ANTENA PANEL 2,4 GHZ DENGAN MICROSTRIP LINE BERSTRUKTUR 5 LARIK DIPOLE Erna Risfaula K., Yono Hadi Pramono Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Keputih, Surabaya, 61111 Telp : (031) 594 7302, Fax : (031) 593 1237 E-mail :
[email protected]
Abstract Desain, fabrikasi, dan karakterisasi antena panel dengan microstrip line berstruktur 5 larik dipole telah dilakukan di laboratorium optik dan microwave jurusan Fisika FMIPA ITS. Antena difabrikasi untuk bisa bekerja pada frekuensi WiFi 2,4 GHz. Substrat PCB yang digunakan untuk fabrikasi adalah fiber double side. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching dengan larutan Fe(ClO2)3 (Ferric Chloride). Struktur antena terdiri dari 5 larik dipole. Parameter-parameter yang dikarakterisasi meliputi VSWR (Voltage Standing Wave Ratio), Return Loss (RL), gain, dan pola radiasi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antena ini dapat diaplikasikan sebagai directional antenna (antena pengarah) dengan nilai VSWR 1,2, nilai return loss -20,39 dB, pola radiasi horizontal memiliki gain 20 dB dengan HPBW (Half Power Beamwidth) bernilai 87,50. Kelebihan dari antena ini adalah strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah difabrikasi, relatif ringan, dan biayanya lebih murah. Keywords: antena, panel, dipole, microstrip line, larik
1. PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan teknologi komunikasi pada saat ini tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat. Salah satunya adalah sistem komunikasi wireless. Perkembangan sistem yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz ini, tidak terlepas dari perangkat/device yang mampu mengubah energi atau sinyal dalam medium pemandu ke ruang bebas (udara). Device tersebut dinamakan antena. Antena bekerja sebagai alat untuk mengirim atau menerima energi dan digunakan untuk mengoptimalkan energi radiasi pada beberapa arah tertentu [1]. Pengembangan antena dengan berbagai variasi dan desain dilakukan untuk mendukung teknologi komunikasi wireless. Bentuk dan desain antena yang diharapkan adalah antena yang mempunyai gain yang tinggi, efisiensi yang besar, bandwith yang lebar, Return Loss (RL) kecil, Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) bernilai rendah, berat yang relatif ringan, dan biaya yang murah. Salah satu jenis antena yang memenuhi kriteria semacam itu adalah antena mikrostrip. Tiap desain antena mikrostrip mempunyai kemampuan berbeda dalam merespon gelombang elektromagnetik
SEMNAS MIPA 2010
yang berlanjut pada range frekuensi yang diterima. Desain antena mikrostrip dua larik/double array merupakan pioner dalam pendesainan antena mikrostrip. Desain antena tersebut dipelopori oleh Faton Tefiku tahun 1996 [2]. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faton Tefiku, ketiga parameter antena mikrostrip dua larik yaitu bandwith, return loss, dan VSWR pada dasarnya sudah memenuhi kriteria aplikasi, namun bahan substrat yang digunakannya (teflon) masih terlampau mahal harganya. Oleh karena itu, pada penelitian ini, dilakukan inovasi dengan menambahkan larik (array) menjadi 5 larik serta memvariasikan substrat untuk membuat antena tersebut. 2. TEORI 2.1 Antena Mikrostrip Antena mikrostrip adalah antena yang terbuat dari strip logam (patch) yang sangat tipis dengan ketebalan strip dan ketebalan substrat (h) yang jauh lebih kecil dibanding dengan panjang gelombang di ruang hampa (λ0). Ketebalan substrat h pada umumnya terletak pada rentang 0,003 λ0 ≤ h ≤ 0,005 λ0 di atas ground plane [6-16]. Strip (patch) logam dipisahkan dari ground planenya oleh FIS - 1
substrat dari bahan dielektrik dengan konstanta dielektrik pada rentang 2,2 ≤ εr ≤ 12 [1].
Gambar 1. Bagian-bagian Antena Mikrostrip Dimana L adalah panjang larik (mm), W adalah lebar larik (mm), t adalah lebar patch (mm), dan h adalah lebar substrat (mm). 2.2 Deskripsi Umum Antena Mikrostrip 2 Larik Dipole
2.2 Desain Antena Panel dengan Microstrip Line Berstruktur 5 Larik Dipole Antena dengan struktur patch double side memiliki 5 larik dipole pada tiap side. Semua larik memiliki ukuran lebar (w1=w2=w3=w4=w5) yang sama yaitu 4 mm. Sedangkan panjang larik 1 (l1) sama dengan panjang larik 5 (l5) yaitu 20 mm (0,16 λ0), panjang larik 2 sama dengan larik 4 (l4) yaitu 25 mm (0,2 λ0), dan panjang larik 3 (l3) sama dengan 30 mm (0,24 λ0). Untuk jarak antar larik 1 dengan larik 2 (d1) besarnya sama dengan jarak larik 4 dengan larik 5 (d4) yaitu 25 mm, jarak antar larik 2 dengan jarak larik 3 (d2) sama dengan jarak larik 3 dengan 4 (d3) yaitu 25 mm. Struktur antena ini juga memiliki lebar transmission line (w6=w7) yang sama yaitu 2 mm. Hasil desain antena dapat dilihat pada Gambar 3.
Desain antena mikrostrip 2 larik dipole seperti pada Gambar 2 pertama kali diperkenalkan oleh Faton Tefiku. Antena 2 larik dipole terdiri dari 2 larik dipole dengan panjang antar larik yang berbeda. Panjang larik pertama (l1)=0,24 λ0, panjang larik kedua (l2)=0,2 λ0, dan jarak antara larik (d)=0,2 λ0. Lebar setiap larik (w1=w2) adalah 4 mm. Nilai impedansi karakteristik Z0 = 120 Ω, konstanta permitivitas εr=2,2 dan tebal substrat h=0,8 mm [2]. Gambar 3. Desain Antena 5 Larik Dipole 2.3 Parameter-parameter Karakterisasi pada Antena Mikrostrip 2.3.1 VSWR
Gambar 2. Desain Antena 2 Larik Dipole Berdasarkan desain dan fabrikasi antena yang dilakukan oleh Faton, diperoleh hasil pengukuran nilai return loss < -30 pada frekuensi 2 GHz dan frekuensi kerja antena sekitar 2 GHz [3].
SEMNAS MIPA 2010
Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) adalah kemampuan suatu antena untuk bekerja pada frekuensi yang diinginkan. Pengukuran VSWR berhubungan dengan pengukuran koefisien refleksi dari antena tersebut ( ). Nilai VSWR merupakan representasi dari peristiwa standing wave. Peristiwa standing wave terjadi jika terdapat dua gelombang yang merambat pada arah berlawanan dalam media yang sama dan frekuensi antara gelombang datang dengan gelombang yang dipantulkan besarnya sama [7]. Nilai VSWR antara 1 sampai tak hingga, apabila VSWR bernilai 1 berarti tidak ada pantulan di dalam FIS - 2
mikrostrip [5]. Suatu antena dikatakan bekerja baik jika VSWR bernilai antara 1 sampai dengan 2.
V VSWR max Vmin VSWR
1 Γ 1 Γ
...................... (1) ....................... (2)
2.3.2 Return Loss (RL) Return loss adalah besaran yang menunjukkan nilai loss (rugi) dari power input terhadap power refleksi dari suatu antena. Nilai return loss diperoleh dari hasil pengukuran pada Network Analyzer. Nilai return loss dinyatakan dalam satuan dB berkisar antara -∞ sampai 0 dB. Suatu antena dikatakan bekerja baik jika RL ≤ 9,54 dB [17].
RL (dB) 20log10 Γ
3. METODOLOGI Peralatan yang digunakan pada fabrikasi dan pengujian antena adalah PCB (Printed Circuit Board) tebal 1,6 mm dengan substrat fiber tebal 1 mm dan Network Analyzer Anritzu MS 8604A. PCB yang dipilih double side karena memiliki keuntungan yang lebih praktis. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching dengan larutan Fe(ClO2)3 (Ferric Chloride). Setelah gambar antena dicetak pada PCB, antena diletakkan di atas plane reflektor dengan jarak 1,8 cm. Antena juga dihubungkan dengan konektor 50 Ω. Bentuk fisik antena microstrip line berstruktur 5 larik dipole yang sudah difabrikasi dapat dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut:
...............(3)
2.3.3 Pola Radiasi Pola radiasi suatu antena adalah pernyataan grafis yang menggambarkan sifat suatu antena pada medan jauh sebagai fungsi arah. Pola radiasi terjadi karena arus listrik dalam suatu antena selalu dikelilingi oleh medan magnetis. Arus listrik bolak balik (alternating current) menyebabkan muatanmuatan listrik bebas dalam antena akan mendapat percepatan, sehingga timbul suatu medan elektromagnetik. Medan elektromagnetik tersebut bolak-balik akan berjalan menjauhi antena dalam bentuk gelombang elektromagnetik sehingga terbentuklah medan elektromagnetik [18].
(a)
2.3.4 Gain Gain (power gain) didefinisikan sebagai 4π kali perbandingan antara intensitas radiasi pada suatu arah dengan daya yang diterima oleh antena penerima dari pemancar. Gain antena dapat dinyatakan dengan persamaan
G ,
4 U , ...................(4) Pin
Dimana G , adalah gain dan U , adalah intensitas radiasi antena pada arah , termasuk efek dari kerugian antena dan daya input yang diterima antena. SEMNAS MIPA 2010
(b) Gambar 4. (a) Hasil fabrikasi antena dilihat dari sisi atas (b) Hasil fabrikasi antena dilihat dari sisi samping 4. PEMBAHASAN 4.1 Nilai VSWR dan Return Loss Berdasarkan hasil fabrikasi antena mikrostrip 5 larik dipole, setelah dilakukan
FIS - 3
pengukuran dengan menggunakan Network Analyzer , diperoleh data hubungan antara frekuensi dengan VSWR seperti pada Gambar 5. Dapat dilihat dari grafik Gambar 5 diketahui bahwa antena bekerja baik pada frekuensi 2,45 GHz dengan nilai VSWR 1,2. Nilai VSWR yang baik antara 1-2. Semakin mendekati angka 1 menunjukkan kinerja antena semakin baik. 1.8 1.6
Gambar 7. Pola Radiasi Horizontal Ternormalisasi
1.4
VSWR
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 2000
2100
2200
2300
2400
2500
2600
2700
2800
2900
3000
Frek ue ns i (MHz)
Gambar 5. Grafik Hubungan antara Frekuensi dengan Nilai VSWR Sedangkan data hubungan antara frekuensi dengan return loss dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan grafik pada Gambar 6, nilai return loss antena yang sudah difabrikasi adalah sebesar -20,39 dB. 0
Return Lo ss
-5 -10 -15 -20 -25 -30 2000
2100
2200
2300
2400
2500
2600
2700
2800
2900
3000
Frekuensi (MHz)
Gambar 6. Grafik Hubungan antara Frekuensi dengan Nilai Return Loss Nilai return loss yang semakin kecil, menunjukkan sinyal yang direfleksikan semakin kecil dan sinyal yang ditransmisikan semakin besar. Nilai return loss antena yang sudah difabrikasi -20,39 dB yang relatif kecil menandakan bahwa antena tersebut sudah memiliki kinerja yang bagus, karena suatu antena dikatakan bekerja baik jika RL ≤ -9,54 dB.
Pengolahan data dilakukan dengan menormalisasi nilai sinyal, dengan cara mengurangi semua nilai sinyal dengan nilai sinyal yang terkecil. Nilai sinyal maksimum pada pengukuran pola radiasi horizontal adalah 83 dB dan nilai terkecil adalah 36 dB. Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa sinyal yang diterima paling maksimal pada sudut 3500, 3550, dan 3600 dan sinyal terkecil berada pada sudut 2650. Berdasarkan hasil pengukuran pola radiasi horizontal, diperoleh nilai gain antena sebesar 20 dB. Nilai ini sebanding dengan nilai return loss antena seperti pada Gambar 6. Gain antena diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu nilai total power dan gain antena pemancar dan antena penerima (antena omni) yang digunakan sebagai standar pengukuran. Pada saat pengukuran diperoleh total nilai power dengan gain antena pemancar dan antena penerima sebesar 63 dB. Nilai tersebut digunakan untuk menghitung gain antena 5 larik dipole hasil fabrikasi. Penghitungan gain antena 5 larik dipole diperoleh dengan cara mengurangkan nilai sinyal maksimum hasil pengukuran pola radiasi horizontal dengan 63 dB. Untuk nilai HPBW (Half Power Beamwidth) diperoleh 87,50.
4.2 Pola Radiasi
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 4
dB dengan HPBW (Half Power Beamwidth) bernilai 87,50 pada pola radiasi horizontal. Antena ini memiliki kelebihan yaitu strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah difabrikasi, relatif ringan, biayanya lebih murah, dan dapat diaplikasikan sebagai directional antenna (antena pengarah). 6. DAFTAR PUSTAKA [1]
Balanis, C.A., 1997. Antenna Theory and Design. Second edition. New York: John Wiley & Sons.
[2]
Tefiku, F., 1996. A Broadband Antenna Of Double-Sided Printed Strip Dipoles. Japan: Denki Kogyo Co., Ltd.
[3]
Tefiku, F., 2000. Design of Broad-Band and Dual-Band Antennas Comprised of Series-fed Printed-Strip Dipole Pairs. IEEE Transactions on Antennas and Propagation, 48 (6), pp.895-900.
[4]
Hund, E., 1989. Microwave Communications. Component and Circuits. New York: McGraw-Hill.
[5]
Edwards, T., 1992. Foundations For Microstrip Circuit Design. Second edition. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
[6]
Susiloningsih, E., Pramono, Y.H., 2009. Pembuatan dan Karakterisasi Antena Mikrostrip dengan Struktur Satu feed Line Dipole Co-Planar Waveguide dan Dua Patch untuk Repeater WIFI Dua Arah. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5 (2)
[7]
Rahayu, E.M., Pramono, Y.H., 2009. Fabrikasi dan Karakterisasi Antena mikrostrip Loop Co-Planar Waveguide dua Lapis Substrat untuk Komunikasi C-Band dan Ku-Band. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5 (2)
[8]
Uboyo, A., Pramono, Y.H., 2009. desain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip loop dengan Feed Line Mikrostrip Feed Line Dua Lapis Substrat untuk Komunikasi CBand. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5 (2)
[9]
Suherman, N., Pramono, Y.H., Analisis Dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Horn Dilengkapi Reflektor Parabola Dengan Metoda Fdtd, Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2009
Gambar 8. Pola Radiasi Vertikal Ternormalisasi Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa sinyal yang diterima paling maksimal pada sudut 00 dan sinyal terkecil berada pada sudut 2900 dan 1300. Nilai sinyal maksimum pada pengukuran pola radiasi vertikal adalah 78 dB dan nilai terkecil adalah 36 dB. Apabila dibandingkan antara pola radiasi horizontal dengan vertikal seperti pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai sinyal dengan pengukuran pola radiasi horizontal secara umum lebih besar dibandingkan hasil pengukuran pola radiasi vertikal. Hal ini memberikan rekomendasi bahwa pemasangan antena akan mendapatkan sinyal yang terbaik adalah pada posisi horizontal.
Gambar 9. Perbandingan Pola Radiasi Horizontal dengan Vertikal yang Ternormalisasi 5. KESIMPULAN Hasil pengukuran dan fabrikasi antena panel dengan microstrip line berstruktur 5 larik dipole mempunyai unjuk kerja terbaik pada frekuensi WiFi 2,45 GHz dengan nilai VSWR 1,2, nilai return loss -20,39, gain 20
SEMNAS MIPA 2010
[10] Riduwan, M., Pramono, Y.H., Analisis Gelombang Elektromagnetik Pada Antena Mikrostrip Dipole ½ Λ dengan Metode Fdtd, Program Pascasarjana Fisika,
FIS - 5
FMIPA-Institut Teknologi Nopember, Surabaya, 2009
Sepuluh
[11] Anwar, E.D., Pramono, Y.H., Desain Dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Yagi Tiga Array Double Side, Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2010 [12] Muhtadi, D., Pramono, Y.H., Desain Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena Wideband Mikrostrip Slot Bowtie Dengan CPW Untuk Komunikasi Wireless, Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2010 [13] Qomariyah, N., Pramono, Y.H., Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Dipol, Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2010 [14] Naqiyyah, H., Pramono, Y.H., Fabrikasi dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Loopline Untuk Komunikasi Wireless Local Area Network (WLAN), Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2010 [15] Khasanah, U., Pramono, Y.H., Fabrikasi dan Karakterisasi Dipole Biquad Antenna Untuk Komunikasi Wifi, Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2009 [16] Sari, N., Pramono, Y.H., Pembuatan Antena Mikrostrip 2,4 Ghz Untuk Komunikasi Aironet Komputer, Program Pascasarjana Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2009 [17] Balemurli. 2010. Perancangan Antena Mikrostrip Patch Sirkular Untuk Aplikasi Wlan Menggunakan Simulator Ansoft Hfss V10, Medan: Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. [18] Fadlillah, U. 2004. Simulasi Pola Radiasi Antena Dipole Tunggal. Surakarta: Teknik Elektro, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 6
PEMROGRAMAN PARALEL MENGGUNAKAN OPENMP DAN PENERAPANNYA PADA MASALAH N-BENDA N.A. Pramono1), F. Yusiyanti1) , M.F.Rosyid.2) 1 Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang Jl. Gombong No 1 Malang Jawa Timur Indonesia 2 Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada Telp : 085655558827 E-mail :
[email protected])
Abstract Masalah N-Benda telah dikaji secara luas di bidang Astrofisika, Fisika Plasma dan Ekonofisika. Perangkat lunak untuk mendapatkan jawaban secara numerik telah dibuat dan dijalankan baik di komputer tunggal maupun cluster. Saat ini telah banyak arsitektur komputer multi-processor dan atau multi-core namun kode perangkat lunak kebanyakan berjalan secara serial sehingga tidak memanfaatkan sumber daya yang ada. Dalam penelitian ini dikaji pemrograman paralel menggunakan OpenMP. Akan dicari kemungkinan paralelisasi pada masalah n-benda. Akan ditunjukkan kode program hasil paralelisasi memiliki waktu eksekusi lebih cepat daripada kode serial. Keywords: pemrograman parallel, OpenMP, masalah n-benda
1. PENDAHULUAN OpenMP adalah sebuah sharedmemory application programming interface (API) yang berdasarkan pada usaha awal untuk memfasilitasi pemrograman paralel yang berbagi memori. Alih-alih disahkan sebagai standart, OpenMP merupakan sebuah persetujuan yang diraih antara anggota ARB yang berbagi ketertarikan dalam pendekatan yang portabel, userfriendly dan efisien terhadap pemrograman paralel yang berbagi memori. OpenMP dimaksudkan agar sesuai untuk implementasi dalam ragam arsitekturarsitektur SMP yang sangat luas (Chapman dkk., 2008). OpenMP bukan bahasa pemrograman yang baru melainkan notasi yang dapat ditambahkan ke sebuah sekuens program di Fortran, C, atau C++ untuk menjelaskan cara pekerjaan dibagi di antara threads yang akan mengeksekusinya pada prosesor yang berbeda atau core. Penyisipan yang tepat fitur OpenMP ke dalam baris program akan memungkinkan sebuah aplikasi mendapatkan keuntungan dari arsitektur paralel yang berbagi memori–kadangkadang dengan modifikasi minimal pada kode. Pada prakteknya, banyak aplikasi-
SEMNAS MIPA 2010
aplikasi yang memiliki potensi paralel yang dapat dieksploitasi (Chapman dkk., 2008). OpenMP memungkinkan pembuatan program parallel yang berbagi memori (Hermanns, 2008). OpenMP relatif mudah digunakan karena rincian program paralel diserahkan kepada compiler. Hal ini merupakan keuntungan utama sehingga Open- MP diadopsi secara luas dan dapat dijalankan di banyak platform berbeda (Chapman dkk., 2008). Menurut Landman (2007), kelebihan OpenMP adalah bahwa OpenMP merupakan sistem yang sangat mudah digunakan dan secara luas tersedia dalam berbagai compiler untuk kebayakan platform besar. Pada sistem multi-core, sebuah alamat bersama adalah basis untuk model pemrograman yang berbagi memori. OpenMP membuat pekerjaan programmer menjadi mudah dalam lingkungan seperti ini. 1.1 Masalah N-Benda Menurut Aarseth (2008), masalah nbenda adalah masalah memprediksi gerak sekelompok benda langit yang berinteraksi satu dengan yang lain melalui interaksi gravitasi. Penyelesaian masalah ini didorong oleh tuntutan untuk mengerti gerak ma-
FIS - 7
tahari, planet dan bintang yang terlihat. Rumus matematika lengkap pertama muncul di Principia-nya Isaac Newton. Karena gravitasi bertanggung jawab atas gerak planet dan bintang, Newton harus menyatakan interaksi gravitasi dalam bentuk Persamaan Diferrensial. Sebuah kenyataan penting yang dibuktikan Newton di Principia adalah bahwa benda-benda angkasa dapat dimodelkan sebagai titik-titik massa. Masalah fisisnya secara informal dapat dinyatakan sebagai berikut: Diberikan posisi dan kecepatan awal sebuah kelompok benda langit, ramalkan gerak mereka untuk waktu yang akan datang dan disimpulkan pergerakannya di waktu lampau. Lebih tepatnya, ditinjau n buah titik massa m1, · · · , mn di ruang tiga dimensi. Anggap bahwa gaya tarik yang dialami antar pasangan adalah Newtonan. Lalu, jika posisi awal di ruang dan kecepatan di tentukan saat t0, tentukan posisi tiap partikel di masa depan (atau lampau). Dalam kerangka matematika, hal ini berarti mencari jawaban umum dari masalah nilai awal untuk persamaan diferensial yang memerikan masalah n-benda. Persamaan gerak benda ke-i untuk sistem dengan n partikel berbentuk
(1) Untuk mudahnya, digunakan suatu sistem satuan dengan G = 1 dan ruas kanan dari (1) didefinisikan sebagai gaya persatuan massa, Fi. Diberikan syarat awal ri, vi untuk posisi dan kecepatan masing-masing partikel di sebarang t0, perangkat persamaan diferensial orde dua (1) memberikan jawaban ri(t) pada interval (−∞, ∞). Alternatif lain, jawaban lengkap juga diberikan oleh 6N buah persamaan diferensial orde satu yang diselesaikan secara simultan dan prosedur ini, pada kenyataannya, biasanya dipilih di dalam praktek (Aarseth, 2003). Telah diketahui sejak era Newton bahwa masalah n-benda yang didefinisikan oleh (1) hanya memiliki jawaban eksak untuk kasus interaksi dua benda (Aarseth, 2003). Untuk lebih lengkapnya, diperkenalkan hubungan mendasar yang biasanya digunakan untuk pemeriksa
SEMNAS MIPA 2010
keakuratan. Tenaga total dan momentum sudut (E dan J) sistem diberikan oleh
(2)
(3) Dua suku pada (2) mewakili tenaga kinetik dan potensial total. Dengan mengalikan (1) dengan mi dan melakukan penjumlahan, berdasarkan sifat simetri akan didapatkan
(4) Dengan mengintegralkan (4) akan didapatkan enam besaran yang lestari. Selanjutnya didefinisikan T , U , W berturutturut sebagai energi kinetik, potensial dan eksternal total, dengan U < 0. Hubungan energi akan mengambil bentuk E=T+U+W Dari persamaan-persamaan di atas, adalah sebuah keharusan untuk sebuah skema numerik bagi sistem yang lestari untuk menjaga nilai-nilai sepuluh buah konstanta gerak saat penghitungan (Rathinavelu, 2008). Karena tenaga total adalah selisih antara dua bilangan besar, T dan |U |, pengalaman menunjukkan bahwa ini adalah kuantitas paling sensitif terkait keakuratan penghitungan (Aarseth, 2003). Dalam prakteknya , persamaan (1) kurang layak untuk diterapkan langsung ke dalam algoritma. Hal ini disebabkan karena ada kemungkinan penyebut bernilai nol atau mendekati nol sehingga terjadi galat pembagian dengan bilangan kecil. Untuk itu perlu ditambahkan sebuah suku pada penyebut sehingga persamaan (1) menjadi
(5)
FIS - 8
dengan ε adalah suku pelunakan. Dengan adanya ε, penyebut tidak mungkin bernilai nol. Nilai ε harus dipilih sedemikian sehingga pada |ri − rj| besar nilai ε dapat diabaikan. 2 METODE PENELITIAN 2.1 Membuat Program dengan OpenMP Directive OpenMP mengijinkan pengguna untuk mengatakan pada compiler dengan perintah yang dieksekusi secara paralel dan cara mendistribusikannya pada thread-thread yang akan menjalankan kode. Sebuah directive OpenMP adalah perintah dalam format khusus yang hanya dimengerti oleh compiler OpenMP. Directives tersebut terlihat seperti komentar bagi compiler fortran biasa sehingga program akan berjalan separti biasa jika compiler tidak mendukung OpenMP. Salah satu tujuan dari standard OpenMP adalah menawarkan kemungkinan baris-baris kode sumber yang sama agar dapat digunakan oleh compiler normal dan compiler yang mendukung OpenMP. Ini hanya dapat dicapai dengan cara menyembunyikan directives dan perintah OpenMP sedemikian sehingga compiler normal tidak dapat melihat mereka. Untuk tujuan itu diperkenalkan sentinel: !$OMP !$ Karena karakter pertama adalah tanda seru ’!’, compiler normal akan mengartikan baris sebagai komentar dan mengabaikannya, tetapi compiler yang mendukung OpenMP akan mengidentifikasinya dan memproses sebagai berikut: !$OMP :compiler yang mendukung OpenMP tahu bahwa informasi di baris ini adalah sebuah OpenMP directive !$ :baris ini terpengaruh oleh conditional compilation. Ini berarti bahwa baris ini hanya terbaca oleh compiler yang mendukung OpenMP Kedua sentinel dapat muncul di sebarang kolom sepanjang mereka dipisahkan hanya oleh spasi; jika sebaliknya, mereka diartikan sebagai komentar normal.
SEMNAS MIPA 2010
2.2 Pemrograman Paralel pada Masalah N-Benda Menggunakan OpenMP Program simulasi n-benda terdiri dari bagian: pemberian nilai awal, penghitungan percepatan, penghitungan kecepatan dan posisi serta penghitungan energi. Bagian pemberian nilai awal, berupa penentuan jumlah benda yang terlibat dalam simulasi (n) dan pemberian posisi dan kecepatan awal masing-masing benda. Proses untuk sebuah benda tidak terkait dengan benda yang lain sehingga bagian ini dapat diproses secara paralel. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut adalah hasil program masalah n-benda. Jumlah iterasi pada semua program berikut adalah 100 iterasi. Arsitektur yang digunakan adalah komputer SMP dengan sistem operasi Mac OS X 10.6.4 (64 bit). Gambar 1 menunjukkan galat tenaga total terhadap waktu pada n=1000. Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara program serial dan paralel menggunakan OpenMP. Paralelisasi pada OpenMP mencakup pemberian nilai awal, penghitungan percepatan dan penghitungan posisi dan kecepatan menggunakan RungeKutta. Pada nilai n kecil, tidak terlihat adanya keuntungan paralelisasi program, namun pada nilai n besar, terlihat perbedaan durasi yang signifikan.
Gambar 1. Galat tenaga total terhadap waktu
FIS - 9
Gambar 2. Perbandingan antara program serial dan parallel. 4 KESIMPULAN OpenMP dapat digunakan untuk mempercepat sebuah program dengan memanfaatkan semua core pada sebuah computer. Signifikansi durasi program paralel terhadap program serialnya tergantung pada berapa banyak bagian program yang dapat diparalelkan. 5 DAFTAR PUSTAKA Aarseth, S.J., 2003, Gravitational N -Body Simulations, Cambridge University Press Aarseth, S.J., 2008, Lecture Notes in Physics: Direct N-Body Codes, Springer-Verlag Berlin, Heidelberg Chapman, B., Jost, G., van der Pass, R., 2008, Using OpenMP, MIT Press, England Hermanns, M., 2002, Parallel Programming in Fortran 95 using OpenMP, Universidad Politecnica de Madrid Spain Landman, J., 2007, OpenMP in 30 Minutes, Linux Magazine, http://www.linuxmag.com/id/4609
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 10
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI ANTENA PANEL 4 MICROSTRIP PATCH HORN UNTUK KOMUNIKASI WI-FI PADA FREKUENSI 2,4 GHZ Putu Artawan 1,2) dan Yono Hadi Pramono 1) 1) Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111 Telp : +6231-5947188 Fax : +6231-5923626 2) Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNDIKSHA Kampus FMIPA Jalan Udayana Singaraja Bali 81117 Telp : +62362-25072 E-mail :
[email protected](1,2),
[email protected](1)
ABSTRAK Antena adalah komponen penting dalam proses transfer komunikasi sehingga menjadi satu kesatuan teknologi yang terintegrasi dengan baik. Syarat spesifikasi Antena yang baik adalah dengan kapasitas, frekuensi kerja dan VSWR yang kompatibel serta return loss yang kecil. Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi antena microstrip patch horn dengan bahan FR4 untuk komunikasi Wi-fi pada frekuensi 2,4 GHz. Fabrikasi dilakukan dengan metoda UV photoresist laminate. Struktur Antena terdiri dari 4 array microstrip patch. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antena ini dapat diaplikasikan untuk komunikasi Wi-fi dengan nilai VSWR 1,222 dengan return loss -20,01 dB. Pola radiasinya radial baik secara vertikal maupun horisontal, dengan penguatan 19 dB. Kata kunci : Antena Horn, VSWR, return loss, penguatan.
1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi dalam bidang komunikasi begitu pesatnya dengan terciptanya komunikasi jaringan. Perkembangan tersebut tidak terlepas dengan peran salah satu perangkat yang menentukan performansi jaringan yaitu antena. Sebagai bagian utama dari proses transmisi, Antena yang dirancang haruslah memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan seperti frekuensi kerja, koofesien refleksi dan VSWR yang kompatibel serta return loss yang sangat kecil. Desain antena Horn yang sederhana dengan menggunakan bahan Fiber dengan proses etching menggunakan larutan FeCl3 (Ferric Chloride) sudah pernah difabrikasi dan dianalisa dengan penguatan ... dB. [1,2]. Pada penelitian ini diupayakan difabrikasi Antena microstrip patch horn dalam bentuk antena panel, dengan menggunakan bahan FR4 dengan metoda UV photoresist laminate yang hasil analisa datanya diharapkan mencapai hasil yang lebih optimal. Diharapkan hasilnya bisa mendapatkan penguatan yang lebih tinggi dengan VSWR yang lebih rendah serta return loss yang sekecil mungkin. Hasil dari fabrikasi ini nantinya diharapkan bisa menjangkau jarak yang lebih jauh dengan
SEMNAS MIPA 2010
menghasilkan kualitas penerimaan yang bagus yang akan diterapkan pada sistem komunikasi Wi-fi. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rangkaian Microstrip Keunggulan jenis antena Mikrostrip terutama terletak pada rancangan antenanya yang tipis, kecil, ringan dan dapat diterapkan ke dalam Microwave Integrated Circuit (MICs) [3]. Pada prinsipnya antena mikrostrip memiliki karakteristik dengan frekuensi kerja (bandwidth) yang sempit. Salah satu teknik untuk memperlebar bandwidth yaitu dengan menggunakan teknik panel array. Dengan teknik ini selain dapat memperlebar frekuensi kerja (bandwidth) juga dapat meningkatkan penguatan (gain) antena. 2.2 Antena Horn Antena horn secara umum dipakai sebagai elemen aktif dalam antena parabola. Horn tersebut mengarah pada pusat reflektor parabola. Penggunaan horn daripada antena dipole atau antena manapun, di fokus parabola meminimalisir kehilangan energi di sekitar pinggiran reflektor parabola. Pada frekuensi 2,4GHz antena horn sederhana FIS - 11
yang terbuat dari kaleng mempunyai gain sebesar 10-15dBi [4]. Antena jenis antena kawat dimensi fisiknya disesuaikan dengan panjang gelombang dimana sistem bekerja. Semakin tinggi frekuensi kerja, maka semakin pendek panjang gelombangnya, sehingga semakin pendek panjang fisik suatu antena. Untuk antena gelombang mikro, menggunakan antena luasan (aperture antena) karena mempunyai sifat pengarahan yang baik untuk memancarkan gelombang elektromagnetik. Karakter yang penting dari suatu antena adalah seberapa besar antena mampu mengkonsentrasikan energi pada suatu arah yang diinginkan, dibandingkan dengan radiasi pada arah yang lain [4]. Untuk memaksimumkan perpindahan daya dari antena ke penerima, maka impedansi antena haruslah conjugate match (besarnya resistansi dan reaktansi sama tetapi berlawanan tanda). 2.3. Karakteristik Dan Parameter Antena 1. Impedansi Antena Impedansi input akan dipengaruhi oleh antena-antena lain atau obyek-obyek yang dekat dengannya. Impedansi antena terdiri dari bagain riil dan imajiner, yang dapat dinyatakan dengan : Zin = Rin + j Xin (1) Resistansi input (Rin) menyatakan tahanan disipasi. Daya dapat terdisipasi melalui dua cara, yaitu karena panas pada struktur antena yang berkaitan dengan perangkat keras dan daya yang meninggalkan antena dan tidak kembali (teradiasi). Reaktansi input (Xin) menyatakan daya yang tersimpan pada medan dekat dari antena. Disipasi daya ratarata pada antena dapat dinyatakan sebagai berikut : Pin = ½ R | Iin |2 (2) Dimana : Iin = arus pada terminal input Faktor ½ muncul karena arus didefinisikan sebagai harga puncak. Daya disipasi dapat diuraikan menjadi daya rugi ohmic dan daya rugi radiasi, yang dapat ditulis dengan : Pin = Pohmic + Pr (3) Dimana : Pr = ½ Rin | Iin |2 Pohmic = ½ Rohmic | Iin |2 [5] Sehingga definisi resistansi radiasi dan resistansi ohmic suatu antena pada terminal input adalah : SEMNAS MIPA 2010
Rin
2 Pr Pin
Rohmic
(4)
2
2( Pin Pr) Pin
2
(5)
Resistansi radiasi adalah relatif terhadap arus pada setiap titik antena. Biasanya digunakan arus maksimum. Untuk memaksimumkan perpindahan daya dari antena ke penerima, maka impedansi antena haruslah conjugate match (besarnya resistansi dan reaktansi sama tetapi berlawanan tanda). Jika hal ini tidak terpenuhi maka akan terjadi pemantulan energi yang dipancarkan atau diterima, sesuai dengan persamaan sebagai berikut :
GL
e L Z L Z in e L Z L Z in
Dengan : e-L ZL e+L Zin
= = = =
tegangan pantul impedansi beban tegangan datang impedansi input
(6)
[6]
2. VSWR VSWR (Voltage Standing Wave Ratio) dapat terjadi jika terdapat dua gelombang yang merambat pada arah berlawanan dalam media yang sama. Standing wave dapat terjadi hanya jika frekuensi gelombang datang dan pantul sama, yang dipresentasikan dalam besaran VSWR. Rentang nilai VSWR yang diterima adalah 1 s/d ~ [7], nilai VSWR yang mendekati 1 mengindikasikan bahwa kinerja antena semakin baik. Secara matematis dapat dinyatakan dengan :
VSWR
1 1
(7) [7]
3. Frekuensi Kerja Daerah frekuensi kerja dimana antena dapat bekerja dengan baik dinamakan bandwidth antenna. Bandwidth pada sistem antena umumnya didefinisikan sebagai jarak antara frekuensi rendah (f1) dan frekuensi tinggi (f2) yang diformulasikan sebagai BW = f2–f1. Bandwidth yang dinyatakan dalam prosen digunakan untuk menyatakan bandwidth antena dengan band sempit (narrow band). Persamaannya adalah :
FIS - 12
BW
f 2 f1 x 100% fc
(8)
Untuk band yang lebar (broad band) digunakan definisi rasio antara batas frekuensi atas dengan frekuensi bawah. Persamaannya adalah :
BW
f2 f1
(9)
Bandwidth antena dipengaruhi oleh luas penampang konduktor dan bentuk geometrinya [7]. Misalnya pada antena dipole akan mempunyai bandwidth yang semakin lebar apabila penampang konduktor yang digunakannya semakin besar. Demikian pula pada antena yang mempunyai susunan fisik yang berubah secara smoth akan menghasilkan pola radiasi dan impedansi input yang berubah secara smoth terhadap perubahan frekuensi. Pada jenis antena gelombang berjalan (tavelling wave) ternyata ditemukan lebih lebar range frekuensi kerjanya daripada antena resonan. 4. Koofesien Refleksi Koefesien refleksi mengindikasikan seberapa besar daya pantul yang dimiliki oleh sebuah antena. Semakin besar nilai koofesien refleksinya maka semakin besar daya pantul dari antena tersebut, begitu sebaliknya. Koofesien refleksi persamaan berikut :
ditentukan
Г = VSWR – 1 / VSWR +
dengan
(10)
Atau : Г = 10 (-RL/20)
(11) [7]
5. Return Loss Nilai Return Loss yang semakin kecil, mengindikasikan sinyal yang direfleksikan semakin kecil sehingga sinyal yang diteruskan semakin besar. Secara sederhana dapat disimpulkan dengan nilai return loss yang semakin kecil kinerja antena semakin bagus. Nilai return loss yang dapat diterima dilapangan adalah < -15 dB [7], sehingga pada penelitian ini diharapkan memiliki nilai return loss yang sekecil mungkin atau paling tidak < -15 dB. SEMNAS MIPA 2010
6. Direktivitas dan Gain Karakteristik terpenting dalam merancang suatu antena adalah direktivitas (directivity) dan power gain. Direktivitas yang dimaksud adalah seberapa besar antena mampu mengkonsentrasikan energi pada suatu arah yang diinginkan, dibandingkan dengan radiasi pada arah yang lain. Sedangkan power gain dinyatakan relatif terhadap suatu referensi tertentu, seperti sumber isotropis atau dipole ½ λ. 6.a Direktivitas Antena Directive gain adalah perbandingan intensitas radiasi pada suatu arah dengan intensitas radiasi rata-rata, yang dinyatakan sebagai berikut :
D(q, f )
I ( , ) I ave
(12)
Dimana : I(q,f) = intensitas radiasi I ave = intensitas radiasi rata-rata [7] Sedangkan direktivitas merupakan harga maksimum dari directive gain, yang dapat dinyatakan dengan :
D
I in 4 I ave
(13)
6.b. Gain Antena Penggunaan antena biasanya lebih memperhatikan efisiensi dalam memindahkan daya yang terdapat pada terminal input menjadi daya radiasi. Untuk menyatakan ini, power gain didefinisikan sebagai 4p kali rasio dari intensitas pada suatu arah dengan daya yang diterima antena, dinyatakan dengan :
G ( q, f ) 4 p
I ( , ) Pin
(14)
Definisi ini tidak termasuk losses yang disebabkan oleh ketidaksesuaian impedansi (impedance missmatch) atau polarisasi. Harga maksimum dari gain adalah harga maksimum dari intensitas radiasi yang dapat dinyatakan dengan :
G4p
I in P in
(15)
Perbedaan gain maksimum dengan direktivitas hanya terletak pada jumlah daya yang digunakan [8].
FIS - 13
Direktivitas dapat menyatakan gain suatu antena jika seluruh daya input menjadi daya radiasi. Dan hal ini tidak mungkin terjadi karena adanya losses pada daya input. Bagian daya input (Pin) yang tidak muncul sebagai daya radiasi diserap oleh antena dan struktur yang dekat dengannya. Hal tersebut menimbulkan efisiensi radiasi, yang dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
e
Pr P in
(16)
dengan harga e diantara nol dan satu ( 0 < e < 1). Sehingga gain maksimum suatu antena sama dengan direktivitas dikalikan dengan efisiensi dari antena, yang dapat dinyatakan sebagai berikut : G=eD (17) Namun dalam prakteknya jarang gain antena dihitung berdasarkan directivity dan efisiensi yang dimilikinya. Gain antena dihitung dengan analisa hasil dari pola radiasi yang dihasilkan. 7. Pola Radiasi Dengan mengetahui pola radiasi antena maka dapat ditentukan ke arah mana antena dihadapkan agar mendapatkan Intensitas sinyal yang baik. Umunya untuk antena jenis Horn menghasilkan pola radiasi yang radial baik secara vertikal maupun secara horisontal [8,9].
penerima dan pemancar akan dapat mengurangi intensitas sinyal yang diterima. Sebuah antena dapat memancarkan energi dengan polarisasi yang tidak diinginkan (polarisasi silang /cross polarized) dan berakibati mengurangi gain. I. METODOLOGI 3.1 Peralatan dan Bahan Peralatan dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara lain : 1. PCB (substrat FR4 dengan konstanta dielektrik 4,3). 2. Konektor tipe N female untuk inputan. 3. Kabel koaksial. 4. Baut dan mur. 5. Reflektor dengan bahan Al (Aluminium). 6. Network Analyzer. 7. Busur derajat. 8. Antena pancar. 9. Laptop 3.2 Diagram Alir Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian “Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena Panel 4 Microstrip Patch Horn Untuk Komunikasi Wi-Fi Pada Frekuensi 2,4 Ghz” ini adalah : Analisa Antena (Microstrip Line, Antena Patch, Microstrip Horn, Array Horn)
8. Polarisasi Antena Polarisasi antena didefinisikan sebagai arah vektor medan listrik yang diradiasikan oleh antena pada arah propagasi. Jika jalur dari vektor medan listrik maju dan kembali pada suatu garis lurus dikatakan berpolarisasi linier. Jika vektor medan listik konstan dalam panjang tetapi berputar disekitar jalur lingkaran, dikatakan berpolarisasi lingkaran. Jika vektornya berputar berlawanan arah jarum jam dinamakan polarisasi tangan kanan (right hand polarize) dan yang searah jarum jam dinamakan polarisasi tangan kiri (left hand polarize) [10]. Untuk memaksimumkan sinyal yang diterima, maka polarisasi antena penerima harus sama dengan polarisasi antena pemancar. Jika terjadi polarisasi yang berbeda antara antena SEMNAS MIPA 2010
Desain Fabrikasi Antena
Fabrikasi Antena
Pengukuran
Analisa Data Pengukuran 3.2.1 Desain dan Proses Fabrikasi Antena.
FIS - 14
Adapun langkah-langkah dalam proses desain dan fabrikasinya sebagai berikut : 1. Membuat desain antena dengan analisa ukuran yang tepat (data perhitungan). 2. Fabrikasi sesuai desain antena yang dirancang dengan UV Photoresist laminate. 3. Pemasangan konektor dan reflektor. 3.2.2 Pengukuran dan Analisa. Antena yang sudah difabrikasi selanjutnya diukur dan dianalisa dengan menggunakan Network Analyzer. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Optik Fisika MIPA ITS dan di Laboratorium Elektronika ITS dengan menggunakan alat Network Analyzer tipe 8714C. Data hasil pengukuran yang diperoleh meliputi nilai frekuensi dan SWR Selanjutnya dilakukan pengukuran pola radiasi di tempat yang lapang. Antena yang telah difabrikasi dan diukur dengan network analyzer, datanya dianalisa untuk mendapatkan nilai VSWR, return loss dan koofesien refleksi dengan persamaan berikut: RL = -20 log10 (Г) Г = 10-RL/20 VSWR = 1 + IГI / 1- IГI SWR = 20 log 10 VSWR [11] Kemudian untuk data pola radiasi dianalisa dengan menggunakan program Microsoft Excel atau Matlab. Yang selanjutnya dicari penguatannya (Gain).
Gambar 2 : Foto Hasil Fabrikasi Hal yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah optimalisasi dari hasil fabrikasi sebelumnya. Tujuannya untuk memberikan batasan geometri kepada para perancang antena horn untuk mendapatkan faktor refleksi dan gain yang optimal, sehingga jarak yang lebih jauh bisa didapatkan. Selanjutnya fabrikasi dikembangkan dengan jumlah array mikrostrip yang bervariasi dan juga variasi dari lebar patch line nya. Pelebaran bandwidth diperoleh seiring dengan bertambahnya jumlah array mikrostrip [12]. Artinya bahwa pelebaran bandwidth antena mikrostrip slot dapat dilakukan dengan menambah jumlah slot dan sekaligus dapat memperkecil ukuran antena. Dengan penggunaan slot yang semakin kecil akan menggeser frekuensi operasi ke yang lebih tinggi. Parameter-parameter yang terukur meliputi, frekuensi dan SWR.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Desain fabrikasi antena yang dibuat
adalah sebagai berikut : 9 cm
3cm, 1mm
8,6 cm
½λ
Gambar 3 : Set – Up Pengukuran Data yang diperoleh dari hasil pengukuran adalah sebagai berikut:
3cm, 2mm
3 cm
Gambar 1 : Desain Antena
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 15
Pengukuran Pola Radiasi dilakukan dengan set – up sebagai berikut : antena pancar
laptop
antena microstrip
l
laptop
Gambar 7 : Set – Up Pengukuran Pola Radiasi
Gambar 4 : Grafik SWR dan Frekuensi Selanjutnya dari hasil pengukuran yang diperoleh, data dianalisa dengan persamaanpersamaan yang relefan untuk menemukan karakteristik yang lain. Hasilnya diperoleh sesuai dengan tabel berikut :
Hasilnya diperoleh :
Tabel 1. Data dan Analisa Hasil Pengukuran Bw (GHz)
SWR
VSWR
RL (dB)
2,23 – 2,41
1,743
1,222
-20,01
Keterangan : Π
Π
Gambar 8a : Foto Pengukuran Pola Radiasi
0,0 9
= koofesien refleksi
(8.b) (8.c) Gambar 8b : Pengukuran Secara Vertikal Gambar 8c : Pengukuran Secara Horisontal
Gambar 5 : Grafik VSWR dan Frekuensi
Pola radiasinya berupa Radial baik secara vertikal maupun horisontal. Hasil analisa datanya menunjukkan bahwa Antena yang difabrikasi mempunyai penguatan sebesar 19 dB. 5. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan
Gambar 6 : Grafik S11 (Π) dan Frekuensi
SEMNAS MIPA 2010
Dari hasil dan analisa data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa: 1. Fabrikasi dan karakterisasi Antena panel 4 Microstrip Patch Horn untuk komunikasi Wi-Fi pada frekuensi 2,4 Ghz sudah dilakukan. 2. Dari fabrikasi tersebut diperoleh nilai VSWR 1,222 dengan penguatan 19 dB.
FIS - 16
5.2 Saran 1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk mencoba memfabrikasi dengan array microstrip yang lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil yang lebih optimal. 2. Saat pengukuran pola radiasi diupayakan
dilakukan pada kondisi yang lebih ideal, ditempat yang jauh dari faktor-faktor yang menyebabkan noise sehingga didapatkan hasil yang lebih optimal. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Aswoyo, Budi, 2000. Perancangan Optimasi dan Implementasi Antena Horn Sektoral Bidang E pada Frekuensi Band X, Surabaya: Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, ITS.
Fisika FLUX. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. [11] Pramono, Yono Hadi dkk, 2002. Analisa Respon Frekuensi Antena Mikrostrip. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. ITS, Surabaya [12] Pramono, Yono Hadi dkk, 2002. Analisa Karakteristik Antena CPW Slot dan Patch dengan FDTD. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. ITS, Surabaya.
Putu Artawan, menyelesaikan S1 pendidikan Fisika FMIPA di STKIP N Singaraja Bali tahun 2002. Kemudian tahun 2006 diterima sebagai PNS Dosen di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali. Tahun 2009 sampai saat ini sedang menempuh pendidikan Magister (S2) di Jurusan Fisika MIPA, ITS Surabaya bidang Fisika OptoElektronika.
[2] Ohri, V, Amin, O, Gebremariam, H Dubois, B, 2003. Microwave Horn Antena Design and Test System. San Jose State University. [3] Shafai, 2001. Microstrip Antena Design Handbook. Canada: Profesor University Of Manitoba, Winnipeg. [4] Balanis, C.A. 1997. Antena Theory Analysis and Design, Second Edition. New York: John Wiley and Sons. [5] Kraus, John, D., 1984. Electromagnetics, Third Edition. New York: McGraw-Hill. [6] Suherman, Nanang, 2008. Analisis dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Horn dilengkapi Reflektor Parabola dengan Metode FDTD. Surabaya: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITS. [7] Terry Edward, Knaresborough England, 1991. Foundation For Microstrip Circuit Design. [8] Hund, E., 1989. Microwave Communications, Component and Circuit. New York: McGraw Hill. [9] Pramono, Yono Hadi dkk. 2009. Prototipe Antenna Bi-Horn Dengan Dua Arah Pola Radiasi Dan Satu Feeding Monopole Beroperasi Pada Freq.2,4 Ghz. Prosiding T.Informatika, UPN. Yogyakarta [10] Pramono, Yono Hadi dkk. 2005. Karakterisasi Antena Mikrostip Patch 3 Ghz Secara Simulasi FDTD (Finite Difference Time Domain) Dan Eksperimen. Jurnal
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 17
ANTENA MIKROSTRIP 5 LARIK SIMETRI DOUBLE DIPOLE UNTUK OMNI DIRECTIONAL DENGAN FREKUENSI KERJA 2,4 GHZ Qomaruddin1), Yulia Dyah R2), Yono Hadi P3) Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Telp: (031)-5943351, Fax: (031)-594331 E-mail:
[email protected]),
[email protected]),
[email protected])
Abstract Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi antena microstrip omnidirectional berstruktur array double dipole dengan substrat fiber untuk komunikasi WiFi 2,4 GHz. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching dengan larutan feritklorit (FeClO3), struktur antenna terdiri dari lima larik double dipole yang simetri dengan pola pertama menggunakan strip feed line polos dan yang kedua dengan strip feed line tangga. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antenna ini dapat diaplikasikan sebagai omnidirectional dengan nilai VSWR 1,4 dan pola radiasinya adalah radial untuk vertikal maupun horizontal dengan gain 24 dB. Kata kunci: mikrostrip, omnidirectional, double dipole, substrat fiber.
1. PENDAHULAN Komunikasi sudah merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat perkotaan terutama bagi mereka yang mempunyai mobilitas tinggi. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka menggunakan komunikasi secara nirkabel (wireless), hal ini terbukti dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan para provider kartu berlangganan prabayar GSM. Akan tetapi untuk komunikasi pada jaringan WiFi dibutuhkan beberapa komponen. Antena adalah alat yang dapat mengakomodasi kebutuhan jaringan WiFi pada frekuensi 2,4–2,5 GHz[10]. Oleh karena itu riset ini membuat Antena Mikrostrip untuk omnidirectional yang mempunyai pola radiasi menglingkar, sehingga diharapkan sinyal yang dipancarkan oleh antena transmiter lebih kuat dan jangkauannya lebih luas. Riset ini menunjukkan bahwa antena mikrostrip dipole ganda untuk omnidirectional yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz sudah memenuhi kebutuhan tersebut[10]-[13]. 2. LANDASAN TEORI Antena menurut Webster’s directionary adalah suatu alat untuk meradiasikan atau menerima gelombang
SEMNAS MIPA 2010
radio. Sedangkan berdasarkan IEEE standaret definition of term for antennas, antena di definisikan sebagai “suatu alat untuk meradiasikan atau menerima gelombang radio”. Dengan kata lain antenna adalah suatu bentuk peralihan antara ruang bebas dan insrtumen pemandu. Selain sebagai alat untuk mengirim atau menerima energi radiasi gelombang elektromagnetik, antenna juga digunakan untuk mengoptimalkan energi radiasi pada arah tertentu dan menekannya kearah yang lain [8]. Hal ini kemudian menyebabkan antenna memiliki berbagai bentuk dan desain untuk memenuhi kebutuhan khusus. System yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik (microwave) adalah kominikasi nirkabel (wireless), dengan propagasi gelombang radio sebagai media transmisinya. Bertambahnya popularitas system nirkabel, pengembangan antenna untuk system ini menjadi lebih penting. Antenna dapat diangap sebagai tulang punggung system nirkabel[10]-[13]. 2.1. VSWR Voltage Standing wave ratio merupakan ukuran ketidakcocokan antara impedansi beban antena dan impedansi pada saluran transmisi. Standing wave dapat terjadi jika ada dua gelombang yang erlawan
FIS - 18
menjalar pada medium yang sama. Hal ini direpresentasikan dangan besaran VSWR antara 1 sampai tak berhingga. SWR
Vmax I max Vmin I min
(1)
Hubungan VSWR dengan koefisien pantul (ρ), dapat dinyatakan sebagai berikut: 1 ρ (2) VSWR 1 ρ
Dengan ρ: koefisien refleksi [7].
j R
A
J r r '
Je Je dv' dv' 4 r r ' 4 R v
(5)
(persamaan potensial vektor pada titik p dengan jarak R dari sumber) menjadi:
2.2. Pola Radiasi Pola radiasi adalah plot tiga dimensi disrtibusi sinyal yang dipancarkan oleh sebuah antena, atau plot tiga dimensi tingkat penerimaan sinyal yang diterima oleh sebuah antena. Pola radiasi antena dibentuk oleh dua buah radiasi berdasar bidang irisan, yaitu pola radiasi pada bidang irisan arah elevasi (pola elevasi) dan pola radiasi pada bidang irisan arah azimuth (pola azimuth) [8]. Pola radiasi juga dapat didefinisikan sebagai representasi grafik dari radiasi suatu antena sebagai fungsi dari arah. Jika radiasi di ungkapkan sebagai kuat medan E , pola radiasinya adalah pola kuat medan. Jika radiasi dinyatakan dalam daya per satuan sudut , pola radiasinya adalah pola daya. Pada umumnya pola radiasi menggunakan kuat medan gelombang, bidang seragam membawa energi elektromagnetik, rapat energy di dapat dari vektor pointing[10][13]. Untuk gelombang bidang seragam dalam ruang hampa dengan medan elektromagnetik dinyatakan : (3) E xˆEo e jkz
E H yˆ o e jkz
Untuk menggambarkan pola radiasi ini terlebih dahulu harus ditemukan potensial vektor A pada medan jauh. Pada medan jauh vektor dari sumber dan vektor dari titik asal seola-olah sejajar atau mendekati parallel [8]. Sehingga pada kondisi medan jauh R = (R – R’)
A
e jr 4r
J e
j rˆ.r '
dv
(6)
Untuk sumber garis pada sumbu z
A
zˆ e j r J e'e j z ' cos dz' 4r
(7)
Setelah pernyataan distribusi arus dari sumber telah diketahui akan diperoleh harga medan magnet H dan harga medan magnet H tersebut dimasukkan pada persamaan
E
1 j H J
(8)
(medan listrik E untuk daerah di dalam konduktor sumber), Maka diperoleh medan listrik E. dalam koordinat bola, medan listrik E dan medan magnet H diperoleh dalam komponen vektor θ dan . Sedangkan poynting vektornya hanya mempunyai komponen radial saja. Besarnya komponen radial dari poynting vektor dapat dinyatakan sebagai berikut :
1 E Pr 2
2
(9)
Dengan: (4)
E E2 E2
(10)
magnitude resultan medan listrik Eo = komponen medan listrik θ E = komponen medan listrik η = Impendansi intrinsik ruang bebas Khusus untuk sumber yang arusnya hanya berada di sumbu-z saja diperoleh persamaan medan jauh : E j sin Az (11)
E j sin Gambar 1. Pola radiasi antena dipole
SEMNAS MIPA 2010
jz ' cos e jr J z'e dz (12) 4r
Sedangkan komponen radial dari poynting vektor adalah : FIS - 19
1 J sin Az Pr 2
2
(13)
Untuk menyatakan pola radiasi medan secara grafis, pola radiasi tersebut dapat digambarkan dalam bentuk absolute atau dalam bentuk relatif. Maksud bentuk relatif adalah pola radiasi yang sudah dinormalisasikan, yaitu setiap harga dari pola radiasi tersebut telah dibandingkan dengan harga maksimumnya. Sehingga pola radiasi medan apabila dinyatakan dalam pola radiasi yang ternormalisasi akan mempunyai bentuk :
F ,
E , E , max
2
2D 2 , untuk
dan
[7]
Gambar 2. Pola pancaran radiasi pada antena, (a) mode pemancar, (b) mode penerima [4]
(15)
Pola radiasi medan suatu antena sering juga dinyatakan dengan satuan desibel [8]. Untuk hal ini intensitas medan dalam satuan desibel didefinisikan sebagai: (16) F , db 20 log F , Sedangkan untuk pola dayanya dalam decibel (17) P , db 10 log P , 20 log F , Jadi dalam satuan decibel pola daya sama dengan pola medannya. Semua pola radiasi yang dibicarakan diatas adalah pola radiasi untuk kondisi medan jauh. Pada pengukuran pola radiasi, factor jarak adalah factor yang amat penting agar diperoleh hasil pengukuran yang baik dan teliti. Semakin jauh jarak pengukuran pola radiasi yang digunakan tentu akan semakin baik hasil yang akan diperoleh. Namun untuk melakukan pola radiasi pada jarak yang benar–benar tidak terhingga adalah suatu hal yang tidak mungkin. Untuk pengukuran ini, ada suatu daerah dimana medan yang diradiasikan oleh antena sudah dianggap SEMNAS MIPA 2010
r
(14)
Karena poynting vektor hanya mempunyai komponen radial yang sebenarnya berbanding lurus dengan kuadrat magnitude medannya, maka untuk pola radiasi daya apabila dinyatakan dalam pola radiasi medan ternormalisasi tidak lain sama dengan kuadrat dari pola medan yang sudah dinormalisasikan, yaitu :
P , F ,
sebagai tempat medan jauh, yaitu apabila jarak antara sumber radiasi dengan antena yang diukur memenuhi ketentuan berikut:
(a)
(b) (c) Gambar 3. Contoh pola radiasi, (a) komponen pola radiasi, (b) untuk antena omnidiretional 2D, (c) 3D [4] 2.3. Return Power Loss Pada saat gelombang elektromagnetik melewati sebuah saluran transmisi dan mengalami ketidaksesuaian beban atau mengalami diskontinuitas dalam saluran, beberapa bagian dari daya masukan yang dipantulkan kembali ke saluran transmisi. Return power loss didefinisikan sebagai sepuluh kali dari logaritma perbandingan
FIS - 20
antara daya terpantulkan
masukan
terhadap
daya
Pi Pr
Preturn 10 log
(18)
Dengan: Preturn = Power Return Loss (dB) Pi = daya masukan Pr = daya terpantul Karena P V
2
dengan R = Z0 = impedansi
R
intrinsik, maka, Preturn 10 log
Dimana
ρ
Vi 2 Vr2
Preturn 20 log
(19)
sehingga
Vi Vr
D
1 ρ
(20)
4U m Pr
(23)
Perbedaan maksimum power gain dengan direktivitas hanya terletak pada jumlah daya yang digunakan. Direktivitas dapat dikatakan sebagai power gain suatu antena jika seluruh daya input menjadi daya radiasi sehingga Pin=Pr. Power gain menunujukkan bahwa antena nyata tidak memenuhi pernyataan diatas karena terdapat kerugian pada daya input. Bagian daya input yang tidak muncul sebagai daya radiasi diserap oleh antena dan struktur yang dekat dengannya. Hal diatas menimbulkan definisi baru yang disebut dengan efisiensi radiasi, yaitu
Pr , dengan e 1 Pi
Dengan ρ: koefisien refleksi [7]
e
2.4. Gain
Sehingga power gain dapat dinyatakan dengan G eD [7]. Gain juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan antena memfokuskan gelombang EM untuk dipancarkan atau diterima pada semua arah atau arah tertentu saja. Pengukuran gain berdasarkan atas data yang diperoleh dari pengukuran pola radiasi antena, nilai yang terbaca pada saat pengukuran di kurangi dengan nilai antena pemancar [4].
Ketika sebuah antena digunakan dalam sebuah sistem, efisiensi antena digunakan untuk memindahkan daya yang terdapat pada terminal input menjadi daya radiasi [7]. Untuk menyatakan ini power gain (Gain) didefinisikan sebagai 4π kali hasil bagi antara intensitas radiasi pada suatu arah dengan daya yang diterima oleh antena penerima dengan pemancar, yang dinyatakan :
G ,
4U , Pin
(21)
4U m Pin
(22)
Power gain dapat dinyatakan sebagai fungsi dari θ dan , dan dapat juga dinyatakan sebagai suatu harga pada suatu arah tertentu. Jika tidak ada arah yang ditentukan dan harga power gain tidak dinyatakan sebagai suatu fungsi dari θ dan , diasumsikan sebagai power gain. Direktivitas dapat ditulis sebagai [7] :
SEMNAS MIPA 2010
3. METODOLOGI 3.1. Desain
Dengan G , adalah gain, dan U , adalah intensitas radiasi antena berturutturut dalam arah lintang (θ) dan bujur termasuk efek dari kerugian antena dan daya input yang diterima antena. Definisi ini tidak termasuk kerugian yang disebabkan oleh ketidaksesuaian impendansi atau polarisasi. Nilai maksimum power gain adalah :
G
(24)
Pada penelitian ini hal pertama yang dilakukan adalah mendesain antena omni directional dengan pengukuran yang telah dilakukan. Bentuk geomerti dari antena omni directional tampak seperti Gambar 4 dengan dimensi l1: 8,6 mm, l2: 19,4 mm, l3: 8,8 mm, l4: 5,7 mm, w1: 3,5 mm, w2: 0,5 mm, w3: 1,5 mm, w4: 2 mm, w5: 1 mm , J1: 8,5 mm, J2: 8,5 mm, J3: 26,5 mm, fu : 2,3 mm, fg: 1,5 mm, fw: 0,87 mm, t: 0,5 mm, d: 24,1 mm, wg: 5 mm, (WxL) : 15 x 70 mm2 [9].
FIS - 21
fabrikasinya yaitu dengan membuat 5 (lima ) larik.
Gambar 6. Hasil fabrikasi 5 larik. (atas) tampak depan, (bawah) tampak belakang 3.3. Pengukuran VSWR
Gambar 4. Desain antenna Omnidirectional [9]
Pengukuran antenna yang telah di fabrikasi dilalakukan dengan menggunakan spectro analyzer di laboratorium jurusan elektro ITS. 3.4. Pengukuran Pola Radiasi
.
.
L
Langkah selanjutnya adalah pengikuran pola radiasi dari antenna omni directional ini dengan memutar antenna sebesar 360o dengan melakukan variasi sudut 5o, antenna di putar dengan arah horizontal dan vertikal agar di dapatkan pola radiasi yang sesuai untuk mendapatkan sinyal terkuat. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Fabrikasi dan pengukuran yang telah dilakukan memberikan hasil bahwa untuk antena mikrostrip dipol ganda untuk omnidirectional yang bekerja pada frekuensi 2.4 GHz mempunyai pola radiasi sebagai berikut:
W
Gambar 5. Desain untuk 5 larik double layer, dimensi (W x L=217,5 x 70 mm2) 3.2. Fabrikasi antena Langkah selanjutnya setelah pembuatan desain antenna adalah memfabrikasi antenna. Alat dan bahan yang digunakan pada fabrikasi antenna ini adalah PCB jenis Fiber dengan nilai εr sebesar 4.2 [2], feriklorit (FeClO3) [7], N-connector female, dan kabel RG8. Dengan desain antena yang telah dibuat maka proses SEMNAS MIPA 2010
(a) (b) Gambar 7. Pola radiasi untuk kedua antenna, (a) untuk antenna strip feed line bertingkat (b) untuk antena strip feed line polos
FIS - 22
Kedua antena memiliki VSWR yang kurang lebih sama yaitu 1,4
[5] Kraus, John Daniel. McGraw Hill.
1988.
Anntenas,
[6] Balanis. 1997. Antenna Theory and Design. Wiley. [7] Susiloningsih, Esti, Yono Hadi P. 2009. Pembuatan dan Karakterisasi antena Microstrip dengan struktur satu feed line dipole CPW dan dua patch untuk Repeater dua arah. Jurnal Fisika dan aplikasinya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Gambar 8. Hasil pengukuran VSWR antena5 array bertingkat
[8] Mimin, Fatiatur R, Yono Hadi P., 2005. Karakterisasi Filter Microstrip Low Pass dengan Metode FDTD dan Eksperimen. seminar nasional pasca sarjana V:Institut Teknologi Sepuluh Nopember . [9] Y.-J.Wu, B.-H.Sun, J.-F.Li, and Q.-Z Liu, 2007. Progres In Elecrtomagnetic Research. Triple Band Omni-Directional Antenna for WLAN Application, PIER 76,477-488. [10] Pramono, Yono Hadi dkk. 2009. Prototipe Antenna Bi-Horn Dengan Dua Arah Pola Radiasi Dan Satu Feeding Monopole Beroperasi Pada Freq.2,4 Ghz. Prosiding T. Informatika, UPN. Yogyakarta.
Gambar 9. Hasil pengukuran VSWR antena 5 array polos 5. KESIMPULAN Dari data yang diperoleh tampak bahwa untuk antena mikrostrip pada strip feed line bertingkat dipol ganda 5 larik dengan VSWR 1,4 dapat meradiasikan daya maksimum 55 dB sehingga antena tersebut bekerja pada gain 32 dB, pola radiasinya adalah radial untuk vertikal maupun horizontal dengan gain 24 dB. Hal ini layak untuk digunakan untuk aplikasi yang lebih nyata.
[11] Pramono, Yono Hadi dkk. 2005. Karakterisasi Antena Mikrostip Patch 3 Ghz Secara Simulasi FDTD (Finite Difference Time Domain) Dan Eksperimen. Jurnal Fisika FLUX. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. [12] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa Respon Frekuensi Antena Mikrostrip. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. ITS, Surabaya. [13] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa Karakteristik Antena CPW Slot dan Patch dengan FDTD. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. ITS, Surabaya.
6. DAFTAR PUSTAKA [1] Hund, Edgar. 1989. Microwave Comunications: Componenet and Circuit. International Edition. [2] Edwards, Terry. 1992. Foundations for Microstrip Circuit Design, second Edition. John Wiley & Sons Ltd. [3] Program Teknisi Jardiknas, Antena dan Propagasi Gelombang Radio, praktikum Jaringan Nirkabel. [4] Diktat Mata Kuliah, Dasar Teknik Antena
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 23
PENGARUH VARIASI FILLER Fe3O4 DALAM KOMPOSIT FEROGEL BERBASIS PASIR BESI KEDIRI TERHADAP MAGNETO-ELASTISITASNYA Bayu Sasono Agung Nugroho dan Sunaryono. Jurusan Fisika FMIPA UM, Jl. Surabaya 6 Malang 65145 Tlp. (0341) 552125 E-mail :
[email protected]
Abstrak Fabrikasi Ferogel didapatkan dari komposit hidrogel (campuran polivinil alkohol dan air) dengan filler partikel magnetit Fe3O4 dalam ukuran mikro dan nano. Filler partikel magnetit Fe3O4 dalam ukuran mikro dan nano difabrikasi dari pasir besi alam dari sungai Brantas Kediri. Bahan dasar yang digunakan dalam fabrikasi partikel nano Fe3O4 adalah pasir besi, HCl (PA 99.9%), dan NH4OH (PA 99.9%). Setelah partikel Fe3O4 dalam ukuran mikro dan nano selesai difabrikasi, dilakukan karakterisasi menggunakan alat XRD, SEM, dan VSM, masing-masing dilakukan untuk mengetahui fasa-fasa partikel, ukuran partikel dan sifat kemagnetannya. Hasil penelitian menghasilkan partikel mikro Fe3O4 dengan ukuran 0,5 – 5,0 µm, sedangkan partikel nano Fe3O4 dari karakterisasi XRD dan dihitung dengan persamaan Scherrer didapatkan ukuran partikel 9,8 nm, sedangkan dari hasil SEM didapatkan ukuran partikel nano Fe3O4 127,3 nm, perbedaan ukuran partikel nano hasil XRD dan SEM dimungkinkan karena adanya aglomerasi partikel nano Fe3O4 sehingga sulit difoto menggunakan SEM. Hasil VSM menunjukkan bahwa partikel mikro Fe3O4 memiliki nilai magnetisasi remanen (Mr) lebih besar dibandingkan partikel nano Fe3O4 begitu juga untuk medan koersivitas (Hc) pada partikel mikro memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan partikel nano. Karakterisai magneto-elastisitas ferogel menunjukkan bahwa batas ambang medan magnet mengalami penurunan seiring bertambahnya konsentrasi Fe3O4 terhadap simpangan dan pemuluran ferogel, dan ferogel dengan filler partikel mikro Fe3O4 lebih sensitif terhadap pengaruh perubahan medan magnet dibandingkan filler partikel nano Fe3O4. Kata kunci: pasir besi, partikel nano Fe3O4, kopresipitasi, ferogel, magneto-elastisitas.
1. PENDAHULUAN Dewasa ini penelitian sains dan teknologi berbasis kemagnetan mengalami perkembangan yang cukup pesat, salah satunya adalah kajian tentang partikel magnetik. Partikel magnetik merupakan bahan dasar fabrikasi hidrogel magnetik (ferogel) dan fluida magnetik (ferofluida). Kajian sains (ilmiah) dan kemungkinan pemanfaatan dari partikel magnetik sangatlah diharapkan dalam dunia industri maupun penelitian. Dari partikel magnetik ini dapat dimanfaatkan sebagai otot buatan (artificial muscles), magnetic fluid/hydrogel hyperthermia, separasi immunomagnetic dari sel, penentuan dan pelacakan campuran (compound) aktif secara biologis, dan agen kontras untuk investigasi MRI [9]. Penelitian yang telah dilakukan oleh Li dkk [6] telah membuat gel dengan bahan dasar polimer yaitu poly n-isopropyl acrylamide (PNIPA) dan polyacrylamide. Zrinyi dan Szabo [15] mengembangkan gel yang sensitif terhadap medan magnet, dalam SEMNAS MIPA 2010
gel tersebut terdapat partikel magnet berbentuk koloid yang terdispersi di dalamnya. Kemudian Ramanujan R.V. dan L.L.Lao telah membuat komposit dengan bahan polivinil alkohol (polyvinyl alcohol/PVA) dan Fe3O4 (ferit), mereka memadukan sifat elastik dari PVA gel dan sifat magnetik dari partikel Fe3O4 berukuran mikrometer [11]. Partikel oksida besi (Fe3O4) dalam ukuran nano dapat dihasilkan dengan cara mencampurkan larutan garam besi II (FeCl2) dan garam besi III (FeCl3) ke dalam larutan amonium hidroksida sehingga dihasilkan reaksi pengendapan. Banyak kajian penelitian yang telah berhasil mensintesis oksida besi dalam ukuran nano dari bahan dasar pasir besi. Bahan dasar pasir besi apabila dilarutkan ke dalam asam klorida akan mendapatkan larutan garam besi II (FeCl2) dan garam besi III (FeCl3) [13]. Untuk memperoleh partikel nano Fe3O4 digunakan beberapa metode, metode-metode yang digunakan selama ini adalah metode
FIS - 24
sol gel, hidrolisis terkontrol, dan kopresipitasi dalam air. Dari ketiga metode sintesis tersebut, metode kopresipitasi yang paling sederhana untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan prosedur kerjanya lebih mudah dilakukan dan memerlukan suhu reaksi yang cukup rendah (< 100 0C). Polivinil alkohol pertama kali ditemukan oleh Hermann dan Haehnel pada tahun 1924 dengan cara hidrolisis polivinil asetat dalam etanol dengan potassium hidroksida. Polivinil alkohol merupakan polimer yang berwarna putih dan berbentuk granula, dapat larut dalam air panas, dan tidak dapat larut dalam air dingin. Dalam banyak aplikasi biasanya polivinil alkohol dilarutkan dalam air [12]. Polivinil alkohol merupakan polimer yang telah dipelajari secara intensif, karena banyaknya karakteristik yang menarik daripadanya, khususnya dalam kemampuan membentuk film dan gel, serta sifat fisisnya yaitu high hidrophilicity, processability, biocompatibility dan resistan kimia yang baik [4]. Ferogel merupakan penemuan terbaru yang sangat penting dari bidang fisika berbasis partikel magnetik. Suatu gel merupakan hasil ikat silang (cross-linked) polimer yang disebarkan pada suatu fluida. Jika gel ini diberi filler ferofluida atau partikel magnetik, maka gel akan sensitif terhadap medan magnet luar dan ini disebut sebagai ferogel. Dalam ferogel, partikel magnetik terdistribusi secara merata di dalam cairan yang dapat mengembang dan menempel dalam rantai-rantai jaringan yang fleksibel oleh pengaruh gaya adhesi. Dari kondisi ini bahan-bahan penyusun ferogel yaitu filler oksida besi yang bersifat magnetik, dan PVA yang bersifat elastik akan membawa sifat asalnya masingmasing. Sehingga dari kombinasi ini, jika ferogel didekatkan pada medan magnet akan tertarik dan bersifat elastik [11]. aplikasi yang sudah dikembangkan dari ferogel sekarang ini. Dalam bidang biosains dan bioteknologi, ferogel digunakan untuk penentuan dan pelacakan campuran (compound) aktif secara biologis, imobilisasi dan modifikasi campuran aktif secara biologi, dan sebagai agen kontras untuk investigasi MRI. Dalam bidang kesehatan ferogel telah dimanfaatkan untuk terapi kanker (hyperthermia) [10]. Sementara SEMNAS MIPA 2010
aplikasi yang lain adalah untuk pembuatan otot tiruan (artificial muscles) dan aktuator [9]. 2. METODE PENELITIAN Sintesis Fe3O4 dalam ukuran mikro diperoleh dengan mengekstrak pasir besi menggunakan magnet permanen. Pasir besi hasil ekstrakan digerus dengan menggunakan mortal hingga terbentuk partikel berukuran mikro dan sintesis Fe3O4 dalam ukuran nano dilakukan dengan cara mengekstrak pasir besi menggunakan magnet permanen. Pasir besi hasil ekstrakan dilarutkan dalam HCl dan diendapkan di dalam larutan NH4OH dengan metode kopresipitasi. Partikel hasil penggerusan dan pengendapan dikarakterisasi XRD, SEM, dan VSM untuk mengetahui berapa jumlah fasa, ukuran partikel dan sifat kemagnetannya. Ferogel disintesis dengan mencampur PVA dan aquades dengan perbandingan massa 23:100. Campuran kemudian diaduk dan dipanaskan dalam magnetic stirrer pada suhu antara 70-90 ºC untuk meningkatkan kelarutan PVA dalam aquades. Setelah PVA benar-benar larut dalam aquades, kemudian Fe3O4 dimasukkan dalam larutan dengan konsentrasi Fe3O4 5%; 10%; 15%; 20%; 25% dari massa hidrogel (PVA + aquades) selanjutnya diaduk hingga merata, dan larutan didinginkan dan dipanaskan secara berulang-ulang hingga terbentuk gel yang diinginkan. Ferogel yang telah terbentuk kemudian dibuat silinder dengan panjang 10 cm dan diameter 6 mm untuk karakterisasi magneto-elastisitas. Karakterisasi magneto-elastisitas ferogel dapat diketahui dari proses penyimpangan dan pemuluran ferogel setelah mendapat pengaruh medan magnet luar. Karakterisasi simpangan ferogel di dalam pengaruh kekuatan medan magnet, set alat eksperimennya ditunjukkan oleh Gambar 1, Gambar 1(a) menunjukkan ferogel dalam kondisi awal sebelum di beri medan magnet dan Gambar 1(b) menunjukkan adanya penyimpangan ferogel karena adanya medan magnet. Bagian atas ferogel dibuat tetap sedangkan ferogel bagian bawah bebas menyimpang sesuai
FIS - 25
dengan kekuatan medan magnet digunakan.
yang
magnet
Ferogel simpangan (a)
(b)
Gambar 1. Set Alat Eksperimen Karakterisasi Simpangan Ferogel: (a) Tanpa Medan Magnet; (b) dengan Medan Magnet Sedangkan karakterisasi pemuluran ferogel, ditunjukkan oleh set alat ekperimen Gambar 2. Gambar 2(a) menunjukkan ferogel dalam kondisi sebelum di beri medan magnet dan Gambar 2(b) menunjukkan adanya pemuluran ferogel karena kekuatan medan magnet. Dari set alat eksperimen ini kebergantungan pemuluran terhadap konsentrasi Fe3O4 di dalam pengaruh kekuatan medan magnet dapat diamati.
