Sub Tema 1 Kearifan Lokal untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan/atau Energi
1
Capacity Building Pada Komunitas Manajemen Air Bersih Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Daerah Pedesaan Di Timor Leste Sigit Setiyo Pramono ChildFund Timor-Leste
[email protected]
Intisari Pada bulan Mei 2002, Timor Leste mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia, setelah referendum tahun 1999. Sejak saat itu tingkat ekonomi meningkat khususnya tahun 2008 sampai 2011 dengan pendapatan dari minyak bumi. Pemerintah Timor Leste melakukan investasi signifikan pada rehabilitasi infrastruktur, pembangunan dimulai untuk mengurangi angka kemiskinan dan perbaikan tingkat pendapatan masyarakat, data Bank Dunia menunjukkan Timor- Leste mengalami peningkatan kesejahteraan dari 39,7% pada tahun 1999 menjadi 49.9% pada tahun 2010. Timor Leste menghadapi dua tantangan besar yaitu ketersediaan air dan pangan. Kondisi infrastruktur air baku banyak mengalami kerusakan karena kurangnya tingkat pemeliharaan. Usaha rehabilitasi menghadapi masalah kurangnya kualitas sumber daya manusia. Pemerintah mengharapkan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) international untuk berpartisipasi mengembangkan di bidang infrastruktur dan ketahanan pangan. Menurut data AusAID (the Australian Government’s Overseas Aid Program) dalam kurun waktu 4 tahun dari tahun 2008 sampai 2011, Pemerintah Timor Leste melakukan investasi air baku untuk 145,486 beneficiaries atau hanya 44,93% dari total investasi pada air baku. AusAID melalui agensinya BESIK dan LSM internasional seperti ChildFund, Oxfam dan Wateraid memainkan peran penting dalam pembangunan prasarana air baku dan ketahanan pangan di tingkat pedesaan. Berdasarkan observasi di daerah komunitas pedesaan, penggunaan air di Timor Leste didominasi penggunaan domestik. Hanya sebagian kecil untuk penggunaan air digunakan keperluan agrikultur. Menurunnya fungsi infrastruktur air baku dikarenakan kurangnya pemeliharaan berdampak pada penurunan kuantitas dan kualitas tanaman pangan pada komunitas lokal. Bersama dengan LSM internasional, pemerintah mencoba untuk melibatkan komunitas dalam konstruksi dan pemeliharaan dari sistem air baku. Hal ini akan dicapai melalui pembentukan kelompok komunitas yang bertanggung jawab dalam operasi dan pemeliharaan dari sistem air baku, dikenal dengan GMF (kelompok pemelihara fasilitas). Beberapa GMF dibentuk dan dipilih oleh masyarakat sendiri dimana sistem air baku beroperasi. Berikutnya adalah tantangan bagaimana anggota GMF dapat melakukan pemeliharaan insfrastruktur sistem air baku secara berkelanjutan. Pemerintah dan LSM internasional berkerja sama pada hal kapasitas
2
building dari anggota GMF sebelum, selama dan setelah pembangunan sistem air baku. Kemudian GMF akan memainkan peran penting pada keberlanjutan komunitas manajemen air, dan mendukung perbaikan kesehatan dan ketahanan pangan di daerah pedesaan di Timor Leste. Kata kunci: capacity building, GMF, keberlanjutan, ketahanan pangan dan pemeliharaan
PENDAHULUAN Pada bulan Mei 2002, Timor Leste mendapatkan kemerdekaan secara resmi dari Indonesia, setelah mengalami pendudukan 25 tahun dan sebuah referendum tahun 1999. Sejak saat itu tingkat ekonomi meningkat dengan dukungan penuh pemerintah Timor Leste khususnya tahun 2008 sampai 2011 dengan sumber pendapatan dari minyak bumi. Timor Leste mengalami perkembangan pembangunan pesat sejak tahun 2008 terutama pada pembenahan di sektor prasarana air bersih dan sanitasi. Pembangunan infrastruktur lebih banyak difokuskan pada pembenahan sektor air bersih, sanitasi, irigasi, jalan dan listrik. Investasi yang besar untuk sektor ini juga berdampak besar pada sektor lainnya seperti pangan, edukasi, ekonomi dan kesehatan. Pemerintah Timor Leste masih merupakan investor terbesar untuk sektor air bersih dimana anggaran investasi meningkat signifikan dari 0,7 juta dollar tahun 2009, 5,5 juta dollar tahun 2010 dan menjadi 8.9 juta dollar tahun 2011. Anggaran ini salah satunya digunakan untuk investasi prasarana air bersih (Besik 2011). Besarnya investasi pemerintah membuat tingkat pelayanan air bersih rata-rata di Timor Leste mencapai 60% tahun 2010 (World Bank 2011). Namun tantangan di lapangan adalah bagaimana menjaga eksistensi dari investasi yang telah dilakukan, dikarenakan pemerintah Timor Leste belum mengenal sistem pengelolaan air bersih berbasiskan swasta ataupun semi swasta, seperti sewaktu pendudukan Indonesia yang lebih dikenal dengan nama perusahaan daerah air minum (PDAM). Terlebih lagi tidak adanya retribusi air untuk konsumen air bersih baik tingkat perkotaan maupun pedesaan. Kondisi ini membuat tantangan yang dihadapi menjadi lebih kompleks dimana keterbatasan anggaran pemeliharaan dan sumber daya manusia membuat banyaknya infrastruktur air bersih banyak mengalami kerusakan dan penurunan fungsi. Oleh karena itu, Pemerintah Timor Leste mengajak lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional untuk berperan serta dalam konstribusi pembangunan air bersih di Timor Leste. Berdasarkan laporan BESIK (2012), Australian Aid melalui agensinya BESIK dan LSM internasional memberikan kontribusi sebesar 55,07% dari total investasi dimana beneficiaries mencapai 178,323 orang sedangkan pemerintah Timor Leste hanya 44,93% dengan tingkat beneficiaries mencapai 145,486 orang. Selain sektor air bersih, LSM membantu dalam usaha pertanian skala kecil. Pembinaan untuk sektor ini diintegrasikan dengan program air bersih, dimana usaha pertanian dilakukan disekitar perkarangan rumah atau sering disebut kebun
3
sayuran. Masyarakat pedesaan biasanya menggunakan air bersih dari keran-keran air terdekat untuk menyiram sayuran yang ditanam sekitar perkarangan rumah. Meskipun hanya mempunyai presentase kecil dalam pengungguan air tetapi ketersediaan air bersih memberikan kontribusi yang cukup untuk sektor pangan. Menurut laporan Oxfam Australia (2008), hasil kebun sayuran tersebut ini menjadi pemasok kebutuhan sayuran di pasar-pasar tradisional ibukota distrik dan konsumsi keluarga sendiri.
Gambar 1. Salah satu kebun sayuran milik masyarakat di Laurema, Liquica, Timor Leste PEMBAHASAN Menurunnya fungsi prasarana air bersih di daerah pedesaan mempengaruhi beberapa sektor seperti kesehatan, edukasi, pangan dan ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah Timor Leste bersama dengan LSM international melakukan perubahan pendekatan dalam hal pembangunan air bersih semula dengan top to bottom menjadi community based. Pedana Menteri Kementrian komite Kementrian Administrasi, pemerintahan dan kedaerahan
Kementerian terkait
Administrasi District Integrated Committee development (ICD) Instansi terkait
Committee Development Officer (CDO) LSM Masyarakat
Gambar 2. Proses pembangunan berdasarkan community based di Timor Leste
4
Sistem community based Pembangunan air bersih berdasarkan keinginan masyarakat dimulai dengan disampaikannya proposal melalui cefe de suco (Lurah) diteruskan agensi pemerintah bernama Community Development Officer (CDO). CDO melakukan komunikasi dengan masyarakat dengan koordinator instansi yang ditempatkan pada tingkat sub district (kecamatan) kemudian mengkategorikan proposal untuk diberikan kepada badan Integrated Committee Development (ICD). Proses selanjutnya ICD meneruskan ke tingkat distrik lalu diproses ke tingkat kementrian (lihat Gambar 2). Kapasitas building pada pembangunan sistem air bersih Perihal air bersih, Pemerintah Timor Leste menyerahkan tanggung jawabnya di bawah direktorat Directorate of Water and Sanitation Services atau D-SAS yaitu direktorat di bawah naungan kementrian infrastruktur. Sedangkan LSM sendiri melakukan pekerjaan
dimana pemerintah mempunyai keterbatasan untuk memenuhi seluruh dari proposal dari komunitas. Oleh karena itu, koordinasi antara pemerintah dan LSM dilakukan secara
aktif untuk mendapatkan informasi dimana mereka dapat bekerja dan memulai aktivitasaktivitas untuk membantu program pemerintah. LSM memulai pekerjaan air bersih setelah mendapatkan otoritasi dari D-SAS untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat. Dalam komunikasi dengan masyarakat, LSM mendapatkan info-info mengenai eksisting kondisi air bersih pada tingkat aldeia (tingkat RW) dan suco (desa). Setelah itu LSM melakukan survey bersama dengan perwakilan masyarakat dan D-SAS untuk mendapatkan detail informasi data primer yang diperlukan untuk desain air bersih dengan pertimbangan ketersediaan material di pasar lokal. Setelah proses desain air bersih selesai kemudian dikonsultasikannya ke D-SAS dan masyarakat melalui aktivitas Community action plan. Kegiatan ini lebih menekankan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dan pengelolaan prasarana yang akan dibangun oleh LSM. Untuk kegiatan ini LSM memberikan wewenang untuk masyarakat:
1. Untuk melakukan inisiatif membuat keputusan penyelesaian masalah dari problem yang mereka hadapi, seperti dalam melakukan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan dalam aktifitas air bersih, 2. Untuk memiliki peran besar untuk mengontrol dan membuat keputusan berdasarkan kepentingan bersama untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab, komitmen dan kepemilikan, 3. Memberikan peran wanita dan laki-laki memiliki kepentingan yang sama dan aktif melakukan kegiatan bersama, 4. Melibatkan semua komponen masyarakat dalam aktivitas ini termasuk kaum papa dan cacat, LSM dan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator, koordinator dan memandu masyarakat melakukan kegiatan terkait dengan prasarana air bersih agar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Khusus untuk pendekatan masyarakat yang sudah memiliki sistem air yang sudah rusak, LSM mengajak masyarakat mereflesikan mengapa prasarana yang mereka miliki tidak berfungsi atau rusak dengan melakukan brainstorming mengenai tipe sistem air baku yang mereka miliki dan bagaimana sistem air tersebut diimplementasi, dikelola dan dipelihara pada masa lalu.
5
Setelah proses konstruksi sistem air bersih, LSM bersama-sama dengan D-SAS melakukan pembentukan kelompok pemelihara fasilitas air bersih atau disebut Grupo maintanasaun fasilidade (GMF). Anggota GMF dipilih oleh masyarakat pengguna air dan berasal dari komunitas yang sama. Jumlah anggota GMF antara 7 sampai 12 anggota per sistem air bersih yang meliputi ketua, administrasi, keuangan, teknisi, dan promosi kesehatan. Pemilihan anggota GMF ini memiliki kriteria antara lain anggota masyarakat yang mempunyai komitmen, pekerja keras, tanggung jawab, dan dapat membaca/menulis. Setelah anggota GMF terbentuk, LSM dan D-SAS melakukan pelatihan dari anggota GMF untuk memahami fungsi dan tugasnya dalam pengelolaan air baku yang diharapkan sistem air bersih dapat berkelanjutan. Hasil dari pelatihan tersebut, LSM dan D-SAS melakukan monitoring dan pendampingan pada GMF baru untuk melakukan tugas-tugasnya di lapangan sampai organisasi tersebut berjalan secara mandiri. Untuk sistem air yang tidak berfungsi dan kelompok GMF sudah terbentuk, LSM dan D-SAS hanya melakukan penguatan organisasi melalui workshop untuk merefleksikan dari sistem air bersih yang lalu dan kemudian melakukan pendampingan/monitoring secara operasional.
Gambar 3. Sistem kerja LSM dengan D-SAS dalam pengelolaan air bersih di Timor Leste
6
Gambar 4. Pelatihan kelompok GMF pada komunitas Suco Ogues, Distrik Covalima Pembiayaan pemeliharaan sistem air bersih didapatkan dari sumbangan/ iuran penggunaan air bersih dari anggota pemakai air masyarakat. Besarnya iuran pemakaian air bersih ini ditentukan melalui pertemuan dengan seluruh anggota komunitas dari sistem air bersih dan besarnya iuran dari 0,25-0,50 sen/bulan/ kepala keluarga. Total uang hasil pengumpulan retribusi ini menjadi sumber untuk penggantian material dan aksesoris air bersih yang rusak. Sumbangan Sektor air bersih untuk ketahanan pangan Pengelolaan sumber daya air di Timor Leste tidak dapat dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Indonesia maupun Australia sekalipun. Sistem pengelolaan air di Timor Leste dikembangkan secara sederhana dengan pertimbangan topografi dan belum banyaknya pengembangan prasarana irigasi. Umumnya masyarakat pedesaan mengembangkan pertanian sayuran pada perkarangan sekitar. Kebutuhan air dari tanaman ini diperoleh dari keran-keran air terdekat yang biasanya dibangun oleh masyarakan bersama-sama dengan LSM/pemerintah. Hasil dari tanaman ini menjadi tambahan pendapatan dan konsumsi sehari-hari. Selain mendampingi masyarakat untuk air bersih, ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas program dari LSM. Ketersediaan air merupakan dasar untuk pengembangan program ketahanan pangan. Salah satu fungsi dari program ini untuk mendukung peningkatan ekonomi lokal untuk menkontribusi keberlanjutan sektor air bersih. Berdasarkan laporan survei ChildFund, tingkat kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan di dua distrik Covalima dan Bobonaro hanya memiliki pendapatan di bawah US $ 1 per hari, sehingga program ketahanan pangan bisa menjadi salah satu mobilisator ekonomi di tingkat pedesaan. Program yang diberikan untuk masyarakat meliputi penyediaan varietas bibit berkualitas untuk petani dan memperbaiki kemampuan bercocok tanam. Penyediaan varietas bibit berkualitas berasal dari Indonesia dan diberikan untuk bibit awal oleh petani dalam melakukan bercocok tanam. Jenis tanaman yang akan diberikan disesuaikan oleh jenis makanan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat setempat seperti; kangkung, kacang panjang, terong, cabai, tomat dan selada. Sedangkan peningkatan kemampuan bercocok-tanam dilakukan melalui pelatihan secara teori dan praktek di lapangan dengan penyiapan lahan, pembibitan,
7
penanaman, sampai nantinya metode untuk memanen. Hasil akhirnya masyarakat pedesaan memiliki tambahan pendapatan dari kebun sayur sehingga secara tidak langsung dapat mendukung untuk keberlanjutan operasional air bersih di tingkat pedesaan.
Gambar 5. Siklus keterkaitan pengembangan aktivitas ketahanan pangan dengan keberlanjutan air bersih di daerah pedesaan KESIMPULAN Pengembangan air bersih yang berkelanjutan di daerah pedesaan Timor Leste membutuhkan kepemilikan dan pengelolaan dari masyarakat sebagai pengguna air sehingga adanya usaha untuk mengontrol dan memelihara dari prasarana air bersih yang sudah dibangun. Proses tahapan dari community consultation, community action plan, implementasi sampai pembentukan dan monitoring kerja GMF menjadi tahapan yang sangat penting dan vital untuk keberlanjutan operasional air bersih tingkat pedesaaan di Timor Leste. Aspirasi, ide dan usulan masyarakat menjadi bahan penting untuk melakukan perencanaan maupun implementasi prasarana air bersih yang didukung oleh LSM dan pemerintah. Ketersediaan air bersih menjadi fondasi ekonomi skala kecil melalui usaha kebun sayur masyarakat yang secara tidak langsung memberikan kontribusi peningkatan pendapatan harian dan mendukung finansial dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembayaran iuran penggunaan air bersih. SARAN Monitoring kerja GMF dilapangan dibutuhkan kontrol yang berkala dan jangka panjang dari pihak pemerintah maupun LSM. Keterbatasan sumber daya manusia menjadi tantangan yang cukup besar untuk melakukan pekerjaan khususnya air bersih di Timor Leste. Pengembangan kapasitas building dari staff pemerintah dan pekerja dari LSM menjadi prioritas utama untuk sector pengembangan air bersih di Timor Leste.
8
REFERENSI Besik, WASH SPT tools, July 2012 Besik/RWSSP, 2011, six monthly progress report#7, Australian Aid, Canberra Besik, 2011, Book 1: Preparing for Community WASH planning, Australian Aid, Canberra Besik, 2011, Book 2: Development the Community WASH plan, Australian Aid, Canberra Besik, 2011, Book 3: Development the Community WASH plan, , Australian Aid, Canberra ChildFund, 2011, KAP for Water and Sanitation in Bobonaro and Covalima District, ChildFund New Zealand, Auckland ChildFund, 2012, End Year Report for Rural Water and Sanitation in Bobonaro and Covalima District, ChildFund New Zealand, Auckland ChildFund, 2012, NSP Program: Food Security in Laurema-Liquica district, ChildFund Korea, Seoul Oxfam Australia, 2008, Timor Leste Food Security Baseline Survey Report, Melbourne World Bank data, 2011, Timor Leste economic data, data.worldbank.org/country/ Timor Leste
9
Implementasi Public Private Partnership Pada Irigasi Tetes dalam Usaha Ketahanan Pangan di Indonesia Fabian Priandani dan Trisasongko Widianto Anggota HATHI Cabang Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum
Intisari Dalam 20 tahun mendatang diperkirakan Indonesia akan mengalami krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. Ketiga ancaman krisis ini menjadi tantangan nasional jangka panjang yang harus diantisipasi secara dini agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Khususnya dalam penanganan ketahanan pangan konsep aplikasi air dunia “Produksi pertanian per tetes air” merupakan tantangan bagi dunia termasuk Indonesia yang memiliki lahan kering yang sangat luas. Salah satu cara pengelolaan lahan kering yaitu dengan teknik bercocok tanam secara intensif melalui mikro irigasi (tetes dan curah). Namun terdapat beberapa hal yang paling berpengaruh menjadi penyebab mikro irigasi sulit berkembang yakni besarnya biaya investasi dan sulitnya mengubah pola budaya bertani. Makalah ini bertujuan untuk mengurangi tantangan pelaksanaan pengelolaan lahan kering dengan mengaplikasikan konsep Public Private Partnerships (PPP) atau kerjasama pemerintah swasta yang telah dimodifikasi, dimana hal ini telahdilakukan di beberapa negara lain seperti Senegal, India, Mali, dan lain-lain. Kata kunci: ketahanan pangan, irigasi tetes, public private partnership
PENDAHULUAN Sejak resesi global pada tahun 2008, kata sustainability menjadi kunci dalam pembangunan. Terdapat beberapa pertanyaan apakah business as usual yang telah sedikit dirubah dengan pengalaman sebelumnya dapat terus dilakukan atau tidak (World Bank, 2008)? Apakah supply dapat memenuhi demand? Apa yang akan terjadi dengan target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 goal ke 1 menanggulangi kemiskinan dan kelaparan apabila hasil dari sumber daya alam tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia? Separuh bagian dunia memiliki porsi atau 40% dari tempat tinggal manusia adalah lahan kering (White at al., 2002). Hal tersebut merupakan salah satu dampak meningkatnya populasi manusia. Seperti yang terjadi di Machakos District, Kenya, antara tahun 1930-1990, populasi bertambah lima kali lipat (Tiffen et al., 1994).
10
Lahan kering umumnya terdapat di dataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan ke dataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Kendala utama pengelolaan lahan kering yaitu (1) cepatnya penurunan produktivitas tanah, (2) pembangunan pertanian di lahan kering jauh lebih komplek, (3) cahaya kurang, irigasi tidak ada, lahan marginal, (4) terbatasnya varietas tanaman yang sesuai, (5) pola tanam satu kali pertahun, (6) produksi hasil pertanian rendah, dan (7) rendahnya pendapatan petani (Satari, 1988). Indonesia termasuk negara yang memiliki lahan kering yang cukup luas. Hal tersebut menjadi tantangan dalam usaha pencapaian target-target ketahanan pangan dan menuntut pemanfaatan air yang lebih efektif dan efisien. Studi yang dilakukan oleh FAO pada tahun 1986 menghasilkan beberapa target umum dari perbaikan dan peningkatan produktivitas lahan kering dimana salah satunya adalah beralihnya pertanian konvensional ke pertanian yang lebih efektif dalam menggunakan sumber dayanya. Cara pengelolaan lahan kering yang lebih intensif dapat berupa pemilihan tanaman yang berkesesuain lahan, pencarian sumber air alternatif, atau dengan teknik bercocok tanam yang intensif, atau mikroirigasi. Makalah ini akan menitik beratkan pada pengelolaan lahan kering dengan metode mikro irigasi khususnya irigasi tetes dengan dukungan dari semua pihak (Public Private Partnerships-PPP) dalam usaha pencapaian target ketahanan pangan. tinjauan PUSTAKA Irigasi tetes pada lahan kering Pemberian air pada irigasi tetes di lahan kering dilakukan dengan menggunakan alat aplikasi (applicator, emission device) yang dapat memberikan air dengan debit yang rendah dan frekuensi yang tinggi (hampir terus menerus) disekitar perakaran tanaman. Dalam penerapan irigasi tetes terdapat beberapa faktor yang menyebabkan teknologinya sulit berkembang yaitu (1) biaya investasi tinggi, (2) sedikit/tidak sama sekali subsidi dari pemerintah, (3) kurangnya kesadaran dan pengetahuan petani, dan (4) kesulitan dalam mengubah pola budaya bertani (Akuriba, 2010). Sebenarnya, banyak sistem teknologi irigasi tetes, dari yang termurah sampai dengan termahal. Dalam penerapan irigasi tetes, kelayakan teknis dari teknologi saja tidak cukup. Teknologi penerapannya harus secara teknis, ekonomis, dan sosial harus layak bagi para petani yang akan menggunakannya. Jangka waktu pelaksanaan sistem irigasi tetes dan political will juga harus diperhatikan oleh negara yang menjalankannya. Seperti di negara Senegal terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kecepatan adaptasi irigasi tetes yaitu (1) jika petani diberikan pengetahuan yang mudah dimengerti, (2) subsidi pada peralatan dan sistem irigasi tetes, (3) luasan area irigasi, dan (4) pola curah hujan. Adapun hal-hal yang tidak mempengaruhi kecepatan adaptasi terhadap irigasi tetes adalah: (1) pajak pada peralatan irigasi, (2) jarak ke konsumen, dan (3) usia para petani (Dittoh et al.,
11
2010). Jika melihat dari alasan tersebut, hal yang paling utama dilakukan agar sistem irigasi tetes dapat berkembang adalah memberikan pengetahuan teknologi irigasi tetes, serta menyediakan infrastruktur dan sistem irigasi tersebut. Dalam hal ini, Pemerintah dan lembaga terkait harus membantu para petani guna mengembangkan irigasi tetes dibantu oleh semua pihak, atau disebut kerjasama pemerintah swasta (PPP). Public Private Partnerships (PPP) Ketersediaan infrastruktur adalah faktor utama penggerak perekonomian, sehingga dengan rendahnya tingkat investasi untuk penyediaan infrastruktur akan berdampak negatif pada pertumbuhan perekonomian suatu wilayah. Tantangan utama yang dihadapi adalah funding gaps antara kebutuhan investasi infrastruktur dengan relatif terbatasnya kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karenanya muncul pertimbangan perlunya memperkuat kerjasama publicprivate yang dilihat dari 3 (tiga) dimensi sebagai berikut (Widodo, 2004): 1. Alasan politis: menciptakan pemerintah yang demokratis dan mendorong perwujudan good governance and good society 2. Alasan administratif: adanya keterbatasan sumber daya pemerintah, baik sumber daya anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan manajemen. 3. Alasan ekonomis: mengurangi kesenjangan atau ketimpangan, memacu pertumbuhan dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan kontinuitas, serta mengurangi resiko. PPP modifikasi (lesson learned) Merujuk kegiatan irigasi tetes dengan metode PPP di Senegal, kelebihannya adalah: (1) menawarkan lebih banyak sumber daya, (2) investasi yang besar, (3) efisiensi dalam pelaksanaan proyek dan operasional irigasi, (4) dan meningkatkan daya jual. Pembelajaran sistem irigasi tetes di Senegal (Dittoh et al., 2010) dapat berhasil dikarenakan dua hal yaitu: 1. Metode PPP dimodifikasi menjadi PPPP (atau PPiPfP, yaitu Public-Private (informal)-Private (formal) partnerships), yakni melibatkan koordinasi pemerintah/lembaga pemerintah terkait dan swasta (formal private sector), serta melibatkan kelompok petani (local farmers groupa informal private sector). Kelompok petani harus kelompok yang kuat (educated and well established), dikarenakan dibutuhkan komitmen yang kuat dari pihak petani. 2. PPP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam pembangunan infrastruktur irigasi tetes dengan metode PPP modifikasi dibagi atas sumber daya atau kemampuan ekonomi petani, yaitu: a) Petani ekonomi kecil disiapkan infrastruktur yang berbiaya besar, contohnya sumur permanen yang cukup besar dan motorised pump barrel based system. Hal ini dikarenakan jumlah petani dengan ekonomi kecil lebih banyak sehingga infrastruktur yang dibangun lebih besar agar dapat dimanfaatkan secara bersama-sama.
12
b) Petani ekonomi menengah disiapkan infrastruktur dengan biaya menengah seperti contohnya concrete reservoir based system. Hal ini dilakukan agar petani memiliki kreativitas dalam mengembangkan usahanya. Peran masing-masing bagian dalam PPP modifikasi Komitmen yang kuat sangat diperlukan dalam menjalankan metode PPP dari masing-masing pihak. Adapun peran dari masing-masing bagian dalam metode PPP adalah sebagai berikut: a. Peran Pemerintah Dukungan pemerintah terhadap bidang pertanian selain meningkatkan dalam nilai tambah bagi produk pertanian tetapi juga meningkatkan keuntungan bagi para petani. Seperti contohnya dukungan atau peranan pemerintah di salah satu negara bagian India, Tamil Nadu, terhadap bidang irigasi tetes dengan metode PPP (the Industrial Policy of Tamil Nadu, 2007) yaitu: 1. Kementerian Pertanian dan Agri-bisnis memberikan peraturan mengenai aktivitas yang berjalan sejak saat terjadinya kesepakatan untuk suatu transaksi hingga selesainya pelaksanaan kesepakatan tersebut (statutory clearance) dan pembagian dari insentif-insentif yang ada. Insentif disini diberikan untuk membangun infrastruktur agro-bisnis, meliputi: pasar konsumen, pasar komoditi special, transportasi, cold chain, gudang, dan unit penelitian. 2. Menempatkan kluster agro-bisnis di kawasan industrial dan daerah perekonomian terpadu 3. Mempromosikan kawasan khusus ekonomi agro-bisnis (special agro economic zones) 4. Menyediakan tenaga berkualitas 5. Melakukan penelitian dan pengembangan inovasi/teknologi a). Pembibitan tanaman yang bernilai tinggi. b). Agri Biotechnology dan Agri Nanotechnology untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, dan nilai tambah. c). Sistem pengaturan cara panen dengan standar kualitas dan sistem sertifikasi untuk memberikan nilai lebih pada produk agro-bisnis. 6. Penyewaan lahan pertanian akan disediakan untuk memicu penambahan penghasilan petani. 7. Pembangunan sistem mikroirigasi. 8. Memproduksi benih tanaman yang berkualitas. 9. Capacity building 10. Menyediakan mekanisme ramalan cuaca yang lebih tepat b. Peran Pihak Swasta Peran formal private sector adalah bertanggung jawab dalam membantu kegiatan (1) production and processing, (2) memasarkan hasil produksi, dan (3) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani lokal dan tenaga irigasi dengan bantuan pihak Pemerintah.
13
c. Peran Kelompok Petani/Petani Kegiatan PPP sangat bermanfaat bagi para petani. Selain petani mendapatkan pendapatan, mereka juga mendapatkan infrastruktur dan peningkatan kemampuan atau keahlian hasil dari capacity building yang dilakukan pihak swasta dengan bantuan pemerintah. Oleh karena itu, petani harus dapat mengelola hasil produksinya mulai dari produksi, memasarkan, dan juga memastikan mendapatkan keuntungan. Selain itu, dalam usaha pengembangan pertanian, salah satu kunci penting pengembangan bidang pertanian yang berkelanjutan adalah inovasi dari petani, khususnya pada situasi dimana kurangnya pelayanan pengawasan dari pemerintah yang sedang giat dalam kegiatan pengembangan di bidang pertanian (Steiner et al., 1988). METODOLOGI STUDI
Gambar 1. Metodologi irigasi tetes lahan kering dengan metode PPP dalam pencapaian outcome Metodologi yang dibangun dalam makalah ini merupakan suatu alur yang dimulai dari input, proses, output hingga tercapainya outcome. Dalam usaha pencapaian outcome yang berbentuk keuntungan bagi semua pihak (pemerintahswasta- petani) dan berdampak besar dalam ketahanan pangan bagi masyarakat, maka diperlukan input yang terintegrasi dan memiliki komitmen tinggi dalam bekerja sama sesuai tugas dan fungsinya. Kerjasama tersebut terjalin dari awal proses sampai akhir atau outcome tercapai. Pengembangan irigasi tetes pada lahan kering melalui metode PPP harus didukung oleh peraturan-peraturan yang berlaku berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, implementasi PPP dan kegiatan irigasi. Merujuk kelebihan irigasi tetes melalui metode PPP di Senegal (Dittoh et al., 2010) maka output yaitu dalam bentuk pangan, high value crops ataupun beras, akan meningkat sehingga tidak hanya target-target pemerintah dalam usaha penyediaan pangan akan tercapai dan keuntungan bagi pihak investor atau swasta, tetapi yang terpenting kesejahteraan para petani.
14
Pembahasan Pengembangan Irigasi Tetes di Indonesia Luasan lahan kering di Indonesia sebesar 87,16 juta Ha atau 80% dari wilayah Indonesia (BPS Indonesia, 2002). Lahan yang produktif pun banyak yang terfragmentasi dan terdegradasi. Dengan rata-rata curah hujan yang fluktuatif diakibatkan isu pemanasan global dan ketersediaan air irigasi yang semakin hari bersaing dengan kebutuhan air baku DMI (domestic, municipal, dan industry) menambah deretan permasalahan pengembangan pertanian di Indonesia. Di sisi lain, terdapat target-target peningkatan ketahanan pangan seperti target MDGs tahun 2015 goal ke 1 yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, dan target Surplus 10 juta ton surplus beras yang harus dicapai pada tahun 2014. Oleh karena itu penerapan efisiensi irigasi dan penerapan teknologi hemat air sangat mendesak dilakukan mengingat semakin seringnya terjadi konflik penggunaan air akibat penurunan kuantitas dan kualitas air (UU No. 7 tentang SDA, 2004; PP No. 42 tentang PSDA, 2008). Dengan latar belakang dan landasan hukum tersebut, irigasi tetes dapat dikembangkan dalam sistem pertanian Indonesia. Melalui Direktorat Jendral SDA sebenarnya irigasi tetes telah dikembangkan dalam bentuk demonstration plot (demplot) pada jaringan irigasi air tanah (JIAT) seperti salah satu contohnya kegiatan pada tahun anggaran 2011 di Desa Tamiyang, Kec. Kroya, Kab. Indramayu. Selain itu telah dilakukan penelitian kesiapan sosial ekonomi masyarakat dalam penerapan irigasi mikro oleh Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum. Dengan semangat Perpres RI No. 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Perpres No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Pasal 4 Ayat (1) c yakni jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha termasuk infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku dan Permen PU No. 30/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif Pasal 3 yaitu pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian diselenggarakan secara partisipatif dan pelaksanaannya dilakukan dengan berbasis pada peran serta masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A, maka kegiatan irigasi tetes melalui metode PPP di Indonesia sangat berpeluang besar untuk dikembangkan. Meskipun kegiatan irigasi tetes dengan memanfaatkan air tanah telah dikembangkan di Indonesia, terdapat tantangan yang akan dihadapi apabila pelaksanaannya melalui metode PPP. Peraturan kerjasama pemerintah swasta di Indonesia belum menyentuh pada bidang irigasi air tanah, masih hanya untuk air permukaan atau air baku. Dan apabila kita melihat implementasi PPP pada pemanfaatan air baku untuk air minum, pada saat ini masih terdapat banyak kelemahan atau kendala, misalnya proyek air minum Umbulan di Jawa Timur, Pipanisasi Jatiluhur, SPAM Lampung, Maros, dan lainnya yang masih proses berjalan lamban (Natsir, 2012).
15
Dengan segala tantangan yang dihadapi dalam ketahanan pangan di Indonesia, diharapkan melalui komitmen dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perannya dalam kegiatan pengelolaan lahan kering dapat mendukung ketahanan pangan di Indonesia, membantu dalam pencapaian target-target yang terkait, dan wacana PPP khususnya dalam irigasi tetes dapat dibahas untuk diimplementasikan. KESIMPULAN Kegiatan irigasi tetes sangat perlu untuk dikembangkan di Indonesia dalam usaha ketahanan pangan. Tetapi, banyak hal yang mempengaruhi kecepatan beradaptasi terhadap metode irigasi tetes. Salah satu yang mempengaruhi adaptasi inovasi irigai tetes adalah faktor sosial dan ekonomi para petani sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk permasalahan tersebut. Salah satu tantangan dalam kegiatan irigasi tetes yang paling besar adalah biaya investasi. Solusinya adalah dengan metode PPP. Wacana PPP dalam kegiatan irigasi tetes perlu segera dibahas untuk diimplementasikan, dan selanjutanya dalam pelaksanaan kegiatan irigasi tetes dengan metode PPP harus mendapatkan komitmen penuh dari pemerintah/lembaga terkait, swasta, dan petani. REFERENSI Akuriba, M. A., 2010. Irrigation development experience, constraints and prospects in the Northern, Upper East and Upper West Regions of Ghana. Paper presented at Stakeholder Workshop on Ghana’s Public and Private Irrigation. 31st August Dittoh, S., Akuriba, M.A., Issaka, B.Y., Bhattarai, M., 2010. Sustainable Micro- Irrigation System for Poverty Alleviation in The Sahel: A Case for “Micro” Public-Private-Partnerships?. Poster presented at the joint 3rd African Association Agricultural Economist (AAAE) and 48th Agricultural Economist Association of South Africa (AEASA) Conference, Cape Town, South Africa, September 19-23, 2010 Natsir, M., 2012. Kerjasama Pola KPS Masih Banyak Kendala. http:// indonesiainfrastructurenews.com/index.php/1888-kerjasama-pola-kpsmasihbanyak-kendala, 11 Juni 2012 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2007., 2007. Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010., 2010. Perubahan atas Perpres No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008., 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Satari, G., 1988. Pendekatan Agro Ekosistem pada Pola Pertanian Lahan Kering. KEPAS. Balitan. Bogor
16
Steiner et al., 1988. Social and economic aspects of dryland investment. Chapter 4. http://www.fao.org/docrep/012/i0372e/i0372e04.pdf The Industrial Policy., 2007. Industries Department Government of Tamil Nadu. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004., 2004. Sumber Daya Air. Utama, T. W., 2004. Pengembangan Kerjasama Pemerintah dengan Masyarakat dan Swasta dalam Pembangunan Daerah, Makalah. Pusat kajian dan Diklat Aparatur I, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. White, R. P., D. Tunstall, and N. Henninger., 2002. An ecosistem approach to drylands: Building support for new development policies. Information Policy Brief 1, World Resources Institute, Washington, DC, USA. World Bank., 2008. Lessons from World Bank Group responses to past financial crises. Independent Evaluation Group Evaluation Brief 6. The World Bank, Washington, DC.
17
Bentuk Dan Peran Kearifan Lokal Untuk Mendukung Kemandirian Masyarakat Pulau Terpencil Dalam Ketahanan Pangan Susilawati Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandira
[email protected] dan
[email protected]
Intisari NTT merupakan provinsi kepulauan terdiri dari pulau-pulau kecil, termasuk kategori iklim semi kering. Pulau-pulau ini membentuk cincin lingkaran dalam perairan Laut Sawu dan Samudera Hindia. Transportasi paling murah untuk menghubungkan pulau-pulau ini adalah transportasi laut, yang sangat dipengaruhi angin dan gelombang. Dari pulau-pulau tersebut, terdapat P. Sabu-Raijua yang kecil terpencil, yang menyebabkan sering terjadinya rawan pangan karena kendala transportasi. Situasi ini membutuhkan konsep pengembangan dan pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, khususnya untuk mendukung kemandirian masyarakat mengupayakan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Beberapa bentuk yang telah dan masih dikembangkan selama ini adalah sistem embung. Permasalahan dalam sistem ini: 1) secara teknis, kapasitas tampungan embung tidak seimbang dengan air yang dapat ditampung dari daerah tangkapan, 2) penguapan yang besar di NTT menyebabkan air tampungan banyak hilang, 3) sistem operasional dan pemeliharaan setelah konstruksi, dan 4) keberlanjutan sistem bagi masyarakat. Bentuk dan peran kearifan lokal dalam pengembangan sistem pengelolaan air hujan untuk pertanian, diharapkan dapat mendukung kemandirian masyarakat dalam ketahanan pangan. Konsep Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian (PAHP) yang dikembangkan untuk P. Sabu-Raijua adalah bentuk dan peran kearifan lokal yang dapat mendukung kemandirian masyarakat dalam ketahanan pangan. Sama dengan sistem embung yang dikembangkan selama ini, tetapi sistem ini dikembangkan dalam skala kecil-kecil, mudah dikonstruksi-dioperasionalkan-dipelihara oleh masyarakat sendiri, sehingga keberlanjutan sistem dapat dicapai, dan akan mendorong kemandirian masyarakat dalam mendukung ketahanan pangan. Sistem ini terdiri dari 2 pendekatan yaitu di tingkat eksternal/makro, pada alur-alur alam, dibangun sederetan cek dam, yang berfungsi menjebak air; dan internal/mikro, pada lahan pertanian, dibangun sumur gali pada lahan pertanian. Karena dalam skala yang kecil-kecil, maka dapat dikonstruksi secara luas dan merata, sehingga dampaknya lebih mudah dicapai. Dengan mengangkat kearifan lokal dan partisipasi masyarakat, maka pengembangan sistem ini akan lebih terjamin keberlanjutannya, sehingga manfaatnya lebih dirasakan, khususnya untuk mendukung kemandirian masyarakat dalam ketahanan pangan. Kata kunci: kearifan lokal, ketahanan pangan, pulau terpencil, mandiri, jebakan air
18
Pendahuluan Latar Belakang Masalah Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil, dan termasuk dalam kategori iklim semi kering. Gugusan pulaupulau ini membentuk suatu cincin lingkaran dalam perairan Laut Sawu di dalamnya dan Samudera Hindia di sebelah selatannya. (Gambar 1).
Keterangan: NTT termasuk Aw - A : Iklim utama equatorial -W : menunjukkan kondisi curah hujan yang tergolong sebagai padang gurun (desert)
Gambar 1. Iklim Kering Propinsi Nusa Tenggara Timur (Kottek et.al, 2006) Transportasi yang paling murah untuk menghubungkan pulau-pulau ini adalah transportasi laut, yang sangat dipengaruhi oleh angin dan gelombang di perairan Laut Sawu. Dari pulau-pulau tersebut, terdapat Pulau Sabu dan Pulau Raijua yang kecil terpencil dalam arus perairan luas di antara Laut Sawu dan Samudera Hindia (Gambar 2).
Gambar 2 Pulau Sabu-Raijua dalam Propinsi NTT (Bappeda Sabu-Raijua, 2010)
19
Hal ini menyebabkan sering terjadinya rawan pangan di pulau-pulau tersebut karena kendala transportasi. Situasi ini menjadi tantangan untuk dikembangkannya suatu konsep pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, khususnya untuk mendukung kemandirian masyarakat pulau terpencil tersebut dalam mengupayakan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Kajian tentang Pengembangan Sumber Daya Air di Propinsi NTT Beberapa bentuk pengembangan sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan air baku, telah dikembangkan di Propinsi NTT, antara lain yang paling dikenal adalah pengembangan sistem Embung. Juga dikembangkan program sumur bor untuk memanfaatkan air tanah, baik sumur bor dalam maupun sedang. Di beberapa tempat yang tidak memungkinkan untuk dikembangkan program sumur bor, maka dikembangkan sumur gali, atau sistem panen air hujan. a) Pengalaman pengembangan sistem Embung Di Pulau Sabu dan Pulau Raijua, dikembangkan banyak sistem embung untuk memenuhi kebutuhan air baku, yang sedikit membantu dalam menyediakan air untuk memenuhi kebutuhan air pertanian. Yang menjadi permasalahan dalam pengembangan sistem embung ini antara lain (Susilawati, 2011): 1) Secara teknis, sering terjadi bahwa kapasitas tampungan embung tidak seimbang dengan air yang dapat ditampung dari luasan daerah tangkapan air, sehingga tidak dapat memenuhi target layanan, juga adanya kendala erosi dan sedimentasi. 2) Penguapan yang besar di daerah NTT ini, menyebabkan air yang tertampung banyak yang hilang dan sedikit yang tersedia. 3) Sistem operasional dan pemeliharaan setelah konstruksi, sering menemui banyak kendala dan hambatan karena kurang jelasnya sistem operasional dan pemeliharaannya, sehingga embung terlantar dan akhirnya kurang berfungsi lagi. 4) Dari sisi pemanfaat embung, secara sosial – masyarakat “no sense of belonging”; secara ekonomis berdampak positif adanya peningkatan ekonomi; secara lingkungan cukup bermanfaat menurunkan lahan kritis; namun dari aspek keterlibatan masyarakat sangat terbatas. Dari kajian, analisis dan evaluasi pengembangan sistem embung, khususnya di Pulau Sabu dan Pulau Raijua, yang meliputi tinjauan sistem prasarana, operasi dan pemeliharaan, kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, sistem informasi dan analisis nilai manfaat, yang pernah dilakukan (Susilawati, 2011), dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan sistem embung di Pulau Sabu dan Pulau Raijua memberikan nilai manfaat yang positif, namun secara teknis sistem prasarana perlu beberapa perhatian terhadap perencanaan target layanan yang tepat, kondisi pengisian air di embung dan kecepatan laju sedimentasi. Sistem operasi dan pemeliharaan kurang diperhatikan sehingga embung setelah beberapa waktu yang pendek tidak berfungsi lagi. Begitu pula sistem kelembagaan yang kurang jelas karena keterbatasan sumber daya manusia. Perlu suatu pemberdayaan masyarakat yang terencana baik sehingga mendukung aspek teknis. Dapat dikatakan bahwa
20
pengembangan sistem embung di Pulau Sabu dan Raijua memberikan kesan sebagai proyek pemerintah pusat, sehingga kurang ada dukungan dari masyarakat karena lemahnya sosialisasi sebelum adanya proyek. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari evaluasi pengembangan sistem embung di atas adalah pendekatan dan sosialisasi teknologi yang dipakai dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan perlu mendapat perhatian secara serius. Partisipasi masyarakat dalam seluruh proses akan menjamin teknologi yang akan diterapkan. Hal penting lain yang ditemukan dalam kajian dan analisis sistem embung yang dikembangkan di Pulau Sabu dan Raijua adalah adanya fenomena dimana embung yang kering dan penuh sedimen, pada bagian hilirnya digali sumur terdapat air yang dangkal, seperti pada Embung Pudi (Gambar 3). Hal ini menginspirasikan adanya hubungan antara embung dan sumur gali, yaitu air yang meresap ke dalam tanah dari embung dapat dieksplor melalui sumur gali.
Gambar 3. Embung Pudi dengan Sumur Gali di Bagian Hilir Embung b) Pengalaman pengembangan program JIAT Pengembangan program Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) banyak dikembangkan pula untuk memenuhi kebutuhan air irigasi pertanian. Beberapa hal yang dapat ditarik pelajaran dari pengalaman pengembangan program JIAT ini antara lain: Ditinjau dari sisi kinerja sistem JIAT: 1) Aspek teknis sangat rawan untuk pulau kecil 2) Aspek operasional biaya operasional tinggi 3) Aspek pemeliharaan kurang mendapat perhatian karena biaya yang tinggi dan terbatasnya tenaga teknis 4) Aspek keberlanjutan biasanya tidak lama akan macet karena kendala pembiayaan. Ditinjau dari sisi pemanfaat sistem JIAT: 1) Aspek sosial kurang adaptif 2) Aspek ekonomi dapat meningkatkan produksi pertanian 3) Aspek lingkungan rawan terhadap penurunan air tanah 4) Aspek keterlibatan kurang terencana
21
c) Pengalaman pengembangan sumur gali Pengembangan sistem sumur gali di lahan pertanian ditemukan di beberapa tempat di Pulau Sabu (Gambar 4).
Gambar 4. Sumur Gali di Lahan Pertanian Ditinjau dari sisi kinerja sistem sumur gali: 1) Aspek teknis sangat sederhana 2) Aspek operasional oleh user sendiri (nol) 3) Aspek pemeliharaan oleh user sendiri (lebih terperhatikan) 4) Aspek keberlanjutan sistem akan berkelanjutan Ditinjau dari sisi pemanfaat sistem sumur gali: 1) Aspek sosial mudah diterima dan diadopsi 2) Aspek ekonomi dapat meningkatkan ekonomi masyarakat 3) Aspek lingkungan ramah lingkungan 4) Aspek keterlibatan masyarakat terlibat penuh d) Pengalaman pengembangan sistem PAH Pengembangan sistem Panen Air Hujan (PAH) dilakukan karena tidak ditemukannya sumber air lain selain air hujan. Sistem PAH selain untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air pertanian dan peternakan. Ditinjau dari sisi kinerja sistem PAH: 1) Aspek teknis sederhana, tapi terkendala (atap daun) 2) Aspek operasional tidak banyak membutuhkan biaya operasional 3) Aspek pemeliharaan tidak banyak membutuhkan biaya pemeliharaan 4) Aspek keberlanjutan sistem dapat berkelanjutan
22
Ditinjau dari sisi pemanfaat sistem PAH: 1) Aspek sosial mudah diterima dan diadaptasi 2) Aspek ekonomi tidak berdampak langsung 3) Aspek lingkungan ramah lingkungan 4) Aspek keterlibatan keterlibatan penuh Konsep dan Kerangka Pikir PAHP Pengelolaan air hujan untuk pertanian pernah dan selalu dikemukakan sebagai alternatif pengembangan sumber daya air untuk daerah-daerah kering, yang dikembangkan dari apa yang pernah dan telah dilakukan oleh masyarakat, yaitu di Desa Daieko, Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu-Raijua. Pengelolaan air hujan untuk pertanian didefinisikan secara berbeda dengan istilah panen air hujan. Istilah pengelolaan air hujan untuk pertanian diartikan sebagai mengelola air hujan yang jatuh agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Tanaman yang menerima air berlebihan akan mati karena peristiwa yang sering disebut sebagai kejadian waterlogging. Begitu pula bila kekurangan air, meski pada saat musim hujan, akan mati karena peristiwa yang sering disebut dry spell. Saat terjadi waterlogging, maka diperlukan drainase pertanian, di mana air drainase ini dapat dialirkan dan ditampung untuk dimanfaatkan saat dibutuhkan air irigasi pertanian. Konsep pengelolaan air hujan untuk pertanian pada dasarnya mengikuti 2 prinsip pokok yaitu: 1) Menangkap air hujan yang jatuh, meresapkannya ke dalam tanah sebagai imbuhan bagi cadangan air tanah dan/atau menampungnya untuk dapat digunakan pada waktu musim kering. 2) Mengeringkan kelebihan air dalam tanah waktu curah hujan tinggi (dengan sistem drainase), menampungnya untuk dapat digunakan pada waktu musim kering. Konsep ini dijelaskan dalam Gambar 5. rainfall
runoff
saluran
kolam air drainase
infiltrasi
soil moisture
soil moisture
ditampung dan diresapkan
Gambar 5. Sketsa Pengaliran Air Hujan yang Ditampung dan Diresapkan Untuk menangkap air hujan, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain dengan membuat bendung untuk menahan atau menjebak air hujan yang
23
jatuh dan mengalir pada alur-alur alam, dapat berupa cek dam berantai di alur-alur aliran alam, untuk diresapkan ke dalam tanah sebagai imbuhan bagi cadangan air tanah. Air ini diambil kembali melaui sumur gali yang dibuat di lahan pertanian. Besarnya kemampuan air yang dapat diresapkan tergantung dari geologi tanah. Besarnya kemampuan ini ditunjukkan dalam koefisien resapan dari bermacammacam geologi tanah seperti yang terdapat di Pulau Sabu (Tabel 1.) Tabel 1. No 1 2 3 4
Koefisen Resapan untuk Berbagai Macam Geologi Tanah di Pulau Sabu Geologi tanah Satuan batu gamping koral F. Bobonaro, F. Bisane (lempung) F. Noele (napal pasiran, lanau) Endapan alluvial
Koefisien resapan 30 % 5% 15 % 15%
Sumber: Rosidi dkk – P3G, 1996
Ketersediaan air bagi tanaman dapat dipenuhi juga dari curah hujan efektif yaitu curah hujan yang efektif untuk pertumbuhan tanaman. Besarnya curah hujan efektif ditunjukkan dalam koefisien infiltrasi yang tergantung dari karakteristik hujan, intensitas hujan dan tekstur tanah. Dasar perhatian dari PAHP ini adalah: Kearifan lokal; Keberlanjutan; Partisipasi masyarakat; dan Ramah lingkungan. Sedangkan kerangka pikir konsep ini ditunjukkan seperti dalam gambar berikut ini. MASUKAN
PROSES
KELUARAN
Ciri khas sistem hidr ogeologi: Air hujan, mempunyai siklus pendek untuk terbuang ke laut Situasi dryspell & waterlogging Air tanah berupa lensa air Rentan terhadap penyusupan air laut
Kesejahteraan dan kemandirian masyarakat pada pulau kecil di kawasan kering
Perkembangan ekonomi
Ketahanan pangan dan perlindungan lingkungan
Ciri khas sosial – budaya – ekonomi: Terisolir – komunikasi ter batas Sumber daya alam pendukung rendah Sumber daya manusia terbatas Perkembangan ekonomi terkendala akan keters ediaan air
Ketersediaan air untuk pertanian dan domestik secara berkelanjutan
UMPAN BALIK
Gambar 6. Kerangka Pikir Konsep PAHP Keterpaduan dalam PAHP Aspek Prasarana PAHP Konsep ini dikembangkan dari teknologi setempat (kearifan lokal), yang meliputi sistem eksternal dan sistem setempat. Pada sistem eksternal (tingkat makro) dimana air ditampung oleh alur alam (sederetan cek dam) dan diresapkan
24
ke dalam tanah (tampungan jangka panjang). Pada sistem setempat (tingkat mikro) sumur gali di lahan pertanian.
Gambar 7. Jebakan Air dari Kantong Pasir dan Sumur di Lahan Pertanian (Susilawati, 2006) Penting dikembangkan pula suatu model sistem pendukung keputusan yang dapat menghubungkan antara prasarana PAHP sistem makro berupa cek-dam berantai dan sistem mikro sumur gali di lahan pertanian. Hubungan ini dapat dikembangkan dengan jalan meresapkan air yang tertampung dalam kolam cekdam berantai, sebagai imbuhan cadangan air tanah yang dapat dieksploitasi kembali melalui sumur gali di tingkat lahan. Aspek Sistem Operasional dan Pemeliharaan Pada tingkat makro aspek ini menjadi tanggung jawab pemerintah dengan partisipasi masyarakat, dan pada tingkat mikro menjadi tanggung jawab masyarakat/ kelompok masyarakat. Struktur organisasi untuk menangani sistem operational dan pemeliharaan ini disebut Pro-PAHP. SNVT PPSDA Nusra II
Tim Sosial Tim Teknis
PPK PKSDA Pengawas Timor
Dinas PU Kecamatan
Bag. Perencanaan Bangunan PAHP
Bag. Pelaksanaan Bangunan PAHP
Bag. O & P Bangunan PAHP
Gambar 8. Struktur Organisasi Pro-PAHP (Susilawati, 2011) Partisipasi masyarakat di dalam struktur organisasi ini dilaksanakan dalam kesatuan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membentuk dua tim, yaitu tim sosial dan tim teknis. Tim sosial mempunyai tugas dan fungsi untuk menyiapkan masyarakat dari awal hingga pembentukan dan pengawasan pelaksanaan kelembagaan air dalam batas waktu tertentu. Tim teknis mempunyai tugas dan fungsi dalam kegiatan DED (detail engineering design) dan pembangunan
25
konstruksi bangunan PAHP. Dinas PU kecamatan mempunyai tugas dan fungsi dalam kegiatan DED dan pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam pengawasan. Model ini dinamakan sebagai model Pro-PAHP. Bersama Pro-PAHP masyarakat, melalui perwakilannya dalam tim sosial dan tim teknis, secara proaktif dilibatkan sebagai penggagas, perencana, pelaksana, pelaku operasi dan pemeliharaan bangunan PAHP. Aspek Sistem Kelembagaan a. Pola bottom – up menjadi suatu gaya hidup. b. Jalinan kerjasama yang melibatkan banyak pihak terkait untuk mengatasi kendala akan hak tanah dan kepemilikan air. Sistem kelembagaan air dikembangkan dengan memperhatikan sistem kelembagaan adat yang ada di Pulau Sabu, baik dari tingkat kecamatan, desa sampai ke tingkat dusun di mana terdapat kelompok-kelompok petani. Sistem kelembagaan air ini digambarkan dalam Struktur Organisasi Kelembagaan Air (Gambar 9). Dinas PU Kecamatan
P 3A
Tim Sosial Tim Teknis
Kepala Urusan Jebakan Air
Kepala Urusan Jaringan Sumur
Urusan Keuangan
Petugas Jebakan Air
Petugas Jaringan Sumur
Petugas Urusan Keuangan
PETANI
Gambar 9. Struktur Organisasi Kelembagaan Air (Susilawati, 2011) Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) berkoordinasi dengan Dinas PU kecamatan dan Tim Teknis serta Tim Sosial membawahi kepala urusan jaringan sumur dan keuangan. Dinas PU Kecamatan membawahi kepala urusan jebakan air. Kepala urusan jebakan air berkoordinasi dengan kepala urusan jaringan sumur. Selanjutnya kepala urusan jebakan air yang ada di tingkat desa, membawahi petugas jebakan air yang ada di tingkat dusun. Demikian juga halnya dengan urusan jaringan sumur dan keuangan, sampai di tingkat petani. Aspek Pemberdayaan Masyarakat a. Untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat b. Dilakukan dalam pendidikan teknis dan non teknis c. Lewat mass media yang ada Sistem pemberdayaan masyarakat dikembangkan berdasarkan adat istiadat yang ada di lokasi studi, terutama budaya gotong royong yang kuat. Dengan
26
keterlibatan secara proaktif dalam perencanaan maupun pelaksanaan, maka masyarakat itu sendiri secara tidak langsung akan menjadi pelaku operasi dan pemeliharaan bangunan air karena rasa memiliki yang tertanam sejak awal. Tanggung jawab yang tumbuh sejak awal ini menyebabkan sistem yang terbentuk menjadi berkesinambungan. Pemerintah Daerah menyelenggarakan pemberdayaan pada pihak-pihak terkait dan kelembagaan sumber daya air secara terencana dan sistematis untuk meningkatkan kinerja pengelola sumber daya air. Pemberdayaan ini dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan, operasi dan pemeliharaan sumber daya air dengan melibatkan peran masyarakat. Kelompok masyarakat petani pemakai air atas prakarsa sendiri dapat melaksanakan upaya pemberdayaan untuk kepentingan masing-masing dengan berpedoman pada tujuan pemberdayaan. Pemberdayaan ini diselenggarkan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta pendampingan. Aspek Sistem Informasi Manajemen a. Penyediaan data hidrologi b. Komunikasi yang efektif c. Penyebaran informasi lewat berbagai cara Sistem penyebaran informasi dikembangkan dengan memperhatikan komunikasi dan alat komunikasi yang ada di tempat, dan prospek ke depan pengembangannya. Sejak bulan April 2007, perusahaan tilpon seluler Telkomsel telah masuk sampai ke tiap kecamatan di Pulau Sabu, maka komunikasi penyebaran informasi menjadi semakin cepat melalui ponsel. Sistem penyebaran informasi dari model Pro-PAHP direncanakan mengikuti alur sistem struktur organisasi kelembagaan air seperti dalam Gambar 10. Penyebaran informasi terdiri dari bagian-bagian Dinas PU di tingkat kecamatan, desa, dusun, sampai pada tingkat petani sesuai dengan alur sistem kelembagaan air, sehingga memudahkan koordinasi dan evaluasi, yang sangat mendukung keempat kategori sistem lainnya. PAHP untuk Mendukung Usaha Pertanian di Pulau Sabu Kondisi eksisting Pulau Sabu diasumsikan mewakili pulau kecil di kawasan kering Indonesia. Kondisi ini menyangkut situasi ketersediaan air yang ada, yang ditunjukkan melalui gambaran prakiraan muka air tanah (Gambar 10). Berdasarkan analisis kebutuhan air penduduk termasuk ternak dan tanaman seperti yang disarankan Puslitbang Air sebesar 800 l/hari/KK, maka ketebalan air yang akan terambil sebesar 32 mm. Menurut prakiraan model hidrologi, air yang meresap masuk ke dalam tanah sekitar 140 mm, sebagian keluar sebagai aliran dasar sungai, sisanya menambah akuifer bebas sebesar 27 mm dan 27 mm lagi keluar sebagai mata air. Ini berarti bahwa kebutuhan air untuk memenuhi penggunaan air sebesar 32 mm tidak dapat dipenuhi, sehingga masih diperlukan pengambilan air melalui tampungan kolam-kolam lahan selain dari sumur/perigi.
27
Gambar 10. Peta Prakiraan Kontur Kedalaman Air Tanah di Pulau Sabu (Susilawati, 2011) Kondisi setelah dilakukan opsi PAHP, maka lahan tanah kosong/rumput dapat diubah menjadi lahan pertanian, sehingga luas lahan pertanian setelah dilakukan opsi PAHP menjadi 23.955 Ha (Bakosurtanal, 2005). Untuk lahan kebun/perkebunan akan semakin berkembang karena ketersediaan air dalam tanah. Lahan semak belukar seluas 10.265 Ha diusahakan menjadi lahan hutan konservasi. Dengan demikian kondisi setelah dilakukan opsi PAHP, kemampuan ketersediaan air akan semakin meningkat karena air hujan yang jatuh berhasil dihambat dan tidak cepat terbuang ke laut dengan usaha meresapkannya ke dalam tanah melalui jebakan air/ cek dam berantai dan usaha hutan konservasi. Tabel 2 dan Gambar 11, menunjukkan hasil produksi eksisting, sebelum dan sesudah opsi PAHP.
Gambar 11. Grafik Perkiraan Peningkatan Hasil Produksi Pangan
28
Tabel 2.
Tata Guna Lahan dan Perkiraan Hasil Produksi Pangan Keadaan Eksisting, Sebelum dan Sesudah Opsi PAHP
hasil Produksi eksisting No
Keterangan
1
Tegalan/ladang
2
Sawah tadah hujan
3
Sawah irigasi
4
Rumput/tanah kosong
5
Kebun/perkebunan
6
Semak/belukar
7
Hutan
Padi Hasil/Ha
Hasil Produksi (ton)
642
20
12,840
295
24
7,080
Luas (Ha) 9428
Sorghum (25%) Hasil/Ha 10
Hasil Kacang Hasil Produksi Hijau (25%) Produksi (ton) Hasil/Ha (ton) 23,570
10
23,570
Jagung Hasil Kacang Hasil (25%) Produksi Tanah (25%) Produksi Hasil/Ha (ton) Hasil/Ha (ton) 25
58,925
10
23,570
13590 6977 10265 498 19,920
Hasil Produksi
23,570
23,570
58,925
23,570 149,555
hasil Produksi Sebelum opsi PahP No
Keterangan
1
Tegalan/ladang
2
Sawah tadah hujan
3
Sawah irigasi
4
Rumput/tanah kosong
Padi Hasil/Ha
Hasil Produksi (ton)
642
20
12,840
295
24
7,080
Luas (Ha) 9428
Sorghum (25%) Hasil/Ha 10
13590
10 19,920
Hasil Produksi
Hasil Kacang Hasil Produksi Hijau (25%) Produksi (ton) Hasil/Ha (ton) 23,570
10
33,975
10
57,545
Jagung Hasil Kacang Hasil (25%) Produksi Tanah (25%) Produksi Hasil/Ha (ton) Hasil/Ha (ton)
23,570
25
33,975
25
57,545
58,925
10
23,570
84,938
10
33,975
143,863
57,545 336,418
hasil Produksi Setelah opsi PahP No
Keterangan
1
Tegalan/ladang
2
Sawah tadah hujan
3
Sawah irigasi
4
Rumput/tanah kosong
Padi Hasil/Ha
Hasil Produksi (ton)
642
21
13,482
295
35
10,325
Luas (Ha) 9428
24
13590
Hasil Produksi
Sorghum (25%) Hasil/Ha
24 23,807
Hasil Kacang Hasil Produksi Hijau (25%) Produksi (ton) Hasil/Ha (ton) 56,568
24
81,540
24
138,108
Jagung Hasil Kacang Hasil (25%) Produksi Tanah (25%) Produksi Hasil/Ha (ton) Hasil/Ha (ton)
56,568
50
81,540
50
138,108
117,850
24
169,875
24
287,725
56,568
81,540 138,108 725,856
Kesimpulan dan Saran Dari analisis dan kajian kebutuhan dan potensi ketersediaan air, dimana air yang dapat menambah akuifer bebas hanya 27 mm, sedangkan dibutuhkan 32 mm, dapat ditarik kesimpulan bahwa alternatif sistem penampungan air hujan selain embung masih diperlukan, tanpa mengurangi arti sistem embung yang telah dikembangkan selama ini. Pengembangan model pengelolaan air hujan dalam bentuk sistem embung irigasi dan embung kecil, embung konservasi, kolam lahan, sumur/perigi yang terpadu, akan mampu memenuhi kebutuhan air. Peningkatan produksi pangan akan membawa akibat pada ketahanan pangan masyarakat di pulau kecil - terpencil, dan meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat. Pada akhirnya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dapat tercapai. Hal ini merupakan sektor penting yaitu ketersediaan air, yang mampu mengubah kondisi pulau kecil kawasan kering Indonesia dengan segala keterbatasannya, menjadi sejahtera dan mandiri.
29
Karena sistem ini dalam skala yang kecil-kecil, dan dapat dimungkinkan untuk dikonstruksi-dioperasionalkan-dipelihara oleh masyarakat sendiri, maka dapat dikonstruksi secara lebih luas dan merata di seluruh pulau, sehingga dampaknya akan lebih mudah dicapai dalam mendukung ketahanan pangan, khususnya untuk wilayah yang terpencil. Dengan mengangkat kearifan lokal dan partisipasi masyarakat, maka pengembangan sistem ini akan lebih terjamin keberlanjutannya, sehingga manfaatnya bagi masyarakat lebih dirasakan, khususnya untuk mendukung kemandirian masyarakat dalam ketahanan pangan. REFERENSI Bappeda Sabu-Raijua, 2005. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten SabuRaijua. Bakosurtanal, 2005. Peta Rupa Bumi Digital Lembar Sabu-Raijua Kottek, M., Grieser, J., Beck, C., Rudolf, B., and Rubel, F., 2006. World Map of Köppen-Geiger Climate Classification updated. http://www.unet.univie. ac.at/~a0551135/pdf/KottekCo2006.pdf Rosidi, Suwitodirdjo, Tjokrosapoetro, 1996. Peta Geologi Lembar Kupang – Atambua, Timor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), Bandung. Susilawati, 2006. Pengelolaan Air Hujan di Daerah Pedesaan Semi Kering Propinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Bandung 27 – 28 November 2006, PUSAIR, Bandung. Susilawati, 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia. Gita Kasih, Kupang, Indonesia.
30
Efektivitas Pengelolaan Sumber Air untuk Kebutuhan Air Irigasi Subak di Kota Denpasar I Ketut Suputra* dan I Gusti Ngurah Kertaarsana Universitas Udayana *
[email protected]
Intisari Sumber air berperanan sangat penting dalam menunjang perkembangan berbagai sektor suatu daerah. Demikian halnya dengan sumber air permukaan yang ada di wilayah kota Denpasar yang bersumber dari sungai Ayung, sungai Badung dan sungai Mati. Perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat di kota Denpasar mengakibatkan meningkatnya kebutuhan air untuk memenuhi berbagai keperluan, salah satu kebutuhan air adalah untuk memenuhi kebutuhan air irigasi (subak) di kota Denpasar. Penelitian pengelolaan sumber air untuk kebutuhan air irigasi subak di kota Denpasar telah dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan jumlah sampel 99 petani sebagai responden yang terdiri dari 41 subak yang tersebar di Daerah Irigasi (DI) Mambal, DI Kedewatan, DI Peraupan, DI Oongan, DI Mertagangga, DI Batannyuh, DI Tukad Badung, DI Lange dan DI Mergaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola tanam masing-masing DI, efektivitas pengelolaan air menurut irigasi subak dan korelasi (hubungan) pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas garapan petani rata-rata 0,47 Ha/ petani, pola tanam yang diterapkan petani di kota Denpasar sangat bervariasi yaitu : 21,2% padi-padi-palawija, 27,3 % padi-padi-padi, 33,33 % padi-padi lainnya, 6,1 % padi-palawija-lainnya dan 12,1 % padi-sayur-lainnya. Selanjutnya fungsi Sedahan (pembina subak dari unsur pemerintah) menunjukkan 89,9 % responden mengatakan masih efektif, diikuti fungsi saluran irigasi 82,2 %, ketersediaan air irigasi 69,7 %, intensitas tanam 79,8 % semuanya efektif. Hasil pertanian menunjukkan hanya 26,3 % responden mengatakan sesuai, sisanya tidak sesuai. Analisis korelasi gabungan menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,439, (lemah dan positif) artinya pola tanam yang dilakukan petani di kota Denpasar berhubungan langsung dengan efektivitas pengelolaan air, walaupun hubungan tersebut tidak cukup kuat, juga belum menjamin hasil yang diharapkan. Kata kunci : efektivitas, pengelolaan sumber air, pola tanam, kebutuhan air, subak
31
PENDAHULUAN Kota Denpasar sebagai ibu kota dan pusat perekonomian di provinsi Bali, dengan luas wilayah 12.778 Ha. Derasnya pembangunan diberbagai sektor di kota Denpasar, membawa konskwensi jumlah penduduk yang terus meningkat akibat kelahiran, migrasi dan pengaruh urbanisasi, hal ini menyebabkan berkurangnya luas lahan sawah dan air irigasi akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan diluar sektor pertanian, seperti pemukiman, pusat pembelanjaan, industri, jalan, hotel, perkantoran dan lain-lainnya. Menurut laporan Badan Pusat Statistik kota Denpasar (2006), luas lahan sawah tahun 2001 sebesar 23,71% dari luas wilayah, dan pada tahun 2005 menurun menjadi 21,66%. Jumlah penduduk di kota Denpasar tahun 2005 berjumlah 574.955 jiwa, dengan kepadatan penduduk 4499 jiwa/km². Jumlah penduduk tahun 2005 ini mengalami kenaikan 2,14% dibandingkan tahun sebelumnya 2004 yang hanya mencapai 562.907 jiwa. Akibat alih fungsi lahan tersebut ada indikasi tatanan irigasi tradisional (subak) di kota Denpasar tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Disisi lain terjadi peningkatan kebutuhan pangan akibat jumlah penduduk yang terus bertambah. Apabila hal ini terjadi terus dari tahun ketahun atau kebutuhan lahan baru menggusur lahan vegetasi (lahan pertanian) yang luasnya akan berkurang, maka potensi sumber daya air, baik air permukaan maupun mata air dan air tanah tentu semakin lama semakin berkurang. Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian, baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun sebagai penghasil bahan baku bagi industri yang mengolah hasil pertanian. Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan, perlu dievaluasi terhadap hasil yang telah dicapai melalui kegiatan pengumpulan data pola tanam pada lahan sawah di kota Denpasar. Dengan pengumpulan data pola pergiliran tanam dilahan sawah per daerah irigasi (DI) yang ada di kota Denpasar, diharapkan nantinya dapat diketahui potensi lahan yang masih mempunyai peluang untuk ditingkatkan intensitas tanamnya, disamping itu dalam pendataan pola tanam ini dapat dikaitkan dengan fungsi lahan sawah dalam kecukupan airnya. Saat ini irigasi di kota Denpasar sangat tergantung pada tiga sungai utama yaitu sungai Ayung, sungai Badung dan sungai Mati. Dari ke tiga sungai ini dibangun beberapa bangunan utama dan bangunan air lainnya untuk mengalirkan air ke Daerah Irigasi. Jaringan irigasi di kota Denpasar sebagai mana sistem jaringan irigasi lainnya di Bali dibangun dengan menggunakan sistem subak. Pengertian subak yang dinyatakan pada Peraturan Daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972 adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agrarisreligius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi dilahan sawah. Beberapa subak yang airnya berasal dari pengambilan air (intake) yang sama tergabung dalam daerah irigasi yang sama. Dengan perkembangan kota Denpasar yang sangat pesat, banyak terjadi perubahan fungsi jaringan irigasi menjadi jaringan drainase atau berfungsi ganda. Hal ini membawa konskwensi perubahan terhadap sistem dan konsep jaringan yang ada. Oleh karena itu perlu adanya upaya
32
pengembangan, pengelolaan sumber air serta konsensus di kota Denpasar dalam pengaturan air, dengan tetap memperhatikan sistem pengelolaan yang telah ada. Dari permasalahan yang ada perlu dilakukan pengkajian tentang efektivitas pengelolaan sumber air untuk kebutuhasn air irigasi subak di kota Denpasar dengan mengkaji : 1. Mengkaji pola tanam para petani sehubungan dengan pengelolaan sumber air untuk kebutuhan air irigasi di kota Denpasar. 2. Mengkaji efektivitas pengelolaan air yang dilakukan dengan sistem subak 3. Menganalisis korelasi pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air. TINJAUAN PUSTAKA Irigasi Dengan Pola Subak Menurut Norken (1993), subak sebagai sistem irigasi tradisional yang terdapat di Bali telah dikenal sejak abad XI M, jauh sebelum sistem irigasi teknis dikenal. Oleh karena itu cara pemberian airpun menggunakan cara-cara tradisional, walaupun sekarang sudah mulai ditingkatkan sehingga secara teknis irigasi dapat berfungsi lebih baik. Secara umum subak-subak yang ada di Bali mendapat air dari sungai, dimana aliran air dialihkan ke saluran (telabah) atau terowongan dengan membuat bendung (empelan). Sumber air yang masuk ke saluran (telabah) atau terowongan sangat tergantung dari tinggi muka air sungai yang mengalir di sungai. Semakin tinggi muka air sungai (saat musim hujan), semakin besar air yang masuk ke saluran, hal mana terjadi karena pengambilan air merupakan pengambilan bebas (free intake). Pengelolaan Irigasi Menurut Sistem Subak Pengertian subak yang dinyatakan pada peraturan daerah propinsi Bali No .02/ PD/DPRD/1972 adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Menurut Sutawan (2000), subak sebagai lembaga irigasi tradisional di Bali sudah ada sejak hampir satu milenium. Fungsi utama subak adalah pengelolaan air untuk memproduksi pangan, khususnya beras, yang merupakan makanan pokok bagi masyarakat di Provinsi Bali. Efektivitas Pengelolaan Sistem Subak Untuk mengukur efektivitas subak, teori yang digunakan adalah Maris (1989), yang menyatakan bahwa efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditentukan. Pengukuran efektivitas merupakan salah satu indikator kinerja bagi pelaksanaan suatu kegiatan yang telah ditetapkan untuk menyajikan informasi tentang seberapa besar pencapaian sasaran atas target.
33
Dalam perhitungan efektivitas, digunakan skor (skala likert), apabila skor semakin besar dapat dikatakan bahwa pengelolaan semakin efektif, demikian pula sebaliknya semakin kecil skor hasilnya menunjukkan pengelolaan semakin tidak efektif. (Supranto, 2003) METODOLOGI STUDI Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan pada sembilan Daerah Irigasi yang ada di Kota Denpasar yang sumber air permukaannya berasal dari bendung-bendung yang berada di tiga sungai utama yaitu Sungai Ayung, Sungai Badung, dan Sungai Mati, yang selanjutnya digunakan untuk mengairi irigasi subak yang ada di Kota Denpasar. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dibagi dalam dua katagori yaitu data sekunder dan data primer. Penelitian ini didahului dengan pengumpulan data sekunder tentang nama-nama subak, jumlah subak, jumlah daerah irigasi, jumlah bendung, kebijakan pemda dan lainnya yang ada hubungan dengan pengelolaan sumber air untuk irigasi subak dari instansi terkait di kota Denpasar. Data primer, yang dikumpulkan dengan menggunakan kuestioner adalah karakteristik petani responden mengenai pola tanam yang dilakukan petani responden, efektivitas petani responden dalam pengelolaan irigasi dengan sistem subak. Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan memakai metode Statistical Package For Social Science (SPSS) vertion 15. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Lahan Produktif Perkembangan kondisi lahan-lahan sawah yang masih produktif di Kota Denpasar selama satu dekade (1993-2006) telah terjadi penyusutan yang sangat signifikan yang besarnya 47,23 % yaitu dari 5753,43 Ha pada tahun 1993 menjadi 2717 pada tahun 2006. Dampak langsung berkurangnya luas lahan sawah produktif tersebut adalah berkurangnya produksi padi. Selain padi, lahan pertanian di Kota Denpasar juga menghasilkan jagung, dimana pada tahun 2005 produksi mencapai 3574 ton atau menurun 57,21 % jika dibandingkan dengan tahun 2004. Produksi lain di kota Denpasar selain padi dan jagung adalah kedelai, kacang tanah dan lain-lain. Untuk komoditas sayuran, luas tanam dan produktivitas dalam setahun sangat bervariasi mengingat jadual tanam yang diterapkan petani. Jaringan Irigasi Jaringan Irigasi di Kota Denpasar yang tergantung dari tiga sungai utama yakni Tukad Ayung, Tukad Badung dan Tukad Mati. Dari ketiga sungai ini dibangun beberapa bangunan utama dan bangunan pelengkap untuk mengalirkan air.
34
Jaringan irigasi yang mengairi areal pertanian tanaman pangan di wilayah Kota Denpasar terdiri dari sembilan Daerah Irigasi (DI) yaitu DI Mambal, DI Kedewatan, DI Peraupan, DI Oongan, DI Mertagangga, DI Batannyuh, DI Tukad Badung, DI Lange dan DI Mergaya. Jumlah Anggota Subak Dan Luas Areal Sawah Pada Masing-Masing DI Jumlah subak tahun 1993 tercatat 45 (empat puluh lima) subak di Kota Denpasar, sedangkan saat ini berdasarkan laporan Dinas Pertanian Kota Denpasar (2006), jumlah subak di Kota Denpasar yang masih memiliki persawahan adalah sebanyak 41 (empat puluh satu) subak, dimana luas areal subak-subak yang tersebar di masing-masing daerah irigasi tersebut semakin tahun semakin berkurang, dilihat dari kondisi subak yang ada saat ini sebagian subak ada yang pemanfaatannya kurang intensif seperti subak di Daerah Irigasi Oongan yang mengairi beberapa subak di Denpasar Selatan pemanfaatan air irigasi dilakukan dengan pergiliran dan demikian juga dengan DI yang ada di Denpasar Barat seperti Daerah Irigasi Lange yang mengairi subak Lange dan Banyu Kuning, yang disebabkan oleh kondisi air irigasi yang kurang mencukupi dan sebagian jaringan irigasinya telah terganggu akibat pembangunan non pertanian, seperti perumahan, perdagangan serta prasarana fisik lainnya. Rata-rata luas lahan garapan 0,47 Ha/orang dan jumlah anggota subak dan luas areal sawah per DI terlihat pada Tabel 1, berikut : Tabel 1. Jumlah Anggota Subak dan Luas Areal Sawah per Daerah Irigasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total
Nama Daerah Irigasi (DI) DI Kedewatan DI Oongan DI Peraupan DI Mambal DI Lange DI Mertagangga DI Mergaya DI Batannyuh DI Tukad Badung
Jumlah Subak 11 11 2 9 2 2 1 1 2 41
Luas areal Sawah (ha) 708 701 20 639 55 33 96 240 225 2717
Jumlah Anggota (Orang) 2066 1303 69 1131 95 52 126 373 555 5770
Sumber : Dinas Pertanian Dan Kelautan Kota Denpasar, (2006)
Status Penguasaan Lahan Sawah Dalam hubungannya dengan keberlanjutan dari pengembangan usaha tani di lahan sawah di Kota Denpasar, perlu diketahui status penguasaan lahan sawah antara petani penyakap dan pemilik penggarap karena akan sangat menentukan tingkat intensifikasi usaha tani yang dilakukan, mengingat belum adanya kepastian atau keterjaminan terhadap sistem bagi hasil antara pemilik lahan sawah dengan penyakap. Dapat dikemukakan bahwa sebanyak 3591 orang (62,20 %) dari petani memiliki status sebagai petani penggarap (penyakap), selebihnya (37,80 %) merupakan petani pemilik penggarap (Tabel 2).
35
Tabel 2. Status Penguasaan Lahan Sawah per DI di Kota Denpasar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Daerah Irigasi Mambal Kedewatan Peraupan Oongan Mertagangga Batannyuh Tukad Badung Lange Mergaya
Status Penguasaan (orang) Pemilik Penggarap Penyakap/Penggarap 598 533 930 1136 27 42 235 1068 3 49 130 243 190 365 23 72 46 80
Jumlah 1131 2066 69 1303 52 373 555 95 126
Sumber : Dinas Pertanian Dan Kelautan Kota Denpasar, (2006)
Pola Tanam Pola tanam adalah tata urutan penanaman jenis tanaman pada satu tahun. Seperti halnya subak-subak yang ada di Kota Denpasar telah menetapkan pola tanam dan jadwal tanamnya masing-masing. Penentuan ini sangat bergantung pada kondisi alam atau ketersedian air irigasi di tingkat sumber dan tingkat keuntungan yang diperolehnya, modal, tenaga kerja, ketersediaan sarana produksi. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pola pergiliran tanam dan jadwal tanam yang diterapkan oleh petani atau subak-subak diwilayah Kota Denpasar adalah padipadi-palawija/sayuran/lainnya. Juga dapat dikemukakan bahwa pada musim hujan, hampir seluruh subak di Kota Denpasar menerapkan penanaman padi. Kondisi ini sangat wajar terjadi mengingat pada saat tersebut curah hujan cukup tinggi dan sangat memungkinkan untuk menanam tanaman padi. Untuk penanaman tanaman lainnya seperti palawija (kacang-kacangan) dilakukan pada musim kemarau. Penetapan pola tanam seperti yang dianjurankan pemerintah, kadang kala tidak diikuti oleh semua petani di Kota Denpasar. Ada sebagian petani mengembangkan sistem pertanian yang mengacu pada kebutuhan pasar yaitu sistem Urban Farming, dimana jenis tanaman yang ditanam selain padi dan palawija adalah bunga, buah dan sayur-sayuran. Pilihan ini dilakukan karena komoditas ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 1. Permintaan pasarnya tinggi, seperti berbagai jenis sayuran, buah-buahan dan bunga untuk warga Kota Denpasar dan kunjungan wisatawan 2. Tanaman yang diusahakan memiliki umur untuk dipanen relatif pendek. 3. Tanaman yang ditanam memiliki nilai ekonomis tinggi 4. Tanaman dapat diusahakan pada lahan yang relatif sempit, mengingat lahan sawah di Kota Denpasar relatif sempit, rata-rata 0,47 Ha/petani. Namun perlu diingat bahwa, pembangunan pertanian tidak semata-mata product oriented tetapi lebih diarahkan pada income oriented, karena produksi yang meningkat belum tentu dapat meningkatkan pendapatan petani karena tambahan biaya yang lebih besar dari tambahan nilai output justru menurunkan pendapatan petani. Untuk jelasnya pola tanam pada masing-masing DI di Kota Denpasar dapat dikemukakan seperti Tabel 3. berikut:
36
Tabel 3. Nama Daerah Irigasi Mambal Kedewatan Peraupan Oongan Mertagangga Batannyuh TK. Badung Lange Mergaya Gabungan
Pola Tanam Yang Diterapkan Di Masing-Masing DI Pd-pd-pl (%) 57,9 33,3 80,0 21,2
Pola Tanam Yang Diterapkan Pd-pd-pd Pd-pd-lain Pd-pl-lain (%) (%) (%) 21,1 50 100,0 66,7 27,3
10,5 36,1 54,5 20,0 100,0 100,0 33,3
10,5 27,3 6,1
Pd-sy-lain (%) 13,9 100,0 18,2 12,1
Sumber : Hasil Perhitungan
Organisasi Subak Dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Air Dalam pengelolaan air, subak-subak yang ada di Kota Denpasar mendapatkan airnya dari suatu sumber air. Pemerintah lewat Departemen Pekerjaan Umum membangun berbagai fasilitas irigasi seperti jaringan irigasi berupa bendung, saluran dan bangunan pelengkapnya. Air yang didapat dari bendung oleh subak kemudian didistribusikan kepada segenap anggota subak untuk dikelola dengan sistem subak. Dalam pengelolaan airnya diperlukan suatu organisasi dan kebijakankebijakan dari pemerintah dan mensosialisasikan kepada segenap anggota subak. Hasil penelitian mengenai organisasi dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan air pada masing-masing DI di Kota Denpasar dapat dilihat pada Tabel 4. dan Tabel 5, berikut: Tabel 4. Organisasi Subak Nama DI Mambal Kedewatan Peraupan Oongan Mertagangga Batannyuh Tk. Badung Lange Mergaya Gabungan
Sangat Efektif (%) 11,1 13,6 20,0 9,1
Sumber : Hasil Perhitungan
Efektifitas Organisasi Efektif Cukup Tidak Sangat tidak (%) Efektif (%) Efektif (%) Efektif (%) 31,6 47,2 31,8 100,0 50,0 50,0 50,0 50,0 41,4
57,9 33,3 100,0 50,0 33,3 20,0 50,0 50,0 41,4
10,5 5,6 4,5 16,7 10,0 8,1
2,8 -
37
Tabel 5. Kebijakan Pemerintah Nama DI Mambal Kedewatan Peraupan Oongan Mertagangga Batannyuh Tk. Badung Lange Mergaya Gabungan
Sangat Efektif (%) 4,5 -
Efektifitas Organisasi Efektif Cukup Tidak Sangat tidak (%) Efektif (%) Efektif (%) Efektif (%) 73,7 72,2 45,5 100,0 33,3 50,0 100,0 50,0 61,6
26,3 25,0 100,0 45,5 33,3 40,0 50,0 32,3
2,8 4,5 33,3 10,0 6,1
-
Sumber : Hasil Perhitungan
Analisis Korelasi Pada DI Gabungan Dan Di Masing-Masing Daerah Irigasi Konsep korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linier antara dua variabel atau lebih, nilai koefisien korelasi berkisar -1 sampai dengan 1. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan bantuan program SPSS ver.15 dapat dilihat pada Tabel 6, berikut. Tabel 6. Korelasi Pola Tanam Dengan Efektivitas Pengelolaan Air Koef Keterangan Korelasi Mambal 0,718 Hubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Mambal adalah sedang dan positif. Kedewatan 0,605 Hubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Kedewatan adalah sedang dan positif. Peraupan Tidak terdapat hasil koefisien korelasi, hal ini disebabkan oleh jumlah sampel pada DI peraupan satu responden sehingga tidak memenuhi persyaratan dari analisis korelasi. Analisis korelasi digunakan apabila jumlah sampelnya minimal adalah dua. Oongan 0,757 Hubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Oongan adalah sedang dan positif. Mertagangga Idem dengan Peraupan Batannyuh 0,832 Hhubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Batannyuh adalah kuat dan positif. Tk Badung 0,959 Ini berarti hubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Tukad Badung adalah kuat dan positif. Lange 1,000 Hubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Lange adalah sempurna dan positif Mergaya 1,000 Hubungan antara pola tanam dengan efektivitas pengelolaan air di wilayah DI Mergaya adalah sempurna dan positif Gabungan 0,439 Hubungan antara pola tanam dengan efektivitas di wilayah DI Gabungan adalah lemah dan positif Nama DI
Sumber : Hasil Perhitungan
38
KESIMPULAN 1. Pola tanam yang diterapkan petani di kota Denpasar sangat bervariasi yaitu : 21,2% padi-padi-palawija, 27,3 % padi-padi-padi, 33,33 % padi-padi lainnya, 6,1 % padi-palawija-lainnya dan 12,1 % padi-sayur-lainnya 2. Pembina subak dari unsur pemerintah, menunjukkan 89,9 % responden mengatakan masih efektif, diikuti fungsi saluran irigasi 82,2 %, ketersediaan air irigasi 69,7 %, intensitas tanam 79,8 % semuanya efektif. 3. Analisis korelasi gabungan menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,439, (lemah dan positif) artinya pola tanam yang dilakukan petani di kota Denpasar berhubungan langsung dengan efektivitas pengelolaan air, walaupun hubungan tersebut tidak cukup kuat UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada para responden yang telah bersedia memberikan informasi sehingga penelitian efektivitas pengelolaan sumber air untuk kebutuhan air irigasi subak di Kota Denpasar, Provinsi Bali dapat terwujud. Selain itu penulis juga berterimakasih kepada semua pihak atas segala bantuan dan partisipasinya sehingga tulisan ini bisa diselesaikan. Semoga dapat dijadikan acuan dalam melestarikan sistem subak yang ada di Denpasar dan di Bali pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1972, Peraturan Daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972, tentang Irigasi. Anonim, 1998. Tuntunan Subak Di Bali. Denpasar : Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Anonim, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 77 Tahun 2001, Tentang Irigasi. Dinas Pekerjaan Umum,1986 Standar Perencanaan Irigasi, Bandung : Galang Persada. Husein Umar, 2001. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Maris, Masri, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, UI Press. Norken I Nyoman,1993. Sistem Irigasi Tradisional Bali. Denpasar : Upada Sastra. Sumarta Ketut, 1992. Subak Inspirasi Manajemen Pembangunan Pertanian. Denpasar : Cita Budaya. Sutawan Nyoman,1989. “Wadah Koordinasi Antar Subak Di Bali, Proses Pembentukan Dan Struktur Organisasinya “ Denpasar : Majalah Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Udayana No 16 Tahun X .Hal 34-51. Sutawan Nyoman, 2000. Mengembangkan Organisasi Ekonomi Petani Berbasis Subak : Corporate Farming VISI No 19, September. Supranto, 2003. Metode Riset. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
39
Perlu Dikajinya Nilai-Nilai Kearifan Lokal Berkaitan Pengelolaan Sumber Daya Air Rr. Vicky Ariyanti*, Kisworo Rahayu, dan Aneka Anjar BBWS Serayu Opak, Ditjen SDA, Kementerian Pekerjaan Umum *
[email protected]
Intisari Nilai sosial kemasyarakatan merupakan akar budaya yang telah menjadi satu dengan semangat dan jiwa manusia Indonesia. Dalam nilai-nilai sosial tersebut, terdapat beberapa bentuk dari kebijaksanaan dan kearifan lokal yang terkait dengan manusia mengelola alam. Misalkan pada contoh di masyarakat pedesaan Jawa, menjaga kelestarian tuk (mata air) dengan memberikan kain penanda pada pohon berusia ratusan tahun yang biasanya ditanam bersebelahan dengan mata air, tujuannya adalah agar orang yang lewat menjaga kesakralan, serta tidak mengganggu keberadaan mata air tersebut. Memang pada prakteknya hal ini disertai praktek klenik, maupun ritual semedi dan sebagainya, namun ini adalah cara yang masih efektif digunakan untuk masyarakat kita dalam menjaga kelestarian alam. Justru hal semacam ini menunjukkan rasa hormat suatu masyarakat terhadap mata air tersebut. Kearifan lokal semacam ini masih banyak bergaung di masyarakat kita. Agar pengelolaan sumber daya air dapat masuk dalam sistem nilai mereka, hal ini masih patut dipertimbangkan. Pengkajian kebijaksanaan dan kearifan lokal bisa menjadi kunci keberhasilan pengelolaan bersama. Cara mengkajinya adalah dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan membawa serta ahli sosial kemasyarakatan nilai-nilai yang masih ada di masyarakat setempat. Pada kasus lain, mungkin seperti sistem Subak di Bali, kearifan lokal dalam hal ini sudah jauh mendahului sistem irigasi yang kita kenal sekarang ini dan jelas masih terbukti keefektifannya. Keuntungannya kita bisa memahami lebih mendetail apa yang menjadi permasalahan saat ini dan mendekatkan kita ke pola pikir masyarakat agar dapat menyelesaikan masalah pengelolaan sumber daya air sesuai dengan kapasitas kita sebagai fasilitator dan mereka sebagai pemeran aktif yang harapannya dapat berdaya dalam mengelola SDA. Hal ini juga merupakan cara mempopulerkan kembali budaya lokal untuk kelangsungan kehidupan yang lebih lestari. Kata kunci: nilai kearifan lokal, pengelolaan sumber daya air, kelestarian lingkungan
40
PENDAHULUAN Kekayaan Budaya Indonesia Keragaman budaya Indonesia dalam balutan kekhasan masing-masing suku bangsa, hendaknya merupakan hal yang patut kita syukuri dan banggakan bersama. Makalah ini mencoba menampilkan beberapa contoh kearifan lokal yang merupakan hasil filtrasi budaya dalam bentuk sistem nilainya. Kearifan lokal yang dikaji pada konteks ini, mengerucut pada kearifan terkait dengan pengelolaan sumber daya air. Penulis bermaksud menunjukkan pentingnya pengertian akan nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air menuju lingkungan hidup lestari. Sajian ini diracik dengan rangkaian tinjauan pustaka yang dibarengi dengan metode penulisan induktif, sehingga harapannya pembaca dapat mengikuti pola yang terdapat dalam nilai kearifan lokal dan mengenalkan nilai tersebut dalam kehidupan di masyarakat kita. Kejelian kita dalam menemukan kearifan lokal juga penting sehingga dapat menyelami arti setiap keterlibatan masyarakat dalam aspek pengelolaan sumber daya air. Upaya pelibatan alias partisipatif seharusnya juga menitikberatkan pada pemahaman terhadap nilai kearifan lokal ini, agar masyarakat ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab. TINJAUAN PUSTAKA Budaya Masyarakat dan Kearifan Lokal Budaya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pikiran; akal budi: adat istiadat: sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju): sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah. Adapun kata budaya berasal dari kata budhayyah, yaitu bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sehingga definisi budaya masyarakat adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi atau dapat juga dilihat sebagai pola hidup secara menyeluruh. Kearifan lokal atau local wisdom, berasal dari dua kata bahasa Inggris local artinya setempat dan wisom yaitu kearifan. Definisi kearifan lokal menekankan aspek sistem ide/gagasan dalam kebudayaan, berupa nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan keteladanan yang terdapat pada lingkungan budaya (Rozaki, 2005). Kearifan lokal sebagai bagian dari budaya masyarakat adalah hasil interaksi antara manusia dengan alam pada suatu kondisi lingkungan setempat selama kurun waktu tertentu yang didasari evolusi dari sistem percobaan, pengetahuan tertentu, keindahan serta intuisi (Tiezzi, et.al, 2003). Terkait gagasan hubungan manusia dengan lingkungannya, hubungan antara manusia dan lingkungannya yang bersifat saling menyesuaikan. Konsep ini mengarah pada limitasi atau pembentukan perilaku alternatif berupa kesesuaian perilaku. Nilai penting kearifan lokal dalam budaya sebagai nilai yang telah terfiltrasi secara menyeluruh dari pengalaman masyarakat, sehingga kearifan lokal memiliki
41
kekuatan untuk bertahan dalam evolusi jaman dan bahkan pada konteks tertentu dimana niali-nilai tersebut di dokumentasikan dengan baik menjadi akan menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya. METODOLOGI STUDI Metode yang digunakan dalam studi pustaka ini adalah induktif, sehingga pemakalah mengumpulkan data contoh kearifan lokal di Indonesia sebelum menyimpulkan menjadi teori. Berikut bagan yang menampilkan metode studi:
Source: Trochim (2006)
Gambar 1. Proses Induktif Pada tahapannya, metode dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Observasi: pengumpulan tinjauan pustaka, berupa definisi, lau diikuti dengan data contoh kearifan lokal 2. Pola: menyimpulkan kesamaan dan hubungan nilai-nilai kearifan lokal 3. Hipotesis: dugaan utama yang kemudian dibuktikan 4. Teori: melahirkan teori yangmenjadi intisari makalah dalam kesimpulannya
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN: Pengelolaan Sumber Daya Air Khas Indonesia Pada makalah ini, penulis menyampaikan contoh-contoh pengelolaan sumber daya air yang dijiwai nilai kearifan lokal. Contoh-contoh tersebut didasari oleh budaya yang mengakar pada salah satu, maupun beberapa aspek pengelolaan sumber daya air, antara lain: 1. Subak Sebagai warisan budaya Bali, Subak adalah sistem irigasi tradisional telah dimulai sejak 1071 SM. Subak dinobatkan menjadi World Heritage oleh UNESCO sejak 2012 ini mendeskripsikan Subak sebagai bentuk organisasi demokratis dimana petani bertemu secara teratur dalam mengendalikan pembagian air, koordinasi masa tanam, dn merencanakan konstruksi serta pemeliharaan kanal dan dam, serta mengorganisasi ritual sesajen dan festival pura (Kasryno, et.al, 2003). Dengan
42
menganut filosofi Tri Hita Karana (manusia-Tuhan, manusia-manusia, manusiaalam), dimana terjadi keseimbangan antara: a. Parahyangan: aktivitas religius di pura b. Pawongan: keberadaan organisasi subak, implementasi peraturan (awig-awig), konsep proposional pembagian air (konsep tektek), masa tanam, mengelola pinjaman air. c. Palemahan: mengelola sumber air dan lingkungan berdasar pada konsep keberlanjutan, mengatasi sedimentasi, desain irigasi didasarkan pada konsensus petani, aktivitas pertanian juga berdasarkan konsensus, dalam sistem subak setiap blok yang dimiliki satu pemilik hanya punya 1 inlet dan 1 outlet, sehingga dimungkinkan untuk meminjam air. 2. Pranata Mangsa Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda), Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Bagan berikut menunjukkan pembagian mangsa dalam satu tahunnya:
Sumber: Wiriadiwangsa, 2005
Gambar 2. Kalender Pranta Mangsa
43
Penjelasan Pranata Mangsa dalam setahun (Wiriadiwangsa, 2005): a. Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija. b. Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua. c. Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija. d. Kapat (Kaopat) 18/19 September - 13/14 Oktober. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. e. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda. f. Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah. g. Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur. h. Kawolu (Kadalapan) 2/3 FebruariMusim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit. i. Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi. j. Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering. k. Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya. l. Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tandatanda udara dingin di pagi hari. Catatan: Sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100) Pranata Mangsa menyimpan pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan berkah alam (Sindhunata, 2008). Pranatamangsa juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman hidupnya dengan alam. Tujuannya adalah manusia belajar bagaimana selanjutnya menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam. Dengan Pranata Mangsa, dunia pertanian di Jawa pernah mengalami kemajuan pesat. Pranata Mangsa pada dasarnya merefleksikan sikap hidup petani yang manyatu dengan alam (manunggal atau nyawiji). Sikap hidup menyatu dengan alam akan membuat petani memahami watak dan perilaku alam. Keseimbangan alam dan manusia terjadi dengan adanya kebahagiaan yang dibagikan dari alam kepada manusia dan sebaliknya. 3. Pengawetan telaga Contoh lain adalah pada telaga/danau di Gunung Kidul, yaitu pada Telaga Omang dan Ngloro. Pada kedua telaga ini masyarakat setempat menerapkan wewaler (larangan) yang harus ditaati semua orang: 1. Larangan menebang pohon-pohon sekitar telaga 2. Larangan mengambil air di telaga jam 19.00-24.00 3. Larangan memancing ikan sebelum panen (musim kemarau) 4. Larangan membuang sampah di sekitar telaga
44
Larangan ini pada prakteknya mampu melestarikan Telaga Omang, yang dipercaya juga memiliki penunggu, berupa makhluk halus berupa buaya putih dengan lidah berbatu akik merah dan ular. Namun, pada Telaga Ngloro laranganlarangan ini dilanggar sehingga telaga tersebut tidak lagi lestari, pohon-pohonnya gundul, airnya berkurang, kotor, dsb. Ini menunjukkan, bahwa pada masyarakat yang masih mempercayai nilai kearifan lokalnya, kecendurangan kelestarian lingkungan justru terjaga. 4. Upacara merti Pada umumnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah dilimpahkannya sehingga warga masyarakat bisa mendapatkan panen yang baik dan keselamatan dari lingkungan sekitar kepada masyarakat. Disamping itu juga merupakan permohonan kepada Tuhan agar seluruh warga selalu dalam lindungan-Nya. Mata pencahariannya dapat berhasil, khususnya petani dengan hasil panennya yang baik dan dapat hidup aman dan tentram. Upacara Merti Bumi di Dusun Tunggul Arum dan Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelangp dari (dikutip dari suaramerdeka.com) pada hakikatnya merupakan upacara bersih dusun yang merupakan tradisi warisan leluhur dari waktu ke waktu. Upacara Merti Bumi itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu “Petri” yang berarti memetri (memelihara) dan “Bumi” (tanah) sehingga apabila kedua kata tersebut dirangkai, mengandung pengertian memelihara bumi, menjaga dan melestarikan dengan sebaik mungkin. Dengan masuknya agama Islam pada daerah ini, maka upacara ini kemudian banyak diwarnai oleh ajaran Islam. Sifat tradisional masyarakat desa tampak dalam sikap hidup masyarakat sehari-hari yang mana sifat gotong royong, tolong menolong masih dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat. Corak hidup masyarakat yang demikian ini menunjukkan corak komunal dari masyarakat desa dan sesuai dengan sifat komunal serta gotong royong dari kehidupan masyarakat desa, yang juga menunjukkan sifat dan ciri tradisional masyarakat desa yaitu suasana demokratis. Hal ini terbukti bahwa sebelum mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan tertentu selalu diawali dengan mengadakan musyawarah, sehingga segala tindakan adalah merupakan hasil keputusan musyawarah bersama dengan seluruh warga masyarakat. Masyarakat melakukan doa bersama untuk memohon keselamatan dan kemurahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai wujud syukur, warga juga mengkirab hasil bumi warga seperti salak, durian, mangga, tomat dan berbagai sayur mayur. Hasil bumi ini dibentuk gunung-gunungan dan dibawa menggunakan tandu sehingga terlihat menarik. Ada juga nasi tumpeng besar yang diberi berbagai macam sayur dan ayam “ingkung”. Tumpeng ini dibawa sejumlah pria berbadan tegap dengan pakaian tradisional. Di belakang mereka, ratusan gadis desa dengan menggunakan pakaian muslim turut mengikuti kirab. Barisan kirab ini diakhiri dengan parade kesenian tradisional Jathilan. Air suci dari umbul/tuk/mata air dibagikan untuk memberikan kesuburan pada lahan. Sementara berbagai macam hasil bumi juga dibagikan kepada masyarakat. Ribuan
45
warga yang sudah menunggu kemudian saling memperebutkan hasil bumi tersebut. Mereka percaya siapa yang mendapatkannya akan diberi panen yang baik. 5. Tudang Sipulung Sejarah tudang sipulung atau duduk bersama, dahulu digunakan untuk mendiskusikan permasalahan pemerintahan antara masyarakat dan pimpinan kerjaaan Bugis di Sulawesi Selatan. Awalnya kerajaan Cinnotabi yang melaksanakan kegiatan ini yang kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Wajo (abad ke-15) yang kemudian meneruskan dengan penetapan jadwal tanam padi. Kegiatan ini dituntun oleh seorang ‘pintar’(pappananrang) yang meramalkan cuaca. Ramalan didasarkan pada tuntunan (lontara) dengan pertimbangan iklim dan kondisi lingkungan (geografis), tanggal 1 Muharam (pattaungeng), astronomi, dan musim buahbuahan. Berikut penjelasan dasar ramalan tersebut: a. Kondisi geografis Pada posisi geografis Wajo, angin berhembus dari Selat Makasar, sehingga musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. Sementara pada April sampai September, angin berhembus dari timur. Selain itu, area tertentu hanya memiliki musim hujan yang pendek. b. Tanggal 1 Muharam Pada pertimbangan ini, jatuhnya tanggal 1 Muharam pada hari apa menentukan baik tidaknya panen tahun tersebut. Misalkan apabila jatuh pada hari Alif (Selasa), Isen (Senin), dan Wau (Minggu), maka panen biasanya bagus. Sedangkan untuk hari Jin (Kamis) dan Ba (Rabu), panen sangat sedikit, terjadi pertumpahan darah, maupun wabah hama. Sementara pada sisanya, hari Ha (Sabtu), Daleng Riolo (Kamis), Daleng Rimonri (Jumat), panen berkurang. c. Astronomi Penampakan bintang tertentu pada tanggal penentuan menunjukkan arti tertentu. Bintang yang dikenal antara lain Walue, Salapae, Lambarue, Worangporonge, Warae Pampule Riolona Tanrae, Pampulo Rimonrinna Tanrae, Manue, lalu tambahan Tengngassoi worong-woronge dan Tanrae. Masing-masing bintang hanya timbul pada tanggal dan waktu tertentu. Misalkan apabila Bintang Walue tampak pada tanggal 1 sampai 7 Februari dalam posisi paralel, berarti sebaiknya dihindari transaksi di sawah. Contoh lain, Tengngassoi Tanrae tampak pada 2729 September, berarti petani direkomendasikan menanam padi ganduh (curah hujan tinggi) atau palawija (curah hujan rendah). d. Musim lainnya Musim buah jambu klutuk dilihat apakah berulat atau tidak, untuk menentukan persediaan pestisida. Musim bunga mangga, apabila berbunga banyak, padi pun akan panen banyak. Musim pasang tinggi pada pantai, menunjukkan musim penghujan dan panen baik.
