga babak belur dikeroyok, dipukuli dengan botol, dan diintimidasi oleh seniornya pada April 2007 silam. Kemudian, disusul oleh Muhammad Fadhil yang (16 tahun) siswa SMA 34 Pondok Labu Jakarta Selatan, yang menjadi kekerasan geng Gazper pada pertengah Agustus 2007 lalu, karena ia tidak dapat menarik “uang setoran” dari angkatannya untuk diserahkan kepada kakak kelasnya. Disusul oleh kasus seorang siswa SMA 26 Jakarta yang mengalami tindak
kekerasan
dan
pelecehan
seksual
oleh
kakak
kelasnya
pada
5
regenerarisasi ekstrakurikuler futsal setiap peringatan 17 Agustus, yang dilaporkan ke pihak berwajib pada 4 November 2008. Akhir tahun 2008, ditutup dengan pemerasan dan tindakan kekerasan SMA 70 Bulungan Jakarta, dengan cara kegiatan olahraga Bulungan Cup yang digunakan sebagai alasan pengumpulan dana sebesar satu juta rupiah per kelas setiap minggunya, dan dengan dalih pengukuhan nama angkatan, siswa kelas satu juga harus menghadapi sejumlah kekerasan fisik (“Inilah Catatan”, 2008). Kasus pembulian di SMA di Jakarta, tidak berhenti sampai disitu. Pada bulan November 2009, berita mencuat dari SMA 82 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ade Fauzan Mahfuzah (15 tahun) merupakan siswa kelas satu sekolah tersebut dipukuli oleh sekitar 30 siswa kelas tiga, seniornya, hingga dirawat di rumah sakit Ade dianiaya karena melewati “Jalur Gaza” yang terlarang dilewati oleh siswa kelas satu dan dua (“Kak Seto”, 2009). Bulan April 2010, 2 kasus pembulian muncul bersamaan yaitu kasus Novia Yuma, siswi kelas satu SMA 70 Bulungan, yang diintimidasi dan menerima kekerasan dari seniornya karena tidak memakai singlet atau kaos dalam (“Tak Pakai”, 2010), dan kasus Okke Budiman, siswa kelas satu SMA 46 Jakarta yang mengaku dianiaya siswa kelas 3, berupa pemukulan dengan helm dan tangan kosong, tendangan di punggung, dan 5 sundutan rokok di lengan kanannya (“Kasus bullying”, 2010). Kasus terbaru, pada akhir 2011 lalu, 15 orang tua siswa SMA 70 Jakarta, melapor ke KPAI bahwa anak-anak mereka menjadi korban pembulian kakak kelasnya. Anak-anak tersebut di doktrin hal yang tidak baik, dipukul, ditempeleng, ditendang, dan untuk anak perempuan diberi kata-kata kasar yang tidak pantas. Bahkan pemalakan atas dasar acara resmi sekolah juga dilakukan oleh para senior (Anak jadi, 2011).