Pemuluran (b) magnet
Gambar 2. Set alat Eksperimen Karakterisasi Pemuluran Ferogel: (a) Tanpa Medan Magnet; (b) dengan Medan Magnet 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Data Partikel Magnetit (Fe3O4) Karakterisai XRD Hasil search-match menunjukkan bahwa partikel ukuran mikro hasil difraksi sinar-X memiliki pola difraksi yang sama dengan pola difraksi Fe3O4 yang memiliki no PDF 11-0614 seperti ditunjukkan pada gambar 3.
SEMNAS MIPA 2010
Hasil karakterisasi partikel mikro Fe3O4 setelah dianalisis dengan program Rietica
didapatkan fasa-fasa partikel mikro Fe3O4 hasil XRD sesuai dengan model dan hasil analisis fasanya seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Pola Difraksi Sinar-X Partikel Mikro Fe3O4 dengan Program Rietica
Ferogel
(a)
Gambar 3. Pola Difraksi Sinar-X Partikel Mikro Fe3O4
Sedangkan pada partikel nano Fe3O4 dengan pengujian difraksi sinar-X hasilnya menunjukkan bahwa puncak yang terdeteksi pada pola difraksi didominasi fasa Fe3O4. Analisis search match untuk sampel nano Fe3O4 menghasilkan pola difraksi yang sama dengan pola difraksi Fe3O4 yang memiliki no PDF 03-0863 seperti ditunjukkan pada gambar 5. Hasil karakterisasi partikel nano Fe3O4 setelah dianalisis dengan program Rietica didapatkan fasa-fasa partikel nano Fe3O4 hasil XRD sesuai dengan model dan hasil analisisnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Melalui persamaan Scherrer ukuran kristal partikel nano adalah 9,8 nm
FIS - 26
Gambar 5. Pola Difraksi Sinar-X Partikel Nano Fe3O4
perbesaran 50.000 kali, hasilnya menunjukkan bahwa ukuran partikel sekitar 127,3 nm. Hasil pengujian ini berbeda dengan ukuran kristal hasil difraksi sinar-X yaitu sekitar 9,8 nm. Karakterisasi ukuran partikel menggunakan SEM didapatkan data partikel yang tidak dalam orde nano, hal ini dimungkinkan karena adanya aglomerasi antara partikel nano Fe3O4 sehingga sulit untuk difoto dengan SEM. Aglomerasi antara partikel bisa disebabkan oleh preparasi sampel yang kurang sempurna atau penggerusan sampel setelah di oven tidak merata. Hasil foto SEM partikel nano Fe3O4 ditunjukkan oleh Gambar 8.
Gambar 6. Pola Difraksi Sinar-X Partikel Nano Fe3O4 dengan Program Rietica Karakterisasi SEM Hasil pengujian SEM dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih akurat sebagai data pendukung untuk akurasi ukuran kristal yang diperoleh dari hasil difraksi sinar-X. Hasil pengujian SEM dengan perbesaran 10.000 kali menunjukkan bahwa ukuran Fe3O4 untuk partikel mikro sekitar 0,5 - 5,0 µm, seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 8. Foto Pengujian SEM Partikel Nano Fe3O4 Karakterisasi VSM Data keluaran hasil pengujian VSM dari partikel Fe3O4 berupa kurva histerisis magnetisasi (M) dengan medan magnet (T), seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Kurva histerisis hasil pengujian menentukan nilai magnetisasi saturasi (Ms), magnetisasi remanen (Mr), dan medan koersivitas (Hc) dari partikel mikro dan nano, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Besaran-Besaran Magnetisasi dan Medan Magnet Partikel Fe3O4 Ukuran Mr Ms Partikel (emu/gram) (emu/gram) 0,5 – 5,0 µm 10,27 54,48 9,8 nm
Gambar 7. Foto Pengujian SEM Partikel Mikro Fe3O4 Pengukuran partikel nano Fe3O4 dilakukan pengujian SEM dengan SEMNAS MIPA 2010
4,05
17,74
Hc (Tesla) 0,019 0,017
Pada Tabel 1. dapat dilihat nilai magnetisasi remanen (Mr) partikel mikro Fe3O4 10,27 emu/gram lebih besar dibandingkan partikel nano Fe3O4 4,05 emu/gram, begitu juga
FIS - 27
untuk medan koersivitas (Hc) pada partikel mikro Fe3O4 memiliki nilai yang lebih besar yaitu 0,019 T dibandingkan dengan partikel nano Fe3O4 yang besarnya 0,017 T. Maka dapat disimpulkan bahwa partikel mikro Fe3O4 memiliki sifat kemagnetan yang lebih besar dibandingkan dengan partikel nano Fe3O4. Gambar 10. Grafik Simpangan Ferogel dan Konsentrasi Filler Fe3O4 Partikel Mikro dan Partikel Nano
Gambar 9. Kurva Histerisis Partikel Fe3O4 Hasil pengujian VSM menunjukkan bahwa partikel mikro mempunyai nilai magnetisasi dan medan magnet yang lebih tinggi dari pada partikel nano. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan ukuran diameter partikel. Ukuran diameter partikel terkait dengan domain yang dimiliki oleh kedua sampel yaitu berupa domain tunggal atau domain jamak. Partikel nano termasuk dalam domain tunggal, hal ini dapat dibuktikan dengan ukuran kristal hasil XRD sekitar 9,8 nm, dengan demikian partikel nano Fe3O4 hasil sintesis memiliki nilai magnetisasi dan medan koersivitas lebih rendah daripada partikel mikro Fe3O4 yang termasuk daerah domain jamak. Analisis Data Magneto-Elastisitas Karakterisasi Simpangan Ferogel dalam Pengaruh Medan Magnet Analisis magneto-elastisitas pada penelitian ini menggunakan magnet permanen dengan kekuatan medan magnet sebesar 300 mT. Data hasil pengamatan simpangan ferogel dalam pengaruh medan magnet dapat ditunjukkan pada Gambar 10. dan foto simpangan ferogel ditunjukkan oleh Gambar 11.
SEMNAS MIPA 2010
(a)
(b)
Gambar 11. Foto Simpangan Ferogel dengan Filler Partikel Mikro Fe3O4; (a) Sebelum ada Medan Magnet, (b) Setelah ada Medan Magnet Dari Gambar 10. terlihat bahwa dengan bertambahnya konsentrasi filler Fe3O4, simpangan ferogel semakin meningkat pula, baik pada partikel mikro maupun nano Fe3O4 dan setelah pengaruh medan magnet dihilangkan ferogel kembali ke posisi semula secara tiba-tiba. Simpangan yang teramati dalam eksperimen ini adalah simpangan maksimum yang dimiliki oleh masing-masing ferogel dengan konsentrasi Fe3O4 yang berbeda-beda Nilai ambang yang tercatat pada kedua partikel seperti terlihat pada Gambar 12, merupakan kekuatan medan magnetik minimum yang diperlukan untuk menggerakkan simpangan pada posisi maksimum dan setelah posisi ini terlampaui simpangan naik secara tiba-tiba. Semakin besar konsentrasi Fe3O4 maka nilai ambang medan magnetnya semakin menurun. Dengan demikian semakin besar konsentrasi Fe3O4 maka perilaku ferogel semakin sensitif terhadap perubahan medan magnet
FIS - 28
Gambar 12. Grafik Batas Ambang Medan Magnet dan Konsentrasi Filler Fe3O4 Partikel Mikro dan Partikel Nano untuk Karakterisasi Simpangan Ferogel Karakterisasi Pemuluran Ferogel dalam Pengaruh Medan Magnet Seperti pada karakterisasi penyimpangan ferogel, medan magnet permanen yang digunakan dalam eksperimen sebesar 300 mT. Pengamatan dilakukan dengan posisi vertikal dan data diambil ketika ferogel dalam keadaan setimbang. Pada saat pengambilan data tidak ada perubahan pemuluran ferogel sebagai akibat adanya gaya grafitasi. Hasil pengamatan pemuluran ferogel dalam pengaruh medan magnet ditunjukkan pada Gambar 13, dan foto simpangan maksimum ferogel ditunjukkan oleh Gambar 14. Gambar 13. menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi filler Fe3O4 baik dalam ukuran mikro maupun nano maka pemuluran ferogel semakin meningkat pula. Pemuluran yang teramati dalam eksperimen ini adalah pemuluran maksimum yang dimiliki oleh kedua jenis ferogel dengan konsentrasi Fe3O4 yang berbeda-beda. Batas ambang medan magnet ferogel untuk pemuluran ditunjukkan oleh Gambar 15.
(b) Gambar 14. Foto Pemuluran Ferogel dengan Filler Partikel Mikro Fe3O4; (a) Sebelum ada Medan Magnet, (b) Setelah ada Medan Magnet (a)
Gambar 15. Grafik Batas Ambang Medan Magnet dan Konsentrasi Filler Fe3O4 Partikel Mikro dan Partikel Nano untuk Karakterisasi Pemuluran Ferogel
Dari keseluruhan pengamatan, secara umum dapat disimpulkan bahwa partikel mikro Fe3O4 lebih efektif untuk menghasilkan penyimpangan dan pemuluran di dalam pengaruh medan magnet permanen. Partikel mikro Fe3O4 lebih sensitif dibanding dengan partikel nano Fe3O4, hal ini terlihat dari batas ambang medan magnet untuk partikel mikro Fe3O4 lebih rendah dari pada partikel nano Fe3O4. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh besarnya kandungan magnetisasi partikel mikro Fe3O4 dibandingkan dengan partikel nano Fe3O4 seperti pada data hasil VSM. KESIMPULAN
1. Partikel mikro dan nano Fe3O4 telah Gambar 13. Grafik Pemuluran Ferogel dan Konsentrasi Filler Fe3O4 Partikel Mikro dan Partikel Nano SEMNAS MIPA 2010
berhasil difabrikasi dengan ukuran partikel mikro 0,5 – 5,0 µm, sedangkan ukuran partikel nano dengan metode kopresipitasi dari karakterisasi XRD
FIS - 29
didapatkan ukuran partikel 9,8 nm. Hasil VSM menunjukkan bahwa partikel mikro memiliki nilai magnetisasi remanen (Mr) lebih besar dibandingkan partikel nano, begitu juga untuk medan koersivitas (Hc) pada partikel mikro memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan partikel nano, maka dapat disimpulkan bahwa partikel mikro Fe3O4 memiliki sifat kemagnetan yang lebih besar dibandingkan dengan partikel nano Fe3O4. 2. Batas ambang medan magnet menunjukkan penurunan dengan bertambahnya konsentrasi Fe3O4 terhadap simpangan dan pemuluran ferogel dan ferogel dengan filler partikel mikro Fe3O4 lebih sensitif terhadap pengaruh perubahan medan magnet dibandingkan filler partikel nano Fe3O4. PUSTAKA [1.]
A. H. Pudjaatmaka. 1989. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.
[2.]
Cullity B.D. 1972. Magnetic Material. Wesley.
[3.]
E. Goiti, M.M. Salinas, G. Arias, D. Puglia, J.M. Kenny, C. Mijangos. 2007. Effect of Magnetic NanoParticles on the Thermal Properties of Some Hydrogels. Polymers Degradation and Stability 92 (2007) 2198-2205.
[4.]
Hernandez, Rebeca dkk. 2004. Viscoelastic Properties of Polyvinyl alcohol Hydrogels and Ferrogels Obtained through Freezing-Thawing Cycles. Polymer 46 sciencedirect.
[5.]
L.L. Lao dan Ramanujan, R.V. 2004. Magnetik and hydrogel composite materials for hyperthermia applications. Journal of materials science: Materials in medicine 15 (2004) 1061-1064.
[6.]
Li Y, Hu Z and Chen Y. 1997. Shape memorygels made by the modulated gel technology. J.Appl. Polym.Sci. 63 1173-8.
[7.]
Liong, Sylvia. 2005. A Multifunctional Approach to Development, Fabrication, and Characterization of Fe3O4 Composites. Disertasi, Georgia Institut of Technology.
[8.]
Pratapa. S. 2004. Analisis Rietveld. Jurusan Fisika ITS. Surabaya.
[9.]
Ramanujan, R.V. 2004. Clinical application of magnetic nanomaterials.
SEMNAS MIPA 2010
Introduction to USA. Addison
Proceeding First International Bioengineering Conference, Singapore. [10.] Ramanujan, R.V dan L.L. Lao (2004). Magnetic Particles for Hyperthermia Treatment of Cancer. Proceeding First International Bioengineering Conference, Singapore. [11.] Ramanujan, R.V dan L.L. Lao. 2006. The mechanical behaviour of smart magnethydrogel composites. Institute of Physics Publishing : Smart Materials and Structures 15. [12.] S.K. Saxena. 2004. Polivinil alkohol (PVA). Chemicial and Technical Assessment (CTA). [13.] Sunaryono. 2008. Fabrikasi dan Karakterisasi Magneto-elastisitas Hidrogel Magnetik berbasis Partikel Nano Fe3O4. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. [14.] Wilfried and H. Nowak. “Magnetism in Medicine”. Wiley.
1998.
[15.] Zrinyi M and Szabo D. 2000. Muscular contraction mimicked by magnetic gels Proc. 7th Int. Conf. on ElektroRheological Fluids and MagnetoRheological Suspensions. (Honolulu, July 1999) ed R Tao (Singapore: World Scientific) pp 11-7.
FIS - 30
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI PROTOTIPE SENSOR GAS NO2 BERBASIS LAPISAN TIPIS COPPER PHTHALOCYANINE SEBAGAI SENSOR GAS YANG DAPAT BEKERJA PADA SUHU RUANG Fabrication and Characterisation of prototipe NO2 gas sensor based Copper Phthalocyanine Thin Film as gas sensor which operating in room temperature Nasikhudin 1), Kuwat Triyana 2) 1) Universitas Negeri Malang , Jl. Semarang 5, Malang 2) Universitas Gadjah Mada , Jl. Sekip Utara Yogyakarta
ABSTRAK Telah dilakukan fabrikasi lapisan tipis Copper Phthalocyanine (CuPc) dengan menggunakan elektroda emas (Au) yang dideposisikan di atas substrat kaca. Deposisi lapisan tipis CuPc dan elektroda emas dilakukan dengan teknik lithography dengan metode vakum evaporasi pada tekanan vakum (~6 x 10-4 Pa). Karakterisasi lapisan tipis CuPc dilakukan pada suhu kamar. Dari hasil karakterisasi lapisan tipis CuPc merespon adanya gas uji yang ditunjukkan dengan peningkatan konduktivitasnya. Lapisan tipis CuPc juga merespon variasi konsentrasi gas yang diberikan. Waktu respon dan waktu pemulihan lapisan tipis CuPc masing-masing sebeasr 55 detik dan 60 detik dan untuk konsentrasi yang lebih tinggi diperlukan waktu yang lebih lama. Variasi ketebalan mempengaruhi respon sensor, lapisan yang lebih tebal akan mempunyai sensitivitas yang lebih besar tetapi waktu respon dan pemulihannnya akan lebih lama. Fungsi transfer dari respon CuPc terhadap perubahan konsentrasi gas uji berbentuk fungsi polynomial, sehingga sensitivitas CuPc tidak konstan tetapi tergantung pada inputnya. Lapisan tipis CuPc memiliki stabilitas yang rendah dalam merespon gas uji, oleh karena itu perlu optimasi untuk meningkatkan stabilitas lapisan tipis CuPc agar dapat dimanfaatkan sebagai sensor gas yang memadai. Kata kunci: Lapisan tipis CuPc, Sensor gas, lithography, vakum evaporasi, koduktivitas, waktu respon, waktu pemulihan, sensitivitas, stabilitas
1. PENDAHULUAN Selama ini teknologi lapisan tipis sebagai elemen dasar sensor gas mengarah kepada bentuk Metal Oxide Semiconductor (MOS). Penelitian tentang sifat MOS sebagai sensor gas, yaitu menggunakan lapisan tipis dari bahan-bahan anorganik seperti ZnO, CeO, SnO, maupun TeO2. Temperatur dimana sensor MOS dapat bekerja secara efisien tergantung pada atmosfer gas dan sifat bahan, dalam kasus ini suhunya sekitar 2000C–8000C (Peter, 2004), karena jauh dari suhu kamar maka harus ditambahkan sistem pemanas pada pemakaian sensor ini. Selain itu, sensor gas dengan bahan anorganik juga membutuhkan biaya fabrikasi yang relatif mahal. Selain menggunakan bahan anorganik, sensor gas dapat dibuat dengan memanfaatkan bahan organik. Salah satunya bahan
SEMNAS MIPA 2010
organik yang dapat dimanfaatkan sebagai sensor gas yaitu Metal Phthalocyanine (MPc). Satu hal yang istimewa dari sensor gas MPc dibandingkan dengan Inorganic Metal Oxide, yaitu dapat dioperasikan pada temperatur yang jauh lebih rendah. Untuk inorganic metal oxide sensing gas hanya bisa dilakukan pada suhu tinggi (diatas 3000C), sedangkan sensor gas MPc selalu dapat dioperasikan pada suhu operasi di bawah 2000C, bahkan pada suhu kamar (Lee dkk, 2004). Salah satu MPc yang menunjukkan respon terhadap gas khususnya gas NO2 yaitu Copper Phthalocyanine (CuPc), sehingga mempunyai prospek sebagai sensor gas NO2. CuPc dapat dibuat dalam bentuk lapisan tipis dengan kemurnian yang tinggi dan konduktivitas lapisan tipis CuPc dipengaruhi oleh gas yang berada di sekitarnya, karena terjadi adsorbsi molekul-molekul gas FIS - 31
pada permukaan lapisan tipis CuPc. CuPc dapat digunakan sebagai sensor gas dalam bentuk lapisan tipis semikonduktif untuk mendeteksi NO2 dan Cl2 (Guilaud dkk, 1998). CuPc merupakan semikonduktor organik tipe-p yang menunjukkan sensitivitas yang sangat tinggi untuk mendeteksi gas seperti NO2 dan Cl2. Sensitivitas yang tinggi tersebut diakibatkan adanya interaksi gas dengan lapisan tipis CuPc dengan jumlah pembawa muatan yang besar dalam konduktivitas lapisan tersebut. Sensor gas berbahan MPc dapat diproduksi dengan desain dan optimasi lapisan tipis dengan sensitivitas, selektivitas dan stabilitas (sss) dengan tingkat yang berbeda. Interaksi antara lapisan phtalocyanine dan gas mungkin diklasifikasikan dalam beberapa bagian, diantaranya irreversible chemical affinity, reversible chenical reaction or bulk sorption. Interaksi ini menghasilkan perubahan deteksi dalam sifat fisis lapisan termasuk konduktivitas, massa, dan sifat-sifat optik lainnya. Dalam penelitian ini, akan dibuat lapisan tipis CuPc dalam bentuk thin film untuk diteliti karakteristik responnya terhadap gas uji. Penelitian ini meliputi pembuatan lapisan tipis CuPc dengan menggunakan vacuum evaporator dan karakterisasi lapisan tipis CuPc sebagai sensor gas. 2. METODE EKSPERIMEN Penumbuhan lapisan tipis dilakukan dengan teknik evaporasi menggunakan vacuum evaporator system seri JEE 4 x EM300023 144 RA. Mula-mula substrat kaca dibersihkan dengan acetone, detergen, acetone dan alcohol 96% secara berturutturut masing-masing selama 1 jam menggunakan ultrasonic cleaner. Setelah itu substrat kaca dikeringkan dan selanjutnya dilakukan pendeposisian bahan menggunakan vacuum evaporator pada tekanan 6 10-4 Pa. Deposisi elektroda emas (60 mg) dilakukan dengan teknik lithografi dengan arus 40 A selama 15 menit. Sedangkan deposisi CuPc (140 mg) dilakukan dengan arus 30 A selama 30 menit. Susunan piranti hasil deposisi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
SEMNAS MIPA 2010
Au
CuPc
Au
Substrat Kaca (a) S
D
le b a r 7 5 m
(b)
Gambar 1. (a). Susunan piranti lapisan tipis CuPc, (b) Pola interdigital (panjang dan lebar kanal masing-masing 75µm dan 5mm). Karakterisasi piranti dilakukan di dalam tabung karakterisasi yang di dalamnya diletakkan sensor gas dan tabung dilengkapi dengan kran sebagai tempat pemberian gas dan pengeluarannya. Pengukuran dilakukan pada suhu kamar dengan menggunakan alat ukur UNI-T UT50A untuk pengukuran arustegangan dan Escort EDM508 untuk pengukuran resistansi. Pengukuran yang dilakukan terdiri dari pengukuran arus-tegangan, pengukuran resistansi terhadap waktu, dan pengukuran resistansi terhadap konsentrasi gas. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Respon sensor terhadap perbedaan konsentrasi gas uji Pada gambar 4 dapat diamati bahwa pada pemberian gas uji dengan konsentrasi yang berbeda yaitu C1, C2, dan C3 memberikan perubahan nilai resistansi yang berbeda. Semakin besar konsentrasi gas uji yang diberikan semakin besar perubahan nilai resistansi dari CuPc. Hal ini karena semakin besar konsentrasi gas yang diberikan, maka semakin banyak molekul gas yang diadsorpsi sehingga transver pembawa muatan yang terjadi juga semakin banyak dan pembawa muatan hole juga akan semakin banyak.
FIS - 32
45 C1 C2 C3
40
35
30
25
20 0
20
40
60 Waktu (detik)
80
100
120
Gambar 4. Grafik Pengaruh konsentrasi pada respon CuPc Semakin besar konsentrasi gas uji yang diberikan semakin besar kenaikan konduktivitasnya. Hal ini berarti dengan adanya gas uji yang diberikan, konduktivitas dari lapisan tipis CuPc semakin meningkat. Persamaan reaksi yang diberikan oleh Zhivkov dkk (2004) sehubungan dengan interaksi antara molekul gas dan molekul material adalah sebagai berikut: CuPc + jA + (j-m)A + (j-m)A
adsoption Charge transver
CuPc + (m)A(ads)
CuPc+ + A- +(m-1)A(ads) (2)
delocalization
CuPc + h++ A+(m-1)A(ads) + (j-m)A
Setelah adanya absorpsi gas, maka elektron dialirkan dari rantai CuPc terhadap akseptor molekul gas (A2) dan lubang yang berada pada lapisan dalam keadaan tidak terlokalisasi (bergerak bebas). j adalah jumlah dari akseptor molekul gas yang berada di sekeliling rantai Pc, m adalah jumlah molekul gas yang diadsorpsi oleh molekul Pc, dan h+ adalah lubang yang bebas, sehingga semakin banyak lubang yang bebas maka arus yang mengalir akan semakin tinggi karena konduktivitasnya bertambah. Pada kasus adsorpsi molekul NO2 pada permukaan CuPc, molekul gas NO2 menggantikan tempat adsorpsi molekul O2 pada permukaan CuPc, dan ini akan membutuhkan waktu respon yang lama. Penggantian molekul O2 oleh NO2 tetap akan meningkatkan konduktivitas CuPc, karena O2 meningkatkan konduktivitas yang lebih kecil daripada NO2, sehingga NO2 dapat SEMNAS MIPA 2010
dideteksi dalam kehadiran O2 (Dogo dkk, 1992). Dari ketiga grafik tersebut dapat diamati bahwa piranti menunjukan waktu respon yang berbeda untuk konsentrasi gas yang berbeda. Pada konsentrasi C1 waktu responnya sekitar 55 detik, untuk C2 waktu responnya sekitar 60 detik, dan untuk konsentrasi C3 waktu responnya sekitar 65 detik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zhou dkk (1996) yang mengatakan bahwa waktu respon juga tergantung pada konsentrasi NO2 yang diujikan dan juga temperaturnya. Dari ketiga konsentrasi gas yang diujikan, menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi gas uji yang diberikan waktu respon dari lapisan tipis CuPc semakin lama. Hal ini disebabkan karena lapisan tipis CuPc membutuhkan waktu tertentu untuk mengadsorpsi molekul gas yang berada di sekitarnya, sehingga semakin besar konsentrasi gas uji (semakin banyak jumlah molekul gas), waktu yang diperlukan untuk mengadsorpsi gas tersebut juga semakin lama. Dalam kasus molekul NO2 yang mengganti molekul O2 pada permukaan CuPc akan membutuhkan waktu respon tertentu (Dogo dkk,1992). Pengaruh ketebalan lapisan terhadap respon CuPc. Untuk mengetahui pengaruh ketebalan lapisan terhadap respon CuPc, dibuat dua lapisan tipis CuPc dengan ketebalan yang berbeda. Kedua Lapisan CuPc dideposisikan pada tekanan yang sama (6x10-4 torr) dengan arus yang sama (35A), tapi lapisan pertama dideposisikan selama 60 menit, sedang lapisan kedua dideposisikan selama 30 menit. Pada kedua lapisan tersebut dilakukan pengukuran resistansi terhadap waktu, sehingga diperoleh hasil seperti pada Gambar 5. 45 60 menit 30 menit
40
35
30
25
20
15 0
40
80
120 Waktu (detik)
160
200
240
FIS - 33
Gambar 5. Grafik respon CuPc dengan waktu deposisi yang berbeda Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa lapisan yang lebih tipis (waktu deposisi 30 menit) menunjukkan waktu respon dan waktu pemulihan yang lebih cepat terhadap gas uji dibandingkan lapisan yang lebih tebal (waktu deposisi 60 menit). Hal ini mungkin disebabkan karena pada lapisan yang lebih tebal adsorpsi molekul gas dapat masuk lebih dalam sampai pada bulk kristal, sehingga proses desorpsi juga menjadi lebih sulit, oleh karena itu diperlukan waktu yang lebih lama. Pada suhu kamar proses pemulihan akan lebih cepat pada ketebalan lapisan yang kecil, semakin tebal lapisan maka proses pemulihan semakin lama. Peningkatan ketebalan menyebabkan proses pemulihan menjadi lebih lambat karena adanya penetrasi molekul NO2 ke dalam bulk kristal (Lee dkk, 2004). Dengan penetrasi molekul NO2 ke dalam bulk kristal, maka proses desorpsi akan menjadi lebih sulit, karena molekul NO2 terperangkap di dalam lapisan tersebut. Pada penelitian ini lapisan CuPc yang lebih tebal tidak dapat merespon gas dengan baik pada pengukuran berikutnya, hal ini mungkin disebabkan karena adanya molekul NO2 yang terperangkap dalam lapisan tersebut. Pada gambar 5 juga dapat dilihat bahwa dengan pemberian konsentrasi gas uji yang sama (C1), lapisan yang lebih tebal mengalami perubahan resistansi yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan yang lebih tebal mempunyai sensitivitas yang lebih besar. Dengan meningkatnya ketebalan, ukuran butir kristal juga meningkat, sehingga jarak antar butir semakin longgar (Lee dkk, 2004). Dengan longgarnya jarak antar butir kristal ini memungkinkan adsorpsi molekul NO2 akan lebih banyak karena ada sebagian molekul NO2 yang masuk sampai ke dalam bulk kristal. Sensitivitas Menurut Fowler dan Schmalzel (2003), sensitivitas menyatakan seberapa efisien konversi sensor mengubah input yang ada menjadi output sensor, dan parameter ini akan mempengaruhi pengolahan sinyal berikutnya. Untuk mengetahui sensitivitas lapisan tipis CuPc, dilakukan pengujian piranti dengan memberikan variasi SEMNAS MIPA 2010
konsentrasi gas uji. Pada penelitian ini variasi konsentrasi yang diberikan antara C1 sampai C10, seiring dengan variasi konsentrasi gas yang diberikan dilakukan juga pengukuran resistansinya. Dari data pengukuran, dapat diperoleh grafik seperti pada Gambar 6. 40 8
Y = M0 + M1*x + ... M8*x
35
30
25
+ M9*x
9
M0
39.731
M1
-9.0204
M2
2.028
M3
-0.4257
M4
0.063891
M5
-0.0050832
M6
0.00015614
2
0.99995
R
20
15
10 0
2
4 6 Konsentrasi gas uji (C)
8
10
Gambar 6. Grafik respon CuPc terhadap perubahan konsentrasi gas uji. Pada Gambar 6 dapat dilihat hubungan resistansi terhadap konsentrasi gas uji menghasilkan grafik yang tidak linier tetapi cenderung berbentuk polynomial, sehingga fungsi transfer juga berbentuk polynomial. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada pemberian gas dengan konsentrasi kecil, respon CuPc yang berupa perubahan resistansi yang terjadi cukup besar. Hal ini dimungkinkan karena pada permukaan lapisan tipis CuPc masih banyak tempat adsorpsi yang masih kosong yang dapat ditempati oleh molekulmolekul gas. Sedangkan untuk pemberian gas dengan konsentrasi yang lebih besar dan lebih besar lagi, respon CuPc tidak akan linier karena perubahan resistansi yang terjadi tidak akan sebesar yang terjadi pada perubahan konsentrasi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tempat adsorpsi yang semakin berkurang seiring dengan semakin banyaknya molekul gas yang telah diadsorpsi. Dari hasil perhitungan dari grafik di atas didapatkan bahwa nilai sensitivitas yang diperoleh tidaklah konstan, tetapi tergantung pada nilai inputnya karena respon sensor yang tidak linier. Menurut Fraden (2003), untuk fungsi transfer yang tidak linier, maka sensitivitas (kemiringan grafik) tidak akan memiliki nilai yang konstan, tetapi akan
FIS - 34
tergantung pada nilai inputnya (konsentrasi gas). 4. KESIMPULAN Dari hasil karakterisasi I-V diketahui bahwa kontak yang terjadi antara CuPc dan Au bersifat ohmik, dan lapisan tipis CuPc merespon adanya gas uji yang ditunjukkan dengan peningkatan konduktivitasnya. Waktu respon dan waktu pemulihan lapisan tipis CuPc masing-masing sebeasr 55 detik dan 60 detik dan untuk konsentrasi yang lebih tinggi diperlukan waktu yang lebih lama. Variasi ketebalan mempengaruhi respon sensor, lapisan yang lebih tebal akan mempunyai sensitivitas yang lebih besar tetapi waktu respon dan pemulihannnya akan lebih lama. Fungsi transfer dari respon CuPc terhadap perubahan konsentrasi gas uji berbentuk fungsi polynomial, sehingga sensitivitas CuPc tidak konstan tetapi tergantung pada inputnya. Lapisan tipis CuPc memiliki stabilitas yang rendah dalam merespon gas uji, oleh karena itu perlu optimasi untuk meningkatkan stabilitas lapisan tipis CuPc agar dapat dimanfaatkan sebagai sensor gas yang memadai. DAFTAR PUSTAKA
and Field Effect Transistors, Elsevier, p 14331484. Lee, Y.L., Sheu, C.Y., Hsiao, R.H., 2004, Gas sensing characteristics of copper phthalocyanine films: effects of film thickness and sensing temperature, Department of Chemical Engineering, National Cheng Kung University, Tainan 70101, Taiwan. Peter, T.I., 2004, Design, Fabrication and Characterization of Thick Film Gas Sensor, Doctoral Thesis, Universitas Rovira ivirgili, Department d’Enginyeria Electrovica, Tarragona, Spain. Szuber, J., Dziel, L.G., 2001, Photoemission study of the electronic properties of in situ. prepared copper phthalocyanine CuPc thin films exposed to oxygen and hydrogen, Department of Microelectronics, Institute of Physics, Silesian Uni_ersity of Technology, Gliwice 44-100, Poland. Zhivkov, I., Spassova, E., Dimov, D., Danev, G., 2004, Oxygen Influence on the Conductivity of Copper Phthalocyanine Vacuum-Deposited Thin Films, Elsevier, vacuum 76, p 237-40 Zhou, R., Jose. F., Gopel. W., Ozturk, Z., Bekaroglus, O., 1996, Phthalocyanine as Sensitive Material For Chemical Sensors, Applied Organometallic Chemistry, vol.10, page 557 – 577.
Brutting, W., 2005, Physics of Organic Semiconductors, WILEY-VHC Verlag Gmbh and Co. KGaA, Weinheim. Dogo, S., Germain, J.P., 1992, Interaction of NO2 with copper phthalocyanine thin films II" Application to gas sensing, Laboratoire d'Electronique (URA 830 CNRS), UniversitO Blaise Pascal Clermont H, 63177 AubiOre Cedex (France). El-Nahass, M. M., Bahabri, F. S., Al Ghamdhi, A. A., Al-Harbi S. R., 2002, Structural and Transport Properties of Copper Phthalocyanine (CuPc) Thin Films, Egypt. J. Sol, vol (25) no 2, p 307-320. Fowler, K.R., Schmalzel., 2004, The First Stage in the Measurement Chain, part 2 in series of tutorial in instrumentation and measurement, IEEE Instrumentation and Measurument Magazine. Fraden, J., 2003, Handbook of Modern Sensor, Physics, Designs, and Applications, third edition, Advance Monitors Corporation, San Diego, California. Guillaud, G., Simon J., Germain J. P., 1998, Metallophthalocyanines Gas Sensors, Resistors
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 35
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI ANTENA PANEL 2,4 GHZ BERISI 4 LARIK MIKROSTRIP DOUBLE BI-QUAD Ummi Puji Astutik, Yono Hadi Pramono Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Keputih, Surabaya, 61111 Telp : (031) 594 7302, Fax : (031) 593 1237 Email:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi antena panel 2,4 GHz berisi 4 larik mikrostrip double biquad untuk komunikasi wifi.Struktur antena terdiri dari 4 larik mikrostrip double bi-quad yang simetri dan terintegrasi dalam satu reflektor. Substrat yang digunakan untuk fabrikasi antena ini adalah FR4 single side dengan konstanta dielektrik 4,4. Fabrikasi dilakukan dengan metoda etching menggunakan larutan Ferric Chloride[Fe(ClO2)3 ] Pengukuran karakteristik antena menggunakan Network Analyzer Anritzu MS 8604A untuk melihat kinerja dari antena yang telah difabrikasi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antena ini memiliki nilai VSWR 1,3 dan return loss sebesar -17,5 dB. Pola radiasi antena adalah radial baik horisontal maupun vertikal. Pola radiasi horizontal memiliki nilai daya maksimum 81 dB dengan HPBW 72,5º dan gain sebesar 18 dB. Antena ini dapat diaplikasikan sebagai antena pengarah dan diharapkan dapat digunakan dengan baik untuk komunikasi wifi. Kata Kunci : antena, mikrostrip, double bi-quad, larik
. 1. PENDAHULUAN Meningkatnya kebutuhan akan komunikasi dan informasi mendorong perkembangan tekhnologi di bidang telekomunikasi khususnya sistem komunikasi nirkabel (wireless). Sistem komunikasi nirkabel (wireless) adalah sistem komunikasi dengan media transmisi berupa propagasi gelombang elektromagnetik tanpa harus terkoneksi langsung dengan media kabel. Salah satu komponen yang sangat mendukung dalam sistem komunikasi nirkabel (wireless) ini adalah antena, sebagai perangkat untuk mengirim dan menerima energi serta mengoptimalkan energi radiasi pada arah tertentu. Jadi, antena adalah pendukung utama dalam sistem komunikasi wireless[11]. Perkembangan istem komunikasi saat ini, memerlukan antena dengan karakteristik yang kecil, ringan, biaya produksi rendah, proses fabrikasi yang mudah dan konformal(dapat menyesuaikan dengan tempat di mana antena tersebut diletakkan).Oleh karena itu,diperlukan disain dan bentuk antena yang mempunyai gain tinggi, efisiensi tinggi serta bandwidth lebar. Salah satu jenis antena yang cocok dengan karakteristik tersebut adalah jenis
SEMNAS MIPA 2010
antena mikrostrip . Antena mikrostrip mempunyai kelebihan di antaranya adalah mempunyai penampang yang tipis, massa yang ringan, mudah dalam pembuatannya, dapat dengan mudah diintegrasikan dengan microwave integrated circuits (MICs) serta dapat dibuat untuk dual atau triple frekuensi (multi frekuensi). Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap jenis antena mikrostrip untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut, di antaranya adalah dengan melakukan berbagai variasi disain dan bentuk, dengan memberikan slot pada patch dari antenna mikrostrip, dan penambahan jumlah array (larik). Dari fabrikasi dan karakterisasi antenna yang diperoleh dalam penelitian tersebut, ternyata masih ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai upaya untuk megoptimalkan hasil dari penelitian. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan fabrikasi dan karakterisasi antenna panel mikrostrip double bi-quad 4 larik yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz. 2.KAJIAN PUSTAKA 2.1 Antena Mikrostrip Antena mikrostrip dapat didefinisikan sebagai salah satu jenis antena yang berbentuk seperti bilah/ potongan yang FIS - 36
ukurannya sangat tipis /kecil terletak pada papan (board) tipis berupa substrat. Secara umum , struktur dari antena mikrostrip terdiri atas tiga lapisan yaitu trace (patch), dielektrik dan ground plane. Trace (Patch) adalah lapisan teratas dari substrat dan biasanya terbuat dari konduktor. Pada lapisan trace(patch), akan dibuat suatu bentuk tertentu misalkan lingkaran, persegi panjang, segitiga atau bentuk lain untuk mendapatkan suatu pola radiasi seperti yang diinginkan. Lapisan yang disebut dielektrik, merupakan bagian tengah dari substrat, sedang groundplane adalah lapisan paling bawah dari substrat yang berfungsi sebagai reflektor untuk memantulkan sinyal yang tidak diinginkan. Tebal patch dibuat sangat tipis yaitu s<< 0 (s= tebal patch). Papan tipis yang disebut substrat mempunyai ketebalan antara 0,003 0 - 0,05 0 [11].
(substrat)
yang
digunakan.
g
dapat
dihitung dengan persamaan :
g
c f r
(1)
Dengan c adalah kecepatan cahaya (3x10 8 m/s ), f adalah frekuensi kerja antenna mikrostrip dan r adalah konstanta dielektrik bahan. Disain antenna mikrostrip double bi-quad dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.Disain antenna double bi-quad 2.3 Parameter Antena Microstrip 2.3.1 VSWR (Voltage Standing Wave ratio)
Gambar1. Struktur antena mikrostrip [5]
VSWR adalah perbandingan amplitudo gelombang berdiri (standing wave) maximum (Vmax) dengan minimum (Vmin) yang dinyatakan dalam persamaan :
2.2 Antena Double Bi-Quad
VSWR
Antena bi-quad merupakan pengembangan dari antenna bentuk patch segiempat (square) yang dipasangkan sehingga berbentuk seperti bangun 2 belahketupat. Dari bentuk antenna bi quad ini kemudian dikembangkan lagi bentuk double bi-quad, dengan konstruk sama dengan bi-quad tetapi elemennya di gandakan, dengan kata lain bahwa antenna double bi-quad adalah gabungan antara dua bi-quad yang sisi-sisinya sama. . Antena mikrostrip double bi-quad ini memiliki ukuran panjang sisi
1 dari frekuensi 4
yang diinginkan.Ukuran panjang sisi sebesar
1 ini dimaksudkan untuk memenuhi 4 kondisi matching. dalam panjang sisi 1 tersebut adalah g , a g dengan g 4 merupakan dari bahan dielektrik SEMNAS MIPA 2010
Vmax Vmin
(2)
Pada saluran transmisi ada dua komponen gelombang tegangan yaitu tegangan yang dikirimkan dan tegangan yang direfleksikan. Perbandingan antara tegangan yang direfleksikan dengan tegangan yang dikirimkan disebut sebagai koefisien refleksi tegangan ( ), yaitu :
Vr L 0 Vi L 0
(3)
di mana Z L adalah impedansi beban (load) dan Z 0 adalah impedansi karakteristik saluran. Hubungan antara koefisien refleksi tegangan dengan VSWR dapat dilihat dari persamaan:
VSWR
1
1 SWR(dB) 20 log VSWR
(4)
(5) Kondisi yang paling baik adalah ketika VSWR bernilai 1, yang berarti tidak ada
FIS - 37
refleksi ketika saluran dalam keadaan matching sempurna. Namun kondisi ini pada praktiknya sulit untuk didapatkan. Oleh karena itu, nilai standar VSWR yang diijinkan untuk fabrikasi antena adalah VSWR≤2. 2.3.2 Return Loss (RL) Return loss adalah perbandingan antara amplitudo dari gelombang yang direfleksikan terhadap amplitudo gelombang yang dikirimkan. Return loss dapat terjadi karena adanya diskontinuitas di antara saluran transmisi dengan impedansi masukan beban (antena). Pada rangkaian gelombang mikro yang memiliki diskontinuitas (mismatched), besarnya return loss bervariasi tergantung pada frekuensi dan merupakan nilai parameter refleksi yang dinyatakan dalam desibel, dengan nilai sampai 0 (dB).persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai return loss : Re turnLoss (dB ) 20 log (6) Nilai dari return loss yang baik adalah di bawah -9,54 dB. Nilai ini diperoleh untuk nilai VSWR 2 sehingga dapat dikatakan nilai gelombang yang direfleksikan tidak terlalu besar dibandingkan dengan gelombang yang dikirimkan atau dengan kata lain, saluran transmisi sudah matching. Nilai parameter ini menjadi salah satu acuan untuk melihat apakah antena sudah dapat bekerja pada frekuensi yang diharapkan atau tidak. 2.3.3. Penguatan (gain) Penguatan (gain) didefinisikan sebagai 4 kali perbandingan intensitas radiasi pada suatu arah dengan daya yang diterima oleh antena penerima dari pemancar yang dinyatakan :
G ,
4U , Pin
G
4U m Pin
(8)
Jadi power gain dapat dinyatakan sebagai fungsi dari dan dan dapat juga dinyatakan sebagai suatu harga pada suatu arah tertentu. 2.3.4 Pola radiasi Pola radiasi pada sebuah antena didefenisikan sebagai sebuah fungsi matematis atau sebuah gambaran grafis dari komponen-komponen radiasi sebuah antena. Pola radiasi biasanya digambarkan dalam daerah medan jauh dan ditunjukkan sebuah fungsi koordinat direksional. 3.METODOLOGI Dimensi dari antena ini dibagi dalam dua bagian yaitu sisi depan dan sisi belakang yang terdiri dari 4 larik antena mikrostrip double bi-quad. Bahan yang digunakan pada fabrikasi antena ini adalah substrat PCB (Printed Circuit Board) FR4 dengan nilai konstanta dielektrik 4,4 single side dan double side.Untuk menentukan ukuran atau dimensi dari antena terlebih dahulu dihitung
g
dan
g ,
yaitu
c f
dan
c sehingga diperoleh : f r
c 3.1010 g = 5,958cm f r 2,4 4,4 Panjang
sisi
bi_quad
sebesar
1 1 g = .5,958=1,49 cm dan jarak 4 4 1 antar larik adalah l = .5,958 = 2,98 cm. 2
a
(7)
Dimana G , adalah gain dan U , adalah intensitas radiasi antena pada arah , termasuk efek dari kerugian antena daya input yang diterima antena. Definisi ini tidak termasuk kerugian yang disebabkan oleh ketidaksesuaian impedansi atau polarisasi. Harga maksimum power gain
SEMNAS MIPA 2010
adalah harga maksimum dari persamaan (7) yaitu :
Disain dari antena kemudian dicetak pada PCB untuk selanjutnya dipasang diatas papan reflektor dengan jarak 1,8 cm. Hasil dari fabrikasi antena mikrostrip double biquad dapat dilihat pada gambar berikut :
FIS - 38
100 80 60 40 20 0
Gambar 3. Hasil fabrikasi antenna mikrostrip double bi-quad Gambar 6. Pola radiasi horisontal 4.HASIL PENGUKURAN Hasil fabrikasi antena kemudian diukur menggunakan network analyzer untuk mengetahui karakteristik dari antena. Setelah dilakukan pengukuran dengan menggunakan Network Analyzer , diperoleh data sebagai berikut :
80 60 40 20
VSW R
0 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 B 0.6 VSWR 0.4 0.2 0 2000 2100 2200 2300 2400 2500 2600 2700 2800 2900 3000
Gambar 7. Pola radiasi vertikal 60 50 40 30 20 10 0
FREKUENSI (MHz)
Gambar 4. Grafik hubungan antara frekuensi dengan VSWR 0 2000 -3
2100
2200
2300
2400
2500
2600
2700
2800
2900
3000
R ETU RN LO SS
-6 -9 -12 -15 RL
-18 -21
Gambar
-24 -27
8.
Pola radiasi horizontal ternormalisasi
FREKUENSI (MHz)
Gambar 5. Grafik hubungan antara frekuensi dengan return loss
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 39
50 40 30 20 10 0
dilakukan. Pada frekuensi 2,4 GHz, antena ini mempunyai karakteristik nilai VSWR 1,3 dan nilai return loss -17,5 dB. Pola radiasi antena adalah radial baik horisontal maupun vertical. Pola radiasi horizontal memiliki nilai daya maksimum 81 dB dengan HPBW 72,5º dan gain sebesar 18 dB.Antena ini dapat diaplikasikan sebagai antena pengarah dan diharapkan dapat diterapkan dengan baik dalam komunikasi wifi DAFTAR PUSTAKA
Gambar 9. Pola radiasi vertical ternormalisasi Dari gambar 4 diketahui bahwa pada frekuensi 2,4GHz , nilai VSWR dari antena adalah 1,3. Nilai VSWR yang baik adalah antara 1-2. Semakin mendekati angka 1 menunjukkan kinerja antena semakin baik. Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai return loss antena yang sudah difabrikasi adalah sebesar -17,5 dB. Berdasarkan hasil pengukuran pola radiasi horizontal, diperoleh nilai gain antena sebesar 18 dB nilai ini sebanding dengan nilai return loss antena seperti pada Gambar 5. Gain antena diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu nilai total power dari gain antena pemancar dan antena penerima (antena omni) yang digunakan sebagai standar pengukuran. Pola radiasi ternormalisasi diperoleh dengan cara mengurangi semua nilai signal maksimum dengan nilai signal minimum.. Nilai signal maksimum pada pengukuran pola radiasi horizontal adalah 81 dB dan nilai terkecil adalah 24 dB. Dari hasil pengukuran diperoleh total nilai power dan gain antena pemancar dan antena penerima sebesar 63 dB. Nilai tersebut digunakan untuk mengukur gain antena panel double bi-quad sehingga diperoleh nilai gain sebesar 18 dB. Penghitungan nilai tersebut diperoleh dengan cara mengurangkan nilai signal maksimum hasil pengukuran pola radiasi horizontal dengan 63 dB. Untuk nilai HPBW (Half Power Beam Wave) untuk pola radiasi horisontal diperoleh 72,5 0 . 5. KESIMPULAN Fabrikasi antena panel 2,4 GHz berisi 4 larik mikrostrip double bi-quad telah
SEMNAS MIPA 2010
[1] Balanis, C. A, 1977. Antenna Theory Analysis and Design, Second edition. New York: John Wiley & Sons. [2] Budiningrum,US dan Pramono,YH. 2009. prototipe Antena panel 2,4 GHz Berisi 10 Larik Mikrostrip Double Bi-Quad Dengan Dua Arah Pola Radiasi Maksimum. .Surabaya : FMIPA ITS [3] Edward, Terry. 1995. Foundation for Microstrip Circuit Design, Second edition. New York: John Wiley & Sons. [4] Hidayah, Ifa dan Pramono Y.H, PrototipAntena Bi-Horn dengan dua arah radiasi dan satu Feeding Monopole Beroperasi pada Frekuensi 2,4 GHz, Seminar Nasional Informatika hal 47-52, Mei 2009 [5] Riyanto. 2009 . Pemanfaatan Antena mikrostrip untuk teknologi Wireless Ultra Wideband (UWB). Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB [6] Sari, N. 2007. Pembuatan Antena Mikrostrip Patch dengan sebuah Slot dalam Subtrat FR4 untuk frekwensi kerja 2,4 GHz. Surabaya :FMIPA ITS [7] Pramono, Yono Hadi, dkk. 2006. Pembuatan Filter Microstrip Band Pass 2,4 GHz dengan Struktur Satu Lapis, Surabaya:Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember . [8] Pramono, Yono Hadi dkk. 2005. Karakterisasi Antena Mikrostip Patch 3 Ghz Secara Simulasi FDTD (Finite Difference Time Domain) Dan Eksperimen. Jurnal Fisika FLUX. Surabaya:Institut Teknologi Sepuluh Nopember. [9] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa Respon Frekuensi Antena Mikrostrip. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. Surabaya :ITS.
FIS - 40
[9] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa Karakteristik Antena CPW Slot dan Patch dengan FDTD. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya. Surabaya:ITS [10] Young, L., Haider, S., Neve, M., Dr.. 2003. Microstrip Patch Antennas for Broadband Indoor Wireless System, Part 4 Project Report, Departemen of Electrical & Elektronics Engineering, The University of Aucland Faculty of Engineering. [11] Pramono, Yono Hadi dkk. 2009. Prototipe Antenna Bi-Horn Dengan Dua Arah Pola Radiasi Dan Satu Feeding Monopole Beroperasi Pada Freq.2,4 Ghz. Yogyakarta.:Prosiding T.Informatika, UPN. [12] Pramono, Yono Hadi. Karakterisasi Antena Mikrostrip Patch 3 GHz Secara Simulasi FDTD (Finite Difference Time Domain) dan Eksperimen, Jurnal Fisika FLUX Vol 2, No 3, hal 601061-601066, Agustus 2005. [13] Pramono, Yono Hadi, dkk. 2009. Fabrikasi dan karakterisasi Antena Mikrostrip Loop CPW Dua Lapis substrat Untuk Komunikasi C-band dan Ku-Band. Surabaya: Jurusan Fisika FMIPA ITS [14] Zaki, Mahmud. 2000. Medan Elektromagnetik. Surabaya:Jurusan Fisika FMIPA ITS
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 41
ANTENA PANEL DENGAN STRUKTUR 4 MICROSTRIP PATCH PADA FREKUENSI KERJA 2,4 GHz Rohim Aminullah Firdaus, Yono Hadi Pramono Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Keputih, Surabaya, 61111 Telp : (031) 594 7302, Fax : (031) 593 1237 E-mail :
[email protected]
Abstract Fabrikasi dan karakterisasi antena microstrip directional antena berstruktur 4 array dengan subtrat fiber untuk komunikasi wi-fi 2,4 GHz. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching ferrichloride ( Fe(ClO2)3 ). Struktur antenna terdiri dari 4 array yang simetri. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antena ini dapat diaplikasikan sebagai directional antena dengan nilai VSWR 1,16. Sedangkan besar bandwidth antena dari antena yang di desain peneliti sebesar 1,05 dalam rentang 120 MHz. Kemudian besar gain dari antena adalah sebesar 18 dB. Besar HPBW(Half Power Beanwidth) dari antena tersebut adalah 67,50. Antena ini memiliki kelebihan yaitu strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah difabrikasi, ringan, biayanya relatif murah. Keywords: microstrip, directional antenna, array, patch
1. PENDAHULUAN Antena merupakan komponen yang sangat penting pada sistem komunikasi. Karena antena dapat berfungsi mentransformasikan suatu sinyal RF (Radio Frequency) yang merambat pada konduktor menjadi gelombang elektromagnetik ke ruang bebas. Sistem komunikasi yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik (microwave) adalah nirkabel (wireles). Aplikasi nirkabel seperti bluetooth, koneksi Wi-Fi yang dipasang pada notebook, telepon seluler dan lain-lain. Teknologi komunikasi tersebut memerlukan antena yang berukuran kecil, ringan, murah, unjuk kerja yang baik dan mudah pemasangannya. Antena merupakan alat yang mampu mengubah energi atau signal dalam ruang bebas untuk meradiasikan dan menerima gelombang [12]. Penelitian sebelumnya, desain antenna mikostrip yang bekerja pada daerah berbagai frekuensi dan sudah banyak dilakukan mulai dari variasi bentuk dan jenis [1…11]. Antena mikrostrip struktur ringan , biaya relatif murah dan mampu memancarkan dan menerima range frekuensi tertentu. Selain itu antenna mikrostrip juga memiliki beberapa kekurangan yaitu: bandwidth yang sempit, gain dan directivity yang kecil, serta efisiensi rendah. Untuk mengatasi permaslahan tersebut, maka perlu
SEMNAS MIPA 2010
dibuat antena array (panel). Antena panel disini diharapkan dapat menghasilkan direktifitas yang tinggi, side lobe yang rendah, beam yang mudah di atur dengan pola yang tajam[12]. Penelitian lebih lanjaut sangat diperlukan disini, untuk itu peneliti membuat desain dan fabrikasi antena directional 4 panel mekrostrip patch antena yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan gain dan direktifitas antena, memungkinkan antena bekerja pada band yang lebar. 2. TEORI 2.1 Antena Mikrostrip dan Antena Array Antena mikrostrip adalah suatu konduktor metal yang menempel di atas ground plane yang diantaranya terdapat bahan dielektrik. Antena mikrostrip merupakan antena yang memiliki massa ringan, mudah untuk difabrikasi, dengan sifatnya yang konformal sehingga dapat ditempatkan pada hampir semua jenis permukaan dan ukurannya kecil dibandingkan dengan antena jenis lain, karena sifat yang dimilikinya, antena mikrostrip sangat sesuai dengan kebutuhan saat ini sehingga dapat di-integrasikan dengan peralatan telekomunikasi lain yang berukuran kecil, akan tetapi antena
FIS - 42
mikrostrip juga memiliki beberapa kekurangan yaitu: bandwidth yang sempit, gain dan directivity yang kecil, serta efisiensi rendah. Antena patch mikrostrip adalah antena resonan dicetak populer untuk microwave band wireless-link sempit yang memerlukan-hemispherical jangkauan semi. Karena konfigurasi planar dan kemudahan integrasi dengan teknologi mikrostrip, antena patch mikrostrip telah banyak dipelajari dan sering digunakan sebagai elemen untuk array. Strip (patch) logam dipisahkan dari ground planenya oleh substrat dari bahan dielektrik dengan konstanta dielektrik pada rentang 2,2 ≤ εr ≤ 12 [12].
Gambar 1. Bagian-bagian Mikrostrip
Antena
Antena array adalah antena yang dibentuk dari beberapa elemen yang tersusun secara array dengan tujuan tertentu. Jenis antena ini ada bermacam-macam, tergantung bagaimana mengkonstruksi susunan antena arraynya sehingga diperoleh bentuk pola radiasi yang diinginkan. Umumnya antena yang tersusun secara array merupakan antena yang identik. Beberapa tujuan pembentukan antena array adalah :meningkatkan daya radiasi, meningkatkan gain dan direktifitas antenna, memungkinkan antena bekerja pada band yang lebar, memungkinkan diterapkannya “diversity”, misalnya “space diversity”. Beberapa faktor terpenting dari antena ini adalah : Konfigurasi geometris dari seluruh antena (linear, circular, dan rectangular), jarak individual antena terhadap lainnya, amplitudo dari masingmasing elemen, fase dari masing-masing elemen dan Pola radiasi relatif dari masingmasing elemen. Konfigurasi elemen dari antena array dapat disusun dalam berbagai bentuk. Untuk
SEMNAS MIPA 2010
konfigurasi yang berbentuk suatu garis lurus disebut array linier (linear array), konfigurasi yang berbentuk bidang datar disebut array planar, dan konfigurasi yang berbentuk lingkaran disebut array lingkaran (circular array). Sedangkan jenis array yang lain adalah array konformal (conformal array), dimana elemen-elemennya terletak pada bidang tak datar[6]. Faktor array merupakan pola array yang diperoleh dengan mengabaikan pola radiasi dari tiap-tiap elemen array. Jika kita mengganti tiap elemen dari array dengan suatu sumber titik isotropik, pola radiasi yang dihasilkan adalah faktor array. Sumber titik isotropik merupakan suatu antena hipotesis yang menempati suatu titik pada ruang dan memiliki pola radiasi yang seragam pada semua arah. Antena array dengan N elemen dimana tiap elemen dipisahkan dengan jarak dan memiliki amplitudo yang sama memiliki faktor array ternormalisasi. Prinsip dasar teori array untuk medesain pembentukan pola antenna dan mengatur pancaran utama (main beam) yang dihasilkan. Adapun factor yang mempengaruhi adalah kerapatan daya energy radiasi yang dihasilkan oleh elemen indifidu dan factor array yang merupakan fungsi dari posisi pada masing-masing elemen array dan koefisien pencatuannya. Persamaan kerapatan daya array adalah sebagai berikut:
………..… 1 dari persamaan diatas terlihat bahwa kerapatan daya S secara spheris merupakan bentuk kuadrat medan E. Sedangkan factor array N-eleman dapat dinyatakan dengan :
……….……2 Dalam hal ini merupakan factor array dan d merupakan feed line dari antenna.[7] dalam penelitian ini fabrikasi antenna directional 4 panel mekrostrip patch antenna menggunakan feed line d = .
FIS - 43
2.2 Parameter Antena antenna Array
Microstrip
Voltage Standing Waves Ratio (VSWR) adalah perbandingan gelombang berdiri (standing wave)dari interverensi maksimum dan interferensi minimumdari gelombang imput dan gelombang refleksi pada sebuah antenna. Peristiwa gelombang berdiri dapat terjadi jika terdapat dua gelombang yang merambat pada arah berlawanan dalam media yang sama serta frekuensi gelombang dating dan gelombang pantul berharga sama. Perbandingan antara tegangan maksimum dan tegangan minimum disebut dengan Voltage Standing Waves Ratio (VSWR) yang dirumuskan:
VSWR
Vmaks I dan ISWR maks Vmin I min
..........3 ISWR merupakan perbandingan antara arus maksimum dan arus minimum. Hubungan SWR dan VSWR SWR (dB) = 20 log10 (VSWR) Nilai Standing Waves Ratio (SWR) adalah 1<SWR<2. Nilai terbaik SWR adalah 1, artinya sudah sempurna dalam arti tidak ada gelombang yang dipantulkan semua gelombang elektromagnetik diserap. [14] Return loss atau power loss adalah cara lain untuk mengekspresikan terjadinya miss match (impedansi tidak sesuai). Return loss merupakan rasio perhitungan dengan satuan dB (Decible) ditambah dengan perhitungan reflected power dari antena ke power energi yang dipancarkan ke antena melalui transmission line (coax kabel). Nilai return loss berkisar antara negatif tak hingga sampai nol (dB). Dari besaran return loss dapat dihitung nilai parameter refleksi yang lain. Hubungan perhitungan antara SWR dan Return Loss adalah:
input dipancarkan semua, maka besar nilai koefisien refleksi adalah nol. Sebaliknya, jika semua daya dari tegangan input direfleksikan (dipantulkan), maka besar nilai koefisien refleksi adalah 1.
S11
V pantul Vinput
……………….……………...5
(2.22) Koefisien transmisi (St = S21) adalah perbandingan antara tegangan sinyal yang ditransmisikan terhadap tegangan input.
S 21
Vtransmisi Vinput
…………………...6 Frekuensi kerja dimana antena masih dapat bekerja dinamakan bandwidth antenna (BW). bandwidth antena untuk band lebar biasanya digunakan definisi ratio perbandingan antara frekuensi atas dan bawah. …………………………7 (2.17) Dimana manyatakan frekuensi atas dan menyatakan frekuensi bawah. 2.3 Pola Radiasi dan Gain Pola radiasi didefinisikan sebagai variasi daya yang dipancarkan oleh antena mikrostrip sebagai fungsi dari jarak dari antenna, seperti persamaan 1 dan 2. Variasi daya yang dihasilkan berasal dari sudut tangkap dari sinyal yang dipancaran, dapat ditunjukkan seperti gambar dibawah ini:
Return loss (dB) = -20 log 10 Г ……………4 (2.21) Gambar 2. Pola Radiasi Antena Return loss dapat juga terjadi karena matching section (penyelaras impedansi antena), transmition line (coax) dan dimensi antena yang tidak sesuai.. Koefisien Refleksi (Sr = S11) adalah perbandingan antara tegangan sinyal yang dipantulkan (sinyal refleksi) terhadap tegangan input. Jika daya dari tegangan
SEMNAS MIPA 2010
Pada gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa arah sumbu z dideskripsikan sebagai bentuk pola radiasi daya yang ditransmisikan, sedangkan bidang x-y menentukan nilai maksimum daya yang ditransmisikan.
FIS - 44
Pengukuran pola radiasi di lapangan dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal, dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah dalam pengukuran radiasi jauh dari hal-hal yang sifatnya memantulkan sinyal yang ditransmisikan. Pengukuran pola radiasi di lapangan baik vertical dan horizontal dilakukan setiap perubahan sudut dari 00-3600 dengan acuan 00 antena menghadap sumber sinyal yang ditransmisikan. Bila sebuah antena digunakan dalam sebuah sistem tentu saja efisiensi antena digunakan untuk memindahkan daya yang terdapat pada terminal input menjadi daya radiasi yang sangat penting. Power gain (gain) didefinisikan sebagai 4 kali perbandingan intensitas radiasi pada suatu arah dengan daya yang diterima oleh antena penerima dari pemancar yang dinyatakan :
karena terdapat kerugian pada daya input. Bagian daya input yang tidak muncul sebagai daya radiasi diserap oleh antena dan struktur yang dekat dengannya. Hal di atas menimbulkan definisi baru yang disebut dengan efisiensi radiasi, yaitu :
4U , Pin …………..........……8
Dalam pembuatan mikrostrip antenna, (2.24) peneliti menggunakan bahan PCB dengan subtract fiber dengan konstantan dielektrik 5,4 yang kemudian diecthing menggunakan larutan ferrichloride ( Fe(ClO2)3 ). Struktur antenna yang digunakan adalah antenna model patch antenna directional dengan menggunakan 4 panel. Pada bagian bawah antenna diberi reflrktor. Adapun bentuk desain dapat dilihat dalam gambar dibawah ini :
G ,
dimana G , adalah gain dan U , adalah intensitas radiasi antena pada arah , termasuk efek dari kerugian antena daya input yang diterima antena. Definisi ini tidak termasuk kerugian yang disebabkan oleh ketidaksesuaian impedansi atau polarisasi. Harga maksimum power gain adalah harga maksimum dari persamaan 8 yaitu :
G
4U m Pin ……………………........……9
e
Pr dengan catatan e 1 ……....11 Pin
(2.27) Sehingga power gain dapat dinyatakan dengan G = eD…………………………........…...12 (2.28) Jadi power gain maksimum suatu antena sama dengan direktivitas dikalikan dengan efisiensi. 3. METODOLOGI 3.1 Fabrikasi Antena
(2.25)
Jadi power gain dapat dinyatakan sebagai fungsi dari dan dan dapat juga dinyatakan sebagai suatu harga pada suatu arah tertentu. Direktivitas dapat ditulis sebagai
D
4U m Pr ……………………..........…10
Gambar 3. Desain antenna 4 panel mekrostrip patch antena (2.26)
Jika dibandingkan dengan persamaan 9 dapat dilihat bahwa perbedaan maksimum power gain dan direktivitasnya hanya terletak pada jumlah daya yang digunakan. Direktivitas dapat dikatakan sebagai power gain suatu antena jika seluruh daya input menjadi daya radiasi sehingga Pin = Pr. Power gain menunjukkan bahwa antena nyata tidak memenuhi pernyataan di atas
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 45
Gambar 4. Bentuk fabrikasi antenna 4 panel mekrostrip patch antena 3.2. Karakterisasi Antena Karakteristik antenna menggunakan Network Analyzer Anritzu MS 8604A, dengan alat ini diharapkan dapat diketahui fungsi kerja atau frekuensi, return loss, VSWR, Beanwith, HPBW(Half Power Beanwidth).
(Array) semakin memperkecil nilai Impedansi sehingga daya yang dihasilkan semakin besar[17]. Sedangakan mengenai bandwidth antenna dari antenna yang di desain peneliti sebesar 1,05 dalam rentang 120 MHz, hal ini menunjukkan daerah frekuensi kerja dari antenna peneliti.
3.3. Pengukuran Pola Radiasi Pengukuran pola radiasi dilakukan di lapangan dilakukan baik secara vertical maupun horizontal, dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah dalam pengukuran radiasi jauh dari hal-hal yang sifatnya memantulkan sinyal yang ditransmisikan. Sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu diset peralatan pengukuran dengan antenna monopol.Antena ini sebagai pembanding,senjutnya posisi antenna baik vertical maupun horizontal diputar setiap 50. 4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil fabrikasi antenna directional 4 panel mekrostrip patch antena, setelah dilakukan pengukuran dengan menggunakan Network Analyzer , diperoleh data hubungan antara frekuensi dengan VSWR seperti pada Gambar 4. Dapat dilihat dari grafik gambar 4 diketahui bahwa antena bekerja baik pada frekuensi 2,397 GHz dengan nilai VSWR 1,16. Penelitian sebelumnya menunjukkan frekuensi kerja 2,310 GHz dan 2,885 GHz dan VSWR masing-masing 1,62 dan 1,46[4,5].Hal ini menunjukkan bahwa bentuk desain antenna sangat berpengaruh, sehingga agar mampu bekerja seperti antenna Wi-Fi maka pembuatan panel antena sangat diperlukan untuk menghasilkan fungsi kerja yang diinginkan [17]. Adapun mengenai VSWR yang menyatakan perbandingan tegangan maksimum dan minimum dari sinyal yang ditransmisikan.[15]. Semakin kecil nilai VSWR maka semakin sedikit gelombang yang dipantulkan[14]. Antenna directional 4 panel mekrostrip patch disini mampu menunjukkan VSWR 1,16 artinya sedikit gelombang yang dipantulkan hal ini disebabkan bahwa pembuatan antenna panel
SEMNAS MIPA 2010
Gambar 5. Grafik hubungan antara frekuensi dengan nilai VSWR Sedangkan data hubungan antara frekuensi dengan Return Loss dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik hubungan antara frekuensi dengan nilai return loss Nilai return loss(RL) antena yang sudah difabrikasi -22,67 dB yang relatif kecil menandakan bahwa antena tersebut sudah memiliki kinerja yang bagus, karena suatu antena dikatakan bekerja baik jika RL ≤ -9,54 dB. Penelitian sebelumnya menujukkan -22,048 untuk model antenna yagi dengan 3 array[4]. Hal ini menunjukkan semakin kecil nilai dari RL semakin kecil dari power imput terhadap power refleksi dari suatu antena. Sedangkan semakin kecil kerugian maka daya yang dihasilkan juga semakin besar.
FIS - 46
Penentuan gain antenna didapatkan dari perbandingan pengambilan data antena monopol. Peneliti disini menggunakan antena pemancar dengan gain 18 dB dan power 25 dBm sedangkan antena monopol yang digunakan memiliki power 100mW atau 20 dBm. Hasil data yang didapatkan dari antena monopol 75 dB sedangkan daya antena pemancar dan antenna monopol adalah 63 dB. Gain antenna monopol adalah 12 dB. Daya dari antena yang di buat peneliti disini adalah 81 dB, sehingga gain antenna 18 dB. Penelitian sebelumnya untuk model slot bowti menunjukkan gain 12 dB [5]. Semakin besar gain disini menunjukkan semakin besar daya yang dipancarkan dan semakin besar pula jangkauan dari sebuah antenna[14].Semakin besarnya daya sangat dekat sekali dengan semakin kecilnya impedansi dari sebuah antenna, dimana semakin banyak array semakin kicil dari impedansinya[15]. Adapun mengenai pola radiasi baik secara vertical maupun horizontal dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 7.b Pola radiasi horizontal dan vertikal Perhitungan HPBW(Half Power Beanwidth) dapat dilakukan dengan mengambil nilai tengah dari intensitas maksimum yang dipancarkan yaitu dari nilai 41 dB menjadi 20,5 dB dan diputar disisi kanan dan kiri nilai maksimum yang memotong intensitas dititik tersebut. Pada grafik 7.a tampak bahwa besar HPBW dari antena yang di uji adalah 67,50. HPBW menunjukkan daerah kerja dari antena dimana sinyal masih dapat ditransmisikan dan diterima. Pada gambar 7.b menunjukkan perbandingan pola radiasi vertikal dan horizontal ternormalisasi. Dalam hal ini nilai maksimum dari pola horisontal memiliki intensitas lebih tinggi dari pola vertikal. Hal ini menunjukkan pola penempatan antena.
Gambar 7.a Pola radiasi horizontal Pola radiasi pada gambar 7.a di atas menggambarkan pola radiasi medan listrik E yang ternormalisasi. Adapun besarnya SNR (Sinyal to Noise Ratio) adalah nilai terkecil dari daya yang dipancarkan .Besar maksimum intensitas sinyal adalah 81dB dikurangi nilai yang terkecil 40 dB. Intensitas radiasi maksimum ketia berada pada sudut 00, artinya posisi antena persis menghadap pada antena pemancar.Ini menandakan bahwa antena directional (pengarah) dapat mendeteksi intensitas maksimum pada arah tertentu.
SEMNAS MIPA 2010
5. KESIMPULAN Hasil pengukuran dan fabrikasi Berdasarkan hasil fabrikasi antena directional 4 panel mekrostrip patch antena mempunyai unjuk kerja terbaik pada frekuensi 2,397 GHz dengan nilai VSWR 1,16 dan nilai return loss -22,67. Sedangkan besar bandwidth antena dari antena yang di desain peneliti sebesar 1,05 dalam rentang 120 MHz. Kemudian besar gain dari antena adalah sebesar 18 dB. Besar HPBW dari antena tersebut adalah 67,50. Antena ini memiliki kelebihan yaitu strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah FIS - 47
difabrikasi, ringan, dan biayanya lebih murah. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Suherman, Nanang. 2008. Analysis And Fabrication Of Horn Microstrip Antenna Equiped With Parabola Reflector By Fdtd Method. Proseding Seminar Fisika ITS. [2]
Riduwan, M. 2008. Electromagnetic Wave Analysis At Microstrip Dipole ½ Λ Antenna With FDTD Method. Proseding Seminar Fisika ITS.
[3]
Uboyo, Ambyah. 2009. Desain Dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Loop Dengan Feed Line Mikrostrip Feed Line Dua Lapis Substrat Untuk Komunikasi C-Band. Proseding Seminar Fisika ITS.
[4]
Anwar, Edi Dainuri. 2009. Desain Dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Yagi Tiga Array Double Side. Master Theses, Physiscs, RSFi 621.382 4 Anw d.
[5]
Muhtadi, Didi. 2009. Desain Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena Wideband Mikrostrip Slot Bowtie Dengan Cpw Untuk Komunikasi Wireless. Master thesis, Physics Magister, RTFi 621.382 4 Muh d.
[6]
Qomariyah, Nurul. 2007. Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Dipol. Undergraduate Theses of Physic Department, RSFi 621.382 4 Qom f.
[7]
Naqiyyah, Hawaun. 2009. Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Loopline Untuk Komunikasi Wireless Local Area Network (Wlan). Master Theses, Physic, RTFi 621.382 4 Naq f.
[8]
Khasanah, Uswatun. 2009. Fabrikasi Dan Karakterisasi Dipole Biquad Antenna Untuk Komunikasi Wifi. Undergraduate Theses, Physical Departemen, RSFi 621.382 4 Kha f.
[9]
Sari, Nurma. 2007. Pembuatan Antena Mikrostrip 2,4 Ghz Untuk Komunikasi Aironet Komputer. Master Thesis, Physical Engineering Department, RTFi 621.382 4 Sar p.
Masther Thesis, Physics, RTFi621.382 4 Bud p. [12] Balanis, C.A. 1997. Antenna Theory and Design Second edition. New York: John Wiley & Sons. [13] Kraus, John,. 1999. Electromagnetics With Applications, Fifth edition. New York: McGraw-Hill. [14] Hund, E., 1989. Microwave communications. Component and Circuit, New York: McGraw-Hill. [15] Jossefson, L dan Person, P. 2006. Conformal Array Antenna Theory and Design, The IEEE Press series on Elektromagnetik Wave theory. [16] Edwards, T. 1992. Foundations For Microstrip Circuit Design Second Edition, Canada: John Wiley & Sons, Inc.
[17] Rahayu, Erni M. 2009. Fabrikasi dan Karakterisasi Microstrip loop Co-Planar waveguide dua Lapis Subtrat untuk Komunikasi C-Band dan Ku Band. Masther Thesis, Physics
[10] Bahri, Syamsul. 2007. Pembuatan Dan Analisis Antena Helical Dengan Frekuensi 2,4 Ghz Untuk Komunikasi Data. Undergraduate Theses, Physics, RSFi 621.382 4 Bah p. [11] Budiningrum, Umi Syafiqoh. 2009. Prototipe Antena Panel 2,4 Ghz Berisi 10 Larik Mikrostrip Double Bi-Quad Dengan Dua Arah Pola Radiasi Maksimum.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 48
FORMULASI ANALITIK TEORI MODA TERKOPEL PANDU GELOMBANG OPTIK STRUKTUR PLANAR Sujito1), A. Rubiyanto2) , A.Y. Rohedi3) 1
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No. 5 Malang 65145 Telp : 0341-552125 2,3 Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 E-mail :
[email protected]
Abstract Communication technology base on making Integrated Optics component which capable to function as guided, coupled, and power divider. Peripheral of Integrated Optics capable to this function is directional coupler. Simplest structure is two wave guide with certain gap. At this hand out, specified by development of analytical formulation moda coupling for the directional coupler consisted of two wave guide. Analysis to propagation wave done moda couple theory. Expression of electrics field which creep in wave guide obtained by applying continues condition at boundary. Beside that, applying of boundary condition is also obtained relationship disperse equation which representing optics non-linier equation. Solving of this equation done numerical use Secant methode, then, it’s used to calculate the effective refractive index value of elementary moda. The finally, visualizing to field pattern done constructively Program Computing. Keywords : propagation, directional coupler, couple mode, field pattern
1. PENDAHULUAN Pengembangan teknologi komunikasi membutuhkan sirkit-sirkit yang mampu menjalankan fungsi sebagai pemandu, penggandeng, sensor, atau sebagai pembagi daya. Salah satu jenis perangkat optik terpadu yang mampu menjalankan fungsifungsi tersebut adalah directional coupler berstruktur planar. Struktur directional coupler paling sederhana tersusun dari dua pandu gelombang dengan jarak pisah (lebar) tertentu. Kanal-kanal dalam sirkit optika terpadu umumnya dibuat berstruktur pandu gelombang single mode khususnya dalam moda dasar. Beberapa keunggulan transmisi sinyal optika adalah 1) ukuran kecil dan ringan, 2) isyarat cahaya tidak terpengaruh oleh derau medan elektris maupun medan magnetis, 3) isyarat serat optis terjamin keamanannya, 4) lebar pita atau kapasitas transmisinya besar [1]. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan piranti tersebut, dilakukan simulasi pengembangan Directional Coupler.
