ANALISIS PERAN LEMBAGA AMIL ZAKAT SEBAGAI AGEN DISTRIBUSI (Studi Kasus Lembaga Amil Zakat Rumah Zakat Cabang Malang)
JURNAL ILMIAH Disusun oleh :
Khoirun Nisak 105020100111073
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Judul : Analisis Peran Lembaga Amil Zakat Sebagai Agen Distribusi (Studi Kasus Lembaga Amil Zakat Rumah Zakat Cabang Malang) Khoirun Nisak, Prof. Dr. M. Umar Burhan, SE., MS. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRACT Zakat obligation is present in order that humans are being able to help each other and justice distribution is created among civilians. Zakat has strong potency to builds up the welfare when it is managed properly, it should be paid to the agency of amil zakat and the institution of amil zakat so the zakat can be utilized and distributed to the mustahik through some productive programs. The very aim of it is the funds coming from zakat will not run out only through consumption at once. Therefore the main goal, transformation from mustahik for being muzakki can be achieved. Keywords: zakat, distribution, the institution of amil zakat A. PENDAHULUAN Sebagai agama yang sempurna, islam mengatur semua sendi kehidupan dalam masyarakat termasuk dalam bidang ekonomi. Ekonomi Islam mengatur supaya harta terdistribusi denan baik dan tidak hanya beredar di sebagian orang saja sebagaimana firman Allah SWT, “…….. agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu” (Q.S. Al Hasyr:7). Sehingga distribusi diperlukan untuk mengatur peredaran harta dalam Islam, salah satunya adalah melalui zakat. Zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berhubungan dengan manusia atau dalam konteks fiqh dikenal dengan sebutan muamalah. Sebagai alat distribusi pendapatan, hikmah dari kewajiban berzakat yaitu supaya orangorang miskin bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan dana zakat sehingga mereka hidup dengan lebih bermartabat, sedangkan bagi orang kaya selain untuk menunaikan kewajiban, berzakat juga menjadi cara untuk bersyukur atas rizki yang telah didapatkannya. Zakat sebagai ibadah maaliyah ijtima’iyah memiliki fungsi sebagai pembangun kesejahteraan umat (Khasanah, 2010). Artinya dalam setiap dana zakat yang terhimpun terdapat potensi yang besar untuk membantu meningkatkan kesejahteraan mustahik. Hal ini bisa terwujud jika dana zakat dikelola dengan baik dan benar. Dana zakat tidak langsung diberikan kepada mustahik, namun dikelola dan didayagunakan oleh badan amil untuk selanjutnya diberikan kepada mustahik ke dalam bentuk program-program produktif. Selain itu beberapa ilmuwan melihat bahwa pentingnya zakat dikelola oleh lembaga amil karena zakat dapat digunakan sebagai alat counter-cyclical, yang mensyaratkan lembaga amil tidak mendistribusikan semua dana zakat pada waktu boom, sehingga masih ada cadangan dana ketika terjadi resesi (Chapra dalam Khasanah, 2010). Di Indonesia, badan amil yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dipelopori oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang dikelola oleh pemerintah dan beberapa LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola oleh swasta dengan syarat telah disahkan oleh pemerintah. LAZ memiliki beberapa keunikan yang bisa dimaksimalkan untuk mendayagunakan dan mendistribusikan zakat dalam masyarakat. Dari segi kepemilikan, LAZ dapat diprakarsai berdirinya oleh siapa saja asalkan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan undang-undang zakat Indonesia. Sedangkan dari strategi pengumpulan, LAZ memiliki strategi unik untuk menarik muzakki membayarkan zakatnya. Kemudian dari segi pendayagunaannya, LAZ memiliki beberapa program yang menarik dan biasanya mudah diingat oleh masyarakat, misalnya program “BIG Smile” yang menjadi branding Rumah Zakat, kemudian Beastudi Indonesia yang menjadi program pendidikan Dompet Dhuafa, dan sebagainya. Pakar ekonomi Islam telah sepakat bahwa zakat merupakan instrumen pengamanan sosial (social security), yang mana pengelolaan zakat harus dapat mengatasi keresahan sosial dan mengentaskan kemiskinan, sehingga fungsi amil harus ditingkatkan dari semula hanya sebagai lembaga pengumpul dan pendistribusi zakat menjadi agen pengentas kemiskinan dan lembaga distribusi.
