0
Atmosfer Spiritual sebagai Faktor Fundamental Pendidikan Karakter di Sekolah R. Marpu Muhidin Ilyas Kepala Sekolah SMA Al-Muhajirin Purwakarta Jawa Barat Abstrak Karya tulis dengan judul Atmosfer Spiritual sebagai Faktor Fundamental Pendidikan Karakter di Sekolah ini mengangkat masalah bagaimanakah cara mengatasi permasalahan kehampaan spiritual dalam pendidikan karakter di sekolah dengan memanfaatkan khazanah spiritualitas Islam dalam pembentukan akhlak. Tulisan mengajukan hipotesis bahwa spiritualitas adalah masalah paling mendasar dalam pendidikan karakter yang karenanya kegagalan pendidikan karakter bermuara kepada kehampaan spiritual dalam diri siswa. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan pendidikan karakter yang masih terjadi sampai hari ini adalah penerapan Model Atmosfer Spiritual. Dengan merujuk literatur Barat dan Keislaman, permasalahan spiritualitas ini terbukti bersifat transeden dan universal yang karenanya model atmosefer spiritual ini dapat diterapkan di semua sekolah di Indonesia. Maka disarankan kepada semua sekolah untuk menerapkan model ini dalam program pendidikan karakter. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Spiritualitas, Akhlak, Atmosfer Spiritual Pendahuluan Sejak tahun 2010 pendidikan karakter telah digulirkan menjadi program nasional. Setelah pencanangan ini, pendidikan karakter ramai dibicarakan dari mulai tataran konsep sampai pada implementasi. Dari diskusi-diskusi yang filosofis sampai pada upaya-upaya pragmatis. Silabus dan RPP berkarakter kemudian menjadi trend dan populer bahkan hingga hari ini. Terlebih lagi setelah lahirnya Kurikulum 2013 yang menjadikan sikap spiritual dan sikap sosial sebagai kompetensi inti, pendidikan karakter menjadi makin kuat saja sebagai sebuah kebijakan dan program.
1
Pendidikan karakter yang dimaknai sebagai upaya lembaga pendidikan secara sistematik dalam pembentukan perilaku siswa, 1 tak ada yang ragu tentang pentingnya sebagai prioritas dalam pendidikan nasional. Namun, dalam konteks pendidikan di Indonesia, kemerosotan nilai-nilai moral seperti fenomena kekerasan, pelecahan seksual, korupsi, dan kesewenang-wenangan yang terus terjadi sampai hari ini di kalangan sekolah2 mengundang pertanyaan besar bagi semua pihak. Kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi (das sein) dengan apa yang sebenarnya terjadi (das solen) dalam dunia pendidikan ini, menggiring pada satu pendapat bahwa program nasional pendidikan karakter tidak serta-merta sukses membentuk karakter yang baik dalam diri siswa. Dalam konteks ini, pendidikan agama karena korelasinya yang kuat dengan pembentukan karakter dianggap telah gagal dan mandul terhadap kondisi sosial masyarakat.
Hal ini misalnya dibuktikan oleh
penelitian 10 tahun lalu yang dilakukan oleh Bidang Penelitian Isntitut DIAN/Interfidei Jogjakarta tentang problematika pendidikan agama di sekolah dari tahun 2004-2006 menyimpulkan bahwa pada level sistem pendidikan dan level realitas masyarakat dan siswa pendidikan agama masih menyisakan permasalahan yang berujung pada lemahnya budaya toleransi dan saling menghargai dalam kehidupan masyarakat.3 Bahkan kegagalan pendidikan agama dalam mewariskan nilai-nilai dan karakter positif dalam diri siswa menurut Haidar Bagir tidak memerlukan data statistik karena keadaan yang terjadi dan pemandangan yang terlihat dari
Lihat James Arthur, Traditional Approaches to Character Education in Britain And America, dalam Larry P. Nucci dalam Handbook of Moral and Character Education, (London and New York: Routledge, 2008), h. 90; Character Education Network, What Character Education Is, artikel dari http://charactered.net/main/traits.asp#whatis 2 Kenakalan remaja tersebut memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Lihat Septriyana Suryaningtiyas, Kenakalan Remaja (Studi Deskriptif BentukBentuk Nakal pada Remaja Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Kota Blitar), (Surabaya: Universitas Airlangga, 2007) h. 3; 3 Listia, Laode Arham, dan Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di Sekolah, Hasil Penelitian Tentang Pendidikan Agama di Kota Jogjakarta 2004-2006, (Yogyakarta: Intefidei, 2007), h. 207-120 1
2
para lulusan lembaga pendidikan cukup menunjukkan betapa kegagalan itu telah terjadi.4 Masalah Meskipun sampai dekade 2000 banyak pakar menyatakan tidak ada bukti-bukti kuat ilmiah mengenai hubungan kehampaan spiritual remaja dengan perilaku negatif, namun tragedi demi tragedi dalam kehidupan remaja yang terjadi di dunia ini menyadarkan banyak pakar ilmu sosial dan psikologi tentang kebenaran hal ini. Kekosongan spiritual yang dirasakan banyak remaja diakui sebagai sumber perilaku negatif tersebut. Dengan kata lain, salah satu sebab terbesar kegagalan pendidikan karakter adalah kehampaan spiritual. Riset-riset mutakhir tentang otak menguatkan pentingnya spiritualitas dalam pendidikan karakter ini. Penemuan God Spot oleh Ramachandran
menguatkan
pendapat bahwa dalam diri manusia ada kebutuhan terhadap nilai-nilai transenden. Karena spiritualitas berkaitan dengan transendensi nilai-nilai yang akan diturunkan menjadi perilaku karakter dan karakter moral, maka sejatinya pendidikan karakter menghendaki adanya sumber transenden yang menginspirasi perumusan nilai-nilai moral yang diterima oleh semua pihak(global ethic). Dalam hal ini Ary Ginanjar, seorang pakar pendidikan karakter, menunjukkan bahwa sumber transenden tersebut adalah NamaNama Terbaik Allah atau Al-Asmâ Al-Husnâ.5 Secara umum nilai-nilai spiritual didefinisikan sebagai nilai-nilai yang berhubungan dengan hal-hal imateril, dunia luar dan suci sebagai nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi. Tak dapat disangkal, ekspresi ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta menggambarkan bentuk 4
Lihat, dan bandingkan dengan Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Bandung: Sembiosa Rekatama Media, 2008), h. 4 5 Dalam kajiannya tentang kecerdasan spiritual, konsep ESQ Way 165 yang dikembangkan Ary Ginanjar Agustian dan bisa diterima berbagai latar belakang budaya dan agama meskipun berangkat dari khazah ajaran Islam, menjadikan temuan tentang G Spot ini sebagai landasan ilmiah konsep ESQ yang dikembangkannya. Lihat Ary Ginanjar Agustian, ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, (Jakarta: Agra, 2004)
3
tertinggi dari nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai ini merupakan dasar pendidikan karakter yang ideal dan prinsipal.6 Menurut Ralph G. Chamberlin, tidak mungkin membangun sekolah yang baik tanpa menaruh perhatian besar terhadap moral dan nilai-nilai spiritual.7 Senada dengan itu, Robert W. Howard menempatkan pendidikan agama (religious education) pada urutan tertinggi dalam taksonomi pendidikan karakter.8 Pendidikan agama ini dimaksudkan sebagai bingkai pendidikan karakter dalam konteks keyakinan tradisional dan justifikasi moral dari sumber yang transenden. Kehampaan spiritual inilah yang sesungguhnya menjadi masalah utama pendidikan karakter. Dari masalah utama ini, muncul masalah turunannya berkaitan dengan sumber spiritualitas pendidikan karakter, darimanakah itu berasal? Ibn Miskawaih dan al-Ghazali yang dianggap sebagai rujukan dalam pendidikan akhlak, menawarkan gagasan bahwa konsep-konsep kunci dalam
filsafat
akhlak
adalah
akhlak
seseorang
berpijak
kepada
keyakinannya tentang Allah. Pemikiran akhlak selanjutnya membicarakan sumber inspirasi pembentukan karakter. Tentang hal ini manusia harus meniru dan mengadopsi akhlak Allah karena hanya kepada Allah semua kesempurnaan dan kebaikan bermuara. Pemikiran-pemikiran mendasar akhlak ini berujung kepada ilmu tasawuf. Dari sinilah spiritualias pendidikan karakter bersumber. Lalu bagaimanakah cara mengatasi
Sister Mary Janet, S.C., What Are We Doing About Spiritual Values adan Character Education For Present Yout Day, National Association of Secondary School Principals, April 2007, h. 253 Bandingkan dengan Thomas Lickona, The Return of Character Education, 7 Ralph G. Chamberlin, What Are We Doing About Spiritual Values adan Character Education For Present Yout Day,National Association of Secondary School Principals, April 2007, h. 254 8 Taksonomi selengkapnya dimulai dari logika moral (moral reasoning), pengajaran kebajikan moral (moral education-virtue), pendidikan kecakapan hidup (life skills education), belajar pelayanan (service learning), pendidikan kewarganegaraan (citizenship training), membangun komunitas peduli (caring community), pendidikan kesehatan (health education), manajemen konflik (conflict resolution), filsafat moral dan etika (Ethics-moral philoshopy), dan pendidikan agama (religious education). Lihat Robert W Howard, Contemporary Issues in The Politics of Character Education, Educational Policy, Januari dan Maret 2004, h. 197-198 6
4
permasalahan kehampaan spiritual dalam pendidikan karakter di sekolah dengan memanfaatkan khazanah spiritualitas Islam dalam pembentukan akhlak? Pembahasan dan Solusi Analisis sebelumnya tentang permasalahan pendidikan karakter telah
membawa
kesimpulan
pada
pentingnya
spiritualitas
dalam
pendidikan karakter yang justru sering kali absen dalam praktik pendidikan karakter di sekolah. Untuk menghadirkan spiritualitas ini, metode pembentukan karakter dalam tasawuf yang ditempuh melalui tiga tahapan, tahaqquq, ta’alluq, dan takhalluq dapat disandingkan dan
yaitu
dikombinasikan dengan tiga prinsip dasar pendidikan karaker, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral doing. Namun analisis ini hanya berkaitan dengan pendidikan karakter dalam skala mikro, di dalam kelas. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana model yang memungkinkan pendidikan karakter di sekolah berjalan dengan baik dan efektif. Untuk menjawab itu, pada bagian ini, penulis akan mengkaji atmosfer spiritual sebagai faktor distingtif dari pendidikan karakter di sekolah. Term atmosfer sendiri merujuk pada moral atmosphere yang dikembangkan oleh Tagiuri dan Anderson.9 Penting dicatat sebagai penegasan terhadap analisis sebelumnya bawa pendidikan karakter yang efektif tidak dilakukan dengan sekadar menambahkan sebuah atau seperangkat program ke sekolah. Sebaliknya, pendidikan karakter akan efektif dengan mentransformasikan budaya dan kehidupan sekolah. Demikian ditegaskan Marvin Berkowitz. 10Apa yang ditekankan Berkowitz ini sesungguhnya paralel dengan tema spiritualitas. Richard J. Foster yang menyebutkan bahwa tujuan spiritualitas adalah
Lihat Cheri Ostroff, Agelo J. Kinicki, dan Melinda M. Tamkins, Organizational Culture and Climate, dalam Irving B. Weiner (ed), Handbook of Psychology, (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2003), h. 567 10 Lihat Marvin Berkowitz, as quoted in the Character Education Informational Handbook & Guide, North Carolina Dept. of Public Instruction (Raleigh, NC: http://www.ncpublicschools.org/charactereducation/handbook/pdf/content.pdf) 9
5
transformasi diri secara total.11 Senada dengan itu David Elkind dan Freddy
Sweet12,
menggarisbawahi
bahwa
cara
terbaik
untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui sebuah model holistik yang mengintegrasikan pengembangan karakter ke dalam semua aspek kehidupan sekolah. Berbagai pakar pendidikan moral dan karakter yang pemikirannya terangkum dalam Handbook of Moral and Character Education, sepakat bahwa pendidikan karakter perlu dilakukan dalam sebuah model yang holistik. Berkaitan dengan metode, pendekatan, dan model pendidikan karakter, dapat disimpulkan bahwa adanya lingkungan yang kondusif untuk kehidupan moral dan spiritual siswa merupakan faktor yang fundamental dalam pendidikan karakter.Tentang hal ini, Kohlberg menyimpulkan bahwa pendekatan pengembangan yang serius dalam pendidikan moral menuntut sebuah restrukturisasi sekolah secara radikal. Menurut Kohlberg, sekolah harus menjadi tempat yang berbeda secara radikal, jika pengelolanya memiliki keseriusan untuk mengajarkan pengetahuan tentang kebaikan.13 Kohlberg dan koleganya kemudian mengembangkan sebuah metode yang disebut The Just Community Approach.14 Metode ini didesain untuk membantu sekolah merealisasikan tujuannya sebagai sebuah komunitas moral yang secara simultan juga membantu anggota-anggota komunitas tersebut untuk menjadi peserta yang bertanggung jawab dan efektif terhadap komunitasnya.Kajian Clark Power terhadap metode ini menunjukkan bahwa penguatan lingkungan sekolah secara moral berpengaruh terhadap komponen-komponen utama Lihat Richard J. Foster, Celebrate Disciplines The Path to Spiritual Growth, (Amerika: Perfect Bondh, 2003), 62 12 David Elkind dan Freddy Sweet, How to Do Character Education, artikel didownload dari www.goodcharacter.com 13 Lihat F. Clark Power dan Ann Higgins-D’Allesandro, The Just Community Approach to Moral Education and the Moral Atmosphere of the School, dalam Larry P. Nucci, h. 236 14 Lihat F. Clark Power dan Tatyana A. Makogon, The Just Community Approach to Care, artikel didownload dari http://tigger.uic.edu/~lnucci/MoralEd/articles/powerjust.html secara detail program ini menerapkan tujuah prinsip berikut: (1) menuntut reformasi sekolah secara radikal; (2) 11
6
pendidikan karakter, yaitu, nalar moral, tanggug jawab moral, dan perilaku moral. Menurut Richard Foster, dalam tema pertumbuhan spiritual (spiritual growth) terdapat tiga aspek yang perlu di isi, yaitu disiplin diri (inward disciplines), disiplin luar (outward disciplines), dan disiplin lembaga (corporate disciplines).15 Formulasi dari ketiga komponen inilah yang akan didesain sebagai atmosfer spiritual sekolah. Meskipun kajian spiritualitas Foster dalam konteks iman kristiani, namun sifat spiritualitas yang universal dan transenden, membuat kajian tersebut memiliki semangat yang sama dengan spiritualitas Islam yang menjadi bagian penting kajian tulisan ini. Disiplin diri dimaksudkan sebagai upaya pembenahan diri untuk mendapatkan kekuatan spiritual dalam membentuk perilaku moral. Dalam hal ini, meskipun spiritualitas tidak identik dengan religiositas, namun ajaran-ajaran
agama
dapat
dijadikan
modalitas
untuk
memasuki
spiritualitas tersebut. Dengan demikian, bagian ini sekaligus kritik terhadap spiritualisme sekuler yang ‘keberatan’ memasuki ruang agama demi netralitas spiritualitas. Disiplin diri dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dzikir atau meditasi (meditation), do’a (prayer) dan puasa (fasting). 1. Dzikir sebagai Nalar Moral Dzikir bukanlah sekadar trik psikologis untuk menentramkan hati, tetapi sebuah ketundukan teologis.16 Dalam doktrin Islam, dzikir diyakini dapat menimbulkan ketentraman hati (QS: Ar-Ra’du:28).
Dzikir dapat
dipadankan dengan tradisi meraih ketenangan melalui meditasi dalam semua ajaran spiritualitas. Dzikir paling formal ada dalam shalat (QS Thaha:14). Efek meditasi dan relaksasi dari shalat tidak dapat ditandingi oleh bentuk-bentuk dzikir yang lain. Bila merujuk kepada Al-Qur’an, Lihat Richard J. Foster, Celebration of Discipline: The Path to Spiritual Growth, (PerfectBound, 1997), h. viii 16 Bandingkan dengan statemn Thomas Berton seperti dikutip oleh Richard Foster dalam celebrate the discipline, h. 15 15
7
ternyata dekadensi moral remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap shalat. Allah swt berfirman yang maknanya “Maka datanglah sesudah mereka generasi pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS Maryam: 59) Beberapa
riset
modern
seperti
dijelaskan
Nana
Djumhana
Bastaman, Agus, dan Abu Sangkan dalam kajian psikologi dan spiritual mereka terbukti menimbulkan efek rileks dan kenyamanan hati. 17 Ketentraman hati semacam inilah yang diperlukan untuk memulai pembelajaran dengan suasana rileks dan damai. Sebagaimana dijelaskan De Porter, pembelajaran dengan kondisi seperti ini dapat meningkatkan efektifitas hasil belajar. Selain penciptaan kondisi psikis yang rileks dan siap untuk belajar, dzikirjuga dapat dijadikan metode pengendalian emosi. M. Darwis Hude memasukkan
dzikir
ini
sebagai
bagian
dari
metode
pengalihan
(displacement) dalam mengendalikan emosi.18 Dengan mengingat Allah maka sirkuit penghubung antara manusia dengan qalbu-nya senantiasa dalam keadaan stand by atau on. Keputusasaan, amarah, dan emosi buruk lainnya tidak lagi memiliki pintu masuk. Dengan dzikir, emosi negatif yang dapat merusak suasana dan etos belajar akan tertahan sebelum bersarang dalam diri manusia. Dzikiryang disertai pemaknaan dan penghayatan akan bekerja seperti mekanisme emosi, memberikan sinyal pada syaraf simpatetis dan parasimpatetis yang merangsang organ tubuh memberi reaksi faal tertentu, semisal getaran pada jantung, kulit, dan mungkin cucuran air mata yang menenangkan.19 Dzikir akan memberikan efek relaksasi yang lebih kuat manakala dilakukan dengan irama tertentu yang mencerminkan kesyahduan dan kekhusyuan. Hal ini dapat
Lihat Hanna Djumhana Bastaman, Psikologi Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
17
1997)
Lihat M. Darwis Hude, Emosi, Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 268-269 19 Lihat M. Darwis Hude, Emosi, h. 269 18
8
disamakan dengan efek musik klasik yang banyak direkomendasikan oleh temuan-temuan
modern
tentang
metode
pembelajaran
semacam
Quantum Teaching dan Learning Revolution. Pemahaman terhadap efek psikis dzikir akan meniupkan aura ketenangan dan persepsi positif tentang Allah sehingga menjadi penguatan pentingnya pengadopsian sifat-sifat Allah bagi kebahagiaan hidup.
Sebagai
pakar
pendidikan
karakter,Al-Ghazali
menekankan
pentingnya dzikir sebagai bagian dari aktifitas seorang murid.20 Demikian juga ketika menafsirkan ayat berdo’a dengan Al-Asmâ Al-Husnâ (QS: AlA’raf: 180), dzikir dimaknai Al-Ghazali sebagai
proses penting untuk
sampai pada tahap peniruan sifat-sifat Allah (takhalluq). Dzikir dengan mengulang-ulang Al-Asmâ Al-Husnâ atau dzikir lainnya di awal pelajaran misalnya, merupakan proses memasuki ranah realisasi karakter untuk menumbuhkan keyakinan tentang eksistensi nama dan sifat Allah sekaligus membangun nalar moral (moral knowing) bahwa dari nama dan sifat Allah itulah sifat dan karakter baik bersumber. Maka adalah penting menjadikan dzikir sebagai simbol spiritualitas di kelas-kelas dan sekolah. 2. Do’a sebagai Kepekaan Moral Berdo’a merupakan alat komunikasi dengan Allah swt. Menurut Foster, berdo’a akan membawa seseorang pada halaman depan kehidupan spiritual. Dalam seluruh disiplin spiritual baik berbasis agama ataupun tidak, berdo’a selalu menjadi bagian sentral karena inilah yang membawa seseorang pada komunikasi intensif dengan Tuhan. Dzikir mengenalkan seseorang pada kehidupan batin, puasa mengenalkan makna pertemanan, belajar mentransformasikan pikiran, tetapi berdoalah yang membawanya ke dalam wilayah terdalam dan tertinggi dari jiwa manusia.21
Lihat Al-Ghazali, Bidâyat Al-Hidâyah (Al-Maktabah Al-Syamilah, Vol. 2.11), h. Lihat Foster, Celebrate the Discipline, h.33
20 21
9
Berdo’a dengan menyebut-nyebut nama dan sifat Allah swt akan benar-benar menghubungkan siswa pada alam spiritual. Dengan berdo’a siswa diajak berkomunikasi dengan Allah swt melalui penyebutan NamaNama-Nya. Memanggil-manggil Nama-Nama Allah dalam do’a akan memberikan efek kedakatan dan keakraban dengan Allah. Secara spiritual berdo’a akan menanamkan rasa kehadiran Allah.Inilah apa yang Ibn Arabi sebut sebagai hadlrah ilâhiyyah (kehadiran Tuhan). Setelah berhasil meyakini eksistensi Nama-Nama Allah lewat dzikir yang menimbulkan rasionalitas moral, berdo’a membawa siswa pada pengharapan mewujudnya kebaikan Allah tersebut kepada diri dan sekitarnya. Berdo’a dengan memanggil Nama Al-Fattâh misalnya, menimbulkan sensitifitas moral agar orang lain yang sedang mendapat kesulitan, diberikan solusi oleh Allah Swt. Moral Feeling dengan demikian merupakan salah satu efek dari berdo’a.Maka dalam upaya menciptakan atmosfer spiritual pendidikan karakter, sangat penting memunculkan kegiatan berdoa dengan menyebut-nyebut nama dan sifat Allah swt sebagai bagian penting kegiatan belajar mengajar di sekolah, baik di dalam maupun luar kelas. Penyebutan
nama dan sifat Allah swt secara berulang-ulang,
pemaknaan dan perenungannya dapat dipandang sebagai mekanisme Repetitive Magic Power (RMP) yang lazim dikenal dalam manajemen sumber daya manusia korporasi. Menurut Ary Ginanjar, mekanisme ini digunakan hamper oleh semua perusahaan di Jepang.22 Inti dari RMP adalah kekuatan penyebutan nilai-nilai inti karakter yang akan dibentuk secara
berulang-ulang
merupakan
bagian
penting
dari
usaha
pembentukan karakter. Dzikir dan doa yang telah menjadi iklim di sebuah sekolah akan memiliki kekuatan pengulangan sehingga karakter yang positifselalu terpelihara.
Lihat Ary Ginanjar Agustian, ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, (Jakarta: Agra, 2004), h. 258 22
10
3. Puasa sebagai Impelementasi Karakter Al-Ghazali
menegaskan
bahwa
spiritualitas
puasa
mampu
menyadarkan pelaku puasa tentang tujuan puasa. Mereka akan memahami bahwa tujuan puasa adalah mengadopsi sifat Allah AlShamad.23 Dengan puasa seseorang membangun kemandirian dan kekuatan diri guna membantu orang lain. Tertanam jiwa shamadiyyah, yaitu menjadi sosok yang dibutuhkan orang lain karena bantuannya. Dia tidak
lagi
mementingkan
diri
sendiri.
Pandangan
Al-Ghazali
ini
menunjukkan bahwa puasa secara paralel berkaitan dengan dzikir dan do’a dalam hirarki pembentukan moral.Tentang hal ini, Agus Mustofa dalam kajian serial diskusi tasawuf modernnya menyebutkan adanya kontrol puasa yang berdampak spiritual.24 Daniel Goleman, penemu teori kecerdasan emosional telah melakukan riset tentang pengaruh puasa terhadap kepribadian seseorang. Riset ini ia lakukan di Taman Kanak-Kanak Stanford terhadap anak-anak usia 4 tahun. Perkembangan anak-anak tersebut terus dipantau sampai mereka dewasa dan masuk dunia kerja. Hasil penelitian Goleman menunjukkan bahwa anak yang mampu mengendalikan diri lewat puasa ternyata sangat cerdas, berminat tinggi, dan lebih mampu berkonsentrasi. Mereka bahkan memiliki nilai 210 lebih tinggi dari nilai tertinggi 1600 dalam ujian masuk perguruan tinggi. Mereka juga memiliki sifat kuat dan tahan menghadapi stres, sabar tidak mudah bertengkar, mampu berkolaborasi dan bertanggung jawab.25 Penelitian lainnya dilakukan oleh Andrea Wider, seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat yang akhirnya
masuk
Islam.
Penelitiannya
menunjukkan
bahwa
level
kecerdasan dan kemampuan konsentrasi meningkat pada siang hari puasa. Lihat Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm Al-Dîn, (Al-Maktabah Al-Syâmilah, vol. 2.11), jilid 1,
23
h. 246
Lihat Agus Mustofa, Scinetific Fasting,serial diskusi tasawuf modern, edisi revisi (Surabaya: Padma Press, 2006), h. 173-175 25 Lihat Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, mengapa EI lebih penting daripada IQ, (Jakarta: Gramedia, 2004) 24
11
Dua cara pertama, yaitu dzikir dan do’a dapat dofungsikan sebagai cara untuk memasuki dan menjaga aspek knowing dan feeling dalam pendidikan karakter. Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective
taking),
logika
moral
(moral
reasoning),
keberanian
mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Keenam unsur tersebut adalah komponen-komponen yang harus diajarkan kepada siswa untuk mengisi ranah kognitif mereka. Dengan kata lain dzikir memberikan daya nalar moral kepada siswa. Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling yanga ditumbuhkan melalui do’a merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Setelah dua aspek tadi terwujud, maka
Moral Acting sebagai
outcome yang disimbolkan dan dilatih dengan puasa akan dengan mudah muncul dari para siswa. Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan dengan hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika Serikat telah sampai pada ikhtiar ini. Dalam sebuah situs nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan disiapkan lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah.26 Demikianlah metode pendidikan karakter yang memadukan kecenderungan rasional 26
Lihat Beacon Lesson Plan http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd
Library
dalam
12
dengan kecenderungan indoktrinasi. Perpaduan ini terutama dengan muatan spiritualitas yang membuat siswa mengerti mengapa karakter baik harus dimiliki dan diterapkan dalam kehidupannya. Disiplin
diri
sebagai
lingkaran
terdalam
atmosfer
spiritual
selanjutnya dapat digambarkan dalam grafik berikut ini Setelah disiplin diri untuk membentuk spiritualitas secara individual, atmosfer spiritual selanjutnya dibangun dengan penguatan disiplin luar (outward discipline) melalui kesederhanaan, kesunyian (dalam budaya sunda dikenal istilah tiis ceuli herang mata), kepasrahan, dan pelayanan. Gaya hidup yang sederhana, terjaga dari hiruk-pikuk dunia luar dengan beragam informasi yang perlu disaring, sikap menerima kehidupan yang sedang dijalani dan melayani orang lain adalah komponen disiplin luar untuk mengatasi empat penghambat spiritualitas, yaitu kekayaan, jabatan, fanatisme dan kemaksiatan.27 Penguatan
atmosfer
spiritual
kemudian
dilakukan
dengan
mewujudkan disiplin kelembagaan (corporate discipline) yang meliputi keteladanan. Inilah lingkaran paling luar dari atmosfer spiritual. Hal yang sangat
mendasar 28
keteladanan.
dalam
metode
pendidikan
karakter
adalah
Tumpuan pendidikan karakter berada pada guru sebagai
character educator. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam kehidupan nyatanya di luar kelas. Karakter guru akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian siswa. Bahkan bukan hanya guru, atmosfer spiritual ini mengandaikan semua orang dewasa dalam komponen sekolah seperti kepala sekolah, karyawan, penjaga sekolah, pengurus perpustakaan,
Lihat Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm Al-Dîn, jilid 2, h. 275 Lihat, Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, h. 214-215, Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global, h, 440. Sementara itu MuhamadQuthub menyebut metode ini sebagai alTarbiyyah bi al-Qudwah sebagai metode paling berpengaruh dan paling efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Keteladanan adalah upaya transmisi konsep dan teori ke dalam dunia praktis yang langsung dapat disaksikan oleh peserta didik. Lihat, MuhamadQuthub, Manhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Qalam, tt, h. 219 27
28
13
petugas kebersihan, dan lain-lain adalah model-model karakter. Melalui disiplin lembaga ini diharapkan siswa menemukan lingkungan nyata di mana nilai-nilai etika dipegang teguh dan karakter tumbuh. Secara keseluruhan model atmosfer spiritual ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Kesimpulan dan Harapan Berdasarkan pemaparan pada bagian-bagian sebelumnya, tulisan ini menyimpulkan bahwa spiritualitas merupakan faktor esensial dalam keberhasilan pendidikan karakter. Kehampaan spiritual dalam diri siswa adalah masalah terbesar dalam pendidikan karakter. Oleh karena itu, maka permasalahan utama penerapan pendidikan karakter di sekolah adalah
terabaikannya
atmosfer
spiritual.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan bahwa atmosfer spiritual merupakan unsur fundamental dalam
14
pendidikan karakter. Tanpa adanya atmosfer spiritual, maka apapun program pendidikan karakter yang dilakukan sebuah sekolah seperti yang terjadi selama ini tidak akan efektif membentuk karakter siswa. Melalui Model Atmosfer Spiritual maka pendidikan karakter dimulai dengan membentuk pengetahuan siswa tentang karakter (knowing). Pengetahuan ini dibangun dengan melatihkan relasi siswa dengan Allah swt
melalui
shalat
5
waktu,
dzikir
dan
membaca
Al-Qur’an.
Ketergantungan siswa kepada Allah swt dinyatakan dengan berdo’a penuh kesadaran (feeling). Dari dua tahap ini siswa akan sampai pada kesadaran pesan-pesan karakter dari nama dan sifat Allah swt yang digunakan dalam dzikir dan do’a. Penerapan karakter (acting) yang muncul kemudian dilatih dan dilestarikan melalui pembiasaan puasapuasa sunat sehingga tumbuh yang diharapkan sekolah. Tulisan ini juga menyimpulkan bahwa spiritualitas dimaksud bersifat transenden dan universal sehingga tidak dibatasi dengan sekat agama, suku dan budaya. Dengan demikian, maka penerapan atmosfer spiritual ini bisa dilakukan di semua sekolah di Indonesia, bukan hanya di sekolahsekolah Islam. Pakar-pakar pendidikan yang dirujuk dalam tulisan ini terbukti menyepakati keberadaan dzikir atau meditasi, do’a dan puasa dalam semua ajaran spiritualitas baik berbasis agama ataupun tidak. Model ini tentu menjadi sangat penting untuk diterapkan di sekolahsekolah seluruh Indonesia. Kehampaan spiritul dalam diri siswa yang menjadi masalah utama pendidikan karakter diharapkan dapat terisi dengan implementasi model ini dilapangan. Sikap spiritual dan sikap sosial yang menjadi kompetensi inti dalam pembelajaran di sekolah dengan demikian dapat benar-benar mewujud menjadi karakter siswa Indonesia yang beriman, bertakwa, berkarakter jujur dan peduli, bertanggung jawab, pembelajar sejati sepanjang hayat, serta sehat dan rohani sebagai diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.
15
Daftar Pustaka Alberson, Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007 Berkowitz, Marvin,Character Education Informational Handbook & Guide, North Carolina Dept. of Public Instruction (Raleigh, NC: http://www.ncpublicschools.org/charactereducation/handbook/pdf/c ontent.pdf) Chamberlin, Ralph G., What Are We Doing About Spiritual Values adan Character Education For Present Youth Day,National Association of Secondary School Principals, April 2007 Elkin, David H dan Sweet, Freddy, How to Do Character Education, (website: http://www.goodcharacter.com/Article_4.html) Foster, Richard J., Celebration of Discipline: The Path to Spiritual Growth, United State: PerfectBound, 1997 Ghazzâlî, Al, Abu Hamid Muhamad bin Muhamad bi Muhamad, Bidâyat Al-Hidâyah, Al-Maktabat Al-Syamilat, Volume 2.11 _________, Ihyâ Ulûm al-Dîn. Beirut: Dar al-Fikr, 1980 Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Jakarta: Arga, 2007 Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, mengapa EI lebih penting daripada IQ, Jakarta: Gramedia, 2004 Howard, Robert W, Contemporary Issues in The Politics of Character Education, Educational Policy, Januari dan Maret 2004 Hude, M. Darwis, Emosi, Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia dalam Al-Qur’an,Jakarta: Erlangga, 2006 Irving B. Weiner (ed), Handbook of Psychology, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2003 Janet, Sister Mary dan Chamberlin, Ralph G, What Are We Doing About Spiritual and Character Education For Present-Day Youth, National Association of Secondary School Principals, April 2007 Listia, Laode Arham, dan Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di Sekolah, Hasil Penelitian Tentang Pendidikan Agama di Kota Jogjakarta 2004-2006, (Yogyakarta: Intefidei, 2007)
16
Mustofa, Agus, Scinetific Fasting,serial diskusi tasawuf modern, edisi revisi Surabaya: Padma Press, 2006 Nana Djumhana Bastaman,Psikologi Islam, Jakarta, Pustaka Pelajar. Nata, Abudin, Pendidikan Islam di Era Global (Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan Etika), Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005 Q-Anees, Bambang dan Hambali, Adang, Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur'an, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008 Quthb, Muhamad, Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr AlSyurûq, tt Septriyana Suryaningtiyas, Kenakalan Remaja (Studi Deskriptif BentukBentuk Nakal pada Remaja Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Kota Blitar), Surabaya: Universitas Airlangga, 2007