46
Praktek tudang sipulung menunjukkan proses demokratis masyarakat Wajo. Kegiatan ini menjadi dasar penentuan masa tanam dan masa tangkap ikan. Walaupun pada awalnya praktek ini dilaksanakan pada daerah sawah tanpa sistem irigasi, sampai sekarang praktek ini diimplementasikan pada sawah tadah hujan dan sawah beriirigasi pada Kabupaten Wajo. Nilai-Nilai Yang Perlu Dikaji Penulis dalam makalah ini baru memaparkan sedikit contoh kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air, namun sebaiknya semakin banyak nilai yang dikaji, semakin baik. Adapun ada beberapa syarat nilai yang perlu dikaji antara lain: 1. Bersifat mendukung kelestarian dan menghormati keseimbangan alam 2. Bernilai positif terhadap pengelolaan sumber daya air 3. Bersifat melengkapi ilmu modern Kumpulan nilai kearifan lokal terkait pengelolaan sumber daya air merupakan cara menghormati kebudayaan setempat dan sebaiknya menjadi pedoman dalam pengelolaan sehingga dapat bersinergi dengan partisipasi masyarakat setempat. Apabila kearifan lokal ini semakin lengkap dikaji, bukan tidak mungkin, tercipta partisipasi masyarakat yang lebih mendalam dalam pengelolaan sumber daya air. Utamanya di Indonesia dengan berbagai suku dan keadaan geografisnya, masing-masing tentunya memiliki kearifan yang dapat menjadi sekuat subak, diakui sebagai world heritage, apabila bisa kita angkat sebagai nilai yang positif dan masih diberlakukan dalam pengelolaan oleh masyarakat setempat. Hanya saja keterbatasan kita dalam mengkaji nilai-nilai ini sebagai pengelola sumber daya air, harus dibarengi dengan tenaga ahli sosial kemasyarakatan sehingga lebih tajam dan dapat menganalisis bagaimana nilai tersebut dapat diejawantahkan kembali dalam kehidupan sehari-hari. KESIMPULAN Tujuan penulisan makalah adalah sebagai titik awal studi yang lebih intensif sebagai modal bagi kehidupan lestari yang berlandaskan kearifan lokal. Dari telaah studi pustaka yang dipaparkan penulis, beberapa kesimpulan dapat diambil berkaitan dengan perlunya kajian tentang kearifan lokal: 1. Masih banyak kearifan lokal yang belum terdokumentasi, hal ini disayangkan mengingat kekayaan budaya bangsa kita memerlukan kepedulian kita sebagai pemilikinya untuk melestarikan nilai-nilai tersebut dan mewariskannya ke generasi penerus 2. Nilai-nilai kearifan lokal harus dicari kelogisannya sehingga bisa diterima masyarakat modern dan dapat dibuktikan secara keilmuan agar dapat berkembang menjadi bidang ilmu tersendiri
47
3. Pengelolaan sumber daya air melibatkan kearifan lokal, umumnya berjalan dengan lebih baik, karena masyarakat setempat sudah menganut kepercayaan tersebut sejak lama 4. Keseimbangan alam dan manusia dalam konteks pelestarian alam adalah hal yang dicita-citakan sistem nilai pada kearifan lokal, sehingga pada prakteknya walaupun masih diikuti oleh praktek klenik, kebudayaan yang mengakar merupakan hal yang harus tetap dipelihara sebagai kekayaan budaya bangsa. 5. Penelitian dan inventarisasi lebih lanjut diperlukan pada masing-masing sistem kemasyarakatan tertentu untuk menentukan kearifan lokal yang dapat diadaptasi untuk kesuksesan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. REFERENSI Abdur Rozaki, 2005. Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal, http: www. ireyogya.org/adat/ Dedik Wiriadiwangsa, 2005. Pranata Mangsa, Masih Penting untuk Pertanian. Tabloid Sinar Tani, 9 – 15 Maret 2005 Faisal Kasryno, et. al, 2003. Local Wsidom of the Subak System in Bali, dalam Subak dan Kerta Masa, Yayasan Padi Indonesia, Jakarta Sessu Sennang, 2010. A Tradition of Tudang Sipulung Deliberation in agricultural and Fisheries Aspects dalam Prosiding Seminar on ICID, October 10-16, 2010, Yogyakarta Sindhunata, 2008. Ana Dina Ana Upa; Pranata Mangsa, Bentara Budaya, Yogyakarta Sulastriyono, 2008. Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Telaga Omang dan Ngloro, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, Mimbar Hukum volume 21, nomor 2, Juni 2009, Halaman 203408 Tiezzi, et.al, 2003. Extending the environmental wisdom beyond the local scenario: eco-dynamic analysis and the learning community. Jurnal Transactions on Ecology and the Environment vol 63,WIT Press, www. witpress.com, ISSN 1743-3541 William M. K Trochim, 2006. Deduction & Induction, Deductive and Inductive Thinking. http://www.socialresearchmethods.net/kb/dedind.php
Sub Tema 2 Konservasi Tanah dan Air dalam Menghadapi Perubahan Iklim
49
Operator Morpho-Hidrologi Pada DEM dan Peta Digital untuk Pemetaan Awal Potensi PLTA dan PLTMH Studi Kasus DAS Mamberamo Tunggul Sutan Haji dan Dedi Cahyadi Teknik Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Brawijaya
[email protected],
[email protected]
Intisari Energi air yang dibangkitkan dari PLTA atau PLTMH merupakan energi terbarukan yang mempunyai banyak kelebihan jika dibandingkan dengan energi terbarukan yang lain. Indonesia yang memiliki lebih dari 5000 DAS dengan curah hujan yang tinggi dan topografi berbukit sampai bergunung mempunyai potensi energi ini sangat berlimpah, karena potensi energi ini dipengaruhi oleh besar dan kontinuitas aliran air permukaan, dan adanya beda tinggi untuk terjunan aliran air tersebut. Sangat disayangkan potensi energi yang berlimpah ini baru sebagian kecil yang telah dimanfaatkan dan dibiarkan hilang dan bahkan merugikan manusia berupa daya rusak air dan menjadi bencana banjir atau tanah longsor. Untuk dapat mengetahui besarnya potensi sebaran energi air secara spasial, serta pemanfaatan secara optimal dan adanya usaha-usaha pelestariannya perlu adanya pengelolaan Sumber Daya Energi ini dengan baik. Oleh karena perlu peranti lunak yang berupa algoritma-algoritma atau fungsifungsi untuk analisis potensi energi air dengan menghitung besar aliran, menentukan potensi tampungan dan tinggi terjunan pada suatu lokasi tertentu. Operator-operator yang harus disiapkan untuk analisis potensi energi air ini meliputi:1) penentuan daerah aliran sungai dengan data masukan titik outlet; 2) penentuan potensi waduk atau tampungan (storage); dan 3) perkiraan beda tinggi yang dapat digunakan untuk jatuhnya air pada pipa pesat. Ketiga operator utama ini akan dapat memberikan informasi untuk dianalisis lebih lanjut dalam suatu model matematik untuk mendapatkan potenti energi air dalam bentuk energi listrik. Setelah mengidentifikasi dan menganalisa parameter-parameter yang dibutuhkan, maka dilanjutkan pada tahap terakhir yaitu uji coba dan penerapan operator untuk pemetaan potensi energi air di DAS Mamberamo. Penerapan di SubDAS Mamberamo-Vanderwall dengan peta RBI sekala 1:50.000 terdapat 6 potensi lokasi PLTA dengan tenaga listrik berkisar 50 s/d 287 MWatt dan total 964 MWatt. Lebih lanjut piranti lunak yang dikembangkan ini dapat digunakan untuk membantu pengambil keputusan dalam pengelolaan dan perencanaan sumber energi air. Kata kunci: operator morpho-hidrologi, DEM, peta digital, energi air DAS Mamberamo
50
PENDAHULUAN Teknologi Sistem Informasi Geografi yang mengandalkan komputer terus berkembang sejalan dengan berkembangnya teknologi komputer pada saat ini. Pemakaian SIG untuk pengadaan peta digital di Indonesia sudah sangat meluas, walaupun belum diikuti pemanfaatan peta-peta tersebut untuk keperluan pemodelan lingkungan khususnya pemodelan hidrologi.Hal ini terutama selama ini SIG dan pemodelan hidrologi tumbuh secara terpisah (Maidment, 1996), sehingga program komputernya mempunyai struktur data, fungsi-fungsi, dan metode untuk masukan dan keluaran informasi keruangan yang sangat berbeda.Perbedaan-perbedaan ini mempersulit mengkaitkan keberadaan SIG dan model-model hidrologi. Beberapa kesulitan ini dapat diatasi dengan penulisan ulang model-model hidrologi menjadi suatu bentuk dimana model-model itu dapat dilekatkan (embedded) dengan SIG sehingga dapat memanfaatkan data yang berstruktur data SIG secara langsung. Perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Model Permukaan Digital (Digital Terrain Model – DTM atau sering juga disebut Digital Elevation Model - DEM) saat ini sesungguhnya telah memungkinkan untuk melakukan pengamatan fenomena alam di permukaan bumi melalui pemodelan spasial (Sulistiyo, 2000). DTM sangat berperan untuk melakukan pemodelan relief bumi dan SIG dengan kemampuan yang telah dikembangkan dapat dimanfaatkan untuk analisis spasial dalam mempresentasikan keadaan yang sedang diamati ke dalam suatu perhitungan numerik. Limpasan air yang merupakan kompunen sistem siklus hidrologi di atas permukaan bumi sangat dipengaruhi oleh bentuk permukaan lahan itu sendiri. Oleh karena itu DTM yang merupakan gambaran relief permukaan lahan dapat digunakan sebagai alat bantu memodelkan perilaku aliran permukaan. Untuk memudahkan pemakainan dalam model tersebut DTM perlu diekstraksi dalam parameter-parameter arah aliran dan kemiringan atau kelerengan. Bagaimana metode mengekstraksi dan penerapannya dalam sumber daya air akan dibahas dalam tulisan ini. “Operator Morfologi“ merupakan pengembangan lanjut dari teknologi filter yang dikenal pada image processing dalam teknik remote sensing. Berbeda dengan filter yang hanya bekerja pada citra dua dimensi, operator morfologi bekerja pada DTM dan digital map yang bersifat tiga dimensi (Anhar, 1999). Masih sedikit peneliti di dunia internasional apalagi di Indonesia yang menekuni masalah ini. Bahkan di Indonesia sendiri, teknologi DTM dan Digital Map saja masih sangat jarang dijadikan bahan kajian.Oleh karena itu penulis ingin mengembangkannya sekaligus “operator morfo-hidrologi” untuk otomatisasi ekstrasi propertaspropertas morphologi dan hidrologi yang dapat memberi gambaran potensi aliran permukaan di suatu Daerah Pengaliran Sungai. Operator morfo-hidrologi sekaligus mengoperasikan algoritma dan fungsi-fungsi morphologi dan hidrologi pada DTM dan peta digital Makalah ini bertujuan mengulas, mempelajari dan menerapkan algoritma pengolahan DTM dan operator morpho-hidrologi untuk otomatisasi penentuan potensi aliran permukaan secara spasial di suatu Daerah Pengaliran Sungai serta membahas penerapan dari metode yang dikembangkan, yang dapat dibagi dalam
51
tiga cakupan berbeda. Pertama, DTM dan pengolahannya mencakup pendekatan utama evaluasi DEM dan hubungannya dengan algoritma yang digunakan untuk pengolahannya mulai dari penentuan ukuran grid sampai terbentuk jaringan sungai. Kedua, Operator morpho-hidrologi untuk otomatisasi penentuan propertas hidrologi Daerah Tangkapan Air. Dan ketiga, kajian penerapan metode dan operator yang dikembangkan untuk model hidrologi dan sistem potensi sumberdaya air di Daerah Pengaliran Sungai Mamberamo. TINJAUAN PUSTAKA Model Permukaan Digital Informasi topografis merupakan informasi dasar dalam pemodelan fenomena pada permukaan bumi.Ada beberapa metode yang telah dikembangkan untuk menggambarkan permukaan bumi, salah satu diantaranya yang paling representatif untuk keperluan pemodelan adalah DTM.Pada metode ini setiap bagian permukaan bumi diwakili oleh sebuah area dengan luasan tertentu yang dapat dilekati berbagai macam atribut yang diperlukan dalam pemodelan.Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya analisis numerik dan pemodelan (Borrough, 1988). Terdapat beberapa metode untuk mempresentasikan bentuk permukaan bumi menggunakan DTM, diantaranya model grid dalam bentuk bujursangkar, model TIN (Triangulated Irregular Network) dalam bentuk segitiga tidak beraturan dan terakhir adalah cellular automata (CA) yaitu dalam bentuk segitiga, segiempat atau segienam beraturan (H. Nugroho, 2000). Menurut Laurini (1992), dari beberapa metode yang ada dalam penggambaran relief bumi, yang paling banyak digunakan adalah bentuk bujursangkar.Hal ini disebabkan faktor kemudahan dalam penghitungan dan visualisasinya, apabila dibandingkan dengan model lainnya. DTM dapat didefinisikan sebagai penggambaran relief bumi dengan sebuah model di dalam komputer.Banyak hal bisa diselesaikan cukup dengan DTM, misalnya untuk pemodelan aliran lahar, simulasi banjir sederhana, analisis propagasi gelombang radio untuk telepon seluler hingga untuk klasifikasi lahan berdasarkan kelerengan (slope) dan arah sinar matahari (aspect).DEM juga bisa dipakai untuk visualisasi 3D atas suatu daerah yang baru direncanakan, untuk menghitung tanah yang harus dipindahkan dalam suatu proyek jalan (cut and fill) atau untuk optimasi lokasi PLTA.Terkadang tampilan visualisasi 3D itu sendiri yang disalahmengerti sebagai DEM (Anhar, 2000). Untuk keperluan pemetaan digital, DEM mutlak diperlukan untuk memproduksi kontur dan hill-shading secara otomatis, serta untuk proses ortho-engine, baik untuk foto udara, citra satelit maupun radar. Pengolahan DTM Ada dua pendekatan yang digunakan untuk melukiskan/menggambarkan jaringan drainase dan DTM raster.Pertama mencakup evaluasi elevasi lokal dalam jendela kecil yang dipindahkan ke DTM untuk mengidentifikasi kecekungan lahan (Peucker dan Douglas, 1975).Sel-sel pada dasar daerah itu diambil menjadi kompunen saluran drainase.Pendekatan ini digunakan oleh Band (1986) dalam tahap
52
pertama pemisah daerah tangkapan topografis-nya untuk menggambarkan saluran air. Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini hanya membangkitkan (generate) segmen jaringan tak kotinyu yang harus dihubungkan kemudian (O’Callaghan dan Mark, 1984), dan barangkali perlu pemangkasan dan penjarangan untuk menghasilkan pola jaringan yang masuk akal(Douglas, 1986). Masalah ini menjadi lebih nyata untuk muka tanah dengan topografi dan relief lebih datar (Band, 1986) yang menjadi kendala dalam penerapannya. Pendekatan kedua dalam penentuan jaringan sungai dari DTM raster didasarkan pada simulasi aliran limpasan yang melintas pada permukaan tanah.Pendekatan ini diperkenalkan oleh O’Callaghan dan Mark (1984). Pendekatan ini secara esensial mencakup pengidentifikasian aliran limpasan kearah kemiringan paling curam antara masing-masing sel DTM raster dan sel-sel tetangganya. Pendekatan ini dianggap suatu pendekatan yang lebih baik karena pendekatan ini mengandalkan analogi limpasan untuk menetapkan lintasan aliran.Oleh karena itu pendekatan ini dipakai untuk pengembangan algoritma yang disajikan disini. Beberapa sub-bab berikut akan menjelaskan tentang algoritma untuk evaluasi DEM. 1. Agregasi DEM Sebelum DTM diolah lebih lanjut, perlu ditentukan ukuran agregasi DTM. Penentuan ukuran ini penting untuk penyesuaian dengan kapasitas memori dan kecepatan komputer. Penyediaan perubahan ukuran grid ini memungkinkan pengguna dapat merubah ukuran sel grid yang lebih kasar supaya tidak terjadi gambatan/kesulitan proses pengolahan lebih lanjut karena keterbatasan memori komputer, atau untuk meningkatkan kecepatan pemrosesan DEM yang besar. 2. Perlakuan depresi Algoritma depresi mengidentifikasikan dan menggambarkan semua daerah flat dan depresi tertutup dalam DEM. Algoritma ini memodifikasi DEM dengan meningkatkan nilai elevasi dalam masing-masing daerah depresi tertutup sama dengan elevasi “outlet-lokal”-nya. Depresi bersarang tidak mengalami kesulitan spesifik dan akan diisi dengan benar dengan algoritma ini. Pengisian depresi ini diperlukan untuk definisi yang jelas dari jaringan drainase.Prosedur analitik ini digunakan secara esensial oleh Martz dan de Jong (1988). DEM di-scan untuk menemukan sink. Sink didefinisikan sebagai sel-grid yang delapan sel sebelahnya tidak berelevasi lebih lebih rendah. Setelah sel sink ini ditandai, scan sel-sel tetangganya. Jika kemiringan terbesar kearah sel sink maka tandai pula sebagai sel sink untuk sel tersebut. Demikian seterusnya sampai tidak ada lagi penambahan sel sink. Tentukan sel “outlet-lokal”untuk masing-masing “blok sel sink”.Sel outletlokal adalah sel yang menempel blok sel sink tetapi arah kemiringan tidak kearah blok sel sink, tetapi ke arah luar atau berlawanan. Rubah nilai elevasi dari sel-sel sink sama dengan elevasi sel outlet-lokal-nya, maka blok sel sink akan menjadi “blok flat”. Supaya dapat menyatakan arah aliran, blokflat harus dibuat miring dengan memperhitungkan elevasi selsel sekitar outlet-lokal. Besarnya pemiringan flat ini disesuaikan dengan resolusi vertikal dari DEM yang dipunyai.Untuk daerah
53
tangkapan yang agak bergelombang dengan resolusi vertikal 1 meter dapat dibuat miring 0.1 meter untuk tiap panjang grid. Untuk selanjutnya DEM hasil modifikasi karena proses perataan dan pemiringan ini disebut sebagai “DEM modifikasi”. METODOLOGI STUDI Model Konseptual Energi Air Secara teknis energi listrik yang dapat dihasilkan suatu generator pembangkit listrik tergantung dari adanya aliran air dengan debit dan head air yang menggerakkan turbin air. Oleh karena itu besar potensi energi air sangat dipengarui oleh besar sumber daya air terutama air permukaan yang tersedia mengalir secara kontinu. Model konseptual potensi sumber energi dapat dilihat pada Gambar 9.Besarnya air permukaan yang tersedia tergantung dari besarnya wilayah daerah tangkapan atau yang disebut Daerah Aliran Sungai dan besarnya hujan di DAS tersebut.Air hujan yang fluktuatif sepanjang tahun dan karakteristik DAS sangat mempengaruhi besarnya debit andalan yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Salah satu cara untuk tersedianya sumber air yang kontinyu adalah dengan sepanjang tahun sehingga air dapat dimanfaatkan secara optimal adalah dengan pembuatan tampungan air berupa embung atau waduk. Dari uraian di atas, potensi energi air dipengaruhi oleh tiga peubah utama, yaitu besarnya potensi permukaan, potensi tampungan dan potensi jatuhan (head)
Gambar 1. Model Konseptual Potensi Sumber Energi Air Penentuan Arah Aliran Algoritma ini men-scan tiap-tiap sel dari DEM modifikasi dan menentukan arah kemiringan paling curam dari sel yang bersebelahan.Metode yang digunakan “metode D8” (deterministic eight-neighbors) oleh Fairchild dan Leymarie (1991). Dalam metode ini, kemiringan relief pada tiap-tiap sel bersebelahan dihitung dengan jarak horizontal lebih besar untuk sel diagonal, dan kode arah yang menunjukkan kemiringan tercuram dimuatkan dalam sel itu.Jika kemiringan ke arah kemiringan paling curam dijumpai lebih dari satu, maka dipilih sembarang ke arah sel pertama
54
yang dijumpai dalam scan secara baris per baris. Bilamana suatu sel tetangga tak tentu (barangkali, nilai elevasinya hilang atau bagian luar dari grid DEM), kemiringan ke arah sel tersebut diasumsikan paling curam dari sel tetangga lain yang mempunyai nilai tentu. Oleh karena itu arah aliran pada titik tepi DEM akan mengarah ke luar. Padahal yang sebenarnya tidak selalu demikian. Oleh karena itu untuk keperluan praktis, data elevasi seharusnya tersedia untuk area yang lebih luas dari pasu drainase yang akan diteliti. Hasil akhir dari algoritma arah aliran ini adalah suatu array yang memuat arah aliran semua sel grid. Penentuan Daerah Tangkapan Air Algoritma ini menentukan “Daerah Tangkapan Air” (DTA) untuk tiap-tiap sel DEM. Maksudnya meliputi daerah mana saja yang apabila hujan, airnya mungkin sampai pada sel yang dimaksud dengan menggunakan propertas arah aliran yang telah dibangkitkan (generated) sebelumnya. Dapat dipilih sel sembarang dalam grid DEM itu untuk diketahui Daerah Tangkapan Airnya.Mula-mula sel itu mendapat aliran dari satu atau lebih yang bersebelahan yang dapat diuji berdasarkan propertas arah aliran sel tersebut. Sel tersebut menjadi sel terpilih yang dapat ditandai dengan nomer sel yang dipilih pertama. Sel terpilih tersebut dengan cara yang sama akan dapat aliran dari sel yang berdekatan yang dapat diuji dengan propertas arah aliran sel tetangganya. Demikian seterusnya sampai dijumpai sel terpilih yang merupakan sel yang tidak menerima aliran dari sel sebelahnya.Sel terpilih tersebut merupakan batas Daerah Tangkapan Air untuk sel terpilih pertama atau merupakan puncak/ punggung bukit.Ilustrasi algoritma ini dapat dilihat pada Gambar 1. Penentuan aliran hilir Kemana aliran akan menuju dari suatu sel tertentu merupakan kebalikan dari penentuan Daerah tangkapan air. Dari sel yang dimaksud hanya akan mengalir ke salah satu sel sebelahnya. Demikian seterusnya sampai mencapai sel paling luar dari suatu grid DEM atau sampai pada muara Penentuan Jaringan Sungai Tiga tahap diperlukan untuk menentukan jaringan sungai secara penuh.Pertama, jaringan sungai dalam batas Daerah Tangkapan Air yang ditandai sebelumnya harus teridentifikasi. Kemudian, jaringan ditutuh (dipangkas) pada titik-titik pertemuan (join) antara link-link jaringan, dan terakhir, link jaringan diberi order menurut sistem pengorderan aliran Strahler (Strahler, 1957). Dengan pengorderan jaringan sungai ini membantu evaluasi lebih lanjut dan berguna membantu analisis dalam penerapannya. Suatu Daerah Tangkapan Air minimum diperlukan untuk membentuk saluran sungai.Suatu daerah tangkapan lebih kecil dari nilai ambang (threshold) tidak cukup menghasilkan limpasan permukaan untuk membentuk dan tetap sebagai saluran sungai. Nilai ambang ini tergantung dari antara lain karakteristik kemiringan, propertas tanah, penutupan permukaan, dan kondisi iklim. Nilai ambang ini bisa 1 (satu) hektar atau beberapa ratus hektar.Oleh karena itu jaringan sungai dimulai dari sel yang mempunyai daerah tangkapan lebih dari nilai ambangnya. Untuk
55
tujuan ini keseluruhan sel di-scan dan sel yang mempunyai daerah tangkapan sama dengan atau sedikit lebih besar dari nilai ambangnya ditandai sebagai awal jaringan. Dengan metode penentuan aliran hilir untuk semua sel awal jaringan maka akan dapat ditentukan jaringan keseluruhan jaringan sungai dalam keseluruhan Daerah Pengaliran Sungai. Kemudian dapat dilakukan tahap ordering jaringan sungai.Penjelasan lebih lengkap dari jaringan sungai dan orderingnya ini dapat dilihat pada Sutanhaji (1999). Contoh penerapan penentuan jaringan sintetik DPS Ciliwung Hulu akan disajikan dalam sub-bab lebih lanjut dari tulisan ini. Operator Morpho-hidrologi Yang dimaksud operator disini adalah algoritma-algoritma, fungsi-fungsi atau persama-persamaan.Morpho-hidrologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk permukaan tanah dan pengaruhnya pada aliran sejumlah air di atasnya. Operator morpho-hidrologi yang akan dibahas disini merupakan pengembangan algoritma atau fungsi atau persamaan yang dapat membangkitkan atau mengekstraksi data DEM menjadi propertas-propertas morpho-hidrologi secara otomatis yang dapat mengilustrasikan potensi aliran permukaan secara spasial. Propertas yang dapat diperoleh dari implementasi operator ini meliputi Batas dan Luas Daerah Tangkapan Air; semua atribut yang melekat pada masing-masing sel seperti ketinggian, kemiringan, koefisien runoff, curve number, sifat tanah, arah aliran, curah hujan; Diagram Time-Area dan Hidrograf Satuan; dan analsisis spasial antara DTA dan peta digital yang lain. Semuanya dapat dilakukan secara otomatis oleh operator morpho-hidrologi yang dikembangkan dengan masukan titik outlet. Masukan outlet ini dapat dilakukan dengan memberikan event “mouse down” pada tayangan peta. a. Lokasi Outlet Sel yang dipilih diantara sel-sel dalam grid DEM diidentifikasi sebagai “sel outlet”, sel dimana air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan akan mengalir melaluinya. Lokasi sel ini harus dikonversi dari koordinat peta menjadi koordinat grid untuk mengidentifikasi daerah tangkapan dan aliran hilir. Dengan memberikan event mouse down pada sel outlet tersebut maka akan teridentifikasi sel yang termasuk dalam daerah tangkapannya dengan menggunakan metode algoritma penentuan Daerah Tangkapan Air yang dibicarakan pada sub-bab sebelumnya. Sel outlet yang berbeda akan memberikan daerah tangkapan dan nilai propertas terkandung yang berbeda pula. b. Luas dan batas DTA Luas Daerah Tangkapan Air dapat ditentukan dengan cara menghitung cacah sel grid yang teridentifikasi sebagai sel DTA dikalikan dengan luas masing-masing sel grid. Kalau grid yang digunakan merukuran 100 m x 100 m, maka luas DTA adalah cacah sel DTA dikalikan dengan 10000 m2.
56
Batas terluar dari sel terluar merupakan batas DTA yang merupakan garis yang saling berhubungan pada titik-titik sudut grid yang dapat dijadikan sebagai poligon tertutup dari DTA. Poligon tertutup ini merupakan “zone DTA” yang dapat disimpan sebagai data SIG berstruktur vektor. Sehingga dapat dianalisis spasial dengan peta-peta dijital vektor yang lain. Misalnya untuk jawab dari penanyaan ‘kecamatan mana saja yang termasuk DTA yang teridentifikasi’. c. Penyebaran Hujan Data hujan yang terukur pada titik-titik stasiun hujan dapat disebarkan dan dimuatkan nilainya pada keseluran sel dalam grid DEM. Salah satu cara paling populer adalah dengan metode Thiessen. Penalaran metode Thiessen adalah bahwa estimasi terbaik ketiadaan informasi adalah nilai observasi pada jarak proksimal terdekat atau tetangga Euclide terdekat, seperti dipaparkan dengan formula : d min =
(x
− x j ) + (y 0 − y j ) ........... j = 1,...., n 2
0
2
........................................... (1)
Dimana dmin adalah jarak minimum antara dua titik (xo,yo) dan stasiun observasi (j = P,Q, . . ., V), (Gambar 2)
Gambar 2. Metoda ‘Poligon Thiessen’. Nilai interpolasi titik 1 dan 2 = nilai S, 2=V dan 4=Q. Data hujan dalam sel grid yang terlingkup dalam DTA dapat digunakan untuk menentukan nilai rata-rata hujan dalam DTA yang teridentifikasi. d. Nilai koefisien runoff atau curve number Propertas ini sangat penting dalam menentukan besarnya limpasan permukaan berdasarkan curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah setelah sebagian darinya mengalami abstraksi dan infiltrasi. Nilai dari propertas ini dipengaruhi oleh penggunaan lahan dan jenis tanah yang biasa disimpan dalam struktur data vektor. Untuk keperluan penentuan studi ini, data vektor harus dikonversi dalam data raster sesuai dengan grid DEM. Kemudian dilakukan “skorring” untuk pengkuantitatif-an nilai propertasnya sehingga dapat digunakan untuk menentukan besarnya limpasan berdasarkan air hujan yang jatuh.
57
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Untuk pemahaman dari algoritma dan operator yang dikembangkan, pada kesempatan ini akan dibahas penerapannya untuk DAS Mamberamo-Vanderwall (Gambar 3). DEM didapatkan dari interpolasi titik-titik tinggi teratur (100 m x 100 m) dan garis-garis struktur (breaklines dan riverlines) yang diambil dari Peta Digital Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) skala 1 : 50 000 untuk
Gambar 3. Lokasi studi dan lembar peta DAS Mamberamo-Vanderwall Bendung danVolume Genangan Setelah dilakukan manipulasi, koreksi dan ekstraksi pada DEM DAS Mamberamo-Vanderwall maka didapatkan potensi tampungan setelah dibendung (Gambar 4), hasil visualisasi ini akan digunakan untuk pemodelan hidrologi dan pemetaan potensi energi listrik.
Gambar 4. Bendung dan Potensi Tampungan
58
Setelah bendung dan tampungan tervisualisasikan, selanjutnya dapat diidentifikasi penampang melintang (Gambar 5) untuk mengetahui volume genangan maksimal yang didapat (Gambar 6).
Gambar 5. Penampang Melintang Gambar 5. Menunjukkan bagaimana bentuk cekungan dan estimasi volume atau tinggi genang yang diinginkan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan pembuatan Bendung dan juga memperkirakan panjangnya pengaliran ke turbin.
Gambar 6. Kurva AreaVolume Genangan Pada gambar 6. diketahui bahwa volume maksimal yang bisa ditampung adalah 14x10^9 m3 pada ketinggian 351 meter. Pada langkah selanjutnya, perhitungan Power (P) menggunakan volume tampungan terkecil untuk efektivitas dan fisiensi bendung dan energi listrik yang nantinya dihasilkan. Otomatisasi DTA dan Karakteristiknya Dengan operator yang telah dikembangkan maka dengan memberikan event mouse down pada tayangan peta digitalo dan DTM maka akan teridentifikasi titik outlet pada titik yang dipilih dan kemudian teridentifikasi juga DTA beserta propertas dan karakteristiknya.Ilustrasi tayangan DTA, propertas dan karakteristiknya dapat dilihat pada Gambar 5.
59
Gambar 5. Ilustrasi tayangan DTA, propertas dan karakteristiknya; hasil dari otomatisasi operator morpho-hidrologi Lokasi PLTA Potensial Pada penerapan Operator Morpho-hidrologi yang dikembangkan untuk SubDAS Mamberamo-Vanderwall terdapat 6 titik yang terdapat potensi tampungan dan daerah tangkapan air yang cukup besar yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi listrik (PLTA). Besarnya masing-masing daya yang dapat dibangkitkan oleh masing-masing PLTA potensial dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. PLTA potensial di SubDAS Mamberamo-Vanderwall Potensi PLTA 1 PLTA 2 PLTA 3 PLTA 4 PLTA 5 PLTA 6 Total
2
CA (km ) 684 1414 653 449 1823 946
Vol Waduk 3 Q (m /s) HEAD (m) P (M Watt) (juta m3) 2052 65 450 287 4242 135 158 156 1959 62 110 50 1349 43 350 110 5469 126 290 268 2838 90 140 93 964
KESIMPULAN 1) Algoritma-algoritma yang sering digunakan untuk mengekstrasi DTM menjadi kemiringan, arah aliran dan jaringan sungai serta peng-order-annya dan fungsifungsi hidrologi dapat dikemas sebagai operator morpho-hidrologi yang secara otomatis dapat menghasilkan dan menampilkan propertas dan karakteristik DTA berdasarkan titik outlet yang dipilih.
60
2) Operator morpho-hidrologi yang dikembangkan dapat memberi informasi potensi PLTA meliputi potensi ketersediaan air, potensi tampungan waduk, head dan besarnya daya. 3) Perangkat lunak yang dibuat dapat digunakan sebagai tool pemetaan awal posisi PLTA, dan lebih lanjut dapat digunakan sebagai Sistem Pendukung Keputusan (DSS) Pengelolaan Sumber Energi Air. REFERENSI Arnold, J.G., B.A. Engel, dan R. Srinivasan. 1993. Continuous time grid cell watershed model. Application of Advanced Information Technologies: Effective Management of Natural Resources. ASAE Publication 04-93, 267-78. Beasley,D.B., L.F. Huggins, dan E.J. Monke. 1982. ANSWERS: A model for watershed planning. Transactions of ASAE 23:938-44. Beven, K.J. 1986. Hillslope runoff processes and flodd-frequency characteristics. Dalam Hillslope Processes, edited by A.D. Abrahams, 187-202. Borrough, P.A. 1986. Principles of Geographical Information System for Land Assesment Oxford. Chairat,S. 1993. “Adapting a Physically Based Hydrological Model with a Geographic Information System for Runoff Prediction in a Small Watershed.” Ph.D. diss., Civil Engineering, Purdue University, West Lafayette, Indiana. Chen, Z., D.E. Storm, M.D. Smolen, C.T. Haan, M.S. Gregory, dan G.J. Sabbaugh. 1993. Prioritizing nonpoint source loads for phosphorus with a GRASS modeling system. Proceedings of the Symposium on Geographic Information Systems and Water Resources, 71-78, AWRA. Chow,V.T., D.R. Maidment dan L.W. Mays. 1988. Applied Hydrology, Mc GrawHill,Inc., New York. Demers, M.N. 1977. Fundamentals of Geographic Information Systems. John Wiley & Sons, Inc., New York. Meijerink, A.M., H.A. de Brouwer, C.M. Mannaerts dan C. Valenzuela. 1994. Introduction to The Use of Geographic Information Systems for Practical Hydro logy, International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), The Netherlands. Engel, B.A. 1996. Methodologies for Development of Hydrologic Response Units Based on Terrain, Land Cover, and Soils Data. Dalam GIS and Environmetal Modeling: Progress and Research Issues, diedit oleh Goodchild, M.F., L.T. Steyaert, B.O. Parks, C. Johnston, D. Maidment, M. Crane, dan S. Glendinning, 123-128. Edwards Brothers, Inc., USA. Hession, W.C.,V.O. Shanholtz, S. Mostahimi, dan T.A. Dillaha. 1987. Extensive Evaluation of the Finite Element Storm Hydrograph Model. ASAE Paper No. 87-2570.
61
Hodge, W., M. Larson, dan W. Goran. 1988. Linking the ARMSED watershed process model with the GRASS geographic information system. Proceeding of the Modeling Agricultural, Forest, and Rangeland Hydrology Conference, 501-10. Laurini, R. and D. Thomson. 1992. Fundamental of Spasial Information System, Academic Press Limited, London, UK-San Diego, USA. Maidment, D.R. 1996. Enviromental Modeling Within GIS. Dalam GIS and Environmetal Modeling: Progress and Research Issues, diedit oleh Goodchild, M.F., L.T. Steyaert, B.O. Parks, C. Johnston, D. Maidment, M. Crane, dan S. Glendinning, 123-128. Edwards Brothers, Inc., USA. Moore, I.D., A.K. Turner, J.P. Wilson, S.K. Jenson, dan L.E. Band. 1993. GIS and land surface-subsurface process modeling. Dalam Environmental Modeling with GIS, diedit oleh M.F. Goodchild, 196-230. New York: Oxford University Press. Rewerts, C., dan B.A. Engel. 1991. ANSWERS on GRASS: Integrating a Watershed Simulation with a GIS. ASAE Paper No. 91-2621. Ross, B., D.N. Contractor, dan V.O. Shanholtz. 1979. A finite element model of overland and channel flow for assessing the hydrologic impact of land-use change. Journal of Hydrology 41:1-30. Srinivasan, R. 1992. “Spasial Decision Support System for Assessing Agricultural Nonpoint Source Pollution Using GIS.”Ph.D. diss., Purdue University, West Layayette, Indiana. Sutanhaji, T., B. Sulistiyo.1988. Pemodelan Sistem Informasi Geografis untuk Pemanfaatan dan Pengendalian Banjir.Survey dan Pemetaan Vol XII, No.3 : 1-12. Sutanhaji, T., B. Sulistiyo.1999. Definisi Numerik Jaringan Drainase dan Daerah Pengaliran Sungai Dari Model Elevasi Dijital untuk Model Hidrologi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-8 Mapin, T1-T11. Wolfe, M.L., dan C. Neale. 1988. Input Data Development for a distributed parameter hydrologic model (FESHM). Proceeding of the Modeling Agricultural, Forest, and Rangland Hydrology Conference, 462-69. Wood, E.F., M. Sivapalan, K.J. Beven, dan L. Band. 1988. Effects of spatial variability and scale with implications to hydrologic modeling. Journal of Hydrology 102:29-47. Yoon, J., G. Padmanabhan, dan L.H. Woodbury. 1993. Linking agricultural nonpoint pollution model (AGNPS) to a geographic information system (GIS). Proccedings of the Symposium on Geographic Information Systems and Water Resources, 79-87. AWRA
62
Indikator Dan Indeks Kekeringan untuk Alokasi Air dalam Mendukung Ketahanan Pangan Waluyo Hatmoko Pusat Litbang Sumber Daya Air
[email protected]
Intisari Kekeringan merupakan bencana yang kerap terjadi dan menimbulkan banyak kerugian. Berbeda dari bencana alam lainnya, kekeringan bersifat merayap, berakumulasi secara lambat, tidak jelas awal dan akhirnya, sehingga sulit mendefinisikan secara tepat dan berlaku umum mengenai tingkat keparahannya. Untuk itu diperlukan adanya indeks kekeringan, yang merupakan fungsi dari indikator kekeringan yang diperoleh di lapangan. Indeks kekeringan ini digunakan untuk pengambilan keputusan dalam alokasi air dan pengelolaan kekeringan. Makalah ini menyajikan perkembangan berbagai indikator dan indeks kekeringan yang lazim digunakan di dunia, yang kemudian dikaji untuk mendapatkan indikator dan indeks kekeringan yang sesuai untuk mendukung pengelolaan alokasi air dalam menunjang ketahanan pangan di Indonesia. Disimpulkan bahwa bencana kekeringan dapat mengganggu ketahanan pangan nasional, dan pengelolaan kekeringan yang didasarkan pada indeks dan indikator kekeringan akan mengurangi kerugian akibat kekeringan. Untuk kekeringan meteorologi telah disepakati masyarakat dunia untuk menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI), sedangkan untuk kekeringan hidrologi masih belum ada kesepakatan dari masyarakat dunia mengenai indeks mana yang baik digunakan. Untuk DAS yang airnya telah dimanfaatkan, maka indeks kekeringan meteorologi kurang mampu menyatakan kondisi ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan air, untuk itu perlu digunakan indeks kekeringan hidrologi yang berdasarkan indikator debit aliran sungai, muka air danau dan waduk, serta kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Disarankan untuk mengembangkan indeks kekeringan hidrologi yang menggunakan indikator debit aliran sungai, muka air waduk, dan pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Indeks ini diharapkan akan dapat berfungsi untuk mendukung pengambilan keputusan dalam alokasi air dan pengelolaan kekeringan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Kata kunci: kekeringan, indikator, indeks, alokasi air, ketahanan pangan
63
PENDAHULUAN Latar Belakang Kekeringan merupakan bencana alam yang mengancam kehidupan dan dapat menimbulkan kerugian besar. Menurut Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (2007), berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun antara 1993-2002 yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena dampak kekeringan, mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering giling (GKG). Tabel berikut menyajikan perbandingan banyaknya korban jiwa serta penduduk yang terkena dampak kekeringan dan bencana lainnya di Indonesia pada periode tahun 1907 sampai dengan 2004. Terlihat bahwa walaupun bencana kekeringan termasuk yang jarang terjadi, akan tetapi menempati urutan teratas dalam hal korban jiwa dan penduduk terkena dampak rata-rata setiap kejadian. Tabel 1 Data bencana di Indonesia (1907-2004)
Jumlah Jenis bencana kejadian Badai Kekeringan Gempa bumi Banjir Gunung berapi
10 11 78 93 43
Jumlah korban jiwa 1,992 9,329 21,856 4,296 17,945
Ratarata korban jiwa 199 848 280 46 417
Jumlah terkena dampak 19,698 4,894,220 1,723,756 5,069,306 981,853
Rata-rata terkena dampak 1,970 444,929 22,099 54,509 22,834
Sumber: The Earth Institute, Columbia University (2012)
Sementara itu laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007) menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir, dan proyeksi iklim menunjukkan bahwa hal ini akan semakin parah pada masa mendatang. Berbeda dari bencana alam lainnya, kekeringan bersifat merayap, berakumulasi secara lambat, tidak jelas awal dan akhirnya, sehingga sulit untuk definisi secara tepat dan berlaku umum mengenai tingkat keparahan kekeringan. Untuk itu diperlukan adanya indeks kekeringan, yang merupakan fungsi dari indikator kekeringan yang diamati di lapangan. Indeks kekeringan ini digunakan untuk pengambilan keputusan dalam alokasi air dan pengelolaan kekeringan. Karena kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia, demikian pula tidak ada sebuah indeks kekeringan yang berlaku universal.
64
Maksud dan Tujuan Makalah ini menyajikan perkembangan dari berbagai indikator dan indeks kekeringan yang telah lazim digunakan di berbagai negara. Selanjutnya dikaji untuk mendapatkan indikator dan indeks kekeringan yang sesuai untuk mendukung pengelolaan alokasi air dalam menunjang ketahanan pangan di Indonesia. Tinjauan PUSTAKA Alokasi Air dan Pengelolaan Kekeringan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2011) mendefinisikan alokasi air sebagai upaya pengaturan air untuk berbagai keperluan dari waktu ke waktu dengan memperhatikan jumlah dan mutu air pada lokasi tertentu. Penyelenggaraan alokasi air adalah rangkaian kegiatan pengaturan air yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian, pemantauan-evaluasi, serta koordinasi. Pengelolaan kekeringan pada dasarnya adalah mengurangi resiko parahnya kejadian kekeringan, dan hasilnya adalah mengurangi dampak kerugian akibat kekeringan. Pengelolaan kekeringan merupakan salah satu aspek dari alokasi air. Roman (2005) menyatakan bahwa ruang lingkup permasalahan sistem alokasi air terdiri atas: hak guna air, penentuan alokasi air, sistem administratif, pengaturan tampungan air di waduk, keandalan sistem, penggunaan air yang beragam, kebutuhan aliran pemeliharaan di sungai, dan pengelolaan kekeringan. Pada saat terjadi kekeringan, dimana jumlah air yang tersedia tidak dapat memenuhi semua kebutuhan air, maka perlu ditentukan prioritas alokasi air, berdasarkan indeks kekeringan. Pengertian Kekeringan Kekeringan didefinisikan secara umum oleh UN-ISDR (2009) sebagai kekurangan curah hujan dalam suatu periode waktu, biasanya berupa sebuah musim atau lebih, yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kegiatan, kelompok, atau sektor lingkungan. Kekeringan meteorologi adalah kekurangan hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Kekeringan pertanian dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, parameter yang menentukan potensi produksi tanaman. Kekeringan hidrologi terkait dengan berkurangnya air permukaan di sungai, danau dan waduk, serta air tanah. Wilhite (2010) menyatakan perbedaan berbagai jenis kekeringan tersebut pada Gambar 1. Untuk membedakan berbagai tingkat kekeringan, pada dasarnya terdapat tiga faktor yang menentukan, yaitu intensitas, durasi, dan luas yang terkena dampak. Intensitas menyatakan derajat kekurangan hujan atau dampak lainnya yang biasa dinyatakan dengan penyimpangan dari indikator iklim atau indeks dari kondisi normal. Sebagaimana bencana alam lainnya, kekeringan juga memiliki komponen alami dan komponen yang terkait dengan masyarakat. Resiko kekeringan merupakan hasil perkalian antara daerah yang terkena kekeringan dengan kerawanan masyarakat terhadap kekeringan.
65
Wilhite (2010) menyatakan empat perbedaan antara kekeringan dengan bencana alam lainnya, yaitu: 1) Karena kekeringan merayap, berakumulasi secara lambat, maka awal dan akhir terjadinya sulit ditentukan; 2) Tiadanya definisi yang tepat dan berlaku umum membuat kerancuan apakah telah terjadi kekeringan, dan jika terjadi bagaimana tingkat keparahannya. Walaupun banyak terdapat definisi tetapi tidak ada yang dapat sekaligus memberikan arti yang tepat untuk para ilmuwan, pengambil keputusan, dan masyarakat luas. Contohnya, batas untuk menyatakan kekeringan pada umumnya tidak terkait langsung dengan dampak spesifik pada sektor ekonomi; 3) Dampak kekeringan adalah non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor dan badai yang menimbulkan kerusakan struktur secara nyata. Dampaknya menyebar lebih luas, tidak terlokalisir seperti bencana alam lainnya; 4) Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, antara lain kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi.
Berkurangnya infiltrasi, larian, perkolasi, imbuhan air tanah
Meningkatnya evaporasi dan transpirasi
Waktu
Berkurangnya lengas tanah
Tanaman mengalami stress kekurangan air, berkurangnya panen
Berkurangnya aliran sungai, air di danau, waduk, kolam, berkurangnya lahan basah, habitat satwa liar
Dampak ekonomi
Dampak sosial
Kekeringan sosio-ekonomi
Suhu tinggi, angin kencang, kelembaban rendah, sinar matahari terik, tiada awan
Kekeringan hidrologi Kekeringan pertanian
Berkurangnya hujan (jumlah,intensitas, waktu)
Kekeringan Meteorologi
Variabilitas Iklim
Dampak lingkungan
Gambar 1 Berbagai jenis kekeringan (Wilhite, 2010) Indikator dan Indeks Kekeringan Indeks kekeringan menggabungkan berbagai data mengenai curah hujan, salju, debit aliran sungai dan berbagai indikator ketersediaan air pada sebuah gambaran yang komprehensif. Suatu indeks kekeringan pada umumnya merupakan sebuah
66
angka, yang jauh lebih berguna dari banyak data mentah untuk pengambilan keputusan (Hayes, 2007). Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan mengevaluasi kejadian kekeringan. Kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia. Dengan demikian tidak ada sebuah indeks kekeringan yang berlaku universal, dan muncul indeks kekeringan meteorologi, indeks kekeringan hidrologi, dan indeks kekeringan pertanian, sesuai dengan jenis kekeringan yang terkait (Niemeyer, 2008). Persyaratan indeks kekeringan yang ideal untuk sistem pemantauan kekeringan adalah (Rossi et al., 2007): a) menyatakan kekurangan air dalam komponen meteorologi dan hidrologi; b) menggunakan data hidro-meteorologi yang mudah diperoleh secara tepat waktu; c) dapat menjelaskan kondisi kekeringan, walau masih dalam tahap awal kekeringan; d) dapat membandingkan berbagai kondisi kekeringan yang berbeda waktu dan lokasi; e) menjelaskan dampak kekeringan; dan f) dapat menilai tingkat kekeringan untuk memandu tindakan yang harus dilakukan. Untuk menguji penerapan indeks kekeringan pada dua lokasi di Oregon, Keyantash dan Dracup (2002) telah menggunakan enam buah kriteria, yaitu: 1) kemantapan (robustness), 2) kemudahan penelusuran (tractability), 3) transparansi, 4) kecanggihan, 5) kemampuan dikembangkan, dan 6) dimensi. Berdasarkan kriteria tersebut, hasil urutan indeks kekeringan terbaik untuk kekeringan meteorologi adalah metode desil, Standardized Precipitation Index (SPI), anomali hujan kumulatif, Rainfall Anomaly Index (RAI), Drought Area Index (DAI), dan Palmer Drought Severity Index (PDSI). Untuk kekeringan pertanian urutannya adalah: Computed soil moisture, Soil moisture anomaly index, Palmer Moisture Anomaly Index atau Z index, dan Crop Moisture Index (CMI). Sedangkan indeks kekeringan hidrologi yang terbaik urutannya adalah: water deficit, anomali debit kumulatif, Surface Water Supply Index (SWSI), dan Palmer Hydrological Drought Severity Index (PHDI). Kriteria indeks kekeringan hidrologi yang lebih praktis diusulkan oleh Jayasuriya (2011) yaitu: 1) mudah dimengerti dan mudah dihitung; 2) memiliki arti fisik; 3) sensitif terhadap berbagai kondisi kekeringan; 4) tidak hanya bergantung pada suatu area tertentu (robust); 5) dapat mengungkapkan adanya kekeringan tidak lama setelah kekeringan terjadi (short lag); dan 6) berdasarkan data yang telah ada. Tsakiris et al. (2005) menyatakan bahwa dimensi terpenting dari kekeringan adalah intensitas, yaitu berkurangnya ketersediaan air terhadap suatu batas yang dinamakan sebagai ‘kondisi normal”. Jadi menetapkan batas kekeringan merupakan langkah pertama untuk menghitung intensitas kekeringan. Kondisi normal dapat dinyatakan sebagai rata-rata hitung atau median dari data seri ketersediaan air yang panjang, dapat pula angka yang menyatakan rata-rata aktivitas yang ada di wilayah yang bersangkutan. Langkah kedua adalah memilih variabel yang menyatakan “ketersediaan air”, misalnya dapat berupa curah hujan, serta curah hujan dan evapotranspirasi. Shaban (2008) mengidentifikasikan ada tujuh unsur indikator kekeringan hidrologi, yaitu hujan, debit, mata air, danau dan waduk, air tanah, salju dan lengas tanah.
67
Ketahanan Pangan Ketahanan pangan diartikan oleh Departemen Pertanian (2012) sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Hal ini diwujudkan dengan bekerjanya sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Adapun tujuan program ketahanan pangan adalah: 1) meningkatnya ketersediaan pangan, 2) mengembangkan diversifikasi pangan, 3) mengembangkan kelembagaan pangan, dan 4) mengembangkan usaha pengelolaan pangan. Makalah ini mendukung tujuan ketahanan pangan yang pertama, yaitu meningkatnya ketersediaan pangan, khususnya dukungan penyediaan air irigasi untuk keberhasilan pertanian, dengan memenuhi kebutuhan air pertanian. Hal ini akan dicapai dengan penggunaan indeks kekeringan sebagai patokan dalam alokasi air dan pengelolaan kekeringan. METODOLOGI STUDI Metodologi yang digunakan adalah kajian pustaka untuk mengidentifikasi perkembangan indeks kekeringan dalam alokasi air di berbagai penjuru dunia, dan perumusan kriteria mengenai indeks kekeringan yang sesuai untuk kondisi Indonesia. Berdasarkan kriteria tersebut dikaji lebih lanjut kemungkinan penerapan beberapa indikator dan indeks kekeringan yang dipandang sesuai untuk kondisi Indonesia, dalam menunjang alokasi air dan pengelolaan kekeringan. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Kekeringan dan Ketahanan Pangan Pengelolaan kekeringan yang efektif bergantung pada indikator kekeringan dan pemicu kekeringan. Indikator kekeringan adalah variabel untuk mendeteksi dan mencirikan kondisi kekeringan. Pemicu kekeringan adalah ambang batas indikator untuk mendefinisikan dan mengaktifkan tindakan mitigasi. Contoh penggunaan indeks kekeringan di Australia adalah bahwa petani akan mendapat bantuan pemerintah jika indeks kekeringan desil berada pada desil 1 dan 2. Gambar berikut menjelaskan peran indikator dan indeks kekeringan terhadap ketahanan pangan. Dampak negatif dari bencana kekeringan akan menurunkan produksi pangan, yang kemudian juga melemahkan ketahanan pangan. Fenomena kekeringan yang terjadi diamati melalui berbagai indikator kekeringan seperti curah hujan, debit aliran sungai, muka air danau dan waduk, serta pemenuhan kebutuhan air. Berbagai indikator-indikator kekeringan tersebut terintegrasi menjadi sebuah indeks kekeringan yang digunakan sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan kekeringan, sehingga dampak negatif bencana kekeringan dapat dikurangi.
68
Dampak Kekeringan
Kekeringan
Indikator Kekeringan
Indeks Kekeringan
Ketahanan Pangan
Pengelolaan Kekeringan
Gambar 2 Peran indikator dan indeks kekeringan dalam ketahanan pangan Indikator dan Indeks Kekeringan Berbagai jenis indeks kekeringan yang ada disajikan pada gambar berikut, yang terdiri atas indeks kekeringan meteorologis, hidrologis, pertanian, dan indeks gabungan.
Gambar 3 Berbagai Indeks Kekeringan Indeks kekeringan meteorologi antara lain adalah: Prosentase Normal, Desil, Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer Drought Severity Index (PDSI), Keetch-Byram Drought Index (KBDI), dan Effective Drought Index (EDI). Indeks kekeringan pertanian antara lain: Crop Moisture Index (CMI), dan Normalised Difference Vegetation Index (NDVI). Sedangkan indeks kekeringan hidrologi antar lain adalah: Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Index (RDI), Standardized Runoff Index (SRI), Sequential Peak Analysis (SPA) atau Run Theory, Palmer Hydrological Drought Index (PHDI), Streamflow Drought Index (SDI). Terdapat pula index yang menggabungkan kekeringan meteorologi, pertanian dan hidrologi, yaitu antara lain Aggregate Drought Index (ADI). Kriteria Indeks Kekeringan untuk Indonesia Berdasarkan berbagai kriteria yang ada, maka dapat diusulkan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu indeks kekeringan hidrologi efektif dan sesuai untuk diterapkan di Indonesia adalah: 1) mudah dihitung dan ditelusuri, 2) bersifat umum, tidak hanya bergantung pada areal tertentu, 3) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekeringan secara dini, dan 4) berdasarkan indikator data yang mudah tersedia di lapangan.
69
Indeks Kekeringan Meteorologi Dalam deklarasi Lincoln mengenai indeks kekeringan (WMO, 2009), dinyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya frekuensi dan besarnya kekeringan, para ahli telah sepakat untuk menggunakan sebuah indeks kekeringan meteorologi untuk meningkatkan efektifitas pemantauan dan pengelolaan resiko iklim di dunia. Indeks kekeringan yang dimaksud adalah Standardized Precipitation Index (SPI). Dengan indeks SPI ini kekeringan didefinisikan mulai terjadi jika nilai SPI negatif, dan kekeringan berakhir jika SPI telah berubah menjadi positif. Indeks SPI ini juga telah banyak diterapkan di Indonesia (Adidarma, 2006). Indeks Kekeringan Hidrologi Untuk mencari kesepakatan mengenai indeks kekeringan hidrologi, telah diselenggarakan WMO/UNISDR Expert Meeting on Hydrological Drought Indices di Jenewa, Swiss pada tanggal 1-2 September 2011. Namun demikian, pada pertemuan Jenewa tersebut belum diperoleh kesepakatan mengenai indeks kekeringan hidrologi yang dapat digunakan secara global. Masing-masing negara didorong untuk mengembangkan indeks kekeringan hidrologi yang sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Berdasarkan empat buah kriteria indeks kekeringan yang telah dirumuskan diatas, maka beberapa indeks kekeringan hidrologi yang memenuhi syarat untuk digunakan di Indonesia adalah Streamflow Drought Index (SDI), serta Sequential Peak Analysis atau Run Theory dari berbagai besaran debit aliran sungai atau muka air waduk. Dengan mempertimbangkan sasaran ketahanan pangan, maka perlu digunakan berbagai indikator kekeringan yang langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan air. Sejak jaman Belanda, alokasi air irigasi di Indonesia dikenal konsep pasten, atau faktor-k, yang merupakan perbandingan antara jumlah air yang tersedia di bendung dengan kebutuhan air irigasi pada bendung tersebut. Jika nilai faktor-k antara 0,7 dan 1, maka berarti air masih relatif cukup tersedia. Sampai dengan saat ini, pada seluruh provinsi di Jawa, jika nilai faktor-k berada di bawah 0,7, maka perlu dilakukan giliran distribusi air. Faktor-k ini merupakan indikator yang langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan air irigasi, dan berdampak pada ketahanan pangan, oleh karena itu perlu dikembangkan untuk menjadi indeks kekeringan yang dapat diterapkan di seluruh wilayah sungai di Indonesia. Untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masih alami, belum atau sedikit campur tangan manusia, maka sebagai indeks kekeringan dapat digunakan indeks kekeringan meteorologi. Akan tetapi pada DAS yang telah ada pemanfaatan air, maka indeks kekeringan meteorologi akan kurang mampu menyatakan kondisi ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan air, untuk itu perlu digunakan indeks kekeringan hidrologi yang berdasarkan indikator debit aliran sungai, muka air danau dan waduk, serta kebutuhan air untuk berbagai penggunaan.
70
KESIMPULAN Kesimpulan Disimpulkan bahwa bencana kekeringan dapat mengganggu ketahanan pangan nasional, dan pengelolaan kekeringan yang didasarkan pada indeks dan indikator kekeringan akan mengurangi kerugian akibat kekeringan. Untuk kekeringan meteorologi telah disepakati masyarakat dunia untuk menggunakan indeks Standardized Precipitation Index (SPI). Sedangkan untuk kekeringan hidrologi masih belum ada kesepakatan dari masyarakat dunia mengenai indeks mana yang baik digunakan. Untuk DAS yang airnya telah dimanfaatkan, maka indeks kekeringan meteorologi kurang mampu menyatakan kondisi ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan air, untuk itu perlu digunakan indeks kekeringan hidrologi yang berdasarkan indikator debit aliran sungai, muka air danau dan waduk, serta kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Saran Disarankan untuk mengembangkan indeks kekeringan hidrologi yang menggunakan indikator debit aliran sungai, muka air waduk, dan pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Indeks ini diharapkan akan dapat berfungsi untuk mendukung pengambilan keputusan dalam alokasi air dan pengelolaan kekeringan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada Bapak Prof. R. Wahyudi Triweko Ph.D, dan Bapak Ir. Iwan K. Hadihardaja, M.Sc., Ph.D. yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan proposal penelitian Program Doktor Teknik Sipil yang terkait dengan makalah ini. REFERENSI Adidarma, Wanny Kristiyanti, 2006. Pengembangan Model Pemantauan Gejala Kekeringan di Indonesia, Disertasi Program Doktor Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Columbia University, 2012. Indonesia Natural Disaster Profile. http://www.ldeo. columbia.edu/chrr/research/profiles/indonesia.html Diakses 14 September 2012. Departemen Pertanian, 2012. Program Peningkatan Ketahanan Pangan, http://www.deptan.go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/ PROGRAM%20PENINGKATAN%20KETAHANAN%20PANGAN.htm. Diakses 14 September 2012. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2011. Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Neraca Air dan Penyelenggaraan Alokasi Air, Kementerian Pekerjaan Umum.
71
Hayes, Michael J, 2007. “Drought Indices”, July 2007. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report, An Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change, WMO, Geneva. Jayasuriya, D. 2011. Quantification of Hydrological Drought – Key Issues. In Expert Group Meeting on Hydrological Drought Indices, 1-2 September 2011, Geneva, Switzerland. Keyantash, John, and John A. Dracup. 2002. “The Quantification of Drought: An Evaluation of Drought Indices.” American Meteorological Society (August). Niemeyer, S. 2008. “New drought indices.” Water Management (80): 267-274. Republik Indonesia. 2007. “Rencana aksi nasional dalam menghadapi perubahan iklim.” Roman, D. M. S., 2005. Systematization of Water Allocation Systems, an Engineering Approach, A Dissertation, Texas A&M University. Rossi, G, V Nicolosi, and A Cancelliere. 2007. “Recent methods and techniques for managing hydrological droughts.” Option Mediteraneane, Series A-80 (80): 251-265. Tsakiris, G., and H. Vangelis. 2005. “Establishing a drought index incorporating evapotranspiration.” European Water: 3-11.
http://www.ewra.net/ew/pdf/EW_2005_9-10_01.pdf.
UN-ISDR, 2009. Drought Risk Reduction Framework and Practices. United Nations International Strategy for Disaster Reduction. Wilhite, D A, 2010. Quantification of Agricultural Drought for Effective Drought Mitigation, in Agricultural Drought Indices, Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June, 2010, Murcia, Spain, WMO, Geneva. WMO, 2009, Press Release Experts Agree on a Universal Drought Index to Cope With Climate Risks, WMO No. 872, Geneva.
72
Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Ketersediaan Air Sungai Bangga, Sulawesi Tengah, Indonesia Moh. Bisri1, Rispiningtati1, Lily Montarcih1, dan I Wayan Sutapa2* Dosen Pasca Sarjana, Fak. Teknik, Universitas Brawijaya, Malang Mahasiswa Program Doktor, Fak. Teknik, Universitas Brawijaya, Malang Dosen Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu 1
2
*
[email protected]
Intisari Tujuan dari studi ini adalah untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim dalam evapotranspirasi dan hujan terhadap debit air Sungai Bangga. Investigasi dilakukan dengan menggunakan data harian dan dianalisis secara harian, bulanan dan tahunan. Trend perubahan iklim dan proyeksi perubahan di analisis dengan Metode Makesens (Mann-Kendall, Sens) dan korelasi debit terhadap hujan dan evapotranspirasi digunakan persamaan regresi linier. Demikian juga korelasi antara perubahan kandungan airtanah dengan hujan, evapotranspirasi dan debit dianalisis secara linier. Kesimpulan dari studi ini adalah terjadi perubahan iklim di DAS Bangga yang ditandai dengan peningkatan temperatur secara perlahan, penurunan curah hujan dan peningkatan evapotranspirasi. Kata kunci: perubahan iklim, Makesens, Sungai Bangga
PENDAHULUAN Revolusi industri yang ditandai dengan penggunaan bahan bakar fosil, terutama bahan bakar batubara yang dimulai sekitar tahun 1840 di Eropa telah meningkatkan secara drastis gas rumah kaca di atmosfer karena hasil utama pembakaran bahan fosil tersebut berupa gas karbondioksida (CO2). Akibat adanya efek rumah kaca tersebut telah memicu peningkatan temperatur udara bumi secara global dari tahun ke tahun secara signifikan. Fenomena ini dikenal sebagai pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim di bumi. Perubahan iklim global yang akan dihadapi selain bertambah atau berkurangnya hujan di suatu daerah, kenaikan suhu udara, dapat pula terkait dengan perubahan pola musim, pola angin, kelembaban udara, dan penyinaran matahari. Penurunan curah hujan sebagai variabel input DAS akibat penyimpangan iklim global akan mempengaruhi debit aliran sungai. Perubahan iklim mempengaruhi aliran sungai total tahunan dan dinamika musiman. Secara umum dampaknya sangat sederhana yaitu curah hujan yang lebih tinggi akan menghasilkan aliran sungai yang lebih besar dan curah hujan yang menurun akan mengurangi aliran sungai.
73
Bukti-bukti tentang perubahan iklim telah dilaporkan secara sistimatis oleh sumber-sumber resmi, diantaranya: Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC), The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan World Wide Fund (WWF) Indonesia. IPCC dalam laporan ke-3 (Third Assessment Report, Houghton et al., 2001 dalam Guobin Fu et al., 2007) menyatakan bahwa temperatur rerata global diproyeksikan naik menjadi 1,4 – 5,8oC antara tahun 1990 sampai 2100. Sebuah skenario perubahan iklim (WWF Indonesia dan IPCC, 1999) memperkirakan bahwa temperatur akan meningkat antara 1.3ºC sampai dengan 4.6ºC sampai tahun 2100 dengan trend sebesar 0.1ºC – 0.4ºC per tahun. Ramachandra Rao and Al-Wagdany (1995) menyatakan: 1) Perubahan iklim global dapat terjadi karena peningkatan gas CO2 dan gas radiasi aktif lainnya di atmosfer. Temperatur diperkirakan akan meningkat dengan peningkatan CO2 dan gas lainnya. 2) Beberapa skenario telah diusulkan, berdasarkan model iklim, dimana curah hujan dan suhu menunjukkan perubahan signifikan di masa depan. Peningkatan karbonkdioksida di atmosfer dan perubahan tutupan hutan merupakan alasan utama yang disarankan untuk perubahan iklim. Perubahan curah hujan dan suhu jelas mempengaruhi limpasan. Kemungkinan peningkatan terjadinya kekeringan adalah salah satu konsekuensi serius dari perubahan iklim. 3) Model keseimbangan air telah digunakan untuk memperkirakan dampak perubahan iklim global (Gleick 1986, 1987a); Nemec dan Schaake (1982) dan Schaake (1990) menggunakan model water balance untuk menyelidiki pengaruh perubahan iklim pada berbagai aspek dari siklus hidrologi. Salah satu persoalan kebutuhan manusia yang terpengaruh sebagai dampak pemanasan global tersebut adalah ketersedian air. Ketersediaan air merupakan permasalahan yang penting yang terkait dengan perubahan iklim. Vörösmarty et al. (2000) menyatakan bahwa masalah air terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk bumi sehingga meningkatkan pula kebutuhan air. Kebutuhan yang meningkat akan semakin menekan sistem air global yang berkaitan dengan efek pemanasan global. Peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi menjadi pendorong utama kebutuhan air, sementara itu ketersediaannya dipengaruhi oleh peningkatan evaporasi akibat peningkatan temperatur permukaan bumi. Penelitian ini dibuat untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air sungai yang berkaitan dengan faktor-faktor iklim seperti: temperatur, kelembaban udara, penyinaran matahari, kecepatan angin dan hujan. Trend perubahan iklim dan komponen keseimbangan air akan dianalisis dan selanjutnya diprediksi. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa landasan teori yang digunakan dalam studi ini diuraikan sebagai berikut. Nilai evapotranspirasi (ET) dihitung dengan model Penman Monteith (Allen G. Richard, 1998; Nugroho Hadisusanto, 2011):
74
ET =
(es − ea) ra ................................................................ (1) rs ∆ + g (1 + ) ra
∆( Rn − G ) + r a.cp
Trend data iklim dianalisis menggunakan model Mann – Kendall (Onoz dan Bayazit, 2002; Sheng and pilon, 2004 dalam Lorena et al., 2010; Kendall, M.G., 2005; Shengping Wang et al., 2008; Aksu Hakan et al., 2010): S=
∑∑
sign( X j −X k ) . ............................................................................. (2)
σs= n(n − 1)( 2n + 5) / 18 ................................................................................ (3)
( S − 1) / s s....... jika......S > ...0 Z = 0..................... jika.....S = ...0 ............................................................... (4) ( S + 1) / s s....... jika....S < ....0 Sebagaimana diketahui, bahwa debit sungai sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan evapotranspirasi, oleh karena itu sangat penting mengetahui komponen persamaan kesetimbangan air tersebut. Dalam penelitian ini digunakan kesetimbangan air yang sederhana dengan beberapa variabel secara linier (Budi I. Setiawan dkk, 2009): Q’ = a + bR + cET........................................................................................... (5) Meskipun Persamaan (5) merupakan persamaan empirik tetapi parameternya memiliki arti secara fisik, yaitu: parameter ‘a’ mempresentasikan aliran dasar (baseflow) dan perubahan simpanan air tanah (soil water storage), parameter ‘b’ dan ‘c’ menunjukan faktor kontribusi hujan dan evapotranspirasi. Soil water storage (dS) dihitung dengan persamaan (Budi I. Setiawan dkk, 2009): dS = R – ET – Q.............................................................................................. (6) Data yang digunakan untuk menghitung soil water storage (dS) berupa data hujan tahunan (R), evapotranspirasi tahunan (ET) dan debit tahunan (Q). Besaran trend digunakan metode non parametrik Sens (Timo et. Al, 2002; RC Deo et. All, 2005) dengan asumsi trendnya linier. Prosedurnya mulai Persamaan (7) s/d (9) berikut: f(t) = Qt + B ................................................................................................... (7)
75
dengan : Q adalah slope dan B adalah konstanta Untuk memperoleh slope estimasi Q dalam Persamaan (7), maka pertama perlu dihitung slope untuk semua data dengan persamaan: Qi =
X j − Xk j−k
.............................................................................................. (8)
dengan j > k Jika ada n nilai Xj dalam time series, maka didapat N = n(n-1)/2 slope estimasi Qi. Estimasi slope Sen adalah median dari N nilai Qi. Nilai N dari Qi adalah ranking dari kecil ke besar dan estimasi Sen adalah: Q = Q[(N+1)/2]
jika N adalah ganjil
atau Q = 0,5 (Q(N/2) + Q((N+2)/2))
jika N adalah genap........................................... (9)
Prosedur dalam Makesens menghitung interval kepercayaan pada dua level yang berbeda, α= 0,01 dan α= 0,05 adalah pertama dihitung Ca = Z1-α/2 . σs Dimana σs didapat dari Persamaan (3) dan Z1-α/2 diperoleh dari standar distribusi normal. Selanjutnya hitung M1 = (N – Ca)/2 dan M2 = (N + Ca)/2. Batas bawah dan batas atas interval kepercayaan, Qmin dan Qmax adalah M1 terbesar dan (M2 +1) terbesar dari N slope estimasi Qi. Untuk memperoleh estimasi B dalam Persamaan (7), nilai n dari perbedaan Xi – Qti dihitung. Median dari nilai ini adalah estimasi B. Estimasi untuk konstanta B pada garis selang kepercayaan 99% dan 95% dihitung dengan prosedur yang sama. METODOLOGI STUDI Penelitian ini dilakukan di DAS Bangga yang merupakan anak Sungai Palu yang secara administrative terletak di Kampung Bangga, Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis lokasi DAS Bangga terletak antara 010 15’07” LS - 01021’30” LS dan 1190 49’20” BT – 1190 56’05” BT. Luas DAS Bangga adalah 65,90 km2 dan panjang sungai utama 15,50 km. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Data yang digunakan dalam studi ini berupa data sekunder yang terdiri atas : 1) Data hujan harian dari stasiun Bangga Atas dan Bangga Bawah (1993 – 2011); 2) Data klimatologi dari stasiun Bora (1980 – 2011); 3) Data debit harian dari pencatatan air otomatis/ Automatic Water Level Recorder (AWLR) di Sungai Bangga (19952011); 4) Peta topografi skala 1:50.000.
76
Gambar 1. Lokasi penelitian Untuk menyelesaikan penelitian ini dapat dilakukan tahapan berikut: 1. Hujan rerata daerah dianalisis dengan rerata hitung (aritmatic mean) 2. Menghitung evapotranspirasi (ET) dilakukan dengan bantuan software CROPWAT 8 for Windows. Data yang dibutuhkan adalah temperatur (T), kelembaban relatif (RH), kecepatan angin (V) dan penyinaran matahari (S). 3. Menghitung komponen kesetimbangan air (persamaan 5)
Penentuan parameter-parameter ‘a’, ‘b’ dan ‘c’ dari suatu seri data debit, hujan dan evapotranspirasi tahunan dilakukan dengan bantuan software SPSS16.0 for Windows.
4. Menghitung soil water storage (persamaan 6) 5. Untuk mengetahui trend data iklim, hujan dan debit maka ditentukan data minimum harian, rerata dan maksimum untuk seluruh data. Kemudian dianalisis menggunakan model Mann – Kendall (peramaan 2, 3 dan 4) 6. Setelah dilakukan deteksi ada tidaknya trend peningkatan atau penuruan dengan uji Mann-Kendall, maka untuk mengetahui besaran trend digunakan metode non parametrik Sens dengan bantuan software MAKESENS 1.0.
77
HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim dan perubahan kesetimbangan air Kurva time series komponen-komponen iklim di Sungai Bangga disajikan pada gambar 2 dan hasil perhitungan perubahan iklim dengan metode MannKendall disajikan pada tabel 1. Dari gambar 2 kurva time series komponen-komponen iklim jelas terlihat bahwa selama periode 1980-2011, Tmin dan Tave relative tidak berubah terhadap waktu tetapi Tmax menunjukkan tendensi untuk meningkat. Kelembaban relative (RHmax, RHmin, RHave) berfluktuaktif untuk periode 1980-1992 dan selanjutnya hampir datar sampai tahun 2011. Kecepatan angin Vmin hampir tidak terjadi peningkatan yang berarti sampai tahun 2011, Vave terjadi penurunan kecepatan tahun 1988 dan kenaikan tahun 2007 dan 2008, sedangkan Vmax berfluktuaktif, bahkan tahun 2009 terjadi kejadian kecepatan angin yang sangat tinggi. Lama penyinaran matahari (Smin dan Smax) tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap waktu, sedangkan Save berfluktuasi dan cenderung menurun. Curah hujan (Rmin, Rmax) hampir tidak terjadi perubahan sepanjang pengamatan, namun sebaliknya Rave dan Rsum berfluktuasi dan terjadi penurunan yang sangat signifikans sampai tahun 2011. Evapotranspirasi ETmin dan ETave sepanjang periode pengamatan tidak terjadi perubahan yang berarti, sebaliknya ETmax dan ETsum berfluktuasi sampai tahun 1999, selanjutnya hampir datar sampai tahun 2011. Debit Qave sepanjang pengamatan hampir tidak terjadi perubahan, namun sebaliknya Qmin, Qmax dan Qsum berfluktuaktif dan debit tertinggi terjadi pada tahun 2008. Pola sebaliknya terjadi pada perubahan simpanan air tanah (soil water storage), dimana dSave tidak terjadi perubahan yang berarti, namun dSmin, dSmax dan dSsum terjadi pola sebaliknya dari pola debit. Dengan menggunakan analisis Mann-Kendall seperti disajikan pada tabel 1, Tmin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, tetapi Tmax dan Tave menunjukkan perubahan positif dan signifikan. Kelembaban relative RHmax, RHmin, RHave terjadi perubahan yang positif dan signifikan untuk semua bulan dan tahun. Sementara kecepatan angin, terjadi perubahan tetapi secara umum tidak signifikan. Lama penyinaran matahari Smax terjadi perubahan positif secara signifikan sedangkan Smin dan Save terjadi perubahan tetapi tidak signifikan. Perubahan curah hujan yang cukup signifikan hanya ditunjukkan oleh Rave, sedangkan Rmax, Rmin dan Rsum terjadi perubahan tetapi tidak signifikan. Evapotranspirasi ETmax, ETmin dan ETave tahunan terjadi perubahan secara signifikan, sedangkan ETave bulanan terjadi perubahan tetapi kurang signifikan. Debit air menunjukkan perubahan positif tetapi kurang signifikan. Pola serupa juga terjadi untuk perubahan air tanah (soil water storage), tetapi perubahan ke arah negatif atau berlawanan dengan terjadinya perubahan debit.
78
Gambar 2. Grafik time series komponen-komponen iklim
79
Tabel 1. Rekapitulasi perubahan iklim berdasarkan metode Mann-Kendall
Dari analisis Mann-Kendall, bisa ditarik kesimpulan bahwa peningkatan temperatur maksimum, penurunan hujan, peningkatan kelembaban relatif dan konsekwensinya kepada peningkatan evapotranspirasi maksimum adalah indikator terjadinya perubahan iklim di DAS Bangga. Akan tetapi kesimpulan ini mungkin berbeda bila periode waktunya diubah. Seperti bila seluruh data yang ada dibatasi oleh ketersediaan data debit sungai (1995 – 2011), hasilnya mungkin menunjukkan hal yang berbeda. Jadi sangat penting untuk mengingat bahwa periode waktu dan juga jumlah data time series harus dalam kuantitas yang sama untuk semua data iklim yang akan dianalisis. Demikian juga, level signifikan sangat berpengaruh terhadap hasil analisis. Estimasi debit air Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari apakah ada atau akan ada perubahan debit air akibat perubahan iklim. Oleh sebab itu perlu dicari hubungan antara debit air dengan mempertimbangkan curah hujan dan evapotranspirasi. Dari data tahunan (1995-2011) untuk hujan, evapotranspirasi dan debit didapatkan hubungan secara linier Q’ = 0,449 R + 1,72 E – 1254,666. Persamaan ini dapat digunakan sebagai predictor model untuk debit air dari hujan dan evapotranspirasi. Korelasi antara data (Q) dan prakiraan debit (Q’) disajikan pada gambar 3. Dari gambar 3 kiri, dapat dilihat bahwa evapotranspirasi hampir tidak terjadi perubahan terhadap waktu, curah hujan berfluktuasi dan cenderung menurun, sedangkan debit berfluktuasi dan cenderung meningkat cukup signifikan dan puncaknya terjadi pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun hujan dan evapotranspirasi kenaikannya tidak signifikan tetapi debit air kenaikannya cukup signifikan, artinya
80
ada faktor lain sebagai penyebabnya. Sedangkan gambar 3 kanan, menunjukkan hubungan antara data historis Q dan data Q’ prediksi yang nilai R2 relatif kecil, yang menandakan korelasinya tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor lain selain hujan dan evapotranspirasi yang mempengaruhi debit.
Gambar 3. Korelasi debit dengan hujan & evapotranspirasi dan korelasi antara debit historis dengan debit empiris Trend debit air dan soil water storage Gambar 4 kiri memperlihatkan data historis (1995-2011) dan proyeksi perubahan sampai tahun 2030. Perubahan soil water storage (dS) berbanding lurus dengan hujan ( R ) dan berbanding terbalik dengan evapotranspirasi (ET) dan debit (Q). Hal ini sesuai dengan Persamaan 6. Hal serupa juga terjadi pada gambar 4 kanan, dimana perubahan soil water storage (dS) berbanding terbalik dengan debit air (Q), artinya, semakin besar debit dan evapotranspirasi, maka perubahan soil water storage akan semakin kecil. Ada hal menarik yang terjadi dari gambar 4 kiri, yaitu hubungan antara debit dan hujan, dimana semakin menurun hujannya, justru debit semakin besar. Ini mengindikasikan bahwa debit air tidak bisa hanya dipengaruhi oleh faktor hujan dan evapotranspirasi saja tetapi juga ada faktor lain yang berpengaruh, misalnya tutupan lahan.