B. TINJAUAN PUSTAKA Membahas zakat maka tidak bisa dilepaskan dari definisi menurut para ahli dan undang-undang yang mengaturnya, antara lain yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi, bahwa zakat dari segi istilah fikih berarti
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, di samping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti. Sedangkan menurut UU No 23 Tahun 2011, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Begitu pentingnya zakat, sehingga Al Qur’an menyebutnya puluhan kali dan disandingkan dengan kata sholat. Salah satunya yang tertera dalam surat An-Nur ayat 56. ”Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S. An-Nur:56). Sementara beberapa kriteria tentang zakat dijelaskan dalam Fiqh Zakat (Qardawi, 1988) adalah : Syarat wajib zakat: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Milik penuh Berkembang Cukup nisab Lebih dari kebutuhan biasa Bebas dari hutang Mencapai haul (waktu satu tahun)
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Binatang ternak Emas dan perak Kekayaan dagang Pertanian Madu dan produksi hewani Barang tambang dan hasil laut Investasi pabrik, gedung dan lain-lain Profesi Saham dan obligasi
Golongan penerima zakat: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Fakir Miskin Amil Muallaf Riqab (untuk memerdekakan budak) Gharim Fi sabilillah Ibnu sabil
Zakat merupakan instrumen dalam Islam yang digunakan untuk distribusi pendapatan dari muzakki kepada mustahik. Zakat dapat digunakan untuk memerangi kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat. Sementara kemiskinan sendiri memiliki banyak definisi menurut para ahli, salah satunya seperti yang dikemukakan oleh Todaro dalam Multifiah (2011), kemiskinan bisa dikaitkan dengan modal yang kurang, kekurangan gizi, perumahan yang tidak sehat, dan pendapatan perkapita yang rendah. Multifiah menyimpulkan bahwa fakir miskin adalah mereka yang telah sungguh-sungguh bekerja dengan peralatan dan sumberdaya seadanya yang dimiliki, tetapi penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi standar minimum kebutuhan keluarga mereka. Sehingga harus dibantu oleh masyarakat yang lebih mampu. Dana zakat yang didistribusikan kepada mustahik, dalam teori ekonomi disebut dengan distribusi pendapatan yang tidak melalui pasar (Multifiah, 2011).
C. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip Moelong dalam Kasiram (2010), metode penelitian kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata baik lisan maupun tulisan dari orang dan perilaku yang diamati dalam penelitian. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah menggunakan studi kasus (case study). Pihak-pihak yang dijadikan informan adalah manager Rumah Zakat cabang Malang yang menjadi informan utama serta Beberapa orang mustahik fakir dan miskin yang mendapatkan bantuan dari LAZ Rumah Zakat Cabang Malang sebagai informan pendukung. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Dengan metode pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan berdasar pada Norman dan Yvona dalam Kasiram (2010), yaitu: 1. The Stage of Reflection atau tahapan pencarian topik penelitian yang menarik 2. The Stage of Planning atau melakukan rencana penelitian, termasuk pemilihan lokasi 3. Stage of Entry atau pengumpulan data 4. Stage of Productive Data Collection atau pengumpulan data se-efektif dan se-efisien mungkin 5. Stage of Withdrawal atau menarik diri dari objek penelitian jika telah masuk terlalu dalam 6. Stage of Writing atau menulis tentang penelitian yang telah dilakukan Teknik pengujian keabsahan data menggunakan metode triangulasi. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data yaitu membandingkan data yang diperoleh dari manager Rumah Zakat Cabang Malang dengan mustahik yang mendapatkan dana zakat dari Rumah Zakat Cabang Malang. D. PEMBAHASAN Rumah Zakat merupakan salah satu lembaga amil zakat yang ada di Indonesia. Berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 157 yang turun pada tanggal 18 Maret 2003, SK ini mensertifikasi organisasi ini sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional. Rumah Zakat memiliki tiga program utama yaitu, BIG Smile Indonesia, Siaga Gizi Nusantara, dan Superqurban. Rumah Zakat cabang Malang beralamat di Ruko Istana, Jl. W.R Supratman C3 Kav.19 – Malang, dengan managernya (Pak Tedi) yang menjadi informan utama dalam penelitian ini. Pengelolaan dana Rumah Zakat dilakukan secara terpusat di kantor pusat di Bandung,. Setiap periode tertentu semua cabang Rumah Zakat di daerah menyerahkan dana yang terkumpul ke pusat. Selanjutnya setiap cabang mengajukan besaran anggaran yang akan dikelola kepada pusat, besarnya dana yang diajukan tergantung dengan kebutuhan dan besar tidaknya anggaran untuk program masing-masing cabang. Kemudian anggaran dana yang telah diajukan selanjutnya akan dipertimbangkan oleh pusat apakah disetujui atau tidak. Sumber pendanaan Rumah Zakat cabang Malng tidak terbatas hanya dari zakat, melainkan dari dana sosial seperti infaq, shodaqoh, wakaf, dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan dan dana kemanusiaan lainnya. Meski demikian, porsi penerimaan dana zakat tetap yang terbesar bila dibanding dengan dana sosial lainnya. Dana yang terhimpun berasal dari muzakki yang tersebar di seluruh kota Malang bahkan sampai Kepanjen di Kabupaten Malang. Muzakki Rumah Zakat merata dari semua kalangan dan jenis profesi. Zakat yang dibayarkan juga beragam mulai dari zakat profesi, zakat perusahaan, zakat pertanian, dan sebagainya. Namun porsi yang paling banyak berasal dari zakat perorangan atau zakat rumah tangga. Strategi pengumpulan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat yaitu menggunakan iklan media cetak dan elektronik, branding program, silatturahim ke instansiinstansi, sosialisasi kepada masyarakat untuk sadar membayar zakat, layanan jemput zakat, dan berzakat melalui ATM. Dari strategi yang dipakai diharapkan mampu untuk mengoptimalkan pengumpulan dana zakat yang kelak akan didistribusikan kepada mustahik. Membayarkan zakat kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat sangat dianjurkan supaya dana zakat dapat dikelola dengan lebih baik daripada zakat diberikan langsung kepada mustahik. Menurut Hafidhuddin (2007), pengelolaan zakat oleh lembaga amil zakat, terlebih yang memiliki kekuatan hukum formal, memiliki beberapa keuntungan, yaitu: a. Lebih sesuai dengan tuntunan syari’ah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah sebagaimana dikisahkan dalam Shirah Nabawiyah, Shirah sahabat, maupun sirah tabi’in. b. Menjamin kepastian dan disiplin muzakki dalam membayar zakat
c. d. e.
Untuk menjaga perasaan rendah diri mustahik terhadap muzakki jika muzakki membayarkan zakatnya langsung kepada mustahik Untuk mencapai efesiensi dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat menjalankan pemerintahan yang Islami.
Sedangkan jika membayarkan zakat langsung dari muzakki ke mustahik, selain tidak bisa mencapai hal-hal yang disebutkan diatas juga menyebabkan sulitnya mewujudkan kesejahteraan bagi mustahik. Pengelolaan zakat secara tradisional yaitu langsung memeberikan dana zakat kepada mustahik dari muzakki juga memiliki banyak kelemahan (Khasanah, 2010), diantaranya: 1. Dana zakat yang disalurkan langsung habis seketika itu. Sehingga tidak menjadikan peluang untuk mengolah dana zakat sebagai modal tindakan produktif jangka panjang. Membayarkan zakat langsung kepada mustahik dapat berpotensi untuk menjadikan mustahik konsumtif dan ketergantungan kepada dana zakat yang diberikan kepadanya. Dana zakat yang langsung diberikan kepada mustahik akan langsung dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan saat itu juga. Sehingga disini dana zakat tidak bisa didayagunakan untuk mentransformasi mustahik menjadi muzakki. Berbeda jika dana zakat dibayarkan kepada lembaga amil zakat dan diberikan kepada mustahik berupa modal usaha yang diawasi dan dibimbing pelaksanaannya dengan ketat. Mustahik akan lebih terpacu untuk melakukan usaha produktif dari program yang diberikan oleh lembaga amil zakat. 2. Pengelolaan zakat secara tradisional tidak berorientasi pada prinsip pemerataan distribusi dana zakat, karena distribusi dilakukan berdasarkan faktor kedekatan, baik wilayah maupun personal. Sedangkan jika dilakukan oleh lembaga amil profesional, akan dapat diketahui mustahik-mustahik yang harus dibantu dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Disamping itu kedekatan personal antara amil dan mustahik bukan menjadi pertimbangan utama dalam mendistribusikan zakat. Semua telah diatur secara sistematis. 