SEMNAS MIPA 2010
2. LANDASAN TEORI 2.1. Struktur Directional Coupler Kanal-kanal penyusun Directional Coupler dibuat berstruktur pandu gelombang tiga dimensi, dimana penampang masukan terletak pada koordinat transversal (x,y), sedangkan proses pemanduan berlangsung sepanjang sumbu longitudional (z). Struktur directional coupler sederhana ditunjukkan dalam Gambar 1 [2,8]
II nc
nf1
s
nf2
ns
Gambar 1. Struktur Directional Coupler Jika pada kanal pertama dimasukkan gelombang optik, maka pada jarak perambatan (kopling) tertentu terjadi perpindahan energi. Pada gap yang kecil,
FIS - 49
gelombang evanescent dari gelombang optik moda dasar kedua kanal sepanjang daerah gap akan saling berinteraksi dan menghasilkan kopling [2,7]. Proses perpindahan daya optik terjadi sebagi konsekuensi over lapping antar gelombang evanescent yang saling berinterferensi. Ketika interferensi saling menguatkan maka terbentuk gelombang optik simetri dengan tetapan propagasi (βs), dan sebaliknya, ketika interferensi saling melemahkan terbentuk gelombang optik asimetri dengan tetapan propagasi (βa). Kedua moda ini di sepanjang perambatan akan saling bersuperposisi, dan pada jarak panjang kopling (Lc) semua dayanya dipindahkan ke kanal dua. Pada jarak dua kali panjang kopling (z=2Lc) semua daya dipindahkan kembali ke kanal pertama. Besaran untuk menganalisa directional coupler adalah tetapan propagasi efektif (β) medan yang ditransmisikan. Nilai eigen persamaan Helmholtz ini diperlukan untuk menentukan jarak pemindahan daya antar pandu gelombang (panjang kopling). Pada pandu gelombang slab simetri, harga β ditentukan dengan persamaan relasi dispersi, yaitu V 1 b tan 1
b ba tan 1 m 1 b 1 b
(1)
dimana V adalah frekuensi ternormalisasi, b adalah indeks bias efektif ternormalisasi, dan a adalah ketidaksimetrian antara substrat dan cover. Formulasi medan listrik dan tetapan propagasi efektif gelombang optik terpandu dalam pandu gelombang slab step indeks yang masing-masing merupakan fungsi eigen dan nilai eigen persamaan Helmholtz dapat diturunkan secara analitis [6]. Implementasi metode analitis pada perumusan nilai eigen persamaan directional coupler linier diawali dengan mereduksi penampang transversal dari dimensi dua ke dimensi satu dengan metode indeks bias efektif. Melalui pendekatan ini, struktur directional coupler dipandang membentuk lima buah lapisan. Pandu gelombang dan gap berfungsi sebagai stack pandu gelombang, sedangkan kedua lapisan lain SEMNAS MIPA 2010
berfungsi sebagai (Gambar 2).
substrat
h1
s
Ef1
Eg
Es
0
h
dan
kover
h2 Ef2
Ec
h + s 2h + s
Gambar 2. Struktur Pandu Gelombang 5 Lapis 2.2 Teori Moda Terkopel Pada Pandu Gelombang Optik Persamaan umum medan diturunkan dalam bentuk
terkopel
dA jA A j B 0 dz dB jB B j A 0 dz
(2) (3)
dengan melakukan penurunan persamaan (1) dan mensubstitusikan ke persamaan (2) diperoleh persamaan differensial orde dua sebagai berikut. 2 A( z ) z
2
2 B(z ) z
2
2 j
A(z )
2 A( z ) 0
(4)
2 B(z ) 0
(5)
z 2 j
B(z) z
A B 2
adalah
besaran
yang
mengukur ketaksinkronan fase antar kanal, sedangkan βA dan βB adalah tetapan propagasi efektif gelombang optik moda dasar sepanjang kanal A dan B. κ adalah koefisien kopling yang menyatakan kekuatan kopling pandu gelombang dan dihitung dari overlapping kedua medan optik pada pandu gelombang pertama atau kedua. Jika dilakukan penghitungan pada pandu gelombang kedua, κ dapat dinyatakan sebagai berikut [1,2,6] AB
2ω 2 0 ε 0 α x
2
β h eff α x k fx
2
k .h cos 2 fx e α x s (6) 2
selanjutnnya digunakan untuk menghitung panjang kopling gelombang optik yang merambat dalam directional coupler.
FIS - 50
Sedangkan tetapan propagasi efektif βs dan βa bernilai s A B 1 X 2 2 a A B 1 X 2 2
0
(7) (8)
dimana e0(x,y) =D.eA(x,y) + F.eB (x,y) e1(x,y) =E. eA(x,y) + G.eB (x,y)
2h s
(9)
0
h
2
(15)
2
2h s
2 cos 2 ( s1 ) A f1 2 s A 2f1 1 sin 2k f1h - 2s1 sin 2s1 h 2 2k f1
yang artinya bila lebar gap kedua kanalnya kecil, maka efek kopling menyebabkan medan listrik gelombang optik dalam directional-coupler terbagai atas medan listrik moda simetri dan moda asimetri yang masing-masing merambat dengan tetapan propagasi efektif βs dan βa. Daya optis yang merambat pada kanal 1 dan kanal 2 adalah: PA(z) = ψA(z) ψ*A(z) (12) PB(z) = ψB(z) ψ*B (z) (13)
A2 f2 2
(14)
2
dengan melakukan integrasi menurut syarat batas dan menerapkan syarat kontinuitas pada bidang batas, diperoleh
A 2g 2
dengan tanda asterisk menyatakan amplitudo efektif gelombang sekawan. ψA dan ψB adalah amplitudo efektif. Untuk directionalcoupler simetri, kedua kanalnya memiliki dimensi yang sama sehingga faktor ketaksefasaannya bernilai X = 0. Sehingga didapatkan bahwa daya gelombang optis yang masuk melalui kanal 1 akan dipindahkan seluruhnya ke kanal B (PB(z=Lc)=1) setelah menempuh jarak propagasi sepanjang
h s
2
E f2 dx E c dx 1
(10) (11)
z = Lc = atau Lc = 2
h
2
E s dx E f1 dx E g dx
h s
Medan listrik total yang merambat dalam directional coupler didekati dengan superposisi dari EA(x,y,z) dan EB(x,y,z) sehingga dinyatakan sebagai E(x,y,z) = e0 (x,y)e jβ sz +e1(x,y) ejβ az
kaidah couple, bentuk pengintegralan distribusi medan sebagai berikut [6],
sin 2k gs 2g2 sin 2g2 s 2k g
sin 2k f2 .h f2 sin 2f2 h 2k f2
(16)
2 Af2 cos 2 k f2 .h f2 1 2 c
dengan menguraikan masing-masing suku, sistem directional coupler dianggap simetri (kf1 = kf2) maka persamaan (16) ditulis dalam bentuk 2
2 Ag Af1 A2 2 f1 2h s 1 atau 2 s 2 2 2 Af1 A2 A 2 s.cos 2 k f1.h s1 2 f1 2h 10 1 2γs 2 2 cos 2 g2
(17)
sehingga didapatkan A f1
2 dimana h eff
h eff 2 h
s. cos 2 k f1 .h s1 2
cos g2
2 s
(18)
Lc disebut sebagai panjang kopling, dengan Δβ = β0 – β1. Dimana dari persamaan 9 didapatkan bahwa X = 0, nilai Δβ = β0 – β1 dapat dinyatakan dalam bentuk kuat kopling κ, yaitu Δβ = 2κ.
hubungan ini menyebabkan terbentuknya relasi dispersi untuk moda genap terpandu [7]
2.3 Perambatan Moda dalam Directional Coupler
sedangkan untuk moda ganjil didapatkan
Pola medan gelombang optik yang terpandu dalam tiap lapisan kanal directional coupler ternormalisasi, sehingga dengan menerapkan
SEMNAS MIPA 2010
s k g tan k g . k f 1. tan k f1 .h s1 2 s k g cot k g . k f 1. tan k f1 .h s1 2
(19)
(20)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
FIS - 51
Untuk menentukan nilai indeks bias efektif (N), langkah yang ditempuh adalah menentukan nilai indeks bias efektif ternormalisasi (b) dengan persamaan relasi dispersi. Metode numeric yang digunakan memecahkan nilai b adalah metode Secant [3]. Besaran yang penting untuk menganalisa directional coupler adalah tetapan propagasi efektif (β) moda medan gelombang. Nilai konstanta propagasi efektif digunakan untuk memperkirakan panjang kopling (Lc). Untuk melakukan penghitungan parameter konstanta propagasi baik moda simetri (βs) maupun asimetri (βa), parameter masukan utama yang digunakan adalah indeks bias cover, gap dan substrat sama 2,14, indeks bias film adalah 2,15 dan parameter panjang gelombang 1,33 µm (λ = 1,33 µm). Untuk memudahkan pemberian dua nilai tebakan awal yang diperlukan pada penerapan metode secant, maka β diganti dengan nilai indeks bias efektif (N) dengan persamaan N
s=0
s = 0,75 m
s = 0,5 m
s = 1 m
Gambar 3. Plot Pola Medan 2 dimensi
.Dimana k0
N b n 2f n 2s ns2 , b
N2 n 2s n 2f n2s
.
Hasil perhitungan dengan metode secant seperti pada Tabel 1.
s=0
s = 0,5 m
Tabel 1. Perhitungan (βs), (βa) dan Lc untuk h= 2 s 0 0,25 0,5 0,75 1 1,25 1,5 1,75 2
simetri 10,1476 10,1442 10,1417 10,1398 10,1383 10,1370 10,1360 10,1352 10,1381
asimetri 10,1212 10,1222 10,1231 10,1239 10,1246 10,1253 10,1259 10,1265 10,1322
κ 0,01321 0,01099 0,00931 0,00794 0,00681 0,00586 0,00505 0,00434 0,00295
Lc 118,3454 142,7965 168,5772 197.7251 230,5026 267,9195 311,2224 361,8708 532,2034
Untuk keperluan penggambaran pola medan dan perpindahan daya optik dalam directional coupler dilakukan dengan bantuan Bahasa Pemrograman Matlab versi 6.5 [2,4]. Hasil plotting adalah seperti pada Gambar 3 dan 4.
SEMNAS MIPA 2010
s = 0,75 m
s = 1 m
Gambar 4. Plot Pola Medan 3 dimensi Pada Gambar 3 dan 4, nampak bahwa modamoda tersebut adalah moda normal yang terdiri dari moda simetri dan moda asimetri. Plotting ini menunjukkan terjadinya proses perambatan dan perpindahan daya gelombang optik dalam kanal directional coupler. Efek couple atau gandengan menunjukkan pola medan listrik terdistribusi dalam moda-moda normal (moda simetri
FIS - 52
dan asimetri) yang merupakan moda 0 dan moda 1. Pada Gambar 3, terlihat bahwa untuk kasus zero gap (s=0), semua medan mampu ditransmisikan dari pandu 1 ke pandu 2 dalam directional coupler 1. Seiring dengan makin bertambahnya lebar gap antar pandu gelombang, maka makin kecil gelombang cahaya yang bisa ditransmisikan ke pandu gelombang dua. Hal ini menunjukkan bahwa dengan makin bertambahnya lebar gap (s), maka semakin besar panjang kopling (Lc). Dengan demikian, nilai tetapan propagasi efektif moda asimetri (βa) makin mendekati nilai tetapan propagasi efektif moda simetri (βs). Kasus di atas dapat dijelaskan dengan teori moda kopel (Couple Mode Theory). Berdasarkan teori ini, jika lebar gap antar pandu gelombang sangat kecil, maka gelombang evanescent moda dasar yang berada di sepanjang daerah gap saling memberi gangguan (perturbation). Kopling yang terjadi diantara keduanya menyebabkan amplitudo gelombang optik yang merambat pada tiap pandu gelombang berubah sepanjang jarak rambat. Sebaliknya, untuk lebar gap yang besar, maka gelombang evanescent moda dasar sepanjang gap tidak menyebabkan kopling. Hal ini dikarenakan tidak ada berkas evanescent dari gelombang optik yang ditransmisikan dari kanal 1 mampu mencapai kanal 2, sehingga masing-masing kanal gelombang optik pada moda dasar merambat secara individu.
1. Dehmubed., R., S. 1998. Coupling of a Planar Waveguide and dielectric Disk. IEEE Vol. 46. 2. Flores,E., R., dan Vazquez., G., V. 2004. Planar Waveguide Laser by Proton Implantation in Nd:YAG Crystals. Optics Express Vol. 12. 3. Hanseman, D. 1997. The Student Edition of Matlab. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 4. Pruessner, M., W., Siwak, N., Amarnath, K., S Kanakaraju, S., Chuang, W., and Ghodssi, R. 2006. End-coupled optical waveguide MEMS devices in the indium phosphide material system. Institute of Physics Publishing Journal of Micromechanics And Microengineering 5. Rohedi, dkk. 2003. Analitical Formulation of Normal Mode in Symetri Directional Coupler. Simposium Optical Application, edition Poster.
6. Sujito. 2006. Analisis Couple Mode Sistem Directional Coupler Tiga Pandu Gelombang. Tesis S-2. ITS Surabaya.
7. Tamir, T. 1985. Topics in Applied Physics: Integrated Optics. Springer-Verlag.
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa pada directional coupler moda TE, untuk lebar gap yang makin besar maka nilai tetapan propagasi efektif moda asimetri makin mendekati nilai tetapan propagasi efektif moda simetri, sehingga jarak terjadinya perpindahan daya antar kanal (Lc) makin besar. Semakin besar lebar gap maka panjang kopling juga makin besar. Sehingga makin lemah kekuatan kopling antar moda gelombang optik. 5. PUSTAKA
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 53
PENGARUH LAMA STIRRING TERHADAP SIFAT KRISTAL DAN MIKROSTRUKTUR HA YANG DISINTESIS DENGAN METODE WET-CHEMICAL I Made Paramita W D 1), Dra.Hartatiek 2) Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang, Indonesia Jalan Semarang No. 5, Malang, 65144 E-mail :
[email protected]
Abstrak Hydroxyapatite berukuran nano telah dikembangkan dengan kemurnian serta kristalinitas tinggi untuk meningkatkan kerapatan, kekuatan dan sifat bioaktifnya. (HA) secara klinis merupakan material yang menarik untuk diteliti serta dikembangkan sebagai biomaterial dalam fabrikasi implant jaringan juga sebagai bahan biokeramik yang dapat menggantikan beberapa organ dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama stirring terhadap sifat kristal dan mikrostruktur HA yang disintesis dengan metode wet-chemical. Penelitian ini memvariasi lama stirring yaitu 4 jam, 6 jam dan 8 jam, masing- masing disintering pada suhu 1100°C dengan lama penahanan 6 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Dari ketiga pola XRD hasil sintesis, yang mendekekati sesuai dengan pola XRD tulang asli sapi adalah sampel dengan lama strirring 6 jam. (2) Morfologi hasil sintesis wetchemical berbentuk bongkahan dengan ukuran diatas 20 µm dan hampir homogen, hal ini mungkin disebabkan air membantu dalam pembentukan grain yang homogen. Pori-pori/rongga juga muncul diantara grain, hal ini disebabkan proses densifikasi yang belum sempurna selama sintering. Kata kunci: HA (Hydroxyapatite), Lama stirring, Sifat kristal, Mikrostruktur.
1. PENDAHULUAN Lebih dari beberapa dekade terakhir, biokeramik telah membantu meningkatkan
kualitas hidup berjuta orang. Hal ini berkat adanya rancangan khusus bahan biokeramik yang telah berhasil digunakan untuk memperbaiki, merekonstruksi, dan mengganti bagian yang sakit atau bagian tubuh yang rusak, terutama tulang. Hydroxyapatite (HA) adalah salah satu biomaterial yang merupakan komponen utama jaringan tulang dan gigi. HA atau Ca10(PO4)6 (OH)2 merupakan mineral golongan apatite yang mengkristal dalam sistem heksagonal (El . Kholy, M.B.,dkk., 1998). Secara umum, 60-70% HA terkandung dalam tulang vertebrata, 98% dalam enamel gigi, 75% dalam dentine dan 35-45% dalam cementum (Ravaglioli, A. dan Krajewski, A., 1992, Park,J., 2008). Jaringan tulang dan gigi mengandung komponen anorganik, organik dan air dengan perbandingan yang bervariasi. Di dalam tulang HA mengkristal di dalam atau di permukaan serat-serat organik. Hydroxyapatite melekat dalam jaringan kolagen. Serbuk hydroxyapatite
SEMNAS MIPA 2010
[Ca10(PO4)6(OH)2] atau (HA) pada umumnya telah banyak diaplikasikan dalam bidang biomedis sebagai bahan pembuatan gigi, tulang maupun material implant yang terdapat didalam tubuh manusia seperti cardiovaskular (pembuluh jantung). Hydroxyapatite yang digunakan sebagai implant jaringan tubuh manusia umumnya telah berbentuk material komposit yang lebih kuat dibandingkan dengan (HA) murni. Material komposit (HA) diperkuat dengan bahan polyethylene atau lebih dikenal dengan HAPEXTM sehingga memiliki kekuatan dan daya tahan yang besar didalam tubuh makluk hidup. Ada beberapa teknik preparasi HA, antara lain solid-state reaction, wet chemical, hidrotermal dan metode penumbuhan gel (Park, J., 2008). Proses kristalisasi dapat ditingkatkan dengan menaikkan aktivitas ion yang bersangkutan, misalnya dengan meningkatkan laju pengadukkan, menaikkan pH, dan menaikkan suhu. Pada penelitian ini pembentukkan kristal apatit berasal dari presipitasi antara larutan ion Ca(OH)2 dan ion H3PO4. Pada penelitian ini akan dikaji hasil sintesa HA menggunakan metode wetchemical. Pada metode wet-chemical FIS - 54
memerlukan kondisi sintesis yang tidak tinggi yakni pada suhu ruang – 100oC tetapi dengan pengaturan pH antara 7 – 12 (kondisi basah). Hasil sintesa metode ini yaitu untuk mengetahui struktur kristal dan mikrostrukturnya (ukuran grain, bentuk dan homogenitasnya). 2. KAJIAN PUSTAKA Hydroxyapatite (HA) merupakan salah satu anggota golongan apatite keramik. HA telah teruji sebagai tulang buatan karena memiliki kemiripan dengan tulang alami dengan unsur pokok collagen dan polysaccharide, dengan formula kimia Ca10(PO4)6 (OH)2. Terdapat dua sumber apatite yakni dari biologis (organik) dan dari mineral deposit, seperti batuan phosphate atau phosphorite yaitu batuan sedimen dengan komponen mineral esensial carbonate fluoroapatite. Tulang dan gigi mengandung komponen mineral HA yang menyangga mayoritas beban in vivo (dalam tubuh). Jaringan otot keras juga mengandung fasa mineral yang mirip dengan keramik hydroxyapatite.
Gambar 1. Pola XRD tulang sapi yang disintering pada suhu 1000oC (Frank E. dkk. , 2005) Padatan kristalin ada dalam keadaan kristal tunggal atau polikristalin. Kristal tunggal adalah suatu padatan yang susunan atom-atomnya berulang dan periodik sempurna, sampai seluruh spesimen semuanya tanpa gangguan. Suatu padatan polikristalin tersusun dari kumpulan banyak kristal-kristal tunggal yang disebut grain, dipisahkan grain satu dengan yang lain dengan luasan yang tidak teratur yang disebut grain boundearies (batas grain). Secara khusus, dalam keramik ukuran grain dalam jangkaun 1 sampai dengan 50 m dan hanya nampak dibawah mikroskop. Bentuk dan ukuran grain, bersama dengan adanya porositas, fase-fase kedua dan lainnya serta distribusinya menggambarkan apa yang
SEMNAS MIPA 2010
disebut mikrostruktur. Kebanyakkan sifatsifat keramik bergantung-mikrostruktur (Barsoum,M.W., 2005). 3. METODE PENELITIAN Bahan mentah yang dipakai pada metode ini adalah kapur tohor yang disuspensikan dalam aquades sehingga membentuk milk lime (endapan Ca(OH)2). Dalam penelitian ini sampel hidroksiapatit dibuat dari larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2 dan asam phosphate H3PO4. Penelitian dilakukan dengan menambahkan 0,995 ml larutan asam phospate tetes demi tetes kedalam larutan Ca(OH)2 (endapan milk lime ). Selama penelitian dilakukan pula pengadukan untuk mempercepat proses presipitasi. Penelitian pertama dilakukan pada suhu kamar sekitar 250C, dan penelitian yang kedua dilakukan pemanasan dengan suhu 700C. Setelah proses titrasi selesai, pengadukkan dilanjutkan sesuai dengan variasi yang digunakan yaitu : 4 jam, 6 jam dan 8 jam dan kondisi beaker glass dalam keadaan tertutup dengan aluminium foil. Hasil presipitasi dicuci dengan aquadest dan dikeringkan dengan dipanaskan pada suhu 1100C selama 6 jam, selanjutnya disintering pada suhu 11000C dengan lama penahanan 6 jam. Analisis presipitan dilakukan dengan diuji struktur kristalnya dengan alat X-ray Diffraction. Hasil pola difraksi dengan menggunakan metode wet – chemical dibandingkan dengan pola difraksi tulang (asli) sapi yang sudah dikalsinasi pada suhu 1000oC. Apabila pola XRD hasil sintesa memiliki kemiripan dengan hasil pola XRD tulang sapi, maka sintesa yang dilakukan berhasil dan keramik Hydroxyapatite yang dihasilkan layak untuk membuat tulang buatan. Kemudian dilihat morfologinya (homogenitasnya), ukuran grain, dan poripori mikro dengan menggunakan alat uji SEM. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN SIFAT KRISTAL Hasil sintesa Hydroxyapatite dengan variasi lama stirring (pengadukan) : 4 jam, 6 jam dan 8 jam .Fasa HA yang terbentuk dari hasil sintesa dan sifat kristallinitas dapat diketahui dari pola XRD. Pola XRD dengan
FIS - 55
lama strirring 4 jam ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pola XRD lama stirring 4 jam Apabila pola XRD dengan metode wet-chemical dibandingkan dengan pola XRD tulang sapi tampak bahwa fasa HA telah tebentuk, tetapi masih ada fasa lain, disekitar sudut (2θ) 31,5, dengan intensitas yang tinggi, artinya kristalinitasnya juga besar. Fasa lain ini adalah Ca(OH)2, karena masih dalam fasa kristal, yang belum bereaksi secara sempurna dengan H3PO4.
Gambar 3. Pola XRD lama stirring 6 jam Apabila pola XRD dengan metode wet-chemical dibandingkan dengan pola XRD tulang sapi tampak bahwa fasa HA telah tebentuk, tetapi masih ada fasa lain, disekitar sudut (2θ) 30, dengan intensitas yang tinggi, artinya kristalinitasnya juga besar. Tetapi pada sekitar sudut (2θ) 33 dan 34 fasa HA telah terbentuk akan tetapi intensitasnya masih rendah. Fasa lain ini adalah Ca(OH)2, karena masih dalam fasa kristal, yang belum bereaksi secara sempurna dengan H3PO4.
Gambar 4. Pola XRD lama stirring 8 jam
SEMNAS MIPA 2010
Apabila pola XRD dengan metode wet-chemical dibandingkan dengan pola XRD tulang sapi tampak bahwa fasa HA telah tebentuk, tetapi masih ada fasa lain, disekitar sudut (2θ) 31,5, dengan intensitas yang tinggi, artinya kristalinitasnya juga besar. Tetapi pada sekitar sudut (2θ) 33 dan 34 fasa HA telah terbentuk akan tetapi intensitasnya masih rendah. Fasa lain ini adalah Ca(OH)2, karena masih dalam fasa kristal, yang belum bereaksi secara sempurna dengan H3PO4. Dari ketiga pola XRD diatas, setelah dibandingkan dengan pola XRD tulang sapi yang disintering dengan suhu 100ºC yang mendekati pola tersebut yaitu hasil XRD yang distirring selama 6 jam. Namun demikian dari ketiga pola tersebut masih menunjukkan adanya fasa lain yang terbentuk. Untuk lama stirring 6 jam memungkinkan atom-atom saling mendekat dan bereaksi membentuk senyawa HA. Kristallinitasnya dapat diketahui dari intensitas dan lebar puncak. Intesitas tinggi dan lebar puncak sempit menunjukkan kristallinitas yang baik (Bera,dkk. 2009). Hasil sintesa Hydroxyapatite yang diuji mikrostrukturnya dengan memvariasi lama stirring (pengadukan) yaitu : 4 jam, 6 jam dan 8 jam.
Gambar 5. Foto SEM mikrostruktur HA, lama stirring 4 jam Dari hasil foto SEM diatas dapat dijelaskan bahwa morfologi hasil sintesis wet-chemical dengan ukuran diatas 20 µm hampir homogen, hal ini mungkin disebabkan air membantu dalam pembentukan grain yang homogen. Ukuran grain yang lebih kecil menunjukkan bahwa orientasi partikel-partikelnya semakin acak dan membentuk polikristalin. Poripori/rongga juga muncul diantara grain,
FIS - 56
disebabkan proses densifikasi yang belum sempurna.
Gambar 6. Foto SEM mikrostruktur HA, lama stirring 6 jam Dari hasil foto SEM diatas dapat dijelaskan bahwa morfologi hasil sintesis wet-chemical berbentuk bongkahan dengan ukuran diatas 20 µm dan hampir homogen, hal ini mungkin disebabkan air membantu dalam pembentukan grain yang homogen. Pori-pori/rongga juga muncul diantara grain, hal ini disebabkan proses densifikasi yang belum sempurna selama sintering.
yang diperlihatkan dengan jumlah yang lebih banyak. Kristallinitas HA yang terbentuk juga menunjukkan intensitas tinggi dan lebar puncak sempit. Mikrostruktur HA yang disintesis menggunakan metode wet-chemical menunjukkan ukuran grain yang lebih besar, pori-pori/rongga juga muncul diantara grain, Ukuran grain rata-rata diatas 20 µm, dengan bentuk bongkahan, dengan distribusi hampir homogen. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk penelitian selanjutnya mencari lama stirring yang optimum sehingga diperoleh fasa HA yang baik dan kristallinitas yang tinggi. Untuk mengurangi pori-pori pada mikrostruktur, diperlukan perlakuan sintering yang lebih lama, agar proses densifikasi berjalan optimal. DAFTAR PUSTAKA Barsoum,M.W., 2005, Fundamentals Ceramics. John Wiley. New York El-Kholy, M.B., Khalil, A.A., Hashem, A.M., 1998, Thermochemistry of Bovine Teeth and Synthesis of Hydroxyapatite, interceram 47 vol.1, p. 29-32 Frank, E., Eneng, M., Yoyo,P., 2005. Pengaruh Alumina terhadap Bodi Phosphat untuk Tulang Buatan., Prosiding Seminar nasional Keramik IV. Balai Besar Keramik Bandung. Liu, D.M., 1996, Porous Hydroxyapatite Biocheramics, Key Enginering Material vol.115, p.209-232
Gambar 7. Foto SEM mikrostruktur HA, lama stirring 8 jam
Park, J. 2008. Bioceramics : Proprties, Characterizations, and Applications, Springer. New York.
Dari hasil foto SEM diatas dapat dijelaskan bahwa morfologi hasil sintesis wet-chemical berbentuk bongkahan yang tersebar secara acak dengan ukuran diatas 20 µm dan hampir homogen, hal ini mungkin disebabkan air membantu dalam pembentukan grain yang homogen. Poripori/rongga juga muncul diantara grain, hal ini disebabkan proses densifikasi yang belum sempurna selama sintering.
Ravaglioli, A. and Krajewski, A., 1992, Bioceramics, Material, Properties, Applications, Chapman and hal, London.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Budidoyo,. 2009. ”Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM) Hydroxyapatite dari gypsum alam cikalong”. Tugas akhir. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Berdasarkan analisis dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan yaitu: Fasa Hydroxyapatite (HA) yang disintesis menggunakan metode wet-chemical telah terbentuk, meskipun masih ada fasa lain SEMNAS MIPA 2010
Shackelford, J.F., 2005. Advanced Ceramics : Bioceramics. Gordon and Breach Publisers, New Jessey, NewYork. Zarina Omar,. 2007. ” Synthesis Of Hydroxyapatite Powders VIA Mechanical Activation Technique ”. Thesis submitted in fulfilment of the requirements for the degree of Master of Science.
P. Dasgupta, A. Singh, S. Adak dan K. M. Purohit. ”Synthesis and Characterization Of
FIS - 57
Hydroxyapatite Produced From Eggshell”. International Symposium of Research Students on Materials Science and Engineering December 20-22, 2004, Chennai, India.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 58
PARSIAL MELTING SENYAWA SUPERKONDUKTOR (EUGD)-123 DAN KARAKTERISTIK SUPERKONDUKTIVITASNYA 1
Markus Diantoro1, Tjia May On2 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl Semarang 5 Malang 2 Departemen Fisika ITB, Jl Ganesha 10 Bandung
Abstrak Pencarian senyawa superkonduktor suhu tinggi yang berpotensi untuk aplikasi teknologi terus berkembang. Salah satu senyawa yang menjadi primadona adalah sistem tanah jarang (rare earth, RE) dengan komposisi RE1Ba2Cu3O7-d yang dikenal dengan RE-123. Senyawa induk yang pertama ditemukan berbasis Yttrium Y-123 dengan temperatur kritis sekitar 93 K. Dalam tulisan ini dilaporkan sintesis menggunakan teknik parsial melting digabung dengan aniling argon / oksigen untuk rekristalisasi. Selain itu, telah diinduksikan senyawa turunan RE-211 untuk meningkatkan kekuatan pinning vorteks bahan ini. Telah disintesis satu seri senyawa (Eu,Gd)-123 yang dilanjutkan dengan karakterisasi fase dan superkonduktivitasnya. Karakterisasi fase digunakan X-RD pelet as-annealed dengan analisis fase mengunakan bantuan program PCW. Untuk karakterisasi superkonduktivitas digunakan pengukuran resistivitas metode 4-titik probe sebagai fungsi temperatur. Hasil analisis menunjukkan terbentuknya fase (Eu,Gd)-123 dan peningkatan temperatur kritis akibat lama aniling. Kata kunci: parsial melting, EuGd-123, fase, temperatur kritis.
PENDAHULUAN Baru-baru ini ditemukan senyawa baru kelas Pnectide basis Fe yang sangat berbeda dengan kelas senyawa tembaga oksida (Cuprates) dan senyawa lain maupun elemental lain yang memenuhi BCS maupun yang tidak. Dalam aplikasi kita mengenal dua kelompok besar yaitu aplikasi skala besar dan aplikasi skala kecil. Dalam aplikasi skala besar senyawa superkonduktifmagnetik maupun senyawa superkonduktiflistrik telah diaplikasikan. Kendala utama untuk aplikasi adalah rendahnya rapat arus kritis, medan kritis dan temperatur kritis. Telah banyak dikaji senyawa superkonduktor untuk kepentingan magnetk. Seperti yang telah dijelaskan dalam berbagai artikel dengan berbagai fraksi volumenya fase dan sebagian kurang dari memadai. Secara teoretis usaha peningkatan gaya magnetik atau gaya levitasi dapat ditempuh melalui peningkatan interaksi pinning vorteks melalui inklusi, doping eksternal maupun intrinsik serta cacat fisik (Diantoro2001, 2002). Kandidat yang menunjukkan perbaikan adalah sistem Light Rare Earth oksida LRE-123. Disamping itu hasil pengukuran resistivitas fungsi temperatur (T) juga baru menunjukkan tanda Tcon sedikit diatas suhu nitrogen cair.
SEMNAS MIPA 2010
Dalam tulisan ini dilaporkan uspaya parsial melting dan aniling sistem Eu-Gd1Ba2Cu3O7-d dengan berbagai modifikasi. Karakteristik temeratur kritis dan analisis fase senyawa juga dilaporkan. Secara umum sampel berbasis LRE-123 yang diinklusi LRE-211 membentuk komposit. Sampel komposit LRE-123 + LRE-211 dengan LRE = Nd, (Eu,Gd), yang dihasilkan dengan proses Melt pwder Melt Growth (MPMG) dengan Tc ~ 90K, yang dilengkapi dengan karakterisasi X-RD dan (T). EKSPERIMENTAL
Metode eksperimen sintesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses (melt powder melt growth (MPMG) dilaksanakan di laboratorium FISMOTS divisi Superkonduktor Departemen Fisika ITB. Riset pada tahun kedua ini merupakan kelanjutan dan perluasan dari riset yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Eksperimen sintesis ini ditekankan pada variasi debit gas (Ar, dan / O2), serta variasi suhu dan lama aniling dengan tujuan menentukan parameter efektif yang menghasilkan sampel superkonduktor. Berkaitan dengan perluasan eksperimen ini telah dilakukan perbaikan desain krusibe; untuk mengatasi masalah dalam proses pelelehan yang terjadi pada
FIS - 59
suhu tinggi. Selanjutnya kajian komposisi dan parameter proses untuk meningkatkan homogenitas sampel dan sifat superkonduktifitasnya diuraikan berikut ini. Eu0,5Gd0,5Ba2Cu3O7- (EG-123), Untuk senyawa EG-123 digunakan proses MTG dan proses MPMG dengan waktu pelelehan berbeda dan anil oksigen berbeda. Gas oksigen murni digunakan dalam tahap ini setelah mengetahui dari eksperimen terdahulu bahwa gas argon memberikan efek perusakan struktur mikro dan tentunya superkonduktivitas. Bahan dasar yang digunakan dalam sintesis bahan superkonduktor ini adalah: Nd2O3 (99.99%), Eu2O3 (99.99%), Gd2O3 (99.99%), Sm2O3 (99.99%), BaO (99.95%) , BaCO3 (99.99%), CuO (99.999%) dari Johnson-Mathey dan Sigma-Aldrich. Peralatan penting yang digunakan untuk proses terdiri dari; Tungku “chamber” Nabertherm 1100oC (2 buah) untuk kalsinasi dan sintering, Tungku tabung horisontal 1200oC (1 buah) sampai dan tungku tabung SIC horisontal 1600oC (1 buah). Untuk kalsinasi, sintering digunakan krusibel coorse dan untuk proses pelelehan digunakan krusibel Al2O3 (99.8%) combustion boat. Perangkat untuk proses pelelehan yang pada tahap sebelumnya digunakan lembaran Al2O3 sebagai lapisan pelindung lelehan (bufer) dalam proses MTG dan MPMG, diganti dengan Alumina silinder seperti ditunjukkan oleh Gambar 10 dalam Lampiran 2. Dengan susunan baru ini, sampel hasil lelehan sangat mudah dipisahkan dari krusibel ataupun penyangganya (buffer). Data struktur diperoleh dari pengukuran X-RD, sedangkan untuk pengukuran superkonduktivitas digunakan rangkaian 4-probe dealam sistem kriogenik sistem 10 K.
Gambar 1 Pola difraksi sinar X (X-RD) senyawa berbasis Eu,Gd123+211 dengan berbagai lama waktu anil dalam oksigen Analisis Fase Untuk mengetahui kehadiran fase sudah terbentuk, data X-RD bersangkutan diolah menggunakan perangkat program CelReff [Bochu dan Luegier 2000], dengan menggunakan basis data struktur dari PDF WIN [JCPDF 1985]. Puncak-puncak intensitas dari data pengamatan (garis vertikal diatas kurva difraksi) yang tidak cocok dengan puncak perhitungan (garis vertikal di bawah pola difraksi) merupaka fase lain (impuritas). Dari hasil cara ini dapat diketahui dengan teliti puncak mana yang merupakan fase inti dan puncak mana yang merupakan impuritas. Dengan demikian fraksi volume fase yang bersangkutan dapat dihitung. Sebagai contoh langkah analisis fase ditampilkan dalam Gambar 5. Puncakpuncak yang ditandai dengan angka merupakan puncak yang menunjukkan keseuain antara data eksperimen dengan model perhitungan. Dengan kata lain, puncak puncak yang tidak tertandai merupakan fase lain atau impuritas dalam toleransi yang ditentukan.
HASIL DAN DISKUSI
Data utama dalam riset ini adalah XRD, SEM dan (T). Masing-masing data ditampilkan secara berkelompok sesuai dengan senyawa yang dihasilkan dalam tahun kedua ini.
SEMNAS MIPA 2010
Gambar 2. Hasil analisis pola difraksi dengan menggunakan Celref Analisis Superkonduktivitas Hasil karakterisasi superkonduktivitas dengan pengukuran suhu-tegangan pada arus konstan telah dikonversi kedalam data suhu -resistivitas. Data masing masing kelompok sampel ditampilkan sebagai berikut. Angka
FIS - 60
yang tercantum dalam setiap kurva menyatakan lama waktu sintering dalam jam.
Yamashita, Tanabe (Eds), Springer Verlag, Tokyo, 2000, p. 285. T. Higuchi,S.I. Yoo, M. Murakami, Phys. Rev. B 59 (1999)1514. M. R. Koblischka, M. Muralidhar,M. Murakami, Physica C 337 (2000) 31-38. N. H. Babu, D.A. Cadwell, W. Lo, A.M. Campbel, Phys. Rev. B 61 (2000) 735.
Gambar 3. Pola resistivitas suhu senyawa EG-123 dari berbagai lama waktu anil dengan suhu pelelehan Tm = 1100oC Diskusi dan Kesimpulan
Dari hasil karakterisasi yang diuraikan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa waktu aniling dalam lingkungan oksigen berperan penting dalam menentukan kualitas sampel yang tercermin oleh Tc bersangkutan. Lebih jauh tersimak pula bahwa doping oksigen lebih banyak berkaitan dengan waktu aniling lebih panjang menghasilkan butiran lebih kecil dan tekstur butir yang lebih homogen, sebagaimana dicerminkan oleh pola difraksi yang melebar dan puncak lebih rendah. Berdasarkan sumber terbaru [Hu, 2002], sampel MPMG dapat pula dibentuk melalui cara langsung. Yaitu pemrosesan bahan tanpa melalui pembentukan fasa LRE123 dan LRE211 terlebih dahulu. Cara ini tentunya akan lebih efektif jika dapat menghasilkan bahan berkualitas setara. Cara ini telah diterapkan pada senyawa EG123+211, NSGx-123+211, NSGy123+211 dan akan diterapkan untuk sintesis bahan MPMG berbasis Sm, yakni (Sm1-xyEuxGdy)Ba2Cu3O7-. Daftar Pustaka E.S. Otabe, T. Matsushita, Advances in Superconductivity XII, Yamashita, Tanabe (Eds), Springer Verlag, Tokyo, 2000, p. 506 S. jin, T. H. Tiefel, R.C. Sherwood, R.B., van Dover, M. E. Davis, G. W.,Kammlott, and R.A. Fastnacht, Phys. Rev. B 37 (1998) 7850. K. Salama, V. Selvamanichan, L. Gao, and K. Sun, Appl. Phys. Lett. 54, 2352 (1989) M. Murakami, M. Moria, S. Gotoh, N. Koshizuka, T. Oyama, Y. Shiohara, and S. Tanaka, Advances in Superconductivity XII,
SEMNAS MIPA 2010
N. Chikumoto, J. Yoshioka, M. Otsuka, N. Hayashi, and M. Murakami, Physica C 281, 253 (1997). T. Saitoh, K. Kamada, K. Iida, N. Sakai, M. Murakami, Advances in Superconductivity XII, Yamashita, Tanabe (Eds), Springer Verlag, Tokyo, (2000) p. 461. M. Murakami, “Melt Processed High-Tc Superconductors”, World Scientific (1992). M. Muralidhar, M. R. Koblischka, T. Saitoh, M. Murakami, Superconduct. Sci. Technol. 11 (1998)1349. S. Haseyama, S. Kohayashi, J. Ishiai, S. Nagaya, and S. Yoshizawa, Advances in Superconductivity XI, Yamashita, Tanabe (Eds), Springer-Verlag, Tokyo, (1999) p. 701. H. G. Lee, I. H. Kook, G. W. Lee, Y. I. Kim, C. S. Kim, J. J. Kim, and M. Y. Song, Physica C 246 (1995) 73-77. N. Sakai, S. I. Yoo, S. Goshima, M. Murakami, Advances in Superconductivity, Proc. ISS96 (1997) 709. N. Dragoe, Powder manual v 2.0, University of Bucharest, Romania (1999) B. R. Lehndorff, “High-Tc Superconductors for Magnet and Energy Technology”, SpringerVerlag, Berlin (2001). S. Nariki, N. Sakai, M. Murakami, ISTECJournal 13,2 (2000) 27. M. Tomita, ISTEC-Journal 13, 2 (2000) 35. M. Murakami, ISTEC-Journal 10, 3 (1997) 51. S. Tanaka, ISTEC-Journal 13,4 (2000)9. M. Diantoro, I.M. Sutjahja, Abdurrahman, W. Loeksmanto, dan M. O. Tjia, Proc. Pertemuan Sains Materi III, Serpong, (1998) M.O. Tjia, I.M. Sutjahja, Darminto, A.A. Nugroho, Advances in Superconductivity 11, N. Koshizuka, S. Tajima (eds), Springer-Verlag, Tokyo (1999)943-946. M. Diantoro, A. Fuad, dan Parno. Peningkatan orientasi butiran pada pembentukan superkonduktor BPSCCO-2223 dengan metode
FIS - 61
Melt Textured Growth. Laporan Penelitian Dosen Muda, Malang (2000). S. Krohns, P. Lunkenheimer, Ch. Kant, A. V. Pronin, H. B. Brom, A. A. Nugroho, M. Diantoro, and A. Loidl, Colossal dielectric constant up to GHz at room temperature , Applied Physics Letter 94 122903 (2009). I.M. Sutjahja, M. Diantoro, A. A. Nugroho, M. O. Tjia, D. Tomuta, G.J.C. van Baarle, J. Aarts, A. A. Menovsky, J. J. M. Franse, Temperature and field induced structural transition La2-xyNd~0.4xCuO4 single crystal, Phys. J. IPS A6 (2002) 0537 ISSN 1410-8860. M. Diantoro, M. O. Tjia, T. Melisek, I. Husek, P. Kovac, Effect of Field Ampliotude and Field Orientation on Critical Current Density in Bi2223 Tapes with Reinforced Ag-sheath and oxide additives in the core, Phys. J. IPS A6 (2002) 0536 ISSN 1410-8860. A. Badía1 and C. López2, Critical State Theory for Nonparallel Flux Line Lattices in Type-II Superconductors, Phys. Rev. Lett 87 (2001) 170041-4 A. Badý´a1 and C. Lo´pez2, Vector magnetic hysteresis of hard superconductors, Phys. Rev. B, 65 (2002) 104514 A. Badý´a Comment on ‘‘Magnetic levitation force and penetration depth in type-II superconductors’’ Phys. Rev. B 55 (1997) 11875 In-Gann Chen, Jen-Chou Hsul, Gwo Janm., Chin-Chen Kuo., Haw-Jer Liu., and M. K. Wu, “Magnetic Levitation Force of Single Grained YBCO Materials”, CHINESE J. Phys. 36,(1998) 2-11 A. Hu, N. Sakai, M. Murakami, Physica C 371 (2002) 19 –26. M. Muralidhar, M. Jirsa, S. Nariki, M. Murakami, Superconduct. Sci. Technol 14 (2002) 832 Shinji Kitao, Yasuhiro Kobayashi, Satoshi Higashitaniguchi, Makina Saito,Yoichi Kamihara, Masahiro Hirano, Takaya Mitsui, Hideo Hosono, And Makoto Seto, Journal Of The Physical Society Of Japan Vol. 77, No. 10, October, 2008, 103706
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 62
Mn2+ IONS INJECTION ON FABRICATION OF Fe3O4 NANOMATERIALS MAGNETICS FLUIDS Ahmad Taufiq1, Dyah Rahmawati1, Renik Wulansari1, Sunaryono1, Abdulloh Fuad1, Markus Diantoro1, N. Mufti1,2, Suminar Pratapa3, Darminto3 1
Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No 5, Malang 65145 E-mail:
[email protected]
thnitzer Sraβe 40, 01187 Max Planck Institute for Chemical Physics of Solids, N o Dresden, Germany 3 Jurusan Fisika, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 2
Abstract Mn2+ ions have been injected into Fe3O4 nanomaterials magnetics fluids (ferrofluids). The coprecipitation method was employed in this experiment. In this method, iron-sand which was taken from Tulungagung were dissolved in HCl and precipitated in NH4OH. Ferrofluids were fabricated by adding surfactant Tetra Methyl Ammonium Hydroxides (TMAH) and Oleic Acid. Rietveld analysis of XRD data shows that Fe3O4 and (Fe,Mn)3O4 are formed in single phase of cubic-spinel. The adding of Mn2+ ions increase lattice parameter caused Fe and Mn has different ionic radii. Characterization by using TEM show that, samples are formed in nanometer range. Fe3O4 has particles sized 6,9 nm which is also confirmed by Rietveld analysis. Further more, calculation from VSM data shows that the adding of Mn2+ ions increase saturated manetization because Mn ion has higher magnetic moment. Keywords: Mn2+ ions, Nanomaterials, magnetics fluids, saturated magnetization.
1. INTRODUCTION In recent years, magnetite (Fe3O4) nanoparticles have been actracted much interest in industrial application such as; ceramics, cathalys, energy storage, magnetics data storage, absorbent, passivation coating, ferrogel and ferrofluids. Fe3O4 nanoparticles are quite different from those of their bulk counterparts, and thus, wide range of potential advanced applications. To date, many approaches have been developed for the preparation of Fe3O4 nanoparticles. They usually lead to complicated process or require relatively high temperatures. Herein, we presented a simple coprecipation methods by using ironsands wich are taken from nature in Tulungagung. For advanced application, Fe3O4 is needed to increase its magnetization and also . Such as doping with others elements as like Mn in Fe3-xMnxO4. Replacing Fe by Mn in Fe3O4 usually increases the magnetization because Mn ion has higher magnetic moment. Furthermore, one way to increase its application is by fabricating ferrofluids Fe3-xMnxO4of nanoparticles.
SEMNAS MIPA 2010
There are many applications of ferrofluids. The most applications are based on these properties: (1) The ferrorfluids will go to where the strongest magnetic field is and stay there (this is called localizability), (2) Ferrofluids absorb electromagnetic energy at convenient frequencies and heat up and (3) The physical properties of ferrofluids change when a magnetic field is applied. 2. THEORITICAL 2.1 Ferrofluids Ferrofluids are colloidal suspensions of magnetic nanoparticles. Ferrofluids respond to an external magnetic field enabling the solution's location to be controlled through the application of a magnetic field. Fe3O4 magnetite nanoparticles can be produced by mixing Fe(II) and Fe(III) salts together in a basic solution. The particles must remain small and separated from one another in order to remain suspended in the liquid medium. Surfactants are used to prevent the nanoparticles from approaching one another too closely and its resurfasing the magnetic particle with the result that arousing steric repulsion force or electrostatic repulsion
FIS - 63
force. Once prepared, ferrofluids have the captivating property of exhibiting “spikes” when placed in the proximity of a strong magnet. There are two basic steps in fabricating ferrofluids: synthesis of the magnetic solid, magnetite (Fe3O4), and suspension in water with the aid of a surfactant. The magnetic particles must be very small on the order of 10 nm (100 Å) in diameter, so that the thermal energy of the particles is large enough to overcome the magnetic interactions between particles. If the particles are too large, magnetic interactions will dominate and the particles will agglomerate. The magnetite will be synthesized by a precipitation reaction that occurs upon mixing FeCl2 and FeCl3 with ammonium hydroxide (an aqueous solution of ammonia, NH3). The surfactant used in this synthesis is tetramethylammonium hydroxide (N(CH3)4OH ). The hydroxide (OH–) ions formed in solution tend to bind to the iron sites on the magnetite particles, creating a net negative charge on each particle. The positively-charged tetramethyl ammonium ions will then associate with the negativelycharged magnetite particles, forming a kind of shell around each magnetite particle. This charged shell raises the energy required for the particles to agglomerate, stabilizing the suspension. Nanoparticles will remain suspended in a solution as long as they do not aggregate. A technique to prevent aggregation is to ‘stabilize’ the particles by encapsulating them with an outer shell. The general method to achieve this is to use a surfactant. Surfactants are molecules with two contrasting properties. They can be a linear molecule with a hydrophilic region and a hydrophobic region, or a cation anion pair. The former works by having the hydrophilic end of the molecules attach to the magnetite nanoparticles positioning the hydrophobic end to form a ‘greasy’ layer around the particle. This ‘greasy’ layer prevents nanoparticles from getting close enough to each other to aggregate. The later is the method used in this experiment. The ion pair keeps particles separated through Coulombic repulsion by encapsulating the particles with a cationic outter shell. The anions adhere to the surface of the magnetite nanoparticles, and
SEMNAS MIPA 2010
they attract its counter cations to form the positively charged outer shell. Since like charges repel, the positively charged outer shell prevent magnetite nanoparticles from aggregating. Other surfactants like cis oleic acid (AOc) can be used for oil-based ferrofluids. AOc is acid that contain fat ”monounsaturated” omega-9 in which detectable a yariety of the animals and the vegetables. It has molecule formula C18H34O2 (or CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH). Name of IUPAC from AOc is acid cis-9octadecenoic and its abbreviation name is 18:1 cis-9. AOc can be used as surfactants because producing steric repulsion. Surfactants AOc are molecules with two contrasting properties. They can be a linear molecule with a inter hydrocarbon chain. The former works by having the hydrocarbon end of the molecules attach to the magnetite nanoparticles positioning the other hydrocarbon end to form a ‘greasy’ layer around the particle. This ‘greasy’ layer prevents nanoparticles from getting close enough to each other to aggregate. 2.2 Iron-Mangan Oxcide (Fe3-XMnxO4) Fe3O4 can be written in FeO.Fe2O3 and formed in inverse cubic spinel. Based on ICSD with code 30860 given Fe3O4 have space group F d -3 m Z (227) and lattice parameters a = b = c = 8,396 Å, where as angle of inter lattice is formed of 900 respectively. Symbol of Fe1 is the Fe atoms in the section of A, whereas symbol of Fe2 is the Fe atoms in the section of B. Fe in the section of A atom-reviting with 4 atom O, whereas Fe in the section of octahedral atomreviting with 6 atom O. Fe3O4 consists of from FeO with Fe charged of 2+ and Fe2O3 with Fe charged of 3+. In this system, of all tetrahedral section is filled the Fe3+ ions, whereas a half of its octahedral section filled by Fe2+ ions and the other one-half section is filled by Fe3+ ions (Regina, 2006). Based on XRD characterization, in those research is obtained Fe3O4 as phase of pure crystal with lattice parameter a = 8,396 Å. Based on experiment which is done by Wichkam (1969), the composition and the distribution of charge of Fe3-xMnxO4 can be formulated as follows.
FIS - 64
Mn x2 Fe13x Fe12x Fe13x O4
(2.1)
For x in the range from to 0 and 1.
Mn 2 Fe33x Mn 3x1 O4
diketahui bahwa the model of its x-ray diffraction is given in figure 2.
(2.2)
For x in the range from to 1 and 3. 3. EXSPERIMENTAL Ferrofluids Fe3-xMnxO4 (0 ≤ x ≤ 1) Nanoparticles were synthesized using natural Fe3O4 which was extracted from iron-sand. The co precipitation method was employed in this experiment. In this method, iron-sands which was taken from Tulungagung were dissolved in HCl and precipitated in NH4OH. Ferrofluids were fabricated by adding the surfactant Tetra methyl Ammonium Hydroxides (TMAH) and Oleic Acid. The Characterizations have been done by means of X-ray fluorescence (XRF), Xray diffraction (XRD), Transmission electron microscopy (TEM) and vibrating sample magnetometer (VSM).
Figure2. X-ray diffraction model of Fe3O4 X-ray diffraction data has been analyzed by using Rietveld by menas of Rietica sofware. Its result is shown in table 1. Table 1. Structures and lattice parameters of Fe3-xMnxO4
4. RESULTS and DISCUSSION Diffraction Pattern of Measurement
Based on table 1, shown that the higher the composition of x the higher the lattice parameters. The increment of lattice parameter because Mn and Fe have different ionic radii. Particles size are measured by means of TEM shown in figure 3. Figure 1.Diffraction pattern of Fe3-xMnxO4 powder synthesized by oprecipitation method According to figure 1, the higher the pattern the higher the composition of Mn, meanwhile the composition of Fe is decreased. All diffraction patterns diffraction show the same trend. After analyzing by search match, all samples tend to follow structural model of Fe3O4 with PDF no 110614, Setelah dilakukan search match
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 65
Figure 5.1 Magnetic Fluids without External Field
50 nm Figure 3. TEM image of Fe3O4 TEM image shows the particles sized are formed in nanometer scale (much lower than 50 nm). Its result is confirmed by calculation using Reitica software. From its calculation, the particles size is 6,9 nm. Magnetic properties are investigated by means of VSM. The result is shown in figure 4.
Figure 5.2 Magnetic Fluids with External Field From figure 5.1 and 5.2, it can be known that magnetic fluids have been formed as liquid phase of magnetite. Magnetic fluids can also respons to external field depent on the value of its field. 5. CONCLUSION
Figure 4. hysteresis loops of Fe3-xMnxO4 The shapes of the hysteresis loop is very interesting and quite satisfied with the theoretical prediction.. The saturated magnetization and retentivity increase by increasing of x. the higher the composition of x, the higher the composition of Mn. So that, it make the number of replacing Fe2+ (4µB) by Mn2+ (5 µB) is higher. The magnetization supposed to increase by about 25%. The product of this experiment can be shown in Figure 5.
SEMNAS MIPA 2010
FeO4 nanoparticles which are injected by Mn2+ ions have been synthesized using natural Fe3O4 which was extracted from ironsand. Ferrofluids have also fabricated successfully by adding TMAH and AOc. All samples are formed in cubic spinel with particles size is in nanometer scale. In particular sample, Fe3O4 has particles sized 6,9 nm which is also confirmed by Rietveld analysis. The increment of composition of x (Mn2+) are also followed by increment of magnetic properties (Saturated manetization and Retentivity) because Mn ion has higher magnetic moment..
FIS - 66
6. REFERENCES Regina C.C. Costa, M.F.F. lelis, L.C.A. Oliveira, J.D. Fabris, J.D. Ardisson, R.R.V.A. Rios, C.N. Silva, R.M.Lago. Journal of Hazardous Materials B129 (2006) 171-178. Wickham. D.G.. J.Inorg.nucl.Chem. 1969. Vol 31.pp.313 to 320.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 67
APLIKASI KAVITASI AKUSTIK UNTUK SINTESIS NANOMATERIAL HETAEROLITE (ZnMn2O4) SERTA KARAKTERISTIK GEOMETRI KRISTALNYA Nurul Hidayat, Ahmad Taufiq, Markus Diantoro, Nasikhudin, Abdulloh Fuad, Arif Hidayat Jurusan Fisika FMIPA UM, Jl. Semarang 5, Malang 65145 Telp. (0341) 552125 email:
[email protected]
Abstrak Nanomaterial hetaerolite (ZnMn2O4) telah berhasil disintesis melalui aplikasi kavitasi akustik untuk waktu yang berbeda-beda. Di samping itu, aplikasi sintesis ini hanya membutuhkan suhu rendah, kurang dari 100 oC. Pencampuran ZnCl2 (PA 99,9%), MnCl2∙4H2O (PA 99,9%), NH4OH (PA 99,9%), etanol (PA 99,9%), dan aquades di bawah pengaruh gelombang ultrasonik dilakukan untuk mendapatkan aktivasi kavitasi akustik, sehingga dengan mudah didapatkan nanomaterial. Karakteristik geometri kristal diketahui dari hasil uji X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisis pembentukan fasa menggunakan program X’Pert High Score Plus menunjukkan bahwa semua sampel berhasil terbentuk dalam fasa tunggal mengikuti pola difraksi ZnMn2O4 yang memiliki no PDF 01-0770470 tanpa ada fasa lain. Dari hasil analisis Rietveld dengan software Rietica, hetaerolite (ZnMn2O4) mengkristal dalam struktur spinel normal dengan distorsi tetragonal yang memanjang pada kisi c. Distorsi tetragonal ini adalah konsekuensi fisis dari efek Jahn-Teller yang menyebabkan instabilitas ion Mn3+ dalam menempati posisi oktehedral membentuk close packed arrangement. Sedangkan seluruh ion Zn2+ memiliki kecenderungan yang kuat untuk menempati posisi tetrahedral. Sementara ukuran kristal hasil uji XRD yang sudah dikonfirmasi dengan uji SEM menunjukkan ukuran kristal dan partikel dalam orde nanometer yang relatif kecil yaitu berkisar antara 40 – 47 nm. Kata kunci: kavitasi akustik, nanomaterial, hetaerolite, geometri kristal
1. PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, hetaerolite (ZnMn2O4) menjadi bahan kajian yang menarik perhatian para ahli karena memiliki peluang aplikasi yang luas, diantaranya sebagai rechargeable batteries berbasis litium (Malavasi dkk, 2004), katalis dan teknologi dekontaminasi air (Bessekhaud dkk, 2005), serta semikonduktor feromagnetik pada suhu ruang (Fernandes dkk, 2006). Bahkan kajian mutakhir dalam rangka menyongsong teknologi nano, teknologi yang lebih dari sekedar high-tech dan sejak tahun 2000 memasuki babak yang paling progresif (Abdullah, 2008), telah membuktikan bahwa ZnMn2O4 berpeluang besar untuk diaplikasikan sebagai nonvolatile resistive random access memory devices (Peng dkk, 2009), novel lithiumstorage material (Yang dkk, 2008), dan Xiao dkk (2009) pun telah mengembangkannya menjadi electrochemical storage material. Berkaitan dengan karakteristik struktur kristal hetaerolite (ZnMn2O4), riset nanomaterial terbaru oleh Menaka dkk
SEMNAS MIPA 2010
(2009) melaporkan bahwa ZnMn2O4 mengkristal dengan struktur spinel normal dengan distorsi tetragonal ke arah sumbu c sebesar c/a = 1,618 dalam grup ruang I 41/ a m d no 141, memiliki nilai parameter kisi a = b = 5,709(1) Å dan c = 9,238(4) Å. Distorsi tetragonal ini adalah konsekuensi fisis dari efek Jahn-Teller yang menyebabkan instabilitas ion Mn3+ (d4) dalam menempati posisi oktehedral membentuk close packed arrangement (Malavasi dkk, 2004; Choi dkk, 2006; Menaka dkk, 2009). Sampai saat ini, telah banyak hasil penelitian yang sukses mensintesis material ZnMn2O4 dengan berbagai metode, seperti, metode solid-state reaction (Malavasi dkk, 2004; Peiteado dkk, 2007; Stojic dkk, 2009; Shoemaker dkk, 2009), namun ukuran partikel masih dalam orde mikrometer. Mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi nano, Praserthdam dkk (2004) telah berhasil menggunakan reaksi glycothermal yang harus menggunakan suhu cukup tinggi, yaitu 300 oC untuk fabrikasi ZnMn2O4 berukuran nanometer. Zhang dkk (2007) telah mensintesis nanomaterial ZnMn2O4 berukuran 20–50 nm dengan metode
FIS - 68
hidrotermal dan harus menghabiskan waktu sintesis selama 118 jam. Menaka dkk (2009) pun melaporkan keberhasilannya mempreparasi partikel nano ZnMn2O4 dengan metode reverse micellar dan kopresipitasi, tetapi perlu pengulangan pemanasan secara berulang-ulang. Metode polimer pirolisis oleh Yang dkk (2008) dan metode solvotermal suhu rendah oleh Xiao dkk (2009) juga telah dilakukan, namun sayangnya metode-metode tersebut harus didukung oleh peralatan yang “super” canggih dan tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Keseluruhan fakta tersebut di atas menuntut adanya metode sintesis baru yang bukan hanya jauh lebih sederhana, tetapi juga dapat mereduksi ukuran, mengkontrol morfologi, dan tentu membentuk kristal dengan kemurnian fasa serta kristalinitas yang baik. Salah satu alternatif untuk mendapatkan material berukuran nanometer dengan karakteristik high surface area adalah dengan menggunakan aplikasi kavitasi akustik (Suslick dan Price, 1999; Mason dan Lorimer, 2002; Gedanken, 2004). Dalam tulisan ini, dilaporkan pendekatan sintesis nanomaterial hetaerolite (ZnMn2O4) dengan menggunakan aplikasi kavitasi akustik seta karakteristik geometri kristalnya.
(a)
(b)
(c) Gambar 1 (a) Struktur Kristal Spinel Hetaerolite, (b) Bagian Oktahedral Hetaerolite, (c) Bagian Tetrahedral Hetaerolite Tabel 1 Data Kristalografi Model ICSD 15305 Atom Zn Mn O
Posisi Wyck 4a 8d 16h
x y
Z
ZnMn2O4 SOF B
0 0 0 1 0 0,25 0,625 1 0 0,2273 0,3862 1
0,65 0,65 0,65
2.2 MEKANISME KAVITASI AKUSTIK 2. LANDASAN TEORI 2.1 HETAEROLITE (ZnMn2O4) Hetaerolite (ZnMn2O4) memiliki struktur spinel dengan rumus umum AB2O4 (ekuivalen dengan A2+(B3+)2O4 atau AO∙B2O3), di dalam sistem ini terdapat 8 bagian tetrahedral dan 16 bagian oktahedral dalam satu sel satuan, bagian tetrahedral ditempati oleh kation divalen A dan bagian oktahedral ditempati oleh kation trivalen B (Barsoum, 2003). Berdasarkan ICSD kode koleksi 15305, ZnMn2O4 mengkristal dengan struktur spinel normal dalam grup ruang I 41/amd no 141 dengan parameter kisi a = b = 5,7220 Å dan c = 9,240 Å (α = β = γ = 90), volume V = 382,4 (Å3), densitas D = 5,18 g/cm3, dan Z = 4. Data kristalografi ZnMn2O4 model ICSD 15305 diditunjukkan dalam Tabel 1. Struktur kristal ZnMn2O4 dapat divisualisasikan (Gambar 1 (a - c)).
SEMNAS MIPA 2010
Sebuah entitas kavitasi akustik dapat terjadi melalui gelombang ultrasonik. Dalam fenomena ini, paling tidak terdapat tiga tahap yang menghasilkan kondisi yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia, khususnya pembentukan nanomaterial. Tahap-tahap tersebut adalah pembentukan gelembung dalam cairan, pertambahan ukuran gelembung sampai dicapai ukuran maksimum, dan pecahnya gelembung yang menyebabkan menurunnya ukuran partikel. Serangkaian kondisi ini menghasilkan pemanasan lokal yang intensif, membentuk titik panas pada cairan dingin dengan suhu 5000 K, dan tekanan 1000 atm yang hanya memiliki lifetime sepersemilyar detik (Suslick, 1999). Sebuah gelembung memberikan respon pada medan sonik dalam cairan dengan jalan mengembang dan mengempis. Artinya, gelembung ini “tereksitasi” dengan berubahnya waktu tekanan. Dua bentuk kavitasi yang dikenal adalah kavitasi stabil
FIS - 69
dan kavitasi transien. Kavitasi stabil berarti gelembung-gelembung dapt berosilasi mengelilingi posisi setimbangnya sampai pada beberapa siklus refraksi/kompresi. Sedangkan pada kavitasi transien, gelembung tumbuh menjadi dua kali ukuran semula setelah satu (kadang-kadang dua atau tiga) siklus akustik dan akhirnya pecah/rusak secara drastis. Metode sonokimia tidak hanya mampu menurunkan ukuran partikel sampai pada skala nanometer, tetapi juga optimasi parameter dapat dicapai. Untuk memahami bagaimana cara tumbukan kavitasi dapat mempegaruhi perubahan kimia, harus dipertimbangkan berbagai kemungkinan akibat dari tumbukan ini di dalam sistem yang berbeda. Pertama, rongga yang dibentuk tidak mungkin berupa suatu ruang hampa (dalam wujud rongga) pasti berisi uap air dari media cair atau bahan reaktan atau gas-gas yang mudah menguap. Selama tumbukan, uap ini akan diperlukan dalam kondisi yang ekstrim, yaitu pada suhu dan tekanan yang tinggi, menyebabkan molekul-molekul pecah dan menghasilkan jenis radikal yang reaktif. Bagian radikal ini kemudian bereaksi di manapun di dalam gelembung yang pecah atau setelah migrasi ke dalam cairan luarnya. Kedua, tumbukan yang mendadak dari gelembung juga mengakibatkan satu aliran masuk dan tiba-tiba cairan itu mengisi kekosongan yang menghasilkan gaya geser di dalam melingkupi cairan ruah yang dapat memecahkan ikatan kimia dalam material dan akhirnya larut dalam cairan atau mengganggu cairan batas. Kondisi reaksi untuk suatu proses kavitasi harus mempertimbangkan pemilihan suhu operasi dari bahan pelarut karena setiap peningkatan tekanan uap pelarut akan menurunkan suhu dan tekanan maksimum untuk tumbukan gelembung. Pegaktifan kavitasi di dalam sistem heterogen merupakan suatu konsekuensi dari efek mekanis pembentukan rongga. Dalam sistem heterogen, tumbukan dari gelembung berongga mengakibatkan cacat mekanis dan struktur. Tumbukan di daerah dekat permukaan akan menghailkan aliran masuk secara drastis dan asimetris dari cairan itu untuk mengisi kekosongan di daerah permukaan gelembung. Pengaruh setara dengan pancaran cairan bertekanan tinggi. Tumbukan pada permukaan, terutama sekali
SEMNAS MIPA 2010
dari material serbuk akan menghasilkan energi yang cukup untuk menyebabkan material pecah menjadi kepingan yang sangat kecil, bahkan untuk penghalusan logam. Dengan demikian, kavitasi akustik dapat meningkatkan luas permukaan untuk suatu reaksi dan menyediakan energi pengaktifan tambahan melalui pencampuran yang efektif serta peningkatan transfer massa (Gogate, 2008). Akhirnya, nanomaterial yang harus memiliki karakter high surface area sangat mungkin dipreparasi melalui aplikasi kavitasi akustik. 3. METODE PENELITIAN Bahan dasar ZnCl2 (PA 99,9%), dan MnCl2∙4H2O (PA 99,9%) dilarutkan dengan etanol (PA 99,9%), dan ditambahkan aquades. Total volume etanol dan aquades adalah 60 ml. Kemudian campuran tersebut disonikasi pada frekuensi 40 kHz menggunakan ultrasonic cleaner tipe Power Sonic 405 pada suhu 30 oC. Kemudian NH4OH (PA 99,9%) ditambahkan ke dalam larutan pada suhu ±70 oC sampai terbentuk endapan. Tahap selanjutnya mencuci endapan dengan aquades dan difiltrasi menggunakan kertas saring Whatmann ukuran 40. Bahan yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam tungku listrik pada suhu 100 oC selama 1 jam. Setelah ZnMn2O4 berhasil disentisis, sampel digerus sampai terbentuk serbuk halus. Karakterisasi struktur kristal menggunakan XRD dan pembentukan fasa diidentifikasi menggunakan program X’Pert High score Plus serta struktur kristal dianalisis dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica. Ukuran butir kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer dan juga dikonfirmasi dengan foto SEM. Untuk menghitung ukuran kristal, digunakan metode Scherrer sebagai alternatif untuk mengkalkulasi ukuran kristal (partikel). Persamaan Scherrer diberikan dalam persamaan: k D (1) B0 cos D merupakan ukuran (diameter) kristal, k merupakan konstanta material yang nilainya kurang dari 1, λ merupakan panjang gelombang sinar-X yang digunakan, Bo
FIS - 70
merupakan lebar puncak pada setengah maksimum (Full Width Half Maximum, FWHM) dan θ merupakan sudut Bragg. Pada umumnya k ≈ 0,9. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 POLA DIFRAKSI ZnMn2O4 HASIL KARAKTERISASI XRD
224
14 5
127
143 044
035
134
015 132 033 231
220
112 020
004
011
Intensity (arb.u.)
013
021
Pola difraksi sampel ZnMn2O4 hasil sintesis dengan aplikasi kavitasi akustik untuk variasi lama sonikasi 0,5 – 3 jam ditunjukkan dalam Gambar 2.
t = 3 hours t = 2 hours t = 0.5 hours 10
20
30
40
50
60
70
80
90
2 Theta
Gambar 2. Pola Difraksi ZnMn2 O4 Hasil Sintesis dengan Aplikasi Kavitasi Akustik Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa pola difraksi masing-masing sampel semakin ke atas (t membesar) merupakan pola difraksi dengan lama sonikasi semakin besar. Secara sepintas, hasil uji XRD menujukkan pola difraksi yang sama untuk semua sampel. Puncak difraksi yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki pola pelebaran yang cukup besar, yang mengindikasikan ukuran kristalnya kecil. Karena pada dasarnya kristal yang berukuran besar dengan satu orientasi menghasilkan puncak difraksi yang mendekati sumbu vertikal. Sedangkan kristal yang sangat kecil menghasilkan puncak difraksi yang sangat lebar. Artinya, lebar puncak difraksi tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristal. Alasan mengapa kristal yang kecil menghasilkan puncak yang lebar adalah karena kristal yang kecil memiliki bidang pantul sinar-X yang terbatas. Puncak difraksi dihasilkan oleh interferensi secara konstruktif sinar yang dipantulkan oleh bidang-bidang kristal (Abdullah, 2008). Dalam teori tentang interferensi gelombang,
SEMNAS MIPA 2010
dijelaskan bahwa semakin banyak jumlah celah interferensi semakin sempit ukuran frinji pada layar. Interferensi celah banyak dengan jumlah celah tak berhingga menghasilkan jumlah frinji yang sangat sedikit, tetapi sangat terang (Crowell, 2008). Jumlah celah yang sangat banyak dan seragam identik dengan kristal yang berukuran besar. Karena difraksi sinar-X pada dasarnya adalah interferensi oleh sejumlah sumber, maka dapat diprediksi hubungan antara lebar puncak difraksi dengan ukuran kristal melalui pendekatan interferensi celah banyak. Adapun puncak difraksi ZnMn2O4 yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki kecenderungan yang lebar. Dari sini, dapat diprediksi bahwa ukuran kristal adalah kecil. Hasil analisis yang lebih memadai diberikan pada bagian selanjutnya. Analisis fasa untuk semua sampel menggunakan program X’Pert High Score Plus menghasilkan pola difraksi semua sampel sama dengan pola difraksi ZnMn2O4 yang memiliki no PDF 01-077-0470 tanpa ada fasa yang lain. Dengan kata lain, penelitian ini telah berhasil mensintesis hetaerolite ZnMn2O4 berfasa tunggal dengan kristalinitas yang baik. Informasi tersebut memberikan indikasi bahwa lama sonikasi tidak mengubah fasa kristal yang terbentuk. Artinya, dengan lama sonikasi 30 menit sudah dapat terbentuk kristal ZnMn2O4 dengan fasa spinel tetragonal. Sementara di pihak lain, background dan kualitas puncak juga dimiliki oleh pola XRD untuk lama sonikasi 30 menit, dimana noise paling sedikit dan semua puncak sesuai dengan pola difraksi ZnMn2O4 yang memiliki no PDF 01-0770470 muncul. Setelah analisis fasa, analisis selanjutnya adalah penentuan parameter kisi dan ukuran kristal. 4.2. STRUKTUR KRISTAL ZnMn2O4 Berdasarkan hasil karakterisasi XRD, pola difraksi ZnMn2O 4 dianalisis dengan menggunakan sofware Rietica dan Microcal Origin. Hasil analisis data ditunjukkan dalam Tabel 2. Sedangkan ukuran kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer. Gambar 3 menunjukkan grafik hubungan antara lama sonikasi dan parameter kisi serta volume sel kristal secara serempak.
FIS - 71
Tabel 2 Hasil Analisis Struktur Kristal Sampel ZnMn2O4 pada Beberapa Lama Sonikasi yang Berbeda t (jam) a = b (Å) c (Å) c/a c-a/a V (Å3) ukuran (nm)
0,5 5,770 9,430 1,63 0,63 313,63
2,0 5,770 9,380 1,63 0,63 312,68
3,0 5,782 9,440 1,63 0,63 315,66
46
40
47
10.0
400
9.5 9.0 350 8.0 7.5
300
6.5
3
Konstanta Kisi a = b Konstanta Kisi c Volume Kisi
7.0
Volume Sel (Å )
Parameter Kisi (Å)
8.5
250 6.0 5.5 5.0
200 1
2
3
t (jam)
Gambar 3
Parameter Kisi dan Volume Kisi Sel nanomatereial ZnMn2O4
Berdasarkan hasil analisis struktur kristal dalam Tabel 2 dan gambar 3, teramati bahwa nilai parameter kisi (yang meliputi konstanta kisi a, b, dan c) serta volume kristal tidak mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Bahkan rasio c/a untuk ketiganya tepat sama, yaitu sebesar 1,63. Sementara hasil penelitian serupa oleh Menaka dkk (2009) untuk hetaerolite ZnMn2O4 berukuran 20-30 nm hasil sintesis dengan metode reverse micellar dan kopresipitasi memperoleh c/a sebesar 1,62. Menaka dkk juga mengklaim bahwa hasil rasio c/a yang mereka peroleh sangat dekat dengan nilai c/a kristal tunggal ZnMn2O4 yang dihitung oleh Sorita dan Kawano (1996). Ukuran kristal yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 40 nm dan 47 nm. Hasil tersebut merupakan hasil empiris yang sangat mendukung prediksi awal bahwa ukuran kristal yang dilihat sepintas dari pelebaran puncak pola difraksi sinar-X adalah kecil (orde nano meter). Berdasarkan hasil analisis Rietveld didapat bahwa semua sampel mengkristal dengan struktur spinel tetragonal, dengan parameter kisi a = b ≠ c dan α = β = γ = 90.
SEMNAS MIPA 2010
Nilai parameter kisi rata-rata a = b = 5,774 Å dan c = 9,417 Å. Dari data parameter kisi tersebut, struktur spinel ZnMn2O4 mengalami distorsi secara tetragonal yang memanjang ke arah sumbu c. Distorsi tetragonal ini adalah konsekuensi fisis dari efek Jahn-Teller aktif yang menyebabkan instabilitas ion Mn3+ (d4) dalam menempati posisi oktehedral membentuk close packed arrangement. Sedangkan ion Zn2+ (d10) memiliki kecenderungan sangat kuat untuk menempati posisi tetrahedral (Malavasi dkk, 2004; Choi dkk, 2006 dan Menaka dkk, 2009). Ukuran kristal juga dikonfirmasi dengan fotografi SEM untuk sampel ZnCoMn2O4 (t = 30 menit) dengan perbesaran 50.000 kali yang ditunjukkan dalam Gambar 4. Hasil uji SEM yang menggambarkan morfologi partikel dengan menunjukkan bahwa ukuran butiran senyawa ZnMn2O4 di bawah orde mikron. Tentu ini memang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu membentuk partikel dalam ukuran nano meter. Visualisasi fotografi untuk sampel menggambarkan bahwa semua sampel mengalami aglomerasi atau penggumpalan. Sama seperti hasil penelitian ini, Menaka dkk (2009) pun melalui uji TEM (Transmission Electron Microscopy) sekaligus HRTEM (High Resolution Transmission Electron Microscopy) mengamati terjadinya penggumpalan partikel nano ZnMn2O4 yang disintesis dengan metode reverse micellar dan kopresipitasi. Aglomerasi pada ZnMn2O4 disebabkan oleh karakteristik Mn yang cenderung untuk menggumpal. Terlepas dari kondisi semacam ini, sekali lagi dapat diyakini bahwa ukuran partikel sudah berada pada orde nano meter. Dengan kata lain, nanomaterial hetaerolite (ZnMn2O4) sejatinya sudah terbentuk. Adapun grafik hubungan antara pengaruh variasi lama sonikasi dan rasio c/a sekaligus derajat distorsi (c-a)/a diberikan dalam Gambar 5. Derajat distorsi tetragonal yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki kesamaan yang cukup dekat dengan yang dilaporkan oleh Peiteado (2010), yaitu sebesar 1,615.
FIS - 72
Gambar 4 Hasil Foto SEM Serbuk ZnMn2O4 (t = 30 menit) 1.90
0.70
1.85
0.65
1.80 1.75
0.60 0.55
Rasio c/a
1.65 1.60
0.50
1.55
0.45
1.50
Derajat Distorsi (c-a)/a Rasio c/a
1.45
0.40
1.40
Derajat Distorsi (c-a)/a
1.70
0.35
1.35 1.30
0.30 1
2
3
t (jam)
Gambar 5 Rasio c/a dan Derajat Distorsi (c-a)/a Nanomaterial ZnMn2 O4 Secara konseptual, distorsi tetragonal yang disebabkan oleh efek Jahn-Teller dapat dijabarkan melalui teori medan kristal (Crystal Field Theory). Effendi (2007) menjelaskan bahwa dalam teori medan kristal dijelaskan interaksi yang terjadi antara logam dengan ligan adalah murni interaksi elektrostatik. Logam yang menjadi pusat dari kompleks dianggap sebagai suatu ion positif yang muatannya sama dengan tingkat oksidasi dari logam tersebut. Orbital d yang dimiliki oleh garamgaram logam transisi memiliki lima orbital, yaitu dxy, dxz, dyz, dx2-dy2, dan dz2. Kelima orbital d tidak identik, dan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu orbital t2g dan eg. Orbital-orbital t2g, yang terdiri dari dxy, dxz, dyz, memiliki bentuk yang sama dan memiliki orientasi arah di antara sumbu x, y, dan z. Orbital-orbital eg, yang terdiri dari dx2-dy2, dan dz2, memiliki bentuk yang berbeda dan terletak di sepanjang sumbu. Di
SEMNAS MIPA 2010
sisi lain, kompleks oktahedral adalah salah satu bagian dari struktur spinel. Pada kompleks oktahedral, logam berada di pusat oktahedron dengan ligan di setiap sudutnya. Tolakan oleh elektron dari keenam ligan dalam suatu kompleks oktahedral memecah orbital d menjadi orbital t2g dan eg. Arah mendekatnya ligan adalah sepanjang sumbu x, y, dan z, dan searah dengan orientasi orbital dx2-dy2, dan dz2. Kedua orbital tersebut juga menghadap langsung ke arah mendekatnya ligan, maka keduanya mengami tolakan yang lebih besar dari ligan dibandingkan orbital dxy, dxz, dan dyz yang berada di antara sumbu-sumbu x, y, dan z. Dengan demikian orbital d pada kompleks oktahedral mengalami pemecahan (splitting) tingkat energi dimana orbitalorbital eg memiliki tingkat energi yang lebih besar dibandingkan orbital t2g. Orbital-orbital eg berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan elektron yang asimetris dalam orbital eg akan menyebabkan ligan mengalami tolakan yang lebih besar dibandingkan ligan lainnya dan menghasilkan distorsi yang signifikan. Sebaliknya orbital-orbital t2g tidak berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan elektron yang asimetris dalam orbital t2g tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap struktur kompleks, distorsi yang terjadi biasanya sangat lemah sehingga tidak terukur. Dengan demikian, bagian oktahedral spinel merupakan efek Jahn-Teleer aktif sedangkan bagian tetrahedralnya bukan merupakan efek Jahn-Teller aktif.
