ANALISIS TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN (Studi Kasus di KUA Kec. Ngaliyan Kota Semarang)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
DISUSUN OLEH: DEDY ROEHAN ASFIA 062111030
JURUSAN AL-AKHWAL ASSAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lam
: 4 (empat) eksemplar
Hal
: Naskah Skripsi a.n. Sdr. Dedy Roehan Asfia Kepada Yth. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudari: Nama
: Dedy Roehan Asfia
Nim
: 62111030
Jurusan
: Ahwalus Syahsiyah
Judul
: ANALISIS TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN (STUDI KASUS DI KUA KEC. NGALIYAN)
Dengan ini, mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera di munaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
iii
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Mei 2011 Deklarator
DEDY ROEHAN ASFIA NIM : 62111030
iv
ABSTRAKSI Di Indonesia, masalah asal usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda-beda. Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia kehamilan adalah 6 bulan, dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan, ketentuan ini diambil firman Allah Swt. Dalam surat Al-ahqof (46) ayat 15 dan Surat Luqman ayat (31) ayat 14. Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti oleh para ulama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan, bahwa menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak dalam Pasal 42, disebutkan “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Dan dalam kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. Yaitu anak sah adalah “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Di dalam praktiknya KUA kecamatan Ngaliyan Kota Semarang yang menjadi lokasi penelitian ini, menggunakan wali hakim. Yaitu berdasarkan perspekif fiqih. Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di bawah Kementerian Agama, seharunya berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku. Berangkat dari fenomena ini penyusun tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi, perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan dasar hukum apakah yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam menentukan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini, adalah field research (penelitian lapangan), langsung di lapangan yang mengambil lokasi di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Dengan objek kajian adalah pada permasalahan bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA dan dasar hukum yang di gunakan oleh KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Analisis yang digunakan adalah deskriptif analisis. Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan Semarang. Kesimpulan akhir dari skripsi ini dalah bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan tidak mempunyai dasar hukum. Karena sampai saat ini Kememterian Agama belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempuan sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa buku pernikahan orang tuanya untuk mengetahui asul usul anak tersebut, dan untuk menetukan wali. Karena status anak sudah diatur dalam UUP No 1 tahun 1974 pasal 42 dan KHI pasal 99(a). Dan dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan tidak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, karena KUA Kec. Ngaliyan dalam pelaksaaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan menggunakan dasar fiqih.
v
MOTTO
` Artinya : Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan, kepada mereka dengan karunia- NYA. Dan Allah maha luas (pemberian-NYA), maha mengetahui. (QS. An-nur. 32).1
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya, Lajnah pentshih Al- qur’an, Depok: cahaya Al-qur”an, 2008. hlm.354
vi
PERSEMBAHAN Saya persembahkan untuk : Ayahanda dan Ibunda ( Drs. Sodikin Rachman dan Hidayatun, BA) tercinta dan tersayang Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putramu. Para Kiai, Guru, Dosen dan Asatiid Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta’at dan berbakti. Kakek Nenek yang saya ta’dzimi Nasehat dan do’amu mengobarkan semangat cucumu. Seluruh keluarga Dukungan kalian tak akan pernah saya sia-siakan. Dan untuk teman-teman Khususnya paket ASB ( Astronot, Boja, Pakde,Erwin, Eka, Zum, Olive Dan Lainya) yang selalu menemani Bersama kita raih cita-cita kita. SLANK dan JURUSTANDUR yang selalu memberi semangat, Maju Terus Pantang Mundur dalam meraih cita-cita dan untuk kebenaran. Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Terhadap Penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan (studi kasus di KUA Kec. Ngaliyan) dengan baik tanpa banyak menemui kendala yang berarti. Shalawat dan Salam semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata hasil dari “jerih payah” penulis secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada : 1. Rektor IAIN Walisongo Semarang Bpk Prof. Dr. Muhibbin, M. Ag. Dan Pembantu-Pembantu Rektor yang telah memberikan fasilitas untuk belajar dari awal hingga akhir. 2. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Bpk Dr. Imam Yahya, M. Ag. dan Pembantu-Pembantu Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas untuk belajar dari awal hingga akhir. 3. Bapak/Ibu Ketua & Sekretaris Jurusan yang telah memberikan berbagai motifasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya. 4. Bpk. Drs. Agus Nurhadi, MA dan Bpk. Dr H. Ali Imron, M. Ag selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II penulis skripsi ini, dengan penuh kesabaran telah mencurahkan perhatian yang besar dalam memberikan bimbingan. 5. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi.
viii
6. Kepala KUA Kec. Ngaliyan. Bpk Drs. H. Fadlan Yazidi beserta Staf-stafnya yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di KUA Kec. Ngaliyan. 7. Kedua orang tua penulis tercinta (Drs. Sodikin Rachman dan Hidayatun, BA) yang telah memberi motivasi, arahan serta do’a yang tiada henti-hentinya kepada penulis. 8. KH. Sirodj Chudori dan KH. A. Izzudin M. Ag selaku pengasuh Pon. Pes Daarunnajah yang telah mengasuh dan mendidik bekal ilmu Agama. 9. Sahabat-sahabat penulis ( Khususnya paket ASB, Astronot, Boja, Pakde, Erwin Zum, Eka, Olive, dan lainya) serta semua pihak yang ikut serta dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan do’a semoga Allah SWT, membalas segala jasa dan budi baik mereka dengan balasan yang setimpal. Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar tercapai hasil yang semaksimal pula. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Semarang, 12 Mei 2011 Penulis,
DEDY ROEHAN ASFIA Nim : 062111030
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii
HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii HALAMAN DEKLARASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv HALAMAN ABSTRAKS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v HALAMAN MOTTO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi HALAMAN PERSEMBAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii HALAMAN KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii HALAMAN DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . BAB I
x
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan …………………………………….1 B. Rumusan Permasalahan ………………………………......………7 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………8 D. Telaah Pustaka ……………………………………………………8 E. Metode Penelitian ……………………………………..……..…..10 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………15
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG PERWALIAN A. Wali Nikah dalam Islam ........………………….…..……...……..17 1. Pengertian Wali Nikah......….……...………………….......…...17 2. Dasar Hukum Wali Nikah.......................................................…20 3. Syarat Menjadi Wali....................................................................22 4. Macam-macam Wali....................................................................22 B. Asal Usul Anak. ……….........................................……………....28 1. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Fiqih........…...…..…...….30 2. Asal usul Anak Menurut Perspektif Undang undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ................................................................35
x
3. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)..............................….…..….….……………..………….36 C. Nikah Hamil....................................................................................38 BAB III : PELAKSANAAN
PENENTUAN
WALI
NIKAH
BAGI
PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA KEC. NGALIYAN A. Gambaran Umum Kecamatan Ngaliyan …....….…….……….....42 1. Letak Geografis ………................................…...….………….42 2. Keadaan Demografi....…………….….………....….…....…....43 3. Mata Pencaharian ...…………………………………………...43 B. Sejarah Singkat Berdirinya KUA Kec. Ngaliyan...........................44 C. Letak KUA Kec. Ngaliyan dan Sarana Prasarana Keagamaaan....46 D. Stuktur Organisasi KUA Kec. Ngaliyan........................................49 E. Tugas dan Fungsi pokok.................................................................50 F. Kegiatan KUA Kec. Ngaliyan.......................................................54 G. Prosedur Pelaksananaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan..............66 H. Hasil Penelitian..............................................................................68 1. Kasus di KUA Kec. Ngaliyan....................................................68 2. Respon dari Para Pihak yang Bersangkutan...............................70 3. Respon dari P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah)..............74 4. Repon dari Tokoh Masyarakat...................................................76 BAB IV : ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA KEC. NGALIYAN. A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Penentuan wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan …………........................................................................................79
xi
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang di gunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan.......................................................................87 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………....98 B. Saran-saran…………………………………………..…..….......100 C. Penutup...……..…......………….………………….………....…101 DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
xii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakanag Masalah. KUA (Kantor Urusan Agama) adalah instansi Kementerian Agama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan kedudukanya di kecamatan, secara otomatis KUA adalah ujung tombak Kementrian Agama dalam membina kehidupan beragama di masyarakat. Dan karena hal itulah KUA menjadi kebutuhan bagi setiap daerah.1 Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga pencatat pernikahan, dan juga membidangi bidang-bidang lainya, seperti zakat, pembinaan haji, pemberdayaan wakaf, pembinaan tilawatil qur’an dan sejenisnya. Peran tersebut menegaskan bahwa KUA adalah instansi Kementrian Agama yang banyak berkaitan langsung dengan pembinaan masyarakat dibidang keagamaan. Pencatatan pernikahan dan hal-hal yang terkait denganya merupakan tugas pokok dari Kantor Urusan Agama Kecamatan termasuk perwalian.2 Dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, tepatnya di KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, yang menjadi lokasi penelitian saya menggunakan Wali hakim. Ketentuan ini menggunakan dasar fiqih munakahat, yaitu apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali hakim. 1
Kementrian Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Teladan Se- Indonesia, Jakarta :Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah, 2010, hlm. i 2 Ibid hlm iv
2
Ketentuan ini berdasarkan Al- qur,an, dalam Firman Allah surat Al- ahqaf ayat 15
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan (Qs. Al-ahqaf, 46:15)3
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat-lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun ) (QS. Luqman, 31:14 ).4
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama. Di tafsirkan bahwa, ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung dan menyampih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan waktu 2 tahun atau 24 bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan. 5 Dalam Tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini di jadikan dalil oleh Ali bin Abi Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan cara
3
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Depok : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504 4 Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412 5 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 224
3
pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat tersebut disetujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.6 Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan tidak bisa dihubungkan kekerabatanya kepada bapaknya,
Walaupun dalam ikatan
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya akan dikutip di bawah ini: Pasal 42: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Pasal 43: 1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.” 2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Pasal 44: 1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.” 2. “Pengadilan memberikan keputusan permintaan yang bersangkutan.” 7
6
tentang
sah/tidaknya
anak
atas
Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi, Shahih Tafsir Ibun Kasir, Bogor : Pustaka Ibnu Kasir, 2006, hlm. 317-318 7 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19
4
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan, jadi Selama bayi yang di kandung itu lahir dari ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. Dalam kompilasi hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. Pasal 99 : Anak yang sah adalah a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Pasal 100: a. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Pasal 101: “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.”8 Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang di lahirkan istrinya.