Gambar 4. Prakiraan hujan, evapotranspirasi, debit, dan perubahan kandungan airtanah (soil water storage) KESIMPULAN Berdasarkan data pengukuran harian dan dianalisis secara harian, bulanan dan tahunan dalam periode 1980 sampai 2011 dengan metode Mann-Kendall,
81
dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan iklim di DAS Bangga. Perubahannya dapat dilihat dari peningkatan temperatur secara perlahan, penurunan curah hujan dan peningkatan evapotranspirasi. Fenomena perubahan iklim ini sangat jelas terlihat pada penurunan nilai rerata curah hujan dan peningkatan evapotranspirasi maksimum harian, yang mengindikasikan terjadinya musim kering di DAS tersebut, yang berdampak pada debit sungai dan perubahan soil water storage. UCAPAN TERIMA KASIH Studi ini merupakan bagian dari penelitian disertasi yang penulis kerjakan sebagai syarat untuk menyelesaikan program doktor teknik sipil, minat Pengembangan Sumber Daya Air di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kantor Balai Wilayah Sungai Sulawesi III di Palu yang telah memberikan data hidroklimatologi untuk mendukung penelitian ini. Referensi Aksu Hakan, Kuşçu. Savaş, Şimşek. Osman. 2010. Trend Analysis of Hydrometeorological Parameters in Climate Regions of Turkey, Jurnal BALWOIS 2010 – Ohrid, Republic of Macedonia. diakses 17 Mei 2012 Allen G. Richard. 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirement-FAO Irrigation and Drainage Paper No. 56, Food Agriculture Organization of the United Nation, Roma Budi I. Setiawan, dkk. 2009. Dampak Perubahan Iklim Pada Sumber Daya Air Rawa Danau di DAS Cidanau Provinsi Banten, Prosiding Konferensi Nasional Danau Indonesia I. Bali 13-15 Agustus 2009 Guobin FU, Michael E.B., Shulin Chen. 2007. Impacts of Climate Change on Regional Hydrological Regims in the Spokane River Watershed, http:// ww.ascelibrary.org, Journal of Hydrologic Engineering. diakses 19 Oktober 2011 Kendall, M.G., 2005. Mann Kendall Analysis for the Fort Ord Site, http:// dubaobien.vn/dhkhtn/stores/files/0907_Tailieu_CuaLo/TLTK/MANNKENDALL%20ANALYSIS.pdf. diakses pada tanggal 4 Desember 2010 Lorena Liuzzo, Leonardo V. N., Enrique R. V., and Goffreda L. L., 2010. BasinScale Water Resources Assessment in Oklahoma Under Synthetic Climate Change Scenario Using a Fully Distributed Hydrologic Model, http:// ww.ascelibrary.org, Journal of Hydrologic Engineering, diakses 19 Oktober 2011 Ludwig F & M. Moench. 2009. The impact of climate change on water dalam Climate change adaptation in water sector, Eds Ludwig, Pavel Kabat, Henk Van Schik & Michael Van der Valk, 274p Nugroho Hadisusanto. 2011. Aplikasi Hidrologi, Cetakan ke-1, Jogja Mediautama, Malang
82
Onoz, B. & Bayazit, M. 2002. The Power of Statistical Test for Trend Detection, http://journals.tubitak.gov.tr/engineering/issues/muh-03-27-4/muh-27-4-50206-6.pdf, diakses pada tanggal 27 Nopember 2010 Ramachandra Rao, A. Al-Wagdany. 1995. Effects of Climate Change I Wabah River Basin, http://ww.ascelibrary.org, Journal of Hydrologic Engineering, diakses 19 Oktober 2011 R C Deo, C A McAlpines, J Syktus, H A McGowan and Phinn. 2005. On Australian Heat Waves: Time Series Analysis of Extreme Temperature Event in Australia, 1950-2005, Centre for Remote Sensing and Spatial Information Sciences School of Geography, Planning and Architecture The University of Queensland, Brisbane 4072 Australia, Climate Change Centre of Excellence Queensland Department of Natural Resources and Water 80 Meiers Rd, Indooroopilly 4068, Australia Susandi, A., 2006. Laporan Interim Penyusunan Pola Investasi dalam Rangka Peningkatan Partisipasi Swasta dan Koperasi dalam Pengembangan Energi Terbarukan, Bandung Shengping Wang, Zhiqiang Zhang, Ge Sun, Steven G. McNulty, Huayong Zhang, Jianlao Li, and Manliang Zhang. 2008. Long-Term Streamflow Response to Climatic Variability in the Loess Plateau, China, Journal of the American Water Resources Association (JAWRA) 44(5):1098-1107. Diakses tanggal 7 Juni 2012 Timo, Anu Maatta, Pia Anttila, Tuija Ruoho Airola, Toni Amnell. 2002. Detecting Trends of Annual of Atmospheric Pollutants by the Mann-Kendall Test and Sen’s Slope Estimates, Finnish Meteorological Institute. Helsingki Vorosmarty, C.J., J. P. Green. J. Salisbury and R.B. Lammers. 2000. Global water resources: vulnerability from climate change and population growth, Science, 289, 284-288 WWF Indonesia dan IPCC, 1999
83
Implementasi Prinsip Eco-Efficient dalam Kegiatan Konservasi di DAS Brantas Sebagai Upaya Menghadapi Perubahan Iklim Astria Nugrahany* dan Erwando Rachmadi Bagian Pengembangan Manajemen dan Teknologi, Perum Jasa Tirta I *
[email protected]
Intisari Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk di kawasan Asia Pasifik dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara berkembang mengalami peningkatan kebutuhan air dan peningkatan defisit air yang berdampak serius pada kondisi sosial ekonomi. Selain itu, perubahan iklim global semakin memperburuk kondisi pada sistem air termasuk infrastrukturnya terutama pada daerah-daerah miskin. Dalam hal ini, salah satu solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan meningkatkan efisiensi lingkungan (eco efficiency) pada infrastruktur sumber daya air yang mempunyai peran penting dalam meneruskan keberlangsungan pembangunan. Dalam kegiatan percontohan (pilot project) dari konsep efisiensi lingkungan di Indonesia, PJT I yang bekerjasama dengan UN-ESCAP (The United Nations Economic and Social Commision for Asia and Pacific) akan mengembangkan rencana dan kerangka kerja dari kegiatan yang memprioritaskan dalam rehabilitasi DAS-DAS kecil yang berada dalam wilayah kerja PJT I. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang yang dilintasi oleh Kali Sereng, anak Sungai Konto. Kegiatan non struktural, untuk mencegah terjadinya degradasi DAS dengan partipasi masyarakat sekitar seperti: biopori, terasering, gully plug, penghijauan, pembuatan bangunan eco-efficient untuk mengurangi polusi ke sungai dan memperbaiki kualitas air seperti check dam dengan konstruksi dari bambu dan bangunan terjunan dari bamboo, pembuatan bangunan perlindungan sungai eco-efficient untuk mencegah erosi. Kata kunci: perubahan iklim, eco efficiency, rehabilitasi, struktural, non struktural
PENDAHULUAN Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk di kawasan Asia Pasifik dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara berkembang mengalami peningkatan kebutuhan air dan peningkatan defisit air yang berdampak serius pada kondisi sosial ekonomi. Hal ini mengancam keberlangsungan usaha pembangunan di bidang sosial ekonomi pada negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Selain itu, perubahan iklim global semakin memperburuk kondisi pada sistem air termasuk
84
infrastrukturnya terutama pada daerah-daerah terpencil. Dalam hal ini, salah satu solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan meningkatkan efisiensi lingkungan (eco efficiency) pada infrastruktur sumber daya air yang mempunyai peran penting dalam meneruskan keberlangsungan pembangunan. Konsep Eco-Efficient dalam pengelolaan SDA adalah paradigma dan strategi baru untuk mencapai tujuan pembangunan SDA yang berkelanjutan melalui perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi dari efisiensi ekologi dan efisiensi ekonomi secara bersama-sama. Dalam kegiatan percontohan (pilot project) dari konsep efisiensi lingkungan di Indonesia, Perum Jasa Tirta (PJT I) yang bekerjasama dengan UN-ESCAP (The United Nations Economic and Social Commision for Asia and Pacific) akan mengembangkan rencana dan kerangka kerja dari kegiatan yang memprioritaskan dalam rehabilitasi DAS-DAS kecil yang berada dalam wilayah kerja PJT I. Hal ini termasuk penerapan minimal satu inisiatif struktural dan non struktural, pengembangan capacity building program termasuk pengembangan pendidikan dan bantuan material serta pelaksanaan pelatihan bagi warga pada daerah yang ditargetkan. tinjauan PUSTAKA Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan menciptakan ketahanan air dengan menjadikan konsep pengembangan eco efficiency dalam kehidupan sehari-hari penduduk yang berada di sekitar Kali Sereng, anak sungai kecil dari Sungai Konto. Adapun konteks dalam kegiatan ini adalah sebagai panduan dalam program rehabilitasi DAS-DAS kecil. Isu utama dalam keberlanjutan (kelestarian) ketersediaan sumber daya air di daerah ini adalah erosi dasar sungai dan tanggul sungai yang merupakan pengaruh dari curamnya kemiringan lahan, kerusakan daerah tangkapan hujan akibat penebangan liar, pengolahan lahan yang tidak sesuai peruntukannya dan kelebihan penggunaan pupuk, yang menyebabkan peningkatan polusi dan sedimentasi dan secara bersamaan juga mengurangi base flow. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian se-efisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Teknik atau metode konservasi tanah dan air dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu: (1) teknik konservasi vegetatif, sering juga disebut sebagai teknik konservasi (metode) biologi, (2) teknik konservasi mekanik, disebut juga sebagai teknik konservasi sipil teknis, dan (3) teknik konservasi konstruktif.
85
Pada prakteknya, metode konservasi vegetatif dan mekanis sulit untuk dipisahkan, karena penerapan metode konservasi mekanis akan lebih efektif dan efisien bila disertai dengan penerapan metode vegetatif. Sebaliknya, meskipun penerapan metode vegetatif merupakan pilihan utama, namun perlakuan fisik mekanis seperti pembuatan saluran pembuang air (SPA), bangunan terjun (drop structure) dan lainlain masih tetap diperlukan. Tidak semua bentuk teknik konservasi tanah dan air dapat diterapkan pada setiap kondisi lingkungan. Ada beberapa faktor pembatas lingkungan yang perlu diperhatikan dalam menentukan teknik konservasi yang akan diterapkan. Beberapa pembatas yang harus diperhatikan dalam menentukan teknik konservasi tanah dan air yang akan diterapkan adalah sebagai berikut: a. Iklim (curah hujan), curah hujan yang utama menentukan dalam memilih teknik konservasi adalah sifat hujannya yang menyangkut jumlah, intensitas dan distribusi (ruang dan waktu). b. Kemiringan lahan merupakan faktor penting di dalam memilih teknik konservasi, karena semakin besar kemiringan lahan, maka laju aliran permukaan akan semakin cepat dan daya kikis dan daya angkut air aliran permukaan semakin kuat dan cepat. c. Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah diukur dari permukaan sampai sejauh mana akar tanaman dapat menembus tanah. d. Tekstur tanah erat hubungannya dengan kemampuan tanah dalam menahan air dan pergerakan air di dalam profil tanah yang akan berpengaruh terhadap jenis dan dimensi teknik konservasi yang akan dipilih dan diterapkan. Teknik Konservasi Secara Vegetatif Konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa tanaman dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh dan jumlah daya rusak aliran permukaan. Konservasi tanah dan air secara vegetatif ini menjalankan fungsinya melalui: a. Pengurangan daya perusak butiran hujan yang jatuh akibat intersepsi butiran hujan oleh dedaunan tanaman atau tajuk tanaman. b. Pengurangan volume aliran permukaan akibat meningkatnya kapasitas infiltrasi oleh aktifitas perakaran tanaman dan penambahan bahan organik. c. Peningkatan kehilangan air tanah akibat meningkatnya evapotranspirasi sehingga tanah cepat lapar air. d. Memperlambat aliran permukaan akibat meningkatnya panjang lintasan aliran permukaan oleh keberadaan batang-batang tanaman. e. Pengurangan daya rusak aliran permukaan sebagai akibat pengurangan volume aliran permukaan dan kecepatan aliran permukaan akibat meningkatnya panjang lintasan dan kekasaran permukaan.
86
Konservasi tanah dan air secara vegetatif dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, namun dalam modul ini hanya dibahas satu cara, yaitu Regreening (afforestation) and Reforestation. Regreening (afforestation) and Reforestation merupakan cara yang cocok untuk menurunkan erosi dan aliran permukaan, terutama jika dilakukan pada bagian hulu daerah tangkapan air. Secara lebih luas, dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan dan menghutankan kembali tanah yang mengalami kerusakan fisik, kimia, maupun biologi; baik secara alami maupun oleh ulah manusia. Tanah yang rusak tersebut dapat berupa hutan gundul/rusak, belukar, padang ilalang, atau tanah terlantar lainnya. Tanaman yang digunakan biasanya tanaman yang bisa mencegah erosi, baik dari segi habitus maupun umur, juga diutamakan tanaman keras yang bernilai ekonomis, baik kayunya maupun hasil samping lainnya, misalnya getah, akar dan minyak. Adapun tujuan dari penghijauan (afforestation) adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi lahan kritis di luar kawasan dalam upaya meningkatkan fungsi lahan. Kegiatan afforestation biasanya dilakukan di lahan pribadi, kegitan ini dimulai dengan penanaman lahan kosong atau pekarangan rumah yang berada di luar kawasan hutan dengan tanaman keras (MPTS - Multi Purpose Trees Species), dan atau tanaman hortikultura. Diharapkan dengan kegiatan tersebut akan dapat mengoptimalkan tutupan lahan untuk mengurangi lahan kritis, menghasilkan kayu bakar and kayu untuk penduduk sekitar, konservasi lahan, air dan lingkungan. Sedangkan reforestation bertujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi hutan lindung dalam kawasan DAS yang dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat sekitar. Kegiatan utama adalah penanaman lahan kritis dalam kawasan hutan lindung dengan tanaman budidaya sehingga menciptakan keselarasan antara fungsi hutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitannya dengan usaha konservasi, tanaman yang dipilih hendaknya mempunyai persyaratan sebagai berikut, mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas, sehingga membentuk jaringan altar yang rapat, pertumbuhannya cepat, sehingga mampu menutup tanah dalam waktu singkat, mempunyai nilai ekonomis, baik kayunya maupun hasil lainnya dan dapat memperbaiki kualitas/kesuburan tanah. Teknik Konservasi Secara Mekanis (Sipil Teknis) Prinsip dasar konservasi tanah adalah mengurangi banyaknya tanah yang hilang akibat erosi, sedangkan prinsip konservasi air adalah memanfaatkan air hujan yang jatuh ke tanah seefisien mungkin, mengendalikan kelebihan air di musim hujan, dan menyediakan air yang cukup di musim kemarau. Dalam hal ini, konservasi secara mekanis mempunyai fungsi antara lain, memperlambat aliran permukaan, menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak, memperbesar kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah dan menyediakan air bagi tanaman. Adapun usaha konservasi tanah dan air yang termasuk dalam metode mekanis salah satunya adalah pembuatan Lubang Resapan Biopori.
87
Metode ini ditemukan oleh Dr Kamir R. Brata, seorang peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Lubang Resapan bio-pori (Lubang Resapan Biopori / LRB) adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir. Sebenarnya, teknologi ini cocok untuk diterapkan di daerah perkotaan (seperti Jakarta, Bogor dll) karena daerah DAS terbatas untuk menyusup air. LRB merupakan lubang vertikal pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan poripori di dalam tanah. Dengan semakin banyaknya pori-pori dalam tanah diharapkan akan meningkatkan daya serap tanah terhadap air hujan dan mengisi air tanah. Manfaat dari biopori adalah 1) memperlancar sistem peresapan air dalam tanah, 2) meningkatkan ketersediaan air, oksigen, unsur hara bagi biota yang ada dalam tanah, serta 3) mengatasi masalah genangan air.
Gambar 1. Contoh deskripsi LRB Teknik Konservasi Secara Konstruktif Konservasi konstruktif dilakukan dengan pembangunan bangunan stabilisasi. Bangunan stabilisasi sangat penting artinya dalam rangka reklamasi parit/selokan dan pengendalian erosi parit/selokan. Bangunan stabilisasi yang umum berupa dam penghambat (check dam), balong, gully plug, terjunan (drop structure), perkuatan lereng (revetment) dan rorak. Bangunan-bangunan tersebut berfungsi untuk mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan, di samping juga untuk menambah masukan air tanah dan air bawah tanah. Konservasi konstruktif yang dilaksanakan di Desa Bendosari adalah berupa pembuatan dam penghambat (check dam), gully plug, bangunan terjunan (drop structure) dan perkuatan lereng (revetment). 1) Dam penghambat (check dam) Check dam adalah bangunan yang dibuat melintang parit atau selokan yang berfungsi untuk menghambat kecepatan aliran dan menangkap sedimen yang dibawa aliran sehingga kedalaman dan kemiringan parit berkurang. Bangunan ini biasanya dibuat dari bahan lokal yang tersedia, misalnya kayu, tanah atau batu. Bangunan ini mempunyai resiko kegagalan yang tinggi, namun dapat memberikan stabilisasi sementara dan dapat dikombinasikan dengan sistem agronomi.
88
Persyaratan yang diperlukan antara lain, daerah kritis dengan kemiringan lereng 15-35%, daerah yang sudah diupayakan RLKT tetapi hasilnya belum efektif, daerah tangkapan airnya sekitar 30 ha dan lokasi terletak pada tempat yang stabil. Kegiatan pemeliharaan meliputi perbaikan/penyulaman kawat bronjong, anyaman ranting, trucuk bambu/kayu yang putus atau rusak dan pengisian kembali batu ke dalam bronjong kawat serta penguatan dinding tanah di sekitar dam penahan. Selain itu juga perlu dilakukan pemgerukan apabla sudah terjadi pendangkalan. 2) Gully plug Gully plug merupakan bangunan teknis yang berfungsi untuk konservasi tanah dengan cara mengendalikan dan menahan laju limpasan permukaan yang menyebabkan erosi sepanjang lereng. Bangunan ini dibuat dengan cara menyusun batu, kayu ataupun bambu melintang selokan atau saluran. Pada prinsipnya adalah untuk memperlambat dan menahan limpasan permukaan untuk kemudian dimanfaatkan untuk mengairi ataupun agar meresap ke dalam tanah, mencegah erosi serta dapat membantu pengendapan zat-zat organik tanah sehingga menjadi subur. Manfaat dari gully plug antara lain, memperbaiki kerusakan lahan yang disebabkan oleh gerusan air sehingga terjadi jurang/parit, mencegah bertambah luasnya kerusakan lahan akibat terjadinya jurang/parit yang semakin lebar, mengendalikan erosi dan lumpur/sedimen/endapan dan air dari daerah atas sehingga dapat mengendalikan hilir dari sedimen dan banjir dan memperbaiki kondisi tata air daerah sekitarnya. Persyaratan lokasi untuk gully plug antara lain, kemiringan lahan sampai dengan 30%, lahan kritis, kawasan tangkapan air dengan luas maksimum 10 ha, parit/jurang yang mempunyai lebar dan kedalaman maksimum 3x3 m, panjang parit/jurang ± 250 m dan kemiringan dasar parit/jurang maksimal 5%. Kegiatan pemeliharaan meliputi perbaikan bagian-bagian yang rusak, meliputi: bangunan utama, stabilitas lereng dan saluran di sekitar bangunan utama. 3) Terjunan (drop structure) Terjunan di sini merupakan suatu konstruksi yang bisa terbuat dari batu, bambu, kayu dan gebalan rumput yang dapat memperlambat laju aliran debris dan aliran permukaan. Persyaratan bangunan terjunan diperlukan apabila beda tinggi antara hulu dengan hilir cukup dalam. Sehingga diperlukan membangun terjunan seri untuk memperbaiki kemiringan dasar sungai atau saluran. Pemeliharaan bangunan terjunan segera diperbaiki apabila nampak adanya kerusakan. 4) Perkuatan lereng (revetment) Perkuatan lereng saluran atau sungai (revetment) merupakan suatu bangunan yang dibangun pada permukaan dinding saluran atau sungai yang berfungsi untuk melindungi dinding saluran dari gerusan air serta memperbaiki stabilitasnya terhadap bahaya longsor. Revetment dapat dibuat dari anyaman bambu ataupun susunan bambu utuh yang diletakkan pada sisi kanan dan kiri saluran/sungai.
89
METODOLOGI STUDI Metodologi Kegiatan Identifikasi kegiatan yang akan dilaksanakan adalah kegiatan struktural dan non-struktural yang meliputi: (1) Kegiatan non struktural, untuk mencegah terjadinya degradasi DAS dengan partipasi masyarakat sekitar seperti: biopori, terasering, gully plug, penghijauan dan/atau reboisasi. (2) Pembuatan bangunan eco-efficient (modular/in-situ) untuk mengurangi polusi ke sungai dan memperbaiki kualitas air seperti check dam dengan konstruksi dari bambu dan bangunan terjunan dari bambu. (3) Pembuatan bangunan perlindungan sungai eco-efficient untuk mencegah erosi pada dasar dan lereng sungai. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan ini meliputi kegiatan struktural dan non struktural oleh PJT I melalui Divisi yang berada di lapangan dan masyarakat Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Lokasi Kegiatan Sungai Konto adalah anak sungai Kali Brantas yang terbagi menjadi bagian hulu dan hilir oleh Bendungan Selorejo yang selesai terbangun pada tahun 1972. DAS Sungai Konto bagian hulu meliputi area seluas 236 km2 di antara komplek 4 gunung api yang mempengaruhi kontur daerah tersebut. Ketinggian diukur dari puncak Gunung Butak pada 2.800 m sampai 600 m di atas permukaan laut pada Bendungan Selorejo. DAS Kali Sereng yang sebagian besar berada di Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Secara geografis, wilayah Desa Bendosari adalah daerah pegunungan dan dataran tinggi. Desa ini memiliki luas sekitar 269,23 hektar yang terdiri dari 31 ha kawasan permukiman dan sisanya adalah lahan kering dan sawah tadah hujan. Desa ini dibagi menjadi lima Dusun (dusun), yaitu: Dusun Cukal, Dusun Dadapan Wetan, Dusun Dadapan Kulon, Dusun Ngeprih dan Tretes Dusun. Desa Bendosari memiliki penduduk sekitar 3.858 orang dan sebagian besar pekerjaan mereka terutama terkait dengan sektor pertanian. Pada bulan Januari – Pebruari 2010 terjadi banjir di Sungai Konto pada tanggal 14 Januari, 5 – 6 Pebruari dan terakhir 24 Pebruari 2010. Dimana pada tanggal 24 Pebruari 2010 terjadi banjir yang disebabkan oleh curah hujan dengan intensitas tinggi di daerah hulu Kali Konto yang mengakibatkan debit aliran naik drastis dari 14 m3/dt (kondisi normal) menjadi 127,85 m3/dt (pemantauan di Bendungan Selorejo). Banjir yang terjadi di Sungai Konto mengindikasikan adanya kerusakan pada DAS di daerah hulu Sungai Konto. Salah satu usaha penanganannya adalah perbaikan DAS dengan mendorong inisiatif masyarakat.
90
Hasil Kegiatan Upaya penanganan perbaikan DAS meliputi kegiatan struktural dan nonstruktural yang meliputi: (1) Kegiatan non struktural, untuk mencegah terjadinya degradasi DAS dengan partipasi masyarakat sekitar seperti: biopori, terasering, gully plug, penghijauan dan/atau reboisasi. Pelaksanaan kegiatan regreening dan reforestation di Desa Bendosari dilakukan dengan penanaman tanaman budidaya, yaitu sengon, durian, apel dan bambu.
-
Cara pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) sebagai berikut: a) Buatlah saluran aliran air pada lokasi-lokasi yang diinginkan untuk dibuat lubang biopori (daerah saluran air dipilih pada lokasi yang banyak terjadi genangan air). b) Pada saluran yang telah dibuat, dipilih titik-titik yang akan dibuat lubang biopori. c) Basahi titik-titik tersebut dengan air agar mudah pada saat pembuatan lubang. d) Buat lubang berbentuk liang pada titik-titik tersebut dengan alt yang telah dipersiapkan (lubang dibuat dengan kedalaman 80-100 cm dan diameter 10-30 cm). e) Perkuat mulut lubang dengan menggunakan semen atau pemasangan pipa paralon dengan ketinggian 10-15 cm agar tidak terjadi longsor. f) Isi lubang dengan menggunakan sampah organik (sampah organik yang digunakan bisa berupa potongan rumput, sampah dapur, atau daundaunan). g) Uji tingkat resapan dari lubang resapan biopori dengan mengisi lubang dengan air.
Gambar 2. Proses pembuatan lubang resapan biopori dan tanaman penghijauan (sengon) Cara pembuatan gully plug adalah sebagai berikut: 1. Stabilisasi hulu jurang a) Pembuatan teras-teras dan bangunan terjunan dari batu, bambu/kayu b) Pelandaian lereng hulu jurang/parit c) Pembuatan saluran diversi mengelilingi di atas hulu parit/jurang
91
2. Stabilisasi tebing jurang a) Pelandaian lereng/tebing b) Perkuatan lereng/tebing 3. Stabilisasi dasar parit/jurang terhadap bangunan pengendali lolos air dan bangunan pengendali tidak lolos air.
Gambar 3. Bangunan gully plug dengan bahan dari bambu Cara pembuatan terjunan (drop structure) sebagai berikut: 1. Dibuat dengan jarak vertikal yang disesuaikan dengan kemiringan lahan. 2. Lebar disesuaikan dengan lebar saluran dengan tinggi 50-75 cm. Pada daerah curam, tinggi terjunan bisa > 75 cm. 3. Pada dinding terjunan, permukaan tanah perlu dilindungi dengan bahan yang mudah diperoleh di lokasi, seperti susunan batu, bambu atau bahan lain seperti kantong tanah, pasir, semen atau batu bata. 4. Pada dasar terjunan dilengkapi dengan penahan sedimen, dapat digunakan beberapa baris rumput penguat yang ditanam melintang/memotong saluran. Untuk tanah peka erosi, penahan tersebut terbuat dari batu-batu besar.
Gambar 4. Bangunan terjunan (drop structure) kecil dengan kombinasi penggunaan kantong pasir dan bambu
92
(2) Pembuatan bangunan eco-efficient (modular/in-situ) untuk mengurangi polusi ke sungai dan memperbaiki kualitas air seperti check dam dengan konstruksi dari bambu dan bangunan terjunan dari bambu. Cara pembuatan check dam sebagai berikut: a) Penganyaman/pembuatan kawat bronjong, ranting, trucuk bambu/kayu. b) Pemasangan bronjong kawat, anyaman ranting, trucuk bambu/kayu. c) Pengisian batu ke dalam bronjong kawat. d) Pengikatan kawat bronjong, anyaman ranting, trucuk bambu/kayu. e) Penguatan tebing.
Gambar 5. Bangunan Check Dam dari bambu (3) Pembuatan bangunan perlindungan sungai eco-efficient untuk mencegah erosi pada dasar dan lereng sungai.
Gambar 6. Pelindung tebing saluran dari bambu KESIMPULAN 1. Konsep Eco-Efficient dalam pengelolaan SDA adalah paradigma dan strategi baru untuk mencapai tujuan pembangunan SDA yang berkelanjutan melalui perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi dari efisiensi ekologi dan efisiensi ekonomi secara bersama-sama. 2. Metode konservasi vegetatif dan mekanis sulit untuk dipisahkan, karena penerapan metode konservasi mekanis akan lebih efektif dan efisien bila disertai dengan penerapan metode vegetatif. Sebaliknya, meskipun penerapan metode vegetatif merupakan pilihan utama, namun perlakuan fisik mekanis masih tetap diperlukan.
93
3. Perbaikan DAS dengan penanganan struktural maupun non struktural dapat dilakukan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya konservasi lingkungan dan perlunya menanamkan kesadaran masyarakat bahwa lingkungan adalah milik bersama. 4. Sangat diperlukan kesadaran dari masyarakat dan kerjasama semua pihak terkait dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan, khususnya sumber daya air. REFERENSI Anonim, 2004. Rehabilitasi Lahan dan Perhutani Sosial, Departemen Kehutanan. Anonim, 2009. Laporan Akhir “Penyusunan Roadmap Pemberdayaan Masyarakat Petani Dalam Upaya Konservasi di Kawasan DAS Brantas”, Perum Jasa Tirta I dan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Malang, Indonesia. Anonim, 2010. Final Report “Framework and Action Plans for River Rehablitation of Small Streams in the Brantas River Basin Indonesia. Perum Jasa Tirta I dan United Nations Economic and Social Commission for Asia and Pacific (UN-ESCAP), Malang, Indonesia. Pretty Jules N., 1995. Regenerating Agriculture: Policies and Practices for Sustainability and Self Reliance. Earthscan publication Ltd., London. Sulbha Khanna, 1997. Effectiveness of Contour Bunds and Gully Plugs as Tools Watershed Treatment “A Case Study of Khabji Village of Bharuch District”. -. http://bendosari.wordpress.com. http://biopori.com.
94
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air Pulau Kecil Non-Cat Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Dan Energi Robert J Kodoatie1 dan Happy Mulya2 Universitas Diponegoro Balai Wilayah Sungai Papua 1
2
[email protected],
[email protected]
Intisari Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Salah satu referensi menyatakan Indonesia terdiri atas 17.508 pulau. Ada 5 pulau besar dengan luas area lebih dari 100.000 km2 yaitu Kalimantan, Sumatra, Papua, Sulawesi dan Jawa. Ada 26 pulau dengan luas lebih besar dari 2.000 km2 tapi kurang dari 100.000 km2. Dengan asumsi bahwa jumlah total pulau adalah 17.508 maka ada 17.477 pulau dengan luas kurang dari 2.000 km2 atau 99,82 % dari seluruh pulau di Indonesia yang didefinisikan sebagai pulau-pulau kecil. Dari peraturan cekungan air tanah di Indonesia pulau-pulau kecil ini dikategorikan sebagai pulau Bukan (Non) Cekungan Air Tanah (CAT). Non-CAT berarti tak mempunyai batas hidrogeologis air tanah, tidak mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dan tidak memiliki satu kesatuan akuifer. Maka dari itu, pulau-pulau kecil di Indonesia tidak memiliki air tanah (groundwater). Air yang meresap kedalam tanah hanya menjadi soilwater dan tidak ada perkolasi. Untuk memenuhi kebutuhan air pulau-pulau kecil hanya mengandalkan air permukaan dan soilwater. Keberlanjutan air lebih sensitif dibandingkan dengan area yang memiliki CAT. Untuk pengembangan pulau-pulau kecil, pangan dan energi adalah faktor yang sangat penting yang harus dikaji dan direncanakan secara hati-hati. Sumber daya air sebagai faktor hulu untuk keberlanjutan pangan dan energi dalam pengembangan pulau-pulau kecil harus dikelola secara terpadu dan menyeluruh. Makalah ini mengusulkan strategi pengelolaan sumber daya air Non-CAT dengan luas yang kecil dari pulau sebagai faktor limitasi. Pulau-Pulau Batam, Tarakan dan Kisar menjadi wilayah studi kasus. Pulau-Pulau ini dapat direpresentasikan sebagai pulau-pulau kecil Non-CAT berturut-turut untuk wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Kata kunci: pulau-pulau kecil, Non-CAT, strategi, Pengelolaan Sumber Daya Air.
95
PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat mengakibatkan kebutuhan akan air meningkat, kebutuhan lahan, permukiman, lahan usaha dan sarana lainnya juga meningkat. Hal ini yang mendorong percepatan alih fungsi lahan yang kemudian dapat menyebabkan munculnya berbagai konflik yang berkaitan dengan lahan (Kodoatie dan Syarief, 2005). Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 dan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap penggunaan fungsi lahan diwajibkan untuk menyediakan 30 % dari luas DAS atau luas pulau sebagai kawasan hutan. Pola ruang diklasifikasikan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Kawasan lindung diarahkan pada bagian hulu DAS yang berfungsi daerah tangkapan air atau daerah konservasi air permukaan dan ini sesuai dengan daerah imbuhan air tanah. Kawasan budidaya diarahkan pada bagian hilir DAS atau tempat pendayagunaan air permukaan dan juga merupakan daerah lepasan air tanah (UU No. 7 Tahun 2004; PP No. 42 Tahun 2008; PP No. 43 Tahun 2008; Kodoatie dan Syarief, 2010; Kodoatie, 2012; Zondag and Grashoff, 2008). Apabila ketentuan tersebut dipenuhi maka suplai dan kebutuhan air akan berimbang dan berkelanjutan. Permasalahan serius yang akan dihadapi adalah terjadinya ketidakseimbangan antara permintaan dengan ketersediaan SDA untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Karena itu penting adanya suatu strategi yang mengatur secara proporsional antara upaya melestarikan SDA (potensi) dengan upaya pemanfaatannya (kebutuhan). Strategi kebijakan pembangunan yang dilakukan pada pulau-pulau kecil ini harus dapat menjamin keberlanjutan penggunaan SDA dan ketersediaan SDA. Ciri khas pulau-pulau kecil yang dikelilingi lautan adalah sumber daya air (SDA) yang terbatas baik berupa air permukaan maupun air tanah. Pulau-pulau kecil juga sangat rentan degradasi sumber daya alam termasuk air. Sifat DAS yang kecil adalah kapasitas tampung yang terbatas. Sungai-sungai bersifat intermittent dan mata air-mata air hanya terjadi ketika curah hujan relatif tinggi dan terdistribusi dengan baik sepanjang tahun bila kondisi topografi dan geologi yang memungkinkan (Falkland, 1991). Pulau Batam, Pulau Tarakan dan Pulau Kisar dikategorikan sebagai Pulau Kecil Non-CAT (UU No. 27 Tahun 2007; KepPres No. 12 Tahun 2011). Pulau kecil berarti luas < 2000 km2 dan Non-CAT berarti tak ada groundwater hanya soil water dimana luasnya berturut-turut adalah 399 km2, 251 km2, dan 231 km2. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap keseimbangan air (neraca air) pada pulau-pulau Non-CAT. Langkahlangkah strategi untuk memenuhi kebutuhan air untuk pangan dan energi dan keberlanjutan SDAnya. Dengan mengetahui angka-angka variabel tersebut, maka para perencana dapat mendesain infrastruktur SDA, di lain pihak para pengambil keputusan (pemerintah) dapat menentukan langkah-langkah yang tepat untuk membuat kebijakan pengelolaan SDA di pulau-pulau kecil non CAT. Lokasi Pulau-Pulau Batam, Tarakan dan Kisar ditunjukkan dalam Gambar 1.
96
L o k a si P u la u -P u la u B a ta m , T a ra k a n d a n K isa r d itu n ju k k a n d a la m
G am bar 1.
S i n g a p u ra 0
P . K IS A R
20 km P . B in ta n
P. B unyu P. TA R A K A N P . L e ti
P. B A TA M T im o r L e ste 0
15km
0
25km
Gambar 1. Lokasi Pulau-Pulau Batam, Tarakan dan Kisar
G a m b a r 1 . L o k a si P u la u -P u la u B a ta m , T a r a k a n d a n K isa r
S i k l u s h i dPUSTAKA ro lo g i N o n TINJAUAN
C A T d itu n ju k k a n d a la m
G am bar 2.
Pengelolaan sumber daya air D im a n a : 1. Penguapan Pengertian strategi secara khusus adalah tindakan yang bersifat incremental 2 . E v a p o t ra n s p i ra s i . H u ja n (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan 3berdasarkan sudut 4 . S te m flo w , th ro u g h fa ll pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan (Hubeis, 5 . r u n -o ff 6 . B a nmelaksanakan, jir a ta u g e n a n g a n 2008). Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, . R iv e r flo w memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi 78sumber daya air, . T ra n s p i ra s i pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak9 .air 7 C a p (UU i l l a r y R Nomor ise 1 0 . In fi l t ra s i Tahun 2004; PP Nomor 42 Tahun 2008). Sasaran utama pengelolaan SDA pada 1 1 . In t e r f l o w pulau-pulau kecil non CAT adalah ketersediaan dan terpenuhinya air 1 6 . R e t ukebutuhan rn flo w 1 7 . P ip e flo w serta keberlanjutan SDA di pulau-pulau kecil non CAT. Pengelolaan sumber daya 1 8 .U n s a t u r a t e d f l o w air terpadu didefinisikan sebagai suatu proses yang mempromosikan 1 9 . S a t u r a t e dkoordinasi flo w pengembangan dan pengelolaan air, tanah dan sumber daya terkait dalam rangka G a muntuk b a r 2 mengoptimalkan . S i k l u s h i d r o l o gresultan i N o n - Cekonomi A T ( C h odan r l e ykesejahteraan , 1 9 7 8 ; T o t h , sosial 1 9 9 0 ; dalam C how tujuan k . , 1 9tanpa 8 8 ; Mmengganggu a i d m e n t , 1 9kestabilan 9 3 ; K o d o dari a t i e , ekosistem-ekosistem 2012) sikap yang cocok/d ktepat penting (GWP, 2001). Siklus K e sHidrologi i m b a n g a n Non-CAT sik lu s H id ro lo g i N o n -C A T d iu tn ju k k a n d a la m 5. hujan di darat = 100 Siklus hidrologi Non CAT ditunjukkan dalam Gambar 2. 3. uap di darat gunung
dari laut = 39
G am bar 3. 2. Hujan di laut = 385
Dimana: 1. Penguapan 2. Evapotranspirasi Evapo darat evaporasi 3. Hujan transpirasi 4. Stem flow, through fall waduk 5. run-off 4. surface muka bumi 6. Banjir atau genangan 1. evaporasi dari outflow = 39 7. Riverlaut flow = 424 8. Transpirasi Di bawah muka bumi LautRise 9. Capillary 10. Infiltrasi Batuan kedap air 11. Interflow 16. Return flow 17. ( Pipe G a m b a r 3 . K e se im b a n g a n sik lu s h id r o lo g i N o n -C A T C h oflow w d k k ., 1 9 8 8 ; 18. Unsaturated flow M a i d m e n t , 1 9 9 3 ; K o d o a t i e , 2 0 1 2 19. ) Saturated flow 6. total evaporasi dari darat = 61
.
Gambar 2. Siklus hidrologi Non-CAT (Chorley, 1978; Toth, 1990; Chow dkk., 1988; Maidment, 1993; Kodoatie, 2012)
8 . T ra n s p i ra s i 9 . C a p i l l a ry R i s e 1 0 . In fi l t ra s i 1 1 . In t e r f l o w 1 6 . R e tu rn flo w 1 7 . P ip e flo w 1 8 .U n s a t u r a t e d f l o w
97
1 9 .S a t u r a t e d f l o w
G a m b a r 2 . S ik lu s h id r o lo g i N o n -C A T (C h o r le y , 1 9 7 8 ; T o th , 1 9 9 0 ; C h o w
Kesimbangand Siklus k k . , 1 Hidrologi 9 8 8 ; M a iNon-CAT d m e n t, 1 9 9 3 ; K o d o a tie , 2 0 1 2 ) Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa Hujan di darat (100) = total evaporasi darat (61) + surface outflow (39) atau 100 = 61 + 39 atau Hujan di darat (100) = total laut K evaporasi e s i m b a n dari g a n darat s i k l u(61) s H+ i duap r o l odig darat i N o ndari -C A T d(39) i u t natau j u k k=a 100 n d a=l a61 m +39. G am bar 3. 5. hujan di darat = 100 2. Hujan di laut = 385
3. uap di darat dari laut = 39
gunung
6. total evaporasi dari darat = 61
Evapo transpirasi
darat
evaporasi waduk
4. surface outflow = 39
muka bumi
1. evaporasi dari laut = 424
Di bawah muka bumi
Laut
Batuan kedap air
G a m b Gambar a r 3 . K 3. e s Keseimbangan e i m b a n g a n ssiklus i k l u s hidrologi h i d r o l oNon-CAT g i N o n - C(Chow A T (C h o w1988; d k k ., 1 9 8 8 ; dkk., M Maidment, a i d m e n t , 1993; 1 9 9 3 ;Kodoatie, K o d o a t2012) ie , 2 0 1 2 )
.
Kriteria penampang Non-CAT ditunjukkan dalam Gambar 4.
H u j a n
M u k a ta n a h I n filtr a tio n V a d o se
S o il w a te r z o n e
a
zo n e/
V a d o se
Zone of a e r a tio n
in te r m e d ia te
c =
b
C a p illa r y z o n e
s o il w a te r
b =
v a d o z e w a te r
w a te r
I n te r m e d ia te v a d o ze z o n e
a =
c a p ille r w a te r
c
u n c o n n e c te d p o res zo n es
W a te r in
A ir s e c a r a f is ik m a s ih
u n c o n n e c te d p o re s
b is a d ik o n s u m s i, ta k
W a te r o n ly in c h e m i
A ir s e c a r a k im ia
c a l c o m b . w ith r o c k
( b ia s a n y a ) ta k la y a k
u n c o n n e c te d p o re s
d ik o n s u m s i, te r ja d i d i
b e r e a k s i s e c a r a k im ia
Z o n e s w h e r e w a te r o n ly in c h e m ic a l c o m b in a tio n w ith r o c k u n c o n n e c te d p o res
d a e r a h ta m b a n g
B ed ro ck o r
B a tu a n /r o c k
im p e r m e a b le z o n e
N o w a te r
B a tu a n → te r u s k e d a la m b u m i
Gambar 4. Formasi air di bawah muka bumi Non-CAT (Davis dan DeWiest, 1966; 2005; G a m b a r Driscoll, 4 . f o r m a1987; s i a i r Skipp, d i b a w1994; a h m Todd u k a b& u mMay, i N on - C A TKodoatie, ( D a v i s d 2012) a n D e W ie st, 1 9 6 6 ; D r isc o ll, 1 9 8 7 ; S k ip p , 1 9 9 4 ; T o d d & M a y , 2 0 0 5 ; K o d o a tie , 2 0 1 2 )
Non Cekungan Air Tanah (Non CAT) Mengacu pada kriteria CAT dalam PP No. 43 Tahun 2008, maka kriteria Bukan . CAT (Non-CAT) atau CAT tidak potensial maka kriteria Non-CAT adalah sebagai berikut: E v a p o t r a n s p i r a s iR a i n f a l l
S u rfa c e
E v a p o t ra n s p i ra s i
S u rfa c e R u n -o ff
S u rfa c e
T o ta l R u n -o ff
G ro u n d w a t e r S t o ra g e
S u rfa c e R u n -o ff
S t o ra g e
S t o ra g e In fi l t ra s i
R a i n fa l l
T o ta l
In fi l t ra s i
R u n -o ff
S o ilw a te r G ro u n d w a t e r R u n -o ff
G a m b a r 5 M o d e l R a in fa ll-R u n o ff
S t o ra g e
In t e rfl o w
G a m b a r 6 M o d e l R a in fa ll-R u n o ff M e to d e
98
a. Tidak mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau kondisi hidraulik air tanah. b. Tidak mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu H u j a n sistem pembentukan air tanah. c. Tidak memiliki satu kesatuan sistem akuifer. M u k a ta n a h a = s o il w a te r Ketersediaan Air dengan Metode Mock a V a d o se S o il w a te r z o n e b = in te r m e d ia te zo n e/ o se Pada prinsipnya, Metode Mock mengacuV a dpada keseimbangan v a d air o z e w (water a te r Zone of w a te r c = c a p ille r w a te r I n t e r m e d i a t e v a d o z e z o n e balance), dimana volume air total yang adab di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi a e r a tio n dan distribusinya yang bervariasi. Metodec Mock ini memperhitungkan volume C a p illa r y z o n e air yang masuk, keluar dan yang disimpan dalam tanah (groundwater A i r s e c a r a storage). f is ik m a s ih W a te r in u n c o n n e c te d u nkeluar c o n n e c t e adalah d p o re s b i s a d i k o n perkolasi s u m s i, ta k Volume air yang masuk adalah hujan, air yang infiltrasi, p o res zo n es b e r e a k s i s e c a r a k im ia dan yang dominan adalah akibat evapotranspirasi. Soil storage adalah volume air W a te r o n ly in c h e m i A ir s e c a r a k im ia Z o n e s w h e r e w a t e r o n l y i n c h e m i c a l yang disimpan dalam pori-pori tanah, hingga kondisi c a l c o m btanah . w i t h r o menjadi ck ( b i a s a njenuh. y a ) ta k la y a k I n filtr a tio n
c o m b in a tio n w ith r o c k u n c o n n e c te d
u n c o n n e c te d p o re s
d ik o n s u m s i, te r ja d i d i
p o r model es Bagan alir rainfall-runoff Metode Mock dapat dilihatd apada Gambar 5 e r a h ta m b a n g dimana aliran air mengikuti siklus hidrologi di daerah CAT, dari hujan, sebagian B ed ro ck o r B a tu a n /r o c k B a t u a n berinfiltrasi → te r u s tertampung di permukaan, sebagian menjadi surface runoff, dan sebagian im p e r m e a b le z o n e N o w a te r k e d a la m bum i memasuki groundwater storage dan menjadi groundwater runoff. Selanjutnya ditambah surface runoff menjadi total runoff. Berdasarkan siklus hidrologi pada daerah non CAT dimana digambarkan aliran air hujan sebagian tertampung di G a m b a r 4 . f o r m a si a ir d i b a w a h m u k a b u m i N o n -C A T (D a v is d a n D e W ie st, permukaan sebagian mengalami infiltrasi ke root zone/vadoze zone menjadi soil 1 9 6 6 ; D r isc o ll, 1 9 8 7 ; S k ip p , 1 9 9 4 ; T o d d & M a y , 2 0 0 5 ; K o d o a tie , 2 0 1 2 ) water. Dengan adanya batuan kedap air di bawah root zone maka aliran air berubah menjadi interflow. Karena di daerah non CAT tak ada groundwater storage maka siklus hidrologinya dimodifikasi seperti Gambar 6. . E v a p o t r a n s p i r a s iR a i n f a l l
S u rfa c e
E v a p o t ra n s p i ra s i
S u rfa c e R u n -o ff
S u rfa c e
T o ta l R u n -o ff
G ro u n d w a t e r S t o ra g e
S u rfa c e R u n -o ff
S t o ra g e
S t o ra g e In fi l t ra s i
R a i n fa l l
T o ta l
In fi l t ra s i
R u n -o ff
S o ilw a te r G ro u n d w a t e r R u n -o ff
Gambar 5 Model Rainfall-Runoff M e Metode t o d e M oMock ck
G a m b a r 5 M o d e l R a in fa ll-R u n o ff
S t o ra g e
In t e rfl o w
G a m b a6 r Model 6 M o d eRainfall-Runoff l R a i n f a l l - R u n Metode o ff M eto d e Gambar Mock M o c kdaerah d a e r a non h n oCAT n C A(Modified) T (M o d ifie d )
Tata Ruang Wilayah Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia implementasi rencana tata ruang wilayah pulau kecil masih menganut kebijakan rencana tata ruang pulau besar. Menurut UU No.26 Tahun 2007 dan UU No. 41 Tahun 1999 dipersyaratkan bahwa untuk tujuan konservasi air dan tanah harus menyediakan kawasan hutan 30 % dari luas DAS atau pulau. Dalam hal ini karena keterbatasan daratan pulau kecil dan karakteristik NonCAT, maka implementasinya di pulau-pulau kecil kemungkinan merupakan suatu masalah. Menurut Pasaribu (2009), pola pemanfaatan ruang pulau kecil perlu menyeimbangkan lahan dan air dengan daya dukung pulau.
Ciri Khas Sistem Hidrologi – Hidrogeologi Non-CAT: X2 Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Pengendalian daya rusak air (kekeringan)
X3 Pengelolaan Lingkungan Hidup
X4 Pengurusan Hutan
X5
Peraturan Perundang-undangan -UU No 7 Thn 2004 -UU No 26 Thn 2007 -UU 27 Thn 2007 -UU 41 Thn 1999 -UU 32 Thn 2009
Contraints (Kendala): l. Luas lahan terbatas dan 2. Non-CAT (no-groundwater)
Q Min
Pengendalian dayar rusak air (Banjir)
Pendayagunaan SDA
Q Suplay–Kebutuhan (Neraca Air) Siklus Hidrologi: I – O = ΔS Q Max
Konservasi SDA
Q Surplus - Keberlanjutan
HARMONI & INTEGRASI Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang Pulau Kecil
X1 Rencana Tata Ruang Pulau Kecil
Proses, Analisi dan keluaran
Peningkatan Ekonomi/Sosial/ Budaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kelestarian Ekosistem Keberlanjutan SDA Di Pulau-Pulau Kecil Non-CAT
Sasaran
G a m b a r 7 . K e r a n g k a B e r p ik ir S tr a te g i P S D A p a d a P u la u 2 K e c il N o n -C A T .
Degradasi Lingkungan
Eksploitasi Sumber Daya Alam Meningkat
Peningkatan Permintaan Air Baik Kualitas & Kuantitas
Peningkatan Pembangunan
Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan Penduduk
SDA ( Air permukaan dan Air Tanah) terbatas, Banyak DAS dengan kapasitas tampung terbatas (DAS kecil), Rentan terhadap degradasi SDA & bencana alam (Tiphon, Topan, Siklon, Gempa Bumi, Letusan Vulkanik, Tsunami) (Falkland, 1991) Curah hujan rendah dan sempitnya DAS waktu keberadaan air di daratan pendek (Djuwansah et al., 2005) Dimensi tubuh yang terbatas untuk menyimpan air tergantung volume tanah dan batuan sarang yang terletak di atas muka air (de Neve, 2002) Air hujan siklusnya pendek dan terbuang percuma kelaut, hanya sebagian kecil yang menyerap ke dalam tanah (Laurentia, 2009; Kodoatie dan Suripin, 2000) Kemampuan untuk menahan air (water retention) rendah (Arenas dan Huartas, 1986; Delirom, 2005) Air tanah berupa lensa air yang mengapung di atas air payau / air asin (Hehannusa, 1987) Tidak mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau kondisi hidraulik air tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Tidak mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem pembentukan air tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Tidak memiliki satu kesatuan sistem akuifer (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Tidak memiliki aliran air tanah, akuifer dan baseflow atau hanya memiliki aliran permukaan Aliran sungai tak kontinyu (intermittent river) Sesuai untuk wadah-wadah air tetapi dengan evaporasi permukaan air besar
Strategi Pengelolaan SDAir Pada Pulau-Pulau Kecil Non-CAT
99
METODOLOGI STUDI
Kerangka berpikir pada penelitian Strategi Pengelolaan SDA pada Pulau-Pulau Kecil Non CAT ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kerangka Berpikir Strategi PSDA pada Pulau2 Kecil Non-CAT.
Air hujan siklusnyadaerah pendek imbuhan dan terbuang sebagian kecil yang menyerap ke dalamair Tidak mempunyai danpercuma daerah kelaut, lepasanhanya air tanah dalam satu sistem pembentukan tanah (Laurentia, 2009; Kodoatie dan Suripin, 2000) tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Kemampuan untuk menahan air (water retention) rendah (Arenas dan Huartas, 1986; Delirom, 2005) Tidak memiliki satu kesatuan sistem akuifer (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Air tanah berupa lensa air yang mengapung di atas air payau / air asin (Hehannusa, 1987) Tidak aliran air tanah, akuifer dan hanya memiliki aliran permukaan Tidakmemiliki mempunyai batas hidrogeologis yangbaseflow dikontrolatau oleh kondisi geologis dan/atau kondisi hidraulik Aliran sungai tak kontinyu (intermittent air tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010) river) Sesuai untuk wadah-wadah air tetapi dengan evaporasi permukaan air besar Tidak mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem pembentukan air tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Tidak memiliki satu kesatuan sistem akuifer (Kodoatie dan Sjarief, 2010) Tidak memiliki aliran air tanah, akuifer danPerkembangan baseflow atau hanya memiliki aliran permukaan Penduduk Aliran sungai tak kontinyu (intermittent river) Sesuai untuk wadah-wadah air tetapi dengan evaporasi permukaan air besar
100
Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan Penduduk
HARMONI INTEGRASI Pendayagunaan SDA Q Suplay–Kebutuhan (Neraca & Air) SDA Penataan Ruang Pulau Kecil SiklusPengelolaan Hidrologi: I – O = dengan ΔS Q Surplus Q Max- Keberlanjutan
Konservasi SDA Pengendalian dayar rusak air (Banjir)
Q Suplay–Kebutuhan (Neraca Air) Q Min Siklus Hidrologi: I – O = ΔS
Pendayagunaan SDAdaya rusak air Pengendalian (kekeringan)
Keberlanjutan SDA Di Budaya Pulau-Pulau Kecil Peningkatan Non-CAT Kesejahteraan Masyarakat Kelestarian Ekosistem Keberlanjutan SDA Di Pulau-Pulau Kecil Non-CAT
Contraints (Kendala): l. Luas lahan terbatas dan 2. Non-CAT (no-groundwater) Q Max Pengendalian dayar rusak air (Banjir) Pengendalian daya rusak air (kekeringan)
Q Min
Contraints (Kendala): l. Luas lahan terbatas dan 2. Non-CAT (no-groundwater)
Peningkatan Pembangunan
X3 Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pertumbuhan Ekonomi
Peningkatan Permintaan Air Baik Kualitas & Kuantitas Peningkatan Pembangunan
X5
Peraturan Perundang-undangan -UU No 7 Thn 2004 -UU No 26 Thn 2007 -UU 27 Thn 2007 -UU 41X5 Thn 1999 Peraturan Perundang-undangan -UU 32 Thn 2009 -UU No 7 Thn 2004 -UU No 26 Thn 2007 -UU 27 Thn 2 2007 -UU 41 Thn 1999 -UU 32 Thn 2009
X4 Pengurusan Hutan
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di Pulau Batam dengan luas 399 km , Pulau Tarakan dengan luas 251 km2, dan Pulau Kisar dengan luas 231 km2. Ketiga pulau sebagai lokasi studi merupakan pulau Non-CAT. Pada daerah Non-CAT, SDA yang dapat G am bar 7. K e r a n air g k apermukaan B e r p i k i r karena S t r a t e semua g i P S Dair A hujan p a d a akan P u l a hanya u 2 K e menjadi c i l N o n -air C A T . dimanfaatkan hanya permukaan dan aliran antara. Di DAS, kedalaman tanah yang mampu menyimpan G a m b a r 7 . K e r a n g k a B e r p ik ir S tr a te g i P S D A p a d a P u la u 2 K e c il N o n -C A T . air hanya di daerah vadose. Secara umum kondisi ketiga pulau tersebut ditunjukkan dalam Gambar 8, Gambar 9 dan Gambar 10. X3 Pengelolaan Lingkungan Hidup
Eksploitasi Sumber Daya Alam Meningkat
Peningkatan Permintaan Air Baik Kualitas & Kuantitas
Degradasi Lingkungan Eksploitasi Sumber Daya Alam Meningkat
X4 Pengurusan Hutan
Degradasi Lingkungan
to p so il san g at b ag u s tan am an san g at su b u r a .V e g e t a s i s u b u r t o p s o i l y a n g m a s i h b a i k to p so il san g at b ag u s tan am an san g at su b u r a .V e g e t a s i s u b u r t o p s o i l y a n g m a s i h b a i k
to p so il m en ip is, tan am an m u lai h ilan g b . K o n d isi v eg etasi to p so il m u lai h ilan g to p so il m en ip is, tan am an m u lai h ilan g b . K o n d isi v eg etasi to p so il m u lai h ilan g
c. T ak ad a v eg etasi k aren a tak ad a to p so il h an y a tin g g al b atu an c. T ak ad a v eg etasi k aren a tak ad a to p so il h an y a tin g g al b atu an
G a m b a r 8 . K o n d isi v e g e ta si, ta n a h d a n b a tu a n d i P u la u B a ta m G a m b a r 8 . K o n d isi v e g e ta si, ta n a h d a n b a tu a n d i P u la u B a ta m
Gambar 8. Kondisi vegetasi, tanah dan batuan di Pulau Batam
aa .. V V ee gg ee ttaassii ddeenngga ann t ot op p s os oi li lm ma sai shi ha daad a
b . bK. oKn od ni sdi i vs ie gv eetga es it a tsoi p t o s op i ls omi lu lma iu hl ai li a hn igl a n g
G aa m m bb aarr 99. . KKo on nd di si is iv ve ge eg teat sa is, i t, atna an ha hd adna b n abt ua ta un a dn i dP iu Pl auul aTua rTaakraank a n G
Gambar 9. Kondisi vegetasi, tanah dan batuan di Pulau Tarakan
Pulau Batam mempunyai beberapa waduk yang difungsikan untuk menyuplai kebutuhan air yang ada. Kebutuhan air bersih dipenuhi oleh enam waduk. Sebagian besar penduduk memenuhi kebutuhan air dengan memanfaatkan air waduk melalui ATB (PT. Adhya Tirta Batam sebagai pengelola) sedangkan yang lainnya memanfaatkan tampungan air hujan. Potensi ketersediaan air 153 m3/det namun belum dimanfaatkan seluruhnya. Kapasitas produksi air ATB untuk keseluruhan waduk Tahun 2010 hanya 2,6 m3/detik dan mengalami penurunan setiap tahun karena penurunan pelayanan dan operasional. Kebutuhan air bersih terus meningkat sampai Tahun 2010 sebesar 2,9 m3/detik. Air waduk tidak hanya dimanfaatkan
101
penduduk setempat tetapi juga penduduk di pulau sekitar Pulau Batam. Kekurangan pemenuhan air bersih di Pulau Batam dilakukan dengan meningkatkan produksi ketersediaan air terpasang selain itu juga menambah wadah-wadah air berupa waduk dan mengoptimasi waduk-waduk yang sudah ada. Ketersediaan airnya ditunjukkan Gambar 11. K o n d isi to p so il:
M e n ip is
bagus
a . V e g e ta si se su a i to p so il y a n g a d a
b . to p so il m u la i m e n ip is
c . T a k a d a ta n a m a n k a re n a to p so il h ila n g
Gambar Prov G am b a r 1 010. . K Kondisi o n d i s i vvegetasi, e g e t a s i ,tanah t a n a dan h d abatuan n b a t udi a nPulau d i P Kisar, u la u K i s a rMaluku , P r o v M a lu k u 30 25 0
27,4 23,3 F o rm a s i G o u n g o n , p e n y u -
10 km
m3/detik
20
G ra n i t k e d a p a i r
su n sa n d sto n e k e d a p a ir
15 10
6,0
8,0
9,2
11,0
10,0
Mei
Jun Jul Bulan
9,7
11,2
14,4
14,3
Okt
Nov
9,0
5 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Agt
Sept
Des
Gambar 11 Prediksi Ketersediaan Air Pulau Batam (m3/det) Kondisi hutan masih memadai namun peningkatan penduduk dan ruang terbangun masih terus berlangsung. Dari hasil analisis sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan kondisi Non-CAT maka 30% kawasan hutan masih kurang sehingga ake . D depan A S P upulau l a u B ini a t a agar m b . K omemerlukan n d i s i g e o l o gsetidak-tidaknya i ( s e m u a k e d a p40% a ir) terjaga neraca airnya kawasan (kaw. kondisi G a m b ahutan r 11. D A S d Lindung). a n k o n d i sDAS i g e o ldan ogi k e d a p a geologi i r ( N o n ditunjukkan - C A T ) P u l adalam u B a ta m Gambar 12. (P u slib a n g G e o lo g i, 2 0 0 7 ) 6,6
7 5,6
6
m3/detik
5
4
4,6
5,2
5,0
3,3
3,7
3 2
1,4
1,6 1,1
0,8
c . T a k a d a ta n a m a n k a re n a to p so il h ila n g
102
G a m b a r 1 0 . K o n d isi v e g e ta si, ta n a h d a n b a tu a n d i P u la u K isa r , P r o v M a lu k u
0
F o rm a s i G o u n g o n , p e n y u -
10 km
G ra n i t k e d a p a i r
su n sa n d sto n e k e d a p a ir
a . D A S P u la u B a ta m
b . K o n d isi g e o lo g i (se m u a k e d a p a ir)
G a m b a r 1 1 . D A S d a n k o n d isi g e o lo g i k e d a p a ir (N o n -C A T ) P u la u B a ta m
Gambar 12. DAS dan kondisi geologi kedap air (Non-CAT) Pulau Batam (P u slib a n g G e o lo g i, 2 0 0 7 ) (Puslibang Geologi, 2007) 6,6
7
Di P. Kisar, untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, pada umumnya penduduk 5,2 5,0 4,6 5 menggunakan sumber air dari sumur, tampungan air hujan, dan mengandalkan air 3,7 4 3,3Sumur warga terdiri dari sumur bor dan gali dari PDAM dengan kapasitas terbatas. 3 dengan kedalaman 4 - 7 m. Ada tujuh embung dibangun dan berhasil mengkonservasi 1,6 2 air dan 1lahan. Potensi ketersediaan air sebesar 1,4 39 m31,1 /detik0,8(untuk bulanan lihat 0,6 Gambar013) saat ini masih dapat memenuhi kebutuhan air penduduk walau pada Jan kesulitan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des musim kemarau air mulai timbul. 5,6
m3/detik
6
Bulan
6,6
7 5,6
6
m3/detik
5
4,6
5,2
5,0
4
3,3
3,7
3 2
1,4
1
1,6 1,1
0,8
0,6
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sept
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 13. Ketersediaan Air Pulau Kisar Hutan masih dominan dengan penduduk yang masih relatif sedikit dan kondisi geologi di bagian tengah adalah batuan metamorf di pinggir pulau batugamping koral (PusLitbang Geologi, 2007) yang semuanya kedap air sehingga seluruh pulau kedap air. Potensi ketersediaan air P. Tarakan adalah sebesar 140 m3/det (untuk bulanan lihat Gambar 14). Penduduk yang menggunakan air leding/kemasan untuk keperluan rumah tangganya mencapai 49%. Penduduk yang menggunakan sumur/mata air terlindung dan mata air tidak terlindung sebesar 20%. Sisanya 31% menggunakan air hujan sebagai sumber air. Potensi ketersediaan masih memadai namun ketersediaan terpasang masih perlu ditambah.
m3/detik
103
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
17,7 15,3
15,0 12,9
12,4 12,4 10,0 7,9
Jan
9,3 6,9
6,4
Feb
13,6
Mar
Apr
Mei
Jun Jul Bulan
Agt
Sept Okt
Nov
Des
Gambar 14. Prediksi Ketersediaan Air Pulau Tarakan Di Bagian tengah kondisi geologi adalah Formasi Sejau dan bersifat kedap air. Pada bagian pinggir kondisi geologinya adalah endapan aluvium muda dan bersifat lolos air namun tak mempunyai daerah resapan dan daerah imbuhan. Sehingga seluruh pulau ini bersufat Non-CAT (Puslibang Geologi, 2007; KepPres No. 26 Tahun 2011). KESIMPULAN 1. Di Pulau Batam, Pulau Tarakan dan Pulau Kisar, kebutuhan air penduduk sebagian besar dipenuhi dengan memanfaatkan air dari embung, air sumur dangkal (kedalaman sesuai soil) dan tampungan air hujan. 2. Walaupun semua batuan di tiap-tiap pulau adalah kedap air namun karakter batuan dan ketebalan soil tiap pulau berbeda sehingga sensitivitas waktu tinggal air di permukaan tanah juga berbeda. 3. Strategi PSDA Pulau Kecil Non-CAT adalah mengoptimalkan aspek-aspek konservasi SDA, pendayagunaan SDA dan pengendalian daya rusak air dengan pengurusan hutan dan penataan ruang. 4. Untuk aspek konservasi sumber daya air maka optimalisasi kawasan lindung dan budidaya perlu dilakukan dengan kondisi Non-CAT. 5. Pembuatan tampungan air sebanyak-banyaknya untuk mengurangi laju run-off dan banjir di musim penghujan, sekaligus cadangan air di musim kemarau. 6. Untuk aspek pendayagunaan air perlu dipahami adanya keterbatasan simpanan air yang hanya berupa air permukaan dan soil water. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada rekan – rekan dosen Jurusan Teknik Sipil Undip dan teman sejawat di DitJen SDAir, Kementrian PU. dan yang telah bersedia berdiskusi dan membantu referensi dan membantu dalam penelitian ini. REFERENSI Chorley, R.J., 1978. The Hillslope Hydrological Cycle. Chapter 1 of Book Hillslope Hydrology. Ed. M.J. Kirby. John Wiley & Sons, Ltd. Chow, Ven Te, Maidment, David R., and Mays, Larry W., 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Book Company, New York.
104
Chow, Ven Te, Maidment, David R., and Mays, Larry W., 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Book Company, New York. Davis, Stanley, & DeWiest, Roger,M., 1966. Hydrogeology. John Wiley & Sons. Driscoll, Fletcher G., 1987. Groundwater and Wells. Johnson Division. St. Paul, Minnesota. Falkland, A., 1991. Hydrology& Water Resources of Small Islands. Global Water Partnership (GWP), 2001. Integrated Water Resources Management. GWP Box, Stockholm, Sweden. Hubeis Musa dan Najib Mukhmad, 2008. Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya Saing Organisasi. Penerbit Elex Media Komputindo Kodoatie, J. Robert, 2012. Tata Ruang Air Tanah. Penerbit Andi Yogyakarta Kodoatie, Robert J. dan Sjarief Roestam, 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi. Maidment, R. David, 1993. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, Inc. Pasaribu, Maurits Marolop 2009. Sistem Penataan Ruang untuk Pengembangan Permukiman di Pulau Kecil. Disertasi UI. PP No. 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. PP No. 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah. Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Dep. ESDM, 2007. Peta Geologi Indonesia – Formasi, Patahan dan Bahaya Geologi. Skipp, B.O., 1994. Keynote Paper: Setting the Scene. Groundwater Problems in Urban Areas. Publisher Thomas Telford, London. Todd, David K. and Mays, Larry W., 2005. Groundwater Hydrology. 3rd edition. John Wiley & Sons, Inc. Toth, J., 1990. Introduction to Hydrogeology. Geology Department, Faculty of Science, University of Alberta, Edmonton, Canada. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau2 Kecil. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Zondag, Barry and Grashoff, Poul, 2008. Integrated Planning For Space And Water: Java Spatial Model (JSM) Methodology. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Dep PU dan NWP Holland.
105
Pengembangan Teknologi Perlindungan Mata Air Di Daerah Pantai Berkarang / Bertebing Abimanyu dan Fitri Riandini* Balai Pantai Pusat Litbang Sumber Daya Air *
[email protected]
INTISARI Kelangkaan air yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia disebabkan oleh belum seimbangnya jumlah ketersediaan air dengan kebutuhan konsumsi. Pada beberapa lokasi, banyak sumber air belum dimanfaatkan karena kurangnya informasi tentang cara pemanfaatan air. Salah satu sumber air permukaan yang belum dimanfaatkan adalah sumber air yang keluar di daerah pantai berkarang dan bertebing. Pengembangan teknologi perlindungan air yang berasal dari sumber mata air di daerah pantai berkarang/bertebing dilakukan dengan membuat bangunan pemusatan mata air secara berupa penurapan dengan bak yang dilindung oleh perkuatan/lapisan armor. Dengan adanya bangunan pemusatan mata air tersebut, diharapkan semburan mata air yang keluar di sekitar pantai dapat dilokalisir dan diamankan dari serangan gelombang, sehingga air yang terkumpul dapat dimanfaatkan sebagai air baku bagi keperluan penduduk sehari-hari. Kata kunci : perlindungan mata air, pemanfaatan air daerah pantai, pantai berkarang
PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup semua makhluk hidup termasuk manusia. Air juga sangat diperlukan oleh kegiatan komersial seperti kegiatan industri, pertanian, perikanan dan usaha perkotaan lainnya. Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang terbarui namun demikian kadang ketersediaannya tidak selalu sesuai dengan waktu, ruang, jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan kebutuhan air baik jumlahnya maupun kualitasnya. PBB memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 banyak negara akan mengalami krisis air. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara yang kaya air, tetapi negeri kita ini terancam menderita krisis air juga sebagai akibat dari lemahnya sistem
106
pengelolaan pembangunan sumber daya air dan lingkungan pada umumnya. Hal ini tercermin dari semakin menurunnya kualitas air baik air permukaan ataupun air tanah, fluktuasi debit air sungai yang sangat besar, inefisiensi dalam penggunaan air, dan regulasi yang masih sangat kurang mewadahi. Kelangkaan air di Indonesia disebabkan oleh belum seimbangnya jumlah ketersediaan air dengan kebutuhan konsumsi. Pada beberapa lokasi banyak sumber air belum dimanfaatkan karena kurangnya informasi tentang cara pemanfaatan air. Salah satu sumber air permukaan yang belum dimanfaatkan adalah sumber air yang keluar di daerah pantai berkarang dan bertebing. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan teknologi perlindungan air yang berasal dari sumber mata air di daerah pantai berkarang/bertebing berupa bangunan pemusatan mata air secara. Kajian Pustaka Kondisi Geologi Pantai Bertebing Pantai bertebing terjal merupakan bentuk lahan hasil bentukan erosi marin yang paling banyak terdapat di alam. Pelapisan batuan sedimen misalnya akan berbeda dengan pelapisan yang miring dan pelapisan mendatar. Sebatas daerah di atas gelombang/ombak, umumnya tertutup oleh vegatasi, sedangkan bagian bawahnya umumnya berupa singkapan batuan. Aktivitas pasang surut dan gelombang mengikis bagian tebing, sehingga membentuk bekas-bekas abrasi seperti: tebing (cliff), tebing bergantung (notch), dan rataan gelombang pasang surut. Pada daerah bertebing terjal, pantai biasanya berbatu (rocky beach) berkelokkelok dengan banyak terdapat gerak massa batuan (mass movement rockfall type). Proses ini menyebabkan tebing bergerak mundur (slope retreat) khususnya pada pantai yang proses abrasinya aktif. Apabila batuan penyusun daerah ini berupa batuan gamping atau batuan lain yang banyak memiliki retakan (joints) air dari daerah pedalaman mengalir melalui sistem retakan tersebut dan muncul di daerah pesisir dan daerah pantai. Di Indonesia pantai bertebing terjal ini banyak terdapat di bagian Barat Pulau Sumatera, pantai Selatan Pulau Jawa, Sulawesi, dan pantai Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara. Hidrogeologi Kawasan Karst Topografi Karst adalah bentuk bentang alam tiga dimensional yang terbentuk akibat proses pelarutan lapisan batuan dasar, khususnya batuan karbonat seperti batu gamping kalsit atau dolomit. Bentang alam ini memperlihatkan bentuk permukaan yang khusus dan drainase bawah permukaan (Milanovic, 1981). Beberapa lokasi di Indonesia yang mempunyai kawasan karst yang berkembang antara lain : Gunung Kidul di Pulau Jawa, Pulau Madura, Pulau Bali, Maros di Pulau Sulawesi, bagian Kepala Burung Pulau Papua, serta pulau‐pulau lainnya di perairan Indonesia Bagian Timur. Sistem hidrologi daerah karst secara umum bersifat impermeabel, tetapi karena terdapat celah dan rekahan maka batuan menjadi impermeabel (atau bisa disebut permeabilitas skunder), dengan demikian air hujan dapat masuk ke dalam batuan,
107
membentuk rekahan-rekahan yang melebar, terbentuk gua-gua dan menyatu antara rekahan satu dengan yang lain akhirnya terjadilah sungai bawah tanah (tritunggal.sch.id). Bukit karst dapat berbentuk, kerucut, kubah, dan elipsoid seperti di kawasan Karang Bolong, Jawa Tengah. Bukit‐bukit tersebut terdistribusi secara teratur dengan kendali struktur geologi berupa patahan dan kekar yang tercermin dari garis‐garis kelurusan pada peta topografi dan foto udara. Gambar 1 memperlihatkan levellevel elevasi di pegunungan karst Karangbolong, Jawa Tengah yang menunjukkan adanya mata air. Level elevasi topografi antara 100 – 200 m merupakan kisaran elevasi dimana dapat ditemukan gua yang mengandung air. Hal ini menunjukkan bahwa ketinggian di atas 100 ‐ 200 m dpl pada pegunungan karst Karangbolong dapat dianggap sebagai media imbuhan air tanah. Air hujan yang meresap melalui retakan di permukaan akan mengalir melalui retakan‐retakan hingga mencapai ketinggian 200 m dan kemudian terakumulasi pada level elevasi antara 100 – 200 m, untuk kemudian secara bertingkat‐tingkat dengan kontrol kekar dan bidang perlapisan, keluar sebagai mata air karst atau resurgence pada level lebih bawah, atau ketika berakhir pada kontak dengan batuan dasar impermeabel di bawahnya (Budi Brahmantyo dan Deny Juanda P., 2006).
(Budi Brahmantyo dan Deny Juanda P., 2006).
Gambar 1. Grafik antara elevasi dan debit mataair di Pegunungan Karst Karangbolong, Jawa Tengah. METODOLOGI STUDI Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dan identifikasi sumber-sumber air di daerah pantai berkarang/bertebing serta pengukuran debit mata air tersebut. Selanjutnya dilakukan pembuatan peta sebaran mata air dan debit mata air. Berdasarkan hasil identifikasi dilakukan pemilihan lokasi mata air yang potensial untuk dikembangkan, kemudian dilakukan pengukuran detil topografi, profil pantai dan kondisi hidro-oseanografi. Selanjutnya dibuat konsep desain
108
bangunan pemusatan air berdasarkan hasil analisis hidro-oseanografi dan analisis stabilitas struktur berdasarkan parameter geoteknik. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari beberapa lokasi penelitian yang telah dilakukan, antara lain di pantai Selatan Jawa, Lombok, dan Maluku, dipilih satu lokasi yang potensial untuk diteliti lebih lanjut yaitu perairan pantai Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah. Kondisi geografis lokasi penelitian berupa bukit, pohon bakau dan pemukiman. Pada lokasi ini terdapat beberapa pancaran mata air panas yang menghadap langsung Selat Haruku. Mata air ini keluar pada pertemuan batuan magma dengan karang sehingga air cenderung berbau belerang. Lapisan susunan dasar batuan di daerah ini berasal dari batuan gunung berapi / volcanic rocks. Dalam survey identifikasi seperti diperlihatkan pada Gambar 2, diperoleh empat titik mata air panas dan dua mata air dingin sumber mata air yang berada di sekitar rumah sakit Tulehu Maluku Tengah. Mata air lokasi yang terdekat dengan rumah sakit bukan merupakan satu titik keluaran (lubang mata air) tetapi sudah menyebar dalam suatu areal dengan ukuran sekitar 10 x 10 m2. Pada lokasi ini terdapat bekas penurapan (bak) yang dilakukan oleh tentara Jepang masa Perang Dunia ke-II. Akibat penurapan tersebut diperkirakan titik mata air menyebar ke sekeliling.
Gambar 2. Sebaran Titik Mata Air Di Tulehu Rumah Sakit Umum Tulehu – Maluku Tengah di Kecamatan Salahutu pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku merupakan salah satu rumah sakit rujukan. Saat ini sumber air telah dimanfaatkan sebagai tempat wisata air panas.
109
Namun demikian, ada potensi pemanfaatan lain yaitu untuk memenuhi kebutuhan air panas pada Rumah Sakit Umum Tulehu – Maluku Tengah yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan di Maluku. Pihak rumah sakit bermaksud memanfaatkan potensi sumber air panas untuk pengembangan fasilitas rumah sakit berupa fasilitas Spa/Terapi di lahan kosong milik RSU Tulehu. Pembahasan Konsep desain dibuat untuk pelindung mata air yang dikembangkan merupakan sistem penurapan dengan bak yang dilindungi oleh perkuatan/lapisan armor. Konsep desain ini terdiri dari dua tipe yaitu non konvensional dan konvensional. Hal yang membedakan dari kedua tipe tersebut adalah material lapisan armornya, untuk non konvensional berupa bentuk blok beton kualitas K-225 yang dimodifikasi, kemudian yang konvensional berupa batu bulat atau blok beton kubus (pejal). Konsep desain Non-Konvensional Gambar 3 s/d 4 dan 5 memperlihatkan konsep desain bangunan pelindung mata air non-konvensional yang diperkuat dengan armor beton berongga. Bagian-bagian utama dari konstruksi pelindung mata air adalah : a) Bak Penampung, terdiri dari 1). Dinding, merupakan plat beton/pasangan batu yang diikat dengan balok dan kolom beton bertulang 2). Tangga, untuk memudahkan orang untuk petugas untuk kontrol ataupun penduduk untuk memanfaatkan/mengambil langsung air panas 3). Pintu Klep, digunakan untuk mengatur head muka air didalam bak, pada saat air laut pasang pintu klep tertutup dan pada saat muka air laut rendah pintu klep terbuka 4). Pompa Air, digunakan untuk mengatur head untuk kondisi tertentu terutama apabila mata air mengeluarkan debit tinggi sementara klep masih masih tertutup akibat pasang, sementara pompa berfungsi juga sebagai penyuplai air dari bak ke arah darat ke fasilitas yang memerlukannya. b) Lapisan Pelindung / Armor Utama
Berfungsi untuk melindungi bangunan utama/bak penurapan dari hantaman gelombang dengan tinggi gelombang signifikan (Hs) = 1,80 m dan rayapan gelombang. Unit armor berupa blok beton K-225 ukuran 50 cm x 50 cm yang berongga dan berkait sehingga mampu meredam energi gelombang.
c) Reflektor
Rayapan gelombang / run-up dapat diminimalisir dengan menambahkan reflektor dibagian puncak bangunan sehingga air laut dapat dihindari masuk kedalam bak.
110
d) Lapisan Pelindung / Sayap
Terbuat dari pipa PVC yang diisi oleh beton, bagian bawah diperkuat buis beton berfungsi untuk mencegah terjadinya gerusan samping dan melindungi pintu klep dari hantaman gelombang
e) Pelindung Kaki/Lapisan Dasar
Terdiri dari unit armor dari blok beton pula yang berguna untuk menghindari gerusan lokal dibagian depan bangunan dan sebagai penyangga armor utama, lebih ditempatkan pada elevasi muka air terendah. Sementara bagian dasar struktur ditempatkan lapisan geotekstil untuk mengantisipasi penurunan elevasi akibat land subsidence. Bak Penam pung B lo k B e t o n U ntuk P e lin d u n g K a k i
P in t u K le p
B lo k B e t o n U ntuk P e lin d u n g Ka ki
B a g ia n S a y a p D a ri PV C & B u is B e t o n
Gambar 3. Konsep desain perlindungan mata air non - konvensional yang diperkuat dengan armor beton berongga R e f le k t o r L a p is a n A rm or Bak P e nam pung
P e lin d u n g Ka ki
P in t u K le p
Gambar 4. Tampak samping desain perlindungan mata air non - konvensional
111
Gambar 5. Potongan bangunan perlindungan mata air, lapisan armor berupa blok beton berongga (Detail 1 s/d 4) dan dibawahnya terdapat lapisan pengisi berupa batuan & geotekstil Konsep Desain Konvensional Gambar 6 dan 7 memperlihatkan potongan melintang konsep desain pelindung mata air tipe konvensional. Seluruh bagian-bagian utama dari konstruksi konvensional ini sama dengan non konvensional yang membedakannya adalah material lapisan armor sbb : a) Lapisan Pelindung / Armor Batu (Alternatif-1)
Melindungi bangunan utama/bak penurapan dari hantaman gelombang dengan tinggi gelombang signifikan (Hs) = 1,80 m dan rayapan gelombang. Unit armor
112
lapis luar berupa batu bulat dengan diameter 50 cm sebanyak dua lapis dan lapisan kedua batu bulat dengan diameter ukuran 25-30 cm b) Lapisan Pelindung / Armor Blok Beton (Alternatif-2)
Melindungi bangunan utama/bak penurapan dari hantaman gelombang dengan tinggi gelombang signifikan (Hs) dan rayapan gelombang. Unit armor berupa blok beton K-225 ukuran 50 cm x 50 cm x 45 cm sifatnya masif untuk redaman energi gelombang dan lapisan kedua batu bulat dengan diameter ukuran 25-30 cm.
c) Lapisan Pelindung / Sayap
Terbuat dari batu bulat (Alternatif-1) atau blok beton (Alternatif-2) untuk mencegah terjadinya gerusan samping dan melindungi pintu klep dari hantaman gelombang
d) Pelindung Kaki/Lapisan Dasar
Terdiri dari unit armor dari blok beton pula yang berguna untuk menghindari gerusan lokal di bagian depan bangunan dan sebagai penyangga armor utama, lebih ditempatkan pada elevasi muka air terendah, material berupa batu bulat dengan diameter sama dengan alternatif-1 (diameter = 50 cm) dan untuk blok beton sama dengan alternatif-2 (ukuran 50 cm x 50 cm x 45 cm). Sementara bagian dasar struktur ditempatkan lapisan geotekstil untuk mengantisipasi penurunan elevasi akibat land subsidence.
Gambar 6. Potongan bangunan perlindungan mata air dengan lapisan armor berupa batu bulat
113
Gambar 7. Potongan bangunan perlindungan mata air dengan lapisan armor berupa blok beton masif KESIMPULAN Pola mata air yang terdapat di Tulehu muncul pada bidang batas batuan gunung api dan batuan gamping yang porus, yang disebabkan oleh perubahan struktur dasar batuan akibat perubahan alami ataupun non-alami, sehinggamempengaruhi kondisi geohidrologi di lokasi semburan mata air. Upaya mempertahankan head mata air merupakan usaha utama yang harus dilakukan dalam membangun konstruksi pelindung mata air untuk mencegah hilangnya semburan mata air ke tempat lain. Disamping itu perlu pengaturan layout dan elevasi dasar penurapan terhadap titik-titik semburan yang terjadi sehingga tidak terjadi keruntuhan pada lapisan dasar batuan akibat beban pondasi. Konsep desain perlindungan mata air di pantai merupakan konsep gabungan antara bangunan perlindungan pantai (coastal protection) dan bangunan penurapan mata air dimana bak penampungan air akan dilengkapi dengan pintu klep. Jika air dalam bak tinggi maka pintu klep membuka dan air mengalir keluar sehingga muka air dalam akan mengikuti muka air luar, sebaliknya jika muka air luar lebih tinggi pintu klep akan menutup. Dengan konsep desain penurapan ini beberapa titik semburan mata air diharapkan dapat dilokalisir dan aman dari hantaman maupun run-up gelombang. Referensi Direktorat Jenderal Pengairan, 2007, Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai, Departemen Pekerjaan Umum. Milanovic, P.J., 1981, Karst Hydrogeology, Water Resources Publications, LLC. Pusat Penelitian Sumber Daya Air, 2011, Pengembangan Teknologi Perlindungan Mata Air Di Daerah Pantai Berkarang / Bertebing, Laporan Penelitian. Puradimaja, Deny Juanda. 2006. Hidrogeologi Kawasan Gunungapi dan Karst di Indonesia, Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung.
114
Penggunaan Data Satelit Untuk Analisis Hidrologi Pada Kawasan Dengan Data Terbatas, Studi Kasus Sub Wilayah Sungai Bikuma Rahmawati Solihah1* , Bouke Pieter Ottow2 , 1 Rendy Firmansyah , dan Waluyo Hatmoko1 1) Puslitbang Sumber Daya Air 2) University of Twente *
[email protected]
Intisari Perencanaan pengelolaan sumber daya air memerlukan data ketersediaan air. Namun tidak setiap wilayah sungai memiliki data tersebut karena tidak adanya pos duga air. Karena itu data dari citra satelit diperlukan. Penggunaan data satelit ini bertujuan untuk analisis jumlah debit di suatu titik pengamatan (gauging point). Pada studi kasus ini, kawasan yang diteliti adalah sub wilayah sungai Bikuma (Biam-Kumbe-Maro) dimana sungai di sub wilayah sungai tersebut melintas di Kabupaten Merauke. Ketidakadaan pos duga air di wilayah tersebut menjadikan tidak dapat diketahuinya jumlah ketersediaan air. Apabila tidak ada data ketersediaan air maka rencana alokasi air tidak dapat dilakukan. Rencana alokasi air bertujuan untuk menentukan proporsi air yang akan digunakan untuk kebutuhan – kebutuhan tertentu seperti irigasi, air minum, dan industri. Dengan adanya data global yang berasal dari citra satelit, ketersediaan air di wilayah tersebut dapat diketahui. Dengan pemodelan hidrologi wflow, data satelit berupa peta topografi (DEM), peta penggunaan lahan (landuse), peta jenis tanah, curah hujan dan evapotranspirasi beserta parameter-parameternya diolah menggunakan model wflow. Berdasarkan pemodelan wflow debit terbesar di pada sub wilayah sungai Bian sebesar 915,0911 m3/s. Kata kunci : data satelit, wflow, ketersediaan air, debit
PENDAHULUAN Perencanaan pengelolaan Sumber Daya Air memerlukan data ketersediaan air untuk setiap DAS dan titik-titik strategis (gauging point), sehingga pada titiktitik tersebut dapat dibuat alokasi air untuk berbagai keperluan. Akan tetapi ada beberapa wilayah sungai di Indonesia yang tidak memiliki pos duga air, sehingga rencana pengelolaan sumber daya air tidak dapat dilakukan. Salah satu bentuk rencana pengelolaan sumber daya air adalah rencana alokasian air. Alokasi air dilakukan untuk menentukan berapa besar proporsi air yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan seperti irigasi, air minum, dan RKI (Rumah tangga, perkotaan, dan industri). Rencana alokasi air penting dilakukan terutama agar kebutuhan
115
pangan dan air masyarakat terpenuhi. Dengan adanya alokasi air, maka taraf hidup masyarakat dapat meningkat. Dengan adanya teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) dengan satelit, data topografi, penggunaan lahan (landuse), jenis tanah, curah hujan dan evapotranspirasi dapat diketahui. Dengan menggunakan model hidrologi wflow yang dikembangkan oleh Jaap Schellekens dari Deltares, data satelit tersebut dapat diolah sehingga debit dapat diketahui, dan kemudian alokasi air dapat direncanakan. TINJAUAN PUSTAKA Wflow dikembangkan oleh Jaap Schellekens dari Deltares Belanda. Model ini berasal dari CQFlow Model (Kohlet et al., 2006) yang sudah digunakan di beberapa Negara. Model ini diprogram pada Dynamic GIS Environment dengan PCRaster. PCRaster yang digunakan pada model ini adalah versi beta yang mendukung untuk pemrograman dengan bahasa Phyton. Untuk menjalankan model, diperlukan PCRaster dan Phyton versi 2.5. Proses model wflow merupakan siklus hidrologi seperti dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Siklus Hidrologi Pada model wflow, skema hidrologi tersebut terdiri dari simulasi tangkapan hujan dikalkulasi menggunakan model Gash, dan proses hidrologi yang nantinya disebabkan oleh limpasan dikalkulasi menggunakan model TOPOG_SBM. 1.
Model Gash Intersepsi air hujan adalah bagian air hujan yang tidak mencapai permukaan tanah karena tertahan oleh kanopi atau tajuk tumbuhan dan kemudian hilang akibat adanya penguapan. Model Gash mengkalkulasi jumlah air yang tertangkap pada daun (dimisalkan sebagai kanopi). Berapa banyak air yang jatuh melalui kanopi dan berapa banyak yang mengallir ke tanah melalui batang pohon, dan
.............................................................. (1)
116
dengan : P’ adalah besarnya hujan yang dibutuhkan untuk memenuhi kapasitas simpanan kanopi Ē adalah evaporasi rata-rata Ȓ adalah curah hujan rata-rata S adalah kapasitas Kanopi p adalah koefisien porositas pt adalah kapasitas simpan batang 2.
Model TOPOG_SBM Pemodelan Topog_SBM dapat dilihat pada Gambar 2, dimana rf adalah hujan, in adalah infiltrasi, st adalah transfer antara zona jenuh dan tidak jenuh, ie adalah kelebihan infiltrasi, se kelebihan kejenuhan, of adalah aliran permukaan, sf adalah aliran di bawah permukaan, es adalah exfiltrasi.
Gambar 2. Model Topog_SBM METODOLOGI STUDI Dalam melakukan pemodelan hidrologi dengan model wflow peta yang diperlukan adalah peta DEM (topografi), peta penggunaan lahan (landuse), peta jenis tanah (soil), evapotranspirasi, dan peta curah hujan, serta parameter yang berhubungan dengan penggunaan lahan dan tanah. Untuk peta topografi, penggunaan lahan, dan jenis tanah harus dalam format .map dan proses menjadikannya ke dalam format tersebut menggunakan perangkat lunak Quantum GIS (QGIS). Untuk menjalankan model wflow, ada 2 langkah yang harus dilakukan yaitu wflow preparation, dan Running wflow. Input Wflow Preparation WFLOW preparation ini bertujuan untuk menghasilkan input peta yang dipergunakan untuk menjalankan program WFLOW. Pada langkah ini, yang dilakukan adalah dengan melakukan running script yang didalamnya terdapat peta DEM, landuse, soil, dan river layer. Output dari langkah ini adalah staticmaps untuk
117
input Wflow. Selain itu yang harus dilakukan adalah menentukangauging point dan extent peta pada .ini file. Peta dan data yang dibutuhkan untuk WFLOW preparation adalah sebagai berikut 1. Peta Topografi (DEM)
DEM adalah peta topografi yang berasal dari NASA Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM).
2. Peta Penggunaan Lahan (Landuse)
Landuse map adalah peta yang menunjukan penggunaan lahan berasal dari the European spatial Agency (ESA).
3. Peta Jenis Tanah (Soil)
Soil Map atau peta jenis tanah adalah peta yang menunjukan jenis-jenis tanah yang ada pada sub-WS Bikuma. Peta jenis tanah ini berasal dari FAO Digital Soil Map of the World (DSMW).
4. Gauging Point
Gauging Point adalah titik pengamatan untuk mendapatkan debit yang diinginkan.
5. Wflow PreparationBatch File Batch files dengan isi script sebagai berikut pcrcalc dem_scalar.map = scalar(dem.map) c:\Python25\python.exe wflow_prepare_step1.py -I wflow_prepare.ini -f c:\Python25\python.exe wflow_prepare_step2.py -I wflow_prepare.ini -f pause Input Wflow Running Pada tahap wflow running, input yang diperlukan adalah ada pada beberapa folder: 1. Inmaps Peta yang terdapat pada folder Inmpas adalah peta yang berubah setiap hari yaitu evapotranspirasi dan hujan. Peta evapotranspirasi berasal dari Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR). Peta hujan tersebut berasal dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), yang merupakan misi kerjasama antara NASA dan The Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) 2. Instate Peta yang terdapat pada folder Instate adalah peta keadaan awal dari CanopyStorage (Kapasitas air di kanopi), FirstZoneDepth (jumlah air pada tanah), SurfaceRunOff (jumlah air pada permukaan), UStoreDepth (jumlah air pada zona
118
tak jenuuh), WaterLevel (ketinggian air pada sungai). Karena peta-peta tersebut merupakan peta pada keadaan awal, maka keseluruhannya bernilai 0 (nol) atau bisa dikatakan tidak ada air. 3. StaticMaps Folder StaticMaps berisi peta yang nilainya tidak berubah akibat perubahan waktu. Peta-peta tersebut adalah peta DEM, penggunaan lahandengan nilai pada peta dan deskripsinya untuk sub-WS Bikumayang dapat dilihat pada Tabel 1, dan jenis tanah dengan nilai dan keterangan untuk jenis tanah pada sub-WS Bikuma yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Penggunaan Lahan sub-WS Bikuma
119
Tabel 2. Kelas tekstur Tanah sub-WS Bikuma
4. Intbl Pada folder Intbl terdapat 18 nilai parameter yang terhubung dengan DEM, landuse, dan soil map. Parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Parameter wflow
Tabel 3. Nama
Satuan
Albedo Beta Fraction E over R First Zone Capacity First Zone Ksat Ver First Zone Min Capacity Infiltration Capacity Path Infiltration Capacity Soil Leaf Area Index M Max Canopy Storage N N River Path Frac Rooting Depth Theta R Theta S
mm mm/day mm mm/day mm/day mm mm -
Kisaran Nilai 0-1 0.6 0-1 0-1 0-20000 0-10000 0-20000 5 25-750 0-10 20-2500 0-10 0.01-0.4 0.02-0.15 0-1 0-5000 0.001-0.1 0.2-0.5
Nilai yang Diambil 0.22-0.35 0.6 0.4-1 0.05 2000-10000 8-900 2000-10000 5 60-600 0-6.2 2500 0-2.6 0.02-0.4 0.045 0.05-0.4 0-1900 0.05-0.08 0.2-0.5
5. wflow Running Batch File wflow_sbm.exe -C Bian -T 366 -s 86400 -R result wflow_sbm.exe -C Kumbe -T 366 -s 86400 -R result wflow_sbm.exe -C Maro -T 366 -s 86400 -R result
Berkaitan dengan Penggunaan Lahan Nilai Tunggal Penggunaan Lahan Nilai Tunggal Nilai Tunggal Tanah Tanah Nilai Tunggal Tanah Penggunaan Lahan Nilai Tunggal Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Nilai Tunggal Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Tanah Tanah
120
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Wilayah studi Penggunaan Data Satelit Untuk Analisis Hidrologi Pada Kawasan Dengan data Terbatas ini mengambil wilayah sub-WS Bikuma (Bian-Kumbe-Maro) yang merupakan bagian dari Wilayah Sungai Einlanden-Digul-Bikuma, Papua. Wilayah studi tersebut diambil karena sungai pada sub-WS Bikuma merupakan wilayah strategis karena melintas di Kabupaten Merauke. Luas dari sub-WS Bian adalah 9540 km2, Maro 5483,8 km2, dan Kumbe 4711,4 km2. Peta daerah studi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Wilayah Sungai Einlanden-Digul-Bikuma Hasil dari Langkah Wflow Preparation Pada langkah wflow Preparation adalah peta – peta yang digunakan untuk input running wflow , dan dimasukkan kedalam folder Staticmaps. Hasil dari Langkah Running Wflow Pada langkah running wflow, output yang dihasilkan adalah debit harian di tiap gauging point pada sub-WS Bian, Kumbe, dan Maro. Berdasarkan pemodelan wflow, debit tertinggi terdapat di sub-WS Bian pada tengah bulan pertama bulan Nopember Tahun 2005 dengan nilai 915,0911 m3. Grafik debit Rata-rata Bian, Kumbe, dan Maro dapat dilihat pada Gambar 4.