3. Amil lembaga zakat tradisional tidak terlalu mementingkan profesionalitas dan pembagian kerja yang spesifik diantara anggota amil. Sehingga ada amil yang mengerjakan semua tugas mulai dari pengumpulan sampai distribusi, sedangkan di sisi lain ada amil yang tidak mengerjakan tugas. Di Rumah Zakat, dana zakat yang terkumpul selanjutnya akan didayagunakan dalam bentuk program “Big Smile”. Program inilah yang menjadi program andalan serta menjadi branding Rumah Zakat. Karena Rumah Zakat tidak hanya menerima dana zakat, melainkan juga menerima dana sosial lainnya seperti infaq dan shadaqah, maka pengelolaannya perlu kehati-hatian. Jadi, sumber pendanaan program Big Smile itu sudah pasti dari dana zakat, namun jika ada donatur yang ingin menyumbang melalui infaq dan shadaqah bisa juga dimasukkan ke dalam Big Smile. Sehingga dalam hal ini bukan semua dana sosial termasuk zakat dijadikan satu kemudian dibagi-bagi ke dalam beberapa program, akan tetapi dana khusus zakat dimasukkan ke dalam Big Smile, kemudian akan ditambah dengan dana sosial lainnya jika ada. Sementara itu mustahik Rumah Zakat tersebar di seluruh Malang, namun dikhususkan di tiga wilayah yaitu Kecamatan Bandulan, Lowokwaru, dan Sukun. Tempat ini dipilih karena paling sesuai dengan kriteria mustahik yang dibantu Rumah Zakat. Kriteria yang cocok menjadi wilayah binaan Rumah Zakat yaitu kemiskinan yang cukup merata, serta banyaknya anak-anak dari keluarga fakir miskin. Anak-anak inilah yang akan dibina menjadi “anak juara”, sedangkan orang tua mereka berkesempatan untuk mendapatkan modal usaha dari Rumah Zakat. Pemilihan wilayah binaan dilakukan survei yang mendalam terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, responden yang dilibatkan adalah Ibu Poniyem (51 tahun) yang beralamat di Jl. Simpang Sukun No 39 RT 13 RW 4 Kelurahan Sukun, Malang serta Bapak Ponari (45 tahun) yang beralamat di Jl. Bandulan gang VI No 831 RT 7 RW 3 Kelurahan Bandulan Kecamatan Sukun Kota Malang. Pekerjaan yang dijalani Ibu Poniyem sehari-hari adalah penjual bakpao keliling. Profesi sebagai penjual bakpao keliling sudah ditekuni Ibu Poniyem semenjak lama. Sampai pada suatu ketika, Ibu Poniyem berada dalam situasi mendesak, membutuhkan tambahan modal untuk melanjutkan usaha bakpaonya. Karena terdesak dan tidak bisa meminjam di lembaga keuangan lainnya, maka terpaksa meminjam ke bank thithil yang direkomendasikan oleh tetangganya. Menurut Sunaryo (2008) masalah permodalan merupakan masalah yang krusial bagi setiap sektor usaha, terlebih lagi bagi usaha kecil yang sedang merintis jalan. Bank thithil atau yang biasa dikenal dengan lintah darat menerapkan pembiayan yang bersifat tradisional dengan harga yang sangat tinggi, bahkan jauh melebihi batas kewajaran yang berlaku dalam dunia bisnis. Sistem penagihan yang sangat ketat dengan ancaman penarikan barang jika menunggak menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat (Sunaryo, 2008). Akan tetapi bank thithil memberikan kemudahan kepada masyarakat dengan
memberikan pinjaman modal dengan cara yang praktis dan cepat sehingga menjadi pilihan bagi banyak masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun, dampak yang ditimbulkan Bank Thithil sungguh sangat merugikan bagi masyarakat yang meminjam. Mereka meminjamkan uang dengan bunga yang tidak masuk akal. Menurut Ibu Poniyem jika meminjam dari bank thithil sebesar satu juta rupiah, maka nanti di akhir harus dikembalikan satu juta dua ratus ribu, padahal uang yang diterima hanya sembilan ratus ribu. Masyarakat biasa menyebut dengan kata “jupukan” untuk jumlah uang yang biasa diutangkan dari Bank Thithil. Biasanya besarnya antara Rp 300.000, Rp 500.000, Rp 700.000, dan seterusnya. Cara pembayarannya adalah menjumlahkan antara bunga ditambah pokok uang kemudian dibagi menjadi cicilan tiap minggu, yang harus dibayar selama jangka waktu tertentu, biasanya selama dua bulan. Ditagihnya satu minggu sekali. Dalam proses pencicilan ini biasanya masyarakat kesulitan untuk melunasi pembayarannya. Karena kondisi ekonomi yang sulit, sementara usaha belum berkembang, sehingga tidak bisa