8
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 2000, hlm. 51
5
(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.” (2) “Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat diterima. Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama.” Karena perbedaan dalam menentukan asal usul anak, maka berbeda pula dalam penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Di dalam praktiknya, KUA kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, yang menjadi lokasi penelitian ini, menggunakan wali hakim. Kasus semacam ini di KUA Kecamatan Ngaliyan sering sekali terjadi, Bulan Januari sampai Oktober 2010, terdapat tujuh kasus pernikahan seperti ini, dan semuanya menggunakan wali hakim. Dengan menggunakan ketentuan seperti ini akan berimplikasi pada status anak tersebut. Di satu sisi anak tersebut diakui oleh Negara sebagai anak sah, Karena dalam menentukan asal usul- anak, menggunakan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dan anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah. Akan tetapi dalam hal praktik perkawinan, KUA Kecamatan Ngaliyan menggunakan wali hakim, padahal menurut Undang-undang anak tersebut adalah sebagai anak sah. Ketentuan semacam ini akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari, tentang kejelasan status anak tersebut. Karena terdapat standar
6
ganda dalam penentuan asal-usul anak yaitu menggunakan UU Perkawinan dan fiqih munakahat. Di dalam Undang undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 42, dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a) disebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah.” Di sini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali nasab, karena di dalam Undang- undang perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal tentang usia kandungan. Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di bawah Departemen Agama sekarang Kementerian Agama, seharunya berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam. Karena sejak di tetapkan pada tahun 1991 dan dilaksanakan oleh Menteri Agama, menetapkan seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait. Agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Sebagaimana dimaksud dalam diktum, pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan Oleh
Instansi
pemerintah
dan
masyarakat
yang
menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.9
9
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7
memerlukanya
untuk
7
Dan tujuan utama di rumuskannya Kompilasi Hukum Islam, adalah menyiapkan pedoman (unifikasi) bagi Hakim Peradilan Agama dan menjadi hukum Islam positif yang wajib di patuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama.10 Untuk mengkaji lebih lanjut tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, khususnya di KUA Kec. Ngaliyan Semarang maka
penulis akan paparkan ke dalam Skripsi yang berjudul :
“ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN (Studi Kasus di KUA Kec. Ngaliyan Kota. Semarang).” B. RUMUSAN PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dikaji yaitu : 1. Bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang? 2. Apakah dasar hukum yang di gunakan oleh KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah:
10
Ahmad Rofq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gama Media, 2001 , hlm. 25
8
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan penentuan wali ikah bagi, perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA kecamatan Ngaliyan semarang. 2. Untuk menganalisis dasar hukum yang digunakan, oleh KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang dalam pelaksanaan, penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. D. TELAAH PUSTAKA Ada beberapa kajian yang sudah dibahas dalam beberapa Skripsi Khususnya yang berkaitan tentang masalah perwalian. Nur Shihah Ulya (2100106), dalam Skripsi Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo yang berjudul: “Praktek Perwakilan Perwalian Dalam Akad Pernikahan Di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.” yang menghasilkan kesimpulan bahwa: Praktek akad pernikahan yang terjadi di wilayah kecamatan Mranggen terdapat perbedaan dalam hal pelaksanaan prosesinya, yaitu: Wali dari pihak mempelai calon istri melakukan ijab qabul dengan calon suami tidak secara langsung dalam arti menggunakan jasa wakil dalam akad nikah tersebut dengan cara mewakilkan kepada orang yang dianggap lebih cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti Kiyai (ulama') atau kepada petugas PPN dari Kantor Urusan Agama karena dianggap sudah terbiasa melakukan akad nikah. Setelah mewakilkan perwaliannya tersebut, wali meninggalkan majelis akad nikah sehingga dia tidak dikatakan hadir dalam majelis akad nikah tersebut. Inayatul Baroroh (042111026) dalam Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang berjudul: “Studi Analisis Terhadap pelaksanaan, perkawinan
9
dengan Wali Hakim, di Karenakan Pengantin Wanita lahir Kurang dai 6 Bulan Setelah Perkawinan Orang Tuanya (Studi Kasus di KUA kec talung Klaten).” Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa: pelaksanaan Wali Hakim di KUA Kec. Talung Kab. Klaten sudah sesuai dengan syariat Islam dan sesuai dengan Undang-undang, penelitian skripsi ini hanya sampai pada pelaksanaan wali hakim secara umum, apa penyebab masyarakat mengajukan pernikahan dengan wali hakim, bagaimana peran KUA dalam menghadapi pengajuan wali hakim dari masyarakat. dan bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di tinjau dari perspektif beberapa pendapat ulama, penelitian ini belum membahas penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA setempat dan menganalisisnya dari Undang -Undang Perkawinan dan KHI. Abdul Ghufron (2104035), dalam Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo yang berjudul: ”Analisis Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Wali Nikah Bagi Janda Di Bawah Umur”. Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa: pendapat Imam al-Syafi'i yang mengharuskan adanya wali dalam pernikahan sangat relevan dengan realitas kehidupan masa kini. Jika dibolehkan nikah tanpa wali, maka sebelum nikah orang akan berani mengadakan hubungan badan sebelum nikah karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat mudah, dan jika ia sudah menikah hak dan kewajiban masing-masing menjadi tidak jelas. Khoirul Jaza (2103220), dalam Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo yang berjudul: “Studi Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Wali Washi Dari Bapak Lebih Didahulukan Sebagai Wali Nikah Daripada Wali Nasab”. Yang
10
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa wali washi dari bapak lebih didahulukan untuk menikahkan seorang perempuan daripada wali nasab, karena wali washi termasuk dalam kategori wali mujbir sehingga selama masih ada wali mujbir, maka wali-wali yang berada diurutan bawahnya tidak berhak untuk menikahkan seorang perempuan. Berdasarkan atas pustaka yang telak penulis kemukakan di atas, maka sekiranya dapat kami simpulkan bahwa tentang kajian atau penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan karya ilmiah atau skripsi yang telah dipaparkan di atas., maka penulis dalam Skripsi ini akan lebih memfokuskan tentang pembahasan tentang analisis terhadap penentuan wali nikah terhadap perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. F. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini, adalah field research (penelitian lapangan), langsung di lapangan yang mengambil lokasi di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Dengan objek kajian adalah pada permasalahan pelaksanaan penentuan wali nikah, bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Di KUA dan dasar hukum yang di gunakan oleh KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Kualitatif. Pendekatan ini memusatkan perhatianya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau
11
pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayayan dari masyarakat yang bersangkutan, untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku11. Dengan demikian gejal-gejala yang ditemukan tidak memungkinkan untuk diukur oleh angka-angka, melaikan melalui penafsiran yang logis teoritis yang berlaku atau terbentuk begitu saja. karena relitas yang baru, yang menjadikan indikasi signifikan untuk terciptanya konsep baru.12 Dengan menggunakan pendekatan ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan. Dan Praktiknya di dalam masyarakat, Khususnya di kecamatan Ngaliyan. Dan untuk mengetahui respon dari masyarakat dengan adanya ketentuan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan untuk kemudian menganalisiya. a. Sumber Data Primer Adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Adapun sumber data primernya adalah hasil wawancara tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi prempuan yang lahir kurang dari 6
11 12
58
Burhan, Ashofa, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2004 hlm 20-21 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008 hlm
12
bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan, dan dokumen-dokumen, arsip proses perkawinan yang relevan dengan Skripsi di KUA kecamatan Ngaliyan.13 b. Sumber Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Peneliti menggunakan data ini sebagai data pendukung yang berhubungan dengan pelaksanaan yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Ngaliyan Terhadap penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.14 Data ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, artikel, pendapat para ahli, dan sumber lain yang dianggap relevan dan berhubugan dengan penelitian ini. 2. Tehnik Pengumpulan Data Yang dimaksud dengan pengumpulan data adalah pencarian dan pengumpulan data yang dapat dipergunakan untuk membahas masalah atau problematika yang terdapat dalam judul skripsi ini. Dalam hal ini, penulis akan melakukan penelitian di KUA Kecamatan Ngaliyan. Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode wawancara/interview
13 14
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998, hlm. 91 Ibid hlm. 91
13
Wawancara adalah sebuah percakapan antara dua orang atau lebih yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subyek atau sekelompok subyek penelitian untuk dijawab.15 Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi tentang hal yang tidak dapat diperoleh oleh pengamatan 16 dan mendapatkan informasi terhadap data-data dokumentasi dan sebagainya. Dengan berbagai pokok, baik di lingkungan Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Semarang maupun di luar lingkungan KUA, yang berkaitan dengan penelitian ini. Wawancara antara lain di lakukan dengan: 1. Kepala KUA yang meliputi pelaksanaan penentuan wali nikah terhadap perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan dasar hukum yang digunakan, oleh KUA Kecamatan Ngaliyan dalam penentuan wali tersebut. 2. Petugas Pembantu Pencatat Nikah ( P3N) tentang proses pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. 3. Pengantin perempuan yang melaksanakan perkawinan dengan wali hakim di karenakan kelahiranya kurang dari 6 bulan. 4. Orang tua/wali dari pengantin perempuan. 5. Tokoh masyarakat.
15
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002, hlm.
16
Burhan, Ashofa OP cit, hlm. 59
130
14
b. Dokumentasi Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, dan lain sebagainya.17 Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh dokumen-dokumen yang terkait dengan pelakasanan penetuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan 3. Teknik Analisis Data Analisis data proses pengurain data, pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuanya.18 Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu memberikan predikat kepada variable yang di teliti sesusai dengan kondisi yang sebenarnya. Predikat yang diberikan tersebut dalam bentuk, peringkat yang sebanding dengan atau atas dasar kondisi yang di inginkan.19 Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan, tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Dan
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta : Rineka Cipta, 1999, hlm. 206. 18 Mustofa Bisri, OP. Cit , hlm. 31 19 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 1990, hlm. 353
15
menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Semarang. E. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis dan konsisten yang dapamenunjukkan gambaran utuh dalam proposal
skripsi ini, maka penulis
menyusunnya dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
: Latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Pokok-Pokok perwalian dalam pernikahan, yang terdiri dari pengertian, dasar hukum wali, rukun dan syarat wali, asal usul anak menurut
perspektif fiqih, Undang-undang perkawinan Nomor 1
tahun 1974 dan Kompilasai Hukum Islam dan kawin hamil. BAB III : Sekilas tentang KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang yang meliputi:. Gambara umum Kec. Ngalian, Sejarah berdirinya KUA Kecamatan Ngaliyan, kedudukan, tugas dan fungsi KUA Kecamatan Ngaliyan, Kegiatan KUA sarana dan prasarana, struktur organisasi KUA Kecamatan Ngaliyan, pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA kecamatan Ngaliyan dan hasil penelitian. BAB IV : Analisis perempuan
terhadap
pelaksanaan
penentuan
wali
nikah
bagi
yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA kecamatan
Ngaliyan. Dan analisis terhadap dasar hukum yang di gunakan oleh
16
KUA Kecamatan Ngaliyan. Dalam pelaksanaan penetuan wali nikah bagi perempuan, yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan. BAB V : Penutup. Dalam bab ini memuat kesimpulan, saran-saran dan daftar pustaka.
17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH A. Wali Nikah Dalam Islam Pembicaraan masalah perwalian dalam islam terbagi dalam dua katagori, perwalian umum dan khusus. Perwalian umum biasanya menyangkut kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti gubernur) dan sebagainya. Sedangkan perwalian khusus adalah perwalian terhadap jiwa dan harta sesesorang, seperti terhadap anak yatim.3 1. Pengertian Wali Nikah Istilah perwaliaan berasal dari bahasa arab dari kata dasar, waliya, wilayah atau walayah. dalam literatur fiqih islam disebut dengan al- walayah (alwilayah) secara etimologis, wali mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah), juga berarti kekuasaan/ otoritas seperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah “ tawally al-amri” (mengurus/mengusai sesuatu).4 Adapun yang di maksud dengan perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum islam) seperti di formulasikan oleh Wahbah Al-zuhayli ialah “Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung
3
Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm. 104 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hlm 134 4
18
melakukan suatu tindakan tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain. Dalam literatul –literatul fiqih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi sesorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita di mana hak itu dipegang oleh wali nikah.5 Adapun yang di maksud dengan perwalian di sini adalah perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal perkawinanya. Masalah
perwalian
dalam
arti
perkawinan,
mayoritas
ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali,6 pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Safi‟i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan.7 Menurut madzhab hanafi, wali tidak merupakan sayrat untuk sahnya suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak
5
Ibid hlm 35 Dedy Junaidi Op cit. hlm. 104 7 Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 82 6
19
ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik pria maupun wanita. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, teapi di syaratkan harus ada izin dari orang tua bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun disebutkan bahwa: perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.8 Dalam Kompilasi Hukum islam masalah konsep perwalian dalam perkawinan, di atur dalam pasal 14 dan
pasal 19-239. Selanjutnya akan
dikutip di bawah ini: Pasal 14: Untuk melaksankanperkawinan harus ada: a. b. c. d. e.
Calon suami Calon isteri Wali nikah Dua orang saksi dan Ijab kabul.
Pasal 19: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkanya.‟‟ Pasal 20:
8
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 12 9 Ratna Batara Munti dan Hindun anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2005, hlm 61
20
(1) “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam islam yakni muslim, aqil dan baligh.”
(2) Wali nikah terdiri dari a. Wali nasab b. Wali hakim Pasal 23: (1) “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin mungkin mmenghadirkanya atau tidak tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.” (2) “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.”10 Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi‟i wali merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa wali, maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah.11 2. Dasar Hukum Wali Nikah
10
Departemaen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan agama Islam, Jakarta : 2003, hlm. 20-22 11 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 15
21
Dasar hukum yang dipakai dalam keharusan adanya wali bagi seorang wanita yang hendak menikah, para ulama berpedoman dengan dalil dalil diantaranya: Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 32,
` Artinya : Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan, kepada mereka dengan karunia- NYA. Dan Allah maha luas (pemberian-NYA), maha mengetahui. (QS. An-nur. 32).12 Dan surat Al-Baqoroh ayat 221
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya, Lajnah pentshih Al- qur‟an, Depok: cahaya Al-qur”an, 2008. hlm.354
22
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS AL-baqarah . 221)13 Oleh sebagian Ulama Fiqih kedua ayat ini, ditafsirkan bahwa yang diberi perintah untuk mengawinkan adalah kaum lelaki bukan kaum perempuan.14 Dan Allah SWT menyeru untuk menikahkan itu pada laki2 (wali) bukan kepada wanita, seolah-olah Dia berfirman: “Wahai para wali (laki2) janganlah kalian menikahkan (wanita) yang dalam perwalianmu kepada orang-orang (laki-laki musyrik).15 Dan dalam Hadis riwayat dari Abu Burdah, Ibn Abu Musa dari bapaknya mengatatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 16
)ًالوكاح اال بىلي (رواي احمد واالربع
Artinya: tidak sah nikah kecuali (dinikahkan) oleh wali (Riwayat Ahmad dan Imam Empat) 3. Syarat Menjadi Wali Seseorang boleh menjadi wali, apabila dia laki-laki merdeka, berakal, dewasa, beragama Islam,17mempunyai hak perwalian dan tidak terhalang untuk menjadi wali. Dalam pasal 20 KHI (ayat) 1 dirumuskan sebagai berikut: “yang berhak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki, yang memenuhi syarat hukum islam, yakni muslim, aqil, baligh. Dalam pelaksanaan akad nikah atau yang bisa di sebut ijab kobul (serah terima) 13
Al-qur‟qn dan Terjemahanya Ibid,.hlm.33 Ali Imron, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga (Perspektif Al-qur’an melalui pendekatan Ilmu Tafsir) Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 hlm 69 14
15
Dedy Junaidi OP cit hlm 106 Al-Sa‟any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo : Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby, 1379H/1960M, hlm. 117-118 17 Slamet abidin-Aminudin Fiqih munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm 83 16
23
penyerahanya di lakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya, dan qobul (penerimaan) dilakukan oleh mempelai laki-laki.” 4. Macam-macam Wali wali nikah dibagi menjadi tiga katagori, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakam. a. Wali Nasab Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut: 1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni (yang berarti dalam garis keturunan itu tidak ada penghubung yang wanita) yaitu: ayah, kakek, dan seterusnya ke atas.18 2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis murni yaitu: saudara kandung, anaak dari saudara seayah, anak dari saudara kandung anak dari saudara seayah, dan seterusnya ke bawah. 3) Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu: saudara kandung dari ayah, saudara sebapak dari ayah, anak saudara kandung dari ayah, dan setrusnya ke bawah. Apabila wali tersebut di atas tidak beragama islam sedangkan calon mempelai wanita beragama islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal, atau rusak pikiranya, atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada
18
Dedi Junaidi Op cit hlm 110-111
24
wali berikutnya. Umpanya, calon mempelai wanita yang sudah tidak mempunyai ayah atau kakek lagi, sedang saudara-saudaranya yang belum baligh dan tidak mempunyai wali yang terdiri dari keturan ayah (misalnya keponakan) maka yang berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah (paman).19 Secara sederhana urutan wali nasab dapat diurutkan sebagai berikut: 1. Ayah kandung, 2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalm garis laki-laki, 3. Saudara laki-laki sekandung, 4. Saudara laki-laki seayah, 5. Anak laki-laki saudara laki-laki saudara sekandung 6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah 7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, 8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah, 9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman), 10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah), 11. Anak laki-laki paman sekandung, 12. Anak laki-laki paman seayah, 13. Saudara laki-laki kakek sekandung, 14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung,
19
Ibid hlm 112
25
15. Anak laki-lakisaudara laki-laki kakek seayah.20
b. Wali Hakim Wali hakim dalam sejarah hukum perkawinan di Indonesia, pernah muncul perdebatan. Hal ini bermula dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwa Nabi Muhammad bersabda sultan adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.21 Pengertian sultan adalah raja atau penguasa, atau pemerintah. Pemahaman yang lazim, kata sultan tersebut diartikan hakim, namun dalam pelaksanaanya, kepala Kantor urusan Agama (KUA) kecamatan atau Pegawai Pencatat Nikah, yang bertindak sebagai wali hakim dalam pelaksanaan akad nikah bagi mereka yang tidak mempunyai wali atau, walinya adlal. Asal masalah yang utama seperti termaktub dalam pasal 1 Huruf b KHI, adalah persoalan tauliyah al- amri. Apakah cukup legitimasi yang di pegang oleh penguasa di Indonesia, dalam pendelegasian wewenang tersebut, sehingga dengan adanya kewenangan yang dimaksud, berarti sultan sebagai wali hakim pelaksanaanya sesuai hakikat hukum.22
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 87 Zainudin Ali, OP cit hlm 19
21
22
Ibid, hlm 19
26
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang yang di angkat oleh pemerintah (Menteri Agama)23 untuk bertindak sebagai sebagai wali dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita dalam kondisi: 1.
Tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
2.
Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya). atau
3.
Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4.
Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalan yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5 km) 24 atau
5.
Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai
6.
Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk menikahkanya
7.
Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh atau.25 Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Tetapi di kecualikan bila, wali nasabnya telah mewakilakan kepada orang lain untuk
23
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, orang yang di tunjuk menjadi wali hakim adalah kepala Kanor Uruasan Agama Kecamatan. 24 Di zaman modern ini walaupun jarak musafaqotul qasri telah di penuhi, namun untuk akad nikahnya wali perlu di beri tahu terlebih dahulu. 25 Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003, hlm 34
27
bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut.26 Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, masalah perwalian diterangkan dalam BAB IX Tentang akad nikah pasal 18, untuk lebih jelasnya akan dikutip sebagai berikut:
Pasal 18 (1) “Akad nikah dilakukan oleh wali wali nasab.” (2) “Syarat wali nasab adalah:” a. b. c. d.
Laki-laki Beragama Islam Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun Berakal
e. Merdeka dan f. Dapat berlaku adil. (3) “Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu, pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.” (4) “Kepala KUA Kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.” (5) “Adhalnya wali sebagaimana di maksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan Pengadilan.”27
26
Ibid hlm 35 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama RI Tahun 2007 hlm 8 27
28
Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim, adalah hadis dari Aisyah ra:
أيما امرأة وكحت بغير اذن وليها فىكحها با طل فان دخل بها فلها المهر بما استحل مه ) (رواي اآل ربعة و احمد
فرجها فان ستجروا فا لسلطا ن ولي مه آل و لي لها
Artinya: Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal.maka dia menerima mahar sekedar untuk menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan atau menolakmenikahkanya, maka sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali. ( Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i) c. Wali Muhakam Yang dimaksud wali muhakam ialah wali yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Kondisi ini terjadi apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan oleh wali hakim, padahal di sini wali hakimnya tidak ada maka pernikahanya dilaksanakan oleh wali muhakam. Ini artinya bahwa kebolehan wali muhakam tersebut harus terlebih dahulu di penuhi salah satu syarat bolehnya menikah dengan wali hakim kemudian di tambah dengan tidak adanya wali hakim yang semestinya melangsungkan akad pernikahan di wilayah terjadinya peristiwa nikah tersebut.29 Adapun caranya adalah kedua calon suami itu mengangkat seorang yang mengerti tentang agama untuk menjadi wali dalam pernikahanya. 28
Al-Sa‟any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo : Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby, 1379H/1960M, hlm. 117-118 29
Dedy Junaidi Op cit hlm 114
29
Apabila direnungkan secara seksama, maka masalah wali muhakam ini merupakan hikmah yang di berikan Allah SWT kepada hamba-Nya, di mana Dia tidak menghendaki kesulitan dan kemudaratan B. Asal Usul Anak Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang di yakini dalam fiqih sunni. Karena para
ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li‟an hanya
mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya, penentuan nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan merupakan sesuatu yang banyak memberikan dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak. Seorang anak harus mengetahui tentang keturunanya, sebab asal usul yang menyangkut keturunan dan sangat penting untuk menempuh kehidupan dalam masyarakat.30 Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Ulama fiqih mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi berdasarkan kesatuan darah.31
30
Andi Syamsu Alam-M. Fauzan, Hukum pengankatan anak perspektif islam, Jakarta: Pena Media, 2008, hlm 175. 31
Ibid hlm 175
30
Di Indonesia, masalah asal usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda-beda. Hal ini dapat di mengerti, karena pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan, maka ketentuan hukum yang berlaku pun bervariasi. Hingga buku ini di tulis, setidaknya ada dua hukum yang berlaku, yaitu hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW (burgelijk Wetbook). Dan hukum islam termuat Kitab-Kitab fiqih dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Masing-masing hukum tersebut, selain mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan.32 1. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Fiqih Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus manjadi ayahnya, namun hukum islam memberikan ketentuan lain untuk permasalahan ini.33 Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, dan biasanya disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya
32
Ahmad, Rofiq, OP cit, hlm 220 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Tarigan Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006 hlm 276 33
31
memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal-usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.34 Dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi, selama dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padannya serta berhak untuk memakai nama belakang untuk menunjukan keturunan dan asal usulnya.35 Adapun fiqih islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak sah. Walaupun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat- ayat Al-Qur‟an dan Hadis, dapat diberikan batasan. Anak sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.36 Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia kehamilan adalah 6 bulan, di hitung dari saat akad nikah dilangsungkan.
Ketentuan ini di ambil dari firman Allah: Surat Al -Ahqaf ayat 15.
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan 34
Ibid hlm 276 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm 78-79 36 Aminudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Op cit hlm277 35
32
(Qs. Al-ahqaf, 46:15)37 Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat-lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun ) (QS. Luqman, 31:14 )38 Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti oleh para ulama, di tafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan waktu 2 tahun atau 24 bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan. Dalam tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini dijadikan dalil oleh Ali bin Abi Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat tersebut di setujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.39 Dari pernyataan tersebut di atas Munculah beberapa pendapat hukum Ulama:
37
Al-Qur‟an dan terjemahannya, Op. Cit,. hlm. 726. Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412 39 Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi, Shahih Tafsir Ibun Katsir, Bogor : Pustaka Ibnu Kasir, 2006, hlm. 317-318 38
33
1. Apabila seorang Wanita dan Laki-laki kawin, lalu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum 6 bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya. Syaikh Al-mufid dan Syaikh Al-Thusi dari madzhab Imaniyah, dan Syaikh Muhyidin Abd AlHamid dari Hanafi mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada suami (wanita tersebut). Kalau dia mau, dia bisa menolaknya, dan bisa pula mengakuinya sebaagai anaknya dan mengaitkan nasabnya dengan dirinya. 2. Kalau kedua suami istri bersengketa tentang lamanya waktu bergaul mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada suaminya), “Engkau telah bergaul denganku sejak 6 bulan atau lebih, karena itu anak ini adalah anak mu,” lalu suaminya menjawab, “Tidak, akau baru menggaulimu kurang dari 6 bulan, karena itu anak ini bukan anakku.”40 Menurut Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang diberlakukan adalah ucapanya tanpa harus disumpah lebih dulu. Menurut Imamiyah: Kalau ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang mendukung ucapan isteri atau suami Maka yang diberlakukan adalah pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi apabila tidak ada petunjuk- petunjuk yang ditemukan sehingga persoalannya menjadi tidak jelas, maka hakim memenangkan ucapan si isteri sesudah disumpah dulu
40
101
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Basrie Press, 199, hlm 100-
34
bahwa suaminya telah mencampurinya sejak 6 bulan yang lalu, lalu anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah suaminya itu.41 Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama: Abu Hanifah berpendapat: Batas maksimal kehamilan adalah 2 tahun, berdasar hadis A‟isyah yang menayatakan bahwa, kehamilan seorang wanita tidak melebihi 2 tahun. Imam Malik, Syafi‟i dan Hambali: Masa kehamilan maksimal seorang wanita adalah empat tahun. Para Ulama Madzhab ini menyandarkan pendapatnya pada riwayat bahwa isteri „Ajlan hamil selama empat tahun. Anehnya isteri anaknya, Muhammad, juga hamil selama empat tahun. Bahkan semua wanita suku „Ajlan hamil selama empat tahun pula.42 „Ibad bin „Awan mengatakan: batas maksimal kehamilan adalah lima tahun, sedangkan Al-zuhri mengatakan tujuh tahun, dan Abu Ubaid menyatakan bahwa, kehamilan itu tidak mempunyai batas maksimal. Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda pendapat tentang batas maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa, batas maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan sepuluh bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Tetapi mereka seluruhnya sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh lebih dari satu jam dari satu tahun. 41
Ibid hlm 102 Abdurahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th, hlm 523 42
35
Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan fiqih dengan berpedoman pada Al-qur‟an, maka tidak bisa di
menurut
hubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Jika di analisis pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah ini dapadptlah di pahami bahwa anak sah di mulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini harus lah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sininlah penetapan anak sah tersebut dilakukan.43 Dengan dimikian hukum islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang „iddah‟ selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.44 Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya dengan bapaknya walaupun lahir dari perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.45
43
Mustafa Rahman, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003
44
Ibid hlm 47 Aminudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Op cit . hlm 280
hlm 45 45
36
2.
Asal Usul Anak Menurut Perspektif Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya akan dikutip di bawah ini: Pasal 42: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Pasal 43: 1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.” 2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.” Pasal 44: 1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.” 2. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan yang bersangkutan.” 46 Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi
hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian. Jadi Selama bayi yang di kandung tadi lahir pada ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak
46
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19.
37
tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. 3. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam kompilasi hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. pasal 99 : Anak yang sah adalah a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Pasal 100: a.
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Dalam kompilasi Hukum Islam, anak sah yang dimaksud dalam pasal
99 (a) adalah. Anak sah dari kedua orang tuanya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 53 dalam BAB VIII tentang Kawin Hamil, selengkapnya akan dikutip dibawah ini: Pasal 53: 1. “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang yang menghamilinya.” 2. “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut ppada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.” 3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.” Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari
38
pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil, maka anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya. Pasal 101: “Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li‟an.”47 Pasal 102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang di lahirkan istrinya. (1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.” (2) “Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat di terima.”48 Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas mininmal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. C. Kawin Hamil Yang dimaksud dengan “kawih hamil” disini ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil diluar nikah baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menhamilinya. 47
Departemaen Agama RI, Op cit. hlm 38. Ibid hlm 39
48
39
Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut49: 1. Para ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i berpendapat bahawa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia mengawininya. 2. Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berziana.50 Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para Ulama: 1. Abu Yusuf, mengharamkan yakni tidak membolehkan mengawini wanita hamil akibata zina, karena hamil akibat zina mencegah persetujuan, maka mencegah akadnya juga, seperti pencegahan terhadap nasab51, dan bila dikawinkan perkawinanya batal. 2. Ibnu Qudamah sependapat dengan dengan Imam abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang dikrtahui berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan 2 syarat: a. Wanita tersebut telah melhirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin. 49
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Hadistah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
Hlm 96-99 50
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm 124-125 51 Dr Wahbah Zhuaili, Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, Juz IX, Dar Al Fikr, 1997 halm 2649
40
b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk) terlebih dahulu, apakah ia hamil/ tidak. 3. Imam
Muhammad
bin
Al-Hasan
Al-Syaibani
mengatakan
bahwa
perkawinanya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.52 Pendapat ini berdasarkan hadist:
التؤطا حا مال حتئ تصع Artinya: Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandunganya) 4. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i berbendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa „iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperrma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keteurunan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah). Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
52
Abdul Rahman Ghozali, Op cit hlm 127
41
1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandunganya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi itu adalah anak suaminya yang sah. 2. Bayi itu termasuk anak zina, Karena anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.53
53
Ibid hlm128
42
BAB III Pelaksaanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang Lahir Kurang Dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan A. Gambaran Umum Kecamatan Ngaliyan 1. Letak Geografis Kecamatan Ngaliyan bagian dari 16 Kecamatan yang berada di wilayah Kota Semarang bagian Barat dari Kota Semarang dengan batasbatas : Sebelah Utara
:
Kecamatan Tugu
Sebelah Timur :
Kecamatan Semarang Barat
Sebelah Selatan :
Kecamatan Mijen
Sebelah Barat
Kabupaten Kendal
:
Luas wilayah Kecamatan Gayamsari 4.140 Ha terdiri dari : Tanah sawah Tanah kering Tanah basah Tanah keperluan fasilitas umum KUA Ngaliyan terletak di Jl. Prof Hamka Jalur Jl. Raya Ngaliyan – Boja Semarang, Telp. 024 7610109 Pembagian wilayah administrasi Kecamatan Ngaliyan terdiri dari 10 Kelurahan, antara lain : 1.
Kelurahan Gondoriyo
2.
Kelurahan Podorejo
43
3.
Kelurahan Beringin
4.
Kelurahan Purwoyoso
5.
Kelurahan Kalipancur
6.
Kelurahan Bambankerep
7.
Kelurahan Ngaliyan
8.
Kelurahan Tambakaji
9.
Kelurahan Wonosari
10.