121
Gambar 4. Rata-rata Bian, Kumbe, dan Maro KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat pada penelitian ini bahwa dengan adanya data satelit khususnya peta topografi, jenis tanah, penggunaan lahan, hujan, dan evapotranspirasi, data debit di daerah tanpa pos duga air dapat dihitung, sehingga rencana alokasi air dapat dilakukan.
REFERENSI Boccalon, A., Goorden, N., Vernimmen, R., 2012. Use of Global Datasets for Hydro-Meteorological Analysis in Areas with Sparse Data. Deltares, Netherland. Ottow, B.P., 2012. Analysis of The Water Availability for The River Basin of Einlanden-Digul-Bikuma. University of Twente, Netherland. Schellekens, J., 2011. wflow, a flexible hydrological model. Deltares, Netherland.
122
Prediksi Hujan Bulanan Menggunakan Model Statistical Downscaling Luaran Ncep/Ncar Reanalysis Berbasis Jaringan Saraf Tiruan Gusfan Halik1*, Nadjadji Anwar2, Edijatno2, dan Sony Sunaryo2 1
Universitas Jember dan Program S3 Institut Teknologi Sepuluh Nopember 2 Institut Teknologi Sepuluh Nopember *
[email protected]
Intisari Perubahan iklim yang terjadi dalam akhir dekade ini telah membawa dampak perubahan pada pola curah hujan yang terjadi di Indonesia. Perubahan iklim dapat dikaji menggunakan data atmosfir dari National Oceanic and Atmospheric Administration NOAA (NCEP/NCAR Reanalysis). Data luaran NCEP/NCAR yang dihasilkan ini tidak dapat langsung dimanfaatkan dalam pemodelan hidrologi skala DAS (Daerah Aliran Sungai), karena tingkat resolusi spasialnya yang sangat rendah (2.5o x 2.5o), sehingga diperlukan teknik downscaling. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan luaran NCEP/NCAR yang relevan di daerah studi dan mengevaluasi kemampuan model statistical downscaling berbasis JST (Jaringan Saraf Tiruan) dalam memprediksi curah hujan bulanan di DAS Sampean Baru Kabupaten Bondowoso. Pemodelan statistical downscaling dilakukan dengan pra-pemrosesan data luaran NCEP/NCAR dengan PCA (Principal Component Analysis), perancangan arsitektur JST dengan backpropagation dan pemilihan fungsi aktivasi. Hasil running model menunjukkan bahwa prediksi hujan bulanan berbasis JST mempunyai tingkat keandalan yang memadai, yaitu : tahap training dengan periode 1976-1996 (R=0.93 ; EF=81.62%), tahap validasi dengan periode 19972003 (R=0.85 ; 79.11%) dan tahap testing dengan periode 2004-2010 (R=0.87 ; EF=80.51%). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa pemodelan statistical downscaling berbasis JST dapat diaplikasikan untuk memprediksi hujan bulanan di DAS Sampean Baru Bondowoso. Kata kunci : statistical downscaling, NCEP/NCAR, PCA, JST, DAS Sampean Baru
PENDAHULUAN Perubahan iklim global diprediksi telah memberikan dampak terhadap perubahan pola hujan secara spasio-temporal. Berdasarkan laporan ke-empat dari Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC 2007), pola hujan dan kejadian hujan ekstrim di Asia Tenggara akan mengalami perubahan seiring terjadinya perubahan iklim. Di Indonesia, pola hujan mengalami perubahan signifikan secara
123
spasio-temporal akibat perubahan iklim. Beberapa daerah di Indonesia telah terjadi pergeseran waktu kejadian bulan basah dan bulan kering (Lilik dan Sinta, 2007). Kajian perubahan iklim dalam skala gobal dapat dimodelkan dengan menggunakan data atmosfir dari National Oceanic and Atmospheric Administration, National Center for Environmental Prediction / National Center for Atmospheric Research NOAA (NCEP/NCAR Reanalysis). Data luaran NCEP/NCAR yang dihasilkan ini tidak dapat langsung dimanfaatkan dalam pemodelan hidrologi skala DAS (Daerah Aliran Sungai), karena memiliki kelemahan (gap) pada resolusi spasialnya yang sangat rendah (kasar) (Wilby dkk., 2004 ; Fowler dkk., 2007). Resolusi spasial data luaran NCEP/NCAR sekitar 2.5o x 2.5o lintang-bujur atau mempunyai ukuran grid sekitar dua ratus tujuh puluh kilometer. Ketidaksesuaian resoluasi spasial GCM dengan skala lokal dapat dijembatani dengan mengembangkan teknik downscaling (Tolika dkk., 2007). Teknik downscaling dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan, yaitu : dynamic downscaling dan statistical downscaling (Wilby dkk., 2002; Tripathi dkk., 2006). Pendekatan dynamic downscaling merupakan Regional Climate Model (RCM) yang merujuk pada kondisi batas secara fisik GCM pada skala regional. Pendekatan ini memerlukan desain yang kompleks dan biaya komputasi yang sangat tinggi (Crane dan Hewitson, 1998 ; Tripathi dkk., 2006). Pendekatan lainnya adalah statistical downscaling yang dikembangkan dengan cara menentukan fungsi transfer (empiris) yang menghubungkan antara variabel atmosfir (prediktor) dengan variabel iklim lokal (prediktan). Ada tiga asumsi yang digunakan dalam statistical downscaling (Hewitson dan Crane, 1996), yaitu : 1). prediktor adalah variabel luaran GCM yang relevan dan realistik, 2). hubungan empiris ini berlaku juga pada kondisi iklim yang berubah, 3). prediktor yang digunakan sepenuhnya mewakili signal iklim. Berbagai model statistical downscaling telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, diantaranya: menggunakan model regresi linier berganda (Kidson dan Thompson, 1998; Kysely J., 2002), analisis korelasi kanonikal (Busuioc dkk., 2001), Jaringan Saraf Tiruan (JST) (Coulibaly dan Dibike 2004 ; Tolika dkk., 2007). Keuntungan model statistical downscaling tidak memerlukan komputer yang banyak dan peralatan penunjang real time lainnya. Disamping itu, model statistical downscaling ini telah memberikan kontribusi terhadap evaluasi kemampuan RCM dalam menghasilkan prediktor yang relevan (Goodess dkk., 2006). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabel luaran NCEP/NCAR yang relevan untuk daerah tropis (daerah studi) dan mengevaluasi kemampuan model statistical downscaling berbasis JST dalam memprediksi curah hujan bulanan di DAS Sampean Baru Kabupaten Bondowoso. tinjauan PUSTAKA Konsep Downscaling Downscaling didefinisikan sebagai upaya untuk menghubungkan antara sirkulasi skala global (variabel prediktor) dengan skala lokal (variabel prediktan). Downscaling lebih menunjukkan pada proses perpindahan dari prediktor ke
124
prediktan, yaitu perpindahan dari skala besar (resolusi rendah) ke skala kecil (resolusi tinggi). Von Strorch (1999) menyatakan bahwa downscaling didasarkan pada asumsi bahwa iklim regional dipengaruhi oleh iklim skala global (benua). Teknik downscaling GCM dapat dibedakan dalam dua pendekatan (Hewitson dan Crane, 1996), yaitu : Dynamic Downscaling Model (DDSM) dan Statistical Downscaling Model (SDSM). DDSM merupakan proses downscaling berdasarkan pendekatan proses (process based) yang dirunning secara terus menerus, yang dilakukan pada grid dengan skala yang lebih kecil mengikuti perubahan variabel prediktor yang sama pada grid berskala besar (GCM). Pendekatan ini memerlukan desain yang kompleks dan biaya komputasi yang tinggi (Crane dan Hewitson, 1998; Tripathi dkk., 2006). Pendekatan SDSM merupakan proses downscaling berdasarkan persamaan empiris (empirical techniques) yang dilakukan secara statik pada grid berskala besar pada periode jangka waktu tertentu sebagai dasar penentuan data pada grid yang berskala lebih kecil. Menurut Uvo dkk. (2001), teknik SDSM ini menduga nilai variabel meteorologis dalam selang waktu tertentu berdasarkan karakteristik sirkulasi atmosfir yang berskala besar (GCM) ke variabel lokal yang berskala lebih kecil. Statistical downscaling merujuk pada upaya mencari informasi skala lokal berdasarkan skala global melalui hubungan inferensi dengan acak atau deterministik. Ilustrasi downscaling ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 Ilustrasi downscaling
125
Dalam kajian klimatologi jangka panjang, GCM merupakan suatu model yang berorientasi secara spasial dan temporal serta mampu menghasilkan ciri sirkulasi global pada skala besar (skala benua). Besarnya skala besar ini menyebabkan tingkat resolusi GCM menjadi rendah, sehingga informasi GCM ini tidak dapat langsung digunakan dalam skala lokal. Namun demikian, GCM masih dapat dipakai untuk memperoleh informasi skala lokal atau regional dengan menggunakan teknik statistical downscaling. Principal Component Analysis (PCA) Ide utama PCA adalah untuk mereduksi dimensi dari sekumpulan data yang berjumlah banyak dan saling berhubungan menjadi variabel baru yang tidak saling berkorelasi. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi beberapa variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. PCA dapat dibentuk dengan dua cara, yaitu dengan matrik kovarian dan matrik korelasi (Jolliffe, 2002). A. PCA yang dibentuk berdasarkan matrik kovarian Jika Σ merupakan matrik kovarian dari vektor acak X’ = [X1, X2, ...,Xp] dengan pasangan nilai eigen dan vektor eigen yang saling ortogonal adalah (λ1,e1), (λ2,e2),..., (λp,ep) dengan λ1 ≥ λ2 ≥ ... ≥ λp ≥ 0, Nilai PCA ke-i diformulasikan sebagai berikut : Wi = ei’ X = ei1X1 + ei2X2 + ... + eipXp dengan i = 1,2,...,p ............................ (1) dengan : W1 : komponen pertama yang memenuhi maksimum nilai e1’Σe1 = λ1. W2 : komponen kedua yang memenuhi sisa keragaman selain komponen pertama dengan memaksimalkan nilai e2’Σe2 = λ2 . Wp : komponen ke-p yang memenuhi sisa keragaman selain W1, W2, ...,Wp-1 dengan memaksimalkan nilai ep’Σep = λp. Urutan W1, W2, ...,Wp harus memenuhi persyaratan λ1 ≥ λ2 ≥ ... ≥ λp. Proposi total varian yang dijelaskan oleh PC ke-k adalah : P C ke − k =
l
. ........................................................................ (2)
k
l 1 + l 2 + ... + l
p
dengan k = 1,2,..., p. B. PCA yang dibentuk berdasarkan matrik korelasi PCA dapat juga dibentuk berdasarkan matrik korelasi jika variabel bebas yang diamati mempunyai perbedaan range yang sangat besar. Nilai PC ke-i dengan Wi yang dibentuk dari variabel-variabel yang telah dibakukan Z’ = (Z1, Z2, ..., Zp) dengan cov(Z) = ρ dinyatakan dalam persamaan berikut : Wi = ei1Z1 + ei2Z2 + ... + eipZp dengan i = 1,2,...,p.......................................... (3)
126
Proporsi total varian yang dapat dijelaskan oleh komponen utama (PC) ke-k berdasarkan variabel bebas yang telah dibakukan, didinyatakan dalam : P C ke − k =
l
k
p
............................................................................................... (4)
dengan : : nilai eigen dari ρ, dan k = 1,2,.., p λk Jaringan Saraf Tiruan Jaringan saraf tiruan (JST) adalah bagian dari Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang merupakan suatu studi tentang sifat kecerdasan yang berkaitan dengan implementasi komputer terhadap suatu sifat kecerdasan. AI dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dalam perhitungan secara konvensional dalam menyelesaikan persoalan yang tidak terstruktur.
Gambar 2 Arsitektur JST Jaringan saraf tiruan (JST) dibentuk sebagai generalisasi model matematika dari jaringan saraf biologis, dengan asumsi bahwa: pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana (neuron), sinyal dikirimkan diantara neuron-neuron melalui penghubung-penghubung, penghubung antar neuron memiliki bobot yang akan memperkuat atau memperlemah sinyal dan untuk menentukan luaran, setiap neuron menggunakan fungsi aktivasi yang dikenakan pada jumlahan luaran yang
127
diterima. Besarnya luaran ini selanjutnya dibandingkan dengan suatu nilai batas ambang (target). Dalam JST, ada tiga hal yang peru diperhatkan, yaitu: pola hubungan antar neuron (arsitektur jaringan), metode untuk menentukan bobot penghubung (metode training) dan pemilihan fungsi aktivasi. Arsitektur JST ditunjukkan pada Gambar 2. Training JST Training JST dalam studi ini dilakukan dengan metode backpropagation dengan aturan pembelajaran gradient descent. Kesalahan (error) yang terjadi antara target dan keluaran dari jaringan pada unit output adalah (Haykin, 1999) : . .................................................................................. (5) Jumlah keseluhan error pada semua unit di lapisan output adalah : ........................................................................................ (6) Besarnya bobot (w) diupdate menggunakan aturan pembelajaran gradient descent dengan persamaan berikut : ..................................................................... (7) sedangkan nilai
dhitung dengan persamaan berikut : . ........................................................................................... (8)
sehingga nilai error training adalah : ............................................................................ (9) luaran unit (neuron) pada lapisan output adalah : . ...................................................................... (10) luaran dari unit setelah dilakukan fungsi aktivasi (noninier) adalah : ................................................................................. (11) sedangkan turunan E terhadap
adalah :
. .......................................... (12) dengan nilai :
128
............................................................................................... (13)
.................................................................................................. (14)
...................................................................................... (15)
............................................................................................. (16) Nilai unit di lapisan output ke-j berdasarkan aturan delta adalah : . ............................................................... (17) dengan : : target jaringan unit j : outpur (luaran) yang dihitung oleh unit j
: bobot dari input ke-i ke unit j
: fungsi aktivasi nonlinier
: turunan fungsi aktivasi nonlinier
: kecepatan pembelajaran jaringan
METODOLOGI STUDI Prediksi hujan bulanan menggunakan model statistical downscaling berbasis JST ini diaplikasikan di DAS Sampean Baru Kabupaten Bondowoso. Secara geografis lokasi DAS Sampean terletak pada koordinat 7048’ – 7058’ LS dan 114040’ – 114048’ BT. Pada lokasi penelitian terdapat 19 stasiun penakar hujan yang tersebar merata di dalam DAS. Lokasi stasiun penakar hujan dapat dilihat pada Gambar 3. Data curah hujan yang digunakan dalam studi ini mulai tahun 1976 sampai 2010. Berdasarkan data pengamatan hujan ini, kemudian dihitung besarnya hujan rerata daerah menggunakan rerata aritmatik. Curah hujan rerata daerah bulanan ini digunakan sebagai variabel prediktan.
129
Gambar 3 Lokasi letak stasiun hujan DAS Sampean Baru Variabel prediktor yang dipakai merupakan variabel atmosfir luaran dari NOAA-NCEP/NCAR yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel prediktor luaran NCEP/NCAR yang dipakai No. Variabel yang dipakai Simbol 1 Precipitation Water pr_wtr 2 Relative humidity at 850 hPa height rhum850 3 Relative humidity at 500 hPa height rhum500 4 Sea level pressure slp 5 Mean temperature temp 6 850 hPa geopotensial height hgt850 7 Zonal velocity component uwnd 8 Zonal velocity component at 850 hPa height uwnd850 9 Meridional velocity component vwnd 10 Meridional velocity component at 850 hPa height vwnd850 Variabel prediktor luaran NCER/NCAR ini mempunyai dimensi tinggi, sehingga dilakukan reduksi dimensi dengan metode Principal Component Analysis (PCA). Dengan PCA ini akan didapatkan variabel baru berupa Principal Component (PCs) yang jumlahnya sama dengan variabel aslinya. Pemilihan PC didasarkan pada nilai eigen yang tinggi dan tingkat keragaman komulatif diatas 95%. Disamping itu, reduksi dimensi dengan PCA ini akan mengatasi permasalahan multikolinieritas dalam pemodelan regresi. Tahap selanjutnya, menyusun model statistical downscaling hujan bulanan dengan pendekatan JST. Pada tahap ini, dilakukan perancangan arsitektur JST, metode pembelajaran dengan backpropagation dan pemilihan fungsi aktivasi. Input model JST adalah variabel prediktor hasil analisis PCA, sedangkan output (luaran) model berupa prediksi hujan bulanan. Keandalan model diuji dengan membandingkan antara luaran model yang dihasilkan dengan nilai observasinya. Pemilihan model yang handal didasarkan nilai korelasi yang tinggi.
130
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis PCA Hasil analisis PCA terhadap data prediktor luaran NCEP/NCAR menghasilkan 4 (empat) PC yang dapat menjelaskan keragaman 98,40 %. Besarnya nilai eigen dan nilai proporsi yang dijelaskan dengan keempat PC tersebut ditunjukkan pada Tabel 2, sedangkan plot nilai eigen dengan jumlah komponen ditunjukkan pada Gambar 4. Tabel 2 Nilai eigen dan nilai proporsi keragaman Eigenvalue Proportion Cumulative
280.17 0.798 0.798
32.41 0.092 0.891
22.18 0.063 0.954
10.52 0.030 0.984
Gambar 4 Plot nilai eigen masing-masing komponen Berdasarkan nilai eigen dan proporsi (Tabel 2 dan Gambar 4), maka empat komponen (PC1, PC2, PC3 dan PC4) dipakai sebagai variabel prediktor baru yang akan digunakan sebagai input model statistical downscaling dengan JST. Nilai PC didapatkan dari hasil perkalian variabel asal dengan faktor loading pada masing-masing komponen PC. Nilai faktor loading ditunjukkan pada Tabel 3 dan plot loading pada komponen pertama dan kedua ditunjukkan pada Gambar 5. Tabel 3 Faktor loading pada masing-masing PC Variabel pr_wtr rhum850 rhum500 slp temp hgt850 uwnd uwnd850 vwnd vwnd850
PC1 0.325 0.364 0.723 -0.068 0.036 -0.420 0.136 0.184 -0.061 -0.019
PC2 -0.221 -0.228 -0.328 -0.086 -0.018 -0.881 0.046 0.067 0.022 0.017
PC3 -0.200 -0.819 0.532 0.003 -0.001 0.065 0.036 0.001 -0.010 0.002
PC4 0.069 0.047 0.164 -0.008 -0.037 -0.170 -0.612 -0.724 0.189 0.040
131
Gambar 5 Plot loading komponen pertama dan kedua Berdasarkan hasil plot loading (Gambar 5) menunjukkan bahwa pembentukan variabel baru (PC) sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel asli luaran NCEP/ NCAR, diantaranya : rhum500, hgt850, rhum 850 dan pr_wtr. Faktor loading ini menunjukkan hubungan antara variabel asli dengan variabel baru. Statistical Downscaling Statistical downscaling hujan berbasis JST dilakukan dengan arsitektur jaringan multilayer perceptron dan metode pembelajaran backpropagation. Lapisan input terdiri dari 4 (empat) unit yang merupakan hasil reduksi dimensi dengan PCA, yaitu : PC1, PC2, PC3 dan PC4. Training JST dilakukan pada hujan bulanan periode tahun 1976-1996, sedangkan periode validasi model (1997-2003) dan periode testing (2004-2010). Fungsi aktivasi yang dipertimbangkan diantaranya : fungsi linier (purelin), log-sigmoid (0 1) dan tan-sigoid (-1 1). Pemilihan fungsi aktivasi dari lapisan input ke lapisan tersembunyi (hidden layer) dan ke lapisan output serta jumlah optimal unit di lapisan tersembunyi didasarkan nilai mse (mean square error) terendah. Hasil running JST menunjukkan bahwa artitektur JST optimal dicapai dengan 10 unit di lapisan tersembunyi dengan fungsi aktivasi tansig baik di lapisan tersembunyi maupun di lapisan output. Perbaikan (update) bobot menggunakan metode gradient descent dengan momentum, dimana didapatkan parameter berupa: kecepatan pembelajaran (learning rate) = 0.3 dan parameter momentum = 0.60. Plot hasil running model JST pada tahap training, validasi dan testing ditunjukkan pada Gambar 6. Secara umum hasil running model mempunyai keandalan yang cukup memadai. Hal ini ditunjukkan dengan garis regresi antara luaran model dan observasi yang mendekati garis dengan sudut 45o. Besarnya koefisien korelasi pada tahap training sebesar = 0.93, tahap validasi sebesar = 0.85 dan tahap testing sebesar = 0.87.
132
Gambar 6 Plot hasil running model JST Secara umum hasil running model mempunyai keandalan yang cukup memadai. Hal ini ditunjukkan dengan garis regresi antara luaran model dan observasi yang mendekati garis dengan sudut 45o. Besarnya parameter atau kriteria keandalan model JST yang dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Parameter Keandalan Model Tahap Training Validasi Testing
Kriteria Keandalan Nilai R Nilai EF (%) 0.93 81.62 0.85 79.11 0.87 80.51
Secara umum, kinerja model yang dihasilkan cukup memadai. Namun demikian kemampuan model dalam prediksi hujan bulanan maksimum beberapa tahun masih berada dibawah nilai observasinya (Gambar 7).
133
Gambar 7 Plot hujan luaran model dengan hujan observasi
Gambar 7 Plot hujan luaran model dengan hujan observasi
134
Curah hujan rerata bulanan dari model yang dihasilkan dapat mendekati nilai rerata observasi bulanannya (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa model JST dapat memodelkan prediksi hujan berdasarkan data atmosfer dari NCEP/NCAR untuk daerah tropis dan memiliki kesesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan Tolika dkk (2007) untuk daerah subtropis. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kesepuluh variabel data luaran NCEP/NCAR diatas relevan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan bulanan pada skala lokal (DAS). Kinerja model statistical downscaling berbasis JST ini dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam memprediksi hujan bulanan di DAS Sampean Baru Kabupaten Bondowoso. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada rektor ITS yang telah membantu pendanaan penelitian ini melalui skem penelitan desentralisasi “Penelitian Non Unggulan ITS” Tahun Anggaran 2012. REFERENSI Busuioc A, Deliang C, Hellstrom C. 2001. Performance of statistical Downscaling models in GCM validation and regional climate change estimates: application for Swedish precipitation. International Journal of Climatology 21: 557–578. Coulibaly P. dan Dibike Y.B., 2004. Downscaling Precipitation and Temperature with Temporal Neural Networks. American Meteorology Socienty (6) : 483496. Crane R.G., Hewitson B.C., 1998. Doubled CO2 Precipitation Change for the Susquenhanna Basin : Downscaling from the Genesis General Circulation Model. International Journal of Climatology (18) : 65-76. Fowler H.J., Blenkinsop S., Tebaldi C., 2007. Lingking Climate Change Modelling to Impact Studies : Recent Advances in Downscaling Techniques for Hydrological Modeling. International Journal of Climatology (27) : 1547-1578. Goodess CM, Anagnostopoulou C, B`ardossy A, Frei C, Harpham C, Haylock MR, Hundecha Y, Maheras P, Ribalaygue J, Schmidli J, Schmith T, Tolika K, Tomozeiu R, Wilby RL. 2006. An intercomparison of statistical downscaling methods for Europe and European regions-assessing their performance with respect to extreme temperature and precipitation events. Climatic Change Accepted Haykin S., 1999. Neural Network : A Comprehensive Foundation. Second Edition Prentice Hall, New Jersey. Hewitson B.C., Crane R.G., 1996. Climate Downscaling : Techniques and Application. Climate Research (7) : 85-95.
135
IPCC, 2007. Climate change 2007: The physical science basis. Contribution of working group II to the fourth assessment report on the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Jolliffe I.T., 2002. Principal Component Analysis. Second edition, Springer. Kidson JW, Thompson CS. 1998. A comparison of statistical and model – based downscaling techniques for estimating local climate variations. Journal of Climate 11: 735–753. Kysely J., 2002. Comparison of extremes in GCM-simulated downscaled and observed central – European temperature series. Climate Research 20: 211– 222 Lilik Slamet S., dan Sinta Berliana S., 2007. Indikasi Perubahan Iklim dari Pergeseran Bulan Basah, Bulan Kering dan Lembab, disajikan pada Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global - Fakta, Mitigasi dan Adaptasi, LAPAN, 15 Nopember 2007, Bandung, Jawa Barat. Tolika K., Maheras P., Vafiadis M., Flocas H.A., Papadimitriou A. A., 2007. Simulation of Seasonal Precipitation and Raindays over Greece : A Statistical Downscaling Technique Based on Artificial Neural Networks (ANNs). International Journal of Climatology (27) : 861-881. Tripathi S., Srinivas V.V., Nanjundiah R.S., 2006. Downscaling of Precipitation for Climate Change Scenario : A Support Vector Machine Approach. Journal of Hydrology (330) : 621-640. Uvo C.B., Olsson J., Morita O., Jinno K., Kawamura A., Nishiyama K., Kooreeda N., Nakashima T., 2001. Statistical Atmospheric Downscaling for Rainfall Estimations in Kyushu Island Japan. Hydrol & Earth Sys. Sci. 5(2) : 259271 Von Stroch H., 1999. On the Use of Inflation in Statistical Downscaling. Journal Of Climate (12) : 3505-3506. Wilby R.L., Dawson C.W., Barrow E.M., 2002. SDSM - A Decision Support Tool for the Assessment of Regional Climate Change Impacts. Environmental Modelling and Software (17) : 147-159. Wilby R.L., Charles S.P., Zorita E., Timbal B., Whetton P., Mearns L.O., 2004. Guidelines for Use of Climate Scenarios Developed from Statistical Downscaling Methods. Supporting Material of the Intergovernmental Panel on Climate Change. The Task Group on Data and Scenario Support for Impact and Climate Analysis (TGICA) : 27.
136
Optimasi Pemanfaatan Air Waduk Wonogiri dengan Program Dinamik Dyah Ari Wulandari1*, Suseno Darsono1, dan Djoko Legono2 1 2
Universitas Diponegoro Universitas Gajah Mada
*
[email protected]
Intisari Pada pengukuran kapasitas tampungan Waduk Wonogiri tahun 2011 oleh Perum Jasa Tirta I, didapatkan kapasitas tampungan efektif waduk sudah berkurang hingga 30 %. Penurunan kapasitas tampungan efektif waduk ini akan mengurangi ketersediaan air waduk untuk melayani suplai kebutuhan air terutama pada musim kemarau sehingga pola pengoperasian waduk yang ada perlu dikaji ulang dan di perbaharui (di-update) untuk menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Pengaturan pemanfaatan air waduk didasarkan atas pertimbangan sumber daya yang tersedia dan kebutuhan air yang diperlukan. Agar dapat memenuhi kebutuhan maka pemanfaatan air waduk harus didasarkan pada pengoperasian yang optimum berdasarkan hasil analisis, sehingga pengeluaran air dari waduk dapat terkendali secara optimum sesuai kebutuhan. Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan pola operasi Waduk Wonogiri yang optimal sesuai perubahan kapasitas tampungan yang ada. Penelitian dilakukan dengan mengevaluasi pengoperasian waduk eksisting dan melakukan optimasi pengoperasian waduk sehingga didapat hasil yang optimal. Pengoptimasian menggunakan program dinamik dengan bantuan paket program CSUDP. Hasil dari penelitian didapatkan bahwa pengoperasian waduk aktual belum optimum, keandalannya hanya 29%. Pengoperasian waduk yang paling optimal dengan keandalan 51 % adalah jika menggunakan rule curve hasil optimasi. Kata kunci : operasi waduk, optimasi SDA, Waduk Wonogiri
PENDAHULUAN Waduk dibangun untuk menampung air hujan pada periode air lebih/ musim hujan dan pada periode air kurang/ kemarau air yang tertampung digunakan untuk berbagai macam keperluan. Dengan dibangunnya waduk, diharapkan banjir dapat dicegah dan kekurangan air di musim kemarau bisa diatasi. Pengaturan pemanfaatan air waduk didasarkan pada keseimbangan antara sumber daya yang tersedia dan kebutuhan air yang diperlukan. Agar dapat memenuhi kebutuhan maka pemanfaatan air waduk dilakukan berdasarkan pada pengoperasian yang optimum hasil analisis, sehingga pengeluaran air dari waduk dapat dikendalikan secara optimum sesuai
137
kebutuhan. Di musim kemarau muka air waduk dipertahankan diatas muka air minimum. Jika muka air turun di bawah muka air minimum, maka waduk tidak dapat dioperasikan lagi. Di musim hujan muka air waduk dipertahankan di bawah muka air maksimum. Jika muka air naik diatas muka air maksimum maka pelepasan (release) air waduk perlu diperbesar untuk mempertahankan elevasi muka air sehingga ruang yang tersedia di waduk dapat maksimal menampung debit banjir yang datang. Pada tahap perencanaan waduk, peraturan operasi (operating rule) biasanya telah direncanakan dan peraturan ini akan memberikan pedoman pengoperasian waduk untuk pelepasan/ release guna memenuhi kebutuhan/ demands rencana (Tu et al. 2003). Setelah waduk beroperasi beberapa tahun, penting kiranya untuk mengevaluasi dan memperbaharui pola operasi yang ada untuk menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Perbaikan dari sistem operasi ini dapat disebabkan karena (1) perubahan kebutuhan (demands) misalnya karena adanya pertumbuhan penduduk dan ekonomi, (2) perubahan kondisi hidrologi misalnya karena perubahan iklim, (3) perubahan kapasitas tampungan waduk misalnya karena sedimentasi (Tu et al. 2008). Evaluasi storage yield dan performance pengoperasian waduk merupakan bagian yang penting dalam studi pengembangan Sumber Daya Air. Evaluasi periodik diperlukan untuk menilai kemampuan sistem untuk kondisi saat itu dan kemungkinan perubahan kebutuhan/ demands karena perubahan pola penggunaan air. Penggunaan model pada analisis sistem waduk khususnya ditujukan untuk mengevaluasi kembali storage yield dan performance pengoperasian dari sistem waduk eksisting (Srivastava, 2009). Pengukuran sedimentasi Waduk Wonogiri oleh Perum Jasa Tirta I pada tahun 2011, mendapatkan bahwa tampungan efektif waduk sudah berkurang hingga 30% akibat sedimentasi. Dengan semakin tingginya tingkat sedimentasi Waduk Wonogiri maka pola pengoperasian waduk yang ada perlu dikaji ulang dan di perbaharui (diupdate) untuk menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengoperasian waduk yang ada dan mendapatkan pola operasi Waduk Wonogiri yang optimal sesuai perubahan kapasitas tampungan yang ada. tinjauan PUSTAKA Program Dinamik untuk Pengoperasian Waduk Pada penelitian ini optimasi menggunakan Program Dinamik. Program Dinamik digunakan untuk optimalisasi pengambilan keputusan berangkai (sequential decision problems). Menurut R. Jayadi (1999) persoalan-persoalan yang timbul dari optimasi pola operasi waduk lebih bersifat non linier dan lebih cocok diselesaikan dengan program Dinamik (Dynamic Programming). Dengan program dinamik, persoalan dapat dipisahkan dalam beberapa bagian yang lebih kecil atau sederhana. Dengan sub persoalan yang lebih kecil, persoalan dapat diselesaikan secara lebih mudah dan selanjutnya hubungan antar sub persoalan dapat dianalisis untuk dapat menyelesaikan persoalan secara lengkap.
138
Pada Gambar 1 di bawah menunjukkan skema proses pengambilan keputusan bertahap , dimana pada tahap (stage) i keputusan (decision) ui diambil berdasarkan keadaan (state) xi dengan hasil keluaran sistem fi(xi,ui). Model program dinamik diselesaikan dengan evaluasi secara mundur (backward solution) untuk memperoleh keputusan optimal pada setiap stage pada masing-masing state yang mungkin terjadi. Prosedur selanjutnya adalah penyelesaian langkah maju (forward solution) untuk memperoleh kebijakan optimal sebagai petunjuk penentuan keputusan optimal. Pada pengoperasian waduk model disusun dengan tujuan (objective fuction) mencari besarnya release waduk agar sesuai dengan target kebutuhan air yang ditentukan dalam setiap periode operasi, dalam hal ini pernyataan kuantitatif dari optimasi dapat memaksimumkan atau meminimumkan. Stage adalah periode operasi waduk bisa harian, mingguan, dua mingguan atau bulanan. Decision variables adalah release dari waduk pada stage i sedangkan state variables adalah tampungan awal waduk pada stage i.
Gambar 1. Skema proses pengambilan keputusan bertahap (Labadie,2003) State transformation function (Jain & Singh,2003) diturunkan dari persamaan neraca air waduk sebagai berikut: Xi+1= Xi – Ui +Ii- Ei - SOi ................................................................................ (1) dengan : Xi = volume tampungan waduk (storage) pada awal periode i Xi+1 = volume tampungan waduk (storage) pada awal periode i+1 Ui = pelepasan (release) waduk pada periode i Ii = Inflow waduk pada periode i Ei = penguapan (evaporation) waduk pada periode i SOi = limpasan (spill out) waduk pada periode i Unjuk Kerja Waduk Kinerja Pengoperasian Waduk merupakan indikator waduk dalam pengoperasiannya untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa indikator untuk menilai besarnya performance operasi waduk adalah keandalan (reliability), kelentingan (resiliency) dan kerawanan (vulnerability). Keandalan merupakan indikator seberapa sering waduk untuk memenuhi kebutuhan yang ditargetkan selama masa pengoperasiannya. Kelentingan untuk mengukur kemampuan waduk untuk
139
kembali ke keadaan memuaskan dari keadaan gagal. Jika semakin cepat waduk kembali ke keadaan memuaskan maka dapat dikatakan bahwa waduk lebih lenting sehingga konsekuensi dari kegagalan lebih kecil. Kerawanan adalah besaran dari kegagalan yang didapat dari perbedaan antara kapasitas waduk dan jumlah air yang dibutuhkan, dibagi dengan jumlah air yang dibutuhkan (Suharyanto, 1997).
Gambar 2. Skema sistem waduk Software yang Digunakan CSUDP adalah paket program yang digunakan untuk menganalisa pola operasi waduk menggunakan program dinamik. Program ini dikembangkan oleh John W. Labadie dari Colorado State University. METODOLOGI STUDI Bagan Alir Penelitian Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Perumusan Model Model dikembangkan untuk mengatur pelepasan air waduk guna memenuhi kebutuhan air irigasi, kebutuhan air baku air minum & industri dan pemeliharaan sungai. Untuk keperluan PLTA mengikuti pelepasan untuk air irigasi, air baku air minum & industri dan pemeliharaan sungai. Tampungan yang disediakan untuk kebutuhan air irigasi, air baku air minum & industri dan pemeliharaan sungai adalah tampungan antara elevasi 130 m sampai dengan elevasi 135,3 m. Untuk melaksanakan fungsi waduk dalam pengendalian banjir disediakan tampungan diatas elevasi 135,3 m. Stage, State Variables dan Decision Variables Stage dalam penelitian ini adalah periode 2 mingguan (dalam 1 tahun ada 24 stage). Variabel keadaan pada penelitian ini adalah tampungan awal waduk pada periode i. Variabel keputusan pada penelitian ini adalah pelepasan air waduk pada periode i (Xi).
140
Gambar 3. Bagan alir Penelitian Fungsi Tujuan (Objective Function) Tujuan optimasi pada penelitian ini adalah untuk meminimalkan penyimpangan relatif antara pelepasan dan target kebutuhan air irigasi. Min Z =
...................................................................... (2)
dengan : Z = fungsi tujuan i = urutan periode (stage) operasi waduk N = banyaknya periode yang ditinjau Xi = Pelepasan waduk pada periode i (release) Ti = Target kebutuhan air pada bulan k
141
Fungsi Transformasi Keadaan (State transformation function) Untuk menyatakan hubungan kondisi tampungan waduk dari satu periode ke periode berikutnya digunakan persamaan neraca air waduk (persamaan nomor 1). Fungsi Kendala (constraint) Fungsi kendala berupa faktor pembatas tampungan waduk dan pelepasan, sebagai berikut : Smin ≤ Si ≤ Smax (3) Dengan : Smin = Volume tampungan waduk minimum Si = Volume tampungan waduk pada awal periode i Smax = Volume tampungan waduk maksimum Xmin ≤ Xi ≤ Xmax ...................................................................................... (4) Dengan : Xmin = pelepasan minimum Xi = pelepasan waduk pada periode i Xmax = pelepasan maksimum yang diijinkan Persamaan rekursif (Recursive equation) Antara keputusan optimal pada periode i dengan keputusan optimal pada peride (i+1) dapat dinyatakan dengan hubungan sebagai berikut :
.................................................... (5) Xi Dengan : Fi(Si) = nilai minimum dari penyimpangan relatif antara pelepasan dan kebutuhan air yang dapat dicapai sampai akhir periode i fi(Si,Xi) = selisih antara pelepasan dan kebutuhan air Fi+1(Si+1) = nilai minimum dari penyimpangan relatif antara pelepasan dan kebutuhan air sampai akhir periode i+1 Input Model Target kebutuhan Irigasi Target kebutuhan air sesuai dengan kebutuhan air irigasi, kebutuhan air baku air minum & industri dan pemeliharaan sungai masa tanam tahun 2008/2009 yang dihitung oleh BBWS Bengawan Solo dengan awal masa tanam 1 Nopember. Inflow
Inflow yang digunakan adalah inflow rata-rata periode tahun 2000 - Juni 2012.
142
Untuk menghitung Inflow digunakan persamaan (1) berdasarkan data laporan pengoperasian Waduk Wonogiri jam-jaman dan harian tahun 2000 – Juni 2012. Evaporasi
Berdasarkan data laju evaporasi harian dari tahun 2000 s/d Juni 2012 didapatkan besarnya laju evaporasi harian rata – rata untuk tiap bulannya. Persamaan hubungan antara luas permukaan waduk dengan volume waduk dikembangkan berdasarkan hasil pengukuran kapasitas waduk tahun 2011 oleh Perum Jasa Tirta I. Sehingga besarnya evaporasi pada periode i dapat dihitung dengan persamaan berikut : . . (6) Dengan : Ei = besar evaporasi ei = laju evaporasi Faktor pembatas
Tampungan yang disediakan untuk pemenuhan kebutuhan air adalah tampungan antara elevasi 130 m sampai dengan elevasi 135,3 m. Berdasarkan kurva tampungan waduk hasil pengukuran tahun 2011 didapat faktor pembatas tampungan sebagai berikut : 128,83 ≤ Si ≤ 331 juta m3 Pelepasan air waduk dibatasi oleh kapasitas intake dan target kebutuhan air sebagai berikut : 0 ≤ Xi ≤ 103.68 juta m3 Xi ≤ Target kebutuhan air Diskritisasi
Diskritisasi diperlukan untuk decision variabel dan state variabel. Diskritisasi makin kecil maka hasilnya akan makin teliti, tetapi iterasi perhitungan juga akan semakin panjang. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Berdasarkan debit outflow rata-rata dari tahun 2000 – Juni 2012 dan target kebutuhan air maka pelepasan dari waduk tidak dapat mencukupi kebutuhan pada bulan Mei, Juni dan Nopember sedang pada bulan lainnya terjadi kelebihan air (lihat Gambar 4). Untuk mengetahui kinerja waduk pada pengoperasian waduk aktual periode 2000 – Juni 2012 dilakukan perhitungan keandalan, kelentingan dan kerawanan. Nilai keandalan diperlukan untuk mengukur kemampuan waduk dalam memenuhi fungsinya yaitu memenuhi 70 % dari target kebutuhan. Nilai keandalan pada pengoperasian waduk aktual sebesar 29%, berarti waduk dapat memenuhi fungsinya 29%. Nilai kelentingan digunakan untuk mengukur kemampuan waduk untuk kembali ke keadaan memuaskan dari keadaan gagal. Nilai kelentingan
143
pada pengoperasian waduk aktual 0,20 dengan Tgagal 4,95 berarti untuk kembali ke keadaan memuaskan diperlukan waktu 4,95 periode. Besarnya rata-rata deficit ratio dari besarnya target kebutuhan dalam pemenuhan kebutuhan adalah 1,16, berarti 1,16% kebutuhan air tidak terpenuhi dari suatu kegagalan dengan rata – rata deficit sebesar 3,75 juta m3 tiap periode kejadian gagal. Nilai maksimum deficit ratio adalah 100 % sebesar 23,46 juta m3. Pengoperasian waduk actual belum optimum karena keandalannya hanya 29%.
Gambar 4. Perbandingan volume outflow rata – rata tahun 2000 – 2012 dan kebutuhan air rencana Untuk mendapatkan pola operasi waduk yang optimal dilakukan optimasi dengan program dinamik menggunakan paket program CSUDP. Optimasi menghasilkan pola operasi waduk yang menunjukkan elevasi muka air waduk dan pelepasan air pada tiap periode. Berdasarkan hasil optimasi, nilai fungsi tujuan minimal sebesar 1,2088 didapat pada saat tampungan awal waduk sebesar 148,83 juta atau pada elevasi muka air waduk 130,66 m. Pola operasi waduk hasil optimasi dan pola operasi waduk eksisting dapat dilihat pada Gambar 5, keduanya mempunyai kecenderungan yang sama. Setelah didapatkan pola operasi waduk kemudian dilakukan simulasi selama periode masa tanam 5 tahun terakhir (tahun 2005 – 2011) menggunakan Microsoft Excel untuk mengetahui kondisi waduk eksisting dan optimasi. Dari hasil simulasi ini dapat dibandingkan antara pelepasan dan target kebutuhan airnya. Gambar 6 menunjukkan besarnya pelepasan hasil simulasi dibandingkan dengan target kebutuhan air. Pelepasan mempunyai kecenderungan yang sama. Gambar 7
144
menunjukkan tampungan waduk hasil simulasi rule curve eksisting dan rule curve hasil optimasi yang mempunyai kecenderungan sama. Sedangkan pada pengoperasin aktual tampungan waduk mempunyai kecenderungan yang sama dengan elevasi maksimal yang lebih tinggi.
Gambar 5. Rule curve eksisting dan hasil optimasi Kinerja waduk hasil simulasi rule curve eksisting dan rule curve hasil optimasi dengan pengoperasian waduk aktual periode 2005 – 2011 dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 didapat bahwa keandalan waduk hasil simulasi rule curve optimasi lebih baik dari yang lainnya. Tabel 1. kinerja waduk tahun 2005 – 2011 Kinerja Keandalan T gagal Kelentingan Rata - rata defisit ratio Rata - rata defisit Maksimum defisit ratio Maksimum defisit
Optimasi 0,51 4,73 0,21 1,71 4,65 juta m3 1 28,02 juta m3
Eksisting 0,47 4,05 0,25 1,41 4,58 juta m3 1 30,79 juta m3
Aktual
0,28 5,20 0,19 1,37 3,77 juta m3 1 23,46 juta m3
145
Gambar 6. Perbandingan pelepasan dan target kebutuhan air periode Nop 2005 - Okt 2011
Gambar 7. Perbandingan tampungan waduk periode Nop 2005 – Okt 2011
146
KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi pemanfaatan sumber daya air Waduk Wonogiri dengan menggunakan program dinamik, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengoperasian waduk aktual belum optimum, keandalannya hanya 29%. 2. Pengoperasian waduk yang paling optimal dengan keandalan 51 % adalah jika menggunakan rule curve hasil optimasi. Dengan kondisi tampungan yang ada sekarang waduk hanya dapat memenuhi 51 % dari fungsinya . 3. Pola operasi waduk hasil optimasi akan lebih baik untuk pengendalian banjir karena elevasi maksimum 134,92 m, di bawah elevasi CWL 135,3 m sehingga lebih banyak ruang yang tersedia untuk menampung aliran banjir. Saran yang berkaitan dengan penelitian ini adalah : 1. Optimasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan air irigasi pada 1 masa tanam, karena kekurangan air pada salah satu periode dalam satu masa tanam akan berakibat pada kegagalan. 2. Pengoptimasian waduk dapat dikembangkan secara seri dengan waduk – waduk di hulu Waduk Wonogiri REFERENSI Jain, S.K.; and V.P. Singh, 2003. Water Resources Systems Planning and Management, Elsevier, Amsterdam Lambadie, John W., 2003. User Guide Generalized Dynamic Programming Package CSUDP, Colorado State University McMahon, Thomas A,; and Russel G. Mein, 1978, Reservoir Capacity and Yield, Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam R. Jayadi, 1999. Teknik Optimasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Air, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada,Jogjakarta. Srivastava, D.K. and Taymoor A. Awchi, 2009. Storage Yield Evaluation and Operation of Mula Reservoir, India, Journal of Water Resources Planning and Management, Vol. 135, No. 6, pp. 414-425 Suharyanto, 1997. Analisa Unjuk Kerja Waduk, Medi Komunikasi Teknik Sipil, Edisi VIII Suseno Darsono, Dyah Ari Wulandari dan Hary Budieny, 2011. Optimasi Sumber Daya Air Waduk Wonogiri, Magister Teknik Sipil UNDIP Tu, Ming-Yen; Nien-Sheng Hsu; and William W.-G. Yeh, Hon, 2003. Optimization of Reservoir Management and Operation with Hedging Rules, Journal of Water Resources Planning and Management, Vol. 129, No. 2, pp. 86-97. Tu, Ming-Yen; Nien-Sheng Hsu; Frank T.-C. Tsai; and William W.-G. Yeh, Hon, 2008. Optimization of Hedging Rules for Reservoir Operation, Journal of Water Resources Planning and Management, Vol. 134, No. 1, pp.3-13.
147
Pemodelan Kesesuaian Lahan Berbasiskan Konservasi DAS Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Vera Sadarviana1, Yadi Suryadi2, dan Happy Fadjarudin3 Kelompok Keahlian Geodesi Institut Teknologi Bandung Kelompok Keahlian Teknik Sumber Daya Air Institut Teknologi Bandung 3 Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung 1
2
Intisari Kondisi kebanyakan Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini sangat memprihatinkan akibat penggunaan lahan yang tidak memperhatikan perilaku hidrologis sehingga keseimbangan ekosistem lingkungannya terganggu. Hal ini memunculkan potensipotensi bencana, seperti kekeringan, longsor dan banjir. Upaya mengembalikan keseimbangan ekosistem adalah dengan mengembalikan penggunaan lahan sesuai dengan perilaku hidrologis DAS. Dengan demikian penggunaan lahan pada area DAS harus memiliki kesesuaian yang didasarkan dengan parameter konservasi DAS. Apabila kesesuaian lahan berbasiskan konservasi DAS tercapai, maka indikator yang dapat dilihat adalah rendahnya tingkat erosi dan kekritisan lahan DAS atau dapat memenuhi kriteria DAS sehat sesuai dengan UU no 7 tahun 2004 dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Sumber Daya Air. DAS yang mengalami penurunan kualitas memiliki indikasi, se-perti sedimentasi yang besar, tingkat erosi yang tinggi bahkan lahan sekitarnya sudah berubah menjadi kritis atau DAS kritis. Kualitas DAS yang sudah mengalami indikasi tersebut harus segera dilakukan langkah-langkah rehabilitasi sehingga kualitas DAS tersebut dapat ditingkatkan dan berfungsi seperti sediakala. Dalam rangka rehabilitas DAS maka penggunaan lahan yang ada harus memiliki kesesuaian dengan kriteria konservasi DAS. Metode penginderaan jauh akan memberikan informasi tentang tutupan lahan yang dikonversikan menjadi penggunaan lahan terbaru yang ada di wilayah studi. Sementara dengan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dilakukan analisis spasial dan pengambilan keputusan dengan pembobotan Pairwise Comparison (PC) dari multi-kriteria. Dengan metode pembobotan PC, pemberian nilai bobot akan dapat dihitung tingkat konsistensi dan objektivitasnya. Validasi hasil pemodelan akan dilakukan dengan menghitung kembali tingkat erosi dan kekritisan lahan DAS dengan penggunaan lahan hasil pemodelan. Langkah akhir, validasi sistem akan dilakukan dengan membandingkan antara hasil pemodelan dan RTRW yang berlaku di lokasi penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu, khususnya dalam pengembangan pola hubungan antar kesesuaian lahan yang menitikberatkan pada konservasi sumberdaya air yaitu berupa pengembangan pemodelan yang dapat secara langsung dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan untuk menentukan penataan ruang yang mengusung kesesuaian lahan berbasiskan konservasi alam, dalam hal ini sumberdaya air Kata kunci : konservasi DAS, penginderaan jarak jauh, pairwise comparison
148
PENDAHULUAN Keberlangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan sangat bergantung pada lingkungan yang menyimpan segala sumberdaya alam yang berguna untuk bertahan hidup. Salah satu sumberdaya alam yang paling dibutuhkan adalah air tawar. Sungai merupakan sumberdaya air tawar yang harus dijaga kualitas dan kuantitasnya. Upaya menjaga kualitas air sungai terkait dengan area sekitar sungai yang biasa disebut Daerah Aliran Sungai/DAS (watershed). Batas DAS adalah sebuah garis yang membagi lahan yang mengalirkan aliran dari lahan tersebut menuju ke arah sungai. Kondisi kebanyakan DAS saat ini sangat memprihatinkan akibat penggunaan lahan yang tidak memperhatikan perilaku hidrologis sehingga keseimbangan ekosistem lingkungannya terganggu. Hal ini memunculkan potensi-potensi bencana, seperti kekeringan, longsor dan banjir. Upaya mengembalikan keseimbangan ekosistem adalah dengan mengembalikan penggunaan lahan sesuai dengan perilaku hidrologis DAS. Dengan demikian penggunaan lahan pada area DAS harus memiliki kesesuaian yang didasarkan dengan parameter konservasi DAS. Apabila kesesuaian lahan berbasiskan konservasi DAS tercapai maka indikator yang dapat dilihat adalah rendahnya tingkat erosi dan kekritisan lahan DAS atau dapat memenuhi kriteria DAS sehat sesuai dengan UU no 7 tahun 2004 dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Sumberdaya Air. Penentuan kesesuaian lahan dengan cara manual sering dipengaruhi oleh subjektivitas para pengambil keputusan. Untuk mengedepankan objektivitas penentuan kesesuaian lahan agar konservasi DAS dapat tercapai maka sebaiknya dibuat pemodelan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui analisis spasial dan pengambilan keputusan dengan pembobotan Pairwise Comparison (PC) dari multi-kriteria. Dengan metode pembobotan PC, pemberian nilai bobot akan dapat dihitung tingkat konsistensi dan objektivitasnya. Validasi hasil pemodelan akan dilakukan dengan menghitung kembali tingkat erosi dan kekritisan lahan DAS dengan penggunaan lahan hasil pemodelan. Langkah akhir, validasi sistem akan dilakukan dengan membandingkan antara hasil pemodelan dan RTRW yang berlaku di lokasi penelitian. PEMODELAN SIG Kesesuaian Lahan
Penataan Ruang
Paramater : -
Geologi Biologi Fisik Ekonomi Sosial
Paramater : -
Jenis Tanah Topografi Iklim Daya Dukung Lahan
Konservasi DAS
Paramater : -
Geologi/hidrogeologi Kemiringan Curah hujan Tutupan Lahan Tingkat Erosi Kekritisan Lahan
Penginderaan Jauh Citra Alos & SRTM
Gambar 1. Hubungan Penataan Ruang, Kesesuaian Lahan dan Konservasi DAS
149
TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian ini dilakukan proses citra ALOS (Advanced Land Observation Satellite) dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) serta pembangunan GIS. Tahap pengolahan citra digital dilakukan melalui 7 tahap, yaitu pembuatan citra sintetik, pembuatan citra RGB, pemilihan susunan citra RGB terbaik, klasifikasi K-Means, penentuan area contoh (training set), klasifikasi Maximum Likelihood, dan evaluasi akurasi. Pembuatan citra sintetik dilakukan dengan band math substraksi dan rasio. Band math pada penelitian ini menggunakan citra polarisasi HH hasil filter terbaik sebagai variabel B1 dan citra polarisasi HV hasil filter terbaik sebagai variabel B2. Dengan demikian citra sintetik hasil formula substraksi (B1B2 dan B2-B1) adalah (HH-HV) dan (HV-HH). Sedangkan citra sintetik hasil formula rasio (B1/B2 dan B2/B1) adalah (HH/HV) dan (HV/HH). 4 variasi citra sintetik ini merupakan salah satu band yang akan menempati suatu lapisan pada citra RGB, bersama-sama dengan citra dual polarimetry yang menjadi variabelnya. Pembuatan citra RGB pada penelitian ini dilakukan dengan menyusun 3 citra gray scale pada masing-masing lapisan Red, Green dan Blue. Citra gray scale yang akan disusun pada lapisan-lapisan tersebut terdiri dari 3 jenis yaitu citra polarisasi HH hasil filter terbaik, citra polarisasi HV hasil filter terbaik, dan citra sintetik. Citra sintetik yang terpilih dari hasil analisis ini, dinobatkan sebagai citra pembentuk citra RGB terbaik. Dengan demikian, hasil analisis ini akan menunjuk satu susunan citra RGB terbaik. Klasifikasi K-Means dilakukan pada citra RGB terbaik. Operasi numerik pada klasifikasi K-Means dilakukan otomatis dengan mencari grup secara alamiah berdasarkan sifat-sifat spektral piksel yang bersangkutan. Setelah dilakukan klasifikasi, maka secara otomatis pula akan didapatkan jarak antar klaster dan luasan setiap klaster. Kemudian dilakukan penggabungan dan penghapusan dengan cara mengevaluasi dendrogram dengan metode hierarki. Setelah jarak dievaluasi, maka diperoleh N klaster yang selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap jarak terpendek. Penentuan area contoh (training set) dilakukan dengan meletakan ROI (Range of .Interest) pada citra RGB terbaik melalui proses try and error. Proses tersebut dilakukan dengan cara cross check.terhadap posisi dan penampilan spektral suatu objek tertentu yang sama pada citra RGB terbaik, citra AVNIR-2 dan peta rupa bumi. Pengamatan terhadap penampilan spektral citra dikaitkan dengan karakteristik fisik objek yang diamati pada kondisi sebenarnya di lapangan. Karakteristik fisk objek ini dapat dilihat pada fluktuasi nilai intensitas piksel yang spesifik untuk objek tertentu. Selanjutnya dilakukan penentuan nama kelas tipe penutup lahan. Klasifikasi Maximum Likelihood mengelompokan piksel-piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata contoh multivariate (Mi) dan matriks ragam peragam antar band (Ci) dari setiap kelas (i). Semua kombinasi band dari citra diklasifikasi berdasarkan piksel contoh yang telah dibuat pada tahap penentuan ROI. Evaluasi akurasi dilakukan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase ketelitian pemetaan area kelas penutupan lahan. Analisis akurasi dilakukan menggunakan matriks kesalahan (confusion matrix) atau disebut juga matrik contingency.
150
Untuk pengolahan citra SRTM, menurut Kustiyo (2005), obyek hasil pencitraan penginderaan jauh baik secara pasif menggunakan sistem optik maupun secara aktif menggunakan sistem radar adalah informasi mengenai obyek paling luar dari permukaan bumi yaitu obyek penutup lahan. Hutan akan teramati oleh penginderaan jauh hanya pada bagian kanopi (daun), sedangkan obyek yang berada dibawah hutan seperti semak, rumput tidak teramati. Dari penjelasan ini maka hasil pengukuran ketinggian yang dilakukan dari citra penginderaan jauh radar adalah ketinggian obyek penutup lahan bukan ketinggian permukaan tanah. Jenis penutup lahan mempengaruhi ketelitian ketinggian yang dilakukan dari data radar. Adanya keragaman penutup lahan di permukaan bumi menyebabkan kesalahan pengukuran ketinggian menjadi beragam pula. Untuk memperoleh ketinggian permukaan tanah maka dalam proses pembuatan kontur dimasukkan pula jenis penggunaan lahan sebagai besaran koreksi ketinggian data SRTM. Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). Secara umum pengertian SIG sebagai berikut: ” Suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis ”. METODOLOGI STUDI Sebagai langkah awal penelitian ini adalah menentukan DAS kritis yang berada di area wilayah studi. Setelah itu baru dilakukan pemodelan kesesuaian lahannya yang berbasiskan pada konservasi DAS. Sementara RTRW dijadikan pembanding dengan hasil akhir pemodelan yang dilakukan dalam penelitian ini. Wilayah Studi :
Penginderaan Jauh, Data Sekunder, Fied Check/Survey Lapangan
Pemilihan DAS Kritis DAS di Wilayah Studi
Pengolahan Data
Penentuan Tingkat Erosi DAS menggunakan Metode USLE
Sistem Informasi Geografis
Penentuan Kekritisan Lahan DAS
Analisis Spasial & Pembobotan
Rehabilitasi DAS
Konservasi DAS
Perubahan Penggunaan Lahan DAS
Kesesuaian Lahan RTRW
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian Dari karakteristik permukaan, DAS dibagi dua, yaitu DAS berkarakteristik area pegunungan dan DAS berkarakteristik area datar. Pemilihan DAS berdasarkan indikasi DAS yang sudah mengalami penurunan kualitas, seperti sedimentasi yang besar, tingkat erosi tinggi bahkan lahannya sudah memasuki kriteria kritis.
151
Umumnya DAS yang mengalami penurunan kualitas adalah DAS yang tereksploitasi akibat pemberdayaan masyarakat dan pembangunan di sekitarnya. Pada gambar 3 diilustrasikan metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pertumbuhan Penduduk Dominan di Perimeter Jalan dan Aliran Sungai
Pemberdayaan Sumberdaya AlamDAS
Penggunaan Lahan tidak memperhatikan perilaku hidrologis
DAS Kritis →Bencana Banjir, Longsor, Kekeringan
Wilayah Studi
Citra Satelit ALOS & SRTM Pengolahan Citra
Data Curah Hujan Peta Curah Hujan
Rehabilitasi Kondisi DAS
DAS di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dengan relief relatif datar Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan dan relief DAS
Perubahan Penggunaan Lahan DAS
Peta Dasar RBI Peta Geologi/ Peta Hidrogeologi
Metode USLE SIG : Analisis Spasial & Pembobotan PC
Peta Tingkat Erosi DAS
Peta Liputan Lahan
Peta Manajemen Pengelolaan Lahan
SIG : Analisis Spasial & Pembobotan PC
Kriteria DAS Sehat, UU no 7 Th 2004 Peta Tingkat Kekritisan Lahan DAS Penggunaan Lahan yang Sesuai untuk Rehabilitasi DAS
Konservasi DAS SIG : Analisis Spasial & Pembobotan PC
Kesesuaian Lahan
Simulasi
RTRW
PP no 42 Th 2008
Alternatif Jenis Penggunaan Lahan
= Validasi
Gambar 3. Metodologi Penelitian Wilayah yang dijadikan penelitian pemodelan kesesuaian lahan berbasiskan konservasi das menggunakan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis adalah di fokuskan pada lima kecamatan di kabupaten kubu raya propinsi Kalimantan Barat, yaitu Kecamatan Kuala Mandor B, Kecamatan Rasau Jaya, Kecamatan Sungai Kakap, Kecamatan Sungai Ambawang dan Kecamatan Sungai Raya. Lima kecamatan ini merupakan lima kecamatan bagian utara dari wilayah Kabupaten Kubu Raya. Pemilihan lima kecamatan dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pengembangan wilayah kelima kecamatan ini cukup pesat dan sebagian besar das berada di wilayah ini.
152
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Tingkat Erosi DAS dengan Metode USLE Faktor-faktor utama yang mengendalikan erosi adalah relief, curah hujan, tanah, tanaman dan penutup tanah, pengelolaan. Faktor-faktor tersebut di atas menjadi penentu tema peta yang harus digunakan dalam metode USLE (Universal Soil Loss Equation) untuk mengetahui tingkat erosi DAS. Berikut masukan dalam metode USLE dan hasil akhir yang sudah diperoleh
Gambar 4. Peta Tingkat Erosi DAS di 5 Kecamatan Kabupaten Kubu Raya Tingkat Kekritisan Lahan DAS Kriteria untuk tingkat kekritisan lahan DAS yang digunakan adalah kriteria di kawasan di luar kawasan hutan lindung. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Peta Kekritisan Lahan Lahan yang termasuk dalam kategori sangat kritis-kritis berada di sebelah timur Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Kuala Mandor. Sementara Lahan yang termasuk dalam kategori agak kritis tersebar di sebelah timur Kecamatan Sei Ambawang. Lahan lainnya didominasi oleh potensial kritis dan tidak kritis.
153
Pembahasan Simulasi dilakukan dengan cara mengubah penggunaan lahan dan dilihat pengaruhnya pada tingkat erosi dan kekritisan lahan.
Gambar 6. Grafik Kecenderungan Lahan Tingkat Erosi DAS Kapuas Besar
Gambar 7. Grafik Kecenderungan Lahan Tingkat Erosi DAS Kapuas Kecil
Gambar 8. Grafik Kecenderungan Lahan Tingkat Erosi DAS Landak
154
Sebagian besar area di ketiga DAS berubah tingkat erosinya menjadi lebih kecil (membaik-rehabilitasi berhasil) tetapi sebagian kecil, walaupun sudah dilakukan simulasi rehabilitasi penggunaan lahan, tingkat erosinya tetap pada tingkat berat. Hal ini dikarenakan tingkat erosi untuk daerah yang datar tidak hanya tergantung dari kondisi tutupan lahan akan tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh yaitu : jenis tanah, curah hujan sedangkan faktor kemiringan tidak berpengaruh, karena lokasi studinya relative datar.
Gambar 9. Grafik Kecenderungan Liputan Lahan Tingkat dan Tingkat Kekritisan Lahan DAS Kapuas Besar
Gambar 10. Grafik Kecenderungan Liputan Lahan Tingkat dan Tingkat Kekritisan Lahan DAS Kapuas Kecil
155
Gambar 11. Grafik Kecenderungan Liputan Lahan Tingkat dan Tingkat Kekritisan Lahan DAS Landak Dari hasil rehabilitasi kekritisan lahan diketahui bahwa masih terdapat area yang memiliki kategori sangat kritis yaitu di beberapa area di pinggir sungai. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sempadan sungai yang tertata dengan baik agar konservasi DAS dapat tercapai KESIMPULAN Perubahan penggunaan lahan tidak selamanya berpengaruh langsung terhadap tingkat erosi lahan. Ada factor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya yaitu jenis tanah, curah hujan dan jenis tanaman. Perubahan liputan lahan secara langsung dapat merubah tingkat kekritisan lahan. Jika liputan lahan berubah dari buruk dan sangat buruk ke baik, maka tingkat kekritisan lahan akan membaik. Pengembangan wilayah kabupaten Kuburaya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek fisik dan daya dukung lahan terutama di kawasan DAS, sehingga fungsi lindung berjalan dengan baik. Dari hasil penelitian ini diperoleh lokasi-lokasi yang mempunyai tingkat erosi dan kekritisan lahan yang kurang baik, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana kawasan lindung di RTRW. UCAPAN TERIMA KASIH Terima Kasih kepada Dinas Pengairan Balai Wilayah Sungai Kalimantan I, Dinas Pekerjaan Umum Sub Bidang Pengairan Propinsi Kalimantan Barat, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Kubu Raya, Dinas Tata Kota dan Cipta Karya Kabupaten Kubu Raya dan semua pihak yang sudah membantu dan mendukung sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
156
REFERENSI Aronoff S. (1989). Geographic Information System : A Management Perspective, WDL Publications, Ottawa Kanada, 294 hal. Hasanudin A., 2004, Pengaruh Tata Guna Lahan dan Kondisi Permukaan Tanah Terhadap Aliran Permukaan Menggunakan Model Parameter Terdistribusi. Disertasi Program Pasca Sarjana, Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Sadarviana V., 2000, Optimasi Pemberdayaan Lahan dan Bangunan di Daerah Perkotaan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis Studi Kasus : Lahan dan Bangunan Balai Pendidikan, Latihan dan Penjenjangan (BPLP) PT. Kereta Api Indonesia (KAI), Tesis, Bidang Khusus Teknologi Informasi Spasial Program Studi Teknik Geodesi Program Pascasarjana ITB, Bandung. Bisri M., 2009, Model Integrasi Tata Ruang dengan Perencanaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Konservasi Air Studi Kasus Sub DAS K. Sumpil DAS K. Brantas, Makalah, Agritek Vol 17 No 3 Mei 2009 ISSN. 0852-5426, 11 hal Kustiyo, Yohanes Manalu, dan Sri Harini P., 2005, Analisis Ketelitian Ketinggian Data DEM SRTM, Makalah, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN ke XIV, LAPAN, Jakarta Suryadi Y., Hadihardaja, I.K, 2009, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Upaya Penanganan Daya Rusak Air Akibat Perubahan Karakteristik Pola Tata Guna Lahan, Hujan dan Penanganannya Untuk Mendukung Tata Ruang Wilayah Adaptif di Cekungan Bandung, Makalah, Regional Open Network Conference Of CKNet-INA-ITB.
157
Studi Awal Pemanfaatan Metoda Pengaliran Lapisan Hipolimnion Waduk Untuk Pengendalian Eutrofikasi Waduk Jatiluhur Eko W. Irianto1, R.Wahyudi Triweko2, dan P. Soedjono3 1 2 3
Peneliti, Pusat Litbang SDA
Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Unversitas Katolik Parahyangan
Pengajar Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Intisari Waduk merupakan infrastruktur sumber daya air yang bersifat multiguna. Namun demikian, waduk yang dibangun di Indonesia umumnya telah mengalami masalah eutrofikasi. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, diperlukan upaya-upaya teknis yang diantaranya menggunakan metoda pengaliran lapisan hipolimnion. Karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah membuat simulasi secara numerik dinamika kualitas air waduk untuk mengetahui pengaruh pengaliran lapisan hipolimnion untuk pengendalian eutrofikasi waduk. Parameter kualitas air yang disimulasikan adalah parameter kunci pemicu terjadinya eutrofikasi yaitu BOD, klorofil-a, total nitrogen dan total fosfor. Kajian ini menggunakan data morfometri dan data kualitas air Waduk Jatiluhur sebagai studi kasus, sedangkan piranti lunak yang digunakan adalah WASP. Simulasi dilakukan dengan dengan empat skenario yaitu: (1) dalam kondisi existing;(2) penurunan beban pencemar 50%; (3) pengaliran lapisan hypolimnion 20 m3, dan (4) kombinasi penurunan beban pencemar 50% dan pengaliran lapisan hypolimnion. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pengendalian dan pemulihan kembali eutrofikasi yang telah terjadi pada Waduk Jatiluhur harus dilakukan secara terintegrasi yaitu dengan menurunkan beban pencemar baik external maupun internal minimal 50% dan dengan mengalirkan aliran lapisan hipolimnion minimal 20 m3/s secara terus menerus. Kata kunci: eutrofikasi, klorofil, WASP, Waduk Jatiluhur, lapisan hipolimnion
PENDAHULUAN Waduk merupakan infrastruktur sumber daya air yang berfungsi sebagai penyedia air baku, pengendali banjir dan konservasi lingkungan. Namun demikian, sebagian besar waduk di Indonesia dalam kondisi tercemar dan telah mengalami status penyuburan berlebihan atau eutrofikasi. Sebanyak 10 waduk di Pulau Jawa juga telah mengalami pencemaran berat dan sangat berat, sehingga mengakibatkan kondisi waduk dalam status eutrofik sampai hipereutrofik (Machbub dkk, 2003).
158
Kondisi eutrofikasi waduk tersebut, menyebabkan berbagai permasalahan, misalnya gangguan estetika terutama bau yang menyengat, gangguan transportasi, rendahnya transparansi, berkurangnya kadar oksigen terlarut, serta munculnya zatzat beracun. Berbagai teknologi pengendalian eutrofikasi telah dikaji, namun pada umumnya membutuhkan energi maupun bahan kimia dan belum memanfaatkan pengaruh hidrodinamika waduk terhadap meningkat maupun menurunnya kadar klorofil sebagai indikator utama timbulnya eutrofikasi waduk. Pengambilan air pada lapisan hipolimnion dapat mengurangi konsentrasi senyawa fosfor yang berlebihan pada waduk, sehingga laju eutrofikasi waduk dapat dikurangi (Viksburg,1995). Pengaturan aliran masuk dan keluar waduk dapat menjadi alternatif perbaikan kualitas air, terutama untuk pengendalian eutrofikasi (Yin dkk., 2007). Kadar senyawa nutrien dan dinamika chlorofil-a terkait erat dengan waktu retensi waduk (Fuente dan Nino,2008) Dengan latar belakang di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran lapisan hipolimnion waduk terhadap perbaikan kualitas air, terutama terhadap zat pencemar nutrien yang menjadi penyebab utama masalah eutrofikasi pada waduk, yang berasal dari sumber eksternal, internal bahkan lingkungan sekitar waduk. TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor Pemicu Proses Eutrofikasi Faktor-faktor yang memicu timbulnya proses eutrofikasi yaitu kandungan zat nutrien, cuaca yang sesuai untuk pertumbuhan fitoplankton, dan kecepatan aliran yang rendah (Yin dkk, 2007). Faktor-faktor penting lainnya sebagai pemicu proses eutrofikasi pada waduk, adalah: (1) geometri badan air, yaitu: kedalaman, lebar, luas permukaan dan volume; (2) kecepatan aliran dan turbulensi pencampuran; (3) suhu air dan intensitas cahaya matahari; (4) kandungan zat padat tersuspensi; (5) kandungan alga; (6) kandungan nutrien, dan (7) oksigen terlarut (Gang Ji,2008). Kriteria status trofik waduk adalah tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria status trofik danau atau waduk menurut UNEP-ILEC. Status Trofik
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hypereutrofik
Kadar Ratarata Total N (µg/1) <650 <750 >1900 > 1900
Kadar Ratarata Total P (µg/1) <10 < 30 < 100 >100
Kadar RataKecerahan rata Khlorofil-a Rata-rata (m) (µg/1) < 2.0 >10 < 5.0 >4 < 15 >2.5 > 200 <2.5
Jika kadar senyawa nitrogen pada air waduk lebih dari delapan kali kadar senyawa fosfor, maka senyawa fosfor (P) menjadi pemicu proses eutrofikasi. Sebaliknya, senyawa nitrogen (N) memicu proses eutrofikasi pada air waduk,
159
jika kadarnya kurang dari delapan kali kadar senyawa fosfor (UNEP-IETC/ILEC, 2001). Dengan diketahuinya rasio kadar senyawa nutrien dalam air waduk, maka upaya pengendalian eutrofikasi dapat dilakukan melalui reduksi parameter pemicu eutrofikasi. Berdasarkan hasil penelitian dalam skala laboratorium menggunakan kultur murni, menyatakan bahwa kondisi senyawa nutrien yang berlebih, ditunjang faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari yang tinggi menyebabkan pertumbuhan fitoplankton menjadi sangat melimpah. Pertumbuhan optimum Microcystis sp akan terjadi pada rasio kadar senyawa N dan P berkisar 8 pada suhu 320C, dan mencapai fase tertinggi dalam waktu dua hari (Haarcoryati, 2007). Upaya Pemulihan Eutrofikasi Jangka Panjang Permasalahan eutrofikasi terjadi akibat adanya beban eksternal dan beban internal seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Beban eksternal disebabkan oleh sumber titik dan sumber tersebar. Beban internal waduk disebabkan kondisi badan air dan sedimen pada waduk yang kaya nutrisi. Gambar 1 juga menunjukkan upayaupaya pemulihan waduk akibat marak alga, yaitu upaya pemulihan akibat sumber titik dapat dilakukan melalui saluran pengelak, pengolahan internal lanjutan.
Gambar 1. Pohon keputusan untuk pemilihan pengendalian marak alga diagram alir penyebab marak alga dan upaya pemulihannya (Cooke dkk., 2005) Program pemulihan waduk akibat eutrofikasi harus dilakukan secara simultan dan terus-menerus, yaitu melalui pengurangan beban senyawa nutrien pada daerah aliran sungai, pengaliran dan evakuasi sedimen dasar, serta perbaikan lingkungan waduk (Martin dkk.,2010).
160
Pengaruh Hidrodinamika terhadap Eutrofikasi Pada umumya badan air waduk terstratikasi dalam tiga lapisan, yaitu lapisan epilimnion, metalimnion dan hipolimion. Hidrodinamika aliran berpengaruh terhadap terjadinya stratifikasi waduk, yang cenderung menghambat berlangsungnya proses pencampuran, terutama proses tranfer panas. Waduk yang memiliki lapisan metalimnion yang tajam mengakibatkan proses pencampuran sulit terjadi, sehingga akumulasi zat nutrien pada lapisan-lapisan tersebut dapat terjadi (Hurtado, 2006). Lapisan epilimnion merupakan lapisan paling atas, tidak berkontak dengan sedimen, lebih hangat dan masa jenis lebih rendah. Lapisan metalimnion adalah lapisan antara epilimnion dan hipolimnion dengan masa jenis lebih besar dari epilimnion dan terdapat lapisan termoklin yang membatasi epilimnion dan hipolimnion. Lapisan hipolimnion adalah lapisan paling dasar yang lebih dingin dengan masa jenis yang lebih besar, terisolisasi dari atmosfir dan berkontak langsung dengan lapisan sedimen. Kondisi stratifikasi tersebut menyebabkan terakumulasinya fitoplankton pada tiap-tiap lapisan, baik pada lapisan epilimnion dan hypolimnion (Chau dan Jin, 2002). Pada waduk besar dan dalam terdapat efek sirkulasi aliran yang dipengaruhi oleh angin, aliran hidrolik, perubahan muka air dan difusi turbulen, sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Kondisi tersebut berpengaruh pada transport zat pencemar, sehingga mempengaruhi timbulnya proses eutrofikasi (Henderson dan French, 2000).
Gambar 2. Diagram pengaruh sirkulasi aliran terhadap proses transport zat pencemar (Henderson dan French, 2000). Piranti Lunak dinamik WASP Salah satu dari piranti lunak yang sering digunakan dalam estimasi eutrofikasi adalah piranti lunak WASP (Water quality Analysis Simulation Program). Piranti lunak ini diproduksi oleh US EPA sebagai “public domain” (Balcerzak ,2006). Prinsip dari WASP ini adalah model dinamik dari suatu fenomena transport dan perubahan zat pencemar pada suatu lingkungan keairan dan lapisan endapan dasar.
161
Parameter simulasi proses eutrofikasi adalah parameter nutrien yang terdiri dari nitrogen dan fosfor serta parameter organik pada epilimnion dan hipolimnion dan diprediksi seiring perubahan waktu (Wool, 2001). Dengan demikian, dinamika perkembangan fitoplankton dari suatu waduk dapat dianalisis (Balcerzak,2006). Persamaan dasar dari piranti lunak WASP ditunjukkan pada persamaan (1) sampai (3):
(1) Akumulasi
Dispersi
Adveksi
Reaksi Internal Sumber External
dengan : C : konsentrasi zat pencemar (g/m3) t : waktu (hari) A : Luas permukaan dari aliran (m2) Dx : koefisien dispersi sepanjang arah x (m/hari) x : jarak sepanjang aliran (m) U : kecepatan adveksi sepanjang arah x (m/hari) SK : hasil maupun hilang masa akibat reaksi internal, dihitung secara segmen volume (g/m3) SB : perubahan masa antara segmen i dan j akibat dispersi longitudinal , diperhtungkan pada segmen[g/m3 d]. SB didefinisikan sebagaimana persamaan (2) sebagai berikut:
................................................................................ ................................................................................................................................................. (2)
dengan : Ei0(t): koefisien dispersi sebagai fungsi waktu dimulai pada segmen i [m3/hari] Ai0 : Luas permukaan pada permulaan penampang i [m2] Vi : volume segment i [m3] Li0 :Panjang segment i [m] Cjk : konsentrasi zat pencemar k pada segmen j [g/m3] Cik : konsentrasi zat pencemar k pada segmen j [g/m3] SL : beban zat pencemar dari sisi aliran diperhitungkan volume air dan pencemar sebagaimana persamaan (3):
.........................................................................................
162
. ....................................................................................................................... (3) Lik(kt) : beban pencemar dari aliran external [kg/hari] METODOLOGI STUDI Penelitian dilaksanakan dengan data Waduk Jatiluhur, karena memiliki tiga pintu pengeluaran, yaitu (1) melalui permukaan atau bangunan pelimpah; (2) intake turbin, dan (3) pintu pengeluaran aliran dasar atau hollow jet. Parameter yang disimulasikan dalam penelitian ini adalah parameter BOD, Total Nitrogen (TN), Total Fosfor (TP) dan Klorofil-a. Penelitian dimulai dengan pengumpulan data berupa peta batimetri, data operasi waduk dan data beban pencemar yang memasuki waduk. Data-data tersebut selanjutnya menjadi input dari piranti lunak WASP (Water quality Analysis Simulation Program) yang menggunakan prinsip model box volume. Diagram alir selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram alir metodologi pemanfaatan teknik pengaliran lapisan hipolimnion
163
Simulasi dilakukan dengan berbagai skenario, yaitu (a) kondisi existing tanpa perbaikan; (b) reduksi beban pencemaran dengan tanpa pengeluaran lapisan hipolimnion dasar; (c) kondisi existing dengan pengeluaran lapisan hipolimnion dasar; dan (d) kombinasi reduksi beban pencemaran dengan pengeluaran lapisan hipolimnion dasar. Obyek simulasi adalah lapisan epilimnion atau lapisan tembus matahari karena tempat berlangsungnya proses eutrofikasi. Lokasi yang disimulasikan adalah pada lokasi 1, 5 mewakili kondisi zona sungai, lokasi 7 mewakili zona transisi, sedangkan lokasi 9 mewakili zona lakustrin pada waduk . HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Hasil Pembentukan Model Box Volume Pembentukan model box volume dilakukan berdasrkan analisis peta batimetri Waduk Jatiluhur, dan. selanjutnya dibuat segmen-segmen model sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Segmen-segmen tersebut dibentuk berdasarkan tegak lurus aliran sungai pada dasar waduk, danselanjutnya menjadi input pada piranti lunak WASP.
Gambar 4. Hasil pembentukan segmen model box volume Hasil Simulasi dan Analisis a. Simulasi kondisi awal Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi parameter BOD dan klorofil-a menunjukkan konsentrasi yang menurun searah aliran dari hulu ke hilir, sedangkan parameter TN dan TP memiliki konsentrasi yang relatif sama. Kondisi existing kualitas air Waduk Jatiluhur adalah zat organik antara 5.5 sampai dengan 7 mg/L sebagai BOD pada lokasi 1 dan 5, konsentrasi klorofil-a berkisar 0,002 sampai dengan 0,005 mg/m3, TN: 0,4-0,8 mg/L, sedangkan TP: 0,1-0,32 mg/L.
164
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Simulasi parameter kualitas air kondisi existing: (a) BOD; (b) Klorofil; (c) TN, dan (d) TP b. Simulasi pengaruh penurunan beban pencemar Gambar 6 menunjukkan hasil simulasi bila beban pencemar yang masuk ke Waduk Jatiluhur baik beban internal maupun external diturunkan 50%. Hasil simulasi ke dua menunjukkan bahwa konsentrasi zat pencemar pada badan air waduk menunjukkan terjadinya penurunan. Konsentrasi zat organik menurun menjadi 2 sampai 3,5 mg/L BOD, klorofil-a menurun menjadi 0,001-0,0025 mg/ m3, konsentrasi TN keseluruhan lokasi menurun menjadi 0,2-0.5 mg/l, sedangkan konsentrasi TP menurun menjadi 0,004-0,016 mg/l.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6. Simulasi parameter kualitas air dengan penurunan beban zat pencemar 50%: (a) BOD; (b) Klorofil; (c) TN, dan (d) TP
165
c. Simulasi pengaruh pengeluaran lapisan hypolimnion waduk Hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi zat pencemar pada lokasi 1 dan 5, zone sungai, tidak mengalami perubahan. Namun, pada lokasi 7 (zona transisi) dan 9 (zona lacustrine) mengalami penurunan dari waktu ke waktu yaitu konsentrasi zat organik menurun menjadi 0,5 sampai 3,5 mg/L BOD, klorofil-a menurun menjadi 0,0004-0,0012 mg/m3, konsentrasi TN dan TP pada lokasi 7 dan 9 cenderung fluktuatif dan menurun dari waktu ke waktu. Konsentrasi TN menjadi 0,02-0.05 mg/l, sedangkan konsentrasi TP menurun menjadi 0,01-0,025 mg/l (Gambar 7).
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 7. Simulasi parameter kualitas air dengan pengeluaran lapisan hipolimniom 20m3 : (a) BOD; (b) Klorofil; (c) TN, dan (d) TP
d. Mulasi pengaruh penurunan beban pencemar dan pengeluaran lapisan hypolimnion waduk Gambar 8 menggambarkan hasil simulasi penurunan beban pencemar dan pengeluaran lapisan hypolimnion dengan debit 20 m3/s melalui bottom outlet secara bersamaan terhadap parameter kualitas air pemicu eutrofikasi. Hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi zat pencemar pada keseluruhan lokasi mengalami penurunan hampir 50%. Namun, pada lokasi 7 (zona transisi) dan 9 (zona lacustrine) cenderung mengalami penurunan dari waktu ke waktu akibat pengaruh pengaliran lapisan hypolimnion waduk. Pada lokasi 7 dan 9 konsentrasi zat organik menurun menjadi 0,5 sampai 1,5 mg/L BOD, klorofil-a menurun menjadi lebih kecil dari 0,0002 mg/m3. konsentrasi TN dan TP pada lokasi 7 dan 9 cenderung fluktuatif dan menurun dari waktu ke waktu. Konsentrasi TN menjadi 0,2-0.3 mg/l, sedangkan konsentrasi TP menurun menjadi 0,01-0,016 mg/l.
166
(a)
(b)
(d) (c) Gambar 8. Simulasi parameter kualitas air dengan penurunan beban pencemar 50% dan pengeluaran lapisan hipolimniom 20 m3 : (a) BOD; (b) Klorofil; (c) TN, dan (d) TP KESIMPULAN Dengan mengetahui pengaruh pengoperasian waduk, terutama pengoperasian bottom outlet, terhadap dinamika eutrofikasi waduk, maka upaya-upaya pengendalian eutrofikasi melalui pola pengoperasian waduk yang berfungsi untuk memperbaiki kualitas air dapat dilakukan, terutama terhadap parameter kualitas air yang memicu proses eutrofikasi waduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan beban zat pencemar, baik internal maupun eksternal waduk, dapat membantu menurunkan konsentrasi parameter kualitas air pemicu terjadinya eutrofikasi waduk. Pengaliran lapisan hypolimnion waduk dapat menurunkan konsentrasi TN dan TP pada zona transisi dan lakustrin waduk. Karena itu, integrasi penurunan beban zat pencemar dengan mengalirkan lapisan hypolimnion waduk menjadi upaya alternatif untuk perbaikan kualitas air waduk terutama untuk pengendalian eutrofikasi waduk. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima-kasih kepada Ir. Bambang Hargono, Dipl HE,MEng, Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air, atas segala dukungan serta rekan-rekan dari Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air atas dukungan bahan dan data.
167
REFERENSI Balcerzak,W., 2006, The Protection of Reservoir Water against the Eutrophication Process, Institute of Water Supply and Environmental Protection, Kraków University of Technology, ul. Warszawska 24, 31-155 Kraków, Poland, Polish J. of Environ. Stud. Vol. 15(6): 837-844 Chau, K.W dan H.Jin. 2002. Two-Layered, 2D Unsteady Eutrophication Model In Boundary-Fitted Coordinate System, Marine Pollution Bulletin (45), Pergamon,pp. 300–310, Cooke D, Welch E., Peterson S., Nichols S., 2005. Decision tree for choosing the best procedures in Controlling the algae problems. Restoration and management of lakes and reservoirs, Taylor & Francis Group, Fuente,A dan Nino, Y.2008. Pseudo 2D Ecosystem Model for Dendritic Reservoir, Master Thesis, Universidad Chili, Santiago Gang Ji, Zhen.2008 Hydrodynamics and Water Quality: Modelling Rivers, Lake, and Estuaries. John Willey & Sons,Inc. New Jersey, Canada Goldman, C. R., dan A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc Graw-Hill Book Co., New York. Haarcoryati,A. 2007. Optimasi Faktor Lingkungan yang Menstimulasi Terjadinya Blooming Mikroalga Microcystis Sp Dalam Skala Laboratorium. Buletin Keairan. Volume 1 Nomor 1, Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung Henderson, B., & French, R. (2000). Water Quality Modelling:Desicion Support Techniques for Lakes and Reservoirs (Vol. IV). Boca Raton,Florida: CRC Press,Inc. Martin, Laurent dan Emma Gouze,.2010. 3D flow and water quality (eutrophication) Berre Lagoon – TELEMAC - Delft3D WAQ. , Jean-Michel Hervouet Laboratoire National ‘Hydraulique et Environnement; EDF Electricité de France – Research & Development; International Delft3D Users Meeting 2010; Delft – The Netherlands – 11 & 12 October 2010 Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. Eutrophication of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung. UNEP-IETC-ILEC, 2001. Lakes and Reservoir Water Quality: The Impact of Eutrophication, Shiga-Japan. Vol.3, ISBN: 4-906356-31-1 Viksburg,MS.1995. The WES Handbook on Water Quality Enhancement Technique for Reservoirs and Tailwaters. In cooperation: US Army Corp of Engineers and US EPA Wool T. A., Ambrose R.B., Martin J.L., Comer. E.A., 2001. Water Quality Analysis Simulation Program (WASP) – version 6.0, Draft: User’s Manual, US EPA, Atlanta G.A. Yin, Zu Xin dan Yao.2007. Ecohydrodynamic Technique for Controling Eutrophication of Small Schenery Lakes:A Case Study of Ludao Lake in Shanghai. Journal of Hydrodynamics.19(6). Science-Direct
168
Pengaruh Parameter Limpasan Permukaan Terhadap Debit Puncak Di Perkotaan Ery Setiawan1*, Fatchan Nurrochmad2, Joko Sujono2, dan Rachmad Jayadi2 1
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gajah Mada 2
Universitas Gajah Mada
*
[email protected]
Intisari Perkembangan pesat daerah permukiman (urban area) dapat menyebabkan berubahnya nilai-nilai parameter limpasan permukaan, antara lain kemiringan lahan (slope), kekedapan lahan (imperviousness), kekasaran permukaan lahan (N-Manning’s coeficient), serta jenis dan kedalaman tampungan cekungan (depression storage). Perubahan nilai-nilai parameter limpasan permukaan tersebut, selanjutnya dapat mempengaruhi debit puncak khususnya di perkotaan (urban runoff). Tujuan studi ini untuk melakukan kajian terhadap parameter limpasan permukaan yang mempunyai pengaruh dominan dalam proses pembentukan debit puncak di daerah perkotaan. Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan simulasi hujan aliran pada sekumpulan data hidrologi dan karakteristik catchment dengan menggunakan model urban runoff, serta melakukan analisis sensitivitas terhadap tujuh parameter limpasan terhadap debit puncak. Analisis kepekaan dilakukan dengan cara parameter standar diubah menjadi under-estimate 25% dan over-estimate 25% dari nilai standar. Berdasarkan hasil analisis tiga parameter limpasan permukaan yaitu persentase lahan kedap air (%-impervious), kekasaran permukaan kedap air (N-impervious) dan depression storage kedap air (DS-impervious) merupakan parameter yang paling dominan terhadap proses pembentukan debit puncak di wilayah studi. Kata kunci : urban area, parameter limpasan permukaan, urban runoff.
PENDAHULUAN Tanggapan dan kepekaan suatu catchment terhadap masukan (hujan) sangat ditentukan oleh perubahan nilai parameter limpasan permukaan yang tidak lain didominasi oleh sifat fisik catchment yang menyusunnya. Menurut Rossman (2007), faktor fisik catchment, diperikan menjadi beberapa parameter, yaitu kemiringan lahan (slope), kekedapan lahan (imperviousness), kekasaran permukaan lahan (N-Manning’s coeficient), serta jenis dan kedalaman tampungan cekungan (depression storage). Perubahan nilai-nilai parameter limpasan permukaan tersebut, selanjutnya dapat mempengaruhi perubahan debit puncak (peak discharge).
169
Tujuan dari studi ini adalah untuk melakukan kajian terhadap parameter limpasan permukaan yang mempunyai pengaruh dominan dalam proses pembentukan debit puncak di daerah perkotaan (urban runoff). Manfaat yang diharapkan yaitu dapat digunakan dalam perencanaan jaringan drainase dan pengelolaan banjir perkotaan dengan berbagai jenis dan kondisi parameter fisiknya. TINJAUAN PUSTAKA Pada tahun 1985, Sri Harto telah melakukan studi tentang alihragam hujan aliran dengan daerah studi beberapa DAS Di Pulau Jawa (Sri Harto, 1993). Hasil studi menunjukkan bahwa faktor fisik DAS memegang peranan yang sangat besar dalam pengalihragaman hujan menjadi aliran, antara lain: sifat permukaan lahan, sistem pengatusan alami dan sistem sungainya, sistem pengatusan (drainage) di daerah pemukiman (urban), serta sistem penampungan (storage). Warwick dkk (1991), melakukan studi pada sebuah daerah pemukiman seluas 10 mil persegi (± 25,64 km2) di Dallas, Texas, dengan kalibrasi dan verifikasi terhadap 2 parameter limpasan permukaan, yaitu pervious depression storage dan percent imperviousness. Hasil studi menunjukkan bahwa kedalaman hujan berpengaruh paling besar terhadap dua parameter limpasan permukaan tersebut. Barco dkk (2008), melakukan studi di DAS Ballona di Los Angeles seluas 217 km2 yang terdiri dari daerah pemukiman, daerah terbuka dan daerah industri. Hasil studi menunjukkan bahwa parameter: kekedapan dan tampungan depresi permukaan tak tembus air berpengaruh paling besar terhadap volume banjir. Hidayat (2010), melakukan studi terhadap tujuh parameter limpasan permukaan dengan daerah studi Mawson Lakes City, Adelaide, di South Australia. Hasil yang didapatkan menyimpulkan bahwa parameter tutupan lahan tak tembus air merupakan satu-satunya parameter yang sensitif dengan persentase perubahan limpasan yang terjadi. Limpasan Permukaan Setiap sub-catchment dapat diasumsikan sebagai non-linear reservoir. Penelusuran limpasan permukaan dapat dilakukan melalui reservoir dengan teknik non-linear (non-linear reservoir routing technique). Aliran masuknya adalah hujan aliran dari DAS di hulu, sedangkan aliran keluarnya meliputi infiltrasi, evaporasi dan limpasan permukaan (Rossman, 2007). Kapasitas depression storage maksimum tak lain adalah tampungan permukaan maksimum yang diberikan oleh penggenangan, pembasahan permukaan dan intersepsi. Besarnya limpasan permukaan per satuan luas sub-catchment diperoleh dengan mengurangkan kedalaman aliran dengan tampungan depresi maksimum (dp). Besarnya aliran limpasan keluar (outflow), Q ditulis dengan Persamaan 1 sebagai berikut.
Q =W
1 5 1.49 3 S2 d − d ( p) n ................................................................................ (1)
Pada Persamaan (1) W adalah lebar karakteristk sub-catchment, d kedalaman aliran permukaan (reservoir) maksimum, dp adalah depression storage, S adalah rerata kemiringan lahan, dan n adalah nilai koefisien kekasaran Manning.