membayar cicilan utang ke Bank Thithil. Ibu Poniyem harus menjual barang yang bisa dijual dari rumahnya. Ibu Poniyem mengambil “jupukan” dari lima Bank Thithil. Saat itu pilihan untuk hutang ke Bank Thithil diambil karena sudah tidak menemukan cara lain untuk mendapatkan modal untuk kelangsungan usahanya. Sebagai masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah dengan informasi yang kurang mengenai perbankan, maka Bank Thithil hadir sebagai satu-satunya solusi. Tapi ternyata Bank Thithil malah menjadikan usaha Ibu Poniyem bangkrut. Usaha bakpao yang dijalani Ibu Poniyem sejak lama, terhenti selama lima tahun. Selama kurun waktu lima tahun itu Ibu Poniyem masih harus berusaha memikirkan bagaimana caranya membayar cicilan Bank Thithil beserta bunganya yang menjerat leher. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga beserta lima orang anaknya, Ibu Poniyem tidak bisa hanya mengandalkan upah dari suaminya yang berkerja sebagai kuli bangunan. Akhirnya Ibu Poniyem bekerja serabutan, mengerjakan apa saja yang bisa menghasilkan uang halal. Sampai hari ini praktik Bank Thithil masih belum bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat Indonesia. Alih-alih memberikan kemudahan dan membantu masyarakat yang membutuhkan, mereka malah menyulitkan peminjam dengan bunga yang sangat tinggi. Cerita tentang usaha yang gulung tikar karena terjerat Bank Thithil seperti yang dialami oleh Ibu Poniyem bisa jadi banyak juga terjadi di luar sana. Bapak Ponari sehari-hari berprofesi menjadi penjual bakso dan pangsit keliling sebelum menjadi mustahik Rumah Zakat. Sebelum bekerja sebagai penjual bakso dan pangsit keliling, Pak Ponari bekerja di pabrik plastik di Bandulan. Bekerja dengan tanpa skill yang memadai, Pak Ponari ditempatkan sebagai pekerja biasa yang diharuskan bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam. Bekerja dengan waktu yang menguras tenaga, tetapi gaji yang didapat tidak sebanding, maka Pak Ponari memutuskan untuk keluar. Kemudian memilih untuk berjualan bakso dan pangsit keliling sejak tahun 1994. Saat berjualan menggunakan bakso keliling menggunakan rombong, jualan Pak Ponari pasang surut. Tenaga banyak terkuras, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Terkadang pengeluaran yang dipakai untuk modal jualan bakso lebih besar daripada pendapatannya, sehingga harus utang untuk melanjutkan usaha. Pak Ponari meminjam modal usaha dari sebuah bank, dengan bunga pinjaman yang relatif tinggi untuk ukuran keluarga ekonomi tingkat bawah. Beliau sampai kesusahan untuk melunasinya. Padahal hasil dari jualan tidak seberapa. Sebelumnya Pak Ponari juga ditawari modal dari sebuah lembaga keuangan di Malang yang kurang dapat dipercaya, lembaga keuangan tersebut menggunakan sistem bagi hasil. Menurut Pak Ponari, dengan meminjam di lembaga keuangan tersebut, diharapkan mampu membantu usahanya untuk berjalan dengan baik. Namun kenyataannya tidak demikian, usahanya tidak bisa berkembang karena hasil dari usaha harus dibagi sedangkan keuntungan tidak seberapa. Kemudian setelah dihitung-hitung sistem bagi hasilnya juga lebih mirip bunga, bahkan lebih besar lagi. Tapi disini Pak Ponari tidak menyebutkan jenis lembaga keuangan yang dipinjaminya tersebut, beliau hanya mengatakan mengunakan sistem bagi hasil. Untuk menutupi hutang ke bank pertama, Pak Ponari kemudian meminjam uang lagi dari bank kedua. Niat awalnya supaya hutang di bank pertama lunas, seperti gali lubang tutup lubang. Tapi karena bunga pinjaman di kedua bank sama-sama tinggi, malah dua-duanya belum bisa dibayar, bunganya semakin mencekik leher karena hutang pada dua bank sekaligus. Akibatnya hasil usaha yang tidak seberapa digunakan untuk membayar hutang di bank, sehingga menghambat usaha. Dari kedua responden tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa keduanya sama-sama kesulitan mendapatkan modal yang baik untuk kelanjutan usahanya. Dan akhirnya sama-sama terjerat dengan modal dengan menggunakan sitem bunga yang mencekik leher, bahkan sampai menghentikan usaha. Karena dampak merusaknya yang luar biasa, maka tidak mengherankan jika riba atau bunga diharamkan dalam Islam sebagaimana tertera dalam beberapa surat dalam Al Qur’an, salah satunya Al Baqarah ayat 275.