Kelurahan Wates
2. Keadaan Demografi Penduduk Kecamatan Ngaliyan termasuk heterogin atau majemuk, kemajemukan tersebut dapat dilihat dari data statistic kependudukan pada akhir tahun 2008, jumlah penduduk Kecamatan Ngaliyan berjumlah 109.108 jiwa, dengan rincian pemeluk agama sebagai berikut : Islam
=
97.083 jiwa
Katholik
=
5.192 jiwa
Protestan
=
4.726 jiwa
Hindu
=
938 jiwa
Budha
=
1.096 jiwa
Lain-lain
=
jiwa
3. Mata Pencaharian Sesuai dengan kondisi yang ada di Kecamatan Ngaliyan, yang terdiri dari tanah kering, persawahan, maka berpengaruh pula pada mata
44
pencaharian penduduk. Mayoritas penduduk bekerja sebagai Petani, Nelayan, Swasta, Pedagang, PNS, TNI/Polri.1 B. Sejarah Singkat Berdirinya KUA Kecamatan Ngaliyan Pada umumnya berdirinya sebuah Kantor Urusan Agama tidak terlepas dari perjalanan sejarah suatu bangsa dan Negara Indonesia. Disebabkan karena adanya penjajahan asing di Indonesia, sehingga mempengaruhi system kehidupan masyarakat pada waktu itu. Termasuk disini adalah struktur dan system pemerintahan serta kelembagaannya pada waktu itu. Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang agmis dengan mayoritas beragama Islam. Sejak dahulu kala syariat Agama Islam telah berlaku di masyarakat, walaupun kala itu hidup dalam penjajahan2. Politik hukum pada zaman Kolonial Belanda, termasuk dalam hukum perkawinan, talak cerai dan rujuk, diterapkan system hukum yaitu Huwelijksordonantie, Statblad 1929 Nomor 348 Yo. S 1931 Nomor 467 Vorstenlandsche
Huwelijksordonantie
S,
1933
Nomor
98
dan
Huwelijksordonantie Buitwengesten S. 1932 Nomor 482 adalah merupakan politik hukum yang tidak memenuhi sarat keadilan social bangsa Indonesia yang mayoritas Islam. Sehingga lahirlah Undang-Undang nomor 22 tahun 1946 memutuskan mencabut : 1
Data Monografi KUA Kec. Ngalian Profil KUA Kec. Ngalian, Di susun oleh Kepala KUA Kec Ngalian dalam rangka lomba KUA percontohan tahun 2009 , hlm 7 2
45
a. Huwelijksordonantie S. 129 nomor 343 Yo.S. 1931 nomor 467. b. Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S 1933 nomor 98. c. Undang-Undang nomor 22 tahun 1946, ditetapkan sebagai UndangUndang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Berawal dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 itulah mulai ada unifikasi bidang hukum pencatatan perkawinan, talak dan rujuk yang lebih berkeadilan sosial khususnya untuk pulau Jawa dan Madura. Kemudian pada tahun 1954 terbitlah Undang-Undang nomor 32 tahun 1954 yaitu undangundang penetapan berlakuknya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 untuk seluruh luar Jawa dan Madura. Sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1946 adalah merupakan masa transisi, karena pada waktu itu pergolakan melawan Belanda masih terus berlangsung, termasuk di wilayah Kecamatan Ngaliyan. KUA Kecamatan Ngaliyan resmi berdiri setelah adanya pemekaran wilayah kota Semarang( dahulu Kodya Semarang ) dari 11 Kecamatan menjadi 16 Kecamatan sejak tanggal 22 Agustus 1994 berdasarkan KMA No.133 Tahun 1994 tertanggal 22 Mei 1994 dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kota Semarang dengan Surat Nomor : MK.01 / 1-h / KP.07.6 / 5420 / 1994 tertanggal 8 Agustus 1994. Sedangkan tanah yang digunakan untuk Balai Nikah Kecamatan Ngaliyan adalah Bekas Bengkok kelurahan Ngaliyan Kepetengan IV C.No.7 persil S.I Kec. Tugu dengan luas kurang lebih 588 M2,
46
C. Letak KUA, dan Sarana Prasarana Keagamaan. Sebagai tempat kegiatan perkantoran, KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang merupakan pusat perencanaan dan pengendalian kegiatan keagamaan di suatu wilayah. Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang terletak di Jl. Prof Hamka Jalur Jl. Raya Ngaliyan Boja Kota Semarang Telp (024) 7610109.
Keberadaannya mudah dijangkau juga
terpadu dengan perkantoran lain sehingga sangat mudah dalam menjalin koordinasi sesama instansi juga terpadu dalam pelayanan diantaranya dengan BKK, Polsek, Kecamatan, Puskesmas, kantor Pos.3 Kegiatan I
1.
Menyelenggarakan
Administrasi
dokumentasi
administrasi
2. Menyelenggarakan surat-menyurat 3. Pengurusan Surat 4. Kearsipan 5. Pengetikan 6. Rumah tangga KUA Kegiatan II
1. Pendaftaran Kehendak Nikah
Pencatatan Nikah & Rujuk
2. Pemeriksaan data calon pengantin 3. Pendaftaran kehendak rujuk 4. Pemeriksaan data administrasi rujuk
Kegiatan III
1. Pengumuman Kehendak Nikah
Pelayanan Peristiwa Nikah 2. Pelaksanaan suscatin
3
Ibid hlm 10
dan
47
& Rujuk
3. Pelayanan pelaksanaan pernikahan 4. Pelaporan peristiwa nikah dan rujuk
Kegiatan IV
1.
Penasehatan Pernikahan
penasehatan 2.
Pelaksanaan
identifikasi
Pelaksanaan
bahan-bahan
penyusunan
bahan
penasehatan 3. Pelaksanaan penasehatan 4. Evaluasi dan laporan Kegiatan V Pembinaan sakinah
1. Identifikasi keluarga sakinah Kelurga 2. Penetapan tingkat keluarga sakinah 3.
Melakukan
pembinaan
keluarga
pra
sakinah. Kegiatan VI
1. Pelaksanaan fatwa hokum munakahat
Pengembangan
2. Pelaksanaan bidang muamalat
Kepenghuluan Kegiatan VII
1. Pembinaan takmir masjid
Pembinaan IBSOS, Zakat 2. Sosialisasi dan pembinaan zakat dan Wakaf
3. Inventarisasi lokasi/obyek wakaf 4. Penerbitan AIW / APAIW 5. Mengusulkan penyertifikatan tanah wakaf ke BPN 6. Penggalangan Infaq dan Shodaqoh
48
Untuk mendukung kegiatan keagamaan di kecamatan Ngaliyan, maka sarana dan prasarana yang ada adalah sebagai berikut : a. Masjid
: 73 masjid
b. Langgar/Musholla
: 156 langgar/musholla
c. Gereja
: 10 gereja
d. Pura
:0
e. Vihara
:0
f. Klenteng
:0
g. TPQ / TKQ
: 18 tempat
h. Pondok Pesantren
: 7 tempat
i. Madrasah Diniyah
: 3 tempat
j. RA / BA
: 6 tempat
k Madrasah Ibtidaiyah
: 6 tempat
l. MTs
: 3 tempat
m Madrasah Aliyah
: 1 tempat
n. Panti Asuhan
: 2 tempat
Peristiwa NTCR yang telah dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang tahun 2008.
49
D. Struktur Organisasi KUA Kec. Ngaliyan
STRUKTUR ORGANISASI KUA KECAMATAN NGALIYAN4
Drs. H. Fadlan yazidi Kepala PPN Hj. La`amah Pelaksana TU
M. Rodli, SHi
Drs. Sugiri
Khozanag, Sag
Hj. Ruhayati, BA
Pelaksana N /R BIN WIN
Pelaksana JIDZAWAIB OS
Pelaksana pengadm. keuangan
Peng Adm.
TC
NR-
Safriyati, BA Peng adm. umum
M. Imron penyuluh agama islam
Pembantu penghulu KUA Kec. Ngaliyan
Parmin
M. yasin
Sayful anwar, Sag
H. hawari
Fathurrohman
Kel. Gondorio
Kel. podorejo
Kel. Tambak aji
Kel. purwoyoso
Kel. Kali pancur
Ahmad munaji
Suparno
Abdul Kodir
Ahmad izzudin
M. lahuri
Kel. Bringin
Kel. Bambang kerep
Ngaliyan
Kel. wonosari
Kel. Wates
4
Data Monografi KUA Kec. Ngaliyan
50
E. Tugas dan Fungsi Pokok Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari system Departemen Agama, sedangkan Departemen Agama mempunyai tugas pokok yaitu : menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang agama. Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari unsure pelaksana sebagaian tugas pokok Departemen Agama, yang berhubungan langsung dengan masyarakat dalam suatu wilayah kecamatan. Sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun 2001 bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dibidang Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan. Dalam reformasi dewasa ini, muncul paradigma-paradigma baru yanag arahnya membawa perubahan-perubahan pada pelayanan public, atau yang lebih dikenal dengan istilah pelayanan prima. Perbaikan dan penyempurnaan pelayanan pada Departemen Agama telah disikapi dan di tindaklanjuti oleh Menteri Agama antara lain : a. Intruksi Menteri Agama nomor 01 tahun 2000, tentang pelaksanaan Keputusan Menteri Agama nomor 168 tahun 2000 tentang pedoman perbaikan pelayanan masyarakat di lingkungan Departemen Agama. b. Keputusan Menteri Agama nomor 373 tahun 2001, tentang penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan.
51
c. Keputusan Menteri Agama nomor 517 tahun 2001 yang menegaskan bahwa Kantor Urusan Agama bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota di bidang urusan agama Islam di wilayah kecamatan. Dalam
penjabarannya
Kantor
Urusan
Agama
berkewajiban
menjalankan fungsinya sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan statistikdan kegiatan perkantoran. 2. Menyelenggarakan
surat-menyurat,
pengurusan
surat,
kearsipan,
pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan5. 3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah social, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan
Direktur
Jendral
Bimbingan
Masyarakat
Islam
dan
Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Tugas Kepala KUA. a. Kepala KUA Sebagai Pejabat Tugas pokok dari seorang Kepala KUA adalah sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 yaitu ; melaksanakan sebagaian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama Islam.
5
Ibid hlm `11
52
Penjabaran dari Keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun 2001 tersebut, maka seorang Kepala KUA berkewajiban menjalankan fungsi sebagai tugas interen antara lain : a. Menyelenggarakan statistic dan dokumentasi. b. Menyelenggarakan surat-menyurat, pengurusan surat, kearsipan, penegtikan, dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan. c.
Melaksanakan
pencatatan
nikah
dan
rujuk,
mengurus
dan
membinamasjid, zakat, wakaf, ibadah social, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari tugas menjalankan fungsi tersebut, maka dapat diambil satu kejelasan bahwa Kepala KUA Sebagai Pejabat adalah bertanggungjawab terhadap semua pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dengan pembagian tugas kepada pelaksana-pelaksana yang ada di KUA. 2.
Kepala KUA Sebagai Pemuka Agama. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selain menjalankan fungsinya dalam kegiatan intern perkantoran, maka Kepala KUA juga sebagai Pemuka Agama. Sebagai Pemuka Agama maka seorang Kepala KUA senantiasa : a. Kapan saja dan dimana saja selalu berusaha dan berdakwah kepada umat untuk beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
53
b. Selalu menjunjung tinggi norma agama dan norma hokum baik di tempat kerja, di lingkungan rumah tangga, dan di tengah-tengah masyarakat6. c. Senantiasa berupaya menjadi seorang pemimpin yang dapat dijadikan tokoh panutan yang memiliki akhlaqul karimah. d. Memiliki rasa kepekaan yang tinggi terhadap perubahan dan dinamika masyarakat. e. Selalu berupaya terciptanya Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama. 3.
Kepala KUA Sebagai Tokoh Masyarakat. Sebagai tokoh masyarakat, seorang Kepala KUA memfungsikan diri sebagai stabilisator, bila ditengah-tengah masyarakat terjadi keadaan yang instabilitas yang dapat mengganggu ketentraman di masyarakat. Seorang Kepala KUA juga memfungsikan dirinya sebagai dinamisator di tengah-tengah masyarakat agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu upaya-upaya harus dilakukan oleh Kepala KUA sebagai Tokok Masyarakat antara lain : a. Aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti pengurus RT, pengurus Kelompok Tani, Panitia Pembangunan di desa dan lain sebagainya. b. Aktif dalam kegiatan perekonomian masyarakat seperti pengurus koperasi, kegiatan social budaya seperti pengurus kesenian dan lainlainnya.
6
Ibid hlm 12
54
4.
Kepala KUA Sebagai Abdi Masyarakat. Sebagai abdi masyarakat selain mempunyai doktrin Panca Prasetya Korpri dan kode etik profesi, maka Kepala KUA sebagai abdi masyarakat selalu berupaya :
a.
Memberikan bimbingan dan pelayanan kepada umat, agar dapat
melaksanakan ajaran agamanya, sehingga mampu mengaktualisasikannilainilai agama dalam kehidupan sehari-hari. b. Meningkatkan citra Kepala KUA, baik sebagai pejabat dan tokoh agama yang mumpuni dan dapat dijadikan teladan bagi masyarakat. c.Memberikan bimbingankepada umat supaya dapat berpikir dan bersikap secara kritis dan rasional, agar tidak terjebak dalam fanatisme sempit dan sectarian, yaitu jangan sampai mementingkan kelompok dan golongan sendiri. d. Meningkatkan profesionalisme dalam bekerja, menumbuhkan sikap proaktif, inovatif para pegawai untuk meningkatkan citra KUA. F. Kegiatan KUA Kecamatan Ngalian 1. Ketatausahaan, Penyelenggaraan Surat-Menyurat, Penyelenggaraan Administrasi NTCR dan Pelaporannya. a. Ketatausahaan Bidang ketatausahaan merupakan kegiatan sehari-hari yang meliputi penyelengaraan tata persuratan yaitu : 1.
Menerima, mengolah, menindaklanjuti surat masuk baik dari atasan
atau dinas niveu.
55
2.
Mengagendakan dan mengarsip surat masuk dan surat keluar.
3.
Menghimpun peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tugas KUA Kecamatan. b. Penyelenggaraan Administrasi. Penyelenggaraan kegiatan administrasi KUA dapat dibagi menjadi tiga bagian : 1. Administrasi NTCR Dalam administrasi NTCR meliputi pencatatan peristiwa nikah, talak, cerai dan rujuk sebagaimana diatur dalam PMA Nomor 02 tahun 1990. 2. Administrasi Keuangan NR, DIPA, DIPA NR ( PNBP ) Dalam
administrasi
ini
meliputi
;
menerima,
menyalurkan,
pembukuan, pelaporan atau pertanggungjawaban. 3. Administrasi Zawaibsos. Penyelenggaraan administrasi Zawaibsos merupakan kegiatan penting, karena sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan bidang agama khususnya adalah dari segi pengamalannya. 4. Kepegawaian, Kekuatan Karyawan, Daftar Urut Kepangkatan dan File Kepegawaian. Pegawai merupakan perangkat kantor yang sangat vital, karena merupakan dari salah satu unsure pelaksana dalam kegiatan perkantoran.