170
Parameter Limpasan Permukaan Infiltrasi Banyak model matematik yang sudah dikembangkan untuk menentukan infiltrasi seperti: persamaan Richard, Green-Ampt, Horton, Philip dan lain sebagainya. Salah satu yang terkenal yaitu yang dikembangkan oleh Green-Ampt pada tahun 1911 (Chow, 1988 dan Viessman, 1977), yang secara umum ditunjukkan pada Persamaan 2 dan 3. y ∆q f (t ) = k + 1 ......................................................................................... (2) F (t ) F (t ) ........................................................................ (3) F (t ) = kt +y ∆ q ln 1 + y ∆ q Pada persamaan (2) dan (3) f(t) adalah laju infiltrasi nyata (mm/menit), F(t) infiltrasi kumulatif (mm/menit), k permeabilitas tanah (mm/menit), dengan ∆θ kadar lengas lapisan tanah, ψ kedalaman tanah (mm), t waktu utuk membasahi lapisan tanah (menit). Kemiringan Lahan (%-Slope) Viessman (1972) melakukan studi terhadap empat wilayah drainase kedap air dan menyatakan bahwa losses dari rerata kejadian banjir berkurang dengan cepat terkait dengan kemiringan (slope). Hal ini dikarenakan adanya depression storage horisontal yang akan dapat menahan laju volume aliran secara maksimal. Persentase area kedap air (%-Impervious) Alley and Veenhuis, 1983 (dalam Brabec, 2009), menyatakan bahwa nilai percent imperviousness untuk berbagai variasi tutupan lahan dikelompokkan sebagai berikut: daerah permukiman (residential) sebesar 53-64% atau rerata 60%, daerah perdagangan (commercial) 66-98% atau rerata 88%, dan daerah industri 1157% atau rerata 40% dan maksimal bernilai 60%. Kekasaran permukaan kedap dan tembus air (N-Impervious dan N-Pervious) Rossman (2007), menyarankan bahwa untuk kondisi standar, nilai kekasaran Manning untuk aliran permukaan kedap air (N-Impervious) sebesar 0.01-0.05, sedangkan untuk N-Pervious sebesar 0.05-0.1. Sobriyah dan Sudjarwadi (2001), menyarankan penggunaan nilai N-Impervious sebesar 0.025-0.05, sedangkan N-Pervious sebesar 0.05-0.5 berdasarkan pada studi kasus DAS Wuryantoro. Tampungan cekungan permukaan (Depression Storage) Viessman (1977), menyatakan bahwa semua depression harus pada kondisi fullbank capacity sebelum aliran limpasan dimulai. Sedangkan Linsley dkk, 1961 (dalam Viessman, 1977), menyatakan kedalaman rerata depression storage adalah
171
6.35 mm untuk hamparan rumput maksimum 12.70 mm, dan untuk perkerasan dengan beton diasumsikan 1.59 mm dan maksimum 3.17 mm. Tholin dan Kiefer, 1959 (dalam Viessman, 1977) menyatakan bahwa persamaan nilai parameter tersebut diatas mewakili daerah urban yang sudah dikembangkan menggunakan nilai sebesar 6.35 mm untuk depression storage di daerah urban tanpa kedap air, dan 1.59 mm untuk kedap air. Viessman dan Hicks (1977), menetapkan nilai kehilangan akibat depression storage dari suatu kejadian banjir adalah sebesar 5.08 mm untuk pasir, 3.81 untuk geluh lempungan dan 2.54 mm untuk tanah liat/lempung. Analisis Sensitivitas Loucks dkk (1981) melakukan analisis sensitivitas dengan merubah nilai salah satu parameter standar menjadi 25% lebih kecil nilainya (under-estimate), sementara parameter lainnya tetap. Proses ini dilakukan secara bergantian terhadap semua parameter lainnya. Hal yang sama dilakukan kembali tetapi dengan menggunakan nilai-nilai parameter 25% lebih besar dari nilai optimalnya (over-estimate). METODOLOGI STUDI Daerah Studi Daerah studi adalah Kota Mataram, yang terletak di Pulau Lombok, Provinsi NTB, dengan luas area 61,30 km2 (Gambar 1). Kota Mataram dilalui oleh empat buah sungai yaitu : Sungai Midang, Jangkok hilir, Ancar dan Unus Berenyok, dimana masing-masing daerah tangkapan ke-empat sungai tersebut sebagian berada di dalam wilayah Kota Mataram.
Batas Kota Mataram
Sub-catchment Midang Sub-catchment Jangkok hilir
Sub-catchment Ancar
Sub-catchment Unus
Pulau Lombok
Kota Mataram
Gambar 1. Peta wilayah studi Kota Mataram di Pulau Lombok, Provinsi NTB.
172
Pengumpulan data Data spasial yang diperoleh dan diolah adalah data dari peta tematik skala 1:100.000 untuk menentukan tata guna lahan, jenis tanah, luas dan batas sub daerah tangkapan air, areal kedap dan tembus air, kekasaran areal permukaan kedap dan tembus air, depression storage, kemiringan lahan, kemiringan saluran, panjang saluran/sungai, lebar sungai dan daerah tangkapan sedangkan data hujan pos Gunung Sari dan Sesaot (1999-2008). Analisis debit puncak menggunakan Storm Water Management Model (SWMM) Secara garis besar perhitungan dalam SWMM dijelaskan sebagai berikut: infiltrasi dilakukan dengan metode Green-Ampt, sedangkan penelusuran limpasan permukaan dapat dilakukan dengan konsep reservoir teknik non-linear (nonlinear reservoir routing technique). Aliran masuknya adalah hujan aliran dari subcatchment, sedangkan aliran keluarnya meliputi infiltrasi dan limpasan permukaan. Besarnya limpasan permukaan per-satuan luas catchment diperoleh dengan mengurangkan kedalaman aliran dengan depression storage maksimum (dp). Skema perhitungan peak runoff SWMM disajikan pada Gambar 2. hujan
Q d dp infiltrasi (a)
Penentuan genangan atau limpasan hujan di depression storage
evaporasi
Q
parameter limpasan permukaan: : %-slope, N-impervious, dan N-pervious, %-impervious, DS-impervious, DS-pervious dan %-zero-impervious
Analisis infiltrasi (metode Green-Ampt)
Analisi hujan efektif (excess rainfall)
Penelusuran debit/ limpasan di subcatchment dengan persamaan Manning
Hidrograf masukan di sungai
(b)
Gambar 2 Skema perhitungan urban runoff modelling menggunakan SWMM. Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan terhadap 7 parameter limpasan permukaan yaitu: persentase kemiringan lahan, persentase permukaan kedap air, kekasaran permukaan kedap air dan tembus air, tampungan cekungan kedap air dan tembus air serta persentase permukaan kedap air tanpa tampungan cekungan. Parameter dikatakan mempunyai sensitivitas apabila nilai parameter pada kondisi underestimate dan over-estimate memberikan persentase selisih keluaran terbesar dibandingkan keluaran pada parameter standar, seperti ditulis dalam Persamaan 4 (Hidayat, 2010). SV =
pu − ps ×100% . .................................................................................. (4) ps
Pada Persamaan (4) SV adalah persentase selisih (%) antara pu (debit keluaran pada parameter under-estimate atau over-estimate, m3/s), dengan ps (debit keluaran pada parameter standar, m3/s).
173
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis spasial dan karakteristik wilayah studi Seperti halnya perkembangan kota-kota lain di Indonesia, Kota Mataram adalah sebuah daerah urban yang berkembang cukup pesat pembangunan infrastrukturnya. Permasalahan banjir yang terjadi di Kota Mataram, akibat dampak pesatnya perkembangan pembangunan yang menyebabkan kawasan resapan menjadi hilang. Banyak lahan pertanian atau ruang terbuka hijau yang berubah menjadi ruko, perkantoran dan perumahan (sumber: Suara-NTB.com, 2012). Berdasarkan data dan peta tematik yang ada, dilakukan pengolahan dan analisis data spasial yang menghasilkan parameter seperti disajikan pada Tabel 1 di bawah. Tabel 1 Karakteristik parameter sub-catchment di dalam Kota Mataram Parameter
Satuan
Luas dalam Kota Mataram Persentase luas dalam kota Panjang sungai dalam kota Kemiringan sungai Lebar rerata sub-catchment Jenis tanah Kemiringan lahan (%-slope) Lahan kedap air (%-Impervious) N-Impervious N-Pervious Depression storage-impervious Depression storage-pervious %-Zero impervious
(km ) (%) (m) (%) (m) (%) (%) mm mm % 2
Sub-catchment Midang Jangkok_hilir Ancar
Unus
6.01 20.23 10.02 25.04 9.80 33.00 16.35 40.85 6704 9277 11177 10016 0.0597 0.4851 0.501 0.3894 831 1716 1182 1971 dominan tanah liat berpasir dan tufa 0.62 0.38 0.37 0.26 48.84 56.49 69.57 59.13 0.0036 0.0071 0.011 0.0078 0.107 0.08 0.012 0.068 1.90 3.94 6.25 4.38 1.35 1.01 0.15 0.86 14.99 2.97 6.00 3.92
Analisis hujan rencana Intensitas yang digunakan berupa intensitas hujan selama 24 jam berdasar analisis probabilitas dengan kala ulang 2, 5, 10, dan 25 tahunan, dan hasilnya disajikan pada Tabel 2 di bawah. Analisis debit puncak Hasil running debit puncak menggunakan nilai parameter standar untuk berbagai kala ulang pada ke-empat sub-catchment di Kota Mataram, yaitu Midang, Jangkok hilir, Ancar dan Unus_Berenyok disajikan pada Tabel 3. Running dilakukan menggunakan model urban runoff SWMM dengan konsep perhitungan menggunakan skema pada Gambar 2 dan Persamaan (1) sampai (3) di atas. Analisis sensitivitas Dalam kepentingan analisis sensitivitas studi ini, maka perlu dilakukan running sebanyak 32 kali. Pada Tabel 4 disajikan besarnya perubahan nilai-nilai parameter
174
limpasan permukaan baik pada kondisi under-estimate 25% maupun over-estimate 25%. Sensitivitas tiap parameter terhadap keluaran debit puncak dianalisis kembali dengan nilai parameter pada kondisi under-estimate maupun over-estimate. Pada Tabel 5 di bawah disajikan debit puncak hasil analisis keluaran pada kondisi underestimate, sedangkan Tabel 6 kondisi over-estimate. Berdasarkan hasil analisis debit keluaran dengan parameter under-estimate 25% (Tabel 5) dan over-estimate 25% (Tabel 6), serta dengan membandingkannya dengan debit keluaran parameter standar pada Tabel 3, maka dengan menggunakan Persamaan (4), dapat dihitung persentase selisih masing-masing debit pada parameter limpasan untuk berbagai kondisi estimasi. Tabel 2. Intensitas hujan rencana untuk berbagai kala ulang (mm/jam) jam ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kala Ulang 2 1.102 0.481 0.465 0.377 0.370 0.341 0.247 0.210 0.192 0.182 0.173 0.149
5 1.242 1.050 0.499 0.430 0.425 0.415 0.358 0.267 0.248 0.231 0.213 0.185
10 1.549 1.262 0.898 0.860 0.847 0.597 0.487 0.480 0.399 0.343 0.318 0.289
25 2.148 2.133 2.131 1.905 1.271 1.188 0.849 0.830 0.708 0.547 0.413 0.405
jam ke13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
2 0.148 0.130 0.122 0.118 0.112 0.059 0.057 0.051 0.046 0.043 0.028 0.020
Kala Ulang 5 10 0.179 0.245 0.179 0.226 0.136 0.221 0.135 0.186 0.131 0.182 0.128 0.177 0.109 0.163 0.097 0.136 0.080 0.087 0.050 0.053 0.048 0.051 0.040 0.050
25 0.399 0.390 0.323 0.251 0.186 0.183 0.173 0.136 0.092 0.080 0.062 0.051
Tabel 3. Debit puncak dengan parameter standar berbagai kala ulang (m3/s) No.
Sub-catchment
1 2 3 4
Midang Jangkok_hilir Ancar Unus_Berenyok
Kala Ulang (m3/s)
Luas (km2) 6.01 20.23 10.02 25.04
2 0.15 0.15 0.02 0.10
5 0.22 0.40 0.04 0.37
10 0.46 1.14 0.33 1.14
25 1.20 3.24 1.65 3.70
Tabel 4 Besarnya nilai parameter pada kondisi under-estimate dan over- estimate Sub-catchment
No Parameter limpasan satuan 1 2 3 4 5 6 7
%-Slope %-Impervious N-Impervious N-Pervious DS-Impervious DS-Pervious %-Zero Impervious
% % mm mm %
Midang under over 25% 25% 0.47 0.78 36.63 61.05 0.003 0.005 0.08 0.13 1.43 2.38 1.01 1.69 11.24 18.74
Unus_ Jangkok_hilir Ancar Berenyok under over under over under over 25% 25% 25% 25% 25% 25% 0.29 0.48 0.28 0.46 0.20 0.33 42.37 70.61 52.18 86.96 44.35 73.91 0.010 0.010 0.010 0.010 0.010 0.010 0.06 0.10 0.01 0.02 0.05 0.09 2.96 4.93 4.69 7.81 3.29 5.48 0.76 1.26 0.11 0.19 0.65 1.08 2.23 3.71 4.50 7.50 2.94 4.90
175
Tabel 5 Debit keluaran pada under-estimate 25% berbagai kala ulang (m3/s) No
Parameter limpasan satuan
1 %-Slope 2 %-Impervious 3 N-Impervious 4 N-Pervious 5 DS-Impervious 6 DS-Pervious 7 %-Zero Impervious
% % mm mm %
2 0.15 0.12 0.16 0.15 0.16 0.15 0.15
Midang 5 10 0.21 0.46 0.17 0.35 0.22 0.47 0.22 0.46 0.26 0.46 0.22 0.46 0.22 0.46
25 1.18 0.93 1.21 1.22 1.20 1.21 1.20
2 0.14 0.13 0.12 0.15 0.30 0.15 0.15
Sub-catchment / Kala ulang Jangkok_hilir Ancar 5 10 25 2 5 10 0.37 1.07 3.08 0.02 0.04 0.31 0.34 0.94 2.75 0.02 0.03 0.29 0.33 0.95 2.85 0.02 0.04 0.35 0.40 1.14 3.27 0.02 0.04 0.33 0.55 1.28 3.37 0.03 0.15 0.51 0.40 1.14 3.25 0.02 0.04 0.33 0.40 1.14 3.24 0.02 0.04 0.33
25 1.53 1.53 1.72 1.68 1.87 1.66 1.64
2 0.09 0.09 0.08 0.10 0.26 0.10 0.09
Unus_Berenyok 5 10 25 0.34 1.06 3.44 0.31 0.98 3.03 0.32 0.99 3.23 0.37 1.14 3.73 0.56 1.41 3.99 0.37 1.14 3.71 0.36 1.13 3.69
Tabel 6 Debit keluaran pada over-estimate 25% berbagai kala ulang (m3/s) No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter limpasan satuan %-Slope %-Impervious N-Impervious N-Pervious DS-Impervious DS-Pervious %-Zero Impervious
% % mm mm %
2 0.16 0.18 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15
Midang 5 10 0.22 0.47 0.26 0.57 0.21 0.45 0.22 0.46 0.22 0.46 0.22 0.46 0.22 0.46
25 1.21 1.46 1.18 1.19 1.20 1.19 1.20
2 0.16 0.16 0.42 0.15 0.03 0.15 0.15
Sub-catchment / Kala ulang Jangkok_hilir Ancar 5 10 25 2 5 10 0.42 1.20 3.36 0.02 0.04 0.35 0.44 1.25 3.63 0.02 0.04 0.37 1.01 2.51 6.54 0.02 0.04 0.35 0.40 1.14 3.23 0.02 0.04 0.33 0.25 0.94 3.07 0.02 0.03 0.19 0.40 1.14 3.23 0.02 0.04 0.33 0.40 1.14 3.25 0.03 0.04 0.34
25 1.74 1.67 1.72 1.58 1.40 1.65 1.66
2 0.11 0.10 0.08 0.10 0.03 0.10 0.10
Unus_Berenyok 5 10 25 0.40 1.23 3.94 0.39 1.21 3.91 0.32 0.99 3.23 0.37 1.14 3.68 0.18 0.89 3.34 0.37 1.14 3.69 0.37 1.15 3.71
Hasil analisis persentase selisih menggunakan Persamaan (4) diperoleh bahwa parameter %-Impervious, N-Impervious dan DS-Impervious merupakan parameter yang paling dominan terhadap proses pembentukan debit puncak di wilayah studi untuk semua kala ulang. Sub-catchment Midang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai parameter %-impervious pada semua kala ulang, kecuali Ancar pada kala ulang 5 tahun saja. Sedangkan sub-catchment Jangkok sangat dipengaruhi oleh perubabahan nilai parameter N-impervious pada semua kala ulang, kecuali sub-catchment Unus pada kala ulang 2 tahun saja. Parameter DS-impervious berpengaruhi pada pembentukan debit puncak di hampir semua sub-catchment yaitu Jangkok, Ancar dan Unus, namun hanya pada kala ulang 2, 5 dan 10 tahun. Sedangkan pada kala ulang 25 tahun parameter ini tidak berpengaruh lagi di semua sub-catchment baik pada kondisi under-estimate maupun over estimate. Sub daerah tangkapan Ancar menjadi satu-satunya wilayah yang dipengaruhi oleh %-zero impervious pada kala ulang 2 tahun dan pada kondisi over-estimate saja. Analisis korelasi parameter limpasan dengan debit puncak Setelah mengetahui parameter yang berpengaruh pada analisis sensitivitas di atas, selanjutnya dilakukan analisis korelasi terhadap ketiga parameter tersebut. Analisis korelasi yang dilakukan yaitu antara paremeter %-impervious, N-impervious dan DS-impervious terhadap debit puncak. Pada Gambar 3 disajikan grafik hubungan antara parameter limpasan yang berpengaruh dengan debit puncak di wilayah studi. Koefisien korelasi (r) rerata untuk hubungan antara %-impervious dengan debit puncak r = 0.71 (Gambar 3a), N-impervious dengan debit puncak koefisien korelasi
176
Q (m3/s)
rerata r = 0.73 (Gambar 3b). Parameter DS-impervious sensitif pada kala ulang 2, 5 dan 10. Koefisien korelasi (r) rerata untuk hubungan antara DS-impervious dengan debit puncak r = 0.87 (Gambar 3c). 4.50 K ala ulang 2 tahun
4.00
K ala ulang 5 tahun K ala ulang 10 tahun
3.50
K ala ulang 25 tahun
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
Q (m3/s)
0
20
40
60
(a)
80
100 % -impervious
7.00 K ala K ala K ala K ala
6.00 5.00
ulang ulang ulang ulang
2 tahun 5 tahun 10 tahun 25 tahun
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0
0.002
0.004
0.006
0.008
0.01
Q (m3/s)
(b)
0.012
N-impervious
4.5 K ala K ala K ala K ala
4 3.5 3
ulang ulang ulang ulang
2 tahun 5 tahun 10 tahun 25 tahun
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
2
4
(c)
6
8
10
D S -impervious (mm)
Gambar 3 Hubungan parameter dengan debit puncak berbagai kala ulang.
177
KESIMPULAN Tiga parameter limpasan yaitu persentase lahan kedap air (%-Impervious), kekasaran permukaan kedap air (N-Impervious) dan depression storage kedap air (DS-impervious) merupakan parameter yang paling dominan terhadap proses pembentukan debit puncak di wilayah studi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ketiga parameter tersebut mempunyai fenomena korelasi (pola) yang relevan dengan debit puncak. Unsur kekedapan (impervious) baik %-impervious maupun N-impervious akan meningkatkan debit puncak. Semakin meningkat persentase unsur kedap air (impervious) berarti akan semakin banyak air hujan dialihragamkan menjadi limpasan (runoff) yang mengalir di permukaan dibandingkan yang mengalami lulus air ke dalam tanah sebagai infiltrasi. Demikian pula dengan parameter depression storage kedap air (DS-impervious), semakin tinggi/besar nilai depression storage akan semakin rendah/kecil limpasan (runoff) yang terjadi, karena depression storage tersebut berfungsi sebagai detention ponds yang dapat mereduksi besarnya limpasan (runoff) yang terjadi. REFERENSI Barco, J., Wong, K.M., Stenstrom, M.K., 2008, Automatic calibration of the U.S. EPA SWMM model for a large urban catchment, Journal of Hydraulic Engineering 134(4), April 1. Brabec, A. Elizabeth, 2009, Imperviousness and Land-Use Policy:Toward an Effective Approach to Watershed Planning, Journal of Hydrologic Engineering (ASCE), Vol. 14, No. 4, April 1, 2009, pp. 425-433. Chow V. Te, R. Maidment David, W. Mays Larry, 1988, Applied Hydrology, McGraw Hill Int. Edition, Civil Eng. Series. Hidayat, S, 2010, Sensitivity Analysis of Runoff Parameters to Peak Flow and Flood Volume, Jurnal Spektrum, Vol. I / 1, April Tahun 20010, pp.1-10. Loucks, D.P., Stedinger, J.R., Haith, D.A., 1981, Water resource systems planning and management, Prentice Hall, New Jersey. Rossman, L.A., 2007, Storm Water Management Model User’s Manual Version 5.0, United States Environment Protection Agency, Ohio. Sobriyah dan Sudjarwadi, 2001, Kalibrasi Model Hujan-Aliran EPPL (Elemen Pokok Penelusuran Lahan) : Studi Kasus DAS Wuryantoro, Jurnal Forum Teknik Sipil – UGM, No. X/1- Januari 2001, pp. 1-11 Sri Harto, Br., 1993, Analisis Hidrologi, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jaya, Jakarta-1993. Viessman Jr., W., Knapp, J.W., Lewis, G.L., Harbaugh, T.E., 1977, Introduction to Hydrology, Harper & Row, USA. Warwick, J.J., Tadepalli, P., 1991, Efficacy of SWMM application, Journal of Water Resources Planning and Management 117(3), May/June.
178
Pengelolaan SDA Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Pada Sungai Lintas Provinsi Dan Sungai Strategis Nasional Ratna Hidayat1*, Reri Hidayat2, dan Wati Asriningsih3 1
Puslitbang Sumber Daya Air
2 3
Tenaga Ahli Konsultan
Universitas Taruma Negara *
[email protected]
Intisari Ketersediian air dibutuhkan untuk menunjang ketahanan pangan, yang juga perlu didukung dengan pengembangan dan pengelolaan system irigasi yang memadai. Tinjauan ketersedian air terbatas pada kuantitasnya saja, kualitas belum pernah menjadi program bagi pencapaian ketahanan pangan. Kualitas air sungai lintas propinsi: Citanduy, Cimanuk, Ciliwung,Cisadane, serta Citarum sebagai sungai strategis nasional telah tercemar, dimana tidak memenuhi syarat air pertanian. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengelolaan SDA untuk meningkatkan kualitas airnya. Maksud penelitian adalah menyusun pengelolaan SDA sungai lintas provinsi dan sungai strategis nasional yang tujuannya memberikan informasi kepada stake holder untuk pengembangan dan pemanfaatan SDA dalam mendukung ketahanan pangan. Metoda penelitian yaitu: analisis, evaluasi kualitas air sungai terhadap persyaratan air pertanian serta menyusun pengelolaan SDA untuk mendukung kualitas air bagi ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan semua sungai yang diteliti tidak memenuhi persyaratan air pertanian, karena 16 dari 33 parameter melampaui persyaratan air pertanian. Sungai tersebut tercemar limbah domestik, industri, pertanian dan peternakan, oleh karena itu diperlukan pengelolaan SDA dengan program pengelolaan limbah domestik, industri, sampah, pertanian dan peternakan. Hal lain yang diperlukan yaitu mengusulkan parameter % Natrium, SAR,RSC dan DHL sebagai persyaratan air pertanian, yang memiliki kekuatan hukum untuk memantau dan mengevaluasinya. Kata kunci: kualitas air, sungai lintas provinsi, sungai strategis nasional, persyaratan air pertanian, pengelolaan SDA
179
PENDAHULUAN Dukungan yang diperlukan untuk ketahanan pangan, khususnya padi sebagai penghasil beras, selain ditunjang dengan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang memadai juga sangat tergantung pada ketersediaan air. Namun saat ini isu ketersedian air terbatas pada kuantitasnya saja, sementara kualitas belum pernah menjadi program bagi pencapaian ketahanan pangan. Pada umumnya kualitas air sungai yang melintas perkotaan dalam keadaan tercemar, demikian pula dengan sungai lintas propinsi: Citanduy, Cimanuk, Ciliwung,Cisadane, serta Citarum sebagai sungai strategis nasional telah tercemar. Evaluasi kualitas air sungai tersebut terhadap pemanfaatan pertanian tidak memenuhi syarat karena terdapat beberapa parameter yang telah melampaui ketentuan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pengelolaan SDA pada sungai Citanduy, Cimanuk, Ciliwung, Cisadane dan Citarum, karena sampai saat ini kualitas air belum dipandang sebagai potensi yang diperhitungkan bagi pengairan sawah. Maksud penelitian ini untuk menyusun gambaran pengelolaan yang diperlukan pada sungai lintas provinsi dan sungai strategis nasional berdasarkan evaluasi kualitas air eksisting. Tujuannya memberikan informasi kepada stake holder terkait untuk digunakan bagi pengembangan dan pemanfaatan SDA dalam mendukung ketahanan pangan tinjauan PUSTAKA Pangan menjadi isu penting dunia, sehingga menjadi tema Hari Air Dunia tahun 2012, dinamakan“Water and Food Security”. Begitu penting dan strategisnya masalah pangan di Indonesia, Presiden RI telah menekankan arahan kemandirian pangan pada Rapimnas 10 Januari 2011. Ditegaskan kembali pada 22 Februari, 2011 melalui arahan program yang mengubah paradigma swasembada menjadi Surplus Beras dengan target minimal 10 juta ton per tahun pada akhir tahun 2014, serta mengarahkan peningkatan produksi pangan menjadi prioritas bangsa. (Donny Aznan, 2012). Saat ini untuk menunjang kebutuhan pangan hanya 11 persen lahan pertanian ber-irigasi di Indonesia yang sumber airnya disuplai dari waduk, sedang yang lainnya masih bergantung dari sungai. (Dirjen SDA PU, 2012). Sementara itu kualitas air sungai dalam penelitian ini, tidak memenuhi persyaratan air pertanian, antara lain Citanduy dari pengukuran BPLHD Kabupaten Ciamis Tahun 2011 di hulu terdeteksi BOD 10 mg/L, dan di hilir 17 mg/L (persyaratan BOD 6 mg/L). Juga Kadmium di Citanduy hulu, tengah dan hilir masing masing 0,02 mg/L, 0,05 mg/L dan 0,03 mg/L (persyaratan Cd 0,01 mg/L). Citarum termasuk kategori cemar ringan sampai berat dari hulu sampai ke hilir (SLHI, 2007). Kualitasnya tidak memenuhi persyaratan pertanian karena kadar BOD dan bakteri Total Coli yang tinggi. Sementara itu sepanjang Citarum dimanfaatkan untuk keperluan irigasi, yaitu di : Kabupaten Sumedang 1.776 ha, Kota Bandung 2.899 ha, Kabupaten Bandung 38.071 ha, Kabupaten Cianjur 18.668 ha, Kabupaten Bogor 12.583 ha, Kabupaten Bekasi 28.935 ha, Kabupaten Purwakarta 8.929 ha
180
dan Kabupaten Karawang di Bendung Curug dan Walahar masing masing 148.033 ha dan 87.471 ha (Puslitbang Sumber Daya Air, 2006) . Kondisi Ciliwung dari hulu ke hilir, dari tahun ke tahun semakin parah nampak sangat kotor, keruh dan penuh sampah. Dari luas DAS Ciliwung 14.871 ha sebesar 16,98%, berupa sawah, sementara Ciliwung kualitasnya tidak memenuhi untuk air pertanian. Tingkat pencemaran Ciliwung dari hulu ke hilir menunjukkan hanya 1 % dalam kondisi baik dan tercemar ringan, 10% tercemar sedang dan 88 % tercemar berat. Parameter pencemar dominan bakteri Fecal coli, detergent, fosfat dan zat organik (KLH, 2012) Dasar Evaluasi Kualitas Air Sungai untuk Pemanfaatan Pertanian 1. Kriteria Mutu Air Kelas 3 Kriteria Mutu Air (KMA) Kelas 3 (Tabel 1), yaitu air yang peruntukannya untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain dengan persyaratan mutu air sama dengan kegunaan tsb, dari PP.82/2001, tentang “Pengelolan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air”. Konsentrasi setiap parameter ditunjukkan sebagai berikut : Tabel 1. Kriteria mutu air kelas 3 (peruntukan budidaya ikan air tawar, peternakan dan mengairi pertanaman) Parameter Fisika Temperatur, 0C Residu Terlarut, mg/L Residu Tersuspensi, mg/L Kimia Boron(B), mg/L Detergent sbg MBAS,µg/L Senyawa Fenol, µg/L Fluorida(F), mg/L Total fosfat, sbg.P Kadmium(Cd), mg/L BOD, mg/L COD, mg/L Khrom (VI) Minyak-Lemak, µg/L Nitrat,sbg N Nitrit,sbg N
Kelas 3 PP 82/2001 Deviasi 3 1000 400 1 200 1 1,5 1 0,01 6 50 0.05 1000 20 0.05
Parameter Kimia DO, mg/L pH Seng(Zn), mg/L Tembaga(Cu), mg/L Timbal(Pb), mg/L Air Raksa(Hg), mg/L Arsen(Ar), mg/L Kobalt(Co), mg/L Sianida(CN), mg/L Klorin Bebas, mg/L Belerang sbg H2 S, mg/L Selenium(Se), mg/L Bakteriologi Fecal coliform, Jml./100 mL Total Coliform, Jml./100 mL
Kelas 3 PP 82/2001 6-9 0.05 0.02 0.03 0.002 1 0.2 0.02 0.03 0.002 0.05
2000 10000
Sumber : KMA kelas 3 PP 82/2001
2. Pedoman Air Irigasi dari FAO Kadar parameter Klorida, dalam Pedoman Air Irigasi dari FAO, yaitu lebih kecil dari 4 meq/L atau sebesar 142 mg/L.
181
3. Kriteria Air Irigasi dari California Water Quality Control Board (1993) Parameter Irrigation Water Quality Criteria dari California Water Quality Control Board (1993), yaitu : Daya Hantar Listrik (DHL), Residual Sodium Carbonate (RSC) dan Sodium Adsorption Ratio (SAR). Rumus RSC, yaitu: RSC = (CO3 + HCO3) – (Ca+Mg), dalam meq/Liter, klasifikasi : 1. RSC > 2,50, Tidak Layak untuk Air Irigasi 2. RSC : 1,25 – 2.50, Batas untuk Air Irigasi 3. RSC < 1,25, Aman untuk Air Irigasi Rumus SAR sebagai berikut : SAR = meqNa
1 / 2(meqCa + meqMg SAR untuk pemakaian air irigasi yang aman adalah 6 – 15. Kriteria air irigasi dari California Water Quality Control Board dijelaskan sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria air irigasi (Irrigation water quality criteria dari California water quality control board, 1993) Parameter Daya Hantar Listrik, DHL Salinitas Rendah (C1) Salinitas Sedang (C2), Residual Sodium Carbonate (RSC) Aman untuk Air Irigasi Batas untuk Air Irigasi Tidak Layak untuk Air Irigasi Sodium Adsorption Ratio (SAR) Aman untuk Air Irigasi Batas untuk Air Irigasi
Konsentrasi Irrigation Water Quality Criteria 100 – 250 µmhos/cm 251-750 µmhos/cm < 1,25 1,25 – 2,50 > 2,50 Maksimal 6 Maksimal 15
METODOLOGI STUDI Metoda penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap kesatu: analisis, evaluasi dan kajian kualitas air sungai terhadap Persyaratan Air Pertanian/Irigasi. Tahap kedua: Pengelolaan SDA sungai lintas provinsi dan sungai strategis nasional untuk mendukung kualitas air bagi ketahanan pangan Bahan penelitian adalah kualitas air sungai lintas provinsi (Citanduy, Cimanuk, Ciliwung dan Cisadane) serta sungai strategis nasional (Citarum) hasil pengukuran bulan Juni, Agustus dan Oktober Tahun 2010 oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Provinsi Jawa Barat. Sungai yang diteliti dengan titik pengukurannya ditunjukkan sebagai berikut :
182
Tabel 3. Titik pengukuran kualitas air setiap sungai 1.Citanduy 2.Cimanuk 1.1Panumbangan 2.1.Bayongbong 1.2.Bd.Pataruman 2.2.Sukaregang 1.3.Tunggilis 2.3.Sasakbeusi 2.4.Wado 2.5.Tomo 2.6.Jatibarang
3.Ciliwung 3.1.Attaawun 3.2.Cisampay 3.3.Cisarua 3.4.Katulampa 3.5.Sempur, 3.6.Kd Halang 3.7.Pdk Rajeg 3.8.Jemb Panus
4.Cisadane 4.1.Cisalopa 4.2.Muara Jaya 4.3.Pancasan 4.4.Karya Bakti 4.5.Jemb Yasmin 4.6.Batubelah 4.7.Karihkil 4.8.Rumpin
5.Citarum 5.1Wangisagara 5.2.Majalaya 5.3.Sapan 5.4. Cijeruk 5.5.Dayeuhkolot 5.6.Nanjung 5.7.Bd Curug 5.8.Walahar 5.9.Tanjungpura
Keterangan : Pengukuran BPLHD Provinsi Jabar ( Juni, Agustus.,Oktober,2010)
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Persyaratan Air Petanian Persyaratan air pertanian menjadi dasar untuk mengevaluasi kualitas air dari lima sungai yang diteliti. Jumlah parameter kualitas air yang diukur 33 buah meliputi parameter kualitas air fisika, kimia dan bakteriologi. Dalam persyaratan air pertanian tersebut tidak hanya berdasarkan kriteria nasional (KMA Kelas 3 PP 82/2001), tetapi mengacu juga pada kriteria air pertanian internasional dari FAO dan dari California Water Quality Control Board. Hal ini dilakukan karena ada parameter air pertanian yang penting, namun tidak dicantumkan pada KMA Kelas 3 PP 82/2001. Parameter tersebut, yaitu Klorida yang merupakan kriteria air irigasi FAO, dan tiga parameter: DHL; RSC dan SAR sebagai kriteria air irigasi dari California Water Quality Control Board. Evaluasi Kualitas Air Sungai Terhadap Persyaratan Air Pertanian Evaluasi parameter kualitas air sungai terhadap persyaratan air pertanian dari pengukuran yang dilakukan BPLHD, dijelaskan pada Tabel 4. Penelitian ini tidak menggunakan hasil pengukuran sendiri tetapi menggunakan data sekunder dari pengukuran BPLHD Jabar, Tahun 2010. Dua parameter persyaratan air pertanian tidak diukur yaitu : DHL dan RSC, sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi terhadap sungai yang diteliti Walaupun DHL tidak diukur, namun dapat terwakili evaluasinya dari pengukuran ZPT, karena ZPT maupun DHL merupakan parameter yang menggambarkan banyaknya garam terlarut dalam air juga sebagai indikator salinitas air. Konsentrasi ZPT dalam KMA Kelas 3 PP 82/2001 tidak boleh lebih dari 1.000 mg/L, semua lokasi penelitian masih me menuhi persyaratan air pertanian, ka rena kadar ZPT semua titik pengu kuran di (1).Citanduy:52-113mg/L; (2).Cimanuk:100-220mg/L; (3). Ciliwung: 54-96mg/L; (4).Cisadane: 53-77 mg/L; dan (5).Citarum : 81-282 mg/L. Sebanyak 16 dari 33 parameter persyaratan air pertanian dari penelitian ini tidak memenuhi persyaratan.
183
Tabel 4. Evaluasi parameter kualitas airsungai terhadap persyaratan air pertanian dan pengukuran oleh BPLHD Jabar Parameter Kualitas Air Fisika Temperatur Zat Padat Terlarut (ZPT) Residu Tersuspensi Daya Hantar Listrik(DHL) Kimia Boron Detergent sbg MBAS Senyawa Fenol Fluorida Total fosfat, sbg.P Kadmium Klorida BOD COD Khrom (VI) Minyak-Lemak Nitrat,sbg N Nitrit,sbg N DO pH RSC SAR Seng Tembaga Timbal Air Raksa Arsen Kobalt Sianida Klorin Bebas Belerang sbg H2 S Selenium Bakteriologi Fecal Coliform Total Coliform
Persyaratan Air Pertanian/Irigasi Pengukuran Tidak BPLHD Memenuhi Kelas 3 Pedoman California Water Jabar, Syarat Irigasi Quality Control PP 82/2001 FAO Board Tahun 2010 Pertanian V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
V
V
V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
V
V V V V V
V V V V
V V V V V V
184
Gambar 1. Jumlah Lokasi Pengukuran yang Tidak Memenuhi Persyaratan Air Pertanian. Penentuan KMA Kelas 3 Sebagai Dasar Evaluasi Sungai untuk Air Pertanian Dalam mengevaluasi sungai di daerah penelitian perlu menetapkan acuan evaluasi terutama pada peraturan yang sifatnya nasional. Acuan air pertanian PP.82/2001 yaitu pada KMA Kelas 3 dan KMA Kelas 4, namun KMA Kelas 4 lebih longgar, dijelaskan sebagai berikut: 1. KMA Kelas 3 PP 82/2001: (1). Mencakup tiga jenis pemanfaatan (budidaya ikan air tawar, peternakan dan pertanian); (2). Persyaratan konsentrasi lebih ketat, yaitu BOD 6 mg/L, COD 50 mg/L dan DO (Oksigen terlarut) 3 mg/L 2. KMA Kelas 4 PP 82/2001: (1). Pemanfaatan tunggal hanya untuk pertanian saja; (2). Persyaratan konsentrasi lebih ringan, yaitu BOD 12 mg/L, COD 100 mg/L dan DO (Oksigen terlarut) boleh nol Dalam penelitian ini acuan dipilih KMA Kelas 3, dengan pertimbangan : 1). Arti pangan secara luas adalah “mencakup pangan dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein lemak, vitamin dan mineral bagi pertumbuhan manusia.”; 2). Pada kenyataan di lapangan pemanfaatan sumber air itu tidak pernah tunggal namun dipakai untuk aneka manfaat, yaitu untuk tanaman, ternak dan ikan bahkan air baku untuk air minum penduduk Parameter Pencemar pada Setiap Sungai Parameter pencemar setiap titik pengukuran terdiri dari zat organik, bakteri dan logam berat , selengkapnya diuraikan sebagai berikut :
185
Tabel 5. Parameter yang tidak memenuhi persyaratan air pertanian pada setiap sungai Sungai 1. Citanduy 1.1.Panumbangan 1.2.Bd.Pataruman 1.3.Tunggilis 2. Cimanuk 2.1.Bayongbong 2.2.Sukaregang 2.3.Sasakbeusi 2.4.Wado 2.5.Tomo 2.6.Jatibarang 3. Ciliwung 3.1.Attaawun 3.2.Cisampay 3.3.Cisarua 3.4.Katulampa 3.5.Sempur 3.6.Kd Halang 3.7.Pondok Rajeg 3.8.Jemb Panus 4. Cisadane 4.1.Cisalopa 4.2.Muara Jaya 4.3.Pancasan 4.4.Karya Bakti 4.5.Jemb Yasmin 4.6.Batubeulah 4.7.Karihkil 4.8.Rumpin 5.Citarum 5.1Wangisagara 5.2.Majalaya 5.3.Sapan 5.4. Cijeruk 5.5.Dayeuhkolot 5.6.Nanjung 5.7.Bd Curug 5.8.Walahar 5.9.Tanjungpura
Parameter yang Tidak Memenuhi Persyaratan Air Pertanian MBAS; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; COD; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform MBAS; COD; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform BOD; Nitrit; Seng; Sulfida ZatTersuspensi ; Kadmium; BOD; Nitrit; Seng; Sianida; Klorin; Fecal Coliform; Total Coliform Zat Tersuspensi ; Kadmium; Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform COD; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform Seng; Sulfida;Total Koli COD; Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit; Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Seng; Fecal Coliform; Total Coliform Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; Nitrit; Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit; Seng; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit; Seng; Sulfida; Fecal Coliform Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Kadmium; Nitrit; Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit;Seng;Kobal;Klorin; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit;Seng;Klorin;Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit;Seng;Klorin;Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Fenol; Kadmium; Nitrit; Seng; Kobal; Fecal Coliform Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform Nitrit; Seng; Kobal; Klorin; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Nitrit; Seng; Klorin; Fecal Coliform; Total Coliform BOD; COD; Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform COD; Nitrit; SAR; Seng; Kobal; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; COD; Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform Zat Tersuspensi ; MBAS; COD; Nitrit; p H; Seng; Klorin; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; COD; Nitrit; p H; Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform MBAS; COD; Nitrit; Seng; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform COD; Nitrit; Seng; Klorin; Sulfida; Fecal Coliform; Total Coliform
186
Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 1 terlihat beberapa parameter pencemar di sungai yang diteliti tidak memenuhi untuk KMA Kelas 3 PP 82/2001/air pertanian. Adanya buangan dari limbah domestik ditunjukkan oleh sumber pencemar bakteri Fecal Coliform yang terdapat pada semua lokasi penelitian, juga detergent, karena merupakan bahan pencuci di rumah tangga, perhotelan, industri dsb., jenis detergent yang terdapat di Indonesia berupa senyawa Alkyl Benzena Sulfonate (ABS) yang sulit terurai secara alamiah (Sukmawati dan Tontowi, 2005). Selain itu nitrit dan sulfide memperkuat indikasi terdapat buangan limbah domestik, walaupun nitrit masih dimungkinkan juga bersumber dari aktifitas pertanian. Terdapatnya sulfide merupakan degradasi dari limbah penduduk. Keberadaan logam ditunjukkan oleh seng yang terdapat pada seluruh lokasi, bisa terjadi karena seng merupakan unsur yang melimpah di alam sekitar 0,04 g/kg dari lapisan kulit bumi mengandung seng. Kadmium dan Sianida terdapat di Cimanuk di daerah Garut yaitu di Sukaregang, sedangkan Cimanuk lokasi di Sasakbeusi, juga di Cisadane, terdeteksi cadmium. Hal ini diduga berasal dari kegiatan industri yang pengolahan limbah cairnya tidak sempurna. BOD dan COD merupakan indikator zat organik. Nilai BOD merupakan gambaran banyaknya bahan organik yang dapat terurai secara biokimia dalam suatu kondisi tertentu, dimana keberadaannya di sungai bisa dari buangan limbah penduduk, industri maupun pertanian. Keberadaan Total Coliform di seluruh sungai yang diteliti merupakan indikator adanya buangan limbah peternakan dari kotoran hewan berdarah panas, artinya banyak kotoran hewan dari peternakan yang belum dimanfaatkan optimal Perlu Pengkajian Kembali KMA Kelas 3 dan 4 PP 82/2001 Dalam persyaratan KMA Kelas 3 dan 4 ada parameter penting bagi air pertanian, namun tidak dicantumkan oleh karena itu diperlukan pengkajian kembali, Juga kadar beberapa parameter yang telah merupakan persyaratan dalam KMA Kelas 3 dan 4. Dalam usaha pertanian unsur natrium merupakan faktor penting, karena unsur tersebut dapat menghambat penyerapan air oleh tanaman, saat ini unsur natrium dalam KMA Kelas 3 dan 4 belum tercantum sebagai persyaratan. Oleh karena itu parameter % Natrium, RSC dan SAR perlu dicantumkan dalam persyaratan air pertanian yang disyahkan dengan peraturan perundang undangan, sehingga mempunyai kekuatan hukum dalam melakukan pengukuran dan evaluasinya. Sependapat dengan pernyataan Sukmawati Rahayu (2005), bahwa pertumbuhan tanaman perlu nitrat dan fosfat, dimana biasanya di lapangan dilakukan dengan penambahan pupuk N dan P. Namun demikian kadar nitrat dan fosfat dalam KMA Kelas 3 dan 4 dibatasi 20 mg/L nitrat dan 5 mg/L fosfat, oleh karena itu perlu dikaji kembali besar kadar kedua parameter tersebut untuk persyaratan air pertanian.
187
Upaya Pengelolaan SDA di Daerah Penelitian Upaya pengelolaan SDA mutlak dibutuhkan, hal ini berdasarkan sejumlah parameter pencemar yang mengakibatkan semua sungai di daerah penelitian tidak sesuai untuk KMA Kelas 3 PP 82/2001/air pertanian Berdasarkan sumber pencemar pada sungai yang diteliti, menunjukkan bahwa Citanduy, tercemar oleh buangan limbah penduduk dan peternakan. Sedangkan empat sungai lainnya yaitu Cimanuk, Ciliwung, Cisadane dan Citarum tercemar oleh buangan limbah penduduk, industri , peternakan dan aktifitas pertanian. Citarum dan Ciliwung telah banyak dilakukan kegiatan pengelolaan SDA yang bermula dari kepedulian masyarakat, misal Citarum Bergeutar (Bersih, Geulis dan Lestari) serta Gerakan Ciliwung Bersih. Demikian pula dari pihak pemerintah, pemerintah daerah, swasta, telah berperan dan berupaya untuk peningkatan kualitas air Citarum dan Ciliwung. Namun semua upaya yang dilakukan belum sebanding dengan kondisi lingkungan yang semakin rusak dan tercemar mulai dari hulu hingga hilir. Upaya pengelolaan SDA tidak hanya diperlukan Citarum dan Ciliwung saja tetapi sungai lainnya juga membutuhkan perbaikan kualitas air, yaitu Citanduy, Cimanuk dan Cisadane. Pada WS Citanduy terdapat rencana beberapa bendungan antara lain Bendungan Matenggeng, hal ini perlu didukung dengan kualitas air yang baik yang diupayakan dengan pengelolaan SDA. Demikian pula dengan Cimanuk yang telah dinantikan menjadi pasok Bendungan Jatigede yang sedang tahap konstruksi, juga Cisadane yang memiliki fungsi penting untuk mendukung pertanian dan sebagai sumber air baku bagi Provinsi Jawa Barat dan Banten, semuanya membutuhkan pengelolaan SDA yang terintegrasi antar institusi sesuai dengan tupoksinya Upaya pengelolaan SDA antara lain: 1). Program pengendalian pencemaran air limbah domestik a. Sanimas (sanitasi berbasis masyarakat) untuk kelompok masyarakat kecil atau MCK untuk komunal, tangki septik komunal b. Percontohan pengolahan limbah domestik menjadi energi dll c. Mendukung LSM/Perguruan Tinggi yang melakukan sosialisasi atau riset aksi untuk merubah perilaku masyarakat dari semula membuang tinja ke sungai menjadi diolah dengan tangki septik 2). Program pengendalian pencemaran air limbah industri. a. Sosialisasi kepada dunia usaha yang masih membuang limbah cairnya ke sungai supaya memiliki IPAL industri b. Program penegakan hukum : surat teguran (sanksi administrasi), pencabutan izin usaha/lingkungan; penegakan hukum (sanksi perdata dan pidana) 3). Program pengendalian sampah a. Mencegah sampah di daratan masuk sungai dan membersihkan sampah yang sudah ada di sungai (jaring sampah, sarana pengangkut di air dan menyiapkan sarana dredger, trash rack, dll.)
188
b. Perencanaan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (PSBM) : (1). Internal: (a). Realistis dan sesuai keinginan dan kesanggupan masyarakat, (b).Warga setempat terlibat penuh perencanaan PSBM (menentukan : bentuk, cara kerja; lingkup wilayah; opsi teknis dan keuangan); (2).Eksternal: (a). Perencanaan PSMB berlandaskan kemitraan dengan pihak yang sudah menjalankan daur ulang, pembuatan kompos, lapak pengumpul sampah; (b).Layanan persampahan Pemkot.(3).Peran Aktif Pemkot/Pemkab: (a). Bantuan teknis; (b). Pembinaan; (c). Pelatihan; (d).Sosialisasi 4). Program pengendalian limbah peternakan, Pengolahan kotoran hewan (sapi) menjadi biogas 5). Program pengendalian limbah pertanian a. Tidak memakai pupuk berlebihan b. Pemakaian pupuk organic kesimpulan 1. Ketersediian air dibutuhkan untuk menunjang ketahanan pangan selain harus ada pengembangan dan pengelolaan system irigasi yang memadai 2. Pertimbangan ketersediaan air untuk tanaman padi hanya terbatas pada kuantitasnya saja, kualitas air belum pernah menjadi program bagi pencapaian ketahanan pangan. 3. Karena KMA Kelas 3 dan 4 PP 82/2001 tidak mencantumkan beberapa unsur penting untuk syarat air pertanian, maka untuk evaluasi air pertanian perlu mengacu juga pada pedoman irigasi FAO (kadar klorida) dan kriteria air irigasi dari California (DHL,RSC dan SAR) . 4. DHL tidak diukur, namun dapat terwakili evaluasinya oleh ZPT, karena ZPT maupun DHL sebagai indikator salinitas air. Semua lokasi di daerah penelitian masih sesuai untuk air pertanian karena rentang ZPT : 52 – 282 mg/L persyaratan KMA Kelas 3 PP 82/2001 sebesar 1.000 mg/L 5. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa dari 34 titik pengukuran di Citanduy, Cimanuk, Ciliwung, Cisadane dan Citarum tidak memenuhi persyaratan air pertanian, karena 16 dari 33 parameter melampaui persyaratan air pertanian 6. Berdasarkan parameter kualitas air yang tidak sesuai KMA Kelas 3 PP 82/2001/ air pertanian, kondisi sungai yaitu : (1). Citanduy tercemar limbah domestik dan peternakan; (2). Cimanuk, Ciliwung, Cisadane dan Citarum tercemar limbah domestik, industri, pertanian dan peternakan 7. Upaya pengelolaan SDA yang diperlukan yaitu : program pengelolaan limbah domestik, industri, sampah, pertanian dan peternakan. 8. Dalam usaha pertanian unsur natrium merupakan factor penting, karena dapat menghambat penyerapan air. Dalam persyaratan KMA Kelas 3 dan 4 PP 82/2001 belum tercantum, sehingga perlu pengkajian kembali untuk menambahkan
189
parameter % Natrium, RSC dan SAR serta DHL sebagai indicator salinitas untuk persyaratan air pertanian 9. Perlu meninjau ulang kadar nitrat dan fosfat dari KMA Kelas 3 dan 4 yang masing masing 20 mg/L nitrat dan 5 mg/Lfosfat, padahal di lapangan tanaman ditambahkan pupuk N dan P. 10. Pada kadar BOD 150 – 300 mg/L terdapat beberapa tanaman yang memiliki toleransi oleh karena itu perlu pengkajian kembali untuk persyaratan air pertanian karena saat ini kadar BOD untuk KMA Kelas 3 dan Kelas 4, masing masing sebesar 6 dan 12 mg/L. REFERENSI Anonimous, 2001, Peraturan Pemerintah RI, No.82/2001, tentang Pengelolan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Donny Aznan, 2012, Adaptasi Perubahan Iklim dan Bencana Terhadap Ketahanan Pangan dalam Rangka Pencapaian Target Surplus Beras 10 Juta Ton Tahun 2014, Seminar Masyarakat Hidrologi Indonesia, Jakarta 20 Maret, 2012 Dirjen SDA Kementerian PU, 2012, Peranan Infrastruktur Sumber Daya Air Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”, Seminar Masyarakat Hidrologi Indonesia, Jakarta 20 Maret, 2012 Eli Dahi, 1989, Environmental Engineering in Developning Countries, Technical University of Denmark, p.396. KNLH, 2008,Status Lingkungan Hidup Indonesia, ISBN 978-979-8362-98-9, H.36 KNLH, 2012,Pemulihan Kualitas Lingkungan Sungai Ciliwung, Dialog Interaktif Aksi Nyata Pemulihan Kualitas Air Sungai Ciliwung,18 April, 2012 Sukmawati Rahayu dan Tontowi, 2005, Penelitian Kualitas Air Sungai di Lokasi Lokasi Alamiah dalamRangka Pemanfaatan Air dan Kajian Terhadap Kriteria Mutu Air yang Berlaku, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Vol.19.No.55, Tahun 2005, ISSN 0215-1111
190
Studi Efektifitas Penggunaan Kolom Pasir Pada Waduk Resapan Dengan Berbagai Parameter Akhmad Azis1, M.Saleh Pallu2, A.M. Arsyad Thaha2, dan Ahmad Bakri Muhiddin2 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Makassar 2
Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Makassar *
[email protected]
Intisari Kebutuhan akan sumber air tanah meningkat, tetapi dengan eksploitasi yang berlebihan, telah terjadi penurunan muka air tanah yang berakibat pada penurunan tanah, intrusi air laut dan penurunan kualitas air tanah. Untuk menjaga ketersediaan air tanah, usaha yang telah dilakukan saat ini yakni dengan cara melakukan imbuhan secara alami maupun buatan. Salah satu metode imbuhan buatan yakni waduk resapan, dibangun di atas tanah dengan permeabilitas di atas 10-3 cm3/det. Namun terjadi permasalahan, jika waduk resapan yang akan dibangun pada suatu kawasan tertentu, memiliki tanah dengan nilai permeabilitas di bawah 10-5 cm3/det. Untuk itu akan dilakukan penelitian terhadap penggunaan kolom pasir pada waduk resapan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar efektifitas maksimum yang terjadi. Pengujian dilakukan dengan cara mengukur debit melalui lapisan tanah maupun kolom pasir pada alat uji model fisik dengan parameter antara lain jumlah kolom pasir (4 ; 6 dan 12) buah, tinggi air waduk (5 ; 7,5 dan 10) cm serta panjang kolom pasir (30 ; 32,5 dan 35) cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas kolom pasir maksimum sebesar 7.231% terjadi pada 12 kolom pasir, tinggi kolom 32,5 cm serta tinggi air waduk 10 cm. Jika hasil penelitian ini dapat diterapkembangkan di lapangan, maka permasalan krisis air tanah khususnya pada daerah yang memiliki permeabilitas kecil dapat teratasi. Kata kunci : efektifitas, waduk resapan, kolom pasir
PENDAHULUAN Latar belakang masalah Pertumbuhan daerah perkotaan yang sangat pesat ditandai hadirnya kawasan permukiman dan industri, menyebabkan peningkatan kebutuhan air semakin tinggi pula, sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Dengan demikian, untuk mendapatkan air bersih alternatif yang dilakukan oleh masyarakat/konsumen adalah menyedot airtanah dengan cara membuat
191
sumur maupun pengeboran. Jika tinggi muka airtanah mengalami penurunan yang berkelanjutan akibat eksploitasi berlebihan, maka akan menimbulkan : land subsidance, intrusi air laut, penurunan muka airtanah serta penurunan kualitas air tanah (Tresnadi, 2007). Upaya yang saat ini dilakukan untuk meningkatkan resapan air hujan yakni dengan membangun sumur resapan, lubang biopori maupun teknik resapan lainnya, namun hasilnya belum maksimal. Oleh karena itu pembangunan waduk resapan yang sementara digalakkan saat ini bisa menjadi solusi. Tingginya kemampuan waduk resapan untuk meresapkan aliran permukaan dibandingkan dengan embung atau situ yang selama ini lebih banyak befungsi sebagai tandon air, karena waduk resapan didesain mencapai lapisan aquifer atau lapisan tanah yang memiliki daya resap tinggi yaitu diatas 10-3 cm/det, dimana angka tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan daya serap lapisan lempung yang berkisar 10-5 cm/det (Media Indonesia, 17 Maret 2004). Namun terjadi permasalahan, jika waduk resapan yang akan dibangun pada suatu kawasan tertentu, memiliki tanah dengan nilai permeabilitas kecil dan daya resap rendah, menyebabkan air sangat lambat mencapai lapisan akuifer sehingga fungsinya sebagai waduk resapan tidak tercapai. Untuk itu akan dikaji penggunaan model kolom pasir, yang diletakkan pada dasar waduk resapan yang berhubungan langsung ke lapisan akuifer dengan beberapa parameter, yang diharapkan dapat menjadi solusi sehingga permasalahan imbuhan airtanah pada kondisi ini dapat teratasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektifitas penggunaan model kolom pasir yang diletakkan di dasar waduk resapan yang memiliki koefisien permabilitas rendah dengan berbagai parameter (jumlah kolom pasir, panjang kolom pasir, tebal tanah serta tinggi air waduk). TINJAUAN PUSTAKA Isu Krisis Airtanah Air sangat diperlukan oleh kegiatan komersial seperti industri, pertanian, perikanan dan usaha perkotaan lainnya. Untuk mendapatkannya manusia memperoleh dari berbagai sumber, baik yang ada dipermukaan maupun yang ada di dalam tanah. Meskipun jumlah air yang ada di bumi sebesar 1.360.000.000 km3 atau menutupi 75% dari permukaan bumi, namun 97,1 % berada di laut yang merupakan air yang mengandung kadar garam cukup tinggi sehingga tidak dapat dikonsumsi, sementara yang berupa salju dan gletser sebesar 2,283 % dan yang mempunyai potensi untuk dipergunakan manusia secara langsung maupun yang harus diolah terlebih dahulu hanya sebesar 0,617 %, terdiri dari air sungai dan danau 0,017 % dan airtanah sebesar 0,600 % (Pramono, 1999). Dengan demikian terlihat dengan jelas persentase airtanah di muka bumi sangatlah kecil, sementara dengan meningkatnya populasi, semakin meningkat pula kebutuhan air bersih yang bersumber dari airtanah. Namun pengambilan airtanah yang berlebihan saat ini telah menimbulkan dampak negatif negatif berupa krisis airtanah.
192
Airtanah Airtanah merupakan salah satu fase dalam daur hidrologi, yakni dapat dimulai dari suatu peristiwa dimana akibat panas matahari air berubah wujud berupa uap baik dalam bentuk evaporasi yakni penguapan baik berasal dari sungai, waduk maupun laut dan permukaan tanah maupun evapotranspirasi yakni penguapan dari permukaan tanaman. Uap air hasil penguapan ini pada ketinggian tertentu akan menjadi awan, kemudian beberapa sebab awan akan berkondensasi menjadi presipitasi. Air hujan yang jatuh kadang-kadang tertahan oleh daun dari pepohonan atau oleh bangunan. Air hujan yang mencapai tanah, sebagian menjadi aliran air permukaan yang akan memasuki daerah tangkapan menuju ke sistem jaringan sungai, danau ataupun waduk selanjutnya ke daerah pantai dan akhirnya akan bermuara ke laut. Sebagian meresap ke dalam tanah berupa infiltrasi dan perkolasi dan pada akhirnya akan menjadi airtanah baik dangkal maupun dalam ( Kodoatie dan Sjarief, 2008). Permeabilitas Permeabilitas didefinisikan sebagai sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yang berupa air atau minyak mengalir lewat rongga pori yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, sehingga air dapat mengalir dari titik dengan tinggi energi tinggi ke titik dengan energi yang lebih rendah. Untuk tanah, permeabilitas dilukiskan sebagai sifat tanah yang mengalirkan air melalui rongga pori tanah (Hardiyatmo, 2010). Bahan yang mempunyai pori-pori kontinu disebut dapat tembus/permeabel (Soedarmo dan Purnomo, 2001). Hukum Darcy Hukum Darcy menjelaskan tentang kemampuan air mengalir pada rongga (pori-pori) dalam tanah dan sifat yang mempengaruhinya (Hardiyatmo, 2010). Q = V.A . ........................................................................................................ (1) V = k.i Q = k.i.A dengan
: Q = volume aliran air per satuan waktu (cm3/det) A = luas penampang tanah yang dilewati air (cm2) k = koefisien permeabilitas (cm/dt) i = gradien hidraulik v = kecepatan aliran (cm/dt)
Waduk resapan Fungsi waduk resapan. Salah satu bentuk imbuhan buatan adalah waduk resapan yang merupakan salah satu jenis waduk, memiliki fungsi utama sebagai media resapan air agar dengan mudah dan cepat masuk ke dalam lapisan akuifer. Model waduk ini cocok untuk lahan dengan permukaan airtanah dangkal dan tersedia lahan yang luas (Kusnaedi, 2005).
193
Menurut Sudinda (2004) yang bertindak sebagai Ketua tim proyek pengembangan waduk resapan Kementrian Ristek, filosofi dasar dalam pengembangan waduk resapan adalah bagaimana memperkecil limpasan permukaan dan meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan aliran permukaan. Pembuatan waduk resapan berbeda dengan pembuatan waduk pada biasanya. Waduk resapan pada hakekatnya dapat diklasifikasikan ke dalam waduk tunggal guna (single purpose) yaitu berfungsi sebagai pengendali banjir dengan sistem kerja meningkatkan optimalisasi fungsi akuifer, yaitu menambah kemampuan daya simpan air pada lapisan akuifer. Model fisik penggunaan kolom pasir Pada penelitian ini, kolom pasir difungsikan sebagai median untuk meresapkan air waduk resapan ke lapisan akuifer. Metode dalam membuat kolom pasir adalah dengan membuat lubang bor pada lapisan lempung yang memiliki permeabilitas kecil dan mengisi kembali dengan pasir yang bergradasi.
Gambar 1. Konsep waduk resapan menggunakan kolom pasir Gambar di atas memperlihatkan sketsa penggunaan kolom-kolom pasir tersebut dengan prinsip air yang berasal dari air permukaan ditampung pada waduk dengan ketinggian tertentu. Kemudian air di alirkan melalui kolom-kolom pasir dengan harapan pasir yang memiliki nilai koefisien permeabilitas besar, bisa mempercepat dan memperbesar terjadinya imbuhan, sekaligus menjadi filtrasi agar air yang masuk ke dalam lapisan akuifer sudah dalam keadaan bersih. METODOLOGI STUDI Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data, pada penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pengujian permeabilitas sampel tanah dan pasir. Tahap kedua dilakukan pengujian di Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik Sipil Unhas untuk mengetahui besarnya debit imbuhan yang terjadi melalui lapisan tanah maupun kolom pasir. Pada tahap ini terdiri atas dua model yakni :
194
1. Model waduk resapan tanpa kolom pasir. Penelitian ini menggunakan bak pengujian yang berukuran persegi empat dengan ukuran 160 x 75 x 50 cm, yang pada bagian bawahnya di beri lubang untuk pengeluaran air rembesan.Tanah yang telah memenuhi syarat pengujian permeabilitas dimasukkan ke dalam bak. Selanjutnya pada bagian permukaan bak diberi debit masukan (Q1) secara terus menerus (konstan) agar tinggi muka air dapat dipertahankan, sementara untuk over flow (Q2) disiapkan wadah penampung. Pada saat tanah telah mengalami jenuh air (saturated), diadakan pencatatan waktu untuk mengisi volume air sebanyak 1000 m yang masuk ke lapisan akuifer (Q3) melalui lapisan tanah. Penelitian pada model ini digunakan masing-masing 3 variasi untuk ketinggian air waduk (Hw) serta tebal tanah (Ht).
Gambar 2. Typical pengujian model waduk resapan tanpa kolom pasir 2. Model waduk resapan dengan kolom pasir. Penelitian pada model ini media wadahnya sama dengan model 1, namun yang membedakannya adalah pada tanah lempung dipasang kolom pasir dengan diameter (D) 5 cm. Pada saat tanah telah mengalami jenuh air (saturated), diadakan pencatatan waktu untuk mengisi volume air sebanyak 1000 ml yang masuk ke lapisan akuifer (Q3) melalui kolom pasir dan lapisan tanah. Untuk mengetahui debit melalui kolom pasir, maka debit Q3 pada kondisi ini dikurangkan dengan Q3 melalui lapisan tanah. Penelitian pada model ini digunakan masing-masing 3 variasi untuk ketinggian air waduk (Hw), panjang kolom pasir (Hkp) serta jumlah kolom pasir (KP).
195
Gambar 3. Typical pengujian model waduk resapan dengan kolom pasir Teknik Analisis Data hasil pengamatan pada uji model fisik waduk resapan dengan dan tanpa kolom pasir di plot menjadi grafik hubungan antara debit imbuhan dengan parameter yang ada. Membandingkan hasil uji model fisik antara menggunakan dan tanpa menggunakan kolom pasir untuk mengetahui efektifitas dari kolom pasir yang diletakkan pada dasar waduk resapan tersebut. Efektifitas keberadaan kolom pasir dihitung dengan persamaan berikut : ......................................................... (2)
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengujian permeabilitas terhadap material tanah, diketahui nilai permeabilitasnya sebesar 3,3 x 10-5 cm3/sekon, sementara pasir 1,9 x 10-1 cm3/sekon sehingga memenuhi syarat pada penelitian ini. Selanjutnya dari hasil pengukuran debit pada alat uji model fisik diperoleh data sebagai berikut : Tabel 1. Efektifitas tiap kolom pasir pada panjang kolom pasir 30 cm Hw (cm)
Ht = 30 cm
KP = 4
Qak (cm3/sekon) H KP = 30 cm Eff. (%) KP = 6 Eff. (%)
KP = 12
Eff. (%)
5
0,80
18,78
2.248
28,00
3.400
56,51
6.964
7,5
0,89
20,35
2.187
30,20
3.293
60,79
6.730
10
0,94
21,90
2.230
33,00
3.411
65,05
6.820
196
Gambar 4. Hubungan antara efektifitas dan tinggi air waduk masing-masing kolom pasir pada panjang kolom pasir 30 cm Tabel 1 gambar 4 di atas menunjukkan efektifitas penggunaan kolom pasir tertinggi pada 12 kolom pasir dan tinggi air waduk 5 cm yakni sebesar 6.964%, sedangkan efektifitas terendah pada 4 kolom pasir dan tinggi air waduk 7,5 cm yakni 2.187%. Tabel 2. Efektifitas tiap kolom pasir pada panjang kolom pasir 32,5 cm Hw (cm)
Ht = 32,5 cm
5 7,5 10
0,79 0,83 0,88
KP = 4 18,60 19,67 21,00
Qak (cm3/det) H KP = 32,5 cm Eff. (%) KP = 6 Eff. (%) 2.254 2.270 2.286
27,80 29,80 31,50
3.419 3.490 3.480
KP = 12
Eff. (%)
55,80 59,20 64,51
6.963 7.033 7.231
Gambar 5. Hubungan antara efektifitas dan tinggi air waduk masing-masing kolom pasir pada panjang kolom pasir 32,5 cm
197
Tabel 2 gambar 5 di atas menunjukkan efektifitas penggunaan kolom pasir tertinggi pada 12 kolom pasir dan tinggi air waduk 10 cm yakni sebesar 7.231%, sedangkan efektifitas terendah pada 4 kolom pasir dan tinggi air waduk 5 cm yakni 2.254%. Tabel 4. Efektifitas tiap kolom pasir pada panjang kolom pasir 35 cm Hw (cm)
Ht = 35 cm
5 7,5 10
0,78 0,82 0,87
KP = 4 18,40 19,48 20,80
Qak (cm3/det) H KP = 35 cm Eff. (%) KP = 6 Eff. (%) 2.259 27,50 3.426 2.276 29,30 3.473 2.291 31,05 3.469
KP = 12 55,16 58,50 62,21
Eff. (%) 6.972 7.034 7.051
Gambar 6. Hubungan antara efektifitas dan tinggi air waduk masing-masing kolom pasir pada panjang kolom pasir 35 cm Tabel 3 dan gambar 6 di atas menunjukkan efektifitas penggunaan kolom pasir tertinggi pada 12 kolom pasir dan tinggi air waduk 10 cm yakni sebesar 7.051%, sedangkan efektifitas terendah pada 4 kolom pasir dan tinggi air waduk 5 cm yakni 2.259%. Berdasarkan tabel 1,2 dan 3 dapat diketahui bahwa debit yang terjadi berbanding lurus dengan jumlah kolom pasir, permeabilitas serta tinggi air waduk yaitu semakin banyak kolom pasir, permeabilitas semakin besar dan semakin tinggi air waduk, maka debit yang terjadi semakin besar. Sedangkan panjang kolom pasir berbanding terbalik yakni semakin panjang kolom pasir, debit yang terjadi semakin kecil Ini dapat dibuktikan dengan rumus Darcy serta pengembangannya berdasarkan penelitian ini:
198
................................................................... (3) dengan : Q = debit melalui kolom pasir (cm3/det) k = permeabilitas pasir (cm/det) Hw = tinggi air waduk (cm) Hkp = panjang kolom pasir (cm) D = diameter kolom pasir (cm) Efektifitas sangat tergantung pada perbandingan antara debit melalui kolom pasir dan lapisan tanah, dimana berdasarkan gambar 4,5 dan 6, efektifitas yang terjadi sebesar 7.231% pada debit melalui lapisan tanah sebesar 0,88 cm3/det sedangkan melalui kolom pasir sebesar 64,51 cm3/sekon KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang efektifitas penggunaan kolom pasir pada waduk resapan dengan berbagai parameter, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Efektifitas sangat tergantung dari perbandingan antara debit melalui kolom pasir dan melalui lapisan tanah (tanpa kolom pasir). 2. Efektifitas tertinggi terjadi pada 12 kolom pasir, tinggi air waduk 10 cm dan panjang kolom pasir 32,5 cm. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih di ucapkan kepada Ketua dan Pengurus HATHI Pusat, Ketua Program S3 Teknik Sipil Unhas serta Panitia PIT Bandung yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diikut sertakan dalam PIT ini. REFERENSI Broto, S., Susanto, H. 2008. Perancangan Model Pendugaan Efektifitas Waduk Resapan Kota Bogor terhadap Optimalisasi Akuifer Airtanah. Jurnal Teknik, 29 : 220 – 227. Indriatmoko, R. H., Herlambang, A. 2005. Pengelolaan air tanah dan intrusi air laut. Jurnal air Indonesia, 2 : 211 – 225 Putranto, T., Kusuma. 2009. Permasalahan Airtanah di Daerah Urban. Jurnal Teknik, 30 : 48 – 56 Tresnadi, H. 2007. Dampak Kerusakan yang Ditimbulkan Akibat Pengambilan Airtanah yang Berlebihan. Jurnal Alami, 12 : 76 – 81
199
Pramono, R. 1999. Permasalahan Air Di Perkotaan Dan Perilaku Masyarakat. Jurnal Studi Permbangunan, Kemasyaratan & Lingkungan, 3 : 39-45 Hardiyatmo, H.C. 2010. Mekanika Tanah 1. Gajah Mada University Press, Yogyakarta Kodoatie,R.J., Sjarief,R. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Andi, Yogyakarta Pramudya. 2009. Teknologi Artificial Recharge Airtanah Dalam Mengatasi Banjir dan Kekeringan. (Online),(http://seputarbencana.wordpress.com, diakses 14 September 2012) Media Indonesia, Digilib. 17 Maret 2004. Waduk Resapan Atasi Banjir dan Kekeringan, (Online), (http://www.mediaindonesia.com, diakses 20 Juli 2011) Sudinda, T. 2004. Simulasi Potensi Waduk Resapan Pada Akifer Tertekan Dengan Metoda Finite Difference. Jurusan Teknik Sipil FTSP Trisakti, Jakarta Rizal, M.T. 2009. Analisis Pemetaan Zonasi Resapan Air Untuk Kawasan Perlindungan Sumberdaya Air Tanah (Groundwater) Pdam Tirtanadi Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara, Tesis tidak diterbitkan, Medan : Sekolah Pascasarjana USU Busthan, A., Imran, A. M. 2008. Pengaruh Laju Infiltrasi Terhadap WilayahWilayah Banjir Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.Prosiding Hasil Penelitian, Fakultas Teknik Unhas. Makassar, Vol. 2/ISBN: 978-979127255-0-6, hal TG3-1/6. Hargono, B. 2011. Belajar Dari Embung Tambakboyo Di Yogyakarta Untuk Mengatasi Masalah Sumber Daya Air Di Pulau-Pulau Kecil Dan Pantai. Prosiding PIT XXVII HATHI, Ambon
190
Studi Efektifitas Penggunaan Kolom Pasir Pada Waduk Resapan Dengan Berbagai Parameter Akhmad Azis1, M.Saleh Pallu2, A.M. Arsyad Thaha2, dan Ahmad Bakri Muhiddin2 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Makassar 2
Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Makassar *
[email protected]
Intisari Kebutuhan akan sumber air tanah meningkat, tetapi dengan eksploitasi yang berlebihan, telah terjadi penurunan muka air tanah yang berakibat pada penurunan tanah, intrusi air laut dan penurunan kualitas air tanah. Untuk menjaga ketersediaan air tanah, usaha yang telah dilakukan saat ini yakni dengan cara melakukan imbuhan secara alami maupun buatan. Salah satu metode imbuhan buatan yakni waduk resapan, dibangun di atas tanah dengan permeabilitas di atas 10-3 cm3/det. Namun terjadi permasalahan, jika waduk resapan yang akan dibangun pada suatu kawasan tertentu, memiliki tanah dengan nilai permeabilitas di bawah 10-5 cm3/det. Untuk itu akan dilakukan penelitian terhadap penggunaan kolom pasir pada waduk resapan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar efektifitas maksimum yang terjadi. Pengujian dilakukan dengan cara mengukur debit melalui lapisan tanah maupun kolom pasir pada alat uji model fisik dengan parameter antara lain jumlah kolom pasir (4 ; 6 dan 12) buah, tinggi air waduk (5 ; 7,5 dan 10) cm serta panjang kolom pasir (30 ; 32,5 dan 35) cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas kolom pasir maksimum sebesar 7.231% terjadi pada 12 kolom pasir, tinggi kolom 32,5 cm serta tinggi air waduk 10 cm. Jika hasil penelitian ini dapat diterapkembangkan di lapangan, maka permasalan krisis air tanah khususnya pada daerah yang memiliki permeabilitas kecil dapat teratasi. Kata kunci : efektifitas, waduk resapan, kolom pasir
PENDAHULUAN Latar belakang masalah Pertumbuhan daerah perkotaan yang sangat pesat ditandai hadirnya kawasan permukiman dan industri, menyebabkan peningkatan kebutuhan air semakin tinggi pula, sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Dengan demikian, untuk mendapatkan air bersih alternatif yang dilakukan
191
oleh masyarakat/konsumen adalah menyedot airtanah dengan cara membuat sumur maupun pengeboran. Jika tinggi muka airtanah mengalami penurunan yang berkelanjutan akibat eksploitasi berlebihan, maka akan menimbulkan : land subsidance, intrusi air laut, penurunan muka airtanah serta penurunan kualitas air tanah (Tresnadi, 2007). Upaya yang saat ini dilakukan untuk meningkatkan resapan air hujan yakni dengan membangun sumur resapan, lubang biopori maupun teknik resapan lainnya, namun hasilnya belum maksimal. Oleh karena itu pembangunan waduk resapan yang sementara digalakkan saat ini bisa menjadi solusi. Tingginya kemampuan waduk resapan untuk meresapkan aliran permukaan dibandingkan dengan embung atau situ yang selama ini lebih banyak befungsi sebagai tandon air, karena waduk resapan didesain mencapai lapisan aquifer atau lapisan tanah yang memiliki daya resap tinggi yaitu diatas 10-3 cm/det, dimana angka tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan daya serap lapisan lempung yang berkisar 10-5 cm/det (Media Indonesia, 17 Maret 2004). Namun terjadi permasalahan, jika waduk resapan yang akan dibangun pada suatu kawasan tertentu, memiliki tanah dengan nilai permeabilitas kecil dan daya resap rendah, menyebabkan air sangat lambat mencapai lapisan akuifer sehingga fungsinya sebagai waduk resapan tidak tercapai. Untuk itu akan dikaji penggunaan model kolom pasir, yang diletakkan pada dasar waduk resapan yang berhubungan langsung ke lapisan akuifer dengan beberapa parameter, yang diharapkan dapat menjadi solusi sehingga permasalahan imbuhan airtanah pada kondisi ini dapat teratasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektifitas penggunaan model kolom pasir yang diletakkan di dasar waduk resapan yang memiliki koefisien permabilitas rendah dengan berbagai parameter (jumlah kolom pasir, panjang kolom pasir, tebal tanah serta tinggi air waduk). TINJAUAN PUSTAKA Isu Krisis Airtanah Air sangat diperlukan oleh kegiatan komersial seperti industri, pertanian, perikanan dan usaha perkotaan lainnya. Untuk mendapatkannya manusia memperoleh dari berbagai sumber, baik yang ada dipermukaan maupun yang ada di dalam tanah. Meskipun jumlah air yang ada di bumi sebesar 1.360.000.000 km3 atau menutupi 75% dari permukaan bumi, namun 97,1 % berada di laut yang merupakan air yang mengandung kadar garam cukup tinggi sehingga tidak dapat dikonsumsi, sementara yang berupa salju dan gletser sebesar 2,283 % dan yang mempunyai potensi untuk dipergunakan manusia secara langsung maupun yang harus diolah terlebih dahulu hanya sebesar 0,617 %, terdiri dari air sungai dan danau 0,017 % dan airtanah sebesar 0,600 % (Pramono, 1999). Dengan demikian terlihat dengan jelas persentase airtanah di muka bumi sangatlah kecil, sementara dengan meningkatnya populasi, semakin meningkat pula kebutuhan air bersih yang bersumber dari airtanah. Namun pengambilan airtanah yang berlebihan saat ini telah menimbulkan dampak negatif negatif berupa krisis airtanah.
192
Airtanah Airtanah merupakan salah satu fase dalam daur hidrologi, yakni dapat dimulai dari suatu peristiwa dimana akibat panas matahari air berubah wujud berupa uap baik dalam bentuk evaporasi yakni penguapan baik berasal dari sungai, waduk maupun laut dan permukaan tanah maupun evapotranspirasi yakni penguapan dari permukaan tanaman. Uap air hasil penguapan ini pada ketinggian tertentu akan menjadi awan, kemudian beberapa sebab awan akan berkondensasi menjadi presipitasi. Air hujan yang jatuh kadang-kadang tertahan oleh daun dari pepohonan atau oleh bangunan. Air hujan yang mencapai tanah, sebagian menjadi aliran air permukaan yang akan memasuki daerah tangkapan menuju ke sistem jaringan sungai, danau ataupun waduk selanjutnya ke daerah pantai dan akhirnya akan bermuara ke laut. Sebagian meresap ke dalam tanah berupa infiltrasi dan perkolasi dan pada akhirnya akan menjadi airtanah baik dangkal maupun dalam ( Kodoatie dan Sjarief, 2008). Permeabilitas Permeabilitas didefinisikan sebagai sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yang berupa air atau minyak mengalir lewat rongga pori yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, sehingga air dapat mengalir dari titik dengan tinggi energi tinggi ke titik dengan energi yang lebih rendah. Untuk tanah, permeabilitas dilukiskan sebagai sifat tanah yang mengalirkan air melalui rongga pori tanah (Hardiyatmo, 2010). Bahan yang mempunyai pori-pori kontinu disebut dapat tembus/permeabel (Soedarmo dan Purnomo, 2001). Hukum Darcy Hukum Darcy menjelaskan tentang kemampuan air mengalir pada rongga (pori-pori) dalam tanah dan sifat yang mempengaruhinya (Hardiyatmo, 2010). Q = V.A (1).
(1) V = k.i Q = k.i.A
Dengan keterangan : Q = volume aliran air per satuan waktu (cm3/det) A = luas penampang tanah yang dilewati air (cm2) k = koefisien permeabilitas (cm/dt) i = gradien hidraulik v = kecepatan aliran (cm/dt) Waduk resapan Fungsi waduk resapan. Salah satu bentuk imbuhan buatan adalah waduk resapan yang merupakan salah satu jenis waduk, memiliki fungsi utama sebagai media resapan air agar dengan mudah dan cepat masuk ke dalam lapisan akuifer. Model waduk ini cocok untuk lahan dengan permukaan airtanah dangkal dan tersedia lahan yang luas (Kusnaedi, 2005).
193
Menurut Sudinda (2004) yang bertindak sebagai Ketua tim proyek pengembangan waduk resapan Kementrian Ristek, filosofi dasar dalam pengembangan waduk resapan adalah bagaimana memperkecil limpasan permukaan dan meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan aliran permukaan. Pembuatan waduk resapan berbeda dengan pembuatan waduk pada biasanya. Waduk resapan pada hakekatnya dapat diklasifikasikan ke dalam waduk tunggal guna (single purpose) yaitu berfungsi sebagai pengendali banjir dengan sistem kerja meningkatkan optimalisasi fungsi akuifer, yaitu menambah kemampuan daya simpan air pada lapisan akuifer. Model fisik penggunaan kolom pasir Pada penelitian ini, kolom pasir difungsikan sebagai median untuk meresapkan air waduk resapan ke lapisan akuifer. Metode dalam membuat kolom pasir adalah dengan membuat lubang bor pada lapisan lempung yang memiliki permeabilitas kecil dan mengisi kembali dengan pasir yang bergradasi.
Gambar 1. Konsep waduk resapan menggunakan kolom pasir Gambar di atas memperlihatkan sketsa penggunaan kolom-kolom pasir tersebut dengan prinsip air yang berasal dari air permukaan ditampung pada waduk dengan ketinggian tertentu. Kemudian air di alirkan melalui kolom-kolom pasir dengan harapan pasir yang memiliki nilai koefisien permeabilitas besar, bisa mempercepat dan memperbesar terjadinya imbuhan, sekaligus menjadi filtrasi agar air yang masuk ke dalam lapisan akuifer sudah dalam keadaan bersih. METODOLOGI STUDI Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data, pada penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pengujian permeabilitas sampel tanah dan pasir. Tahap kedua dilakukan pengujian di Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik Sipil Unhas untuk mengetahui besarnya debit imbuhan yang terjadi melalui lapisan tanah maupun kolom pasir. Pada tahap ini terdiri atas dua model yakni :
194
1. Model waduk resapan tanpa kolom pasir. Penelitian ini menggunakan bak pengujian yang berukuran persegi empat dengan ukuran 160 x 75 x 50 cm, yang pada bagian bawahnya di beri lubang untuk pengeluaran air rembesan.Tanah yang telah memenuhi syarat pengujian permeabilitas dimasukkan ke dalam bak. Selanjutnya pada bagian permukaan bak diberi debit masukan (Q1) secara terus menerus (konstan) agar tinggi muka air dapat dipertahankan, sementara untuk over flow (Q2) disiapkan wadah penampung. Pada saat tanah telah mengalami jenuh air (saturated), diadakan pencatatan waktu untuk mengisi volume air sebanyak 1000 m yang masuk ke lapisan akuifer (Q3) melalui lapisan tanah. Penelitian pada model ini digunakan masing-masing 3 variasi untuk ketinggian air waduk (Hw) serta tebal tanah (Ht).
Gambar 2. Typical pengujian model waduk resapan tanpa kolom pasir 2. Model waduk resapan dengan kolom pasir. Penelitian pada model ini media wadahnya sama dengan model 1, namun yang membedakannya adalah pada tanah lempung dipasang kolom pasir dengan diameter (D) 5 cm. Pada saat tanah telah mengalami jenuh air (saturated), diadakan pencatatan waktu untuk mengisi volume air sebanyak 1000 ml yang masuk ke lapisan akuifer (Q3) melalui kolom pasir dan lapisan tanah. Untuk mengetahui debit melalui kolom pasir, maka debit Q3 pada kondisi ini dikurangkan dengan Q3 melalui lapisan tanah. Penelitian pada model ini digunakan masing-masing 3 variasi untuk ketinggian air waduk (Hw), panjang kolom pasir (Hkp) serta jumlah kolom pasir (KP).
195
Gambar 3. Typical pengujian model waduk resapan dengan kolom pasir Teknik Analisis Data hasil pengamatan pada uji model fisik waduk resapan dengan dan tanpa kolom pasir di plot menjadi grafik hubungan antara debit imbuhan dengan parameter yang ada. Membandingkan hasil uji model fisik antara menggunakan dan tanpa menggunakan kolom pasir untuk mengetahui efektifitas dari kolom pasir yang diletakkan pada dasar waduk resapan tersebut. Efektifitas keberadaan kolom pasir dihitung dengan persamaan berikut : ......................................................... (2)
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengujian permeabilitas terhadap material tanah, diketahui nilai permeabilitasnya sebesar 3,3 x 10-5 cm3/sekon, sementara pasir 1,9 x 10-1 cm3/sekon sehingga memenuhi syarat pada penelitian ini. Selanjutnya dari hasil pengukuran debit pada alat uji model fisik diperoleh data sebagai berikut : Tabel 1. Efektifitas tiap kolom pasir pada panjang kolom pasir 30 cm Hw (cm)
Ht = 30 cm
KP = 4
Qak (cm3/sekon) H KP = 30 cm Eff. (%) KP = 6 Eff. (%)
KP = 12
Eff. (%)
5
0,80
18,78
2.248
28,00
3.400
56,51
6.964
7,5
0,89
20,35
2.187
30,20
3.293
60,79
6.730
10
0,94
21,90
2.230
33,00
3.411
65,05
6.820
196
Gambar 4. Hubungan antara efektifitas dan tinggi air waduk masing-masing kolom pasir pada panjang kolom pasir 30 cm Tabel 1 gambar 4 di atas menunjukkan efektifitas penggunaan kolom pasir tertinggi pada 12 kolom pasir dan tinggi air waduk 5 cm yakni sebesar 6.964%, sedangkan efektifitas terendah pada 4 kolom pasir dan tinggi air waduk 7,5 cm yakni 2.187%. Tabel 2. Efektifitas tiap kolom pasir pada panjang kolom pasir 32,5 cm Hw (cm)
Ht = 32,5 cm
5 7,5 10
0,79 0,83 0,88
KP = 4 18,60 19,67 21,00
Qak (cm3/det) H KP = 32,5 cm Eff. (%) KP = 6 Eff. (%) 2.254 2.270 2.286
27,80 29,80 31,50
3.419 3.490 3.480
KP = 12
Eff. (%)
55,80 59,20 64,51
6.963 7.033 7.231
Gambar 5. Hubungan antara efektifitas dan tinggi air waduk masing-masing kolom pasir pada panjang kolom pasir 32,5 cm
197
Tabel 2 gambar 5 di atas menunjukkan efektifitas penggunaan kolom pasir tertinggi pada 12 kolom pasir dan tinggi air waduk 10 cm yakni sebesar 7.231%, sedangkan efektifitas terendah pada 4 kolom pasir dan tinggi air waduk 5 cm yakni 2.254%. Tabel 4.
Efektifitas tiap kolom pasir pada panjang kolom pasir 35 cm
Hw (cm)
Ht = 35 cm
5 7,5 10
0,78 0,82 0,87
KP = 4 18,40 19,48 20,80
Qak (cm3/det) H KP = 35 cm Eff. (%) KP = 6 Eff. (%) 2.259 27,50 3.426 2.276 29,30 3.473 2.291 31,05 3.469
KP = 12 55,16 58,50 62,21
Eff. (%) 6.972 7.034 7.051
Gambar 6. Hubungan antara efektifitas dan tinggi air waduk masing-masing kolom pasir pada panjang kolom pasir 35 cm Tabel 3 dan gambar 6 di atas menunjukkan efektifitas penggunaan kolom pasir tertinggi pada 12 kolom pasir dan tinggi air waduk 10 cm yakni sebesar 7.051%, sedangkan efektifitas terendah pada 4 kolom pasir dan tinggi air waduk 5 cm yakni 2.259%. Berdasarkan tabel 1,2 dan 3 dapat diketahui bahwa debit yang terjadi berbanding lurus dengan jumlah kolom pasir, permeabilitas serta tinggi air waduk yaitu semakin banyak kolom pasir, permeabilitas semakin besar dan semakin tinggi air waduk, maka debit yang terjadi semakin besar. Sedangkan panjang kolom pasir berbanding terbalik yakni semakin panjang kolom pasir, debit yang terjadi semakin kecil Ini dapat dibuktikan dengan rumus Darcy serta pengembangannya berdasarkan penelitian ini:
198
................................................................... (3) dengan : Q = debit melalui kolom pasir (cm.
Q/det)= debit melalui kolom pasir (cm
3
k = permeabilitas pasir (cm/det) Hw = tinggi air waduk (cm) Hkp = panjang kolom pasir (cm) D = diameter kolom pasir (cm)
Efektifitas sangat tergantung pada perbandingan antara debit melalui kolom pasir dan lapisan tanah, dimana berdasarkan gambar 4,5 dan 6, efektifitas yang terjadi sebesar 7.231% pada debit melalui lapisan tanah sebesar 0,88 cm3/det sedangkan melalui kolom pasir sebesar 64,51 cm3/sekon KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang efektifitas penggunaan kolom pasir pada waduk resapan dengan berbagai parameter, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Efektifitas sangat tergantung dari perbandingan antara debit melalui kolom pasir dan melalui lapisan tanah (tanpa kolom pasir). 2. Efektifitas tertinggi terjadi pada 12 kolom pasir, tinggi air waduk 10 cm dan panjang kolom pasir 32,5 cm. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih di ucapkan kepada Ketua dan Pengurus HATHI Pusat, Ketua Program S3 Teknik Sipil Unhas serta Panitia PIT Bandung yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diikut sertakan dalam PIT ini. REFERENSI Broto, S., Susanto, H. 2008. Perancangan Model Pendugaan Efektifitas Waduk Resapan Kota Bogor terhadap Optimalisasi Akuifer Airtanah. Jurnal Teknik, 29 : 220 – 227. Indriatmoko, R. H., Herlambang, A. 2005. Pengelolaan air tanah dan intrusi air laut. Jurnal air Indonesia, 2 : 211 – 225 Putranto, T., Kusuma. 2009. Permasalahan Airtanah di Daerah Urban. Jurnal Teknik, 30 : 48 – 56
199
200
Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Danau-Das Mahakam Mislan FMIPA UNMUL/HATHI Cabang Kalimantan Timur
[email protected],
[email protected]
Intisari Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap kondisi ekosistem daerah aliran sungai, termasuk diantaranya kawasan danau di DAS Mahakam. Dinamika kehidupan di kawasan danau baik dalam kegiatan budidaya perikanan, transportasi, tersedianya air baku, terjadinya kebakaran dan kesehatan sangat ditentukan oleh perubahan tinggi muka air dan kondisi curah hujan di DAS Mahakam. Perubahan iklim akan menyebabkan kondisi banjir dan surut akan sulit diperkirakan dan menimbulkan kerugian yang besar. Adaptasi terhadap perubahan iklim di kawasan danau sangat penting dilakukan. Adaptasi sudah harus dimulai dari tataran kebijakan dan kelembagaan, dilanjutkan dengan memahamkan dan memperkuat wawasan masyarakat pada dampak perubahan iklim, serta menggali potensi dan keterlibatan masyarakat dalam aksi nyata adaptasi menghadapi perubahan iklim. Langkah-langkah yang dapat ditempuh diantaranya survei identifikasi perubahan kondisi danau karena adanya perubahan iklim, penyediaan air bersih dengan teknologi tepat guna, pemanfaatan gulma, pertanian dan budidaya perikanan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat diharapkan mampu mempertahankan fungsi kawasan danau dalam mendukung kehidupan masyarakat, dan masyarakat mampu bertahan dan menemukan jalan keluar yang sejalan dengan adanya perubahan iklim baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Kata kunci: perubahan iklim, kawasan, danau, adaptasi.