Mn3+ (d4) O
Mn3+
Gambar 5 Konfigurasi Elektron Mn3+ (d4) dan Distorsi Tetragonal dalam Kompleks Oktahedral Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang parameter kisi c lebih besar dari
FIS - 73
pada a dan b. Sejalan dengan hal tersebut, sumbu z bagian oktahedral dari struktur spinel hetaerolite searah dengan kisi c. Perpanjangan parameter kisi c tentunya diawali oleh perpanjangan sumbu z kompleks oktahedral, sering dikenal distorsi ke luar (z-out). Artinya, kompleks oktahedral dengan atom pusat diisi oleh ion Mn3+ (d4) harus memiliki konfigurasi elektron t2g3 eg1 pada kondisi medan lemah (Gambar 5), bukan t2g4 eg0 yang menyebabkan hadirnya medan kuat. Karena distorsi ke luar kompleks oktahedral hanya dibolehkan pada kondisi medan lemah untuk atom pusat dengan konfigurasi elektron d4, dalam hal ini ion Mn3+. Akhirnya, hasil penelitian ini sekaligus membuktikan kebenaran teorema Jahn-Teller, yaitu “untuk molekul non linear pada keadaan elektrostatis yang degenerat (energinya sama), suatu distorsi harus timbul untuk menghasilkan sistem dengan energi yang lebih rendah”.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Nanomaterial ZnMn2O4 telah berhasil disintesis melalui aplikasi kavitasi akustik suhu rendah (≤ 100 oC). 2. Lama sonikasi 0,5 jam sudah dapat membentuk nanomaterial ZnMn2O4. 3. Ukuran kristal partikel ZnMn2O4 berkisar antara 40 nm dan 47 nm. 4. Berdasarkan hasil uji SEM, nanomaterial ZnMn2O4 mengalami aglomerasi. 6. PUSTAKA Abdullah M. (2008), FMIPA ITB, Bandung.
Pengantar Nanosains,
Barsoum M (2003), Fundamentals of Ceramics, Institute of Physics Publishing Ltd, London. Bessekhaud Y, Robert D and Weber J.V (2005), Photocatalytic activity of Cu2O/TiO2, Bi2O3/TiO2 and ZnMn2O4/TiO2 heterojunctions, Catalis Today, Volume 101, 315-321.
Choi H.C, Shim J.H, and Min B.I (2006), Electronic structures and magnetic properties of spinel ZnMn2O4 under high pressure, Phys. Rev. B 74, 172103. Crowell B (2008), Vibration and Waves. Fullerton, Calivornia. Diantoro, M., Subakti, Nasikhudin (2009), Phase Formation of Nano Sized Material of ZnCo2O4 Using Sonochemie Route for Supercapacitor Cell, International Meeting on Microscopy, BaliIndonesia. Effendi (2007), Perspektif Baru Kimia Koordinasi Jilid 1, Bayumedia Publishing. Malang Jawa Timur-Indonesia. Gedanken A (2004), Using sonochemistry for the fabrication of nanomaterials, Ultrasonics Sonochemistry, Volume 11, 47–55. Malavasi L, Tealdi C, Amboage M, Mozzat M.C, and Flor G (2005), High pressure X-ray Diffraction Study of MgMn2O4 Tetragonal Spinel, Journal, Università di Pavia, Italy. Mason T.J and Lorimer J.P (2002), Applied Sonochemistry; The Uses of Power Ultrasound in Chemistry and Processing, Weinheim, Wiley VCH Verlag GmbH & Co.KgaA. Menaka, Qamar M, Lofland S.E, Ramanujachary K.V, and Ganguli A.K (2009), Magnetic and photocatalytic properties of nanocrystalline ZnMn2O4, Bull. Mater. Sci., Volume 32, 231–237. Peiteado M (2010), Doping of ZnO with Mn or Co: Two different behaviours for the same synthesis approach, Bol. Soc. Esp. Ceram, Volume 49, 53-60. Peiteado M, Caballero A C and Makovec D (2007), Diffusion and reactivity of ZnO MnOx system, J. Solid State Chem. Volume180, 24592464. Peng, Haiyang Wu, and Tom (2009), Nonvolatile resistive switching in spinel ZnMn2O4 and ilmenite ZnMnO3, Applied Physics Letters, Volume 95, 152106-152106-3. Praserthdam P, Silveston P.L, Mekasuwandumrong O, Pavarajarn V, Phungphadung J, and Somrang P (2004), A New Correlation for the Effects of the Crystallite Size and Calcination Temperature on the Single Metal Oxides and Spinel Oxides Nanocrystal, Crystal Growth & Design, Volume 4, No. 1, 39-43. Shoemaker D.P, Rodriguez E.E, and Seshadri R (2009), Intrinsic exchange bias in ZnxMn3-xO4, Cond-mat.matrl-sci, arXiv:0906.3534v2. Sivakumar M, Gedanken A, Zhong W, Jiang Y.H, Du Y.H,Brukental I, Bhattacharya D, Yeshurunc Y,
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 74
and Nowikd I (2004), Sonochemical synthesis of nanocrystalline LaFeO3, Journal of Mater Chemistry, Volume 14, 764-769. Sorita R and Kawano T (1996), Sensor and Actuators, B 274, 35–36. Stojic, B.B, Milivojevic D, and Blanusa J (2009), Ferromagnetic behaviour of the Zn–Mn–O system, Journal of the Serbian Chemical Society, Volume 74 (1), 71–84. Suslick, K. S., Price, G. J (1999), Application of ultrasound to material chemistry, Annu. Rev. Mater. Sci, 295-326. Xiao L, Yang Y, Yin J, Qiao L, and Zhang L (2009), Low temperature synthesis of flower-like ZnMn2O4 superstructures with enhanced electrochemical lithium storage, Journal of Power Sources, Volume 194, 1089-1093. Yang Y, Zhao Y, Xiao L and Zhang L (2008), Nanocrystalline ZnMn2O4 as a novel lithium storage material, Electrochemistry Communications, Volume 10, 1117-1120. Zhang X.D, Wu Z.S, Zang J, Li D and Zhang Z.D (2007), Hydrothermal synthesis and characterization of nanocrystalline Zn–Mn spinel, J. Phys. Chem Solids, Volume 68, 1583-1590.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 75
NORMALISASI PERSAMAAN TDGL SEBAGAI PARAMETER DAN FUNGSI TEMPERATUR Hari Wisodo, Pekik Nurwantoro, Agung Bambang Setio Utomo 1 Jurusan Fisika FMIPA UGM, Yogyakarta, Indonesia 2 Jurusan Fisika FMIPA UM, Malang, Indonesia, Email:
[email protected]
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 76
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 77
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 78
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 79
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 80
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 81
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 82
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 83
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 84
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 85
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 86
PEMBUATAN ALAT TERPADU EKSPERIMEN GETARAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PRAKTIKUM FISIKA DI SMA Herwinarso Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Unika Widya Mandala Surabaya 60114 Telp: (031) 3891265, Fax: (031) 3891267 E-mail:
[email protected]
Abstrak Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang terkait erat dengan pengukuran, karenanya pembelajaran Fisika tidak dapat dipisahkan dari kegiatan praktikum untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika. Berdasarkan pengamatan penulis pada berbagai SMA di Surabaya, kegiatan praktikum umumnya kurang mendapat penekanan atau bahkan tidak dilakukan karena tidak tersedianya alat-alat praktikum yang memadai. Di beberapa SMA, eksperimen-eksperimen yang terkait dengan getaran yang mestinya mudah dilakukan umumnya tidak tersedia, dan jika tersedia umumnya disampaikan secara terpisah. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu membuat alat terpadu eksperimen getaran (percobaan pegas, ayunan tunggal maupun ayunan fisis) sebagai media pembelajaran praktikum fisika di SMA. Berdasarkan uraian tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian untuk membuat alat terpadu eksperimen getaran yang dilengkapi dengan program simulasi eksperimennya berbasis komputer. Uji coba penggunaan alat dilakukan kepada siswa-siswi SMAK Stella Maris Surabaya. Pengujian dilakukan melalui eksperimen Ayunan Fisis dengan menggunakan alat terpadu dan dilanjutkan dengan pengisian angket. Hasil uji coba tersebut menunjukkan bahwa siswa umumnya dapat melakukan eksperimen secara mandiri dengan mengikuti modul petunjuk praktikum. Dari pengisian angket diperoleh 100% menyatakan percobaan menarik karena mereka dengan mudah dapat melakukan percobaan, 93,75% menyatakan media yang telah dibuat mempunyai tampilan yang cukup menarik dan tepat sebagai sarana percobaan, 87,5% menyatakan percobaan dapat meningkatkan pemahaman. Sedangkan untuk eksperimen Getaran Pegas, ujicoba dilakukan ke siswa SMA Kartika Wijaya Surabaya, dan hasilnya cukup bagus tentang alat terpadu tersebut. Dengan demikian, alat terpadu eksperimen getaran untuk siswa di SMA yang telah dibuat dapat dikatakan baik. Melalui alat ini diharapkan siswa akan lebih memahami konsep Fisika dan termotivasi untuk cinta akan Fisika melalui kegiatan eksperimen, baik di laboratorium Fisika. Kata kunci: Media pembelajaran, getaran, pegas, ayunan fisis. 1. PENDAHULUAN
Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang terkait erat dengan pengukuran, karenanya pembelajaran Fisika tidak dapat dipisahkan dari kegiatan praktikum untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika. Berdasarkan pengamatan penulis pada berbagai SMA di Surabaya, kegiatan praktikum umumnya kurang mendapat penekanan atau bahkan tidak dilakukan karena tidak tersedianya alat-alat praktikum yang memadai. Di beberapa SMA, eksperimen-eksperimen yang terkait dengan getaran yang mestinya mudah dilakukan umumnya tidak tersedia, dan jika tersedia umumnya disampaikan secara terpisah. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu membuat alat
SEMNAS MIPA 2010
terpadu eksperimen getaran (percobaan pegas, ayunan tunggal maupun ayunan fisis) sebagai media pembelajaran praktikum fisika di SMA. 2. LANDASAN TEORI
Topik materi getaran pada pelajaran fisika di SMA yang dapat dieksperimenkan adalah tentang getaran pegas dan ayunan tunggal. Namun demikian masih dimungkinkan dapat dilakukan eksperimen untuk ayunan fisis. Materi eksperimen inlilah yang melandasi dibuatnya alat terpadu sederhana untuk eksperimen getaran di SMA. 2.1. Ekperimen Getaran Pegas
FIS - 87
Pada eksperimen getaran dengan menggunakan pegas, diantaranya mempunyai tujuan untuk menentukan konstanta pegas. Untuk menentukan konstanta pegas dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan menggunakan hukum Hooke dan dengan menggunakan sistem getaran. Hukum Hooke menyatakan bahwa perubahan panjang pegas ini sebanding dengan gaya yang diberikan. Secara matematis dapat dituliskan : (1) F k .x F : gaya yang diberikan pada pegas (N). k : konstanta gaya pegas (N/m). x : perubahan panjang pegas (m).
hasil eksperimen Persamaan (2).
dengan
menggunakan
2.2 Ayunan Tunggal Pada Gambar 2, sebuah benda bermassa m digantung pada seutas tali yang panjangnya L’. Jika benda tersebut disimpangkan sebesar sudut dari kedudukan setimbang kemudian dilepas, maka benda akan melakukan getaran selaras sederhana apabila sudut kecil ( 10o). Karena kecil maka s x, maka diperoleh persamaan:
T 2
L g
atau
g
4 2 L T2
(3)
L adalah jarak antara ujung tali dan pusat massa benda.
Gambar 1. Pegas diberi benda pada ujungnya Secara eksperimen gaya F merupakan berat beban dan dapat ditentukan dengan menimbang massa beban (F = m.g) dan pertambahan panjang x dapat diukur dengan menggunakan mistar, dengan demikian konstanta pegas dapat ditentukan melalui Persamaan (1). Untuk pegas yang disusun seri maupun paralel, konstanta pegas penggantinya dapat ditentukan dengan menggunakan eksperimen di atas. Namun demikian, konstanta pegas (tunggal, susunan seri dan paralel) dapat ditentukan melalui massa beban dan periode getaran dengan menggunakan persamaan:
T 2
m k
(2)
T : periode getaran (s). m : massa beban yang bergetar (kg). k : konstanta gaya pegas (N/m). Dengan demikian, konstanta pegas dari hasil eksperimen dengan menggunakan Persamaan (1) dapat dibandingkan dengan
SEMNAS MIPA 2010
Gambar 2. Ayunan Tunggal Secara eksperimen dapat ditentukan percepatan gravitasi bumi dengan mengukur periode getaran T dan jarak antara sumbu ayun terhadap pusat massa bola ayun L. 2.3 Ayunan Fisis Materi tentang ayunan fisis sebenarnya belum termaksud dalam materi fisika di SMA. Namun demikian eksperimennya relatif mudah untuk dilakukan bagi siswa SMA (hampir sama dengan eksperimen ayunan tunggal), dan didalamnya dapat lebih meningkatkan pemahaman siswa SMA tentang cara menentukan titik berat dan momen inersia benda melalui eksperimen. Sebuah benda yang digantungkan pada suatu titik sembarang dapat mengalami gerak selaras sederhana anguler jika pada benda itu bekerja momen gaya pemulih (). Untuk sudut kecil ( 10o), periode gerak
FIS - 88
selaras sederhana anguler dapat dinyatakan persamaan:
T 2π
I m.g.l
(3)
I : momen inersia benda terhadap sumbu ayun. m : massa benda. g : percepatan gravitasi Bumi. l : jarak sumbu ayun ke pusat titik berat benda.
merekomendasikan eksperimen getaran (ayunan tunggal, pegas dan ayunan fisis) secara terpadu dan menarik yang masingmasing dilengkapi dengan CD yang merisi simulasi eksperimennya, sehingga siswa SMA dapat melakukan eksperimen dengan mudah dan menyenangkan. 3. DISAIN ALAT TERPADU EKSPERIMEN GETARAN Berdasarkan uraian materi eksperimen di atas, telah di desain alat yang akan digunakan untuk kegiatan eksperimen ayunan tunggal, pegas dan ayunan fisis, seperti pada Gambar 5.
Gambar 3. Ayunan Fisis Dengan menghitung periode, massa benda dan mengukur jarak sumbu ayun ke pusat titik berat, dapat ditentukan momen inersia untuk benda sebarang melalui ayunan fisis. Letak titik berat suatu benda dapat dilakukan melalui eksperimen, yaitu dengan menggantungkan benda melalui tepi benda tersebut, minimum 2 tempat.
Gambar 5. Disain alat eksperimen Getaran 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan dari penelitian, telah dihasilkan seperangkat alat terpadu sederhana untuk eksperimen getaran pada pegas, ayunan tunggal dan ayunan fisis untuk siswa di SMA, seperti pada Gambar 6.
(a) (b) Gambar 4. Menentukan titik berat Dimisalkan sebuah banda berbentuk segi tiga yang akan ditentukan letak titik beratnya. Mula-mula benda di gantungkan pada titik A, lalu digambarkan tali yang tergantung vertikal ke bawah (Gambar 4a), lalu pada titik B benda digantungkan dan digambarkan tali yang tergantung vertikal ke bawah. Perpotongan garis tersebut merupakan letak titik berat benda (Gambar 4b). Berdasarkan uraian singkat diatas, telah dirancang suatu alat yang dapat SEMNAS MIPA 2010
Gambar 6. Sperangkat alat eksperimen getaran
FIS - 89
Untuk uji coba alat terpadu ini, dipilih percobaan ayunan fisi dan percobaan getaran pegas, karena percobaan ini memiliki taraf kesulitan cukup besar dibandingkan percobaan ayunan tunggal. Hal ini dapat dilihat dari cara melakukan percobaan. Ujicoba penggunaan alat untuk percobaan ayunan fisis dilakukan kepada siswa-siswi SMAK Stella Maris Surabaya. Cara pengujian dilakukan dengan menggunakan angket dengan melakukan salah satu percobaan getaran ayunan fisis. Data yang diperoleh dirangkum , kemudian diolah menjadi bentuk persentase (%) dan dirangkum menjadi dua kolom pilihan (SS + S dan TS + STS). Data yang diperoleh dari angket dirangkum, kemudian diolah menjadi bentuk persentase (%) dan dirangkum menjadi dua kolom pilihan (SS + S dan TS + STS). Tabel 1. Data Angket dari 16 Siswa dalam persen setelah dirangkum menjadi dua kolom pilihan (SS+S dan TS+STS) No
Pernyataan
Tidak ada kesulitan 1 melakukan percobaan Mengasyikkan 2 dengan adanya percobaan Mudah memahami 3 petunjuk percobaan Nilai momen inersia benda lebih 4 mudah diperoleh melalui percobaan Materi fisika lebih 5 mudah diingat melalui percobaan Tampilan alat 6 cukup menarik Menarik karena dapat dengan 7 mudah melakukan percobaan Dapat melakukan 8 percobaan sendiri Tepat sebagai 9 sarana percobaan Percobaan ini 10 menambah kebingungan
SS
Pilihan (%) S TS
6,25
93,75
-
-
75
25
-
-
6,25
81,25
12,5
-
6,25
56,25
37,5
-
25
62,5
12,5
-
12,5
81,25
6,25
-
12,5
87,5
-
-
6,25
50
31,2 5
12,5
12,5
81,25
6,25
-
-
18,75
68,7 5
12,5
STS
Berdasarkan data yang diperoleh dari siswa SMAK Stella Maris Surabaya, 100% menyatakan percobaan menarik karena SEMNAS MIPA 2010
dapat dengan mudah dapat melakukan percobaan Butir 7), 93,75% menyatakan media yang telah dibuat mempunyai tampilan yang cukup menarik dan tepat sebagai sarana percobaan (butir 6). 87,5% menyatakan percobaan dapat mempercepat pemahaman materi fisika (butir 5). Dari tabel pilihan sangat setuju (SS) atau setuju (S) pada pernyataan no.1-9 berjumlah 125, sedangkan pada pernyataan no.10 yang memilih sangat setuju (SS) atau setuju (S) berjumlah 3. Pilihan tidak setuju (TS) atau sangat tidak setuju (STS) pada pernyataan no.1-9 berjumlah 19, sedangkan pada pernyataan no.10 berjumlah 13. Secara matematis dituliskan : Untuk pernyataan no.1-9: SS + S = 125 TS + STS = 19 Untuk pernyataan no.10: SS + S = 3 TS + STS = 13 + Jumlah
= 160
Yang mengidentifikasikan media ini baik atau tidak adalah peserta quisoner memilih SS atau S pada pernyataan no.1-9 dan memilih TS atau STS pada no.10 dalam angket. Dari data yang diperoleh presentase yang mengidentifikasikan program baik = ((125+13)/160) 100% = 86,25%. Dengan demikian, media yang telah dibuat untuk melakukan ekeperimen getaran melalui percobaan ayunan fisis di SMA dapat dikatakan baik. Hal yang sama juga telah dilakukan untuk percobaan pegas di SMA Kartika Wijaya Surabaya dengan jumlah siswa 33, dimana 96,97% menyatakan percobaan menarik karena dapat dengan mudah dapat melakukan percobaan Butir 7), 87,88% menyatakan media yang telah dibuat mempunyai tampilan yang cukup menarik dan tepat sebagai sarana percobaan (butir 6)., dan 87,88% menyatakan percobaan dapat mempercepat pemahaman materi fisika (butir 5). Yang menyatakan media pembelajaran ini baik atau tidak adalah peserta kuesioner berdasarkan angket yang memilih SS atau S pada pernyataan no. 1 – 9 dan yang memilih TS atau STS pada no. 10. Dari data yang diperoleh presentase yang menyatakan program baik = {(277 + FIS - 90
3)/330}x 100% = 84,84%. Dengan demikian media pembelajaran fisika untuk menentukan konstanta pegas pokok bahasan getaran di SMA yang telah dibuat dapat dikatakan baik.
Soedarjana, 1982. Fisika Untuk Universitas I. Mekanika, Panas dan Bunyi. Bandung: Binacipta. Umar, Efrizon. 2005. Fisika dan Kecakapan Hidup. Jakarta: Ganeca Exact.
4. KESIMPULAN Alat terpadu eksperimen getaran sebagai media pembelajaran praktikum fisika di SMA telah dibuat dan diujicobakan. Dari hasil ujicoba secara umum mengatakan bahwa alat ini dapat diterima dengan baik oleh siswa SMA. Melalui alat ini diharapkan siswa akan lebih memahami konsep Fisika dan termotivasi untuk cinta akan Fisika melalui kegiatan eksperimen di laboratorium Fisika. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti menyampaikan terima kasih kepada I-MHERE UKWMS yang telah membiayai penelitian ini melalui kegiatan Research grant di Program Studi Pendidikan Fisika. 5. PUSTAKA Cahyani. 2005. Pengukuran Momen Kelembaman Sistem Dua Batang Secara Dinamika dan Secara Statika. Skripsi. Foster, Bob. 2000. Fisika SMU Kelas 1B. Jakarta: Erlangga. Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika (jilid 1) edisi kelima. Alih Bahasa Yuhliza Hanum. Jakarta: Erlangga. Halliday, David & Resnick, Robert.1985. Fisika (jilid 1). Jakarta: Erlangga. Hamalik, Oemar. 1985. Media Pendidikan. Bandung: Penerbit Alumni. Herwinarso. 2010. Pembuatan simulasi eksperimen getaran berbasis komputer sebagai media pembelajaran praktikum fisika di SMA. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA. Uness Semarang Kanginan, Marthen. 1999. SeribuPena Fisika SMU Kelas 3 (jilild 3). Jakarta: Erlangga. Laboratorium Fisika, 2004. Petunjuk Praktikum Fisika Dasar I. Unika Widya Mandala, Surabaya. Paul A. Tipler, 1998. Physics for Scientists and Engineer, Terjemahan : Lea Prasetio & Rahmad, Erlangga, Jakarta.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 91
PENERAPAN TEKNIK DIGITAL PADA PROSES PENILAIAN KEMAMPUAN PSIKOMOTORIK PESERTA DIDIK YANG SEDANG MELAKUKAN KEGIATAN PRAKTIKUM BERBASIS MIKROPROSESOR Heriyanto Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No 5 Malang, 65141 Telp : (0341) 587966, Fax : (0341) 566936 E-mail :
[email protected])
Abstract Kurikulum berbasis Kompetensi menyatakan bahwa penilaian tidak hanya pada hasil belajar tetapi juga harus dilaksanakan pada proses kegiatan belajar, termasuk kegiatan praktikum. Penilaian Kegiatan praktikum sangat cocok dilakukan dengan cara pengamatan. Akan tetapi penilaian dengan cara pengamatan relatif sulit. Kesulitan itu antara lain pengamat harus menghafal indikator yang ingin diketahui. Pengamat harus dengan jelas mengamati tiap-tiap peserta didik. Kesulitan ini bertambah karena tugas ganda yaitu selain mengamati juga harus melakukan pembimbingan. Kesulitan ini bisa dikurangai jika dalam proses pengamatan tersebut digunakan teknik tertentu yang dalam makalah ini diperkenalkan dengan nama teknik digital. Telah dikembangkan alat penilaian yang menggunakan teknik digital. Alat ini diuji-cobakan untuk menilai kegiatan praktikum Elektronika Dasar I. Indikator belajar yang digunakan telah diubah menjadi butir butir pertanyaan elementer. Butir-butir pertanyaan elementer ini telah dimasukan pada alat berbasis mikroprosesor. Begitu juga nama peserta didik juga telah dimasukan ke dalam memori mikroprosesor. Jumlah soal elementer yang telah dimuat adalah 120 butir. Jumlah peserta didik yang telah dimuat adalah sebanyak 27 peserta. Dengan menekan tombol 1 atau 3 maka nama perserta didik bisa berganti. Sedangkan tombol 4 atau 6 digunakan untuk mengganti butir soal. Tombol 7 digunakan untuk menjawab "Tidak". Tombol 8 digunakan untuk menjawab "Ya". Selesai kegiatan pengamatan skor sudah dapat dilihat. Dengan alat penilaian yang menggunakan konsep Digital ini maka kegiatan penilaian menjadi lebih mudah dilaksanakan. Keywords: penilaian, digital 1.pPENDAHULUAN
Kurikulum berbasis kompetensi menya-takan bahwa penilaian tidak hanya pada hasil belajar tetapi juga harus dilaksanakan pada proses kegiatan belajar. Hal ini termasuk kegiatan belajar dalam bentuk kegiatan praktikum. Penilaian kegiatan praktikum sangat cocok dilakukan dengan cara pengamatan. Akan tetapi penilaian dengan cara pengamatan relatif sulit. Kesulitan itu antara lain pengamat harus menghafal indikator yang ingin diketahui. Pengamat harus dengan jelas mengamati tiap-tiap peserta didik. Kesulitan ini bertam-bah karena tugas ganda, yaitu selain meng-amati juga harus melakukan pembimbingan.
SEMNAS MIPA 2010
Kesulitan ini bisa dikurangai jika dalam proses pengamatan tersebut digunakan teknik tertentu yang dalam makalah ini diperkenalkan dengan nama teknik digital. Ada dua penerapan teknik digital dalam penilaian model ini; yaitu pertama penerapan teknik digital pada saat penyusunan soal, kedua penerapan digital pada alat / perangkat keras. Soal-soal penilaian dikembangkan dari kisi-kisi yang telah ditentukan. Selanjutnya soal-soal tersebut harus diubah sedemikian rupa sehingga jawaban dari soalsoal tersebut hanya ada du pilihan. Soal yang sudah memiliki jawaban dua status ini selanjutnya dalam tulisan ini disebut soal elementer. Contoh jawaban dari soal elementer antara lain; “ya” atau “tidak”, “sudah” atau “belum”, “benar” atau “salah”, FIS - 92
“ada” atau “tidak ada”. Jawaban dari soalsoal elementer yang telah diperoleh selanjutnya diproses secara digital, misalnya menggunakan gerbang “OR” atau “AND” atau kombinasinya. Jawaban soal elementer ini bisa diproses secara digital jika alat pemrosesnya juga berbasis digital. Salah satu alat yang paling sederhana yang mampu memproses secara digital adalah mikroprosesor. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana rangkaian mikroprosesor yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian secara digital. Bagaimana pula perangkat lunak yang harus diisikan kedalam mikroprosesor tersebut. 2. PENILAIAN Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. [akhmadsudrajat] Hasil penilaian dapat memberikan gambaran sejauh mana pencapaian hasil belajar mengajar, memberi masukan dalam meningkatkan kemampuan peserta didik secara optimal. Hasil penilaian juga merupakan bahan perbaikan pada proses pembelajaran (Depdiknas 2004). Penilaian hasil belajar dapat mencerminkan tingkat kualitas dari keseluruhan proses kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Penilaian juga dapat memberi informasi untuk bahan masukan dalam rangka pembinaan dan mutu pendidikan serta sebagai dasar dalam pembuatan keptutsankeputusan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan Berdasarkan taksonomi Bloom, aspek belajar yang harus diukur keberhasilannya adalah aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Penilaian harus bersifat menyeluruh meliputi ketiga aspek tersebut. Hasil belajar harus menggambarkan proses dan hasil pembelajaran (Subiyanto, 1988:43) Penilaian yang berkaitan dengan aspek psikomotorik adalah penilaian terhadap penampilan (performance) peserta didik. Seperti jenis penilaian yang lain,
SEMNAS MIPA 2010
hakekat penilaian penampilan, terutama ditentukan oleh karakteristik hasil belajar yang akan diukur. Hal ini harus mengacu pada prosedur melakukan suatu kegiatan yang telah ditentukan kreterianya. Penampilan atau ketrampilan dapat diukur dari tingat kemahiran, ketepatan waktu penyelesaian dan atau kualitas produk yang dihasilkan. Penilaian aspek psikomotorik merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan susatu. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapain kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas/ tindakan tertentu. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik dari pada tes tertulis. Apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Kesulitan yang timbul pada saat melakukan penilaian pengamatan adalah pengamat harus menghafal indikator yang ingin diketahui. Pengamat harus dengan jelas mengamati tiap-tiap peserta didik. Kesulitan ini bertambah karena tugas ganda yaitu selain mengamati juga harus melakukan pembimbingan 3. DIGITAL Digital adalah suatu sistem yang mendasarkan pada bilangan biner, yaitu nol dan satu. Segala proses, baik proses logika maupun proses aritmatika, bisa bekerja jika semua masukan sudah dalam bentuk biner (nol dan satu). Segala persoalan yang akan diselesaikan dengan teknik digital harus diubah dalam bentuk bilangan biner. Setelah diubah kedalam bentuk biner maka proses logika maupun aritmatika dapat dijalankan. Oleh kerena itu soal soal penilaian yang memiliki lebih dari dua jawaban tidak dapat diproses secara digital. Agar soal soal penilaian psikomotorik dapat diproses dengan teknik digital, maka soal soal tersebut harus diubah sedemikian rupa sehingga soal tersebut hanya memiliki dua jawaban. Contoh sebuah indikator pembelajaran berbunyi “ Peserta didik dapat mengukur tegangan menggunakan voltmeter”. Perta-nyaan yang dapat digunakan untuk menge-tahui ketercapaian inidkator ini adalah “Berapa tegangan dari
FIS - 93
generator Audio di depan anda?”. Pertanyaan ini tidak dapat diproses secara digital karena pertanyaan ini memiliki jawaban lebih dari dua. Indikator tersebut harus dirubah menjadi beberapa pertanyaan elementer, antara lain; (1) apakah peserta didik dapat memasang colok pada voltmeter? (2) apakah peserta didik dapat mengaktifkan (menghidupkan) voltmeter? (3) apakah peserta didik dapat mengarahkan selector voltmeter sesuai dengan tagangan yang mau diukur? (4) apakah peserta didik menghubungkan colok-colok voltmeter pada dua titik yang diukur tegangannya? (5) apakah peserta didik dapat membaca nilai tegangan yang ditunjukkan oleh voltmeter? Setelah soal sudah diubah dalam bentuk soal elementer yang hanya memiliki dua jawaban, selanjutnya jawaban-jawaban tersebut bisa diproses dengan teknik digital. Dalam teknik digital dikenal tujuh gerbang dasar. Tujuh gerbang dasar tersebut adalah gerbang NOT, OR, AND, NOR, NAND, EXOR dan EXNOR. Sifat gerbanggerbang tersebut dapat dipahami melalui tabel kebenaran untuk masing-masing gerbang seperti terlihat pada tabel nomor 1 sampai tabel nomor 7 berikut. Tabel 1. No 1 2
Tabel Kebenaran Gerbang NOT A Y 0 1 1 0
Tabel 2. Tabel Kebenaran Gerbang OR No A B Y 1 0 0 0 2 0 1 1 3 1 0 1 4 1 1 1 Tabel 3. No 1 2 3 4
Tabel Kebenaran Gerbang AND A B Y 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1
Tabel 4. No 1 2 3 4
Tabel 5. No 1 2 3 4 Tabel 6. No 1 2 3 4 Tabel 7. No 1 2 3 4
Tabel Kebenaran Gerbang NOR A B Y 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0
Tabel Kebenaran Gerbang NAND A B Y 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 Tabel Kebenaran Gerbang EXOR A B Y 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 Tabel Kebenaran Gerbang EXNOR A B Y 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0
Masing masing gerbang disimbulkan seperti terlihat pada gambar 1 sampai dengan gambar 7 berikut.
Gambar 1. Simbul Gerbang NOT
Gambar 2. Simbul Gerbang OR
Gambar 3. Simbul Gerbang AND
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 94
Gambar 4. Simbul Gerbang NOR
Gambar 5. Simbul Gerbang NAND
Gambar 6. Simbul Gerbang EXOR
Gambar 7. Simbul Gerbang EXNOR
Contoh indikator yang telah disebut-kan memiliki lima soal elementer. Dalam hal ini kelima jawaban memiliki hubungan logika AND. Artinya seorang peserta didik dikatakan dapat mengukur tegangan menggunakan voltmeter jika ke-lima jawaban soal elementer dijawab dengan nilai logika satu. Tidak mungkin peserta didik dikatakan dapat mengukur tegangan jika dia tidak menghubungkan colok volt-meter. Tidak mungkin peserta didik dikata-kan dapat mengukur tegangan jika dia tidak dapat mengaktifkan voltmeter. Tidak mungkin peserta didik dikatakan dapat mengukur tegangan jika dia tidak dapat mengarahkan selektor voltmeter. Tidak mungkin peserta didik dikatakan dapat mengukur tegangan jika dia tidak dapat membaca nilai tegangan yang ditunjukkkan oleh voltmeter. Kelima jawaban harus bernilai satu baru dapat dikatakan bahwa peserta didik dapat mengukur tegangan menggunakan voltmeter. Maka hubungan jawaban lima soal elementer tersebut adalah hubungan logika AND. Bisa jadi hubungan antar jawaban soal elementer itu berupa hubungan OR. Artinya SEMNAS MIPA 2010
jika salah satu jawaban bernilai satu maka jawaban yang lain tidak diperhatikan. Suatu contoh dalam suatu pembelajaran siswa diharapkan mengenal bentuk-bentuk sumber energi. Kemudian soal dirumuskan sebagai berikut:”Sebutkan satu bentuk sumber energi”. Soal ini harus dirubah menjadi beberapa soal elementer sebagai berikut: (1) Apakan air merupakan sumber energi? (2) apakah matahari merupakan sumber energi? (3) apakan api merupakan sumber energi? Jika salah satu jawaban dari soal elementer tersebut bernilai satu maka berarti siswa sudah menyebutkan satu bentuk sumber energi. Gerbang dasar yang lain juga terkadang perlu digunakan untuk mengaitkan antar jawaban dari soal elementer. Bahkan tidak jarang gerbang dasar tersebut perlu dikombinasikan. Jawaban-jawaban dari soal soal elementer ini bisa diolah dengan teknik digital. Pengolahan jawaban ini dapat menggunakan alat yang barbasis digital pula. Salah satu alat paling sederhana berbasis digital yang yang mampu mengolah jawaban soal elementer adalah mikroprosesor. 4. MIKROPROSESOR Jenis mikroprosesor yang digunakan dalam hal ini adalah ATMega16. Mikroprosesor ini memiliki memori program sebesar 16 kilobyte, 512 byte memori eeprom, dan 1 kilobyte memori SRAM [atmel] Dengan jumlah memori sebesar itu maka mikroprosesor ini dapat menyimpan nama peserta didik sebanyak 30 nama. Bila diasumsikan panjang nama maksimum 16 huruf maka jumlah memori yang dibutuhkan adalah 16 kali 30 yang nilainya sama dengan 480 byte. Bila diasumsikan panjang pertanyaan tiap soal elementer adalah 40 huruf, dan jumlah soal elementer adalah 120 item, maka memori yang dibutuhkan adalah 40 kali 120 yang besarnya sama dengan 4.800 byte. Total memori yang dibutuhkan untuk menyimpan semua nama dan semua butir soal elementer adalah 5.280 byte atau setara dengan 5 kilo byte. Semua nama peserta didik dan semua butir soal elementer disimpan pada memori program yang besarnya 16 kilobyte.
FIS - 95
Sedangkan jawaban tiap peserta didik terhadap setiap butir soal elementer membutuhkan memori sebesar 30 siswa kali 120 butir soal yang nilainya sebesar 450 byte. Angka 450 diperoleh dari perkalian jumlah siswa dengan jumlah butir soal dibagi delapan, karena jawaban disimpan dalam satu bit. Jawaban disimpan dalam memori eeprom yang besarnya 512 byte. Mikroprosesor Atmega 16 memiliki 32 jalur masukan/luaran. Tujuh jalur digunakan untuk membaca keypad dan 12 jalur digunakan untuk mengendalikan LCD. 4.1. KEYPAD Keypad berfungsi untuk masukan perin-tah. Tombol 1 dan tombol 3 digunakan untuk mengganti nama peserta didik yang diamati. Tombol 1 ke nama sebelumnya, tombol 3 ke nama berikutnya. Tombol 4 dan tombol 6 digunakan untuk mengganti butir soal elementer yang ditampilkan. Tombol 4 ke soal sebelumnya, tombol 6 ke soal berikutnya. Tombol 7 dan tombol 8 digunakan untuk memberikan penilaian. Tombol 7 untuk memberikan jawaban “tidak”, tombol 8 untuk memberikan jawaban “ya”. Tentu saja penekanan tombol 7 dan tombol 8 harus berdasarkan kondisi pengamatan. Tombol 9 untuk mengakhiri penggunaan alat penilai digital ini. Reaksi penekanan tombol harus dapat ditampilkan dalam sebual layar. Dengan demikian pengguna alat ini mengetahui bahwa alat bekerja dengan baik.
Gambar 8. Bagan Alur Program 5.2. Bagan Alur Program Urutan program yang dilakukan oleh mikroprosesor adalah sebagai berikut. (1) Menampilkan tulisan identitas. (2) Menampilkan nomor peserta, nama peserta didik, nomor soal, soal elementer, skor yang dicapai. (3) mendeteksi penekanan tombol. Jika yang ditekan tombol 1 maka mikroprosesor akan mengganti nama peserta didik sebelumnya. Jika tombol 3 ditekan maka mikroprosesor akan mengganti nama peserta didik berikutnya. Jika tombol 4 ditekan maka mikroprosesor akan mengganti soal sebelumnya. Jika tombol 6 ditekan maka mikroprosesor akan mengganti soal selanjutnya. Jika tombol 7 ditekan maka berarti pengamat menjawab tidak. Jika tombol delapan ditekan berarti pengamat menjawab ya. Jika tombol 9 ditekan maka mikro akan menyimpan semua skor. Semua urutan program ini dapat dilihat pada bagan alur gambar 9.
4.2. LCD Kali ini digunakan layar kristal cair (LCD) yang mampu menampilkan huruf sebanyak 8 baris. Masing masing baris mampu menampilkan 40 huruf. Pada layar LCD ini akan ditampilkan informasi tentang nama peserta didik, soal elementer dan skor pengamatan. 5. RANCANGAN 5.1. Rancangan Perangkat keras Komponen utama dalam rancangan perangkat keras ini adalah (1) mikroprosesor, (2) keypad (3) Layar LCD. Masing masing komponen ini dirangkai seperti terlihat pada gambar 8.
SEMNAS MIPA 2010
Gambar 9. Bagan Alur Program
FIS - 96
6. PENUTUP Telah dibuat perangkat penilaian yang telah menggunakan teknik digital, baik dalam penyusunan soal maupun aplikasinya dalam perangkat keras. Alat penilaian digital ini mampu menyimpan 30 nama peserta didik dan mampu menyimpan 120 soal elementer. Alat penilaian digital ini juga mampu menyimpan jawaban tiap anak tiap butir soal elementer. 7. DAFTAR PUSTAKA Akhmad Sudrajat, 2008. Konsep Penilaian Hasil Belajar Siswa (dimuat 1 Mei 2008) dalam web site http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/ 05/01/penilaian-hasil-belajar/ (di-akses 20 Januari 2009) Atmel.,2005. AVR Solutions ,Data sheet ATMega 16. Dari web site http://www.atmel.com/dyn/products/datasheets.a sp?family_id=607 (di-akses 16 Maret 2009) Pusat Kurikulim.,2006. Model Penilaian Kelas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Subiyanto., 1988. Evaluasi Pendidikan IPA, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 97
MENGEMBANGKAN TEKNIK MENGGAMBAR OBYEK KERJA DALAM REKAYASA ANIMASI SAINS DENGAN BANTUAN VIDEO Oleh: H. Winarto Jurusan Fisika FMIPA UM
Abstrak Penggunaan komputer dalam pembelajaran sains pada umumnya, belum optimal. Padahal teknologi komputer sudah berkembang sangat pesat, tidak saja perangkat keras (hardware), tetapi`perkembangan perangkat lunak (software) di berbagai bidang banyak memberikan pelu-ang terobosan baru dalam inovasi pembelajaran sains. Hal ini terutama sekali disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam menguasai dan mengoperasikan komputer, serta fasilitas pendukung yang masih minim. Berbagai teknik penguasaan pengoperasian komputer dikembangkan terutama melalui mata kuliah Pembelajaran Berbantuan Komputer (FIB 446) di Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UM, dengan harapan para mahasiswa calon guru dapat mudah dan senang menggunakan komputer bila mengajar nantinya. Mata kuliah ini memberikan dasar-dasar teknik pembuatan media pembelajaran berbantuan komputer, dengan target dapat memproduksi media pembelajaran fisika sekolah berbasis animasi. Salah satu kendala dalam perkuliahan ini adalah mahasiswa merasa sulit untuk menggambar obyek kerja secara tepat/akurat. Padahal untuk membuat animasi yang baik diperlukan gambar obyek kerja yang semirip mungkin dengan bentuk obyek aslinya. Dengan demikian diharapkan animasi tersebut dapat menjelaskan secara detil dan rinci peristiwa yang terjadi pada suatu gejala alam, bahkan hal-hal yang tidak kasat mata, dari kajian teoritis dapat dimunculkan dalam animasi ini. Langkah pertama yang pernah dilakukan adalah dengan menghadirkan obyek kerja di depan kelas, kemudian mahasiswa membuat sketsanya dari berbagai posisi dan sudut pandang. Pada langkah ini akan muncul satu kendala tersendiri, manakala obyek kerjanya berukuran kecil. Untuk mengatasi masalah pada langkah pertama, dilakukan langkah kedua, yaitu dengan menghadirkan alat bantu berupa set perangkat video kamera yang dapat memvisualisasikan gambar obyek kerja secara refresentatif. Perangkat ini dilengkapi dengan LCD proyektor yang dapat menayangkan gambar video ke layar lebar di depan kelas. Dengan cara ini setiap mahasiswa dapat menggambar obyek kerja dengan orientasi pandang sama dengan orientasi pandang kamera secara tepat dan akurat. Sebagai topik uji coba, langkah pertama dicobakan pada topik Hukum Archimedes, dan langkah kedua dilaksanakan pada topiK Hukum Faraday dan Hukum Lenz. Kedua topik ini di-anggap mempunyai tingkat kesulitan yang sama dalam menggambar obyek kerjanya. Uji coba dilakukan pada Semester Genap 2010, mahasiswa angkatan tahun 2007 sebanyak 2 offering, dengan jumlah mahasiswa 52 orang. Hasil pada langkah pertama: 6 orang (11,5%) menggambar sangat baik, 21 orang (40,4%) menggambar dengan baik dan 25 orang (48,1%) menggambar kurang baik. Sedangkan pada langkah kedua diperoleh hasil: 32 orang (61,5%) menggambar sangat baik, 18 orang (34,6%) menggambar baik, dan 2 orang (3,9%) menggambar kurang baik. Disimpulkan bahwa keberadaan set video kamera sangat membantu mahasiswa dalam menggambar obyek kerja secara cermat dan akurat, untuk selanjutnya dipergunakan dalam rekayasa proyek animasinya. Teknik pembuatan animasi dan detil obyek kerjanya dibahas secara rinci menggu-nakan program aplikasi SWiSHmax. Kata kunci: Obyek kerja, video kamera, SWiSHmax.
A. PENDAHULUAN Memasuki era globalisasi dan era komunikasi saat ini, perkembangan ilmu penge-tahuan dan teknologi menjadi semakin pesat. Fenomena tersebut mengakibatkan adanya dinamika dan persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya dalam bidang pendidikan.
SEMNAS MIPA 2010
Pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses komunikasi dan informasi dari pendidik kepada peserta didik yang melibatkan berbagai unsur: pendidik sebagai sumber informasi, media sebagai sarana penyampaian ide dan materi pembelajaran, serta siswa sebagai penerima informasi. Ketercapaian program pendidikan dalam meningkatkan sum-ber
FIS - 98
daya manusia (SDM) sangat bergantung ketiga unsur di atas. Proses pengajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang dite-tapkan, menyangkut perubahan tingkah laku baik intelektual, moral, maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu dan mahluk social. Ilmu fisika merupakan suatu ilmu yang bersifat empiris, dimana pernyataanpernya-taan fisika harus didukung oleh hasil eksperimen. Hasil eksperimen juga digunakan untuk eksplorasi informasi yang diperlukan untuk membantu teori lebih lanjut (Sutrisno:1993). Pada dasarnya fisika merupakan abstraksi terhadap berbagai sifat alam dalam wujud kon-sep-konsep yang merupakan hamparan realita. Kekhususan fisika dibandingkan dengan ilmu lain adalah sifatnya yang kuantitatif yaitu penggunaan konsep-konsep dan hubungan antar konsep yang banyak menggunakan perhitungan matematis. Untuk itu diperlukan stra-tegi terpadu yang melibatkan metode dan media pembelajaran yang efektif agar konsep- konsep fisika dapat dipahami secara utuh beserta prosesnya. Perkembangan kurikulum nasional hingga saat ini cukup menggembirakan. Hal itu ditandai dengan dicapainya kesepakatan tentang standar kompetensi yang merupakan target kecakapan hidup (life skill) yang hendak dicapai dalam setiap proses pembelajaran. Kurikulum 2004 Bidang Studi Sains memberikan penekanan pada pentingnya penguasaan proses sains di samping pemahaman konsep sains dan penerapannya (DEPDIKNAS, 2003). Salah satu cara untuk memenuhi tuntutan di atas adalah dengan menghadirkan media pembelajaran yang memadai di dalam kelas sehingga tercipta proses pembelajaran yang kondusif, aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Alat-alat laboratorium mutlak diperlukan sebagai media dalam pembelajaran sains, namun terkadang tidak dapat mengungkap kondisi yang lebih detil dari suatu peristiwa alam. Sebagai contoh; pada peristiwa konduksi kalor, alat-alat SEMNAS MIPA 2010
laboratorium hanya dapat menunjukkan dan mengukur gejala fisis yang diakibatkan oleh peristiwa konduksi tersebut. Sementara proses sesungguhnya tentang getarangetaran molekul yang merambat dan mengakibatkan peristiwa konduksi tersebut tidak dapat ditunjukkan. Untuk itu dibutuhkan program komputer yang dapat menggambarkan proses di atas secara animatif bahkan dengan gerak lambat (slow motion) agar mudah dicermati dan dipahami. Media pembelajaran yang berkompeten untuk pelajaran merupakan media yang mampu menjelaskan keabstrakan suatu konsep dan dapat diterapkan sesuai dengan per-kembangan teknologi. Jika media yang digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran dapat mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa, maka media itu harus dipi-lih dan digunakan karena media itu berpotensi untuk mempermudah belajar. Melalui media pembelajaran berbantuan komputer dapat menjelaskan konsep-konsep rumit menjadi lebih kongkret dengan visualisasi statis maupun visualisasi dinamis (ani-masi/simulasi). Keberadaan gambar dan animasi dapat memperjelas uraian konsep, mem-buatnya lebih menarik sehingga pemahaman konsep lebih mudah untuk diterapkan dalam penguasaan proses sebagai bagian dari life skill. Berpijak dari pengalaman mengampu mata kuliah Pembelajaran Berbantuan Kom-puter (FIB 446) di Jurusan Fisika FMIPA UM, terdapat kendala yang menghambat proses rekayasa animasi peristiwa sains ke dalam komputer, yaitu mahasiswa kurang trampil da-lam menggambar obyek kerja sebagai unsur animasi. Dalam animasi sains diperlukan gam-bar obyek kerja yang semirip mungkin dengan bentuk aslinya sehingga dapat menggambar-kan peristiwa dengan jelas dan detil. Langkah pertama yang pernah dilakukan adalah dengan menghadirkan benda kerja aslinya di depan kelas, kemudian mahasiswa membuat sket-sanya dari berbagai posisi dan sudut pandang. Pada langkah ini akan muncul satu kendala tersendiri, manakala obyek kerjanya berukuran kecil. Untuk mengatasi masalah pada lang-kah pertama, dilakukan langkah FIS - 99
kedua, yaitu dengan menghadirkan alat bantu berupa set perangkat video kamera yang dapat memvisualisasikan gambar obyek kerja secara repre-sentatif. Perangkat ini dilengkapi dengan LCD proyektor yang dapat menayangkan gambar video ke layar lebar di depan kelas. Dengan cara ini setiap mahasiswa dapat menggambar obyek kerja dengan orientasi pandang sama dengan orientasi pandang kamera secara tepat dan akurat. B. MEDIA PEMBELAJARAN BERBANTUAN KOMPUTER Dalam sistem Pembelajaran Berbantuan Komputer, pemanfaatan komputer sebagai tool (alat bantu) dan tutor (pengajar). Sebagai tool, komputer dapat merekam/ menyimpan data untuk selanjutnya diapresiasikan sesuai dengan program yang telah dirancang. Hasilnya dapat dinformasikan dalam bentuk informasi kata, angka, maupun grafis. Sebagai tutor untuk suatu subyek, komputer harus diprogram. Siswa belajar dengan bantuan komputer atau bahkan diajar oleh komputer dengan menjalankan program yang telah dirancang sebelum-nya. Pemakaian komputer dalam kegiatan pembelajaran mempunyai beberapa tujuan, antara lain: (a) tujuan kognitif, (b) tujuan psikomotor, dan (c) tujuan afektif. Pemakaian komputer untuk tujuan kognitif artinya komputer dapat mengajarkan konsep-konsep, aturan, prinsip, algoritma, proses, dan kalkulasi yang kompleks. Komputer juga dapat menjelaskan konsep yang sederhana dengan menggabung visual dan audio yang dianimasikan sehingga cocok untuk kegiatan pembelajaran mandiri. Pemakaian komputer untuk tujuan psikomotor melalui pembelajaran yang dikemas dalam bentuk games dan simulasi sangat bagus diguna-kan untuk menciptakan kondisi dunia kerja. Sedangkan penggunaan komputer untuk tujuan afektif, bila program didesain secara tepat dengan memberikan potongan klip suara atau video yang isinya menggugah perasaan, pembelajaran sikap/afektif (Arsyad, 2002). Lebih lanjut dikemukakan keuntungan menggunakan komputer pada proses pembe-lajaran, antara lain: (a) pembelajaran
SEMNAS MIPA 2010
dengan komputer merupakan sesuatu yang dipandang siswa sebagai hal baru sehingga memotivasi siswa untuk mewujudkan rasa ingin tahu dengan mencoba mengkaji materi pembelajaran, (b) kemampuan memori memungkinkan penampilan siswa yang telah lampau direkam dan dipakai dalam merencanakan langkah-langkah selanjut-nya, (c) warna, musik, dan grafik yang divisualkan memberikan nilai tambah terhadap realis-me konsep sehingga siswa lebih cepat memberi respon, (d) belajar dengan komputer membe-rikan motivasi kuat terhadap pencapaian pengalaman belajar, karena bentuk penyajian materi pembelajaran seperti ini membutuhkan konsentrasi, koordinasi antara tangan otak dan mata. (e) daya rekam komputer memungkinkan pengajaran individual dapat dilak-sanakan, pemberi-an perintah secara individual dapat dipersiapkan bagi semua siswa, terutama bagi siswa yang kemampuan belajarnya mendapat perhatian khusus, (f) perolehan motivasi juga didapatkan siswa melalui prosedur interaktif dari sajian materi pembelajaran berbantuan komputer. Untuk merancang bangun sebuah media pembelajaran berbantuan komputer dibutuh-kan ketrampilan dalam mengoperasikan komputer, terutama pengoperasian program aplikasi praktis perakit animasi dan kreativitas dalam mendesain proyek animasi yang merupakan perwujudan dari peristiwa sains yang menjadi topik bahasannya. C. PROGRAM APLIKASI PRAKTIS SWiSHmax Komputer bukan merupakan barang baru dalam masyarakat kita, bahkan sudah jauh merambah ke dalam seluk kehidupan. Namun secara jujur diakui hingga saat ini keberadaan kita sebagian besar masih sebatas sebagai pengguna (operator) belum banyak yang mencapai tahap rancang bangun (programmer). Hal ini disebabkan oleh masih sulitnya memahami bahasa dan prosedur pemrograman yang tersedia dalam berbagai perangkat lunak (software) yang ada. Untuk keperluan animasi dan rancang bangun media pembelajaran berbantuan kom-puter tersedia sebuah
FIS - 100
program aplikasi praktis bernama SWiSHmax. Program aplikasi ini berbasis Windows, resolusinya sangat tinggi, sehingga dapat menggambarkan obyekobyek animasi dengan sempurna dan menggerakkannya secara akurat/detil. Aplikasi ini dilengkapi dengan efek dan skrip yang memadai sehingga dapat meningkatkan kreasi dalam membuat media interaktif. Program aplikasi SWiSHmax merupakan aplikasi alternatif dan program bantu Macromedia Flash dalam merancang bangun animasi dua dimensi yang praktis dan mudah. Apabila dengan Macromedia Flash dibutuhkan waktu dan langkah panjang untuk sebuah animasi kompleks, dengan SWiSHmax hal itu dapat dilakukan secara cepat dan ringkas. Hal lain yang menonjol dalam SWiSHmax adalah produk akhir program dapat di-eksport dalam berbagai bentuk file aplikasi yaitu: File .swf, dapat diekskusi SAFlashPlayer, Macromedia Flash, dan Power Point. File .HTML, dapat ditampilkan dalam jendela browser dalam sistem Internet. File .EXE, dapat diekskusi langsung oleh sistem komputer tanpa player khusus. File .AVI, dapat diekskusi oleh VideoPlayer maupun program lainnya. File .AVI berupa file video dan dapat digabung dengan file video produk kamera digital. Secara garis besar berbagai hal praktis dan mudah dari program aplikasi SWiSHmax dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Dukungan Perangkat Keras (Hardware) dan Perangkat Lunak (Software) Untuk mengoperasikan aplikasi ini diperlukan set Personal Komputer (PC) dengan spesifikasi pendukung minimal: Sistem Operasi Windows 95/98/ME/NT4/2000/XP/Windows7 Prosesor Pentium 2. Internal Memori 64 MB. Resolusi monitor 800 x 600, dengan warna tampilan 256. Hard Disk 20 GB. Software Aplikasi SWiSHmax. SEMNAS MIPA 2010
2. Jendela Kerja SWiSHmax Jendela kerja SWiSHmax dirancang secara terbuka sehingga setiap langkah yang diwakili tool dapat dioperasikan dengan tepat dan cepat tanpa harus mencari dalam kap-sul menu. Bagian penting dari jendela kerja ini adalah Baris Menu (Title Bar) terletak di bagi-an paling atas, menampilkan informasi nama movie (file) yang sedang diedit. Komponen di bawah baris judul adalah Baris Menu (Menu Bar), berisikan perintah-perintah atau opsi pengeditan movie.Sebagai contoh, menu File New untuk membuat movie baru. Selanjutnya adalah Baris Tool (Tool Bar), berisi tool-tool yang dapat digunakan sebagai alternatif perintah dalam baris menu. Sebagai contoh, tool New merupakan alternatif penggunaan perintah File New. Untuk memudahkan penggunaan, baris tool dibagi dalam beberapa ma-cam yaitu: Standart Tool, Insert Tool, Control Tool, Grouping Tool, dan Export Tool. Bagian penting lainnya adalah Kotak Tool (Tool Box), terdiri dari tiga kolom, yaitu: Kolom Tool yang berisi tool-tool untuk menggambar dan mengedit obyek-obyek movie. Kolom Options yang berisi opsi untuk mengatur tool yang terseleksi, antara lain opsi skala, pengaturan ulang ukuran obyek, rotasi, kecondongan, perspektif, dan kepepatan. Kolom View yang berisi opsi untuk mengatur presentase tampilan area kerja. Terdapat berbagai macam papan panel yang dapat digunakan untuk mengatur opsi di dalam membuat movie, antara lain: panel Layout, untuk mengatur dan mengedit obyek di dalam movie, panel Timeline untuk mengontrol waktu obyek ditampilkan dan animasi di dalam scene yang sedang diedit, panel Shape untuk mengatur properti obyek, panel Script untuk melihat atau mengedit skrip event atau action yang diterapkan pada scene atau obyek, panel Transform untuk mengatur opsi transformasi obyek, panel Tint untuk mengatur trans-formasi warna obyek, panel Content untuk menampilkan isi (obyek) di dalam movie, panel Align untuk mengatur FIS - 101
perataan posisi obyek, panel Guides untuk mengatur opsi garis bantu (grid, guide, dan ruler), panel Export untuk mengatur opsi pengeksporan movie, dan panel Debug untuk mengetahui jalannya skrip.
dimungkinkan untuk membuat efek sendiri. Dengan adanya efek pada obyek dapat mengontrol posisi dan gerak-an obyek sehinnga tercipta animasi peristiwa alam yang sesuai dengan skenario movie.
3. Menggambar Obyek Shape Unsur utama dalam animasi adalah gambar yang dapat mencerminkan kondisi obyek yang sebenarnya. SWiSHmax menyediakan tool-tool untuk menggambar berbagai obyek shape, seperti garis, lingkaran, kurva, dan lainnya. Komponenkomponen shape ini selanjut-nya dapat dirangkai untuk membangun obyek kerja yang diinginkan. Bahkan SWiSHmax mendukung penggunaan grafik vector di dalam movie. Sebagai catatan, grafik vector adalah obyek yang akan tetap terlihat tajam meskipun ukuran maupun tampilannya diatur ulang. SWiSHmax juga menyediakan koleksi berbagai bentuk obyek shape yang unik yang dapat disisipkan ke dalam area kerja, obyek ini tersimpan di dalam tool AutoShape. Agar perspektif obyek lebih tampak seperti obyek tiga dimensi, tersedia pengaturan property line dan fill objek shape. Dimaksudkan untuk mengatur warna gradasi dan transpa-ransi area fill sehingga dapat ditampilkan sebuah obyek berefek tiga dimensi dari gambar dua dimensi..
6. Menggunakan Sprite Sprite adalah obyek yang mempunyai timeline sendiri. Di dalam sprite bisa terdapat lebih dari satu obyek dan setiap obyek dapat dianimasi. Oleh karena itu sprite bisa di sebut movie di dalam movie. Sebagaimana movie, sprite juga bisa disisipi berbagai tipe objek seperti grafik, image, dan teks. Bahkan untuk membangun animasi kompleks dapat disisipkan sprite ke dalam sprite.
4. Menyisipkan Obyek Movie Untuk mendukung tampilan movie, dapat disisipkan obyek-obyek seperti teks, image bitmap, grafik vector, video dan yang lainnya. Obyek yang disisipkan selanjutnya dapat diedit dalam berbagai transformasi seperti transformasi skala, transformasi resize, transformasi rotasi, transformasi kecondongan, dan transformasi distorsi. Bila diperlukan dapat dilakukan pengaturan sumbu transformasi terlebih dahulu. 5. Menggunakan Efek SWiSHmax menyediakan 230 efek animasi yang dapat diterapkan pada obyek movie, serta dapat dimodifikasi opsi animasinya. Selain itu dapat juga
SEMNAS MIPA 2010
7. Mengatur Navigasi dan Interaksi Movie dengan Skrip Fasilitas ini memungkinkan membangun program animasi bersifat interaktif, karena dapat mengatur interaksi didalam movie atau interaksi dengan movie lainnya. Dengan skrip, sebuah obyek dapat difungsikan sebagai tombol kendali untuk mengontrol jalan movie secara keseluruhan. Melalui skrip dapat pula disisipkan file sound sekaligus mengatur opsinya. Sejumlah fasilitas di atas merupakan jaminan bahwa program aplikasi SWiSHmax merupakan pilihan tepat dalam rancang bangun media pembelajaran berbantuan komputer. D. RANCANG BANGUN MEDIA PEMBELAJARAN BERBANTUAN KOMPUTER Secara umum ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang bangun media pembelajaran, yaitu: karakteristik sasaran, tujuan yang diharapkan, pengembangan materi, pengembangan alat evaluasi, dan uji coba produk. Langkah awal pengembangan media adalah membuat rancangan terpadu sesuai dengan skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan. Sadiman (2002:98) menggambarkan langkah-langkah tersebut dalam bentuk bagan sebagai berikut:
FIS - 102
Perumusan butir materi Identifikasi kebutuhan
Perumusan alat evaluasi
Ya Revisi?
Perumusan tujuan
Tidak
Penulisan naskah media
Tes uji coba
Naskah siap produksi
Gambar 1. Bagan Model Pengembangan Media Pembelajaran Pengembangan media harus mengacu pada naskah program yang telah dirancang secara terpadu. Untuk itu diperlukan data sesuai dengan rancangan yang ada seperti gambar obyek, musik pengiring, narasi, gambar latar belakang, dan teks keterangan. Selanjutnya data tersebut diintegrasikan menggunakan program aplikasi SWiSHmax sesuai dengan skenario yang telah disusun sebelumnya. Landasan utama dalam pembuatan media pembelajaran adalah mengacu pada upaya maksimalisasi pemanfaatan seluruh alat indera siswa. Guru berupaya untuk menampilkan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai alat indera. Semakin banyak alat indera yang digunakan untuk menerima dan mengolah informasi semakin besar pula kemung-kinan informasi tersebut dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan (Latuheru, 1988). Dari landasan di atas, agar produk media pembelajaran komunikatif dan mencapai sasaran, diperlukan ketrampilan tambahan (Skill dan Brainware) dalam pembuatannya di samping dukungan perangkat keras (Hardware) yang memadai. Ketrampilan tersebut meli-puti: imaginasi; membuat jalan cerita dan konsep animasi, kreativitas; menuangkan imajinasi ke dalam stage, sketsa/perspektif; membuat obyek animasi sesuai aturan perspektif ruang, sense of music; menguasai ilustrasi
SEMNAS MIPA 2010
musik/bunyi untuk menghidupkan proyek animasi. E. MEMPERSIAPKAN OBYEK KERJA Obyek kerja adalah gambar-gambar yang akan berperan/digerakkan dalam proyek animasi. Agar animasi berjalan sempurna diperlukan gambar obyek kerja yang akurat semirip mungkin dengan obyek aslinya. Kendala utama dalam tahap ini adalah minimnya kemampu-an menggambar obyek dengan orientasi perspektif ruang. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dengan menghadirkan set perangkat obyek aslinya di depan kelas kemudian mahasis-wa menggambar langsung dari berbagai sisi pandang sesuai dengan posisi duduknya. Untuk uji coba dihadirkan perangkat untuk menerangkan Hukum Archimedes yang terdiri dari tabung air, timbangan duduk, dan beban. Hasil gambar obyek kerja yang diperoleh sangat bervariasi sesuai dengan orientasi pandang masing-masing dan terkendala pada obyek-obyek yang bentuknya kecil.Untuk mengatasi hal di atas, diperlukan set video kamera yang dapat menayangkan gambar obyek kerja dari satu sisi pandang dalam ukuran besar pada layar lebar di depan kelas. Pada tahap berikutnya dihadirkan set perangkat untuk menerangkan Hukum Faraday dan Hukum Lenz
FIS - 103
a
b
c
Gambar 2. Obyek asli dilihat dari (a) sisi kiri, (b) sisi tengah, dan (c) sisi kanan .
Gambar 3. Set Video Kamera
Gambar 4. Obyek kerja asli
Gambar 5. Hasil tayangan pada layer lebar.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 104
Semua mahasiswa akan melihat tayangan obyek kerja dalam bentuk sama dan kamera dapat melakukan perbesaran (zoom in) untuk melihat detil dari obyekobyek kecil. F. HASIL UJI COBA DAN RANCANG BANGUN ANIMASI Dari hasil uji coba, langkah pertama dicobakan pada topik Hukum Archimedes, dan langkah kedua dilaksanakan pada topik Hukum Faraday dan Hukum Lenz. Kedua topik ini dianggap mempunyai tingkat kesulitan yang sama dalam menggambar obyek kerjanya. Uji coba dilakukan pada Semester Genap 2010, mahasiswa angkatan
Gambar 6.
tahun 2007 sebanyak 2 offering, dengan jumlah mahasiswa 52 orang. Hasil pada langkah pertama: 6 orang (11,5%) menggambar sangat baik, 21 orang (40,4%) menggambar dengan baik dan 25 orang (48,1%) menggambar kurang baik. Sedangkan pada langkah kedua diperoleh hasil: 32 orang (61,5%) menggambar sangat baik, 18 orang (34,6%) menggambar baik, dan 2 orang (3,9%) menggambar kurang baik. Hasil rancang bangun animasi Hukum Faraday dan Hukum Lenz dipaparkan dalam rangkaian gambar berikut: 1. Gambar 6. menunjukkan kondisi ketika kutub utara magnet akan masuk ke dalam kumpar-an..
Gambar 7.
2. Gambar 7. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub utara magnet bergerak masuk ke dalam kumparan. 3. Gambar 8. menunjukkan arah arus induksi ketika magnet tepat berada di tengah panjang kumparan.
Gambar 8.
Gambar 9.
4. Gambar 9. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub selatan magnet meninggalkan kumparan.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 105
Gambar 10.
Gambar 11.
5. Gambar10. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub selatan magnet bergerak memasuki kumparan. 6. Gambar 11. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub utara magnet meninggalkan kumparan G.KESIMPULAN DAN SARAN Dari serangkaian kegiatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Untuk membangun sebuah animasi sains diperlukan komponen gambar obyek kerja yang akurat, sehingga semirip mungkin dapat merepresentasikan peristiwa yang sebe-narnya ke layar komputer. Menggambar obyek kerja dengan melihat benda aslinya secara langsung terkendala pada orientasi pandang dan ukuran benda yang terkadang berbentuk kecil, sehingga hasilnya kurang memuaskan.. Diperlukan alat bantu berupa set kamera video dan proyektor LCD untuk menayang-kan gambar benda aslinya ke layar lebar di depan kelas. Dengan demikian benda da-pat dilihat dalam bentuk yang lebih besar dan orientasi pandang sama dari segala arah mengikuti orientasi pandang kamera. Dapat dirakit sebuah animasi sains representatif dari komponen-komponen obyek kerja yang secara akurat mewakili benda aslinya. Untuk pengembangan kegiatan ini dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Agar kegiatan semacam ini dapat terlaksana diperlukan dukungan peralatan multime-dia yang memadai. Untuk itu diperlukan dukungan semua SEMNAS MIPA 2010
pihak baik dari guru/dosen yang bersangkutan maupun instansi terkait. 2. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan SDM dalam penguasaan komputer belum optimal, sehingga perlu dilakukan upaya serius dan kontinyu untuk peningkatan ketrampilan komputer dan rekayasa animasi dan media pembelajaran berbantuan komputer bagi guru/dosen dalam seluruh lini pendidikan. H. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar. 2002. Media Pembelajaran . Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada Latuheru, John. 1988. Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini. Jakarta: DEPDIKBUD Dirjen Dikti. Sadiman, Arief, S, dkk. 2002. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sutrisno. 1993. Fisika komputasi dan Kurikulum Inti Pendidikan Sarjana Fisika dan Sarjana Pendidikan Fisika. Bandung: Jurusan Fisika ITB. Syarif, Arry Maulana. 2005. Animasi Flash dengan SWiSHmax. Yogyakarta: Andi -------2003. Pengembangan Silabus berbasis Kompetensi Berorientasi Kecakapan Hidup. Jakarta: DEPDIKNAS. --------2002.Hand Out Pelatihan Pembuatan Media Pembelajaran berbasis Multimedia. Yogykarta: MMTC
FIS - 106
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MODEL ATOM BERBASIS HANDPHONE SEBAGAI PENUNJANG PEMBELAJARAN MATAKULIAH FISIKA MODERN Drs. Choirul Huda, M.Si Pendidikan Fisika FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
Abstrak Telah dikembangkan media pembelajaran Model Atom yang dapat dioperasikan pada Handphone (HP). Melalui HP materi pembelajaran Model Atom dapat disebarluaskan ke seluruh mahasiswa untuk dipelajari secara mandiri. Media pembelajaran yang dikembangkan menggunakan program Flashlite sehingga mampu menampilkan materi secara menarik dan dapat menyajikan animasi dari fenomena Fisika secara baik. Selain itu juga dapat melakukan operasi matematis untuk menyelesaikan persoalan Fisika berdasarkan masukan. Untuk mengetahui kelayakan dan kehandalan media tersebut, telah dilakukan uji coba oleh beberapa dosen dan 20 mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Kanjuruhan Malang yang menempuh matakuliah Fisika Modern Semester Genap tahun 2009/2010. Berdasarkan uji coba dan angket tersebut disimpulkan bahwa media pembelajaran Model Atom berbasis HP cukup layak dan handal untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran Fisika Modern. Keyword: media belajar, berbasis HP, Model Atom
1. PENDAHULUAN Konsep-konsep Fisika bersumber dari abstraksi fenomena alam yang seringkali dalam bentuk persamaan dapat memunculkan konsep yang bersifat abstrak. Apalagi bila menyangkut materi Fisika Modern yang menggunakan matematika tingkat tinggi, benda berlaju mendekati cahaya, dan partikel-partikel sub atomik yang belum bisa diamati secara langsung seperti model atom. Agar konsep Fisika mudah difahami dan menarik, diperlukan media pembelajaran yang sesuai, bersifat animatif agar menarik, dan interaktif agar bisa diujicobakan berbagai nilai variabel untuk memudahkan pemahamannya. Media pembelajaran seperti itu adalah media pembelajaran yang berbasis komputer. Karena umumnya rasio jumlah komputer terhadap jumlah siswa/mahasiswa relatif kecil, maka Lab Komputer tidak bisa digunakan untuk pembelajaran Fisika secara maksimal. Kesempatan mahasiswa untuk memanfaatkan komputer sangat terbatas. Apalagi tidak semua mahasiswa memiliki komputer. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan pembelajaran tidak harus selalu di dalam
SEMNAS MIPA 2010
ruang atau bertatap muka, tetapi dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja. Apalagi dengan perkembangan mobile technology memungkinkan pembelajaran secara mobile yang dikenal dengan mobile learning (M-Learning). M-Learning merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan perangkat IT genggam dan bergerak, seperti PDA, HP, laptop dan tablet PC(Agus Triarso, 2009). M-Learning memungkinkan pebelajar mengakses materi pembelajaran, arahan, dan aplikasi yang berkaitan dengan materi pembelajaran kapan-pun dan dimana-pun. Ke depan M-Learning akan menjadi cukup pesat dan viable dalam jangka waktu dekat (Wiwik Akhirul Aeni, 2009). Saat ini hampir semua mahasiswa/siswa memiliki HP. Fasilitas yang terdapat dalam HP mendukung multimedia. Materi dan animasi Fisika yang dirancang menggunakan program Flashlite bisa diaplikasikan pada HP dengan kualitas tampilan sangat bagus, ukuran file sangat kecil, relatif mudah pembuatannya, dan kontennya sangat mudah disebarluaskan melalui infrared, bluetooth, atau kabel data. Sampai Juni 2010, baru sepuluh prototipe rintisan telah dilakukan untuk materi Fisika SMP (3 konten), Biologi SMP (4 konten), dan Matematika SMP (4 konten) FIS - 107
oleh Balai Pengembangan Multimedia Semarang. Sayang tampilannya kurang optimal. Demikian juga pengembangan yang dilakukan Wisnu Ardlian Sugiyarto (2009) menggunakan bahasa Java (J2ME) masih relatif sederhana dan belum ada animasinya. Padahal Fisika sangat membutuhkan animasi agar jelas dan mudah dipelajari.. Berdasarkan paparan di atas maka dilakukan ”Pengembangan Media Pembelajaran Model Atom berbasis Handphone sebagai penunjang pembelajaran matakuliah Fisika Modern”. Pengembangannya menggunakan program Flashlite, karena fasilitasnya lengkap, mudah dioperasikan, memorinya kecil, dan kompatibel untuk hampir semua HP. Permasalahannya adalah bagaimana mengembangkan media pembelajaran Model Atom berbasis handphone dan apakah media pembelajaran tersebut layak dan handal digunakan sebagai media pembelajaran Model Atom pada matakuliah Fisika Modern? 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Mobile Learning Pesatnya perkembangan TIK telah mempengaruhi model pembelajaran, seperti e-Learning. Salah satu model e-Learning yang layak dikembangkan adalah MLearning yang berbasis HP. Hal ini karena sebagian besar maha/siswa memiliki HP, penggunaannya mudah, murah, layanan akses yang semakin cepat karena perkembangan fitur yang semakin canggih (http://m-edukasi.net/artikel-mobilelearning-isi.php?). Menurut Clark Quinn, M-Learning memiliki karakteristik: dapat diakses dimana pun dan kapan pun, menyediakan fasilitas knowledge sharing, visualisasi konsep yang atraktif dan interaktif, dan ukuran file yang kecil (Agus Triarso, 2009). M-Learning menjadi sebuah kecenderungan baru yang membentuk paradigma pembelajaran yang dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun. Berdasar penelitian Jill Attewell dalam A technology update and m-learning project summary 2005, keuntungan dari MLearning diantaranya: a. M-Learning membantu siswa meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi, SEMNAS MIPA 2010
b. M-learning dapat mendorong pembelajaran independen maupun kolaborasi, c. M-learning membantu melawan hambatan dalam menggunakan ICT, d. M-learning membantu menghilangkan bentuk formal dari pembelajaran, e. M-learning membantu siswa tetap fokus dalam waktu yang lama, f. M-learning membantu mendapatkan rasa percaya diri (Wisnu A. S., 2009). Ganjalisadeh menjelaskan pentingnya M-learning dan W-learning (Wisnu A. S., 2009). Tabel 1 Pentingnya M-learning dan Wlearning No M-Leaning 1 Mobility & Portability, inside pocket 2 Instant Communication 3 Anytime/ anywhere connectivity 4 Emergency Calls 5
GPS Tracking
W-Learning Mobility on campus area Instant when online Communication, Anytime/anywhere connectivity on campus area Research Queistionaire Assessment Need
M-learning di Indonesia masih baru muncul dan dikenal sejak tahun 2009. Padahal di Amerika Serikat sejak tahun 2003 telah menyediakan pengajaran lengkap melalui handheald Pocket PC devices. MLearning ini digunakan bagi siswa-siswa militer di Amerika (http://military.coastline.edu/pocket_ed.htm) Beberapa universitas di Amerika, memberikan mahasiswanya iPods yang telah diisi oleh kampus form registrasi, kebijakan kampus, peta, organisasi kampus, jadwal kelas, dan informasi perpustakaan. 2.2. Flashlite Flashlite merupakan platform pengembangan aplikasi mobile menggunakan Macromedia Flash. Flashlite membangun aplikasinya dengan content bukan dengan coding. Script yang ada hanya sekedar pelengkap bukan dasar pembangunan aplikasinya. Untuk membangun aplikasi mobile dengan Flashlite tidak dibutuhkan banyak kode FIS - 108
program seperti halnya pengembangan di JME, namun bisa berbasis grafis. Scripting yang digunakan adalah actionscript, sama seperti Flash namun memiliki keterbatasan fitur. Aplikasi Flashlite membuat gambar interaktif dan animasi berdasar pengorganisasian keyframe dalam timeline. Flashlite dapat digunakan untuk membuat game, mengkoneksi aplikasi dan fungsi utility mobile phone untuk mengirin SMS atau melakukan pangggilan, melakukan akses properti device seperti leveling baterai atau informasi koneksi jaringan dan lain sebagainya. Flashlite merupakan program animasi grafis standar profesioanal untuk menghasilkan game, animasi kartun, dan media pembelajaran yang menarik untuk diaplikasikan pada HP. Movie pada Flashlite terdiri atas grafik, teks, animasi dan aplikasi yang mengutamakan grafik berbasis vektor. Flashlite memiliki akses lebih dan terlihat halus pada skala resolusi layar besar atau kecil, selain itu juga mempunyai kemampuan untuk mengimpor video, gambar, dan suara aplikasi. Flashlite juga memasukkan unsur interaktif dalam videonya menggunakan Actionscript, dimana users bisa berinteraksi dengan movie menggukan tombol HP. Hasil animasi Flashlite bisa langsung diaplikasikan ke HP yang memiliki operating system Symbian 60. File yang dihasilkan sangat kecil kapasitas memorinya. Sehingga tidak membebani memori HP. Distribusi file yang sudah disimpan di HP bisa dilakuakan dengan mudah dan cepat melalui fasilitas infrared, bluetooth, atau kabel data. Bahkan bisa didownload melalui internet dengan cepat karena kecilnya file. 2.3. Media Pembelajaran Fisika berbasis Handphone Dalam belajar Fisika hendaknya fakta, konsep, dan prinsip-prinsip tidak diterima secara prosedural tanpa pemahaman dan penalaran. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang dosen/guru ke kepala siswa. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh SEMNAS MIPA 2010
mahasiswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari dosen mereka. Sesuai dengan paradigma pembelajaran yang konstruktivistik, maka tugas seorang dosen adalah memberikan kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan mahasiswa, membantu mengekspresikan gagasan, dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Jadi dosen/guru lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam pembentukan pengetahuan dan pemahaman siswa (Suparno, 1997:65). Untuk itu, para pakar pendidikan telah mengembangkan berbagai model pembelajaran yang lebih memperhatikan aspek peserta didik. Berdasarkan aspek yang dikemukakan Bloom, sangatlah diperlukan sebuah media pembelajaran yang interaktif yang dapat menarik perhatian mahasiswa dalam belajar, sehingga mereka merasa enjoy dalam menerima sebuah materi pelajaran dan yang terpenting bisa memahaminya. Berdasarkan definisi Briggs (1997, dikutip dari http://akhmadsudrajat. wordpers.com/bahanajar/mediapembelajaran/) dan National Education Association (1969, dikutip dalam http://akhmadsudrajat.wordpers.com/ bahanajar/media-pembelajaran/) media belajar adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik itu sendiri. Seiring dengan pesatnya perkembangan TIK, maka media pembelajaran bergeser ke arah multimedia berbasis komputer. Beberapa kemampuan komputer yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan diantaranya adalah memvisualisasikan gagasan dan menyimulasikan fenomena alam yang sulit diamati (Darlian, 1992) menjadikan fenomena yang unobservable menjadi observable. Pesatnya perkembangan TIK mempengaruhi perkembangan e-Learning ke arah M-Learning yang berbasis HP. Paradigma pembelajaran ini memungkinkan belajar dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun.