56
Dalam kegiatan perkantoran sehari-hari Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang mempunyai 8 pegawai 7 5. Administrasi Perkantoran. Administrasi perkantoran pada Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah merupakan suatu rangkaian kegiatan dengan tujuan untuk mencapai tertip adminstrasi. Dengan tertibnya administrasi di KUA maka akan menjamin terciptanya kepastian hokum dalam peristiwa NTCR dan administrasi penunjang, baik di masa sekarang atapun dimasa yang akan dating. Oleh karena itu kegiatan administrasi perkantoran pada KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang yang dilakukan antara lain : 1. Administrasi yang menjadi tanggungjawab langsung sebagai PPN, yaitu ; Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 44 ayat 1 PMA Nomor 02 tahun 1990 Yo. KMA Nomor 298 tahun 2003 Bab II pasal 2. PPN bertanggungjawab atas penyelenggaraan daftar pemeriksaan nikah, akta nikah, kutipan akta nikah, buku pendaftaran cerai talak, buku pendaftaran cerai
gugat,
daftar
penyelenggaraan
pemeriksaan
pengumuman
rujuk, kehendak
buku
pencatatan
nikah
(model
rujuk, NC),
pemberitahuan nikah (model ND), pemberitahuan poligami (model NE), pemberitahuan rujuk (model RC) kepada Pengadilan Agama dan buku catatan kehendak rujuk. 2. Administarsi yang menjadi tanggungjawab langsung sebagai PPAIW, yaitu :
7
Ibid hlm 13
57
Sebagaimana ditegaskan dalam lampiran II Keputusan Direktur jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor 15 tahun 1990 tertanggal 09 April 1990 antara lain ; a. Meneliti kehendak wakif b. Meneliti dan mengesahkan susunan nadzir c. Meneliti saksi ikrar wakaf d. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf dan ikut menandatangani bentuk W.1 e. Membuat Akta Ikrar Wakaf ( W.2 ) f. Mengarsip Ikrar Wakaf (W.1), Akta Ikrar Wakaf (W.2), Susunan Nadzir (W.5/W.5a) g. Mengajukan permohonan ke BPN untuk mendaftarkan perwakafan tanah milik. 6. Kegiatan Kepenghuluan Kegiatan kepenghuluan di Kantor Urusan Agama merupakan salah satu kegiatan pokok dalam kesehariannya, karena kegiatan ini terkait dengan hokum munakahat juga hokum yang lain, juga terkait dengan pelayanan public. Khususnya
yang terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 01 tahun 1974, yang dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 09 tahun 1975, Peraturan Menteri Agama Nomor 02 tahun 1990 diperkuat dengan Kompilasai Hukum Islam dan Edaran-edaran serta Juknis. Maka kegiatan kepenghuluan di KUA
58
Kecamatan
Ngaliyan
khusunya
bidang
pernikahan,
senantiasa
menjabarkan asas yang ada pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 01 tahun 1974, yaitu : 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagian dan kekal 2. Sahnya perkawinan bilamana dilaksanakan menurut hokum masingmasing agamanya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 3. Menganut asas monogami 4. Mempersulit Perceraian 5. Hak dan kedudukan suami-istri seimbang Mengacu pada asas tersebut maka kegiatan kepenghuluan dilaksanakan secra cermat, agar tujuan perkawinan dapat tecapai. Oleh karena itu dalam pelayanan kepada masyarakat selalau mengedepankan : a. Tujuan perkawinan dan fungsi sebuah keluarga b. Kepastian hokum dengan meminimalkan terjadinya nikah liar atau di bawah tangan c. Selalu mengedepankan koordinasi dengan pihak terkait dalam pelayanan NTCR 7. Bimbingan Perkawinan Untuk menegakkan dan meningkatkan fungsi keluarga, yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, maka kegiatan bimbingan perkawinan merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu proses panjang suatu perkawinan.
59
Oleh karena itu KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dalam kegiatan bimbingan perkawinan melalui beberapa metode : a. Bekerja sama dengan para medis, bidan desa dalam hal reproduksi sehata kepada calon mempelai. b. Menyelenggarakan penasehatan kepada calon mempelai pada masa tenggang waktu 10 hari sebelum pelaksanaan nikah. c. Bekerja sma dengan kegiatan kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan tentang gerakan keluarga sakinah serta bimbingan perkawinan dan keluarga. 6.
Kegiatan Kemasjidan Masjid tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan atau tempat ibadah rutin saja, akan tetapi diharapkan mempunyai fungsi sebagai pusat pembinaan umat dalam berbagai kegiatan. Hal ini telah di contohkan pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan telah berusaha agar kemakmuran masjid di wilayah Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dalam rangka pembinaan kemasjidan telah melakukan kegiatan-kegiatan antara lain :
e. Menertibkan organisasi kemasjidan dan administrasi kemasjidan. f.
Menertibkan status tanah untuk diproses sebagai tanah wakaf dan bersertifpikat dari BPN
60
g. Mengupayakan masjid yang paripurna, yaitu masjid yang rapi, indah dan bersih, yang kegiatannya mencerminkan keterpaduan dakwah islamiyah, pendidikan keislaman, dan lai-lain. h. Menyiapkan kader generasi muda dalam wadah remaja masjid. i.
Mempersiapkan salah satu masjid untuk mengikuti lomba kemasjidan.
7. Kegiatan Zakat, Infaq/Shodaqoh. Pelaksanaan kegiatan zakat, infaq/shodaqoh sebagaimana yang diharapkan oleh Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 adalah merupakan kegiatan yang mencerminkan kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ibadah, khususnya bidang zakat dan infaq/shodaqoh. Oleh karena itu agar kegiatan zakat, infaq/shodaqoh dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang telah menjalin kerjasama dengan lini sector terkait, antara lain : Bekerjasama
dengan
muspika,
LSM
dalam
rangka
mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 kepada masyarakat di wilayah Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. A.
Membentuk pengurus BAZ tingkat kecamatan.
B.
Melalui pengajian dan khutbah jum’at sebagai upaya gerakan sadar zakat dan infaq/shodaqoh.
C.
Memantau, mengevaluasi dan mencatat perkembangan perolehan kegiatan zakat dan infaq/shodaqoh beserta pendistribusiannya.
61
8. Kegiatan Perwakafan. Kegiatan perwakafan khususnya perwakafan tanah milik, senantiasa di tingkatkan pelayanan dan pengelolaannya. Karena wakaf merupakan asset umat Islam demi kemakmuran dan kemajuan umat Islam. Dalam kegiatan perwakafan, KUA Kecamatan Ngaliyan Kota semarang telah melakukan kegiatan-kegiatan antara lain : 1. Untuk menjamin kepastian hokum dalam perwakafan tanah milik, maka telah diadakan penataan dan penertiban administrasi perwakafan. 2. Mengadakan
sosialisasi
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977tentang perwakafan tanah milik kepada masyarakat. 3. Ikut serta membantu dalam penyelesaian pensertipikatan tanah wakaf di kantor BPN. 4. Berusaha mengoptimalkan pengelolaan wakaf tanah produktif untuk dikelola secara prof sesional agar lebih bermanfaat bagi umat Islam. 9.
Kegiatan Semi Resmi Di samping Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang mempunyai tugas pokok dengan melaksanakan fungsifungsinya, maka sebagai kegiatan penunjang adalah melaksanakan tugas semi resmi. Kegiatan semi resmi yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang antara lain :
A. Kegiatan BKM ( Badan Kesejahteraan masjid )
62
Kepala KUA sebagai Ketua BKM melakukan kegiatan-kegiatan antara lain: 1. Memfungsikan masjid sebagai tempat pembinaan umat 2.
Ikut serta dalam usaha menciptakan masjid yang sehat dengan cara menjalin kerja sama dengan lintas sektoral.
3. Berupaya terciptanya masjid yang paripurna. 4. . Tertibnya organisasi dan administrasi kemasjidan B. Kegiatan P2A ( Badan Pembina Pengamalan Agama ) Pembinaan bidang pengamalan agama merupakan perwujudan dari kualitas dan kesadaran umat dalam menjalankan ajaran agamanya. Penekanan dari pembinaan P2A adalah penagamalan. Di samping umat memahami teori-teori dalam agama. Dalam pelaksanaan kegiatan P2A, maka KUA Kecamatan Ngaliyan menjalin kerjasma dengan lembaga-lembaga dakwah atau kemitraan umat untuk menyamakan visi dan misi dalam berdakwah. KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dalam kegiatan P2A mengadakan langkah-langkah antara lain : 1. Melakukan koordinatif, konsolidasi dengan lembaga-lembaga dakwah yang ada di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. 2. Membentuk forum komunikasi lembaga dakwah 3. Menghimpun dana melalui iuran sukarela untuk anak yatim 4. Adanya rintisan tabungan penyembelihan hewan Qurban.
63
C. Kegiatan BP-4 ( Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan ) Sebagai lembaga semi resmi yang diharapkan mampu berperan serta dalam pembangunankeluarga, maka KUA Kecamatan Ngaliyan Kota semarang berperan aktif antara lain ; 1.
Selalu membuka kesempatan kepada masyarakat luas dalam hal
penasehatan. 2.
Meningkatkan
profesionalisme
korp
penasehatan
dalam
mengidentifikasikan permasalahn klien dan pemecahannya. 3.
Menyelenggarakan penasehatan kepada calon pengantin
4. Konsolidasi ke dalam dan pembenahan administrasi. D. Kegiatan LPTQ ( Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an ) Sebagai lembaga pengembangan tilawatil Qur’an, LPTQ Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang telah berupaya dengan memanfaatkan lembaga ini. Hal ini dikandung maksud agar peran serta LPTQ semakin nyata dalam kiprahnya mengembangan tilawatil Qur’an. Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh LPTQ Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang antara lain : 1. Membentuk Badko TPQ tingkat Kecamatan 2.
Mengirimkan ustadz/ustadzah untuk mengikuti pembinaan di Kandepag Kota Semarang
3.
Menyelenggarkan
MTQ
tingkat
Kecamatan
dalam
mempersiapkan kafilah untuk mengkuti lomba di tingkat Kota.
rangka
64
4
Memperoleh juara Umum dalam pelaksanaan MTQ tingkat Kota Semarang tahun 2007
E. Kegiatan PHBI ( Peringatan Hari Besar Islam ) Untuk memanfaatkan momentum yang sangat penting dan strategis, maka melalui PHBI, dakwah dan syiar agama sangat diperlukan. Oleh karena itu KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang menjalin kerja sama dengan PHBI tingkat kecamatan dan BAZ Kecamatan Ngaliyan. Waktu pelaksanaan kegiatannya adalah setiap adanya peringatan-peringatan hari besar Islam selalu menyelenggarakan peringatan yang pelaksanaannya dibentuk kepanitiaan yang di organisir oleh PHBI tingkat kecamatan antara lain : 1.
Penyelenggaraan Tahun Baru Islam dengan gerakan menyantuni
yatim piatu 2.
Penyelenggaraan halal bi halal tingkat kecamatan
3.
Menyelenggarakan lomba kreatifitas bagi remaja dan anak-anak,
antara lain ; lomba pidato, MTQ, Hafalan, Melukis dan lain-lain. 4. penyelenggaraan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW. F. Haji 1. Sebagai pusat informasi Haji Kecamatan Ngaliyan 2. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji 3. Memfasilitasi terbentuknya pengurus IPHI ( Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia ) Kecamatan Ngaliyan.
65
10. Kegiatan Lintas sektoral Dalam kapasitasnya selaku Kepala KUA dalam menjalankan fungsi pembangunan, maka kegiatan lintas sektoral bisa dipastikan ikut berperan aktif dalam membangun masyarakat di segala bidang. Pembangunan yang dilaksanakan berupa pembangunan fisik dan mental, yang terangkum dalam pembangunan idiologi, social, politik, ekonomi, budaya, agama, kesehatan, pertahanan dan keamanan, semuanya tak dapat dibangun hanya satu instansi saja, tetapi memerlukan dukungan dari instansi lain. Oleh karena itu peran Kantor Urusan Agama Kecamatan cukup strategis. Yaitu membangun masyarakat melalui fungsi dan bahasa agama. Peran serta KUA Kecamatan dalam kegiatan lintas sektoral adalah : a. Sebagai motivator dari berbagai program melalui media kegiatan keagamaan, seperti majlis taklim, pengajian-pengajian di masjid-masjid, langgar/musholla dalam setiap kesempatan. b. Dalam bentuk kegiatan terpadu atau secara bersama dengan dinas terkait yang ada di kecamatan. Peran KUA adalah sebagai motivator dengan bahasa dan pola pendekatan ajaran agama, sehingga keberhasilan program tersebut bisa lebih baik, karena mendapat dukungan dari umat beragama.
66
G. Prosedur Pelaksananaan Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan. Dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempuan sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa buku pernikahan orang tuanya. Dan dalam Peraturan Menteri Agama Yang terbaru Yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencaattan Nikah tidak mengatur mengenai permasalahan tersebut. Karena status seorang anak sudah di tentukan di dalam pasal 42 Undang-Undang NO. 1 tahun 1974 dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana di ketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah hasil kesepakatan para ulama seluruh Indonesia, yang perumusannya sudah
melalui
diskusi-diskusi
yang
sangat
panjang
dengan
mempertimbangkan pendapat pendapat yang ada. Di KUA Kecamatan Ngaliyan semarang dalam pelaksanaanya menggunakan dasar fiqih yang diambil dari Kitab Al-Muahazzab. Yaitu apabila calon mempelai wanita itu anak pertama dan walinya wali ayah, perlu dipertanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu, bila terdapat ketidakwajaran, seperti, baru 5 bulan nikah anak pertama lahir, maka
67
anak tersebut, termasuk katagori anak ibunya, dengan demikian perlu diambil jalan tahkim (wali hakim). 8
وان اتت بى لد لد ون ستة اشهر من و قت العقد انتفي عنه
Artinya: Bila anak itu lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad nikah, maka anak itu bukan anaknya lelaki yang menikahi ibunya. Jadi apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka anak itu hanya mampunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Secara otomatis bapaknya tidak bisa menjadi wali, maka anak tersebut ketika akan melaksanakan pernikahan menggunakan wali hakim. Prosedur pelaksanaan penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec Ngaliyan, yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah orangtuanya, kemudian di hitung untuk mengetahui asal usul anak tersebut, dan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wali. Dan apabila setelah di hitung diketahui kelahiran calon mempelai perempuan kurang dari 6 bulan, maka pernikahanya tidak bisa menggunakan wali nasab, karena di dalam fiqih apabila ada anak perempuan kelahiranya kurang dari 6 bulan, maka anak tersebut statusnya anak ibu dan anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Apabila anak tersebut akan melaksanakan pernikahan, maka harus menggunakan wali hakim, karena bapaknya tidak bisa menjadi wali, dan apabila wali dari mempelai perempuan memaksa untuk tetap menjadi wali,
8
Abi Ishak As Saerozi, Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th hlm 130
68
maka dari pihak KUA tidak mau menikahkan, mereka di suruh menikahkan sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat secara administrasi saja.9 H. Hasil Penelitian 1. Kasus di KUA Kec. Ngaliyan Di bawah ini adalah data pernikahan
yang mengunakan wali
hakim selama tahun 2010 di KUA kec. Ngaliyan Kota semarang. NO
BULAN
WALI
JUMLAH PERNIKAHAN
NASAB
HAKIM
1.
