BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan kinerja keuangan perusahaan adalah tujuan yang seharusnya dicapai untuk menarik stakeholders untuk membantu menunjang kegiatan operasional perusahaan. Namun pengelolaan
yang kurang sehat menjadi
penyebab terjadinya ketidak pastian yang pada akhirnya menjadi penyebab penurunan kesehatan perusahaan. Hal ini yang menyebabkan ketidak percayaan stakeholders khususnya pemegang saham atas return yang dapat diperolah dari investasi yang mereka tanamkan. Akibatnya para pemegang saham enggan berinvestasi karena pengelolaan manajemen yang kurang sehat pada perusahaan. Sehingga aliran masuk modal (capital inflows) ke suatu negara mengalami penurunan sedangkan aliran keluar modal (capital outflows) dari suatu negara mengalami kenaikan. Masalah ini yang mengakibatkan muncul teori keagenan (agency theory) dimana ada perbedaan pengambilan keputusan antara pemegang saham dan manajemen perusahaan. Manajer selaku pengelola perusahaan menginginkann laba yang dihasilkan digunakan untuk pengembangan usaha. Sedangkan pemegang saham menginginkan laba tersebut dibagikan dalam bentuk deviden. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum perusahaan wajib melaksanakan
1
2
kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat GCG). GCG merupakan tata kelola yang mengarahkan dan mengatur perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) dalam menentukan arah kinerja perusahaan. Isu-isu mengenai corporate governance mulai ada khususnya di Indonesia pada tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan. Banyak pihak yang mengatakan proses perbaikan di Indonesia memakan waktu yang lama disebabkan karena lemahnya corporate governance yang diterapkan dalam perusahaan Indonesia. Sejak saat itu baik pemerintah maupun stakeholders mulai memberikan perhatian yang cukup dalam pada penerapan corporate governance. Bukti empiris yang diperoleh dari hasil riset Zhuang pada tahun 2000 (Cristiana, 2011) menunjukkan bahwa masih lemahnya perusahaan-perusahaan go public di Indonesia dalam mengelola perusahaan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara, hal ini ditunjukkan masih lemahnya standar-standar dan regulasi, pertanggung jawaban terhadap pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengurusan perusahaan. Secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan go public di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memuaskan stakeholders perusahaan. Melalui penerapan GCG tersebut diharapkan: (1) perusahaan mampu meningkatkan kinerja melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayanan kepada stakeholder, (2) perusahaan lebih mudah
3
memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat neningkatkan corporate value, (3) meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekalugus akan meningkatkan shareholders value dan dividen. Setalah adanya GCG akhir-akhir ini dunia usaha memberikan perhatian lebih pada informasi pertanggung jawaban sosial atau disebut juga Corporate Sosial Responsibility (selanjutnya disingkat CSR) yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. CSR merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas operasional perusahaan.
Menurut
Hackston
dan
Milne
(dalam
Sembiring,
2005)
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan sering disebut juga sebagai CSR atau social disclosure, corporate social reporting, social reporting merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. CSR merupakan wacana yang sedang mengemuka di dunia perusahaan multinasional. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam rangka mengambil peran untuk menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Perkembangan pasar bebas yang telah membentuk ikatan-ikatan ekonomi misalnya AFTA, APEC, dan lain sebagainya, telah mendorong perusahaan dari penjuru dunia secara bersamaan melaksanakan aktivitasnya dalam mensejahterakan masyarakat di ligkungan sekitarnya. Landasan CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomi kepada
4
shareholders tetapi juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Perkembangan CSR secara konseptual baru dikemas sejak tahun 1980-an yang dipicu setidaknya oleh lima hal yaitu, maraknya fenomena take over antar korporasi yang kerap dipicu oleh keterampilan rekayasa finansial, runtuhnya tembok berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan semakin kokohnya imperium kapitalisme secara global, meluasnya operasi perusahaan multinasional
di
negara-negara
berkembang,
sehingga
dituntut
supaya
memperhatikan HAM, kondisi sosial, dan perlakuan yang adil terhadap buruh, globalisasi dan menciutnya peran pemerintah hampir diseluruh dunia telah menyebabkan tumbuhnya LSM yang memusatkan perhatian mulai dari isu kemiskinan sampai pada kekhawatiran akan punahnya berbagai spesies baik hewan maupun tumbuhan sehingga ekosistem semakin labil, adanya kesadaran dari perusahaan akan arti penting merk dan reputasi perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan. Di Indonesia wacana mengenai CSR mulai mengemuka pada tahun 2001, namun sebelum wacana ini mengemuka telah banyak perusahaan yang menjalankan CSR dan sangat sedikit yang mengungkapkannya dalam sebuah laporan. Hal ini terjadi mungkin karena belum mempunyai sarana pendukung seperti: standar laporan, tenaga terampil baik penyusun laporan maupun auditornya. Di samping itu sektor pasar modal Indonesia juga kurang mendukung dengan belum adanya penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR.
5
CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanam modal, dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per5/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan usaha kecil dan Program Bina Lingkungan. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) menjelaskan bahwa laporan tahunan harus mengakomodasi kepentingan para pengambil keputusan. Penjelasan tersebut ditulis dalam pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 tahun 2009, paragraf kesembilan: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottem line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Tapi tanggung jawab perusahaan berpijak pada triple bottom lines yang berarti perusahaan tidak hanya berpijak pada finansialnya saja tetapi juga berpijak pada sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya terjamin apabila perusahaan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Sudah menjadi fakta bagaimana respon masyarakat sekitar, di berbagai tempat ketika muncul perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
6
Menurut Kiroyan (dalam Sayekti dan Wondabio, 2007), perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan akan memaksimalkan ukuran keuangan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR berharap akan direspon positif oleh para pelaku pasar seperi investor dan kreditur yang nantinya dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Pengungkapan tanggung jawab sosial dimaksudkan agar bisa digunakan sebagai bahan evaluasi dan juga sebagai alat komunikasi dengan stakeholders. Adanya pelaporan tersebut adalah cerminan dari perlunya akuntabilitas perseroan atas pelaksanaan kegiatan CSR, sehingga stakeholders dapat menilai pelaksanan kegiatan CSR secara transparan. Dengan memberikan pengungkapan atas informasi pertanggung jawaban sosial maka dapat meningkatkan citra (image) perusahaan dan sekaligus meningkatkan kinerja perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang disampaikan diatas maka penelitian merumuskan masalah sebagai bahan penelitian adalah: 1. Apakah terdapat pengaruh Good Corporate Governance terhadap kinerja keuangan? 2. Apakah terdapat pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan?
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menguji pengaruh Good Corporate Governance terhadap kinerja keuangan. 2. Untuk menguji pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak antara lain: 1. Kontribusi Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada perusahaan khususnya
mengenai
pengaruh
Good
Corporate
Governance
dan
pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan. 2. Kontribusi Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa tambahan pengetahuan yang empiris sehingga bisa digunakan sebagai bahan kajian bagi peneliti selanjutnya mengenai pengaruh Good Corporate Governance dan pengungkapan Corporate Social Responsibility di Indonesia khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan.
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah mengkaji penerapan Good Corporate Governance dan pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan yang dilakukan oleh perusahaan.