FIS - 109
Melalui program Flashlite bisa dikembangkan program animasi dan presentasi yang menarik, bisa dimuati audio dan video, untuk diaplikasikan pada HP. Dengan demikian media pembelajaran Fisika yang animatif dan interaktif dapat dilakukan dengan HP. Media pembelajaran yang dihasilkan sama bagusnya dengan di komputer. Melalui HP bisa dibangun media pembelajaran seperti Program Simulasi Fisika, Program Tutorial, dan Evaluasi Pembelajaran Fisika. Penyebaran isi media melalui HP sangat mudah, cepat, dan kapasitas memorinya sangat kecil. Dengan demikian materi pembelajaran bisa diakses siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Sehingga proses pembelajaran bisa dilakukan lebih intensif, efektif, dan efisien.
angket untuk menyatakan pendapatnya tentang kelayakan dan kehandalan media pembelajaran berbasis HP dalam pembelajaran Fisika Modern. Selain itu digunakan metode Chek List untuk mengukur kelengkapannya berdasarkan indikator yang ditetapkan. Analisis data menggunakan metode deskriptif persentase. 4. METODE PENGEMBANGAN Pengembangan media ini menggunakan pendekatan An Evolutionary (Spiral) Mode yang menurut Diah (http://blog.its.ac.id/dyah03tc/2007/10/25/da ur-hidup-perangkat-lunak-software-lifecycle/), model ini secara umum meliputi Proyek pengembangan konsep, Proyek pengembangan produk baru, Proyek perbaikan produk, dan Proyek pemeliharaan produk. Secara terinci model pengambangan media pembelajaran berbasis HP ini diuraikan berikut ini. a. Analisis Kebutuhan Software Analisis kebutuhan dalam pengembangan mengacu kepada HP, ukuran memori, materi yang sesuai dengan standar kompetensi, dan user yaitu mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Kanjuruhan Malang. b. Desain Pengembangan media pembelajaran berbasis HP.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang berupaya mengembangkan atau menyempurnakan media pembelajaran yang sudah ada secara bertanggungjawab. Untuk mengetahui kelayakan dan kehandalan media pembelajaran yang dihasilkan dilakukan uji coba oleh beberapa dosen Fisika dan 20 mahasiswa Program Studi Fisika Universitas Kanjuruhan Malang yang menempuh matakuliah Fisika Modern pada semester Genap tahun 2009/2010. Setelah mencoba, mereka diminta mengisi
Mulai
Opening
Menu Utama
Materi
Info
Petunjuk
Keluar
Tidak Ya Model Atom J.J. Thomson
Model Atom Rutherford
Model Atom RutherfordBohr
Selesai
Latihan Keluar
Gambar 1 Diagram desain software pembelajaran SEMNAS MIPA 2010
FIS - 110
Opening berupa Splash Screen dengan logo Universitas Kanjuruhan Malang. c. Coding Penulisan kode program dilakukan dengan menggunakan software Flash Lite 1.1. d. Tes Pada tahap tes ini media dicek logika internal dan fungsinya dengan mencobacoba dan menberikan input untuk mengetahui kesesuaiannya dengan outputnya. Dalam penelitian ini kriteria kelayakannya sesuai dengan ketentuan dalam indikator software menurut Romi Satria Wahono (2006) yang meliputi berikut ini. a. Aspek Rekayasa Perangkat Lunak (efektif dan efisien dalam pengembangan dan penggunaannya, handal, maintainable, usabilitas, ketepatan pemilihan software untuk pengembangan, kompatibilitas, pemaketan program terpadu dan mudah dalam eksekusi, dokumentasi program media pembelajaran lengkap, reusable). b. Aspek Desain Pembelajaran (kejelasan tujuan pembelajaran; relevansi tujuan pembelajaran dengan SK/KD/Kurikulum; cakupan dan kedalaman tujuan pembelajaran; ketepatan penggunaan strategi pembelajaran; interaktivitas; pemberian motivasi belajar; kontekstualitas dan aktualitas; kelengkapan dan kualitas bahan bantuan belajar; kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran; kedalaman materi; kemudahan untuk dipahami; sistematis, kejelasan uraian, pembahasan, contoh, simulasi, latihan; konsistensi evaluasi dengan tujuan pembelajaran; ketepatan dan ketetapan alat evaluasi; pemberian umpan balik terhadap hasil evaluasi). c. Aspek Komunikasi Visual (komunikatif; kreatif dalam ide; sederhana dan memikat; audio; visual; media bergerak:animasi, movie; layout interactive:ikon navigasi). 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
SEMNAS MIPA 2010
Setelah media pembelajaran Model Atom berbasis HP berhasil dirancang, maka dilakukan pengecekan berdasarkan check list. Diperoleh bahwa media tersebut layak digunakan karena 78,6% sesuai dengan kriteria software. Dari 14 indikator yang ditetapkan, 3 indikator tidak terdapat pada media pembelajaran. Indikator tersebut adalah adanya Evaluasi Pembelajaran, Umpan Balik Eevaluasi, dan Suara. Berdasarkan angket yang telah disebarkan kepada para pengguna diperoleh data sebagai berikut. 1. Aspek Desain Pembelajaran media yang dihasilkan dinilai Bagus. Media pembelajaran yang dihasilkan dinilai dapat digunakan sebagai referensi belajar tambahan oleh 70,8 % responden dan 75% responden menilai media belajar ini bermanfaat sebagai sumber belajar tambahan. 2. Ditinjau dari aspek Materi/Isi, materi media pembelajaran yang dihasilkan sudah sangat sesuai dengan Tujuan Pembelajaran oleh 83,3% responden. Hanya saja cakupan isinya dianggap kurang lengkap, karena 54,2% responden menyatakan materinya sudah lengkap dan hanya 29,2% responden yang menyatakan materinya sangat lengkap. Hal ini karena pembuatan media pembelajaran ini memang tidak dirancang sebagai sumber belajar utama, tetapi hanya sebagai penunjang proses pembelajaran. Sehingga isinya relatif singkat, hanya mencakup pokok materidan animasi sebagai penjelasnya. Meskipun materinya dianggap kurang lengkap, tetapi materinya sangat mudah difahami (87,5%). Hal ini disebabkan antara lain karena adanya animasi yang sangat membantu memahami materi sebagaimana dinyatakan oleh 79,2% responden. 3. Ditinjau dari aspek Interaksi, 62,5% responden menyatakan media ini bersifat interaktif. Sehingga media ini dikategorikan interaktif. Memang aspek interaksi dalam media ini hanya sebagian kecil saja yaitu yang menyangkut perhitungan suatu rumus atau persamaan. Animasi yang ada tidak bersifat interaktif, hanya memvisualisasikan
FIS - 111
fenomena Fisika pada variabel tertentu saja. 4. Aspek Evaluasi dan Balikan dari media perlu ditingkatkan lagi. Hanya 54,2% responden yang menyatakan bahwa evaluasi yang ada sudah sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran. Sebagaimana tujuan awal dari pembuatan media ini adalah sebagai media penunjang pembelajaran bukan sebagai sumber utama pembelajaran. Oleh karena itu, evaluasi yang ada hanya sebatas halhal yang bersifat pokok sesuai dengan materi yang disajikan. Oleh karena itu yang menganggap evaluasi sudah sangat sesuai dengan materi pembelajaran sebesar 70,8%. Berarti evaluasi pada media ini sudah sangat sesuai materi meskipun kurang sesuai dengan Tujuan Pembelajaran. 5. Hal yang berkaitan dengan Komunikasi Visual dinilai responden Bagus. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa yang mudah dipahami (91,7%), pemilihan warna yang baik (91,7%), tampilan yang simpel dan menarik (79,2%) dan animasi materi yang menarik (83,3%). Demikian juga dalam pengoperasiannya dinilai mudah karena pengguna tidak harus menyelesaikan suatu menu jika ingin pindah ke menu lain (87,5%) dan tomboltombol perintah yang disediakan mudah digunakan (79,2%). Dengan fasilitas tersebut maka tidak mengherankan jika para pengguna merasa mudah untuk mengoperasikannya (79,2%). Hanya sedikit (8,3%) pengguna yang merasa agak susah menggunakannya. Mungkin hal tersebut karena belum tersbiasa mengoperasikan dan baru pertama kali menggunakan media belajar berbasis HP. 6. Mudahnya mengoperasikan dan hampir tidak pernah terjadi error (95,8%), tampilan dan animasi yang menarik menyebabkan pengguna merasa sangat senang (66,7%) dan akan betah menggunakannya dan tidak cepat bosan. Oleh karena itu 87% responden manyatakan perlu media seperti ini untuk materi kuliah yang lain (87,5%). Dengan media seperti ini akan dapat memberikan tambahan semangat dan pengalaman, dan membangkitkan minat untuk mendalami materi Fisika (75%).
SEMNAS MIPA 2010
7. Setelah mencoba memanfaatkan media belajar ini, sebagian besar mahasiswa menyatakan proses belajar tentang Model Atom menjadi lebih mudah (75%) dan hanya 4,2% yang merasa belum terbantu dalam pembelajaran. Bahkan 83,3% menyatakan pemanfaatan media belajar ini menjadikan proses belajar lebih efisien. Mereka bisa membuka HP kapan saja dan dimana saja. Dengan demikian bisa diharapkan media belajar ini bisa dimanfaatkan sebagai media belajar yang bisa dimanfaatkan kapan saja dan di mana saja. Berdasarkan data tersebut, Isi/materi media pembelajaran perlu ditingkatkan sesuai dengan tujuan pembelajaran sehingga para pengguna merasa pengetahuannya bertambah. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tujuan awal pembuatan media ini adalah sebagai sarana penunjang proses pembelajaran bukan sebagai sumber utama pembelajaran. Oleh karena itu isinya relatif singkat dan mencakup pokok-pokok materi saja. Proses pembelajaran selengkapnya tentunya dilakukan pada saat tatap muka. F. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran Model Atom berbasis HP ini layak digunakan sebagai media pembelajaran. Sebagian besar responden (68,3%) menyatakan media ini Sangat Bagus, 15,4% menyatakan Bagus, dan hanya 4,5% yang menyatakan Tidak Bagus. Berdasarkan fasilitas program yang disediakan, media ini handal untuk digunakan, karena 78,6% telah memenuhi kriteria software yang baik. Agar media pembelajaran berbasis HP ini bisa lebih efektif dalam pemanfaatannya, maka beberapa kekurangan yang ada hendaknya diatasi semaksimal mungkin. Beberapa hal yang menurut responden masih kurang, seperti kelengkapan materi, suara, dan balikan dari evaluasi, hendaknya diperhatikan dalam pengembangan selanjutnya. Demikian juga pengembangan untuk materi Fisika yang lain perlu dilakukan. Sehingga nantinya bisa diharapkan media jenis ini bisa menjadi ‘Teman Setia’ para peminat Fisika.
FIS - 112
DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, Lutfi, http://staff.blog.ui.ac.id/ harrybs/tag/mobile-learning/ diakses 29 Mei 2010. Darlian, 1992, Pemanfaatan Komputer dalam Pengajaran Fisika, Makalah disajikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA IKIP Bandung tanggal 4 Januari 1992. Dyah, 2007, Daur Hidup Perangkat Lunak (Software Life Cycle). http://blog.its.ac.id/dyah03tc/2007/10/25/daurhidup-perangkat-lunaksoftware-life-cycle/ diakses pada tanggal 25 Mei 2010. http://akhmadsudrajat.wordpers.com/bahan ajar/media-pembelajaran/ diakses pada tanggal 26 April 2009. http://visipramudia.wordpress.com/mobileLearni ng diakses tanggal 28 Mei 2010. Setyawan, Toni, 2010, Cara Mengunakan Aplikasi Mobile dari m-edukasi.net untuk BelajarMmandiri, http://m-edukasi.net/artikelmobile-learning-isi.php? diakses pada tanggal 29 Mei 2010. Suparno, Paul, 2007, Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan Menyenangkan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma. Triarso, Agus, 2009, Belajar Kapanpun dan Dimanapun, http://m-edukasi.net/artikel-mobilelearning-isi.php? diakses pada tanggal 29 Mei 2010. Wahono, Romi.S., 2006, Aspek Rekayasa Perangkat Lunak Dalam Media Pembelajaraan, http://romisatriawahono.net/2006/06/23/mediapembelajaran-dalam-aspekrekayasa-perangkatlunak/, diakses pada tanggal 26 Mei 2010. Wisnu Ardlian Sugiyarto, 2009, Pengembangan Software Pembelajaran Fisika Mandiri Berbasis J2ME untuk Siswa SMP Kelas VIII Pokok Bahasan Gaya, Skripsi, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Semarang. Wiwik Akhirul Aeni, 2009, Flashlite, Alternatif Platform Aplikasi Mobile, http://medukasi.net/artikel-mobile-learning-isi.php? diakses pada tanggal 29 Mei 2010.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 113
PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN DALAM KEGIATAN PRAKTIKUM FISIKA MODERN Sugiyanto, Chusnana
Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang
Abstrak Belum adanya instrument penilaian yang menjadi acuan bersama dalam kegiatan praktikum pada matakuliah Fisika Modern menimbulkan berbagai masalah antara lain: penilaian oleh para pendamping tidak seragam, penilaian dilakukan hanya dengan memperkirakan, untuk kualitas kinerja yang sama boleh jadi diskor berbeda oleh pendamping yang berbeda atau sebaliknya skor yang sama tidak dapat diartikan kinerjanya sama. Kurangnya koordinasi antar pendamping praktikum menambah besar dampak negativ tersebut. Abstract The absence of an assessment instrument which is used together in practical activities in Modern Physics course lead to various problems including: assessment by the companion is not uniform, the assessment carried out only by estimating, for the same quality of performance may be scored differently by different companion or otherwise score The same can not be interpreted the same performance. Development of assessment instruments of Modern Physics lab. activities are very necessary to be conducted. The study begins with the development of preliminary studies, design draft instrument, the development of the draft instrument, followed by validation by a team of experts and users of instruments. The results showed that the instrument has been developed is quite feasible: the content and construct valid, objectivity and feasibility is very high, the items were written very clear and simple. Keywords: research development, assessment instrument, practical activities
1. LATAR BELAKANG Matakuliah Praktikum Fisika Modern (FBU416) termasuk kelompok matakuliah kuliah praktikum menengah yang lebih menekankan Mahasiswa Jurusan Fisika untuk memiliki kemampun kerja laboratorium berkaitan dengan rekonstruksi eksperimen bersejarah bidang fisika modern (MIPA, 2007, 39). Selama ini matakuliah ini masih terasa kental kaitannya dengan perkuliahan teori dari Matakuliah Fisika Modern. Kegiatan praktikum mahasiswa masih berorientasi pada hasil, belum pada kemampuan kerja laboratorium fisika modern. Sebelum praktikum dimulai mahasiswa diharuskan menjawab beberapa pertanyaan dari dosen atau asisten tentang pengetahuan prasyarat secara lisan. Selanjutnya mahasiswa melakukan kegiatan praktikum secara berkelompok didampingi oleh satu dosen atau asisten untuk setiap kelompoknnya. Setelah kegiatan praktikum selesai, mahasiswa menunjukkan data hasil pelaksanaan praktikum untuk mendapatkan
SEMNAS MIPA 2010
tanda tangan dosen atau asisten. Pada saat seperti ini sebagian dosen melakukan konfirmasi data dan pelaksanaan praktikum, tetapi hanya dilakukan oleh beberapa dosen saja. Mahasiswa harus mengumpulkan laporan hasil praktikum pada saat akan melakukan kegiatan praktikum pada dua minggu berikutnya. Pada akhir semester dilakukan ujian akhir yang pelaksanaannya diserahkan pada dosen pembina masingmasing. Koordinasi antara satu dosen pembina matakuliah Praktikum Fisika Modern dengan dosen pembina yang lain belum terlaksana dengan baik. Bahkan keadaan serupa terjadi juga antara dosen/asisten pendamping kelompok praktikum yang sama. Hal ini menyebabkan perbedaan tuntutan kepada mahasiswa praktikan, sehingga sering terjadi beda perlakuan terhadap kesalahan yang sama oleh kelompok dengan pendamping beda. Koordinasi juga kurang dirasakan antara dosen pembina kuliah teori Fisika Modern dengan matakuliah Praktikum Fisika Modern. Upaya yang dilakukan oleh Jurusan FIS - 114
Fisika dan Ketua Sublaboratorium Fisika Modern memberikan pelatihan pada asisten/dosen pendamping di awal semester belum mampu menyeragamkan pemahan dan persepsi dosen/asisten pendamping. Jurusan Fisika perlu mengambil langkah nyata untuk mengatasi hal tersebut. Fakta lain yang juga harus segera mendapat perhatian Jurusan Fisika, para dosen Pembina Matakuliah Praktikum Fisika Modern adalah belum adanya instrument penilaian yang layak dan disepakati untuk menilai mahasiswa peserta. Walaupun telah ada sistem penilaian yang dipakai (Lampiran 1) dalam matakuliah ini, tetapi itu hasil adobsi dari matakuliah-matakuliah praktikum lain yang belum tuntas. System atau formula penilaian itu tidak operasional sehingga masih menyebabkan beragam tafsir dan interpretasi serta implementasi dalam pelaksanaannya. Ada kecenderungan pelaksanaan penilaian kemampuan prasyarat, pelaksanaan praktikum, dan ujian akhir yang dilakukan oleh asisten pendamping praktikum menghasilkan skor yang sama untuk semua mahasiswa praktikan, dan berkisar antara 75 sampai dengan 95. Hasil wawancara dengan beberapa asisten pendamping praktikum diperoleh informasi bahwa para asisten tidak menggunakan rubric penskoran dalam melakukan penilaian. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa belum ada instrument penilaian yang menjadi acuan bersama para asisten/dosen pendamping yang dilengkapi dengan rubric penskoran. Secara praktis belum ada instrumen penilaian untuk menilai kemampuan prasyarat, pelaksanaan kerja praktikum, produk laporan mahasiswa, dan untuk ujian akhir semester. Keadaan ini harus segera mendapatkan perhatian dan komitmen dari Jurusan Fisika untuk mengembangkan instrument penilaian dalam Matakuliah Praktikum Fisika Modern. 2. RUMUSAN MASALAH Belum adanya instrument penilaian yang layak dalam Matakuliah Praktikum Fisika Modern merupakan masalah yang sangat penting untuk segera diatasi oleh Jurusan Fisika dan dosen pembinanya dengan mengadakan penelitian pengembangan dengan komitmen yang
SEMNAS MIPA 2010
tinggi. Permasalahan dalam penelitian pengembangan ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah prosedur pengujian kelayakan instrumen penilaian dalam perkuliahan Praktikum Fisika Modern Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010? 2. Bagaimanakah perkembangan kelayakan instrumen penilaian dalam perkuliahan Praktikum Fisika Modern Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010? 3. Bagaimana wujud instrumen yang telah dikembangkan dan dinilai layak untuk digunakan dalam perkuliahan Matakuliah Praktikum Fisika Modern? 3. KAJIAN PUSTAKA 3.1. Kegiatan Praktikum Praktikum adalah istilah yang biasa digunakan di Indonesia untuk menunjuk kegiatan yang dikerjakan di laboratorium. Untuk menunjuk hal yang sama, literatur US biasa menggunakan istilah kerja laboratorium (laboratory work), sedangkan litera-ture UK dan negara-negara yang berafiliasi dengannya menggunakan istilah kerja praktik (practical work). Definisi kerja laboratorium, menurut Hegarty-Hazel seperti dikutip Lazarowitz & Tamir (1994), adalah suatu bentuk kerja praktik yang bertempat dalam lingkungan yang disesuaikan dengan tujuan dimana siswa/mahasiswa terlibat dalam pengalaman belajar yang terencana, berinteraksi dengan peralatan untuk mengobservasi dan memahami fenomena. Jadi laboratorium merupakan tempat belajar. Praktikum atau kegiatan belajar di dalam laboratorium dapat didikotomikan menjadi kegiatan praktikum yang bersifat verifikasi dan praktikum berbasis inquiry. Praktikum verifikatif adalah rangkaian kegiatan pengamatan/pengukuran, pengolahan data, dan penarikan kesimpulan yang bertujuan untuk membuktikan konsep atau hukum yang sudah diajarkan di kelas (atau sudah dimiliki siswa/mahasiswa). Sedangkan praktikum berbasis inquiry adalah kegiatan laboratorium yang memungkinkan siswa/mahasiswa untuk: (1) mengeksplorasi gejala dan menyatakan permasalahan, (2) mengusulkan hipotesis, (3) mendesain dan melaksanakan cara FIS - 115
pengujian hipotesis, (4) mengorganisasikan dan menganalisis data yang diperoleh, (5) merumuskan kesimpulan (Lawson, 1995). Dalam kurikulum Jurusan Fisika tahun 2007 dinyatakan bahwa salah satu kompetensi utama (dari 12) yang harus dikuasai oleh MPF adalah memiliki kemampuan mengelola dan ketrampilan kerja laboratorium sebagai dasar berkarya dalam bidang pendidikan (MIPA, 2007, 39). Dalam rangka membantu MPF mencapai kompetensi utama tersebut, mereka diwajibkan mengikuti tujuh sampai sembilan matakuliah yaitu FBU401 (Praktikum Fisika Dasar I), FBU403 (Praktikum Fisika Dasar II), FBU407 (Praktikum Kimia), FBU410 (Praktikum Biologi), FBU416 (Praktikum Fisika Modern), FBU418 (Praktikum Elektronika Dasar I), FBU420 (Praktikum Elektronika Dasar II), FBU426 (Praktikum Elektromagnet), FBU431 (Praktikum Gelombang dan Optik) dan Managemen Laboratorium. Melihat nama dan deskribsi matakuliah praktikum di atas terlihat bahwa matakuliah-matakuliah tersebut sangat lekat dan sangat mendukung perkuliahan teori, sehingga dapat digolongkan ke dalam kegiatan praktikum yang bersifat verifikasi. Dengan demikian dapat diprediksikan bahwa penyelenggaraan kegiatan matakuliah tersebut kurang bisa menjamin tercapainya kompetensi utama yang diharapkan. Ada beberapa keterbatasan pembelajaran dengan praktek laboratorium yang selama ini dilakukan di sekolah. Sebagai contoh, ketika pengajaran sains yang dilakukan dengan metoda praktek laboratorium dibandingkan dengan metoda lainnya seperti sistem klasikal (ceramah) atau demonstrasi (oleh guru ataupun siswa) ternyata tidak menunjukkan peningkatan prestasi siswa kecuali dalam hal keterampilan siswa dalam penggunaan alatalat laboratorium. Guru yang pernah melakukan praktek laboratorium juga mengalami, bahwa praktek laboratorium membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk persiapan alat dan bahan, kesulitan dalam mengatur dan mengawasi siswa dalam berpraktek, prosedur percobaan yang sulit dipahami siswa dan kemungkinan siswa membuat kesalahan di setiap saat, dan hasil yang diinginkan dan pemahaman yang diharapkan dari siswa pun biasanya jauh dari yang direncanakan dari kegiatan praktek ini. SEMNAS MIPA 2010
Pada umumnya kegiatan praktek laboratium diarahkan pada upaya supaya siswa menguji, memverifikasi atau membuktikan hukum atau prinsip ilmiah yang sudah dijelaskan oleh guru/dosen atau buku teks. Ada juga percobaan yang dirancang oleh guru adalah para siswa disuruh melakukan percobaan dengan prosedur yang sudah terstruktur yang membawa siswa kepada prinsip atau hukum yang tidak diketahui sebelumnya dari data empiris yang mereka kumpulkan hasil dari percobaan tersebut. Namun terdapat berbagai kelemahan dasar dari cara seperti ini, secara logis prinsip ilmiah dan hukum alam tidak dapat dibuktikan secara langsung; prinsip ilmiah dan hukum alam juga tidak dapat diuji hanya dengan jumlah percobaan yang terbatas yang dilakukan oleh siswa. Keterbatasan alat yang digunakan, keterampilan yang dipunyai, waktu yang singkat dan kompleksitas generalisasi, merupakan keterbatasan percobaan siswa yang menunjukkan hal yang hebat kalau siswa bisa menghasilkan prinsip teoritis yang penting dari sekumpulan data mentah hasil percobaan. Van den berg and Giddings (1992) misalnya mencatat bahwa terdapat lima kelemahan yang terdapat praktik laboratorium dalam pengajaran sains di sekolah, yaitu: a). kurangnya pembedaan antara prioritas dan sasaran kegiatan, b). kelemahan dalam pilihan eksperimen yang biasanya dilakukan, sepertri percobaan untuk menguji prinsip ilmiah, c). ketidaksesuaian antara tujuan praktek laboratium dengan prosedur percobaan yang tertulis, d). ketidaksesuaian antara tujuan praktek laboratorium dengan strategi pengajaran, e). ketidaksesuaian antara tujuan praktek laboratorium dengan penilaian yang dilakukan (Bambang Sumintono, 2008). Aspek-aspek kemampuan kerja laboratorium yang dikembangkan dalam kegiatan praktikum: mengidentifikasi masalah dan tujuan, mengenali kebutuhan peralatan (equipment), membuat perkiraan atau prediksi (prediction), merancang metode pembuktian, eksplorasi (exploration), melakukan pengukuran (measurement), analisis (analysis) (S.Feranie, et al., 2005). Kemampuan proses ilmiah juga menjadi pokok-pokok yang harus dapat berkembang melalui kegiatan FIS - 116
laboratorium yaitu: pegamatan (observing), mengklasifikasi (classifying), mengkomunikasikan (communicating), pengukuran (measuring), penginferensian (inferring), perkiraan (predicting), merancang eksperimen pembuktian (experimental design), pengumpulan dan pengorganisasian data (Gathering and Organizing Data), pengontrolan peubah (Controlling Variables), pengembangan hipotesis (Developing a Hypothesis), dan kerja kelompok (Team Work). Kemampuan kerja laboratorium yang direncanakan untuk dikembangkan melalui kegiatan praktikum di laboratorium harus disesuaikan dengan peralatan laboratorium yang ada. Rencana ini dinyatakan dalam tujuan pelaksanaan praktikum yang terdapat dalam petunjuk praktikum. Kemampuan kerja laboratorium ini juga melintasi tiga ranah yaitu kognitif, psikomotor dan afektif. Tujuan praktikum inilah yang selanjutnya menjadi sasaran kegiatan penilaian dalam kegiatan praktikum 3.2. Penilaian Kegiatan Praktikum Pelaksanaan kegiatan praktikum yang telah direncanakan dan sedang dilakukan oleh praktikan sebagai kegiatan pembelajaran yang harus dinilai. Ada tiga
tahap yang harus menjadi focus penilaian yaitu keadaan awal sesaat sebelum pelaksanaan praktikum, keadaan selama pelaksanaan kegiatan dan keadaan akhir setelah kegiatan praktikum. Kegiatan penilaian ini pada prinsipnya mengikuti pola kegiatan praktikum yang direncanakan. Sasaran kegiatan penilaian adalah tujuan yang termaktub dalam petunjuk praktikum. Informasi yang dihasilkan dari kegiatan penilaian ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran keadaan awal, keterlaksanaan kegiatan praktikum dan hasil-hasilnya. Secara umum nilai akhir kegiatan praktikum dan informasi yang dihasilkannya meliputi: nilai pemibicaraan awal, nilai unjuk kerja praktikum, nilai laporan, dan nilai pembicaraan akhir (UNTIRTA, 2008, 1). Dalam perkuliahan Praktikum Fisika Modern terdapat enam buah mata raktikum yaitu: efek fotolistrik, interferometer Michelson, Frank Hertz, e/m electron, efek Hall, dan radiasi nuklir (MIPA, 2007). Pelaksanaan penilaian kegiatan praktikum Fisika Modern menggunakan system penilaian yang juga diacu oleh seluruh kegiatan praktikum di Jurusan Fisika seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1 Sistem Penilaian Kegiatan Praktikum Fisika Modern Sistem Penilaian menunjukkan bahwa nilai akhir mahasiswa praktikan ditentukan oleh nilai persiapan, nilai pelaksanaan, nilai pelaporan, dan nilai ujian akhir. Persiapan praktikum yang menjadi sasaran penilaian meliputi model dan set-up. Penilaian pelaksanaan praktikum meliputi tiga hal yaitu: operasi alat, koleksi data, dan kerjasama.
SEMNAS MIPA 2010
3.3. Instrumen Praktikum
Penilaian
Kegiatan
Penilaian (asesmen) dan keputusankeputusan evaluatif yang dihasilkannya haruslah akurat sehingga mampu mencegah pemahaman dan komunikasi yang keliru oleh pihak-pihak terkait. Oleh karenanya diperlukan berbagai jenis asesmen yang secara bersama-sama akan menghasilkan
FIS - 117
informasi evaluatif yang lengkap dan akurat. Metode asesmen formal direncanakan lebih bagus dalam pengadministrasiannya. Metode ini kurang spontanitasnya dan biasanya dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran. Para siswa menyadari atau mengetahui tentang penggunaan metode asesmen formal ini. Contoh metode ini diantaranya adalah tes meliputi beberapa bab, ujian final, PR terstruktur dan sebagainya. Metode asesmen informal dilaksanakan lebih spontan dan kurang kentara/terlihat. Biasanya terjadi selama proses pembelajaran . Contoh metode ini seperti: observasi dan pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran (Sugiyanto, 2005, 35). Asesmen formal memiliki kelebihan lebih dapat dipertanggungjawabkan kepada berbagai pihak daripada asesmen informl, karena ada reka jejaknya. Penilaian formal yang baik membutuhkan instrumen penilaian yang kriteria validitas dan kelayakan. Pengembangan instrumen penilaian diawali oleh kegiatan penetapan sasaran penilaian. Dalam kegiatan praktikum sasaran penilaian itu adalah tujan pelaksanaan praktikum yang biasanya termaktub dalam petunjuk pelaksanaan praktikum. Dalam praktikum jenis verifikatif sasaran penilian kegiatan praktikum meliputi: persiapan, pelaksanaan, pelaporan, dan ujian akhir. Pencermatan terhadap tujan praktikum akan membimbing kita pada penemuan indikatorindikator proses pelaksanaan praktikum maupun indikator-indikator hasil belajar. Selanjutnya dapat dilakukan pemilihan dan penetapan indikator-indikator yang yang esensial untuk dapat dikembangkan menjadi butir-butir instrumen. Jenis dan karakter indikator-indikator penilaian ini membawa konsekuensi pada bentuk instrumen metode dan teknik-teknik penilaian. Instrumen untuk menilai kemampuan awal mahasiswa praktikan dapat berupa tes tulis, maupun lembar panduan wawancara. Sedangkan untuk kegiatan pelaksanaan praktikum bentuk instrumen yang paling cocok adalah lembar panduan observasi. Produk atau laporan kegiatan praktikum dapat dinilai dengan baik menggunakan instrumen panduan penilaian produk. Sedangkan instrumen penilaian hasil akhir praktikum dapat berupa SEMNAS MIPA 2010
instrumen tes perbuatan, atau tes tulis, maupun tes wawancara. Instrumen penilaian yang baik harus memenuhi kriteria validitas dan kelayakan. Dalam terminologi penilaian klasik atau baku ada beberapa ukuran kelayakan instrumen yaitu: validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Ukuran kelayakan instrumen untuk penilaian yang modern dan autentik lebih menekankan validitas konstruk dan validitas isi, serta keserhanaan kalimat. Pengembangan instrumen tes awal atau panduan wawancara kemampuan awal mahasiswa praktikan dengan mencermati pengetahuan dan ketrampilan prasyarat sebelum kegiatan paktikum dilaksanakan. Pada kegiatan Praktikum Fisika Modern telah disebutkan dalam lembar sistem penilaian pengetahuan dan ketrampilan awal mahasiswa praktikan, walaupun masih terlalu umum (Lampiran 1). Sumber utama sebagai dasar pengembangan adalah tujan pelaksanaan praktikum. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan praktikum Praktikum Fisika Modern dapat ditunjukkan tujuan kegiatan praktikum untuk enam judul kegiatan seperti ditunjukkan oleh Tabel 1. Persiapan praktikum Fisika Modern yang menjadi sasaran penilaian meliputi model dan set-up. Model praktikum yang menjadi sasaran penilaian antara lain mahasiswa mampu menyebutkan: besaranbesaran yang diukur, sifat hubungan antar besaran, gejala fisika yang diamati, besaran yang dihitung, dan teknik analisa data. Sedangkan sasaran penilaian set-up antara lain mahasiswa mampu menyebutkan: bagian-bagian penting komponen, fungsi komponen, cara kerja set-up, dan prosedur pengambilan data. Tabel 1. Tujuan Praktikum Modern (MIPA, 2007)
Fisika
Judul Praktikum
Tujuan Kegiatan Praktikum Mengukur energi kinetik elektronfoto untuk beberapa nilai intensitas dari satu warna cahaya yang menimpa katoda. Efek Fotolistrik Mengukur energi kinetik maksimum elektronfoto yang terpancar untuk beberapa warna cahaya yang menimpa logam.
FIS - 118
Interferometer Michelson
Frank-Hertz
e/m Elektron
Efek Hall
Radiasi Nuklir
Menentukan hubungan antara energi kinetik elektronfoto dengan frekwensi cahaya yang menimpa katoda. Menentukan konstanta alam Planck. Menentukan fungsi kerja bahan lempeng katoda Memahami cara kerja interferometer Michelson. Mengukur panjang gelombang sinar LASER HeNe Mempelajari tingkat energi diskrit dalam atom. Menunjukkan tingkat energi eksitasi pada atom. Mengamati gerakan melingkar elektron dalam medan magnet Menenetukan besarnya muatan spesifik (e/m) elektron Menentukan konstanta Hall pada logam Menenetukan jenis pembawa muatan pada logam Menentukan konduktivitas bahan logam. Menentukan mobilitas bahan logam. Menentukan counting rate ( cacah radiasi ) dari bahan radioaktif Menentukan penyerapan radioaktif dari bahan pelindung
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengembangan Draft Instrumen Lokakarya pengembangan instrumen praktikum sebagai langkah awal identifiksi sasaran penilaian tentang kemampuan prosedural setiap mata parktikum. Lokakarya direncanakan dihadiri oleh seluruh dosen pembimbing praktikum dan seluruh asisten pendamping praktikum, yang seluruhnya berjumlah 39 orang. Peserta yang hadir dalam kegiatan lokakarya hanya 8 orang. Secara kebetulan kedelapan peserta ini merupakan pendamping dari lima praktikum yang sedang dikaji. Hasil lokakarya ini berupa deskripsi sasaran
SEMNAS MIPA 2010
penilaian untuk setiap tahap praktikum dari kelima mata praktikum yang sedang dikaji. Selain itu juga diperoleh gambaran rentang skor dari setiap sasaran penilaian yang berhasil diidentifikasi. Informasi awal ini sangat berguna bagi peneliti sebagai rujukan pendamping untuk pengembangan instrumen. Namun demikian lokakarya ini belum menghasilkan informasi yang cukup baik. Para peserta lokakarya kurang berhasil mengidentifikasi sasaran kemampuan prosedural dalam Matakuliah Fisika Modern dikarenakan tidak jelasnya tuntutan/ tagihan yang ada dalam petunjuk praktikum. Selanjutnya peneliti mengembangkan variabel kemampuan prosedural pelaksanaan praktikum menjadi tiga sub konsep yaitu kemampuan persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Definisi konseptual tentang sub-sub konsep ini seperti yang tampak pada Gambar 2, mengacu pada sistem penilaian yang telah ada sebelumnya. Hasil diskusi validasi dengan kelompok ahli bidang pengembangan instrumen dan pengujian diperoleh bahwa ketidakjelasan deskribsi kompetensi dalam Matakuliah Fisika Modern menyebabkan tidak mungkin dikembangkan konstruk maupun konsep kemampuan kerja laboratorium berkaitan dengan rekonstruksi eksperimen bersejarah bidang fisika modern. Dari enam mata praktikum yang terselenggara, tidak ada kebersamaan tuntutan kepada mahasiswa praktikan, baik dalam ranah kognitif, psikomotor/ketrampilan maupun ranah afektif. Keenamnya tidak secara bersamasama membentuk satu kompetensi tertentu dalam ranah pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap. Sangat jelas terlihat bahwa seluruh matapraktikum yang terselenggara tidak diprogramkan secara bersama, melainkan disusun sendiri-sendiri oleh beberapa dosen, kemudian dikemas menjadi satu petunjuk praktikum. Tidak tampak bangunan kompetensi yang terjadi, yang dapat menggambarkan pengalaman belajar secara spesifik dari mahasiswa peserta matakuliah ini dan membedakannya dengan matakuliah praktikum yang lain.
FIS - 119
Gambar 2. Peta Konsep Kemampuan Melakukan Kegiatan Praktikum Fisika Modern Selain itu juga diperolah bahwa untuk mata praktikum Efek Hall direkomendasikan untuk tidak disertakan dalam matakuliah ini tidak selaras dengan matakuliah teori Fisika Modern. Hal ini diprediksikan akan menyebabkan mahasiswa praktikan mengalami banyak kendala dalam menyelesaikan kegiatan praktikum baik pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pelaporan. Tentang tatacara penskoran juga disarankan untuk menggunakan cara yang lebih sederhana sehingga penilai tidak perlu menafsirkan skor dari sasaran penilaian, misalnya dengan membuat/mengembangkan kriteria dan skor yang digital yaitu 0 dan 1. Hal ini untuk meningkatkan obyektivitas saat pelaksanaan penilaian. Artinya penilai tidak perlu menafsirkan respon dari praktikan sehingga penilai tidak terlibat secara emosional, yang akan mempengaruhi skor akhir praktikan. Saat pelaksanaan penilaian disarankan untuk dikelola sedemikian rupa agar setiap praktikan memperoleh skor SEMNAS MIPA 2010
secara individual, walaupun proses pelaksanaan praktikum secara berkelompok. Sehingga untuk tahap persiapan dan pelaporan seyogyanya dilaksanakan secara indiviual. Hasil diskusi validasi dengan kelompok ahli bidang / kegiatan praktikum diperoleh informasi evaluatif tentang perlunnya pembatasan butir untuk kegiatan persiapan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa waktu penilian persiapan agar tidak lebih dari 15 menit. Berdasarkan informasi evaluatif dari hasil diskusi dengan kelompok ahli kegiatan praktikum dilakukanlah revisi perbaikan terhadap insrumen, yaitu dengan memangkas jumlah butir untuk tahap persiapan praktikum menjadi hanya dua butir pernyataan (perintah). Untuk kelompok instrumen pelaksanaan dan pelaporan sudah cocok dengan proses dan capaian yang diinginkan selama dan setah pelaksanaan praktikum.
FIS - 120
4.2. Validasi Instrumen oleh Ahli Validasi draft instrumen dilakukan dengan memintakan penilaian pada dua kelompok ahli, yaitu kelompok pertama terdiri dari dua ahli dalam bidang pengembangan instrumen dan pengujian, dan kelompok kedua terdiri dari tiga ahli dalam bidang praktikum. Penilaian oleh tim ahli terhaap 5 set instrumen yang masingmasing terdiri dari tiga buah instrumen yaitu
instrumen penilaian persiapan, lembar observasi pelaksanaan praktikum, dan instrumen penilaian produk pelaporan. Ukuran-ukuran kelayakan yang dinilai meliputi validitas isi, validitas konstruk, non ambiguitas, obyektivitas, dan fisibilitas. Hasil penilaian tim ahli terhadap kelayakan instrumen dapat disederhanakan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel 4.1 Hasil Penilaian Kelayakan Instrumen oleh Tim Ahli Instrumen
Efek Fotolistrik Interferometer Michelson Frank-Hertz
e/m Elektron
Radiasi Nuklir
Persiapan Pelaksanaan Pelaporan Persiapan Pelaksanaan Pelaporan Persiapan Pelaksanaan Pelaporan Persiapan Pelaksanaan Pelaporan Persiapan Pelaksanaan Pelaporan
Validitas konstruk 80 100 100 80 100 80 80 100 80 80 100 80 100 100 80
Hasil Penilaian (%) Validitas non Obyektivitas Fisibilitas isi Ambiguitas 80 100 100 100 100 80 80 100 100 100 100 100 80 100 100 100 100 100 80 100 80 100 100 100 80 80 80 100 100 100 80 100 80 100 100 100 80 100 100 100 100 100 80 100 80 100 100 100 100 100 100 100 100 100 80 100 80 100 100 100
4.3. Penilaian oleh Pengguna
5. SIMPULAN
Walaupun belum teruji secara empiris dilapangan, akan tetapi dari hasil diskusi dengan 8 orang asisten pendamping praktikum Praktikum Fisika Modern diperoleh bahwa butir-butir instrumen ini sangat jelas dan sederhana (non ambigu) dan diprediksi meiliki taraf kelayak-laksanaan (fisibilitas) yang tinggi. Demikian pula dengan tingkat obyektivitasnya yang tinggi, karena dirancang agar tidak terpengaruh oleh faktor pertimbangan subyektif penilai. Dengan menekan serendah mungkin pengaruh pertimbangan subyektif dari penilai, maka instrumen penilaian akan dapat menilai obyek ukur dengan apa adanya. Hal ini juga berarti jika instrumen ini digunakan dengan benar maka akan dapat dibedakan dengan jelas praktikan yang mampu secara prosedural dan kurang mampu secara prosedural.
Berdasarkan paparan dan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Prosedur pengembangan instrumen penilaian dalam perkuliahan Praktikum Fisika Modern dimulai dari uji pendahuluan, perancangan, pengembangan draft instrumen, revisi, penilaian oleh tim ahli, penilaian oleh pengguna, dan revisi akhir 2. Pengujian Kelayakan meliputi dua tahap yaitu Tahap I: penilaian oleh tim ahli bidang pengembangan instrumen / pengujian dan tim ahli kegiatan praktikum meliputi validitas isi, validitas konstruk, non ambiguitas, obyektivitas, dan fisibilitas; dan Tahap II: penilaian oleh para asisten pendamping praktikum untuk mendapatkan tanggapan tentang kelayakan instrumen meliputi non ambiguitas, obyektivitas, dan fisibilitas dari produk instrumen.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 121
3. Instrumen penilaian yang dikembangkan telah memiliki kelayakan untuk mengukur kemampuan prosedural mahasiswa praktikan dalam perkuliahan Praktikum Fisika Modern, setelah mengalami beberapa kali revisi 4. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari 5 set sesuai dengan jumlah judul praktikum, dimana setiap set terdiri dari tiga instrumen yaitu untuk instrumen penilaian persiapan, lembar observasi pelaksanaan, dan instrumen penilaian pelaporan. DAFTAR RUJUKAN Bambang Sumintono. 2008. Pelatihan Pengajaran Sains di Laboratorium. Tersedia pada http://www.engineeringtown.com/home/ teachers/index.php?option=com_content&view= article&id=165:pelatihan-pengajaran-sains-dilaboratorium&catid=36:artikel&Itemid=54 Diakses pada tanggal 3-02-2010. MIPA. (2007). Katalog FMIPA UM Jurusan Fisika. FMIPA Universitas Negeri Malang Edisi 2007. MIPA. (2007). Petunjuk Praktikum Fisika Modern. FMIPA Universitas Negeri Malang. Lawson, A.E. 1995. Science Teaching and the Development of Thinking. California: Wadsworth Publishing Company. Lazarowitz, R. & P. Tamir. 1994. “Research on Using Laboratory Instruction in Science.” Handbook of Research on Science Teaching and Learning. Edited by: D. L. Gabel. New York: Macmillan Publishing Company. S. Feranie, Setiawan,A., & A Suhandi, Problem Solving Laboratory: Suatu Model Alternatif Inovasi Pembelajaran Dalam Kegiatan Praktikum Fisika Dasar, Seminar Nasional Pendididkan MIPA, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005 Sugiharto dkk .2006 Psikologi Pendidikan. FIP UNY. Sugiyanto. 2007. Penilaian Pendidikan Fisika. Buku Ajar FMIPA UM UNTIRTA. 2008. Petunjuk Praktikum Laboratorium Operasi Teknik Kimia Tersedia pada http://www.che.itb.ac.id/labtek/files/Tata%20Ter tib.pdf Diakses pada tanggal 3-02-2010.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 122
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISIKA DASAR I MAHASISWA MELALUI TUGAS PETA KONSEP DAN PEMBELAJARAN MODEL STAD Drs. Parno, M.Si Dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang e-mail:
[email protected]
Abstrak Fisika Dasar I adalah matakuliah wajib di jurusan Fisika, baik bagi mahasiswa prodi Pendidikan Fisika maupun Fisika. Fisika dasar I merupakan matakuliah strategis karena menjadi dasar bagi hampir semua matakuliah program sarjana. Prestasi belajar mahasiswa harus terus diupayakan menjadi lebih baik dengan cara menyelenggarakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Perkuliahan semester pendek hanya boleh diikuti oleh mahasiswa yang belum lulus atau memperoleh nilai maksimum C. Pembelajaran Fisika Dasar I semester Pendek 2008/2009 ini dilakukan dengan tugas membuat peta konsep dan model Student Teams Achievements Divisions (STAD). Desain penelitian ini adalah preeksperimental rancangan pra-post tes dalam satu kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dalam matakuliah Fisika Dasar I (1) mampu meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, yang ditandai oleh gain score ternormalisasi rata-rata 0,38 (kategori medium) untuk materi bagian pertama dan 0,35 (kategori medium) untuk materi bagian kedua, dan (2) menghasilkan respon positip mahasiswa terhadap proses pembelajaran. Dosen dapat menggunakan model ini sebagai salah satu alternatif pembelajaran Fisika Dasar I pada perkuliahan semester pendek mendatang. Kata-kata kunci: STAD, peta konsep, fisika dasar
Matakuliah Fisika Dasar I dengan bobot 3 sks/3 js adalah matakuliah wajib di jurusan Fisika, baik bagi mahasiswa prodi Fisika maupun Pendidikan Fisika (Katalog FMIPA UM, 2009). Matakuliah tersebut disajikan pada semester pertama dan menjadi dasar bagi hampir semua matakuliah program sarjana. Tujuan matakuliah Fisika Dasar I adalah agar mahasiswa dapat memahami konsep dasar besaran, satuan dan pengukuran; konsep dasar mekanika klasik; dan konsep dasar termodinamika. Sedangkan cakupan materinya adalah (1) Besaran dan satuan, analisis dimensional, aljabar vektor, kinematika dan dinamika partikel (hukum gerak Newton, gerak linier, gerak parabola); (2) Usaha-energi: tumbukan, impuls dan momentum, hukum kekekalan energi; (3) Kinematika dan dinamika rotasi: hukum kekekalan momentum sudut, momen gaya dan momentum sudut, keseimbangan benda tegar, hukum gravitasi Newton, Osilasi; (4) Elastisitas; (5) Fluida: statika dan dinamika fluida; dan (6) Thermodinamika: teori kinetik gas, sifat gas ideal, hukum termodinamika. Nilai minimal mahasiswa pada suatu perkuliahan matakuliah yang dinyatakan SEMNAS MIPA 2010
lulus adalah C. Mahasiswa yang belum lulus boleh mengulangnya manakala matakuliah yang bersangkutan sedang disajikan, baik pada semester regular maupun pendek. Khusus untuk semester pendek, mahasiswa yang boleh memprogram matakuliah adalah jika ia belum lulus dengan tujuan agar lulus, atau maksimal memiliki nilai C dengan tujuan memperbaiki nilai pada matakuliah yang dimaksud (Pedoman Pendidikan UM, 2009). Perkuliahan semester pendek diselenggarakan dengan jumlah materi dan pertemuan yang sama dengan regular, tetapi disajikan dalam rentang waktu separoh perkuliahan regular. Di Universitas Negeri Malang (UM), masa perkuliahan semester pendek adalah jeda waktu antara semester genap dan ganjil. Suatu matakuliah tertentu dapat disajikan pada perkuliahan semester pendek jika kuota minimal pesertanya terpenuhi. Salah satu yang disajikan pada perkuliahan semester pendek 2008/2009 adalah matakuliah Fisika Dasar I. Peserta matakuliah ini terdiri dari mahasiswa dari prodi Pendidikan Fisika dan Fisika, yang belum lulus atau maksimal memiliki nilai C FIS - 123
pada sajian semester sebelumnya. Dengan demikian input mahasiswa peserta matakuliah Fisika Dasar I pada semester pendek ini dapat dikatakan kualitas akademiknya kurang. Upaya agar prestasi belajar mahasiswa selalu lebih baik terus dilakukan. Salah satu upaya tersebut adalah menyelenggarakan pembelajaran perkuliahan yang berpusat pada mahasiswa. Oleh karena itu perkuliahan Fisika Dasar I pada semester pendek 2008/2009 ini diselenggarakan melalui pembelajaran dengan memberi tugas membuat peta konsep dan model Student Teams Achievements Divisions (STAD). Membuat peta konsep memerlukan enam langkah, yaitu (1) menentukan bahan bacaan, (2) membaca sedikitnya sekali, menentukan konsep utama, dan konsepkonsep yang relevan, (3) mengklasifikasikan hirarki konsep, mulai dari yang paling abstrak/umum sampai yang paling konkrit/khusus, (4) menyusun klasifikasi konsep-konsep tadi menjadi susunan dua dimensi, yang umum di puncak peta, yang analog dengan “peta jalanan” (setiap konsep berfungsi sebagai “kota tujuan” yang hendak dicapai) dengan rute yang ditentukan oleh konsep-konsep lain di sekitarnya, (5) menghubungkan konsep yang berkaitan dengan garis-garis penghubung dan memberi kata penghubung pada setiap garis penghubung itu, dan (6) mengembangkan peta konsep tersebut, misalnya dengan menambahkan dua atau lebih konsep yang baru ke setiap konsep yang sudah ada dalam peta (Novak, 1980 dalam Susilo, 1988). Konsep yang paling umum terletak di puncak dan memberikan identitas peta konsep yang bersangkutan. Makin ke bawah konsep-konsep menjadi lebih khusus. Peta konsep akan baik jika terdiri dari banyak konsep, memiliki banyak tingkat abstraksi dalam hirarkinya, dan banyak garis bersilang yang merupakan garis penghubungnya. Tidak ada peta konsep yang sama persis. Setiap peta konsep yang dibuat oleh seseorang menunjukkan pengertiannya yang unik dalam bidang pengetahuan tertentu. Dengan membuat peta konsep berarti mahasiswa telah melakukan belajar bermakna. Konsep baru hasil belajar bermakna relatif bertahan
SEMNAS MIPA 2010
lebih lama dalam ingatan mahasiswa sehingga hasil belajarnya akan meningkat. Sebagai alat pembelajaran, peta konsep membantu mahasiswa aktif berpikir untuk memusatkan pada sejumlah ide pokok (berupa konsep-konsep) dari suatu pokok bahasan. Secara rinci penggunaan peta konsep bagi mahasiswa untuk (1) mengeksplorasi apa yang telah diketahui oleh mahasiswa, (2) memberikan arah pembelajaran (seperti peta jalanan), (3) membantu mengekstraksi arti kerja lab atau studi lapang, (4) membantu membaca materi dari diktat kuliah, (5) membantu mahasiswa mencapai hasil pembelajaran yang berkualitas tinggi serta bermakna, karena membantu mahasiswa mengingat informasi dan melihat keterkaitan antar konsep, dan (6) membantu mahasiswa menggabungkan ide yang satu dengan lainnya (Novak, 1985 dalam Susilo, 1999). Dalam penelitian ini peta konsep yang dibuat oleh mahasiswa bersumber pada pengetahuannya tentang materi Fisika Dasar I dari perkuliahan semester sebelumnya, meskipun belum lulus atau maksimal memperoleh nilai C. Dari peta konsep tersebut diharapkan mahasiswa dapat mengenali sejumlah miskonsepsi tentang materi Fisika Dasar I, yang selanjutnya dapat menjadi bahan fase studi kelompok dalam pembelajaran STAD. Peta konsep dikumpulkan sebagai syarat mengikuti pretes dalam pembelajaran model STAD. Penelitian di SLTP Lab UM menunjukkan bahwa kelas yang siswanya membuat peta konsep memiliki skor tes prestasi yang lebih tinggi daripada kelas kontrol (Zubaidah, 2000). Pembelajaran kooperatif model STAD dapat meningkatkan perasaan positif satu dengan lainnya, mengurangi keterasingan dan kesendirian, membangun hubungan dan menyediakan pandangan positif terhadap orang lain. Terdapat lima unsur asas dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (1) saling bergantung antara satu sama lain secara positif, (2) saling berinteraksi secara bertatap muka, (3) akuntabilitas individu atas pembelajaran diri sendiri, (4) kemahiran kerja sama, dan (5) pemrosesan kelompok (Suyanto, 2008). Dengan demikian model STAD didasarkan pada prinsip bahwa para siswa bekerja bersamasama dalam belajar dan bertanggung jawab FIS - 124
terhadap belajar teman-temannya dalam tim dan juga dirinya sendiri. Dalam model STAD kelompok terdiri atas empat siswa yang mewakili keseimbangan kelas dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras. Kelompok merupakan tampilan yang penting dari STAD, dan penting pula bagi guru dalam rangka mengarahkan anggota masing-masing kelompok (Slavin, 1995). Dalam model STAD terdapat aturan kelompok yang perlu dijelaskan dan dipasang di papan pengumuman, yaitu (1) para siswa memiliki tanggungjawab bahwa semua anggota kelompoknya telah belajar materi dengan sungguh-sungguh, (2) tak
seorangpun selesai belajar sampai semua anggota kelompoknya telah tuntas mempelajari materi, (3) bertanyalah kepada temanmu dalam kelompok sebelum bertanya pada guru, dan (4) anggota kelompok mendiskusikan materi dengan teman satu kelompok dengan suara yang tidak keras. Aturan kelompok di atas dimaksudkan untuk membangun kebersamaan dan saling kebergantungan positif di antara mereka. Model STAD memiliki empat fase yang harus dilakukan dalam pembelajaran seperti disajikan dalam tabel berikut (Slavin, 1995).
Tabel 1 Empat Fase dalam Model STAD Fase 1. Presenasi Kelas
2. Studi Kelompok
3. Pengetesan
4. Penghargaan
Aktivitas Dosen menyajikan secara langsung tentang materi (konsep, keterampilan, dan kerja ilmiah) perkuliahan dengan metode ceramah, ceramah dan demonstrasi, atau presentasi menggunakan audiovisual Anggota kelompok bekerja bersama untuk menyelesaikan lembar kerja yang telah disiapkan dan dosen perlu memeriksa bahwa setiap anggota kelompok dapat menjawab semua pertanyaan dalam lembar kerja Para siswa harus mengatur kursinya sehingga mereka dapat saling berhadapan dalam kelompoknya Dosen menyelenggarakan tes secara individu untuk mengukur pengetahuan yang diperoleh siswa Skor peningkatan individu akan digunakan untuk menentukan skor peningkatan kelompok Tahap yang mampu mendorong para siswa untuk lebih kompak, dan penghargaan diberikan kepada kelompok-kelompok berdasarkan rata-rata peningkatan kelompok, misalnya dengan sebutan Bintang Sains, Kelompok Enstein, atau sebutan lainnya
Dari tabel di atas tampak bahwa dalam pembelajaran STAD kelompok berkompetisi dengan kelompok-kelompok lain, siswa dalam satu kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang telah disiapkan oleh guru, hasil kerja dan atau penghargaan adalah untuk kelompok bukan untuk perorangan, siswa merasa keberhasilan mereka bergantung pada perilaku dan kinerja siswa lainnya dalam kelompok, efektif dalam mengurangi dominansi siswa yang pintar dalam belajar kelompok, dan guru memberi umpan balik untuk kelompok. Dengan demikian interaksi dalam kelompok dan antar kelompok lebih efektif dan efisien karena adanya bahan diskusi yang telah dirancang sedemikian rupa oleh guru dan adanya bimbingan dan arahan guru secara intensif.
SEMNAS MIPA 2010
Hal yang demikian diharapkan dapat lebih meningkatkan prestasi belajar mahasiswa. Berikut adalah beberapa penelitian tentang model pembelajaran STAD. Skor fisika siswa atau mahasiswa kelas yang diajar dengan model STAD lebih tinggi daripada kelas konvensional (Lamba, 2006; Parno, 2009). Penggunaan model STAD dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia siswa (Parlan, 2006). Penggunaan pembelajaran model STAD dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia organik mahasiswa (Parlan, 2003). Dalam penelitian ini diharapkan pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada matakuliah Fisika Dasar I. Prestasi belajar Fisika Dasar I mahasiswa yang baik akan membekalinya saat FIS - 125
menempuh hampir semua matakuliah lanjutannya dalam mendapatkan gelar sarjananya. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Sedangkan jenis desain eksperimennya adalah pre-eksperimental (tanpa kelompok kontrol) rancangan prapost tes dalam satu kelompok (the one group-pre test post test design) (Tuckman, 1987). Subyek penelitian adalah 36 mahasiswa angkatan 2007/2008 yang sedang menempuh matakuliah Fisika Dasar I pada semester pendek 2008/2009 dengan rincian 19 mahasiswa prodi Pendidikan Fisika dan 17 mahasiswa prodi Fisika. Pada subyek dikenakan tes awal sebelum perlakuan, dan tes akhir setelah perlakuan. Bentuk perlakuannya adalah tugas membuat peta konsep dan pembelajaran model STAD. Pertemuan pertama diisi dengan tes awal, memaparkan tujuan matakuliah Fisika Dasar I, kuliah singkat tentang cara membuat peta konsep dan pembelajaran model STAD, serta pembentukan 9 kelompok diskusi heterogen berdasarkan IP semester sebelumnya dengan 4 mahasiswa perkelompok. Pertemuan kedua dan seterusnya adalah mengumpulkan tugas peta konsep di awal perkuliahan dan menyelenggarakan pembelajaran model STAD: pretes individual 10 butir soal B-S, presentasi materi secara ringkas, diskusi kelompok berpasangan dan dilanjutkan berempat dengan bahan permasalahan diskusi 1 lembar per 2 mahasiswa yang telah disiapkan oleh dosen, presentasi kelompok dalam diskusi kelas yang dipimpin oleh dosen, postes individual 10 butir soal B-S, dan pemberian penghargaan kelompok sesuai dengan besar peningkatan skor pretes-postes yang dicapai. Pada pertemuan terakhirdiadakan tes akhir dan penyebaran angket respon mahasiswa. Sebagai syarat mengerjakan tes akhir, mahasiswa diwajibkan mengumpulkan tugas penyelesaian 3 permasalahan tersulit dari setiap pertemuan diskusi kelompok. Materi Fisika Dasar I dibagi menjadi dua bagian. Materi bagian pertama meliputi (1) Kinematika dan Gerak Melingkar, (2) Hukum-hukum Newton, Gaya Gesek, dan
SEMNAS MIPA 2010
Sifat Elastik Bahan, (3) Usaha dan Momentum, dan Review Materi 1, 2, dan 3. Materi bagian dua meliputi (4) Gerak Rotasi dan Kesetimbangan Benda Tegar, (5) Fluida dan Getaran, dan (6) Kalor. Tampak bahwa materi bagian dua tidak ada review karena keterbatasan waktu. Karena materi matakuliah Fisika Dasar I terdiri dari dua bagian, maka tes awal dan tes akhir juga dilakukan dua kali sesuai dengan cakupan bagian materi tersebut. Instrumen Tes Prestasi Belajar Fisika Dasar I terdiri dua tes dengan cakupan materi bagian seperti di atas. Masingmasing tes terdiri dari 40 butir soal berbentuk soal obyektif dengan lima alternatif jawaban A, B, C, D dan E. Intrumen penelitian yang lain adalah Angket Respon Mahasiswa terhadap proses pembelajaran. Angket ini meliputi tiga kategori, dan setiap kategori mengandung sejumlah aspek. Rinciannya adalah kategori A: penilaian terhadap kinerja dosen (aspek penguasaan materi, cara menyampaikan materi, model pembelajaran yang digunakan, sikap di kelas, dan pengelolaan kelas); kategori B: pemahaman mahasiswa terhadap materi (aspek materi lebih mudah dipahami, materi lebih menyenangkan untuk dipelajari, soal-soal tes lebih mudah dikerjakan, dan mahasiswa termotivasi untuk belajar mandiri); dan kategori C: tanggapan siswa terhadap alat belajar (aspek alat belajar membantu pemahaman materi, dan tersedia untuk semua bab yang dipelajari). Setiap aspek dinyatakan dalam beberapa pernyataan yang menuntut mahasiswa untuk memberikan respon STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), S (setuju), atau SS (sangat setuju). Peningkatan prestasi belajar mahasiswa dapat dilihat dengan membandingkan antara skor tes awal dan akhir prestasi belajar mahasiswa. Pengujian perbedaan kedua skor tersebut menggunakan gain score ternormalisasi rata-rata, yaitu gain rata-rata aktual dibagi dengan gain rata-rata aktual maksimum yang mungkin, dengan rumusan berikut % gain % post tes % pre tes g % gain max 100 % pre tes (Hake, 1998)
FIS - 126
Klasifikasi peningkatan prestasi belajar ditandai oleh besarnya
, yakni tinggi jika terdapat lebih besar daripada 0,7 medium jika terdapat antara 0,3 sampai dengan 0,7 rendah jika terdapat lebih kecil daripada 0,3 Gain score ternormalisasi rata-rata juga merupakan indikator yang lebih baik dalam menunjukkan tingkat efektivitas perlakuan daripada perolehan skor atau post-test (Hake, 2002). Gain score ternormalisasi rata-rata bernilai minimal 0 terjadi jika skor rata-rata tes akhir sama dengan tes awal, dan maksimum 1 terjadi jika skor rata-rata tes akhir adalah 100. Terhadap data hasil angket respon mahasiswa terhadap pembelajaran dilakukan analisis kuantitatif, yaitu mencari rata-rata dari seluruh nilai butir pernyataan angket, dengan kriteria pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD mendapatkan respon positip dari mahasiswa jika pilihan jawaban sangat setuju dan setuju oleh mahasiswa melebihi 50% (Ubaya, 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut dideskripsikan proses pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD yang dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa. Perkuliahan Fisika Dasar I semester Pendek 2008/2009 berlangsung setiap hari Selasa jam ke-5 s/d 7, dan Kamis jam ke-5 s/d 7. Berikut disajikan deskripsi agak rinci tentang pembelajaran tersebut di atas. Pertemuan 1: Tes awal materi bagian pertama, memaparkan tujuan matakuliah Fisika Dasar I, kuliah singkat tentang cara membuat peta konsep dan pembelajaran model STAD, serta pembentukan 9 kelompok diskusi heterogen berdasarkan IP semester sebelumnya dengan 4 mahasiswa perkelompok. Pertemuan 2 s/d 4: Pembelajaran model STAD. Pretes individu mengawali
SEMNAS MIPA 2010
pembelajaran ini. Sebagai syarat mengikuti pretes, mahasiswa mengumpulkan peta konsep tentang materi yang dibahas pada hari perkuliahan tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi singkat materi, diskusi kelompok dengan bahan yang telah disiapkan dosen dengan pola diskusi berpasangan dilanjutkan dengan diskusi berempat, postes individu, dan penghargaan kelompok. Pertemuan 5: Sama seperti pertemuan sebelumnya, tetapi membahas Review Materi 1, 2, dan 3 sebelumnya. Pada akhir pertemuan 5 ini, mahasiswa diberi tugas mandiri untuk memilih dan mengerjakan kembali 3 permasalahan diskusi yang paling sulit dari 4 bahan diskusi yang telah dilakukan sebelumnya. Tugas mandiri tersebut harus ditulis tangan. Pertemuan 6: Tes akhir materi bagian pertama, dan dilanjutkan dengan pengisian angket respon mahasiswa. Sebagai syarat mengerjakan tes akhir tersebut, mahasiswa diwajibkan mengumpulkan tugas mandiri tersebut di atas. Pertemuan 7: Tes awal materi bagian kedua. Pertemuan 8 s/d 10: Pembelajaran model STAD seperti pertemuan 2 s/d 4 di atas untuk materi bagian kedua. Pada akhir pertemuan 10 ini, mahasiswa diberi tugas mandiri seperti di atas. Pertemuan 11: Tes akhir materi bagian kedua dengan syarat mahasiswa mengumpulkan tugas mandirinya. Setelah mengerjakan tes akhir, mahasiswa mengisi angket respon mahasiswa. Tampak bahwa pada perkuliahan materi bagian kedua tidak dilakukan Review Materi yang membahas materi 4, 5, dan 6 sebelumnya. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu.Berikut disajikan ringkasan hasil tes awal dan akhir prestasi belajar yang dicapai mahasiswa pada matakuliah Fisika Dasar I pada semester pendek 2008/2009.
FIS - 127
Tabel 2 Ringkasan Hasil Statistik Tes Awal dan Akhir Prestasi Belajar Mahasiswa No
Materi
1
Bagian I Bagian II
2
Skor Tes Awal RataMin Max rata 5 47,5 25,20 5
47,5
19,93
Skor Tes Akhir RataMin Max rata 22,5 85 53,40
Peningkatan Skor (%) RataMin Max rata 17,5 37,5 28,20
17,5
12,5
90
Tampak bahwa pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD secara kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, baik skor minimum, skor maksimum, maupun skor rata-ratanya. Tampak pula bahwa skor pada materi bagian pertama lebih tinggi daripada materi bagian kedua, baik pada skor tes awal, tes akhir maupun peningkatannya. Dengan demikian pembelajaran model ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa terhadap materi Fisika Dasar I, yang pada gilirannya diharapkan akan menjadi bekal dalam menempuh matakuliah-matakuliah berikutnya yang diprasyaratinya. Skor rata-rata tes akhir di atas, yang hanya 53,40 untuk materi bagian pertama dan 47,76 untuk materi bagian kedua, sesungguhnya belum memuaskan karena masih tergolong prestasi belajar sedang. Hal ini terjadi mungkin karena kualitas akademik mahasiswa peserta matakuliah Fisika Dasar I ini memang tergolong sedang. Semua mahasiswa peserta matakuliah ini berkategori “mengulang” atau memiliki nilai setinggi tingginya C pada matakuliah Fisika Dasar I yang ditempuh sebelumnya. Saat dibentuk kelompok diskusi heterogen di awal perkulaiahan, didapati rata-rata indek prestasi (IP) mahasiswa pada semester sebelumnya hanya 2,88. Disamping itu, penyebab lain yang mungkin adalah hampir separoh mahasiswa peserta matakuliah ini berasal dari prodi Fisika. Jika dicermati IP semester sebelumnya tersebut, mahasiswa prodi Fisika memiliki rata-rata IP 2,85 yang sedikit lebih rendah dari mahasiswa prodi
47,76
42,5
27,83
Pendidikan Fisika 2,90. Hal ini senada dengan hasil penelitian bahwa prestasi belajar kelas yang didominansi oleh mahasiswa prodi Fisika tidak sebaik yang didominansi oleh mahasiswa prodi Pendidikan Fisika (Parno, 2008). Hal ini terjadi karena kualitas masukan mahasiswa prodi Pendidikan Fisika jauh lebih baik daripada prodi Fisika. Perolehan gain ternormalisasi rata-rata untuk materi bagian pertama dan kedua disajikan dalam tabel berikut. Tabel 3 Perolehan gain score Rata-Rata Prestasi Belajar Mahasiswa No Materi 1 Bagian I 2
Bagian II
Gain score Rata-Rata 0,38 Berkategori “medium” 0,35 Berkategori “medium”
Tampak bahwa gain score ternormalisasi rata-rata untuk materi bagian pertama lebih tinggi sedikit daripada untuk materi bagian kedua. Tetapi, keduanya berharga positip dan termasuk dalam kategori “medium”. Hal ini berarti pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dalam kategori “medium”. Hasil gain score ternormalisasi ratarata dari skor rata-rata tes awal dan akhir di atas, ternyata berbeda dengan yang diperoleh dari pretes dan postes mahasiswa dari setiap pertemuan. Berikut disajikan gain score ternormalisasi rata-rata dari pretes dan postes setiap pertemuan.
Tabel 4 Perolehan gain score Rata-Rata Pretes Postes Tiap Pertemuan No 1
Materi Bagian I
2
Bagian II
SEMNAS MIPA 2010
Materi 1 0,41 Materi 4 0,72
Gain score Rata-Rata Materi 2 Materi 3 Review 0,57 0,59 0,09 Materi 5 Materi 6 0,360 0,48
Rata-rata 0,414 Rata-rata 0,516
FIS - 128
Tampak bahwa gain score ternormalisasi rata-rata untuk materi bagian pertama lebih rendah daripada untuk materi bagian kedua. Hal ini berbeda dengan gain score ternormalisasi rata-rata dari skor rata-rata tes awal dan akhir. Penyebabnya karena gain score ternormalisasi rata-rata yang sangat rendah pada materi bagian pertama untuk Materi Review, yang hanya berharga 0,09. Jika harga ini tidak diperhitungkan, maka diperoleh gain score ternormalisasi rata-rata untuk materi bagian pertama berharga 0,523 yang sedikit lebih tinggi daripada 0,516 untuk materi bagian kedua. Keberadaan Materi Review pada materi bagian pertama mungkin dapat dipikirkan analogi dengan materi tes akhir, baik untuk materi bagian pertama maupun kedua. Materi 1 s/d 6 memiliki lingkup lebih sempit dan langsung dapat diselesaikan serta dipahami dalam pertemuan perkuliahan saat itu. Tetapi, lingkup Materi Review lebih luas, yaitu meliputi materi 1 s/d 3 yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya. Lingkup materi yang lebih luas menuntut mahasiswa belajar lebih keras. Tetapi, tampaknya mahasiswa belum berhasil mengatasi hal ini. Hal yang sama terjadi saat mahasiswa menghadapi tes akhir, yang memuat lingkup materi yang lebih luas lagi. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa skor rata-rata tes akhir mahasiswa, yang hanya 53,40 untuk materi bagian pertama dan 47,76 untuk materi bagian kedua, tergolong belum memuaskan.
Peningkatan prestasi belajar mahasiswa pada matakuliah Fisika Dasar I di atas diduga disebabkan oleh hal-hal berikut. Mahasiswa memiliki motivasi belajar yang cukup tinggi karena belajarnya dipandu oleh adanya lembar permasalahan diskusi yang telah disiapkan oleh dosen. Disamping itu adanya penghargaan terhadap kelompok yang mampu menghasilkan peningkatan total dari skor pretes-postes menyebabkan setiap anggota kelompok bekerja keras dalam kelompoknya agar bisa memperoleh peningkatan skor yang lebih tinggi lagi. Adanya pretes di awal pembelajaran dan postes di akhir pembelajaran juga diduga dapat menyebabkan konsentrasi setiap anggota kelompok dalam langkah studi/diskusi kelompok dapat dipertahankan. Pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian serupa sebelumnya, yaitu skor fisika siswa kelas yang diajar dengan model STAD lebih tinggi darpada kelas konvensional (Lamba, 2006; Parno, 2009); penggunaan model STAD dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia siswa (Parlan, 2006) dan kimia organik mahasiswa (Parlan, 2003). Respon mahasiswa terhadap pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5 Distribusi Respon Mahasiswa terhadap Proses Pembelajaran % Pendapat Aspek yang dinilai
Materi Bagian I TS S
STS A. Penilaian terhadap kinerja dosen 1. Penguasaan materi 0.00 3.85 2. Cara menyampaikan materi 0.64 9.29 3. Model pembelajaran yang digunakan 0.00 3.85 4. Sikap di kelas 0.00 1.92 5. Pengelolaan kelas 0.00 4.10 Rata-rata aspek A 0.13 4.99 B. Pemahaman mahasiswa terhadap materi 1. Materi lebih mudah dipahami 0.00 5.77 2. Materi lebih menyenangkan untuk dipelajari 0.00 7.69 3. Soal-soal tes lebih mudah dikerjakan 0.00 10.77 4. Mahasiswa termotivasi 0.00 5.13
SEMNAS MIPA 2010
SS
STS
Materi Bagian II TS S
65.38 60.26
30.77 29.81
0.00 0.30
6.10 9.15
73.78 70.43
20.12 19.82
57.05 65.38 66.15 65.67
39.10 32.69 29.74 29.22
0.00 0.00 0.00 0.06
7.32 3.05 4.88 6.46
70.12 68.29 74.63 66.70
22.56 28.66 20.00 26.01
79.49
14.74
0.00
7.93
50.00
39.02
60.90
30.77
0.00
10.98
64.02
25.00
45.13 52.56
44.10 42.31
0.98 0.00
13.66 4.88
53.66 68.29
31.71 26.83
SS
FIS - 129
untuk belajar mandiri Rata-rata aspek B 0.00 7.34 59.52 32.98 0.24 9.36 58.99 C. Tanggapan siswa terhadap alat belajar (peta konsep, bahan diskusi, atau yang lain) 1. Alat belajar membantu pemahaman materi 0.00 10.26 65.38 24.36 0.00 9.76 75.61 2. Tersedia untuk semua bab yang dipelajari 0.00 12.82 66.67 20.51 0.00 13.41 75.61 Rata-rata aspek C 0.00 11.54 66.03 22.44 0.00 11.59 75.61 Rata-rata total 0.06 6.86 62.21 30.81 0.12 8.28 67.68
30.64
14.63 10.98 12.80 23.58
Dari tabel di atas tampak bahwa respon mahasiswa untuk materi bagian pertama maupun kedua adalah positip. Hal ini ditandai oleh lebih dari 50% mahasiswa menyatakan sangat setuju dan setuju, yaitu sebesar 93,02% untuk materi bagian pertama dan 91,26% untuk materi bagian kedua. Pada masing-masing aspek yang dinilai, respon tersebut juga positip. Hal ini berarti respon mahasiswa adalah positip, baik terhadap aspek A (penilaian terhadap kinerja dosen), aspek B (pemahaman mahasiswa terhadap materi), maupun aspek C (tanggapan siswa terhadap alat belajar). Respon mahasiswa pada materi bagian pertama sedikit lebih tinggi daripada materi bagian kedua. Hal ini mungkin yang menyebabkan terjadinya perbedaan sedikit lebih tinggi, baik skor rata-rata maupun gain score ternormalisasi rata-rata, dari materi bagian pertama atas materi bagian kedua. Respon mahasiswa menyatakan bahwa materi bagian pertama lebih mudah dipahami daripada yang kedua pada seluruh aspek kategori B (pemahaman mahasiswa terhadap materi). Menurut mahasiswa, materi bagian pertama lebih mudah untuk dipahami dan lebih menyenangkan sehingga tes akhirnya juga dirasakan lebih mudah dikerjakan dan lebih termotivasi mempelajarinya daripada materi bagian kedua.
dan pembentukan kelompok heterogen; (b) pembelajaran model STAD; dan (c) pertemuan akhir: tes akhir dan pengisian angket respon mahasiswa. (2) Pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dalam matakuliah Fisika Dasar I, yang ditandai oleh gain score ternormalisasi rata-rata 0,38 (kategori medium) untuk materi bagian pertama dan 0,35 (kategori medium) untuk materi bagian kedua. (3) Dalam pembelajaran matakuliah Fisika Dasar I, mahasiswa memberikan respon positip terhadap proses pembelajaran. Hasil penelitian ini, setidaknya, dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, yaitu dosen dan mahasiswa. Mahasiswa dapat menggunakan strategi tugas membuat peta konsep dan model STAD sebagai salah satu alternatif solusi dalam rangka meningkatkan prestasi belajar Fisika Dasar I saat menempuhnya pada semester pendek. Hal ini diharapkan pada gilirannya dapat menjadi bekal dalam menempuh matakuliah-matakuliah berikutnya yang diprasyaratinya. Dosen pembina matakuliah Fisika Dasar I dapat menggunakan strategi pembelajaran ini sebagai salah satu pijakan dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran matakuliah Fisika Dasar I pada perkuliahan semester pendek di masa mendatang.