Melihat kenyataan bahwa banyak masyarakat dengan kategori menengah ke bawah yang berusaha mandiri dengan mendirikan usaha namun terkendala masalah permodalan, maka disinilah kesempatan yang akan diambil Lembaga Amil zakat, yaitu mendayagunakan dana zakat sebagai modal usaha bagi mustahik. Ibu Poniyem menjadi musatahik Rumah Zakat cabang Malang mulai dari bulan Juni tahun 2012. Beliau tergolong kedalam ashnaf nomor dua, yaitu miskin. Sebelum menjadi mustahik Rumah Zakat, Ibu Poniyem selalu mengantarkan anaknya yang mengikuti program “Senyum Juara”, salah satu program dari rumpun “Big Smile” Rumah Zakat yang fokus pada pendidikan anak kurang mampu. Tempat tinggal Ibu Poniyem di Kecamatan Sukun memang menjadi salah satu daerah binaan Rumah Zakat cabang Malang. Kemudian ada yang memberitahu Ibu Poniyem tentang “Senyum Mandiri”. Ibu Poniyem mengajukan selanjutnya mengajukan bantuan kepada Rumah Zakat yang selanjutnya langsung diproses oleh tim dari Rumah Zakat. Perwakilan dari Rumah Zakat mendatangi rumah Ibu Poniyem untuk survei kondisi usaha, keuangan dan hal-hal yang dibutuhkan lainnya untuk memastikan bahwa Ibu Poniyem benar-benar mustahik yang berhak mendapatkan dana zakat. Prinsip kehati-hatian yang demikianlah yang harus diterapkan oleh semua Lembaga Amil Zakat untuk memastikan dana zakat jatuh tepat sasaran, mengingat dana zakat adalah amanah yang pengaturannya diatur dalam Al Qur’an. Setelah resmi menjadi mustahik Rumah Zakat, maka Ibu Poniyem mendapatkan bantuan modal usaha yang diberikan secara bertahap. Tahapan pertama diberikan modal usaha sebesar Rp 1.300.000,00 yang langsung dibelikan rombong bakpao. Mulai saat itu usaha bakpao Ibu Poniyem kembali berjalan setelah berhenti selama lima tahun. Ibu poniyem mulai merintis usahanya mulai dari awal lagi, tapi kali ini tidak dengan utang dari Bank Thithil yang bunganya meresahkan, melainkan bantuan dari lembaga amil zakat. Sehingga Ibu Poniyem bisa meneruskan usahanya tanpa khawatir dengan Bank Thithil yang menagih cicilan. Karena usaha Ibu Poniyem masih belum begitu berkembang, maka untuk menunjang usahanya, Rumah Zakat masih memeberikan bantuan modal usaha berupa uang tunai yang diberikan secara bertahap dua atau tiga bulan sekali. Jumlahnya pun tidak selalu sama, tergantung kebutuhan Ibu Poniyem dan dana zakat yang tersida di Rumah Zakat. Besaran bantuan modal yang diberikan antara lima ratus ribu atau enam ratus ribu rupiah. Selain mendapatkan bantuan usaha rutin, Ibu Poniyem juga pernah mengajukan bantuan dana untuk memperbaiki meja tempat mengolah bakpao. Akhirnya diberi bantuan sebesar dua juta rupiah untuk membuat meja permanen. Saat ini Ibu Poniyem dapat berjualan bakpao keliling dengan lancar tanpa was-was dengan tagihantagihan bunga dari Bank Thithil. Selain berjualan bakpao keliling dan menitipkan ke warung-warung, Ibu Poniyem berencana akan berjualan mie ayam di depan kampus ABM Malang. Rumah Zakat tidak membiarkan mustahik ini berjalan sendiri mengelola usahanya. Mereka diberikan pelatihan dan monitoring untuk memastikan usaha mustahik berjalan dengan lancar. Oleh karena itu diadakan pertemuan para mustahik setiap satu bulan sekali di Bandulan. Disana selain diberi pelatihan juga diberikan motivasi cara menjalankan usaha yang sesuai dengan nilai Islam supaya usahanya berkah. Kemudian setiap tanggal 26 tiap bulannya para mustahik melaporkan perkembangan usahanya kepada Rumah Zakat untuk dilakukan evaluasi. Selain itu setiap satu atau dua pekan sekali, Pak Rudeq dari Rumah Zakat mendatangi rumah Ibu Poniyem untuk memantau usahanya secara langsung. Kini setelah dua tahun berjalan, usaha bakpao Ibu Poniyem terus berkembang, meski labanya pasang surut. Sehingga hasil dari berjualan bakpao akhirnya bisa untuk memperbaiki rumah menjadi permanen. Penerangan dalam rumah juga sudah menggunakan lampu dengan menggunakan sumber sendiri, padahal sebelumnya menyambung lampu dari tetangga selama lima belas tahun, sering diputus alirannya karena tidak bisa membayar. Semua utangutang dari Bank Thithil beserta bunganya yang dulu membuat jatuh kini juga sudah terlunasi. Luar biasa dampak dana zakat yang diberikan dari muzakki kepada lembaga amil zakat dan kemudian didayagunakan untuk membantu hidup mustahik. Berapa banyak mustahik yang kini bisa hidup dengan lebih baik dan memiliki usaha untuk menyambung hidupnya. Bahkan tidak jarang ada dari mereka ada yang kini telah berganti status dari mustahik menjadi muzakki. Karena memang tujuan lembaga amil zakat selain untuk mendayagunakan mustahik adalah mewujudkan transformasi mustahik menajdi muzakki. Hal ini jugalah yang kini terjadi kepada Ibu Poniyem. Sekarang Ibu Poniyem mulai menjadi donatur tetap Rumah Zakat. Meskipun jumlah dana yang diinfaqkan tidak besar dan jumlahnya tidak menentu, sekitar seratus ribu, atau tujuh puluh lima ribu per bulan. Sekarang Ibu Poniyem sudah tidak dibantu modal usaha dari Rumah Zakat lagi, karena sudah dianggap mampu untuk berdiri sendiri. Namun masih diminta untuk mengikuti pelatihan dan pendampingan usaha sampai benar-benar bisa dilepas dan mandiri. Kriteria mampu yang diberikan oleh Rumah Zakat adalah jika hasil usaha per bulan sudah mencapai Rp 2.400.000, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibu Poniyem, “Jika hasilnya sudah 2.400.000 maka sudah bisa dilepaskan, dibiarkan mandiri”. Pada Idul Adha tahun 2013, Ibu Poniyem bersama dengan mustahik Rumah Zakat lainnya iuran untuk membeli satu kambing kurban. Cita-cita mulia Ibu Poniyem adalah membantu orang lain yang membutuhkan sebagaimana beliau dulu juga dibantu saat membutuhkan.