Januari
39
37
2
2.
Februari
68
67
1
3.
Maret
96
96
0
4.
April
97
90
7
5.
Mei
89
86
3
6.
Juni
87
76
11
7.
Juli
101
101
0
8.
Agustus
33
31
2
9.
September
57
50
7
10
Oktober
60
54
6
11.
November
162
162
0
12.
Desember
35
35
0
Jumlah
924
885
39
Tabel 110 Dari 39 pasangan pengantin yang melaksanakan pernikahan dengan mengunakan waki hakim di KUA Kec. Ngaliyan, selama tahun 2010 ada 7
9
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Fadlan Yazidi (Kepala KUA Kec. Ngaliyan) pada hari selasa tanggal 25 januari jam 10:30 di KUA Ngaliyan 10 Data di catatan Buku Pernikahan KUA Kec. Ngaliyan tahun 2010
69
kasus diantaranya yang mengunakan wali hakim, yang dikarenakan mempelai permpuan lahir kurang dari 6 bulan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam daftar tabel nama- nama pasangan pengantin yang mengunakan wali hakim di bawah ini. NO 1
2
3
4
5
6
7
NAMA Laily Septiana Rofichoh dengan Ahmad Zamroni Gigih Enda Pujiani dengan M. yusuf perdana Ayu Fatia Ningrum dengan Amad Munaji Imada anggi Mayangsari dengn Slamet Supriadi Erin Rizki Maharani dengan Asmana istianto Uswatun Hasanah dengan Dodik Trianto Enik Susanti dengan Ibnu Santoso
TANGGAL MENIKAH Kamis, 24 juni 2010
Sabtu 7 Januari 2010
Sabtu 7 Agustus 2010 Ahad 10 oktober 2010 Ahad 24 januari 2010
ALAMAT jL. Gunung jati Utara, v RT 03/II, No 118, Kelurahan Wonosari. JL. Bringin Asri timurK No 903, RT o5/XII. Kel Wonosari JL. Built dingin 1/ 18 RT O5/18 Kel. Bringin JL. Karinsih Selatan VI/564 RT 03/VI Kel. Tambak Aji JL. Sriyatno dalam RT 05/IV Kel. Purwoyoso
Senin 21 juni 2010
RT 03/ VII Kel. Wonosari .
Rabu 22 September 2010
LJ. Sriwidodo Utara X RT 06/1 Kel. Purwoyoso
Tabel 211
11
Data dari Dokumen Pernikahan KUA Kec. Ngaliyan tahun 2010
70
2. Respon dari Para Pihak yang Bersangkutan. Respon dari para pihak yaitu dengan wali mempelai perempuan dan dari mempelai perempuan sendiri, untuk mengetahui respon dari para wali dan mempelai perempuan tentang pelaksanaan wali hakim bagi prempuan yang akan menikah, di karenakan kelahiran anaknya kurang dari 6 bulan di wilayah Kecamatan Ngaliyan. a. Wawancara dengan Bapak Slamet Wali Dari Saudari Enik Susanti. Bapak Slamet menyatakan bahwa dalam masalah perwalian dalam pernikahan dia belum mengetahui betul, karena masih awam dalam masalah agama. Sehingga untuk masalah perwalian dia menanyakan kepada bapak modin setempat, dan dalam hal pernikahan anaknya yang menggunakan wali hakim dikarenakan anaknya lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya bapak slamet ingin sekali menjadi wali bagi anak perempuanya saat menikah, Karena menurut sepengetahuanya yang paling afdol menjadi wali adalah bapaknya sendiri, tetapi karena di dalam islam tidak membolehkan. Karena anaknya lahir kurang dari 6 bulan sehingga dia tidak bisa menjadi wali, sehingga beliau menerima dengan lapang dada walaupun perasanya sangat berat sekali dan kecewa dengan adanya ketentuan ini.12 b. Wawancara dengan Bapak Darsono Wali dari Saudari Anggi Mayangsari Bapak Darsono menyatakan dalam masalah perwalian tidak tahu menahu, karena dia dahulu beragama kristen dan baru pada umur 23 tahun 12
di rumahnya
Wawancara dengan bapak Slamet, pada hari rabu 26 januari 2011, jam 05:00
71
dia menjadi muallaf, sehingga dalam masalah perwalian, khususnya perwalian bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan dia menayakan masalah itu kepada tokoh masyarakat setempat, dan dalam pernikahan anaknya yang menggunakan wali hakim. Dikarenakan anaknya lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya di ingin sekali menjadi wali karena menurutnya kebanggaan seorang ayah yang mempunyai anak perempuan, adalah dengan menikahkan anaknya sendiri, tetapi karena peraturanya tidak membolehkan maka dia mengikuti saja dengan peraturan yang berlaku.13 c. Wawancara dengan Bapak Kasiono Wali dari Laily Sofiana Rofichoh Bapak kasiono menyatakan dalam masalah perwalian beliau tidak tahu-menahu. Karena beliau masih awam dalam masalah agama dan dalam masalah perwalian bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan dia pun tidak mengetahuinya, dan ketika anaknya saudari laily dinikahkan dengan wali hakim karena kelahiranya kurang dari 6 bukan, sebenarnya dia merasa keberatan, karena dia menganggap dirinya masih ada dan bisa menjadi wali bagi anaknya, tetapi setelah mendapat penjelasan dari tokoh masyarakat, dan dari pihak KUA, bahwa anaknya harus menikah dengan wali hakim. Karena peraturanya seperti itu, dia menerima dengan ikhlas karena ketidakpahaman tentang masalah perwalian.14 d. Wawancara dengan Bapak Barmawi Wali dari saudari Uswatun Hasanah
13
Wawancara dengan bapak Darsono pada hari sabtu tanggal 29 januari 2011, jam 8:30 di rumahnya. 14 Wawancara dengan bapak Kasiono pada hari senin tanggal 31 januari 2011 jam 12: 10 di rumhnya.
72
Bapak Barmawi menyatakan bahwa dia tidak mengetahui tentang masalah perwalian dalam pernikahan, karena dia masih awam tentang masalah agama, dua tahun terakhir inilah dia baru menjalankan agama dengan sungguh-sungguh. Tentang masalah perwalian bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan dia juga tidak mengetahui, sehingga ketika anaknya ternyata pada saat akan menikah harus menggunan wali hakim, dikarenakan lahir kurang dari 6 bulan, dia sempat menolak dan memprotes ketentuan ini. Tetapi setelah menerima penjelasan dari bapak modin dan dari pihak KUA karena menurut agama tidak diperbolehkan, maka dengan sendirinya dia menerima dengan ikhlas dan lapang dada.15 e. Wawancara dengan Saudari Anggi Mayangsari Anak dari Bapak Darsono Dalam masalah Perwalian dia sama sekali tidak mengetahui karena dalam masalah agama dia sangat minim sekali pengetahuanya. Dan tentang masalah pernikahanya
yang menggunakan
wali
hakim
dikarenakan
kelahiranya kurang dari 6 bulan, dia secara kebetulan mengetahui penyebab bapaknya tidak bisa menjadi wali. Karena pada saat mendaftar di KUA dia ikut bersama ibiunya, ketika itu bapaknya keluar kota, setelah mendengarkan penjelasan dari bapaknya tentang sebab-sebab bapaknya tidak bisa menjadi wali, dia sangat kecewa sekali dengan orangtuanya karena tidak bisa menjadi wali dia sempat menolak dan keberatan dengan ketentuan itu karena dia menginginkan 15
di rumahnya.
Wawancara dengan bapak Barmawi pada hari selasa, 8 februari 2011 jam 04:00
73
ayahnya yang menikahkan sendiri, tetapi karena peraturanya seperti itu dia menerima dengan ikhlas.16 f. Wawancara dengan Saudari Enik Susanti Anak dari Bapak slamet Dalam masalah perwalian dalam pernikahan, dia sama sekali tidak tahu- menahu, dan ketika dirinya menikahpun dia tidak tahu menahu siapa yang menjadi wali, dia hanya mengetahui bapaknya yang menjadi wali dan bapaknya mewakilkan kepada bapak Penghulu. Karena dia mengetahui kalau anak perempuan ketika akan menikah menikah, yang menikahkan adalah bapaknya sendiri. Jadi dia tidak mengetahui ketika menikah sebenarnya menggunakan wali hakim.17 g. Wawancara dengan Saudari Uswatun Hasanah Anak dari Bapak Barmawi Dalam masalah perwalian dia tidak tahu- manahu dan ketika dirinya menikah dia hanya mengetahui bahwa yang menikahkan adalah bapaknya sendiri, jadi saudara uswatun tidak tahu- menahu ketika pernikahanya menggunakan wali hakim. Yang dia ketahui dia yang menikahkan adalah bapaknya sendiri.18 Jadi dapat di simpulkan bahwa respon dan pendapat dari para pihak yang terkait dalam pernikahan yang menggunakan wali hakim bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, baik itu dari pihak wali dan dari 16
Wawancara dengan saudari Anggi mayangsari anak dari bapak darsono pada hari sabtu tanggal 29 januari2011 jam 19:00 di rumah bapak darsono. 17 Wawncara dengan saudari Enik susanti anak dari bapak Slamet pada hari kamis tanggal 27 januari 2011, jam 04: 00 di rumahnya. 18 Wawancara dengan saudari Uswatun Hasanah anak dari bapak Bar mawi pada hari selasa 8 februari 2011 jam 04:30 Wib di rumahnya.
74
pihak mempelai perempuan itu sendiri. Mereka mengingkan menjadi wali, begitupun dari mempelai perempuan itu sendiri, mereka menginginkan ayahnya menjadi wali. Tetapi karena keterbatasan dari mereka tentang pengetahuan agama khususnya tentang perwalian, maka mereka menyerahkan sepenuhnya kepada P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah) dan Bapak Penghulu dari KUA setempat. 3. Respon dari P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah) Wawancara di lakukan denagn P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah) untuk mengetahui bagaimana pendapatnya dan respon dari para pihak. Tentang ketentuan wali hakim bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, menurut pendapat P3N. a. Wawancara dengan Bapak H. Hawari P3N dari Kelurahan Purwoyoso Kec. Ngaliyan Menurut bapak H. Hawari bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan menggunakan wali hakim. Dasar yang di pakai adalah dasar fiqih, jadi kalau anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan bapaknya tidak bisa menjadi wali karena kalau walinya nasab, tidak sah pernikahanya menurut agama islam dan tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur wali hakim dia tidak mengetahuinya. Tentang respon dari para pihak ketika anaknya dinikahkan dengan wali hakim karena kelahiranya kurang dari 6 bulan, ada yang menerima setelah diberi penjelasan, ada juga yang menolak tetapi kebanyakan
75
menerima kalau mereka ngotot dan tetap ingin menjadi wali, maka dari pihak KUA, menyuruh untuk menikahkan sendiri dan dari pihak KUA hanya mencatat secara administrasi saja.19 b. Wawncara dengan Bapak Abdul Qodir P3N dari Kelurahan Tambak Aji Kec. Ngaliyan. Menurut Bapak Abdul Qodir pelaksananan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan Menggunakan dasar fiqih terlebih dahulu, kemudian apabila orangnya tetap ngotot maka bisa menggunakan wali nasab, tetapi disuruh menikahkan sendiri dan dari pihak KUA hanya mencatat saja. Menurutnya apabila ada kasus semacam ini harus di lihat dulu dari latar belakang keluarganya agar tercapai kemaslahatan.
Apabila
latar
belakang
keluarganya
agamis,
maka
menggunakan wali hakim, sedangkan bagi keluarga yang berlatarbelakang umum menggunakan wali nasab, karena respon dari para pihak ada yang menolak dan menerima ketika anaknya dinikahkan dengan wali hakim karena anaknya lahir kurang dari 6 bulan. 20 c. Wawancara dengan Bapak Ahmad Munaji P3N dari Kelurahan Bringin Kec. Ngaliyan. Bapak Ahmad Munaji menyatakan dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan, sependapat dengan bapak H. Hawari dan Bapak Abdul Qodir. Yaitu
19
Wawancara dengan bapak H. Hawari P3N dari Keluran, Purwoyoso pada hari rabu pada tanggal 2 januari 2011 jam 17:00 di rumahnya. 20 Wawancara dengan bapak Abdul Qodir P3N dari Kelurahan tambak Aji pada hari jum’at tanggal 27 januari 2011 jam 19:00 di rumanya.
76
menggunakan wali hakim dan respon dari masyarakat di Kelurahan Bringin ada yang keberatan dan ada juga yang menerima setelah di beri pengertian dari pihak KUA. Jadi dapat disimpulkan bahwa respon dan pendapat dari para P3N, dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, pendapatnya sama dengan KUA Kec Ngaliyan yaitu menggunakan dasar fiqih munakahat sebagai acuan, apabila dari para wali ada yang keberatan maka disuruh menikahkan sendiri dan dari pihak KUA hanya mencatat secara administrasi saja.21 4.
Respon dari Tokoh Masyarkat tentang Pernikahan bagi Perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Wawancara dengan tokoh masyarakat bertujuan untuk mengetahui
pendapat mereka tentang pernikahan bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan pendapat masyarakat sekitar dengan adanya ketentuan ini. a. Wawancara dengan Bapak KH Abdul Djalil Salah Satu Tokoh Masyarakat di Kelurahan Tambak aji. Menurut bapak KH. Abdul Djalil apabila ada pernikahan kemudian di ketahui anak perempun yang lahir kurang dari 6 bulan, adalah dengan menggunakan wali hakim. Karena menurutnya di dalam kitab-kitab fiqih, yang pernah beliau pelajari apabila ada anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, maka ayahnya tidak bisa menjadi wali, dan itu salah satu sebab pernikahan mengunakan wali hakim. 21
Wawancara dengan bapak Ahmad Munaji P3N dari Kelurahan Beringin, pada hari ahad, 13 Februari 2011 jam 17:00 di rumahnya.