PENDAHULUAN Pemanasan global telah menyebabkan perubahan sistem fisik dan biologis bumi, dan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut setidaknya mencakup tiga unsur: (1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama pola angin, kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (3) pencairan gunung es di kutub utara dan selatan yang menyebabkan naiknya permukaan air laut (Anonim, 2007a). Hasil kajian IPCC (2007b) menunjukkan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0,74oC, dengan
201
pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Tingkat pemanasan rata-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari yang terjadi pada 100 tahun terakhir. Akhir 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas, dan peningkatan pemanasan sebesar 0,2oC diproyeksikan akan terjadi untuk setiap dekade kedepan jika pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dilakukan (Anonim, 2007b). Naiknya suhu udara, perubahan pola curah hujan, meningkatnya kejadian iklim ekstrim dan kenaikan muka air laur sangat terkait dengan masalah sumber daya air, terutama gangguan bagi siklus air (Irianto, dkk., 2004). Akibat dari gangguan siklus air akan meliputi pengendapan (curah hujan), ketersediaan dan distribusi air serta kualitas air. Perubahan iklim, menurut Ratag (2007) diperkirakan akan menyebabkan peningkatan curah hujan 2% sampai 3% pertahun di Indonesia. Peningkatan dan penurunan curah hujan akan menyebabkan dampak yang berlanjut terhadap meningkatnya gagal panen, frekuensi banjir, intensitas kekeringan, abrasi pantai, tenggelamnya pantai dan banyak pulau kecil, perubahan habitat satwa dan tumbuhan, serta kerugian ekonomi. Pemanasan global juga turut mempengaruhi peningkatan magnitude dan frekuensi kehadiran El Nino, yang semakin memicu kebakaran hutan dan lahan gambut (Meiviana, dkk., 2007). Dampak perubahan iklim diperhitungkan sangat merugikan dan diperkirakan terus meningkat akibat meningkatnya jumlah gas rumah kaca, oleh karena itu perubahan iklim harus dihadapi. Semua sektor pemerintah dan publik harus mempertimbangkan isu perubahan iklim dalam pembuatan keputusan mulai dari tingkat konsep sampai implementasi. Untuk siap menghadapi perubahan iklim dibutuhkan partisipasi semua orang tanpa terkecuali mulai dari tahap antisipasi sampai adaptasi (Anonim, 2007b). Tahap adaptasi merupakan tahapan yang sangat penting, terutama dalam menyesuaikan perilaku dan memperkuat tindakan dalam menghadapi perubahan iklim sehingga dampak perubahan iklim dapat dihadapi dengan daya lenting yang memadai. Tulisan ini menyajikan hasil studi penelitian terkait adaptasi perubahan iklim pada kawasan danau di DAS Mahakam. Penelitian dilakukan mengingat kawasan danau pada DAS Mahakam dengan luasan keseluruhan sekitar 80.000 ha merupakan ekosistem lahan basah yang peka terhadap perubahan iklim, yang secara luas ditandai oleh adanya perubahan curah hujan dan secara setempat ditandai adanya perubahan tinggi muka air. Hasil penelitian diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim pada kawasan danau di DAS Mahakam. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim Pemanasan global ditandai atau menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi dan parameter iklim lainnya seperti tekanan, curah hujan, evaporasi, kecepatan angin, dan kelembaban, yang saling berinteraksi membentuk perubahan iklim. Perubahan iklim secara umum memberikan dampak utama (1) mencairnya es di
202
kutub, (2) pergeseran musim, (3) peningkatan permukaan air laut, dan (4) perubahan keanekaragaman hayati (Meiviana, dkk., 2007; IPCC, 2002; IPCC, 2007b; Anonim, 2007a dan Anonim, 2007b). Dampak tersebut untuk masing-masing wilayah sangat berbeda kekuatan dan polanya, dan sangat ditentukan oleh karakteristik masingmasing wilayah. Dampak lanjutan dari dampak utama akibat berubahnya parameter iklim dan kondisi wilayah tertentu yang bersifat buruk adalah: (1) berubahnya keseimbangan air yang menyebabkan terjadinya banjir, kekeringan, instrusi air dan krisis air, (2) mundurnya garis pantai, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir, (3) meningkatnya kebakaran lahan dan hutan, (4) gangguan terhadap ekosistem terumbu karang, (5) gangguan terhadap keanekaragaman hayati, (6) meningkatnya kegagalan panen, baik akibat banjir dan kekeringan juga rentannya varietas komoditas pertanian, dan (7) meningkatnya frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Dampak-dampak tersebut dapat saling memperkuat dan menimbulkan dampak lanjutan berikut berupa kerugian sosial dan ekonomi (IPCC, 2008; Water Aid, 2007; Cromwell, 2007; Anonim, 2007a; Anonim, 2007b dan Ati, 2005). Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yakni sebagai negara kepulauan (memiliki 17.500 pulau kecil), memiliki garis pantai yang panjang (81.000 km), daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam dan kejadian cuaca ekstrim (kemarau panjang, banjir), memiliki tingkat polusi yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh (fragile) seperti area pegunungan dan lahan gambut, serta kegiatan ekonomi yang masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk alih bahan bakar ke bahan bakar alternatif (Meiviana, dkk., 2007; Anonim, 2007a dan Anonim, 2007b). Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam the OFDA/CRED International Disaster Database (2007 dalam Anonim, 2007b), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara tahun 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebarakan hutan, dan ledakan penyakit. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh 10 bencana terbesar tersebut mencapai hampir 26 milyar dolar dan sekitar 70% nya merupakan kerugian akibat bencana yang terkait dengan iklim. Kemarau panjang akibat El-Nino pada tahun 1997 merusak 426.000 ha sawah di Indonesia. (Anonim, 2007a; BappenasADB, 1999). Salah satu ekosistem yang penting mendapat perhatian terkait dengan perubahan iklim adalah ekosistem danau. Keberadaan danau sebagai salah satu ekosistem perairan darat memiliki berbagai fungsi yang menopang kehidupan manusia. Peranan danau yang multifungsi serta pemanfaatan yang tak terkendali menyebabkan timbulnya permasalahan yang sangat mengancam eksistensi danau. Perubahan iklim diprediksi akan memberikan tekanan pada lingkungan perairan darat yang mengakibatkan perubahan kemampuan produktivitasnya, kualitas dan
203
kuantitas air, hingga bencana keairan dalam beberapa dekade mendatang (Gadis Sri Haryani, 2009; Mislan dan Maliki, 2009). Di sisi lain perairan darat sebagai bagian dari lahan basah dan lahan basah lainnya berfungsi sebagai penyimpan dan penangkap karbon. Antisipasi, Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Perubahan iklim akan terjadi. Meskipun usaha pengurangan gas rumah kaca sekuat tenaga terus dilakukan, Indonesia tidak akan mampu sepenuhnya terhindar dari dampak perubahan iklim. Yang terpenting dalam upaya ini adalah adanya kesepahaman dan kesepakatan serta keterlibatan bersama dalam memilih dan melaksanakan strategi yang bersifat adaptif sesuai kemampauan bangsa Indonesia. Perubahan iklim dapat menjadi sumber bencana. Ditinjau dari tahapan proses menghadapi perubahan iklim, terdapat 3 strategi nyaitu: (1) strategi antisipasi, (2) stategi mitigasi, dan (3) strategi adaptasi (Irianto, dkk., 2004; Mislan dan Maliki, 2008, Anonim, 2007a, Anonim, 2007b, dan IPCC, 2008). Strategi antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi berdasarkan dampak perubahan iklim yang akan terjadi, terutama penggalian informasi dan data mengenai karakteristik parameter iklim dan wilayah yang diperkirakan akan terkena dampak (Anonim, 2007c; Anonim, 2007d, dan Hare, 2003). Strategi mitigasi digunakan sebagai upaya: (a) mengurangi laju perubahan iklim (mitigasi) melalui pengurangan tingkat emisi GRK dari berbagai sektor (CDM), (b) meningkatkan kemampuan penyimpanan karbon melalui peningkatan jumlah luas hutan, dan (c) penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan seperti tenaga matahari, pasang surut dan nabati (Anonim, 2007a, Anonim, 2007b, dan IPCC, 2007b). Strategi adaptasi dipersiapkan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang akan timbul akibat perubahan iklim (Meiviana, dkk., 2007; Anonim, 2006, IPCC, 2007b; dan Diposaptono, dkk). Sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, infrastruktur, kehutanan serta kesehatan merupakan sektor yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan oleh karena itu harus dipersiapkan strategi adaptasi bagi sektor-sektor tersebut. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional Anonim, 2007a, Anonim, 2007b). Pelaksanaan kegiatan adaptasi juga harus berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan demikian, penyusunan agenda adaptasi terhadap perubahan iklim harus dikaitkan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN-PRB) (Anonim, 2007d). Upaya adaptasi harus dilakukan melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3) melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4) mendorong daerah
204
otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7) memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Anonim, 2007b). Mengingat perubahan iklim memberikan pengaruh yang signifikan terhadap siklus air, maka kegiatan adaptasi dalam bidang sumber daya air sangat penting untuk ditempatkan sebagai arus utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan (Allan, 2006; Cromwell, 2007; dan European Enviroment Agency, 2007). Adaptasi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sumber daya air kaitannya dengan perubahan iklim disarikan sebagai berikut: (1) memelihara daya dukung lingkungan sumber air: rawa, sungai, waduk, dan sebagainya, (2) memanen sebanyak-banyak air hujan, melalui sumur resapan, waduk, embung, bendung/bendungan, dan sejenisnya, (3) melaksanakan efisiensi penggunaan air di seluruh sektor, (4) melaksanakan penjadualan penggunaan air dengan memasukkan skenario perubahan iklim, (5) peningkatan kegiatan konservasi/rehabilitasi DAS, peningkatan pembangunan pengendalian daya rusak air, peningkatan pembangunan pendayagunaan sumber daya air, pembangunan data base sumber daya air, peningkatan peran serta masyarakat dan swasta, (6) meningkatkan perbaikan bangunan prasarana sumber daya air, mengembangkan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan air, mempertahankan dan memperbaiki kualitas air, (7) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam penanggulangan bencana dan (8) mendorong dan memfasilitasi masyarakat yang ingin pindah dari wilayah yang rawan bencana, mendorong tetap dipertahankannya kearifan lokal masyarakat dalam merespon perubahan lingkungan dan diversifikasi pangan dan penggunaan varietas padi yang toleran terhadap perubahan iklim (European Enviroment Agency, 2007; Sustainable Development International, 2007; Enviromental Resources Management, 2007; IPCC, 2008; Mislan dan Maliki, 2009) Metodolodi Penelitian ini dilaksanakan dengan metode observasi, dokumentasi dan wawancara. Data yang dikumpulkan mencakup data curah hujan, data tinggi muka air, informasi dan permasalahan di kawasan danau. Indikasi perubahan iklim di wilayah studi didekati analisa perubahan pola curah hujan, sedangkan dampak perubahan iklim dan permasalahannya digambarkan melalui dinamika perubahan tinggi muka air. Kondisi danau dan permasalahan yang timbul berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat. Strategi adaptasi dan pendekatannya dirumuskan dalam tingkat: (1) kebijakan dan kelembagaan dan (2) implementasi di lapangan.
205
HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan Danau di DAS Mahakam DAS Mahakam merupakan salah satu DAS terbesar dan terpenting di WS Mahakam. Di DAS Mahakam terdapat sekitar 76 buah danau dengan luas total sekitar 89.719 Ha, di antaranya Danau Jempang (15.000 Ha), Semayang (13.000 Ha), Melintang (11.000 Ha), Danau Perian (2.098 Ha), dan sebagainya. Kawasan danau di DAS Mahakam tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) merupakan daerah retensi aliran Sungai Mahakam. Memiliki fungsi menampung sementara jika debit aliran Sungai Mahakam melebihi kapasitas tampungnya, (2) danau-danau yang terdapat di DAS Mahakam merupakan danau paparan banjir, yang perubahan tinggi muka airnya sangat dipengaruhi perubahan tinggi muka air Sungai Mahakam, (3) digunakan sebagai sarana transportasi, (4) memiliki kekayaan sumber daya hayati yang melimpah, (5) habitat bagi sebagian atau seluruh siklus hidup flora dan fauna, (6) memiliki keunikan tradisi dan warisan budaya yang khas, dan (7) dihuni oleh penduduk yang padat. Dengan karakteristik tersebut di atas maka ekosistem kawasan danau dan lahan basah di DAS Mahakam memiliki fungsi dan nilai yang sangat besar baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi (Mislan dan Maliki, 2009).
Gambar 1. Lokasi Kawasan Danau di DAS Mahakam Kawasan danau di DAS Mahakam di satu sisi memiliki fungsi yang sangat penting, tetapi di sisi lain sedang menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan yang sedang terjadi di kawasan danau diantaranya: (1) meningkatnya lahan kritis di daerah tangkapan danau, (2) menurunnya kualitas air, (3) sedimentasi, (4) meningkatnya perkembang-biakan gulma, (5) hilang dan tidak berfungsinya daerah reservat danau, (6) meningkatnya jumlah penduduk, (7) kegiatan pertambangan dan perkebunan di sekitar kawasan danau, dan (8) perubahan tinggi muka air di Sungai Mahakam. Dampak negatif yang telah dirasakan oleh masyarakat akibat
206
permasalahan tersebut adalah: (1) menurunnya jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan, (2) ketersediaan air bersih yang semakin buruk, (3) hambatan transportasi akibat gulma dan saat musim kemarau, (4) menurunnya data tampung air di danau, (5) banjir dan kemarau yang sering terjadi (dengan pola yang semakin tidak jelas) dan sebagainya. Permasalahan tersebut diperkirakan semakin buruk dan menimbulkan kerugian yang besar baik bagi masyarakat maupun pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu kawasan danau harus mendapat perhatian yang tinggi, dikelola secara terpadu dan berkelanjutan. Indikasi Perubahan Iklim: Perubahan Curah Hujan Berdasarkan analisis data curah hujan di WS Mahakam terdapat indikasi adanya perubahan pola curah hujan antar dekade antara tahun 2000-2008 dibandingkan tahun1986-1999 (sebagai baseline). Dari analisa regresi linier curah hujan tahunan data curah hujan tahunan di Kota Bangun menunjukkan kecenderungan naik dengan nilai gradien ketiga terbesar setelah Stasiun di Muara Kaman dan Tenggarong.
Gambar 2. Grafik Curah Hujan Setiap Periode di WS Mahakam Secara spasial rerata curah hujan tahunan di WS Mahakam dapat digambarkan pada Gambar 3. dan Gambar 4. di bawah ini.
Gambar 2. CH Tahun 1986-1999
Gambar 3. CH Tahun 2000-2008
Perubahan Tinggi Muka Air Danau dan Permasalahannya Berdasarkan analisa tinggi muka air di AWLR Kota Bangun (tahun 19862010), rekaman dan observasi kejadian banjir dan kekeringan di kawasan danau maka hubungan tinggi muka air dan kejadian banjir/kekeringan dapat digambarkan dalam Tabel 1. sebagai berikut:
207
Tabel 1. Kondisi Tinggi Muka Air dan Danau No TMA Kondisi Danau dan Permasalahannya 1 12 - 15 Kondisi banjir ekstrim, di Pela tinggi muka air 2 m di atas muka tanah, jalan kayu di Desa Semayang terendam 2 m dan di Kota Bangun tinggi muka air 1 m di atas muka tanah. Banyak rumah tergenang dan gelombang air sangat membahayakan. Pemakaman sulit. Transportasi mudah. Budi daya tangkap ikan sulit. 1 10 - 12 Kondisi banjir biasa, di Pela tinggi muka air 1-2 m, jalan kayu di Desa Semayang terendam 20 cm dan di Kota Bangun tinggi muka air sama dengan lantai dermaga. Banyak rumah yang mulai tergenang. Budi daya perikanan cukup mudah. 2 6 - 10 Kondisi normal. Alur lebar dan dalam. Seluruh aktivitas berjalan lancar. 3 4.5 - 6 Surut biasa, alur mulai sempit dan dangkal. Seluruh aktivitas berjalan kurang lancar. Gulma tumbuh dengan cepat. Kualitas air buruk. 4 <4.5 Surut ekstrim, alur sangat sulit dilewati karena sangat dangkal. Ikan mati masal dan air untuk kebutuhan rumah tangga sangat sulit.
Gambar 4. Tinggi Muka Air Banjir dan Surut Selama 1986-2010
Gambar 5. Kecenderungan Lama (Hari) Banjir Ekstrim (Kiri) dan Surut Ekstrim (Kanan)
Pada kondisi ekstrim banjir dan surut permasalahan yang menonjol di danau adalah masalah kualitas air dan sanitasi. Sebagian besar masyarakat menggunakan air danau untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kualitas air yang buruk menjadi penyebab timbulnya kasus muntaber dan gatal-gatal. Permasalahan lain saat banjir ekstrim adalah tergenangnya rumah (bencana), gelombang tinggi, penangkapan ikan dan pemakaman yang sulit, sedangkan saat surut ekstrim masalah yang muncul adalah kematian ikan secara masal, transportasi yang sulit dan kebakaran lahan (gambut).
208
Adaptasi Perubahan Iklim Kawasan danau memiliki area yang luas, habitat yang unik dan para pemangku kepentingan yang beragam. Permasalahan akibat perubahan iklim di kawasan danau akan memperparah permasalahan ekosistem akibat pemanfaatan sumber daya alam baik diluar maupun di kawasan danau sendiri dan terakumulasi menjadi penyebab dampak yang sangat merugikan. Untuk itu adaptasi perubahan iklim yang dilakukan harus terpadu dan sinergis antara tataran kebijakan-kelembagaan dan implementasinya. Terdapat dua pendekatan yang dapat dilaksanakan dalam adaptasi perubahan iklim yaitu pendekatan kebijakan/kelembagaan dan implementasi di lapangan. 1. Pendekatan Kebijakan/Kelembagaan Pendekatan kebijakan/kelembagaan diarahkan agar pengelolaan kawasan dalam adaptasi perubahan iklim dilaksanakan secara terpadu dan menjadi tanggung jawab bersama. Strategi yang dapat ditempuh adalah: a. Mendorong ditetapkannya kawasan danau sebagai Kawasan Strategis Provinsi Kalimantan Timur dari aspek lingkungan dan ekonomi. b. Penyusunan dan penetapan tata ruang kawasan danau dan zonasinya. c. Penyusunan Rencana Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Danau yang disepakati bersama oleh berbagai kepentingan di kawasan danau. d. Mendorong terbentuknya Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air di WS Mahakam dan Forum Pengelolaan Kawasan Danau. Banyak program/kegiatan yang sudah dilaksanakan untuk mendukung pengelolaan kawasan danau secara terpadu, diantaranya: (1) Studi indentifikasi dan pemenfaatan kawasan danau Semayang dan Melintang (BWS Kalimantan III, 2006), (2) Penyusunan arahan pengelolaan Danau Jempang (BWS Kalimantan III, 2006), (3) Studi Hidrometri Kawasan Danau di DAS Mahakam (Mislan, 2005-2012), (4) Fasilitasi pembentukan Forum Masyarakat Danau, (5) Studi Konservasi DTA Danau Semayang dan Danau Melintang (BWS Kalimantan III, 2011), (6) Penyusunan Tata Ruang Kawasan danau (Dinas PU Kaltim, 2010), (7) Penyunan Rencana Teknis Danau Semayang dan Melintang (Ditjen SDA, 2011), (8) Kegiatan penyusunan pengaturan zonasi di kawasan danau (Dinas PU Kaltim, 2012) dan (9) Inisiasi Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Danau di DAS Mahakam (BWS Kalimantan III-BLH Kaltim, 2012). 2. Implementasi di Lapangan Dalam tataran implementasi, masyarakat melalui kegiatan pelatihan dan pemberdayaan diajak untuk memahami aspek kualitas air hubungannya dengan kesehatan dan pengolahannya secara tepat guna, melakukan pemanenan air hujan, gerakan hemat air, pengolahan sampah, pemanfaatan gulma, revegetasi danau dan habitat pemijahan ikan, pencegahan kebakaran lahan dan budidaya pertanian saat musim kemarau panjang. Berikut program dan kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan terkait dengan adaptasi perubahan iklim. a. Program/kegiatan yang sudah dilaksanakan: 1) Pelatihan konservasi danau dengan fokus revegetasi perairan dan daerah tangkapan danau (BWS Kalimantan III, 2008).
209
2) Pelatihan pemetaan partisipatif kawasan danau (BWS Kalimantan III, 2008). 3) Pelatihan kualitas air dan teknologi tepat guna pengolahan air (BWS Kalimantan III, 2008-2012). 4) Restocking ikan di sekitar kawasan danau (DKP Kaltim, 2004-2012 dan DKP Kukar, 2004-2012). 5) Pelatihan pemanfaatan gulma sebagai bahan kompos dan budidaya cacing (BWS Kalimantan III, 2008-2010). 6) Pembangunan pengaman gelombang (Dinas PU Kukar, 2006-2012). 7) Pengendalian gulma di alur sungai (Dinas Perhubungan dan Dinas PU Kukar, 2010-2012). b. Program/kegiatan yang akan dilaksanakan: 1) Pembangunan sarana-prasarana air baku di Desa Semayang, Desa Melintang, Desa Muara Enggelam di Danau Semayang dan Melintang) serta Desa Muara Ohong di Danau Jempang (Dinas PU Kaltim dan BWS Kalimantan III). 2) Peningkatan pengolahan ikan (DKP Kukar). 3) Pengerukan aalur sungai di kawasan danau (Dinas Perhubungan dan Dinas PU Kukar). 4) Revegetasi kawasan danau (Dinas Kehutanan, BP DAS Mahakam Berau dan BLH Kaltim). 5) Pembangunan stasiun pemantauan kualitas air (online monitoring) oleh BLH Kaltim. 6) Pengembangan pemanfaatan gulma untuk pupuk kompos dan budi daya cacing untuk pakan ikan. 7) Pelatihan pengurangan resiko bencana di kawasan danau. 8) Dan lainnya. Pelaksanaan pendekatan kebijakan-kelembagaan dan implementasi yang sinergis diharapkan dapat memperkuat kemampuan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim dan menjamin upaya konservasi sumber daya air di kawasan danau. KESIMPULAN 1. Perubahan pola curah hujan di wilayah penelitian telah mengindikasikan terjadinya perubahan iklim. 2. Dampak perubahan iklim secara jelas dapat ditunjukkan oleh dinamika perubahan tinggi muka air di kawasan danau yang menggambarkan terjadinya kondisi banjir ekstrim, banjir sedang, normal, surut sedang dan surut ekstrim (kekeringan). 3. Adaptasi perubahan iklim di kawasan danau dapat dilaksanakan melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan kebijakan dan implementasi lapangan.
210
Referensi Anonim. 2007a. Indonesia dan Perubahan Iklim, Status Terkini dan Kebijakannya. Bank Dunia – DFID – PEACE. Jakarta. Anonim. 2007b. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Anonim. 2010. Data Curah Hujan WS Mahakam. BWS Kalimantan III-Ditjen SDA. Samarinda. Anonim. 2007c. Panduan Penanggulangan Bencana Banjir. Sekretariat Menko Kesra Ri. Jakarta. Anonim. 2007d. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Mitigasinya di Indonesia. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Jakarta. Anonim. 2006. Adaptation to Climate Variability and Change. Proceedings of The International Conference on Adaptation to Climate Variability and Change. January 5-7, 2006. New Delhi: ISET, Winrock International India and USEPA. Bappenas-ADB. 1999. Causes, Extendt, Impact and Cost of 1997-1998 Fires and Drought. Jakarta: s.n. 1999. Planning for Fire Prevention and Drought Management Project, ADB TA 29999-INO. Cromwell, J.E., Smith, J.B dan Raucher, R.S. 2007. Implications of Climate Change for Urban Water Utilities. Association of Metropolitan Water Agencies. Washingto, D.C. Download: http://amwa.net. Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2009. Kurva Biaya Pengurangan Emisi GHG di Indonesia. Interaksi Media. Jakarta. Diposaptono, S., Budiman, dan Agung, F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim, di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer. Bogor. Enviromental Resources Management. 2007. Climate Change and Water Resources. Water Aid, 47-49 Durham Street, London. Download: http:// wateraid.org. European Enviroment Agency. 2007. Climate Change and Water Adaptation Issues. EEA Technical Report. No. 2/2007. ISSN 1725–2237. Hare, William. 2003. Assesment of Knowledge on Impacts of Climate Change to the Specification of Art 2 of the UNFCCC. WBGU. Berlin. Harmoni, Ati. 2005. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Makalah Proseeding Seminar Nasional PESAT. Universitas Gunadharma. Jakarta. Haryani, G.S. 2009. Prediksi dan Antisipasi Perubahan Iklim di Kawasan Danau. Makalah. KNDI I. Bali. Hidayati, R. 2001. Masalah Perubahan Iklim: Contoh Beberapa Kasus. Makalah Falsafah Sains. IPB Bogor.
211
IPCC. 2008. Climate Change and Water. IPCC Technical Paper VI. Prepared: IPCC Working Group II. Geneva, Switzerland. IPCC. 2007a. Climate Change, The Physical Science Bases: Summary for Polycy Markers. Geneva, Switzerland. IPCC. 2007b. Climate Change 2007: Synthesis Report. IPCC Fourth Assesment Report (AR4). Geneva, Switzerland. IPCC. 2001. Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of theWorking Group II Report. WMO-UNDP. IPCC. 2000. Special Report Emissions Scenerios. Summary for Policymakers. A Special Report of IPCC Working Group III. WMO-UNEP. Geneva, Switzerland. Irianto, Gatot; Sugianto, Yanto dan Amien Istiglal. 2004. Dampak dan Aplikasi Perubahan Iklim, Status dan Aplikasinya di Sektor Pertanian. Jakarta. LAPAN. 2009. Edukasi Perubahan Iklim. http://iklimdirgantara-lapan.or.id. Mislan dan Maliki, A. 2008. Perubahan Iklim dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air di Kalimantan Timur. Materi CBWRM BWS Kalimantan III. Batam. Mislan dan Maliki, A. 2009. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Danau. Makalah PIT HATHI, 2009. Banjarmasin. Meiviana, A., et.al. 2007. Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup-JICA-Yayasan Pelangi. Jakarta. National Research Council. 2003. Panel on Climate Change Feedbacks. Climate Research Commitee. Download dari: http://www.nap.edu/catalog/10850. html. National Research Council. 2006. Completing the Forecast: Characterizing and Communicating Uncertainty for Better Decisions Using Weather and Climate Forecasts. Commitee on Estimating and Communicating Uncertainty in Weather and Climate Forecasts. Download dari: http://www. nap.edu/catalog/11699.html. National Research Council. 2008. Ecological Impacts of Climate Change. Climate Research Commitee. Download dari: http://www.nap.edu/catalog/12491. html. Ratag, M.A. 2007. Perubahan Iklim: Perubahan Variasi Curah Hujan, Cuaca, dan Iklim Ekstrim. BMG. Jakarta. Sustainable Development International. 2007. Climate Action. In Partnership with UNEP, Climate Risk, Global Climate Change, FTSE4Good, Carbon Trust and Ceres. Download dari: http://www.climateactionprogramme.org.
212
Model Morfologi Sungai Kali Porong Minarni Nur Trilita UPN Veteran, Jawa Timur
[email protected]
Intisari Air sebagai sumber kehidupan perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk melestarikan daerah alirannya sehingga bahaya yang ditimbulkan dapat dikurangi. Kali Porong yang berfungsi sebagai pengendalian banjir, pengamatan terhadap kapasitas sungai sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena fungsinya sebagai pengendali banjir, kapasitas rencana harus terjaga, supaya debit besar yang mengalir di Kali Porong dapat tertampung di badan sungai tersebut. Studi morfologi Kali Porong sangat diperlukan untuk mengetahui perubahan penampang yang terjadi apakah penampang masih dapat menampung debit sesuai yang direncanakan apa tidak. Kata kunci : model, morfologi, sungai.
PENDAHULUAN Perubahan morfologi sungai dipengaruhi oleh aliran dan sedimen. Erosi atau gerusan terjadi bila angkutan sedimen yang masuk lebih kecil daripada angkutan sedimen yang keluar. Begitu pula sebaliknya pengendapan terjadi bila angkutan sedimen yang masuk lebih besar daripada angkutan sedimen yang keluar. Peristiwa tersebut terjadi terus menerus sampai mencapai keseimbangan dimana tidak terjadi angkutan sedimen. Bila sungai tersebut sudah ada interfensi manusia, maka beban sungai untuk mencapai keseimbangannya sangat berat. Seperti yang terjadi di Kali Porong, Kali Porong sebagai saluran yang berfungsi mengalihkan kelebihan aliran, dan mempunyai fungsi lain yaitu mengalirkan lumpur ke Selat Madura. Oleh karena itu, perlu untuk memprediksi dan mengevaluasi keseimbangan sungai pada kondisi sekarang dan perkembangannya, supaya manfaat sungai tersebut tercapai dan terjaga. Kali Porong merupakan saluran buatan yang berfungsi sebagai floodway untuk melindungi Kota Surabaya dari banjir yang diakibatkan oleh Kali Brantas. Pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan lumpur panas di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo berjarak sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo dan sekitar 200 meter dari sumur pengeboran gas Banjarpanji I, yang merupakan sumur eksplorasi gas milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo (Basic Design, 2007). Volume semburan lumpur sampai dengan pertengahan tahun 2009 sebesar 100.000 m3 per hari. Untuk menangani volume semburan lumpur ini, Presiden memutuskan untuk mengalirkan lumpur ke Selat Madura melalui Kali
213
Porong. Sejak saat itu fungsi dari Kali Porong bertambah, selain sebagai floodway juga sebagai sarana untuk mengalirkan lumpur ke Selat Madura. Perlakuan-perlakuan yang dilakukan terhadap Kali Porong akan mempengaruhi morfologi sepanjang Kali Porong yang berupa penampang memanjang dan melintangnya. Morfologi sungai ini berubah secara terus menerus untuk mencapai kondisi keseimbangannya. Kondisi badan sungai dikatakan baik bila sungai tersebut masih dalam kondisi seimbang. Keseimbangan yang dimaksud adalah bila sedimen yang masuk sama dengan yang keluar. Dengan menjaga keseimbangan badan sungai, maka sungai tersebut dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan dan bisa berlangsung lama. Oleh karena itu, prediksi morfologi sungai Kali Porong kondisi sekarang dan perkembangannya perlu dilakukan, supaya manfaat sungai tersebut tercapai dan terjaga. TINJAUAN PUSTAKA Sungai, akan mengalami perubahan secara dinamis. Variabel yang mempengaruh perubahan bentuk sungai adalah kecepatan, kekasaran, kemiringan, lebar, kedalaman, debit, ukuran sedimen, dan konsentrasi sedimen (Leopold, dkk, 1964 dalam David L Rosgen, 1997). Sedimentasi sungai dan proses morfologi merupakan fenomena alam yang sangat kompleks dan sulit untuk dimengerti. Pada kenyataannya keduanya sangat mempengaruhi kondisi hidup kita, para ahli dan perencana sedang melihat alat yang paling baik untuk memperbaiki pengertian kita dan meningkatkan kualitas hidup kita sejak permulaan sipilisasi manusia. Pada awalnya, metodologi penelitian terutama berdasarkan atas pengamatan di lapangan dan model fisik. Penulisan ini difokuskan pada metodologi model matematikanya, lebih tepatnya model empirisnumerik. Kadang kala, diarahkan secara sederhana sebagai model komputasi. Percobaan awal dalam aplikasi model matematik dalam penaksiran dengan fungsi empiris yang diperoleh dari eksperimen laboratorium untuk penelitian sedimentasi sungai dan proses morfologi dapat ditemukan pada tahun 1950. Cabang penelitian didirikan pada tahun 1970. Sejak itu, sejumlah model satu dimensi misalnya, Cunge et al., 1980; Thomas, 1982; Rahuel et al., 1989; Wu and Vieira, 2002) diaplikasikan untuk studi sedimentasi di waduk dan sungai. Barubaru ini, bermacam-macam model empiris numerik 2D dan 3D (misalnya Sheng, 1983; Wang dan Adeff, 1986; Spasojevic dan Holly, 1993; Jia dan Wang, 1999; Wu et al, 2000 telah dikembangkan untuk mensimulasi proses angkutan sedimen dan perubahan morfologi di saluran dengan dasar berubah (mobile bed) dan tebing (bank), keduanya dilakukan di laboratorium dan alam. Secara tradisional, angkutan sedimen, khususnya bed load, disimulasi berdasarkan pada asumsi equilibrium local atau pada saat itu juga (saturation) (Thomas, 1982; Spasojevic dan Holly, 1993). Karena adanya pengamatan keterlambatan jarak dan waktu antara gerakan sedimen dan aliran air, maka ditemukan bahwa model angkutan equilibrium tradisional perlu diperbaiki dengan menghitung angkutan
214
sediment pada kondisi non equilibrium, khususnya di bawah kondisi aliran unsteady. Beberapa contoh model dengan variasi tingkat kompilasi dalam simulasi kapasitas angkut non-equilibrium (non-saturated) yang telah dilaporkan baru-baru ini. (Bell dan Sutherland, 1983; Armanini dan di Silvio, 1988; Rahuel et al., 1989; Wu et al., 2000; Wu dan Vieira, 2002). Model Matematika Fenomena aliran dan angkutan sediment di sungai dicirikan dengan turbulensi, variasi muka air bebas, perubahan dasar saluran (bed change), bentuk-bentuk interaksi, dll. Sebuah model mampu mencakup semua pengaruh-pengaruh secara benar yang masih dikembangkan. Sekarang, banyak model angkutan sedimen mengambil asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Konsentrasi sediment rendah sehingga interaksi antara aliran dan gerakan sediment dapat diabaikan. Karena itu, persamaan adveksi-difusi aliran air jernih dan sedimen dapat diselesaikan secara terpisah. 2. Perubahan dasar saluran (bed change) sangat lambat dibandingkan dengan gerakan air. Karena itu, pada tiap tahap waktu aliran dapat dihitung dengan asumsi dasar tetap (fixed bed). 3. Mekanisme sembunyi dan muncul (hiding and exposure) dalam material dasar dipertimbangkan melalui permulaan faktor koreksi dalam formula kapasitas angkutan sediment non uniform. Interaksi antara kelas ukuran sediment bergerak diabaikan. Kemudian angkutan tiap kelas ukuran sedimen dapat diperlakukan secara individu. Berdasar atas asumsi diatas, 1-D, 2-D, dan 3-D mengarahkan persamaan aliran dan angkutan sedimen dikembangkan. a. Persamaan Model 1-D Persamaan model satu dimensi, aliran air dangkal (shallow water flow) yang sudah dikenal dengan baik adalah Persamaan St. Venant. Angkutan sediment dipisahkan sebagai muatan dasar (bed load) dan muatan layang (suspended load) bila ditinjau dari segi angkutan sedimennya. Bila ditinjau dari segi sumber sediment, maka angkutan sediment dibedakan sebagai muatan material dasar (bed material load) dan wash load. Persamaan untuk angkutan non equilibrium non uniform sedimen adalah: C tk ) ∂Qtk ∂( A 1 + (Qtk − Qt * k ) = qlk + Ls ∂x ∂t
(k= 1,2,…,N) ......................... (9)
dengan : t : waktu ; x : koordinat sb x; Ctk : konsentrasi sediment rata-rata; Qtk = angkutan sediment actual ; Qt*k = kapasitas angkutan sediment atau disebut juga angkutan equilibrium; Ls : panjang adaptasi non equilibrium dari angkutan sediment; qlk : debit sediment inflow atau outflow dari arah samping misalnya tebing
215
saluran atau anak sungai per satu satuan panjang; tiap k mewakili sebuah ukuran kelas sedimen; N : jumlah ukuran kelas. Persamaan (1) dapat diaplikasikan untuk muatan dasar (bed load), muatan layang (suspended load) atau wash load, tergantung pada bagaimana besarnya angkutan sedimen dan panjang adaptasi didefinisikan. Perubahan dasar sebagai akibat dari ukuran klass k ditentukan dengan : 1 ∂A (1 − p ' ) b = (Qtk − Qt * k ) (k=1,2,…,N) . ......................................... (10) ∂t k Ls dengan : ∂A p’ : porositas material dasar; b : besarnya perubahan dasar yang disebabkan ∂t k ukuran kelas k. Pada kenyataannya, gabungan Persamaan (9) dan (10) menunjuk pada Persamaan kontinuitas sedimen yang juga digunakan untuk menghitung perubahan dasar sungai. Kapasitas angkutan sedimen dapat ditulis dalam bentuk umum sebagai berikut: Qt * k = pbk Qtk*
(k=1,2,……,N) . ........................................................ (11)
dengan pbk : factor ketersediaan sediment, yang mana didefinisikan sebagai gradasi material dasar dalam lapisan campuran; Qtk* : kapasitas angkutan sedimen potensial untuk ukuran klas k, yang ditentukan dengan bantuan hubungan empiris. Untuk menghitung, pada variasi gradasi material dasar dalam waktu dan jarak, material dasar seringkali dibagi dalam beberapa lapis pada tiap node perhitungan. Lapisan permukaan adalah lapisan campuran yang secara langsung partisipasi dalam perubahan gerakan sediment dengan aliran. b. Persamaan Model 2-D Model dua dimensi meliputi 2 kelompok, yaitu rerata kedalaman (depthaveraged) dan rerata lebar (width-averaged). Model dua dimensi rerata kedalaman lebih sering digunakan dalam analisa rekayasa sungai. Model ini menggunakan simulasi aliran air dangkal (shallow water flow) dan persamaan Navier-Stokes : ∂h ∂ (hU + ∂x ∂t ∂ (hU ∂t
) + ∂(hV ) = 0 ∂y
........................................................................... (12)
) + ∂(hUU ) + ∂(hVU ) = − gh ∂x
∂y
∂Dx ∂Dxy 1 + (t sx − t bx )+ f c hV + ∂y ∂x r
∂zs 1 ∂ (hT x ) 1 ∂ (hT xy ) + + + ∂x r ∂x r ∂y ............ (13)
216
∂ (hV ∂t ∂Dyx ∂x
) + ∂(hUV ) + ∂(hVV ) = − gh ∂x
+
∂Dy
+
∂y
∂y
∂z s 1 ∂ (hT yx ) 1 ∂ (hT y ) + + + ∂y r ∂x r ∂y
1 (t sy − t by )+ fc hU r
. ........... (14)
dengan : x,y : koordinat kartesian horizontal; h : kedalaman air ; U dan V : kecepatan aliran rerata kedalaman dengan arah x dan y; zs : elevasi muka air; g : gaya gravitasi; Txx, Tyx Tyy : tekanan turbulen rerata kedalaman; Dxx Dxy Dyx Dyy : disperse sebagi akibat pengaruh aliran sekunder, untuk saluran berkurva; ρ : densitas aliran; τbx τby : tegangan geser dasar, ditentukan dengan :
(
t bx = r c f U U 2 + V 2
)
(
; t by = r c f U U 2 + V 2
)
dengan c f = gn
2
/ h1 / 3
dan n : koefisien kekasaran Manning; τxx τxy : gaya geser pada muka air, disebabkan angina; fc = koefisien Coriolis. Persamaan angkutan rerata kedalaman untuk muatan layang (suspended load) : ∂ (hC ∂t
k
) + ∂(UhCk ) + ∂(VhCk ) = ∂x
∂S x ∂S y + aw + ∂y ∂x
∂y
sk
∂C ∂ ∂C ∂ e s h k + e s h k ∂y ∂x ∂x ∂y
+
(C*k − Ck )
(k=1,2,…,N).................................................................................................. (15) dengan Ck : konsentrasi muatan laying dengan rerata kedalaman; C*k : kapasitas angkutan muatan laying; e s : koefisien difusi turbulen sediment, yang ditentukan dengan e s :n t / s c , s c : angka Prandtl-Schmidt, antara 0.5 – 1.0 atau ditentukan dengan metode Van Rijn’s (1989); a : koefisien adaptasi non equilibrium. Angkutan Muatan dasar (bed load) adalah : −
∂ (db cbk ) ∂ (a bx qbk ) ∂ (a by qbk ) 1 + (qbk − qb * k ) = 0 (k = 1,2,….,N) ...... (16) + + ∂y Ls ∂x ∂t dengan cbk : konsentrasi rata-rata muatan dasar pada zone muatan dasar; a bx dan a by : gerakan muatan dasar arah x dan y, dengan asumsi searah geser dasarnya; qbk : besarnya angkutan muatan dasar pada ukuran klas ke k; qb*k : kapasitas angkutan muatan dasar. Perubahan dasarnya dihitung menggunakan Persamaan keseimbangan sediment sebagai berikut: (1 − p 'm )(
∂zb ) k = aw ∂t
sk
(Ck − C*k ) + (qbk − qb*k ) / Ls
(k=1,2, …,N) ........... (17)
217
METODOLOGI STUDI Adapun tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan data sekunder meliputi debit, curah hujan, dan material dasar sedimen, penampang melintang, long section sungai, peta topografi daerah aliran sungai. 2. Pengumpulan data primer meliputi material dasar sedimen, kecepatan aliran, penampang melintang sungai. 3. Menganalisa data sekunder dan data primer. 4. Mensimulasi model morfologi sungai Kali Porong pada kondisi eksisting dengan melakukan pengaturan parameter model supaya hasil model sesuai dengan hasil lapangan. 5. Menganalisa hasil model morfologi sungai. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Pemodelan morfologi Kali Porong pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui perubahan dasar sungai akibat perubahan aliran dan sedimentasi yang terjadi di badan sungai Kali Porong. Tahap awal pemodelan dengan membuat skematisasi sistem sungai yang akan dianalisa. Kemudian melakukan pengaturan parameter-parameter model, dalam studi ini parameter yang diatur adalah parameter koefisien kekasaran saluran (n Manning) sebesar 0.025, parameter angkutan sedimen yaitu tegangan kritis sebesar 0.039 dan parameter kedalaman maksimum yang diijinkan penampang untuk tergerus yaitu kedalaman yang berubah-ubah tiap penampang antara 0-13 meter. Perubahan Dasar Kali Porong Tahun 2004-2006 Porong 2004-2006levee
Plan: acker2004
19/07/2012
Kali Porong Main Channel
25
legend EG 22Jan2004 0100
20
WS 22Jan2004 0100 Crit 22Jan2004 0100 Ground
15
LOB ROB
Elevation (m)
10
Left Levee Right Levee
5
0
-5
-10
-15
0
10000
20000
30000
40000
50000
Main Channel Dis tance (m)
Gambar 1 Potongan Memanjang Profil Muka Air Pada Kondisi tahun 2004
218
Perubahan Dasar Kali Porong Tahun 2008-2010 Pada studi ini memasukkan aliran lumpur yang berasal dari Lusi yang telah terjadi pada tahun 2006. Data yang digunakan berupa data debit aliran yang masuk ke Kali Porong tahun 2008 sampai 2010, data sedimen berupa material dasar sedimen Kali Porong tahun 2008. Kondisi batas hilir yang digunakan sama dengan studi sebelumnya berupa tinggi pasang surut. Skematisasi sistem sungai yang digunakan untuk menganalisa model morfologi Kali Porong dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Skematisasi sistem sungai pada pemodelan morfologi sungai tahun 2008- 2010. Porong 2004-2006levee
Plan: dasar2010
20/07/2012
Kali Porong Main Channel
25
legend EG 01Jan2008 0100 WS 01Jan2008 0100
20
Crit 01Jan2008 0100 Ground LOB
15
ROB Elevation (m)
Left Levee 10
Right Levee
5
0
-5
-10
0
10000
20000
30000
40000
50000
Main Channel Dis tance (m)
Gambar 3 Perubahan Dasar Tahun 2008-2010 Dari analisa kapasitas penampang, dan hasil pengukuran, menunjukkan dasar Kali Porong mempunyai kecenderungan degradasi. Hal ini disebabkan karena pada musim penghujan debit yang mengalir sangat besar. Sebelum adanya Lusi, sedimen yang masuk sebagian besar pasir, setelah terjadinya Lusi sedimen yang masuk di penampang KP 150 ke hilir banyak mengandung silt dan clay. Hal ini menyebabkan degradasi Kali Porong bertambah, karena butiran sedimen yang ada lebih halus, sehingga mudah terangkut arus. Disisi lain, Kapasitas Kali Porong bertambah besar, lebih besar dari yang di rencanakan yaitu sebesar 1800 m3/s.
219
Gambar 4 Kondisi Kali Porong Sampai Tahun 2010 Berdasarkan Hasil Pengukuran KESIMPULAN Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa Perubahan dasar dari tahun 2004 sampai 2010 terjadi penurunan dasar sungai. Hal ini menyebabkan penambahan kapasitas kali Porong. Dari hasil analisa kapasitas, kapasitas kali Porong sampai tahun 2010 dapat menampung lebih dari 1800 m3/dt, dimana debit itu merupakan debit banjir yang direncanakan untuk kali Porong dalam mengendalikan banjir. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dikti yang telah memberikan dana dalam penelitian ini dalam Hibah Strategi Nasional. Selain itu diucapkan terima kasih kepada BPLS, Perum Jasa Tirta, BPWS Sungai Brantas, Dinas Pengairan yang telah membantu dalam penyediaan data-data yang digunakan dalam penelitian ini. REFERENSI Ackers, P. and White, W.R. 1973, Sedimenr transport: A new approach and analysis, J. Hydr. Div. ASCE. Cunge, J.A., Holly, F. M.Jr. and Verwey, A., 1980, Practical Aspects of Computational River Hydraulics, Pitman Publishing Inc., Boston, MA. Rosgen, D.L., 1997, A Geomorphological Approach To Restoration of Incised Rivers, Proceedings of the Conference on Management of Landscapes Disturbed by Channel Incision. Jinyun Deng, Yitian Li, 2003, A Study on The Equilibrium Profile For The Luoshan—Hankou Reach in The Middle Yangtze River, International Journal of Sediment Research, Vol. 18, No. 2, pp. 107-114.
220
Vasquez J.A., R.G. Millar dan P.M. Steffler, 2005, River2D Morphology, Part I : Straight Alluvial Channels, Hydrotechnical Engineering:Cornerstone of A Sustainable Environment, 17th Canadian Hydrotechnical Conference,. Kusimi, JM., (2008), Stream Processes and Dynamics in The Morphology of The Densu River Channel in Ghana, The international Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVII, Part B8, Beijing. Van Rijn, L.C., 1989, Handbook; Sediment transport by current and waves, Report H 461, Delft Hydraulics. Wang, Wu, 2004, River Sedimentation and Morphology Modelling – The State of the Art and Future Development, The ninth Int. Symp. On River Sedimentation,Yichang, Cina.
221
Teknologi Sabo Tipe Tampungan dalam Penanganan Permasalahan Sedimentasi Danau Limboto Chandra Hassan1, Djudi1, Santosa Sandy Putra1*, dan Hatma Suryatmojo2 1 Balai Sabo, Pusat Litbang SDA, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum 2 Graduate Schools at Agricultural Science, Kyoto University, Japan *
[email protected]
Intisari Danau Limboto, berdasarkan genesa pembentukannya merupakan cekungan rendah atau laguna sehingga disebut pula sebagai danau tipe paparan banjir (flood plain). Masalah utama yang terjadi di Danau Limboto adalah pendangkalan dan penyusutan luas danau. Pada tahun 1932, luas Danau Limboto mencapai 7.000 Ha dengan kedalaman 30 meter. Luas Danau Limboto pada tahun 1999 berkisar antara 1.900-3.000 Ha, dengan kedalaman 2-4 meter (Cabang Dinas Perikanan Kabupaten Gorontalo, 2000). Faktor dominan penyebab sedimentasi danau adalah erosi permukaan pada kawasan yang telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian (contoh: tanaman jagung) dan longsor tebing sungai. Luas lahan kritis mencapai 26.000 Ha terdiri dari 12.500 Ha lahan kritis di dalam kawasan hutan dan 13.500 Ha di luar kawasan hutan. Berdasarkan kajian hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa sedimentasi danau menjadi permasalahan mayor yang harus ditanggulangi. Tindakan nyata yang mendesak untuk diaplikasikan adalah pengerukan danau secara ramah lingkungan, pembangunan pintu kendali elevasi muka air danau, penetapan batas definitif kawasan danau yang steril, pemasangan sistem peringatan dini banjir di DAS Limboto, pekerjaaan sabo di hulu DAS Limboto, Hillside saboworks dan torrent saboworks. Segenap langkah teknis tersebut harus didukung dengan sosialisasi rutin dan intensif mengenai peraturan penataan ruang dan konservasi untuk merubah mindset masyarakat yang cinta lingkungan. dan secara intensif dan terus menerus yang merupakan tanggung jawab pihak pemerintah daerah sebagai pemegang kendali dalam pembangunan. Apabila renstra tersebut tidak segera dilaksanakan, maka Danau Limboto tidak akan lagi berfungsi sebagai tempat menyimpan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, dan aliran air bawah tanah. Kata kunci: danau, pendangkalan, hutan lindung, hutan riparian, sabodam.
222
PENDAHULUAN Sebagai salah satu asset sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Gorontalo, Danau Limboto berperan sebagai pencegah banjir, sumber air pengairan dan obyek wisata serta sebagai sumber pendapatan bagi nelayan.
Tabel 1. Identifikasi Permasalahan di Daerah Aliran Sungai Danau Limboto
Masalah Pemulihan Danau Limboto
Masalah Pengkerdilan Fungsi dan Manfaat Danau Limboto
Pendangkalan Danau Penurunan fungsi Danau Limboto sebagai Limboto pencegah banjir Penyusutan luas danau Penurunan volume air Danau Limboto Penurunan kualitas air danau Penurunan produktivitas perikanan Penurunan estetika Danau Limboto sebagai sarana rekreasi, olah raga dan objek wisata.
Masalah Pelestarian Sumber Daya Alam
Perusakan hutan lindung Perusakan hutan riparian
Sumber: Investigasi oleh Balai Sabo, 2012.
Areal Danau Limboto berada pada dua wilayah yaitu + 30 % wilayah Kota Gorontalo dan + 70 % di wilayah Kabupaten Gorontalo. Danau Limboto saat ini berada pada kondisi yang sangat memperihatinkan karena mengalami penuaan oleh proses penyusutan dan pendangkalan. Akibatnya terjadilah pengkerdilan fungsi danau sebagai kawasan penampung air sehingga berpotensi terjadinya banjir dan kekeringan di sekitar kawasan danau bahkan di luar kawasan Danau Limboto. Dari beberapa permasalahan yang teridentifikasi selama melakukan kunjungan lapangan serta diskusi dan informasi dari berbagai pihak, ada empat masalah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam yang terkait dengan upaya penyelamatan Danau Limboto, seperti yang dicetak kuning tebal pada Tabel 1. Penelitian di kawasan Danau Limboto ini dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan What happen?, How it happen? dan Why it happen? di kawasan Danau Limboto tersebut. Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka advis teknis adalah untuk menemukenali permasalahan yang ada terkait dengan pendangkalan Danau Limboto dan memberikan sumbang saran pemecahan masalah. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengidentifikasi akar permasalahan yang ada dan untuk melihat apakah teknosabo dapat memberikan andil dalam memecahkan permasalahan tersebut. tinjauan PUSTAKA Ganesha Pembentukan Danau Indonesia yang berada di kawasan tektonik aktif memiliki berbagai jenis danau yang sangat beragam berdasarkan tipe pembentukannya. Asal kejadian danau di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tipologi yaitu tektonik, tektonik-vulkanik, vulkanik, kawah, kaldera, sesar lingkar-kaldera, paparan banjir, oksbow, longsoran, pelarutan dan morain/gletser (Linsley, 1972). Danau Limboto, berdasarkan genesa pembentukannya merupakan cekungan rendah atau laguna sehingga disebut pula sebagai danau tipe dangkal atau danau tipe paparan
223
banjir (flood plain). Oleh sebab itu, Danau Limboto berada pada elevasi rendah dan dangkal serta cenderung mendangkal terus karena sedimentasi yang disertai dengan berkembangnya gulma air. Dari tahun ke tahun, luas dan kedalaman Danau Limboto terus berkurang. Luas Danau Limboto pada tahun 1999 berkisar antara 1.900-3.000 Ha, dengan kedalaman 2-4 meter (BLHRTI Gorontalo, 2000). Pada tahun 1932, luas Danau Limboto mencapai 7.000 Ha dengan kedalaman 30 meter. Tabel 2. Perbandingan Fungsi Ekologis dan Ekonomis Danau Limboto Fungsi Ekologis Sebagai sumber plasma nutfah dan bahan genetik, serta habitat keanekaragaman flora fauna Sebagai sistem stabilisasi proses alam dan pengatur fungsi hidrologi Sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, dan aliran air bawah tanah
Fungsi Ekonomis Sebagai penyedia air bersih yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat (rumah tangga, industri, dan pertanian) Sebagai sarana tranportasi, rekreasi, olah raga, dan pariwisata. Penghasil sumber daya alam hayati, sumber energi, pangan, pendapatan masyarakat, sarana pendidikan.
Kondisi dan Fungsi DAS Danau Limmboto Berdasarkan RTL-RLKT DAS Limboto, 2004, tingkat erosi di DAS Limboto 9.902.588,12 ton/tahun atau rata-rata 108.81 ton/ha/tahun (BLHRTI Gorontalo, 2009). Sri Legowo (2000) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa total erosi pada DAS Limboto sebesar 3.409.067,36 ton/thn, atau 44,69 ton/ha/thn, atau 3.72 mm/thn. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan metode pengukuran yang digunakan. Terlihat bahwa nilai erosi yang terjadi telah melewati ambang batas bahaya erosi sebesar 10 ton/ha/thn (Suripin 2001). Jadi dapat disimpulkan bahwa DAS Limboto berada pada kondisi kritis. Secara ekologi dan ekonomis, fungsi Danau Limboto (Nurdin, 2011) dapat dijelaskan dalam Tabel 2 diatas. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa fungsi-fungsi tersebut harus diselaraskan agar tidak ada ketimpangan alam dalam pengelolaan danau.
Gambar 1. Dendritik Sungai dan Batas Sub DAS pada Danau Limboto
224
METODOLOGI STUDI Daerah Aliran Sungai pada Danau Limboto terletak pada 122° 42’ 0.24” – 123° 03’ 1.17” Bujur Timur dan 00° 30’ 2.035” – 00° 47’ 0.49” Lintang Utara. Berdasarkan pembagian wilayah administratif, Danau Limboto terletak pada Provinsi Gorontalo, Indonesia. Luas DAS Limboto adalah 910.04 km2 dan menjadi lingkungan alamiah bagi penduduk dari 9 kecamatan dan 70 desa, Gambar 1. Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, dilakukan kajian terhadap master plan (cetak biru perencanaan) pengelolaan Danau Limboto berdasarkan prinsip teknologi sabo, hasil investigasi lapangan, dan kearifan lokal masyarakat Danau Limboto. Survei lapangan dan penjaringan aspirasi masyarakat dilaksanakan pada 23-27 April 2012. Dengan pemahaman tersebut, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai acuan teknis dan landasan ilmiah bagi langkah implementasi penanggulangan sedimentasi. Peta lokasi yang disurvei oleh Tim Balai Sabo bersama Tim BWS Sulawesi II dapat digambarkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Lokasi Survei Tim Balai Sabo dan BWS Sulawesi II HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Hidrologi Dari hasil diskusi dan informasi dari berbagai pihak (Asdak, 1995), kawasan Danau Limboto terletak pada daerah bayang-bayang hujan dengan curah hujan per tahun sebesar 1.426 mm. Curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm (bulan kering) terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Agustus, September dan Oktober. Sedangkan curah hujan di atas 100 mm ( bulan basah) terjadi selama 9 bulan, yaitu bulan Januari-Juli dan bulan November – Desember (Maxitech, 2004). Geomorphologi Wilayah Gorontalo yang ditempati oleh Cekungan Air Tanah Limboto berada pada bagian Utara Pulau Sulawesi. Sebagian besar wilayah ini ditempati oleh
225
satuan batuan gunung api tersier. Di wilayah bagian tengah dijumpai dataran rendah berbentuk memanjang yang terbentang dari arah Barat-Barat Laut ke Timur – Tenggara yang diduga semula merupakan danau dengan pusatnya berada di Danau Limboto, Gambar 3.
Gambar 3. Dugaan perkembangan Danau Limboto Kondisi Beberapa Sungai di DAS Limboto Berdasarkan data teknis beberapa sungai di wilayah Danau Limboto (Tabel 2) dan dari hasil peninjauan lapangan diduga kuat bahwa Sungai Alo dan Sungai Pohu (bagian hilir kedua sungai tersebut adalah Sungai Alahu atau Sungai Alopohu) memberikan kontribusi angkutan sedimen yang cukup signifikan. Hal tersebut karena sungainya yang panjang (790 m) dan juga DAS yang lebih luas (kurang lebih 61 Ha). Kecuali itu, pada sepanjang alur sungai tersimpan sedimen dalam jumlah besar yang siap terangkut ke Danau Limboto. Pada kejadian banjir yang menghacurkan bendung Irigasi Alopohu menunjukkan bahwa gaya impact aliran sedimen yang mengalir pada sungai tersebut relatif cukup besar dan membawa massa sedimen yang signifikan pula. Tabel 3. Data teknis beberapa sungai di DAS Limboto Nama Sungai
Panjang (m) Medium 422 Medium 558 Medium 232
Slope
Sungai Alo 11 % Sungai Pohu 16 % Sungai 19 % Alopohu Sungai Marisa 1 : 248 Landai Sungai 1 : 686 Landai Meluopo Sungai 26 % Terjal Biyonga
289
Lebar (m) 32 28
Kedalaman (m) 2,50 2,00
Luas Debit (Ha) (m3/dt) 23.621 198 24.475 115 12.726
12–13 18-29
0,80 – 1,40 1,70 – 2,70
6 - 40 83-186 27.348
Sumber: Perencanaan Bangunan Pengendali Erosi dan Sedimen, PT. Maxitech Utama Indonesia, 2004 dan beberapa sumber lain.
226
Sungai lain yang juga perlu diperhatikan adalah Sungai Biyonga karena sungai ini memiliki kemiringan yang terjal dengan satuan batuan sedimen dan gunungapi yang mudah tererosi. Indikasi lain yang memperkuat adalah bentuk inlet Sungai Biyonga dengan Danau Limboto yang menjorok ke dalam. Dengan demikian, Sungai Biyonga juga akan memberikan kontribusi angkutan sedimen yang besar pula ke Danau Limboto.
Keterangan: (a) Longsoran tebing, (b) Erosi alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian Sumber: Foto dokumen Nurdin, 2011 Gambar 4.
Sumber sedimen di DAS sungai-sungai yang bermuara di danau
Sumber Sedimen Sumber sedimen yang berpotensi terangkut ke Danau Limboto, Gambar 4, dalam hal mana berdasarkan RTL-RLKT DAS Limboto, 2004, tingkat erosi di DAS Limboto mencapai 9.902.588,12 ton/tahun atau rata-rata 108.81 ton/ha/tahun (Vitraha, 2009). Sumber sedimen ini ternyata berasal dari : 1. Erosi permukaan (surface erosion) termasuk erosi lembar (sheet erosion) pada lahan kritis. 2. Erosi yang terjadi di bagian atas DAS, terutama pada beberapa sungai yang mengalir ke dalam Danau Limboto. Dari hasil peninjauan lapangan justru DAS Alopohu memberikan kontribusi cukup besar hampir 63 %. 3. Erosi yang terjadi akibat longsornya tebing di kiri-kanan sungai. 4. Erosi yang terjadi di wilayah hutan DAS Limboto yang telah beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 54 km2 wilayah hutan lindung di DAS Limboto telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Luas lahan pertanian tersebut mencapai kurang lebih 40 % dari luas wilayah DAS Limboto. 5. Erosi pada DAS Limboto akibat sistem perladangan berpindah (nomaden).
227
Kondisi Eksisting DAS Danau Limboto Pada tepi danau, terlihat banyak tanaman eceng gondok yang belum dikelola dengan baik. Terlihat pula fenomena pengalihan fungsi lahan di kawasan Danau Limboto. Pendangkalan Danau Limboto menyebabkan munculnya tanah-tanah timbul di kawasan perairan danau. Tanah-tanah timbul ini selanjutnya diokupasi dan dikapling oleh masyarakat yang seakan-akan menjadi hak miliknya dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pemukiman penduduk, lahan pertanian (sawah), dll. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan kerawanan sosial karena konflik antar masyarakat kemungkinan besar dapat terjadi dalam memperebutkan kawasan danau. Pada Sungai Meluopo, Bolangga, dan Marisa karakteristik sungai yang ditemui hampir dapat dikategorikan sama. Sedimen berupa pasir berlempung dan kerikil dengan diameter mak. 10 cm. Debit air cukup dominan, sedimen yang terangkut ke Danau Limboto relatif sedikit, tetapi lebih banyak seresah daun dan pohon (informasi penduduk). Masalah utama lain yang terjadi adalah banjir yang diduga disebabkan backwater akibat adanya bendung rigasi di hilir (dibuktikan aliran air tidak lancar), Gambar 5. Pada saat peninjauan lapangan teridentifikasi beberapa wilayah hutan riparian mengalami kerusakan. Banyak yang belum memahami bahwa hutan riparian ini juga dapat digunakan untuk menetapkan garis sempadan sungai. Wilayah hutan riparian ini merupakan mintakat penyangga (bufferzone) yang berperan penting dalam menjaga kualitas air yang masuk ke sungai, baik dari limpasan air permukaan (surface runoff) maupun dari aliran air bawah tanah. Dalam kaitan dengan sedimentasi Danau Limboto, wilayah hutan riparian ini berfungsi juga mengurangi masuknya sedimen ke dalam badan air. Pada saat survei lapangan, terlihat bahwa kecepatan aliran air relatif kecil dan boleh dikatakan cenderung tenang yang sejatinya menguntungkan dalam mengurangi angkutan sedimen ke Danau Limboto karena sedimen akan mudah mengendap di dasar sungai dan memperlambat terangkutnya sedimen ke hilir. Oleh sebab itu, jika di sungai ini akan dibangun sabodam (gabion dam) untuk mencegah atau mengurangi laju angkutan sedimen ke Danau Limboto hendaknya dilakukan kajian dengan teliti dan hati-hati (Sarana Bhuwana Jaya, 2010). Salah satu dasar pertimbangan penentuan lokasi sabodam adalah pada hilir titik henti (stopping) aliran sedimen (debris). Rencana bangunan dapat ditempatkan pada bentang sungai yang relatif sempit sehingga cukup menghemat anggaran pembangunannya. Pada tempat pemberhentian aliran sedimen ini diusulkan konstruksi sabodam terbuat dari pasangan batu kali diselimuti pasangan beton dengan memanfaatkan material in site. Runtuhnya Bendung Alopohu Berdasarkan Investigasi, kondisi Sungai Alo Pohu sebagai penyumbang terbesar pada sedimentasi Danau Limboto diakselerasi oleh kejadian runtuhnya Bendung Irigasi Alopohu, Gambar 6a, dan beberapa sabodam di sungai tersebut, Gambar 6b. Implikasi lainnya adalah penurunan elevasi dasar sungai dan terangkutnya bedload. Maka dari itu, perlu dianalisis elevasi muka air sungai jika Bendung Alopohu dioperasikan kembali dan perlu dilakukan operasi dan pemeliharaan terhadap bangunan sabo yang sudah ada.
228
Gambar 5. Dinamika penempatan bendung irigasi di Sungai Marisa hilir Menurut informasi dr salah satu warga Ds Bongomeme, Kec. Bongomeme, Kab, Gorontalo (Bp. Umar Eki), Gambar 6c, bahwa jika musim hujan, keberadaan Bendung Irigasi Alopohu (bendung saat ini rusak akibar hantaman banjir) yang berada di hilir Sungai Tonuloita dapat mengakibatkan terjadinya backwater yg menggenangi kawasan hunian penduduk dan lahan persawahan. Oleh sebab itu, penetapan elevasi bangunan melintang sungai termasuk Bendung Alopohu hendaknya dilakukan dengan ekstra hati-hati karena sungai-sungai di DAS Limboto berada pada daerah paparan banjir.
Gambar 6. Rekam jejak kondisi S. Alopohu dan dampaknya terhadap banjir
229
Banjir sebagai efek pengkerdilan fungsi danau Dari hasil peninjauan lapangan bahwa banjir yang terjadi di Gorontalo dapat diklasifikaikan menjadi tiga kelompok, yakni: 1 Banjir di kawasan Kota Gorontalo dapat terjadi akibat meluapnya Sungai Bone dan/atau Sungai Bolango. 2 Banjir di kawasan Danau Limboto kemungkinan terjadi karena air danau tidak dapat mengalir melalui outlet dengan lancar ketika terjadi banjir di Sungai Bone dan/atau Sungai Bolango sehingga permukaan air Danau Limboto naik dan kemudian meluap menggenangi daerah di sekitar danau. Oleh karena itu, dalam analisis hidrologi danau perlu diperhitungkan bagaimana pengaruh DAS Limboto, DAS Bolango dan DAS Bone terhadap danau. 3 Banjir di kawasan lain terjadi karena backwater dari sungai-sungai disekitarnya, maupun oleh keberadaan bangunan sungai. Sisi Nonteknis Danau Limboto Hal yang mendasar pada permasalahn non teknis Sedimentasi danau Limboto adalah Penetapan batas sempadan Danau Limboto secara definitif. Acuan normatif yang dapat digunakan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Pasal 12 dari PP itu menegaskan bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara. Aspirasi warga menuntut ditegakkannya aturan nonformal (yaitu aturan yang dibuat, disepakati dan dipatuhi sendiri oleh warga) yang memanfaatkan Danau Limboto, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator. Agar pengelolaan Danau Limboto seperti pemulihan, pemanfaatan, dan pelestarian nantinya memenuhi harapan semua pihak kiranya perlu digagas kemungkinan membentuk semacam Badan Otoritas Penyelamatan Danau Limboto. Badan otoritas, pemda atau BWS Sulawesi II dapat menunjuk petugas sebagai polisi air yang akan memonitor perkembangan Danau Limboto dan sungai-sungai yang ada di kawasan Danau Limboto setiap saat sehingga dapat diambil tindakan cepat manakala terjadi hal-hal yang membahayakan. KESIMPULAN Berdasarkan kajian hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Danau Limboto merupakan danau paparan banjir dan terletak pada daerah cekungan rendah sehingga sedimentasi danau menjadi permasalahan mayor yang harus ditanggulangi. Tindakan nyata yang mendesak untuk diaplikasikan adalah pengerukan danau secara ramah lingkungan, pembangunan pintu kendali elevasi muka air danau, penetapan batas definitif kawasan danau yang steril, pemasangan sistem peringatan dini banjir di DAS Limboto, pekerjaaan sabo di hulu DAS Limboto, Hillside saboworks dan torrent saboworks. Segenap langkah teknis tersebut harus didukung dengan sosialisasi rutin dan intensif mengenai peraturan penataan ruang dan konservasi untuk merubah mindset masyarakat yang cinta lingkungan. dan secara intensif dan terus menerus yang merupakan tanggung jawab pihak pemerintah daerah sebagai pemegang kendali dalam pembangunan.
230
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Banata Wachid Ridwan dan segenap tim penelitian Sedimentasi Danau Limboto. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Keluarga Besar BWS Sulawesi II, Pusat Litbang Sumber Daya Air, dan segenap masyarakat Gorontalo atas keramahan dan kerjasamanya dalam penelitian ini. REFERENSI Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo. 2009. Profil Danau Limboto. Gorontalo. Linsley, R.K., Franzini, J.B. 1972. Water-Resources Engineering. New York: McGraw-Hill Book Company, 147-171. Nurdin. 2011. Penggunaan Lahan Kering di DAS Limboto, Provinsi Gorontalo untuk Pertanian Berkelanjutan. Gorontalo : Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo Maxitech Utama Indonesia. (2004), Laporan Akhir Pekerjaan : Pekerjaan Bangunan Pengendali Erosi dan Sedimentasi DAS Limboto. Gorontalo : Dinas PU Propinsi Gorontalo. Sarana Bhuwana Jaya. 2010. Detail Desain Bangunan Penangkap Sedimen Danau Limboto. Gorontalo Vitraha Consindotama. 2009. Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen DAS Limboto. Gorontalo Sri Legowo, WD. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP. Suripin. 2001. Pengaruh Sedimentasi Waduk Terhadap Keberlanjutan Pembangunan. Semarang : Jurnal dan Pengembangan Keairan, No.1-Tahun 8-Juli 2001, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 1-6.
231
Kajian Efektifitas Bangunan Pengendali Sedimen Terhadap Upaya Konservasi Tanah dan Air di Kawasan Gunung Karangetang Tiny Mananoma1, Fauzan2, I Wayan Sudira2 , dan Villy Linggar2 1
Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi, Manado 2
Mahasiswa S2 Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi, Manado
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
intisari Rasa aman merupakan salah satu faktor utama bagi masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas sosial ekonomi. Terlebih lagi bila ada trauma sehubungan dengan bencana yang pernah dialami. Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan suatu bangunan pengendali sedimen perlu dievaluasi sehingga didapat informasi mengenai efektifitas bangunan pelindung kota sekaligus sebagai sarana konservasi lingkungan. Setelah hampir 10 tahun bangunan pengendali sedimen gunung Karangetang dikonstruksi, daerah hilir yang dilindungi telah tumbuh menjadi pusat bisnis dan pemukiman kota yang padat, sedangkan kantongkantong penampungan sedimen telah dimanfaatkan sebagai sumber penambangan material pasir, kerikil dan batu. Kondisi ini membuat alur sungai yang ada menjadi lebih stabil. Namun demikian, pengambilan material tambang yang melebihi kapasitas justru membahayakan bangunan pengendali sedimen itu sendiri, yang pada gilirannya membahayakan sungai dan kawasan bisnis yang dilindungi. Kemungkinan meningkatnya deposit material hasil erupsi gunung Karangetang yang tertimbun di bagian hulu sungai perlu diantisipasi. Dari kajian ini diharapkan potensi permasalahan yang mungkin timbul, bisa dideteksi secara dini, sehingga konsep penanggulangan yang berwawasan konservasi dapat disiapkan. Kata kunci : pengendali sedimen, konservasi, Karangetang
Pendahuluan Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Sitaro terbentuk pada tahun 2007. Ondong sebagai pusat pemerintahan dan Ulu Siau sebagai pusat kegiatan bisnis saat ini berkembang dengan pesat. kedua pusat kegiatan ini berada di Pulau Siau. Gunung Karangetang yang merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia terletak diantara dua kawasan ini. Material hasil erupsi gunung Karangetang sebagian besar masih tertahan di bagian atas lereng-lereng gunung, salah satunya menumpuk di hulu
232
sungai Kahetang. Sungai ini mengalir melewati pusat kota Ulu Siau, yang saat ini merupakan pusat kegiatan niaga yang sangat ramai dan tumbuh dengan pesat. Banjir bandang yang terjadi di sungai Kahetang pada tahun 1962, 1988 dan 2002 telah mengakibatkan kerusakan parah di Ulu Siau. Pada tahun 2004 pemerintah melaksanakan pembangunan 3 buah bangunan Pengendali Sedimen di sungai Kahetang. Hingga saat ini (tahun 2012), keberadaan bangunan-bangunan pengendali sedimen tersebut sangat terasa manfaatnya baik secara ekonomi yaitu menjadi sumber material pasir dan batu, juga bagi lingkungan maupun pertumbuhan kawasan kota.. Di sisi lain aktivitas gunung Karangetang yang terus erupsi semakin meningkatkan volume material yang menumpuk di hulu sungai Kahetang. Meskipun ada aktivitas penambangan material hasil erupsi, namun bilamana tidak terkendali maka akan berakibat buruk bagi konstruksi bangunan pengendali sedimen, yang pada akhirnya menjadi bencana bagi masyarakat di pulau Siau. Dalam upaya konservasi, serta proteksi kawasan bisnis dan pemukiman yang berada di kaki gunung Karangetang maka dipandang perlu untuk melakukan kajian terhadap keberadaan dan efektifitas bangunan pengendali sedimen di lokasi studi
Gambar 1. Tata letak pulau Siau
Gambar 2. Rekaman aktivitas gunung Karangetang di malam hari
233
Ruang Lingkup Ruang lingkup studi ini meliputi identifikasi serta inventarisasi permasalahan akibat migrasi sedimen dari gunung Karangetang. Berangkat dari rekaman data aktivitas dan frekuensi erupsi, prediksi deposit material hasil erupsi, aktivitas penambangan, serta kerugian yang terjadi. Maksud dan Tujuan Maksud dari studi ini adalah mencermati pola migrasi sedimen, selanjutnya menyusun suatu kajian untuk upaya konservasi kawasan gunung karangetang guna menjamin ketersediaan air dan keamanan kawasan pusat bisnis yang berada kaki gunung Karangetang berdasarkan asas perencanaan pengelolaan yang komprehensif. Tujuan dari kajian ini diharapkan memperoleh suatu konsep pengendalian sedimen berbasis konservasi yang handal sehingga dapat bermanfaat sebagai informasi, pedoman, ataupun landasan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun perencanaan sistem yang akan diterapkan sebagai upaya konservasi serta proteksi kawasan bisnis dan pemukiman di pulau Siau. METODOLOGI STUDI 1. Survei kondisi existing, inventarisasi sekunder.
dan identifikasi data primer dan
2. Analisis potensi deposit material hasil erupsi, pola migrasi sedimen, kapasitas bangunan pengendali sedimen, aktivitas penambangan. 3. Rekomendasi konsep konservasi dan eksploitasi material hasil erupsi. 4. Kesimpulan dan saran.
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Kondisi Existing dan Dimensi BPS Berdasarkan survei lapangan dan data yang berhasil dikumpulkan antara lain dari Globetek Glory Consultan CV (2003), kondisi bangunan pengendali sedimen (BPS) sebagai berikut ini. Tabel 1. Data fisik BPS di sungai Kahetang No
Bangunan
1
BPS 1
Tinggi (m) 10,0
Lebar Kapasitas (m) Tampung (m3) 22,0 28.900
2
BPS 2
14,0
31,0
3
BPS 3
8,0
18,0
Jarak dari hulu (m) 275
Kondisi bangunan Baik
12.500
450
Baik
7.700
1.325
Baik
Pemanfaatan Lokasi Penambangan Lokasi Penambangan
234
Gambar 3. Bagian hilir BPS 1
Gambar 4. Bagian hulu BPS 2.
235
Gambar 5. Bagian hulu BPS 3
Analisis Sedimen Estimasi Volume Produksi Sedimen Material sedimen pada sungai Kahetang ini yang utama berasal dari migrasi deposit material hasil erupsi gunung Karangetang serta sebagian kecil berasal dari longsoran tebing dan sisa material yang terendap didasar sungai. Sumber sedimen tersebut berupa pasir, kerikil dan batu atau berupa campuran material tersebut di atas. Volume produksi sedimen untuk daerah letusan gunung (daerah vulkanik) tersebut dihitung berdasarkan kejadian sekali banjir besar. Untuk menghitung besarnya volume produksi sedimen dilakukan pengamatan lapangan terhadap beberapa hal berikut ini : 1). kondisi daerah potensial lahar hujan 2). pengenalan komposisi dan macam kandungan batuan 3). kejadian longsoran/guguran material yang sudah terjadi di daerah sekitarnya. Dengan menggunakan grafik Spesific Run Off Amount Of Debris/Sediment Per Unit Flood dapat diestimasi volume aliran sedimen yang potensi terjadi sebagai berikut ini. a. Sedimen yang berasal dari guguran lahar Analisis dilakukan dengan menggunakan grafik Specific Run-off untuk kondisi daerah berupa Vulkanik Aktif. Luas DPS (A) = 1,17km2. Dari grafik Specific run-off diperoleh jumlah sedimen per satuan luas adalah v = 80.000 m3/km2/sekali banjir. Dengan demikian potensi aliran sedimen akibat guguran lava adalah :Vs = 1,17 x 80.000 = 93.600 m3/sekali banjir
236
Gambar 6. Grafik estimasi jumlah aliran sedimen
237
b. Sedimen yang berasal dari erosi alur (dasar dan tebing sungai) Produksi sedimen yang berasal dari erosi alur sungai ini merupakan sumber sedimen sekunder. Adanya longsoran-longsoran tebing sungai yang terjal dan gerusan/erosi dasar sungai akibat aliran debris mempunyai potensi terbawa oleh aliran. Jumlah sedimen dari erosi alur ini ditentukan berdasarkan hasil survai investigasi dan pengukuran dengan asumsi dan perhitungan sebagai berikut. 1). Sumber sedimen dari longsoran tebing Jumlah material ini dihitung berdasarkan volume longsoran tebing, dimana tebing dengan sudut kemiringan lereng lebih besar dari 60 derajat diasumsikan berpotensi mengalami kelongsoran. 2). Sumber sedimen dari gerusan/erosi dasar sungai Material sedimen ini terjadi akibat adanya aliran debris yang berpotensi mengangkut (menggerus) material endapan yang ada di dasar sungai. Perhitungan ketebalan endapan dasar sungai yang tergerus/tererosi didasarkan pada rumus mekanisme aliran debris. Adapun data-data / asumsi yang digunakan diambil dari hasil survai lapangan. Dari hasil analisis diperoleh volume potensi sedimen yang berasal dari longsoran tebing dan gerusan/erosi endapan material di dasar sungai sebesar Ve = 15.300 m3. Jadi total volume sedimen keseluruhan yang potensial mengalir ke arah hilir sungai adalah : V = Vs + Ve = 108.900 m3 Penentuan Volume Sedimen Ijin Sedimen ijin dapat didefinisikan sebagai sejumlah material yang mengalir menuju hilir tanpa membuat kerusakan sehingga alur sungai tetap terjaga dalam kondisi yang aman dan stabil. Sehingga volume sedimen ijin ini harus ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi alur sungai di bagian hilir, yaitu antara lain kemiringan dasar sungai/saluran, diameter butiran, penampang sungai, debit banjir rancangan dan debit banjir tahunan. Pada umumnya jumlah aliran sedimen ijin yang terjadi diestimasi sebagai jumlah material selama satu periode banjir sedimen/debris, yaitu berdasarkan prakiraan awal sebesar 5% dari jumlah sedimen yang akan mengalir/melewati titik dasar bangunan pengendali sedimen. Berdasarkan hasil estimasi volume sedimen yang potensial mengalir maka besaran sedimen ijin ini dapat ditentukan yaitu sebesar 5% x 108.900 m3 = 5.445 m3. Volume sedimen ijin potensial mengalir ini selanjutnya akan dikontrol terhadap kapasitas alur sungai di bagian hilir titik dasar bangunan pengendali sedimen, dimana pada bagian sungai tersebut bila dibutuhkan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengalirkan sejumlah angkutan sedimen ijin ini. Penentuan Sedimen Sasaran Sedimen sasaran adalah sejumlah kelebihan aliran sedimen yang dihitung pada suatu titik dasar bangunan pengendali sedimen, yang ditentukan sebagai jumlah material yang harus dikendalikan disebelah hulu titik tinjauan tersebut agar supaya sedimen yang akan mengalir melalui bangunan pengendali sedimen adalah jumlah material yang diijinkan. Dengan demikian dalam perencanaan pengendalian
238
sedimen ini, perhitungan sedimen ijin dan sedimen sasaran harus dilihat sebagai satu rangkaian tinjauan yang saling berkaitan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada. Untuk menentukan aliran sedimen sasaran yang harus dikendalikan maka digunakan langkah estimasi sebagai berikut ini.
Gambar 7. Prosedur estimasi volume sedimen sasaran Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dapat ditentukan jumlah sedimen sasaran yang harus dikendalikan yaitu sebesar 45 % x 108.900 m3 = 49.005 m3. Sebagai gambaran/perbandingan untuk pengecekan, dapat dilihat adanya banjir debris terbesar yang yang pernah terjadi yaitu pada Januari 2002. Dari data yang ada tercatat jumlah sedimen yang mengalir ke daerah hilir adalah sebesar 39.250 m3. Dengan demikian hasil perhitungan jumlah sedimen sasaran tersebut mendekati jumlah aliran sedimen yang pernah terjadi. Selanjutnya jumlah sedimen sasaran ini harus dapat dikendalikan oleh bangunan pengendali sedimen. Aktivitas dan Volume Penambangan
Gambar 8, Aktivitas penambangan di antara BPS 1 Dan BPS 2
239
Sebagaimana telah diinformasikan terdahulu bahwa aktivitas penambangan di sungai Kahetang sangat intensif. Lokasi penambangan di kawasan antara BPS 1 dan BPS 2. Berdasarkan informasi dari lapangan bahwa lebih dari 4 truk tiap hari beroperasi dengan minimal 3 kali pengiriman per hari. Material yang ditambang adalah pasir, kerikil, boulder dan batu. Dari data Cross Section yang tersedia, yakni K57 lokasi BPS 1 dan K49 lokasi BPS 2, serta gambar perencanaan dari BPS1 dan BPS 2, dengan asumsi bahwa konstruksi dilaksanakan sesuai dengan gambar pelaksanaan dan lebar rata-rata sungai yang bisa ditambang diambil 20 m, jarak antara BPS 1 dan BPS 2 adalah 175 m, maka didapatkan volume maksimum yang bisa ditambang di daerah ini kira-kira sebesar 19.250 m3.
Gambar 9. Jenis material dan aktivitas penambangan Rekomendasi Konsep Konservasi dan Eksploitasi Material Berangkat dari hasil analisis estimasi volume maksimum yang boleh ditambang di lokasi saat ini (antara BPS 1 dan BPS 2) adalah 19.250 m3. Jika diasumsikan ada 5 truk yang beroperasi 3 kali per hari mengambil material, dengan sekali angkut membawa 3 m3 material, maka material yang terangkut per hari di lokasi ini sebanyak 45 m3. Jika angka ini dibagikan ke jumlah volume sedimen maksimum yang bisa ditambang, didapat hari operasional pengambilan material sebanyak 427 hari (± 17 bulan). Angka ini dinilai cukup aman bilamana alam secara kontinyu mengirim/membawa material baru dari puncak gunung Karangetang, sehingga akan terus mengisi volume tampungan dan siap diambil lagi. Akan tetapi kenyataan di lapangan, penambang menggali material sampai di dasar lantai kolam olak BPS 1. Hal ini jika tidak dikendalikan dengan baik akan membahayakan konstruksi BPS. Sehingga untuk itu disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Membuka areal penambangan baru di hulu BPS 1. 2. Mengarahkan penambang agar tidak hanya mengambil material di hilir BPS 1, tapi juga lebih bergeser ke arah hulu BPS 2. 3. Areal penambangan BPS 1 – BPS 2 diperluas ke samping kiri dan kanan sehingga dapat meningkatkan kapasitas tampung material sedimen.
240
4. Membuka areal penambangan baru di hulu BPS 3, yang lebih dekat ke arah kota dan akses jalan yg lebih pendek. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari pengamatan lapangan dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut; 1. Ketiga bangunan pengendali sedimen (BPS) masih berdiri dengan kokoh dan telah berfungsi dengan baik. 2. Efektivitas BPS dalam mengendalikan sedimen sangat baik, sehingga kota Ulu Siau bisa berkembang dengan cepat dan penduduknya lebih merasa aman dalam menghadapi bahaya aliran sedimen. 3. Aktivitas penambangan material, telah berpengaruh sangat positip bagi peningkatan pendapatan masyarakat, pembangunan kota dan konservasi lingkungan. Saran. Saran yang perlu disampaikan dalam kajian ini yaitu perlunya pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan penambangan, sehingga keseimbangan antara supply dan pengambilan material sedimen tetap terjaga, dengan demikian bagunan pengendali sedimen (BPS) tetap aman secara konstruksi .Juga diperlukan perawatan secara berkala terhadap konstruksi BPS, sehingga kerusakan-kerusakan kecil yang terjadi segera diperbaiki.
REFERENSI Globetek Glory Consultan CV, 2003, Laporan Pengukuran dan Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen di Pulau Siau, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Proyek Pengendalian Banjir dan Pengaman Pantai Sulawesi Utara, Laporan Akhir. Tiny Mananoma, Sudjarwadi, Djoko Legono, 2005, Prediksi Transport Sedimen di Sungai Guna Pengendalian Daya Rusak Air, disajikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan XXII HATHI, 23-25 September 2005,Yogyakarta. Tiny Mananoma, Sudjarwadi, Djoko Legono, Adam Pamudji Rahardjo 2006, Manajemen Sungai Torrential Guna Pengendalian Kerusakan DAS, disajikan pada Konferensi Nasional Peran Teknik Sipil Dalam Pemberdayaan DAS yang Berkelanjutan, 25 Pebruari 2006, Jurusan Teknik Sipil FT UNS, Surakarta. Raya Konsult, PT, 2011, SID Pengendali Banjir dan Sedimen Pulau Siau, Satuan Kerja Balai Wilayah Sungai Sulawesi I, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Laporan akhir.
241
Pengkajian Penanggulangan Laju Sedimentasi Waduk Selorejo Dengan Penerapan Teknologi Sabo Dyah Ayu Puspitosari1*, Ika Prinadiastari1, dan Erwando Rachmadi2 1
Calon Peneliti Balai Sabo, Puslitbang Sumber Daya Air, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum 2
Perum Jasa Tirta I
*
[email protected]
Intisari Waduk Selorejo berada pada alur K. Konto, DAS K. Brantas di Kecamatan Ngantang ± 50 km dari Malang, terletak antara G. Anjasmoro, G. Butak dan G. Kawi. Luas daerah pengatusan waduk 236 km2, luas genangan 237 ha, dengan puncak di G. Anjasmoro dan G. Butak. Air bersumber dari K. Konto dan K. Kwayangan. Waduk berfungsi sebagai pengendali banjir, penyedia air PLTA, pariwisata, perikanan, serta suplesi PLTA Mandalan dan PLTA Siman di hilir waduk. Sejak beberapa tahun terakhir, waduk mengalami sedimentasi terutama dari Sub DAS K. Konto. Volume efektif waduk 50,10 juta m3 tahun 1970, tahun 2011 tersisa 38,11 juta m3, volume tampungan mati 12,2 juta m2 tahun 1970, tahun 2011 tersisa 1,70 juta m3. Laju sedimentasi waduk bila tidak dikendalikan, akan memperpendek umur waduk rencana. Untuk menanggulanginya, telah dibuat 11 bangunan sabo, salah satunya Sabodam Tokol dengan tinggi efektif 11 m dan kapasitas tampungan sedimen cukup besar. Dari hasil kajian terhadap bangunan sabo di sepanjang K. Konto, pengendalian sedimentasi cukup efektif, terlihat dari sedimentasi di semua bangunan sabo yang ada. Namun, masih ada beberapa bangunan yang sering mengalami kerusakan akibat banjir lumpur yang mengangkut batu-batu besar pada musim penghujan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dilakukan pengkajian terhadap bangunan sabo yang ada. Kata kunci: waduk, laju sedimentasi waduk, teknologi sabo, bangunan sabo, penanggulangan.
242
PENDAHULUAN Latar Belakang Waduk Selorejo adalah salah satu waduk yang terletak di DAS K. Brantas, tepatnya pada aliran sungai K. Konto di Kecamatan Ngantang yang terletak ± 50 km dari Kota Malang diantara G. Anjasmoro, G. Butak, dan G. Kawi. Waduk Selorejo memiliki luas daerah pengatusan 236 km2 dan luas daerah genangan 237 ha. Fungsi waduk adalah sebagai pengendali banjir, penyedia air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Selorejo, pariwisata, perikanan, dan suplesi PLTA Mandalan dan PLTA Siman pada bagian hilir Waduk Selorejo. Air waduk berasal dari K. Konto dan K. Kwayangan dengan total rata-rata curah hujan mencapai 2500 mm/tahun. Lingkungan alam dari catchement area waduk menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap erosi maupun sedimentasi yang dapat berdampak pada kapasitas tampungan Waduk Selorejo. Waduk Selerejo sejak beberapa tahun ini mengalami permasalahan menurunnya kapasitas tampungan waduk akibat peningkatan laju sedimentasi yang disebabkan oleh angkutan sedimen hasil erosi lahan pada aliran sungai K. Konto menuju Waduk Selorejo. Kapasitas tampungan mati (dead storage) dan volume efektif waduk mengalami penurunan secara signifikan. Kapasitas tampungan mati (dead storage) waduk pada tahun 1970 sebesar 12,50 juta m3 mengalami penurunan menjadi 1,70 juta m3 pada tahun 2011 sedangkan volume efektif waduk pada tahun 1970 sebesar 50,10 juta m3 mengalami penurunan menjadi 36,41 juta m3 pada tahun 2011. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi laju sedimentasi Waduk Selorejo adalah dengan dibuatnya 11 bangunan pengendali sedimen berupa checkdam pada bagian hulu Waduk Selorejo di K. Konto. Permasalahan Permasalahan yang terjadi antara lain: a) Menurunnya kapasitas tampungan Waduk Selorejo disebabkan oleh angkutan sedimen hasil erosi lahan pada DAS K. Konto. b) Sebagian checkdam mengalami kerusakan ringan maupun berat. Maksud dan Tujuan Studi kasus ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi bangunan pengendali sedimen yang telah dibuat di bagian hulu Waduk Selorejo pada alur K. Konto dalam mengurangi laju sedimentasi Waduk Selorejo sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui penyebab kerusakan bangunan pengendali sedimen, mendapatkan solusi penanggulangan sedimentasi dan cara-cara perbaikan kerusakan bangunan pengendali sedimen yang terjadi. Lokasi Kegiatan Kegiatan studi kasus ini dilakukan di alur sungai K. Konto pada bangunan pengendali sedimen mulai dari CD Mantung 5 sampai Waduk Selorejo.
243
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Waduk Waduk adalah salah satu banguanan air yang dibuat oleh manusia pada permukaan tanah yang berfungsi sebagai penampung air saat terjadi kelebihan air pada musim penghujan dan penyuplai air saat terjadi musim kemarau. Waduk memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut (http://eprints.undip.ac.id dan Susilo, H.,2008) : a. Kapasitas tampungan waduk (reservoir capacity)
Kapasitas tampungan waduk adalah kemampuan suatu waduk untuk dapat menampung sejumlah air sampai dengan batas pada tinggi normal. Kapasitas tampungan waduk merupakan volume total waduk yang terdiri dari volume hidup/efektif waduk (live storage) dan volume mati waduk (dead storage).
b. Volume hidup/efektif (live storage)
Volume hidup/efektif waduk (live storage) adalah tampungan waduk yang terletak antara tinggi muka air (TMA) normal dengan tinggi muka air (TMA) minimum.
c. Volume mati (dead storage)
Volume mati waduk (dead storage) adalah tampungan waduk yang terletak di bawah tinggi muka air (TMA minimum).
d. Tinggi normal
Tinggi normal adalah elevasi muka air sampai dengan elevasi mercu (spill way).
Sumber : http://eprints.undip.ac.id
Gambar 1 Deskripsi karakteristik pada suatu waduk
244
Alternatif Penanganan Sedimentasi Waduk Upaya penanganan sedimentasi pada Waduk Selorejo dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Soesanto, M.H., 2006): a. Pembuatan checkdam di hulu waduk. Checkdam di hulu waduk berfungsi untuk menampung dan menahan sedimen dalam jangka waktu sementara atau tetap sehingga sedimen yang masuk ke dalam waduk dapat dikurangi jumlahnya, serta mengatur kemiringan dasar sungai sehingga mencegah terjadinya penggerusan dasar sungai. b. Perencanaan bangunan harus direncanakan dan dibuat sebaik mungkin agar dapat menghindari terjadinya endapan sedimen di depan bukaan. c. Pengerukan waduk yang dilakukan secara kontinyu dapat mengurangi endapan sedimen di waduk. Bangunan Penahan Sedimen (Sabodam) Bangunan Penahan Sedimen adalah salah satu bangunan pengendali sedimen yang berfungsi untuk menampung dan mengendalikan aliran sedimen di sungai serta menahan endapan sedimen yang telah mengendap di hulu bangunan. Selain itu, sabodam juga berfungsi untuk mengendalikan laju angkutan sedimen, mengendalikan stabilitas morfologi sungai, dapat memperkecil kemiringan dasar sungai di bagian hulu aliran sungai, dapat mengarahkan aliran pada bagian hilir aliran sungai, dan mengendalikan kecepatan debit sedimen agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan sungai dan prasarana sumber daya air lainnya, kerugian harta benda dan korban jiwa akibat aliran sedimen berlebih. Sabodam juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain asalkan tidak mengganggu fungsi utamanya, antara lain sebagai jembatan penyeberangan, pengambilan air dan lain-lain. (SNI, 2004). Pengendalian Sedimentasi dengan Sabodam Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang terjadi akibat transportasi dengan media air, angin, es, atau gletser pada suatu daerah cekungan. Hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut oleh air sungai adalah berupa delta yang terdapat pada mulut-mulut sungai. Endapan sedimen (sedimentary deposit) merupakan material padat yang terakumulasi pada permukaan bumi atau dekat dengan permukaan bumi pada kondisi tekanan dan temperatur rendah (http:// anggunendras.blogspot.com). Pada prinsipnya, pengendalian sedimen dengan bangunan sabo adalah menahan sebagian sedimen di bagian hulu sungai (daerah produksi), mengendalikan fluktuasi dasar sungai di bagian tengah (daerah transportasi) dan menampung sedimen di bagian hilir (daerah deposisi) dan mengalirkan sisa sedimen ke hilir, yaitu sungai utama atau laut (Takahashi, T, 2007).
245
METODOLOGI STUDI Metodologi yang dilakukan pada studi kasus ini adalah dengan mengidentifikasi permasalahan dalam penanggulangan laju sedimentasi Waduk Selorejo dengan melakukan observasi langsung di lapangan dan mengumpulkan data primer kondisi perubahan morfologi sungai dan kondisi terkini bangunan dengan cara mengambil foto bangunan sabo, melakukan penelitian kondisi bangunan dan menganalisis penyebab kerusakan bangunan. Disamping itu, juga melakukan pengumpulan data sekunder (data teknis) dengan konsultasi bersama narasumber dan instansi terkait, yaitu Perum Jasa Tirta I Malang. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis dan intepretasi data, baik primer maupun sekunder. Langkah terakhir yang dilakukan adalah merumuskan kesimpulan dan memberikan saran. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Kondisi Terkini Bangunan Pengendali Sedimen di K. Konto Secara garis besar, kondisi terkini 11 bangunan pengendali sedimen yang telah dibangun pada bagian hulu Waduk Selorejo di K. Konto dijabarkan pada tabel berikut ini. Tabel 1 Kondisi terkini bangunan pengendali sedimen di K. Konto No
Nama Bangunan
Kondisi Bangunan Baik Cukup Rusak Hancur/ Hilang (A) (B) (C) (D)
1 2
CD Mantung 5 CD Mantung 1
√ √
3
CD Lebaksari 9
√
4 5 6 7
CD Kedungrejo 10 CD Kedungrejo 14 CD Kedungrejo 15 CD Ngeprih 17
√
8
CD Ngeprih 18
√
9 10
CD Ngeprih 18A CD Kaweden 19
√
11
CD Tokol
√
√
√ √
√
Keterangan Tebing kanan sebagian jebol. Bagian dinding tepi kanan subdam sebagian jebol. Bagian dinding tepi kiri pada subdam sebagian jebol, mercu subdam mengalami abrasi, mercu subdam mengalami patah pada bagian kiri, tanggul tererosi dan pohon-pohon tumbang. Bangunan tidak terlihat lagi. Bangunan tidak terlihat lagi. Dalam proses perbaikan. Bagian dinding tepi kiri rusak, mercu subdam ter- abrasi. Bagian tebing kiri bangunan menggantung, Bangunan tidak terlihat lagi. Bagian dinding tepi kiri patah dan mercu subdam pada bagian tengah hancur. Perkuatan tebing saluran induk rusak, mercu subdam terabarasi, lubang drainase tersumbat oleh sedimentasi, hanya berfungsinya 1 pintu dari 3 pintu yang ada.
246
Kriteria kondisi terkini bangunan pengendali sedimen di K. Konto adalah sebagai berikut: 1) Baik (A) : komponen bangunan dalam kondisi baik, tidak terdapat kerusakan yang berarti, dan bangunan berfungsi penuh. 2) Cukup (B) : komponen bangunan dalam kondisi cukup baik, terdapat kerusakan-kerusakan ringan, dan bangunan masih berfungsi walaupun tidak maksimal. 3) Rusak (C) : komponen bangunan dalam kondisi rusak, terdapat kerusakan
kerusakan berat, dan bangunan masih berfungsi walaupun tidak maksimal.
4) Hancur/Hilang (D) : komponen bangunan dalam kondisi hancur/hilang, terdapat kerusakan-kerusakan berat, dan bangunan tidak berfungsi sama sekali. Dari kondisi terkini 11 bangunan pengendali sedimen yang telah dibangun terlihat bahwa penanggulangan laju sedimentasi pada Waduk Selorejo dengan menggunakan teknologi sabo cukup efektif. Hal ini terlihat dari tertampungnya angkutan sedimen di semua checkdam yang telah dibangun. Fungsi bangunan dalam mengurangi laju sedimentasi akan jauh lebih efektif jika bangunan diperbaiki sesuai dengan desain bangunan pengendali sedimen sesuai SNI 2851:2004 tentang Tata Cara Perencanaan Teknis Bendung Penahan Sedimen. Analisis Perkiraan Umur Waduk Dalam menentukan perkiraan umur waduk saat kapasitas tampungan mati (dead storage) dan volume efektif Waduk Selorejo habis atau nol dilakukan analisis berdasarkan data yang telah diperoleh dari Perum Jasa Tirta I Malang dengan menggunakan regresi linear. a) Perkiraan umur waduk saat kapasitas tampungan mati (dead storage) nol/habis Data kapasitas tampungan mati (dead storage) Waduk Selorejo pada tahun 1970 sampai dengan 2011 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2 Data kapasitas tampungan mati (dead storage) Waduk Selorejo Tahun
Dead Storage (juta m3)
1970
12,50
2007
2,03
2009
1,88
2011
1,70
Sumber : Perum Jasa Tirta I Malang
Analisis data yang telah dilakukan menggunakan regresi linear memperoleh hasil seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.
247
(2032)
(2007)
Gambar 2 Grafik hubungan kapasitas tampungan mati dengan umur waduk Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada saat umur waduk mencapai 25 tahun setelah tahun 2007, yaitu pada tahun 2032, kapasitas tampungan mati (dead storage) Waduk Selorejo akan habis/nol. b) Perkiraan umur waduk saat volume efektif Waduk Selorejo nol/habis Data volume efektif Waduk Selorejo pada tahun 1970 sampai dengan 2011 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3 Data volume efektif Waduk Selorejo Tahun
Volume (juta m3)
1970
50,10 39,83 37,73 36,41
2007 2009 2011
Sumber : Perum Jasa Tirta I Malang
Analisis data yang telah dilakukan menggunakan regresi linear memperoleh hasil seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.
248
Gambar 3 Grafik hubungan volume efektif dengan umur waduk Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada saat umur waduk mencapai 46 tahun setelah tahun 2007, yaitu pada tahun 2053, volume efektif Waduk Selorejo akan habis/nol. KESIMPULAN Dari studi kasus tentang efektifitas bangunan pengendali sedimen yang telah dibangun pada bagian hulu Waduk Selorejo di alur K. Konto untuk menanggulangi laju sedimentasi pada Waduk Selorejo, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Penanggulangan laju sedimentasi pada Waduk Selorejo dengan teknologi sabo cukup efektif, hal ini terlihat dari sedimentasi (pengumpulan material sedimen) yang terjadi di semua bangunan pengendali sedimen yang ada meskipun masih ada beberapa bangunan yang sering mengalami kerusakan akibat banjir lumpur yang mengangkut batu-batu besar pada musim penghujan. 2. Diperkirakan mulai tahun 2032 setelah kapasitas tampungan mati (dead storage) Waduk Selorejo habis/nol, volume efektif waduk akan mengalami penurunan yang lebih cepat dan dimungkinkan sebelum tahun 2053, volume efektif waduk akan habis/nol. SARAN Saran-saran yang bisa diberikan pada studi kasus ini, antara lain : 1. Untuk mendesain bangunan pengendali sedimen sebaiknya mengacu pada SNI
2851:2004 tentang Tata Cara Perencanaan Teknis Bendung Penahan Sedimen.
2. Perlu dilakukan pemantauan berkala terhadap bangunan-bangunan yang ada
sehingga apabila terjadi kerusakan dapat segera diketahui dan direncanakan pekerjaan perbaikannya.
3. Perlu direncanakan kegiatan konservasi lahan secara terpadu antara
pemerintah kabupaten, instansi terkait, masyarakat dan Perum Jasa Tirta I agar penanggulangan erosi lahan pada DAS Kali Konto hasilnya dapat lebih efektif.
249
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Kepala Balai Sabo, Tim Survei dari Balai Sabo, Direktur Perum Jasa Tirta I Malang serta rekan-rekan dari Perum Jasa Tirta I Malang yang telah membantu kami sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. REFERENSI 2012. Bab II Dasar Teori. http://eprints.undip.ac.id/34513/5/1501_chapter_II.pdf. (diunduh pada 31 Agustus 2012 pukul12.49). Endras, A. 2011. Ilmu Alamiah Dasar. http://anggunendras.blogspot.com/2011/10 /pengertian-sedimentasi-dan-banjir.html. (diunduh pada 03 September 2012 pukul 10.56). SNI 03-2851-1991 Rev.2004. Tata Cara Perencanaan Teknis Bendung Penahan Sedimen. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Soesanto, MH., Susanti, T. 2006. Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen Waduk Selorejo Kabupaten Malang. Universitas Diponegoro. Semarang, Jawa Tengah. Sumaryono, A., dkk. 2012. Laporan Advis Teknik Pengendalian Sedimen di K. Konto Laju Sedimentasi Waduk Selorejo Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Balai Sabo. Yogyakarta. Susilo, H. 2008. Pengembangan Sumber Daya Air, Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana. http://kk.mercubuana.ac.id/filles/11035-7299384653888.doc (diunduh pada 31 Agustus 2012 pukul 12.30). Takahashi, T., 2007. Debris Flow, Mechanics, Prediction and Countermeasures, Routledge Taylor & Francis Group, London, UK.
250
Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XXIX, Bandung
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar L1 Kondisi tebing kanan checkdam Mantung 5
Gambar L2 Kerusakan dinding tepi kanan subdam checkdam Mantung 1
Gambar L3 Kondisi checkdam Lebaksari 9
Gambar L4 Tebing kiri menggantung pada checkdam Ngeprih 18
Gambar L5 Situasi Waduk Selorejo 1
Gambar L6 Situasi sungai K. Konto dari jembatan Mantung sampai Waduk Selorejo
251
Sub Tema 3 Pengembangan Energi Berbasis Sumber Daya Air (SDA)
253
Simulasi Pengembangan Energi Listrik Berbasis Gelombang Pasang Surut Di Teluk Ambon Nawawi Badri Saimima1, Radianta Triatmadja2, dan Nur Yuwono2 1) 2)
Universitas Iqra Buru Namlea, Maluku
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Intisari Gelombang adalah manifestasi dari energi yang ada pada materi atau bergerak melalui materi. Energi gelombang pasang surut dibangkitkan oleh gaya tarik menarik antara bumi-bulan-matahari yang sifatnya periodik dalam bentuk energi potensial dan energi kinetik. Energi tersebut bersifat terbarukan dan murah dan bahkan gratis sehingga perlu diperhitungkan pemanfaatannya. Pada penelitian ini, dilakukan kajian energi gelombang pasang surut di Teluk Ambon saat Neap Tide dan Spring Tide (masing-masing 24 jam), untuk memperoleh pola arus pasang surut dan gambaran potensi energi listrik dari prosesnya. Simulasi dilakukan secara numerik (Model Matematik Gelombang Panjang) menggunakan Metode Karteristik Interpolasi Kuadratik dengan bahasa pemograman Visual Basic (VB). Input gelombang pada syarat batas terbuka yang bekerja pada mulut teluk sementara di sekitar teluk dianggap sebagai syarat batas tertutup dan reflektif. Kondisi batas reflektif sangat baik diterapkan pada gelombang panjang, seperti gelombang pasang surut. Pola arus dimodelkan dalam bentuk dua dimensi dengan asumsi, arus hanya dipengaruhi oleh pasang surut. Simulasi dilakukan pada kondisi sebelum rekayasa dan kondisi rekayasa saluran dengan lebar saluran S = 150 m, menggunakan ∆s = 200 m; ukuran grid (80 x 80); ∆t = 0,9 detik (Cr = 0,345) dan kedalaman minimum komputasi damin = -6,7 m. Daya dari model dievaluasi dengan rumus P = 9,81 Qh (KW), dimana Debit dalam m3/det dan head dalam m. Daya maksimum akibat pasang-surut diperoleh sebesar 1,173.65 KW sedang daya rata-rata per jam pada salah satu segmen sebesar 622.24 KW. Simulasi menunjukkan bahwa untuk teluk Ambon, efisiensi konversi energi kurang efisien. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya selisih debit Q sebelum adanya konversi energi dengan debit Q setelah adanya konversi energi sebesar 64.98 m3/det, akibat penyempitan pada lokasi generator. Dalam hal ini, maka investasi konversi energi gelombang pasang surut baru akan layak jika umur bangunan relatif lama dengan perawatan yang minimal. Kata kunci: energi, konversi, pasang-surut, metode karakteristik, simulasi numerik, Teluk Ambon
254
PENDAHULUAN Energi gelombang pasang surut merupakan energi terbarukan yang pada saatnya akan semakin diperlukan dan efisien. Beberapa keuntungan energi gelombang pasang surut dibanding energi listrik tenaga air lainnya adalah : 1. Dapat diprediksi dan dipastikan keberadaannya dengan tepat. Energi listrik tenaga air lainnya belum tentu dapat diprediksi dengan tepat karena tergantung pada musim yang sering berubah. 2. Merupakan energi terbarukan yang bertahan ribuan bahkan mungkin jutaan tahun. Energi listrik tenaga air lainnya dibatasi dengan berbagai masalah diantaranya sedimentasi kedalam waduk atau tampungannya 3. Merupakan alternatif ketersediaan energi di dekat pantai dibanding di dataran tinggi
Gambar 1. Teluk Ambon Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyediakan enerrgi gelombang psang surut dari kecil hingga besar. Pasang surut di Teluk Ambon berkisar antara 0,1 m sampai 2,0 m selama pasang Neap dan spring. Gelombang pasang surut mungkin kurang efisien bila dikonversi menjadi energy untuk penggunaan jangka pendek (di bawah 50 tahun), namun menarik untuk dikaji kemungkinan mengubah energi gelombang pasang surut di Teluk Ambon karena beberapa alasan. Pertama, bentuk teluk adalah khusus di mana sekitar 75% dari mulut teluk, baik lebar dan kedalaman teluk berkurang secara signifikan memberikan situasi yang lebih baik untuk membangun pembangkit listrik tenaga pasang surut. Kedua, karena tingginya arus penyebrangan melintasi teluk, sehingga dibangun jembatan menyeberangi teluk. Saat ini ada rencana akan dibangun jembatan melintasi teluk Ambon seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Jembatan tersebut dapat dibuat multiguna dengan mengakomodasi kemungkinan pembangkit listrik pasang surut sehingga dapat meningkatkan efisiensi konstruksi. Alasan ketiga adalah fakta bahwa Ambon adalah sebuah pulau kecil, relatif jauh dari pulau-pulau lain di Indonesia sehingga energi terbarukan yang ada dilokasi sekitar Ambon menjadi sangat berharga. Teluk Ambon terletak pada posisi 1280 4’ 8” BT sampai dengan I280 17’ I5” BT dan antara 03°45’3” LS sampai 03° 37’ 25” LS. Luasa daerah penelitian ±
255
109,892 Km2 (TAD ± 11,111 Km2 dan TAL ± 98,781 Km2). Perairan Teluk Ambon memiliki topologi dasar laut majemuk dengan variasi lereng bawah laut sangat besar. Kedalaman maksimum saat surut maksimum pada TAL mencapai > 600 m, kedalaman surut minimal Ambang Poka-Galal tempat dilakukan rekayasa sekitar 12,8 m dan pada TAD mencapai 35 m. Studi ini bertujuan untuk memperoleh pola arus pasang surut di Teluk Ambon dengan Model Matematik Gelombang Panjang menggunakan Metode Karakteristik Interpolasi Kuadratik. Input gelombang pasang surut dilakukan pada mulut teluk sekaligus sebagai batas buka sementara di sekitar teluk dianggap sebagai syarat batas tertutup dan reflektif. Kondisi batas reflektif sangat baik diterapkan pada gelombang panjang, seperti gelombang pasang surut. Perubahan energi diukur pada pasang Neap dan spring masing-masing selama 24 jam. Hasilnya dapat dipakai untuk mengevaluasi potensi energi listrik yang dapat dihasilkan dari proses pasangsurut tersebut. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang adalah gerak muka air secara periodik yang merambat sehingga membentuk puncak dan lembah yang pada dasarnya merupakan menifestasi dari gaya-gaya yang bekerja pada fluida. Fenomena hidraulik sering dirumuskan dalam bentuk persamaan-persamaan diferensial sebagai model matematik. Model matematik adalah tiruan dari suatu benda, kejadian atau proses yang digunakan untuk mengamati atau mempelajari yang ditiru (prototip) baik kondisi kini maupun setelah dimodifikasia atau dikembangkan. Gelombang psang surut termasuk gelombang panjang (lihat misalnya Dean dan Dalrymple, 1984) yang modelnya atau persamaan hidrodinamikanya dapat ditulis sebagai berikut. a. Persamaan Kontinuitas: . .................................................................. (1)
b. Persamaan Gerak
(
)
(
)
U U 2 +V 2 ∂U ∂U ∂U ∂h g +U +V = −g − ∂t ∂x ∂y ∂x C z 2h
∂V ∂h gV U 2 + V 2 ∂U ∂V +V +V = −g − ∂t ∂x ∂y ∂x C z 2h
0.5
. .......................... (2)
0.5
............................. (3)
256
Persamaan compatibel yang berlaku pada ruang X-Y-T sepanjang kurva karakteristik menurut Butler (1962) adalah : . .. (4) dengan :
dengan : Persamaan kontinuitas dapat ditulis dalam bentuk : dh c 2 ∂U ∂V + + = 0 ............................................................................... (5) dt g dx dt
yang berlaku di sepanjang lintasan partikel. Persamaan 4 dan Persamaan 5 tersebut disederhanakan dalam bentuk diskrit menjadi persamaan skema numerik. Berdasarkan skema numerik dengan interpolasi linier yang dibangun oleh Townson (1967), Triatmadja (1990) mengembangkan persamaan 6 sampai 8 menggunakan interpolasi kuadratik yang cukup teliti dan efisien untuk memodelkan fenomena aliran air dangkal atau gelombang pasang surut seperti di Teluk Ambon. . (6)
. . (7)
. ... (8)
257
Elevasi muka air sesaat η akibat pasang surut . ................................................................ (9) dengan η = elevasi muka air pada saat t (m) A = jarak vertical antara bidang referensi (datum) dengan muka air rerata; MSL (Mean Sea Level) (m) Ai = amplitude komponen ke-i Ti = periode komponen ke-i (detik) φi = sudut fase komponen ke-i (o) t = waktu (detik) N = jumlah komponen yang dupakai Tenaga air (Hydropower) dapat evaluasi dengan Rumus . .............................................................................. (10) dengan Q : debit aliran (m3/s) h : selisih head (m) Skema Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Skema konsep pembangkit listrik tenaga pasang surut METODE PENELITIAN 1. Digitasi dan Penentuan Kode, ∆S, Cr dan input gelombang pasang surut. Pada tahap ini dibuat input batimetri, pembuatan code untuk kondisi batas, penentuan ∆s (ukuran grd numerik) dan ∆t (ukuran tahapan waktu) agar model stabil saat running. Peta batimetri dapat dilihat pada Gambar 3 sedang sebagian tabelnya dapat diperiksa pada Tabel 1. Hasil peng-kodean ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Pada Gambar 4 ditunjukkan posisi rencana jembatan yang sekaligus merrupakan rencana pembangkit tenaga listrik. Pada Gambar tersebut juga ditunjukkan kondisi batas yang digunakan. Gambar 5 menunjukkan perlakuan pada pintu atau saluran air yang diharapkan memutar turbin atau generator. Skema numerik dan pembuatan program didasarkan pada source code yang sudah tersedia dalam Triatmadja (2009).
258
Koefisien pasang surut di teluk Ambon diberikan pada Tabel 2, sedang contoh gelombang masukannya diberikan pada Gambar 6 dan Gambar 7. 80
70
60
50
40
30
20
10
10
20
30
40
50
60
70
80
Gambar 3. Bathimetri Teluk Ambon Tabel 1. Sebagian Hasil Diskritisasi Bathimetri & Pengkodean
Gambar 4. Peta Pengkodean Teluk Ambon. Usulan lokasi pembangkit tenaga listrik sama dengan lokasi usulan jembatan
259
Gambar 5. Sistem Pengkodean Pada Saluran/Kondisi Rekayasa untuk saluran bagian luar dan untuk saluran bagian dalam Tabel 2. Koefisien Pasang Surut Teluk Ambon Konstanta T (jam) T (detik) A (cm) beda fase
M2 12.42 44,712 47 318
Semi Diunal S2 N2 12.00 12.66 43,200 45,576 17 10 250 355
K2 11.97 43,092 5 266
K1 23.935 86,166 29 36
Diurnal O1 25.82 92,952 21 47
P1 24.07 86,652 9 41
Zo
130
Gambar 6. Grafik Neap Tide
Gambar 7. Grafik pasang tunggang HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Perubahan arus dan karakter gelombang pasang surut Hasil simulasi menunjukkan bahwa pembuatan pembangkit tenaga listrik yang mengatur aliran pada lokasi seperti ditunjukkan pada Gambar 4 mengubah karakter gelombang pasang surut. Air pasang yang semula mengisi daerah ujung teluk
260
terhambat oleh adanya penyempitan karena adanya pintu air dan mengurangi masa air. Dengan demikian energi yang dibangkitkan lebih kecil dibanding energi pasang surut yang semula terjadi. Gambar 8 dan 9 serta Gambar 10 dan 11 menunjukkan perbedaan pola pasang surut saat pasang dilihat dari ujung teluk Ambon.
Gambar 8. Muka air simulasi saat Spring pada Kondisi sebelum Rekayasa menit ke 680
Gambar 9. Muka air simulasi saat Spring pada Kondisi Rekayasa 680
Gambar 10. Muka air simulasi saat Spring pada Kondisi sebelum Rekayasa menit ke 1120
261
Gambar 11. Muka air simulasi saat Spring pada Kondisi Rekayasa menit 1120 Gambar 12 dan 13 menunjukkan fluktuasi debit dan kecepatan sebelum dan setelah adanya rekayasa pembangkit tenaga listrik dari gelombang pasang surut. Tampak bahwa debit dan kecepatan pasang surut berkurang secara signifikan setelah adanya pembangkit listrik.
Gambar 12. Grafik Fluktuasi debit pasang-surut pada kondisi asli VS Kondisi Rekayasa
Gambar 13. Grafik Fluktuasi kecepatan akibat pasang-surut pada kondidi asli VS kondisi rekayasa
262
2. Energi gelombang pasang surut di teluk Ambon yang dapat dimanfaatkan Daya gelombang pasang surut dapat dihitung berdasarkan debit dan selisih head setiap segmen waktu seperti ditunjukkan oleh Persamaan 10. Salah satu contoh hitungan misalnya ditunjukkan pada Gambar 14. Bidang A dibawah garis daya pada kondisi spring saluran (rekayasa) dari jam ke 9,3 sampai dengan jam ke 16,0 (6,7 jam) sebesar 4,168.99 KWh, sehingga daya rata-rata per jam pada segmen ini sebesar 622.24 KW. Perhitungan besar energi yang bisa diambil pada segmen-segmen yang lain selanjutnya dapat dihitung.
Gambar 14. Grafik Fluktuasi Daya yang terjadi akibat pasang-surut Hasil hitungan secara keseluruhan menunjukkan bahwa efisiensi daya gelombang pasang surut di teluk Ambon memang tidak terlalu besar, dan mungkin kurang efisien. Hasil hitungan di atas juga belum memperhitungkan kehilangan energi dan efisiensi turbin yang memperkecil daya produksi listrik. Namun demikian energi tersebut adalah energi terbarukan yang selalu ada yang akan menjadi murah manakala nilai investasi sudah menjadi tidak signifikan. Selain itu teluk Ambon yang digunakan sebagai kasus hanyalah salah satu kemungkinan dibangunnya pembangkit listrik tenaga pasang surut. Masih banyak kemungkinan lain energi serupa yang ada di Indonesia yang lebih menguntungkan. Dahulu, energi surya masih merupakan energi yang mahal karena mahalnya panel surya, namun semakin hari dengan semakin tinggi kebutuhan energi listrik, semakin berkurangnya energi fosil, meningkatnya kebutuhan energi yang bersih dan ramah lingkungan, maka energi surya semakin banyak digunakan. Pada masanya nanti energi gelombang pasang surut akan semakin efisien dan semakin dibutuhkan. Oleh karena itu riset dan pengembangan keteknikan terkait dengan energi ini perlu dikembangkan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tidak semua energi pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik. Efisiensi tergantung pada karakter pasang surut, luasan area kolam pasang surut, serta infrastruktur.
263
2. Hasil simulasi pada jam ke 19,7 saat spring pada kondisi rekayasa menunjukkan bahwa ada terjadi kehilangan daya, yaitu dengan adanya selisih debit Q asli dengan debit Q rekayasa sebesar 64.98 m3/det, yang artinya bahwa ada volume teluk yang seharusnya terisi saat pasang kondisi asli ternyata tidak terisi penuh saat kondisi rekayasa akibat air akan segera surut. 3. Daya pada saat spring kondisi rekayasa dari jam ke 9,3 sampai dengan jam ke 16,0 (6,7 jam) sebesar 4,168.99 KWh, daya rata-rata per jam pada segmen ini sebesar 622,24 KW. Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memilih daerah-daerah yang potensial untuk pembangkitan listrik tenaga gelombang. Evaluasi dan simulasi perlu lebih dicermati dengan memasukkan berbagai faktor seperti pengaruh turbin pada hidrodinamika, efisiensi turbin serta berbagai aspek lainnya. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang mendanai penelitian ini melalui program BPPS. Referensi Butler. D.S., 1960, The Numerical Solution of Hyperbolic System of Partial differential Equation in Three Independent Variables, Proc. Of The Royal Society of London, Vol A255:232-252 Dean,R.G. and Dalrymple, R.A, 1991, Water Wave Mechanics for Engineers and Scientist, Advanced Series on Ocean Engineering World Scientist, New Jersey. Townson. J.M., 1967, Two Dimensional Long Wave Propagation in Estuaries, PhD Thesis, University of Aberdeen. Triatmadja, R, 1990, Numerical and Physical Studies of Shallow Water Wave with Special Refference to Landslide Generated Wave and The Method of Charateristic, Ph. D Thesis, University of Strathclyde, Glasgow, UK. Triatmadja, R, 2009, Model Matematik Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
264
Ekspansi Tenaga Air Untuk Ketahanan Energi Melalui Pengoperasian Waduk Tunggal Studi Kasus Waduk Paya Bener Takengon Azmeri Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
[email protected]
Intisari Pembangunan Waduk Paya Bener diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Takengon. Selain untuk kebutuhan air bersih, Waduk Paya Bener memiliki debit air sungai yang kontinu dan tinggi jatuh air yang berpotensi untuk menghasilkan energi dari pembangkit listrik tenaga air. Sehingga selain dapat memenuhi kebutuhan air bersih juga diharapkan akan menghasilkan energi listrik dari potensi tenaga air yang tersedia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka studi ini bertujuan untuk menerapkan fungsi tujuan memaksimalkan total energi dari waduk dengan memperhatikan fungsi kendala terhadap karakteristik waduk yang ada untuk memperoleh energi listrik sekaligus dapat memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat di hilirnya. Hasil studi ini diharapkan dapat membantu manajemen Waduk Paya Bener dalam menentukan rencana pengoperasian untuk ketahanan energi dan pelayanan kebutuhan air bersih masyarakat kota Takengon. Total energi listrik yang dihasilkan berdasarkan inflow waduk pada tahun kering sebesar 291 MWH dan pada tahun normal sebesar 407 MWH sampai tahun 2030. Terjadinya penurunan produksi energi sampai jangka panjang lebih disebabkan karena konflik kepentingan dengan kebutuhan air bersih. Produksi yang dihasilkan dari pembangkit listrik pada Waduk Paya Bener sangat dibutuhkan segera untuk dapat meningkatkan ketahanan energi secara lokal. Kata kunci: ekspansi tenaga air, operasi waduk, Waduk Paya Bener
PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk kota Takengon cenderung bertambah seiring dengan permintaan atas kebutuhan dasar air bersih dan kebutuhan lainnya termasuk kebutuhan akan energi listrik. Sementara di lain pihak ketersediaan debit sungai konstan. Pemenuhan kebutuhan air bersih bulanan kota Takengon hanya 59,63% yaitu kebutuhan air sebesar 212.987,52 m3/bulan sementara ketersediaan air hanya 127.008,00 m3/bulan (Ampera, 2010) Menghadapi kekurangan tersebut di hulu Sungai Arul Pestak direncanakan Waduk Paya Bener. Site waduk berada pada ketinggian 1500 meter dari permukaan
265
laut, dengan beda tinggi antara kota dan waduk mencapai 300 meter, serta luas Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 4 km2. Lokasi waduk ditempuh dengan jarak 6 km dengan kota Takengon (Ampera, 2010). Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan memberikan informasi bahwa Waduk Paya Bener memiliki debit air sungai yang kontinu dan tinggi jatuh yang berpotensi untuk menghasilkan energi dari pembangkit tenaga air. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka studi ini bertujuan untuk memaksimalkan total energi dari waduk dengan memperhatikan batasan-batasan terhadap karakteristik waduk yang ada untuk memperoleh energi listrik. Tujuan di atas tentunya dengan tetap dapat memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat di hilirnya. Hasil studi ini diharapkan dapat membantu manajemen Waduk Paya Bener dalam menentukan rencana pengoperasian untuk ketahanan energi dan pelayanan kebutuhan air bersih kepada masyarakat kota Takengon. Lingkup studi ini adalah untuk menganalisa potensi energi listrik dari Waduk Paya Bener terhadap kapasitas rencana waduk dan untuk menyediakan air bersih domestik dan pemeliharaan biota sungai (maintenace flow). Kebutuhan air bersih kota Takengon akan diproyeksikan dari tahun 2012 sampai 2030. tinjauan PUSTAKA Teknik optimasi dalam pengoperasian waduk Mengoptimalkan suatu kondisi dalam pengelolaan sumber daya air diperlukan suatu evaluasi model pengoperasian waduk dengan berbagai modifikasi. Sistem pengoperasian waduk secara optimal memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan air di hilir (Azmeri, 2008). Terdapat tiga tahap yang perlu dilakasanakan untuk memecahkan suatu masalah kedalam bentuk model optimasi yang benar yaitu: a. Mengidentifikasi fungsi objektif, merupakan fungsi yang dioptimasi, sebagai f(x) dapat berupa maksimum, minimum, atau memperoleh kesesuaian dengan suatu nilai (value). b. Mengidentifikasi decision variabel secara kuantitatif dan menentukan ketelitiannya, sebagai variabel keputusan (x). c. Mengidentifikasi faktor-faktor tertentu yang memberikan batasan (constraint) bagi decision variabel maupun sumberdaya air. Tahapan ini menghasilkan persamaan kendala (constraints) yaitu persamaan aljabar atau ketidaksamaan, sebagai g(x). Optimasi memiliki ungkapan matematika yang menjelaskan sistem dan responnya terhadap input untuk berbagai parameter desain. Ketiga elemen dasar dalam analisa sistem disusun dalam bentuk model matematik menjadi fungsi tujuan (objective function), variable keputusan (decision variable) dan fungsi kendala (contraint function) (Ossenbruggen, 1984). Beberapa model teknik optimasi antara lain: Program Linier, Program Non Linier dan Program Dinamik.
266
Volume tampungan waduk Volume tampungan waduk diperoleh berdasarkan hasil pengukuran topografi, sehingga diperoleh bentuk hubungan elevasi waduk, luas genangan permukaan, dan volume tampungan (Wurbs, 1996). Gambar 1 merupakan kurva hubungan antara nilai elevasi/TMA (water surface elevation), volume tampungan (storage volume), dan luas genangan air (water surface area) Waduk Paya Bener. Elevasi dasar waduk Paya Bener berada pada elevasi 1540 m di atas permukaan laut.
Gambar 1. Kurva Hubungan Elevasi, Volume, dan Luas Genangan Waduk Paya Bener (Sumber: Ampera, 2010) METODOLOGI STUDI Penyusunan kerangka optimasi sistem pengoperasian Waduk Paya Bener menggunakan prinsip sebagai berikut: Fungsi tujuan (objective function) Fungsi tujuan adalah memaksimalkan total energi tahunan. Max Energi : Etotal =
. ........................................... (1)
dengan : Etotal : Produksi energi tahunan ρ : rapat massa air (1000 kg/m3) g : percepatan gravitasi (9,81 m/det2) Rt : release air waduk untuk memutar turbin pada bulan ke-t (m3) Ht : head efektif atau tinggi jatuh air efektif (m) : efisiensi turbin η 1 η2 : efisiensi generator t : periode pengoperasian waduk (detik) Fungsi kendala/batasan (constraints) 1. Batasan tinggi muka air pengoperasian Tampungan waduk yang dapat dioperasikan adalah tampungan konservasi (lifestorage). Tinggi muka air selama pengoperasian waduk harus berada di antara tinggi muka air minimum operasi (lower rule curve) dan tinggi muka air maksimum
267
(upper rule curve). Batasan tersebut diberlakukan untuk tinggi muka air waduk di periode pengoperasian dari bulan kedua (t = 2) sampai dengan akhir periode pengoperasian (t = 13). Hmin ≤ Ht ≤ Hmaks t = 2,...,13 . .............................................................. (2) dengan : Hmin : TMA minimun waduk (m3) pada elevasi 1550 m dpl Hmaks : TMA maksimum waduk (m3) pada elevasi 1562 mdpl Nilai tinggi muka air minimum operasi suatu waduk ditentukan berdasarkan elevasi terendah bangunan intake. Untuk keamanan waduk nilai ini diambil lebih tinggi dari elevasi terendah intake yang ada pada waduk tersebut. Nilai batas tinggi maksimum operasi suatu waduk ditentukan berdasarkan elevasi puncak spillway dan biasanya diambil lebih rendah dari elevasi puncak spillway. 2. Kebutuhan air di hilir waduk Release air yang keluar harus lebih besar atau sama dengan kebutuhan air di hilir waduk. Kebutuhan air di hilir waduk terdiri dari kebutuhan air bersih Kota Takengon dan kebutuhan maintenance flow. Rt ≥ Qht
...................................................................................................... (3)
dengan : : kebutuhan total di hilir pada bulan t (m3). Qht 3. Hubungan elevasi/TMA, volume dan luas genangan waduk Hubungan antara TMA dan volume waduk adalah sebagai berikut: TMAt = a. Vtb + Htr.......................................................................................................................................................... (4) Hubungan genangan dan volume waduk adalah sebagai berikut : .
At = c. Vtd . ................................................................................... (5)
dengan : TMAt : tinggi muka air pada bulan t (m) Htr : tinggi tail race turbin (m) a.Vtb = H : tinggi jatuh air (m) a, b : konstanta a dan b diperoleh melalui regresi antara nilai H dan V At : luas genangan pada bulan t (km2) c, d : konstanta c dan d diperoleh melalui regresi antara nilai A dan V. Nilai a, b, c, d yang merupakan konstanta yang nilainya diperoleh dari hasil analisis data tampungan waduk. Persamaan (4) dan (5) merupakan bentuk persamaan non-linier, sehingga volume tampungan waduk merupakan peubah terhadap luas genangan dan tinggi muka air pengoperasian waduk. Dengan demikian maka produksi energi yang dihasilkan juga berubah-ubah setiap waktu, karena harga E = f(H).
268
4. Batasan TMA awal pengoprerasian waduk Periode awal pengoperasian Waduk Paya Bener ditetapkan pada bulan Januari. Setelah menetapkan periode awal pengoperasian waduk, maka perlu ditentukan TMA awal waduk. TMA awal di bulan Januari pada model pengoperasian Waduk Tiro adalah 1560 m. TMA tersebut dijadikan pedoman dalam mengoperasikan waduk yaitu nilai yang mendekati waduk dalam kondisi penuh yang ditinjau dari kondisi inflow bulanan yang akan masuk ke waduk. Agar air waduk dapat mencukupi untuk kebutuhan air bersih tahun berikutnya, maka perlu diupayakan agar muka air waduk pada awal pengoperasian (bulan Januari) tahun berikutnya lebih besar atau sama dengan tinggi muka air pada awal pengoperasian (bulan Januari) tahun sebelumnya. TMA13 ≥ TMA1 ............................................................................................................................................................... (10) dengan : TMA1 : tinggi muka air pada awal pengoperasian (bulan Januari) (m) TMA13 : tinggi muka air pada bulan Januari tahun berikutnya (m). Taraf muka air minimum tidak dilampaui lebih rendah, sebagai tindakan pembatasan pada waktu debit inflow waduk kurang. Taraf muka air maksimum tidak dilampaui lebih tinggi, untuk menjaga agar apabila terjadi banjir tidak akan menimbulkan bahaya. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Debit andalan (dependable Flow) Perhitungan debit sungai dilakukan dengan menggunakan metode Mock untuk DAS Arul Pestak dari data hujan tahun 1999 sampai 2008. Selanjutnya diperoleh debit andalah dari luas DAS seluas 4 km2. Debit andalan diperoleh dengan mengurutkan debit bulanan dari urutan besar ke urutan kecil (probability). Dari probabilitas dipilih debit keandalan tahun basah 20%, tahun normal 50% dan tahun kering 80%.
Gambar 4. Debit Andalan Waduk Paya Bener
269
Kebutuhan air Kebutuhan air diperhitungkan untuk keperluan air bersih baik domestik dan nondomestik, serta kebutuhan maintenance sebagai persediaan air untuk keseimbangan ekosistem sungai. Kebutuhan air bersih dihitung berdasarkan proyeksi pertambahan penduduk pada Kecamatan Bebesen, Kecamatan Kebayakan dan Kecamatan Laut Tawar. Dalam perhitungan kebutuhan air bersih diambil 78 ltr/hari/orang (Anonim, 2005). Proyeksi peningkatan kebutuhan air penduduk seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Air untuk maintenace flow adalah sebesar 10% dari total ketersediaan air tiap-tiap bulan (Azmeri, 2004). Disebabkan kebutuhan air yang dilayani hanya air bersih dan maintenance flow, maka kebutuhan air memiliki trend yang lurus sepanjang tahun. Besarnya kebutuhan air total untuk jangka waktu pendek, menengah dan panjang sampai tahun 2030 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Air di Hilir Waduk Paya Bener Tahun 2012 2015 2020 2030
Kebutuhan Air (m3/det) 0,08 0,12 0,14 0,17
Neraca air Waduk Paya Bener Analisa neraca air DAS Arul Pestak dilakukan untuk kepastian diperlukannya Waduk Paya Bener untuk memenuhi kekurangan air. Ketersediaan air serta kebutuhan air total daerah layanan sebagai neraca air Waduk Paya bener disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Neraca Air DAS Arul Pestak Dari grafik di atas pada tahun kering (Q80) mulai terjadi kekurangan air pada kondisi eksisting pada bulan-bulan kering bila dibandingkan dengan kebutuhan saat ini. Kebutuhan air yang semakin meningkat (sampai tahun 2030) menyebabkan pada tahun 2012 dan selanjutnya kekurangan air semakin tinggi. Kekurangan air tersebut dapat diatasi dengan dibangun waduk untuk menampung air pada waktu terjadi surplus air di sungai dan dapat dipakai sewaktu terjadi kekurangan air. Namun pada tahun basah tidak terjadi kekurangan air, sehingga pengoperasian waduk lebih difokuskan pada tahun normal dan kering.
270
Kehilangan air akibat evaporasi Besarnya evaporasi pada permukaan waduk dapat dihitung berdasarkan hubungan antara evapotranspirasi potensial dan evaporasi diberikan pada Tabel 1. Tabel 2.
Evaporasi pada Permukaan Waduk Paya Bener Bulan m/bulan Bulan m/bulan
Jan 0,085 Jul 0,086
Feb 0,087 Agust 0,086
Mar 0,097 Sept 0,080
Apr 0,092 Okt 0,079
Jun 0,081 Des 0,073
Mei 0,085 Nov 0,075
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa evaporasi maksimum terjadi pada Bulan Maret sebesar 0,097 m/bln, evaporasi minimum terjadi pada Bulan Desember sebesar 0,073 m/bln. Dari tabel evaporasi Waduk Paya Bener terlihat bahwa mulai bulan Januari sampai April, evaporasi yang terjadi mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut mulai memasuki musim kemarau. Mulai bulan September sampai Desember mulai mengalami penurunan dikarenakan pada bulan tersebut mulai memasuki musim hujan. Hasil optimasi pengoperasian dan produksi energi Waduk Paya Bener Optimasi pengoperasian Waduk Paya Bener dengan menggunakan program non linier memberikan informasi besarnya release air tiap bulan untuk memenuhi kebutuhan air di hilir waduk serta besarnya produksi energi yang dihasilkan. Besarnya inflow, release, dan kebutuhan air berdasarkan jenis tahun kering dan normal untuk pengoperasian tahun 2020 dan 2030 disajikan pada Gambar 6 dan 7. Inflow Normal, Release dan Kebutuhan PENGOPERASIAN TAHUN 2030
2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000
1,400 1,200 Volume (MCM)
Volume (MCM)
Inflow Normal, Release dan Kebutuhan PENGOPERASIAN TAHUN 2020
1,000 0,800 0,600 0,400 0,200
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Jun
Jul
Agts
Sept
Okt
Nop
0,000
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Jun
Jul
Agts
Sept
Okt
Nop
Des
Inflow
0,504
0,460
0,438
0,690
0,522
0,301
0,276
0,304
0,457
0,736
0,663
0,821
1,856
Release
0,503
0,454
0,498
0,499
0,504
0,474
0,488
0,490
0,484
0,517
0,497
1,201
0,389
Kebutuhan 0,773
0,699
0,767
0,768
0,775
0,730
0,751
0,753
0,745
0,796
0,765
0,804
Des
Inflow
0,504
0,460
0,438
0,690
0,522
0,301
0,276
0,304
0,457
0,736
0,663
0,821
Release
0,364
0,332
0,372
0,522
0,512
0,328
0,336
0,339
0,343
0,698
0,639
Kebutuhan 0,358
0,324
0,352
0,366
0,360
0,328
0,336
0,339
0,343
0,381
0,364
Gambar 6. Inflow, Release, dan Kebutuhan Air Tahun Normal (Tahun 2020 dan 2030) Inflow Kering, Release dan Kebutuhan PENGOPERASIAN TAHUN 2030
1,400
1,200
1,200
1,000 Volume (MCM)
Volume (MCM)
Inflow Kering, Release dan Kebutuhan PENGOPERASIAN TAHUN 2020
1,000 0,800 0,600 0,400
0,600 0,400 0,200
0,200 0,000
0,800
0,000
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Jun
Jul
Agts
Sept
Okt
Nop
Des
Inflow
0,141
0,078
0,090
0,172
0,128
0,084
0,075
0,085
0,126
0,181
0,200
0,255
1,212
Release
0,358
0,316
0,352
0,350
0,356
0,340
0,350
0,351
0,345
0,363
0,354
1,055
0,378
Kebutuhan 0,762
0,673
0,748
0,745
0,758
0,723
0,744
0,747
0,734
0,773
0,753
0,793
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Jun
Jul
Agts
Sept
Okt
Nop
Des
Inflow
0,141
0,078
0,090
0,172
0,128
0,084
0,075
0,085
0,126
0,181
0,200
0,255
Release
0,347
0,298
0,333
0,344
0,344
0,321
0,330
0,332
0,332
0,358
0,351
Kebutuhan 0,347
0,298
0,333
0,344
0,344
0,321
0,330
0,332
0,332
0,358
0,351
Gambar 7. Inflow, Release, dan Kebutuhan Air Tahun Kering (Tahun 2020 dan 2030)
271
Berdasarkan grafik 6,7 dan 8, pada tahun kering dan normal release bulanan dapat memenuhi sampai pada akhir pengoperasian pada tahun 2023. Semakin meningkatnya kebutuhan menyebabkan pada bulan-bulan kering terjadi kekurangan air, sehingga sampai pada tahun 2030 waduk tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan air secara penuh. Oleh karena itu, pada proses optimasi perlu untuk melepaskan batasan pengoperasian waduk dimana release air waduk harus lebih besar dari kebutuhan tidak dapat diterapkan setelah tahun 2023. Namun hal tersebut dapat menimbulkan kendala, apabila dalam jangka panjang inflow waduk tidak dapat dikembalikan pada elevasi air normal. 10
Inflow TAHUN KERING Release Demand
9 8
Inflow TAHUN NORMAL Relase
9
Demand
8
7
7
6
6
5
5
4
4
3
3
2
2
1
1 0
0 2012
2015
2020
2025
2012
2030
2015
2020
2025
2030
Gambar 8. Inflow, Release, dan Kebutuhan Air Tahunan (Tahun Kering dan Normal) 500
484
484
482
Produksi Energi TAHUN KERING (MWH) Produksi Energi TAHUN NORMAL (MWH)
450
350
407
401
400
350
349 311
300
283
291
250 2012
2015
2020
2025
2030
Gambar 9. Produksi Waduk Paya Bener pada Tahun Normal dan Kering Keadaan kekurangan air tersebut secara jangka panjang (tahun 2030) menyebabkan produksi energi yang dihasilkan cenderung semakin berkurang seperti yang diperlihatkan pada Gambar 9. Ada perbedaan yang terjadi pada tahun kering, dimana pada pada tahun 2020, waduk tetap dipaksa untuk memenuhi 100% kebutuhan di hilir waduk. Hal ini menyebabkan head air di waduk menjadi menurun. Hal tersebut berpengaruh secara langsung terhadap produksi energi yang menurun. Namun pada tahun 2025 dan 2030, batasan release ≥ kebutuhan di hilir dalam pengoperasian dilepas. Hal ini bertujuan untuk memperoleh hasil energi yang optimum. Pada tahun 2025 untuk tahun kering dapat memenuhi 57% dan tahun 2030 memenuhi 47% dari kebutuhan air di hilir waduk.
272
Demikian juga yang terjadi pada tahun normal. Peningkatan kebutuhan air sampai pada tahun 2030 menyebabkan waduk harus dioperasikan dengan melepas batasan release ≥ kebutuhan di hilir. Sehingga pada tahun 2025 untuk tahun normal waduk dapat memenuhi 78% dan tahun 2030 memenuhi 65% dari kebutuhan air di hilir waduk. Pelepasan kebutuhan air tersebut menyebabkan menurunnya produksi listrik. Terjadinya peningkatan produksi energi tahun 2030 dibanding 2025 disebabkan karena waduk tetap dapat memenuhi kebutuhan air sebesar 47%. Bila hanya fokus memaksimalkan energi, maka produksi listrik akan meningkat, namun berefek pada tidak ada kebutuhan air yang dapat dipenuhi di hilir waduk. Hal ini tentu kontra bila ditinjau dari tujuan awal pembangunan Waduk Paya Bener yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Oleh karena itu, operator waduk harus dapat dengan tepat menentukan relase air waduk untuk menghidari conflict of interest di antara kebutuhan air bersih dan produksi energi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan yang telah dilakukan maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Proyeksi kebutuhan air mendatang didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,1% pertahun penduduk kecamatan yang mendiami kawasan kota. Tingkat pertumbuhan ini relatif tinggi disebabkan pengembangan kawasan di Kota Takengon. b. Berdasarkan analisa neraca air yang dilakukan mulai tahun 2012 sampai 2030, menunjukkan bahwa Waduk Paya Bener memang dibutuhkan untuk menampung air pada waktu terjadi surplus air di sungai Arul Pestak dan dapat dipakai sewaktu terjadi kekurangan air. Namun pada tahun basah tidak terjadi kekurangan air. c. Berdasarkan total energi tahunan untuk tahun kering, total energi cenderung mengalami penurunan setiap tahun. Penurunan energi dikarenakan semakin banyak debit yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan di hilir yang semakin besar, sehingga menurunkan tinggi jatuh air (head). Penurunan tinggi jatuh air memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan energi. d. Pada tahun 2025 untuk tahun kering dapat memenuhi 57% dan tahun 2030 memenuhi 47% dari kebutuhan air di hilir waduk. Dan pada tahun 2025 untuk tahun normal aduk dapat memenuhi 78% dan tahun 2030 memenuhi 65% dari kebutuhan air di hilir waduk. Total energi listrik yang dihasilkan berdasarkan inflow waduk pada tahun kering sebesar 291 MWH dan pada tahun normal sebesar 407 MWH sampai tahun 2030. Produksi yang dihasilkan dari pembangkit listrik pada Waduk Paya Bener sangat dibutuhkan segera untuk dapat meningkatkan ketahanan energi secara lokal.
273
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada “Ampera” mahasiswa Magister Teknik Sipil Unsyiah yang telah ikut bersama dalam penelitian ini. REFERENSI Ampera, 2010. Studi Keandalan Waduk Paya Bener Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Bersih Kota Takengon: Tesis Magister Teknik Sipil Unsyiah, Banda Aceh. Anonim, 2005, Standar Kebutuhan Air Domestik dan Non Domestik Perkotaan Jakarta. Azmeri, 2004. Analisis Ketersediaan Air dan Sistem Operasi Waduk Suka WanaSungai Cimahi, Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Azmeri, 2008. Permodelan Trade off Pengoperasian Waduk Kaskade Menggunakan Algoritma Genetika, Disertasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Azmeri dan Saputra, M., 2011. Optimization of Water Utilization for Electric Energy at Tiro Reservoir, Pidie District , Jurnal Teknik Sipil, Volume 1, Tahun I, No. 1, September 2011, halaman 91-100, ISSN 2088-9321. Miller, E. R., 2000 : Optimization-Foudations and Applications, A WileyInterscience Publication, Canada. Ossenbruggen P. J, 1984, System Analisys for Civil Engineers, New York. Wurbs A.R 1996, Modelling and Analysis of reservior System Operations Prentice Hall PTR. Upper Saddle River NJ 07458. USA
274
Pemanfaatan Bangunan Terjun Pada Sistem Jaringan Irigasi Untuk Pengembangan Energi Mikro Hidro Melly Lukman1 , Hamzah M.ATP2, dan Abd Wahab Thaha3 1
Dosen Fak. Teknik Sipil UKI Paulus Makassar 2 BBWS Pompengan-Jeneberang 3 Dinas PSDA Sulawesi Selatan
Intisari Dalam rangka pemanfaatan sumber daya air sebagai energi yang terbarukan dalam menunjang sistem penyediaan tenaga listrik, umumnya dengan memanfaatkan air terjun alam atau dengan membangun bendungan yang memerlukan waktu yang lama sejak dimulainya studi awal sampai dengan implementasi, serta dana yang besar. Bangunan terjun yang terdapat dalam sistem jaringan irigasi mempunyai potensi besar dalam pengadaan listrik skala kecil. Studi ini mempelajari beberapa bangunan terjun pada Daerah Irigasi Lamasi yang mempunyai 5 bangunan terjun yang diperkirakan mempunyai debit dan tinggi jatuh yang mempunyai potensi pembangkit listrik mikro hidro. Hasil studi memnunjukkan bahwa bangunan terjun Pompengan 7 (BP.7a) paling cocok untuk dibangun pembangkit listrik mikro hidro dari aspek lokasi, dari análisis ekonomi dengan beberapa skenario pembiayaan, menunjukkan bahwa dengan partisipasi masyarakat sebesar 100%, dan dicicil selama 5 tahun memberikan hasil yang bagus , yakni pada tingkat discount factor 6 %, B/c ratio adalah sebesar 1,19, dan pada tingkat discount/ factor 9 %, B/C ratio sebesar 1,10, dan pada tingkat discount factor 12%, diperoleh B/C ratio 1,03, dimana IRR adalah sebesar 12,17 %. Kata kunci: bangunan terjun, sistem irigasi, mikro hidro
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan Sumber Daya Air , tidak hanya terbatas pada sistem penyediaan air bersih, kebutuhan untuk irigasi, tetapi juga untuk penyediaan energi (listrik).. Sumber daya air merupakan salah satu sumber energi listrik yang mempunyai potensi besar. Air merupakan sumber energi yang murah dan terbarukan, karena sumber daya air mempunyai energi potensil (air jatuh) dan mempunyai energi kinetik (air mengalir).
275
Pengadaan energi (listik) yang umum dilakukan , adalah dengan memanfaatkan potensi sumber daya air yang mempunyai beda tinggi berupa air terjun atau waduk. Pembangunan waduk multi guna biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun dengan pembiayaan yang sangat besar. Pemanfaatan air terjun, biasanya terkendala lokasi yang sulit dijangkau. Salah satu sumber pembangkit energi listrik berbasis sumber daya air yang dapat diimplementasi dalam waktu singkat , serta biaya yang relatif murah, adalah memanfaatkan bangunan terjun yang terdapat dalam sistem jaringan irigasi. Pada bangunan terjun yang mempunyai beda tinggi tertentu, dan debit tertentu, dapat menghasilkan energi listrik tinjauan PUSTAKA Energi yang tersimpan dalam air dapat dimanfaatkan dalam wujud energi listrik. Pemanfaatan energi air telah banyak dilakukan sejak abad 18 dengan menggunakan kincir air untuk penggilingan gandumm, penggergajian kayu dan lain sebagainya. Pada abad 19 mulai dikembangkan turbin air. Prinsip pembangkit listrik mikro hidro adalah memanfaatkan beda tinggi dan jumlah debit air per detik yang mengalir di saluran irigasi , sungai atau air terjjun. Aliran air dapat memutar poros turbin, dan menghasilkan energi mekanik, selanjutnya menggerakkan generator dan menghasilkan listrik. Pembangkit energi listrik mikro hidro adalah pembangkit listrik dengan skala kecil (biasanya kurang dari 100 kW), dengan memanfaatkan tenaga air sebagai sumber penghasil energi. Secara sederhana energi potensial air dapat dihitung sebagai berikut : E = mgh .
.................................................................................................. (1)
dengan : m = massa air g = gravitasi h = head (m) Selanjutnya, potensi daya mikro hidro dapat dihitung dengan persamaan: E = mgh .
.................................................................................................... (1)
P = gQHnn .................................................................................................... (2) dengan :
P = daya (kW) g = konstanta gravitasi (9,8) Q = debit (m3/det) H = head net (m) n = efsiensi keseluruhan (=0,5)
276
Studi DAN PEMBAHASAN (1) Studi awal , dengan mengidentifikasi bangunan air, yang mempunyai potensi (terjunan) pada sistem jaringan irigasi Lamasi Kiri. Terdapat 5 bangunan, masing-masing; Bendung Lamasi (BL0), Bangunan Terjun Lamasi 5 (BL.5a), Bangunan Terjun Lamasi 7 (BL.7x), Bangunan Pompengan 5 (BP. 5a) , dan Bangunan Terjun Pompengan 7 (BP. 7a) (2) Analisis Kemungkinan Pengembangan Mikro Hidro, Analisis kemungkinan ini meninjau dari aspek lokasi dan pola permukiman penduduk. (3) Bangunan Terjun Terpilih dianalisis kemungkinan ekonomisnya. Hasil Studi Hasil analisis lokasi menunjukkan bahwa, bangunan Bendung Lamasi terletak di jalan regional, Bangunan Terjun Lamasi 5, pola permukimannya mengelompok, tapi tidak terkonsentrasi, dan jarak jangkauan pelayanan listrik ke permukiman relative jauh. Bangunan Terjun Lamasi 7, pola permukiman relatif terkonsentrasi dan jarak jangkauan untuk pelayanan listrik dari bangunan tersebut relatif dekat.. BAngunan Terjun Pompengan 5, di waktu yang lalu pernah terjangkau oleh pelayanan Koperasi Listrik Perdesaan, kemudian saat pelayanan tidak memadai, masyarakat merusak jaringan listrik dan tiang-tiang listrik. Bangunan Terjun Pompengan 7, pola permukiman penduduk lebih mengelompok dan terkonsentrasi. Berdasarkan analisis lokasi menunjukkan bahwa yang paling sesuai untuk dikembangkan mikro hidro adalah pada Bangunan Terjun Pompengan 7. Melihat kondisi di sekitar Bangunan Terjun Pompengan 7 (BP. 7a), maka diusulkan untuk membuat saluran pembawa yang akan berfungsi sebagai forebay pada posisi sejajar dengan saluran yang ada. Selanjutnya air tersebut dialirkan melalaui pipa untuk menggerakkan turbin, kemudian air tersebut dialirkan kembali ke dalam saluran pembawa irigasi, jadi dengan demikian tidak terjadi banyak perubahan pada saluran/bangunan yang telah ada. (Gambar 1)
Gambar 1. Bangunan Terjun (BP.7a)
277
Selanjutnya untuk memperkirakan daya yang dapat dihasilkan oleh pembangkit listrik mikro hidro ini, maka diperlukan data tentang debit dan tinggi jatuh. Berdasarkan data yang ada , debit kontinyu sebesar Q = 5,841 m3/det, dan debit minimum adalah sebesar 1,360 m3/det Dengan tinggi jatuh H = 2,5 m, maka perkiraan daya yang dapat dihasilkan adalah 16 kW. Mengingat kondisi pada bangunan terjun pompengan 7 (BP.7a) ini mempunyai debit yang cukup besar , namun tinggi jatuh yang agak kecil, maka pembangkit tenaga yang diusulkan adalah Turbin type Cross Flow yang dapat dimodifikasi seperti yang terlihat dalam Gambar 2
Gambar 2 Turbin Type Cross Flow Dalam menganalisis tentang pembiayaan pelaksanaan pembangunan pembangkit tenaga listrik mikro hidro ini didasarkan pada asumsi : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Pekerjaan instalasi pembangkit ………………..Rp. Pekerjaan sipil …………………………………..Rp. Pekerjaan jaringan transmisi ……………………Rp. Pekerjaan instalasi dalam rumah ………………. Rp. Engineerinng cost 7% dari (1+2+3+4)………… .Rp. Administrsi Proyek 5% dari (1+2+3+4) ………..Rp. Biaya lain-lain 10% dari (1+2+3+4) …………. Rp. Biaya O & M …………………………………. Rp.
30.000.000 25.000.000 20.000.000 17.500.000 6.475.000 4.948.750 9.897.500 2.700.000
Biaya ini diasumsikan mengalami tingkat kenaikan sebesar 5% setiap 5 tahun Rumah tangga yang dapat dilayani adalah sebesar 140 rumah dengan mengalokasikan setiap rumah sebesar 110 wat. Alternatif 1, biaya investasi sebesar 50% ditanggung oleh masyarakat yang dicicil dalam 5 tahun, dengan discount factor sebesar 6%, maka B/C ratio yang diperoleh adalah 0,85 Alternatif 2, biaya investasi sebesar 100% ditanggung oleh masyarakat yang dicicil dalam 10 tahun, dengan discount factor 6%, B/C ratio adalah sebesar 1,11, dan pada tingkat discount factor 9%, B/C ratio adalah sebesar 0,98, jadi IRR dicapai pada tingkat 8,64 %
278
Alternatif 3, biaya investasi sebesar 100% ditanggung oleh masyarakat yang dicicil dalam 5 tahun, maka pada tingkat discount factor 6 %, B/c ratio adalah sebesar 1,19, dan pada tingkat discount/ factor 9 %, B/C ratio sebesar 1,10, dan pada tingkat discount factor 12%, diperoleh B/C ratio 1,03, dimana IRR adalah sebesar 12,17 %. Alternatif 4, biaya investasi seluruhnya ditanggung oleh pemerintah (pengelola sumber daya air), tanpa partisipasi masyarakat, maka pada discount factor 6% , nilai B/c Ratio adalah sebesar 0,74. KESIMPULAN Dari studi dengan beberapa skenario sistem pembiayaan, maka dapat disimpulkan bahwa dengan pelibatan masyarakat dalam pembangunan pembangkit listrik mikro hidro yang paling baik. . Namun dalam implementasi perlu model pelibatan masyarakat, agar masyarakat tidak merasa terbebani, dan mempunyai rasa memiliki terhadap prasarana yang dibangun. Untuk itu disarankan untuk memberdayakan OMS (Organisasi Masyarakat Setempat) dalam pembangunan , agar masyarakat siap untuk mengoperasikan prasarana yang akan dibangun. REFERENSI Arter Alex & Meier Ueli (1990). Harnessing Water Power On a Small Scale, Hydraulics Engineering Manual Vol.2, SKAT,Swiss Center for Appropriate Technology. Arter A., Nakarmin K.,Widmer R, & Eisenring M, (1993). Cross Flow Turbine Design & Equipment Engineering. Harnessing Water Power On a Small Scale, Hydraulics Engineering Manual Vol.3, SKAT,Swiss Center for Appropriate Technology. Brown,J.G Editor (1984) . Hydro-Electric Engineering Practice, Vol. 1 CBS Publishers & Distributors, New Delhi. Daya Bina, CV (1994) Pekerjaan Identifikasi Mikro Hidro Daerah Irigasi Lamasi Laporan Akhir . Elliott, R, Collin. Editor. (1981) Small Hydropower for Asian Rural Development. The Proceeding of Workshop on Small Scale Hydropower Technology Application in Asian-Pacific Rural Settings. The Asian Istitute of Technology. Bangkok. Elliott, R, Collin. Editor. (1981) Small Hydropower for Asian Rural Development. The Proceeding of Workshop on Small Scale Hydropower Technology Application in Asian-Pacific Rural Settings. The Asian Istitute of Technology. Bangkok Somarto dan Muhartopo, H (1984) Penyadur. Pembangkit Listrik Hidro Elektrik Ukuran Kecil. Armico. Bandung
279
Potensi Pengembangan “Low Head Hydropower” Di Wilayah Sungai Kali Brantas Sebagai Sumber Energi Terbarukan Alfan Rianto1 dan Erwando Rachmadi2 1
Kepala Biro Pengembangan Usaha Manajemen dan Teknologi BPUMT, Perum Jasa Tirta I
Bagian Pengembangan Manajemen dan Teknologi BPUMT, Perum Jasa Tirta I
2
[email protected],
[email protected]
Intisari Melalui Perpres No.5 Tahun 2006 Presiden telah mencanangkan kebijakan energi, yang mana arah kebijakan keamanan energi di Indonesia yang semula masih lebih banyak tergantung pada energi yang tidak terbarukan, pada tahun 2025 diharapkan telah dicapai kebijakan keamanan energi yaitu adanya keseimbangan ketergantungan antara energi tidak terbarukan dan terbarukan. Indonesia memiliki potensi sumberdaya air yang besar dan sudah tentu memiliki potensi sumber energi listrik terbarukan yang besar pula. Saat ini, sumberdaya air di Indonesia menempati posisi kelima di dunia dengan sumberdaya pembangkitan energi listrik mencapai 845 juta BOE (barrel of oil equivalent) atau setara 75,67 GW dan sampai saat ini baru dimanfaatkan sekitar 4.200 MW. Khusus untuk mikro hidro, Indonesia memiliki potensi sebesar 458,75 MW dan baru dimanfaatkan 84 MW. Pengembangan “Low Head Hydropower” merupakan salah satu solusi guna mendukung penyediaan energi nasional yang dapat diandalkan sebagai salah satu sumber penyediaan energi nasional dalam menjawab tantangan energi di masa depan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor antara lain potensinya yang besar, sebagian besar teknologinya sudah dapat dikuasai dan harga energi yang dihasilkan cukup kompetitif. Di beberapa bangunan prasarana pengairan di Wilayah Sungai (WS) Kali Brantas yang dikelola Perum Jasa Tirta I (PJT I), masih terdapat potensi tenaga air yang belum termanfaatkan secara optimal. Masih terlihat adanya limpasan air melalui pelimpah bendung pada setiap musim. Dengan melihat melihat besarnya debit aliran maupun tinggi jatuh yang ada di beberapa bangunan tersebut serta dalam rangka menunjang ketahanan energi nasional, PJT I telah mengidentifikasi potensi energi yang dapat dibangkitkan melalui pengembangan low head hydropower berskala Mini hidro / PLTM. Kata kunci: low head hydropower, PLTM, WS Kali Brantas
280
PENDAHULUAN Latar Belakang Studi Sejak jaman dahulu kala, energi minyak dan batubara menjadi salah satu isu yang menarik bagi siapapun yang berusaha menguasai Indonesia. Faktor kepentingan jaminan pasokan minyak untuk negerinya dan untuk kekuatan angkatan bersenjatanya umumnya menjadi salah satu alasan kuat pendudukan Indonesia kala itu. Saat penjajahan Jepang di Indonesia sempat menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera Selatan, tengah, Cepu dan Balikpapan. Penguasaan tersebut erat kaitannya dengan aktivitas melanjutkan gerakan militer untuk menguasai kawasan Asia Pasifik. Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai berusaha agar sumber daya energi yang ada dapat dikelola dan menghasilkan bagi bangsa dan negara. Dengan adanya UU No.11 tahun 1967 tentang Pertambangan dan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing telah memberikan kesempatan kepada para investor asing untuk menanamkan modalnya selain pada aktivitas pertambangan umum juga pertambangan yang terkait dengan sumber energi, seperti minyak, gas dan batubara. Sejak saat itu diharapkan Indonesia mampu mengembangkan diri dan memenuhi kebutuhan pasokan energi dalam negerinya dan dapat mengekspor untuk pemasukan devisa negara. (Rifki Muna, 2011) Energi merupakan motor penggerak pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang utama. Kekuatan energi yang dimiliki Indonesia saat ini dimana energi dari fosil, seperti minyak bumi, gas dan batubara masih menempati sumber-sumber dan cadangan nasional yang sampai saat ini lebih dari 50 persen dari seluruh kebutuhan energi nasional. Melihat konsumsi dan ketergantungan penggunaan energi berbasis fosil masih cukup dominan serta ketersediaan sumber energi tersebut, maka upaya mengembangkan kebijakan energi dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Melalui Perpres No.5 tahun 2006 Presiden telah mencanangkan kebijakan energi, yang mana arah kebijakan keamanan energi di Indonesia yang semula masih lebih banyak tergantung pada energi yang tidak terbarukan (fosil), pada tahun 2025 diharapkan telah dicapai kebijakan keamanan energi yaitu energi mix, yaitu adanya keseimbangan ketergantungan antara energi tidak terbarukan dan terbarukan. Indonesia memiliki potensi sumberdaya air yang besar dan sudah tentu memiliki potensi energi listrik yang besar pula, sehingga merupakan salah satu alternatif sumber energi terbarukan untuk keluar dari krisis. Saat ini, sumberdaya air di Indonesia menempati posisi kelima di dunia dengan sumberdaya pembangkitan energi listrik mencapai 845 juta BOE (barrel of oil equivalent) atau setara 75,67 GW dan sampai saat ini baru dimanfaatkan sekitar 4.200 MW. Khusus untuk mikro hidro, Indonesia memiliki potensi sebesar 458,75 MW dan baru dimanfaatkan 84 MW (ESDM, 2007). Pengembangan “Low Head Hydropower” khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Mini/Mikro Hidro (PLTM/H) merupakan salah satu solusi guna mendukung penyediaan energi nasional yang dapat diandalkan sebagai salah satu sumber penyediaan energi nasional dalam menjawab tantangan energi di masa depan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor antara lain potensinya yang besar, sebagian
281
besar teknologinya sudah dapat dikuasai dan harga energi yang dihasilkan cukup kompetitif. Maksud dan Tujuan Studi Maksud dari kegiatan studi ini adalah sebagai upaya untuk mendukung penyediaan energi nasional berbasis energi terbarukan. Adapun studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan low head hydropower pada bangunan prasarana pengairan di WS Kali Brantas dalam wilayah kerja Perum Jasa Tirta I (PJT I). Ruang Lingkup Studi Kegiatan studi ini dibatasi pada potensi yang terdapat pada bangunan bangunan yang telah terbangun pada WS Kali Brantas, masuk dalam pengelolaan PJT I. METODOLOGI STUDI 1. Identifikasi awal dilakukan pada bangunan prasarana pengairan di WS Kali Brantas dalam wilayah kerja PJT I yang berpotensi untuk dilakukan pengembangan low head hydropower berdasarkan referensi studi terdahulu ataupun kondisi lokasi saat ini. 2. Analisis ketersediaan debit serta potensi tinggi jatuh aliran di masing masing bangunan yang secara teknis dimungkinkan untuk dilakukan pengembangan low head hydropower. 3. Perhitungan rencana kapasitas terpasang turbin serta potensi energi tahunan yang dapat dibangkitkan. Tinjauan Pustaka Secara umum pembangkit listrik bertenaga air ini dapat dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan kapasitas pembangkitannya yaitu skala besar, mini, dan mikro. Belum ada ketentuan secara jelas mengenai batasan pembagian skala tersebut. Setiap negara mempunyai ukuran yang berbeda. Namun sebagai gambaran secara umum klasifikasinya dapat dikemukakan berikut ini. PLTA skala besar mempunyai kapasitas di atas 10 MW, PLTM mempunyai kapasitas antara 200 kW sampai 10 MW, dan PLTMH mempunyai kapasitas sampai 200 kW. (Agus Sugiyono,2009). Disamping berdasarkan besarnya kapasitas tersebut masih sering dibedakan berdasarkan kategori energi terbarukan dan energi yang tidak terbarukan. Untuk PLTA dengan kapasitas ≤ 40 MW dikategorikan kedalam energi terbarukan, sedangkan untuk PLTA dengan kapasitas > 40 MW dikategorikan kedalam energi yang tidak terbarukan. (Agus Sugiyono,2009) Apa yang sebenarnya disebut sebagai Low Head Hydropower? Dr. Ir. Mukmin W. Atmopawiro dari Laboratorium Sistem Tenaga dan Distribusi Energi STEI ITB membatasi pengertian low head pada berbagai penelitiannya sebagai ketinggian terjun air antara 3 rn hingga di bawah 14 rn. Sadrul Islam dari Bangladesh, negara yang dikenal banyak mengembangkan mikrohidro untuk listrik perdesaan membatasi
282
low head sebagai ketinggian terjun air di bawah 10 rn. Akan tetapi, batasan ini diberikan mengingat perbedaan ketinggian aliran air sungai di Bangladesh rata-rata di bawah 10 rn. Batasan low head lainnya adalah wilayah kerja turbin propelar dan Kaplan yaitu pada kisaran 2 m s/d 40 rn. Selain itu, ada pula yang membatasi low head dengan melihat kecepatan putar turbinnya. Dengan demikian, yang disebut low head adalah perbedaan ketinggian di bawah 30 rn. Bila pendapat-pendapat ini dirangkum, maka low head berada pada rentang 2 m s/d 40 rn, dengan konsenterasi terbesar berada di bawah 15 m. (Sudarmono Sasmono, 2010). HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Identifikasi Potensi Energi Di beberapa lokasi bangunan prasarana sumber daya air di wilayah kerja PJT I, masih terlihat potensi pembangkitan energi listrik dengan melihat debit air dan tinggi jatuh yang cukup. Untuk kepentingan itu, maka identifikasi potensi energi dilakukan oleh PJT I. Kegiatan identiifikasi dilakukan pada tahun 2008 hingga dan direview menyesuaikan kondisi yang terjadi saat ini.
Gambar 1. Lokasi Potensi Pengembangan PLTM di WS. Kali Brantas Dari hasil identifikasi, terdapat potensi potensi pengembangan low head hydropower di beberapa bendung dan saluran irigasi di WS Kali Brantas. Lokasi tersebut adalah sebagai berikut: a. Intake Irigasi Lodagung di Bendungan Wlingi b. Bendung Lodoyo c. Bendung Mrican d. Bendung Karet Menturus dan Bendung Karet Jatimlerek e. Bendung Lengkong Baru f. Pintu Air Mlirip
283
Dari hasil identifikasi tinggi jatuh dari masing-masing aliran pada prasarana tersebut, maka low head hydropower yang dapat dikembangkan adalah pada skala minihidro. PLTM Lodagung. Dengan memanfaatkan suplai air irigasi sebelum dipakai untuk memenuhi kebutuhan air untuk daerah irigasi Lodagung, direncanakan potensi air yang ada akan dimanfaatkan sebagai tenaga penggerak turbin guna menghasilkan tenaga listrik. Dari outflow intake irigasi yang terletak di sebelah kiri Waduk Wlingi aliran air dicabangkan dengan konstruksi bifurcation yang dilengkapi dengan katup bukatutup menuju ke saluran irigasi aslinya dan ke arah kiri menuju ke penstock. Dari penstock ini aliran air digunakan untuk memutar turbin di gedung pembangkit (powerhouse) yang berada di hilirnya. Besarnya debit aliran didapatkan dari data outflow yang tercatat pada saluran irigasi, maka debit pembangkitan yang direncanakan ditentukan dengan debit maksimum : Qmaks = 16,00 m3/detik dan debit rerata : Qrata-2 = 12,00 m3/detik. Dengan besarnya Qrata-2 seperti tersebut diatas dan tinggi jatuh bruto (Hbruto) = 7,80 m dengan kehilangan tekan (head loss) = 0,60 m maka Hnetto = 7,20 m. maka besarnya kapasitas terpasang adalah 0,55 MW. Pada debit maksimum, debit pembangkitan bertambah sebesar 16,0 – 12,0 = 4,0 m3/detik, dengan kapasitas terpasang yang ditambahkan sebesar 0,30 MW Dengan demikian total kapasitas terpasang adalah 1 unit x 550 KW dan 1 unit x 300 KW. Dengan kapasitas terpasang tersebut, maka energi listrik yang dapat dihasilkan pertahun adalah 5.956.800 KWh / tahun. PLTM Lodoyo Baru Konstruksi PLTM direncanakan ada di sebelah kiri aliran kali Brantas dan Bendung Lodoyo dengan pembuatan intake baru yang dilengkapi dengan pintu dan headrace berupa box culvert. Selanjutnya bangunan headpond berada didepan gedung pembangkit yang langsung menggerakkan turbin didalam powerhouse. Debit aliran yang belum dimanfaatkan didapatkan dari data outflow yang tercatat pada pelimpah, diperoleh debit pembangkitan yang direncanakan ditentukan dengan debit Q = 50 m3/detik dan head H = 9,90 m. Dengan besarnya debit pembangkitan dan tinggi jatuh seperti tersebut diatas maka besarnya kapasitas terpasang adalah 4,20 MW dengan energi listrik yang dapat dihasilkan pertahun 13.319.960 KWh / tahun (beroperasi 6 bulan). Alternatif kedua adalah dengan menggunakan teknologi bulb turbine yang memungkinkan untuk tidak perlu membuat intake baru. Turbin jenis ini nantinya akan dipasang pada aliran air serta galeri panel. Posisi turbin dapat diletakkan pada hilir pintu spillway Bendung Lodoyo dengan sebelumnya mengkondisikan aliran di hilir bendung dalam kondisi submerged. Dengan head H= 9,48 m dan debit perencanaan sebesar 60 m3/det maka besarnya kapasitas terpasang adalah 4,45 MW dengan energi listrik yang dapat dihasilkan sebesar 22.510.000 KWh/tahun.
284
PLTM Mrican Bendung Gerak Mrican berfungsi mengatur alokasi air untuk irigasi di DI Waru Turi dan alokasi air ke hilir WS Kali Brantas. Bendung Gerak Mrican memiliki potensi tinggi jatuh sebesar 12 m dengan debit rerata tahunan sebesar 40 m3/det. Dengan kondisi seperti itu, terdapat potensi pembangkitan energi sebesar 20.187.000 KWh/tahun dengan kapasitas terpasang sebesar 3,89 MW. Konstruksi PLTM sendiri direncanakan pada sisi kanan aliran Bendung Mrican dengan membuat alur baru dengan dilengkapi pintu menuju turbin yang terletak di sisi kanan bendung. PLTM Menturus dan PLTM Jatimlerek Bendung Karet Menturus dan Jatimlerek yang dibangun di sepanjang kali Brantas sampai saat ini masih berfungsi dengan baik meskipun beberapa kali harus ada penggantian material karetnya karena terjadi kerusakan dan kebocoran yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi dan harus diganti. Fungsi bendung tersebut adalah untuk menaikkan tinggi muka air agar memenuhi elevasinya untuk mengalir ke intake irigasi, maka masih terlihat dan tercatat banyaknya air yang melimpah diatas bendung karet masih cukup berpotensi untuk dapat dimanfaatkan guna memutar turbin meskipun dengan beda tinggi muka air (head) yang tidak besar. Konstruksi PLTM direncanakan ada di sebelah kanan aliran kali Brantas dengan pembuatan alur baru yang dilengkapi dengan pintu. Dari saluran ini kemudian dialirkan melalui beberapa pintu dan langsung menuju ke turbin. Dari data debit outflow Bendung Karet Menturus yang tercatat, diperoleh debit pembangkitan yang direncanakan ditentukan dengan debit Q = 34 m3/detik dan head H = 5,0 m. Dengan besarnya debit pembangkitan dan tinggi jatuh tersebut maka besarnya kapasitas terpasang adalah 1,40 MW. Energi listrik yang dapat dihasilkan pertahun 8.812.477 KWh / tahun. Pada Bendung Karet Jatimlerek, dengan debit aliran yang belum dimanfaatkan didapatkan dari data outflow yang tercatat pada pelimpah diperoleh debit pembangkitan yang direncanakan ditentukan dengan debit Q = 40 m3/detik dan head H= 5,65 m. Besarnya kapasitas terpasang 1,50 MW dengan energi listrik yang dapat dihasilkan pertahun 9.441.940 KWh /tahun. PLTM Lengkong Baru Dari data yang tercatat, debit yang mengalir menuju ke kali Porong melalui dam Lengkong Baru masih cukup potensial untuk dipakai guna menggerakkan turbin dan diharapkan memperoleh energi listrik. Rencana konstruksi PLTM berada di sebelah kanan aliran kali Porong dihilir Bendung Lengkong Baru. Bangunan intake baru dibangun di sebelah kanan aliran Kali Brantas di hulu bendung dialirkan melalui conduit beton bertulang yang kemudian dihubungkan dengan pipa pesat sebelum masuk ke turbin. Dengan debit pembangkitan yang direncanakan sebesar Q = 25 m3/detik dan head H = 4,50 m. maka besarnya kapasitas terpasang 0,95 MW dimana dapat menghasilkan energi listrik pertahun 4.570.000 KWh / tahun.
285
PLTM Mlirip PLTM Mlirip direncanakan pada sisi kiri Pintu Air Mlirip dengan memanfaatkan pintu sebelah kiri. Pintu Air Mlirip berfungsi untuk mengatur alokasi air baku menuju kawasan Surabaya. Dengan melihat tinggi jatuh air serta debit air rata-rata, debit air sebelum dialirkan menuju hilir dapat dioptimalisasi guna membangkitkan energi listrik terlebih dahulu. Dengan head H= 7,45 m derta debit perencanaan sebesar 18 m3/det, maka besarnya kapasitas terpasang 1,46 MW dengan energi yang dapat dihasilkan sebesar 8.199.360 KWh/tahun. KESIMPULAN Di beberapa bangunan prasarana pengairan di Wilayah Sungai (WS) Kali Brantas yang dikelola PJT I, masih terdapat potensi tenaga air yang belum termanfaatkan secara optimal. Masih terlihat adanya limpasan air melalui pelimpah bendung maupun bendungan pada setiap musim. Dengan melihat besarnya debit aliran maupun tinggi jatuh yang ada di beberapa bangunan tersebut serta dalam rangka menunjang ketahanan energi nasional, PJT I telah mengidentifikasi potensi energi yang dapat dibangkitkan melalui pengembangan PLTM. Total potensi energi yang dapat terbangkitkan yaitu dengan kapasitas terpasang sebesar 14,50 MW yang menghasilkan energi tahunan sebesar 74.317.073 kWh. Pemanfaatan energi terbarukan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya air melalui pengembangan PLTM kiranya perlu dilakukan karena manfaat yang besar akan diperoleh dari pengembangan PLTM khususnya dalam mendukung pengelolaan SDA baik bagi Badan Pengelola SDA, bagi Pemerintah, dan bagi para petani dan masyarakat desa. Kebijakan Pemerintah saat ini telah mendukung pengembangan PLTM. Kebijakan Pemerintah tersebut antara lain Undang-Undang No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No.4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik. Referensi Agus Sugiyono, 2009. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mengelola Potensi Sumber Daya Air melalui Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mini/ Mikro Hidro. JESP Vol. 1, No.3, 2009 http://sugiyono.webs.com/paper1/ p0904.pdf ESDM, 2008. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025 IRENA, 2012. Renewable Energy Technologies: Cost Analysis Series, IRENA Working Paper, Volume 1: Power Sector –Issue 3/5: Hydropower, June 2012,http://www.irena.org/DocumentDownloads/Publications/RE_ Technologies_Cost_Analysis-HYDROPOWER.pdf
286
Peraturan Menteri ESDM No.4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum Jasa Tirta I Rifqi Muna, 2011. Tinjauan Atas Kebijakan Nasional Keamanan Energi: Upaya Pemanfaatan Energi Hijau dan EBT. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ke X, Jakarta, November 2011. Sudarmono Sasmono, 2010. Low Head Turbine Berpotensial di Indonesia. http:// www.alpensteel.com/article/50-104-energi-sungai-pltmh--micro-hydropower/928--low-head-turbine-berpotensial-di-indonesia.pdf Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
287
Pemanfaatan Energi Air Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Bendung Gerak Serayu Nasrun Sidqi1 dan Kisworo Rahayu2 1
Pejabat Fungsional BBWS Serayu Opak, Ahli Madya Teknik Pengairan 2 Staf Operasi dan Pemeliharaan SDA II, BBWS Serayu Opak
[email protected],
[email protected]
Intisari Bendung Gerak Serayu yang terletak di desa Gambarsari, Pasanggrahan, Banyumas, Jawa Tengah merupakan bangunan air yang membendung Sungai Serayu dengan sistem pengambilan gravitasi. Saat ini, bendung digunakan untuk mengairi lahan irigasi, air minum, pengendali sungai, pengendali banjir, perikanan darat dan rekreasi. Selain fungsi-fungsi tersebut, Bendung Gerak Serayu juga berpotensi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Lokasinya sangat memungkinkan untuk dibangun PLTA jenis low head-run off river karena ketersediaan air yang besar baik di musim kemarau dan penghujan. Berdasarkan analisis debit Bendung Gerak Serayu tahun 1977-2011, rata-rata debit bulanan minimal sebesar 210 m3/ dt pada bulan Agustus dan rata debit bulanan maksimal sebesar 610 m3/dt pada bulan November. Bendung Gerak Serayu mulai beroperasi sejak tahun 1995, namun pengembangan PLTA di Bendung Gerak Serayu belum dilakukan hingga saat ini. Selain modal, faktor perizinan tampaknya merupakan kendala yang sangat berpengaruh. Karena WS Serayu merupakan WS strategis nasional, semua kegiatan yang memanfaatkan SDA di WS tersebut harus mendapatkan izin dari pemerintah. Pengajuan izin usaha kegiatan PLTA harus mengikuti prosedur permohonan izin untuk pembangkit listrik tenaga energi terbarukan skala menengah 1 s.d 10 MW sesuai Permen ESDM nomor 002/2006. Pemberian izin dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi teknis Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak. Berdasarkan data pada BBWS Serayu Opak, pengajuan izin untuk memanfaatkan energi air di Sungai Serayu pada kurun waktu 2007-2011 hanya ada satu saja. Hal ini menunjukkan bahwa energi air yang ada di Sungai Serayu belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi energi air di bendung Gerak Serayu dan mengetahui kendala-kendala pengembangannya. Metode yang digunakan adalah metode survei. Data debit dan data teknis Bendung Gerak Serayu diperoleh di Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Serayu Citanduy dan BBWS Serayu Opak. Data perijzinan didapat juga dari BBWS Serayu Opak. Kata kunci: pemanfaatan energi air, pembangkit listrik, kendala perizinan
288
PENDAHULUAN Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air. Itu disebabkan kondisi topografi Indonesia bergunung dan berbukit serta dialiri oleh banyak sungai. Beberapa daerah tertentu bahkan mempunyai danau/waduk yang cukup potensial sebagai sumber energi air. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) adalah salah satu teknologi yang sudah terbukti tidak merusak lingkungan, menunjang diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan, menunjang program pengurangan pemanfaatan BBM, dan sebagian besar memakai kandungan lokal. Besar potensi energi air di Indonesia adalah 74.976 MW, sebanyak 70.776 MW ada di luar Jawa, yang sudah termanfaatkan hanya sebesar 3.105,76 MW sebagian besar berada di Pulau Jawa (Lubis, 2007). Pembangunan setiap jenis pembangkit listrik didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis dari pusat listrik serta hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan. Sebagai pertimbangan adalah tersedianya sumber energi tertentu, adanya kebutuhan (permintaan) energi listrik, biaya pembangkitan rendah, serta karakteristik spesifik dari setiap jenis pembangkit untuk pendukung beban dasar (base load) atau beban puncak (peak load). Kebutuhan tenaga listrik nasional diperkirakan akan meningkat hingga 8 kali lipat dalam 25 tahun, dari 124 TWh pada tahun 2005 sampai dengan 970 TWh di tahun 2030. Kondisi ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat serta peningkatan pemasangan tenaga listrik di pedesaan. Pertambahan jumlah penduduk dan ekonomi yang meningkat juga mendorong penambahan jumlah pemanfaatan tenaga air. Besar potensi energi air di Indonesia adalah 74.976 MW, sebanyak 70.776 MW ada di luar Jawa, yang sudah termanfaatkan hanya sebesar 3.105,76 MW sebagian besar berada di Pulau Jawa (Lubis, 2007). Oleh karena itu, pemanfaatan infrastruktur bidang sumber daya air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menjadi semakin vital dan perlu dikelola secara baik. Kebutuhan tenaga listrik nasional sebagian besar dipasok dari pembangkit listrik berbahan baku batubara kurang lebih 45% dan sumber lainnya dipasok dari pembangkit tenaga listrik berbahan bakar fosil lainnya, panas bumi, dan PLTA. Kondisi tersebut diproyeksikan akan meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan listrik. Sedangkan pada tahun 2030, diperkirakan pemakaian batubara untuk memasok tenaga listrik akan mencapai 645 TWh, atau 66% dari total kebutuhan pada tahun tersebut atau sekitar 720 TWh. Padahal, berdasarkan sumber dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), kondisi tersebut membawa dampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca mencapai 7 kali lipat yakni 110 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 810 MtCO2e pada tahun 2030. PLTA dapat menjadi alternatif sumber energi dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca untuk upaya mitigasi perubahan iklim nasional. Dengan demikian, pemanfaatan infrastruktur sumber daya air untuk PLTA sebagai salah satu alternatif sumber penyediaan listrik perlu lebih dimaksimalkan lagi. Berdasarkan studi mikrohidro Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, terungkap bahwa untuk potensi tenaga air mikrohidro khususnya pada jaringan irigasi yang merupakan kewenangan pusat di10 provinsi yang telah diidentifikasi terdapat 53 lokasi yang layak dikembangkan lebih lanjut sedangkan di luar prasarana sumber daya air, terdapat potensi mikrohidro sebanyak 168 lokasi yang layak dikembangkan lebih lanjut.
289
Pembangunan setiap jenis pembangkit listrik didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis dari pusat listrik serta hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan. Sebagai pertimbangan adalah tersedianya sumber energi tertentu, adanya kebutuhan (permintaan) energi listrik, biaya pembangkitan rendah, serta karakteristik spesifik dari setiap jenis pembangkit untuk pendukung beban dasar (base load) atau beban puncak (peak load). Salah satu sumber energi air yang cukup potensial berada di Bendung Gerak Serayu. Bendung Gerak Serayu terletak di Desa Gambarsari, Pasanggrahan, Banyumas, Jawa Tengah. Bendung Gerak Serayu merupakan bangunan air yang membendung Sungai Serayu di Jawa Tengah dengan sistem pengambilan gravitasi. Tujuan dibangunnya bendung ini adalah : a. Mengganti sistem pengambilan bebas pompa dengan sistem gravitasi yaitu Bendung Gerak. Sistem pengambilan bebas yang mengandalkan elevasi muka air di sungai yang cukup bagi keamanan pemompaan, di musim kemarau tak dapat menjamin pemberian air irigasi kesawah secara kontinyu sepajang tahun b. Mencukupi kebutuan air baku untuk irigasi air minum/industri/penggelontaran kota. Penyaluran air ke lahan irigasi semakin lama menjadi tidak efisien, karena terbatasnya kapasitas saluran, endapan sedimen di saluran, belum dibangunnya jaringan tersier, serta banjir dan genangan di lahan irigasi teknis yang meliputi areal ± 4000-5000 ha. c. Rehabilitasi/peningkatan kapasitas jaringan irigasi serta pembangunan jaringan irigasi baru. Tingginya biaya operasi dan pemeliharaan pompa, sulitnya mendapatkan suku cadang, umur ekonomis pompa akan segera habis dan harus dipikirkan penggantinya. Bendung Gerak Serayu mulai beroperasi sesuai fungsinya pada tahun 1995. Sampai saat ini pengembangan PLTA di Bendung Gerak Serayu belum dilakukan. Mengingat besarnya potensi energi air yang ada di bendung tersebut, sangat disayangkan apabila energi air yang ada terbuang percuma karena pengembangan PLTA tidak segera dilakukan. Faktor perijinan merupakan kendala yang sangat mempengaruhi pengembangan PLTA. Berdasarkan statusnya, Sungai Serayu merupakan sungai strategis lintas kabupaten dan lintas provinsi sehingga semua kegiatan yang memanfaatkan sungai tersebut harus mendapatkan ijin dari pemerintah. Perijinan yang diajukan untuk memperoleh ijin usaha kegiatan PLTA harus sesuai dengan prosedur permohonan ijin untuk pembangkit listrik tenaga energi terbarukan skala menengah 1 s.d 10 MW sesuai Permen ESDM Nomor 002/2006. Berdasarkan data pada BBWS Serayu Opak, pengajuan ijin untuk memanfaatkan energi air di Sungai Serayu pada kurun tahun 2010-2011, hanya ada 1 permintaan rekomendasi teknis dalam rangka permohonan ijin penggunaan dan pemanfaatan air permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa energi air yang ada di Sungai Serayu belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi energi air di bendung Gerak Serayu dan mengetahui kendala-kendala yang mempengaruhi pengembangan PLTA di Bendung Gerak Serayu.
290
tinjauan PUSTAKA Potensi Energi Air Potensi energi terbarukan seperti biomasa, panas bumi, energi surya, energi air dan energi angin cukup besar. Hanya saja sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan oleh harga energi terbarukan yang belum kompetitif bila dibandingkan dengan harga energi fosil yang masih disubsidi, rendahnya penguasaan teknologi sehingga kandungan importnya tinggi, serta keterbatasan dana untuk melakukan penelitian, pengembangan maupun investasi dalam pemanfaatan energi ternarukan serta infrastruktur yang kurang memadai. Indonesia memiliki 5.950 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dari sejumlah 22.000 anak sungai memiliki potensi tenaga hidro diprediksi mencapai 75.000 MW, sebagai sumber energi terbarukan berbasis gravitasi (air terjun) dan konetik (arus sungai), atau kombinasi keduanya, yang sudah dimanfaatkan hanya 4.150 MW kapasitas terpasang dan khusus mikrohidro mencapai 60 MW di seluruh Indonesia. Kondisi aliran sungai Indonesia sebagian tergantung pada kondisi musim hujan dan juga tersedia air sepanjang tahun mengalir deras, misal di Sungai Serayu. Klasifikasi pembangkit listrik tenaga hidro adalahPLTA lebih dari 50 MW per unit, PLTMiniHidro 100 kW – 50 MW, dan PLTMikroHidro kurang dari 100 kW, yang semuanya memanfaatkan potensi gravitasi ketinggian (head) dan debit air, umumnya berada di lokasi yang jauh dari permukiman rakyat, maka membutuhkan jaringan transmisi dan distribusi dan right of way melewati hutan yang sulit dan biaya tinggi. Pengembangan PLTA memanfaatkan energi kinetik arus sungai sehingga dapat dipasang di sepanjang aliran sungai dari hulu, hilir dan dekat muara sungai. Lokasi PLTA Sungai dapat dibangun dekat dengan lokasi pemukiman rakyat konsumen listrik, dan tidak membutuhkan dam, pipa pesat, bangunan power house dan jaringan listrik sederhana, maka biaya investasi dan operasinya relatif lebih murah dibandingkan dengan PLTMikroHidro atau sejenisnya. Air merupakan sumber energi yang murah dan relatif mudah didapat, karena pada air tersimpan energi potensial (pada air jatuh) dan energi kinetik (pada air mengalir). Tenaga air (hidropower) adalah energi yang diperoleh dari air yang mengalir. Energi yang dimiliki air dapt dimanfaatkan dan digunakan dalam wujud energi mekanis maupun energi listrik. Besarnya tenaga air yang tersedia dari suatu sumber air bergantung pada besarnya head dan debit air. Dalam hubungannya dengan reservoir air maka head adalah beda ketinggian antara muka air pada reservoir dengan muka air keluar dari kincir air/turbin air. Total energi yang tersedia dari suatu reservoir air adalah merupakan energi potensial air. Partisipasi Koperasi dan Pengembang PLTA Sungai Keberadaan lembaga koperasi memiliki tradisi kuat dan telah memberikan kontribusi nyata oleh dan untuk masyarakat Indonesia, khususnya dibidang peningkatan perekonomian skala menengah-bawah, baik di masa lalu, sekarang dan masa datang. Ketangguhan lembaga Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) telah teruji dan berhasil menghadapi badai krisis moneter tahun 1997. Partisipasi koperasi dan pengembang PLTA sungai dimaksudkan untuk memenuhi
291
kebutuhan daya listrik para anggota koperasi yang belum menikmati pelayanan listrik dan ikut serta dalam peningkatan produksi pertanian melalui penyediaan air, pengembangan dan pengolahan komoditas pertanian. Pengembang PLTA sungai mempersiapkan komponen utama, pemasangan ujicoba, training operator dan manual operasi PLTA sungai, termasuk instalasi kelistrikan ke pelanggan. Pihak koperasi mempersiapkan kelompok pelanggan, lokasi, perijinan, fasilitas pendanaan, organisasi operation & maintenance (O&M) dan administrasi keuangan. Komponen pompa air untuk irigasi pertanian akan dipasang sesuai kebutuhan di lokasi (Astuti, 2010). METODOLOGI STUDI Metode yang digunakan adalah metode survei. Survei data fisik berupa data debit dan data teknis Bendung Gerak Serayu yang diperoleh di Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Serayu Citanduy dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, serta data perijinan pada instansi yang menangani Bendung Gerak Serayu untuk mendapatkan informasi mengenai perijinan dalam pengembangan PLTA. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Potensi Energi Air Fungsi Bendung Gerak Serayu saat ini digunakan untuk pengairan ke lahan irigasi, air minum, pengendali sungai, pengendali banjir, perikanan darat dan rekreasi. Selain fungsi tersebut, Bendung Gerak Serayu juga berpotensi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Lokasi Bendung Gerak Serayu juga memungkinkan dibangun PLTA jenis low head-run off river karena ketersediaan air yang besar baik di musim kemarau dan penghujan. Berdasarkan analisis data debit Bendung Gerak Serayu tahun 1977-2002, rata-rata debit bulanan minimal sebesar 210 m3/s pada bulan Agustus dan rata debit bulanan maksimal sebesar 610 m3/s pada bulan November. Data teknis bendung disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Teknis Bendung Gerak Serayu Data Teknis Bendung Keterangan Tipe Bendung Bendung gerak dengan pintu radial Panjang bendung 121,20 m Lebar bendung 109,60 m Pintu radial 8 buah 10,79 x 9,00 m Pintu penguras 4 buah 2,5 x 2,00 m Muka air operasi + 12,90 m Plat lantai bangunan + 15,00 m Debit banjir 100 thn 2470 m3/sekon Debit pengambilan 32 m3/sekon Debit pengurasan 24 m3/sekon Berdasarkan data teknis bendung, kondisi hidrologi dan sosial ekonomi setempat, dilakukan analisis perhitungan rencana pengembangan PLTA Bendung Gerak Serayu. Hasil analisis perhitungan disajikan pada Tabel 2.
292
Tabel 2. Analisis Perhitungan Rencana Pengembangan PLTA Bendung Gerak Serayu No
Keterangan
1.
Produksi listrik per tahun (analisis) Produksi atas kapasitas terpasang Jumlah turbin Produksi target Capacity Factor target Perkiraan biaya investasi Umur ekonomik Biaya operasi dan maintenance Eskalasi pendapatan Inflasi Pajak terhadap penghasilan Retribusi Pemda Iuran Jasa Pengelolaan Air
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Satuan
Moda Skim
kWh/thn
Aliran Minimum 98.507.055
Aliran Menengah 136.202.275
kWh/thn
140.160.000
175.200.000
kWh % Rp Tahun Rp/kWh
5 5 122.000.000 70 150.000.000.000 30 108
%/thn %/thn % Rp/kWh Rp/kWh
6 10 30 5 30
Daya yang dihasilkan dihitung berdasarkan data head, debit dan efisiensi yang bervariasi menurut kurva durasi dan karakteristik turbin. Jumlah produksi energi tahunan dihitung berdasarkan penjumlahan perkalian daya dari kurva durasi dengan durasi waktu daya. Asumsi dalam moda aliran minimum adalah turbin ke 5 bekerja dalam rentang waktu 30 % dan turbin ke 1 bekerja dalam rentang waktu 85 % dalam 1 tahun, durasi daya simulasi aliran minimum 4 turbin masing-masing 4 MW per unit dengan total instalasi 16 MW, sedangkan asumsi moda aliran menengah, turbin ke 5 bekerja dalam rentang waktu 60 % dan turbin ke 1 bekerja dalam rentang waktu 97 % dalam 1 tahun, durasi daya simulasi aliran menengah 5 turbin masing-masing 4 mW per unit dengan total instalasi 20 MW. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh LAPIITB tahun 2006, energi yang bersumber dari tenaga air di bendung Gerak Serayu setara 30.000-45.000 kl HSD atau sekitar Rp. 165-231 milyar BBM tanpa subsidi per tahun. Tersedianya energi dari tenaga air tersebut sampai saat ini belum dimanfaatkan. Kendala-kendala Pengembangan PLTA Bendung Gerak Serayu Pengembangan PLTA Bendung Gerak Serayu mengalami kendala-kendala yaitu : a. Ketersediaan dana lunak. b. Pola pendanaan swasta sulit dilaksanakan saat ini karena berbiaya tinggi. c. Risiko tinggi yang ditanggung investor sebagai akibat rendahnya kepastian hukum, usaha dan lingkungan. d. Kemungkinan sumber daya air akan menjadi sumber pendapatan negara/daerah secara berlebihan sehingga menaikkan produk.
293
e. Perlunya diversifikasi pembangkit PLN pada pembeli, mengingat PLTA sangat tergantung pada variasi musim. f. Pembangunan PLTA memerlukan waktu yang lama dan birokrasi yang panjang. g. PLTA ”low head” umumnya dari jenis turbin putaran rendah, hal ini menyebabkan biaya investasi menjadi mahal. Perijinan Bendung Gerak Serayu yang terletak di Desa Gambarsari, Pasanggrahan, Banyumas, Jawa Tengah termasuk dalam wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak sehingga proses perijinan rekomendasi tekniknya harus ditujukan pada instansi tersebut. Ijin rekomendasi teknik merupakan ijin awal dalam pelaksanaan pengembangan PLTA Bendung Gerak Serayu. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perijinan tersebut adalah desain teknis konstruksi. Rekomendasi teknis selanjutnya dibuat oleh BBWS Serayu Opak untuk ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum. Apabila memenuhi syarat, ijin pengembangan PLTA Bendung Gerak Serayu selanjutnya akan dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. Dalam pelaksanaan pembangunan PLTA, terdapat beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi. Pertama, mendapatkan izin penggunaan sumber daya air dan pelaksanaan konstruksi dari instansi yang berwenang, dengan mempertimbangkan rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air yang bersangkutan. Apabila prasarana yang akan dibangun adalah berupa waduk atau bendungan, maka diwajibkan pula untuk dilengkapi dengan dokumen sertifikasi desain yang telah dikeluarkan oleh Balai Keamanan Bendungan. Kedua, apabila pelaksanaan konstruksi waduk atau bendungan selesai, diharapkan pelaksana atau pengelola waduk perlu untuk memenuhi persyaratan sertifikasi dari Balai Keamanan Bendungan, yang mencakup sertifikasi pengisian waduk dan sertifikasi operasi. Ketiga, pada saat tahap operasi, pola operasi waduk yang digunakan perlu mengakomodasi kebutuhan air di hilir dan tidak semata-mata mengejar target capaian produksi listrik atau keuntungan. Untuk mendukung upaya dan program pengembangan pemanfaatan energi terbarukan, pemerintah sudah menerbitkan serangkaian kebijakan dan regulasi yang mencakup Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi, Undang-undang No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, PP No. 10/1989 sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 03/2005 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan PP No. 26/2006 tentang Penyediaan & Pemanfaatan Tenaga Listrik, Permen ESDM No. 002/2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah, dan Kepmen ESDM No.1122K/30/MEM/2002 tentang Pembangkit Skala Kecil tersebar. Dalam kasus pemanfaatan energi air di Bendung Gerak Serayu yang menghasilkan energi setara 30.000-45.000 kl HSD, maka mekanisme investasi pembangkit listrik swasta melalui penunjukan langsung sesuai Permen ESDM Nomor 002/2006. Hal tersebut memerlukan sinkronisasi antara kebijakan yang diatur oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Energi dan Sumber Daya
294
Mineral. Air yang digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik tidak serta merta digunakan secara maksimal untuk keperluan penggunaan listrik, namun juga untuk keperluan irigasi dan kebutuhan air penduduk lainnya. Dalam pelaksanaan di era Otonomi Daerah, pengelolaan air permukaan mengacu pada Undang-Undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, pelaksanaan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Aspek regulasi merupakan hal yang penting sebagai dasar untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan tenaga air dari sumber daya air terutama di tingkat operasional pada masing-masing daerah. Regulasi juga berfungsi sebagai kontrol dalam pelaksanaan pengelolaan air, sehingga kelestarian kuantitas dan kualitas air dapat terjaga. Pengurusan perizinan dan surat-surat formal dapat dilaksanakan bersama antara pelaksana konstruksi PLTA, LSM, Aparat desa serta surat dukungan masyarakat. Partisipasi masyarakat, dalam hal ini dukungan masyarakat calon pemanfaat daya listrik diformalkan dalam bentuk surat perjanjian kerjasama kemitraan yang disertai dengan jaminan kesediaan bermitra dalam bentuk biaya pendaftaran. Besarnya biaya pendaftaran ditentukan secara bersama antara pelaksana konstruksi, aparat desa dan masyarakat yang diasilitasi oleh LSM. Biaya pendaftaran tersebut untuk sementara akan disimpan dalam rekening bersama Pelaksana Konstruksi dan Aparat Desa yang tidak dapat dicairkan oleh keduanya sebelum listrik dinikmati oleh masyarakat. Kajian pemanfaatan energi air di Bendung Gerak Serayu diharapkan dapat mengatasi kendala dalam pengembangannya sehingga dapat mewujudkan pembangunan PLTA di bendung tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa perijinan di tingkat pemerintah masih tergolong kompleks dan membutuhkan waktu yang lama dengan jangka waktu lebih dari 120 hari Berdasarkan hasil kajian tersebut, pemerintah perlu memfasilitasi para investor dengan menyederhanakan perijinan, memberikan ketetapan hukum, kepastian pembelian produk, perlindungan dan juga memfasilitasi usaha efisiensi dan pengembangan PLTA di Bendung Gerak Serayu di masa mendatang. Beroperasinya PLTA tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif selain bahan bakar minyak. KESIMPULAN 1. PLTA Bendung Gerak Serayu menghasilkan energi setara 30.000 kl s/d 45.000 kl HSD atau sekitar Rp. 165 s/d 231 milyar BBM tanpa subsidi per tahun, Pembangkit Listrik Tenaga Air sangat layak dikembangkan. 2. Pemerintah perlu memfasilitasi lebih mendalam para investor dengan menyederhanakan perijinan, memberikan ketetapan hukum, kepastian pembelian produk, perlindungan dan juga memfasilitasi usaha efisiensi dan pengembangan PLTA di masa yang akan datang. 3. Usaha pembangunan PLTA Bendung Gerak Serayu dapat segera dimulai dengan langkah awal melakukan penyiapan perijinan, survei dan pembuatan studi kelayakan, perancangan detail desain, pembentukan badan usaha untuk investasi, pembangunan dan pengelolaan.
295
UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ir Adang Saf Ahmad, CES Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berperan serta dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXVI Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) tahun 2012 sekaligus penggunaan sebagian data untuk penulisan artikel ini. REFERENSI Astuti, 2010. Pemanfaatan Aliran Sungai dalam Menghasilkan Energi Listrik Menggunakan Turbin Air pada PLTA Sungai. Skripsi. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru LAPITB, 2006. Usulan Pemanfaatan Energi Air. ITB. Bandung Lubis, 2007. Energi Terbarukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Journal. Jakarta, BPPT Teknik Lingkungan Vol. 8 No. 2
296
Pengembangan Potensi Sumberdaya Air Untuk Mengatasi Energi Listrik Di Propinsi Papua Farouk Maricar1*, Achmad Sumakin1, dan Indra Mutiara2 1 2
Dosen Jurusan Sipil Fakultas Teknik UNHAS
Staf Teknik Puslitbang Energi dan Kelistrikan LP UNHAS *
[email protected]
Intisari Masalah ketersediaan energi primer, ketersediaan pembangkit yang tidak seimbang dengan pertumbuhan permintaan tenaga listrik, ketergantungan kepada BBM dan harga BBM yang semakin mahal. Untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut di atas perlu dilakukan upaya untuk mencari dan memanfaatkan sumber energi alternatif terbarukan. Propinsi Papua memiliki potensi sumberdaya air yang sangat melimpah. Sungai-sungai mengalirkan besaran debit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Selain itu, kondisi topografi yang bergelombang dengan perbedaan elevasi besar sangat memungkinkan untuk mengembangkan energi listrik. Dalam rangka mengembangkan potensi dan kebutuhan energi listrik di Papua, dilakukan penyelidikan pada beberapa sungai potensial. Potensi debit, perbedaan elevasi dari sumber air ke lokasi rencana pembangkit, serta jarak pembangkit ke pemukiman yang akan dipasok di investigasi. Tujuan dari investigasi adalah untuk mengetahui potensi sungai sebagai pembangkit tenaga listrik, prasarana penunjang dan kebutuhan listrik penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hasil investigasi menunjukkan bahwa potensi sumber daya air di Papua sangat besar dan hingga saat ini belum termanfaatkan secara optimal. Kebutuhan listrik masyarakat Papua dapat dipenuhi dengan membangun PLTM dengan memanfaatkan potensi sungai dan kondisi topografi yang sangat memadai untuk dimanfaatkan sesuai dengan kondisi wilayahnya. Kata kunci: PLTM, potensi debit, Papua.
PENDAHULUAN Kondisi kelistrikan di Indonesia khususnya bagi PT PLN (Persero) pada saat ini dihadapkan kepada berbagai permasalahan yaitu antara lain: masalah ketersediaan energi primer, ketersediaan pembangkit yang tidak seimbang dengan pertumbuhan permintaan tenaga listrik, ketergantungan kepada BBM dan harga BBM yang semakin mahal. Biaya Penyediaan Pembangkitan (BPP) masih tinggi, rasio elektrifikasi baru mencapai 58% yang sebanding dengan 105 juta penduduk yang
297
tidak mendapat pelayanan energi listrik dirumah mereka (Basuki, 2007). Pelayanan listrik baru menjangkau pemukiman perkotaan, sementara wialayah pelosok masih banyak yang tidak terjangkau listrik akibat keterbatasan keuangan PLN untuk membangun tambahan pembangkit, harga jual listrik yang belum mencapai nilai keekonomian, dan lain-lain. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini BPP di luar Jawa terutama di Indonesia Timur masih sangat tinggi hal ini disebabkan karena sebagian besar pembangkit masih tergantung pada pemakaian mesin diesel yang menggunakan BBM, sehingga biaya operasional terus meningkat yang berdampak kepada kinerja sistem penyediaan listrik semakin terpuruk. Untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut di atas perlu dilakukan upaya untuk mencari dan memanfaatkan sumber energi alternatif terbarukan. Salah satu energi terbarukan yang cukup potensial adalah minihidro (PLTM) mengingat potensinya di Indonesia cukup melimpah dan tersebar di berbagai daerah. Fasilitas pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) dibangkitkan melalui energi kinetik yang digerakkan oleh air yang menggerakkan turbin. Kebanyakan fasilitas PLTM adalah tipe run of river yaitu dengan memanfaatkan aliran sungai secara alami tanpa membuat bendungan untuk membangkitkan energi (Kosnik, 2010) Hingga saat ini, PLN telah banyak melakukan studi PLTM untuk berbagai lokasi di seluruh Indonesia terutama di era tahun 80-an, termasuk di Papua. Di Papua, pemanfaatan daya listrik tersebut masih rendah, karena umumnya masyarakat hanya menggunakannya untuk penerangan saja, sedangkan pemanfaatan listrik untuk industry masih terbilang kecil. Selain itu, masyarakat di Papua umumnya hidup didaerah terpencil dan tidak merata. Hal ini merupakan suatu permasalahan tersendiri karena sulit terjangkau PLN. Untuk memanfaatkan potensi sumber daya air dan melaksanakan pembangunan PLTM di Papua, diperlukan suatu perencanaan yang matang sehingga diperlukan investigasi tentang potensi sungai sebagai sumber air dan kondisi daerah yang akan dilayani. GAMBARAN UMUM PENGEMBANGAN PLTM DI PAPUA Potensi energi terbarukan di Indonesia seperti sumber daya energi tenaga air masih berlimpah namun belum dimanfaatkan secara optimum. Tabel 1 menunjukkan data statistik yang dikeluarkan oleh Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) bahwa potensi tenaga air di Indonesia sebesar 75.000 MW. Secara alami topografi daerah Papua memungkinkan pengembangan tenaga air dengan tersedianya tinggi jatuh yang memadai. Fakta menunjukan bahwa sungaisungai di Papua memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangkit listrik. Ada sekitar 52 sungai dengan potensi maksimal sekitar 22.350 MW (Megawatt) atau energi sebesar 135.036,8 GWH. Pemerintah Propinsi Papua juga berencana membangun sebuah PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dengan memanfaatkan air sungai Mamberamo. Tujuannya tetap serupa. Yakni untuk memberikan kemudahan
298
bagi rakyat Papua dalam penerangan. Sebelumnya, rencana tersebut telah dilakukan sejak 1990-an oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Pengembangan dan Kekayaan Alam untuk pengembangan Sungai Mamberamo. Sungai Mamberamo sendiri memiliki panjang sekitar 600 km dengan DAS seluas 80 ribu meter persegi. Debit airnya sebesar 4.500 meter kubik/detik. Ini tentu mampu menjadi sumber energi listrik sebesar 15 sampai dengan 20 ribu megawatt (MW). Namun pembangkit listrik skala besar tidak sepenuhnya dapat menjawab masalah pemenuhan kebutuhan energi, karena dengan membangun distribusi kabel sepanjang puluhan hingga ratusan kilometer utamanya di daerah seperti Papua menjadi kurang efektif. Meskipun demikian PLN berencana membangun PLTA Baliem dengan kapasitas 50 MW. Disisi lain, PLN saat ini sedang menguji coba PLTMH sekitar 0.5 MW. Selanjutnya juga akan mengembangkan PLTMH di Sungai Walessi sebesar 2x600 KW. Tabel 1. Potensi Tenaga Air di Indonesia
Sumber: Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) diharapkan dapat mengatasi kebutuhan listrik masyarakat di daerah Papua mengingat potensi sumberdaya air yang dimiliki sebagai pembangkit listrik sangat menunjang untuk dikembangkan. Kapasitas terpasang PLTMH di Papua termasuk di Maluku saat ini adalah sebesar 4.587 kW (Tabel 2). Tabel 2. Kapasitas terpasang PLTMH di Indonesia
Sumber: Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
299
Papua melalui PT PLN Persero telah memiliki dua Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Pertama di Kabupaten Fak-Fak dan kedua di Wamena. PLTM di Daerah Werbar, Kabupaten Fak-Fak diperkirakan memiliki pasokan listrik sebesar 2x500 KW. Untuk Daerah Walesi, di Wamena, diperkirakan pasokan listrik tenaga mikrohidro yang dimiliki sebesar 80,300 KW (Abubar dkk, 2012). Berbagai studi yang dilakukan pada tahun 1980an saat ini di kaji kembali. Kajian dilakukan terhadap kelayakan beberapa lokasi yang dianggap potensial untuk dikembangkan seperti ketersediaan air, kondisi lingkungan, maupun sosial ekonomi. Informasi dan data yang ada mengindikasikan untuk melakukan investigasi pengembangan PLTM di daerah Tatui di Kecamatan Yapen Selatan Kabupaten Yapen Waropen Papua.
Gambar 1. Lokasi Studi KAJIAN PENGEMBANGAN PLTMH DI TATUI Topografi Dalam perencanaan pengambangan PLTMH di Tatui Kabupaten Yapen Waropen, dilakukan investigasi untuk mengetahui potensi tenaga air yang ada. Investigasi dilakukan terhadap dua hal pokok yaiyu pemetaan topografi dan studi hidrologi. Dari kedua studi tersebut, digunakan peta topografi dan data meteorologi untuk mengidentifikasi potensi PLTM di lapangan dan menghitung tinggi jatuh (head) dan ketersediaan aliran (flow rate).
300
Studi peta dilakukan dengan menggunakan peta topografi yang disediakan oleh Bakosurtanal seri ID-H23-250K, ID-H24-250K, ID-I23-250K dan ID-I24-250K, dengan skala 1:250 dan interval kontur 100 m (Gambar 2.). Berdasarkan studi peta topografi diperoleh gambaran umum daerah aliran sungai, kemiringan lahan, elevasi tertinggi dan terendah, lokasi intake yang memungkinkan untuk disurvey. Survei lapangan dilakukan mengacu kepada hasil studi peta, yang dilanjutkan dengan pengukuran topografi yang lebih detail.Metodologi studi pada dasarnya diperlukan untuk menjelaskan mengenai metode dan teknis pelaksanaan studi.
Gambar 2. Kondisi Topografi Daerah Studi Hasil studi menunjukkan karakteristik fisiografi dari lokasi. Dari hasil karakteristik fisiografi, lokasi yang disurvei diprediksi mempunyai potensi untuk pengembangan PLTM yang diidentifikasi berdasarkan pertimbangan tiga faktor utama yaitu kebutuhan energi, profil sungai dan wilayah pemukiman. Kondisi lahan distudi dengan cermat dan hati-hati untuk menentukan kecocokan elevasi untuk pengalihan aliran dan tinggi jatuh. Profil sungai merujuk kepada kemiringan memanjang dan melintang sungai. Ini sangat membantu untuk menentukan ketersediaan air dan tenaga yang dihasilkan. Informasi di atas menunjukkan bahwa daerah aliran sungai, profil sungai dan kedekatan lokasi dengan daerah layanan sangat cocok di bangun PLTM. Secara keseluruhan dari studi di atas kecocokan aliran, tinggi jatuh, daerah aliran sungai jalur aliran ke rumah pembangkit diidentifikasi pengembangan PLTM. Lokasi PLTM Tatui rencana dibangun di atas ketinggian dengan elevasi +23 m dpl pada keadaan medan perbukitan dengan kemiringan berkisar 13.93%. Ketersediaan tinggi jatuh di diperkirakan berdasarkan perhitungan perbedaan elevasi antara lokasi intake dan tailrace. Hidrologi PLTM Tatui direncanakan menggunakan aliran sungai Worui dengan luas DAS sebesar 65,2 km2. Kondisi air sungai jernih dengan suhu yang rendah. Analisis hidrologi dilakukan dengan menggunakan data hujan periode pencatatan dari tahun
301
1997 hingga tahun 2007 yang diperoleh dari stasiun curah hujan Serui serta data iklim dari stasiun klimatologi Slamet Serui. Untuk data evaporasi harian, data evaporasi tahunan rerata untuk tiap tahun dihitung untuk tahun 1998 hingga 2008. Evaporasi dan curah rerata untuk 10 tahun digunakan untuk studi hidrologi seperti debit andalan sungai. Debit andalan yang merupakan debit yang dipakai sebagai andalan persediaan sungai dihitung dengan menggunakan metode simulasi Mock, karena pada lokasi sungai tidak ditemukan stasiun pencatat tinggi muka air (AWLR). Selain itu juga dilakukan pengukuran debit sesaat untuk membandingkan kondisi debit nyata di lapangan pada saat itu (Gambar 3).
Gambar 3. Pengukuran debit sesaat di sekitar lokasi rencana Intake S. Tatui. Debit andalan sungai berdasarkan perhitungan debit bulanan dengan metode simulasi Mock. Kemudian dihitung Flow Duration Curve (FDC), dengan menganalisa frekuensi kumulatif debit. Selanjutnya FDC digambarkan dengan hubungan persentase frekuensi kumulatif (%) dan nilai median debit bulanan (Gambar 4) .
Gambar 4. Flow Duration Curve (FDC) Rencana PLTM Tatui.
302
Debit andalan sungai berdasarkan perhitungan debit bulanan dengan metode simulasi Mock. Kemudian dihitung Flow Duration Curve (FDC), dengan menganalisa frekuensi kumulatif debit. Selanjutnya FDC digambarkan dengan hubungan persentase frekuensi kumulatif (%) dan nilai median debit bulanan (Gambar 4) . HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Hasil analisis hidrologi menunjukkan bahwa berdasarkan probabilitas yang diandalkan 85-90% diperoleh debit andal sebesar 7.71 m3/det, dengan debit bulanan minimum 3.80 m3/det dan debit bulanan maksimum 13.45 m3/det. Berdasarkan hasil perhitungan debit andalan dan hasil pengukuran beda tinggi dengan menggunakan water pass, perkiraan potensi PLTM Tatui yaitu dengan tinggi jatuh (head) H=18.9405 m diperoleh sebesar P=1095.23 kW. Bendung PLTM Tatui direncanakan pada elevasi +23.0 dpl dengan elevasi muka air bendung +37.0 m dpl. Tinggi bendung direncanakan 14 m dengan lebar total 24 m. Panjang saluran penghantar direncanakan sepanjang 807 m dari bangunan intake sampai ke bak penenang melalui saluran terbuka dari pasangan batu dengan kemiringan 0.0005. Selanjutnya rencana lokasi bak penenang PLTM Tatui terletak pada elevasi +36.36 m dpl dengan elevasi dasar bak penenang + 31.98 m dpl. Pipa pesat direncanakan dengan kecepatan 2-3 m/det dengan diameter 1.75 m. KESIMPULAN 1. Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro sangat cocok dikembangkan di Wilayah Papua karena memiliki potensi tenaga air yang sangat besar dan distribusi penduduk di daerah terpencil dan tidak merata. 2. Pengembangan PLTM di Papua selain untuk pemerataan pelayanan listrik bagi seluruh wilayah di Indonesia, juga untuk mendukung pengurangan tingkat konsumsi bahan bakar minyak dan keterbatasan distribusi bahan bakar didaerah terpencil. 3. Daerah Tatui memiliki potensi sungai yang dapat diandalkan dalam pembangunan PLTM untuk melayani Kecamatan Yapen Selatan Kabuten Yapen Waropen, Papua. 4. PLTM Tatui dapat menghasilkan energi sebesar 1095,23 kW berdasarkan debit desain sebesar 7.71 m3/detik dan tinggi jatuh efeketif sebesar 18.94 m 5. Pembangunan PLTM Tatui dapat mempersingkat dan meningkatkan efisiensi dari sistem pembangkit yangsaat ini disuplai dari 9 Unit PLTD yang pusat bebannya di Kecamatan Kosiwo, berada sekitar 35 km dari rencana PLTM dengan medan yang sangat berat.
303
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Pembangkit Listrik dan Jaringan Sulawesi Maluku dan Papua yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan investigasi di Daerah Papua berdasarkan anggaran yang tersedia.. REFERENSI Arismunandar A.(1979). Teknik Tenaga Listrik, Jilid I Pembangkitan Dengan Tenaga Air, Pradnya Paramita, Jakarta . Kosnik L., (2010). The potential for small scale hydropower development in the US. Energy Policy, 38: pp.5512-5519. Musa Abubar, Carol Ayomi, Makawaru da Cunha, Dominggus Mampioper, 2012. Potensi Hydro Power di Papua, Dari Mamberamo Sampai Danau Sentani. Kumpulan Artikel - 104 - Energi Sungai PLTMH / Micro Hydro Power. Renewable Energy - Alpen Steel. OC Patty (1995). Bangunan Tenaga Air. Erlangga, Jakarta Raman N. dan Husein I., (2010). Reconnaissance study ti identify micro hydro potential sites in Malaysia. European Journal of Scientific Research, Vol.41 No.3: pp.354-372. Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan 4, Bagian Bangunan. Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, CV Galang Persada ,Bandung.
304
Isu dan Tantangan Pengembangan PLTMH di Wilayah Kerja PJT II Iding S. Adiwinata, Anton Mardiyono*, dan Elyawati Siregar Perum Jasa Tirta II *
[email protected]
Intisari Energi terbarukan mempunyai peranan penting dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah akan membutuhkan pasokan listrik yang semakin meningkat pula, baik skala kecil atau besar. Salah satu cara penyediaan listrik berskala kecil yang efektif dapat dilakukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), yang memanfaatkan potensi tenaga air dan tidak tergantung kepada sumberdaya alam berbahan baku fosil serta ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi karbon (eco green technology). Perum Jasa Tirta II (PJT II) memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya air (SDA) di wilayah kerjanya, dimana SDA sebagai sumber energi terbarukan berupa potensi PLTMH yang tersebar di seluruh daerah kerja, PJT II berencana akan membangun PLTMH Leuweung Seureuh dan Cikeas serta menyalurkan daya listrik yang dihasilkan kejaringan PT PLN (Persero). Terdapat beberapa isu dan tantangan dalam pengembangan penyediaan listrik berskala kecil melalui PLTMH baik dari aspek teknis maupun non teknis antara lain tidak mendukungnya kebijakan pemerintah mengenai energi terbarukan, khususnya tentang besaran tarif dan mekanisme dukungan finasial melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM) sehingga kelayakan pengembangan PLTMH menjadi rendah. Kata kunci: PLTMH, energi terbarukan, CDM.
PENDAHULUAN Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perum Jasa Tirta II (PJT II) menetapkan tugas dan tanggung jawab di bidang pengelolaan sumberdaya air (SDA) di wilayah kerja PJT II dengan mengedepankan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi dalam pengelolaan SDA secara selaras. Energi terbarukan mempunyai peranan penting dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah akan membutuhkan pasokan listrik yang semakin meningkat pula, baik skala kecil atau
305
besar. Salah satu cara penyediaan listrik berskala kecil yang efektif dapat dilakukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), yang memanfaatkan potensi tenaga air dan tidak tergantung kepada sumberdaya alam berbahan baku fosil serta ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi karbon (eco green technology). PJT II memiliki kewenangan dalam pengelolaan SDA di wilayah kerjanya, dimana SDA sebagai sumber energi terbarukan berupa potensi PLTMH yang tersebar di seluruh daerah kerja, PJT II berencana akan membangun PLTMH Leuweung Seureuh dan Cikeas serta menyalurkan daya listrik yang dihasilkan kejaringan PT PLN (Persero). Saat ini PT PLN (Persero) membuka kesempatan kepada kalangan pebisnis untuk mengembangkan potensi tenaga air bahkan memberikan insentif harga pembelian tenaga listrik yang lebih atraktif melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 31 Tahun 2009. Terdapat beberapa isu dan tantangan dalam pengembangan penyediaan listrik berskala kecil melalui PLTMH baik dari aspek teknis maupun non teknis antara lain tidak mendukungnya kebijakan pemerintah mengenai energi terbarukan, khususnya tentang besaran tarif dan mekanisme dukungan finasial melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM) sehingga kelayakan pengembangan PLTMH menjadi rendah. Tulisan ini merupakan isu detail dan permasalahan yang ada, solusi yang diharapkan serta rekomendasi yang dapat dijadikan solusi dimaksud. Kebijakan penyediaan listrik dengan energi terbarukan Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan listrik energi terbarukan: a. Pemerintah Indonesia
1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 tahun 2009 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik: PT PLN wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas sampai dengan 10 MW. Harga pembelian tenaga listrik: a) interkoneksi pada Tegangan Menengah (TM) = Rp 656 / kWh x F b) interkoneksi pada Tegangan Rendah (TR) = Rp 1.004 / kWh x F Dalam kontrak jual beli tenaga listrik dilakukan tanpa negosiasi dan persetujuan harga dari Menteri ESDM, Gubernur atau Bupati/Walikota, sedangkan PT PLN dapat membeli dengan harga melebihi tarif tersebut yang didasarkan pada Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan wajib mendapat persetujuan Menteri ESDM.
306
2) Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) DNPI tengah merumuskan mekanisme pasar karbon domestik di Indonesia, guna mendukung pengembangan PLTM/PLTMH kapasitas kecil dengan sumber dana pemberi kredit karbon berasal dari dana corporate social responsibility/CSR Badan Usaha Milik Negara (BUMN). b. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) : United Nation Framework Convention
on Climate Change (UNFCC) Clean Development Mechanism (CDM) melalui UNFCC, merupakan badan PBB yang mengatur mekanisme pemberian dana untuk pembelian emisi dari negara maju kepada negara berkembang yang akan melakukan pembangunan suatu proyek yang termasuk dalam proyek penerima pemberian dana. Besaran pemberian dana (pembelian emisi) ditentukan berdasarkan perhitungan nilai Certified Emission Reduction (CERs) yang diatur melalui DNPI. Konsepsi CDM dalam bentuk carbon credit dimana negara-negara maju dunia berkomitmen masing-masing untuk mengurangi emisi karbon, dengan mekanisme pemberian dana (pembelian emisi) kepada negara-negara berkembang yang akan melakukan pembangunan suatu proyek yang termasuk dalam proyek penerima pemberian dana (Kyoto Protocol, 1997). Prosedur implementasi CDM di Indonesia secara garis besar: 1) penyusunan Project Design Document (PDD): oleh project owner berisi resume FS, DED dan estimasi pengurangan karbon yang dihasilkan. 2) konsultasi publik: konsultasi dan diseminasi proyek dilakukan bersama/kepada seluruh stakeholder guna mendapat dukungan stakeholder. 3) Penyampaian PDD guna mendapatkan persetujuan/validasi Pemerintah/DNPI: disampaikan kepada pemerintah melalui DNPI. Pembahasan dilakukan antara project owner dan DNPI untuk klarifikasi, serta persiapan validasi proyek melalui konsultan supervisi yang ditunjuk DNPI. Seluruh proses, metoda dan hasil validasi wajib disampaikan DNPI kepada project owner. 4) Registrasi proyek kepada UNFCC: proyek yang mendapatkan persetujuan DNPI melakukan registrasi oleh project owner dengan melampirkan PDD dan rekomendasi DNPI. 5) Verifikasi & sertifikasi CERs oleh UNFCC: proses verifikasi dan sertifikasi dilakukan UNFCC melalui konsultan supervisi yang ditunjuk UNFCC berdasarkan PDD yang disampaikan. Project owner (dan konsultan) melakukan penjajakan kepada buyer country yang direkomendasikan UNFCC. 6) Penerbitan & transaksi CERs: UNFCC berdasarkan rekomendasi konsultan supervisi menetapkan nilai CERs proyek. Transaksi dilakukan antara project owner dan diketahui oleh UNFCC.
307
Besaran pemberian dana (pembelian emisi) ditentukan berdasarkan perhitungan besaran nilai CERs. Berdasarkan CDM project yang sudah terimplementasi di dunia, dapat dilakukan pendekatan perhitungan berikut: 1) 1 CERs = 1 ton CO2 = 10 Euro/tahun, 2) PLTMH dengan kapasitas 1 MW dapat mereduksi 5.000 ton CO2 per tahun, setara 5.000 CERs, dengan faktor emisi 0,89 untuk Pulau Jawa, 3) Untuk PLTMH kapasitas 1 MW dapat memperoleh dana pembelian emisi (carbon credit) sebesar ± 50.000 Euro/tahun ~ Rp 700.000.000/tahun. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Studi Kasus PLTMH Leuweung Seureuh dan Cikeas PJT II sedang mengembangkan potensi SDA untuk pembangunan PLTMH antara lain dengan memanfaatkan sistem jaringan irigasi Bangunan Bagi Utama Leuweung Seureuh dan limpasan air Bendung Cikeas. a. PLTMH Leuweung Seureuh Direncanakan dengan memanfaatkan debit di Saluran Sekunder Majalaya, berasal dari Saluran Tarum Utara yang merupakan saluran irigasi dimana debit yang mengalir di dalamnya sudah diatur sesuai kebutuhan di pintu-pintu air dan bersumber dari Waduk Ir.H.Djuanda. Debit andalan, disain PLTMH, gambar potongan turbin, dan prakiraan biaya proyek dapat di lihat di bawah ini.
5,5
Debit andalan Q80% = 5,50 m3/dt yang digunakan untuk kebutuhan turbin dan debit saluran direncanakan 6,05 m3/dt, selisih debit 0,55 m3/dt digunakan untuk flushing/ pembilasan sedimen.
Gambar 1. Debit andalan Sal. Sekunder Majalaya Tabel 1. Disain PLTMH Leuweung Seureuh Uraian Lokasi Disain
Bang. Bagi Utama Leuweung Seureuh Daerah Irigasi Tarum Utara Desa Bengle, Kec. Majalaya, Kab. Karawang 2 turbin & 2 generator
Uraian Jenis turbin Debit desain Head kotor Efisiensi Energi yang dihasilkan
propeler 5,5 m3/dt 3,35 m 0,782 141,5 kW
308
7.00
6.00
EL 20.000
EL 18.400
2.71 EL 16.300 EL 15.000 EL 15.000 EL 14.500
3.62
EL 13.800
1.28
Beton Masif
EL 10.500
3.50
10.96
2.00
13.40
1.00
0.50
Gambar 2. Potongan turbin PLTMH Leuweung Seureuh Tabel 2. Prakiraan biaya proyek Uraian Komponen biaya Biaya investasi Biaya O&P tahunan Analisis ekonomi: Interkoneksi TM, tarif Rp 656/kWh Interkoneksi TR, tarif Rp 1.004/kWh
biaya investasi, operasi & pemeliharaan Rp 4.270.000.000 Rp 72.624.471 nilai NPV negatif ; IRR < 10 % ; tidak layak nilai NPV positif ; IRR > 17 % ; layak
Hasil analisis ekonomi menunjukan kelayakan proyek apabila menggunakan interkoneksi TR, apabila menggunakan interkoneksi TM proyek ini tidak layak. b. PLTMH Cikeas PLTMH Cikeas direncanakan dengan memanfaatkan limpasan air Bendung Cikeas, yang berasal dari aliran Sungai Cikeas dan merupakan anak Sungai Bekasi. Debit andalan, disain PLTMH, gambar potongan bendung dan lokasi PLTMH, dan prakiraan biaya proyek dapat di lihat di bawah ini. Debit andalan Sungai Cikeas Q80% = 3,144 m3/dt. Terjadi tren penurunan debit minimum pertahunnya, dimana debit Sungai Cikeas sangat dipengaruhi oleh kondisi DAS di daerah hulu sungai sebagai catchment area.
Gambar 3. Debit andalan Sungai Cikeas
309
Tabel 3. Disain PLTMH Cikeas Uraian Lokasi
Bendung Cikeas Kel. / Kec. Jatiasih, Kota Bekasi
Disain
2 turbin & 2 generator
Jenis turbin
crossflow
Uraian Debit desain Head kotor Efisiensi Energi yang dihasilkan
3,0 m3/dt 7,00 m 0,72 135,0 kW
2.00 FW L
3: 1
1:1
1:1
Gambar 4. Potongan Bendung PLTMH Cikeas
Gambar 5. Bendung Cikeas Tabel 4. Prakiraan biaya proyek Uraian Komponen biaya Biaya investasi Biaya O&P tahunan Analisis ekonomi: Interkoneksi TM, tarif Rp 656/kWh Interkoneksi TR, tarif Rp 1.004/kWh
biaya investasi, operasi & pemeliharaan Rp 6.45.000.000 Rp 300.000.000 nilai NPV positif ; IRR > 11,2 %, layak dipertimbangkan nilai NPV positif ; IRR > 21,8 % ; layak
310
Hasil analisis ekonomi menunjukan kelayakan proyek apabila menggunakan interkoneksi TR, apabila menggunakan interkoneksi TM proyek ini layak dipertimbangkan. Isu dan Tantangan Pembangunan PLTMH sangat layak dan dapat memberikan keuntungan, tetapi proses pelaksanaannya sangat panjang dan membutuhkan dana yang cukup besar. Permasalahan yang dihadapi antara lain: a. Permasalahan teknis 1) Ketersediaan debit andalan, terkait dengan keberadaan daerah aliran sungai
(DAS) terutama di daerah hulu yang rusak dan kondisi semakin menurun.
2) Alokasi air, terjadi konflik antara air irigasi dengan kebutuhan komersial
termasuk PLTMH.
b. Tegangan Rendah (TR) tidak stabil 1) Berdasarkan tarif tenaga listrik PLTMH dibagi menjadi 2 kelompok tarif
yakni tarif TM dan TR, hasil terbaik didapat dari penjualan melalui TR karena tarifnya lebih tinggi dari pada TM sedangkan biaya proyek, biaya operasional dan kondisi fasilitas pinjaman tidak akan berbeda.
2) Interkoneksi PLTMH di jaringan PLN pada TR biasanya beban jaringan
tidak stabil seperti sering mati dan tegangan rendah. Apabila kapasitas PLTMH kecil, maka unit PLTMH akan terombang ambing mengikuti pola kelistrikan, mengakibatkan kerusakan pada komponen-komponen: a. trafo sering overheating, b. circuit breaker atau kontaktor karena pembangkit sering hidup mati,
c. actuator karena sering buka tutup, sinkronisasi, emergency shutdown sehingga piston dan pompa hydraulic cepat rusak/bocor/aus, d. SCR/TRIAC karena load control (ELC/IGC), dan e. generator dan turbin karena over speed. c. Prosedur implementasi CDM di Indonesia sangat panjang, sulit, memerlukan
waktu lama dan biaya besar:
1) Prosedur CDM : (a) Penyusunan Project Design Document (PDD),
(b) konsultasi publik, (c) Penyampaian PDD guna persetujuan/validasi Pemerintah (DNPI), (d) registrasi proyek kepada UNFCC, (e) verifikasi & sertifikasi CERs oleh UNFCC, dan (f) penerbitan & transaksi CERs.
2) Estimasi biaya yang dibutuhkan:
i. Biaya konsultan praktisi, yang dibutuhkan pada awal proses senilai 50.000 USD ~ Rp 450.000.000.
±
ii. Biaya konsultan supervisi yang ditunjuk DNPI, untuk proses verifikasi pertama dan tahunan (setiap tahun) senilai ± 35.000 USD ~ Rp 315.000.000 per tahun.
311
d. CarbonOne Consultant merekomendasikan proyek PLTA/PLTMH yang feasible
(layak) untuk implementasi CDM dengan kapasitas minimal 2.000 kVA atau setara dengan 2 MW.
Sehubungan dengan rencana pembangunan PLTMH Leuweung Seureuh dan Cikeas dengan kapasitas 2 x 70 kVa atau setara dengan 0,17 MW yang berpotensi untuk mendapatkan ± Rp 100.000.000/tahun, namun dengan mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk biaya konsultan praktisi dan supervisi di atas, maka implementasi CDM untuk pembangunan PLTMH tersebut dinilai tidak feasible. Solusi Pembangunan PLTMH akan menghasilkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak menghasilkan emisi atau merusak ekosistem, tetapi dalam pelaksanaanya akan menemukan isu dan tantangan dengan solusi sebagai berikut: a. Untuk menjaga kontinuitas ketersediaan debit andalan, diperlukan usaha mempertahankan DAS di daerah hulu dengan melakukan usaha konservasi DAS, tidak merubah peruntukan lahan, dll. b. Pemakaian air untuk PLTMH yang menggunakan saluran irigasi dijamin tidak akan mengganggu fungsi bangunan/saluran air yang ada maupun aliran airnya, serta tidak akan mengurangi debit untuk kebutuhan air irigasi atau kebutuhan komersil, karena air yang digunakan untuk menggerakkan turbin merupakan air saluran pembuang yang sebagian airnya akan kembali ke saluran irigasi lagi. c. Karena suplai tenaga listrik dengan interkoneksi TR mempunyai kendala tegangan yang tidak stabil, yang paling aman adalah membangun PLTMH on grid (membangun jaringan sendiri) pada jaringan yang relatif baik dan stabil tetapi biaya sangat mahal. d. Perlu adanya koordinasi antar seluruh sektor dalam kegiatan pembangunan PLTMH. Dukungan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden atau Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai payung kerjasama yang akan dilakukan. e. Diperlukan dukungan Pemerintah untuk menaikkan tarif tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan dan kebijakan implementasi CDM yang mempermudah pembangunan PLTMH, agar tidak menemui kendala dalam implementasi pemanfaatan SDA. f. Perlu adanya mekanisme dana talangan terlebih dahulu dalam bentuk bantuan dana APBN, pinjaman (loan) atau subsidi untuk membantu suksesnya program pembangunan PLTMH.
312
KESIMPULAN Perlu bantuan dari Pemerintah untuk pengembangan PLTMH seperti insentif dalam bentuk kemudahan, keringanan dan keleluasaan untuk mengembangkan potensi SDA yang ada dan energi terbarukan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. REFERENSI BPLHD Kota Bekasi. 2011. Laporan Akhir (Final Report) Pekerjaan Perencanaan Teknis Pemanfaatan Bendung Kali Cikeas sebagai Air Baku PDAM dan Sarana Penunjang. Konsultan PT Andika Persada Raya Consulting Engineers. PJT II. 2009. Laporan Akhir Review FS dan Desain Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Leuweung Seureuh. Konsultan PT Sewun Indo Konsultan. PJT II. 2011. Laporan Akhir FS Pengembangan PLTMH Bendung Cikeas. Konsultan PT Arun Prakarsa Inforindo. CarbonOne International Group. 9 Juni 2011. Clean Development Mechanism. PT Nvision Indonesia. Consilience Energy Advisory Group Limited. 2011. Climate Change & Emissions Trading: Wahat Every Business Needs To Know. Third Edition. ICAP.
313
Kebijakan Pemerintah Untuk Mendorong Peran Serta Masyarakat Dalam Pengembangan PLTM M. Budi Setianto Senior Engineer EBT, Divisi EBT, PT PLN (Persero) Kantor Pusat
Intisari Bahwa peran masyarakat atau swasta dalam penyediaan tenaga listrik dari sumber energi terbarukan semakin berkembang. Penyediaan tenaga listrik oleh swasta yang menjual tenaga listriknya kepada PLN, berkembang pesat sejak dibukanya peluang peran swasta tersebut, khususnya pengembangan tenaga listrik dari sumber tenaga air mini (PLTM) dengan kapasitas sampai dengan 10 MW. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari dukungan kebijakan dan prosedur yang lebih jelas, sederhana dan ringkas. Dukungan kebijakan dan prosedur pengembangan PLTM sampai dengan 10 MW dititik beratkan pada aspek perijinan, prosedur pengadaan dan harga beli tenaga listrik oleh PT PLN (Persero). Dukungan kebijakan dan prosedur pengembangan PLTM sampai dengan 10 MW perlu disampaikan dan dimengerti oleh stake holder, agar pengembangan PLTM oleh pihak swasta dapat semakin berkembang dan diminati. Dengan demikian pemanfaatan energi terbarukan, dalam hal ini tenaga air, dapat ditingkatkan. Kata kunci : PLTM, Kebijakan, peran swasta, prosedur
PENDAHULUAN Bahwa sejak dimulainya kebijakan pemerintah tentang peran serta masyarakat (Swasta) dalam penyediaan tenaga lsitrik pada awal tahun 2000-an, melalui skema perjanjian pembelian tenaga listrik dengan PLN, sedikit banyak telah dirasakan manfaat peran tersebut dalam pemenuhan trend kebutuhan tenaga listrik yang terus naik hingga saat ini. Dilain pihak tekanan dari wacana internasional dalam mengurangi polusi khususnya dari kegiatan pembangkitan tenaga listrik, telah memunculkan semangat ”green energy”, dengan kampanye untuk lebih banyak menggunakan energi dari sumber-sumber yang ramah lingkungan, menggunakan sumber-2 setempat dan mengurangi konsumsi energi fossil, yang mengarah pada kecenderungan untuk menggunakan energi dari sumber-2 yang terbarukan dan sunber-2 energi baru lain yang ramah lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah Indonesia juga memandang perlu untuk mendorong pengembangan tenaga listrik dari sumber-2 energi baru dan terbarukan (EBT), dengan melibatkan peran swasta. Demikian juga PLN sebagai pembeli tunggal tenaga listrik dari setiap PLTM yang dibangun swasta, mendukung kebijakan pemerintah dengan menerapkan prosedur yang jelas dan transparan.
314
Makalah ini titik berat kebijakan dan prosedur, dengan yang ditinjau adalah pada sektor ketenagalistrikan. Peraturan yang menyangkut perijianan diluar sektor ketenagalistrikan tidak ditinjau/dikaji, misalnya ijin-ijin dari Pemda, PU, Kehutanan, Lingkungan Hidup dan lain-lain. Tinjauan Pustaka Undang-Undang dan Peraturan-peraturan penting yang mendasari kebijakan pengembangan pembangkit EBT, termasuk PLTM, antara lain adalah : 1. Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 001 Tahun 2006 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum Jo. Peraturan Menteri ESDM No. 004 Tahun 2007 (Perubahan Permen ESDM No. 001 tahun 2006). 4. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2006, tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989, tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. 5. Peraturan Menteri ESDM No. 05 Tahun 2009 tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Koperasi Atau badan Usaha Lain. 6. Peraturan Menteri ESDM No. 04 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik. Kebijakan Direksi PT PLN (Persero) terkait pengembangan PLTM adalah : 1. Edaran Direksi PT PLN (Persero) No.005.E/DIR/2006 tentang Petunjuk Penyusunan Kelayakan Proyek Sarana Ketenagalistrikan Dalam RUPTL 2. Edaran Direksi PT PLN (Persero) No.028.E/DIR/2010 tentang Pedoman Penerapan Management Resiko di Lingkungan PT PLN (Persero). 3. Edaran Direksi PT PLN (Persero) No. 009 Tahun 2008 tentang Pendelegasian Pengadaan IPP Ke Unit Bisnis Wilayah/Distribusi. 4. Surat Direktur Perencanaan & Teknologi PT PLN (Persero) No. 00836/128/ DITREN/2010, tanggal 13 April 2010 tentang Penyampaian Standar Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik Kapsitas s/d 10 MW. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas, ditambah dengan kebijakan di tingkat PT PLN (Persero), maka dapat diidentifikasi hal-hal penting yang menjadi pendukung pengembangan pembangkit EBT skala sampai dengan 10 MW dan prosedur yang lebih sederhana dan cepat dibanding dengan pengembangan pembangkit listrik pada umumnya.
315
Hasil Pembahasan Hal-hal penting yang mendukung peluang partisipasi swasta dalam pengembangan pembangkit listrik energi baru-terbarukan (termasuk PLTM), khususnya untuk skala kapasitas sampai dengan 10 MW, hasil dari tinjauan terhadap Undang-Undang dan Peraturan terkait seperti terurai di bawah ini. Peran Serta Swasta Dalam penyediaan Tenaga Listrik Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 4, ayat (2) menyebutkan bahwa : “Badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan tenaga listrik”. Peran serta pihak swasta tersebut mendapat jaminan pembelian tenaga listrik terhadap hasil produksi dari pembangkit listrik swasta, khususnya yang berbasis energi terbarukan dengan kapasitas sampai dengan 10 MW, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 04 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil Dan menengah Atau kelebihan Tenaga Listrik, Pasal 1 ayat (1) : “ PT PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga lsitrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga lostrik (Excess Power) dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badab usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat”. Perencanaan Awal Ketenagalistrikan Pada umumnya pengembagan pembangkit listrik didahului dengan perecanaan secara sistem ketenagalistrikan, yang dituangkan di dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disahkan oleh Menteri ESDM. Untuk pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan sampai dengan 10 MW (termasuk PLTM), pada perencanaan awal tidak perlu harus masuk dalam skema RUPTL. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari wajib membeli sesuai Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM No. 04 Tahun 2012 tersebut di atas, dimana telah memangkas prosedur dan waktu proses secara berarti (significant). Proses Dengan Penunjukan Langsung Proses untuk mencapai perjanjian jual-beli tenaga listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan dapat diproses melalui mekanisme penunjukan langsung. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Pasal 25 : “Pembelian tenaga listrik dapat dilakukan melalui penunjukan langsung dalam hal pembelian tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan”. Proses melalui penujukan langsung juga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 001 Tahun 2006 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum, yang telah diubah terakhir dengan Peraturan menteri ESDM No. 004 Tahun
316
2007, Pasal 16 : 1. Koperasi dan Badan Usaha lain mengajukan usulan penjualan tenaga listrik melalui penunjukan langsung kepada PKUK. 2. PKUK mengajukan usulan pembelian tenaga listrik melalui penunjukan langsung kepada Menteri ESDM melalui Dirjen Ketenagalistrikan. Proses penunjukan langsung tersebut sangat membantu dalam mempercepat proses pengadaan untuk pembelian tenaga listrik dari PLTM s/d 10 MW. Harga Pembelian Tenaga Listrik Harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan telah ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.04 Tahun 2012, tentang ”Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil Dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik”, pasal 2, ayat (1) : a. Rp 656/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah b. Rp 1,004/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah Ayat (2) : F sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan faktor insentif sesuai dengan lokasi pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dengan besaran sebagai berikut : a. b. c. d.
Wilayah Jawa Dan Bali .................................................................. Wilayah Sumatera dan Sulawesi .................................................... Wilayah Kalimantan, Nusatenggara Barat dan Tenggara Timur .... Wilayah Maluku dan Papua ........................... ................................
:1; : 1,2 ; : 1,3 ; : 1,5
Peraturan/Kebijakan PT PLN (Persero) Proses menuju tercapainya perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA) didukung dengan kebijakan PT PLN (Persero) antara lain : a. Desentralisasi ke PLN Wilayah/Distribusi Proses awal pengembangan dimuali dari PLN Wilayah atau Distribusi sesuai dengan rencana lokasi PLTM berada. Demikian pula General Manager PLN Wilayah/Distribusi sebagai penandatangan perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA), sesuai dengan Edaran Direksi PT PLN (Persero) No. 009 Tahun 2008 tentang Pendelegasian Pengadaan IPP Ke Unit Bisnis Wilayah/Distribusi. b. Kajian Kelayakan Proyek (Operasi dan Financial / KKO dan KKF) Untuk menjamin aspek ketersambungan (interkoneksi ke jaringan PLN), terhadap setiap usulan PLTM perlu dilakukan kajian aspek operasional (KKO) pembangkit dan juga tinjauan aspek financial (KKF) dari pengembangan pembangkit oleh swasta tersebut. Kajian tersebut disebut sebagai Kajian Kelayakan Proyek (KKP). Hal tersebut sesuai dengan Edaran Direksi PT PLN (Persero) No.005.E/DIR/2006
317
tentang Petunjuk Penyusunan Kelayakan Proyek Sarana Ketenagalistrikan Dalam RUPTL. c. Analisis resiko Untuk meminimalkan aspek resiko sekaligus mendorong proses sejak dari perencanaan, konstruksi dan pengoperasian PLTM perlu diidentifikasi resikoresiko yang berpotensi muncul dan rencana mitigasinya. Hal tersebut sesuai dengan Edaran Direksi PT PLN (Persero) No.028.E/DIR/2010 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Resiko di Lingkungan PT PLN (Persero). d. PPA standard Untuk lebih mempercepat dan menyederhanakan proses penyusunan dan pembahasan perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA) dari PLTM dan pembangkit EBT lainnya (s/d 10 MW) diterapkan kerangka dasar konsep (template) PPA. Hal tersebut sesuai dengan Surat Direktur Perencanaan & Teknologi PT PLN (Persero) No. 00836/128/DITREN/2010, tanggal 13 April 2010 tentang Penyampaian Standar Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik Kapsitas s/d 10 MW. Resume Hasil Pembahasan Apabila hasil pembahasan tersebut pada bab 3 disarikan dalam bentuk proses atau tahapan langkah, maka hasilnya adalah sebagai berikut : Urutan Tahapan Proses Pengembangan PLTM s/d 10 MW 1. Diawali dengan proposal proyek yang disampaikan Pengembang kepada PLN Wilayah/Distribusi.
Proposal tersebut sebaiknya sudah mencantumkan beberapa hal sebagai berikut: a. Pernyataan kondisi yang memenuhi kriteria Penunjukan Langsung b. Feasibility Study c. Profil Perusahaan termasuk pengalaman dan kemampuan keuangan
2. PLN Wilayah/Distribusi kemudian melakukan review terhadap proposal proyek tersebut antara lain dengan membuat : a. KKO & KKF atau KKP b. Kajian Analisa Resiko c. Kajian Peraturan Perundangan 3. Suatu proposal dinyatakan tidak layak bila : a. Tidak memenuhi kriteria untuk PL b. Tidak memenuhi KKO & KKF dan AR c. Dan lain-lain
318
4. Apabila proposal dinyatakan tidak layak, maka PLN Wilayah/Distribusi segera menyampaikan hal tersebut kepada Pengembang tersebut disertai alasannya. 5. Apabila proposal dinyatakan layak, maka PLN Wilayah/Distribusi melalui Tim/Panitia melakukan Pra Kualifikasi (PQ) terhadap Pengembang Proyek tersebut. 6. Pengembang dinyatakan tidak lulus PQ bila tidak memenuhi kriteria antara lain: a. Tidak mempunyai kemampuan keuangan yang memadai b. Tidak mempunyai pengalaman yang sesuai c. Dan lain lain 7. Apabila pengembang dinyatakan tidak lulus PQ, maka PLN Wilayah/Distribusi segera menyampaikan hal tersebut kepada Pengembang tersebut disertai alasannya. Proses pengadaan dinyatakan gagal dan selanjutnya dibuat Berita Acara. Pengembang yang sudah pernah dinyatakan tidak lulus PQ masih dapat ikut serta dalam proses PQ yang lain. 8. Panitia setelah menyatakan pengembang memenuhi syarat/qualified, meminta persetujuan/pengesahan dari General Manager (GM) PLN Wilayah/ Distribusi. 9. PLN Wilayah kemudian mengirim surat ke PLN Pusat cq Divisi Energi Baru Dan Terbarukan (DIV EBT) disertai dengan dokumen pendukung (Hasil PQ, KKO&KKF, AR, Studi kelayakan dll) meminta proses persetujuan penunjukan langsung dan pembelian tenaga listrik dari Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (MESDM). 10. PLN Wilayah mengirim surat kepada pengembang bahwa sudah memenuhi syarat qualified dan sedang dimintakan persetujuan penunjukan langsung dari MESDM dikeluarkan oleh GM. 11. Berdasarkan permohonan PLN Wilayah, PLN Pusat menyampaikan surat permohonan ijin Penunjukan Langsung (PL) kepada MESDM cq Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (DJK) disertai dengan dokumen pendukung . 12. Apabila MESDM cq DJK menolak usulan tersebut, maka PLN Pusat segera menyampaikan hal tersebut kepada PLN Wilayah/Distribusi untuk melakukan pengadaan ulang. 13. Apabila MESDM cq DJK menerima usulan tersebut, maka PLN Pusat segera menyampaikan hal tersebut kepada PLN Wilayah/Distribusi untuk ditindaklanjuti 14. PLN wilayah mengirim surat ketetapan atau Berita Acara kepada pengembang sebagai penerima penunjukkan langsung dari MESDM dan mengundang pengembang untuk menerbitkan LOI (kesanggupan) dan dapat dimulainya pembahasan dokumen PPA. 15. Pengembang yang ditunjuk dapat segera mengurus Ijin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Umum-Sementara (IUKU-S) ke DJK.
319
16. PLN Pusat menyampaikan rekomendasi IUKU-S untuk Pengembang kepada DJK 17. Sementara itu proses dilanjutkan dengan finalisasi PPA antara Pengembang dan PLN Wilayah/Distribusi 18. Selanjutnya, setelah PPA ditandatangani, akan memasuki masa financing, dimana Pemenang (Project Owner) harus menyiapkan pendanaan proyek. Masa financing ini dalokasikan paling lama 1 (satu) tahun. 19. Setelah mencapai Financial Date (kepastian pendanaan proyek), maka tahapan pengembangan akan memasuki masa pembangunan (konstruksi) yang diberi alokasi waktu selama 2 (dua) tahun. 20 Sebelum COD, Project Owner harus mempunyai IUKU, agar dapat menjual listriknya kepada PLN. Apabila diperlukan PLN dapat memberikan rekomendasi kepada MESDM cq DJK untuk penerbitan IUKU tersebut. 21. Sebelum COD, pembangkit harus sudah mendapatkan Sertifikat Laik Operasi dari MESDM cq DJK (setelah dilakukan serangkaian pengujian & tes (comissioning). Tahapan Dalam Bentuk Bagan Alir Dalam banetu bagan alir (flow chart) tahapan langkah seperti terurai dalam sub bab 3.1 adalah sebagai berikut : MET ODE PENUNJUK AN LANGSUNG PENGEMBANG
PLN PUSAT DIV EBT
PLN UNIT
PROPOSAL DARI PENGEMBANG
MESDM
- KKO & KKF perlu persetujuan DIVSIS , AR - Kajian Peraturan Perundangan PEMBENTUKAN PANITIA IPP (Proses Prakualifikasi)
Ya
HARGA SESUAI PERMEN 4/2012? Tidak *) Panitia menyiapkan HPS
USULAN PENUNJUKAN LANGSUNG KE MESDM melalui PLN PUSAT
PERMOHONAN PERSETUJUAN PENUNJUKAN LANGSUNG KE MESDM
PENYAMPAIAN PERSETUJUAN MESDM ke PLN UNIT
PROSES PENGADAAN IPP (negosiasi Teknis & Harga)
Tidak *)
PENETAPAN PEMENANG A
PERSETUJUAN PENUNJUKAN LANGSUNG *)
HARGA SESUAI PERMEN 4/2012?
Ya
**) CATATAN : APABILA TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN MESDM, PLN PUSAT MEMBERITAHUKAN PLN UNIT UNTUK MELAKUKAN PENGADAAN ULANG
Gambar 1 : Bagan Alir Proses Pengadaan PLT-EBT s/d 10 MW
320
PE N GEMBAN G
PLN UN IT
A
PLN PUSA T D D IPP / V PA LT
M E SDM
PENYAMPAIAN LOI REKOMENDASI IUKUS HARGA SESUAI PERMEN 4/2012? Ya
Tidak *)
FINALISASI PPA PERSETUJUAN IUKUS
IUKUS PERSETUJUAN HARGA KE MESDM melalui PLN PUSAT
PERMOHONAN PERSETUJUAN HARGA KE MESDM
*) CATATAN (utk harga diatas PERMEN 31/2009) : APABILA TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN HARGA DARI MESDM, PLN PUSAT MEMBERITAHUKAN PLN UNIT UNTUK MELAKUKAN NEGOSIASI ULANG
Tidak *) PERSETUJUAN HARGA
PENANDATANGANAN PPA
PENYAMPAIAN PERSETUJUAN MESDM ke PLN UNIT
Ya
FINANCING DATE IJIN-IJIN, PERMOHONAN IUKU
COMMERCIAL OPERATION DATE
PERSETUJUAN IUKU
METODE PENUNJUKAN LANGSUNG
Gambar 1 : Bagan Alir Proses Pengadaan PLT-EBT s/d 10 MW (lanjutan) Kesimpulan Poin-poin penting yang dapat disimpulkan dari pembahasan mengenai dukungan kebijakan dan prosedur pengembangan PLTM sampai dengan kapasitas 10 MW oleh pihak swasta, adalah sebagai berikut : a. PT PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik yang akan dihasilkan dari setiap usulan pengembangan PLTM s/d 10 MW oleh pihak swasta. b. Proses rencana pengembangan PLTM s/d 10 MW tidak harus melalui kajian untuk masuk ke dalam RUPTL (Tidak perlu masuk ke RUPTL). c. Proses pengembangan di PT PLN (Persero) dilakukan secara desentralisasi melalui PLN Wilayah/Distribusi di seluruh Indonesia. d. Proses pengadaan tenaga listrik PLTM s/d 10 MW dapat dilakukan secara penunjukan langsung. e. Harga tenaga listrik pembelian oleh PT PLN (Persero) ditetapkan berdasarkan keputusan MESDM, sehingga tidak perlu negosiasi yang dapat memakan waktu. f.
Dokumen perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA) dari PLTM s/d 10 MW mengacu kepada PPA Standard.
321
Referensi Kementerian ESDM, 2009. Peraturan menteri ESDM No. 05 Tahun 2009 tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Koperasi Atau Badan Usaha Lain. Kementerian ESDM, 2012. Peraturan Menteri ESDM No. 04 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik. Pemerintah RI, 2009. Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Pemerintah RI, 2012. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 Tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Pemerintah RI, 2006-2007. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 001 Tahun 2006 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum Jo. Peraturan Menteri ESDM No. 004 Tahun 2007 (Perubahan Permen ESDM No. 001 tahun 2006). Pemerintah RI, 2006. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2006, tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989, tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. PT PLN (Persero), 2006. Edaran Direksi PT PLN (Persero) No.005.E/DIR/2006 tentang Petunjuk Penyusunan Kelayakan Proyek Sarana Ketenagalistrikan Dalam RUPTL. PT PLN (Persero), 2010. Edaran Direksi PT PLN (Persero) No.028.E/DIR/2010 tentang Pedoman Penerapan Management Resiko di Lingkungan PT PLN (Persero). PT PLN (Persero), 2008. Edaran Direksi PT PLN (Persero) No. 009 Tahun 2008 tentang Pendelegasian Pengadaan IPP Ke Unit Bisnis Wilayah/Distribusi. PT PLN (Persero), 2010. Surat Direktur Perencanaan & Teknologi PT PLN (Persero) No. 00836/128/DITREN/2010, tanggal 13 April 2010 tentang Penyampaian Standar Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik Kapsitas s/d 10 MW.
322
Penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Di Hukurila Kota Ambon Untukmendukung Ketahanan Energi James Zulfan*, Erman Mawardi, dan Yanto Wibowo Puslitbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, *
[email protected]
Intisari Semakin terbatasnya ketersediaan minyak bumi berdampak pada penyediaan energi nasional, dimana seiring dengan terus bertambahnya penduduk maka bertambah pula kebutuhan pasokan energi primernya. Oleh karena itu, perlu mengembangkan potensi energi terbarukan yang lain. Salah satu jenis energi energi terbarukan yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah tenaga air skala kecil (mikrohidro). Berkaitan dengan hal tersebut Pusat Litbang Sumber Daya Air melakukan pengkajian di beberapa lokasi sungai di Indonesia yang berpotensi untuk dijadikan PLTMH, salah satunya di sungai Way Rupa desa Hukurila Kecamatan Lai Timur, Selatan Kota Ambon yang berpenduduk 623 jiwa dan 147 Kepala Keluarga. Berdasarkan hasil pengkajian lapangan diketahui bahwa di sungai Way Rupa ini mengalir aliran sungai yang cukup deras sehingga mempunyai potensi energi listrik yang cukup besar, dimana daya listrik yang dapat dihasilkan sebesar 3,3 kW dan potensi ini belum dimanfaatkan sehingga sangat berpotensi untuk dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Tulisan ini akan membahas hasil kajian lapangan, desain PLTMH, dan penerapannya. Kata kunci : sungai, turbin, mikrohidro, energi PENDAHULUAN Desa Hukurila terletak di Kecamatan Lai Timur, Selatan Kota Ambon.Desa ini berpenduduk sekitar 623 jiwa dengan 147 Kepala Keluarga.Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani dan nelayan.Desa ini mempunyai pantai yang indah tempat berlabuh perahu nelayan yang dijadikan juga tempat wisata, selain itu di desa ini juga mengalir aliran sungai yang cukup deras sehingga mempunyai potensi energi listrik yang cukup besar dan belum dimanfaatkan. Pemanfaatan potensi ini jika dilakukan dengan konsep yang tepat maka dalam jangka waktu panjang akan meningkatkan lapangan pekerjaan, dan memberdayakan masyarakat pedesaan untuk dapat melakukan kegiatan secara mandiri. Persyaratan pokok sebuah PLTMH adalah tersedianya debit air dan adanya perbedaan tinggi terjunan aliran sungai. Aliran akan dialirkan kedalam turbin dan daya air yang ada akan memutarkan generator untuk menghasilkan energi listrik. PLTMH dalam
323
perkembangannya dapat disiapkan untuk interkoneksi pada jaringan listrik yang telah ada (grid connection).Pembangunan PLTMH merupakan salah satu upaya untuk menyediakan listrik yang dengan sendirinya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan.Berkaitan dengan hal diatas, maka terjunan aliran sungai Way Rupa yang potensinya cukup besar dapat dijadikan PLTMH.Pembangunan PLTMH di desa ini dimaksudkan pula sebagai penyebarluasan teknologi PLTMH. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro adalah pembangkit energi skala kecil yang digerakkan oleh tenaga aliran air yang mempunyai tinggi energy (head) dan debit tertentu dengan menggunakan turbin yang menghasilkan energi putaran yang dihasilkan turbin. Selanjutnya digunakan untuk menggerakan generator sehingga menghasilkan energi listrik.Gambaran umum situasi PLTMH yang biasa ditemui di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 (Wibowo, 2005).
Gambar 1. Situasi umum PLTMH
Rumus Dasar a) Daya Aliran Air .................................................................................... (1) dengan : P : Daya hidraulik (Watt)
: Kerapatan massa air (1000 kg/m3) : Percepatan gravitasi (9,81 m/s2) Q : Debit ( m3/s) H : Tinggi energi efektif (m)
324
b) Tinggi Energi Efektif Turbin propeler .................................. (2) dengan: H Ht
: Tinggi energi efektif (m) : Tinggi energi total (m) : kehilangan energi total antara pintu pengambilan dan saluran pengeluaran di hilir draft tube (m) : Kecepatan aliran disaluran masuk (m/s) v : Kecepatan aliran disaluran pelepas di hilir draft tube (m/s) c) Konversi Daya Hdraulik Konversi daya hidraulik menjadi daya turbinakan menghasilkan daya turbin yang lebih kecil dari daya hidrauliknya karena adanya kehilangan daya di turbin yang diperhitungkan dalam bentuk efisiensi turbin. ..................................................................................... (3) dengan :
: Daya Listrik (Watt) : Daya Turbin (Watt)
: Efisiensi generator Konversi daya turbin menjadi daya listrikdengan menggunakan putaran turbin untuk memutar generator akan menghasilkan daya listrik yang lebih kecil dari daya turbin karena adanya kehilangan daya di generator yang diperhitungkan dalam bentuh efisiensi genarator. . .................................................................................... (4) dengan :
: Daya Listrik (Watt) : Daya Turbin (Watt) : Efisiensi generator
d) Kehilangan Energi 1.) Kehilangan Energi untuk Pra Desain . ............................................... (5)
325
dengan :
: tinggi energi total (m)
2) Kehilangan Energi untuk Perencanaan Detail Kehilangan Energi pada inlet pipa pesat/Penstok .......................................................... (6)
.
: kehilangan energi pada inlet pipa pesat (m)
dengan :
:Koefisien gesekan yang diperoleh dari Diagram Moody v : kecepatan aliran didalam pipa pesat (m/s) Kehilangan Energi akibat gesekan sepanjang pipa pesat/Penstok ).................................... (7)
.
: kehilangan energi akibat gesekan disepanjang pipa suplai (m)
dengan :
: Koefisien gesekan yang diperoleh dari Diagram Moody L : Panjang pipa suplai (m) v : kecepatan aliran didalam pipa suplai (m/s) D : Diameter pipa suplai (m)
Pemilihan Jenis Turbin Pemilihan jenis turbin yang sesuai untuk suatu tinggi energi efektif tertentu diperlukan untuk menghindari terjadinya gejala kavitasi oleh aliran yang dapat menimbulkan kerusakan pada runner turbin.Hal ini dapat dilakukan dengan menghitung besar kecepatan spesifik runner maksimum pada suatu tinggi energi efektif tertentu, untuk masing-masing jenis turbin dan membandingkannya dengan kecepatan spesifik runner ijin dari masing-masing jenis turbin. 1. Kecepatan Spesifik Runner Maksimum Kecepatan spesifik runner maksimum (Japanese Institute of Irrigation and Drainage, Volume 1 dan 2, March 1987) sebagai berikut : Turbin Pelton
: Ns Max ≤ 85,49 H-0,243................................................... (8)
Turbin Cross flow : Ns Max ≤ 650 H-0,5........................................................ (9) Turbin Francis
: Ns Max ≤ 30 + (20000/(H+20)).................................. (10)
Turbin Propeller
: Ns Max ≤ 50 + (20000/(H+20)).................................. (11)
326
Perencanaan Pipa Pesat/Penstok Diameter pipa pesat/penstok direncanakan dengan memperhitungkan kecepatan aliran yang optimum di dalam pipa pesat berdasarkan rumus empiris dari USBR sebagai berikut:
(12)
(13)
dengan : v : kecepatan aliran optimum didalam pipa pesat (m/s) H : Tinggi energi efektif (m) : Diameter pipa pesat (m) Q : Debit penggerak turbin (m3/s) METODOLOGI STUDI Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan data primer dan sekunder serta studi literatur 2. Analisis data topografi, hidrometri. 3. Penyusunan detail desain PLTMH dan bangunan pelengkap lainnya. 4. Konstruksi dan penerapan bangunan. Untuk lebih jelasnya mengenai metodologi tersebut dapat dilihat dalam bagan alir pada Gambar 2. PENGUMPULAN DATA
DATA SEKUNDER 1. Data topografi 2. Data curah hujan harian maksimum 3. Peta geologi permukaan 4. Skema sistem jaringan irigasi
DATA PRIMER 1. Peta Situasi, profil melintang dan menanjang 2. Data debit sesaat saluran
ANALISIS
TOPOGRAFI 1. Tinggi terjunan 2. Kemiringan dasar saluran 3. Luas penampang saluran
HIDROMETRI 1. Debit sesaat saluran
HIDRAULIKA 1.Debit normal disaluran 2. Perhitungan bak simulasi 3. perhitungan garis energi 4. Perhitungan daya yang dihasilkan mikrohidro 5.Perhitungan debit pompa dan daya listrik
DETAIL DESAIN
Konstruksi Bendung, Bak penenang dan pelimpah
PLTMH (Pipa pesat, turbin, generator)
Pintu
Struktur pelengkap
PELAKSANAAN LAPANGAN
Gambar 2. Bagan alir penelitian
327
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Pengukuran Topografi Dan Hidrometri Sungai Way Rupa mengalir dari arah barat ke timur dan bermuara di Laut Banda. Sekitar 700 meter dari muaranya sungai Way Rupa terjun dengan beda ketinggian 7,5 meter, seperti terlihat pada Gambar 3. Lebar penampang sungai tepat di daerah terjunan 10,24 meter. Penampang sungai berbentuk tegak seperti huruf V. Dasar sungai dan tebing sungai berjenis batuan masif. Material angkutan sedimen jenis kerakal, kerikil, dan pasir. Beda ketinggian dasar sungai di hulu terjunan dengan dasar sungai di terjunan 34,84 meter. Tepat di hilir terjunan aliran penampang sungai melebar dengan lebar sekitar 10 meter. Penampang sungai 20 meter dari terjunan ke arah hilir menyempit menjadi 8,1 meter. Sungai Way Rupa merupakan keluaran (outflow) dari mata air dan terletak di daerah hulu dengan kemiringan dasar sungai cukup terjal, tebing dan dasar sungai terdiri dari batuan masif dan terdapat sedikit lapisan pasir dan kerikil pada dasar sungai dengan aliran cukup deras dan hydrograph banjir cepat naik dan cepat turun. Debit yang ada merupakan baseflow sehingga relatif tetap dan debit sesaat yang didapat dari hasil pengukuran sebear 0,092m3/s atau 92 liter per detik. Dari hasil pengukuran di lapangan diketahui bahwa tinggi terjunan = 6,5 meter, debit sesaat (baseflow) = 0,092m3/s, dan jarak PLTMH ke kampung terdekat =486 meter.
Gambar 3. Terjunan di sungai Way Rupa Rancangan PLTMH Way Rupa 1) Perencanaan Hidrolis Untuk PLTMH Way Rupa ini, sumber air penggerak turbin berasal dari sebagian air sungai Way Rupa dengan lokasi pengambilan air di hulu terjunan alam dengan membangun bendung dan bak penenang (head pond) yang kemudian aliran disalurkan melalui pipa pesat ke turbin yang ditempatkan di lokasi yang berjarak 20m di hilir terjunan alam. Aliran yang keluar dari turbin dialirkan kembali ke sungai Way Rupa. Gambar denah desain bak penenang dan bendung dapat dilihat pada Gambar 4.
328
Gambar 4.Denah desain bak penenang dan bendung 2) Debit Rencana Berdasarkan dari hasil pengukuran topografi, hasil pengukuran hidrometri sesaat dan rencana tinggi pembendungan, maka diperoleh tinggi energi total H sebesar 9,13 meter dan debit yang tersedia sebesar 92 liter per detik. Mengingat data debit yang diperoleh merupakan data debit sesaat, maka untuk perencanaan hidrolis debit aliran yang digunakan sebagai debit desain PLTMH Qd sebesar 80 liter per detik dan sisa debit sebesar 12 liter per detik tetap melimpas pada terjunan. 3) Perkiraan Tinggi Energi Efektif Dari persamaan (2) dapat diperkirakan besarnya kehilangan energi dan diperoleh nilai rentang kehilangan energi :
= 0,64 – 0,82 m, yang dipakai
= 0,82m Tinggi rentang efektif : H = 9,13 – 0,82 =8,31m 4) Pemilihan Jenis Turbin Kecepatan spesifik runner maksimum yang dihasilkan dengan H sebesar 1,82 m untuk berbagai jenis turbin dapat dihitung sebagai berikut : Turbin Pelton : Ns Max = 85,49 (8,31)-0,243 = 51,104 m-kW Turbin Cross flow : Ns Max ≤ 650 (8,31)-0,5 = 736,464 m-kW Turbin Francis : Ns Max ≤ 30 + (20000/(8,310+20)) = 225,483 m-kW Turbin Propeller : Ns Max ≤ 50 + (20000/(8,31+20)) = 756,464 m-kW Dengan membandingkan hasil analisis kecepatan spesifik runner maksimum dengan kecepatan spesifik runner maksimum yang diijinkan, diperoleh hasil jenis turbin yang sesuai untuk PLTMH Way Rupa ini adalah Turbin Propeller.
329
5) Dimensi Pipa Pesat/Penstok Dari analisa sebelumnya diperoleh perkiraan tinggi energi efektif H = 8,31 m Dari persamaan [12] diperoleh kecepatan aliran optimum dalam pipa pesat : = 0,125 √(2*9,8*8,31) = 1,595 m/s Dengan menggunakan persamaan [13] dapat dihitung diameter pipa pesat sebagai berikut = √(4*0,08/( *1,595)) = 0,253 m Maka sebagai pipa pesat digunakan pipa PVC dengan diameter D = 0,25 m 6) Perencanaan Pintu Pengambilan dan Bak Penenang/Pengendap (Head Pond) Berdasarkan data hasil pengukuran topografi dan rencana tinggi pembendungan diketahui : Elevasi dasar sungai di udik terjunan
: +42,230 m
Elevasi MA di udik Bendung Maksimum : +43,730 m a. Pintu Pengambilan Tinggi ambang pintu pengambilan dibagian hulu bak penenang diatas dasar sungai (p) P = 0,20 m Elevasi ambang pintu pengambilan
: +42,430 m
Kehilangan energi pada pintu pengambilan (z): 0,25 m Kapasitas pintu pengambilan (Qd)
: 0,080 m3/s
Digunakan Pintu Sorong dengan
: lebar pintu b = 1,00 m Koefisien pengaliran µ = 0,80 Tinggi bukaan pintu a= 0,045m
Elevasi muka air di hilir pintu/bak penenang : +43,630 m b. Bak Penenang/Pengendap (Head Pond) PLTMH ini direncanakan dengan pengontrol beban menggunakan dummy load,sedangkan untuk kasus bila hanya beban yang dikontrol maka kapasitas bak penenang 10-20 kali debit desain atau setara dengan 1600 liter, sedangkan untuk kondisi apabila beban dan debit dikontrol maka kapasitas bak penenang 30-60 kali dari debit desain atau setara dengan 4800 liter. (Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2008). Maka volume bak penenang = 7,2 m3 (FK 1,5) dan lebar bak penenang = 1,50 m Untuk mencegah masuknya sedimen dan terjadinya aliran turbulen pada pipa pesat, maka sisi bawah pipa pesat harus ditempatkan 0,50 m diatas dasar bak inlet, dan muka air pada bak inlet pipa pesat harus mampu merendam
330
pipa pesat sedalam minimum 2 x diameter pipa pesat, maka : Kedalaman air pada bak inlet direncanakan : 2,10 m Elevasi muka air pada bak inlet : +43,030 m Elevasi dasar bak inlet pipa pesat : +41,470 m Untuk mencagah masuknya sedimen ke bak inlet pipa pesat, maka diantara bak pengendap dan bak inlet pipa pesat dibatasi ambang dengan ; Elevasi mercu ambang : +42,470 m Kedalaman kritis aliran diatas ambang yang membatasi bak pengendap dengan bak inlet pipa pesat : Yc = (q2/g)^1/3 = 0,066 m Elevasi = +42,536 m Ketebalan lapisan air untuk perhitungan kapasitas tampung bak penenang, dkapasitas : dkapasitas= +43,630 – 42,536 m = 1,094 m Panjang bak penenang, Lbak penenang = 7,2/(1,094 x 1,50) = 2,925 m 3 m 2 Ukuran lubang penguras sedimen, 0,50 x 0,50 m dilengkapi pintu sorong. Dimensi pelimpah samping (sebelah kanan bak penenang) : Lebar pelimpah samping Bspw = 2,00 m
Qd = C x Bspwx
hspw = 0,080 m
; dengan C 1,8 0,10 m
7) Saringan sampah a. Pada bagian muka pintu pengambilan harus dipasang saringan sampah dengan lebar bukaan saringan 5 cm, dengan jeruji saringan terbuat dari besi beton ø 12 mm. b. Diatas ambang pembatas antara bak pengendap dan bak inlet pipa pesat harus dipasang saringan sampah miring kearah hilir, dengan lebar bukaan 2 cm, dengan jeruji terbuat dari besi beton ø 12 mm. 8) Tinggi Energi Hidraulik Efektif Penggerak Turbin Berdasarkan perhitungan persamaan (7) dan (8) maka didapatkan : a. Total kehilangan energi dari pintu pengambilan sampai dengan bak inlet pipa pesat = 0,3864 m, elevasi muka air di bak inlet pipa pesat = +43,630 m b. Total kehilangan energi sepanjang pipa pesat = 0,263 m Tinggi total energi Htotal = +43,630 – 34,50 = +9,130 m Tinggi energi efektif, H = 9,130 – 1,7012 = 8,4288 m
331
9) Daya aliran air Dengan debit rencana sebesar Qd= 80 l/s dan tinggi energi total = 9,130 m maka dapat dihitung besarnya daya aliran air sebagai berikut : Tinggi energi efektif Hnet = 8,428 m Daya aliran air Pa = kW
gQH = 1000 x 9,8 x 0,80 x 8,428 = 6648,79 Watt = 6,608
10) Konversi daya aliran air menjadi daya putaran turbin Besaran efisiensi turbin propeler dengan as horizontal, ƞt= 0,70 sehingga dengan menganggap efisiensi turbin ƞt= 0,70.(Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2008). Berdasarkan asumsi diatas maka daya yang dihasilkan turbin Pt = ƞt gQH = 0,70 x 6,608 kW = 4,625 kW. 11) Konversi daya putaran turbin menjadi daya listrik terbangkit Dengan menganggap efisiensi generator ƞg = 0,80 kemudian efisiensi transmisi ƞtrans = 0,95 dan efisiensi elektrik ƞelek = 0.95, maka daya listrik yang dihasilkan oleh PLTMH Way Rupa adalah sebesar Pe = ƞtƞtransƞelek 3,339 kW 12)
gQH =
Saluran pembuang/pelepas Saluran pembuang dari draft tube turbin ke sungai direncanakan sebagai berikut: Panjang saluran penenang di hilir draft tube Lebar saluran penenang
: 5,00 m
: 0,80 m
Elevasi MA di saluran penenang hilir draft tube
: +34,70
Elevasi dasar di saluran penenang hilir draft tube
: +33,30
Elevasi ambang di hilir penenang draft tube
: +34,50
Elevasi dasar saluran pembuang di sungai
: +33,30
Panjang saluran pembuang dari ambang saluran penenang – sungai Bentuk saluran penenang dan pembuang
: 2,00 m
: persegi
13) Rumah pembangkit a. Ukuran 2m x 3m dengan arah panjang searah dengan arah masuknya pipa pesat b. Pondasi baru kali dengan balok sloof, kolom praktis pada sudut bangunan, balok ring dari beton bertulang, dinding pasangan bata diplester, dan tinggi pasangan bata 2,75 m.
332
PENERAPAN PLTMH Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku telah menerapkan hasil desain PLTMH ini di desa Hukurila Ambon yang diresmikan pengoperasiannya pada akhir tahun 2011.Penerapan PLTMH di desa Hukurila ini tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat lokal yang telah membantu dalam pelaksanaan pembangunannya. Pengoperasian PLTMH ini dilakukan hanya pada malam hari, sehingga air terjun Sungai Way Rupa di siang hari tetap dapat dinikmati sebagai daerah tujuan wisata. Jika PLTMH dioperasikan siang hari maka air terjun masih ada dengan debit 12 liter per detik. Hasil penerapan PLTMH dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5.Potongan memanjang desain PLTMH Hukurila
Gambar 6. Foto-foto hasil penerapan PLTMH KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil analisis kecepatan spesifik runner diketahui bahwa turbin propeller tepat untuk digunakan pada tinggi energi H < 11m, dan turbin yang sesuai untuk PLTMH Way Rupa dengan Hef = 8,4288 m adalah turbin propeller.
333
2. Berdasarkan hasil perencanaan hidrolis PLTMH Way Rupa diperoleh hasil sebagai berikut : a. Sumber air penggerak turbin berasal dari air sungai Way Rupa yang disadap dari sebelah udik terjunan alam dengan membangun bendung dengan tinggi pembendungan 1,50 m, air yang keluar dari turbin dialirkan kembali ke sungai di hilir terjunan alami. b. Debit desain turbin Qd = 80 l/s dan tinggi energi total Ht = 9,130 m. c. Dengan memperhitungkan kehilangan energi yang terjadi dari mulai intake sampai dengan saluran pelepas, menghasilkan daya aliran air, P = 6,608 kW. d. Daya yang dihasilkan turbin dengan efisiensi turbin ƞt = 70%, diperoleh hasil Pt= 4,625 kW e. Daya listrik yang dihasilkan dengan efisiensi generator ƞg = 80%. f. Efisiensi transmisi berupa belt ƞtrans = 0,95, dan efisiensi kontrol elektrik ƞelic = 0,95 diperoleh hasil Pe = 3,339 kW. g. Efisiensi Turbin ƞturbin= 80%, Efisiensi Generator ƞGenerator= 80%, dan Daya Listrik yang dihasilkan adalah 4,939 KW. 3. Sesuai dengan hasil rancangan, PLTMH ini diterapkan di sungai Way Rupa desa Hukurilla Ambon yang pelaksanaan pembangunannya dilakukan oleh BWS Maluku dengan melibatkan tenaga kerja lokal.Pemanfaatan terjunan aliran sungai untuk PLTMH dilakukan pada malam hari, sedangkan di siang hari terjunan sungai masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan wisata. 4. PLTMH ini telah diresmikan pembangunannya dan siap dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan akan energi listrik penduduk desa Hukurila. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan juga kepada semua pihak yang sudah membantu dalam penyelesaian penulisan makalah tentang penerapan PLTMH Way Rupa di kota Ambon ini, semoga makalah ini bisa berguna bagi kita semua. REFERENSI Buletin IMIDAP, 2009. Serba-Serbi Teknologi Mikrohidro, Desain Struktur Mekanikal dan Elektrikal. Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2008. Pedoman Teknis Standarisasi Peralatan Dan Komponen Pembangkit Tenaga Mikrohidro. Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2008. Pedoman Studi Kelayakan Pengembangan PLTMH.
334
Direktorat Jendral Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, 1986. Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama, KP-02. Japanese Institute of irrigation and drainage, 1987. Smale scale hydro power generation. Engineering Manual for Irrigation and drainage, Volume 1 and 2. Mosonyi, Emil, 1987. Water Power Development Volume 1 Low Head Power Plants.Akademi kiado. Budapest. Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010. Pengkajian Penerapan Mikro Hidro Standar Untuk Masyarakat Pedesaan. Laporan Akhir. Wibowo, Catur. 2005. Langkah Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Bandung.