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR RUJUKAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan berikut. (1) Deskripsi proses pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dalam matakuliah Fisika Dasar I pada semester Pendek 2008/2009 dengan alokasi waktu 3x2 js/minggu adalah (a) pertemuan awal: tes awal, memaparkan tujuan matakuliah Fisika dasar I, kuliah singkat tentang cara membuat peta konsep dan pembelajaran model STAD SEMNAS MIPA 2010
Hake, R.R. 1998. Interactive-engagement vs traditional methods: a six-thousand-student survey of mechamics test data for introductory physics courses. Am. J, Phys. 66: 64-74 Hake, R.R. 2002. Assesment of Physics Teaching Methods. Procedding of The UNESCO-ASPEN Worshop on Active Learning in Physics, Univesity of Peradineya, Sri Lanka, 2-4 December 2002
FIS - 130
Katalog FMIPA UM: Jurusan Fisika (Edisi 2009). Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.
Tuckman, B.W. 1987. Conducting Educational Research (second edition). New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc
Lamba, H.A. 2006. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan Gaya Kognitif Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 13, Nomor 2, Juni 2006
Zubaidah, S, Nuraini, I, Rosilawati, A. 2000. Peningkatan Motivasi Belajar Siswa SLTP Lab UM melalui Peta Konsep. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Sains di FMIPA UM pada 23 Pebruari 2000
Parlan. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Tipe STAD untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia Organik III Mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang. Malang. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan Parlan. 2006. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif STAD untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia Kelas X SMAN 9 Malang. Malang. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan Parno. 2008. Pengaruh Pembelajaran Menggunakan Peta Konsep dan Model Pemecahan Masalah terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Fisika Zat Padat Mahasiswa. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Kecenderungan Baru Fisika dan Pendidikannya, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, Malang, 5 Agustus 2008. Parno. 2009. Pengaruh STAD terhadap Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Menguasai Materi Fisika Sekolah. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains (JPMS) FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Volume 14, Nomor 2, November 2009 Pedoman Pendidikan UM (Edisi 2009). Malang: Universitas Negeri Malang. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice second edition. Boston: Allyn and Bacon Susilo, H. 1988. Penggunaan Peta Konsep dalam Pengajaran Biologi. Jurnal MIPA Universitas Negeri Malang: 9-16 Susilo, H. 1999. Peta Konsep: Alat Pembelajaran yang Penting untuk Pembelajaran Sains dengan Filosofi Konstruktivisme. Makalah disampaikan dalam pelatihan Guru Sains dengan Pendekatan STM. Malang, 12-15 Juli 1999 Suyanto, K.K.E. 2008. Model Pembelajaran. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang Ubaya. 2006. Panduan Pelaksanaan kegiatan dan Sistem Evaluasi HPKP SMA 2006. Surabaya: Ubaya
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 131
MODEL ANALISIS ASESMEN FORMATIF FISIKA SMA BERBANTUAN KOMPUTER Sentot Kusairi, Universitas Negeri Malang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan model analisis asesmen formatif Fisika berbantuan komputer, (2) menemukan prosedur pengembangan model analisis asesmen formatif Fisika berbantuan komputer, (3) menemukan bentuk akhir model analisis asesmen formatif Fisika berbantuan komputer. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian pengembangan (research and development). Mengingat model yang dikembangkan dalam penelitian ini menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran fisika, penelitian pengembangan ini mengikuti salah satu model pengembangan desain pembelajaran (instructional design) yang dikemukakan oleh Dick dan Carey. Dalam model desain pembelajaran ini, siklus pengembangan terdiri atas 5 (lima) fase yakni: (1) fase analisis kebutuhan (need analysis), (2) fase analysis front-end (front-end analysis) (3) fase desain (design), (4) fase pengembangan (development), dan (5) fase implementasi (implementation), dan (5) fase evaluasi (evaluation). Penelitian melibatkan beberapa Sekolah Menengah Atas di Kota Malang mulai Maret 2010 sampai dengan September 2010. Sebagai validator dalam pengembangan adalah kelompok diskusi guru fisika yang terdiri dari 6-8 orang guru fisika dari beberapa sekolah menengah yang berbeda, beberapa pakar pengembangan instrumen, pakar penilaian pendidikan, dan pakar pembelajaran fisika. Guru SMA yang tergabung dalam MGMP Fisika juga dilibatkan untuk memberikan masukan pada produk yang telah dikembangkan. Hasil pengembangan merupakan model analisis asesmen formatif fisika berbantuan komputer. Karakteristik model analisis AAFF adalah sebagai berikut. (1) Model AAFF dapat menggali kelemahan dan kesulitan belajar siswa berkaitan dengan materi pembelajaran baik klasikal maupun individual. (2) Model analisis dapat memberikan umpan balik pada siswa tentang hasil tes. (3) Model AAFF hanya cocok digunakan untuk tes pilihan ganda dengan persyaratan tertentu diantaranya terdapat empat pilihan jawaban, satu jawaban benar dan tiga pilihan pengecoh yang rasional dan dapat dijabarkan deskriptornya, dan tes terdiri atas beberapa kelompok butir dengan indikator tertentu. (4) Jumlah butir dengan indikator yang sama yang dipergunakan sebagai masukan model AAFF sebaiknya ganjil. (5) Model AAFF dapat menghasilkan pengelompokan siswa berdasarkan kesulitan belajar atau siswa yang menderita miskonsepsi tertentu. (6) Penggunaan model ini tepat digunakan pada pelajaran di mana kelompok siswa mengalami kesalahan-kesalahan dengan pola tertentu misalnya pada pelajaran fisika. Model juga dapat dimanfaatkan untuk mata pelajaran lain yang memiliki karakteristik yang serupa. (7) Model AAFF ditujukan untuk mengidentifikasi kelemahan belajar dan bukan untuk menentukan prestasi belajar siswa. (8) Model AAFF menghasilkan keluaran yang spesifik untuk kelas tertentu.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 132
Abstract The Purposes of this research are: (1) to develop model of computer aided analysis of physics formative assessment, (2) to find development procedure of model of computer aided analysis of physics formative assessment, (3) to find final product of computer aided analysis of physics formative assessment. This study is research and development. Because he model that developed is whole part of physics learning process, this developmental research using model of instructional design proposed by Dick and Carey. In this model of instructional design development, development cycle consist of 5 phase: (1) need analysis phase, (2) front-end analysis phase, (3) design phase, (4) development phase, (5) implementation phase, and (5) evaluation phase. This development research involve several Malang public and private senior high school teacher and student during march 2010 until September 2010. As a validate member of this research is discussion group including of 6-8 physics teachers from different senior high school. Physics teacher from MGMP Fisika also give their idea to improve product. Research also using assessment and teaching learning expert to evaluate product. The product of this developmental research is model of computer aided analysis of physics formative assessment. Characteristic of this model is (1) model of computer aided analysis of physics formative assessment can help teacher to find strong and weaknesses of student in learning physics classically and also individually. (2) model of computer aided analysis of physics formative assessment can produce feedback for every student. (3) model of computer aided analysis of physics formative assessment only matching with special multiple choice item test, that have four option, one option answer and the other is rational distracter, every answer and distracter have description, and test including several item with one indicator of competence. (4) Number of item per indicator must odd and more than two. (5) model of computer aided analysis of physics formative assessment can build group of student with similar problem of learning or similar misconception. (6) This model can done properly for subject matter in which student potentially have similar problem. (7) This model better to identify student weaknesses not student achievement. (8) This model producing specific outcome for specific student group.
Pendahuluan Kualitas pembelajaran Fisika ditentukan salah satunya oleh kualitas kegiatan asesmen yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Kegiatan asesmen dapat membantu guru memahami kekuatan dan kelemahan yang dialami oleh siswa dalam belajar. Semakin berkualitas kegiatan asesmen pembelajaran, pemahaman guru akan kelemahan dan kekuatan siswa dalam mempelajari materi tertentu semakin baik. Dengan melaksanakan asesmen yang berkualitas dan menganalisisnya untuk mendapatkan informasi tentang kelemahan belajar siswa, guru memiliki acuan untuk mengambil keputusan yang efektif dalam proses pembelajarannya. Pentingnya peranan asesmen dalam pembelajaran telah ditekankan secara eksplisit dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Pada bagian E tentang penilaian oleh pendidik, disebutkan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik harus dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik, serta untuk meningkatkan SEMNAS MIPA 2010
efektivitas kegiatan pembelajaran. Beberapa langkah kegiatan penilaian diantaranya adalah sebagai berikut. (1) mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus pembelajaran, (2) mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik yang dipilih, (3) melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan, (4) mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan peserta didik, (5) mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik, (6) memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran (PERMENDIKNAS No 20, 2007). Dalam pembelajaran Fisika di SMA, asesmen formatif dan analisis untuk untuk mendapatkan informasi kekuatan dan kelemahan belajar siswa sangat diperlukan mengingat karakteristik materi pelajaran Fisika yang berjenjang. Materi pelajaran pada bagian awal merupakan prasyarat untuk mempelajari materi pelajaran berikutnya. Jika seorang siswa mengalami kesulitan pada materi awal dan tidak FIS - 133
mendapatkan bantuan, besar kemungkinan siswa akan mengalami kesulitan pada saat mempelajari materi berikutnya. Hal inilah yang menyebabkan siswa berpersepsi bahwa Fisika hanyalah kumpulan rumus yang harus dihapalkan dan dimanfaatkan ketika berhadapan dengan soal ujian. Siswa tidak memahami esensi konsep Fisika sehingga belajar Fisika tidak bermakna dalam kehidupannya. Jika kesulitan tidak mendapatkan penanganan, prestasi belajar siswa menjadi rendah. Asesmen formatif dalam pembelajaran Fisika pada saat ini belum terlaksana dengan optimal. Beberapa hal yang menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan asesmen formatif adalah sebagai berikut. (1). Perencanaan dan pelaksanaan asesmen formatif membutuhkan ketrampilan, sementara belum semua guru mendapatkan pelatihan profesional untuk melaksanakan teknik-teknik asesmen formatif. (2). Pengembangan instrumen, implementasi, dan analisis data-data tes formatif memerlukan waktu, sementara beban tugas guru terutama guru yang telah tersertifikasi sangat tinggi. (3). Jumlah kelas dan jumlah siswa setiap kelas yang cukup besar. Jumlah siswa per kelas berkisar antara 30-40 siswa. Diperlukan waktu ekstra untuk memberikan perhatian kepada siswa secara individual dalam pelaksanaan asesmen. (4). Belum tersedia instrumen baku untuk melaksanakan asesmen formatif. (5). Belum tersedianya perangkat untuk menganalisis data-data asesmen. Dengan adanya keterbatasan instrumen dan perangkat analisis yang dihadapi guru dalam melaksanakan asesmen formatif, pelaksanaan asesmen formatif tidak memberikan dampak yang signifikan dalam proses pembelajaran. Guru tidak dapat memperoleh informasi tentang kekuatan dan kelemahan belajar siswa, sebagai akibatnya guru belum memperoleh pedoman yang jelas dalam menindak lanjuti hasil pembelajaran. Demikian juga dengan siswa, siswa tiak mendapatkan umpan balik yang memadai tentang hasil belajarnya. Siswa tidak memiliki acuan untuk memperbaiki proses dan hasil belajarnya. Salah satu inovasi yang dapat diajukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan asesmen formatif adalah dengan mengembangkan model analisis SEMNAS MIPA 2010
asesmen formatif fisika. Pengembangan model analisis asesmen formatif ini meliputi pengembangan model instrumen dan model analisis yang secara efektif menghasilkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan siswa dalam belajar fisika. Bagi guru, hasil analisis dan informasi kekuatan dan kelemahan belajar fisika siswa dapat dimanfaatkan untuk menindaklanjuti pembelajaran sedang bagi siswa untuk memperbaiki strategi belajarnya. Asesmen Formatif dan Analisisnya Asesmen merupakan kegiatan pengumpulan informasi dalam rangka pengambilan keputusan-keputusan berdasarkan informasi. Dalam konteks pembelajaran, asesmen berarti pengumpulan berbagai informasi tentang proses dan hasil belajar siswa dalam rangka menentukan keputusan-keputusan yang perlu dilakukan dalam pembelajaran (Anderson, 2003: 4). Asesmen juga dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan yang dilakukan oleh guru atau juga oleh siswa yang dapat memberikan balikan guna mempertajam dan membangun pembelajaran di mana guru dan siswa terlibat. Beberapa karakteristik asesmen dalam pembelajaran antara lain adalah sebagai berikut. (1) Asesmen dimulai dengan pengumpulan berbagai informasi tentang siswa dalam pembelajaran. (2) Dalam kegiatan asesmen dilakukan analisis dan interpretasi terhadap data dan informasi yang berhasil dikumpulkan. (3) Interpretasi menghasilkan keputusan-keputusan tentang pembelajaran. (4) Terdapat tindak lanjut terhadap keputusan yang dihasilkan. (5) Asesmen dilakukan secara berkelanjutan. Asesmen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran. Popham (1995: 7) menyatakan beberapa alasan tentang pentingnya pemahaman dan pelaksanaan asesmen diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Asesmen merupakan piranti untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa dalam proses pembelajaran. (2) Asesmen berguna untuk memonitor kemajuan siswa. (3) Asesmen membantu menentukan tingkatan siswa. (4) Asesmen juga dapat menentukan efektivitas pembelajaran yang telah dirancang. Selain beberapa alasan klasik tersebut, alasan peningkatan kualitas pembelajaran FIS - 134
merupakan salah satu alasan melaksanakan asesmen. Berkaitan dengan ragam kegiatan asesmen yang dilakukan dalam pembelajaran, asesmen dapat dipilah menjadi dua bagian besar yakni asesmen sumatif dan asesmen formatif. Asesmen sumatif merupakan kegiatan yang menghasilkan angka dan tingkatan yang dimanfaatkan untuk menentukan penampilan siswa. Pada akhirnya keputusan-keputusan pada asesmen sumatif digunakan untuk menentukan penghargaan pada siswa di akhir masa pembelajaran. Di lain pihak, asesmen formatif merupakan kegiatan yang memberikan umpan balik terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. William (Boyle&Fisher, 2007: 23) menyebut asesmen untuk tujuan formatif sebagai assessment for learning sedangkan asesmen sumatif disebut sebagai assessment of learning. Cowie&Bell (Cowie&Bell, 2002: 6) mendefinisikan asesmen formatif sebagai proses yang digunakan oleh guru dan siswa dalam mengenali dan merespon belajar siswa dalam rangka meningkatkan belajarannya dalam proses pembelajaran. Asesmen formatif membantu guru dalam menggambarkan kemajuan belajar siswa dan menginformasikan keputusan tentang langkah selanjutnya dalam pembelajaran. Jadi informasi asesmen formatif dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk memodifikasi cara belajar atau cara mengajarnya dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih efektif. Popham (Popham, 2008: 5) mendefinisikan asesmen formatif sebagai berikut. “Formative assessment is a planned process in which assessmentelicited evidence of students’ status is used by teachers to adjust their ongoing instructional procedures or by students to adjust their current learning tactics”. Asesmen formatif merupakan sebuah proses yang terencana dan melibatkan berbagai kegiatan yang berbeda. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam proses asesmen formatif adalah mengumpulkan berbagai kejadian tentang status siswa, baik secara formal maupun informal, untuk menentukan derajad penguasaan siswa terhadap indikator kurikulum dan ketrampilan-ketrampilan. Berdasarkan kejadian-kejadian dan SEMNAS MIPA 2010
informasi inilah seorang guru akan melakukan penyesuaian terhadap pembelajaran yang dilakukan dan siswa akan melakukan pengaturan cara-cara mempelajari materi pelajaran. Beberapa pengertian tentang asesmen formatif yang telah dikemukakan memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan itu antara lain sebagai berikut. (1) Asesmen formatif merupakan proses yang dilakukan dalam pembelajaran. (2) Hasil asesmen formatif tidak saja digunakan oleh guru tetapi juga dilakukan oleh siswa. (3) Asesmen formatif memberikan umpan balik terhadap proses belajar siswa dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. (4) Umpan balik yang diberikan oleh asesmen formatif akan berguna bagi siswa dan guru untuk melakukan pengaturan-pengaturan sehingga belajar dan pembelajaran dapat mencapai tujuan kurikulum. Implementasi asesmen formatif dalam pembelajaran dapat dipilah menjadi asesmen formatif yang bersifat informal dan asesmen formatif yang bersifat formal. Asesmen formatif yang bersifat formal dilakukan misalnya dengan meminta siswa untuk mengerjakan tes, kuis, mengembangkan tulisan atau karya yang lain. Asesmen informal merupakan kegiatankegiatan dalam pembelajaran yang dipilih oleh guru untuk menguak informasi dari siswa. Kegiatan tanya jawab di kelas, meminta siswa mengkomentari pendapat guru, wawancara, rekaman pembelajaran merupakan beberapa contoh asesmen formatif yang bersifat informal. Asesmen formatif formal dan informal masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan asesmen formatif formal adalah lebih fair bagi siswa. Dalam asesmen formatif formal siswa merasakan langsung bahwa mereka sedang diases, asesmen formal juga memiliki kriteria skoring yang jelas, dan akan memotivasi siswa jika mereka berhasil. Namun seringkali asesmen formatif formal juga dapat menyebabkan stres jika siswa mengalam kegagalan. Asesmen formal juga membutuhkan persiapan yang lebih panjang dan memerlukan waktu untuk menganalisis hasil-hasilnya.. Kelebihan asesmen formatif informal adalah dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran dan dalam suasana FIS - 135
santai sehingga siswa tidak mengalami stres, mudah dipersiapkan, dan seringkali menghasilkan data-data yang lebih valid langsung dari siswa. Kegiatan asesmen formatif formal melalui komunikasi gurusiswa di kelas dapat langsung dianalisis dan diberikan umpan balik oleh guru serta memberikan gagasan untuk memperbaiki jalannya pembelajaran. Beberapa kelemahannya adalah tentang validitas hasil asesmen yang dilakukan. Pelaksanaan asesmen formatif informal tergantung pada ketrampilan komunkasi guru di kelas. Siswa seringkali juga tidak merasakan kegiatan asesmen. Asesmen formatif informal juga dipengaruhi oleh prasangka tersembunyi guru dan juga stereotipi utamanya stereotipi gender. Asesmen diagnostik merupakan bagian dari asesmen formatif yang diarahkan pada tipe keputusan diagnostik. Nitko (Nitko, 1989: 50) menjelaskan bahwa keputusan diagnostik menunjuk pada penentuan luaran pembelajaran yang mana siswa belum mencapai dan kemungkinankemungkinan penyebab kegagalan mencapai luaran pembelajaran tersebut. Keputusan diagnostik ini selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan remediasi, mengoreksi pengetahuan yang tidak lengkap, dan memperbaiki pembelajaran sebelumnya. Asesmen diagnostik dapat didefinisikan sebagai asesmen formatif yang digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa dalam mempelajari suatu materi. Asesmen diagnostik juga memfokuskan pada kesulitan yang dialami oleh siswa dalam mempelajari suatu konsep. Hasil-hasil asesmen diagnostik dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk menentukan tindakan-tindakan yang tepat berikutnya dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran sains dan fisika, asesmen diagnostik juga banyak digunakan untuk mengungkap miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Beberapa karakteristik asesmen diagnostik yang berbeda dengan asesmen formatif yang lain adalah sebagai berikut. (1) Asesmen diagnostik difokuskan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa pada topik tertentu dan menemukan penyebab mengapa kesulitan-kesulitan belajar ini terjadi. (2) Asesmen diagnostik dikembangkan berdasarkan analisis sumberSEMNAS MIPA 2010
sumber kesalahan dan kesulitan yang mungkin timbul. (3) Jika dilakukan secara formal, biasanya digunakan format jawaban singkat agar dapat menjangkau jumlah siswa yang besar dan mudah di analisis. Jika menggunakan format pilihan ganda digunakan distraktor dan alasan untuk dapat memetakan kesulitan belajar dan penyebabpenyebabnya. (4) Hasil-hasil asesmen diagnostik memberikan umpan balik yang jelas bagi guru untuk mengatasi kelemahankelemahan siswa dalam pembelajaran. Penelitian pengembangan model AAFF ini merupakan pengembangan dan pengayaan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Pengembangan butir pilihan ganda dengan mengoptimumkan pengecoh banyak mendapatkan perhatian berkaitan dengan upaya untuk mendeteksi kelemahan dan kekuatan siswa. Butir pilihan ganda ini sering disebut dengan pilihan ganda dengan pengecoh yang tersusun secara bermakna (distractor rationale taxonomy). Pengembangan butir pilihan ganda dengan pengecoh yang bermakna dimaksudkan untuk membantu guru mendiagnosis konsepsi siswa. Teknik yang digunakan adalah dengan memilih pengecoh yang mewakili kesalahan umum yang sering dilakukan oleh siswa. Penggunaan tes pilihan ganda dengan pengecoh yang bermakna untuk mendapatkan laporan tentang tingkat pemahaman siswa telah dilaksanakan untuk matapelajaran matematika dan bahasa (King et al, 2004). Penggunaan item pilihan ganda tersusun (ordered multiple choice) juga telah diterapkan pada matapelajaran bahasa (Lin et al, 2010). Pengembangan butir pilihan ganda dengan pengecoh yang bermakna memiliki potens besar untuk membantu guru mendapatkan informasi kelemahan dan kekuatan siswa dalam mempelajari konsep. Namun demikian, pengembangan ini belum banyak didukung oleh laporan pengembangan perangkat analisis yang secara praktis dapat dimanfaatkan oleh guru. Upaya pemanfaatan teori respon butir untuk menganalisis butir pilihan ganda diantaranya dilakukan untuk menentukan kemajuan pemahaman konsep dan perubahan konsep (Sadler, 1998). Namun demikian pemanfaatan hasil analisis untuk
FIS - 136
memberikan informasi pada guru dan umpan balik bagi siswa belum banyak dilaporkan. Beberapa laporan penelitian menunjukkan adanya upaya melakukan analisis asesmen diagnostik dan mendapatkan informasi diagnostik untuk keperluan pembelajaran. Proyek DIAGNOSER implementasi asesmen berbasis internet yang adalah melaporkan tentang pengembangan instrumen dan perangkat analisis asesmen berbantuan komputer untuk membangkitkan informasi diagnostik dan umpan balik (ThissenRoe&Hunt, 2004). Dalam DIAGNOSER ini digunakan teknik facet untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman konsepsi siswa. Salah satu kekurangan DIAGSOSER adalah kesulitan pengembangan instrumen dengan teknik facet. Pemanfaatan hasil asesmen untuk mempengaruhi proses pembelajaran Akuntansi yang dikenal dengan An Analysis of Diagnostic Exam Driven Teaching and Learning (ADEPT learning cycle) juga telah dilaporkan (Shoulder&Hicks, 2008). Dalam laopran penelitian ini pembelajaran mengimplementasikan tes diagnostik dan menerapkannya untuk menentukan langkah yang diambil dalam proses pembelajaran akuntansi. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang dikembangkan terbukti efektif dan memuaskan mahasiswa. Penelitian tentang penggunaan butir pilihan ganda untuk mendapatkan tingkat kelemahan pemahaman konsep Fisika Dasar telah dilakukan (Obaidat&Malkawi, 2009). Disebutkan bahwa analisis tradisional butir pilihan ganda dengan fokus pada skor dan korelasi jawaban benar tidak dapat secara optimal memberikan informasi yang dibutuhkan oleh guru. Peneliti menggunakan persamaan faktor konsentrasi (concentration factor) dan menggabungkannya dengan skor untuk mendapatkan analisis pada setiap pertanyaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa pada materi kinematika dan Hukum Newton tentang gerak siswa lemah. Penelitian tidak melaporkan adanya umpan balik yang disampaikan pada siswa. Beberapa penelitian dan kajian lain tentang upaya untuk meningkatkan kualitas asesmen formatif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
SEMNAS MIPA 2010
1. Perangkat lunak IMMEX, didesain sebagai alat untuk memahami strategi pemecahan masalah oleh siswa. Dalam menggunakan IMMEX, siswa dikenalkan dengan masalah dan tujuan pemecahan masalah. Selanjutnya siswa memilih penyataan-pernyataan berkaitan dengan upaya mereka memecahkan masalah. Umpan balik langsung akan diberikan berkaitan dengan pilihan siswa. Guru akan memperoleh peta dan jalur pemikiran siswa dalam memecahkan masalah. Pengunaan IMMEX telah dilaporkan dalam perkuliahan laboratorium organik dan terbukti dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa (Cox jr. et al, 2008). 2. Dufresne&Gerace (Dufresne&Gerace, 2004) melaporkan inovasi A2L yang menggunakan bahan asesmen formatif dengan menggunakan sistem komunikasi kelas. Sistem ini merupakan aplikasi asesmen formatif informal yang dapat mempresentasikan permasalahan, mengumpulkan dan menyimpan jawaban setiap siswa, menampilkan histogram respon siswa, dan menyimpan secara permanen kemajuan masingmasing siswa. Pemanfaatan A2L dapat menggeser pelaksanaan asesmen formatif menjadi lebih berpusat pada siswa. Asesmen ini juga memungkinkan guru mengetahui proses mental siswasiswanya. 3. The Online Assessment Desain and Delivery System (ADDS) adalah sebuah sistem desain dan implementasi asesmen berbasis internet (Vendlinski et al, 2008). Pengembangan sistem berbasis internet ini dimaksudkan untuk secara berkesinambungan meningkatkan kualitas pelaksanaan asesmen formatif. Instrumen dalam sistem ini memanfaatkan prekonsepsi dan miskonsepsi siswa. Pemanfaatan sistem ini menunjukkan kelebihan yaitu kemampuan mendeteksi kemampuan siswa dalam tingkatan yang mendalam. Sistem ini meningkatkan waktu yang dibutuhkan guru dalam menyusun instrumen. 4. Penggunaan Computer Aided Assessment (CAA) disimpulkan dapat menimbulkan dampak positif pada FIS - 137
pengalaman belajar siswa (Lowry, 2005). Data menunjukkan bahwa penggunaan CAA sebagai asesmen mandiri berdampak positif pada siswa. Bagi guru, CAA sangat berperan dalam menghemat waktu. Sementara bagi siswa, sistem CAA ini dapat memberikan beberapa keuntungan. (1) memberikan umpan balik pada siswa, (2) membimbing usaha-usaha siswa, (3) mendiagnosa permasalahan dalam pembelajaran, dan (4) memberikan pengalaman pada siswa dalam kegiatan asesmen mandiri. Penelitian lain tentang implementasi CAA untuk meningkatkan regulasi diri juga telah diterapkan untuk penulisan esay di perguruan tinggi (Bose&Rengel, 2009). 5. Spesific Mathematic Assessment that Reveal Thinking (SMART) adalah proyek pengembangan dan penelitian sistem asesmen formatif matapelajaran matematika (Stancey at al, 2009). Tujuan dari proyek ini adalah untuk (1) mempermudah pengembangan tes yang mampu mendianosa pemahaman konsep siswa, (2) mengembangkan informasi untuk guru tentang kinerja kelas dan
individu, (3) memberikan saran pembelajaran, dan (4) memberikan dukungan riset terhadap hasil diagnosis dan saran yang diberikan. Proyek sedang mengujicobakan tes dan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh siswa Metode Penelitian Penelitian tentang analisis asesmen formatif fisika (AAFF) SMA berbantuan komputer ini menggunakan metode penelitian penembangan (research and development). Mengingat model yang dikembangkan dalam penelitian ini mendukung kegiatan asesmen yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran fisika, oleh karena itu penelitian pengembangan ini mengikuti salah satu model pengembangan desain pembelajaran (instructional design). Dalam hal ini model desain pembelajaran yang akan dirunut adalah model pengembangan desain pembelajaran yang dikemukakan oleh Dick dan Carey. Model desain pembelajaran menurut Dick dan Carey berbentuk siklus kegiatan yang dapat digambarkan sebagaimana Gambar berikut.
Asesmen/analisa
Asesmen Kebutuhan
Analisa Front-end
Evaluasi
Implementasi
Disain
Pengembangan
Gambar 1. Model Desain Pembelajaran menurut Dick&Carey
Dalam model desain pembelajaran ini, siklus pengembangan terdiri atas 5 (lima) fase yakni: (1) fase analisis kebutuhan (need analysis), (2) fase analysis front-end (front-end analysis) (3) fase desain (design),
SEMNAS MIPA 2010
(4) fase pengembangan (development), dan (5) fase implementasi (implementation), dan (5) fase evaluasi (evaluation). Lingkup kegiatan dan produk dari tiap-tiap fase pengembangan dengan pendekatan Dick dan
FIS - 138
Carey secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Fase analisis kebutuhan (need analysis), pada fase ini peneliti memulai dengan mengidentifikasi kondisi-kondisi yang terjadi pada saat ini dan kondisi-kondisi yang diinginkan pada mendatang. Analisis juga mengarah pada hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Pada tahapan kegiatan ini didapatkan spesifikasi tujuan, identifikasi kebutuhan, indikator keberhasilan, produk akhir yang diinginkan, dan strategi-strategi pengujan produk. 2. Fase analisis front-end (front-end analysis), pada tahapan ini dilakukan analisis tujuan, analisis peserta didik, analisis situasi, analisis teknologi, analisis media, dan analisis biaya. Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi berbagai persyaratan dan batasan produk yang dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kondisi dan situasi pembelajaran yang ada, lingkungan pembelajaran, dan termasuk didalamnya biaya yang dapat ditanggung jika inovasi-inovasi akan dilakukan. Berbagai analisis ini dilakukan dengan harapan produk yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. 3. Fase perancangan (design), meliputi tindak lanjut pengembangan berdasarkan hasil analisis sebelumnya untuk mendapatkan garis besar perencanaan produk-produk yang dihasilkan. Fase ini diharapkan dapat pola dasar instrumen, pola dasar struktur AAFF, pola dasar perangkat lunak pendukung AAFF berbantuan komputer. 4. Fase pengembangan (develop), adalah fase lanjutan untuk mengembangkan desain yang telah dihasilkan menjadi prototipe atau model awal produk. Prototipe yang dihasilkan dalam fase ini diantaranya adalah model instrumen, model AAFF, dan model perangkat lunak pendukung AAFF. 5. Fase implementasi (implementation), adalah fase penerapan model-model yang telah dikembangkan kepada para pengguna. Pada fase ini model-model yang dikembangkan akan mendapatkan masukan baik dari pengguna maupun SEMNAS MIPA 2010
dari review yang dilakukan para ahli. Revisi dan perbaikan juga didasarkan pada ujicoba penerapan produk pada kelompok kecil pengguna. 6. Fase evaluasi (evaluation), adalah fase untuk menyimpulkan sukses tidaknya produk-produk yang telah dikembangkan. Pada fase ini akan dilakukan uji validitas dan uji akurasi produk melalui penerapan produk di lapangan. Langkah ini diharapkan akan menghasilkan masukan-masukan untuk evaluatif untuk menyempurnakan produk yang dihasilkan sehingga dapat didiseminasikan. Penelitian dilaksanakan di Beberapa Sekolah Menengah Atas di Kota Malang mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010. Sebagai validator dalam pengembangan adalah kelompok diskusi guru fisika yang terdiri dari 6-8 orang guru fisika dari beberapa sekolah menengah yang berbeda. Sebagai tim validasi produk dilibatkan beberapa pakar pengembangan instrumen, pakar penilaian pendidikan, dan pakar pembelajaran fisika. Guru SMA yang tergabung dalam MGMP Fisika juga dilibatkan untuk memberikan masukan pada produk yang telah dikembangkan. Implementasi lapangan dilakukan dengan melibatkan tujuh kelas fiska dari tujuh sekolah yang berbeda. Untuk mengetahui efektivitas balikan yang dihasilkan oleh perangkat lunak yang dikembangkan, balikan diimplementasikan pada 3 kelas dari 3 sekolah yang berbeda. Data-data yang didapatkan sebagian besar dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Hasil Pembahasan Berdasarkan berbagai hasil kuesioner pada tahap analisis kebutuhan dapat diambil beberapa kesimpulan. (1) Secara umum guru fisika meyakini pentingnya peranan asesmen, analisis hasil asesmen, diagnosis kesulitan belajar dalam pembelajaran fisika. (2) Meskipun guru memiliki keyakinan akan pentingnya asesmen dalam pembelajaran fisika, banyak kendala yang dialami mengakibatkan pelaksanaan asesmen tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Salah satu kendala adalah terbatasnya waktu dan besarnya jumlah siswa. (3) Tes merupakan metode yang banyak dipilih dalam FIS - 139
melakukan asesmen. (4) Analisis hasil tes jarang dilakukan oleh guru salah satu penyebabnya adalah kurangnya sarana untuk membantu analisis. (5) Kurang efektifnya pelaksanaan analisis hasil tes dalam kegiatan asesmen menyebabkan guru tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang kemajuan belajar siswa. Beberapa hal lain terkait dengan pelaksanaan asesmen dalam pembelajaran yang terungkap dalam FGD diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Melaksanakan asesmen dalam pembelajaran, melakukan analisis hasil asesmen, dan menindaklanjuti hasil asesmen pembelajaran merupakan tugas pokok dan fungsi guru termasuk guru fisika. Guru mestinya melaksanakan hal ini dan manajemen sekolah melakukan monitoring. Namun analisis hasil asesmen masih jarang dilakukan. Banyak guru yang melakukan analisis hanya untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat. (2) Guru kurang pengetahuan tentang cara mengungkap kesulitan belajar siswa, pelaksanaan tes lebih banyak digunakan untuk menguji keberhasilan kelas. (3) Waktu merupakan hambatan utama guru dalam melaksanakan asesmen, menganalisis data, dan melaksanakan pembelajaran remedial. (4) Pembelajaran remedial tidak dilakukan dengan pembelajaran ulang melainkan melakukan dan membahas soal yang diujikan saja. Pada umumnya siswa yang mengalami kesulitan tetap mengalami kesulitan. (5) Sebagian besar guru telah memiliki ketrampilan dasar komputer, namun guru masih memerlukan pelatihan dan pendampingan dalam memanfaatkan alat analisis hasil tes. Beberapa kesimpulan dari analisis front-end adalah sebagai berikut. (1) Model analisis asesmen yang dihasilkan harus dapat memberikan informasi tentang kelemahan dan kekuatan siswa serta informasi pengelompokan siswa. Perangkat lunak ini harus sesuai dengan karakteristik materi dalam pembelajaran fisika. (2) Guru memiliki kemampuan mengembangkan tes pilihan ganda, namun guru memiliki waktu
SEMNAS MIPA 2010
yang terbatas dalam menganalisis hasil-hasil asesmen. Guru memerlukan program aplikasi untuk menganalisis hasil tes. Guru juga memiliki kemampuan mengoperasikan program aplikasi komputer. (3) Siswa memerlukan umpan balik terhadap hasil belajar yang mereka lakukan. Keluaran perangkat lunak berupa hasil cetakan tentang penampilan mereka dalam proses pembelajaran. (4) Perangkat teknologi, media, dan situasi sekolah memungkinkan untuk menerapkan model analisis asesmen formatif berbantuan komputer yang dikembangkan. (5) Dari segi biaya, hal yang perlu diperhatikan adalah luaran model analisis berbantuan komputer berupa cetakan untuk tiap-tiap siswa. Hal ini mengingat jumlah siswa yang besar, sehingga biaya cetak dapat menjadi besar. Cetakan umpan balik untuk siswa diharapkan tidak terlalu panjang sehingga biaya cetak tinggi dapat dihindari. Hasil pengembangan produk akhir AAFF sebagai model analisis hasil tes pilihan ganda menghasilkan keluaran berupa profil kelas, profil siswa, dan analisis indikator. Profil kelas memberikan informasi tentang pencapaian keseluruhan siswa pada semua hasil tes. Profil siswa memberikan informasi penampilan masing-masing siswa pada tes. Analisis indikator menunjukkan penampilan siswa pada masing-masing indikator. Semua hal ini memberikan informasi tentang kelemahan dan kekuatan siswa berkaitan dengan materi tes, informasi yang diperlukan guru dalam pembelajaran. Hasil cetakan keluaran AAFF berupa lembar umpan balik hasil tes juga dapat memberikan masukan kepada siswa tentang kelemahan dan kekuatannya dalam pembelajaran. Gambar 2 adalah halaman depan AAFF dan bentuk umpan balik pada siswa. Terkait dengan kemanfaatan hasil analisis AAFF dalam pembelajaran, sebagian responden guru menyatakan bahwa hasil analisis sangat bermanfaaf sebagaimana grafik pada Gambar 3.
FIS - 140
Gambar 2. Tampilan Jendela Muka AAFF
Gambar 3. Respon Guru Terhadap Kemanfaatan AAFF untuk Remediasi Siswa merupakan salah satu pihak yang mendapatkan manfaat dari pengembangan model AAFF ini. Berkaitan dengan umpan balik hasil belajar yang dibagikan kepada siswa (gambar dibawah) sebagian besar siswa menyatakan bahwa
umpan balik sangat bermanfaat untuk mengetahui hasil belajar dan merencanakan belajar berikutnya. Komentar siswa sebagian besar menyatakan bahwa model AAFF dapat membantu mereka mengetahui kekuatan dan kelemahan belajar fisikanya
Gambar 4. Contoh Umpan Balik Hasil Belajar Siswa
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 141
Gambar 5. Respon Siswa tentang Kemanfaatan Umpan Balik Kesimpulan dan Saran Model analisis asesmen formatif fisika yang dikembangkan dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dengan perangkat lunak yang lain. Beberapa karakteristik model analisis AAFF adalah sebagai berikut. (1) Model AAFF ditujukan untuk menggali kelemahan dan kesulitan belajar siswa berkaitan dengan materi pembelajaran dan memberikan umpan balik pada siswa tentang hasil tes. (2) Model AAFF hanya cocok digunakan untuk tes pilihan ganda dengan persyaratan tertentu diantaranya pengecoh memiliki makna dan dapat dijabarkan deskriptornya dan tes terdiri atas beberapa kelompok butir dengan indikator tertentu. (3) Jumlah butir dengan indikator yang sama yang dipergunakan sebagai masukan model AAFF sebaiknya ganjil. (4) Model AAFF dapat menghasilkan pengelompokan siswa berdasarkan kesulitan belajar atau siswa yang menderita miskonsepsi tertentu. (5) Penggunaan model ini tepat digunakan pada pelajaran di mana kelompok siswa mungkin mengalami kesalahan-kesalahan dengan pola tertentu misalnya pada pelajaran fisika. Model juga dapat dimanfaatkan untuk mata pelajaran lain yang memiliki karakteristik yang serupa. (6) Model AAFF ditujukan untuk mengidentifikasi kelemahan belajar dan bukan untuk menentukan prestasi belajar siswa. (7) Model AAFF menghasilkan keluaran yang spesifik untuk kelas tertentu. Model AAFF memiliki beberapa keunggulan, keunggulan-keunggulan tersebuat antara lain adalah sebagai beikut. (1)Model AAFF menghasilkan keluaran berupa profil kelas dan profil siswa yang SEMNAS MIPA 2010
menunjukkan kelemahan dan kekuatan siswa dalam penguasaan materi pembelajaran baik secara klasikal maupun individual. (2)Model AAFF menghasilkan keluaran dalam bentuk umpan balik hasil belajar siswa untuk masing-masing siswa. (3) Model AAFF menghasilkan keluaran pengelompokan siswa berdasarkan penampilan pada suatu butir dan pada suatu indikator. (4) Pemanfaatan AAFF dalam pembelajaran fisika akan membantu guru mengambil keputusan tentang perencanaan pembelajaran yang efektif dan remediasi yang lebih terarah. (5) Implementasi umpan balik dapat memberikan gambaran pada siswa tentang kelemahan dan kekuatannya dalam penguasaan materi pembelajaran , memotivasi belajar siswa, dan memberikan arahan belajar yang lebih efektif. (6) Pengelompokan siswa berdasarkan kelemahan dan kekuatannya dapat dimanfaatkan untuk mengelola tugas-tugas belajar yang lebih efektif. (7) Keterlibatan guru dalam penyusunan tes pilihan ganda dengan pengecoh yang tersusun secara bermakna dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan guru tentang kesulitan dan miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Keterlibatan guru dalam penyusunan tes pilihan ganda juga mendorong diskusi aktif antar guru-guru fisika. (8) Model AAFF menghasilkan keluaran berupa skor siswa ,statistik skor siswa, dan parameter butir. (8) Model AAFF melibatkan peran data base sehingga dapat memudahkan dan meringankan tugas guru. Beberapa kelemahan produk yang dihasilkan diantaranya adalah (1) Model AAFF tidak dapat digunakan secara optimal FIS - 142
dengan memanfaatkan hasil tes pilihan ganda yang telah tersedia di sekolah. (2) Kualitas hasil analisis model AAFF bergantung pada kualitas tes pilihan ganda yang digunakan. (3) Model AAFF mensyaratkan agar semua butir soal dijawab oleh siswa dan tidak memungkinkan siswa mengosongi jawaban. (4) Penyusunan tes pilihan ganda dengan persyaratan khusus model AAFF menyulitkan guru, membebani tugas guru, dan menyita banyak waktu. (5) Penyusunan data tes memerlukan kecermatan dan memerlukan waktu. (6)Penggunaan model AAFF membutuhkan kemampuan ketrampilan dasar komputer. Kepada guru-guru SMA khususnya guru-guru fisika, disarankan untuk memanfaatkan AAFF sebagai perangkat untuk menganalisis hasil tes pilihan ganda. Pelaksanaan tes dan analisa dapat dilakukan setelah selesainya pembelajaran dalam satu unit, namun dianjurkan juga untuk melakukan tes sebelum pembelajaran dimulai. Hasil analisa terhadap tes yang dilakukan sebelum pembelajaran dimulai dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai informasi untuk merencanakan pembelajaran yang lebih efekif. Umpan balik hasil tes awal ini sebaiknya tidak dibagikan pada siswa.
Bahan Pustaka Anderson, L. W., (2003). Clasroom Assessment: enhancing the quality of teacher decision making, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc Bose, J. ,& Rengel Z. (2009) A model formative assessment strategy to promote student-centered self-regulated learning in higher education[versi elektronik]. US-China Education Review, 6 (12). Boyle, J. & Fisher, S. (2007). Educational Testing A Competence Based Approach. Victoria: British Psycological Society. Cowie, B. & Bell, B. (1999). A model of formative education in science education. Assessment in education, Maret 1999, 6, 1. Cox Jr. C. T, Cooper M. M., Pease R, Buchanan K, Hernandez-Cruz L., Stevens R, Picione Thomas Holme T., (2008). Advancements in curriculum and assessment by the use of IMMEX technology in the organic laboratory[ versi elektronik]. Chem. Educ. Res. Pract., 2008, 9, 25–34
SEMNAS MIPA 2010
Dufresne, R. J. & GeraceW. J., (oktober 2004). Assessing-To-Learn: Formative Assessment in Physics Instruction. THE PHYSICS TEACHER Vol. 42, October 2004, 428-433 King, K. V., Gardner, D. A., Zucker, S., Jorgansen, M. A. July 2004, The Distractor Rationale Taxonomy: Enhancing MultipleChoice Items in Reading and Mathematics Pearson Education Lin, J., Chu, K., Meng, Y., April 30, 2010 Distractor Rationale axonomy: Diagnostic Assessment of Reading with Ordered MultipleChoice Items. Error! Hyperlink
reference not valid. Lowry, R. (2005). Computer aided self assessment: An effective tool. Chemistry Education Research and Practice, 2005, 6 (4), 198-203 Nitko, A. J. (1989). Designing test that are integrated with instruction: Educational measurement, London: Collier Macmillan Publisher, Obaidat I.& Malkawi E. (2009). The Grasp of physics concepts of motion: Identifying particular patterns in students' thinking. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. 3(1), 1-16 Popham, W. J. (1995). Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, Boston: Allyn and Bacon. Popham, W. J. (2008). Transformative Assessment, Virginia: Ascociation of supervision and curricullum development (ASCD). Shoulders, C. D., Hicks, S. A. (2008). ADEPT learning cycles enhance intermediate accounting student learning success [versi electronik]. Issues in Acounting Education, 23, 2, 161-182. Stacey, K., Price, B., Steinle,V.,Chick, H., Gvozdenko, E. (2010) SMART Assessment for Learning ISDDE conference 2009 http://www.edfac.unimelb.edu.au/sme/research/I SDDE_Smart_tests.pdf Thissen-Roe, A., Hunt E, Minstrell, J. (2004). The DIAGNOSER project: Combining assessment and learning [versi elektronik], Behavior Research Methods, Instruments, & Computers 2004, 36 (2), 234-240 Vendlinski, T. P., Niemi, D. M. Wang, J., Monempour, S., Juli 2008., Improving Formative Assessment Practice with Educational Information Technology http://www.cse.ucla.edu/products/reports/R739.p df
FIS - 143
PENGEMBANGAN ASESMEN KINERJA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENILAIAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN FISIKA FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG Yudyanto1), Sirwadji1) Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang 2 Jl Semarang 5, Malang, 65141 Telp : (0341) 552125, Fax : (0341) 559577 E-mail : [email protected])
1
Abstract Penelitian ini bertujuan mengembangkan asesmen kinerja untuk mengukur kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Pada penelitian ini dikembangkan asesmen kinerja yang diharapkan dapat membantu pembimbing matakuliah praktikum elektromagnetik dalam meningkatkan kualitas penilaian pelaksanaan praktikum. Pengembangan asesmen dilakukan dengan rancangan penelitian dan pengembangan (Research and Development, R & D) yang terdiri empat tahap yakni: penyusunan draf awal, judgment, uji coba awal dan uji coba akhir (validasi produk). Metode penelitian yang digunakan adalah metode evaluatif. Penelitian dilaksanakan di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asesmen yang dikembangkan telah memenuhi validitas isi dan reliabilitas. Asesmen yang dihasilkan berupa asesmen kinerja melaksanakan praktikum yang berisi indikator-indikator kinerja dalam melaksanakan praktikum, indikator akan diberi nilai 1 (satu) jika praktikan melaksanakan dengan benar sesuai dengan indikator, dan akan diberi nilai 0 (nol) jika praktikan tidak melaksanakan atau melaksanakan namun salah. Keywords: penelitian pengembangan, asesmen kinerja, praktikum 1. PENDAHULUAN
Fisika sebagai salah satu disiplin ilmu merupakan bagian dari sains yang sela-lu berkembang berdasarkan fakta dan hasil eksperimen (Druxes, 1986). Oleh karena itu, dalam mengajarkan fisika harus memperhatikan hakekat fisika sebagai ilmu eksperimentasi. Pembelajaran fisika yang hanya melalui metode ceramah atau informasi tidak akan memberikan pemahaman secara utuh, tetapi dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Sesuai hakekat fisika, salah satu strategi pembelajaran yang sesuai adalah berciri hands on activities (berbasis aktivitas) yaitu berupa kegiatan praktikum di laboratorium. Di Jurusan Fisika FMIPA UM, matakuliah elektromagnetik sebagai matakuliah teori selalu diikuti oleh matakuliah Praktikum Elektromagnetik sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam pelaksanaannya Praktikum Elektromagnetik dilakukan secara terpisah dari perkuliahan teori, memiliki bobot 1 sks/2 js dimaksudkan agar mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium SEMNAS MIPA 2010
dalam bidang elektromagnet (katalog FMIPA UM, 2007). Untuk menunjang kegiatan praktikum di laboratorium telah disusun buku panduan praktikum dalam bentuk modul dan format penilaian kegiatan praktikum. Penilaian kegiatan praktikum elektromagnetik didasarkan pada nilai yang terdiri dari: (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap pelaporan, dan (4) nilai tahap akhir praktikum (tes final). Penilaian praktikum seyogyanya tidak dilakukan dengan tes tulis, karena sa-lah satu aspek yang dikembangkan pada matakuliah praktikum adalah keterampilan laboratorium. Untuk menilai kemampuan yang melibatkan suatu keterampilan/unjuk kerja dilakukan penilaian alternatif. Penilaian alternatif ini bisa berupa asesmen portofolio (portfolio assesment), dan asesmen kinerja (performance assesment). Penilaian tahap akhir praktikum sebagai bagian dari nilai akhir (NA) untuk menentukan kelulusan matakuliah praktikum elektromagnetik belum memiliki model
FIS - 144
yang jelas, sehingga dimungkinkan antar pembimbing memberikan tes dengan cara dan bobot (tingkat kesukaran) yang berbedabeda. Berdasarkan hasil pengamatan selama membimbing praktikum elektromagnetik, penilaian kegiatan tahap akhir praktikum ada yang dilakukan dengan tes tulis, tanya-jawab langsung diikuti tes praktek dan ada yang tes praktek murni hal ini disebabkan salah satunya adalah tidak adanya instrumen standar yang digunakan untuk memberikan tes praktikum. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan penelitian untuk mengembangkan suatu model asesmen kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik. Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa kegiatan praktikum elektromagnetik diberi-kan kepada mahasiswa dengan tujuan agar mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium. Oleh karena itu penilaian tahap akhir kegiatan praktikum semesti-nya lebih ditekankan pada hasil kinerja mahasiswa (tes perbuatan) yang memiliki standar yang jelas sehingga penilaian dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, yang menjadi masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. Bagaimanakah model asesmen kinerja untuk menilai kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik? 2. ASESMEN KINERJA (PERBUATAN) Asesmen kinerja didefinisikan sebagai penilaian terhadap proses peroleh-an, penerapan pengetahuan dan keterampilan melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan siswa dalam proses dan produk. Asesmen kinerja mengharuskan siswa mendemonstrasikan kinerja, bukan menjawab atau memilih jawaban dari sederetan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia. Asesmen ini berlaku bagi siswa yang bekerja secara individual maupun secara kelompok (Rahayu, 2002). Asesmen kinerja dikembangkan berdasarkan adanya kebutuhan untuk memperbaiki sistem evaluasi yang selama ini dilakukan. Asesmen kinerja berkaitan dengan berbagai tugas dan situasi dimana mahasiswa diberi kesempatan untuk menunjukkan pemahaman dan untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan dan proses berpikirnya dalam berbagai konteks. Asesmen kinerja ini diperlukan dalam penilaian yang didasarkan
SEMNAS MIPA 2010
pada observasi kegiatan. Asesmen kinerja mendorong terjadinya evaluasi diri dan introspeksi atas kesalahan yang diberbuat. Dalam mendesain asesmen kinerja, ada enam komponen yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) konteks asesmen dan tujuan; (2) tugas asesmen; (3) ases-men kinerja; (4) interpretasi kinerja dan evaluasi; (5) gambaran dan laporan hasil, dan (6) keputusan dan tindak lanjut (Vos, 2001). Pengembangan asesmen kinerja dimulai dari mengidentifikasi bukti-bukti bela-jar atau indikator pencapaian hasil belajar. Indikator ini merupakan dasar untuk mem-buat pedoman yang dimulai dengan meng-gambarkan bagaimana kualitas kerja maha-siswa akan nampak. Deskriptor kualitas kinerja harus spesifik terhadap tugas dan ditunjukkan dengan tingkat-tingkat kualitas kinerja. Asesmen kinerja terdiri dari dua bagian, yaitu tugas kinerja (performance taks) dan kriteria penskoran atau rubrik (rubric). Tugas-tugas kinerja dapat berupa proyek, pameran, portofolio, atau tugastugas yang mengharuskan siswa memperlihatkan kemampuan menangani hal-hal yang kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu bentuk yang nyata. Kriteria (rubric) merupakan panduan untuk memberi skor (pedoman penilaian). Dasar asesmen kinerja ditunjukkan melalui tugas-tugas kinerja. Tugas-tugas kinerja dipresentasikan mahasiswa sebagai bagian dari tujuan pembelajaran. Penggunaan tugas kinerja didasarkan pada model tugas kinerja. Model ini merupakan langkahlangkah dalam membuat tugas kinerja. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mengembangkan tugas-tugas dan rubrik asesmen kinerja adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh mahasiswa setelah mengerjakan atau menyelesaikan tugas. 2. Merancang tugas-tugas untuk ases-men kinerja yang memungkinkan maha-siswa dapat menunjukkan kemampuan ber-pikir dan bertindak. 3. Menetapkan kriteria keberhasilan yang dijadikan tolok ukur untuk menya-takan seorang mahasiswa telah mencapai tingkat ketuntasan pengetahuan atau FIS - 145
kete-rampilan yang diharapkan (Glencoe, 1999). Tugas-tugas kinerja tidak memilki satu jawaban yang benar. Pada tugas-tugas kinerja terdapat suatu rentangan asesmen untuk memperoleh keberhasilan suatu tugas. Oleh karena itu asesmen kinerja tidak menggunakan kunci jawaban yang menentukan suatu kinerja benar atau salah. Untuk menjamin reliabilitas keadilan dan kebenaran penilaian, dikembangkan kriteria atau rubrik yang digunakan sebagai alat atau pedoman penilaian kinerja mahasiswa. Rubrik menggambarkan tingkat kinerja yang menunjukkan apa yang diketahui mahasiswa dan apa yang dapat dilakukan mahasiswa. Pemberian skor dalam rubrik terdiri atas skala-skala tertentu yang men-deskripsikan kinerja tiap aspek dalam skala, yang bergradasi mutu mulai dari tingkat sempurna sampai pada tingkat tidak sempurna (buruk). Ada dua jenis pedoman penilaian yaitu rubrik analitik dan rubrik holistik. Rubrik analitik memfokuskan pada kemampuan mahasiswa untuk menunjukkan kecakapannya dalam kompetensi tertentu atau materi pokok khusus, sedangkan rubrik holistik memberikan skor tunggal dan menyeluruh untuk kinerja atau produk yang dihasilkan mahasiswa. 3. MATAKULIAH ELEKTROMAGNETIK
PRAKTIKUM
Matakuliah Praktikum Elektromagnetik merupakan matakuliah yang ber-diri sendiri memiliki bobot 1sks/2js, biasanya disajikan secara bersamaan dengan matakuliah elektromagnetik pada semester IV. Matakuliah ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium dalam bidang elektromagnetik. Pada matakuliah Praktikum Elektromagnetik terdapat lima topik utama praktikum yang harus diselesaikan oleh mahasiswa dalam satu semester yang meliputi: (1) penentuan medan magnet bumi, (2) transformator, (3) kapasitor plat sejajar, (4) kumparan induksi, dan (5) menentukan garis ekuipotensial dan medan elektrostatik. Dengan melakukan kelima kegiatan praktikum ini diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium yang memadai.
SEMNAS MIPA 2010
Setiap topik praktikum memiliki tujuan masing-masing sesuai keterampilan yang ingin dilatihkan. Setelah dicermati dari tujuan yang tercantum dalam modul praktikum elektromagnetik terdapat 3 aspek pokok yaitu: (1) mahasiswa memperoleh penguatan konsep, (2) mahasiswa memperoleh keterampilan laboratorium (mampu menggunakan set percobaan), dan (3) mahasiswa mampu menyajikan hasil pengukuran beserta ralatnya secara benar. Kaitannya dengan penelitian ini, maka aspek kedua yang akan mendapat perhatian khusus, yakni aspek keterampilan laboratorium karena secara langsung dapat diamati menggunakan asesmen kinerja (perbuatan). Asesmen kinerja ini dirancang untuk mengukur keterampilan laboratorium mahasiswa secara individual dan menggunakan rubrik analitik kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik sehingga dihipotesiskan bahwa instrumen asesmen kinerja yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengukur kinerja mahasiswa dalam melaksanakan praktikum elektromagnetik. 4. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik bagi mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA UM. Selain itu, penelitian ini juga mengembangkan model asesmen kinerja sebagai produk penelitian. Untuk mengembangkan produk, rancangan penelitian yang digunakan adalah desain penelitian dan pengembangan (Research and Development, R & D). Penelitian dan pengembangan dalam bidang pendi-dikan diarahkan untuk mengembangkan dan memvalidasi produkproduk pendidikan (Sukmadinata, 2005). Metode penelitian yang digunakan adalah metode evaluatif, yang digunakan dalam ujicoba pengembangan produk. Secara garis besar penelitian dan pengembangan terdiri dari tiga langkah (Borg & Gall, 2001) yaitu: (1) studi pendahuluan meliputi studi pustaka dan survei lapangan untuk mengamati produk atau kegiatan yang ada, (2) melakukan pengembangan produk meliputi penyusunan draf produk, judgment, dan ujicoba produk, dan (3) validasi produk. Berikut model rancangan R & D yang digunakan dalam penelitian ini.
FIS - 146
5. PROSEDUR PENELITIAN Secara rinci penelitian ini dilakukan dalam 5 tahap yaitu: Tahap 1 Studi pendahuluan Pada tahap ini dilakukan kegiatan berupa pemilihan materi praktikum. Materi praktikum yang dipilih adalah materi praktikum elektromagnetik yang meliputi lima topik praktikum: (1) penentuan medan magnet bumi, (2) transformator, (3) kapasitor plat sejajar, (4) kumparan induksi, dan (5) menentukan garis ekuipotensial dan medan elektrostatik. Pemilihan materi diperlukan sebagai acuan untuk penyusunan asesmen kinerja dan pedoman asesmen. Tahap 2 Penyusunan draft produk Pada tahap ini disusun draft asesmen kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik yang dilaksanakan dalam tiga kegiatan, yaitu: penyusunan rumusan tujuan asesmen, penyusunan pedoman asesmen dan penyusunan kriteria asesmen. Rumusan tujuan asesmen didasarkan pada tujuan praktikum elektromagnetik. Untuk masingmasing topik tercantum dalam setiap modul praktikum elektromagnetik. Pedoman dan kriteria asesmen disusun berdasarkan indikator yang muncul sesuai dengan tujuan asesmen. Pedoman asesmen menggunakan kriteria tertentu dengan skala 0 dan 1. Skala 0 menunjukkan bahwa indikator tidak muncul/muncul salah dan skala 1 menunjukkan bahwa indikator muncul benar. Seti ap indikator yang muncul akan dijumlahkan dan diwujudkan dalam bentuk skor. Kriteria SEMNAS MIPA 2010
skor didasarkan pada buku pedoman penilaian di UM. Tahap 3 Judgment Pada tahap ini dilakukan judgment terhadap produk yang telah disusun. Judgment ini merupakan kegiatan asesmen terhadap produk yang telah disusun (Instru-men penilaian ada di Lampiran 2). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan validitas instrumen. Judgment dilakukan oleh dosen pengampu matakuliah praktikum elektromagnet. Dosen tersebut dipilih karena memiliki kompetensi dan pengalaman membimbing praktikum khususnya praktikum elektromagnetik yang sangat memadai. Judgment ini dilakukan sebelum ujicoba produk. Berdasarkan hasil judgment dilakukan revisi untuk menyempurnakan asesmen kinerja yang dikembangkan. Tahap 4 Ujicoba Produk (awal) Pada tahap ini dilakukan ujicoba asesmen kinerja. Ujicoba produk dilakukan pada mahasiswa jurusan fisika FMIPA UM yang mengikuti perkuliahan praktikum elektromagnetik. Ujicoba dimaksudkan untuk memperoleh validitas isi. Dari hasil ujicoba dilakukan revisi untuk menyempurnakan produk. Uji coba dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Setiap pembimbing membawa asesmen kinerja untuk topik yang sesuai dengan bimbingannya (termasuk tim peneliti). 2. Setiap pembimbing melakukan bimbingan kepada mahasiswa dengan benar.
FIS - 147
3. Mahasiswa secara berkelompok bekerja bersama untuk memperoleh data. 4. Mahasiswa secara mandiri bekerja untuk memperoleh data, pada saat ini dilakukan asesmen kinerja oleh pembimbing menggunakan asesmen yang telah disusun. Selanjutnya untuk anggota kelompok yang lain. 5. Pada akhir praktikum dilakukan diskusi dengan semua pembimbing untuk memperoleh masukan terhadap instrumen asesmen kinerja. 6. Melakukan diskusi dengan anggota peneliti terhadap masukan yang diper-oleh. Tahap 5 Produk)
Ujicoba Akhir (Validasi
Pada tahap ini dilakukan ujicoba akhir terhadap produk yang telah diva-lidasi. Pengujian produk bisa dilakukan pada mahasiswa yang sama pada tahap ujicoba. Pada penelitian ini pengujian produk dilakukan pada tengah semester praktikum (tes tengah semester). Secara teknis praktek asesmen dilakukan sebagai berikut. 1. Pada setiap topik praktikum ada 2 pengamat yang akan melaksanakan asesmen kinerja pada setiap mahasiswa (individual). 2. Pada awalnya mahasiswa dibimbing terlebih dahulu, setelah itu akan diberitahu pada masing-masing mahasiswa untuk melaksanakan praktikum secara mandiri. 3. Secara bersamaan setiap pengamat mengamati kinerja melaksanakan prakti-kum dan berpedoman pada asesmen kinerja yang telah disusun. 4. Setiap pengamat memberikan skor pada lembar asesmen sebagai wujud kinerja yang dicapai mahasiswa. Selanjutnya skor dari 2 pengamat diban-dingkan untuk mengetahui kesesuaian hasil pengamatan. Subjek Penelitian Sebagai subjek penelitian adalah mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA UM yang menempuh matakuliah praktikum elektro-magnetik sebanyak 2 offering, pada semes-ter genap tahun 2009/2010. Data dan Cara Pengambilannya Data dalam penelitian ini berupa skor kemampuan mahasiswa melaksana-kan SEMNAS MIPA 2010
praktikum. Data ini dapat diperoleh melalui asesmen kinerja yang telah dibuat. Data diperoleh dengan cara tes melalui langkahlangkah: 1. Menyebarkan asesmen kinerja yang telah divalidasi kepada pembimbing praktikum elektromagnetik sebanyak 2 orang. 2. Pembimbing melakukan tes kinerja menggunakan asesmen kinerja berdasarkan pedoman dan kriteria asesmen kepada semua mahasiswa yang mengikuti praktikum elektromagnetik. 3. Pembimbing melakukan penskoran berdasarkan kriteria asesmen dengan menggunakan rumus: (skor yang diperoleh/skor maksimum) x 100 Data pada tahap awal ini digunakan untuk tujuan pengembangan model asesmen. Pengambilan data dilakukan pada kegiatan praktikum ke 6 sampai dengan ke 8. Selanjutnya model asesmen yang telah direvisi dan disempurnakan digunakan untuk mengukur kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik. Data kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum diukur dengan memberikan tes secara individual, dilaksanakan pada kegiatan praktikum ke 9-10. Analisis Data Untuk mengetahui kesesuaian skor dari dua pengamat digunakan persama-an yang direkomendasikan oleh Posner, Sampson, Ward, dan Cheney (Selsuk, 2008), yaitu: R
jumlah cocok 100 jumlah cocok jumlah tidak cocok
Data hasil uji coba dianalisis secara evaluatif dengan cara menghitung kesamaan skor antara pengamat 1dan pengamat 2 untuk sampel yang sama. Terdapat ketidaksesuaian skor jika nilai R < 80. Jika terjadi ketidaksesuaian maka perlu diperhalus lagi indikator-indikator yang dimunculkan. 6. HASIL PENELITIAN Rumusan Tujuan Asesmen Sebelum disusun draft model asesmen dilakukan kajian yang mendalam tentang materi yang digunakan dalam penelitian. Hasil kajian menetapkan lima topik yaitu: FIS - 149
(1) penentuan medan magnet bumi, (2) transformator, (3) kapasitor plat sejajar, (4) kumparan induksi, dan (5) menentukan garis ekuipotensial dan medan elektrostatik. Pemilihan dan identifikasi materi diperlukan sebagai acuan dalam penyusunan rumusan tujuan asesmen dan pedoman asesmen. Asesmen harus sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan pem-belajaran untuk matakuliah praktikum elektromagnetik terdapat pada modul prakti-kum elektromagnetik. Berdasarkan tujuan pembelajaran praktikum elektromagnetik disusun rumusan tujuan asesmen dan rumusan indikator yang telah direvisi.
terhadap Instrumen asesmen ditampilkan dalam Tabel 2. Tabel
Tabel 1. Pedoman dan kriteria asesmen kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Skor 85-100 80-84.99 75-79.99 70-74.99 65-69.99 60-64.99 55-59.99 <55
Sebutan A AB+ B BC+ C D
Tahap Judgment Pada tahap ini dilakukan judgment terhadap model asesmen yang telah disusun. Judgment ini merupakan kegiatan asesmen terhadap model yang telah disu-sun dan dilakukan untuk meningkatkan validitas instrumen. Judgment dilakukan poleh tiga orang dosen pengampu matakuliah praktikum elektromagnetik. Data hasil judgment
SEMNAS MIPA 2010
Hasil judgment instrumen asesment
No. Penilaian 1 2 3
4
Pedoman dan Kriteria Asesmen Pedoman asesmen rubrik, yaitu pedoman pelaksanaan asesmen menggu-nakan sejumlah kriteria tertentu. Pada penelitian ini menggunakan skala 0 dan 1. Skala 0 menunjukkan indikator tidak muncul/ muncul salah. Skala 1 menunjukkan indikator muncul benar. Setiap indikator yang muncul akan dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah indikator yang ada, kemudian dikalikan dengan 100. Selanjutkan ditetapkan kriteria perolehan skor untuk menunjukkan tingkat kemampuan yang dicapai. Berikut rincian pedoman dan kriteria asesmen yang disusun.
2
5
Kesesuaian indikator Urutan indikator Kemudahan bahasa yang digunakan Kemudahan penggunaan instrumen Kelayakan dikembangkan
terhadap
Jumlah yang menjawab tidak kurang cukup baik 1 2 3 1
1
1
2
1
1
2
Dari Tabel 2 terlihat bahwa secara umum penilaian terhadap instrumen asesmen sudah menunjukkan nilai cukup dan baik. Hasil judgment yang berupa penilaian terhadap indikator, urutan indikator, kejelasan bahasa, mudah digunakan, dan kelayakan asesmen, selanjutnya digunkan untuk bahan pertimbangan dalam melakukan revisi terhadap asesmen kinerja. Dari indikator kinerja tersebut dibuat Instrumen Asesmen Kinerja yang digunakan bagi pembimbing praktikum untuk menilai kinerja praktikum elektromagnetik yang dilakukan oleh mahasiswa. Tahap Ujicoba Awal Instrumen Asesmen Kinerja diujicobakan pada peserta matakuliah praktikum elektromagnetik sebanyak 1 ofering. Ujicoba dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap kinerja mahasiswa saat melaksanakan praktikum. Pengamatan dilakukan oleh dua orang pengamat, satu pengamat dari pembimbing praktikum dari asisten dan satunya dari peneliti. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa masih ada kalimat-kalimat yang tidak tidak jelas yang masih menimbulkan pengertian ganda, misal memasang jarum magnetometer dengan benar. Kalimat ini kurang jelas mestinya memasang magnetometer di tengah-tengah kumparan helmholt dengan posisi horisontal dan jarum menunjuk angka nol. Hasil ujicoba awal ini digunakan untuk memperFIS - 150
baiki indikator dan instrumen asesmen kinerja.
disempurnakan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.
Tahap Ujicoba Akhir
7. PEMBAHASAN
Ujicoba akhir instrumen kinerja praktikum elektromagnetik dilakukan pada saat ujian akhir praktikum elektromagnetik yang diujicobakan pada peserta matakuliah praktikum elektromagnetik sebanyak 2 offering. Pengujian perangkat dilakukan dua kali yaitu satu kali pada offering-A dan satu kali pada offering-B. Setiap pengjian instrumen dilakukan oleh dua orang pengamat, yaitu satu pengamat dari pembimbing praktikum dari asisten dan satunya dari peneliti. Hasil pengolahan data disajikan dalam Tabel 3.
Berdasarkan hasil judgment dan ujicoba, instrumen asesmen kinerja yang dikembangkan mengalami beberapa kali revisi dan penyempurnaan, terutama dalam hal bahasa, tulisan, kejelasan maksud dan tujuan setiap indikator yang dikembangkan. Revisi dan penyempurnaan diperlukan untuk memperjelas maksud dan tujuan setiap kata dan kalimat pada setiap indikator. Selain itu, agar tidak terjadi interpretasi ganda atau kesalahan interpretasi dari pihak pengamat. Revisi dan penyempurnaan dilakukan secara berkesinambungan dan bertahap sesuai setiap kondisi dan masukan yang diperoleh selama model diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis data dan masukan-masukan, revisi dan penyempurnaan model asesmen terjadi pada hampir semua mata praktikum khususnya pada tujuan, pedoman dan kriteria asesmen dan rumusan indikator . Kemajuan model yang dikembangkan diperoleh selama pengamatan ter-hadap pelaksanaan praktikum pada ujicoba akhir. Berbagai masukan diperoleh dari tim peneliti maupun mahasiswa pembimbing praktikum. Berdasarkan masukan-masukan tersebut, model mengalami beberapa kali revisi dan penyempurnaan untuk memperbaiki setiap kemungkinan kekeliruan yang terjadi. Kejelian setiap pengamat terhadap kinerja mahasiswa pada setiap kegiatan praktikum akan sangat menentukan ketepatan penilaian. Dengan skala 2 (0 dan 1) ternyata sangat memudahkan bagi pengamat untuk menilai kinerja mahasiswa sehingga diharapkan model asesmen yang disusun dapat digunakan bagi semua pembimbing sebagai standar untuk menilai kinerja mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik.
Tabel 3. Data Hasil Pengolahan Skor Ujicoba Instrumen Asesmen Kinerja Hasil Pengamat
Mata praktikum
Skor
Pasangan Pasangan kecocokan (R) ke- 1 ke-2
JC JTC JC JTC R1 R2 Percobaan Medan 22 2 21 3 92 88 Magnet Bumi Percobaan 41 5 42 4 89 91 Transformator Percobaan 36 4 35 5 90 88 Kapasitor Plat Sejajar Percobaan 24 1 22 3 96 88 Kumparan Induksi Percobaan Garis Ekuipotensial dan 11 1 10 2 92 83 Medan Elektrostatik Keterangan: JC :jumlah yang cocok ; JTC :jumlah yang tidak cocok ; Nilai R dihitung dengan persamaan di Bab 3, R1 hasil kecocokan pasangan-1, dan R2 hasil kecocokan pasangan-2.
Dari data hasil ujicoba pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa skor kecocokan untuk semua mata praktikum, baik untuk pengu-jian pertama dan pengujian kedua semuanya bernilai > 80 sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen asesmen kinerja yang disusun dapat memberikan penilaian yang sama dari dua pengamat, dan penilaian masih memberikan nilai sama pula saat digunakan pada situasi lain (di offering yang berbeda dan pengamat yang berbeda pula). Instrumen Asesmen Kinerja yang telah SEMNAS MIPA 2010
8. KESIMPULAN Setelah melalui proses penelitian dan pengembangan, akhirnya dapat dikembangkan instrumen asesmen kinerja kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik untuk mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. FIS - 151
Instrumen asesmen kinerja melaksanakan praktikum ini berisi rumusan tujuan asesmen, pedoman dan kriteria asesmen untuk mengases kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik. Instrumen asesmen kinerja ini berisi indikator-indikator kinerja dalam melaksanakan kegiatan praktikum. Indikatorindikator tersebut digunakan untuk menilai kinerja praktikan dalam melaksanakan kegiatan praktikum, yaitu dengan cara membandingkan kegiatan-kegiatan praktikan dalam melaksanakan praktikum dengan indikator kinerja yang ada di dalam intrumen asesmen. Jika kegiatan praktikan benar sesuai dengan indikator yang ada maka pada indikator diberi nilai satu, namun jika kegiatan praktikan salah atau tidak melakukan kegiatan yang sesuai dengan indikator yang ada maka pada indikator diberi nilai nol. Dengan pemberian nilai satu dan nol tersebut maka diharapkan tidak muncul lagi faktor subyektivitas dari penilai terhadap praktikan. 9. SARAN Penelitian dan pengembangan ini masih terbatas pada penelitian dan pengembangan instrumen asesmen kinerja praktikum saja dan masih diterapkan pada pelaksanaan tes (pengamatan hanya pada satu mahasiswa) belum digunakan untuk penilaian yang melibatkan mahasiswa beker-ja secara kelompok sehingga perlu diuji-cobakan untuk menilai mahasiswa yang bekerja didalam kelompok. Selain itu asesmen yang dibuat belum mencakup asesmen
SEMNAS MIPA 2010
pemahaman materi yang diprakti-kumkan, dan asesmen laporan praktikum sehingga perlu dikembangkan penelitian pengembangan untuk hal tersebut. 10. DAFTAR RUJUKAN Borg, W.R. & Gall, M.D. 2001 Educational Research. Boston: Pearson Education, Inc. Druxes, Herbert. Et. Al. 1986. Kompendium Didaktik Fisika, Bandung: CV Remaja Karya. Glencoe. 1999.Alternate Assessment in The Classrom. New York: Mc. Graw-Hill Katalog FMIPA UM Jurusan Fisika, Edisi 2007. Rahayu, S. 2002. Assmen Performansi Seba-gai Kebutuhan Nyata Dalam Pembela-jaran Kimia, Makalah Natinal Science Education Seminar, FMIPA UM, 5 Agustus 2002. Selcuk, G.S., Cahskan, S. , dan Erol, M. 2008. The Effect of Problem Solving on Physics Achievement, Problem Solving Performance and Strategy Use.Lat. Am.J Phys.Educ. Vol 2. No. 3. Sept 2008. Sukmadinata, N. Y., 2005. Metode Peneli-tian Pendidikan. Program. Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT Remaja Rosdakarya Vos, B.E. 2001. Alternative Assessment in K-12 Science Education (http://www.enc.org/professional/research/journa l/science/documents, diakses 12 Januari 2008.
FIS - 152
PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP KALOR MELALUI PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH BALI SISWA KELAS VIII SMP D’UA MALANG Chusnana I.Y Jurusan Fisika UM, Jl. Surabaya 6 Malang Email: Chusnana @yahoo.com
Abstrak Pemahaman konsep kalor yang rendah bagi siswa kelas VIII SMP Darul Ulum Agung Malang (SMP D'UA Malang) disebabkan banyak siswa masih dalam taraf hafalan terhadap materi fisika. Berdasarkan kenyataan ini, ingin dilakukan perbaikan agar persoalan ini bisa diatasi melalui pembelajaran berdasarkan masalah. Strategi pembelajaran ini mernberikan kaitan antara konsep yang abstrak dengan dunia nyata, sehingga siswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman konsep yang bermakna. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya peningkatan pemahaman konsep kalor melalui Pembelajaran Berdasarkan Masalah bagi siswa kelas VIII SMP DU'A Malang. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2006 di SMP DU'A Malang. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII SMP DU'A Malang yang terdiri dari 43 orang. Rancaangan penelitian menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari 2 siklus. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pemahaman konsep kalor bagi siswa kelas VIII SMP DU' A Malang. Kata kunci : Pemahaman Konsep Kalor, pembelajaran berdasarkan masalah.
PENDAHULUAN Kalor merupakan salah satu materi yang dirasa sulit oleh siswa kelas VIII SMP D'UA Malang. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes formatif. Mempelajari materi kalor membutuhkan pemahaman konsep yang kuat. Apabila konsep kalor yang diperoleh dari bangku SMP adalah rendah, maka akan menyulitkan siswa dalam mempelajari materi kalor yang akan, (dipelajari dari bangku SMA/jenjang yang lebih tinggi). Di sisi lain kalor merupakan salah satu materi Fisika yang menarik, karena banyak gejala alam yang berhubungan dengan konsep kalor. Berdasarkan gejala/peristiwa alam yang dapat diamati siswa dalam kehidupan sehari-hari, maka siswa akan membangun, dan membentuk konsep kalor. Dengan demikian konsep-konsep kalor yang bersifat abstrak, akan menjadi mudah dipahami siswa, apabila guru mengaitkan antara materi kalor dengan dunia nyats/peristiwa alam, disekitar siswa. Pembelajaran yang seperti itu dinamakan dengan pembelajaran berdasarkan masalah (Problem – Based Learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks
SEMNAS MIPA 2010
bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah ( Nurhadi dkk, 2004). Berdasarkan penjelasan di atas disusun suatu rumusan masalah yaitu apakah pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pemahaman konsep kalor siswa kelas VIII SMP D'UA Malang? Tujuan penelitian ini ingin mengetahui apakah pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pemahaman konsep kalor siswa kelas VIII SMP D'UA Malang. LANDASAN TEORI Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan salah-satu bentuk pembelajaran yang memberikan penekanan untuk membantu siswa menjadi siswa yang mandiri. Melalui bimbingan yang diberikan secara berulang akan mendorong siswa mengajukan pertanyaan mencari penyelesaian terhadap masalah konkrit oleh siswa sendiri atau menyelesaikan tugastugas tersebut secara mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000). Peranan gura dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah menyajikan
FIS - 153
masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pembelajaran berdasarkan masalah biasanya terdiri dari lima tahapan yaitu memperkenalkan siswa dengan situasi masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil kerja, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Nurhadi dkk, 2004). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, tindakan , observasi dan refleksi. Penelitian ini dilakukan di SMP D'UA Malang Jl. Mayjen Sungkono No. 9 Malang. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII A tahun pelajaran 2006/2007 dengan jumah siswa sebanyak 43 orang. Kegiatan penelitian dilakukan selama bulan September 2006. Setiap siklus memerlukan 2 kali tatap muka ( 2x(2x50) menit). HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum pelaksanaan kegiatan penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Siswa kelihatan bersemangat dalam mengerjakan LKS. Setiap kelompok siswa melaksanakan percobaan sesuai prosedur. Siswa berdiskusi secara kelompok dengan serius. Setiap anggota kelompok aktif dan berani mengemukakan pendapat. Koordinasi antar anggota klompok cukup bagus. Mereka bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan. Guru berperan sebagai fasilitator. Kendala yang diternukan adalah siswa tidak berani tampil hal ini diatasi dengan cara menunjuk salah satu kelompok dan diberi bimbingan. Siswa diberi tugas merangkum agar siswa lebih siap mengikuti proses belajar mengajar yang sedang berlangsung. Prosentase ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus tertera pada tatel berikut.
SEMNAS MIPA 2010
Tabel 1. Prosetase Ketuntasan Belajar Siswa Model Pembelajaran
Ketuntasan Belajar Ya
Pembelajaran 35,1% (15 siswa) ceramah Siklus I 67,4% (29 siswa) Siklus II
1% (31 siswa)
Tidak 64,9% (28 siswa) 32,6% (14 siswa) 27,9% (12 siswa)
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa prosentase ketuntasan belajar siswa mengalami peningkatan setelah diberi tindakan berupa penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemahaman konsep kalor siswa VIII SMP D'UA Malang dapat ditingkatkan melaluai penerapan pembelajaran berdasarkan masalah. Terjadinya peningkatan pemahaman konsep kalor tersebut di atas disebabkan oleh adanya keterlibatan siswa secara penuh dalam belajarnya. Siswa secara kelompok melaksanakan kegiatan percobaan, mengerjakan tugas dan diskusi kelas. Keterlibatan siswa tersebut menggairahkan semangat belajar kemauan siswa untuk belajar yang lebih baik adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam usaha untuk memperoleh pemahaman konsep yang lebih baik pada setiap belajarnya (Hernowo, 2007). Hasil pemelitian ini didukung oleh pendapat Arends (1991) yaitu bahwa pembelajaran berdasarkan masalah sangat efektif untuk mengembangkan berfikir ke tingkat yang lebih tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Tinurini (2000) dalam Supramono (2002) yaitu mengemukakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan penguasaan siswa pada materi Kimia di SMUN 2 Surabaya. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah pemahaman konsep kalor kalor siswa kelas VIII SMP D'UA Malang dapat ditingkatkan melalui penerapan pembelajaran berdasarkan masalah.
FIS - 154
DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I, 1997. Classroom Instruction and Management. New York : Mc. Grow Hill Companies. INC Hernowo. 2007. Menjadi Guru Yang Mau Dan Mampu Mengajar Secara Menyenangkan. Bandung. Penerbit MLC. Ibrahim, M dan Nur M, 2010. Pengajaran Berdasarkan. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah, Program Pasca Sarjana UNESA, University Press. Nurhadi Yasin, Burhan, Gerrad S. Agus 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya dalam KBK. Malang Penerbit UM. Supramono, 2002. Penerapan Model Perangkat Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Konsepsi dan Keterampilan Berpikir SD. Makalah disajikan dalamseminar kualifikasi desertasi program S3 di PPS UM
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 155
PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA LENSA CAIRAN SEDERHANA UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII DI SMPN 1 BEJI Endrawati, S.Pd Guru MIPA di SMP Negeri 1 Beji Pasuruan Jl. Wicaksana Gunung gangsir kec. Beji Telp. (0343) 656140 Pasuruan Email: [email protected]
Abstract One way to optimize the students’ result of motivation to learn physics is the use of instructional media. Learning to use the media to provide a more meaningful experience for students because it can take students on a more concrete experience. Instructional media used in this research is fluid lens media made of light bulbs and wood. The purpose of this research is to describe the learning by using simple fluid lens media to enhance motivation and the students’ result of learning physics. Keywords: Learning, Media Lens Fluids Simple, Motivation, and Learning Outcomes
1. PENDAHULUAN Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum dari suatu lembaga pendidikan agar dapat mempengaruhi siswa mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (Sudjana, 2009). Dalam mencapai tujuan pendidikan, siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang telah diatur oleh guru yang berupa tujuan pembelajaran, bahan ajar, metode pembelajaran dan asesmen pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal (Santyasa, 2007). Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sehingga terjadi proses belajar. Menurut Sudjana (2009: 2) manfaat media pembelajaran antara lain: 1) pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, 2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkan siswa menguasi tujuan SEMNAS MIPA 2010
pembelajaran dengan lebih baik, 3) Metode pembelajaran lebih bervariasi, tidak sematamata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan, 4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan uraikan guru tetapi juga beraktifitas yang lain seperti mengamati, melakukan dan mendemonstrasikan dll. Beberapa pendapat para ahli yang menyatakan bahwa siswa akan lebih mudah mempelajari hal yang kongkrit daripada yang abstrak antara lain Bruner (1964), mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan gambaran atau film (iconic representation of experiment) Kemudian ke belajar dengan simbul, yaitu menggunakan kata-kata (symbolic representation). Dale membuat jenjang konkrit-abstrak dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju siswa sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan ke siwa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir siswa sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. Cahaya merupakan materi fisika yang terdapat dalam kurikulum KTSP 2006. Akan tetapi banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami mengenai pembiasan cahaya. Hal ini ditunjukkan dengan ulangan harian fisika siswa di SMP Negeri 1 Beji pada dua tahun untuk materi FIS - 156
cahaya yang masih tergolong rendah. Hanya 36,6% dan 43% siswa yang mendapatkan skor diatas KKM. Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas,2002). Terdapat tujuh komponen dalam pembelajaran kontekstual yang dikemukakan oleh Nurhadi dkk (2003:20) antara lain: 1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (Developmentally appropriate) siswa, 2) Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (Independent learning groups), 3) Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (Self regulated learning), 4) Mempertimbangkan keragaman siswa (Disversity of students), 5) Memperhatikan multi-intelegensi (Multiple intelligences) siswa, 6) Menggunakan teknik-teknik bertanya (Questioning), 7) Menggunakan penilaian autentik (Authentic assessment). Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana pembelajaran media lensa cairan sederhana yang meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa?”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pembelajaran media lensa cairan sederhana untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar fisika. 2. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Namun demikian, ada hal yang sangat perlu dipahami bahwa penelitian tindakan kelas bukan sekadar mengajar seperti biasanya, tetapi harus mengandung suatu pengertian, bahwa tindakan yang dilakukan didasarkan atas upaya meningkatkan hasil, yaitu lebih baik dari sebelumnya (Arikunto, 2008:2-3). Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VIII-C SMP Negeri 1 Beji. Materi pada penelitian ini terbatas pada kompetensi
SEMNAS MIPA 2010
dasar 6.3 yaitu menyelidiki sifat-sifat cahaya dan hubungannya dengan berbagai bentuk lensa dan cermin. Pada penelitian ini peneliti merupakan instrumen utama. Peneliti berperan sebagai perencana, pengamat, pengumpul data, penganalisis data, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan mutlak diperlukan Selain itu, peneliti juga dibantu oleh instrumen lain yaitu : 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) , RPP yang digunakan dalam tindakan ini dilakukan dalam 2 kali pertemuan, yaitu pada pertemuan pertama siswa merangkai media lensa cairan sederhana, sedangkan pada pertemuan kedua siswa bereksperimen dengan menggunakan media yang telah dibuatnya. 2. Lembar Kegiatan Siswa (LKS), LKS yang digunakan oleh siswa hanya pada pertemuan kedua yaitu saat siswa melakukan eksperimen dengan media lensa cairan. 3. Media Lensa Cairan Sederhana Alat dan bahan yang digunakan untuk membuat media lensa cairan antara lain: 3 bola lampu 5 watt, 2 potong kayu vasi berukuran 15 cm dan 30 cm, laser, macam-macam zat cair, mistar, lem dan gunting. Pada penelitian ini diasumsikan ketebalan bola lampu yang digunakan untuk membuat media lensa cairan sederhana diabaikan. 4. Soal Tes Siklus I, Soal tes siklus I terdiri dari 15 soal mengenai materi yang diajarkan yaitu tentang sifat-sifat cahaya dan hubungannya dengan berbagai bentuk lensa dan cermin. 5. Angket Motivasi Belajar Siswa. Angket motivasi belajar siswa berisi dua belas pernyataan yang harus diisi oleh siswa. 6. Catatan Lapangan Catatan lapangan berfungsi untuk merekam seluruh kegiatan siswa mulai dari tingkah laku, interaksi antar anggota dan hal-hal yang berhubungan dengan penelitian semua dicatat oleh peneliti. Ada beberapa ahli yang mengemukakan model penelitian tindakan FIS - 157
dengan bagan yang berbeda, namun secara garis besar, terdapat empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu: (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan (observasi); (4) refleksi (Arikunto, 2008:16). Siklus tindakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Perencanaan Pada tahap perencanaan, peneliti menyusun RPP, LKS, Uji coba media lensa cairan sederhan, dan membuat tes siklus I. 2. Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 dan 21 Mei 2010 dengan subjek penelitian 30 siswa kelas VIII-C SMP Negeri 1 Beji. 3. Pengamatan (observasi) Pengamatan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Pengamat terdiri dari dua oarang teman sejawat yang bertindak sebagai observer lain selain peneliti, yang bertugas mengamati dan mengisi lembar observasi motivasi belajar siswa, selama proses pembelajaran 4. Refleksi. Dari hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa, peneliti mencari kekurangan dan kelebihan selama proses pembelajaran siklus I berlangsung. Tahap-tahap dalam penelitian tindakan kelas ini, dapat dilihat pada Bagan 1 berikut Perencanaan SIKLUS I
Refleksi
Batasan (rata-rata skor yang diperoleh) 0 ≤ Skor < 1 1 Skor < 2
Kriteria
Kurang Sedang
2
Skor < 3
Baik
3
Skor < 4
Baik Sekali
3. HASIL Pelaksanaan RPP pada pertemuan I pada tanggal 20 mei 2010 tergolong cukup lancar. Diluar perkiraan peneliti, ternyata para siswa cekatan dalam membuat media lensa cairan sederhana. Berbagai macam temuan pada pelaksanaan RPP di pertemuan pertama antara lain: 1. Sebagian besar siswa membawa alat/bahan yang digunakan untuk membuat media lensa cairan sederhana. 2. Terdapat beberapa kelompok yang mengalami masalah dengan media yang dibuat, karena kurang berhati-hati dalam proses pembuatan. 3. Kerjasama siswa dalam membuat media bagus, siswa putra bertugas merakit media sedangkan siswa putri menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk merakit media tersebut.
4. Pada umumnya kelompok yang lebih dahulu telah selesai membuat media lensa cairan akan berkeliling untuk Pelaksanaan menggangu proses pembuatan media.
Pengamatan
?
Bagan 1. Siklus Penelitian Tindakan Kelas Indikator keberhasilan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil dari skor tes siklus I sekurang-kurangnya 75% siswa memperoleh hasil diatas KKM yaitu 75 dan angket motivasi belajar siswa menunjukkan SEMNAS MIPA 2010
respon yang positif. Berikut ini adalah Kriteria batasan penilaian angket motivasi siswa: Tabel 1 Kriteria batasan penilaian angket motivasi siswa
5. Pelaksanaan RPP I sudah sesuai dengan yang direncanakan. Pelaksanaan RPP pertemuan kedua dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2010. Pada pertemuan kedua terdapat beberapa temuan diantaranya: 1. Pada saat Introduction ( Guru melakukan demonstrasi yaitu memperiihatkan gelas berisi air, kemudian memasukkan pensil. Kemudian meminta siswa mengamati pensil tersebut. Selanjutnya menanyakan kepada siswa mengapa hal tersebut bisa FIS - 158
terjadi?) terdapat respon siswa yang mengungkapkan hal lain yaitu “Bu, hal tersebut juga terjadi ketika saya memasukkan tangan saya ke air” 2. Pada saat siswa bereksperimen dengan media lensa cairan sederhana, mereka terlihat antusias dan bersemangat. 3. Saat pengisian cairan pada bola lampu, beberapa bola lampu dari kelompok pecah. Padahal bola lampu yang tersedia terbatas, sehingga eksperimen tidak terselesaikan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama kegiatan pembelajaran berlangsung, peneliti menyimpulkan bahwa untuk pelaksanaan siklus I secara keseluruhan sudah cukup baik.Hal ini didasarkan hasil refleksi siswa yaitu sebagian besar siswa senang dan berpendapat bahwa dengan menggunakan media lensa cairan sederhana belajar mengenai pembiasan cahaya menjadi lebih mudah. Observasi lain dilakukan oleh 2 orang observer, yaitu didapatkan skor 3,1 dan 3,3 dengan kata lain tergolong kategori “Baik sekali”. Skor hasil tes yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa 23 siswa memperoleh skor diatas 75. Ini berarti 76,6% siswa mendapatkan skor diatas KKM. Berdasarkan analisis data yang diuraikan di atas, disimpulkan bahwa tindakan I telah mencapai kriteria keberhasilan, baik dari segi proses maupun hasil. 4. PEMBAHASAN Pembelajaran fisika materi Cahaya akan lebih mudah untuk dipelajari oleh siswa apabila guru menggunakan media lensa cairan sederhana dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Brown dalam Sudrajat (2008) yang menyatakan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Penerapan pembelajaran dengan media lensa cairan sederhana dilakukan dengan tiga tahap kegiatan pada setiap pertemuannya, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir dengan menggunakan SEMNAS MIPA 2010
langkah-langkah ICARE (Introduction, Connection,Aplication, Reflektion, Extention). Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan media lensa cairan sederhana yaitu: 1. Bola lampu yang digunakan banyak yang rusak saat digunakan eksperimen, karena siswa kurang berhati-hati dalam mengisi cairan ke dalam bola lampu. 2. Pada saat pembuatan media beberapa kelompok mengalami kesulitan dalam mengeluarkan isi dari bola lampu. Berdasarkan hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses pembelajaran, peneliti memberikan solusi dari hambatan tersebut yaitu: 1. Memberikan peringatan kepada siswa untuk berhati-hati pada saat pengisian cairan ke dalam bola lampu. 2. Memberikan tips-tips kepada siswa mengenai cara mengeluarkan isi dari bola lampu agar bola lampu tetap utuh. 5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan media lensa cairan sederhana dalam pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. 2. Media lensa cairan sederhana dapat dijadikan alternatif media pembelajaran untuk materi Cahaya. 5.2. Saran Dari temuan hasil penelitian ini, dapat disarankan sebagai berikut: 1. Guru perlu memperingatkan siswa untuk berhati-hati dalam membuat dan menggunakan media lensa cairan sederhana. 2. Tiap kelompok perlu untuk menyediakan 1 bola lampu cadangan. 3. Guru mengontrol kondisi kelas secara intensif selama proses pembelajaran berlangsung.
FIS - 159
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, Suhardjono dan Supardi.2008.Penelitian Tindakan Kelas.Jakarta:Bumi Aksara Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press Santyasa, I Wayan. 2007. Landasan Konseptual Media Pembelajaran. Makalah Disajikan dalamWorkshop Media Pembelajaran bagi GuruGuru SMA Negeri Banjar Angkan. Sudjana.Nana, Rivai .2009. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sudrajat, Akhmad. 2008. Media Pembelajaran. (Online) (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/1 2/media-pembelajaran/) diakses 20 juni 2010.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 160
PENERAPAN BEBERAPA TEKNIK PEMBELAJARAN AKTIF TERMODIFIKASI PADA PERKULIAHAAN TERMODINAMIKA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN BERBAHASA INGGRIS MAHASISWA 1
Hartatiek1 Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang 2 J. Semarang 5 Malang 65141 Telp : (0341)552125, Fax : (0341) 559577 E-mail : [email protected]
Abstract Pembelajaran pasif satu arah kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Selain itu, keterampilan (softskills) seperti kerjasama, kemandirian, komunikasi, berpikir kritis dan problem-solving kurang mendapat porsi untuk dilatihkan, pada hal keterampilan tersebut juga sangat diperlukan mahasiswa kelak dalam dunia kerja. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji dampak penerapan pembelajaran aktif termodifikasi terhadap peningkatan hasil belajar dan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa, sebagai softskills yang dilatihkan. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan the one group pretest-posttest design. Subyek penelitian adalah mahasiswa prodi Pendidikan Fisika kelas SBI yang sedang menempuh matakuliah Termodinamika pada semester ganjil 2010/2011 sebanyak 24 orang. Pada subjek diberikan pretest sebelum perlakuan dan posttest setelah perlakuan. Bentuk perlakuannya adalah penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi yang meliputi Collaborative Learning Groups, Studentled Review Session, Writing Activities. Hasil pretest memperoleh skor rata-rata 42,5 dengan ketuntasan 4,2% sedangkan posttest memperoleh skor rata-rata 64,58 dengan ketuntasan 45,83%. Hasil belajar menunjukan peningkatan 22,08% dan gain ternomalisasi rata-rata 0,4, artinya meningkat pada klasifikasi medium. Ketuntasan belajar meningkat sebesar 41,63%, artinya secara keseluruhan mahasiswa belum mengalami ketuntasan belajar. Pembelajaran aktif direspon positif oleh mahasiswa dengan dukungan 86,67% dapat melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris; 93,33% dapat melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris dan 80% dapat melatih keterampilan memahami teks berbahasa Inggris. Penelitian ini memberikan kesimpulan: (1) Penerapan pembelajaran aktif termodifikasi berdampak positif terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa, dengan peningkatan pada klasifikasi medium; (2) Penerapan pembelajaran aktif termodifikasi berdampak positif terhadap peningkatan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa dapat meningkat lebih optimal, apabila buku teks berbahasa Inggris menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Selain itu latihan berbahasa Inggris sesogyanya dilakukan berkesinambungan dalam perkuliahan. Keywords: pembelajaran aktif, hasil belajar, keterampilan berbahasa Inggris
1. PENDAHULUAN Matakuliah termodinamika merupakan matakuliah wajib yang ada di Jurusan Fisika FMIPA UM. Matakuliah ini di-berikan pada semester ke-4 dengan bobot 3 sks, dimaksudkan agar mahasis-wa memahami konsep, kaidah dan hukum-hukum termodinamika dan mampu menerapkan serta menganalisis masalah-masalah yang terkait yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari (katalog MIPA,2009). Kenyataan di lapangan menun-jukkan, dalam perkuliahan banyak mahasiswa yang SEMNAS MIPA 2010
pasif dalam arti mahasiswa lebih banyak mendengarkan, mencatat dan hanya sedikit (10%) yang mau bertanya. Sementara dalam dunia kerja, selain kemampuan kognitif dibutuhkan keterampilan lain (sofskills) yang dapat menunjang keberhasilan seseorang seperti keprofesionalan, kepemimpinan, kemandirian, kreativitas, kerjasama, inisiatif, komunikasi, berpikir kritis dan problem-solving. Sementara pembelajaran tradisional yang lebih banyak dilakukan dengan satu arah, kurang memfasilitasi berkembangnya soft skills ini. Mengingat pentingnya softskill ini, maka kemampuan ini perlu dilatihkan kepada FIS - 161
mahasiswa dalam pembelajaran tanpa mengurangi kemam-puan fisikanya. Untuk mahasiswa kelas SBI, softskills yang dilatihkan difokus-kan pada keterampilan berbahasa inggris, mengingat mahasiswa kelas ini kelak dipersiapkan untuk mengajar sekolah RSBI. Keterampilan ini hanya bisa dilatihkan, apabila mahasiswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan pembelajaran tradisional (kuliah satu arah), pembelajaran aktif ini memberikan peluang bagi mahasiswa untuk dapat menyerap lebih banyak materi pelajaran, mengingat dan memahami lebih lama, dan yang terpenting adalah menyukai aktivitas belajar itu sendiri (Ramdhani, 2008). Meyer & Jones (1993) mengemukakan bahwa pada pembelajaran aktif terjadi aktivitas berbicara dan mendengar, menulis, membaca, dan refleksi yang menggiring ke arah pemaknaan mengenai isi pelajaran, ide-ide, dan berbagai hal yang berkaitan dengan satu topik yang sedang dipelajari. Selain itu telah banyak ditemukan bahwa kualitas pembelajaran akan meningkat jika para mahasiswa peserta proses pembelajaran memperoleh kesempatan yang luas untuk bertanya, diskusi, dan menggunakan secara aktif pengetahuan baru yang diperoleh (Samadhi, 2008). Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan masalah:(1) Seberapa besar dampak penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi terhadap peningkatkan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah termodinamika ? (2) Apakah penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi dapat meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa? 2. KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran aktif adalah segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar mahasiswa maupun mahasiswa dengan pengajar. Bonwell (1995) mengemukakan, bahwa pembelajaran aktif memiliki karakteristik
SEMNAS MIPA 2010
antara lain: (1) Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyam-paian informasi oleh pengajar, melainkan pada pengembangan keterampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik atau permasalahan yang dibahas; (2) Mahasiswa tidak hanya mendengarkan kuliah secara pasif tetapi mengerjakan sesuatau yang dibekaitan dengan materi kuliah; (3) Penekanan pada ekplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi kuliah; (4) Mahasiswa lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisis dan melakukan evaluasi; dan (5) Umpan balik yang lebih cepat akan terjadi pada proses pembelajaran. Disamping karakteristik tersebut, secara umum suatu proses pembelajaran aktif memungkinkan diperolehnya beberapa hal yaitu: (1) interaksi yang timbul selama proses pembelajaran akan menimbulkan positive interdepedence dimana konsolidasi pengetahuan yang dipelajari hanya dapat diperoleh secara bersama-sama melalui eksplorasi aktif; (2) Setiap individu harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pengajar harus bisa mendapatkan penilaian untuk setiap mahasiswa sehingga terdapat individual accountability; (3) Proses pembelajaran aktif dapat berjalan dengan efektif diperlukan kerjasama yang tinggi sehingga akan memupuk social skills. Dengan demikian kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan sehingga penguasaan materi juga meningkat. Beberapa teknik pembelajaran aktif antara lain: (1) Collaborative Learning Groups. Pada cara ini dibentuk kelompok yang terdiri dari 4-5 mahasiswa yang dapat bersifat tetap sepanjang semester atau bersifat jangka pendek untuk satu pertemuan kuliah. Untuk setiap kelompok dibentuk ketua kelompok dan penulis. Kelompok diberikan tugas untuk membahas bersama dimana seringkali tugas ini berupa pekerjaan rumah yang diberikan sebelum kuliah dimulai. Tugas ini yang kemudian harus diselesaikan bisa dalam bentuk makalah atau catatan singkat. (2) Studentled Review Session. Dengan cara ini pada bagian pertama kuliah kelompok-kelompok kecil mahasiswa diminta untuk mendiskusikan hal-hal yang dianggap belum dipahami dari materi tersebut dengan mengajukan FIS - 162
pertanyaan-pertanyaan dan mahasiswa yang lain menjawabnya. Jika teknik ini digunakan, peran pengajar diberikan kepada mahasiswa. Pengajar hanya bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator. (3) Exam Questions Writing. Untuk mengetahui apakah mahasiswa sudah menguasai materi kuliah tidak hanya diperoleh dengan memberikan ujian atau tes. Meminta setiap mahasiswa untuk membuat soal ujian atau tes yang baik dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa mencerna materi kuliah yang telah diberikan sebelumnya. Pengajar secara langsung bisa membahas dan memberi komentar atas beberapa soal yang dibuat oleh mahasiswa di depan kelas dan/atau memberikan umpan balik. Dengan mengacu pada materi/bahan ajar termodinamika, kondisi mahasiswa dan waktu yang tersedia untuk perkuliahan (150 menit), dipilih beberapa teknik pembelajaran aktif yang dipadukan dalam satu perkuliahan dengan sedikit modifikasi. Beberapa teknik yang dipilih adalah Collaborative Learning Groups, Studentled Review Session, Exam Questions Writing. Pada awal perkuliahan kepada mahasiswa dijelaskan tentang metode pembelajaran aktif yang dipilih, apa peran mahasiswa selama proses pembelajaran dan cara evaluasi yang dilakukan. Collaborative Learning Groups, mahasiswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4-5 orang. Setiap kelompok diberi materi perkuliahan yang telah ditetapkan oleh pengajar (sebagai tugas kelompok). Tugas setiap kelompok membahas secara kelompok dan hasilnya berupa makalah/rangkuman tentang materi sebagai pekerjaan rumah sebelum perkuliahan dimulai. Studentled Review Session, pada bagian ini setiap kelompok telah siap dengan makalah masing-masing sebagai tugas kelompok untuk materi yang sama. Salah satu kelompok yang telah ditetapkan sebelumnya, diberi kesempatan untuk memberikan review/presentasi tentang materi yang telah didiskusikan dalam kelompok kecil. Dari proses presentasi ini SEMNAS MIPA 2010
akan muncul sejumlah permasalahan tentang konsep-konsep yang kurang dipahami. Hal inilah modifikasi yang dimaksudkan. Jadi bukan masalah dimunculkan dulu, tetapi berdasarkan presentasi yang dilakukan kelompok yang telah ditetapkan akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Kelompok penyaji diberi kesempatan menjawab pertanyaan lebih dulu, apabila tidak bisa menjawab, mahasiswa lain diberi kesempatan untuk menjawab/mengemukakan pendapatnya. Presentasi dilakukan dengan bahasa Inggris, demikian juga pertanyaan disampaikan dalam bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan untuk melatih ketrampilan berbahasa Inggris. Pengajar bertindak sebagai fasilitator/narasumber bertugas: mengarahkan jalannya diskusi, memberikan penilaian individual kepada yang presentasi, mengamati mahasiswa yang aktif dan memberikan penilain, memberikan review pada akhir perkuliahan sebagai penguatan konsep-konsep yang benar kepada mahasiswa. Exam Questions Writing, untuk mengetahui apakah mahasiswa telah menguasai matari kuliah, sekitar 20-30 menit sebelum perkuliahan berakhir kepada mahasiswa diberikan 2-3 pertanyaan tentang materi yang didiskusikan dalam bahasa inggris. Jawaban ditulis secara individu bisa dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris dan dikumpulkan untuk dinilai. Pada pertemuan berikutnya hasilnya dibagikan dan diberikan umpan balik. Modifikasi yang dilakukan adalah bukan menulis pertanyaan tentang materi yang didiskusikan tetapi menjawab pertanyaan tentang konsep-konsep penting yang didiskusikan untuk mengetahui sejauh mana konsep-konsep penting telah dipahami oleh mahasiswa. aktivitas ini dimodifikasi dengan istilah writing activities, karena melatih mahasiswa untuk menulis jawaban dalam bahasa Inggris. Melalui tiga teknik pembelajaran aktif yang dipadukan dalam satu kesatuan perkuliahan tatap muka secara berurutan ini (dengan sedikit revisi), diharapkan aktivitas pembelajaran lebih dinamis, mahasiswa tidak pasif mendengarkan dan mencatat tetapi berperan aktif dalam menggali semua FIS - 163
materi/konsep. Mahasiswa menjadi bertanggung jawab atas hasil belajar yang ingin dicapai. Melalui teknik pembelajaran aktif ini mahasiswa memperoleh penilaian dari: (1) membuat makalah/rangkuman kelompok, (2) presentasi individual dengan bahas inggris , (3) aktivitas dalam diskusi, (4) writing activities dengan soal berbahasa inggris. Sedangkan posttest dilaksanakan pada tengah semester. Dengan cara evaluasi seperti ini, mahasiswa juga mendapat porsi penilaian di proses, sehingga diharapkan mahasiswa dapat menggunakan keadaan ini untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
rentang dari 0 – 100. Data dianalisis dengan menghitung skor minimal, skor maksimal, skor rata-rata dan ketuntasan belajar.
Selain itu melalui teknik pembelajaran aktif ini keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa dapat dilatihkan yakni: (1) melatih memahami teks berbahasa Inggris dalam aktivitas membuat rangkuman/makalah kelom-pok, writting test, dan writting activities; (2) melatih komunikasi dalam bahasa Inggris dalam aktivitas presentasi individual, bertanya dalam diskusi; (3) melatih menulis dalam bahasa Inggris dalam aktivitas menjawab writting activities dalam bahasa Inggris.
Klasifikasi
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan the one group pretest-posttest design (Tuckman, 1987). Penelitian eksperimen tanpa kelompok kontrol dan pretest-posttest dilakukan dalam satu kelompok . Subyek penelitian adalah mahasiswa prodi Pendidikan Fisika kelas SBI yang sedang menempuh matakuliah Termodinamika pada semester ganjil 2010/2011 sebanyak 24 orang. Pada subjek diberikan pretest sebelum perlakuan dan posttest setelah perlakuan. Bentuk perlakuannya adalah penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi yang meliputi: Collaborative Learning Groups, Studentled Review Session, Writing Activities. Data hasil belajar berupa skor hasil belajar diperoleh dengan memberikan tes meliputi : pretest, tes harian dan posttest. Soal tes berbentuk essay, dimaksudkan agar mahasiswa dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci. Skor hasil belajar memiliki
SEMNAS MIPA 2010
Peningkatan hasil belajar mahasiswa dapat diketahui dengan membandingkan skor rata-rata pretest dan postest. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat peningkatan skor tersebut ditentukan gain ternormalisasi rata-rata, yaitu gain rata-rata aktual dibagi dengan gain rata-rata aktual maksimum yang mungkin, dengan rumus berikut (Hake, R. 1988).
g
% gain % gain max
% posttest % pretest 100 % pretest
peningkatan
hasil
belajar
ditandai oleh besarnya g , yakni: g tinggi jika terdapat g lebih besar daripada 0,7 g medium jika terdapat g antara 0,3 sampai dengan 0,7 g rendah jika terdapat g lebih kecil daripada 0,3 Penerapan pembelajaran aktif dapat meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris direspon secara positif oleh mahasiswa apabila pilihan jawaban sangat setuju dan setuju melebihi 50% (Ubaya, 2005). Angket respon pembelajaran aktif meliputi aspek: 1) pembelajaran aktif melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris; 2) pembelajaran aktif melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris; 3) pembelajaran aktif melatih keterampilan memahami teks berbahasa Inggris. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Belajar Mahasiswa Hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran aktif selama 4 pertemuan dengan pokok bahasan : Konsep-konsep Dasar Termodinamika, Sistem Termodinamika Sederhana, Kerja dan Kalor, Hukum I Termodinamika, disajikan pada Tabel 1 berikut.
FIS - 164
Tabel 1 Hasil Belajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika pada Matakuliah Termodinamika Statistik
Pretest Posttest
Skor minimal Skor maksimal Skor rata-rata Ketuntasan
Peningk Gain atan Score 2%
10
12
70
96
26 %
42.5
64,58
22,08 %
4,2%
0,4
45,83% 41,63%
Dari Tabel 1 tampak bahwa hasil belajar mahasiswa pada matakuliah termodinamika secara kelompok mengalami peningkatan. Skor maksimal mengalami peningkatan 26%; skor minimal 2%, skor rata-rata 22,08%, dan ketuntasan belajar 41,63%. gain score ternormalisasi rata-rata diperoleh sebesar 0,4 yang termasuk pada kategori medium. Hal ini dapat diartikan bahwa pembelajaran aktif dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah termodinamika dengan besar peningkatan pada klasifikasi medium. Berdasarkan penilaian pada proses pembelajaran (sotfskills) yang meliputi: membuat makalah/rangkuman kelompok (kerjasama), presentasi individual (komunikasi), dan partisipasi aktif dalam diskusi hasilnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Data Softskills Mahasiswa pada Perkuliahan Termodinamika Softskills
Kerjasama Komunikasi Partisipasi aktif
Skor Minim al 79,6 70 50
Skor Maksi mal 90,5 85 85
Skor Ratarata 83,4 78 60,8
Nilai Huruf AB+ C
Dari Tabel 2 tampak bahwa secara kelompok keterampilan kerjasama mahasiswa memperoleh skor rata-rata 83,4 atau memperoleh nilai A-. Ketrampilan komunikasi dengan skor rata-rata 78 atau memperoleh nilai B+. Partisipasi aktif dalam diskusi memperoleh skor rata-rata 60,8 atau memperoleh nilai C. Dari tiga keterampilan (softskills) yang dilatihkan/dinilai selama pembelajaran aktif, keterampilan kerjasama memperoleh nilai tertinggi, hal ini mungkin disebabkan SEMNAS MIPA 2010
karena mahasiswa telah terbiasa mengerjakan tugas secara kelompok. Skor terendah diperoleh pada partisipasi aktif dalam diskusi dengan nilai C, hal ini mungkin disebabkan mahasiswa kurang siap dengan pembelajaran aktif. Meskipun semua mahasiswa diberi kesempatan yang sama unuk bertanya, mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan, tetapi hanya sebagian kecil yang mau menggunakan kesempatan ini. Kebanyakkan mahasiswa mungkin masih terbiasa belajar dengan mendengarkan, mencatat dan kemudian tes. Untuk mengubah kebiasaan belajar pasif ke pembelajaran aktif mungkin perlu waktu yang memadai. Peningkatan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah termodinamika secara kelompok berada pada klasifikasi medium, artinya meskipun meningkat tetapi belum tinggi hanya sebesar 22,08% dengan skor rata-rata 64,58 yang berada pada nilai B-. Apabila dilihat secara individual terdapat peningkatan skor minimal dari 10 menjadi 12 meningkat 2%, artinya mahasiswa pada kelas bawah belum memperoleh peningkatan nilai yang signifikan. Untuk skor maksimal mengalami peningkatan dari 70 menjadi 96 meningkat 26%. Skor maksimal mengalami peningkatan yang signifikan artinya dari nilai B menjadi A. Hasil belajar yang belum optimal mungkin disebabkan mahasiswa masih kesulitan memahami materi dari buku acuan berbahasa Inggris, meskipun mereka kelas SBI. Oleh karena itu pemilihan buku teks dengan bahasa yang mudah dipahami mahasiswa juga menentukan keberhasilan belajarnya. Peningkatan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah termodinamika ini diikuti oleh keterampilan (softskills) mahasiswa dalam kerjasama, komunikasi dan partisipasi aktif dalam pembelajaran. Hasil penilaian pada ranah softskills ini dapat melengkapi hasil belajar pada ranah kognitif. Oleh karena itu nilai akhir (NA) untuk menentukan kelulusan mahasiswa adalah gabungan dari nilai pada ranah kognitif dan ranah softskills ini. Dengan menerapkan beberapa teknik pembelajaran aktif seperti Collaborative Learning Groups, Studentled Review Session, dan Writing Activites memberikan FIS - 165
peluang kepada mahasiswa untuk berperan secara aktif dalam proses pembelajaran dan bertanggung jawab atas hasil belajarnya. 4.2 Keterampilan Mahasiswa
Berbahasa
Inggris
Selain bertujuan meningkatkan hasil belajar, pembelajaran aktif juga bertujuan untuk melatih keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa. Untuk mengetahui dampak pembelajaran aktif terhadap peningkatan keterampilan berbahasa Inggris, disebarkan angket kepada mahasiswa. Hasil respon mahasiswa terhadap pembelajaran aktif disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil Respon Mahasiswa pada Pembelajaran Aktif Aspek dinilai
yang Skala (%) 1 2 3
4
Respon Positif (%) 86,67
Pembelajara 0 13,33 40 46,67 n aktif melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris Pembelajara 6,67 0 73,33 20 93,33 n aktif melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris Pembelajara 0 20 33,33 46,67 80 n aktif melatih keterampilan memahami teks berbahasa Inggris
Keterangan: Skala 1 kurang setuju; 2 cukup setuju; 3 setuju; 4 sangat setuju Dari Tabel 3 tampak bahwa pembelajaran aktif direspon positif oleh mahasiswa, karena dapat melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris memperoleh dukungan sebesar 86,67%; melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris memperoleh dukungan sebesar 93,33%, melatih keterampilan memahami teks berbahasa memperoleh dukungan sebesar 80%. Dengan demikian dapat SEMNAS MIPA 2010
dikatakan bahwa pembelajaran aktif dapat meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa karena dari ketiga komponen keterampilan berbahasa Inggris memperoleh dukungan lebih dari 50% mahasiswa. Respon positif ini akan berdampak pada peningkatan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa. Keterampilan berbahasa inggris akan meningkat apabila mahasiswa diberi kesempatan sebanyakbanyak untuk berlatih. Pemilihan metode pembelajaran aktif ini ternyata sesuai untuk melatih keterampilan bahasa Inggris mahasiswa. 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penilitian disimpulkan hal-hal berikut:
ini
dapat
(1)Penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi berdampak positif terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah termodinamika. Hasil belajar mahasiswa mengalami peningkatan sebesar 22,08% , atau gain ternormalisasi rata-rata 0,4 artinya meningkat pada klasifikasi medium. (2)Penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi dapat melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris mendapat respon positif sebesar 86,67% mahasiswa; melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris mendapat respon positif sebesar 93,33% mahasiswa dan melatih keterampilan memahami teks berbahasa Inggris mendapat respon positif sebesar 80% mahasiswa. (3)Penerapan beberapa teknik pembelajaran aktif termodifikasi dapat meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa. 5.2 Saran (1) Agar peningkatan hasil belajar mahasiswa lebih optimal disarankan dalam pemilihan buku teks lebih FIS - 166
menekankan pada buku dengan bahasa yang mudah dipahami. (2) Untuk melatih keterampilan berbahasa Inggris seyogyanya menerapkan pembelajaran aktif ini secara berkesinambungan. 6 DAFTAR RUJUKAN Bonwell, C.C. 1995. Active Learning: Creating Exitement in Classroom. Washington, DC: George Washington University. Fink, L.D. 2003. Creating Significant Learning Experinces; An Integrated Approach to Designing College Courses. San fransisco: Jossey Bass, A Wiley Imprint. Hake, R. 1988. Interactive-engagement vs traditional methods: a six-thousand-student survey of mechanics tes data for introductory physics courses. Am. J, phys. 64-74. Samadhi, A. 2008. Pembelajaran Aktif. Makalah dalam Teaching improvement Workshop. Sukmadinata, N. S., 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Program. Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tuckman, Bruce W. 1987. Conducting Educational Research (second edition). New York: harcourt Brace Jovanovich, Inc. Ubaya, 2006. Panduan Pelaksanaan kegiatan dan sistem Evaluasi HPKP SMA 2006. ……………. 2009. Katalog FMIPA UM: Jurusan Fisika edisi 2009 . Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang. Zemansky, M.W. dan Dittman, R.H. ,1982. Heat and Thermodynamics. McGraw-Hill New York .
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 167
UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PRODUK MEDIA RANCANGAN MELALUI PEMBELAJARAN KOLABORATIF BERBASIS PROYEK BAGI MAHASISWA KELAS DG JURUSAN FISIKA FMIPA UM Oleh : Sutarman
Jurusan Fisika UM, Jl. Surabaya 6 Malang Abstrak Penelitian ini dilakukan atas dasar temuan permasalahan pembelajaran pada matakuliah Pengembangan Media Pembelajaran Fisika di Jurusan Fisika FMIPA UM. Permasalahan yang muncul selama ini adalah rendahnya kualitas produk media yang dibuat mahasiswa. Penyebab dari masalah tersebut adalah strategi yang digunakan dalam perkuliahan selama ini mahasiswa belajar secara individual. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk media yang dibuat melalui pembelajaran kolaboratif berbasis proyek. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan dua siklus tindakan. Subyek penelitian adalah kelas DG angkatan tahun 2008 sebanyak 30 orang mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kenaikan kualitas produk media dari siklus I sebesar 79,5 menjadi 85,4 pada siklus II dalam rentangan nilai 0-100. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pembelajaran kolaboratif berbasis proyek dapat meningkatkan kualitas pembuatan produk media fisika. Kata kunci : kolaboratif, berbasis proyek, media
Pengembangan media pembelajaran merupakan matakuliah wajib bagi mahasiswa prodi Pendidikan Fisika. Tujuan umum perkuliahan ini adalah ”Agar mahasiswa memahami fungsi media, mengidentifikasi dan memilih jenisnya dan membuat dan memanfaatkannya dalam pembelajaran sains/fisika” (Katalog FMIPA UM Jurusan Fisika, 2004:56). Berdasarkan tujuan tersebut ranah hasil belajar yang ingin dicapai mahasiswa adalah meliputi ranah kognitif dan psikomotor. Ranah kognitif yang dimaksud adalah mahasiswa memahami fungsi media, mengidentifikasi dan memilih jenis media. Sedangkan ranah psikomotor adalah mahasiswa mampu membuat dan memanfaatkan media dalam pembelajaran sains/fisika. Media yang dimaksud dalam hal ini adalah media rancangan yang disebut media by design dan bukan media jadi (media by utilization) dan juga bukan media animasi. Permasalahan yang selalu dijumpai pada setiap akhir semester pada perkuliahan ini adalah rendahnya hasil belajar pada ranah psikomotor yaitu membuat media by design. Dalam hal membuat media, terlebih dahulu mahasiswa dituntut untuk dapat merancang dan berinovasi untuk menciptakan media yang tepat untuk suatu konsep fisika
SEMNAS MIPA 2010
tertentu. Setelah rancangan dibuat kemudian kerja bengkel untuk membuat media hasil rancangannya. Dalam mengembangkan media perlunya mahasiswa menguasai konsep fisikanya yang terkait dengan media yang akan dibuat, kreatif dan terampil kerja bengkel. Berdasarkan penilaian hasil akhir dari produk media yang dibuat terdapat variasi nilai diantara mahasiswa yang cukup tinggi. Artinya sebagian mahasiswa berhasil dapat merancang dan membuat media yang baik bahkan layak untuk dijual. Tetapi, sebagian besar mahasiswa yang lain produk yang dihasilkan masih belum baik. Berdasarkan analisis terhadap karakteristik mahasiswa dalam hal mengembangkan media ada mahasiswa yang memang pandai yaitu terampil dalam kerja bengkel, kreatif dan inovatif serta menguasai konsepnya. Sebagian mahasiswa yang lain kurang pandai yaitu kurang terampil, tidak kreatif dan tidak menguasai konsep. Karakteristik kemampuan mahasiswa dalam membuat media bervariasi, ada mahasiswa yang menguasai konsep fisika tetapi tidak kreatif dan tidak dapat kerja bengkel membuat media. Pada sisi lain, ada mahasiswa yang terampil dan kreatif dalam kerja bengkel tetapi pemahaman konsepnya rendah.
FIS - 168
Penyebab dari permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di muka adalah cara pembelajaran yang selama dilakukan dosen pembina matakuliah belum tepat. Pembelajaran yang selama ini dilakukan untuk pembuatan media masih individual. Pembelajaran individual mengakibatkan adanya perbedaan nilai yang sangat bervariasi diantara peserta didik (Gokhale, 1995). Cara belajar dan mengajar selama ini cenderung tidak memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk saling belajar antar mahasiswa. Cara belajar individual cenderung bersifat komptitif yang pada akhirnya hanya mahasiswa yang pandai saja yang mampu mencapai tujuan, sedangkan mahasiswa yang kurang pandai tetap tertinggal. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gokhale (1995) yang menyatakan bahwa pencapaian prestasi belajar melalui pembelajaran individual tidak lebih baik dari pada pembelajaran kelompok secara kolaboratif. Dalam pembelajaran kompetitif mahasiswa lebih didorong oleh keinginnan bersaing. Dalam pembelajaran individual dan kompetitif siswa dapat mencapai tujuan jika siswa yang lain tidak dapat mencapai tujuan itu (Arends, 1998; Bennett et al., 1991; Qin & Johnson, 1995 dalam Wayan Santosa, 2006:5). Pernah dicoba untuk dilakukan pembelajaran secara kelompok, namun ada beberapa kekurangan dalam penerapannya. Kekurangan yang dimaksud antara lain : 1) Tidak semua anggota kelompok aktif, tetapi hanya mahasiswa yang pandai yang mengerjakan tugas, sedangkan mahasiswa yang kurang pandai menyerahkan semua tugas kepada mahasiswa pandai. Hal ini berarti pembelajaran kurang memberi peluang bagi setiap mahasiswa untuk belajar. Sedangkan tujuan mengajar adalah membelajarkan setiap mahasiswa tidak hanya mahasiswa yang pandai saja tetapi juga mahasiswa yang kurang pandaipun harus diberi kesempatan belajar (Syamsuri, 2008). 2) Hasil kerja kelompok cenderung tunggal, artinya hanya ada satu jenis produk yang dibuat yang sering disebut hasil kerja kelompok. Hal ini berarti pembelajaran kurang memberi kebebasan individu untuk berkarya sendiri. 3) Interaksi belajar antar mahasiswa dalam kelompok kurang maksimal. Hal ini disebabkan setiap anggota SEMNAS MIPA 2010
kelompok tidak memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas. Berdasarkan permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di muka maka perlu dilakukan perbaikan pembelajaran. Perbaikan pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang memberi kesempatan kepada setiap individu belajar, berkreasi dan membuat produk media. Melakukan kegiatan kerja secara kelompok dan tetap memperhatikan pemerataan keaktifan mahasiswa, memunculkan gagasan individu yang mungkin berbeda dengan individu yang lain sehingga kreativitas mereka terakomodasi. Melalui kerja kelompok, para mahasiswa diberi tugas membuat media yang lebih baik dan sifatnya menantang (challenging), sehingga mereka termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya (Ridwan. J, 2005:28). Melalui tugas yang menantang mahasiswa yang kurang pandai diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya dan bila mengalami kesulitan diminta untuk bertanya dan berdiskusi dengan teman dalam kelompoknya. Sedangkan anak yang pandai dan terampil diminta untuk menjadi tutor bagi temannya yang kurang mampu. Dengan cara demikian, maka mahasiswa yang kurang pandai maupun yang pandai akan memperoleh lompatan kompetensi. Pembelajaran yang menekankan dilakukan belajar kelompok dengan karakeristik sebagaimana disebut di muka disebut pembelajaran kolaboratif. Menurut Anuradha pengertian belajar kolaboratif didefinisikan sebagai berikut. Collaborative Learning: An instruction method in which students work in groups toward a common academic goal (Gokhale, 1995). Berdasarkan definisi ini maka pembelajaran kolaboratif menekankan dilakukan belajar secara kelompok untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, solusi yang diduga dan diyakini dapat mengatasi permasalahan rendahnya kualitas produk media adalah melalui optimalisasi pembelajaran kolaboratif. Tujuan dilakukan pembelajaran kelompok adalah agar mahasiswa yang kurang pandai dapat belajar dan berinteraksi, bertanya kepada teman sejawat dalam kelompoknya (Syamsuri, 2008). Oleh karena itu, dalam pembentukan kelompok diperhatikan heteroginitas kemampuan kelompok. Tujuan lain dari belajar FIS - 169
kelompok adalah agar terjadi lompatan (jumping) kompetensi (Sato. 2006). Hal ini senada dengan pendapat Vygotsky yang menyatakan bahwa siswa akan mampu berfikir tingkat tinggi (higher intellectual levels) bila dalam belajar dalam situasi kolaboratif dibanding dengan bekerja secara individual (Vygotsky 1978 dalam Gokhale, 1995). Berbagai penelitian tentang pembelajaran kolaboratif dan dampaknya terhadap perbaikan prestasi belajar antara lain dilakukan Anuradha A Gokhale yang menyatakan bahwa pembelajaran kolaboratif dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis (critical thingking) termasuk analysis, synthesis, and evaluation of the concepts ( Gokhale, 1995). Penelitian senada dilakukan oleh Hikmat dan Mauly Halwat (2003) menyimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif dapat meningkatkan kemampuan belajar mahasiswa. Pendekatan pembelajaran kolaboratif yang dimaksud dalam penelitian ini diterapkan dalam model pembelajaran berbasis proyek (project base learning). Pembelajaran berbasis proyek memiliki ciri antara lain adanya kerja kolaboartif untuk mencapai tujuan. Pembelajaran ini memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif, yang dilakukan dalam proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong, 2000 dalam Waras, 2008: 3 ). Pembelajaran berbasis proyek menekakan adanya kerja kelompok yang anggotanya mahasiswa yang bervariasi kemampuannya, ada yang pamahaman konsep fisika baik tetapi tidak kreatif dan tidak terampil, ada mahasiswa yang terampil dan kreatif, tetapi kurang mengusai konsep fisika. Berdasarkan temuan penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya mengenai pembelajaran kelompok secara kolaboratif, sangat mungkin solusi yang dirancang untuk mengatasi rendahnya kualitas produk media tersebut tepat sekali dan diyakini berhasil menyelesaikan masalah. Berdasarkan masalah dan analisis masalah serta solusi yang ditawarkan sebagaimana disebutkan di muka selanjutnya permasalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut (1) Bagaimanakah proses perbaikan tindakan melalui optimalisasi kerja kolaboratif dalam model pembelajaran berbasis proyek dapat SEMNAS MIPA 2010
meningkatkan kualitas produk media pembelajaran yang dihasilkan mahasiswa pada perkuliahan Pengembangan Media Pembelajaran ? Lebih rinci permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut. Bagaimana membentuk kelompok hiterogen agar secara kolaboratif dapat menghasilkan produk media yang berkualitas baik? Bagaimanakah merealisasikan tanggung jawab personal dalam kerja kelompok yang kolaboratif agar setiap individu aktif bekerja dan tidak didominasi oleh mahasiswa tertentu saja? Apakah diawali dari belajar individual terlebih dahulu, kemudian kelompok dan diakhiri individual ? Bagaimana memperbaiki cara pemberian tugas produk media yang membuat mahasiswa berfikir, kreatif, inovatif mengembangkan media? Bagaimana cara mengelola kerja kelompok agar interaksi antar mahasiswa lebih optimal dan potensi masing-masing anggota kelompok hiterogin berkontribusi untuk menghasilkan produk media yang berkualitas baik? Bagaimanakah perkembangan kualitas produk media yang dihasilkan selama dilakukan perbaikan pembelajaran kolaboratif dalam model pembelajaran berbasis proyek? Metode Penelitian
Oleh karena penelitian ini bertujuan meningkatkan kualitas produk media fisika yang dibuat mahasiswa melalui perbaikan tindakan pembelajaran secara terus-menerus, maka rancangan penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini direncanakan ada dua siklus tindakan. Masing-masing siklus melalui tahapan plan yaitu penyusunan perencanaan pembelajaran dan penyiapan perangkat pembelajaran lainnya, action/observation yaitu menerapkan perbaikan tindakan dan melakukan pengamatan, reflection yaitu merefleksikan berdasarkan data observasi, mengidentifikasi permasalahan pembelajaran, mencari penyebabnya dan menentukan solusi perbaikannnya. Mahasiswa yang menjadi subyek penelitian adalah mahasiswa offering D-B yang menempuh matakuliah Pengembangan Media Pembelajaran di Jurusan Fisika MFIPA UM pada semester II tahun kuliah 2010. Hasil Penelitian Proses pembelajaran siklus I
FIS - 170
Sebagaimana yang telah di muka, bahwa awal dari prosedur PTK adalah menyusun perencananan. Perencanaan yang dimaksud meliputi 2 komponen yaitu perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Perangkat pembelajaran meliputi penyusunan SAP, menyiapkan bahan praktek, media, lembar kerja, alat evaluasi. Instrumen penelitian meliputi instrumen untuk mengobservasi pembelajaran, instrumen untuk mengukur kemampuan membuat desain dan kemampuan untuk membuat produk media. SAP dan lembar kerja mahasiswa disajikan dalam Siklus I dilaksakan selama dua kali pertemuan dan masing-masing pertemuan 2 x 50 menit. Siklus pertama direncanakan pembelajaran mencapai target mahasiswa mampu membuat desain produk media fisika. Sedangkan pertemuan kedua dirancang mencapai target bahwa mahasiswa dapat membuat media pembelajaran fisika. Jenis media yang dibuat adalah motor listrik sederhana. Pertemuan I
Implementasi pembelajaran pada siklus I terlaksana sebagaimana yang direncanakan yaitu dua kali petermuan, masing-masing 2 x 50 menit. Pertemuan pertama dihasilkan sebuah desain model produk media. Kemampuan membuat desain media disajikan dalam tabel 1. Implementasi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis proyek melalui sintaks pembelajaran dengan urutan langkah sebagai berikut. Tahap I : Menetapkan tema proyek
Pada tahap ini diinformasikan pentingnya seorang mahasiswa calon guru fisika untuk dapat membuat dan menggunakan media pembelajaran fisika. Jenis media yang akan dibuat adalah motor listrik sederhana. Tujuan yang ingin dicapai pada petemuan pertama ini adalah mahasiswa dapat membuat desain model motor sederhana berdasarkan bahan dan alat yang tersedia. Model motor listrik sederhana ini dipilih dengan pertimbangan dapat dibuat dengan menggunakan bahan yang murah dan mudah didapat, pembuatannya memerlukan ketelitian, keterampilan, keuletan, memunculkan kreatifitas mahasiswa dan dapat dibuat dalam waktu yang relatif singkat yaitu 2 x 50 menit. SEMNAS MIPA 2010
Tahap II : Menetapkan konteks belajar
Pada tahap ini dimunculkan permasalahan yaitu: (1) bagaimana membuat desain motor listrik sederhana? (2) bahan apa yang diperlukan untuk membuat motor listrik sederhana? (3) bagaimana prosedur membuatnya? (4) bagaimana membuat motor listrik sederhana?. Dalam hal membuat desain, mahasiswa diberi kebebasan untuk memunculkan gagasan, kreatifitasnya. Mahasiswa menemukan model desain yang tepat untuk membuat motor listrik sederhana. Mahasiswa mampu mengalokasikan waktu yang tersedia untuk menyelesiakan tugasnya. Dalam waktu yang tersedia yaitu 2 x 50 menit mahasiswa mampu membuat desain media. Tahap III: Merencanakan aktivitas
Pada tahap ini mahasiswa diminta berkelompok. Jumlah anggota kelompok maksimal 4 orang, heteroginitas kemampuan dan keterampilan diperhatikan. Ketika membuat desain mereka mencari informasi melalui buku sumber dan berdiskusi dengan teman. Kerja kelompok diawali dari kerja individu. Artinya masing-masing individu memikirkan bagaimana desain motor yang akan dibuat. Kemudian mereka berdiskusi dalam kelompoknya. Setiap mahasiswa ditargetkan menghasilkan sebuah desain motor listrik. Tahap IV: Memperoses aktivitas
Setelah mereka membentuk kelompok, maka selanjutnya membuat desain model motor litsrik. Model yang dimaksud adalah gambar rancang bangun tiga demensi yang dilengkapi dengan ukuran, jenis bahan. Kemudian, setelah desain berhasil dibuat selanjutnya ada 2 mahasiswa yang diminta mempresentasilkan rancangannya. Kedua mahasiswa yang diminta ntuk presentasi adalah yang pertama desainnya ”kurang baik” yang kedua desain yang ”baik”. Kemudian dibahas melalui diskusi kelas di mana letak kesalahan desain dan kebaikannya. Melalui diskusi kelas mereka mengetahui bagaimana desain motor listrik yang baik. Gambar.1 menunjukkan seorang mahasiswa presentasi desian didepan kelas.
FIS - 171
sekelompok mahasiswa secara kolaboratif sedang mengerjakan tugasnya.
Gambar 1 Seorang mahasiswa mempresentasikan karya desain Setelah presentasi desain dan mendapat balikan, selanjutnya mereka merevisi desain atau redesain bila diperlukan. Hasil desain yang mereka buat selanjutnya dievaluasi. Pertemuan II Tahap V: Penerapan aktivitas
Pada tahap ini tujuan utamanya adalah mahasiswa mampu membuat motor listrik sesuai dengan desain yang mereka buat. Mahasiswa bekerja individual namun dalam kelompok. Pada saat bekerja mereka berdiskusi, bertanya, sehingga terjadi interaksi antar mahasiswa. Mereka saling membantu untuk menyelesaikan tugasnya masing-masing. Nampak sekali bahwa masing-masing mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya, mereka terlihat ada rasa saling membutuhkan dan ada ketergantungan diantara mereka. Ketika mahasiswa putri tidak dapat memotong steroform dengan menggunakan cutter, mahasiswa laki-laki membantunya. Gambar.2 menunjukkan
Gambar 2. Kerja secara kolaboratif dalam kelompok Ketika ada mahasiswa yang tidak paham mengenai konsep yang terkait dengan motor listrik, mereka berdiskusi sehingga terjadi interaksi dan tukar pengalaman. Data mentah mengenai kemampuan mahasiswa dalam membuat produk media motor listrik disajikan dalam lampiran. Setelah motor listrik dapat dibuat selanjutnya mereka menguji coba. Mengevaluasi produk berdasarkan uji coba dan memperbaikinya sehingga dihasilkan produk baik. Kemampuan membuat produk siklus Ditinjau dari rerata kemampuan membuat produk pada siklus I mencapai 79,5 dari rentangan nilai 0-100. Ditinjau dari persentase keberhasilan kelas, hanya 1 mahasiswa dinyatakan belum berhasil dan 99% dinyatakan telah berhasil. Nilai dari masing-masing aspek pembuatan produk disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1 Nilai rerata kelas masing-masing aspek kemampuan membuat produk media pada siklus I Aspek Desain media Pemahaman konsep Pemilihan alat Penggunaan alat Penggunaan waktu Kejelasan pesan Pemilihan bahan Penampilan media Cara kerja media Pemunculan masalah Rerata
Nilai 67 33 100 75 73 75 100 65 85 100 79,5
Keterangan cukup sangat kurang Sangat baik baik Baik baik Sangat baik cukup Sangat baik Sangat baik baik
Rentangan nilai 0 – 100
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 172
Berdasarkan data tabel.1 di atas ada 3 aspek yang belum berhasil baik aitu kemampuan membuat desain produk, pemahaman materi terkait dengan media yang dibuat, dan penampilan produk. Mahasiswa belum memahami konsep fisika yang terkait dengan media yang akan dibuat. Hal ini merupakan gejala yang patut direnungkan mengapa mahasiswa kurang memahami konsep fisika yang terkait dengan media yang dibuat. Penampilan produk media yang dibuat baru sekedar jadi, tetapi dinilai dari segi penampilam dan finishing masih belum layak. Pemilihan alat untuk kerja bengkel cukup memadai. Pada umumnya produk yang dibuat dapat menunjukkan gejala fisis yang cukup baik. Pemilihan bahan untuk membuat media sangat baik sekali. Mahasiswa memahami cara kerja media yang dibuat dan media dibuat dapat digunakan untuk memunculkan masalah dalam pembelajaran. Temuan dalam siklus I Keberhasilan tindakan Ditinjau dari segi proses pembelajaran, keberhasilan yang telah dicapai dalam implementasi siklus I adalah sebagai berikut.
a. Interaksi antar mahasiswa dalam kerja kelompok aktif. Mahasiswa yang merasa kesulitan bertanya dan berdiskusi dengan teman dalam kelompoknya. Ketika melakukan kerja bengkel pada umumnya mahasiswi kurang terampil dalam menggunakan alat, mereka dibantu dan belajar dari mahasiswa. b. Meskipun pembelajaran dikemas dalam kerja kelompok secara kooperatif namun setiap mahasiswa berhasil membuat media secara individual. c. Mahasiswa dapat memilih dan dapat menggunakan alat bengkel untuk mengerjakan kerja bengkel. d. Pemilihan bahan untuk membuat media tepat dan dinilai baik. e. Media yang dibuat telah dapat menunjukkan gejala fisis yang teramati.
SEMNAS MIPA 2010
f. Kemampuan membuat produk sudah baik, rata-rata mencapai 79,5 dari rentang nilai 0-100. g. Ditinjau dari keberhasilan kelas 99% mahasiswa berhasil dengan baik dalam membuat media. Kekurangan tindakan
Kekurangan yang terjadi selama proses pembelajaran pada siklus I adalah sebagai berikut. Meskipun secara klasikal nilai reratanya baik yaitu 79,5 dan 99% mahasiswa baik, tetapi ada 3 aspek yang masih belum mencapai kriteria keberhasilan yaitu kemampuan membuat desain, pemahaman konsep dan penampilan media. Ini merupakan alasan mengapa perlu dilakukan siklus II. Analisis penyebab kurang berhasilan tindakan Penyebab munculnya kekurangan dalam siklus I adalah hal-hal berikut. Ditinjau dari segi kekurang berhasilnya mahasiswa dalam membuat produk lebih disebabkan oleh faktor lemahnya kemampuan mahasiswa dalam membuat desain media, pemahaman konsep dan penampilan media. Dalam membuat desian media memerlukan imajinasi yang kuat, kemampuan teknis yang cukup dan mengetahui karakteristik bahan, pemahaman konsep terkait dengan media yang baik. Karena hampir 80% mahasiswa adalah perempuan dan mereka ada kecenderungan untuk lemah dalam kerja bengkel, maka hal ini merupakan penyebab dari rendahnya kualitas produk yang dibuat. Meskipun dilihat dari nilai rerata menggunakan alat bengkel 75 tetapi itu masih didominasi mahasiswa laki-laki. Penyebab munculnya masalah tentang mahasiswa belum dapat menggunakan alat bengkel adalah pada awal pembelajaran karena mereka tidak memperoleh informasi dan contoh kegunaan dan cara menggunakan alat. Solusi untuk mengatasi lemahnya pemahaman konsep adalah (1) memberi tugas rumah kepada mahasiswa untuk mempelajari konsep fisika yang terkait dengan media yang dibuat, (2) mendiskusikan konsep fisika yang terkait dengan media yang dibuat sebelum mereka
FIS - 173
membuat desain. Upaya untuk mengatasi kurangnya waktu yang disebabkan oleh lemahnya keterampilan dan teknik pembuatan media adalah meminta mahasiswa untuk terus berlatih keterampilan mereka. Alternatif solusi ini akan dipakai sebagai perbaikan tindakan pada siklus II. Proses pembelajaran siklus II Dalam menyusun rencana pembelajaran dan implementasinya pada siklus II memperhatikan dan melakukan perbaikan tindakan pembelajaran berdasarkan temuan siklus I. Pada siklus II, sebelum dilakukan implementasi pembelajaran disusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja mahasiswa, format penilaian dan bahan pembuat media. RPP, lembar kerja mahasiswa dan instrumen penelitian disajikan dalam lampiran. Siklus II dilaksakan selama dua kali pertemuan dan masing-masing pertemuan 2 x 50 menit. Dalam pertemuan I direncanakan pembelajaran mencapai target mahasiswa mampu membuat desain produk media fisika. Sedangkan pertemuan kedua dirancang mencapai target bahwa mahasiswa dapat membuat produk media pembelajaran fisika. Jenis media yang dibuat adalah cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model. Pertemuan I Implementasi pembelajaran pada siklus II terlaksana sebagaimana yang direncanakan yaitu dua kali petermuan, masing-masing 2 x 50 menit. Pertemuan pertama dihasilkan sebuah desain model produk pemantulan oleh cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung. Implementasi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis proyek melalui sintaks pembelajaran dengan urutan langkah sebagai berikut. Tahap I : Menetapkan tema proyek Pembelajaran yang ingin dicapai pada petemuan pertama ini adalah mahasiswa dapat membuat desain model cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model berdasarkan bahan dan alat yang tersedia.. Model ini dipilih dengan pertimbangan dapat dibuat dengan menggunakan bahan yang murah dan mudah didapat, SEMNAS MIPA 2010
pembuatannya memerlukan ketelitian, keterampilan, keuletan, memunculkan kreatifitas mahasiswa dan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Tahap II : Menetapkan konteks belajar Pada tahap selanjutnya dimunculkan permasalahan yaitu: (1) bagaimana membuat desain cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model sederhana? (2) bahan apa yang diperlukan untuk membuat cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model? (3) bagiamana prosedur membuatnya? (4) bagaimana membuat cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model sederhana?. Dalam hal membuat desain, mahasiswa diberi kebebasan untuk memunculkan gagasan, kreatifitasnya. Mahasiswa diharapkan menemukan model desain yang tepat. Mahasiswa diharapkan mampu mengalokasikan waktu yang tersedia untuk menyelesiakan tugasnya. Dalam waktu yang tersedia yaitu 2 x 50 menit mahasiswa diharapkan mampu membuat desain media. Tahap III: Merencanakan aktivitas Pada tahap ini mahasiswa diminta berkelompok. Jumlah anggota kelompok maksimal 4 orang, heterogenitas kemampuan dan keterampilan diperhatikan. Masing-masing anggota kelompok kemampuannya bervariasi. Satu orang terampil, satu orang pemahaman konsepnya baik dua orang yang lain pemahaman dan keterampilannya konsepnya kurang. Ketika membuat desain mereka mencari informasi melalui buku sumber dan berdiskusi dengan teman. Kerja kelompok diawali dari kerja individu. Artinya masing-masing individu memikirkan bagaimana desain yang akan dibuat. Kemudian mereka berdiskusi dalam kelompoknya. Setiap mahasiswa ditargetkan menghasilkan sebuah desain cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model. Tahap IV: Memperoses aktivitas Pada tahap ini sebelum mahasiswa membuat desain, mereka berikan wawasan untuk berkreasi membuat model dengan bahan dan alat yang tersedia. Diharapkan ditemukan berbagai desain yang bervariasi FIS - 174
namun memiliki kegunaan yang sama. Model yang dimaksud adalah gambar rancang bangun tiga demensi yang dilengkapi dengan ukuran, jenis bahan. Kemudian, setelah desain berhasil dibuat selanjutnya ada 2 mahasiswa yang diminta mempresentasilkan rancangannya. Kedua mahasiswa yang diminta untuk presentasi adalah yang membuat desian yang berbeda. Gambar 4.3 menunjukkan dua desain yang berbeda.
Gambar 3 Mahasiswa presentasi desain Kemudian dibahas melalui diskusi kelas kelebihan dan kekurangan masingmasing desain. Melalui diskusi kelas mereka mengetahui bagaimana desain yang baik. Setelah presentasi desain dan mendapat balikan selanjutnya mereka merevisi. Hasil desain yang mereka buat selanjutnya dievaluasi. Pertemuan II Tahap V: Penerapan aktivitas Berdasarkan temuan pada siklus I, sebelum mereka melakukan kerja bengkel, terlebih dahulu diberikan informasi dan demontrasi penggunanan dan cara menggunakan alat bengkel. Pada tahap ini tujuan utamanya adalah mahasiswa mampu membuat cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang disusun dalam satu kesatuan model sesuai dengan desain yang mereka buat. Mahasiswa bekerja individual namun dalam kelompok. Pada saat bekerja mereka berdiskusi, bertanya, sehingga terjadi interaksi antar mahasiswa. Mereka saling membantu untuk menyelesaikan tugasnya masing-masing. Sebagimana yang terjadi pada siklus I, nampak sekali bahwa masing-masing mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya, mereka terlihat ada rasa saling membutuhkan dan ada ketergantungan diantara mereka. Ketika mahasiswa putri SEMNAS MIPA 2010
tidak dapat menggunakan alat, mahasiswa laki-laki membantunya. Ketika ada mahasiswa yang tidak paham mengenai konsep yang terkait dengan pemantulan, mereka berdiskusi sehingga terjadi interaksi dan tukar pengalaman. Data mentah mengenai kemampuan mahasiswa dalam membuat produk disajikan dalam lampiran. Setelah produk dapat dibuat selanjutnya mereka menguji coba. Gambar 4 menunjukkan uji coba produk yang mereka hasilkan.
Gambar 4 Uji coba media Mengevaluasi produk berdasarkan uji coba dan memperbaikinya sehingga dihasilkan produk baik. Kemampuan membuat produk siklus II Rerata kelas kemampuan membuat produk mencapai 85,4 dari rentangan nilai 0-100. Ditinjau dari keberhasilan kelas, ada 100% mahasiswa yang telah mencapai kriteria berhasil. Nilai dari masing-masing aspek pembuatan produk disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2. Nilai rerata kelas masingmasing aspek kemampuan membuat produk media pada siklus II
FIS - 175
Berdasarkan data dalam tabel 2 pada umumnya para mahasiswa dinyatakan telah berhasil dalam pemilihan dan penggunanan alat bengkel, pemilihan bahan, kejelasan pesan yang disampaikan media, penampilan media, menjelaskan cara kerja media, dan media dapat menunculkan masalah yang menarik untuk dikaji. Mahasiswa telah berhasil membuat produk media yang dapat menampilkan gejala fisis. Produk yang mereka buat tidak lagi masih sebatas sekedar ”asal jadi”. Ditinjau dari segi penampilan (performman) sudah ada kemajuan. Hal ini didukung oleh data pada tabel 2 mengenai tampilan media nilai ratarata 71 dalam kategori baik. Pada bagian lain yang masih perlu ditingkatkan bagi mahasiswa adalah dalam membuat desain. Berdasarkan data dalam tabel 2 menunjukkan bahwa nilai membuat desain masih rendah yaitu 55. Pemahaman konsep terkait dengan media yang dibuat ada kenaikan yaitu 74. Temuan dalam siklus II Keberhasilan tindakan Ditinjau dari segi proses pembelajaran, keberhasilan yang telah dicapai dalam implementasi siklus II adalah sebagai berikut. a. Ditinjau dari segi keberhasilan membuat produk, pada siklus II ini telah terjadi peningkatan. Pada siklus I ada 99% mahasiswa yang mencapaii. kriteria baik atau lebih dan termasuk kategori berhasil, sedangkan pada siklus II ada 100 % mahasiswa diketegorikan berhasil. Hal ini menunjukkan ada peningkatan keberhasilan membuat produk dari siklus I ke siklus II. b. Interaksi antar mahasiswa dalam kerja kelompok aktif sebagaimana yang terjadi pada siklus I. Situasi dimana mahasiswa yang merasa kesulitan bertanya dan berdiskusi dengan teman dalam kelompoknya tetap muncul pada silus II. Gejala yang masih saja muncul seperti pada siklus I mahasiswa perempuan kurang terampil dalam melakukan kerja bengkel. Melalui kerja kolabotaif dengan teman laki-laki mereka memperoleh bantuan dan saling belajar terutama dalam hal menggunakan alat.