77
Di kelurahan Tambak aji jarang sekali terjadi kasus semcam ini tapi pernah ada, sedangkan respon dari masyarakat apabila ada kasus semacam ini, masyarakat di kelurahan tambak aji kurang begitu mengerti tentang masalah ini, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan pernikahan mana yang mengunakan wali nasab maupun wali hakim, karena yang menikahkan sama-sama dari pihak KUA, walupan tidak menggunakan wali hakim biasanya masyarakat di Tambak Aji sebagian besar mewakilkan kepada pihak KUA setempat.22 b. Wawancara dengan Bapak KH Muslihun Salah Satu Tokoh Masyarakat di Kelurahan Wonosari Menurut Bapak KH. Muslihun apabila ada pernikahan sedangkan anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, itu mengunakan dasar fiqih dan juga di zaman modern seperti ini harus melalui keterangan doktrer untuk memastikan anak tersebut anak sah atau tidak. Di Kelurahan Wonosari kasus semacam ini pernah terjadi tapi sangat jarang sekali, sedangkan respon dari masyarakat Wonosari sendiri kurang begitu paham tentang masalah ini karena kuarangnya pengetahuan soal perwalian dalam agama islam, sehingga mereka apabila ada permasalahan seperti ini langsung diserahkan kepada bapak modin setempat.23 c. Wawancara dengan Bapak KH. Mas’ud Salah Satu Tokoh Masyarakat di Kelurahan Purwoyoso
22
Wawancara dengan bapak KH. Abdul Djalil salah satu tokoh masayarakat di kelurahan Tambak Aji, pada hari Kamis tanggal 17 februari 2011 Jam 10:20 di rumahnya. 23 Wawancara dengan bapak KH. Muslihun salah satu tokoh masayarakat di kelurahan Wonosari, pada hari senin 14 februari 2011 jam 17:00 di rumahnya.
78
Apabila ada kasus pernikahan sedangkan anak prempuan diketahuai lahir kurang dari 6 bulan, beliau sependapat dengan tokoh masyarakat lainya. Yaitu dengan meggunakan dasar fiqih, dan respon dari masyarakat purwoyoso sendiri ada dari sebagian mereka dari kalanagan tertentu saja mengetahui masalah ini, tapi kebanyakan tidak tahu manahu tentang masalah perwalian dalam prenikahan.24 Jadi dapat disimpulkan bahwa pendapat dari para tokoh masyarakat di Kec. Ngalian sama dengan pihak KUA dan P3N, mereka sepakat, apabila ada kasus pernikahan sedangkan anak prempuan diketahuai lahir kurang dari 6 bulan, yaitu dengan meggunakan dasar fiqih, sedangkan respon dari masyarakat apabila ada kasus semacam ini masyarakat kurang begitu mengerti tentang masalah ini sehingga masyarakat tidak bisa membedakan pernikahan mana yang mengunakan wali nasab maupun wali hakim, karena yang menikahkan sama-sama dari pihak KUA, walaupun tidak menggunakan wali hakim, tapi masyarakat di Kecamatan Ngaliyan sebagian besar mewakilkan kepada pihak KUA setempat.
24
Wawancara dengan Bapak KH. Mas’ud salah satu tokoh masayarakat di kelurahan Purwoso, pada hari Ahad Tanggal 13 Februari 2011, jam 16:00 di rumanya.
79
BAB IV ANALISI TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA KEC. NGALIYAN KOTA SEMARANG
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang Dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan. Masalah
perwalian
dalam
arti
perkawinan,
mayoritas
ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali,3 pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Safi‟i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan.4 Menurut madzhab hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk sahnya suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada waktu akan menikah baik dia pria maupaun wanita. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin dari orang tua bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.5
3
Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm. 104 Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 82 5 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlmn 12 4
80
Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi‟i wali merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa wali, maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi, oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah.6 Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya yang berhak menjadi wali adalah wali nasab, yaitu wali dari pihak keluarga mempelai perempun dan apabila wali nasab sama sekali tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah wali hakim. Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama)7 untuk bertindak sebagai sebagai wali dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita dalam kondisi: 1.
Tidak mempunyai wali nasab sekali,
2.
Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya).
3.
Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada
4.
Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar yaitu 92,5 km)8
5. 6
Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 15 Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, orang yang di tunjuk menjadi wali hakim adalah kepala Kanor Uruasan Agama Kecamatan. 8 Di zaman modern ini walaupun jarak musafaqotul qasri telah di penuhi, namun untuk akad nikahnya wali perlu di beri tahu terlebih dahulu. 7
81
6.
Wali
adhol,
artinya
tidak
bersedia
atau
menolak
untuk
menikahkanya Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh9.
7.
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Tetapi di kecualikan bila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut.10 Tentang pelaksananan penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempun sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahirannya
dan juga
memeriksa buku pernikahan orang tuanya. Dalam Peraturan Menteri Agama Yang terbaru Yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah tidak mengatur mengenai permasalahan tersebut. Karena status seorang anak sudah di tentukan di dalam Undang NO. 1 tahun 1974
Undang-
Pasal 42, 43 dan 44. Selengkapnya sebagai
berikut: Pasal 42: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
9
Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003, hlm 34 10 Ibid hlm 113
82
Pasal 43: 1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.” 2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.” Pasal 44: 1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.” 2. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan yang bersangkutan.” 11 Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian. Jadi selama bayi yang di kandung tadi dilahirkan oleh ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya. Dalam kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. Pasal 99 : Anak yang sah adalah a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
11
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19.
83
Pasal 100: a. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Dalam kompilasi Hukum Islam anak sah dan perkawinan yang sah yang dimaksud dalam pasal 99 (a) adalah anak sah dari kedua orang tuanya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 53 dalam BAB VIII Kawin Hamil, selengkapnya akan dikutip dibawah ini: Pasal 53: 1. “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang yang menghamilinya.” 2. “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut ppada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.” 3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.” Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil, maka anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya. Pasal 101: “Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li‟an.”12 Pasal 102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya. 12
Departemaen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, agama Islam, Jakarta : 2003, hlm. 38.
Direktorat Jenderal Pembinaan
84
Pasal 102: (1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.” (2).” Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat di terima.” Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Sebagaimana diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah hasil kesepakatan para ulama seluruh Indonesia yang perumusanya sudah melalui diskusi-diskusi yang sangat panjang, dengan mempertimbangkan pendapat pendapat yang ada. Oleh karena itu menurut penulis seharusnya Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga pencatat pernikahan, di bawah Kementerian Agama seharusnya berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam. karena sejak di tetapkan pada tahun 1991 dan dilaksanakan oleh Menteri Agama menetapkan seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya, yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk
85
digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.13 Dan tujuan utama dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam, adalah menyiapkan pedoman (unifikasi) bagi Hakim Peradilan Agama dan menjadi Hukum Materiil yang berlaku di Pengadilan Agama yang wajib di patuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama islam.14 Hal ini berbeda dengan yang terjadi di KUA Kec. Ngaliyan semarang dalam pelaksanaanya menggunakan dasar fiqih, yaitu apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka anak tersebut hanya mampunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, secara otomatis bapaknya tidak bisa menjadi wali, maka anak tersebut apabila akan melaksanakan pernikahan harus menggunakan wali hakim. Di KUA Kec Ngaliyan dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah orangtuanya, kemudian dihitung untuk mengetahui asal usul anak tersebut dan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wali. Apabila kemudian di ketahui kurang dari 6 bulan, maka pernikahannya tidak bisa menggunakan wali nasab, karena anak tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja, dan apabila akan melaksanakan perenikahan harus menggunakan wali hakim.
13
Departemen Agama RI Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gama Media, 2001 , hlm. 85 14
86
Apabila dari pihak wali merasa keberatan dengan ketetentuan ini, maka mereka disuruh menikahkan sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat secara administrasi saja, karena dari pihak KUA mempunyai keyakinan bahwa tanggung jawab menikahkan bukan hanya dengan manusia tapi juga dengan Allah SWT. Jadi mereka dalam permasalahan ini menggunakan dasar fiqih munakahat sebagai acuan.15 Jadi menurut penulis dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Karena tidak ada Undang-undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang akan menikah dan kelahirannya kurang dari 6 bulan. Dan sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempun sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa buku pernikahan orang tuanya, untuk mengetahui asul usul anak tersebut dan untuk menetukan wali bagi mempelai perempuan. karena asal usal anak sudah diatur dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a). Kompilasi Hukum Islam.
15
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Fadlan Yazidi (Kepala KUA Kec. Ngaliyan) pada hari selasa tanggal 25 januari jam 10:30 di KUA Ngaliyan
87
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Digunakan Oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, menggunakan Wali hakim. Yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran anak perempuan dan memeriksa buku nikah kedua orang tunya, kemudian di hitung untuk mengetahui asal-usul anak tersebut dan untuk menentukan siapakah yang berhak menjadi wali. Apabila kemudian diketahui kelahiran anak tersebut kurang dari 6 bulan di hitung dari akad nikah orang tuanya maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim karena bapaknya tidak bisa menjadi wali. KUA Kec. Ngaliyan menggambil dasar hukum dari kitab AlMuhazzab juz II. Halaman 130. Bila calon mempelai wanita itu anak pertama dan walinya wali ayah, perlu dipertanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu, bila terdapat ketidakwajaran, seperti, baru 5 bulan nikah anak pertama lahir, maka anak tersebut, termasuk katagori anak ibunya, dengan demikian perlu diambil jalan tahkim (wali hakim).
وان اتت بى لد لد ون ستة اشهر من و قت العقد انتفي عنه
16
Artinya:“Bila anak itu lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad nikah, maka anak itu bukan anaknya lelaki yang menikahi ibunya.”
16
Abi Ishak As Saerozi, Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th hlm 130
88
Di dalam fiqih munakahat yang sudah menjadi kesepakatan para Imam Madzhab bahwa waktu yang sependek-pendeknya untuk kandungan adalah 6 bulan,17 jadi apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali hakim. Ketentuan ini berdasarkan Al- qur,an, dalam Firman Allah surat Al- ahqaf ayat 15
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan (Qs. Al-ahqaf, 46:15)18
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat-lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun ) (QS. Luqman, 31:14 ).19 Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung dan menyampih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan 2 tahun atau 24 bulan, berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan. 20
17
Fatur Rachman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-maarif, 1981 hlm 201 Departeman Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Depok : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504 19 Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412 20 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 224 18
89
Dalam Tafsir Ibnu Kasir kedua ayat ini di jadikan dalil oleh Ali bin Abi Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat tersebut disetujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.21 Dari pernyataan tersebut di atas Munculah beberapa pendapat hukum Ulama: 1. Apabila seorang Wanita dan Laki-laki kawin, lalu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum 6 bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya. Syaikh Al-mufid dan Syaikh Al-Thusi dari madzhab Imaniyah, dan Syaikh Muhyidin Abd Al-Hamid dari Hanafi, mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada suami (wanita tersebut). Kalau dia mau, dia bisa menolaknya, dan bisa pula mengakuinya sebagai anaknya dan mengaitkan nasabnya dengan dirinya. 2. Kalau kedua suami istri bersengketa tentang lamanya waktu bergaul mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada suaminya), “Engkau telah bergaul denganku sejak 6 bulan atau lebih, karena itu anak ini adalah anak mu,” lalu suaminya menjawab, “Tidak, aku baru menggaulimu kurang dari 6 bulan, karena itu anak ini bukan anakku.”22
21
Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Bogor : Pustaka Ibnu Kasir, 2006, hlm. 317-318 22 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Basrie Press, 199, hlm 100-101
90
Menurut Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang diberlakukan adalah ucapanya tanpa harus disumpah lebih dulu. Menurut Imamiyah: Kalau ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang mendukung ucapan isteri atau suami, maka yang diberlakukan adalah pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi apabila
tidak
ada
petunjuk-petunjuk
yang
ditemukan
sehingga
persoalannya menjadi tidak jelas, maka hakim memenangkan ucapan si isteri sesudah disumpah dulu bahwa suaminya telah mencampurinya sejak 6 bulan yang lalu, lalu anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah suaminya itu23. Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama: Abu Hanifah berpendapat: Batas maksimal kehamilan adalah 2 tahun, berdasar hadis A‟isyah yang menayatakan bahwa, kehamilan seorang wanita tidak melebihi 2 tahun. Imam Malik, Syafi‟i dan Hambali: Masa kehamilan maksimal seorang wanita adalah empat tahun. Para Ulama Madzhab (Malik, Syafi‟i dan Hambali) ini menyandarkan pendapatnya pada riwayat bahwa isteri „Ajlan hamil selama empat tahun. Anehnya isteri anaknya, Muhammad juga hamil selama empat tahun. Bahkan semua wanita suku „Ajlan hamil selama empat tahun pula.24
23
Ibid hlm 102 Abdurahman Al Jaziri, Al- Fiqh „Al Madzahi Al „arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th, hlm 523 24
91
„Ibad bin „Awan mengatakan: batas maksimal kehamilan adalah lima tahun, sedangkan Al-zuhri mengatakan tujuh tahun, dan Abu Ubaid menyatakan bahwa, kehamilan itu tidak mempunyai batas maksimal. Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda pendapat tentang batas maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa, batas maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan sepuluh bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Teapi mereka seluruhnya sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh lebih dari satu jam dari satu tahun. Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan menurut fiqih dengan berpedoman pada Al-qur‟an Surat Al-Ahqof ayat 15 da Surat Lukman ayat 14 yang menjadi kesepakatan para Imam Mazhab, maka tidak bisa di hubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Jika dianalisis pandangan fiqih yang berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami bahwa anak sah, dimulai sejak terjadinya pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan pembuahan ini haruslah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.25 Dengan demikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu 25
Mustafa Rahman, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003 hlm 45
92
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang masa „iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Jadi, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya dengan bapaknya walaupun lahir dari dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibuya,26 sedangakan dalam Undang undang perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 42 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 (a) dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang 6 bulan KUA Kec. Ngalian adalah dasar hukum fiqih. Dengan ketentuan seperti ini menurut penulis akan berimplikasi pada status anak tersebut. Di satu sisi anak tersebut diakui oleh Negara sebagai anak sah, Karena dalam menentukan asal usul anak menggunakan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dan anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah. Ketentuan Akta Kelahiran di atur dalam pasal 103 Kompilasi Hukum Islam dan UUP Nomor 1 Tahun 1974 pasal 55, selanjutnya akan di kutip di bawah: 1. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainya.” 26
Aminudin Nuruddin dan azhari tarigan OP cit hlm 280
93
2. “Bila akta kelahiran atau bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.” 3. “Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.”27 Di sini sangat jelas sekali asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran, di KUA Kec. Ngaliyan akta kelahiran tidak difungsikan sebagai pembuktian asal-usul anak, karena pembuktian asal usul anak menggunakan dasar Fiqih. Jadi walupun anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah, anak tersebut tetap tidak bisa menikah dengan wali nasab tetapi menggunakan wali hakim. karena di KUA Kec Ngaliyan dalam perhitungan anak sah menggunakan dasar fiqih. Dengan mengunakan ketentuan semacam ini menurut penulis akan menimbulkan permasalah di kemudian hari, tentang kejelasan status anak tersebut dan juga permasalahan waris anak perempuan tersebut karena terdapat standar ganda dalam penentuan asal-usul anak yaitu menggunakan Undang-Undang Perkawinan dan fiqih munakahat. Di dalam Undang undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 42, dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a) disebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah.” 27
Departemen Agama RI Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm 52
94
Di sini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali nasab, karena di dalam Undang- undang perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal tentang usia kandungan. Oleh karena itu menurut penulis seharusnya Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di bawah Kementerian Agama
yang
bersentuhan
langsung
dengan
masyarakat.
dalam
melaksanakan tugasnya, seharunya berpedoman pada perundang undangan yang berlaku yaitu pada Kompilasi Hukum Islam dan juga Undang-undang perkawinan Nomor 1Tahun 1974. Menurut Bapak Drs. Kadi Sasrowirjono sebagai Konsultan BP4 Pusat beliau menyatakan sebaiknya dihindari mengambil suatu masalah yang sudah ada ketentuanya dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, menetapkan seorang ayah tidak bisa menikahkan anak perempuanya mempunyai akibat hukum yang sangat jauh dan akan menimbulkan permasalahan, seperti meniadakan hubungan hukum antara ayah dan anak dan juga masalah waris bagi anak tersebut28. karena seharusnya yang dipakai adalah hukum yang sesuai kebutuhan dari masyarakat dan memberikan kemaslahatan kepada masyarakat itu sendiri.