6
Berdasarkan data dan rangkuman berita yang peneliti kumpulkan dari tahun 2007 hingga saat ini, pembulian pada tingkat SMA banyak terjadi di Jakarta, khususnya di wilayah Jakarta Selatan. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kecenderungan perilaku pembulian baik dari pelaku maupun korban pada siswa-siswi tingkat SMA di wilayah Jakarta Selatan. Salah satu karakteristik dari perilaku pembulian adalah adanya perilaku agresi yang membuat pelaku senang untuk menyakiti korbannya (Rigby, 1996 dalam Astuti, 2008). Jika pembulian gagal ditangani maka akan menjadi tindakan agresi yang lebih parah. Salah satu faktor penyebab agresi yang pertama adalah frustasi. Frustasi menimbukan kemarahan dan memicu seseorang untuk melakukan tindakan agresi, yang merujuk pada perilaku pembulian. Frustasi tersebut juga dapat disebabkan oleh pola asuh otoriter. Sikap orang tua yang terlalu menuntut anaknya dapat membuat anak frustasi. Orangtua yang menginginkan anaknya tunduk dan patuh serta selalu menuruti kehendak mereka, dapat menyebabkan frustasi. Didikan yang terlalu keras dan tidak responsif pada kebutuhan anak cenderung membuat anak menjadi takut dan murung. Kondisi tersebut bisa melandasi perilaku pembulian. Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anak, karena kegagalan pemenuhan standar yang telah ditentukan akan membuat anak marah dan kesal pada orang tuanya tetapi tidak dapat mengungkapkan kemarahannya tersebut dan justru melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk tindakan agresif, yang membentuk perilaku pembulian (Sarwono, 2002 dalam Fortuna, 2008). Patterson (1986 dalam Georgiou, 2008) menyatakan bahwa sebenarnya perilaku pembulian dimulai dari rumah. Anak-anak belajar untuk menjadi agresif terkait dengan perilaku pembulian- terhadap anak lainnya, terutama kepada anak yang lebih lemah dari diri mereka sendiri, dengan mengamati bagaimana
7
interaksi anggota keluarga mereka sehari-hari. Bandura (1986 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004) dengan teori social learning juga telah menunjukkan bahwa dalam menampilkan perilaku mendidik yang agresif dapat berfungsi sebagai model bagi anak-anaknya untuk melakukan pembulian terhadap anak lainnya. Dalam penelitian longitudinalnya, Farrington (1993, dalam Ahmed & Braithwaite, 2004) menemukan bahwa remaja yang menjadi pelaku pembulian tidak hanya cenderung tumbuh dewasa dengan menjadi orang tua yang melakukan penganiayaan, tetapi juga memiliki anak yang memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku pembulian. Berfokus pada pola asuh orang tua dengan merujuk pada teori Dianna Baumrind (1966, dalam Santrock, 2003) menekankan tiga jenis cara menjadi orangtua, yaitu : otoriter (authoritarian), merupakan gaya pengasuhan yang bersifat menghukum dan membatasi; otoritatif (authoritative), merupakan gaya pengasuhan yang bersifat bebas namun tetap mengendalikan anak; dan permisif (permissive), merupakan gaya pengasuhan yang memanjakan dan kurang mengendalikan anak. Farrington (2000, dalam Ahmed & Braithwaite, 2004) pernah menyatakan bahwa pola asuh orang tua memiliki kemungkinan berkorelasi dengan perilaku pembulian pada anak. Sebuah studi menyatakan bahwa anak-anak yang melakukan perilaku pembulian terhadap anak lainnya, anak yang menjadi pelaku pembulian cenderung berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, yang ditandai dengan adanya kekerasan dan sesuatu yang bersifat menghukum dalam pola asuhnya (Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Penelitian tersebut serupa dengan pernyataan Lowenstein (1978, dalam Baldry & Farrington, 2000) bahwa umumnya orang tua dari pelaku pembulian cenderung berada dalam sebuah masalah, seperti masalah keuangan atau
8
masalah pribadi lainnya sehingga cenderung memiliki komunikasi yang buruk dengan
anak-anaknya,
kurang
memberikan
kehangatan,
otoriter
dan
menggunakan metode didikan yang keras, termasuk hukuman fisik. Dengan penelitian-penelitian yang telah mendokumentasikan efek negatif dari pola asuh yang banyak menggunakan hukuman dan kekerasan terhadap kecenderungan perilaku pelaku pembulian pada anak. Rican, Klicperova dan Koucka (1993, dalam Ahmed & Braithwaite, 2004) mengamati bahwa anak-anak yang diasuh oleh orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif, terutama yang mendukung kemandirian dan otonomi anaknya, cenderung kurang terlibat dalam perilaku pembulian. Penelitian mengenai pola asuh orang tua yang yang terkait dengan bagaimana seorang anak menjadi korban pembulian masih memuat banyak hasil yang bertentangan. Seperti, sejumlah peneliti melaporkan bahwa anak yang menjadi korban pembulian menampilkan profil pola asuh yang diterima mirip dengan pelaku pembulian (Komiyama, 1986; Bates, Dodge, Pettit, & Bass, 1997), sedangkan yang lain melaporkan bahwa mereka memiliki perbedaan yang besar (Binney, Bowers, & Smith, 1992) (dikutip dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Hal ini didukung dengan temuan yang menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang permisif memprediksi anak cenderung menjadi korban pembulian, sedangkan pola asuh orang tua yang otoriter memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian (Baldry & Farrington, 2000; Kaufmann et al, 2000 dalam Georgiou, 2008). Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang besar antara profil pola asuh yang diterima serta karakteristik pelaku maupun korban pembulian.