SEMNAS MIPA 2010
Aspek Desain media
Nilai 55
Keterangan kurang
Pemahaman konsep terkait dengan media
74
baik
Pemilihan alat
88
Sangat baik
Penggunaan alat
68
Cukup
Penggunaan waktu Kejelasan pesan yang ditampilkan media Pemilihan bahan
86
Sangat baik
100
sangat baik
100
sangat baik
Penampilan media Menjelaskan cara kerja media
71
baik
88
Sangat baik
Pemunculan masalah Rerata
88
Sangat baik
85,4
baik
h. Sebagaimana yang terjadi pada siklus I pembelajaran yang dikemas dalam kerja kelompok secara kooperatif, setiap mahasiswa berhasil membuat media secara individual. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kerja kelompok tetapi kebebasan individu untuk memiliki tanggung jawab dan keberhasilan belajar tetap dijamin. Interaksi antara mahasiswa dengan dosen terjadi yaitu ketika kerja kelompok, dosen senantiasa selalu mengunjungi kelompok. Melalui kunjungan kelompok dapat ditemukan kesalahan dan kesulitan yang dihadapi mahasiswa. Mereka bertanya dan terjadi dialog antar mahasiswa dan dosen. Kekurangan keberhasilan tindakan Ditinjau dari segi proses pembelajaran, kekurangan yang terjadi selama proses pembelajaran pada siklus II adalah sebagai berikut. a. Dalam hal merancang sebuah desain media, ternyata mereka belum menunjukkan kemajuan yang berarti dan cenderung menurun. b. Penggunaan alat bengkel menjadi menurun yaitu 68. Analisis penyebab kurang berhasilan tindakan
FIS - 176
Penyebab munculnya kekurangan dalam siklus II adalah hal-hal berikut. Meskipun dalam tabel menunjukkan bahwa pemahaman konsep mencapai 74 (baik) ternyata masih belum maksimal dapat menjelaskan konsep fisika dari media yang mereka buat. Lemahnya wawasan konsep fisika para mahasiswa menjadi penyebab lemahnya kemampuan untuk mengembangkan desaian media. Dalam tugas membuat desain, tidak ada petunjuk dan mahasiswa harus merancang sendiri berdasarkan bahan dan alat yang tersedia. Oleh karena, itu bekal pengetahuan dan pemahaman materi yang terkait dengan media yang akan dibuat menjadi penting. Penyebab dari kurangnya waktu mengerjakan tugas adalah lemahnya keterampilan dan teknik pembuatan media sehingga dalam menyelesaikan tugas memerlukan waktu yang lebih dari yang direncanakan. Sebagaimana pada siklus I gejala rendahnya pemhaman konsep fisika yang terkait dengan media masih rendah. Solusi untuk mengatasi lemahnya pemahaman konsep adalah (1) memberi tugas rumah kepada mahasiswa untuk mempelajari konsep fisika yang terkait dengan media yang dibuat, (2) mendiskusikan konsep fisika yang terkait dengan media yang dibuat sebelum mereka membuat desain. Upaya untuk mengatasi kurangnya waktu yang disebabkan oleh lemahnya keterampilan dan teknik pembuatan media adalah meminta mahasiswa untuk terus berlatih keterampilan mereka. Pembahasan Kembali pada permasalah semula bahwa penelitian ini dilakukan sebagai upaya perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas produk media melalui penerapan pembelajaran berbasis proyek. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan cara kolaborasi teman sejawat melalui kerja kelompok menghasilkan produk yang lebih baik dari pada pembelajaran sebelumnya yang menggunakan cara individual. Pada kondisi awal hanya 99% mahasiswa yang dikategorikan berhasil, pada akhir siklus II ada 100 % mahasiswa diketegorikan berhasil. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gokhale SEMNAS MIPA 2010
(1995) yang menyatakan bahwa pencapaian prestasi belajar melalui pembelajaran individual tidak lebih baik dari pada pembelajaran kelompok secara kolaboratif. Meskipun dalam bekerja mereka berkelompok setiap mahasiswa dituntut untuk berhasil membuat produk media. Kenyataannya, pada umumnya mereka berhasil dalam membuat media meskipun beberapa mahasiswa dalam aspek tertentu masih dibawah kriteria keberhasilan yaitu membuat desain, pemahaman konsep serta penggunaan alat bengkel.. Adanya beberapa mahasiswa yang masih belum memenuhi kreteria keberhasilan hal ini disebabkan oleh faktor keterampilannya yang memang mahasiswi yang secara alami tidak seterampil mahasiswa dalam kerja bengkel. Penyebab lain adalah jumlah mahasiswa jauh lebih sedikit dari pada mahasiswi sehingga ketika mereka berkelompok untuk menempatkan satu kelompok terdiri dari satu mahasiswa dan tiga mahasiswi tidak tercapai. Diharapkan bila dalam satu kelompok terdapat satu mahasiswa dan tiga mahasiswi maka mereka mendapat bantuan dan diajari oleh mahasiswa dalam kerja bengkel. Ditinjau proses pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek bahwa semua anggota kelompok aktif, tidak saja mahasiswa yang pandai yang mengerjakan tugas, tetapi mahasiswa yang kurang pandaipun mendapat kesempatan untuk belajar. Pembelajaran berbasis proyek memberi peluang bagi setiap mahasiswa untuk belajar. Hal ini relevan dengan pendapat Syamsuri (2008) bahwa tujuan mengajar adalah membelajarkan setiap mahasiswa tidak hanya mahasiswa yang pandai saja tetapi juga mahasiswa yang kurang pandaipun harus diberi kesempatan belajar. Interaksi belajar antar mahasiswa dalam kelompok menjadi maksimal. Hal ini disebabkan setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas. Perbaikan pembelajaran yang telah dilakukan memberi kesempatan kepada setiap individu belajar, berkreasi dan membuat produk media. Melalui kerja kelompok, para mahasiswa diberi tugas membuat media yang lebih baik dan sifatnya menantang dan mereka termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya sebagaimana FIS - 177
yang disarankan Ridwan. J, 2005. Melalui tugas yang menantang mahasiswa yang kurang pandai diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya dan bila mengalami kesulitan diminta untuk bertanya dan berdiskusi dengan teman dalam kelompoknya. Mahasiswa pandai dan terampil menjadi tutor bagi temannya yang kurang mampu. Dengan cara demikian, maka mahasiswa yang kurang pandai maupun yang pandai akan memperoleh lompatan kompetensi. Oleh karena itu, solusi perbaikan pembelajaran yang semula masih dugaan dan diyakini dapat mengatasi permasalahan rendahnya kualitas produk media adalah melalui optimalisasi pembelajaran kolaboratif dapat menjadi kenyataan. Mengenai masih rendahnya kemampuan mahasiswa dalam membuat desain dimana pada sikus I mencapai nilai rerata 67 tetapi pada siklus II menurun menjadi 55. Penuruan nilai ini disebabkan oleh materi tugas siklus II lebih menantang dan sulit dari pada siklus I. Pada siklus I materi tugasnya adalah membuat desain motor listrik, sedangkan siklus II cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung yang dibuat dalam satu sistem alat. Ini perlu pemikiran dan imajinasi yang cukup agar diperoleh desain yang baik. Disamping itu, membuat desain merupakan langkah pengembangan media yang termasuk sulit. Hal ini disebabkan seseorang ketika akan merancang media, maka ia perlu paham karakteristik bahan, teknik pembuatan, teknik finishing, kreatifitas dan kesederhanaan model dan memahami konsep fisikanya. Dalam pembuatan desain perlu renungan dan emajinasi untuk dapat mewujudkan ide-ide kreatifnya. Kelemahan mahasiswa terletak pada kemampuan teknik pembuatan, pemahaman karakterstik bahan dan kreatifitas kurang. Hal-hal inilah yang menjadi penyebab rendahnya kualitas desain. Upaya peningkatannya diperlukan latihan secara terus-menetus untuk membuat rancangan, studi literatur terkait dengan rancangan dan mempelajari produkproduk yang ada. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa sebagai upaya untuk memperbaiki
SEMNAS MIPA 2010
kualitas produk media yang dihasilkan mahasiswa melalui pembelajaran berbasis proyek merupakan startegi yang tepat. Ada kecenderugan peningkatan kualitas produk yang dihasilkan yaitu rerata nilai 79,5 pada siklus I dan 85,4 pada siklus II. Ditinjau dari keberhasilan kelas ada peningkatan keberhasilan belajar yaitu pada siklus I ada 99% mahasiswa yang dikategorikan berhasil dan , pada sikklus II meningkat menjadi 100% mahasiswa berhasil. Peningkatan ini dicapai disebabkan oleh proses belajar mahasiswa melalui kerja kelompok secara kolaboratif yang disamping menekan kerja sama dalam kelompok tetapi juga keberhasilan individu menjadi tujuannya. Pembentukan kelompok terdiri dari 4 mahasiswa tiap kelompoknya dengan mempertimbangkan variasi kemampuan yaitu satu mahasiswa terampil kerja bengkel, satu orang menguasai konsep fisika, satu orang tidak mengusai konsep dan kurang dalam kerja bengkel dan satu orang memiliki kemampuan mendesain model baik. Agar tanggung jawab individu muncul dalam pola belajar kelompok yang dilakukan adalah sebelum kerja kelompok dimulai, setiap mahasiswa diberi tugas memunculkan idenya, kreatifitasnya, dan daya ciptannya untuk membuat desain media, kemudian mereka diminta untuk mengelompok untuk tukar ide (exhange idea) saling memberikan temuannya untuk menyempurnakan desain yang mereka buat, setiap mahasiswa diberi tagihan sebuah produk media, setelah desain berhasil mereka dibuat, diminta kepada beberapa individu mahasiswa (bukan wakil kelomlok) untuk mempresntasikan hasilnya dan mahasiswa yang lain sebagai individu (bukan wakil kelompok) menanggapinya. Model tugas (lembar kerja) yang dapat merangsang mahasiswa berfikir, kreatif dan inovatif adalah lembar kerja tidak merupakan prosedur kegiatan yang rinci (seperti layaknya resep membuat kue) tetapi cukup memberikan kalimat perintah pendek. Tugas dalam lembar kerja memberi ruang agar mahasiswa berkesempatan untuk berkreasi kreatif, misalnya “buatlah desain media sesuai dengan yang kamu inginkan”, “tulislah prosedur pembuatan media sesuai dengan desain yang Sdr. buat”. Cara mengelola FIS - 178
kerja kelompok agar interaksi antar mahasiswa lebih optimal dan potensi masing-masing anggota kelompok hiterogen berkontribusi untuk menghasilkan produk media yang berkualitas baik adalah meminta kepada mahasiswa yang kurang paham atau yang mengalami kesulitan untuk bertanya kepada teman yang lebih paham dan bukan sebaliknya, meminta mahasiswa yang tidak dapat menggunakan alat bengkel untuk dibantu teman lain yang lebih mampu menggunakan alat, dan bukan sebaliknya.
FMIPA-MGMP MIPA SMP dan SMA Kota Malang pada 21 Juni 2005, FMIPA UM
DAFTAR PUSTAKA Arief.S, Rahardjo, Haryono.A, Rahardjito, 1986 Media Pendidikan (Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta BSNP, 2007 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, Jakarta Gokhale. Anuradha, 1995 Collaborative Learning Enhances Critical Thinking, JTE, Vol.7 Number-1 Hikmat, Halwat.H, 2003 Metode Pembelajaran Kolaboratif Berhasil meningkatkan Kemandirian dan Kemampuan belajar mahasiswa, QAC UMS Jurusan Fisika, 2004 Katalog FMIPA UM Kamdi Waras, 2008 Project-Based Learning: Pendekatan Pembelajaran Inovatif, UM, Malang Kemmis, S & Taggart R. 1988. The Action Research Planer. Victoria: Deakin University Santyasa,W. 2006 Pembelajaran Inovatif Model Kolaboratif Berbasis Proyek dan Orientasi NOS, Universitas Pendidikan Ganesha Sato, Masaaki 2006. Perlunya Pembelajaran Kolaboratif (Makalah, Terjemahan). SISTTEMS – JICA Sutrisno, 1977. Statistik, Jilid II. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Syamsuri, Istamar. 2008. Reformasi Sekolah dalam Membangun Komunitas Belajar, Makalah disajikan dalam pelatihan Kepala Sekolah SMA di Kabupaten Pasuruan pada 8 Agustus 2008, FMIPA UM Ridwan J. 2005. Reformasi Sekolah melalui Kegiatan Lesson Study, Makalah disajikan dalam seminar dan workshop lesson study dalam rangka persiapan workshop kolaborasi
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 179
PENGEMBANGAN TRANSPARANSI BERBAHASA INGGRIS DAN PERANGKAT EVALUASI BERBASIS KOMPETENSI MATAKULIAH FISIKA DASAR II SBI Oleh: Purbo Suwasono
Jurusan Fisika UM, Jl. Surabaya 6 Malang Email: [email protected] Abstrak: Sekolah menengah dan atas di indonesia sudah banyak yang berstatus Rintisan sekolah bertaraf Internasional (RSBI). Perguruan Tinggi harus menjawab dengan menghasilkan guru-guru yang mampu mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris. Media yang digunakan dosen harus berbahasa ingris.Salah satu media adalah Media tampilan berupa PowerPoint. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan media PowerPoint yang memenuhi kriteria kelayakan isi, pembahasaan, dan penyajian, serta menyusun perangkat evaluasi Midle Test I, Midle Test II, dan Final Test berbahasa inggris. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan media pembelajatran. Media yang dibuat berupa PowerPoint Pembelajaran Fisika Dasar II. Expert yang diminta sebagai validator adalah dua orang dosen dan satu asisten. Subyek yang digunakan sebagai responden dalam uji coba terbatas dalam penelitian ini berjumlah 25 siswa, yang terdiri dari 8 siswa putra dan 17 siswa putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, media pembelajaran PowerPoint memenuhi kriteria kelayakan isi (92,05%), kelayakan Kebahasaan (98,21%), dan kelayakan Penyampaian (93,33%). Skor Kelayakan total dari media PowerPoint pembelajaran Fisika Dasar II adalah sebesar 94,12% dengan kriteria layak untuk digunakan. Perangkat Midle Test I, Midle Test II, dan Final Test berbahasa inggris sudah dibuat dalam bentuk esay. Dengan demikian perangkat media pembelajaran berupa PowerPoint yang telah dikembangkan memenuhi kelayakan isi, pembahasaan, dan penyajian. PowerPoint yang telah dibuat disarankan dilengkapi dengan link video, sehingga lebih menarik.
Kata Kunci: Transparansi, Kelayakan, Perangkat Evaluasi.
PENDAHULUAN Matakuliah “Fisika Dasar” dipandang sebagai tempat yang paling strategis untuk meluruskan kesalahan konsepsi terhadap konsep-konsep dasar Fisika. Pemikiran di atas setidaknya didukung oleh tiga alasan pokok. Pertama sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya hampir bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang mengikuti matakuliah Fisika Dasar IIni masih membawa sisa-sisa kesalahan konsepsi dalam memahami konsep-konsep Fisika Dasar di SMA. Kedua, matakuliah Fisika Dasar IIni antara lain bertujuan untuk menanamkan konsep-konsep dasar fisika yang nantinya harus diajarkan di sekolah menengah. Oleh karena itu kesalahan pemahaman yang terjadi harus diluruskan kembali.
SEMNAS MIPA 2010
Didasari oleh beberapa pertimbangan di atas, maka penelitian ini berupaya mengembangkan media pembelajaran Fisika yang diharapkan efektif untuk meluruskan kesalahan konsepsi dalam memahami konsep-konsep dasar Fisika bagi mahasiswa peserta Matakuliah Fisika Dasar. Pengembangan Media Pembelajaran tersebut harus memenuhi kriteria efektivitas dan efisien. Efektif berarti mampu menyelesaikan seluruh materi matakuliah tersebut, sedangkan efisien berarti mampu semaksimal mungkin meningkatkan pemahaman mahasiswa. Kriteria efektif dan efisien bisa ditunjukkan dengan kriteria kelayakan sebuah Media Pembelajaran.
FIS - 180
Media pembelajaran harus memenuhi kelayakan Isi, Kebahasaan, dan Penyajian. Di samping itu mahasiswa juga dituntut untuk mampu berbahasa inggris dengan baik. Paling tidak mahasiswa harus mampu memahami isi dari buku Fisika yang berbahasa inggris. Hal ini sejalan dengan tuntutan Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA UM dalam hal meningkatkan kemampuan berbahasa inggris mahasiswa. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengetahui kelayakan media pembelajaran Fisika Dasar II berupa PowerPoint berbahasa inggris, dan 2) mengetahui validitas isi dari perangkat tes Fisika Dasar II berbahasa inggris. Matakuliah Fisika Dasar secara umum dibagi menjadi 2 bagian. Pertama matakuliah teori Fisika Dasar I, dan kedua matakuliah praktikum Fisika Dasar II. Matakuliah teori Fisika Dasar II berbobot 3 sks dan 3 js. Matakuliah Praktikum Fisika Dasar II berbobot 1 sks dan 2 js (silabus Jurusan Fisika FMIPA UM, 2008:26) Materi Teori Fisika Dasar II dideskripsikan sebagai berikut. Bab I. Gelombang A. Gelombang Mekanik B. Gelombang Elektromagnetik C. Optika Geometri Bab II Kelistrikan A. Listrik Statis B. Listrik Dinamis Bab III Kemagnetan A. Medan Magnet B. Induksi Magnetik C. Induktansi Diri Untuk menindaklanjuti KBK SMU yang sudah diterapkan tahun 2004/2005, maka Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang, yang merupakan salah satu perguruan tinggi yang mencetak guru sudah berusaha untuk mempersiapkannya. Persiapan itu dalam kentuk kurikulum matakuliah berbasis kompetensi. Fisika Dasar I & II masuk dalam rumpun Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK). Sedangkan deskripsi kompetensi untuk matakuliah Fisika Dasar adalah Menguasai bahan ajar fisika (Silabus Jurusan Fisika, 2008). Menurut Subiyanto (2000:17), fungsi evaluasi yaitu untuk memberikan umpan balik, menentukan hasil belajar,
SEMNAS MIPA 2010
menempatkan siswa pada situasi belajar yang tepat, dan untuk mengenali latar belakang kesulitan belajar siswa. Mengingat kurikulum yang berbasis kompetensi ini menekankan kompetensikompetensi yang ada, maka evaluasi yang bisa dilakukan adalah dengan mengacu pada kompetensi-kompetensi yang menjadi tujuan dari pembelajaran. Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet. 1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial. 2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan, karena : (a) obyek terlalu besar; (b) obyek terlalu kecil; (c) obyek yang bergerak terlalu lambat; (d) obyek yang bergerak terlalu cepat; (e) obyek yang terlalu kompleks; (f) obyek yang
FIS - 181
3.
4. 5.
6. 7. 8.
bunyinya terlalu halus; (f) obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya. Media menghasilkan keseragaman pengamatan Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis. Media membangkitkan keinginan dan minat baru. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Langkah pertama adalah menyusun Kompetensi dengan merujuk kepada silabus dan profil kompetensi lulusan. Langkah kedua adalah perumusan judul-judul media dengan mengacu kepada rambu-rambu pemilihan judul. Penyusunan draft media dilakukan dengan mengacu kepada format penulisan media, identifikasi kompetensi, aspek materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, identifikasi indikator dan penilaian, dan bukubuku&sumber bahan. Prosedur pengembangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Mengadakan transparansi b.Merancang instrumen observasi dan perekaman selama berlangsungnya perkuliahan Pada tahap ini pelaksanaan tindakan ini berupa pelaksanaan kuliah Fisika sesuai dengan yang telah direncanakan pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini pula dilakukan umpan balik terhadap media PowerPoint yang digunakan dengan menggunakan angket kelayakan media. Hasil angket pada akhir pembelajaran sekaligus dimanfaatkan untuk menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi apakah transparansi yang dikembangkan ini, dinyatakan memenuhi kriteria kelayakan, atau bahkan harus segera ditinggalkan karena ternyata tidak layak,
SEMNAS MIPA 2010
sehingga perlu segera dicari alternatip transparansi yang lain. Bertindak sebagai informan pada penelitian ini adalah mahasiswa SBI jurusan fisika FMIPA UM angkatan tahun 2009/2010 berjumlah 25 orang terdiri dari 8 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Data dijaring dengan menggunakan angket dan wawancara langsung dengan informan. Bapak ibu dosen pengampu fisika dasar dipilih dua orang yang akan digunakan sebagai expert atau validator. Sedangkan langkah-langkah pengembangan adalah sebagai berikut. 1) Melakukan pembuatan media PowerPoint berbahasa inggris. 2) Melakukan validasi isi terhadap kurikulum SBI. 3) Merevisi Media Pembelajaran. 4) Melakukan pembelajaran dengan menggunakan Media Pembelajaran. 5) Membuat angket untuk menilai kelayakan media pembelajaran. 6) Memvalidasi angket kepada expert. 7) Menyebarkan angket kelayakan kepada mahasiswa. 8) Melakukan analisis hasil angket dengan statistik prosentase. Karena datanya bersifat kualitatif, maka analisis yang digunakan adalah analisis prosentase dengan persamaan sebagai berikut.
Pr osentase
B x 100% N
keterangan: B : Total Nilai dari mahasiswa N : Nilai maksimum Kriteria: Prosentase > 50% : Kriteria layak Prosentase 50%: Kriteria tidak layak HASIL Berikut disajikan hasil observasi awal terhadap kompetensi awal mahasiswa Angkatan Tahun 2009/2010 yang menempuh matakuliah Fisika Dasar II.
Pada BAB Gelombang, konsep yang belum dipahami oleh mahasiswa adalah sebagai berikut.
FIS - 182
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Siswa belum memahami bahwa panjang gelombang merupakan jarak terdekat dari dua tempat yang mempunyai fase yang sama. Siswa belum memahami bahwa gelombang itu merupakan energi yang bergerak, sehingga kalau ada tali yang digetarkan itu bukan gelombang. Siswa belum memahami bahwa persamaan untuk gelombang transversal sama dengan persamaan untuk gelombang longitudinal. Siswa belum memahami bahwa sinar istimewa pada pemantulan maupun pembiasan tetap memenuhi Hukum Snellius. Siswa belum memahami bahwa sifat gelombang bisa muncul bersamaan manakala kondisinya memungkinkan. Siswa belum memahami bahwa gelombang itu disusun dari getaran ke segala arah untuk gelombang transversal.
Pada BAB Kelistrikan, konsep yang belum dipahami oleh mahasiswa adalah sebagai berikut.
a.
b.
c.
d.
Siswa belum memahami bahwa karakteristik muatan itu sama untuk listrik statis dan dinamis. Siswa belum memahami bahwa setiap muatan itu bisa bergerak, tidak hanya muatan yang negatip saja. Siswa belum memahami bahwa susunan seri hambatan mempunyai kuat arus yang sama walaupun besarnya hambatan berbeda. Siswa belum memahami bahwa rangkaian paralel hambatan selalu mempunyai beda potensial yang sama walaupun hambatannya berbeda.
Pada BAB Kemagnetan konsep yang belum dipahami oleh mahasiswa adalah sebagai berikut.
a.
Siswa belum memahami bahwa setiap benda bermuatan jika bergerak dalam medan magnet pasti
SEMNAS MIPA 2010
b. c.
mengalami Gaya Lorentz meskipun medan magnetnya tidak homogen. Siswa belum memahami pengertian fluks magnet. Siswa belum memahami bahwa perubahan medan magnet bisa menimbulkan listrik dan sebaliknya.
Setelah dilakukan penghitungan hasil angket dari validator terhadapTransparansi Berbahasa Inggris Sebagai Media Pembelajaran Fisika Dasar II, didapatkan hasil sebagai berikut. Kriteria Kelayakan isi (92,05%).Kriteria kelayakan isi dinilai dari unsur: a. Cakupan Materi. Materi yang disajikan mencerminkan jabaran substansi materi yang terkandung dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), penambahan materi juga tidak terlalu luas atau mengambang. Materi mencakup mulai dari pengenalan konsep sampai dengan interaksi antar konsep sesuai dengan yang diamanatkan oleh standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), b. Keakuratan Materi. Keakuratan Materi yang disajikan sesuai dengan fakta, konsep, prinsip/hukum, teori, prosedur/metode yang berlaku dalam bidang atau ilmu fisika, c. Kemutahiran. Kemutahiran yang disajikan dalam media ini relevan, menarik, serta mencerminkan peristiwa, kejadian, kondisi termasa (up to date), d. Merangsang Keingintahuan (curiosity). Dalam media ini peserta didik dapat memperoleh infprmasi yang lebih sehingga dapat merangsang keingintahuannya untuk berfikir lebih jauh, e. Mengandung wawasan Produktifitas. Dalam media ini terdapat latihan atau contoh-contoh soal yang memotifasi peserta didik dan mengandung wawasan produktifitas, f. Mengembangkan kecakapan Hidup (life skills). Uraian, latihan, contoh-contoh yang diberikan memotifasi peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup (life skills), g. Mengembangkan Wawasan Kebhinekaan (sense of deversity). Uraian,latihan, contoh-contoh yang diberikan dalam buku ini dapat menampilkan keanekaragaman wawasan
FIS - 183
kebhinekaan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Kriteria Kebahasaan (98,21%). Kriteria kebahasaan meliputi indkator sebagai berikut. a. Sesuai Dengan Perkembangan Peserta Didik. Bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan berfikir dan sosial emosional peserta didik. b. komunikatif. Dalam media ini ini bahasa yang digunakan sangat komunikatif sehingga memudahkan peserta didik untuk memahaminya. c. Dialogis Dan Interaktif. Bahasa yang digunakan dalam media dapat menumbuhkan motivasi dan dorongan kepada peserta didik karena bersifat dialogis dan interaktif. d. Lugas. Penggunaan bahasa yang digunakan sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang baku. e. Koherensi dan keruntutan Alur Pikir. penyampaian antar bab/subbab memiliki keruntutan dan keterkaitan alur pikiran. f. Kesesuaian Dengan kaedah Bahasa Inggris. Ketepatan tata bahasa dan ejaan yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa inggris. g. Penggunaan Istilah Dan Simbol/Lambang. Penggunaan istilah, symbol dan lambang yang konsisten antar bagian memudahkan pemahaman peserta didik. Kriteria Penyampaian (93,33%). Kriteria Penyampaian meliputi sebagai berikut. Teknik Penyajian. Penyajian konsep dibuat secara runtut, konsisten setiap bab, dan memiliki hubungan yang logis antara fakta, konsep dan teori. Penyajian Pembelajaran. Dalam penyajian pembelajarannya peran peserta didik sangat diperhatikan, mulai dari materi dan bab yang dibuat secara komuniatif interaktif sehingga peserta didik dapat terlibat dalam proses pembelajaran. Pendukung Penyajian Materi. Dalam penyajian materi media ini juga didukung dengan beberapa petunjuk media sehingga peserta didik dapat dengan mudah menggunakannya. Secara keseluruhan, kelayakan media mencapai skor 94,12%. Dengan demikian media pembelajaran berupa PowerPoint pembelajaran Fisika Dasar II memenuhi kriteria layak untuk digunakan.
Waktu kuliah yang disediakan harus mencukupi. Satu bab terdiri dari 10 – 15 lembar transparansi yang disajikan SEMNAS MIPA 2010
dalam 3 jam pelajaran atau satu kali tatap muka. Ada 10 bab dan ada 16 kali pertemuan. Dengan demikian waktunya cukup untuk membahas seluruh materi Fisika Dasar II melalui transparannya tersebut. Perangkat evaluasi Midle Test 1 Fisika Dasar II telah disusun dengan memperhatikan validitas isi. Perangkat Midle Test 1 Fisika Dasar II disajikan pada lampiran 1. Perangkat ini mencakup BAB Gelombang yang terdiri dari, 1) Mechanical Waves, 2) Geometric Optics, dan 3) Electromagnetical Waves. Bentuk soal adalah uraian. Perangkat evaluasi Midle I1 Fisika Dasar II telah disusun dengan memperhatikan validitas isi. Perangkat Midle II Fisika Dasar II disajikan pada lampiran 2. Perangkat ini mencakup 2 bab terakhir yaitu, 1) Electricity, dan 2) Magnetism. Bentuk soal adalah uraian. Perangkat evaluasi Final Test Fisika Dasar II telah disusun dengan memperhatikan validitas isi. Perangkat Final Test Fisika Dasar II disajikan pada lampiran 3. Perangkat ini mencakup seluruh bab yang diajarkan. Bentuk soal adalah uraian. Berdasarkan angket yang diberikan kepada validator, semua perangkat evaluasi telah memenuhi validitas isi dengan kriteria baik (75,56%). Upload dilakukan dengan memasukkan perangkat pembelajaran yang berupa powerPoint pembelajaran pada Web Universitas Negeri Malang. PEMBAHASAN
Dari sudut isi, perangkat pembelajaran berupa media PowerPoint berbahasa inggris tersebut, memperoleh skor rerata sebesar 92,05%, yang berarti memenuhi kriteria sangat baik. Sumbangan terbesar diperoleh dari subkomponen cakupan materi (100%), keakuratan materi (100%), merangsang keingintahuan (100%), dan pengembangan kecakapan hidup (100%). Sumbangan terkecil diperoleh dari subkomponen kemutahiran (75%). Subkomponen kemutahiran memperoleh skor rerata hanya 75% disebabkan materi yang disajikan diambil dari satu reference. Contoh-contoh yang disajikan dirasa kurang relevan dan
FIS - 184
kurang menarik, serta belum mencerminkan peristiwa, kejadian, atau kondisi termasa (up to date). Contoh dari buku reference itu adalah peristiwa-peristiwa sehari-hari tetapi di luar negeri (Inggris), sehingga dirasa kurang relevan dengan kondisi di sekeliling mahasiswa. Subkomponen cakupan materi mencapai skor rerata 100% karena 1) dari sisi keluasan materi, materi yang disajikan mencerminkan jabaran substansi materi yang terkandung dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), serta penambahan materi juga tidak terlalu luas atau mengambang, 2) dari sisi kedalaman materi, materi mencakup mulai dari pengenalan konsep sampai dengan interaksi antar konsep sesuai dengan yang diamanatkan oleh standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Subkomponen keakuratan materi mencapai skor rerata 100% karena 1) fakta yang disajikan dengan kenyataan dan efisien untuk meningkatkan pemahaman peserta didik, 2) konsep yang disajikan tidak menimbulkan banyak tafsir dan sesuai dengan definisi yang berlaku dalam bidang atau ilmu Fisika, 3) prinsip atau hukum yang disajikan sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam bidang/ilmu fisika secara benar atau akurat, 4) Teori yang disajikan sesuai dengan yang belaku dalam bidang atau ilmu Fisika, dan 5) Prosedur/Metode yang disajikan dapat diterapkan dengan runtut dan benar. Subkomponen merangsang keingintahuan mencapai skor rerata 100% karena uraian, latihan dan contoh-contoh (soal, kasus, fenomena alam) yang disajikan merangsang peserta didik untuk berpikir lebih jauh. Subkomponen pengembangan kecakapan hidup mencapai skor rerata 100% karena 1) Uraian, latihan, contoh-contoh yang diberikan memotifasi peserta didik untuk mengenal kelebihan dan kekurangan,serta mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi mandiri,makhluk sosial,dan makhluk ciptaan Tuhan, 2) Uraian, latihan, contoh-contoh yang diberikan memotifasi peserta didik untuk berkomunikasi, berintreraksi, dan berkerja sama dengan orang lain, 3) Uraian, latihan, contohcontoh yang diberikan memotifasi peserta didik untuk memggali dan memanfaatkan informasi, menyelesaikan masalah dan
SEMNAS MIPA 2010
membuat keputusan dalam kerja ilmiah, dan 4) Uraian, latihan, contoh-contoh yang diberikan memotifasi peserta didik untuk melakukan pekerjaan atau profesi tertentu. Dari sudut pembahasaan, perangkat pembelajaran berupa media PowerPoint berbahasa inggris tersebut, memperoleh skor rerata sebesar 98,21%, yang berarti memenuhi kriteria sangat baik. Sumbangan terbesar diperoleh dari subkomponen komunikatif (100%), Dialogis dan interaktif (100%), lugas (100%), koherensi dan keruntutan alur pikir (100%), serta penggunaan istilah dan simbol/lambing (100%). Sumbangan terkecil diperoleh dari subkomponen kesesuaian dengan perkembangan peserta didik (87,5%). Walaupun sumbangan dari subkomponen kesesuaian dengan perkembangan peserta didik paling kecil tetapi skor reratanya 87,5%. Skor ini masuk kriteria sangat baik. Subkomponen kesesuaian dengan perkembangan peserta didik tidak 100% disebabkan karena bahasa yang digunakan, kurang sesuai dengan kematangan emosi peserta didik dengan ilustrasi yang kurang menggambarkan konsep-konsep dari lingkungan terdekat sampai dengan lingkungan yang lebih luas. Salah satu subkomponen yang yang menyumbang besar adalah koherensi dan keruntutan alur pikir. Subkomponen ini mencapai skor rerata 100% karena 1) Penyampaian pesan antara satu bab dengan bab lain/ subbab dengan subbbab/ antar alinea dalam subbab yang berdekatan mencerminkan keruntutan dan keterkaitan isi, dan 2) Pesan atau materi yang disajikan dalam satu bab/subbab/alinia mencerminkan kesatuan tema. olah berdiskusi dengan penulis slide PowerPoint Dari sudut penyampaian, perangkat pembelajaran berupa media PowerPoint berbahasa inggris tersebut, memperoleh skor rerata sebesar 93,33%, yang berarti memenuhi kriteria sangat baik. Sumbangan terbesar diperoleh dari subkomponen penyajian pembelajaran (95%). Sumbangan terkecil diperoleh dari subkomponen teknik penyajian (62,5%). Subkomponen penyajian pembelajaran mencapai skor rerata 95% karena 1) penyajian materi materi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran, 2) penyajian materi bersifat interaktif dan partisipatif yang memotifasi peserta didik terlibat secara
FIS - 185
mental dan emosional dalam pencapaian Standart Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), 3) penyajian materi bersifat dialogis yang memungkinkan peserta didik seolah, dan 4) metode dan pendekatan penyajian diarahkan ke metode inkuiri/eksperimen, meskipun tidak setiap bab menyajikan slide rangkuman/kesimpulan dan atau soal latihan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik. subkomponen teknik penyajian menyumbang terkecil sebesar 62,5% karena 1) penyajian konsep kurang menunjukkan hirarki dari yang mudah ke sukar, atau dari yang konkret ke abstrak, dan dari yang sederhana ke kompleks, dari yang dikenal sampai yang belum dikenal, dan 2) penyajian kurang sesuai dengan alur berpikir deduktif (umum ke khusus ) atau induktif (khusus ke umum).
Purnamawati dan Eldarni, 2001. Media Pembelajaran IPA, Jakarta: Bina Aksara. Subiyanto. 2000. SBM IPA. Malang: IKIP Malang.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1) Media pembelajaran berupa PowerPoint Fisika Dasar II memenuhi kriteria kelayanan dengan skor total 94,12%, dengan kriteria sangat baik, 2) Perangkat Midle Test I, Midle Test II, dan Final Test berbahasa inggris memenuhi kriteria valid dan soal tes berbentuk esay. Saran
1) Hiharapkan dilakukan penelitian sejenis untuk matakuliah satu dengan metode yang sama. 2) Sebaiknya melibatkan teman sejawat dalam bentuk Lesson Study, dan 3) PowerPoint yang telah dibuat disarankan dilengkapi dengan link video, sehingga lebih menarik. DAFTAR RUJUKAN
Brown. (1973). An of current problems facing the science teachers development and training centre in Indonesia. Unpublished doctoral thesis, Curtin Univesity of technology, perth, Western Australia. Harjanto, 1997, Penggunaan Media Pembelajaran IPA, Jakarta: Bina Aksara. Jurusan Fisika FMIPA UM, 2008. Silabus. Malang, Penerbit UM
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 186
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEDAGOGIK CALON GURU FISIKA DENGAN PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI Lia Yuliati Jurusan Fisika FMIPA UM E-mail: [email protected]
Abstrak Penelitian untuk meningkatkan kemampuan pedagogik calon guru, khususnya kemampuan menerapkan model pembelajaran fisika sekolah. Penelitian dilakukan pada calon guru di Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Penelitian dilaksanakan untuk mendeskripsikan kemampuan pedagogik calon guru fisika setelah memperoleh pembelajaran berbasis inkuisi. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi, tes, portofolio, angket dan catatan lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif-kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pedagogik calon guru dapat dibangun dan ditingkatkan dengan pembelajaran berbasis inkuiri. Kemampuan pedagogik yang merujuk pada kemampuan melaksanakan pembelajaran merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan dan dapat berkembang lebih baik jika calon guru diberi contoh. Kata kunci : calon guru fisika, kemampuan pedagogik, pembelajaran berbasis inkuiri
1. PENDAHULUAN Guru merupakan komponen utama dalam sistem pendidikan selain siswa dan tujuan. Guru menjadi ujung tombak dalam keberhasilan pendidikan. Dalam situasi tertentu, tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain misalnya dengan penggunaan media, tetapi peran guru tidak dapat digantikan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas guru menjadi fondasi peningkatan kualitas pendidikan. Kualitas guru pertama-tama ditentukan oleh pendidikan calon guru di LPTK (Jalal & Supriadi, 2001:245). Semakin baik kualitas lulusan LPTK, semakin besar peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Modal kemampuan dan sikap-sikap keguruan calon guru yang terbina secara mantap sejak awal akan mempermudah usaha-usaha lanjutan untuk meningkatkan kualitas guru dengan pembinaan yang berkelanjutan. Calon guru IPA hendaknya memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang IPA, belajar IPA dan mengajar IPA (National Research Council/NRC, 1996:28). Pengembangan kemampuan calon guru IPA tersebut juga hendaknya mengintegrasikan kemampuan profesional dan kemampuan pedagogik (Adair & Chiaverina, 2000). Kemampuan pedagogik calon guru dibangun melalui proses pembelajaran di LPTK. Proses pembelajaran bagi calon guru SEMNAS MIPA 2010
hendaknya dapat mengembangkan kemampuan calon guru. Wahana yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan calon guru adalah pembelajaran berbasis inkuiri (McDermott, 1990; McDermott, dkk., 2000). Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pembelajaran yang melibatkan calon guru (peserta didik) secara fisik dan mental untuk memecahkan masalah (Hinduan, 2003; Rustaman, 2005). Pembelajaran berbasis inkuiri mempertanyakan fenomena yang terjadi dan menemukan jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan tersebut. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan pengertian tentang kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Sementara itu, Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. FIS - 187
Secara garis besar, kompetensi pedagogik meliputi kemampuan merencanakan pembelajaran, kemampuan melaksanakan dan mengelola pembelajaran, dan kemampuan melakukan penilaian. Kemampuan merencanakan pembelajaran mencakup kemampuan: (1) merencanakan pengorganisasian bahan ajar, (2) merencanakan pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas, (4) merencanakan penggunaan media dan sumber belajar; dan (5) merencanakan penilaian hasil belajar siswa. Kemampuan melaksanakan pembelajaran merupakan tahap pelaksanaan rencana pembelajaran yang telah disusun. Dalam kegiatan ini, guru d tuntut untuk aktif menciptakan dan menumbuhkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan rencana yang telah disusun. Secara garis besar, kemampuan melaksanakan pembelajaran merupakan kemampuan mengimplementasikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembelajaran tersebut meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Kemampuan melakukan penilaian merupakan kemampuan mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofoiio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran. Pembelajaran berbasis inkuiri (an inquiry-based teaching and learning) didasarkan pada filosofi konstruktivisme (Christie, 2002). Pada filosofi konstrutivisme ini, peserta didik berperan aktif dalam proses belajar. Penganut konstruktivis berkeyakinan bahwa peserta didik secara aktif membangun (construct) pemahamannya dari pengalaman belajarnya. Pembelajaran berbasis inkuiri melibatkan peserta didik dalam penyelidikan IPA melalui pengalaman nyata. Dalam pembelajaran berbasis inkuiri, peserta didik diikutsertakan dalam pertanyaan-pertanyaan SEMNAS MIPA 2010
berorientasi ilmiah (scientifically oriented questions), peserta didik mengutamakan fakta dalam merespon pertanyaan, peserta didik menyusun penjelasan dari fakta, peserta didik menghubungkan penjelasan terhadap pengetahuan ilmiah, dan peserta didik mengkomunikasikan dan mempertimbangkan penjelasan yang dikemukakannya (NRC, 2000:39). Aspek terpenting dalam pembelajaran berbasis inkuiri adalah pertanyaan. Menurut Hebrank (Rustaman, 2005), inkuiri merupakan seni bertanya IPA tentang gejala alam dan menemukan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemampuan bertanya ini sangat penting bagi calon guru karena melalui pertanyaan calon guru dapat melaksanakan pembelajaran inkuiri dan menerapkannya dalam pembelajaran di sekolah. Upaya peningkatan kemampuan mengajar calon guru fisika tersebut perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan kemampuan calon guru lebih optimal dan membangun kemampuan mengajar calon guru fisika lebih dini khususnya di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan kemampuan menerapkan model pembelajaran fisika sekolah. Penelitian tersebut bertujuan untuk menemukan pola dan bentuk perkuliahan yang sebaiknya dibekalkan kepada calon guru dalam upaya membangun kemampuan mengajar calon guru fisika, khususnya kemampuan menerapkan model pembelajaran fisika sekolah. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Subyek penelitian adalah mahasiswa calon guru semester 7 peserta mata kuliah Pengembangan Program Pengajaran Fisika (PPPF). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Jadi tujuan penelitian ini adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta
FIS - 188
tentang upaya pengembangan kemampuan pedagogik calon guru fisika. Penelitian difokuskan pada komptetensi pedagogik yaitu kemampuan calon guru merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif terdiri dari hasil pengamatan proses perkuliahan dan respon mahasiswa. Data kuantitatif terdiri dari skor kemampuan mengajar calon guru Pengumpulan data dilakukan dengan perekaman terhadap semua aspek yang terjadi selama proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pedoman observasi, portofolio, catatan lapangan dan tes. Analisis data dilakukan secara kualiatif dan kuantitatif. 3. HASIL PENELITIAN Penguasaan Calon Guru terhadap Teori Pembelajaran Data penguasaan teori pembelajaran dikelompokkan pada kategori kelompok
atas, tengah dan bawah. Data tersebut diperoleh dari pre-post test yang dilaksanakan pada saat perkuliahan. Hasil analisis data penguasaan teori pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1
Analisis Skor Penguasaan Teori Pembelajaran Calon Guru
Kategori Rerata dan SD Rerata dan SD Rerata dan SD Skor Pre-test Skor Post-test Gain Score Atas Tengah Bawah
53.6 8.47 59.6 10.41 53.6 9.08
74.8 7.55 72.4 7.65 67.2 7.00
0,44 0,20 0,31 0,15 0,28 0,18
Menerapkan Pembelajaran Fisika Sekolah
Model
Kemampuan
Kemampuan menerapkan model pembelajaran fisika sekolah tergali pada saat calon guru melaksanakan praktek mengajar. Data kemampuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rekapitulasi Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran Calon Guru Fisika Kemampuan Mengajar Penguasaan Bahan Ajar
Melaksanakan Pembelajaran
Komponen Kemampuan Indikator Mengajar Menyajikan Menunjukkan penguasaan struktur ilmu dari materi bahan ajar yang disajikan Menunjukkan penguasaan konsep dari materi yang disajikan Mengkaitkan bahan ajar dengan pengetahuan lain Mendorong siswa memecahkan masalah kehidupan sehari-hari Membuka Menggali pengetahuan awal siswa pembelajaran Memotivasi siswa dengan peristiwa/alat/data Mengemukakan masalah Mengemukakan tujuan pembelajaran Mengguna- Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kan model rancangan pembelajaran pembelajaran Menunjukkan kemampuan menerapkan metode/pendekatan pembelajaran Menggunakan multi metode pembelajaran untuk menyampaikan bahan ajar Mengguna- Menggunakan media/alat laboratorium sesuai kan media karakteristik bahan ajar pembelajaran Menunjukkan keterampilan menggunakan media/alat laboratorium Memberi kesempatan pada siswa untuk belajar dengan menggunakan alat laboratorium
SEMNAS MIPA 2010
Persentase Kemajuan 80 95 80 70 100 90 85 100 80 70 100 100 90 100
FIS - 189
Kemampuan Mengajar
Komponen Kemampuan Indikator Mengajar Mengelola Menunjukan sikap tanggap dan perhatian terhadap kelas perilaku siswa Memberi kesempatan pada siswa untuk mengemukakan dan mempertahankan pendapatnya Menunjukkan kemampuan dalam mengatur interaksi antara guru dan siswa, siswa dan siswa. Menutup Membimbing siswa membuat rangkuman/ringkasan pelajaran belajar Memberikan balikan terhadap belajar siswa Memberikan tugas/pekerjaan rumah sesuai tujuan pembelajaran
4. PEMBAHASAN Kemampuan pedagogik mencakup kemampuan merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran. Kemampuan pedagogik hanya dapat diperoleh melalui latihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa calon guru yang memperoleh kesempatan berlatih lebih banyak menunjukkan kemampuan pedagogik yang lebih baik. Kesempatan berlatih ini dilakukan secara terintegrasi pada praktek mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pedagogik, terutama menerapkan model pembelajaran, merupakan keterampilan yang harus dilatihkan. Hasil penelitian terdahulu diungkapkan bahwa kemampuan melaksanakan pembelajaran, yang memadukan teori dan praktek mengajar, merupakan salah satu jenis kemampuan pedagogik yang hanya dapat dikembangkan dan dikuasai calon guru melalui latihan (Cooper, 1990:8; NRC, 1996). Praktek mengajar merupakan salah satu tugas perkuliahan yang diwajibkan pada setiap calon guru. Melalui kegiatan praktek mengajar diharapkan calon guru dapat berlatih dan menguji kemampuannya dalam melaksanakan pembelajaran fisika sekolah dengan materi tertentu sesuai dengan kurikulum sekolah. Melalui praktek mengajar juga diharapkan calon guru dapat melakukan evaluasi diri (self-evaluation) dan dapat melakukan penilaian pada pembelajaran yang dilakukan calon guru lainnya (peer-evaluation) Kemampuan membuka pembelajaran pada calon guru masih perlu peningkatan. Hal ini terkait dengan kemampuan SEMNAS MIPA 2010
Persentase Kemajuan 100 100
100 90 90 100
menerapkan model pembelajaran fisika sekolah dengan pencapaian kemajuan terendah. Kemampuan menerapkan model pembelajaran merupakan kemampuan esensial yang harus dikuasai calon guru dan guru. Kemampuan ini bersifat praktis, dalam arti bahwa kemampuan ini hanya dapat dikembangkan dan dikuasai calon guru bila perolehannya dilakukan dengan pengalaman langsung melalui contoh ((McDermott, 1990; McDermott, et al., 2000), dan latihan (Cooper, 1990:8). Latihan kemampuan menerapkan model pembelajaran dilakukan dengan praktek mengajar yang memberikan kesempatan pada calon guru untuk berlatih dan menguji kemampuannya dalam melaksanakan pembelajaran. Praktek mengajar dirancang untuk menjembatani pemahaman bahwa mengajar bukan hanya merupakan pengetahuan teori tetapi merupakan pengetahuan praktis yang harus sering dilatih. Calon guru pada umumnya memiliki kemampuan untuk menggunakan media/alat laboratorium yang digunakan dalam pembelajaran. Namun kemampuan tersebut masih terbatas pada kemampuan menggunakan media/alat sebagai alat eksperimen di laboratorium. Calon guru cenderung mengajak siswa untuk melakukan eksperimen dan memberitahukan cara menggunakan alat tersebut pada siswa. Hal terpenting dari media pembelajaran yang hendaknya dikuasai calon guru adalah cara menggunakan media/alat laboratorium sebagai alat bantu pembelajaran yang dapat mempermudah siswa menguasai konsep yang diberikan (Hasibuan & Moedjiono,1995:64). Kemampuan yang tergali pada praktek menerapkan model pembelajaran FIS - 190
adalah kemampuan bertanya calon guru. Secara keseluruhan, kemampuan bertanya calon guru dapat dikembangkan melalui pembelajaran inkuiri. Contoh yang diberikan dosen mempermudah calon guru dalam mengembangkan kemampuannya. Contoh tersebut menjadi acuan cara merumuskan pertanyaan, mengajukan pertanyaan, dan cara menggunakan teknik bertanya dalam suatu pembelajaran. Diskusi yang dilakukan setelah contoh, memberi kesempatan pada calon guru untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, mengemukakan dan mempertahankan pendapat. Tugas yang diberikan melatih calon guru untuk mempraktekkan kemampuan bertanya secara langsung dan sistematis. Penilaian diri yang diterapkan dalam penelitian mengajak calon guru untuk selalu melakukan introspeksi dan perbaikan secara terus menerus. Berdasarkan kategori pertanyaan yang mencakup pertanyaan divergen, pertanyaan konvergen, dan pertanyaan produktif, calon guru dapat merumuskan pertanyaan (75%) dan mengajukan pertanyaan (83%). Kesulitan terjadi pada saat merumuskan pertanyaan produktif. Berdasarkan taksonomi Bloom, calon guru lebih banyak merumuskan dan mengajukan pertanyaan dalam ranah pengetahuan (C1) dan pemahaman (C2). Calon guru perlu bimbingan yang lebih intensif dalam merumuskan dan mengajukan pertanyaan produktif karena pertanyaan produktif diperlukan dalam pembelajaran sains (Harlen, 1993:84). Kemampuan bertanya memegang peranan penting jika calon guru hendak menerapkan pembelajaran inkuiri dan konstruktivis (NRC, 2000:46 ; Rustaman, 2005). Pembelajaran inkuiri dan konstruktivis ini merupakan hal yang harus diperhatikan dan harus dilakukan guru dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi. Kemampuan bertanya juga merupakan keterampilan mengajar yang esensial dalam pembelajaran. Respons calon guru merupakan tanggapan dan reaksi calon guru terhadap model perkuliahan yang diterapkan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa respons calon guru beragam. Sebagian calon guru menyatakan sangat setuju dan sebagian yang lain menyatakan sangat tidak setuju pada komponen pembelajaran dari model SEMNAS MIPA 2010
perkuliahan yang diterapkan. Informasi lain hasil wawancara menyatakan bahwa keberhasilan mahasiswa disebabkan berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah bahwa model perkuliahan yang diterapkan dosen menuntut calon guru untuk selalu mempresentasikan dan mempraktekkan materi yang dibahas pada setiap pertemuan, dan setiap calon guru diharuskan membuat tugas mingguan yang dikaitkan dengan tugas berikutnya. Adanya keharusan bagi setiap calon guru untuk membuat rancangan pembelajaran sebelum praktek mengajar, dan adanya pandangan bahwa menjadi guru tidak perlu persiapan secara tertulis, menguasai konsep fisikanya saja sudah cukup untuk bisa berdiri di depan kelas menjadi beban dan belum menjadi suatu kebiasaan. 5. KESIMPULAN Kemampuan pedagogik calon guru dapat dibangun dan ditingkatkan dengan pembelajaran berbasis inkuiri. Pembelajaran ini memberi kesempatan bagi calon guru untuk melatih kemampuan bertanya dan mengajukan pertanyaan, kemampuan menggunakan media pembelajaran, dan melaksanakan pembelajarannya sesuai perencanaan. Kemampuan pedagogik calon guru dapat berkembang jika calon guru diberi kesempatan berlatih lebih banyak. Kemampuan pedagogik yang merujuk pada kemampuan melaksanakan pembelajaran merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan dan dapat berkembang lebih baik jika calon guru diberi contoh. Respons calon guru terhadap pembelajaran berbasis inkuiri beragam mulai dari calon guru yang menyatakan tidak setuju sampai ke sangat setuju. Sebagian besar (78,36%) calon guru menyatakan setuju terhadap penerapan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran berbasis inkuiri. DAFTAR RUJUKAN Adair, L. M. & Chiaverina, C. J. 2000. Preparation of Excellent Teachers at All Levels. Canada: AAPT Planning Meeting, 27-28 Juli 2000. Harlen, W. 1993. The Teaching of Science. London: David Fulton Publisher Ltd. Hinduan, A. A. 2003. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia melalui Pendidikan IPA.
FIS - 191
(Makalah). Dipresentasikan dalam Seminar Himpunan Sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia II (HISPPIPAI). Bandung, 1-2 Agustus 2003. Jalal, F. & Supriadi, D. (editor). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Bappenas – Adicita Karya Nusa. McDermott, L.C. 1990 A Perspective on Teacher Preparation in Physics and Other Sciences: The Need for Special Science Course for Teacher. American Journal of Physics. 58 (8). p. 734-742. McDermott, L. C., Shafferi, P. S., & Constantinou, C. P.. 2000. Preparing Teachers to Teach Physics and Physical Science by Inquiry. Physics Education. 35(6). p. 411-416. National Research Council. 1996 National Science Education Standard. Washington DC: National Academy Press. National Research Council. 2000. Inquiry and the National Science Education Standard: A Guide for Teaching and Learning. Washington DC: National Academy Press. Rustaman, N. Y. 2005 Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidika Sains. (Makalah). Dipresentasikan dalam Seminar Himpunan Sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia III (HISPPIPAI). Bandung, 22-23 Juli 2005.
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 192
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL STUDENT FASILITATOR AND EXPLAINING (SFAE) UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN, PENGUASAAN MATERI DAN KETERAMPILAN PRAKTEK MENGAJAR MATA KULIAH SBM FISIKA MAHASISWA PRODI PEND. FISIKA FMIPA-UM Wartono Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang Jl. Surabaya 6, Malang 65145 Tlp. (0341) 552125
Abstract
Program Studi Pendidikan Fisika FMIPA-UM bertugas mencetak guru fisika yang profesional (Katalog FMIPA, 2009). Guru fisika yang profesional haruslah cakap dalam melaksanakan tugasnya serta mampu menguasai materi fisika, memahami dan menghayati materi pendidikan, serta penguasaan, penghayatan, dan keterampilan dalam mata kuliah proses belajar mengajar fisika (PBM). Masingmasing materi tersebut mempunyai peran dan kontribusi dalam terbentuknya guru fisika yang handal. Di antara mata kuliah PBM, Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Fisika (SBMF) (FIP 443) mempunyai kedudukan yang strategis karena merupakan fondasi untuk mata kuliah PBM. Mata Kuliah SBMF, bertujuan agar mahasiswa mampu menguasai metodologi pembelajaran secara teori serta terampil mengaplikasikannya dalam praktek pembelajaran fisika (Kurikulum dan Silabi Prodi Pend. Fisika, 2007). Berdasarkan pengamatan terhadap perkuliahan SBMF , didapatkan fakta bahwa mahasiswa memahami dengan baik teori dan konsep SBMF tetapi mengalami kesulitan ketika mempraktekkan metodologi pembelajaran dalam micro teaching. Perbaikan dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif model student fasilitator and explaining (SFAE) agar mampu meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran serta mampu meningkatkan keterampilan (skill) dalam penerapan metodologi pembelajaran. Dengan penerapan pembelajaran kooperatif model student fasilitator and explaining dijamin akan terjadi sinergi yang mantap antara anggota kelompok sehingga mampu memacu hasil belajar, baik teori maupun praktek . Untuk mengetahui efektivitas SFAE peningkatan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran serta prakteknya (skill) dalam pembelajaran, dibandingkan dengan MPK, dilakukan penelitian yang sifatnya eksperimen di prodi pendidikan Fisika semester 2 tahun 2009-2010. Mahasiswa off a sebagai kelompok eksperimen dan off B sebagai kelompok kontrol. Untuk menguji efektivitas MPIAL dibandingkan MPK tersebut analisis yang digunakan uji perbedaan t dengan satu ekor. Berdasarkan analisis data penelitian, diperoleh kesimpulan: (1) penerapan SFAE lebih efektif dalam meningkatkan keaktifan mahasiswa dalam belajar dibandingkan MPK; (2) penerapan SFAE lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran dari pada MPK. (3) penerapan SFAE lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan (skil) dalam melaksanakan pembelajaran dibandingkan MPK. Kata kunci: model pembelajaran, SFAE, hasil belajar, keterampilan, keaktifan
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 193
PENDAHULUAN
Program Studi Pendidikan Fisika FMIPA-UM bertugas mencetak guru fisika yang profesional (Katalog FMIPA, 2009). Guru fisika yang profesional ditandai dengan kecakapannya dalam menjalankan tugasnya yaitu mengajar dan mendidik para siswanya melalui pembelajaran fisika. Agar guru fisika mampu mengajar dan mendidik, perlu bekal yang cukup. Bekal tersebut adalah (1) penguasaan materi fisika, (2) pemahaman dan penghayatan materi pendidikan, dan (3) penguasaan dan penghayatan materi matakuliah Proses Belajar Mengajar (PBM) serta terampil dalam penerapannya. (Wartono, 2008). Dari uraian di atas terlihat jelas betapa pentingnya peranan mata kuliah fisika, mata kuliah pendidikan, maupun mata kuliah proses belajar mengajar (PBM). Masingmasing materi tersebut mempunyai peran dan kontribusi dalam terbentuknya guru fisika yang handal. Di antara mata kuliah PBM, mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Fisika (FIP 443) mempunyai kedudukan yang strategis karena merupakan fondasi untuk mata kuliah PBM lainnya seperti Mata Kuliah Pengembangkan Program Pembelajaran Fisika (FIP 449) yang merupakan mata kuliah puncak PBM sebelum mahasiswa melaksanakan praktek pengalaman lapangan (PPL). Mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Fisika, bertujuan agar mahasiswa mampu menguasai metodologi pembelajaran secara teori serta terampil mengaplikasikannya dalam praktek pembelajaran fisika (Kurikulum dan Silabi Prodi Pend. Fisika, 2007). Karakteristik mata kuliah ini seperti halnya mata kuliah PBM lainnya, yaitu mengutamakan keterampilan dalam melaksanakan pembelajaran dengan mengaplikasikan berbagai melodologi pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran digunakan sebagai landasan agar mampu mengaplikasikannya dengan baik dalam praktek pembelajaran fisika. Materi pokok mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Fisika adalah (1) Hakikat belajar dan pertistiwa belajar sains/Fisika, (2) Hakikat mendidik dan peristiwa mendidik, (3) Metode-metode pembelajaran dalam bidang studi fisika; (4) Pendekatan-pendekatan pembelajaran dalam bidang studi SEMNAS MIPA 2010
fisika; dan (5) Model-model pembelajaran fisika (Silabus Fisika, 2008). Model Pembelajaran Konvensional (MPK) selama ini dilakukan sebagai berikut: (1) Dosen menerangkan dan mendiskusikan materi matakuliah langkah demi langkah; (2) Dosen memberikan contoh praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajar sesuai dengan materi pelajaran di SMA; (3) Mahasiswa secara individu melaksanakan praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajaran sesuai materi pelajaran SMA yang ditugaskan. Dimungkinkan mahasiswa diberi kesempatan dua atau tiga kali praktek. Berdasarkan pengamatan selama membina mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Fisika dengan 3 sks dan 4 js, didapatkan hal-hal sebagai berikut. (1) Mahasiswa memahami dengan baik teori dan konsep Strategi Belajar Mengajar Fisika; (2) Mahasiswa mengalami kesulitan dalam hal keterampilan mengaplikasikannya metodologi pembelajaran, walaupun sudah diberi kesempatan praktek dua atau tiga kali. Begitu mahasiswa praktek mengajar Strategi Belajar Mengajar Fisika mereka seperti grogi dan praktek pembelajaran menjadi kacau. Kekurangan ini harus segera dicari pemecahannya, agar tujuan utama mencetak guru yang professional dapat diwujudkan. Menurut analisis diperkirakan mahasiswa perlu pengalaman yang cukup banyak lagi dan sesering mungkin, tetapi perlu dikemas secara bervariasi supaya mahasiswa tidak bosan dan bahkan terpacu sehingga mampu menjadi guru yang profesional. Satu satu alternatif pemecahan permasalahan di atas yang paling tepat adalah dengan penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE) yang merupakan model pembelajaran yang menempatkan mahasiswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 3-4 siswa. Pembelajaran ini menekankan kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu (1) saling ketergantungan positif; (2) interasksi langsung antar mahasiswa; (3) pertanggungjawaban individu; (4) keterampilan berinteraksi antar individu dalam kelompok; dan (5) keefektifan proses kelompok. SFAE adalah model pembelajaran kooperatif yang mendasarkan pada penugasFIS - 194
an tiap-tiap kelompok, dimana masingmasing kelompok diberi tugas yang berbeda. Masing-masing kelompok bertanggung jawab untuk mengorganisasi kelompoknya dalam mencari informasi tentang tugas yang didapatkan melalui sumber belajar. Kelompok berdiskusi untuk menyelesaikan tugas. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok lain membuat pertanyaan pada masingmasing topik diskusi. LANDASAN TEORI
Lewin sebagai pakar psikologi sosial, mengembangkan teori-teori dinamika kelompok dan interaksi sosial. Hasil penelitiannya dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa diskusi kelompok khususnya ketika semua anggota kelompok harus memikul tanggung jawab bersama ternyata lebih efektif dalam mengubah sikap dan perilaku individu daripada pengajaran yang bersifat persuasif. Pandangan Lewin ini kemudian disempurnakan oleh Deutsch juga pakar psikologi social, yang mengembangkan teori pemrosesan kelompok didasarkan pada tujuan dan ganjaran bersama. Berdasarkan hasil penelitian, Deutsch menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok diganjar berdasarkan perilaku anggota-anggotanya, anggota kelompok akan mendorong anggota lainnya dalam kelompok untuk mengerjakan apapun dalam rangka membantu kelompok agar dianugerahi ganjaran. Hasil kerja Lewin dan Deutsch mengarah pada persepsi baru tentang kekuatan kelompok yang betul-betul terpadu untuk menyelesaikan sesuatu, mendorong dan membantu para anggota, dan memperoleh keseluruhan yang lebih besar dari jumlah masing-masing bagiannya. Beberapa tahun terakhir, terjadi inovasi dalam pendidikan degan cara mempengaruhi pengorganisasian kelas. Guru dalam melaksanakan program-program pembelajaran yang memungkinkan siswa diorganisasi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan tugas, memecahkan masalah, dan mengerjakan kegiatan praktek. Belajar kooperatif didasarkan pada hubungan antara motivasi, hubungan interpersonal, dan pencapaian tujuan khusus. Menurut teori-teori psikologi sosial, suatu tingkat ketegangan dalam individu memoSEMNAS MIPA 2010
tivasi gerakan ke arah pencapaian tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, dari ide terebut individu-individu mendorong untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang memotivasi perilaku, apakah itu secara individualistik, kompetitif, atau kooperatif. Teori belajar kooperatif menyatakan bahwa perilaku tersebut diantara individuindividu dalam sebuah kelompok adalah sinergis, yakni tujuan-tujuan individu dalam sebuah kelompok diikat sedemikian sehingga pencapaian tujuan kooperatif dikorelasikan secara positif, atau lebih besar dari kinerja individu dari anggota kelompoknya. Prinsip tersebut bekerja pada bebagai model pembelajaran kooperaif. Bagaimana pembelajaran kooperatif dalam menfasilitasi siswa untuk belajar, ada beberapa pandangan berkaitan dengan pernyataan tersebut. Pakar behavioristik menjelaskannya sebagai berikut. Para siswa yang bekerja dalam sebuah kelompok berkompetisi degan kelompok-kelompok lainnya. Para siswa dalam satu kelompok bekerja bersama untuk menyelesaikan sebuah tugas. Para siswa dibawa ke dalam suatu situasi yang menciptakan iklim bahwa keberhasilan mereka bergantung pada perilaku dan kinerja siswa lainnya dalam kelompoknya. Keberhasilan tidak selalu berakibat pada nilai, tetapi bekerja sebaik-baiknya dalam sebuah tugas kompetitif yang membandingkan rata-rata kinerja satu kelompok dengan kinerja kelompok lainnya. Dengan demikian, penghargaan kelompok dan tanggung jawab individu merupakan esensi dari hasil belajar. Dipihak lain pandangan pakar kognitif menyatakan bahwa tugas yang secara intrinsik menarik dipadu dengan rentangan kemampuan dan pengetahuan yang dibawa siswa ke dalam kelas, dapat meningkatkan lingkungan belajar. Tugas yang memerlukan berbagai kemampuan untuk menyelesaikan tampak efektif dalam mengurangi domiasi siswa berkemampuan tinggi dalam belajar kelompok. Alih-alih penitikberatan pada kemampuan membaca, guru fisika harus merangsang tugas kelompok yang memerlukan penalaran, prediksi, dan pemikiran induktif, dan benda-benda manipulatif. Menurut pakar psikologi tugas-tugas semacam itu mendorong para siswa untuk mengubah persepsi dan kompetisi yang mereka miliki. FIS - 195
Manusia memiliki derajat potensi, latar belakang histories, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena adanya perbedaan tersebut, manusia dapat silih asah (saling mencerdaskan). Pembelajaran kooperatif secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga semua siswa. Manusia adalah mahkluk individual, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi mahkluk sosial, mahkluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Karena satu sama lain saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang secara sadar dan sengaja menciptakan interaksi yang saling mengasihi antar sesame siswa. Perbedaan manusia yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalapahaman antar sesamanya. Agar manusia terhindar dari ketersinggungan dan kesalapahaman maka diperlukan interaksi yang silih asuh (saling tenggang rasa). Ada beberapa definisi pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan. Menurut Holubec, 2001 (Nurhadi, dkk, 2004:60) pembelajaran koperatif (cooperative learning) merupakan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dan mencapai tujuan belajar. Menurut Johson & Johson (2005) pada umumnya hasil penelitian dari penggunaan metode pembelajaran kooperatif akan menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisahmisahkan siswa. Sedangkan menurut Johson & Johson (2005) cooperative learning merupakan system pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesame siswa dalam tugas-tugas terstruktur. Lie juga menyebut “cooperative learning sebagai sistem pembelajaran gotong-royong”. Dalam sistem pembelajaran SEMNAS MIPA 2010
ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Dengan ringkas Abdurahman dan Bintoro (Nurhadi, dkk. 2004:61) mengatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata.” Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok, yang menuntut keaktifan siswa untuk saling bekerjasama dan membantu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Kerjasama yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok harus saling membantu menguasai bahan ajar. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan rendah karena penilaian akhir ditentukan oleh keberhasilan kelompok. Oleh karena itu setiap anggota kelmpok harus mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kelompoknya (Joyce at all, 1992). Pembelajaran kooperatif adalah suatu system yang didalamnya terdapat elemenelemen yang saling terkait. Adapun elemenelemen dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya: “(1) saling ketergantungan positif; (2) interaksi tatap muka; (3) akuntabilitas individual, dan (4) keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan” (Nurhadi dkk, 2004). Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif menurut adanya interaksi promotif yang memungkinkan sesama siswa saling memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang optimal. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: (a) saling ketergantungan pencapaian tugas, (c) saling ketergantungan bahan atau sumber, (d) saling ketergantungan peran, dan (e) saling ketergantungan hadiah. Interaksi tatap muka menurut para siswa dalam kelompok dapat saling bertatap FIS - 196
muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa. Interaksi semacam itu memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting karena ada siswa yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya. Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Meskipun demikian, penilaian ditunjukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa anggota kelompok yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, dan karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan urunan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota secara individual inilah yang dimaksud dengan akuntabilitas individual. Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggan rasa, sikap sopan santun terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (Interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja hanya memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari semua siswa. Ada banyak alasan mengapa pembelajaran kooperatif dikembangkan. Hasil penelitian melalui metode meta analisis yang dilakukan oleh Johson dan Johson, 1984 (Nurhadi, dkk, 2004:63) menunjukkan adanya berbagai keunggulan pembelajaran kooperatif sebagaimana terurai sebagai berikut (1) Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial,( 2) Mengembangkan kegembiraan belajar yang sejati, (3) Memungkinkan para siswa saling belajar menegenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan, (4) Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen, (5) Meningkatkan keterampilan metakognitif, (6) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau SEMNAS MIPA 2010
egois dan egosentris, (7) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan social, ( 8) Menghilangkan siswa dari penderitaan akibat kesendirian atau keterasingan, (9) Dapat menjadi acuan bagi perkembengan keperibadian yang sehat dan terintegrasi (10) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa, (11) Mencegah timbulnya gangguan kejiwaan, (12) Mencegah terjadinya kenakalan dimasa remaja, (13) Menimbulkan perilaku rasional dimasa remaja (14) Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan, (15) Meningkatkan rasa saling percaya kepada semua manusia, (16) Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai prespektif, (17) Meningkatkan perasaan penuh makna mengenai arah dan tujuan hidup, (18) Meningkatkan keyakinan terhadap ide atau gagasan sendiri. Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFAE) adalah model pembelajaran kooperatif yang mendasarkan pada penugasan tiap-tiap kelompok, dimana masing-masing kelompok diberi tugas yang berbeda. Masing-masing kelompok bertanggung jawab untuk mengorganisasi kelompoknya dalam mencari informasi tentang tugas yang didapatkan melalui sumber belajar. Kelompok berdiskusi untuk menyelesaikan tugas tersebut. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok lain membuat pertanyaan pada masing-masing topik diskusi. Setelah semua kelompok sudah mempresentasikan hasil diskusinya maka dilakukan evaluasi untuk mengetahui ketercapaian dari pembelajaran tersebut. Sintaks dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFAE) adalah (1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai; (2) Guru mendemonstrasikan/ menyajikan materi; (3) Memberikan kesempatan siswa/peserta untuk menjelaskan kepada peserta untuk menjelaskan kepada peserta lainnya baik melalui bagan/peta konsep maupun yang lainnya; (4) Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa; (5) Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu; dan (6) evaluasi. METODE PENELITIAN
FIS - 197
Penelitian ini dilakukan melalui studi eksperimen yang dilakukan di Prodi Fisika, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Sampel diambil dua offering yaitu offering A dan B yang sudah diseimbangan kemampuan awalnya yaitu nilai mata kuliah Keterampilan Dasar Mengajar Fisika (FIP441). Mahasiswa pada off A dipakai sebagai kelompok eksperimen dan off B sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen mengalami pembelajaran Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE). Kelompok kontrol mengalami pembelajaran Model Pembelajaran Konvensional. Pembelajaran SFAE untuk kelompok eksperimen dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Mahasiswa dikelompok-kelompokkan secara heterogen. Hal ini dimaksudkan agar terjadi tutor sebaya dalam setiap kegiatan. Tiap kelompok terdiri atas 3 orang. Hal ini dimaksudkan agar semua anggota kelompok berperan secara aktif. (2) Masing-masing kelompok bertugas mempresentasikan materi pelajaran melalui power point yang dibuat masingmasing kelompok. Semua anggota kelompok wajib presentasi materi ssuai pembagian yang diatur oleh masingmasing kelompok. Setelah semua anggota kelompok presentasi dilanjutkan diskusi kelas dipimpin dosen dan klarifikasi dosen. (3) Masing-masing kelompok wajib melaksanakan praktek mengajar secara tim teaching dengan menerapkan metodologi pembelajaran dengan terlebih dahulu membuat persiapan tertulis. Praktek mengajar secara tim teaching ini dilaksanakan dua kali. (4) Masing-masing kelompok wajib membuat CD pembelajaran diambil dari praktek mengajar secara kelompok, dan disempurnakan di luar waktu kuliah. Hal ini dimaksudkan agar penanganan terhadap pelaksanaan praktek mengajar ini disempurnakan secara terus menerus. (5) Terakhir masing-masing mahasiswa diberi kesempatan untuk praktek mengajar secara individual. Sementara itu pembelajaran Model Pembelajaran Konvensional untuk kelompok kontrol, dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: (1) Dosen menerangkan dan mendiskusikan materi matakuliah langkah demi langkah; (2) Dosen SEMNAS MIPA 2010
memberikan contoh praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajar sesuai dengan materi pelajaran di SMA; (3) Mahasiswa secara individu melaksanakan praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajaran sesuai materi pelajaran SMA yang ditugaskan. Data tentang penguasaan materi baik teori maupun konsep metodologi pembelajaran fisika diperoleh melalui tes tulis dulakukan setelah materi disampaikan. Data tentang keaktifan mahasiswa, diperoleh melalui observasi setiap kegiatan perkuliahan. Sementara itu data keterampilan (skil) praktek mengajar dan ketepatannya da;am menerapkan metodologi pembelajaran diperoleh melalui penilaian observasi saat praktek. Untuk mencapai tujuan penelitian maka analisis dilakukan sebagai berikut. (1) Data keaktifan siswa dan keterampilan mengajar dimodifikasi menjadi skor/nilai (0-100). (2) Skor keatifan siswa, keterampilan berpikir siswa baik kelompok eksperimen maupun kelompok control dihitung rata-rata dan stndar deviasinya. (3) Langkah berikutnya adalah uji perbedaan t dengan satu ekor dan taraf signifikasi 5%. Hipotesis diterima jika memenuhi persyaratan thi tung > t t abl e . HASIL DAN PEMBAHASAN
Skor/nilai keaktifan rata-rata kelompok eksperimen yang diajar melalui pembelajaran Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE) sebesar 82 dengan simpangan baku 9,40 sedangkan yang belajar melalui MPK sebesar 65 dengan simpangan aku 8,8.. Jadi SFAE lebih unggul lebih unggul 20% dalam meningkatkan keaktifan siswa dari pada MPK. Statistik n SD (SD)2
YE 1 23 82 9,40 88,36
YP1 23 65 8,80 77,44
FIS - 198
Karena t hitu ng = 6,3317 > 1,6800 t (44;0,05), maka penerapan SFAE lebih efektif meningkatkan keaktifan mahasiswa dari pada MPK. Skor/nilai penguasan materi ratarata kelompok eksperimen yang diajar melalui pembelajaran Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE) sebesar 87,5 dengan standar deviasi 11,2 sedangkan yang belajar melalui MPK sebesar 75,8 dengan standar deviasi 12,4. Statistik n SD (SD)2
YE 2 23 87,5 11,2 125,44
YP2 23 75,8 12,4 153,76
Karena thi t ung = 3,3827 > 1,6800 t(44;0,05), maka penerapan SFAE lebih efektif meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran dari pada MPK. Skor/nilai keterampilan (skil) praktek mengjar rata-rata untuk kelompok eksperimen yang diajar melalui pembelajaran Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE) sebesar 86 dengan standar deviasi 10,3 sedangkan yang belajar melalui MPK sebesar 73 dengan standar deviasi 11,1. Jadi SFAE lebih unggul lebih unggul 20% dalam meningkatkan keaktifan siswa dari pada MPK. Statistik n
YE 2 23 86
YP2 23 73
SD (SD)2
10,3 106,09
11,1 123,21
SEMNAS MIPA 2010
Karena t hitu ng = 4,1172 > 1,6800 t (44;0,05), maka penerapan SFAE lebih efektif meningkatkan keterampilan (skil) praktek mengajar dari pada MPK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran SFAE lebih baik dalam meningkatkan keaktifan, penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran, dan keterampilan praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Model pembelajaran SFAE lebih baik dalam meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini disebabkan sejak semula mahasiswa sudah terlibat secara fisik dan mental. Ketika mempresentasikan materi metodologi pembelajaran, mereka harus menyusun dan membuat power point, memahami materi, dan mempresentasikan, sementara itu yang belum atau tidak presentasi wajib mengajukan pertanyaan dalam sesi diskusi. Keaktifan ini dilanjutkan dengan menyiapkan untuk praktek juga disibukkan dengan pengambilan gambar (shooting) untuk membuat CD pembelajaran. Dan akhirnya secara individu, mahasiswa harus menyiapkan diri untuk praktek mengajar secara perorangan. Dalam hal meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran, model pembelajaran SFAE lebih baik dari pada MPK. Hal ini disebabkan karena sejak awal mahasiswa sudah terlibat secara fisik dan mental untuk menyiapkan power point, mempelajari isi materi dan mempresentasikannya serta harus mampu menjawab semua pertanyaan pada sesi diskusi. Dalam hal meningkatkan keterampilan praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajaran, model pembelajaran SFAE lebih baik dari pada MPK. Hal ini disebabkan karena dengan keaktifan yang baik
FIS - 199
akan menjamin penguasaan materi dengan baik pula. Dengan penguasaan yang baik terhadap materi, akan melancarkan dalam hal mempraktekannya. Dalam praktek mengajar diperlukan pengalaman, ini diperoleh melalui kerja sama antar anggota kelompok, dimana mereka mendapat pengalaman dua kali tampil. Pengalaman yang tidak kalah pentingnya dalam peningkatan keterampilan praktek adalah pembuatan CD pembelajaran yang dikerjaan secara terus menerus. Dengan demikian para mahasiswa memang secara nyata penguasaan materiya lebih baik, karena tingkat keterlibatannya lebih baik. sementara itu yang belum atau tidak presentasi wajib mengajukan pertanyaan dalam sesi diskusi. Keaktifan ini dilanjutkan dengan menyiapkan untuk praktek juga disibukkan dengan pengambilan gambar (shooting) untuk membuat CD pembelajaran. Dan akhirnya secara individu, mahasiswa harus menyiapkan diri untuk praktek mengajar secara perorangan. Dengan demikian para mahasiswa memang secara nyata penguasaan materiya lebih baik, karena tingkat keterlibatannya lebih baik. sementara itu yang belum atau tidak presentasi wajib mengajukan pertanyaan dalam sesi diskusi. Keaktifan ini dilanjutkan dengan menyiapkan untuk praktek juga disibukkan dengan pengambilan gambar (shooting) untuk membuat CD pembelajaran. Dan akhirnya secara individu, mahasiswa harus menyiapkan diri untuk praktek mengajar secara perorangan. KESIMPULAN
Dari hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa (1) Model Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE) lebih efektif dalam meningkatkan keaktifan mahasiswa dari pada MPK; (2) Model Kooperatif Model Student Fasilitator
SEMNAS MIPA 2010
and Explaining (SFAE) lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran dari pada MPK; dan (3) Model Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining (SFAE) lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam praktek mengajar dari pada MPK. Dalam penerapan pembelajaran Model Kooperatif Model Student Fasilitator and Explaining agar mampu meningkatkan keaktifan, penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran, serta keterampilan dalam praktek mengajar, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Keaktifan mahasiswa perlu dikondisikan secara focus baik ketika membuat persiapan maupun ketika praktek; (2) Mahasiswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil dengan system campuran, serta perlu diontrol terus menerus oleh dosen. (3) Setiap usai melaksanakan praktek mengajar baik secara kelompok maupun individu, perlu diberi balikan/masukan oleh mahasiswa lain ataupun oleh dosen, agar pada tampilan berikutnya menejadi lebih baik. DAFTAR PUSTAKA
Arends. R.I., (2001). Learning to Teach. Boston: McGraw. Hill ………… 2007. Kurikulum dan Silabi Program Pendidikan Fisika. Malang: Prodi Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang …………. 2009. Katalog FMIPA UM Jurusan Fisika. Malang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang Johnson, D.W., & Johnson, R.T. 1989. Social Skills for Successful Gorup Work. Educational Leadership, 47(4), 29—33.
FIS - 200
Johnson, D.W., Johnson, R.T. & Stanne, 2005. Cooperative Learning Methods: A Meta-Analysis. http://www.clcrc.com/pages/clmethods.html. Joyce, Bruce and Marsha Weil. 1992. Models of Teaching. New Jersey. Prentice Hall, Inc. Kaufman, D.B., Felder, R.M. & Fuller, H. 2000. Accounting for Individual Effort in Cooperative Learning Teams. Journal of Engineering Education, 89(2), 133—140. Available on: http://www.ncsu.edu/unity/lochers/ users/f/felder/public/RMF.html. Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang Sudjana. 1996. Metode Statistika Untuk Bidang: Biologi, Farmasi, Geologi, Pendidikan, Psikologi, Teknik. Bandung: Penerbit Tarsito Wartono, 2008. Strategi Belajar Mengajar Fisika. Malang: Program Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang
SEMNAS MIPA 2010
FIS - 201