Sebagaimana kisah Ibu Poniyem, maka hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh Bapak Ponari. Pak Ponari kenal Rumah Zakat melalui program “Senyum Juara” yang diikuti oleh anak satu-satunya, karena Bandulan merupakan salah satu dari wilayah binaan. Anak beliau mengikuti pembinaan mulai dari kelas dua sampai kelas enam SD. Bantuan Senyum Juara yang diberikan sebanyak tujuh puluh ribu per bulan untuk bantuan biaya pendidikan. Pelatihan dilaksanakan dua pekan sekali, minggu pertama dan kedua. Setelah mendapatkan informasi mengenai “Senyum Mandiri”, Pak Ponari mengajukan bantuan untuk menambah modal usahanya yang seret karena terlilit utang di bank. Setelah dilakukan survei, Rumah Zakat memutuskan bahwa Pak Ponari berhak mendapatkan dana zakat untuk mengembangkan usahanya. Akhirnya Rumah Zakat memberikan bantuan modal sebesar satu juta delapan ratus ribu pada tahap pertama. Modal itu langsung digunakan untuk membeli peralatan warung supaya bisa jualan mie ayam dengan mangkal di suatu tempat. Uang tersebut cukup dibelikan kompor, meja kursi, rombong, dan peralatan untuk mangkal dengan harga yang murah namun layak pakai. Semakin lama usaha Pak Ponari maju, karena mangkal maka banyak pembeli yang datang. Setiap bulan juga mendapat tambahan bantuan modal dari Rumah Zakat sebesar tiga ratus ribu sampai dengan lima ratus ribu rupiah. Sehingga dua tahun terakhir ini mulai menampakkan hasil setelah dibantu Rumah Zakat. Utang yang dulu di bank sudah mulai dicicil, tinggal sedikit lagi akan lunas. Pak Ponari juga rajin mengikuti monitoring dan evaluasi yang diadakan satu bulan sekali oleh Rumah Zakat di Bandulan. Dengan adanya pendampingan usaha yang intensif dan monev yang dilakukan per bulan, Pak Ponari mengaku usahanya semakin berkembang. Karena beliau mendapatkan ilmu baru tentang bagaimana mengelola usaha dengan baik supaya terus berkembang. Selain itu dalam pendampingan juga ditanya apa kendala yang dihadapi, dan jika ada kendala maka akan dicari jalan solusinya bersama. Pak Rudeq dari Rumah Zakat yang biasa memantau usaha Pak Ponari, biasanya langsung mendatangi tempat mangkal, atau komunikasi melalui telepon. Dalam satu bulan Pak Ponari menghasilkan penghasilan kotor tiga juta rupiah. Penghasilan itu biasanya dikurangi untuk kebutuhan hidup, membayar listrik, biaya anak sekolah dan mencicil utang ke bank. Selain itu Pak Ponari juga menyantuni anak yatim dua, yaitu keponakan yang ditinggal meninggal orang tuanya, keduanya kini kelas tiga SD dan TK. Kini Pak Ponari juga sudah memiliki kulkas untuk menunjang usahanya. Kulkas itu digunakan menyimpan sayuran dan bakso, karena bakso dibuat dua hari sekali. Dengan adanya kulkas juga membantu Pak Ponari mengembangkan usahanya, karena sekarang selain berjualan pangsit dan mie ayam juga berjualan es di tempat mangkal. Hingga pada Desember 2013 bantuan modal dari Rumah Zakat dihentikan karena usaha Pak Ponari dinilai sudah mampu untuk berdiri sendiri. Setelah usahanya berkembang, sekarang Pak Ponari mulai menjadi donatur Rumah Zakat. Kalau ada kotak infaq dari Rumah Zakat bisa mulai mengisi kotak itu. Meski nominalnya belum besar karena masih harus membayar utang di bank yang belum lunas. Biasanya Pak Ponari mengisi kotak infaq dari Rumah Zakat sebesar lima ribu atau sepuluh ribu, jumlahnya tidak menentu tergantung uang yang dimiliki.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rumah Zakat merupakan salah satu Lembaga Amil Zakat nasional yang berupaya melakukan fungsi distribusi dalam masyarakat. Yaitu dengan mengumpulkan zakat dari muzakki, mendayagunakannya kemudian mendistribusikan kepada mustahik melalui program-program ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Hal yang sama pun dilakukan oleh Rumah Zakat cabang Malang. 