9
Penelitian lainnya justru menunjukkan bahwa orangtua yang otoriter cenderung mengembangkan kenakalan pada anak untuk menjadi pelaku pembulian (dalam Georgiou, 2008), demikian dengan pola asuh orang tua yang permisif cenderung memiliki anak yang kesulitan dalam membatasi perilaku agresif mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian (Miller et al, 2002 dalam Georgiou, 2008). Studi lain (Bowers et al, 1994) melaporkan bahwa korban pembulian cenderung menerima pola asuh orang tua yang terlalu protektif atau otoriter (dalam Georgiou, 2008). Berdasarkan literatur diatas, terdapat ketidakpastian dan kebingungan dalam literatur yang relevan mengenai hubungan antara pola asuh orang tua yang spesifik dan perilaku pelaku – korban pembulian di sekolah (Georgiou, 2008). Dalam penelitian ini, pola asuh orang tua pada anak usia remaja memiliki peranan yang sangat penting terhadap perilaku sosial yang ditampilkan oleh anak di sekolah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Dianna Baurmind (1991b) yang menunjukkan bahwa ketika orang tua memiliki masalah perilaku, maka anak juga akan mengalami penurunan perilaku sosial. Saat orang tua mengalami masalah dengan pribadinya atau hal lain yang berkaitan dengan kehidupannya, maka hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana pola asuh orang tua terhadap anaknya. Perubahan pola asuh tersebut menciptakan konflik antara orang tua dan remaja. Konflik yang berat dan berkepanjangan akan berkaitan dengan kenakalan remaja, seperti pembulian (Santrock, 2003). Pemaparan diatas telah menunjukkan keterkaitan antara pola asuh orang tua dengan kecenderungan perilaku pelaku – korban pembulian pada remaja, khususnya siswa SMA di Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan mengingat belum adanya literatur yang relevan dan spesifik mengenai pola asuh orang tua berkaitan dengan perilaku pelaku – korban pembulian, yang mungkin dapat
10
memberikan hasil spesifik bagi pelaku – korban pembulian pada anak SMA di Jakarta Selatan.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
peneliti berusaha untuk melihat : “Apakah terdapat hubungan antara jenis pola asuh orang tua dengan kecenderungan perilaku pelaku – korban pembulian?” 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jenis pola
asuh orang tua dengan kecenderungan menjadi pelaku dan/atau korban pembulian. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan agar memiliki manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu : 1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Memperkaya khazanah penelitian Psikologi, khususnya mengenai pola asuh orang tua pada remaja. 2. Memperkaya khazanah penelitian Psikologi, khususnya mengenai pembulian pada siswa SMA di Jakarta Selatan. 3. Merupakan stimulus bagi penelitian dengan bidang kajian yang serupa tetapi dengan variable penelitian yang berbeda. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Membantu praktisi pendidikan dalam menentukan intervensi yang tepat bagi remaja yang terlibat dengan situasi pembulian.
11
2. Membantu orangtua dan/atau pengasuh menentukan jenis pola pengasuhan yang tepat bagi remaja agar tidak terlibat dengan situasi pembulian.