28
Drs. Kadi Sasrowirjono, Perkawinan & Keluarga, Majalah Bulanan BP4 Edisi No 451/XXXVII/2010, hlm 26-27
95
Karena setelah penulis mengadakan penelitian respon dan pendapat dari para pihak yang terkait dengan adanya ketentuan ini para pihak merasa keberatan, baik dari pihak wali itu sendiri dan anak perempuanya, dari pihak wali menginginkan menjadi wali karena kebangaaan tersendiri bisa menikahkan anak perempuanya dan dari pihak mempelai perempunaan pun menginginkan yang menjadi wali adalah bapakanya sendiri, dan karena keterbatasan pengetahuan mereka dalam masalah perwalian maka mereka meneyerahakan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada pihak P3N setempat dan dari pihak KUA. Di sini tampaknya UUP dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berkenanaan dalam asal usul anak melakukan sebuah inovasi hukum dan mencoba memberikan solusi kepada kebutuhan masyarakat. oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prisip dasarnya,29 yaitu secara metodologis dengan menggunakan mashlahah mursalah. Maslahah mursalah menurut para ahli Ushul fiqih ialah: suatu kemaslahatan dimana syar‟i tidak mensyariatkan suatu hukum merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau
pembatalanya,
bahwasanya
pembentukan
hukum
tidaklah
dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak.30
29
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di indonesia dan Relevansinya bagi pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: Raja grafindo Persda, 2006 hlm 23 30 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Grup), 1994 hlm 116
96
Di dalam usul fiqih mashlahah mursalah digunakan oleh para sebagian mujtahid untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan umat manusia, kebutuhan umat manusia selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam Al- Qur‟an dan sunnah Rasul. Namun secara umum syariat Islam telah memberi petunjuk, Bahwa tujuanya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.31 Pensyariatan suatu hukum terkadang mendatangkan manfaat. Kemanfaatan pada suatu masa dan pada masa yang lain ia mendatangkan mudharat, pada saat yang sama, kadang kala suatu hukum mendatangkan manfaat dalam suatu lingkungan tertentu, namun ia justru mendatangkan mudharat dalam lingkungan yang lain.32 Oleh sebab itu apa-apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan sunah Rasul, sah dijadikan landasan hukum.33 Jadi di sini yang di pertimbangkan adalah kemaslahatan anak tersebut. Karena Hukum islam sangat memperhatikan kemaslahatan dan perlindungan terhadap anak yang lahir secara sah, demikian juga terhadap anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dan patut diberi perlindungan karena semua anak yang baru dilahirkan suci dan tidak mempunyai dosa, yang berdosa adalah kedua orang tuanya.34
31
Satria Efendi dan M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2005 hlm 151 Abdul Wahab Khallaf OP cit hlm 116 33 Satria Efendi dan M. Zein, OP cit hlm 151 34 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm 80 32
97
jadi anak tersebut seharusnya tidak menangung kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya di masa lalu karena apabila menggunakan dasar hukum fiqih, maka anak tersebut akan menanggung akibatnya baik dari status anak tersebut dan juga masalah kewarisan. Dari segi status anak tersebut mempunyai status ganda yang pertama status anak sah, karena mempunyai akta kelahiran yang sah, yang kedua anak tidak sah karena pada saat menikah, menggunakan wali hakim. Sedangkan dalam masalah kewarisan anak tersebut tidak bisa mewarisi dari garis ayahnya karena anak tersebut dinyatakan anak tidak sah, karena kelahirannya kurang dari 6 bulan. Jadi menurut
penulis sebaiknya Kantor Urusan Agama,
menghindari mengambil suatu masalah yang sudah ada ketentuanya dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, seharusnya Kantor Urusan Agama
(KUA)
Kementerian
sebagai
Agama
lembaga
dalam
pencatat
menjalankan
perkawinan tugas
dibawah
tugasnya
harus
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan seharusnya dasar Hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam penetuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang 6 bulan, harus menggunakan Undang-undang yang berlaku. yaitu Undangundang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai landasan dalam menjalankan tugas tugasnya.
98
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan beberapa bab diatas, maka selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban tentang permasalahan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kec Ngaliyan. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang telah penulis paparkan di atas adalah sebagai berikut : 1.
Di KUA Kec Ngaliyan praktek Pelaksanaaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah orangtuanya, kemudian dihitung untuk mengetahui asal usul anak tersebut, apabila kemudian di ketahui kelahiranya kurang dari 6 bulan, maka pernikahannya tidak bisa menggunakan wali nasab. Karena anak tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja, dan apabila akan melaksanakan pernikahankah harus menggunakan wali hakim, apabila dari pihak wali merasa keberatan dengan ketetentuan ini, maka mereka disuruh menikahkan anaknya sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat saja, karena di KUA Kec. Ngaliyan menggunakan dasar fiqih munakahat sebagai acuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kec. Ngaliyan
99
Tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, karena tidak ada Undang undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang akan menikah dan kelahiranya kurang dari 6 bulan. Dan sampai saat ini Kementerian Agama juga belum memberikan petujuk tentang masalah penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Asalusal anak sudah diatur dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a). Kompilasi Hukum Islam. 2. Dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, adalah menggunakan dasar hukum fiqih munakahat yang mengambil dasar hukum dari Kitab Al-Muhadzdzab Juz II Halaman 130. Dengan menggunakan ketentuan fiqih KUA Kec. Ngaliyan telah melanggar Undang-undang yaitu Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karena didalam kedua Undang-undang tersebut sudah diatur tentang asal usul anak, dan seharusnya KUA Kec. Ngaliyan sebagai lembaga Negara di bawah Kementerian Agama. Yang tugas pokonya mencatat perkawinan dalam menjalankan tugas tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undngan yang berlaku.
100
B. SARAN-SARAN Adapun saran dari penulis ialah: 1.
Kepada Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Ngaliyan dalam menjalankan tugas-tugasnya, seharusnya berpedoman kepada perudang-undangan yang berlaku. Agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari dan sebaikanya dihindari mengambil suatu masalah yang sudah ada ketentuanya dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, karena seharusnya yang dipakai adalah perundang undangan yang berlaku. yaitu Undang undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2.
Kepada
Pemerintah.
Khusunya
Kementerian
Agama
pusat
yang
membawahi Kantor Urusan Agama, agar memberikan peraturan dan petunjuk yang tegas dan khusus tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Agar dapat dilaksanakan oleh Kantor Urusan agama dan mensosialisaikan kepada Kantor Urusan Agama di seluruh Indoneseia. Dan dalam menjalankankan tugasnya Kantor Urusan Agama harus berpedoman kepada peraturan perundang undangan yang berlaku. Dan memberikan sanksi yang tegas kepada KUA apabila dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak berpedoman kepada perundang-undangan yang berlaku.
101
C. PENUTUP Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. penulis ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini. Meskipun telah berupaya secara optimal, penulis meyakini masih ada kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini dari berbagai sisi. Walaupun demikian penulis berdo’a dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya dan semoga skripsi ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita. Atas saran dan kritik yang konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR BUKU Abidin-Slamet, Aminudin Fiqih munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999 Al Jaziri, Abdurahman, Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th. As Saerozi, Abi Ishak, Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th. Al-Mabaruk Furi, Shafiyurihman, Shahih Tafsir Ibun Kasir, Bogor: Pustaka Ibnu Kasir, 2006 Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo : Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby, 1379H/1960M Amin, Summa Muhammad, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Amirudin- Asikin Zaenal Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Arikunto, Suharsimi , Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta: Rineka Cipta, 1999 Ashofa, Burhan, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Batara Munti Ratna dan Hindun anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2005 Bisri, Mustofa, Pedoman Menulis Proposal Penelitian Skripsi dan Tesis, yogyakarta , panji pustaka, 2009 Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002 Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya, Lajnah pentshih Al- qur’an, Depok: cahaya Al-qur”an, 2008 Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 Hasan, Ali M, Masail Fiqhiyah al-Hadistah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Efendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2005 Imron, Ali, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga (Perspektif Al-qur’an melalui pendekatan Ilmu Tafsir) Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 Junaidi, Dedy, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003 Kemantrian Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama, Teladan Se- Indoneisa, Jakarta: Badan litbang dan Diklat Kemantrian Agama, 2007 Khallaf, Abdul Wahab , Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Grup), 1994 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media Grup, 2008
Jakarta:
Mugniyah, jawad muhammad, fiqih lima madzhab, Jakarta: Basrie prees, 1994 Nuruddin, Amiur dan Azhari, Akmal, Tarigan Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006 Profil KUA Kec. Ngaliyan, Di susun oleh Kepala KUA Kec Ngalian dalam rangka lomba KUA percontohan tahun 2009 Rachman, Fatur, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-maarif, 1981 Rahman, Mustafa, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003 Ramulyo, Idris M, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, dan zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo persada, 1995.
Rofiq, Ahmad, pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Gama Media, 2001 Saebani, Beni Ahmad ,Metode Penelitian Hukum, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008 Syamsu, Andi Alam-M. Fauzan, Hukum pengankatan anak perspektif islam, Jakarta: Pena Media, 2008, Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di indonesia dan Relevansinya bagi pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2006 Zainudin, Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Zhuaili, Wahbah, Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, Juz IX, Dar Al Fikr, 1997 DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN _______,Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005 _______,Kompilasi Hukum Islam (KHI), Departemaen Agama RI, Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, Jakarta : 2003
Direktorat
_______,Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, Tentang Wali Hakim Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003 _______,Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama Republik Indonesia Tahun 2007. DAFTAR JURNAL Sasrowirjono, Kadi, Perkawinan & Keluarga, Majalah Bulanan BP4 Edisi No 451/XXXVII/2010, Badan Penasehat, Pembinaan dan pelestarian Perkawinan (BP4) Pusat.
DAFTAR WAWANCARA Wawancara dengan Bapak Drs. H. Fadlan Yazidi (Kepala KUA Kec. Ngaliyan) pada hari selasa tanggal 25 januari 2011 Wawancara dengan Bapak Slamet pada hari rabu 26 januari 2011 Wawancara dengan Bapak Darsono pada hari sabtu tanggal 29 januari 2011 Wawancara dengan Bapak Kasiono pada hari senin tanggal 31 januari 2011 Wawancara dengan Bapak Barmawi pada hari selasa Tanggal 8 februari 2011 Wawancara dengan Saudari Anggi Mayangsari anak dari Bapak darsono pada hari sabtu tanggal 29 januari2011 Wawncara dengan Saudari Enik Susanti anak dari Bapak Slamet pada hari kamis Tanggal 26 januari 2011 Wawancara dengan Saudari Uswatun Hasanah anak dari Bapak Barmawi pada hari selasa 8 februari 2011 Wawancara dengan Bapak H. Hawari P3N dari Keluran, Purwoyoso pada hari rabu Tanggal 2 januari 2011 Wawancara dengan Bapak Abdul Qodir P3N dari Kelurahan tambak Aji pada hari jum’at tanggal 27 januari 2011 Wawancara dengan bapak Ahmad Munaji P3N dari Kelurahan Beringin, pada hari ahad, 13 Februari 2011 jam 17:00 di rumahnya. Wawancara dengan Bapak KH. Muslihun salah satu tokoh masyarakat di kelurahan Wonosari, pada hari senin 14 februari 2011 Wawancara dengan Bapak KH. Mas’ud salah satu tokoh masyarakat di kelurahan Purwoso, pada hari Ahad Tanggal 13 Februari 2011 Wawancara dengan Bapak KH. Abdul Djalil salah satu tokoh masyarakat di kelurahan Tambak Aji, pada hari Kamis tanggal 17 februari 2011
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap
: Dedy Roehan Asfia
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir
: Blitar, 17 Januari 1987
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Desa Kupu Rt 02/04 Kec. Wanasari Kab. Brebes.
Alamat Sekarang
: PP. Daarun Najaah Jl. Stasiun No. 275 Jerakah Tugu Semarang
Warga Negara
: Indonesia
Telepon
: 085290752562
Pendidikan Formal
: - MI Iksaniyah Kupu Wanasari Brebes lulus tahun 1999 - SLTPN 04 Wanasari Brebes lulus Tahun 2002 - SMA Diponegoro Dukuh Lo Lebaksiu Tegal lulus Tahun 2006 - IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah Lulus Tahun 2011
Pendidikan Non Formal : - PP. Daarul Khair Babakan Lebaksiu Tegal (20032006) - PP. Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang (2007 – sekarang) Demikian riwayat pendidikan ini di buat dengan sebenar benarnya untuk menjadi maklum dan diperiksa adanya.
Semarang, 12 Mei 2011
Dedy Roehan Asfia Nim : 062111030