2. Masing-masing program unggulan Rumah Zakat memiliki tujuan masing-masing yang ingin dicapai. Untuk program dalam bidang ekonomi, Rumah Zakat mengeluarkan program “Senyum Mandiri”, yaitu pemberian bantuan modal usaha dan pendampingan usaha kepada mustahik sampai usaha mustahik mampu untuk berdiri kembali dan bertahan. 3. Dua orang muzakki Rumah Zakat Cabang Malang yang menjadi responden dalam penelitian ini termasuk ke dalam ashnaf miskin, keduanya telah berhasil keluar dari kesulitan ekonomi dan permodalan usahanya karena dibantu dengan dana zakat. Usaha mereka yang sebelumnya terancam gulung tikar sekarang menjadi berkembang berkat bantuan Rumah Zakat, bahkan sekarang telah menjadi donatur Rumah Zakat. 4. Salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya usaha mustahik adalah karena adanya monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak Rumah Zakat, sehingga usaha mustahik akan dicarikan jalan keluar jika menemui kendala, dan mustahik tidak ada kesempatan untuk melakukan moral hazard.
Dari kesimpulan di atas, maka saran yang bisa diambil adalah sebagai berikut. Semoga bisa menjadi masukan yang berarti bagi pihak-pihak yang disebutkan. 1.
Secara umum saran dari penelitian ini ditujukan kepada pengelola lembaga amil zakat yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta untuk semakin menunjukkan profesionalitas dalam mengambil, mendayagunakan, dan mendistribusikan zakat. Hal ini dimaksudkan supaya masyarakat simpati dan menaruh rasa percaya untuk beRumah Zakatakat ke lembaga amil zakat daripada memberikan dana zakat langsung kepada mustahik. Hal ini didasari pada penelitian diatas yang menunjukkan fakta bahwa jumlah orang-orang yang membayar zakat lebih sedikit dari jumlah yang seharusnya membayar. Padahal dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa zakat dapat mendistribusikan kekayaan muzakki kepada mustahik dan lembaga amil zakat dapat menjadi agen distribusi yang baik. Sehingga semakin banyak dana zakat yang terkumpul akan semakin banyak juga mustahik yang terbantu. 2. Dalam penelitian ini, responden dari mustahik dirasa masih kurang jumlahnya, hal ini dikarenakan pihak Rumah Zakat hanya memberikan dua orang responden yang mendapatkan bantuan dari Rumah Zakat. Wilayah binaan Rumah Zakat cabang Malang terdapat di Bandulan, Sukun, dan Lowokwaru, sedangkan responden hanya berasal dari Bandulan dan Sukun sehingga kurang yang dari Lowokwaru. Meski setelah menggali informasi secara mendalam dari responden, dapat diketahui bahwa Lembaga Amil Zakat mampu mendistribusikan kekayaan dari muzakki ke mustahik dan dapat mentransformasikan mustahik menjadi muzakki, namun tetap saja jumlah responden masih kurang dari satu wilayah. Sehingga untuk penelitian selanjutnya, disarankan menambah jumlah responden lengkap dari berbagai wilayah binaan yang berbeda supaya informasi yang didapat lebih lengkap dan bisa mewakili masing-masing wilayah. 3. Rumah Zakat perlu memberikan pelatihan administrasi pembukuan kepada mustahik yang diberikan modal usaha, supaya mustahik bisa membuat alur kas yang jelas dan terperinci, biaya apa saja yang digunakan untuk melakukan kegiatan produksi dan berapa hasil yang di dapat setelah menjual produk, sehingga dapat diketahui dari usaha yang dijalankan mereka mendapat untung atau rugi. Karena seringkali mustahik hanya melakukan pencatatan secara sederhana.
DAFTAR PUSTAKA Hafidhuddin, Didin. 2007. The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara. Malang: UIN Maliki Press Kasiram, Moh. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif – Kuantitatif. Malang: UIN Maliki Press Khasanah, Umrotul. 2010. Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Malang: UIN Maliki Press Multifiah. 2011. ZIS Untuk Kesejahteraan. Malang: UB Press Qardawi, Yusuf. 1988. Fiqh az Zakah. Beirut: Muassasah al-Risalah Sunaryo. 2008. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika